Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN SPIRITUAL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Dasar
DosenPembimbing: NS. Ando Fikri Hakim.MAN

Disusun Oleh:
Azmi Nuraeni E.0105.20.008
Baharudin Efendi E.0105.20.009
Bayu Latipatul Alimah E.0105.20.010
Deliyanti Herliani E.0105.20.011
Devina Rahmadantry E.0105.20.012
Dikin E.0105.20.013

Kelompok 2

Diploma 3 Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Budi Luhur Cimahi

Tahun Akademik 2020-2021


1. Definisi
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan
keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf
atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan
(Carson, 1989)
Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup,
kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan dan kebutuhan untuk
memberikan dan mendapatkan maaf.
Adapun adaptasi spiritual adalah proses penyesuaian diri dengan melakukan
perubahan perilaku yang didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki
sesuai dengan agama yang dianutnya (Asmadi, 2008: 258).
2. Etiologi
Gangguan pada keyakinan atau sistem nilai berupa kesulitan merasakan makna dan
tujuan hidup melalui hubungan dengan diri, orang lain, lingkungan atau Tuhan.
Penyebab kebutuhan spiritual, yakni:
a. Menjelang ajal
b. Kondisi penyakit kronis
c. Kematian orang terdekat
d. Perubahan pola hidup
e. Kesepian
f. Pengasingan diri
g. Pengasingan sosial
h. Gangguan sosio-kultural
i. Peningkatan ketergantungan pada orang lain
j. Kejadian hidup yang tidak diharapkan (SDKI, 2016)
3. Tanda dan gejala
 Gejala dan Tanda Mayor
1. Subjektif
a. Mempertanyakan makna/tujuan hidupnya
b. Menyatakan hidupnya terasa tidak/kurang bermakna
c. Merasa menderita/tidak berdaya
2. Objektif
a. Tidak mampu beribadah
b. Marah pada Tuhan
 Gejala dan tanda minor
1. Subjektif
a. Menyatakan hidupnya terasa tidak/kurang tenang
b. Mengeluh tidak dapat menerima (kurang pasrah)
c. Merasa bersalah
d. Merasa terasing
e. Menyatakan telah diabaikan
2. Objektif
a. Menolak berinteraksi dengan orang terdekat/pemimpin spiritual
b. Tidak mampu berkreativitas (mis. Menyanyi, mendengarkan musik, menulis)
c. Koping tidak efektif
d. Tidak berminat pada alam/literatur spiritual (SDKI, 2016)
4. Klasifikasi
a. 0-3 tahun
Neonatus dan todler mendapat kualitas spiritual keyakinan, mutulitas, keberanian,
harapan, dan cinta yang mendasar.
b. 3-7 tahun
Fase penuh fantasi dan imitatif ketika anak dapat dipengaruhi oleh contoh, alam
perasaan, dan tindakan. Imajinasi dianggap sebagai realitas (Santa Claus, Tuhan
sebagai kakek dilangit).
c. 7-12 tahun
Anak berusaha memilah fantasi dari fakta dengan menuntut adanya bukti atau
demonstrasi kenyataan. Anak menerima cerita dan keyakinan secara harfiah.
Kemampuan untuk mempelajari keyakinan dan praktik budaya serta keagamaan.
d. Remaja
Pengalaman mengenai dunia saat ini di luar unit keluarga dan keyakinan spiritual
dapat membantu pemahaman terhadap lingkungan yang luas. Secara umum
menyesuaikan diri dengan keyakinan orang di sekitar mereka; belum dapat menilai
keyakinan secara objektif.

e. Dewasa muda
Perkembangan indentitas diri dan pandangan terhadap dunia berbeda dari orang lain.
Individu membentuk komitmen, gaya hidup, keyakinan, dan sikap yang mandiri.
Mulai mengembangkan makna personal terhadap simbol keagamaan dan keyakinan.
f. Dewasa menengah
Menghargai masa lalu; lebih memerhatikan suara hati; lebih waspada terhadap mitos,
prasangka, dan citra yang ada karena latar belakang sosial Berusaha menyelesaikan
kontradiksi dalam pikiran dan pengalaman dan untuk tetap terbuka terhadap
kebenaran orang lain.
g. Dewasa menengah sampai Lansia
Mampu menyakini, dan memiliki rasa partisipasi dalam, komunitas noneksklusif.
Dapat berusaha menyelesaikan masalah sosial, politik, ekonomi, atau ideologi dalam
masyarakat. Mampu merangkul kehidupan meskipun masih longgar (Kozier, 2010).
5. Patofisiologi
Patofisiologi distress spiritual tidak bisa dilepaskan dari stress dan struktur serta
fungsi otak.
Stress adalah realitas kehidupan manusia sehari-hari. Setiap orang tidak dapat dapat
menghindari stres, namun setiap orang diharpakan melakukan penyesuaian terhadap
perubahan akibat stres. Ketika kita mengalami stres, otak kita akan berespon untuk terjadi.
Konsep ini sesuai dengan yang disampikan oleh Cannon, W.B. dalam Davis M, dan
kawan-
kawan (1988) yang menguraikan respon "melawan atau melarikan diri" sebagai suatu
rangkaian perubahan biokimia didalam otak yang menyiapkan seseorang menghadapi
ancaman yaitu stres.
Stres akan menyebabkan korteks serebri mengirimkan tanda bahaya ke hipotalamus.
Hipotalamus kemudian akan menstimuli saraf simpatis untuk melakukan perubahan.
Sinyal
dari hipotalamus ini kemudian ditangkap oleh sistem limbik dimana salah satu bagian
pentingnya adalah amigdala yang bertangung jawab terhadap status emosional seseorang.
Gangguan pada sistem limbik menyebabkan perubahan emosional, perilaku dan
kepribadian. Gejalanya adalah perubahan status mental, masalah ingatan, kecemasan dan
perubahan kepribadian termasuk halusinasi (Kaplan et all, 1996), depresi, nyeri dan lama
gagguan (Blesch et al, 1991).
Kegagalan otak untuk melakukan fungsi kompensasi terhadap stresor akan
menyebabkan seseorang mengalami perilaku maladaptifdan sering dihubungkan dengan
munculnya gangguan jiwa. Kegagalan fungsi kompensasi dapat ditandai dengan
munculnya
gangguan pada perilaku sehari-hari baik secara fisik, psikologis, sosial termasuk spiritual.
Gangguan pada dimensi spritual atau distres spritual dapat dihubungkan dengan
timbulnya depresi.
Tidak diketahui secara pasti bagaimana mekanisme patofisiologi terjadinya depresi.
Namun ada beberapa faktor yang berperan terhadap terjadinya depresi antara lain faktor
genetik, lingkungan dan neurobiologi.
Perilaku ini yang diperkirakan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan spiritualnya sehingga terjadi distres spritiual karena pada kasus
depresi seseorang telah kchilangan motivasi dalam memenuhi kebutuhannya termasuk
kebutuhan spritual.

6. Pathway

Faktor Presdiposisi Penyakit akut, kronis, terminal

Harga diri rendah Isolasi Sosial

Perasaan bersalah, rasa Perubahan prilaku Verbalisasi


takut, depresi. distress

Ketidakefektifan Keputusasaan
Ansietas
koping

Distress spiritual

7. Manifestasi Klinis
a. Penyakit kronis (mis. Arthritis rheumatoid, sklerosis multipel)
b. Penyakit terminal (mis.kanker)
c. Retardasi mental
d. Kehilangan bagian tubuh
e. Sudden infant death syndrome ( SIDS)
f. Kelahiran mati, kematian janin , keguguran
g. Kemandulan
h. Gangguan psikiatrik
8. Penatalaksaan klinis
Jika klien mengalami distres spiritual atau mempunyai masalah kesehatan yang
menyebabkan keputusasaan, maka akan timbul perasaan kesepian. Klien akan merasa
terisolasi dari orang yang biasanya memberikan dukungan. Apapun keragaman intervensi
yang mungkin dipilih oleh perawat untuk klien, hubungan mengasihi dan saling
memahami penting. Baik klien dan perawat harus merasa bebas utnuk merelakan dan
menemukan bersama makna penyakit yang dialami pasien dan dampaknya pada makna
dan tujuan hidup klien. Pencapain tingkat pemahaman ini bersama klien memampukan
perawat member perawatan dengan cara yang sensitif, kreatif, dan sesuai.
a. Menetapkan Kehadiran
Klien telah melaporkan bahwa kehadiran perawat dan aktivitas pemberi perawatan
menunjang adanya perasaan sejahtera dan memberikan harapan untuk pemulihan
(clark et al.1991). Perilaku pemberian perawatan spesifik yang menunjukan kehadiran
perawat meliputi member I perhatian, menjawab pertanyaan, dan mempunyai sikap
positif dan memberikan dorongan (tetapi realistis).
Perawat dapat menunjukan adanya rasa kehadiran dalam berbagai cara yang tidak
menyolok: melakukan pijat punggung dengan penyegaran, sentuhan yang lembut;
dengan hati-hati memposisikan klien tanpa menimbulkan rasa nyeri; dengan halus
memberikan perawatan mulut dan bekerja bersama klien untuk dengan lambat dan
berhati-hati bergerak dari tepi tempat tidur ke kursi. Memberikan sentuhan yang
menyegarkan dan mendukung, menunjukan rasa percaya diri dan menyediakan waktu
bagi klien ketika terapi diberikan akan membantu menciptakan kehadiran. Klien yang
sakit mengalami kehilangn control dan mencari seseorang untuk memberikan arahan
dan perawatan yang kompeten.
b. Mendukung Hubungan yang Menyembuhkan
Benner (1984) yang mendefiniskan tiga langkah yang ternyata terbukti ketika
hubungan yang menyembuhkan terbina antara perawat dan klien:
1. Mengerahkan harapan bagi perawat, demikian halnya bagi klien
2. Menemukan interprestasi ysng dapat diterima atau memahami.
3. Membatu klien menggunakan dukungan sosial, emosional, atau spiritual.

Inti dari hubungan yang menyembubkan adalah mengerahkan harapan klien. Harapan
adalah motivator untuk merangkul individu dengan strategi yang dibutuhkan untuk
mengahdapi segla tantangan dalam hidup. Perawat dapat membantu klien menemukan
hal-hal yang dapat diajdikan sebagai harapan. Klien yang menderita penyakit terminal
mungkin berharap data menghadiri anak wisuda perempuanya atau untuk menjalani
hidup setiap hari dengan penuh makna. Untuk mendukung lebih Ianjut hubungan yang
menyembubkan perawat harus tetap menyadari tentang kekuatan dan kebutuhan
spiritual klien. Penting bagi klien untuk mampu mengekspresikan dan menelaah
keyakinannya. Perawat yang menghargai kepercayaan klien dan mengenali pengaruh
spiritualitas yang diberikan terhadap penyembuhannya akan dirasakan oleh klien
sebagai sumber harapan (clark et al. 1991). Ketika penyakit atau pengobatan
menimbulkan kebingungan atau ketidakpastian bagi klien, maka perawat harus
mengenali dampak dari hal ini terhadap kesejahteraan klien. Sumber spiritual apa
yang dapat diperkuat? Perawat dapat memulai dari apa yang ingin klien ketahui dan
kemudian memberikan informasi terbaik untuk menghilangkan ketidakpastian klien.
Klien mungkin juga meminta kehadiran keluarga atau teman untuk mempertahankan
persahabatan yang diperlukan untuk penyembuhan.

c. Sistem Dukungan
Dalam studi yang melibatkan klien, yahudi dan Kristen, clark et al (1991) mengetahui
bahwa sistem pendukung member I mereka rasa sejahtera terbesar selama perawatan
di rumah sakit. Sistem pendukung berfungsi sebagai hubungan manusia yang
menghubungakan klien, perawat dan gaya hidup klien sebelum terjadi penyakit.
Bagian dari lingkungan pemberi perawatan klien adalah kehadiran lingkungan
pemberi perawatan klien adalah kehadiran teratur dari keluarga dan teman yang
dipandang oleh klien sebagai pendukung. Perawat merencankan perawatan bersama
klien dan jaringan pendukung klien untuk meningktakan ikatan interplersonal yang
sangat penting untuk penyembuhan. Sistem pendukung sering memberi sumber
penyembuhan. Sitem pendukung memberi sumber kepercayaan yang memperbarui
jati diri spiritual klien. Keluarga dan teman mungkin juga menjadi sumber penting
dalam melakukan ritual kebiasaan keagamaan yang dianut klien.
d. Berdoa
Tindakan berdoa adalah bentuk "dedikasih diri" yang memungkinkan individu untuk
bersatu dengan Tuhan atau Yang Maha Kuasa (McCullough,1995). Berdoa memberi
kesempatan individu untuk memperbarui kepercayaan dan keyakinannya kepada yang
maha kuasa dalam cara yang lebih formal. Bagi banyak orang, berdoa adalah suatu
kesempatan untuk meninjau kembali kelemahan yang mereka rasa dan untuk
membuat komitmen hidup lebih baik. Klien dapat berparisipasi dalam berdoa secara
pribadi atau mencari kesempatan untuk kelompok berdoa dengan keluarga, teman,
atau kelompok rohaniawan. Berdoa telah ditemukan sebagai suatu sumber yang
efektif bagi seseorang untuk mengatasi nyeri, stress, dan distres. Seringkali berdoa
menyebabkan seorang merasakan perbaikan Susana hati dan merasakn kedamaian dan
ketenangan.
9. Komplikasi
Lansia sangat rentan terhadap konsekuensi fisiologis dan psikologis dari imobilitas.
Perubahan yang berhubungan dengan menjadi predisposisi bagi lansia untuk mengalami
komplikasi-komplikasi ini. Secara fisiologis, tubuh bereaksi terhadap imobilitas dengan
perubahan-perubahan yang hampir sama dengan proses penuaan, oleh karena itu
memperberat efek ini (Stanley, 2006).
Suatu pemahaman tentang dampak imobilitas dapat diperoleh dari interaksi
kompetensi fisik, ancaman terhadap mobilitas, dan interpretasi pada kejadian. Imobilitas
memengaruhi tubuh yang telah terpengaruh sebelumnya. Di antara usia 20-60 tahun,
kekuatan otot menurun 10 sampai 30% ; pada usia 80 tahun sekitar 50% otot telah
hilang.
Oleh karena itu, kompetensi fisik seorang lansia mungkin berada pada atau dekat
dengan tingkat ambang batas untuk aktivitas mobilitas tertentu (Stanley, 2006).
10. Pengkajian
 Identitas Pasien
a. Nama
b. Usia
c. Jenis kelamin
d. Tanggal pengkajian
e. Salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah Puchalski's FICA Spritiual
History Tool (Pulschalski, 1999) :
F : Faith atau keyakinan (apa keyakinan saudara?) Apakah saudara memikirkan
diri saudara menjadi sesorang yang spritual ata religius? Apa yang saudara
pikirkan tentang keyakinan saudara dalam pemberian makna hidup?
I : Impotance dan influence. (apakah hal ini penting dalam kehidupan saudara).
Apa pengaruhnya terhadap bagaimana saudara melakukan perawatan terhadap
diri sendiri? Dapatkah keyakinan saudara mempengaruhi perilaku selama
sakit?
C : Community (Apakah saudara bagian dari sebuah komunitas spiritual atau
religius?) Apakah komunitas tersebut mendukung saudara dan bagaimana?
Apakah ada seseorang didalam kelompok tersebut yang benar-benar saudara
cintai atua begini penting bagi saudara?
A : Adress bagaimana saudara akan mencintai saya sebagai seorang perawat,
untuk membantu dalam asuhan keperawatan saudara?
Pengkajian aktifitas sehari-hari pasian yang mengkarakteristikan distres spiritual,
mendengarkan berbagai pernyataan penting seperti :
- Perasaan ketika seseorang gagal
- Perasaan tidak stabil
- Perasaan ketidakmmapuan mengontrol diri
- Pertanyaan tentang makna hidup dan hal-hal penting dalam kehidupan
- Perasaan hampa
f. Faktor Predisposisi :
Gangguan pada dimensi biologis akan mempengaruhi fungsi kognitif
seseorang sehingga akan mengganggu proses interaksi dimana dalam proses
interaksi ini akan terjadi transfer pengalaman yang pentingbagi perkembangan
spiritual seseorang.
Faktor frediposisi sosiokultural meliputi usia, gender, pendidikan,
pendapattan,
okupasi, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman
sosial, tingkatan sosial.
g. Faktor Presipitasi :
- Kejadian Stresful
Mempengaruhi perkembangan spiritual seseorang dapat terjadi karena
perbedaan tujuan hidup, kehilangan hubungan dengan orang yang terdekat
karena kematian, kegagalan dalam menjalin hubungan baik dengan diri
sendiri, orang lain, lingkungan dan zat yang maha tinggi.
- Ketegangan Hidup
Ketegangan dalam menjalankan ritual keagamaan, perbedaan keyakinan dan
ketidakmampuan menjalankan peran spiritual baik dalam keluarga, kelompok
maupun komunitas.
h. Penilaian Terhadap Stressor :
- Respon Kognitif
- Respon Afektif
- Respon Fisiologis
- Respon Sosial
- Respon Perilaku
i. Sumber Koping :
Menurut Safarino (2002) terdapat lima tipe dasar dukungan sosial bagi distres
spiritual :
1. Dukungan emosi yang terdiri atas rasa empati, caring, memfokuskan pada
kepentingan orang lain.
2. Tipe yang kedua adalah dukungan esteem yang terdiri atas ekspresi positif
thingking, mendorong atau setuju dengan pendapat orang lain.
3. Dukungan yang ketiga adalah dukungan instrumental yaitu menyediakan
pelayanan langsung yang berkaitan dengan dimensi spiritual.
4. Tipe keempat adalah dukungan informasi yaitu memberikan nasehat, petunjuk
dan umpan balik bagaimana seseorang harus berperilaku berdasarkan
keyakinan spiritualnya.
5. Tipe terakhir atau kelima adalah dukungan network menyediakan dukungan
kelompok untuk berbagai tentang aktifitas spiritual. Taylor, dkk (2003)
menambahkan dukungan apprasial yang membantu seseorang untuk
meningkatkan pemahaman terhadap stresor spiritual dalam mencapai
keterampilan koping yang efektif.
 Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


.
1 DS Penyakit akut Distress
- Menyatakan merasakan hidupnya Spiritual
merasa tidak tenang Harga diri rendah
- Mengeluh tidak dapat menerima
- Merasa bersalah Perubahan prilaku
- Merasa terasing
- Menyatakan telah diabaikan ketidakefektifan koping
DO
- Menolak berinteraksi dengan orang Distress spiritual
terdekat
- Tidak mampu beraktivitas
- Koping tidak efektif
- Tidak berminat pada alam

11. Diagnosa Keperawatan

Distress spiritual b.d mnjelang ajal, kondisi penyakit kronis, kematian orang terdekat,
perubahan pola hidup, kesepian, pengasingan diri, pengasingan social, gangguan sosio-
kultural, peningkatan ketergantungan pada orang lain, kejadian hidup yang tidak
diharapkan d.d pasien merasakan hidupnya merasa tidak tenang, mengeluh tidak dapat
menerima, merasa bersalah, merasa terasing, menyatakan telah diabaikan, menolak
berinteraksi dengan orang terdekat, tidak mampu beraktivitas, koping tidak efektif, Tidak
berminat pada alam.

12 .Intervensi

No Dx Kep Tujuan Intervensi Rasional


.
1. Distress spiritual Setelah Dukungan Spiritual Observasi
b.d mnjelang ajal, dilakukan - Untuk mengetahui
kondisi penyakit tindakan Observasi keadaan dan perasaan
kronis, kematian selama - Identifikasi perasaan pasien
orang terdekat, 3x24 jam, khawatir, kesepian - Untuk mengetahui
perubahan pola distress dan ketidakberdayaan pandangan pasien
hidup, kesepian, spiritual - Identifikasi mengenai hubungan
pengasingan diri, dapat pandangan tentang spiritual dan kesehatan.
pengasingan teratasi hubungan antara - Untuk mengtahui
social, gangguan dengan spiritual dan harapan dan kekuatan
sosio-kultural, kriteria kesehatan. pasien.
peningkatan kasil: - Identifikasi harapan - Untuk mengetahui
ketergantungan 1. Verbalis dan kekuatan pasien ketaatan pasien dalam
pada orang lain, asi - Identifikasi ketaatan beragama
kejadian hidup makna dalam beragama Terapeutik
yang tidak dan Terapeutik - Untuk membantu
diharapkan d.d tujuan - Berikan kesempatan memberikan
DS: hidup mengekspresikan kesempatan
- Menyatakan meningk perasaan tentang mengekpresikan
merasakan at penyakit dan perasaan tentang
hidupnya 2. Perilaku kematian penyakit dan kematian
merasa tidak marah - Berikan kesempatan - Untuk membantu
tenang kepada mengekspresikan dan memberikan
- Mengeluh tuhan meredakan marah kesempatan
tidak dapat menurun secara tepat. mengekspresikan dan
menerima - Yakinkah bahwa meredakan marah
- Merasa Setalah perawat bersedia secara tepat
bersalah dilakukan mendukung selama - Untuk memberikan
- Merasa tindakan masa dukungan selama
terasing selama ketidakberdayaan pasien merasa
- Menyatakan 1x24 jam, - Sediakan privasi dan tidakberdaya
telah distress waktu tenang untuk - Untuk membantu
diabaikan spiritual aktivitas memberikan privasi
DO dapat - Diskusikan keyakinan dan waktu tenang
- Menolak teratasi tentang makna dan untuk aktifitas
berinteraksi dengan tujuan hidup, jika - Untuk meyakinkan
dengan orang kriteria perlu tentang makna dan
terdekat kasil: - Fasilitasi melakukan tujuan hidup melalui
- Tidak mampu 1. Kemamp kegiatan ibadah diskusi dengan pasien
beraktivitas uan Edukasi - Untuk memberikan
- Koping tidak beribada - Anjurkan berinteraksi ruang bagi pasien
efektif h dengan keluarga, untuk beridah.
- Tidak meningk teman, dan/atau orang Edukasi
berminat pada at lain - Menganjurkan pasien
alam 2. Interaksi - Ajarkan metode untuk berintaksi
dengan relaksasi, meditasi, dan dengan oranglain
pemimpi imajinasi terbimbing - Memberitahu pasien
n Kolaborasi metode relaksasi,
spiritual - Atur kunjungan dnegan meditasi, dan imjinasi
meningk rohaniawan (mis. terbimbing
at Utadz, pendeta, romo, Kolaborasi
biksu) - Membuat jadwal
kunjungan dengan
rohaniawan

13. Daftar Pustaka

PPNI (2018).Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan,Edisi 1.Jakarta:DPP PPNI
PPNI (2016).Standar Diagnostik Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator
Diagnostik,Edisi 1.Jakarta:DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
https://www.kajianpustaka.com/2012/10/kebutuhan-spiritual-klien.html?m=1
https://id.scribd.com/doc/283151922/Laporan-Pendahuluan-Spiritual
https://id.scribd.com/doc/298950985/ASKEP-Distress-Spiritual

Anda mungkin juga menyukai