Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerolehan bahasa anak melalui beberapa proses. Tahun pertama kehidupannya,


anak melakukan pengamatan dan pengumpulan informasi sebanyak-banyaknya dari
kehidupan sekitarnya. Dilakukan menggunakan panca indra.

Inilah yang menurut Abdul Chaer (2003), menjadi dasar semantik bahasa anak. Caranya
dengan melekatkan makna atau arti yang tetap pada urutan bunyi bahasa tertentu. Barulah,
kemudian diikuti kajian pemerolehan sintaksis dan fonologi.

Menurut Abdul Chaer, untuk dapat mengkaji bagaimana pemerolehan semantik


kanak-kanak harus dipahami terlebih dahulu makna atau arti itu. Makna atau semantik itu,
menurut Chaer (2003) dapat dijelaskan berdasarkan apa yang disebut fitur-fitur atau penanda-
penanda semantik.

“Artinya, makna sebuah kata merupakan gabungan dari fitur-fitur semantik ini.”
(Larson,1989).

Makalah ini mencoba memberikan gambaran proses pemerolehan semantik anak.


Seperti apa dan bagaimana sesungguhnya anak memaknai bahasa yang pada gilirannya nanti
akan dipergunakan dalam kegiatan komunikasi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemerolehan semantik ?
2. Bagaimana pemerolehan semantik dibidang fonologi pada anak- anak ?
3. Bagaimana teori mengenai proses pemerolehan semantik?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan pemerolehan semantik.

2. Mendeskripsikan pemerolehan semantik dibidang fonologi pada anak- anak.

3. Mendeskripsikan teori mengenai proses pemerolehan semantik.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemerolehan Semantik

Sejalan dengan perkembangan teori linguistik genetatif transformasi yang lebih


mengedepankan komponen semantik, maka dalam psikolinguistik kajian pemerolehan bahasa
pun dimulai dari komponen semantik. Kemudian baru dilnjutkan dengan kajian pemerolehan
sintaksis, kajian pemerolehan fonologi.

Pada tahun pertama dalam kehidupannya seorang bayi menghabiskan waktunya untuk
mengamati dan mengumpulkan sebanyak – banyaknya informasi yang ada disekitar
kehidupannya. Pengamatan ini dilakukan melalui seluruh panca inderanya. Apa yang diamati
dan dikumpulkan itu menjadi “pengetahuan dunianya” . Berdasarkan pengetahuan dunianya
inilah sibayi memperoleh semantik bahasa dunianya dengan cara meletakkan “makna” yang
tetap kepada urutan bunyi bahasa tertentu.

Untuk dapat mengkaji pemerolehan semantik kanak – kanak kita perlu terlebih dahulu
memahami apa yang dimaksud dengan makna atau arti itu. Ada beberapa teori mngenai
makna dan semantik itu. Menurut salah satu teori semantik yang baru, maka dapat dijelaskan
berdasarkan apa yang disebut fitur – fitur atau penanda semantik.

Dalam perkembangan psikoliguistik ada beberapa teori mengenai proses pemerolehan


semantik,yaitu :

1. Fitur Semantik

Dalam teori ini diyakini kanak-kanak memperoleh makna suatu kata dengan cara
menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi satu sampai semua fitur semantik itu
dikuasai, seperti halnya pada orang dewasa. (Chaer, 2003).

Contoh pemerolehan semantik ini, emnurut Clark, pada mulanya kanak-kanak berbahasa
Inggris menyebut semua bintaag berkaki empat doggie atau kitty, atau apa saja larena
mulanya kanak-kanak itu hanya menguasai beberapa fitur semantik. Yakni [+human],
[+animal}, dan [+four legged]. Seiring perkembangan usianya fitur-fitur semantik lain juga
dikuasai sehingga pada umur tertentu kanak-kanak itu dapat membedakan dogie dan kitty.
Simanjuntak meneliti tiga kanak-kanak Malaysia, R, S, dan E. R, menyebut apel ddengan
bunyi [apoi}, buah magga, jeruk, peer dan buah-buah lainnya disebut juga [apoi]. Pada S,
ditemui dia menyebut lembu dengan [bo], dan kata itu digunakannya juga untuk menyebut
kuda, kerbau, singa, dan harimau. Begitu juga binatang berkaki empat lainnya. Sementara
pada E, ditemui dia mengucapkan [kico] untuk cecak. Dan kata ini pun digunakan untuk
menyebut binatang lain seperti buaya, biawak, ular, dan binatang melata lainnya.

Kondisi ini dialami anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa. Pengenalan


berdasarkan fitur-fitur ini mengacu pada bentuk, ukuran, bunyi, rasa, dan gerak dan hal lain
dari kata-kata baru.

Menurut Clark (1977) proses pemerolehan ini dicontohkannya dalam pemerolehan kata
apel oleh anak-anak. Fitur semantik yang terbentuk pada kata apel [+kecil] dan [+bundar].
Fitur semantik berdasarkan ukuran dan bentuk ini digunakan juga untuk menyebut benda-
benda lain yang serupa sebagai apel. Misalnya tombol pintu, bola karet, mangga. Tetapi pada
perkembangan berikutnya dia akan mengetahui bahwa benda itu berbeda. Ada apel, ada
tombol pintu, ada bola karet.

Untuk fitur yang mengacu bentuk, kanak-kanak awalnya menerima konsep buah
rambutan karena bentuknya ditumbuhi rambutan. Jagung pun disebutnya rambutan. Begitu
juga buah durian yang dipenuhi duri. Makanya ketika bertemu nangka ataupun cempedak, dia
menyebutnya durian juga.

Begitu juga untuk fitur yang mengacu pada bunyi. Kata guguk digunakan untuk
menyebut anjing. Itu juga digunakan untuk menyebut sapi, kambing. Tetapi pada
perkembangannya dia akan membedakannya berdasarkan bunyi. Ada yang disebutnya cecak,
karena bunyinya ce-cak, ce-cak. Atau tokek untuk menyebut binatang tokek karena bunyinya
to-kek, to-kek. Dan meong untuk kucing. Jadi fitur-fitur semantik yang terbentuk akan
terbedakan berdasarkan bunyi. Maka selain anjing, ada binatang lain yang dikenalnya yakni
sapi, kucing, dan kambing. Binatang ini mengeluarkan bunyi yang berbeda-beda.

Untuk fitur yang mengacu rasa, misalnya ditemukan pada kata susu. Awalnya fitur yang
terbentuk pada minuman adalah sama. Tidak ada beda antara susu, teh, air putih, maupun
obat sirup. Tapi berdasarkan rasa, nanti fitur yang terbentuk akan membedakan antara susu,
teh, kopi, dan obat sirup.
Begitupun fitur yang mengacu gerak. Binatang yang geraknya menjalar disebutnya ular.
Kalau bergerak ke atas naik, ke bawah turun. Ke samping kiri atau kanan. Maju atau mundur,
dengan kode gerakan tangan. Juga mendekat, atau menjauh. Berlari, dengan menirukan
gerakan berlari. Makan, dengan menggerakkan tangan ke arah mulut.

Pemerolehan makna berdasarkan teori ini juga mengacu pada medan makna atau medan
semantik. Menurut Chaer (1990). “Pemerolehan makna kata juga berdasarkan kata yang
berada dalam satu medan makna atau medan semantik.” Umpamanya, kata bawang, cabe,
garam, terasi, dan jahe adalah kata-kata yang berada dalam saru medan semantik karena
kelimanya menyatakan makna ‘bumbu dapur. Kanak-kanak memperoleh makna kata baru
berdasarkan fitur-fitur persepsi dan kategori ysng sama yang ada dalam butir-butir leksikal.
Secara jelas, perkembangan pemerolehan semantik ini melalui empat tahap.

a. Tahap Penyempitan makna

Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun. Pada tahap ini,
kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang dicakup oleh satu makna menjadi nama
dari benda tersebut. Yang disebut [meah] hanyalah kucing yang dipelihara di rumah. Begitu
juga dengan [guk-guk] hanyalah anjing yang ada di rumahnya saja.

b. Tahap generalisasi

Tahap ini berlangsung antara usia satu setengah tahun sampai dua tahun setengah.
Kanak-kanak mul;ai menggeneralisasikan makna sebuah kata secara berlebihan. Yang
dimaksud dengan anjing atau kucing adalah semua binatang yang berkaki empat, termasuk
kambing dan kerbau.

c. Tahap medan semantik

Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai usia lima tahun. Kanak-
kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik.
Prosesnya bermula saat makna kata-kata yang digeneralisasikan berlebihan semakin sedikit
setelah dia memperoleh kata-kata baru untuk generalisasi dikuasai kanak-kanak. Misalnya,
kalau awalnya anjing untuk menyebut semua binatang berkaki empat, setelah dia mengenal
kata kuda, kambing, dan harimau, maka dia dapat menetapkan kata anjing hanya berlaku
untuk anjing saja.
d. Tahap generalisasi

Setelah kanak-kanak berusia lima tahun dia memasuki tahap generalisasi. Dia mulai
mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi. Pengenalan ini akan semakin
sempurna seiring pertambahan usia. Mereka bisa mengenal yang dimaksud hewan. Mereka
bisa menyebut bahwa anjing, kucing, harimau itu hewan. Begitu juga kendaraan. Mereka
mengenal ada sepeda, motor, mobil, kereta api, yang semuanya disebut kendaraan. Lalu
sepeda, perahu, pesawat terbang, juga kendaraan. Generalisasinya semakin luas. Untuk
hewan, nanti mereka akan mengenal ayam, kambing, sapi, kerbau, adalah hewan ternak.

2. Hubungan-hubungan Gramatikal

Mc. Neil yang memperkenalkan hubungan-hubungan gramatikal. Menurut Mc Neil


(1970, saat dilahirkan kanak-kanak sudah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal
dalam nuraninya.

Kanak-kanak pada awal proses pemerolehan bahasa berusaha membentuk satu “kamus
makna kalimat” (sentences-meaning dictionary). Setiap butir leksikal dicantumkan dengan
semua hubungan gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis (meracau).
Pada tahap holofrasis ini kanak-kanak belum mampu menguasai fitur-fitur semantik karena
terlalu membebani ingatan mereka. Jadi, pada awal pemerolehan semantik hubugan-
hubungan gramatikal inilah yang paling penting karena telah tersedia secara nurani sejak
lahir. Dia awalnya hanya mampu mengucapkan mama. Makna yang terkandung dalam kata
itu, memanggil ibunya, menyampaikan informasi kepada ibunya tentang sesuatu yang
dilaminya misalnya celananya basah. Ingin digendong. Atau paling sederhana. Dia hanya bisa
menangis untuk mengungkapkan beberapa informasi. Misalnya menyatakan saya lapar. Saya
mau digendong. Saya tidak tahan celana saya basah oleh kencing. Atau misalnya, tolong
bantu saya karena saya buang air besar. Setelah kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata
pada usia (sekitar 2 tahun) mereka baru mulai menguasai kamus makna kata berdasarkan
makna kata untuk menggantikan kamus makna kalimat yang telah dikuasai sebelumnya.

Contoh: Ma mim (Mama saya mau minum)

Ma mam (Mama saya mau makan)

Ma ndong (mama saya mau gendong).


Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata kanak-kanak
yang dilakukan secara horizontal atau secara vertikal. Secara horizontal artinya pada mulanya
kanak-kanak hanya memasukkan beberapa fitur semantik untuk setiap butir leksikal ke dalam
kamusnya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur-
fitur lainnya secara berangsur-bangsur. Contoh: mim, minum susu, minum teh. Mam, makan
bubur, makan nasi. Makan pagi, makan siang, makan malam. Gendong papa, gendong
belakang, gendong ayun. Secara vertikal artinya kanak-kanak secara serentak memasukkan
semua fitur semantik sebuah kata ke dalam kamusnya, tetapi kata itu terpisah satu sama lain.
Artinya, fitur ini sama dengan fitur-fitur semantik orang dewasa. Contoh: makan bubur-
makan asam garam. Makan telur-makan hati. Anjing mati-Lampu mati. Ayam jantan-ayam
kampung. Burung merpati-burung dipotong.

3. Generalisasi

Teori ini diperkenalkan Anglin. Menurutnya, perkembangan semantik kanak-kanak


mengikuti satu proses generalisasi. Yakni kemampuan kanak-kanak melihat hubungan-
hubungan semantik antara nama-nama benda mulai dari yang kongkret sampai pada yang
abstrak.

Pada tahap permulaan pemerolehan semantik, kanak-kanak hanya mampu menyadari


hubungan-hubungan kongkret yang khusus antara benda-benda itu. Seiring pertambahan
usianya mereka membuat generalisasi kategori yang abstrak yang lebih besar.

Contoh: awalnya kanak-kanak mengetahui kata-kata melati dan mawar. Lalu mereka bisa
menggolongkan mawar dan melati itu dalam kategori bunga. Lalu ada ros, kaktus, anggrek.
Lalu seiring bertambahnya usia, generalisasi yang dilakukan semakin luas. Bahwa bunga itu
adalah bagian dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu ada bunga, rumput, semak-
semak, padi-padian, pohon-pohonan. Sehingga mereka bisa membedakan bunga yang harus
dirawat, rumput yang harus dibasmi, semak-semak yang biasanya merusak pemandangan
kalau tidak ditata, atau pohon duku dan durian yang juga berbunga tetapi tidak termasuk
bunga. Atau, jenis tanaman yang menghasilkan beras, ketan, jagung setelah diolah.

Pemerolehan bahasa diterima kanak-kanak melalui proses generalisasi. Mereka semakin


hari semakin memiliki perbendaharaan semantik yang makin luas. Ada ayam betina, manusia
lelaki, ikan jantan. Tetapi tidak ada kursi jantan, mobil jantan, atau perahu betina.
Contoh lain, generalisasi terhadap kendaraan tidak bermesin sepeda, becak, perahu,
paralayang. Lalu ada sepeda motor, bemo, mocak, speedboat, helikopter.

4. Primitif Universal

Teori ini diperkenalkan Postal dan dikembangkan lebih lanjut oleh Buerwisch dengan
lebih terperinci. Menurut Postal semua bahasa yang ada di dunia ini dilandasi oleh satu
perangkat primitif semantik universal (Kira-kira sama dengan penanda-penanda semantik dan
fitur-fitur semantik) dan rumus-tumus untuk menggabungkan semantik primitif ini dengan
butir-butir leksikal. Sedangkan setiap primitif semantik mempunyai hubungan yang sudah
ditetapkan sejak awal dengan dunia yang ditentukan oleh struktur biologi manusia.

Kanak-kanak belajar dari anggota tubuh dan indranya. Kosakatanya dimulai dari mulut,
gigi, tangan, rambut, kaki, kulit, hidung, dan lain-lain anggota tubuhnya. Atau kondisi alami,
misalnya manis, pahit, asam. Ukuran, besar, tinggi, kecil, panjang. Sedangkan menurut
Bierwisch primitif semantik atau komponen semantik semantik ini mewakili kategori atau
prinsip yang sudah ada sejak awal digunakan manusia untuk menggolongkan struktur benda
atau situasi yang diamati manusia. Selanjutnya Bierwisch menjelaskan bahwa primitif atau
fitur-fitur semantik tidak mewakili ciriciri fisik luar benda tetapi mewakili keadaan psikologi
berdasarkan bagaimana masnuia memproses keadaan sosial dengan fisiknya. Manusia dengan
demikian menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan primitif semantik yang telah
tersedia sejak dia lahir. Atau dengan kata lain teori ini menghubungkan perkembangan
semantik kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum kanak-kanak itu. Karenanya
kanak-kanak yang lahirnya di desa memiliki konsep-konsep alami yang ada di desa. Sawah,
batu, sungai, gubuk. Ayah, ibu, kakak, kepala desa. Atau yang alami, matahari, bulan,
bintang.

Kanak-kanak di pesisir, memperoleh konsep-konsep makna seperti pantai, pasir, laut,


nelayan, jaring angin, ikan, udang, bulan, matahari, layar. Kanak-kanak di kota, memperoleh
konssep-konsep dari sekelilingnya. Seperti televisi, radio, sekolah. Internet, teknologi, mal,
sepatu, kemeja, kaos, rompi.

Pemerolehan semantik kanak-kanak yang berbeda lingkungan sosialnya akan berbeda


satu sama lain. Karena meskipun prinsip alaminya sama, tetapi pada perkembangannya akan
berubah sesuai perkembangan kognitif dan sosial. Malam tidak selamanya gelap bagi kanak-
kanak di kota besar. Ada lampu, ada mal, ada suasana yang ramai, nonton televisi. Berbeda
dengan di desa yang kalau malam hari gelap, sepi, tidur, bunyi jangkrik dan lain-lain. Intinya,
berdasarkan teori ini, konsep-konsep makna diperoleh kanak-kanak berdasarkan fitur-fitur
alami di sekitarnya. Semakin luas lingkungan sosialnya berkembang semakin banyak
pemerolehan semantik yang didapat. Perangkat-perangkatnya sama, sesuatu yang sudah ada
dalam kehidupan manusia tersebut.

Di zaman batu. Misalnya, manusia hanya mengenal perkakas dari batu. Pisau pun hanya
dari batu yang dibuat bentuk khusus agar bisa digunakan memotong. Di kehidupan maju,
konsep pisau dapur, pisau kue, gergaji, gergaji mesin, gunting sudah diterima kanak-kanak
dari lingkungannya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, pemerolehan semantik diperoleh melalui berbagai cara dan tahap.

Kalau menurut teori fitur semantik, pemerolehan bahasa didapat melalui tahap-tahap dengan
memberikan makna pada fitur-fitur yang ada pada kata dimaksud. Tekniknya melalui
beberapa tahap, yakni penyempitan makna, generalisasi berlebihan, medan semantik dan
generalisasi.

Pemerolehan semantik menurut hubungan gramatikal berawal dari makna kalimat yang
dibawa secara alami baru kemudian berkembang pada konsep makna kata.

Melalui generalisasi, pemerolehan semantik melalui tahap kata yang kongkret pada yang
abstrak yang sesuai dengan makna yang ada pada orang dewasa.

Sementara teori prinsip primitif universal, pemerolehan semantik didapat melalui perangkat
primitif yang tersedia sejak lahir dan dihubungkan dengan keadaan sosial.

Pemerolehan semantik didapat saat kanak-kanak belajar bahasa pertama. Dan konsep ini
dapat juga diterapkan dalam pemerolehan bahasa kedua.
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. Semantik, Pengantar Studi tentang Makna. (Malang : Sinar Baru Algesindo, 2003 )

Chaer, Abdul.  Linguistik Umum. (Jakarta: Rineka Cipta, 2014)

-----------. Psikolinguistik Kajian Teoritik. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003 )

Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik : Pengantar Pemahaman Manusia. (Jakarta : Yayasan

Obor Indonesia, 2003)

Harras, Kholid A dan Andhika Dutha Bachari.  Dasar-Dasar Psikolinguistik.

(Depok: UI Press, 2009)

Maksan, Marjusman. Psikolinguistik. (Padang: IKIP Padang Press, 1995)

Simanjuntak, Mangantar . Pengantar Psikolinguistik Modern. (Kuala Lumpur:

Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990)

Verhaar, J.W.M.  Asas-Asas Linguistik Umum. (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2010).

Anda mungkin juga menyukai