Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH KUMPULAN ARTIKEL TERKAIT INTERVENSI DALAM

MENGATASI PERMASALAHAN DALAM LANSIA MENCANGKUP


BIO-PSIKO-SOSIAL-SPRITUAL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik

Dosen Pembimbing: Masadah, M.Kep

Disusun Oleh Kelompok 5 :

1. Desti Ananda
2. Ida Ayu Arundita Rani Putri
3. Muhammad Fachri
4. Nurhassanah
5. Risky Amaliah
6. Yuliati Rokmah

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS KEPERAWATAN
MATARAM
2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
petunjuk serta anugrah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan
Makalah Kumpulan Artiket Terkait Intervensi Dalam Mengatasi
Permasalahan Dalam Lansia Mencangkup Bio-Psiko-Sosial-Spritual ini
tepat pada waktunya. Tujuan dari penyusunan makalah ini untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Gerontik. Makalah ini berisi tentang apa saja intervensi
yang dapat diberikan kepada lansia mencangkup aspek bio-psiko-sosial-
spritual.
Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh banyak bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan
serta arahan selama makalah ini, diantaranya :
1. Ibu Masadah, M.Kep, selaku dosen mata kuliah Keperawatan Gerontik yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan, koreksi serta saran sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.
2. Teman-teman kelompok yang telah sama-sama bekerja keras dalam
menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-
kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dan para pembaca demi kesempurnaan
laporan ini.

Mataram, September 2020

Penyusun
Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan Makalah..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
I. Artikel Terkait Aspek Biologis...........................................................................3
II. Artikel Terkait Aspek Psikologis.....................................................................12
III. Artikel Terkait Aspek Psikologi.......................................................................18
IV. Artikel Terkait Aspek Sosial............................................................................23
V. Artikel Terkait Aspek Spiritual........................................................................31
BAB III PENUTUP...................................................................................................44
A. Kesimpulan.......................................................................................................44
B. Saran.................................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................46

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lansia dikatakan sebagai tahap akhir pada daur kehidupan manusia.
Lansia adalah keadaan yang di tandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi fisiologis yang berkaitan
dengan penurunan kemampuan untuk hidup (Ferry dan Makhfudli, 2009).
Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia disebutkan
bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun (Dewi, S.R,
2014). Namun, menurut WHO, batasan lansia dibagi atas: usia pertengahan
(middle age) yaitu antara 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu 60-74 tahun,
lanjut usia tua (old) 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) diatas 90
tahun (Notoadmodjo, 2011).
Populasi lansia di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat,
bahkan pertambahan lansia menjadi yang paling mendominasi apabila
dibandingkan dengan pertambahan populasi penduduk pada kelompok usia
lainnya. Data World Population Prospects: the 2015 Revision, pada tahun
2015 ada 901 juta orang berusia 60 tahun atau lebih yang terdiri atas12% dari
jumlah populasi global. Pada tahun 2015 dan 2030, jumlah orang berusia 60
tahun atau lebih diproyeksikan akan tumbuh sekitar 56%, dari 901 juta
menjadi 1,4 milyar, dan pada tahun 2050 populasi lansia diproyeksikan lebih
dari 2 kali lipat di tahun 2015, yaitu mencapai 2,1milyar (United Nations,
2015).
Sejak tahun 2000, presentase penduduk lansia Indonesia melebihi
7% (Kemenkes RI, 2014). Berarti Indonesia mulai masuk ke dalam kelompok
negara berstruktur lansia (ageing population). Menurut United Nations, pada
tahun 2013 populasi penduduk lansia Indonesia yangberumur 60 tahun atau
lebih berada pada urutan 108 dari seluruh negara didunia. Diprediksikan pula
bahwa di tahun 2050, Indonesia akan masuk menjadi sepuluh besar negara
dengan jumlah lansia terbesar, yaitu berkisar 10 juta lansia (United Nations,
2013).
Meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut (lansia) tentu
menimbulkan masalah terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan lansia.
Masalah tersebut jika tidak ditangani akan berkembang menjadi masalah yang
lebih kompleks. Masalah yang kompleks pada lansia baik dari segi fisik,
mental, dan sosial berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan mereka

1
(Notoadmodjo, 2011). Secara biologis, lansia akan mengalami proses penuaan
secara terus menerus yang ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan
terhadap serangan penyakit. Secara ekonomi, umumnya lansia lebih dipandang
sebagai beban daripada sumber daya. Secara sosial, kehidupan lansia sering
dipersepsikan secara negatif, atau tidak banyak memberikan manfaat bagi
keluarga dan masyarakat.
Lansia banyak menghadapi berbagai masalah yaitu
komunikasi,kesehatan mental dan keagamaan.Permasalahan kesehatan yang
muncul padalansia erat hubungannya dengan pemenuhan berupa pelayanan
keperawatanpada lansia itu sendiri. Sebagai seorang perawat, bentuk pelayanan
keperawatan terhadap lansia yang digunakan adalah dengan metode secara bio-
psiko-sosio-spiritual. (Nugroho, 2009).
Mengingat betapa pentingnya hal tersebut, maka sangatlah penting
bagi kita sebagai seorang perawat memahami tentang intervensi yang berkaitan
dengan permasalahan pada lansia baik dalam aspek bio-psiko-sosial-spritual.
Maka dari itu dalam makalah ini, kelompok akan memaparkan kumpulan artikel
terkait permasalahan lansia yang mencangkup bio-psiko-sosial-spritual.

B. Rumusan Masalah
1. Apa salah satu intervensi yang dapat diberikan pada lansia dengan masalah
aspek biologis?
2. Apa salah satu intervensi yang dapat diberikan pada lansia dengan masalah
aspek psikologis?
3. Apa salah satu intervensi yang dapat diberikan pada lansia dengan masalah
aspek aspek sosial?
4. Apa salah satu intervensi yang dapat diberikan pada lansia dengan masalah
aspek aspek spritual?

C. Tujuan Makalah
1. Diharapkan mahasiswa dapat memahami salah satu intervensi yang dapat
diberikan pada lansia dengan masalah aspek biologis.
2. Diharapkan mahasiswa dapat memahami salah satu intervensi yang dapat
diberikan pada lansia dengan masalah aspek psikologis.
3. Diharapkan mahasiswa dapat memahami salah satu intervensi yang dapat
diberikan pada lansia dengan masalah aspek sosial.
4. Diharapkan mahasiswa dapat memahami salah satu intervensi yang dapat
diberikan pada lansia dengan masalah aspek spritual.

2
BAB II
PEMBAHASAN

I. Artikel Terkait Aspek Biologis


PENGARUH SUPPORTIVE EDUCATIVE TERHADAP SELF CARE PASIEN
HIPERTENSI PADA SALAH SATU PUSKESMAS DI BANDUNG
Endang Lukmawati1, Angga Wilandika2, Anggriyana Tri Widianti3
endanglukma@gmail.com

ABSTRAK

Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskuler yang mengalami peningkatan kejadian


penyakit. Hipertensi salah satu penyakit kronis yang membutuhkan self care (perawatan diri)
hal ini karena pasien hipertensi sering mengkonsumsi makanan yang berlemak dan garam
berlebihan dengan adanya self care pasien mampu untuk mendeteksi, mengelola gejala
dan perubahan gaya hidup yang terkait dengan hipertensi apabila penderita hipertensi
tidak melakukan self care maka akan memperparah hipertensi dan menimbulkan
komplikasi. Supportive educative (dukungan pendidikan) sangat dibutuhkan karena untuk
meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh supportive educative terhadap self care pada pasien hipertensi di salah satu
Puskesmas di Kota Bandung. Jenis penelitian ini kuantitatif dengan desain pre eksperimental
(one group pretest-posttest). Sampel yang dilibatkan dalam penelitian ini yaitu lansia
yang menderita hipertensi sebanyak 10 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan
Cluster Sampling. Pengambilan data menggunakan kuesioner Self Care Management.
Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis inferensial
dengan menggunakan uji paired t-test. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan antara self care sebelum dan sesudah diberikan intervensi supportive
educative (p-value 0,001; α = 0,005) dengan skor mean 42,90 lebih rendah dibandingkan
dengan sesudah diberikan intervensi sebesar 56,70. Hasil penelitian ini diharapkan
menjadi rujukan bagi petugas kesehatan untuk melakukan intervensi keperawatan dalam
meningkatkan self care melalui intervensi supportive educative. Dimana dengan supportive
educative ini bisa meningkatkan self care pada pasien hipertensi dalam aspek manajemen
berat badan, makan rendah garam, aktivitas fisik, manajemen stres, membatasi alkohol,
membatasi merokok, dan penggunaan terapi.

Kata Kunci: hipertensi, supportive educative, self care

3
ABSTRACT
Hypertension is a cardiovascular disease that has been increasing recently in terms of its
case. It is one of the chronic diseases that require self care since people with the disease often
consume excessively fat and high salted foods. By applying the self-care, they can detect and
manage symptoms and lifestyle changes associated with the disease. If they do not do it, it
will worsen the disease and cause some complications. Supportive educative is urgently
needed because of improved adherence to treatment. This research is aimed at identifying
the influence of educative support on self-care for hypertensive patients in one of Puskesmas
in Bandung. This research was a qualitative research using the pre-experimental design (one
group pretest- posttest). The samples involved in this study were 10 elderly who suffer from
hypertension. This research used Cluster Sampling as the sampling technique. The data were
collected using The self-care Management questionnaire. The data were analyzed using
inferential analysis by using the paired t-test. The results show that there is a significant
influence between self- care before and after given supportive educative intervention (p-value
0.001; α = 0.005) with 42.90 of mean which is lower than after intervention, 56.70. The
results of this study are expected to be a reference for health workers to conduct nursing
interventions in improving self care through supportive educative intervention. The
intervention can improve self-care in hypertensive patients in aspects of weight management,
low-salt meal, physical activity, stres management, alcoholic beverages control, smoking
control, and therapy use.

Keywords: hypertension, supportive educative, self care

A. PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO) tahun 2015, mencatat bahwa


hipertensi merupakan penyakit yang menyebabkan kematian dengan
prevalensi sebesar 22%. Jumlah penderita hipertensi di Indonesia
mencapai 23,3% (Hazwan and Pinatih, 2017). Peningkatan 9,4 juta
kejadian kematian disebabkan oleh komplikasi dari hipertensi
(Riskesdas, 2013). Hal ini berarti hipertensi akan menjadi masalah yang
serius jika tidak ditangani sedini mungkin dan akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi yang dapat muncul dari hipertensi seperti
penyakit stroke, kerusakan ginjal dan jantung (Roza, 2017). Penurunan
tekanan darah dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner sekitar
20-25% dan risiko stroke sekitar 35-40%. Masalah terjadinya
komplikasi tidak disadari oleh sebagian besar masyarakat (Sutini and
Emaliyawati, 2018).

4
Terjadinya komplikasi akan semakin bertambah seiring dengan
gaya hidup yang tidak sehat dan ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi
obat antihipertensi Kebiasaan gaya hidup yang tidak sehat dapat terlihat
dalam kebiasaan merokok (Priyadarshini, 2016) dan tidak rutin dalam
melakukan aktivitas fisik (Andria, 2013). Kebiasaan atau pola hidup
seperti itu merupakan kesalahan utama yang dilakukan penderita
hipertensi dan dapat memperburuk keadaan hipertensi (Pujasari et al.,
2017). Ketidakpatuhan pasien dalam melakukan pengobatan salah
satunya dapat dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan dan
pemahaman tentang penyakit. Kurangnya pengetahuan pasien tentang
hipertensi dan pengobatannya mengakibatkan kegagalan dalam
pengobatan hipertensi dan dalam mengatasi kekambuhan atau
melakukan pencegahan agar tidak terjadi komplikasi (Jamalianti, 2016).
Pengelolaan pada pasien hipertensi tidak hanya dipengaruhi oleh
pengetahuan dan sikapnya namun juga dipengaruhi oleh kemandirian.

Waren-Findlaw (2013) mengemukakan hipertensi merupakan


salah satu penyakit kronis yang membutuhkan manajemen perawatan
diri. Perawatan diri salah satu aktivitas yang dilakukan oleh individu
untuk menjaga kesehatan secara mandiri. Perawatan diri tersebut seperti
manajemen berat badan, makan rendah garam, aktivitas fisik,
manajemen stres, membatasi merokok, membatasi alkohol, dan
penggunaan terapi.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bandung tahun 2017


mencatat bahwa di UPT Puskesmas Talagabodas dan jejaring
mengalami peningkatan jumlah kasus lama dan kasus baru penderita
hipertensi. Jumlah di Puskesmas Talagabodas kasus lama 821 kasus
baru 1127.

Kunjungan penderita hipertensi ke posbindu RW 10 Kelurahan


Malabar Wilayah Kerja Puskesmas Talagabodas pada Bulan Januari-
Maret 2018 sebanyak 35 orang. Hasil wawancara singkat dengan
penderita hipertensi di Kelurahan Malabar mengatakan bahwa mereka
belum mengetahui tentang bagaimana perawatan diri pada penderita

5
hipertensi. Sebagian besar 23,3% responden patuh minum obat, hampir
setengahnya 14,2% patuh dalam melakukan diet hipertensi, sebagian
kecil 8% responden tidak membatasi merokok, 8% patuh melakukan
aktivitas fisik, mayoritas 22,8% responden masih mengkonsumsi garam
berlebihan, dan seluruh responden tidak mengkonsumsi alkohol. Pasien
hipertensi yang menerapkan perilaku gaya hidup sehat dan perawatan
diri yang baik dapat menurunkan permasalahan gejala penyakit
kardiovaskuler. Oleh karena itu upaya modifikasi gaya hidup dapat
mendukung program pengontrolan tekanan darah pada pasien hipertensi.
Salah satu intervensi yang dapat meningkatkan keterampilan perawatan
diri pasien ini dapat menggunakan supportive educative. Supportive
educative merupakan dukungan pendidikan yang memberikan energi
untuk memperkuat perilaku perawatan diri dan dapat mendorong pasien
untuk menggunakan sumber daya yang ada untuk mengatasi gejala yang
dialami terutama pada pasien dengan hipertensi (Wulansari et al., 2013).

B. METODOLOGI

Pengujian pengaruh supportive educative terhadap self care pada


pasien hipertensi di RW 10 Kelurahan Malabar Wilayah Kerja
Puskesmas Talagabodas dilakukan dengan desain penelitian pre-
eksperimental dengan rancangan one group pretest-posttest design.
Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah dilaksanakan supportive
educative. Responden penelitian ini adalah lansia yang berada di RW 10
dan mengikuti kegiatan posbindu yaitu sebanyak 10 orang. Pengambilan
data pada penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner self
care management dari Peters dan Templi (2008) dan dimodifikasi oleh
Prasetyo (2012). Data dianalisis dengan statistik deskriptif untuk
mendapatkan penentuan skor rata-rata, mean dan standar deviasi. Uji beda
sebelum dan sesudah perlakuan menggunakan statistik inferensial
dengan paired t-test.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lansia penderita hipertensi yang terlibat dalam penelitian ini


sejumlah 10 orang dengan rentang usia 45-90 dengan rerata usia 60-74

6
tahun (70%). Sebagian besar penderita hipertensi berpendidikan SD
(80%). Mayoritas berjenis kelamin perempuan (70%). Sebagian besar
tidak mengalami komplikasi (60%). Mayoritas penderita hipertensi
memiliki Bodi Mass Indeks (BMI) yang overweight (70%). Adapun
hasil skor self-care sebelum dan sesudah perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Rerata Skor Self-Care Sebelum dan Sesudah Kegiatan


Supportive Educative di RW 10 Malabar Wilayah Kerja Puskesmas
Talagabodas Bandung Mei-Juni 2018 (n=10)

Tahapan Mean ±
Kegiata SD
n
Pre-test 42,90 ±
7,109

Post-test 56,70 ±
5,376
1.
2.

menunjukan terdapat perubahan skor self care sebelum dan sesudah mengikuti supportive
educative. Perubahan tersebut dapat dilihat dari skor Mean ± SD. Skor self-care sebelum
diberikan supportive educative sebesar 42,90 ± 7,109 dan sesudah diberikan suportive
educative sebesar 56,70 ± 5,376

Tabel 2.Hasil Uji Pengaruh Supportive Educative Terhadap Self-


Care Pada Pasien Hipertensi di RW 10 Malabar Wilayah Kerja
Puskesmas Talagabodas Bandung Mei-Juni 2018 (n=10)

Tahapan T-Test
Paired
Kegiata
n
Pre-test P Value

Post-test 0,001

7
Berdasarkan Tabel 2. Intervensi supportive educative terhadap self-
care pada pasien hipertensi di RW 10 Malabar Wilayah Kerja
Puskesmas Talagabodas Bandung menunjukan bahwa nilai (p) = 0,001
lebih kecil dari 0.05 artinya Ha diterima.

Dengan demikian, apabila dilihat dari hasil uji statistik untuk self-care
pada pasien hipertensi sebelum dan sesudah dilakukan supportive
educative, terlihat bahwa penerapan supportive educative ini dapat
merubah self care pada pasien hipertensi.

D. PEMBAHASAN

Supportive educative adalah suatu metode dukungan


edukasi yang dilakukan secara kelompok yang dapat
meningkatkan perawatan diri dengan menggunakan berbagai
metode seperti teaching (pengajaran yang dapat meningkatkan
pengetahuan tentang penyakit), guiding (bimbingan yang
memberikan solusi pemecahan masalah bagi penderita untuk
lebih memiliki kepercayaan terhadap upaya penanganan
penanganan penyakit), providing environment (lingkungan yang
dapat memberikan dan mendukung keterampilan penderita dalam
upaya perawatan diri (Darmansyah et al., 2017).

Kemampuan perawatan diri yang baik pada pasien


hipertensi bertujuan untuk mencegah dan meminimalkan resiko
yang terjadi akibat dari penyakit yang dideritanya. Banyak hal
yang menyebabkan ketidakmampuan mengendalikan hipertensi
ini. Adapun strategi self-care dalam gaya hidup penting untuk
mencegah peningkatan tekanan darah dan modifikasi gaya hidup
pada orang dengan penyakit hipertensi.

Supportive educative dapat meningkatkan perawatan diri


karena Supportive educative adalah salah satu intervensi yang
dapat dilakukan perawat kepada pasien mengenai pentingnya
dalam pemahaman penyakit, pengobatan, mengelola tanda gejala,

8
dan cara merawat diri mereka sendiri. Selain itu, supportive
educative memiliki beberapa macam strategi seperti dukungan
pembelajaran dan terdapat periode diskusi di setiap akhir sesi
(Etemadifar et al., 2014).

Hasil penelitian yang ada didukung atau sejalan dengan


hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuridayanti et al. (2018)
yang memberikan intervensi edukasi dengan frekuensi empat kali
dalam empat minggu dan pengukuran tekanan darah dilakukan
setiap kali peneliti melakukan intervensi.

Pengukuran tekanan darah rutin dilakukan untuk mengetahui


peningkatan tekanan darah yang tidak dirasakan oleh penderita
hipertensi, seseorang yang mendapatkan yang mendapatkan
pendidikan kesehatan dan ingin melakukan diet serta
mengkonsumsi obat secara teratur maka asupan natrium di dalam
tubuh berkurang menyebabkan keseimbangan cairan terjaga
sehingga tekanan darah normal.

Intervensi dalam penelitian ini menggunakan metode


ceramah. Menurut Notoatmodjo (2010) mengungkapkan bahwa
metode ceramah adalah suatu cara dalam menerangkan dan
menjelaskan ide pengertian atau pesan secara lisan kepada individu
atau kelompok sasaran sehingga memperoleh informasi tentang
kesehatan dan metode ini merupakan metode yang paling sering
digunakan dalam memberikan pendidikan kesehatan. Media yang
digunakan adalah modul atau booklet dan power point.

Waktu yang digunakan pada penelitian ini dalam


menyampaikan materi menggunakan modul atau booklet dan
power point adalah 35- 60 menit. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Mardhiah dkk. (2015) yaitu intervensi yang
dilakukan secara kelompok di aula puskesmas Indrajaya dengan

9
menggunakan media booklet dan power point diberikan selama 60
menit dengan materi pendidikan kesehatan tentang perawatan diri
pasien hipertensi. Durasi 60 menit lebih efektif digunakan dalam
melakukan pendidikan kesehatan.

Perubahan skor self care sebelum dan sesudah


perlakuan supportive educative menunjukkan bahwa intervensi
supportive educative mempengaruhi perubahan self care. Hal ini
menunjukkan bahwa supportive educative memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap self care pada pasien hipertensi sebelum
dan sesudah dilakukan intervensi supportive educative.

Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor yang


mempengaruhi supportive educative dalam meningkatkan self care.
Dukungan petugas kesehatan sangat penting bagi penderita. Selain
itu faktor lain yang berpengaruh juga adalah dukungan keluarga.
Dukungan keluarga adalah sikap atau tindakan dan penerimaan
keluarga terhadap penderita yang sakit dan merupakan suatu
bentuk perhatian, dorongan yang dapat merubah sikap seorang
individu dalam melakukan perawatan diri.

Selain itu faktor yang berpengaruh terhadap self-care


pasien hipertensi ini adalah pengetahuan. Diketahui bahwa pasien
yang tidak patuh terhadap perawatan diri adalah pasien yang
berpengetahuan kurang sedangkan pasien yang patuh terhadap
perawatan diri memiliki pengetahuan yang baik (Novian, 2013).

Pendidikan kesehatan merupakan salah satu intervensi


keperawatan yang efektif untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam pentingnya pemahaman yang tepat mengenai
hipertensi. Intervensi tersebut dapat berpengaruh terhadap
perubahan kemampuan dalam meningkatkan pengetahuan
(Mardhiah and Asnawi Abdullah, 2015). Pemberian edukasi diet

10
dan terapi obat mempengaruhi perilaku diet, kepatuhan minum
obat, dan penurunan tekanan darah penderita hipertensi. Edukasi
merupakan proses interaktif yang mendorong terjadinya
pembelajaran, menambah pengetahuan baru, merubah sikap, serta
ketrampilan melalui penguatan praktik dan pengalaman tertentu
(Nuridayanti et al., 2018)

E. SIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menyimpulkan adanya perbedaan yang bermakna secara


statistik (p-value < 0,05) sebelum dan sesudah dilakukan supportive educative
terhadap self care pada pasien hipertensi. Oleh karena itu hipotesis alternatif
(Ha) diterima. Dengan demikian, ada pengaruh supportive educative terhadap self
care pada pasien hipertensi.

Upaya untuk memperbaiki self care pada pasien hipertensi terutama yang
dilakukan oleh petugas kesehatan dapat dilakukan melalui penyuluhan yang
tepat pada saat kegiatan posbindu. self care yang baik melalui pendekatan
dukungan pendidikan atau supportive educative mengenai konsep dasar
hipertensi, pengelolaan gejala, beradaptasi dengan perubahan kondisi, dan
perawatan diri yang dilakukan oleh pasien hipertensi dapat mengontrol tekanan
darah dan meminimalkan angka kejadian komplikasi akibat hipertensi.

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh kalangan akademisi, pihak pendidikan
dan praktisi kesehatan seperti perawat dapat dijadikan sebagai rujukan untuk
melakukan intervensi keperawatan dalam meningkatkan self care melalui supportive
educative.

Dimana dengan supportive educative ini bisa meningkatkan self care pada
pasien hipertensi dalam aspek manajemen berat badan, makan rendah garam,
aktivitas fisik, manajemen stres, membatasi merokok, membatasi alkohol, dan
penggunaan terapi. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukan
pengukuran pengetahuan menggunakan kuesioner sehingga peneliti tidak

11
mengetahui pengetahuan pasien hipertensi sebelum dilakukan intervensi supportive
educative.

II. Artikel Terkait Aspek Psikologis

JAVANESE ART’S THERAPY SEBAGAI INTERVENSI MENURUNKAN


TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI WREDA HARAPAN IBU
SEMARANG

I Putu Krisna Widya Nugraha*, Hellen Marini, Utami Dwi Yusli,


Anteng Ambarwati, Ika Rahmawati, Rita Hadi Widyastuti
Departemen Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro
Jln. Prof. Soedarto, S.H., Tembalang, Semarang 50275
Email : putukrisna.undip@gmail.com
Submisi: 04 Juni 2017; Penerimaan: 22 November 2017

ABSTRAK
Depresi merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia. Tanda
dan gejala depresi, antara lain, perasaan sedih yang ekstrim, minat yang rendah untuk
beraktivitas, dan ketidakmampuan untuk merasakan kebahagiaan. Salah satu
penyebab depresi pada lansia adalah faktor psikologis, misalnya dukungan sosial.
Alternatif solusi yang dapat digunakan untuk menangani masalah depresi pada lansia
adalah Javanese Art’s Therapy dalam bentuk Terapi Aktivitas Kelompok (TAK).
Terkait hal itu, program pengabdian masyarakat ini bertujuan untuk memberikan
pembinaan terapi depresi melalui kombinasi tari dan musik gamelan guna
menurunkan tingkat depresi pada lansia di Panti Wreda Harapan Ibu, Semarang.
Metode yang digunakan dalam program ini meliputi penyuluhan, implementasi TAK,
dan evaluasi. Program ini melibatkan 42 lansia di Panti Wreda Harapan Ibu,
Semarang. Sebanyak 22 lansia dari 42 lansia mengikuti pre-test. Hasilnya
menunjukkan bahwa 15 lansia mengalami depresi. Penyuluhan mengenai depresi
dilakukan kepada semua lansia dan pengasuh dengan menggunakan media gambar.
TAK dilakukan selama 30 menit dalam 2 sesi. Masing-masing sesi 15 menit. Tahap
evaluasi dilakukan dengan mengkaji perasaan para lansia menggunakan instrumen
Geriatric Depression Scale (GDS). TAK Javanese Art’s Therapy mampu
menurunkan tingkat depresi pada lansia di Panti Wreda Harapan Ibu, Semarang.

Kata kunci: depresi, Javanese Art’s Theraphy, lansia

12
A. PENDAHULUAN
Keberhasilan pencapaian program kesehatan dan kesejahteraan suatu negara
dapat dilihat dari peningkatan usia harapan hidup (Badan Pusat Statistik, 2013).
Tingginya usia harapan hidup berdampak pada tingginya populasi lansia di suatu
negara. Data WHO menyebutkan bahwa populasi lansia di kawasan Asia
Tenggara sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa pada tahun 2010. Populasi lansia
diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050. Pada tahun 2000,
jumlah lansia mencapai 5.300.000 (7,4%) dari total populasi. Adapun pada tahun
2010 jumlah lansia mencapai 24.000.000 (9,77%) dari total popula si dan pada
tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia akan mencapai 28.800.000 (11,34%) dari
total populasi. Di Indonesia, pada tahun 2020, jumlah lansia diperkirakan akan
mencapai 80.000.000 (Kemenkes RI, 2016).
Depresi merupakan salah satu masalah yang bisa terjadi pada semua golongan
usia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh IGM Agus, Nyoman, dan
Wayan (2015) dalam Ramin (2014) diketahui bahwa semakin tinggi usia
seseorang, risiko terjadinya depresi juga semakin tinggi. Peluang terjadinya
depresi pada lansia tergolong cukup tinggi, yaitu sekitar 13 persen dari populasi
lanjut usia dan 4 persen di antaranya menderita depresi mayor (Saputri dan
Endang, 2011). Depresi pada lansia ditandai dengan perasaan sedih yang ekstrim,
minat yang rendah terhadap aktivitas, dan ketidakmampuan untuk merasakan
kebahagiaan (Kleisiaris, dkk., 2013). Depresi pada lansia sering terjadi karena
faktor psikologis yang meliputi tipe kepribadian dan relasi interpersonal yang
mencakup dukungan sosial. Menurut Mudjaddid (2003), pengalaman berduka,
kehilangan orang yang dicintai, kesulitan ekonomi, perubahan situasi, stres
kronis, dan penggunaan obat-obatan tertentu menjadi pemicu depresi pada orang-
orang lanjut usia (Mudjaddid, 2003).
Depresi memiliki beberapa dampak negatif dan bisa menjadi masalah yang
kronis. Dampak umum yang biasa terjadi adalah ketidakmampuan lansia dalam
mengurus dirinya sendiri serta depresi yang mengarah pada tindakan bunuh diri
(Dani,Yaslinda, dan Edison, 2014). Dampak lain depresi dapat berupa gangguan
fisik, seperti insomnia, nyeri yang memicu hipertensi, serta gangguan perilaku
seperti menarik diri dari lingkungan sosial (Irawan, 2013).
Dalam mengatasi depresi, musik dan tari merupakan komponen terapi
nonfarmakologis yang efektif (Kittrell, 2015). Penelitian yang telah dilakukan
membuktikan bahwa musik gamelan dengan nada pelog dapat menurunkan

13
depresi pada lansia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan perbedaan bermakna
pada nilai GDS sebelum dan setelah mendapat terapi musik gamelan dengan nada
pelog (Rita, 2013). Adapun tarian merupakan seni yang dapat dikolaborasikan
dengan musik gamelan. Berdasarkan penelitian yang pernah ada telah terbukti
bahwa terapi tari (dance/ movement theraphy) dapat menurunkan angka depresi.
Penurunan depresi terjadi karena tubuh memproduksi hormon serotonin dan
dopamin saat lansia melakukan terapi tari. Hormon serotonin dan dopamin
merupakan hormon yang berfungsi memicu rasa bahagia dan koping stres (Mala,
Vicky, dan Bonnie, 2012).
Tari Jawa, khususnya tari Gambang Semarang merupakan tari yang tepat
untuk dikolaborasikan dengan terapi musik gamelan. Gerakan tari Gambang
Semarang sederhana sehingga mudah diikuti oleh lansia, khususnya yang berada
di daerah Semarang. Gerakan tari diharapkan dapat menjadi wadah dalam
mengekspresikan perasaan lansia yang mengalami depresi sehingga dapat
dicegah dan diatasi. Ada beberapa panti wreda di daerah Semarang yang menjadi
pusat rehabilitasi lansia. Salah satunya adalah Panti Wreda Harapan Ibu di Kota
Semarang. Berdasarkan survei yang telah dilakukan diketahui bahwa di Panti
Wreda. Harapan Ibu belum pernah dilakukan intervensi Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) berupa tarian Jawa yang dikombinasikan dengan musik
gamelan.
Kegiatan pengabdian ini bertujuan untuk memberikan pembinaan terapi
depresi melalui kombinasi tari dan musik gamelan guna menurunkan tingkat
depresi pada lansia. Sasaran kegiatan ini adalah lansia di Panti Wreda Harapan
Ibu, Semarang. Sasaran dipilih berdasarkan survei awal dengan GDS yang
menunjukkan masih banyaknya lansia yang mengalami depresi. Selain itu,
sasaran juga dipilih berdasarkan informasi dari pengurus panti yang menyatakan
keseriusannya untuk mengatasi masalah depresi pada lansia di Panti Wreda
Harapan Ibu, Semarang.

B. METODE PENELITIAN
Sosialisasi dan penyuluhan dilakukan kepada lansia dan pengasuh di Panti
Wreda Harapan Ibu. Penyuluhan meliputi konsep depresi pada lansia dan
kegiatan TAK Javanese Art’s Therapy. Pengasuh dan lansia dikenalkan pada
penyebab depresi dan tanda gejala yang lazim muncul saat lansia mengalami
depresi. Sosialisasi dan penyuluhan tersebut menggunakan media gambar yang
berisi ekspresi lansia yang mengalami depresi. Gambar-gambar tersebut
dijelaskan secara lisan dan dilengkapi dengan buku panduan yang memuat
konsep singkat depresi, tanda gejala yang muncul pada lansia, dan panduan untuk

14
melakukan TAK. Kegiatan TAK dilakukan dengan memutarkan instrumen musik
gamelan dan mengajarkan gerakan tari Gambang Semarang.
Evaluasi program juga dilakukan untuk mengetahui tingkat penurunan skor
depresi sebelum dan setelah dilakukannya kegiatan TAK. Evaluasi tersebut
dilakukan dengan pre-test dan post-test sebelum dan setelah dilakukannya
kegiatan TAK. Dari data tersebut akan diketahui hasil pelaksanaan kegiata n
TAK, yakni berjalan efektif dan mengenai sasaran atau sebaliknya.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Kegiatan PKM dilaksanakan di Panti Wreda Harapan Ibu, Semarang. Secara
keseluruhan, kegiatan pengabdian masyarakat tersebut berjalan dengan lancar.
Sosialisasi kegiatan TAK (Terapi Aktivitas Kelompok) dilakukan oleh I Putu
Krisna Widya Nugraha sebagai ketua kelompok. Tim melakukan screening
tingkat depresi sebelum dilakukan sosialisasi. Alat screening depresi lansia yang
digunakan adalah Geriatric Depression Scale (GDS) yang dokumentasinya dapat
dilihat pada gambar 1. Sosialisasi dilakukan kepada 42 lansia berjenis kelamin
perempuan dengan rentang usia 51—60 tahun (3 orang), 61—70 tahun (14
orang), 71—80 tahun (14 orang), dan 81—90 tahun (11 orang). Topik yang
disampaikan dalam sosialisasi adalah pemaparan masalah yang sering ditemukan
pada lansia yang salah satunya adalah depresi. Tahap selanjutnya, tim
menjelaskan dampak yang ditimbulkan karena depresi serta solusi untuk
menanggulangi dampak negatifnya. Solusi yang diberikan untuk mengurangi
dampak tersebut adalah dilaksanakannya terapi aktivitas kelompok oleh lansia
dan pengasuh. Terapi aktivitas kelompok yang dilakukan berupa pemberian
pelatihan aktivitas penyemangat dengan menggunakan tari Gambang Semarang
yang dipadukan dengan musik gamelan.
Rangkaian kegiatan TAK terlebih dahulu diawali dengan gerakan pemanasan.
Lansia diberi gerakan pemanasan, seperti menggerakan kaki, tangan, dan
pinggang. Tahap selanjutnya, lansia dikenalkan dengan beberapa gerakan tari
yang dipandu oleh tim. Beberapa gerakan yang telah dikenalkan kemudian
dicoba bersama-sama dengan diiringi lagu tarian Gambang Semarang dan musik
gamelan. Strategi untuk menghafalkan gerakan-gerakan tari tersebut adalah
dengan mengulanginya sebanyak tiga kali berturut-turut. Jeda diberikan ketika
lansia mulai merasa lelah. Jeda tersebut digunakan untuk beristirahat dan
mengevaluasi gerakan-gerakan yang sudah dihafalkan oleh para lansia. Setelah
menanyakan kepada mereka diketahui bahwa hanya satu atau dua orang lansia
yang sudah hafal gerakan yang telah diperagakan bersama. Hal ini dapat

15
ditoleransi karena daya ingat lansia yang mulai menurun seiring bertambahnya
usia. Meskipun demikian, para lansia di Panti Wreda Harapan Ibu sangat antusias
dan kooperatif ketika mengikuti kegiatan TAK. Antusiasme para lansia ketika
mengikuti kegiatan TAK ditunjukkan melalui persiapan mereka sebelum kegiatan
TAK dimulai. Lansia yang tidak memiliki gangguan mobilitas segera melakukan
persiapan dan mandi. Hal itu dapat dilihat pada gambar 2 di atas. Para lansia yang
memiliki gangguan mobilitas juga menunjukkan antusiasnya dengan bersikap
kooperatif ketika dibantu untuk perawatan diri, baik ke kamar mandi maupun
perawatan diri di tempat tidur. Semua lansia yang mengikuti TAK bersemangat
dan menunjukkan ekspresi senang seperti terlihat pada gambar 3, 4, dan 5.
Selanjutnya, evaluasi juga dilakukan dengan mewawancarai para lansia
tentang perasaan mereka setelah mengikuti kegiatan TAK Javanese Art’s
Therapy. Hal itu terlihat pada gambar di bawah ini. Menurut para lansia, kegiatan
ini sangat bermanfaat karena dapat membuat hati senang, melupakan pikiran-
pikiran negatif, tidak merasa kesepian, badan menjadi segar karena mengeluarkan
keringat, kejenuhan berkurang, serta dapat bersenda gurau dengan lansia-lansia
yang lain. Para lansia juga sangat bersyukur dengan adanya program ini karena
mereka merasa diperhatikan dan dipantau setiap saat. Tim juga mewawancarai
para pengasuh panti asuhan mengenai perkembangan penurunan depresi para
lansia setelah beberapa kali mengikuti kegiatan TAK. Pihak panti mengucapkan
terima kasih atas diselenggarakannya kegiatan TAK yang sangat membantu
proses pengasuhan para lansia.
Mereka mengatakan bahwa depresi pada para lansia di Panti Wreda Harapan
Ibu merupakan masalah yang membutuhkan penanganan yang lebih serius. Hal
itu disebabkan depresi yang dialami oleh para lansia akan berdampak ke hal-hal
lain. Pihak panti juga memberikan respons yang positif karena kegiatan TAK
membuat para lansia setiap hari terlihat lebih bersemangat. Selain itu, pihak panti
juga menerima dengan baik saran dari tim untuk tetap melakukan kegiatan TAK
setiap minggu dengan CD dan buku panduan yang diberikan agar kegiatan TAK
terus berlanjut.
Hal lain yang diperlukan dalam pelaksanaan TAK selain dukungan sosial dari
pengurus panti atau care giver adalah dukungan dari teman sebaya. Dukungan
sosial yang bersumber dari teman sebaya memengaruhi respons dan perilaku
lansia sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan atau kualitas hidup mereka
(Azwan, Herlina, dan Darwin, 2015). Kualitas hidup yang baik pada lansia akan
dapat mencegah masalah depresi atau mengurangi depresi yang lebih lanjut.
Prosedur yang dilakukan sebelum kegiatan TAK adalah screening GDS yang
dilakukan oleh Tim. Screening GDS bertujuan untuk mengetahui tingkat depresi
para lansia. Pre-test dilakukan kepada 22 lansia dari 42 lansia yang berada di
Panti Wreda Harapan Ibu, Semarang. Berdasarkan hasil pre-test diketahui bahwa
sebanyak 15 lansia (68%) mengalami depresi. Adapun post-test dilaksanakan
setelah TAK 4. Post-test bertujuan untuk mengetahui penurunan tingkat depresi
lansia setelah mengikuti TAK. Berdasarkan hasil post-test diketahui bahwa

16
sebanyak 13 lansia (59%) mengalami penurunan skor di bawah 5 yang
menunjukkan bahwa 13 lansia tersebut tidak mengalami depresi. Hasil screening
GDS menunjukkan dua lansia memiliki skor GDS di atas 5 yang berarti bahwa
dua lansia tersebut masih mengalami depresi. Hasil pre-test dan post-test dapat
dilihat pada diagram 1 berikut ini.
Penelitian yang dilakukan Torres (2014) menunjukkan bahwa terapi musik
yang dilakukan pada lansia dapat menurunkan angka depresi, yakni dari lima
puluh lansia menjadi tiga lansia. Pemberian terapi musik pada lansia dapat
meningkatkan suasana hati, meningkatkan interaksi sosial mereka dengan
keluarga, menurunkan rasa kesepian dan keterasingan, mengurangi gangguan
memori, dan memperkuat harga diri (Torres, 2014). Hal tersebut juga didukung
oleh hasil penelitian Wulandari (2011) yang menyimpulkan bahwa lansia yang
tinggal di panti wreda memiliki tingkat depresi lebih tinggi daripada lansia yang
tinggal di komunitas. Lansia yang berada di panti wreda jauh dari keluarga dan
sering merasa diabaikan oleh keluarganya sehingga banyak lansia yang merasa
kesepian. Fenomena tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Aylaz, R, (2012) di Turkey yang menunjukkan adanya hubungan positif antara
kesepian dengan kejadian depresi pada lansia (r=0.608, p<0.001).
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa kegiatan pengabdian TAK
Javanese Art’s Therapy ini telah berdampak pada para lansia, yakni menurunkan
tingkat depresi seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Hal tersebut juga
didukung oleh tanggapan dan jawaban dari pihak panti ketika diwawancarai.
Melalui komunikasi yang baik antara tim pelaksana, para lansia, dan pihak panti,
kegiatan TAK Javanese Art’s Therapy diharapkan dapat terus berlanjut sebagai
intervensi penurunan tingkat depresi pada lansia.

D. SIMPULAN
Kegiatan PKM berupa implementasi TAK Javanese Art’s Therapy sebagai
intervensi menurunkan tingkat depresi pada lansia dilaksanakan di Panti Wreda
Harapan Ibu, Semarang. Antusiasme dari lansia selaku sasaran kegiatan cukup
baik. Hal tersebut terlihat dari awal hingga akhir kegiatan. Secara keseluruhan,
kegiatan pengabdian masyarakat ini berjalan dengan lancar. Namun, masih ada
hambatan yang terjadi. Hambatan tersebut adalah penurunan kognitif yang mulai
dialami oleh para lansia sehingga mereka kesulitan untuk menghafal gerakan.
Solusi untuk mengatasi hambatan tersebut adalah dengan pemberian CD dan
buku panduan untuk mempermudah lansia dan pihak panti melakukan TAK
Javanese Art’s Therapy. Berdasarkan hasil evaluasi diketahui bahwa skor depresi
pada lansia di Panti Wreda Harapan Ibu menurun. Hal tersebut menjadi salah satu
indikator keberhasilan kegiatan PKM yang telah dilaksanakan. Selain itu, pihak
Pengurus Panti Wreda Harapan Ibu, Semarang merasa senang dan menyambut
baik kegiatan PKM ini.

17
III. Artikel Terkait Aspek Psikologi

APLIKASI STRATEGI INTERVENSI MELALUI PROSES KELOMPOK


DALAM PENATALAKSANAAN STRES PADA LANSIA JAWA
Dyah Putri Aryati, Rita Hadi Widyastuti
Email: putrid.ners89@gmail.com

ABSTRAK

Lansia sangat rentan mengalami gangguan psikologis berupa stres. dan memiliki
dampak negatif bagi kesehatan lansia. Oleh sebab itu perawat komunitas harus
memberikan strategi intervensi yang tepat untuk membantu menurunkan tingkat stres
dan perubahan koping lansia. Dalam pemberian asuhan keperawatan, perawat harus
memperhatikan budaya lansia khususnya lansia Jawa. Kegiatan ini bertujuan untuk
menurunkan tingkat stres lansia Jawa di RW 5 dan RW 6 di Kelurahan Pudakpayung
Semarang serta membantu merubah koping lansia negatif menjadi koping positif.
Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah mediasi yaitu membentuk
kelompok lansia Jawa yang mengalami stres. Intervensi yang dipilih adalah terapi
musik campursari dan supportive group therapy. Hasil dari pemberian intervensi
menunjukkan adanya penurunan tingkat stres dan perubahan koping pada lansia Jawa
di RW 5 dan RW 6 Kelurahan Pudakpayung Semarang.

Kata kunci: Proses Kelompok; Supportive Group Therapy; Terapi Musik


Campursari

ABSTRACT

The elderly are very susceptible to experiencing psychological disorders in the form
of stress and harm the health of the elderly. Therefore community nurses must
provide appropriate intervention strategies to help reduce stress levels and elderly
coping changes. In providing nursing care, nurses must pay attention to the culture
of the elderly, especially elderly Javanese. This activity aims to reduce the stress
level of Javanese elderly in RW 5 and RW 6 in Pudakpayung Village, Semarang and
help change negative elderly coping into positive coping. The method used in this
activity is advocacy to form a group of Javanese elderly who are experiencing stress.
The interventions chosen were campursari music therapy and supportive group

18
therapy. The results of the intervention showed a decrease in stress levels and coping
changes in the elderly in Java in RW 5 and RW 6, Pudakpayung Village, Semarang

Keywords: Group Process; Supportive Group Therapy; Campursari Music Therapy

A. PENDAHULUAN

Lansia merupakan kelompok yang rentan mengalami gangguan psikologis


khususnya stres. Menurut Wolrd Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
prevalensi lansia yang mengalami stres di dunia antara 10%-20% berdasarkan
situasi budaya (Karepowan, Wowor, & Katuuk, 2018). Sekitar 8,34% lansia di
Indonesia mengalami stres. (Priyoto, 2016). Stres pada lansia dapat disebabkan
oleh beberapa macam faktor diantaranya adalah penurunan fungsi tubuh,
perubahan status ekonomi, pensiun, kehilangan orang-orang yang dicintai, dan
perubahan tempat tinggal (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2004) Lazarus dan
Folkman mendefinisikan stres merupakan sebuah interaksi antara individu
dengan lingkungan yang dianggap menekan sehingga mempengaruhi status
kesehatan (Gaol, 2016). Penurunan status kesehatan lansia sebagai dampak dari
stres menyebabkan lansia mengalami konsekuensi secara fisik, emosi, sosial, dan
intelektual. Secara fisik lansia dapat mengalami peningkatan tekanan darah, gula
darah, maupun kolesterol. Secara emosi lansia akan mengalami perbuahan emosi
seperti cepat marah, menangis, gelisah dan mudah tersinggung. Secara sosial,
stres dapat mempengaruhi hubungan sosial lansia dengan orang lain atau
lingkungannya dan secara intelektual lansia akan mengalami penurunan
kemampuan dalam pengambilan keputusan. (Kozier et al., 2004; Rahayuni,
Utami, & Swedarma, 2015). Lansia sebagai seorang individu yang mengalami
stres akan berusaha untuk meyelesaikan masalah yang dihadapi atau sering
disebut sebagai koping. Lazarus dan Folkman membagi koping menjadi dua
yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. Pada penggunaan
problem focused coping untuk mengatasi stres dilakukan dengan cara mengubah
masalah yang dihadapi dengan lingkungan yang menyebabkan lansia merasa
tertekan, sedangkan emotion focused coping digunakan untuk menyelesaikan
stres dengan memperhatikan respon emosional lansia sehingga dapat beradaptasi
dengan baik terhadap stres dan kondisi lingkungan yang membuat tertekan(Nasir
& Muhith, 2011). Keefektifan koping dipertimbangkan juga dengan jumlah dan
intensitas stresor yang dialami lansia sehingga diperlukan adanya peran perawat
dalam penatalaksanaan stres. Perawat komunitas dalam membantu mengatasi
stres perlu mempertimbangkan budaya yang ada pada masyarakat khususnya di
Jawa Tengah. Berdasarkan teori Leininger Transcultural Nursing, menyarankan
perawat seharusnya memahami budaya yang ada di masyarakat dalam pemberian

19
asuhan keperawatan. Tiga strategi dalam pelaksanaan perawatan transkultural
yaitu pelestarian atau pemeliharaan budaya, akomodasi atau negosiasi budaya,
dan pengstrukturisasi ulang budaya (Alligood, 2018). Jawa Tengah sebagai
provinsi terpadat lansia kedua menyebut lansianya dengan sebutan lansia Jawa
(Siswanto, 2010). Lansia Jawa memiliki tiga sikap dalam hidup yaitu takut
(wedi), malu (isin), dan segan (sungkan) (Geertz, 1983). Hal ini memungkinkan
lansia akan menyimpan masalah atau stres daripada mengungkapkannya kepada
orang lain untuk mengatasi masalah yang dialami sehingga diperlukan strategi
intervensi yang tepat untuk mengatasi stres. Pemilihan strategi intervensi dalam
kegiatan ini berupa proses kelompok. Proses kelompok merupakan salah satu
bentuk intervensi dalam asuhan keperawatan komunitas yang dilakukan bersama-
sama dengan masyarakat untuk mengatasi masalah kesehatan melalui
pembentukan kelompok (Supriyatna, 2014). Proses kelompok bertujuan
meningkatkan peran aktif masyarakat melalui peer support ataupun social
support untuk mengatasi masalah kesehatan berdasarkan kebutuhan masyarakat
(Riasmini et al., 2017). Pemilihan intervensi berdasarkan pada permasalahan
yang dihadapi masyarakat khususnya lansia Jawa dengan memperhatikan
budaya, terapi musik campursari dan supportive group therapy (SGT) dinilai
dapat diaplikasikan untuk mengatasi masalah stres pada lansia Jawa. Berdasarkan
data hasil pengkajian pada lansia Jawa di RW 5 dan RW 6 Kelurahan
Pudakpayung terdapat 30 orang lansia Jawa yang mengalami stres dan
menggunakan koping maladaptif dalam menghadapi atau menyelesaikan stressor

B. METODE

Kegiatan ini menggunakan metode mediasi dimana pelaksana PKM sebagai


mediator dalam menyelesaikan masalah kesehatan yaitu stres yang dialami oleh
lansia Jawa di RW 5 dan RW 6 Kelurahan Pudakpayung. Mediasi yang
dilakukan oleh pelaksana PkM yaitu melalui proses kelompok kepada lansia
dengan memberikan intervensi terapi musik campursari dan SGT. Sasaran dari
kegiatan ini adalah lansia Jawa yang mengalami stres di RW 5 dan RW 6
Kelurahan Pudakpayung Semarang sebanyak 30 orang lansia. Pengukuran
tingkat stres pada lansia menggunakan kuesioner DASS-42, sedangkan
perubahan koping lansia Jawa terhadap stres menggunakan kuesioner Ways of
Coping Lazarus dan Folkman. Pemberian terapi musik campursari dilakukan
selama 7 hari berturut-turut dengan durasi 30 menit setiap pertemuan. Sedangkan
kegiatan SGT dilaksanakan selama 4 minggu yang terdiri dari 4 fase dengan
pelaksanaan 1 fase per minggu sebanyak 2 kali pertemuan.Kegiatan terapi musik
campursari bertujuan untuk menurunkan tingkat stres sedangkan SGT bertujuan
untuk membantu lansia Jawa dalam memilih koping yang adaptif. Dengan

20
demikian, kedua kegiatan ini diaplikasikan untuk mengatasi stres pada lansia
Jawa secara keseluruhan

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Strategi intervensi yang dipilih dalam kegiatan ini adalah terapi musik
campursari dan SGT. Terapi musik campursari dipilih berdasarkan hasil
pengkajian kepada 30 orang lansia Jawa yang mengalami stres didapatkan
sebanyak 41% menggunakan peran budaya untuk mengatasi stres dengan
mendengarkan musik campursari. Hal ini menerapkan teori dari Leininger
dimana salah satu strategi intervensi dalam pemberian asuhan keperawatan yaitu
mempertahankan budaya yang sudah ada untuk meningkatkan status kesehatan
(Alligood, 2018).

Pemilihan SGT untuk mengatasi stres pada lansia Jawa berdasarkan prinsip
hidup lansia dengan budaya Jawa memiliki tiga sikap dalam hidup yaitu takut
(wedi), malu (isin), dan segan (sungkan)(Geertz, 1983). Hal ini memungkinkan
lansia akan menyimpan masalah atau stres daripada mengungkapkannya kepada
orang lain untuk mengatasi masalah yang dialami. SGT bertujuan untuk
membantu lansia mengurangi masalah atau perasaan menekan dengan bercerita
kepada orang lain. SGT secara spesifik bertujuan membantu lansia Jawa mampu
mengidentifikasi masalah lansia dan sumber pendukung yangada, mampu
menggunakan sumber pendukung di dalam diri lansia, monitor dan hambatannya,
mampu menggunakan sumber pendukung di luar diri lansia dan mengidentifikasi
hambatan yang ada, dan mampu mengevaluasi hasil dan hambatan menggunakan
sumber pendukung (Lisnawati, 2018).

Hasil pemberian terapi musik campursari dan supportive group therapypada


lansia di RW 5 dan RW 6 Kelurahan Pudakpayung Semarang menunjukkan
adanya perubahan tingkat stres yang dialami lansia Jawa. Pengukuran tingkat
sres dilakukan pada sebelum dan sesudah pemberian terapi musik campursari dan
supportive group therapy.

Diagram 1 menunjukkan tingkat stress pada lansia di RW 5 dan RW 6


Kelurahan Pudakpayung mengalami perubahan setelah dilakukan implementasi
dengan data sebagai berikut: lansia yang tidak stres dari 0 (0%) meningkat
menjadi 14 orang lansia (47%), lansia yang mengalami stress ringan dari 20
orang (67%) menurun menjadi 12 orang lansia (40%), lansia yang mengalami

21
stress sedang dari 8 orang (27%) menurun menjadi 4 orang lansia (13%), dan
lansia yang mengalami stress berat dari 2 orang (6%) menurun menjadi 0 (0%).

Terapi musik campursari dilaksanakan selama lima hari berturut - turut. Setiap
pertemuan didengarkan musik campursari selama 30 menit. Lansia
diperkenankan untuk menggerakkan anggota badan seperti tangan atau kepala.
Namun lansia tidak diperkenankan untuk saling mengobrol dengan lansia yang
lain (Abdullah, Suryaningrum, & Prasetyaningrum, 2014). Musik dinilai
berpengaruh secara positif terhadap emosi dan suasana hati seseorang. Efek
musik secara biologis mampu meningkatkan atau menurunkan energi selanjutnya
mempengaruhi cepat atau lambatnya pernapasan, nadi, mempengaruhi tekanan
darah dan fungsi endokrin (Djhohan, 2006). Musik campursari memiliki irama
atau tempo yang lambat sehingga memberikan perasaan yang menenangkan bagi
pendengarnya sehingga dampakdampak yang ditimbulkan dari stres dapat
berkurang (Abdullah et al., 2014) Diagram 2 menunjukkan koping yang
digunakan oleh lansia di Kelurahan mengalami perubahan setelah dilakukan
implementasi dengan data sebagai berikut: lansia yang menggunakan koping
positive reappraisaldari 17 (57%) meningkat menjadi 23 orang lansia (77%).
Lansia yang menggunakan koping confrontative coping dari 2 orang (7%)
meningkat menjadi 3 orang lansia (10%), lansia yang menggunakan koping
distancing dari 11 orang (37%) menurun menjadi 10 (33%), lansia yang
menggunakan koping escape avoidance dari 4 orang (13%) menurun menjadi 3
orang lansia (10%).

Lazarus dan Folkman membagi strategi koping dalam dua kategori yaitu
problem focused coping dan emotion focused coping. Problem focused coping
merupakan cara yang digunakan untuk mengubah masalah yang dihadapi dengan
lingkungan yang menyebabkan lansia merasa tertekan. Emotion focused
copingdigunakan untuk menyelesaikan stres dengan memperhatikan respon
emosional lansia sehingga dapat beradaptasi dengan baik terhadap stres dan
kondisi lingkungan yang membuat tertekan (Nasir & Muhith, 2011). Berdasarkan
hasil pada diagram 2, terdapat empat jenis koping yang digunakan oleh lansia
Jawa di RW 5 dan RW 6 Kelurahan Pudakpayung dimana confrontative coping
termasuk dalam kategori problem focused coping, sedangkan distancing, positive
reappraisal, dan escape/avoidance termasuk dalam emotion focused coping.
Confrontative coping merupakan usaha yang dilakukan untuk mengubah keadaan
yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang
tinggi, dan pengambilan resiko. Distancing merupakan usaha untuk menghindari
permasalahan, meminimalisir keterlibatan dalam masalah, dan seolah-olah tidak
terjadi apa-apa. Positive reappraisal merupakan usaha mencari makna positif dari

22
permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri dan melibatkan halhal
yang bersifat religius. Escape/avoidance merupakan usaha untuk mengatasi
masalah dengan cara lari dari masalah atau menghindarinya dengan beralih pada
mana, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa confrontative coping, distancing, dan escape/avoidance
termasuk dalam jenis koping yang negative, sedangkan positive reappraisal
termasuk dalam koping yang positif.

D. SIMPULAN

Pemberian intervensi pada lansia Jawa yang mengalami stres di RW 5 dan


RW 6 Kelurahan Pudakpayung Semarang dilakukan secara berkelompok.
Intervensi yang diberikan berupa terapi musik campursari dan SGT. Kegiatan ini
menunjukkan hasil adanya penurunan tingkat stres dan perubahan koping lansia
Jawa yang mengalami stres di RW 5 dan RW 6 Kelurahan Pudakpayung.
Rencana tindak lanjut dari kegiatan ini adalah bekerjasama dengan pihak
Puskesmas Pudakpayung untuk mengidentifikasi stres dan memberikan
intervensi manajemen stres pada saat program kegiatan lansia. selain itu
Puskesmas dapat melakukan pemberdayaan kader dalam melakukan identifikasi
stres, pemberian penyuluhan, melaporkan jika teridentifikasi lansia mengalami
stres dan pemberian manajemen stres pada lansia Jawa .

IV. Artikel Terkait Aspek Sosial

PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK SOSIALISASI (TAKS)


TERHADAP KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PADA LANSIA DENGAN
KESEPIAN DI PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA (PSLU) JEMBER
Wahyu Elok Pembudi,Erti Ikhtiarini, Lantin Sulisyorini
Email: erti_i.psik@unej.ac.id

ABSTRACT
Elderly are people who over the age of 60 years old. The aging process of elderly will reduce the
normal function of the body. This situation can make ability of social interaction being down and
elderly feel lonely. Socialization Group Activity Therapy (SGAT) aims to increase the social
relationship in the group gradually. The aim of this research was to analyze the effects of SGAT
toward ability of social interaction of elderly with loneliness at nursing home Jember. This research
used pre experimental method with one group pretest posttest design. There were 19 elderly who
participate as the samples of this research. The samples were taken by using purposive sampling
technique. The data were analyzed with dependent t-test, with the increasing of the average value
ability of social interaction was 14,11 (22.3 - 37.32). The ability of social interaction of elderly with
loneliness after getting SGAT was 94,7% had a good ability of social interaction. The result showed
that p value = 0,0005 (CI 95%). The conclusion is there were significant effects of SGAT toward
ability of social interaction of elderly with loneliness at nursing home Jember. This research
recommended the SGAT to increase the ability of social interaction of elderly with loneliness.

23
Keywords: Elderly with Loneliness, SGAT, Ability of Social Interaction

ABSTRAK
Lansia adalah seseorang yang telah berusia lebih dari 60 tahun. Proses penuaan yang
dialami oleh lansia akan menyebabkan penurunan fungsi normal tubuh. Keadaan ini
dapat mengakibatkan penurunan kemampuan interaksi sosial dan menimbulkan
perasaan kesepian pada lansia. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS)
bertujuan untuk meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap.
Tujuan penelitian untuk menganalisis pengaruh TAKS terhadap kemampuan interaksi
sosial pada lansia dengan kesepian di Pelayanan Sosial Lanjut Usia (PSLU) Jember.
Desain penelitian ini adalah pre experimental dengan rancangan one group pretest
posttest. Sampel penelitian sebanyak 19 lansia dan menggunakan teknik purposive
sampling. Data dianalisis menggunakan uji t dependen, dengan kenaikan nilai rata-
rata kemampuan interaksi sosial sebesar 14,11 (22,31 - 37,32). Kemampuan interaksi
sosial lansia dengan kesepian setelah TAKS adalah 94,7% memiliki kemampuan
interaksi sosial baik. Hasil ini menunjukkan nilai p = 0,0005 (CI 95%). Kesimpulan
dari hasil penelitian adalah adanya pengaruh yang sangat amat bermakna antara
TAKS terhadap kemampuan interaksi sosial pada lansia dengan kesepian di PSLU
Jember. Rekomendasi penelitian ini adalah TAKS direkomendasikan pada lansia
dengan kesepian untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya.

Kata Kunci: Lansia dengan Kesepian, TAKS, Kemampuan Interaksi Sosial

I. PENDAHULUAN
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Jumlah lansia di Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Jumlah lansia
di Indonesia diperkirakan mencapai 30-40 juta pada tahun 2020 sehingga
Indonesia menduduki peringkat ke empat di dunia. Persentase jumlah populasi
lansia pada tahun 2000 sebesar 7,18% dari seluruh penduduk di Indonesia. Angka
ini meningkat menjadi 7,56% pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 menjadi
7,58% dari seluruh penduduk di Indonesia. Peningkatan jumlah lansia akan

24
berdampak pada perubahan transisi epidemiologi yaitu peningkatan angka
kesakitan karena penyakit degeneratif (Kemenkes RI, 2013).
Proses penuaan yang dialami oleh lansia akan menyebabkan
penurunan fungsi normal tubuh. Hal ini membuat seorang lansia lebih berisiko
terhadap masalah kesehatan, baik secara biologis maupun psikologis
(Azizah,2011). Keadaan ini dapat menyebabkan kemampuan interaksi sosial
pada lansia mengalami penurunan. Penurunan kemampuan interaksi sosial pada
lansia akan berdampak buruk karena partisipasi sosial dan hubungan
interpersonal merupakan bagian yang cukup penting untuk kesehatan fisik,
mental, dan emosional bagi lansia(Anida,2010). Penurunan kemampuan interaksi
sosial dapat memunculkan perasaan kesepian pada lansia. Kesepian adalah suatu
rasa ketidaknyamanan yang berkaitan dengan keinginan atau kebutuhan untuk
melakukan lebih banyak kontak dengan orang lain(Herdman,2012). Keadaan
tersebut lebih mudah dialami oleh lansia yang tinggal di panti jompo atau di
PSLU (Pelayanan Sosial Lanjut Usia), karena lansia tersebut memiliki sistem
dukungan yang lebih terbatas dan kesempatan untuk berinteraksi dengan
lingkungan luar yang lebih sedikit daripada lansia yang tinggal bersama keluarga
di komunitas (Hayati,2010).
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) adalah suatu upaya
memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan
sosial, yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok
secara bertahap(Keliat BA,2004). TAKS membantu lansia untuk melakukan
sosialisasi dengan individu yang ada disekitarnya. Pemberian TAKS pada lansia
yang mengalami kesepian di PSLU diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
interaksi sosialnya.
Hasil studi pendahuluan diketahui masalah kesehatan yang dialami
lansia di PSLU Jember beragam mulai dari masalah fisik dan psikologis.
Masalah kesehatan fisik yang dialami lansia di PSLU Jember seperti hipertensi,
rematoid artritis, gatal-gatal, infeksi saluran nafas, diare, diabetes, gangguan
penglihatan, fraktur, stroke, dan lain sebagainya. Masalah psikologis yang

25
dialami lansia di PSLU Jember juga beragam, yaitu demensia, status emosional
yang kurang baik seperti mudah marah, cemburu, mudah tersinggung, sering
bertengkar dengan sesama lansia, dan kesepian. Hasil wawancara dengan lansia
dan pengurus PSLU diketahui masalah interaksi sosial yang dialami lansia
disebabkan karena lansia masih kurang menunjukkan rasa kebersamaan sesama
lansia. Masalah interaksi sosial yang terjadi dapat membuat lansia merasa sendiri
dan kesepian. Perasaan kesepian yang dialami lansia di PSLU Jember
ditunjukkan dengan seringnya lansia ditemukan melamun dan merenung
sendirian. Upaya-upaya yang dilakukan PSLU Jember dalam mengurangi
perasaan kesepian pada lansia dengan memberikan kegiatan-kegiatan rutin untuk
meningkatkan interaksi sosialnya. TAKS belum pernah dilakukan di PSLU
Jember sebelumnya. Berdasarkan pada uraian permasalahan tersebut peneliti
tertarik untuk melakukan suatu penelitian untuk mengetahui “apakah ada
pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan interaksi
sosial pada lansia dengan kesepian di PSLU Jember”. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis pengaruh TAKS terhadap kemampuan interaksi sosial pada
lansia dengan kesepian di PSLU Jember.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian tentang pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi (taks)
terhadap kemampuan interaksi sosial pada lansia dengan kesepian menggunakan
desain penelitian pre eksperimental dengan rancangan penelitian one group
pretest posttest dengan populasi adalah semua lansia yang tinggal di PSLU
Jember yang berjumlah 140 lansia. Jumlah sampel yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 19 lansia. Teknik sampling yang digunakan yaitu
purposive sampling. Penelitian ini dilaksanakan di PSLU Jember. Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan November 2014 sampai dengan Mei 2015.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner
karakteristik responden dan kuesioner kemampuan interaksi sosial, serta untuk
screening responden menggunakan kuesioner kesepian yang diadopsi dari UCLA

26
Lonliness Scale dan Mini Mental State Examination (MMSE). Data dianalisis
dengan menggunakan uji t dependent dengan derajat kepercayaan 95% (α=0,05).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden

Usia rata-rata responden penelitian adalah 67,84 tahun dengan standar


deviasi 5,23. Usia termuda 60 tahun dan usia tertua 74 tahun. Hasil nilai
kepercayaan menunjukkan 95% diyakini rata-rata usia lansia dengan kesepian
berada pada rentang 65,32 tahun sampai dengan 70,36 tahun. Seseorang
dikatakan sudah menjadi lansia apabila mencapai usia 60 tahun ke
atas(Efendi F,2009). Lansia dengan usia 70 tahun ke atas memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan baik fisik maupun
psikologisnya(Maryam,2008). Proses penuaaan yang dialami lansia
menyebabkan penurunan fungsi tubuh secara menyeluruh sehingga membuat
status kesehatan lansia semakin menurun (Tamher S,2009). Keadaan ini akan
berdampak pada kemampuan lansia dalam berinteraksi.

Mayoritas responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 13 orang


(68,4%), Penelitian yang dilakukan oleh Juniarti tentang gambaran kesepian
lansia yang tinggal di panti, menunjukkan 76% lansia yang mengalami
kesepian adalah lansia perempuan(Juniarti N,2008).

Keadaan sistem muskuloskeletal pada lansia akan mengalami penurunan


struktur dan fungsinya(Maryam RS,,2008). Laju demineralisasi tulang terjadi
lebih besar pada wanita yang menopause daripada pria lansia(Potter
PA,2005). Kemampuan mobilisasi lansia yang terus menurun akibat sistem
musculoskeletal yang terus mengalami penurunan akan menyebabkan
kemampuan lansia untuk melakukan kontak dan komunikasi dengan orang
lain mengalami hambatan, sehingga kemampuan interaksi sosial lansia juga
akan mengalami penurunan.

Mayoritas pendidikan yaitu berpendidikan SD/tidak bersekolah


sebanyak 13 orang (68,4%). Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi(Masithoh AR,2011).

27
Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang lansia maka semakin banyak
pengalaman hidup yang dilaluinya sehingga akan lebih siap dalam
menghadapi masalah yang terjadi.

Mayoritas pekerjaan adalah lebih banyak memiliki riwayat bekerja


dibandingkan tidak bekerja dengan status pekerjaan terbanyak adalah
wiraswasta sebanyak 7 orang (36,8%). Pada masa lansia, seorang individu
mengalami beberapa kehilangan salah satunya adalah pekerjaan dan lansia
memerlukan dukungan orang lain dalam menghadapi
kehilangan(Riyadi,2009). Hurlock menyatakan tugas perkembangan lansia
salah satunya adalah menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan
berkurangnya penghasilan (income) (Azizah LM,2011). Lansia yang
memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang baik, akan membuat lansia
memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhannya sendiri termasuk
kebutuhan untuk melakukan interaksi dengan orang lain.

Mayoritas status perkawinan janda/duda sebanyak 13 (68,4%).


Burnside, Duvall, dan Havighurat menyatakan lansia memiliki tugas
perkembangan khusus yang terdiri dari tujuh kategori utama salah satunya
adalah menyesuaikan dengan kematian pasangan(Potter PA,2005). Individu
yang mengalami perceraian atau tidak memiliki pasangan termasuk kelompok
risiko tinggi mengalami masalah psikologis (Stuart GW,2007). Lansia yang
memiliki pasangan hidup, memungkinkan untuk meringankan masalah
psikologis dan sosialnya dan lansia harus bisa menyesuaikan diri mengenai
kehilangan pasangan hidup.

Mayoritas lansia sudah tinggal di panti dalam kurun waktu 0-5 tahun
sebanyak 14 orang (73,7%). Lansia yang tinggal di panti mendapatkan
kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan luar lebih terbatas daripada
lansia yang tinggal di komunitas. Semakin sedikit kesempatan lansia untuk
bertemu dan berinteraksi dengan orang lain akan berdampak pada semakin
besar lansia untuk mengalami perasaan kesepian (Carpenito,2009). Semakin
lama seorang lansia tinggal di panti maka keadaan-keadaan tersebut akan
sering dialami dan sebagian besar mengalami kesepian ringan sebanyak 14
orang (73,7%). Kesepian adalah suatu rasa ketidaknyamanan yang berkaitan
dengan keinginan atau kebutuhan untuk melakukan lebih banyak kontak
dengan orang lain(Herdman,2012). Kesepian dapat dipicu karena kurangnya
kesempatan seseorang untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang lain yang
kurang(Carpenito,2009). Keadaan ini sering dialami oleh lansia yang tinggal

28
di PSLU Jember. Kondisi ini dapat membuat lansia yang tinggal di panti
lebih berisiko untuk mengalami perasaan kesepian.

Untuk hasil kemampuan interaksi sosial sebelum dilakukan Terapi


Aktivitas Kelompok menunjukkan nilai rata-rata kemampuan interaksi sosial
adalah 22,31 (kemampuan interaksi sosial cukup) dengan nilai standar deviasi
3,53. Nilai terendah 18 dan nilai tertinggi 31. Hasil nilai kepercayaan 95%
diyakini rata-rata kemampuan interaksi sosial lansia dengan kesepian berada
pada rentang 21,51 sampai dengan 24,92. Kemampuan interaksi sosial
seseorang dapat dipengaruhi oleh berbagai hambatan yang terjadi. Hambatan
dalam interaksi sosial disebabkan karena kuantitas pertukaran sosial yang
tidak memadai atau berlebih serta ketidakefektifan kualitas pertukaran sosial.
Seseorang dapat dikatakan mengalami hambatan dalam interaksi sosial ketika
merasa tidak nyaman pada situasi sosial dan tidak mampu untuk menerima
rasa keterikatan sosial yang memuaskan(Wilkinson,2011). Lansia yang tingal
di PSLU Jember memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan
luar lebih sedikit. Lansia lebih banyak beraktivitas dan bersosialisasi di dalam
panti. Keadaan ini membuat interaksi sosial lansia hanya terbatas pada
lingkungan dalam panti. Kondisi tersebut mempengaruhi kemampuan
interaksi sosial lansia, karena semakin sedikit kesempatan lansia untuk
melakukan kontak dan komunikasi dengan orang lain maka kesempatan
untuk melakukan interaksi sosial semakin sedikit pula. Interaksi sosial dapat
terjadi apabila memenuhi dua syarat, yaitu adanya kontak sosial (social-
contact) dan komunikasi (Noorkasiani,2009).

Keterbatasan lansia dalam berinteraksi dapat disebabkan karena proses


penuaan yang terjadi pada lansia yang mengakibatkan penurunan fungsi
tubuh lansia secara umum. Interaksi sosial berperan sangat penting terhadap
status kesehatan lansia. Salah satu terapi yang dapat meningkatkan
kemampuan interaksi lansia adalah terapi aktivitas kelompok sosialisasi
(TAKS)

Hasil penelitian terkait status kemampuan interaksi sosial lansia


setelah diberikan TAKS menunjukkan 18 orang (94,7%) dikategorikan
memiliki kemampuan interaksi sosial baik dan sebanyak 1 orang (5,3%) yang
dikategorikan memiliki kemampuan interaksi sosial cukup, serta tidak
didapatkan lansia yang dikategorikan memiliki kemampuan interaksi sosial
kurang. Hasil ini menggambarkan sebagian besar lansia memiliki
kemampuan interaksi sosial yang baik setelah diberikan TAKS. Terapi
aktivitas kelompok (TAK) merupakan salah satu terapi yang bertujuan

29
meningkatkan kebersamaan, bersosialisasi, bertukar pengalaman, dan
mengubah perilaku(Maryam ,2008). TAKS merupakan salah satu upaya
dengan cara memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan
masalah hubungan sosial, yang bertujuan meningkatkan hubungan sosial
dalam kelompok secara bertahap(Keliat,2004). Hasil penelitian tersebut
didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muzayyin tentang
perbedaan kemampuan bersosialisasi sebelum dan sesudah dilakukan TAKS.
Kemampuan bersosialisasi sesudah TAKS mengalami peningkatan dari
kemampuan bersosialisasi sebelum mendapat TAKS(Noorkasiani,2009).
Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian TAKS dapat meningkatkan
kemampuan bersosialisasi pada individu yang mendapatkan TAKS.
Pemberian TAKS pada lansia kesepian dapat melatih lansia untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan lansia untuk
membangun hubungan interpersonal. Setelah mengikuti TAKS, lansia akan
mendapatkan keterampilan untuk berinteraksi sosial dan dapat digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat meningkatkan kemampuan
interaksi sosial lansia.

Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosial terhadap kemampuan


interaksi sosial lansia dengan kesepian menunjukkan terdapat perbedaan nilai
rata-rata kemampuan interaksi sosial dari 23,21 (kemampuan interaksi sosial
cukup) menjadi 37,32 (kemampuan interaksi sosial baik) yang berarti
pemberian TAKS berpengaruh terhadap kemampuan interaksi sosial lansia
dengan kesepian. Hasil uji statistic dengan dependent t-test didapatkan nilai p
= 0,0005 (CI 95%) yang berarti terdapat pengaruh pemberian TAKS terhadap
kemampuan interaksi sosial lansia dengan kesepian. Nilai p = 0,0005 (CI
95%) menunjukkan tingkat kemaknaan hasil amat sangat bermakna.
Kesimpulan dari pernyataan tersebut adalah Ha diterima dan membuktikan
terdapat pengaruh yang signifikan antara TAKS terhadap kemampuan
interaksi sosial lansia dengan kesepian di PSLU Jember.

TAKS terdiri dari tujuh sesi yaitu memperkenalkan diri, berkenalan


dengan orang lain, bercakap-cakap, berbincang tentang topik tertentu,
berbincang tentang masalah pribadi yang dialami, bekerjasama, dan
berpendapat tentang manfaat dari TAKS(Keliat,2004). Sesi-sesi dalam TAKS
terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan lansia
dalam bersosialisasi dan membina hubungan yang baik dengan sesama lansia
dan lingkungan sekitar. Pemberian terapi aktivitas kelompok sosialisasi
melatih individu untuk meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota
kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan, memberikan tanggapan

30
terhadap orang lain, mengekspresikan ide, dan menerima stimulus eksternal
yang berasal dari lingkungan. TAKS adalah salah satu intervensi keperawatan
yang efektif untuk meningkatkan kemampuan klien berinteraksi
social(Yosep,2007). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muzayyin
tentang perbedaan kemampuan bersosialisasi sebelum dan sesudah dilakukan
TAKS pada pasien isolasi menunjukkan ada perbedaan kemampuan
bersosialisasi sebelum dan sesudah dilakukan TAKS dengan p = 0,000 (p <
0,05). TAKS yang diberikan efektif untuk meningkatkan kemampuan
bersosialisasi pada pasien dengan masalah isolasi social(Muzayyin,2014).
Pemberian TAKS memungkinkan klien saling mendukung, belajar menjalin
hubungan interpersonal, merasakan kebersamaan dan dapat memberikan
masukan terhadap pengalaman masing-masing klien, sehingga akan
meningkatkan kemampuan bersosialisasi dengan orang lain yang ada
disekitarnya(Videbeck,2008). Peningkatan kemampuan bersosialisasi pada
lansia dengan kesepian di PSLU Jember terjadi karena TAKS dilakukan agar
lansia mampu mengekspresikan perasaan dan latihan perilaku dalam
berhubungan dengan orang lain yang ada disetiap sesi-sesi TAKS.

IV. SIMPULAN
Berbagai penurunan dan kemunduran pada masa lanjut usia serta
ketidakmampuan lanjut usia untuk menyesuaikan diri dengan kondisinya saat ini
dapat menyebabkan lanjut usia merasa terasing. Jika keterasingan terjadi maka
lanjut usia akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan
kadang-kadang terus muncul menarik diri dari berinteraksi dengan mereka serta
menimbulkan perselisihan antar penghuni panti yang kemudian dapat
mengganggu kondusivitas panti. Kesimpulan dari hasil penelitian adalah terdapat
pengaruh yang signifikan antara TAKS terhadap kemampuan interaksi sosial
pada lansia dengan kesepian di PSLU Jember (p value = 0,0005 (CI 95%)). Hasil
ini menunjukkan TAKS dapat di diberikan pada lansia dengan kesepian yang
tinggal di PSLU atau panti untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya.

V. Artikel Terkait Aspek Spiritual


EFEKTIVITAS PELATIHAN DZIKIR DALAM MENINGKATKAN
KETENANGAN JIWA PADA LANSIA PENDERITA HIPERTENSI.

Olivia Dwi Kumala, Yogi Kusprayogi, Fuad Nashori


Universitas Islam Indonesia, Jl. Kaliurang Km.14,5 Yogyakarta
e-mail : oliviadwikumala@gmail.com

Abstrak

31
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat penurunan
tekanan darah dan peningkatan ketenangan jiwa setelah diberikan pelatihan
dzikir pada lansia yang menderita hipertensi. Meningkatnya tekanan darah
berhubungan dengan buruknya manajemen emosi pada individu. Hal ini
disebabkan emosi-emosi negatif seperti marah serta cemas dapat
meningkatkan kardiovaskuler. Emosi-emosi negatif ini dapat menjadi stresor
yang berdampak kepada kesejahteraan subjektif dan ketenangan jiwa. Dzikir
merupakan strategi yang diharapkan mampu meningkatkan ketenangan jiwa.
Subjek pada penelitian ini adalah lansia perempuan dengan rentang usia 55-70
tahun yang berjumlah 8 orang. Penelitian ini menggunakan metode
eksperimen dengan model rancangan pretest dan posttest. Pelatihan
dilaksanakan sebanyak 7 pertemuan. Pengukuran dilakukan sebelum pelatihan
(pretest) dan setelah pelatihan berakhir (posttest). Data dianalisis dengan
wilcoxon rank test menggunakan SPSS 16. Berdasarkan hasil analisis data
penelitian diperoleh skor Z = -2,627 dan p = 0,008 (p<0,05) .hasi;l tersebut
menunjukan adanya perbedaan tingkat ketenangan jiwa yang signifikan
sebelum menerima pelatihan dan setelah pemberian pelatihan.

Keywords: pelatihan dzikir, hipertensi, ketenangan jiwa

A. PENDAHULUAN.
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang dapat
memompa darah ke seluruh tubuh dalam batasan di atas normal.
Hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Menurut
Depkes RI (2013) prevalensi hipertensi di Indonesia sangat tinggi yaitu
31,7% dari total penduduk dewasa. Prevalensi ini jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan negara Singapura 27,3%, Thailand 22,7% dan
Malaysia 20%. Tingginya prevalensi ini disebabkan beberapa faktor.
Salah satunya faktor resiko yang utama meningkatnya hipertensi adalah
perilaku atau gaya hidup. Perilaku di Indonesia pada umumnya kurang
makan buah dan sayur 93,6% dan 24,5% yang berusia di atas 10 tahun
mengkonsumsi makanan asin setiap hari. Hipertensi merupakan kondisi
yang sering ditemukan pada pelayanan primer kesehatan. Hipertensi
merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu
sebesar 25,8%, sesuai dengan data Riskesdas 2013. Jika pada tahun 2014
penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 65.048.110
jiwa yang menderita hipertensi. Hipertensi menjadi penyakit penyebab
kematian nomor lima tertinggi di Indonesia. Di samping itu, pengontrolan

32
hipertensi belum adekuat meskipun obat-obatan yang efektif banyak
tersedia (Kemenkes RI, 2014).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan
darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari
90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit
dalam keadaan cukup istirahat atau tenang. Peningkatan tekanan darah
yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat
menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit
jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi
secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai (Depkes RI, 2013).
Menurut Budiyanto (2002) tekanan darah sistolik merupakan puncak yang
tercapai ketika jantung berkontraksi dan memompa darah keluar melalui
arteri.
Kaplan (2010) menyatakan, bahwa bertambahnya usia
menyebabkan terjadinya perubahan struktur pada pembuluh darah besar,
lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi kaku,
akibatnya adalah meningkatnya tekanan darah sistolik. Prevalensi
hipertensi akan meningkat dengan bertambahnya umur disebabkan karena
pada usia tua diperlukan keadaan darah yang meningkat untuk
memompakan sejumlah darah ke otak dan alat vital lainnya. Pada usia tua
pembuluh darah sudah mulai melemah dan dinding pembuluh darah sudah
menebal (Kiangdo, 1977). Disamping itu, semakin bertambah usia maka
keadaan sistem kardiovaskuler pun semakin berkurang, seperti ditandai
dengan terjadinya arterioskilosis yang dapat meningkatkan tekanan darah.
Kondisi tersebut menjadikan lansia rentan terhadap resiko menderita
hipertensi. Banyak pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol
dan jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2014).
Ditinjau dari faktor penyebab, hipertensi dibagi atas dua bagian
yaitu (1) Hipertensi esensial, yang disebabkan oleh faktor yang belum
diketahui atau esensial seperti kondisi lingkungan, tekanan dan genetika.
(2) Hipertensi non esensial yang disebabkan oleh penyebab diketahui
seperti karena terkena penyakit ginjal, kelainan hormonal, atau pemakaian
obat tertentu. Penderita hipertensi di Indonesia 90% disebabkan oleh
faktor esensial (hipertensi esensial). Hipertensi esensial yang tidak
diketahui penyebabnya memiliki jumlah penderita sebesar 90-95%
(Budiyanto, 2002). Untuk itu, hipertensi esensial lebih menuntut
pencegahan dan pengobatannya. Hal ini disebabkan penderita hipertensi
esensial pada umumnya tidak merasakan adanya gejala.

33
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi
yaitu keturunan, usia, obesitas, gaya hidup tidak sehat, alkohol, merokok
dan stres (Suryati, 2005). Stres berkaitan dengan hipertensi karena stres
merupakan suatu tekanan fisik maupun psikis yang dapat merangsang
anak ginjal dan melepaskan hormon adrenalin (Gunawan, 2001). Stres
juga dapat menstimulasi sistem saraf simpatis yang meningkatkan kerja
jantung dan vasokontriksi arteriol, kemudian meningkatkan tekanan darah
(Kozier, Erb, Berman, dan Snyder, 2010).
Andria (2013) mengungkapkan, stres dapat menyebabkan
hipertensi melalui aktivasi sistem saraf simpatis yang berakibat pada
naiknya tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Ketika individu
berada dalam kondisi stres, maka hormon adrenal akan dilepaskan
kemudian akan meningkatkan tekanan darah melalui kontraksi arteri
(vasokontriktis) dan akan berdampak pada peningkatan denyut jantung.
Apabila stres berlanjut, tekanan darah akan tetap tinggi, sehingga orang
tersebut akan mengalami hipertensi (South, Bidjuni, dan Malara, 2014).
Semakin besar kondisi stres yang dialami penderita hipertensi akan
berdampak pada peningkatan tekanan darah yang cenderung menetap atau
bertambah tinggi sehingga menyebabkan kondisi hipertensinya menjadi
semakin berat (Lawson, Arthur, BarskyVictor, dan Kaplan, 2007).
Semakin berat kondisi stres seseorang maka akan semakin tinggi tekanan
darahnya (Sugiharto, 2007).
Stres juga dapat terjadi karena kurang baiknya individu dalam
mengelola emosi. Menurut WHO (2011) salah satu hal penyebab
terjadinya hipertensi yaitu karena buruknya manajemen emosi pada
individu. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Nevid,
Rathus, dan Greene (2005) yang menyatakan faktor psikologis, misalnya
emosi-emosi negatif terjadi seperti marah dan cemas, juga merupakan
faktor resiko terjadinya gangguan kardiovaskuler. Pola perilaku tersebut
diidentifikasikan suatu pola kepribadian disebut pola perilaku tipe A (type
A Behavior Patern). Alkohol juga dikaitkan dengan hipertensi, dimana
peminum alkohol akan cenderung terjangkit penyakit hipertensi (Sidabutar
dan Prodjosujadi, 1990). Hal ini diduga karena adanya peningkatan kadar
kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah
berperan dalam menaikkan tekanan darah. Alkohol juga mempunyai efek
pressor langsung pada pembuluh darah. Hal ini disebabkan alkohol
menghambat natrium dan kalium, sehingga terjadinya peningkatan
natrium intrasel dan menghambat pertukaran natrium dan kalsium seluler
yang akan memudahkan kontraksi sel otot. Otot pembuluh darah akan

34
menjadi lebih sensitif terhadap zat-zat pressor seperti angiotensin dan
katekolamin (Sidabutar dan Prodjosujadi, 1990).
Penderita hipertensi atau penyakit kardiovaskuler secara subjektif
merasa bahwa penyakitnya akan sulit disembuhkan atau memerlukan
waktu pengobatan yang lama, sehingga menimbulkan stres dalam
kehidupannya (Muchlas, 1997). Perasaan emosi-emosi negatif yang
muncul ini kemudian dapat menjadi stressor yang berdampak pada
kesejahteraan subjektif individu. Subjective well-being atau kesejahteraan
subjektif merupakan kemampuan individu dalam mengevaluasi
kehidupannya baik secara kognitif maupun afektif. Secara kognitif yakni
kepuasan hidup (life satisfaction), dan secara afektif meliputi afek positif
seperti perasaan bahagia dan bersemangat, serta afek negatif seperti
perasaan marah dan cemas sebagaimana yang dikemukakan oleh Diener,
Lucas, dan Oishi (2002).
Menurut Diener (2003) untuk mengetahui tingkat subjective well-
being atau kesejahteraan subjektif pada individu dapat dilihat berdasarkan
tiga aspek, yaitu: (a) kepuasan hidup, aspek ini mengacu pada evaluasi
individu terhadap hidupnya dalam bentuk kognisi dan ditetapkan oleh
individu itu sendiri (b) afek positif, aspek ini mengacu pada evaluasi
individu dalam bentuk emosi. Ditandai dengan semangat yang tinggi,
konsentrasi penuh, kegembiraan (c) afek negatif, aspek ini mengacu pada
bentuk emosi yang negatif ditandai dengan perasaan tertekan, rasa
bersalah, tidak tenang dan rasa takut. Tiga aspek tersebut menurut Diener
(2003) menjadi indikator apakah seseorang memiliki kesejahteraan
subjektif yang baik atau sebaliknya memiliki kesejahteraan subjektif yang
buruk.
Kesejahteraan subjektif yang baik akan memengaruhi individu
dalam menilai dan memaknai kehidupan dengan perasaan puas serta
bahagia, sehingga mampu berinteraksi secara positif serta mendapatkan
penguatan positif dari orang lain. Sejalan dengan hal tersebut, menurut
Diener (dalam Chandiramani dan Khan 2013), kesejahteraan subjektif
merupakan aspek psikologis yang penting dalam menjaga keseimbangan
mental dan menanamkan rasa optimisme yang besar pada diri walaupun
berada pada kondisi yang sangat menekan.
Dampak positif bagi individu yang memiliki kesejahteraan
subjektif tinggi ternyata lebih merasa bahagia dan senang serta damai.
Menurut Utami (2009) seseorang yang memiliki kesejahteraan subjektif
yang tinggi menyatakan bahwa dirinya mengalami kepuasan hidup dan
jarang mengalami emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan dan

35
kemarahan. Pada saat individu merasakan kepuasan akan hidup,
kebahagiaan dan tidak mudah putus asa maka pada saat itulah individu
memiliki ketenangan jiwa.
Oleh karenanya diperlukan strategi manajemen dalam menghindari
emosiemosi negatif yang dapat meredam potensi tekanan darah tinggi
ketika menghadapi suatu masalah dan kondisi yang terjadi di lingkungan
individu. Strategi manajemen emosi yang baik diharapkan mampu
meningkatkan kesejahteraan subjektif individu hingga mampu mencapai
ketenangan jiwa.
Ketenangan jiwa adalah jiwa yang diwarnai sifat-sifat yang
menyebabkan selamat dan bahagia. sifat-sifat tersebut adalah syukur,
sabar, takut dosa/ siksa, cinta Allah, mengharapkan pahala Allah, ridho
terhadap takdir Allah, dan memperhitungkan amal perbuatan dirinya
selama hidup (Al Ghazali, 1984).
Adapun kriteria ketenangan jiwa adalah (1) Sabar, merasa ridho
dan ikhlas terhadap segala sesuatu yang tidak disenangi menimpa dirinya
dan kemudian berserah diri kepada Allah. Sabar juga merupakan usaha
dengan hati yang mantap pada Allah untuk mengusahakan tercapainya
sesuatu (Asmaran, 1992). (2) Optimis, memiliki semangat, keyakinan
akan harapan yang mampu menumbuhkan cinta dan kebaikan dalam tubuh
manusia dan berkembang pandangannya tentang kehidupan (Ya'kub,
1996). (3) Merasa dekat dengan Allah, individu yang selalu merasa dekat
dengan Allah akan selalu merasa diawasi dan dilindungi oleh Allah. Oleh
karena itu individu akan berhati-hati dalam bertindak dan merasa
terlindungi dan dijaga oleh Allah (Kartini dan Jenny, 1989).
Pada umumnya orang yang sedang menderita sakit diikuti oleh
perasaan yang cemas dan jiwa yang tidak tenang. Selain mengkonsumsi
obat, berdoa dan berdzikir dapat menenangkan jiwa individu. Dalam
keadaan bagaimanapun juga hendaknya ketenangan jiwa tetap dijaga.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar Ra’ad: 28, “(yaitu) orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati mereka menjadi
tentram.”
Dzikir secara bahasa berakar dari kata dzakara yang artinya
mengingat, mengenang, memperhatikan, mengenal, mengerti dan
mengambil pelajaran, dalam Alquran dimaksudkan dzikir Allah yang
artinya mengingat Allah (Anshori, 2003). Dzikir biasa dilakukan dengan
merenung dan mengucapkan lafadz-lafadz Allah. Dzikir juga dapat
dikatakan latihan spiritual untuk menghadirkan Allah dalam hati manusia

36
dengan menyebut-nyebut nama dan sifat Allah sambil mengenang
keagungan Allah. Al Kalabadzi (Anshori, 2003) “dzikir yang
sesungguhnya adalah melupakan semuanya kecuali Allah” jadi selama
proses dzikir manusia melupakan semua hal tentang urusan duniawi dan
hanya berfokus pada Allah. Dzikir pada umumnya dilakukan dengan
menyadari kebesaran Allah dan merasa diawasi oleh Allah, sehingga
dzikir dilakukan seraya menyebut nama kebesaran Allah.
Adapun secara literal dzikir berarti mengingat, merupakan amaliah
yang terkait dengan ibadah ritual lainnya. Dzikir juga dapat dikatakan
sebagai suatu bentuk kesadaran yang dimiliki seseorang dalam menjalin
hubungan dengan sang pencipta (Michon dalam Subandi, 2009). Secara
umum dzikir adalah mengingat Allah, mengagungkan nama Allah,
memuji Allah atas kekuasaan Allah dan membangun komunikasi guna
mendekatkan diri pada Allah (Mustofa, 2006).
Berbagai macam cara yang dilakukan individu dalam mengatasi
hipertensi yang dideritanya. Selain menggunakan obat antihipertensi,
terapi psikologis juga berpengaruh dalam menurunkan tekanan darah pada
penderita hipertensi (Linden, Lenz, dan Con, 2001). Terapi behavioral dan
spiritual. Dalam pandangan ilmu kesehatan jiwa, dzikir merupakan terapi
psikiatrik yang memiliki tingkat lebih tinggi daripada psikoterapi
biasanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2016), membuktikan bahwa
kondisi spiritualitas pasien dengan hipertensi mampu memberikan
hubungan yang signifikan terhadap kondisi hipertensi. Artinya individu
dengan spiritual yang baik mampu menurunkan atau menstabilkan tekanan
darah pada penderita hipertensi (Dewi, 2016). Kondisi spiritualitas
menjadi penting bagi lansia disebabkan salah satu kriteria sukses di masa
tua adalah menemukan arti kehidupan dan Tuhan (Mowat, 2007).
Spiritualitas merupakan komponen keberagamaan, ketika individu
mengalami kondisi sakit dan stres maka kondisi keberagamaan merupakan
salah satu bentuk coping individu (Naewbood, Surajkool, dan
Kantharadussadee, 2012).
Dzikir merupakan suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah
dengan cara mengingat-Nya. Dzikir juga dapat berfungsi sebagai metode
psikoterapi, karena dengan banyak melakukan dzikir akan menjadikan hati
tentram, tenang dan damai, serta tidak mudah digoyahkan oleh pengaruh
lingkungan dan budaya global (Anggraini dan Subandi, 2014). Pada setiap
individu terdapat kebutuhan dasar spiritual yang harus dipenuhinya.
Seperti yang tercantum pada surat Az Zumar ayat 23: “Gemetar karenanya

37
kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya. Kemudian menjadi tenang
kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.”
Dzikir memiliki daya relaksasi yang dapat mengurangi ketegangan
dan mendatangkan ketenangan jiwa. Setiap bacaan dzikir mengandung
makna yang sangat mendalam yang dapat mencegah timbulnya
ketegangan (Anggraini dan Subandi, 2014). Setiap bacaan dzikir
mengandung makna suatu pengakuan percaya dan yakin hanya kepada
Allah swt. Individu yang memiliki spiritual yang tinggi memiliki
keyakinan yang kuat hanya kepada Allah dan dengan keyakinan ini dapat
menimbulkan kontrol yang kuat dan dapat mengarahkan individu ke arah
yang positif.
Menurut Yurisaldi (2010) kalimat yang mengandung huruf jahr,
seperti kalimat tauhid dan istighfar, dapat meningkatkan pembuangan
karbondioksida dalam paruparu. Manfaat lainnya disebutkan oleh
Rasulullah saw. “barangsiapa senantiasa beristighfar, niscaya Allah akan
memberikan jalan keluar dari setiap kesulitan, memberikan kelapangan
dari kesusahan dan memberi rezeki kepadanya dari arah yang tak
disangka-sangka” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Dari hadits tersebut
dapat diambil pelajaran bahwa berdzikir terutama membaca istighfar
memiliki keutamaan di sisi Allah. Oleh karenanya peneliti ingin
menggunakan dzikir istighfar sebagai dzikir utama dalam penelitian ini.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sari (2015) diperoleh
hasil bahwa dzikir mampu memberikan korelasi yang signifikan dalam
meningkatkan ketenangan jiwa pada responden penelitian di majelis dzikir
yang berjumlah 260 responden. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh
Lulu (2002) mengatakan bahwa saat dzikir telah menembus seluruh
bagian tubuh bahkan ke setiap sel-sel dari tubuh itu sendiri, hal ini akan
berpengaruh terhadap tubuh (fisik) dengan merasakan getaran rasa yang
lemas dan pada saat itulah tubuh manusia merasakan relaksasi saraf
sehingga ketegangan-ketegangan yang dirasakan dapat hilang. Penelitian
yang dilakukan Craigie, Greenwold, Larson, Sherrill, Larson, Lyons, dan
Thielman (1992) menemukan bahwa kegiatan agama seperti berdoa dan
berdzikir dapat meningkatkan kesehatan mental dan mencegah seseorang
menderita penyakit hipertensi. Selanjutnya penelitian Levin dan
Vanderpool (dalam Hawari 2005) terhadap penderita penyakit jantung dan
pembuluh darah menemukan bahwa kegiatan keagamaan (peribadatan),
seperti berdoa dan berdzikir dapat memperkecil resiko seseorang untuk
menderita penyakit jantung dan hipertensi.

38
Oleh karena itu terapi relaksasi dzikir ini dapat digunakan untuk
mengurangi ketegangan secara fisik, emosi, kognitif dan perilaku yang
dapat mengakibatkan tekanan darah meningkat. Terapi relaksasi dzikir ini
membantu individu untuk berkonsentrasi kepada ketegangan yang
dirasakan lalu melatih individu tersebut untuk relaks. Teknik dari terapi ini
dapat meredakan ketegangan emosional, sehingga dapat menurunkan
tekanan darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat
pengaruh relaksasi dzikir dalam mengurangi ketegangan pada penderita
hipertensi

B. METODE PENELITIAN
1. Rancangan penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah
kuantitatif eksperimen. Penelitian ini menggunakan pendekatan action
research, merupakan suatu penelitian tentang hal-hal yang terjadi di
masyarakat atau suatu kelompok dan hasilnya langsung ditujukan pada
kelompok yang bersangkutan (Arikunto, 2002). Dengan desain control
one group pretestposttest, pelatihan yang diberikan adalah pelatihan
relaksasi dzikir, kemudian akan dilihat apakah pelatihan tersebut
memberikan dampak positif terhadap kualitas ketenangan jiwa pada
penderita hipertensi.
2. Subjek penelitian
Subjek Penelitian Subjek pada penelitian ini merupakan
individu dengan indikasi penyakit tekanan darah tinggi sesuai
diagnosis dokter dan dengan hasil pengukuran tekanan darah sistolik
140 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. Subjek pada penelitian
ini berjumlah 9 orang, berjenis kelamin wanita dan rentang usia 55-70
tahun. Pemilihan subjek dalam penelitian ini berdasarkan pada
banyaknya jumlah usia lansia yang menderita hipertensi di tempat
pengambilan data penelitian. 9 orang subjek dalam penelitian ini
merupakan partisipan yang bertahan mengikuti sesi pelatihan dari awal
hingga tahap akhir. Pemilihan subjek berupa jenis kelamin wanita
disebabkan kemungkinan terjadinya darah tinggi lebih besar pada
wanita daripada laki-laki. Menurut Depkes RI (2013) wanita lebih
tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang wanita mengalami
menopause.
3. Metode pengumpulan data

39
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
wawancara dan skala ketenangan jiwa. Skala tersebut mengacu pada
teori ketenangan hati yang dikembangkan oleh Rusdi (2016). Skala
ketenangan hati terdiri dari dua aspek yaitu al-sukun yang berarti
kedamaian dan alyaqin yang artinya keyakinan. Masingmasing aspek
diwakili oleh 7 item, sehingga total item dalam skala adalah 14 buah
item. Skor alpha cronbach skala sebesar 0,805. Semakin tinggi skor
ketenangan jiwa menunjukkan bahwa responden memiliki ketenangan
jiwa yang tinggi, sebaliknya apabila skor ketenangan jiwa rendah
maka tingkat ketenangan jiwa pada responden juga rendah.
Pendekatan wawancara dilakukan dengan setting kelompok. Individu
diminta untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti secara
bergantian.
4. Intervensi
Pelatihan dzikir diberikan pada responden berupa: (1) Diskusi
terkait masalah yang dihadapi, keluhan masalah, dan usaha yang
pernah dilakukan untuk mengatasi masalah; (2) Penjelasan terkait
dzikir (psikoedukasi); (3) Latihan berdzikir istighfar dengan
melafadzkan “Astaghfirullaahal’adzim” sebanyak seratus kali,
kemudian berdoa; (4) Pemaknaan dan evaluasi. Pemaknaan adalah
memaknai arti Efektivitas Pelatihan Dzikir Dalam Meningkatkan
Ketenangan Jiwa pada Lansia Penderita Hipertensi (Olivia Dwi K,
Yogi Kusprayogi, Fuad Nashori) 61 dari setiap lafadz dzikir dikaitkan
dengan peristiwa di dalam kehidupan sehari-hari; (5) Pemberian tugas
rumah untuk berdzikir ketika hendak tidur, bangun tidur, hendak
melakukan aktivitas, setelah melakukan aktivitas, setelah sholat.
Kembali pada poin pertama ditambah dengan evaluasi tugas. Pelatihan
dilaksanakan sebanyak 7 kali, dengan alokasi waktu 1 jam pada setiap
pertemuan. Total waktu dalam pelatihan adalah 7 jam.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.


1. Hasil penelitian Metode wawancara.
Peneliti melakukan wawancara pada responden dengan skor
tertinggi yaitu NR, RN, dan PJ sebagai data tambahan untuk
mendukung hasil analisa kuantitatif data penelitian. Menurut NR, ia
merasa lebih tenang setelah melakukan pelatihan dzikir. Sebelumnya
NR sering merasa gelisah ketika hendak tidur, atau bangun di tengah
malam kemudian merasakan gelisah hingga sulit untuk tidur kembali.

40
NR kemudian mempraktikkan tugas yang diberikan pada saat
pelatihan yaitu melakukan dzikir saat hendak tidur, bangun tidur,
hendak ke tempat kerja (ladang, sawah, peternakan), dan di setiap
waktu senggang. Hasilnya NR merasa lebih nyaman dan tenang.
Ketika pikiran tenang dengan berdzikir mengingat Allah NR menjadi
jarang mengalami kegelisahan dan kecemasan karena memikirkan hal-
hal yang akan terjadi.
Responden PJ sebelumnya mengeluhkan sering merasa was-
was dalam hati, memikirkan sesuatu yang tidak rasional, dan sering
merasa cemas namun tidak tahu apa yang sedang dipikirkan. PJ
mempraktikkan dzikir istighfar seperti yang ditugaskan saat pelatihan.
Hasilnya PJ tidak merasakan was-was lagi. Pikiran tidak rasional PJ
yang membuatnya melamun kini berkurang, bahkan PJ mengatakan
tidak ada waktu untuk melamun lagi karena waktu kosongnya
digunakan untuk berdzikir mengingat Allah. Setelah berdzikir PJ
merasa lega dan merasakan kepuasan tersendiri dalam hatinya.
RN juga merasakan perasaan yang sama dengan PJ dan NR.
Sebelumnya RN merasa bahwa dirinya sering sulit untuk tidur,
memikirkan berbagai hal, dan merasa dirinya jauh dari taat beragama
atau perasaan bersalah pada Allah. Setelah mempraktikkan dzikir RN
merasa lebih tenang, merasa lebih nyaman, merasa yakin dan percaya
pada Allah. Selama berdzikir dan setelah berdzikir RN merasakan
sensasi ketenangan dan merasa bahagia. enangan dan merasa bahagia.
Mayoritas responden lainnya juga mengungkapkan bahwa
mereka merasakan lebih tenang daripada sebelumnya. Setelah dzikir
dengan sungguh-sungguh responden merasakan ketenangan di dalam
hati. Sebelumnya responden rata-rata mengalami kegelisahan saat
hendak tidur, bangun tidur, dan selalu berpikir tentang sesuatu yang
menimbulkan kecemasan bagi mereka. Seluruh responden
mengungkapkan akan berdzikir ketika mulai memikirkan hal yang
merugikan bagi mereka atau hal-hal yang tidak jelas. Responden juga
melakukan dzikir ketika hendak tidur dan bangun tidur serta ketika
hendak melakukan berbagai aktivitas. Hasilnya responden merasa
lebih nyaman dan tenang setelah berdzikir.
Hasil uji beda wilcoxon rank test skor Z= -2,673 dan p= 0,008
(p<0,05). menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ketenangan
jiwa pada responden penelitian antara sebelum pemberian pelatihan
dzikir dan setelah pemberian pelatihan dzikir. Berdasarkan skor rata-
rata ketenangan jiwa pada responden antara sebelum dan sesudah

41
pelatihan dzikir menunjukkan peningkatan dari 78,56 menjadi 98,33.
Hasil ini menunjukkan bahwa pelatihan dzikir memiliki pengaruh
terhadap peningkatan ketenangan jiwa. Hasil tersebut mendukung apa
yang dikatakan oleh Anggraini dan Subandi (2014) yang menyatakan
bahwa dzikir mampu memberikan perasaan tenang pada jiwa, individu
yang senantiasa melakukan dzikir dapat mencegah timbulnya
ketegangan (stress).
Penelitian ini membuktikan firman Allah dalam Alquran Surat
Ar Ra’ad ayat Efektivitas Pelatihan Dzikir Dalam Meningkatkan
Ketenangan Jiwa pada Lansia Penderita Hipertensi (Olivia Dwi K,
Yogi Kusprayogi, Fuad Nashori) 63 28, “(yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati mereka menjadi
tentram.” Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa individu yang
mengingat Allah maka hati individu tersebut akan menjadi tenang dan
tentram. Ketenangan dan ketentraman hati/ jiwa akan membantu
individu dalam mengelola emosi. Salah satu penyebab individu
mengalami hipertensi adalah buruknya individu dalam mengelola
emosi. Emosi yang terkelola dengan baik, berdampak pada
kemampuan individu dalam mengendalikan kognisi dan afeksi yang
dapat menurunkan resiko tekanan darah tinggi (Suryati, 2005). Nevid
dkk. (2005) juga mengatakan bahwa individu yang mampu
mengendalikan emosi negatifnya dapat mengurangi resiko terjadinya
gangguan kardiovaskuler.
Penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan
sebelumnya oleh Wahyunita, Afiatin, dan Kumolohadi (2014) bahwa
terapi relaksasi dzikir mampu menurunkan tingkat kecemasan dan
meningkatkan kesejahteraan subjektif pada individu yang mengalami
infertilitas. Kondisi emosi negatif seperti kecemasan dan stres
merupakan faktor yang menyebabkan resiko hipertensi (WHO, 2011).
Penurunan stres dan kecemasan muncul pada individu yang
melakukan dzikir, sehingga individu tersebut mengalami ketenangan
jiwa dan terhindar dari resiko hipertensi.
2. Hasil penelitian secara kuantitatif
Hasil penelitian secara kuantitatif didukung dengan pernyataan
seluruh responden yang mengalami sensasi ketenangan jiwa setelah
melakukan dzikir. Responden merasa nyaman ketika berdzikir dan
setelah berdzikir, sehingga responden melakukannya pada hampir
setiap aktivitas mereka. Namun beberapa responden mengungkapkan

42
masih merasa sulit membuat perasaan menjadi nyaman ketika yang
dialami adalah masalah ekonomi. Responden merasa masalah ekonomi
adalah stressor yang hanya dapat diselesaikan dengan pemenuhan
kebutuhan finansial.
Sebagian responden lainnya mampu mengatasi masalah
kecemasan ekonomi menggunakan dzikir. Responden merasa dengan
berdzikir, Allah akan memberikan ketenangan dan kecukupan kepada
mereka. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,
“barangsiapa senantiasa beristighfar, niscaya Allah akan memberikan
jalan keluar dari setiap kesulitan, memberikan kelapangan dari
kesusahan dan memberi rezeki kepadanya dari arah yang tak disangka-
sangka” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Dari hadits tersebut dapat
dimaknai bahwa individu yang senantiasa berdzikir dengan
sungguhsungguh dan memohon ampun pada Allah, maka Allah akan
memberikan rizki dan kecukupan pada individu tersebut.

D. Kesimpulan
Melakukan terapi diri dengan berdzikir memberikan dampak yang
signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan jiwa. Dalam terapi dzikir ini,
responden diminta untuk bersama-sama membacakan kalimat dzikir (istighfar)
sebanyak 100 kali secara bersamaan. Setelah bersama-sama membaca kalimat
istighfar, mereka akan ditanya terkait perasaan yang dirasakan setelah membaca
kalimat dzikir tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
kesejahteraan jiwa meningkat lebih baik setelah melakukan pelatihan dzikir.
Dzikir juga mampu memberikan kontrol emosi pada responden dalam
menyikapi penyimpangan berpikir dan rasa cemas berlebihan. Pada dasarnya
dzikir mampu memberikan ketenangan jiwa yang berdampak sebagai
pencegahan dan perawatan kondisi individu yang mengalami hipertensi.

43
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Upaya untuk memperbaiki self care pada pasien hipertensi terutama yang
dilakukan oleh petugas kesehatan dapat dilakukan melalui penyuluhan yang
tepat pada saat kegiatan posbindu. self care yang baik melalui pendekatan
dukungan pendidikan atau supportive educative mengenai konsep dasar
hipertensi, pengelolaan gejala, beradaptasi dengan perubahan kondisi, dan
perawatan diri yang dilakukan oleh pasien hipertensi dapat mengontrol
tekanan darah dan meminimalkan angka kejadian komplikasi akibat
hipertensi.

2. Pada intervensi untuk menyelesaikan dalam aspek psikologis lansia yaitu


dapat dilakukan intervensi TAK Javanese Art’s Therapy sebagai intervensi
menurunkan tingkat depresi pada lansia dan terapi musik campursari dan
SGT. Kegiatan ini menunjukkan hasil adanya penurunan tingkat stres dan
perubahan koping lansia

3. Berbagai penurunan dan kemunduran pada masa lanjut usia serta


ketidakmampuan lanjut usia untuk menyesuaikan diri dengan kondisinya
saat ini dapat menyebabkan lanjut usia merasa terasing. Jika keterasingan
terjadi maka lanjut usia akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan

44
orang lain dan kadang-kadang terus muncul menarik diri dari berinteraksi
dengan mereka serta menimbulkan perselisihan antar penghuni panti yang
kemudian dapat mengganggu kondusivitas panti. Kesimpulan dari hasil
penelitian adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara TAKS terhadap
kemampuan interaksi sosial pada lansia dengan kesepian di PSLU Jember
(p value = 0,0005 (CI 95%)). Hasil ini menunjukkan TAKS dapat di
diberikan pada lansia dengan kesepian yang tinggal di PSLU atau panti
untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya.

4. Pada intervensi untuk menyelesaikan dalam aspek spritual lansia yaitu


melakukan terapi diri dengan berdzikir memberikan dampak yang signifikan
dalam meningkatkan kesejahteraan jiwa. Dalam terapi dzikir ini, responden
diminta untuk bersama-sama membacakan kalimat dzikir (istighfar)
sebanyak 100 kali secara bersamaan. Setelah bersama-sama membaca
kalimat istighfar, mereka akan ditanya terkait perasaan yang dirasakan
setelah membaca kalimat dzikir tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, kesejahteraan jiwa meningkat lebih baik setelah melakukan
pelatihan dzikir. Dzikir juga mampu memberikan kontrol emosi pada
responden dalam menyikapi penyimpangan berpikir dan rasa cemas
berlebihan. Pada dasarnya dzikir mampu memberikan ketenangan jiwa yang
berdampak sebagai pencegahan dan perawatan kondisi individu yang
mengalami hipertensi

B. Saran
Mahasiswa dapat melakukan intervensi – intervensi terkait permasalahan
lansia dalam aspek bio-psiko-sosial-spritual yang dapat di lihat dalam makalah
kami.

45
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, J., Suryaningrum, C., & Prasetyaningrum, S. (2014). Musik jawa untuk
mereduksi stres pada mahasiswa, Jurnal Intervensi Psikologi, 6 (Juni), 89-101.
https://doi.org/10.1016/S1576- 9895(12)70140-Alligood, M. R. (2018). Pakar
Teori Keperawatan Dan Karya Mereka. (A. Y. S. Hamid & K. Ibrahim, Eds.)
(8th ed.). Singapura: Elsevier Singapore Pte Ltd6
Adam, M.D & Milton, S. (1972). Regression in Old Age. Journal of National Medic
Association Vol 64 (2).
Akbar, Herman, Ilyas. Pengaruh terapi aktivitas kelompok (sosialisasi) terhadap
peningkatan konsep diri pada klien lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau
Mabaji Kabupaten Gowa. Volume 4 Nomor 1 Tahun 2014 ISSN : 2302-
1721. Makasar; 2014.
Andria, K.M., 2013. Hubungan antara perilaku olahraga, stres dan pola makan
dengan tingkat hipertensi pada lanjut usia di Posyandu Lansia Kelurahan Gebang
Putih Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya. J. Promkes 1, 111–117.
Anida. Memahami kesepian. [Internet]. 2010.Diambil tanggal 12 Desember 2014 dari
http://www.scribd.com/doc
Azizah LM. Keperawatan lanjut usia. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2011.
Balai Panti Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay Bandung. Jurnal penelitian.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran; 2008.
Bungin, B. (2006). Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Carpenito LJ. Diagnosis keperawatan: aplikasi pada praktik klinis. Alih bahasa,
Kustini Semarwati Kadar; editor edisi bahasa Indonesia, Eka Anisa
Mardella, Meining Issuryanti; Ed 9. Jakarta: EGC; 2009.
Darmansyah, A.F., Nursalam, N., Suharto, S., 2017. The Effectiveness of Supportive
Educative in Increasing Self Regulation, Self Efficacy, and Self Care Agency to
Control Glichemic Index in Patient with Type II Diabetes. J. Ners 8, 253–270.
Djhohan. (2006). Terapi Musik Teori Dan Aplikasi. Yogyakarta: Galang Press

46
Dulkiah, M., Sari, A. L., & Irwandi, I. (2018). The Impact of Conditional Cash Transfer
(CCT) to Socio-Economic of Poor Families; A Case Study. Jurnal Ilmu Sosial
Mamangan, 7(1), 32-39.
Efendi F, Makhfudli. Keperawatan kesehatan komunitas: teori dan praktik dalam
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika; 2009.
Etemadifar, S., Bahrami, M., Shahriari, M., Farsani, A.K., 2014. The effectiveness of
a supportive educative group intervention on family caregiver burden of
patients with heart failure. Iran. J. Nurs. Midwifery Res. 19, 217.
Gaol, N. T. L. (2016). Teori Stres: Stimulus, Respons, Dan Transaksional. Buletin
Psikologi, 24(1), 1. https://doi.org/10.22146/bpsi.11224
Geertz, H. (1983). Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press.
Gerungan, W. A. (2009). Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama
Hasriana, Nur M, Anggraini S. Pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi
Hayati S. Pengaruh dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia. Skripsi. Fakultas
Psikologi Universitas Sumatera Utara; 2010.
Hazwan, A., Pinatih, G.N.I., 2017. Gambaran karakteristik penderita hipertensi dan
tingkat kepatuhan minum obat di wilayah kerja puskesmas Kintamani I. Intisari
Sains Medis 8, 131.
Hentschel, U. et al. (2004). Defense Mechanism: Theoretical, Research and Clinical
Perspectives. North Holland: Elsevier BV.
Herdman TH. Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta:
EGC; 2012.
Herdman TH. Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta:
EGC; 2012.
Hurlock, E. B. (2011). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Jamalianti, S., 2016. Hubungan Antara Tingkat Perilaku Pengobatan Dengan
Tekanan Darah Pasien Hipertensi Di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD DR. H.
Moch Ansari Saleh Banjarmasin. http://www. akfar- isfibjm. ac. id.
Juniarti N, Eka S, Damayanti A. Gambaran jenis dan tingkat kesepian pada lansia di
Karepowan, S. R., Wowor, M., & Katuuk, M. (2018). Hubungan Kemunduran
Fisiologis Dengan Tingkat Stres Pada Lanjut Usia Di Puskesmas Kakaskasen
Kecamatan Tomohon Utara. E-Journal Keperawatan, 6(1), 1163–1178.
Kartinah & Sudaryanto, A. (2007). Masalah Psikososial pada Lanjut Usia. Berita Ilmu
Keperawatan, Vol. I (94)., Hal. 93-96.
Keliat BA, Akemat. Keperawatan jiwa: terapi aktivitas kelompok. Jakarta: EGC;
2004.
KEMAS J. Kesehat. Masy. 9, 100–105.
Kementerian Kesehatan RI. Gambaran kesehatan lanjut usia di Indonesia. Artikel.
Pusat Data Kementerian Kesehatan RI; 2013.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2004). Fundamentals Of Nursing
Concept, Process, And Practice (7th ed.). New Jersey: Pearson Education Inc.
Lisnawati. (2018). Pengaruh Supportive Group Therapy Terhadap Stres Lansia
Dengan Hipertensi Di Puskesmas Pudakpayung. Tesis, Semarang : Universitas
Diponegoro

47
Kusumowardani, A. & Puspitosari, A. (2014). Hubungan Antara Tingkat Depresi Lanjut
usia dengan Interaksi Sosial Lanjut usia di Desa Sobokerto Kecamatan Ngamplak
Boyolali. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Vol. 3 (2), Hal. 106-214.
Lestari, I., dkk. (2014). Pengaruh Gadget pada Interaksi Sosial dalam Keluarga.
Prosiding KS: Riset & PKM. Vol 2 (2), Hal 147–300.
Mardhiah, A., Asnawi Abdullah, H., 2015. Pendidikan Kesehatan Dalam Peningkatan
Pengetahuan, Sikap Dan Keterampilan Keluarga Dengan Hipertensi-Pilot Study.
J. Ilmu Keperawatan 3.
Martina, A., dkk. (2016). Interaksi Sosial Lansia di Badan Perlindungan Sosial Tresna
Wredha (BPSTW) Ciparay dengan Keluarga. Prosiding KS: Riset &PKM Vol 3
(1), Hal. 38-42.
Maryam RS, Ekasari MF, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I. Mengenal usia lanjut
dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika. 2008.
Masithoh AR. Pengaruh latihan keterampilan sosial terhadap kemampuan sosialisasi
pada lansia dengan kesepian di Panti Wredha Kabupaten Semarang. Tesis.
Universitas Indonesia; 2011.
Muzayyin, Wakhid A, Susilo T. Perbedaan kemampuan bersosialisasi sebelum dan
sesudah dilakukan terapi aktifitas kelompok sosialisasi pada pasien isolasi
sosial di RSJ. Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Prosiding Konferensi Nasional II
PPNI Jawa Tengah; 2014.
Nasir, A., & Muhith, A. (2011). DasarDasar Keperawatan Jiwa: Pengantar Dan Teori.
Jakarta: Salemba Medika
Noorkasiani, Heryati, Ismail R. Sosiologi keperawatan. Jakarta: EGC; 2009.
Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta.
Indones.
Novian, A., 2013. Kepatuhan diit pasien hipertensi.
Nuridayanti, A., Makiyah, N., Rahmah, R., 2018. Pengaruh Edukasi Terhadap
Kepatuhan Minum Obat Penderita Hipertensi Di Pos Pembinaan Terpadu
Kelurahan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur. J. Kesehat. Karya Husada 6, 1–
7.
Okko, J. (2008). Understanding and Using Theory in Social Work. Wiltshire: Cromwell
Press.
Papalia, D. E., et. al. (2009). Human Development (Perkembangan Manusia). Jakarta:
Salemba Humanika.
Potter PA, Perry AG. Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Edisi 4.
Jakarta: EGC; 2005.
Prasetyo, A.S., Sitorus, R., Gayatri, D., 2012. Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Self Care Management pada Asuhan Keperawatan Pasien Hipertensi di
RSUD Kudus.
Priyadarshini, U., 2016. Prevalensi Hipertensi Dan Kebiasaan Merokok, Konsumsi
Alkohol, Serta Konsumsi Garam Pada Penduduk Usia 20-59 Tahun Di
Wilayah Kerja Uptd Puskesmas Kubu Ii. Intisari Sains Medis 3, 1–8.
Priyoto. (2016). Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia Yang Tinggal Bersama
Keluarga Di Desa Tebon Kecamatan Barat Kabupaten Magetan dan di UPT

48
PSLU (Pelayanan Sosial Lanjut Usia) kecamatan Selosari Kabupaten Magetan.
Surya, 08 (02), 64–70.
Pujasari, A.S., Susanto, H.S., Udiyono, A., 2017. Faktor–Faktor Internal
Ketidakpatuhan Pengobatan Hipertensi Di Puskesmas Kedungmundu Kota
Semarang. J. Kesehat. Masy. 3, 99–108.
Rahayuni, N. P. N., Utami, P. A. S., & Swedarma, K. E. (2015). Pengaruh Terapi
Reminiscence Terhadap Stres Lansia Di Banjar Luwus Baturiti Tabanan Bali.
Keperawatan Sriwijaya, 2 (2355), 130–138.
Riasmini, N. M., Permatasari, H., Chairani, R., Astuti, N. P., Ria, R. T. T. M., &
Handayani, T. W. (2017). Panduan Asuhan Keperawatan Individu, Keluarga,
Kelompok, Dan Komunitas Dengan Modifikasi NANDA, ICNP, NOC Dan
NIC Di Puskesmas Dan Masyarakat. (J. Sahar, Riyanto, & W. Wiarsih, Eds.).
Jakarta: UI-Press.
Riyadi, Purwanto. Asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2009.
Roza, A.A., 2017. Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Hipertensi Di
Puskesmas Dumai Timur Dumai-Riau. J. Kesehat. 7.
Sanjaya, A. & Rusdi, I . (2012). Hubungan Interaksi Sosial dengan Kesepian pada Lanjut
Usia. Jurnal Keperawatan Holistik, Vol 1 (3), Hal. 26-31.
Santrock, J. W. (2002). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta:
Erlangga.
Sari, A. L. (2017). The Role Of Social Workers In The Development Of Tourism
Villages. JISPO: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 7(2), 1-23.
Sinathria, D., dkk. (2012) Studi Fenomenologi: Pengalaman Interaksi Sosial Lanjut Usia
dengan Sesama Lanjut usia dan Pengasuh di Panti Sosial Tresna Werdha “Sabai
Nan Aluih” Sicincin Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2012. NERS Jurnal
Keperawatan Universitas Andalas. Volume 8 (1), Hal. 96-104.
Siswanto, D. (2010). Pengaruh Pandangan Hidup Masyarakat Jawa Terhadap Model
Kepemimpinan. Jurnal Filsafat, 20(3), 7–8.
Skidmore, R.A. (1994). Introduction in Social Work. University of Utah
Soekanto, S. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Stolley, K.S. (2005). The Basics of Sociology. London: Greenwood Press.
Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Jakarta: EGC; 2007.
Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran.
Supriyatna, N., (2014). Drug Abuse Resistance Education( DARE ) Sebagai Strategi
Intervensi Keperawatan Komunitas Mencegah Penyalahgunaan Narkoba Pada
Remaja Di SMK " TB " Cimanggis, Depok. Jurnal Penelitian UMJ, 22 (1)
Sutini, T., Emaliyawati, E., 2018. Pemberdayaan Masyarakat Tentang Cara
Perawatan Hipertensi Dengan Menggunakan Manajemen Stress Di Desa
Ciganjeng Dan Karangsari Kecamatan Padaherang Kabupaten Pangandaran. J.
Keperawatan Sriwij. 5, 19–23.
Tamher S, Noorkasiani. Kesehatan usia lanjut. dengan pendekatan asuhan
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika; 2009.

49
terhadap kemampuan bersosialisasi pada klien isolasi sosial menarik diri di Rumah
Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Volume 2 Nomor 6 Tahun
2013 ISSN: 2302-1721. Makasar; 2013.
Videbeck S L. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC; 2008.
Walsh, J. (2010). Theories for Direct Social Work Practice. California: Wadsworth
Cengange Learning.
Warren-Findlow, J., Basalik, D.W., Dulin, M., Tapp, H., Kuhn, L., 2013. Preliminary
Validation of the Hypertension Self-Care Activity Level Effects (H-SCALE)
and Clinical Blood Pressure Among Patients With Hypertension. J. Clin.
Hypertens. 15, 637–
Widodo, H., dkk. (2016). Hubungan Interaksi Sosial dengan Kualitas Hidup Pada Lanjut
usia di Wilayah Kerja Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Dinamika Kesehatan:
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol 7 (1), Hal. 23-32.
Wilkinson JM, Ahern NR. Buku saku diagnosis keperawatan: diagnosis NANDA,
intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC; 2011.
Yosep I. Keperawatan jiwa. Bandung: PT Refika Aditama; 2007.
Zastrow, C. & Kirst-Ashman, K. K. (2007). Understanding Human Behavior and the
Social Environment. California: Thomson Brooks.

50
51

Anda mungkin juga menyukai