Anda di halaman 1dari 45

ASUHAN KEPERAWATAN SEHAT JIWA SEPANJANG RENTANG

KEHIDUPAN : BAYI, TODDLER PRA SEKOLAH

OLEH :
NI WAYAN MUJANI (P07120216021)
NI PUTU NUR ADIANA DEWI (P07120216022)

KELAS A/ PROGRAM STUDI PROFESI NERS

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya selaku penulis dapat
menyusun makalah ini yang berjudul "Asuhan Keperawatan Sehat Jiwa Sepanjang
Rentang Kehidupan : Bayi, Toddler, Pra Sekolah" tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam pembelajaran Matrikulasi


Keperawatan Jiwa. Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini
berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat
dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu
dalam pembuatan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah.

Denpasar, Juli 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2

D. Manfaat penulisan.........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4

A. Konsep Asuhan Keperawatan Sehat Jiwa pada Bayi....................................4

B. Konsep Asuhan Keperawatan Sehat Jiwa pada Toddler.............................17

C. Konsep Asuhan Keperawatan Sehat Jiwa pada Anak Pra Sekolah............26

BAB III PENUTUP...............................................................................................34

A. Simpulan.....................................................................................................34

B. Saran............................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................36

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang No. 3 tahun 1966 adalah suatu kondisi yang


memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal
dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang
lain. Kesehatan jiwa dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain otonomi dan
kemandirian, memaksimalkan potensi diri, menoleransi ketidakpastian hidup,
harga diri, menguasai lingkungan, orientasi realitas serta manajemen stres
(Videbeck, 2008). Faktor-faktor tersebut berinteraksi secara tetap sehingga
kesehatan jiwa seseorang merupakan keadaan yang dinamik atau selalu
berubah karena dipengaruhi pula oleh lingkungan, pengalaman seseorang
dalam menghadapi masalah, mekanisme koping serta dukungan social
(Istiana, Keliat, & Nuraini, 2017).

Indonesia dari sekitar 1000 anak berusia 4–15 tahun, yang mengalami
masalah mental dan emosional sebanyak 140 anak. Jawa Barat menduduki
tingkat tertinggi untuk masalah kesehatan jiwa dibandingkan daerah lain di
Indonesia. Persentase penderita gangguan mental emosional sebesar 20%
dengan kata lain bahwa dari setiap 100 penduduk di Jawa Barat terdapat 20
orang yang mengalami gangguan mental emosional. Data di atas
menggambarkan jumlah orang yang mengalami masalah mental emosional
sangat banyak sehingga diperlukan adanya upaya untuk mencegah agar tidak
mengalami gangguan jiwa (Istiana et al., 2017).

Pembangunan kesehatan harus berorientasi pada pembangunan manusia


berkelanjutan (sustainable development for mankind) yang dilandasi oleh
kesadaran mengenai pentingnya investasi kesehatan bagi kemajuan suatu
bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) (Soetjiningsih, 2012). Ciri sumber daya manusia yang handal
yaitu berintelektual dan produktif yang dapat tumbuh dan berkembang secara

1
optimal baik fisik, sosial maupun jiwanya yang dapat memenuhi tanggung
jawab kehidupannya, berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hal
tersebut sumber daya manusia harus lebih diperhatikan sedini mungkin sejak
anak dalam kandungan, melahirkan, bayi usia 0-18 bulan, masa toddler usia
18 bulan – 3 tahun, masa prasekolah usia 3-6 tahun, masa sekolah usia 6-12
tahun, masa remaja usia 12-18 tahun, masa dewasa muda usia 18-40 tahun,
masa dewasa tua usia 40-60 tahun dan lansia 60 tahun keatas (Potter, 2009),
sehingga pertumbuhan dan perkembangan akan berproses dengan baik (Istiana
et al., 2017).

Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan terjadi secara


simultan sepanjang daur kehidupan. Perkembangan terjadi secara teratur
mengikuti pola atau arah tertentu, setiap tahap perkembangan merupakan hasil
perkembangan dari tahap sebelumnya dan menjadi prasyarat bagi
perkembangan selanjutnya. Maka dari itu, penting dilakukan pengawasi dan
perhatian khusus terkait pertumbuhan dan perkembangan sedini mungkin
sehingga pada kesempatan kali ini, akan dibahas mengenai konsep asuhan
keperawatan sehat jiwa sepanjang rentang kehidupan : bayi, toddler, pra
sekolah.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :


1. Bagaimana konsep asuhan keperawatan sehat jiwa sepanjang rentang
kehidupan pada bayi?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan sehat jiwa sepanjang rentang
kehidupan pada toddler?
3. Bagaimana konsep asuhan keperawatan sehat jiwa sepanjang rentang
kehidupan pada pra sekolah?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini :

2
1. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan sehat jiwa pada bayi.
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan sehat jiwa pada toddler.
3. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan sehat jiwa pada pra
sekolah.

D. Manfaat penulisan

Adapun manfaat penulisan dari makalah ini :


1. Dapat mengetahui konsep asuhan keperawatan sehat jiwa pada bayi.
2. Dapat mengetahui konsep asuhan keperawatan sehat jiwa pada toddler.
3. Dapat mengetahui konsep asuhan keperawatan sehat jiwa pada pra
sekolah.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Asuhan Keperawatan Sehat Jiwa pada Bayi

Fase bayi merupakan fase perkembangan untuk menumbuhkan rasa


kepercayaan dasar vs kecurigaan dasar. Keberhasilan fase ini sangat
dipengaruhi oleh adanya peran ibu atau orang yang dianggap ibu dalam
memberikan penemuhan kebutuhan. Ibu diharapkan menjadi figur yang dapat
dipercaya dan diandalkan sehingga tumbuh rasa percaya pada anak, namun
jika kondisinya berbanding terbaik, maka anak akan menumbuhkan rasa
curiga, kecemasan, ketidakpercayaan diri dan lingkungannya. Asuhan
keperawatan sehat jiwa pada bayi menggunakan pendekatan teori model stres
adaptasi Stuart (2009) dan teori model Precede/Proceed Green (1991), dalam
melakukan tindakan terapi spesialis yaitu terapi kelompok terapeutik pada usia
bayi rasa percaya (Slametiningsih, 2013).

4
1. Pendekatan Model Konseptual Keperawatan dalam Pelayanan
Kesehatan Jiwa Usia Bayi Rasa Percaya

Pencegahan Primer berfokus pada pelayanan keperawatan jiwa adalah


peningkatan kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tujuan
pelayanan adalah mencegah terjadinya gangguan jiwa, mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan jiwa. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat
yang belum mengalami gangguan jiwa sesuai dengan kelompok umur yaitu
anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Aktivitas pada pencegahan primer
adalah program pendidikan kesehatan, program stimulasi perkembangan,
program sosialisasi kesehatn jiwa, manajemen stress (Keliat, 2002). Hal ini
sesuai dengan Stuart (2009) bahwa kondisi sehat berada koping respon adaptif
sehingga dalam melakukan tindakan berorentasi dalam promosi kesehatan,
untuk meningkatkan kualitas hidup. Terapi kelompok terapeutik merupakan
salah tindakan dalam bentuk promosi kesehatan. Asuhan keperawatan dalam
pelaksanaa peningkatan perkembangan anak usia bayi menggunakan teori
stress adaptasi (Stuart, 2009) dan akan padukan dengan teori model
Precede/Proceed (Green, 1991).

a. Konsep Model Stres Adaptasi Stuart

Model stress adaptasi Stuart (2009) memberikan asumsi bahwa lingkungan


secara alami memberikan berbagai strata sosial, dimana perawat psikiatri
disediakan melalui proses keperawatan dalam biologis, psikologis,
sosialkultural, dan konteks legal etis, bahwa sehat/sakit, adaptif dan
maladaptive sebagai konsep yang jelas, tingkat pencegahan primer, sekunder,
tersier, termasuk didalamnya empat tindakan yaitu health promotion,
maintenance, acut dan krisis dalam penatalaksanaan psikiatri (Yosep 2009
dalam Stuart, 2009). Hal ini menujukkan bahwa untuk perawat jiwa bukan
hanya berorentasi pada jiwa gangguan, tetapi berorentasi pada mental
emosional dan sehat.

5
1) Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi adalah faktor yang menjadi sumber stress, yang terdiri
dari biologis, psikologis dan sosial cultural. Beberapa faktor yang dapat
mendukung terjadinya kesehatan janin menurut Stuart (2009) pada saat sedang
hamil.

a) Biologis
Pengkajian aspek biologis didapatkan dari ibu saat hamil tersebut meliputi
Genetik ada riwayat penyakit keturunan (DM, hypertensi, jantung,
kelainan kromosom). Riwayat prenatal ( gizi saat ibu hamil, trouma,
keracunan obat atau makanan), perokok, minum alkohol, kelainan
hormone (Tyroid dan DM), paparan radiasi, infeksi (TROCH, varisella,
HIV, campak dan penyakit hepatitis), riwayat Intranatal (lahir spontan/
caesar, BB & TB lahir, riwayat trouma dalam persalinan, pemberian ASI.
Riwayat gangguan jiwa.
b) Psikologis
Kehamilan yang diharapkan, stimulasi perkembangan janin (merasakan
keterikatan janin, merasakan gerakan janin, sering mengelus perut, sering
mengajak bicara sama janin. Melakukan bounding attachmen setelah
melahirkan, memberikan ASI sedini mungkin. Khawatiran dalam merawat
anak/sedih kehadiran anak, stress pada waktu hamil.

c) Sosialkultural
Usia ibu, anak yang keberapa, pendidikan ibu dan ayah (SD, SMP, SMA,
PT), pendapatan kurang/lebih, pekerjaan tetap atau tidak tetap, status peran
social: kegagalan berperan social, latar belakang agama dan keyakinan,
keikutsertaan politik, pola komunikasi dengan keluarga.
2) Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi adalah stimulasi yang dipresepsikan oleh individu


sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan dan memerlukan energy ekstra

6
untuk koping (Stuart, 2009). Tercapainya atau tidaknya rasa percaya diri
tergantung pada banyaknya stimulasi positif yang diterima bayi ketika
memasuki usia bayi, seperti stimulasi-stimulasi perkembangan dan
kesempatan yang diberikan lingkungan. Faktor presipitasi dapat dilihat dari
tiga faktor :

a) Faktor-faktor biologis : Status nutrisi ( gizi seimbang, mendapatkan ASI


ekslusif, makanan tambahan pada usia 6 bulan, makanan padat setelah usia
12 bulan. Berat Badan (BB 5 bulan=2 x BB lahir, BB 1 tahun = 4 x BB
lahir) TB 1 tahun 1,5 x TB lahir), immunisasi lengkap, kesehatan secara
umum.
b) Faktor-Faktor psikologis : tidak langsung menangis saat ketemu bayi
dengan orang lain, menolak saat akan digendong orang tidak dikenal,
menangis bila basah, haus, lapar, sakit dan gerah, senang ketika ibu datang
menghampiri, menangis ketika ditinggalkan oleh ibunya, memandang
wajah ibu.
c) Faktor sosialkultura : Umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan,
penghasilan anak keberapa, menerima anak dengan senang, mengajak
anak bergaul, melambaikan tangan dan memberi salam, mengajak anak
bermain bersama contohnya ciluk….ba…mengajak anak mengenal
lingkungan
3) Tanda dan Gejala

Kondisi yang dapat memicu klien mengalami gangguan kejiwaan


tergantung pada penilaian klien terhadap stressor yang diterima, bagaimana
klien berespon, apakah klien melihat stressor itu sebagai suatu tantangan yang
harus dihadapi atau sebagai ancaman yang harus dihindari (Towsend & Mary,
2009). Penilain stressor pada perkembangan bayi meliputi 8 aspek
kemampuan meliputi :

a) Perkembangan Motorik Bayi

7
perkembangan motorik adalah perkembangan pengendalian gerak
jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf dan otot yang
terkoordinasi (Hurlock 1991). Keterampilan dibagi menjadi keterampilan
motorik kasar dan keterampilan motorik halus. Pada usia 0-3 bulan
kemampuan motorik kasar bayi adalah mengangkat kepala, berguling- guling
serta menahan kepala tetap tegak sedangkan kemampuan motorik halusnya
melihat, meraih dan menendang mainan gantung, memperhatikan benda
berserak melihat benda-benda kecil memegang benda meraba dan merasakan
bentuk permukakaan. Pada usia 3-6 bulan kemampuan motorik kasar adalah
berguling-guling, menahan kepala tetap tegak, menyangga berat, duduk
sedang. Motorik halus melihat, meraih dan menendang mainan gantung,
memegang benda dengan kuat, memengang benda dengan kedua tangan,
makan sendiri, mengambil benda kecil ( Wong, D.L, et al. 2011).

b) Perkembangan Kognitif Bayi

Kognitif adalah semua aktivitas mental yang berhubungan dengan


presepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan informasi yang memungkinkan
seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan
merencanakan masa depan atau semua proses psikologis yang berkaitan
dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati,
membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungan. Pieget
(Sadock, 2010) menggunakan istilah sensorimotorik untuk menggambarkan
stadium ini karena bayi pertama kali mulai belajar melalui observasi sensorik,
dan mereka mendapatkan pengendalian fungsi motoriknya melalui aktivitas,
eksplorasi, dan manipulasi lingkungan. Kemampuan kognitif yang harus
dimiliki bayi usia lahir sampai dengan 2 bulan yaitu reaksi sirkuler primer
yaitu menggunakan reflex motorik dan sensorik bawaan ( mengisap,
menggengam, melihat) untuk berinteraksi dan berakomodosi dengan dunia
luar. Usia 2 sampai dengan 5 bulan yaitu mengkoordinasikan aktivitas
tubuhnya sendiri dan kelima indranya misal mengisap ibu jari. Usia 5 sampai
9 bulan reaksi sirkuler sekunder yaitu mencari stimulasi baru dilingkungan,

8
mulai mengantisipasi urutan prilakunya sendiri, bertindak secara bertujuan
untuk mengubah lingkungan awal perilaku bertujuan (Sandock, 2010).

Usia 9 bulan sampai dengan 12 bulan menunjukkan tanda awal


permanensi objek, memiliki konsep yang samar-samar bahwa benda-benda
ada ada terlepas dari dirinya sendiri, bermain ciluk-ba, meniru perilaku baru .
Usia 12- 18 bulan reaksi sirkuler tersier yaitu bayi melakukan kegiatan coba-
coba yang dilakukannya mulai bisa mengubah gerak-geriknya untuk mencapai
suatu tujuan yang lebih jelas, berbicara, mencari pertanyaan, menyebutkan
nama gambargambar, bersenandung dan bernyanyi (Sandock, 2010).
Perkembangan kognitif anak merupakan perkembangan yang perlu dirangsang
dan di stimulus oleh pihak luar terutama orang tua. Tanpa adanya rangsangan
dan stimulasi dari orang tua, maka kapasitas kognitif anak tidk dapat
berkembang secara optimal.

c) Perkembangan Bahasa Bayi

Bahasa mencakup setiap sarana komunikasi dengan menyimpulkan


pikiran, dan perasaan untuk menyampaikan makna kepada orang lain (Sadock,
2010). Kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara berbicara,
berkomunikasi mengikuti perintah kemampuan bahasa usia 0-6 bulan adalah
menunjukkan respon terkejut terhadap suara yang keras atau tiba-tiba,
berusaha melokasi suara, memalingkan mata atau kepala, tampak
mendengarkan pada pembicaraan, mungkin berespon dengan senyum,
berespon saat mendengar namanya sendiri. Usia 7-11 bulan adalah
menunjukkan selektivitas mendengar, mendengarkan music atau bernyanyi
dengan senang, mengenali jangan, panas, namanya sendiri, melihat gambar
yang disebut namanya sampai satu menit, mendengarkan pembicarra tanpa
tergangu oleh suara lain, memiliki seruan.

Usia 12 sampai 18 bulan yaitu menunjukkan perbedaan kasar atau tidak


sama, mengerti bagian tubuh dasar, mendapatkan pengertian beberapa kata

9
tiap minggunya, dapat mengidentifikasi benda sederhana, mengerti sampai
150 kata dan menggunakan 20 kata pada usia 18 bulan. Konsonan awal dan
akhir sering dilupakan (Depkes 2006). Bayi yang sehat cenderung lebih cepat
belajar bicara ketimbang bayi yang tidak sehat motivasi berkomunikasi lebih
kuat. Bayi yang dapat menyesuaikan diri dengan baik cenderung kemampuan
bicaranya lebih baik, baik secara kuantitaitf mampu secara kualitatif
ketimbang bayi yang penyesuaian dirinya jelek. Sebagaimana dengan
perkembangan kognitif, perkembangan bahwa seseorang anak menstimulasi
khsusus dari orang tua dan pengasuh. Tanpa adanya stimulasi serta
rangsangan perkembangan bahasa anak akan mengalami hambatan. Hambatan
yang dialami dalam perkembangan akan memberikan dampak terhadap aspek
perkembangan lainnya, terutama perkembangan sosial dan emosi anak.

d) Perkembangan Emosi Bayi

Menurut perkembangan emosi adalah suatu reaksi kompleks yang


mengaitkan satu tingkat tinggi, kegiatan dan perubahan- perubahan secara
mendalam, serta dibarengi perasaan yang kuat atau disertai keadaan afektif,
Chalpin ( 2002, dalam Restiana, Keliat, Gayatri & Helena, 2010).
Perkembangan emosi pada tahun pertama, suasana hati (mood) bayi sangat
bervariasi dan berhubungan erat dengan keadaan internal, seperti rasa lapar.
Pada dua pertiga kedua dari tahun pertama, suasana hati bayi semakin
berhubungan dengan isyarat sosial eksternal (orang tua dapat menemukan
yang lapar tetapi tersenyum). Jika bayi merasa nyaman secara internal, rasa
tertarik dan senang terhadap dunia pengasuh utamanya dapat berlaku.

Perkembangan emosi pada usia 0-1 bulan adalah adanya senyuman sosial,
pada usia 3 bulan ada senyum kesenangan, usia 3-4 bulan kehati-hatian, usia 4
bulan keheranan, usia 4-7 bulan kegembiraan dan kemarahan, usia 5-9 bulan
ketakutan dan usia 18 bulan ada rasa malu. Piaget (Sadock, 2010) Kebutuhan
emosi/ kasih sayang, kasih sayang dari orang tua akan menciptakan ikatan
yang erat (bonding) dan kepercayaan dasar (basic trust). Ikatan batin yang

10
erat, mesra dan selaras yang diciptakan lebih awal dan lebih permanen sangat
penting, karena turut menentukan perilaku bayi kemudian hari, menstimulasi
perkembagan otak bayi, merangsang perhatian bayi terhadap dunia luar,
menciptakan kelekatan (attachment) antara ibu dan bayi, serta meningkatkan
rasa kepercayaan dari bayi. Pemberi ASI dapat meningkatkan ikatan batin bayi
dan ibu sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada
bayi.

e) Perkembangan Kepribadian Bayi

Kepribadian adalah ciri atau karakteristik seseorang yang bersumber dari


benturan-benturan yang diterima dari lingkungan misalnya keluarga pada
masa kecil dan bawaan juga seseorang sejak lahir (Sjarkawi, 2006).
Perkembangan kepribadian dan keterampilan kognitif berkembang dengan
cara yang sama dengan pertumbuhan biologis-pencapaian baru terbentuk pada
keterampilan yang dikuasai sebelumnya (Wong, D.L, et al. 2011). Masa bayi
sering disebut masa “periode kritis” dalam perkembangan kepribadian karena
pada saat ini diletakkan dasar, dimana srtuktur kepribadian akan di bangun.
Kondisi yang menjunjung peristensi kepribadian adalah bawaan, pendidikan
nilai-nilai orang tua, memainkan peran, lingkungan sosial, seleksi dalam
lingkungan sosial. Kondisi fisik yang mempengaruhi kepribadian kelelahan,
malnutrisi, kondisi fisik yang menggangu, penyakit menahun, kelenjar
endokrin.

f) Perkembangan Moral Bayi

Perkembangan moral melibatkan pembentukan sistem nilai-nilai yang


menjadi dasar keputasan mengenai “benar dan salah “ atau “ baik dan buruk”.
Nilai-nilai yang mendasari asumsi-asumsi tentang standar yang mengatur
keputusan moral (Potter & Perry, 2005). Pada saat lahir, tidak ada bayi yang
memiliki nurani atau skala nilai. Akibatnya tiap bayi yang baru lahir dapat
dianggap amoral. Tidak seorang bayipun dapat diharapkan mengembangkan

11
kode moral sendiri, maka perlu ditumbuhkan disiplin pada masa ini untuk
mengajarkan kepada bayi, apa yang menurut dia dianggap kelompok sosial
sebagai benar dan salah, sehubungan pada masa ini timbul rasa benar dan
salah adalah apa yang terasa baik atua buruk.

g) Perkembangan Spiritual Bayi

Bayi mengenal tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata orang yang ada
dalam lingkunganya, yang pada awalnya diterima secara acuh, tuhan bagi bayi
pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya
serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada
tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang
menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun setelah ia menyaksikan
reaksi orang-orang disekelinginya yang disertai oleh emosi atau perasaan
tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap
kata tuhan itu tumbuh. (Islamil 2009, dalam Restiana, Keliat, Gayatri &
Helena, 2010). Keyakinan spiritual sangat berkaitan dengan bagian moral dan
etis dalam konsep diri bayi. Tahap perkembang spiritual pada masa bayi
adalah tahap undifferentiated yaitu periode masa bayi tidak memiliki konsep
benar atau salah, tidak memiliki keyakinan yang membimbing perilaku
mereka. Mesti demikian, awal keimanan terbentuk dari pengembangan rasa
percaya dasar melalui hubungannya dengan pemberi asuhan primer.

h) Perkembangan Psikososial Bayi

Perkembangan psikosial berhubungan dengan perubahan perasaan atau


emosi dan kepribadian serta perubahan dalam bagaimana individu
berhubungan dengan orang lain. Perkembangan sosial pada usia 0-2 bulan
adalah bayi tidak membedakan antara orang-orang dan merasa senang orang
yang dikenal dan yang tidak dikenal. Usia 2-7 bulan bayi mulai mengakui dan
menyukai orangorang yang dikenal, tersenyum pada orang yang lebih dikenal.
Usia 7-24 bulan bayi mengembangkan keterikatan dengan ibu atau pengasuh

12
pertama lainnya dan akan berusaha untuk senantiasa dekat dengannya, akan
menangis ketika berpisah denganya (Depkes 2006). Perkembangan psikososial
selama masa bayi adalah kepercayaan. Bayi mempelajari apa yang diharapkan
dari orang-orang penting dalam kehidupannya dan mengembangkan suatu
perasaan mengenai siapa yang mereka senangi atau yang tidak mereka senangi
dan makanan apa yang mereka sukai atau tidak di sukai.
4) Sumber Koping

Sumber koping suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi


seseorang (Stuart, 2009) sumber koping yang perlu dikaji pada anak usia bayi
meliputi dapat dibagi menjadi dua yaitu kemampuan internal dan kemampuan
personal (personal ability) dan keyakinan positif (Positivebelief), sedangkan
kemampuan eksternal bersumber dari luar individu meliputi social support ,
material asset (Stuart, 2009). Keempat komponen tersebut akan membantu
dalam proses perkembangan pada anak usia bayi.

(a) Personal Ability

Personal ability (kemampuan personal) disini adalak kemampuan dari


bayi, ibu dan kader, adalah sebagai berikut :

(1) bayi

Kemampuan mengatasi masalah yang dimiliki oleh klien dalam berespon


terhadap stressor yang dihadapi (Stuart, 2009). Tidak langsung menangis,
dengan orang lain, menolak saat akan digendong orang yang tidak dikenal,
menangis bila bersalah, lapar, haus, sakit dan gerah, senang ketika ibu datang
menhampiri, menangis ketika ditinggalkan oleh ibunya dan memandang wajah
ibu.

(2) Personal ibu

13
Ibu (caregiver) belum mengatahui cara menstimulasi perkembangan anak
usia bayi. belum tahu cara menstimulasi perkembangan anak usia bayi. atau
sudah mengetahui cara mensitumasi perkembangan anak usia bayi atau belum
tahu cara menstimulasi perkembangan anak usia bayi.

(3) Personal ability kader

Mampu mendeteksi keluarga sehat (usia bayi, menggerakan keluarga sehat


untuk dilakukan penyuluhan dan terapi kelompok terapeutik, melakukan
kunjungan rumah pada pasien sehat, mendokumentasikan semua kegiatan.

(b) Positivebelief (Keyakinan Positif)

Keyakinan yang sudah ditanamkan sejak kecil dari lingkungan keluarga


dan lingkungan sekitarnya melalui proses pembelajaran (Stuart, 2009).
memiliki keyakinan dan nilai positif.

(c) Social Support (Dukungan Sosial)

Dukungan sosial adalah salah satu fungsi dan ikatan sosial yang
menggambarkan kualitas hubungan interpersonal dianggap sebagai aspek
kepuasaan secara emosional dalam kehidupan individu (Smet 1994).
Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa percaya diri,
tenang, diperhatikan, dicintai dan kompeten. Dukungan sosial terdiri dari
informasi verbal, non verbal, dan tindakan yang diberikan oleh orang lain
sehingga mempunyai manfaat emosioanal bagi individu. Dukungan sosial
dalm perkembangan anak usia bayi meliputi : keluarga, kader kesehatan jiwa,
kelompok dan masyarakat

(d) Material Asset (kekayaan materi yang dimiliki)

14
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau
masyarakat. Upaya mewujudkan kesehatan ini dilakukan oleh individu,
kelompok dan masyarakat baik secara melembaga oleh pemerintah, ataupun
swadaya masyarakat (LSM), dilihat dari sifat upaya mewujudkan kesehatan
tersebut dilihat dari dua aspek yaitu pemeliharan dan peningkatan kesehatan.

Pemeliharan kesehatan mencakup dua yaitu kuratif dan rehabilitative,


sedangkan peningkatan upaya pemeliharan dan peningkatan kesehatan di
wujudkan dalam suatu wadah pelayanan kesehatan yang disebut dengan
sarana atau pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Jadi, pelayanan
kesehatan adalah tempat atau sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan primer (primery care) adalah
sarana pelayanan kesehatan untuk kasus-kasus ringan kondisi sehat untuk
kearah pencegahan, sarana kesehatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat,
artinya pelayanan kesehatan di masyarakat yaitu puskesmas. Poli klinik,
dokter swasta, Posyandu, posbindu, Paud (Notoatmojo, 2010). Stimulasi
perkembangan untuk usia dini merupakan suatu pelayanan kesehatan yang
primer, sehingga dalam pelaksanaannya bisa memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang di masyarakat (Materal asett) yaitu Puskesmas, Posyandu,
Paud dan BKB.
5) Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan


stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan meknisme
pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart, 2009). Terdapat 3
macam mekanisme koping yaitu :

(a) Mekanisme koping problem focusing (berfokus pada masalah) merupakan


mekanisme koping yang meliputi tugas dan usaha langsung dalam
mengatasi masalah yang mengancam individu (Stuart, 2009)

15
(b) Mekanisme koping cognitively focused (yang berfokus pada kognitif),
mekanisme koping seseorang berusaha untuk mengontrol dan berusaha
untuk mengontrol arti masalah dan berusaha untuk menentralkan (Stuart,
2009)
(c) Mekanisme koping Emotion Fecused (yang berfokus pada emosi), dimana
individu diorentasikan untuk menenangkan emosi yang mengancam
(Stuart, 2009). Pada usia bayi mekanisme koping anak menangis saat
basah, lapar atau haus.
b. Model Promosi Kesehatan Precede/proceed

Green (1980) telah mengembangkan pendekatan yang digunakan untuk


membuat perencanaan dan evaluasi kesehatan yang dikenal dengan sebagai
kerangka Precede (Predisposing, Reinforcing and Enabling Cause in
Education Diagnosis and Evaluation). Precede memberikan serial langkah
yang menolong perencanaan untuk mengenal masalah mulai dari kebutuhan
pendidikan sampai mengembangkan program untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, namun demikian pada tahun 1991 Green menyempurnakan kerangka
tersebut menjadi Precede-Proceed (Policy, Regulator, Organizational
Construct in Educational and Environmental Development) harus dilakukan
secara bersama-sama dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Precede digunakan pada fase diagnosa masalah, penetapan prioritas masalah,
dan tujuan program, sedangkan Proceed digunakan untuk menetapkan sasaran
dan kriteria kebijakan, serta implementasi dan evaluasi.
1) Tahap 1 : Diagnosa Sosial

Diagnosa sosial adalah proses penentuan presepsi masyarakat terhadap


kebutuhannya atau terhadap kualitas hidupnya dan aspirasi masyarakat untuk
meningkatkan hidupnya melalui partisipasi dan penerapan berbagai informasi
didesain sebelumnya, untuk mengetahui masalah sosial digunakan indikator
sosial yaitu kehadiran, pencapaian, kenyamanan, kejahatan, kebahagian,
pekerjaan, kepadatan, diskriminasi, tempat tinggal, penghargaan diri dan hak
pilih. Penilaian dapat dilakukan atas dasar sensus ataupun statistic yang ada,

16
maupun dengan melakukan pengumpulan data secara langsung dari
masyarakat, ( Green (1991, dalam Notoatmodjo, 2010).
2) Tahap 2 : Diagnosa Epidemiologi

Masalah kesehatan merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh terhadap


kualitas hidup seseorang. Efek yang ditimbulkan dapat langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kualitas hidup seseorang atau masyarakat (Green
(1991, dalam Notoatmodjo, 2012). Oleh sebab itu masalah kesehatan harus
digambarkan secara rinci berdasarkan data yang ada, baik yang berasal dari
lokal, regional maupun nasional. Tahapan ini mengidentifikasi siapa
kelompok mana yang memang dijadikan sebagai masalah kesehatan dan
bagaimana cara untuk menanggulagi atau mengatasi masalah tersebut.
Identifikasi anak usia bayi usia 0-18 bulan (bayi) untuk meningkatan
perkembangan pada usia bayi, dengan cara menstimulasi perkembangan usia
anak bayi untuk mencapai rasa percaya.
3) Tahap 3 : Diagnosa Perilaku dan Lingkungan

Pada tahapan ini akan diidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi


masalah kesehatan sekaligus diidentifikasi masalah lingkungan (fisik dan
sosial) yang mempengaruhi perilaku dan status kesehatan ataupun kualitas
hidup seseorang atau masyarakat , Green (1991) dalam Notoatmojo, 2010).
Kualitas hidup adalah presepsi individu mengenai posisi mereka dalam
kehidupannya dalam lingkup budaya dan sistem nilai kehidupan mereka serta
dalam hubungan dengan tujuan, harapan, standar yang mereka anut dan
perhatian (WHO, 1996). Sesuai dengan komitmen WHO dalam meningkatkan
kesehatan fisik, mental dan kesejahteraan sosial, maka pengukuran dan
keparahan penyakit, meningkatkan kesejahteraan dan hal ini dapat dinilai
dengan peningkatkan kualitas hidup yang berhubungan dengan pemeliharan
kesehatan. Dalam hal ini dilihat perilaku ibuibu yang mempunyai bayi belum
mampu melakukan stimulasi pada bayinya.

17
4) Tahap 4 : Diagnosa Pendidikan dan Organisasional

(a) Predisposising factor (Faktor predisposisi)

Faktor –faktor yang dapat mempermudah atau prediposisikan terjadinya


perilaku pada diri sendiri atau masyarakat, terhadap sikap, nilai, kepercayaan,
dan pengaruh dari motivasi, dalam hal ini subjeknya adalah bayi, dengan
diberikannya terapi kelompok terapeutik diharapkan dapat melakukan 8 aspek
kemampuan (motorik, koginitif, bahasa, emosi, kepribadian, moral, spiritual
dan psikososial).

(b) Enabling Factor (Faktor Pendukung)

Faktor pendukung adalah fasilitas, sarana atau prasarana yang mendukung


terjadinya perilaku seseorang, dalam hal ini subjeknya adalah ibu dan keluarga
kader kesehatan jiwa.

(c) Reinforcing Factor (Faktor Penguat)

Faktor yang dapat mempengaruhi terhadap perilaku seseorang bayi dalam


melakukan 8 aspek kemampuan.
5) Tahap 5 : Diagnosa Administrative dan Kebijakan

Pada tahap ini dilakukan analisa kebijakkan, sumber daya dan peraturan
yang berlaku yang dapat memfasilitasi atau mengambat program promosi
kesehatan, untuk stimulasi perkembangan anak usia bayi

Pada tahap ini kita melangkah dari perencanaan dengan menggunakan


Precede ke implementasi dan evaluasi dengan menggunakan Proceed. Procede
digunakan untuk meyakinkan bahwa program tersedia, dapat dijangkau, dapat

18
diterima dan dapat dipertanggungjawabkan. Green (1991, dalam Notoatmodjo,
2012).
6) Tahap 6 : Implementasi Program

Tahapan implementasi program yang ditekankan pada program promosi


kesehatan melalui pendidikan kesehatan dan penerapan kebijakkan serta
peraturan terkait pengelolaan kesehatan. Green (1991 dalam Notoatmodjo,
2012).
7) Evaluasi Proses

Evaluasi proses dilakukan untuk menilai proses yaitu setelah dilakukan


tindakan keperawatan.
8) Evaluasi Dampak

Tahap ke delapan merupakan tahapan evaluasi jangka menengah. Evaluasi


ini meliputi perubahan perilaku dan lingkungan serta perubahan pada (faktor
predisposing, enabling dan reinforcing).
9) Evaluasi Hasil

Evaluasi hasil dilakukan pada tahapan sembilan, tindakan yang dilakukan


pada tahapan ini mengukur perubahan jangka panjang berupa perubahan
dalam kesehatan dan manfaat sosial atau kualitas hidup (Green (1991) dalan
Notoadmojo, 2012). Ini memakan waktu yang sangat lama untuk
mendapatkan hasil dapat bertahun-tahun sebelum perubahan nyata dalam
kualitas hidup terlihat.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Sehat Jiwa pada Toddler

Toddler atau kanak-kanak merupakan tahapan perkembangan


psikososial kedua setelah infant dimana berada pada rentang usia 18
bulan sampai 3 tahun (Keliat et al., 2011). Perkembangan psikososial

19
pada tahap ini disebut otonomi versusragu-ragu dan malu (autonomy
versus doubt and shame) (Sacco, 2013).

Pada fase ini anak mulai belajar untuk berdiri sendiri (otonomi). Untuk itu
orangtua diharapkan untuk mampu bertindak tegas tetapi melindungi,
mendukung dan memberi kesempatan keinginan otonomi serta melindungi
dari keraguan dan rasa bersalah. Apabila fase ini dapat dilalui dengan baik,
anak akan mengemban otonomi, dengan memandang diri sebagai pribadi yang
terpisah dengan orangtua tapi masih tergantung. Sebaliknya jika gagal, anak
akan mengembangkan rasa malu dan ragu, merasa diri tidak mampu dan
meragukan diri sendiri dan dapat menyebabkan enggan belajar kemampuan
dasar seperti berjalan dan berbicara.
1. Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Kesiapan
Peningkatan Perkembangan Kemandirian Anak Toddler dengan
Konsep Model Stres Adaptasi Stuart dan Teori Modeling-Role
Modeling (MRM)

Menurut (Wuryaningsih, 2014) Praktik keperawatan harus berdasarkan


bukti (evidenced based). Artinya tindakan keperawatan yang diberikan
berdasarkan hasil penelitian dan ditunjang telaah literatur serta berdasarkan
kerangka kerja. Teori keperawatan dapat memberikan panduan kerja perawat
dalam melakukan asuhan keperawatan. Karya ilmiah akhir ini membahas
penerapan terapi kelompok terapeutik untuk meningkatkan perkembangan
kemandirian anak toddler menggunakan pendekatan model stres adaptasi
Stuart dan teori MRM.

Teori MRM dikembangkan sebagai grand theory (Erickson, Tomlin, &


Swain, 2002 dalam Alligood, 2014) dan middle range theory oleh Ellen D.
Schultz (Petterson & Bredow, 2004). Teori MRM merupakan teori yang
berfokus pada klien dan mengintegrasikan beberapa konsep teori dari
interdisiplin seperti teori perkembangan psikososial (Erickson, 1968); teori

20
perkembangan kognitif (Piaget, 1952); kebutuhan dasar manusia (Maslow,
1968), dan stress adaptasi (Selye, 1976; Engel, 1962).

Konsep model stres adaptasi Stuart dan teori MRM memandang klien
sebagai makhluk yang holistik (biopsikososiokultural). Pada teori MRM
psikologis tersebut terkait pada aspek emosi dan kognitif (Stuart, 2013). Hasil
pengkajian pada klien anak toddler dapat dilakukan secara holistik dengan
menggunakan konsep model tersebut.
a. Konsep Model Stress Adaptasi Stuart dan Teori MRM pada
Pengkajian Keperawatan pada Klien Anak Toddler

Model stress adaptasi Stuart mengintegrasikan aspek biologis, psikologis,


dan sosiokultural dalam asuhan keperawatan jiwa (Stuart, 2013). Teori MRM
memandang manusia adalah holistik yang memiliki interaksi antar subsistem
(biologis, kognitif, psikologis, dan sosial).

Perawat tidak berfokus pada satu subsistem ketika merawat kliennya


namun terintegrasi seluruh subsistem yang melekat pada individu secara
dinamis (Erickson, Tomlin, & Swain, 2002 dalam Alligood 2014).
Pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa pada klien kelompok sehat anak toddler
mencakup seluruh aspek yang holistik.

1) Faktor Predisposisi Perkembangan Kemandirian Anak Usia Toddler

Faktor predisposisi merupakan faktor risiko dan protektif yang


mempengaruhi individu dalam merespon terhadap stres. Faktor predisposisi
dikelompokkan menjadi tiga yaitu biologis, psikologis, dan sosiokultural.

(a) Faktor Biologis

Jenis faktor predisposisi biologis meliputi genetik, status nutrisi,


sensitifitas tubuh terhadap stresor, kondisi kesehatan secara umum, dan

21
paparan terhadap toksin (Stuart, 2013). Faktor genetik dan pemenuhan
kebutuhan dasar manusia pada tingkat pertama hirarki Maslow berpengaruh
terhadap pencapaian kesejahteraan klien seperti nutrisi, tidur, perawatan diri,
dan lain-lain (Erickson, Swain, & Tomlin 2002 dalam Alligood, 2014). Faktor
intrinsik/ genetik heredokonstitusional yang berisiko menyebabkan gangguan
pada perkembangan anak balita antara lain retardasi pertumbuhan intra uterin,
berat lahir rendah, prematuritas, infeksi intra uterin, gawat janin, asfiksia,
perdarahan intrakranial, kejang neonatal, hiperbilirubinemia, hipoglikemia,
infeksi, dan kelainan kongenital (Soedjatmiko, 2001). Oleh karena itu, tidak
adanya kelainan pada riwayat prenatal; intranatal; postnatal anak toddler,
pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, status gizi anak balita yang normal,
kelengkapan imunisasi, riwayat alergi, riwayat penyakit herediter dari
keluarga yang telah terdeteksi sejak dini merupakan faktor protektif biologis
anak toddler dalam mencapai tugas perkembangan kemandirian anak toddler.

(b) Faktor Psikologis

Faktor risiko ini meliputi intelegensi, kemampuan bahasa, moral,


kepribadian, pengalaman-pengalaman masa lalu, konsep diri dan motivasi,
locus of control atau kesadaran mengontrol diri sendiri, kemampuan bertahan
secara psikologis (Stuart, 2013). Pada konsep lifetime development dalam
teori MRM, pengkajian tentang tugas perkembangan perlu dilakukan karena
setiap individu pasti mengalami rentang usia perkembangan sepanjang
kehidupannya. Individu yang mampu mencapai tugas perkembangan pada tiap
tahapan usia perkembangan berkontribusi dalam pembentukan kepribadian
yang sehat dan berkarakter di lingkungannya (Erickson, Tomlin, & Swan,
2002 dalam Alligood, 2014). Kebutuhan dasar akan kebutuhan psikososial
seperti kasih sayang, penghargaan, komunikasi, stimulasi gerak, bicara, sosial,
moral, dan intelegensi akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
anak (Soedjatmiko, 2001). Pencapaian tugas perkembangan pada tahap
perkembangan sebelumnya dan pemenuhan kebutuhan psikososial anak
toddler merupakan faktor protektif anak toddler dalam mencapai kesejahteraan

22
(perkembangan kemandirian, tidak ragu-ragu dan tidak minder dalam
bertindak).

(c) Faktor Sosiokultural


Faktor risiko sosiokultural meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan,
penghasilan, pekerjaan, jabatan, budaya, keyakinan dan agama, afiliasi politik,
pengalaman sosialisasi, dan keterlibatan dalam peran sosial (Stuart, 2013).
Faktor sosiokultural atau faktor lingkungan eksternal anak yang dapat
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dasar perkembangan anak balita. Faktor
eksternal tersebut dapat meliputi kondisi kesehatan orang tua, pendidikan,
pekerjaan/ penghasilan, pengetahuan, sikap, dan ketrampilan melakukan
stimulasi tumbuh kembang, riwayat pernikahan (terpaksa, tidak direstui,
perceraian, dan lain-lain), keharmonisan hubungan antara anggota keluarga,
serta sarana dan prasarana bermain (Soedjatmiko, 2001). Pemenuhan
kebutuhan asah (fisio-biomedis), asih (cinta dan kasih sayang); dan asah
(stimulasi perkembangan) yang terpenuhi dari lingkungannya merupakan
faktor protektif dalam meningkatkan kesejahteraan anak toddler dalam
meningkatkan kemandirian perkembangan anak toddler.

2) Stresor Presipitasi Perkembangan Kemandirian Anak Toddler


Stresor presipitasi merupakan stimulus yang dinilai individu sebagai
tantangan, ancaman, atau kebutuhan. Stresor presipitasi dapat bersifat
biologis, psikologis, atau sosiokultural yang berasal dari internal individu
maupun lingkungan eksternal. Penting untuk diketahui tentang kapan
terjadinya stresor, berapa lama, berapa kali stresor tersebut, dan banyaknya
stresor yang dihadapi individu dalam periode waktu tersebut. Hal ini
berdampak pada kemampuan individu untuk mengatasi stresor (Stuart, 2013).
Stresor pada anak toddler terjadi ketika tugas perkembangannya tidak
terpenuhi (Erickson, Tomlin, & Swain, 2002 dalam Aligood, 2014). Stressor
presipitasi (biopsikososiokultural) pada anak toddler adalah stimulus yang
dinilai sebagai tantangan sehinggan tercipta koping yang adaptif dan
pertumbuhan dan perkembangan yang sehat.

23
3) Aspek Kemampuan Perkembangan Kemandirian Anak Usia Toddler

Penilaian terhadap stresor merupakan evaluasi individu terhadap makna


dan pemahaman dampak stresor terhadap kesejahteraannya. Penilaian
terhadap stresor ini meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan
sosial (Stuart, 2013). Aspek kemampuan perkembangan anak toddler ini
merupakan respon anak terhadap stimulus atau stressor yang dapat
meningkatkan kesejahteraannya.
Aspek perkembangan anak toddler meliputi aspek sosioemosional,
bahasa/komunikasi, kognitif (belajar, berpikir, memecahkan masalah), dan
gerak/ perkembangan motorik (CDC, 2014). Setiap anak memiliki
perkembangan kemampuan aspek fisik, kognitif, psikososial, dan moral yang
unik dan saling berhubungan aspek satu dengan lainnya (Potts & Mandleco,
2012). Aspek perkembangan anak balita yang sebaiknya dipantau meliputi
perkembangan gerak kasar atau motorik kasar, gerak halus atau motorik halus,
kemampuan bicara dan bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian (Kemenkes,
2011). Aspek perkembangan yang terdapat pada skrining DENVER II terkait
dengan aspekaspek lain meliputi: 1) gerak kasar; 2) gerak halus (di dalamnya
terdapat aspek koordinasi mata dan tangan, manipulasi benda-benda kecil, dan
pemecahan masalah); 3) berbahasa (di dalamnya terdapat juga aspek
pendengaran, penglihatan, dan pemahaman, komunikasi verbal); 4) personal
sosial (di dalamnya juga aspek penglihatan, pendengaran, komunikasi, gerak
halus, dan kemandirian) (Soedjatmiko, 2001). Aspek pertumbuhan dan
perkembangan secara holistik pada anak toddler antara lain motorik kasar dan
halus, aspek kognitif dan bahasa, perilaku, fisiologis, emosi, sosial, dan moral
spiritual.

4) Sumber – Sumber Koping Peningkatan Perkembangan Kemandirian


Anak Toddler

Sumber koping merupakan pilihan – pilihan atau strategi yang dimiliki


individu untuk membantu menentukan tindakan yang dilakukan untuk

24
menyelesaikan masalah secara efektif. Sumber koping meliputi kemampuan
individu (pengetahuan dan kecerdasan, ketrampilan dalam mengatasi
masalah), dukungan sosial, material aset, dan keyakinan positif. Hubungan
interpersonal individu dengan keluarga, kelompok, dan masyarakat (Stuart,
2013). Teori MRM menguraikan sumber koping individu meliputi
pengetahuan klien (self care of knowledge); sumber – sumber internal yang
dimiliki individu (self care resources); dan kemampuan klien untuk
memanfaatkan pengetahuan dan sumber – sumber internal tersebut untuk
mencapai derajat kesehatan anak yang holistik (self care of action) (Erickson,
Tomlin, & Swain, 2002 dalam Alligood, 2014). Sumber – sumber koping anak
toddler merupakan potensi yang dimiliki anak toddler untuk memenuhi tugas
perkembangan kemandirian. Sumber koping anak toddler tersebut dibedakan
menjadi dua yaitu internal dan eksternal.

Sumber koping internal adalah kemampuan personal (personal ability)


anak toddler dalam memenuhi tugas perkembangan kemandiriannya. Tugas
perkembangan kemandirian anak toddler dapat dilihat dari karakteristik
perilaku antara lain: 1) mengenal dan mengakui namanya; 2) sering
menggunakan kata jangan atau tidak; 3) banyak bertanya tentang hal/ benda
yang asing bagi dirinya; 4) mulai melakukan kegiatan sendiri dan tidak mau
diperintah (misal: minum sendiri, makan sendiri, dan berpakaian sendiri); 5)
bertindak semaunya sendiri dan tidak mau diperintah; 6) mulai bergaul dengan
orang lain tanpa diperintah; 7) mulai bermain dan berkomunikasi dengan
orang lain di luar keluarganya; 8) minimal mampu berpisah sementara dengan
orang tua; 9) menunjukkan rasa suka dan tidak suka; 10) meniru kegiatan
keagamaan yang dilakukan keluarga (Keliat, Daulima, & Farida, 2007); 11)
tampak percaya diri tampil di depan/ tidak takut dalam melakukan sesuatu
(Stippek, Kopp, & Heidi, 2006). Pencapaian tugas perkembangan kemandirian
anak toddler tersebut dapat memelihara kesejahteraan anak secara holistik.
Sumber koping eksternal dari anak toddler meliputi dukungan sosial,
material aset, dan keyakinan postif (positive beliefs). Dukungan sosial utama
yang dimiliki anak toddler paling utama adalah keluarga/ ibu. Ibu (atau

25
pengganti ibu) merupakan lingkungan pertama dan paling erat sejak janin di
dalam kandungan sampai remaja oleh karena itu disebut lingkungan mikro
(Soedjatmiko, 2001). Oleh karena itu, ibu berperan memberikan lingkungan
kondusif memenuhi kebutuhan anak toddler dalam proses belajar tentang
dunia.

5) Mekanisme Koping Anak Toddler dan Keluarga dalam Peningkatan


Perkembangan Kemandirian Anak Toddler

Mekanisme koping merupakan upaya yang dilakukan individu untuk


manajemen stres dalam rangka mempertahankan kesejahteraan. Mekanisme
koping dibagi menjadi dua jenis yaitu destruktif dan konstruktif Penting bagi
perawat memberikan intervensi berupa tindakan pencegahan primer dalam
mencegah masalah kesehatan jiwa. (Stuart, 2013). Mekanisme koping yang
konstruktif/ adaptif berpotensi untuk meningkatkan perkembangan
kemandirian anak toddler.
Salah satu prioritas strategi dalam meningkatkan kesehatan jiwa yaitu
mendorong perkembangan positif pada masa kanak-kanak termasuk pola
pengasuhan yang positif dan bebas dari perilaku kekerasan di rumah (Healthy
care Gov, 2014). Penerapan ketrampilan pola asuh yang baik dan menciptkan
lingkungan rumah yang mendukung pembelajaran mempengaruhi peningkatan
pencapaian perkembangan dan kesejahteraan anak balita. Orang tua mulai
berupaya membentuk/ mengarahkan perilaku sosial anak sehingga perilaku
orang tua sangat mempengaruhi pencapaian tugas perkembangan anak toddler
(ESRC, 2011). Peran orang tua dalam pola pengasuhan anak usia toddler
diharapkan pola pengasuhan yang memberikan kesempatan pada anak untuk
melakukan aktivitas sesuai dengan tahap perkembangannya.

b. Diagnosa Keperawatan
NANDA International menetapkan diagnosis keperawatan pada kelompok
sehat/ promosi kesehatan pada anak toddler adalah kesiapan peningkatan
perkembangan: kemandirian pada anak usia toddler

26
c. Rencana Tindakan Keperawatan
Peningkatan kemampuan individu untuk mencapai perkembangan secara
optimal sesuai rentang usia perkembangan merupakan salah satu tujuan utama
dari promosi kesehatan jiwa (Stuart, 2013; WHO, 2013). Peningkatan
pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan anak dalam rentang
normal adalah strategi meningkatkan kesehatan anak secara menyeluruh
termasuk kesehatan jiwa pada anak (Potss & Mandleco, 2012). Pemberi
asuhan anak usia toddler adalah keluarga sehingga perawat jiwa diharapkan
mampu memberdayakan keluarga dalam merawat anak usia toddler tersebut
(Stuart, 2013). Promosi kesehatan tentang perkembangan pada anak usia
toddler dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
orang tua terutama ibu sebagai pengasuh utama anak untuk melakukan
stimulasi perkembangan anak. Rencana tindakan keperawatan untuk promosi
kesehatan kesejahteraan anak usia toddler secara holistik yaitu mencapai tugas
perkembangan kemandiriannya dalam melakukan kegiatan sehari – hari.
Rencana tindakan keperawatan tersebut ditujukan pada anak toddler, keluarga,
dan KKJ.

1) Rencana Tindakan Keperawatan untuk Anak Toddler

Rencana tindakan keperawatan untuk mencapai tugas perkembangan


kemandirian anak toddler meliputi tindakan keperawatan generalis dan
tindakan keperawatan spesialis. Uraian rencana tindakan keperawatan untuk
anak toddler sebagai berikut:
a) Rencana Tindakan Keperawatan Generalis:
1) Latih anak untuk melakukan kegiatan secara mandiri.
2) Puji keberhasilan yang dicapai anak.
3) Tidak menggunakan kata yang memerintah tetapi melatih anak
memberikan pilihan – pilihan dalam memuaskan keinginannya.
4) Hindari suasana yang membuat anak bersikap negatif.
5) Tidak menakut – nakuti anak dengan kata – kata ataupun perbuatan, tidak
mengancam anak.

27
6) Berikan mainan sesuai usia perkembangan (boneka, mobil – mobilan,
balon, bola, kertas gambar, dan pensil warna).
7) Saat anak mengamuk (tempertantrum), pastikan ia aman dan awasi dari
jauh.
8) Beri tahu tindakan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan,
tindakan baik dan buruk dengan kalimat positif.
9) Libatkan anak dalam kegiatan keagamaan.
b) Rencana Tindakan Keperawatan Spesialis

Terapi kelompok terapeutik pada anak toddler : Melatih anak


mempraktikkan ketrampilan untuk menstimulasi perkembangannya pada
aspek motorik kasar dan motorik halus, kognitif, bahasa/ komunikasi, emosi –
kepribadian, moral spiritual, dan psikososial dengan melibatkan partisipasi
orang tua (Keliat, Akemat, Daulima, & Nurhaeni, 2007).

2) Tindakan Keperawatan untuk Keluarga

Pencapaian tugas perkembangan anak toddler memerlukan keterlibatan


keluarga terutama ibu. Rencana tindakan keperawatan untuk mencapai tugas
perkembangan kemandirian anak toddler untuk keluarga meliputi tindakan
keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis. Uraian rencana
tindakan keperawatan untuk keluarga dengan anak toddler sebagai berikut:
a) Rencana Tindakan Keperawatan Generalis:
(1) Informasikan pada keluarga mengenai cara yang dapat dilakukan untuk
memfasilitasi kemandirian anak – anak.
(2) Diskusikan dengan keluarga mengenai cara yang akan digunakan keluarga
untuk menstimulasi kemandirian anak – anak.
(3) Latih keluarga mengenai metode tersebut dan damping saat keluarga
melakukannya pada anak. Bersama keluarga susun tindakan yang akan
dilakukan dalam melatih kemandirian anak.
b) Rencana Tindakan Keperawatan Spesialis:

28
(1) Terapi kelompok terapeutik pada anak toddler: Mendemonstrasikan
kegiatan – kegiatan untuk menstimulasi kemampuan perkembangan anak
toddler pada aspek motorik kasar dan motorik halus, kognitif, bahasa/
komunikasi, emosi – kepribadian, moral spiritual, dan psikososial dan
memberi kesempatan ibu untuk melakukannya kepada anak.
(2) Fasilitasi ibu dengan anak toddler memanfaatkan sumber dukungan dari
teman dan KKJ (Kader Keperawatan Jiwa) juga tenaga kesehatan dalam
merawat anak.
(3) Fasilitasi ibu memperoleh dukungan emosional dan pengetahuan cara
menstimulasi perkembangan anak toddler dari anggota kelompok.
(4) Terapi suportif
(Keliat, Akemat, Daulima, & Nurhaeni, 2007; Bulucheck, Butcher, &
Dochterman, 2013)

3) Rencana Tindakan Keperawatan untuk KKJ

Tatanan pelayanan keperawatan di komunitas memerlukan peran KKJ


dalam menggerakkan masyarakat untuk mengikuti kegiatan penyuluhan
maupun terapi kelompok yang diberikan oleh perawat. Upaya membantu anak
toddler mencapai tugas perkembangan di tatanan komunitas memerlukan
bantuan KKJ. Rencana tindakan keperawatan untuk KKJ dalam rangka
membantu ibu dan anak toddler mencapai tugas perkembangan kemandirian
anak toddler sebagai berikut:
a) Berikan pendidikan kesehatan tentang tugas perkembangan dan cara
stimulasi perkembangan kemandirian anak toddler.
b) Diskusikan dengan KKJ tentang ciri – ciri penyimpangan perkembangan
anak toddler dan kenalkan cara merujuk jika terdapat penyimpangan
perkembangan anak.
c) Latih KKJ melakukan deteksi dini keluarga dengan anak usia toddler pada
kelompok sehat.
d) Latih KKJ melakukan pergerakkan keluarga dengan anak toddler untuk
mengikuti kegiatan penyuluhan/ terapi kelompok terapeutik.

29
e) Latih KKJ untuk melakukan kunjungan rumah pada keluarga dengan anak
toddler yang telah mengikuti terapi kelompok terapeutik.
f) Latih KKJ untuk melakukan pemantauan perkembangan anak toddler
ketika penimbangan balita di posyandu.
g) Ciptakan iklim motivasi yang positif terhadap kinerja perawat.
(Keliat, Akemat, Daulima, & Nurhaeni, 2007).

C. Konsep Asuhan Keperawatan Sehat Jiwa pada Anak Pra Sekolah


Perkembangan psikososial pada anak usia prasekolah menurut Erikson
(1963), berada pada tahap inisiative versus guilt (inisiatif versus rasa bersalah)
dimana anak menunjukkan imajinasi , meniru orang dewasa, mengetes
kenyataan atau fakta yang ada. Tugas utama anak prasekolah adalah
perkembangan rasa inisiatif

1. Konsep Anak Pra Sekolah

Potter (2005) dalam (Reknoningsih, 2014) menyebutkan bahwa periode


pra sekolah merupakan periode usia antara 3-6 tahun dimana anak
menyempurnakan penguasaan terhadap tubuh dan merasa cemas menunggu
awal pendidikan formal. Pendapat serupa disampaikan oleh Wong (2008),
yang menjelaskan anak usia pra sekolah adalah anak yang berusia antara 3-6
tahun yang memiliki karakteristik tersendiri dalam segi pertumbuhan dan
berkembangannya dengan kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.

Hurlock (1978) menjelaskan bahwa anak usia 3-6 tahun adalah anak yang
sedang berada pada periode sensitif atau masa peka yaitu masa dimana suatu
fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak terlambat
perkembangannya. Golden Age adalah istilah yang sering digunakan bagi
anak pra sekolah. Hal ini dikarenakan masa anak merupakan fase penting,
berharga dan sangat fundamental bagi perkembangan individu, masa
pembentukan periode kehidupan manusia serta adanya peluang sangat besar
untuk pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang.

30
2. Perkembangan Anak Usia Pra Sekolah

Potter (2005) membagi perkembangan anak usia pra sekolah menjadi tiga
bagian yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif dan perkembangan
psikososial. Perkembangan fisik pada anak pra sekolah berfokus pada bentuk
dan fungsi organ tubuh yang meliputi denyut jantung dengan rata-rata
90x/menit, rata-rata pernapasan 22-24x/menit, rata-rata tekanan darah
95/58mmHg, berat badan meningkat + 2,5 kg per tahun, panjang badan pada
usia 4 tahun 2 kali panjang lahir, ukuran kepala anak 90% ukuran dewasa pada
usia 6 tahun, anak dapat berlari dengan baik, berjalan naik dan turun tangga,
melompat, melempar dan menangkap bola.

Piaget (1952 dalam Potter 2005) juga menjelaskan perkembangan kognitif


anak pra sekolah berkembang sesuai dengan pertambahan usianya. Sampai
dengan usia 4 tahun, kognitif berkembang sebagai pemikiran prakonseptual
yang ditandai dengan kemampua anak menilai orang, benda, dan kejadian di
luar mereka atau apa terlihat oleh anak. Sekitar usia 4 tahun, pemikiran pra
operasional anak berkembang menjadi kemampuan untuk berpikir lebih
kompleks dengan mengklasifikasikan benda-benda menurut ukuran atau
warna. Pada saat usia anak mendekati 5 tahun, mereka mulai memahami
penyebab dan alasan dari hal yang umum ke arah yang lebih khusus. Kosakata
anak pra sekolah juga terus meningkat cepat dimana pada usia 5 tahun, anak
sudah memiliki lebih dari 2000 kata yang dapat digunakan untuk menentukan
nama benda yang dikenal, mengidentifikasi warna, mengekspresikan
keinginan dan perasaan mereka. Kemampuan bahasa anak juga berkembang
menjadi lebih sosial. Selain itu juga dijelaskan bahwa perkembangan moral
anak akan meningkat dengan kemampuan mengidentifikasi perilaku yang
dapat memberikan hadiah atau malah hukuman dan mulai melabel perilaku
tersebut sebagai sesuatu yang benar atau salah.

31
Potts dan Mandleco (2012) membangi perkembangan pra sekolah menjadi
5 yaitu perkembangan fisik, psikoseksual, kognitif, psikososial dan moral
sebagai berikut :

a. Perkembangan Fisik

Pada usia 3 tahun, pertumbuhan rata-rata berat badan 14,6 kg dengan


tinggi badan 95 cm, anak mampu mengontrol BAB dan BAK malam hari,
mampu berjalan, berlari, melompat dan mengangkat satu kaki dalam beberapa
detik, anak mampu menumpuk 9-10 kubus, mampu membuat coretan
lingkaran namun belum mampu membuat garis. Pada umur 4 tahun,
pertumbuhan anak pra sekolah ditandai dengan rata-rata berat badan 16,7 kg,
tinggi badan 103 cm, mampu berdiri dengan satu kaki, berjalan melingkar,
jinjit, menangkap bola dengan 2 tangan, menggambar garis dengan 3 bagian
dan memakai sepatu dengan model sederhana. Pada usia 5 tahun pertumbuhan
rata-rata berat badan anak 18,7 kg, gigi sudah mulai keropos atau geripis,
mampu melompat tinggi, belajar berenang, menangkap dan melempar bola,
mampu berlari dengan mengkoordinasikan lengan dan tangan, menggunakan
pensil secara baik, menggunting dan menggambar orang dengan 6 bagian
tubuh.

b. Perkembangan Psikoseksual

Pada usia 3 tahun, anak mampu mengenal jenis kelamin sendiri dan orang
lain dan mulai meniru peran dan sikap di lingkungan sekitarnya. Pada usia 4
tahun, perkembangan seksual semakin matang ditandai dengan kemampuan
mengenal dan menjelaskan perbedaan jenis kelamin, serta bermain peran
sesuai dengan jenis kelaminnya. Pada usia 5 tahun, anak mulai belajar
memahami peran dari setiap jenis kelamin dan dapat menerima penjelasan
tentang adanya kemungkinan kekerasan seksual pada anak.

32
c. Perkembangan Kognitif

Karakteristik perkembangan kognitif anak pra sekolah adalah


berkembangnya pemikiran pra operasional yang ditandai dengan pemikiran
yang berpusat pada diri sendiri (egosentris), berpikir nyata, memahami alasan
dan berkhayal. Pada usia 3 tahun, anak mulai belajar melihat dan meniru
sesuatu di sekitarnya, memahami konsep waktu, banyak bertanya tentang
lingkungan, takut pada sesuatu yang spesifik, berimajinasi dan belajar
mengenal warna dan angka. Pada usia 4 tahun, egosentris anak mulai
berkurang, perhatian terhadap lingkungan berkembang, beranalogi dengan
sifat yang berlawanan semisal panas dan dingin, lebih memahami konsep
waktu dan konsep ukuran atau bentuk seperti panjang, pendek dan berat. Pada
usia 5 tahun, anak mulai belajar memahami peran dalam lingkungannya,
mengelompokkan benda sesuai dengan persamaannya. Perkembangan bahasa
pada usia 3 tahun ditandai dengan anak mengerti nama, umur, membuat
kalimat dari 3-4 kata, banyak bertanya, dan mempunyai kosakata + 900 kata.
Sedangkan di usia 4 tahun, perkembangan bahasa terlihat dari kemampuan
membuat kalimat panjang yang terdiri 4-5 kata, mengerti minimal 1 warna dan
mempunyai 1500 kosakata. Pada usia 5 tahun, perkembangan bahasa semakin
meningkat dengan 2100 kosakata, mengenal minimal 4 warna, mengenal nama
hari dalam seminggu, nama bulan dan dapat mengikuti 3 perintah sekaligus.

d. Perkembangan Psikososial

Menurut Erikson (dalam Pott dan Mandleco, 2012), karakteristik


perkembangan psikososial anak pra sekolah adalah rasa inisiatif vs rasa
bersalah, dimana anak sangat energik dalam bermain dan merasa puas dengan
aktivitasnya. Anak mulai belajar bermain dengan meniru sikap orang dewasa,
bermain bersama teman, berbagi mainan dan bermain dengan aturan
sederhana. Pada usia 3 tahun, anak senang melewatkan waktu bersama orang
tua, cemburu atau sibling terhadap adiknya, mampu mengerjakan pekerjaan
rumah yang sederhana, mempunyai cara penyelesaian masalah yang

33
cenderung regression, denial, projection, displacement, attack, ratinalization
dan sublimation. Pada usia 4 tahun, rasa sibling semakin terlihat dengan
munculnya rasa bersaing dengan saudara, dan dapat berkembang menjadi
perasaan frustasi terhadap orang tua dan saudara, namun demikian anak mulai
mandiri dalam berpakaian dan makan, mudah bercerita terhadap orang lain,
dan mulai mengungkapkan rasa takut terhadap hewan, kondisi gelap dan rasa
sakit. Pada usia 5 tahun, anak merasa nyaman bersama orang tua, senang
beraktivitas dengan keluarga, belajar menjalankan aturan, belajar
bertanggungjawab, dan mampu mengungkapkan secara verbal tentang
perasaannya.

e. Perkembangan Moral

Anak usia pra sekolah mulai belajar meminta maaf, mengucapkan terima
kasih dan mulai perhatian terhadap orang lain. Spiritual anak pun mulai
berkembang dengan meniru kegiatan agama, sikap orang tua, dan belajar
memahami konsep Tuhan dalam bahasa anak.
Keliat, et al (2011) menjelaskan perkembangan inisiatif anak pra sekolah
antara lain mengkhayal, kreatif, berinisiatif bermain dengan alat-alat di rumah,
belajar ketrampilan fisik baru, bermain bersama anak seusia, mudah berpisah
dengan orang tua, mengetahui salah dan benar, mengikuti aturan, mengenal
minimal 4 warna, merangkai kata menjadi kalimat, melakukan pekerjaan
rumah yang sederhana dan mengenal jenis kelamin.

3. Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Anak


Potter (2005) menjelaskan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan terdiri dari kekuatan alami dan juga kekuatan eksternal.
Kekuatan alami terdiri dari faktor hereditas atau genetik yang menetapkan
pembawaaan jenis kelamin, ras, rambut, warna mata, pertumbuhan fisik, sikap
tubuh, dan keunikan psikologis lain. Kekuatan alami lain yang juga
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah sisi temperamen
atau alam perasaan psikologis anak antara lain tipe perilaku atau sikap yang

34
mudah, sikap yang lambat, hangat dan perilaku yang sukar diatur. Sedangkan
kekuatan eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak
terdiri dari faktor keluarga, kelompok teman sebaya, pengalaman hidup,
kesehatan lingkungan, kesehatan prenatal, nutrisi, pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur, olah raga, status kesehatan dan lingkungan tempat tinggal.

4. Peran Keluarga dalam Stimulasi Perkembangan Anak

Briawan dan Herawati (2008), menjelaskan bahwa ibu mempunyai peran


sangat tinggi dalam memberikan stimulasi terhadap perkembangan anak,
sedangkan keterlibatan ayah dan anggota keluarga lainnya masih rendah.
Disebutkan pula bahwa stimulasi yang diberikan keluarga pada anak usia 3-4
tahun adalah dengan memberi kesempatan anak melompat dengan satu kaki,
melatih menggunting mengikuti gambar, melatih bersikap sopan santun, dan
melatih anak mengancingkan bajunya sendiri.

Susetyo, Ratnasari dan Hidayati (2012) menjelaskan bahwa keluarga


merupakan tempat atau lingkungan pendidikan pertama serta utama bagi
seorang anak dimana perkembangan kepribadian mulai berkembang, anak
mulai dilatih melakukan penguasaan diri, mengenal nilai-nilai dan peran
sosial, sehingga ketika anak sudah cukup umur untuk memasuki lingkungan di
luar lingkungan keluarganya, pondasi kepribadian anak sudah lebih terarah
dan terbentuk. Selain itu, dijelaskan pula bahwa peran keluarga dalam
perkembangan anak balita terbagi menjadi 4 (empat) yaitu :

a. Peran Stimulus

Peran ini dilakukan semenjak anak dalam kandungan melalui aktivitas


sederhana, seperti membantu ketersediaan asupan gizi, bernyanyi, mendoakan,
dan mengajak bicara.

b. Peran Pengasuhan Anak

35
Peran ini dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
tetapi juga menjalankan peran domestik dalam merawat dan membesarkan
anak.

c. Peran Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Peran ini dilakukan sejak anak masih dalam kandungan dimana orang tua
tidak pernah melewatkan setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak
dan berusaha menjadi teman yang baik buat anak.
d. Peran Pendidikan bagi Anak

Keluarga atau orang tua mengajarkan kepada anak penguasaan diri, nilai
dan peran sosial, sehingga anak mempunyai pondasi atau dasar kepribadian
yang terarah ketika memasuki lingkungan sekunder atau lingkungan di luar
keluarganya.

Maglaya (2009), menjelaskan 5 (lima ) tugas yang harus dijalankan


keluarga dengan anggota keluarga pada masa pra sekolah :

a. Mengenal masalah anggota keluarga pada masa pra sekolah

Keluarga harus memiliki pengetahuan tentang tahap tumbuh kembang


anak dan kebutuhan yang harus dipenuhi sesuai dengan karakteristik usia pra
sekolah, penyimpangan perilaku yang ditimbulkan dari tidak terpenuhinya
kebutuhan tumbuh kembang anak, masalah yang timbul akibat tidak atau
kurang terpenuhinya kebutuhan tumbuh kembang anak, upaya untuk
mencegah agar tidak timbul masalah tumbuh kembang anak dan strategi
koping serta tehnik peyelesaian masalah (problem solving) dengan
memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia seperti terapi kelompok
terapeutik.

36
b. Mengambil keputusan dalam memberikan stimulasi

Seluruh anggota keluarga mempunyai peran dalam mengoptimalkan


stimulasi anak usia pra sekolah, sehingga keluarga harus mengkomunikasikan
pada anggota keluarga yang lain agar ikut berperan dalam memberikan
stimulasi perkembangan pada anak.

c. Merawat anggota keluarga

Erikson (dalam Wilson, 2007), menjelaskan pentingnya membekali


keluarga dengan pengetahuan tentang cara memberikan stimulasi yang tepat
supaya anak kompeten di kelak kemudian hari melalui latihan memberikan
stimulasi perkembangan sesuai aspek perkembangan yang meliputi aspek
motorik, kognitif, bahasa, emosi, kepribadian, moral, spiritual dan psikososial.
Keluarga dengan anak usia pra sekolah merawat anaknya dengan memberikan
stimulasi perkembangan sesuai dengan tahap tumbuh kembangnya di rumah.
Graham (2005 dalam Santrock, 2007), menyebutkan bahwa keluarga
hendaknya senantiasa memberikan reinforcement setiap anak berhasil
melakukan keterampilan yang dilatih, karena reinforcement dapat
meningkatkan harga diri anak sehingga anak akan menunjukkan inisiatif yang
lebih besar.

Ibung (2009), menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan orang tua
agar pujian yang diberikan kepada anak menjadi lebih efektif, yaitu memuji
dilakukan segera setelah sikap atau perbuatan terjadi, memuji dilakukan secara
verbal dan non verbal, dan pujian yang diberikan bersifat deskriptif dan bukan
evaluatif. Melalui pujian yang bersifat deskriptif anak menjadi mengerti
hubungan sikap atau perbuatannya dengan hasil yang didapat serta pujian
yang diterima. Sementara jika pujian bersifat evaluatif, anak merasa dinilai
sikap dan perbuatannya.

37
d. Mempertahankan suasana kondusif di rumah

Untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak usia pra sekolah,


seluruh keluarga harus mampu menciptakan suasana yang nyaman pada
anggota keluarga misalnya dengan memberikan perhatian dan memberikan
reinforcement positif.

e. Memanfaatkan pelayanan kesehatan dan sarana kesehatan

Keluarga harus mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan seperti


puskesmas, posyandu, balai pengobatan dan sumber-sumber didalam keluarga
itu sendiri yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tumbuh
kembang anggota keluarganya.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan
orang yang tepat dalam melakukan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan
anak. Keluarga atau orang tua bertanggungjawab terhadap pemenuhan
kebutuhan anak baik itu kebutuhan biologis, psikologis, sosial, moral dan
spiritual. Orang tua tidak hanya memberi, namun juga melakukan stimulasi
atau rangsangan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga
anak mampu mencapainya secara optimal sesuai tahapan perkembangannya.

38
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Fase bayi merupakan fase perkembangan untuk menumbuhkan rasa


kepercayaan dasar vs kecurigaan dasar. Keberhasilan fase ini sangat
dipengaruhi oleh adanya peran ibu atau orang yang dianggap ibu dalam
memberikan penemuhan kebutuhan. Ibu diharapkan menjadi figur yang dapat
dipercaya dan diandalkan sehingga tumbuh rasa percaya pada anak, namun
jika kondisinya berbanding terbaik, maka anak akan menumbuhkan rasa
curiga, kecemasan, ketidakpercayaan diri dan lingkungannya. Asuhan
keperawatan sehat jiwa pada bayi menggunakan pendekatan teori model stress
adaptasi Stuart (2009) dan teori model Precede/Proceed Green (1991), dalam
melakukan tindakan terapi spesialis yaitu terapi kelompok terapeutik pada usia
bayi rasa percaya (Slametiningsih, 2013).

Toddler atau kanak-kanak merupakan tahapan perkembangan


psikososial kedua setelah infant dimana berada pada rentang usia 18
bulan sampai 3 tahun (Keliat et al., 2011). Perkembangan psikososial
pada tahap ini disebut otonomi versusragu-ragu dan malu (autonomy
versus doubt and shame) (Sacco, 2013). Pada fase ini anak mulai belajar
untuk berdiri sendiri (otonomi). Untuk itu orangtua diharapkan untuk mampu
bertindak tegas tetapi melindungi, mendukung dan memberi kesempatan
keinginan otonomi serta melindungi dari keraguan dan rasa bersalah. Apabila
fase ini dapat dilalui dengan baik, anak akan mengemban otonomi, dengan
memandang diri sebagai pribadi yang terpisah dengan orangtua tapi masih
tergantung. Sebaliknya jika gagal, anak akan mengembangkan rasa malu dan
ragu, merasa diri tidak mampu dan meragukan diri sendiri dan dapat
menyebabkan enggan belajar kemampuan dasar seperti berjalan dan berbicara.

39
Perkembangan psikososial pada anak usia prasekolah menurut Erikson
(1963), berada pada tahap inisiative versus guilt (inisiatif versus rasa bersalah)
dimana anak menunjukkan imajinasi , meniru orang dewasa, mengetes
kenyataan atau fakta yang ada. Tugas utama anak prasekolah adalah
perkembangan rasa inisiatif. Hurlock (1978) menjelaskan bahwa anak usia 3-6
tahun adalah anak yang sedang berada pada periode sensitif atau masa peka
yaitu masa dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga
tidak terlambat perkembangannya. Golden Age adalah istilah yang sering
digunakan bagi anak pra sekolah. Hal ini dikarenakan masa anak merupakan
fase penting, berharga dan sangat fundamental bagi perkembangan individu,
masa pembentukan periode kehidupan manusia serta adanya peluang sangat
besar untuk pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang.

B. Saran

Dengan penyusunan paper ini, semoga bermanfaat bagi para pembaca,


khususnya bagi mahasiswa keperawatan. Penyusun berharap agar para
pembaca dapat lebih memahami mengenai konsep asuhan keperawatan sehat
jiwa rentang kehidupan bayi, toddler dan pra sekolah sehingga ilmu yang
didapatkan dapat bermanfaat di masa yang akan datang.

40
41
DAFTAR PUSTAKA

Istiana, D., Keliat, B. A., & Nuraini, T. (2017). Terapi Kelompok Terapeutik
Anak Dengan Orang Tua Dan Guru Meningkatkan Perkembangan Mental
Anak Usia Sekolah. Jurnal Ners, 6(1), 93–99. Retrieved From
Http://Dx.Doi.Org/10.20473/Jn.V6i1.3971

Reknoningsih, W. (2014). Efektivitas Terapi Kelompok Terapeutik Pra Sekolah


Terhadap Perkembangan Inisiatif Anak Usia Pra Sekolah Dengan
Pendekatan Model Konseptual Hildegard Peplau Di Rw 06 Kel. Sukadamai
Tanah Sareal Bogor. Universitas Indonesia, 1–124.

Slametiningsih. (2013). Peningkatan Perkembangan Anak Usia Bayi Untuk


Meningkatkan Rasa Percaya Diri Melalui Pemberian Terapi Kelompok
Terapeutik Di Rw 02,03 Dan 11 Kelurahan Tanah Baru Bogor Utara.
Universitas Indonesia, FIK.

Wuryaningsih, E. W. (2014). Penerapan Terapi Kelompok Terapeutik Dalam


Menstimulasi Perkembangan Anak Usiatoddler: Pendekatan Model Stres
Adaptasi Stuart Dan Teori Modeling – Role Modeling. Universitas
Indonesia, FIK.

42

Anda mungkin juga menyukai