Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

EPILEPSI PADA ANAK


Dosen Pembimbing : Laviana Nita L, S.Kep.,Ns, M.Kep

Disusun oleh Kelompok 4 :


Amanda Dwi Silviana (201902009)
Emilia Margaretha (201901024)
Fivka Dwi Utami (201901032)
Galuh Sukma Jatining P (201901033)
Setia Dwinarma Sekar T (201901076)
Silvia Eka Agustin (201901078)
Siska Ayu Pramesti (201901079)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES KARYA HUSADA KEDIRI
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “EPILEPSI PADA ANAK”, tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan tentang
Asuhan Keperawatan Epilepsi Pada Anak bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen Ibu Andika Laviana Nita L,
S.Kep.,Ns, M.Kep selaku dosen fasilitator tugas Asuhan Keperawatan tentang Epilepsi Pada
Anak kelompok 4.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Pare, 30 Maret 2021

(Penulis)

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah........................................................................................3

1.3. Tujuan...........................................................................................................3

1.3.1 Tujuan Umum........................................................................................3

1.3.2 Tujuan Khusus.......................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................4

2.1. Definisi........................................................................................................4

2.2. Anatomi Fisiologi........................................................................................5

2.3. Patofisiologi................................................................................................9

2.4. Manifestasi Klinik.....................................................................................11

2.5. Pemeriksaan Penunjang.............................................................................11

2.6. Komplikasi................................................................................................11

2.7. Penatalaksanaan........................................................................................12

BAB III PEMBAHASAN...................................................................................16

3.1. Kasus Semu...............................................................................................16

3.2. Pengkajian.................................................................................................16

3.3. Riwayat Kesehatan....................................................................................17

2
3.4. Pemeriksaan Fisik.....................................................................................17

3.5. Pemeriksaan Penunjang.............................................................................18

3.6. Analisis Data.............................................................................................18

3.7. Diagnosa Keperawatan..............................................................................19

3.8. Intervensi...................................................................................................20

3.9. Implementasi.............................................................................................23

3.10.Evaluasi.....................................................................................................25

BAB IV KESIMPULAN.....................................................................................27

4.1 Kesimpulan.................................................................................................27

4.2 Saran...........................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................28

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi merupakan penyakit yang mengganggu saraf otak. Epilepsi


ditandai dengan kejang berulang yang terjadi tanpa adanya stimulus
(Anurogo & Usman, 2014, h. 66). Epilepsi adalah kelainan kronis yang
terjadi di otak yang menyerang banyak penduduk di seluruh dunia. Penyakit
ini ditandai dengan kejang yang berulang, terjadi episode gerakan spontan
secara singkat yang melibatkan sebagian tubuh (parsial) atau seluruh bagian
tubuh (umum), terkadang juga disertai dengan kehilangan kesadaran dan
kehilangan kontrol dari kandung kemih (WHO, 2015). Selain mengalami
kejang pada tubuh, ada gejala lain yang dapat dilihat seperti bengong sesaat,
tidak merespon saat dipanggil, dan disertai mulut yang mengecap-ngecap
(Anurogo & Usman, 2014, h. 67).

World Health Organization (WHO) mencatat bahwa sekitar 50 juta


penduduk dunia menderita penyakit epilepsi. Secara umum 2,4 juta
penduduk dunia didiagnosa pertama kali memiliki penyakit epilepsi setiap
tahunnya (WHO, 2015). Di Indonesia, sekitar 1,1-2,2 juta penduduk
mengidap penyakit epilepsi (Anurogo & Usman, 2014, h. 67). Epilepsi ini
dapat diderita oleh siapapun termasuk anak-anak, remaja, orang dewasa
bahkan manula. Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak
morbiditas di bidang syaraf anak yang menimbulkan berbagai
permasalahan, antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh kembang, dan
menentukan kualitas hidup anak. Di Indonesia, terdapat paling sedikit
700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus
baru setiap tahun dan di perkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak
(Suwarba, 2011, h. 124).

4
Epilepsi adalah salah satu kelainan saraf yang paling sering terjadi
pada masa anak-anak. Lima persen dari keseluruhan anak di dunia
mengalami paling sedikit satu kali kejang dalam hidupnya. Dua puluh lima
persen dari anak yang mengalami kejang tersebut, akan didiagnosa terkena
penyakit epilepsi. Secara kognitif, anak-anak dengan penyakit epilepsi
terlihat menunjukan kekurangan pada fungsi intelektual, ingatan, perhatian
dan fungsi-fungsi utama pada tubuh (Christopher & Kiefel, 2012, h. 1).

Peneliti melakukan wawancara pada M, ibu dari K (tujuh tahun). M


mengaku mengetahui anaknya memiliki penyakit epilepsi ketika berusia
lima tahun. M bercerita ketika K berusia lima tahun pernah mengalami
benturan pada kepalanya. Semenjak saat itu K sering mengeluh pusing,
tetapi ibu hanya mengira pusing biasa, sampai pada suatu malam saat tidur
K mengalami sebuah bangkitan pada bagian tubuhnya yaitu mata yang
berkedip-kedip selama 15 detik. M juga menceritakan bahwa K kurang
dapat memfokuskan perhatian pada saat belajar dan harus didampingi secara
privat oleh gurunya (M, 2015).

Masyarakat sering menyebut penyakit epilepsi dengan sebutan ayan.


Penyakit epilepsi bukanlah sebuah penyakit yang menular, tetapi
masyarakat masih sering mempunyai pandangan dan stigma yang keliru
pada penderita epilepsi. Mereka cenderung menjauhi penderita epilepsi
karena mereka menganggap bahwa epilepsi sama seperti penyakit jiwa,
bahkan masyarakat meyakini bahwa penyakit ini bisa menular melalui air
liur yang keluar pada saat penderita epilepsi mengalami kejang (Harsono,
2007, h. 11). Dampak sosial yang muncul bervariasi dari berbagai negara,
tetapi diskriminasi dan stigma yang buruk pada penyakit epilepsi lebih sulit
diatasi daripada mengobati penyakit epilepsi itu sendiri. Penderita epilepsi
sering mendapat prasangka dan stigma yang buruk sehingga hal tersebut
dapat memperlambat identifikasi dan pengobatan untuk penyakitnya, serta
dapat menimbulkan dampak pada kualitas hidup orang dengan epilepsi dan
keluarganya (WHO, 2015).

Seseorang yang didiagnosis mempunyai penyakit epilepsi akan


mengalami banyak kesulitan psikologis. Kesedihan yang sangat mendalam

5
akibat penyakit epilepsi dimunculkan dalam bentuk syok, cemas, penolakan,
depresi, kemarahan (Hills, 2007, h. 10).

Yong, Chengye, dan Jiong (dalam Primardi & Hadjam, 2010, h. 124)
menyatakan bahwa kualitas hidup yang rendah ditemukan pada anak-anak
dengan epilepsi. Beberapa hal dapat memengaruhi kualitas hidup pada anak
dengan epilepsi di antaranya adalah perkembangan mental, tingkat
pendidikan, usia awal munculnya serangan dan frekuensi serangan. Sebuah
penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa epilepsi pada anak
memengaruhi secara langsung kehidupannya di masa dewasa. Dalam
investigasi yang dilakukan pada kelompok anak-anak yang mengidap
epilepsi sejak masa anak-anak sampai 30 tahun, terbukti orang dengan
epilepsi memiliki sejumlah masalah di berbagai sisi kehidupan, seperti
kehidupan pernikahan, pekerjaan, pendapatan, status hidup mandiri dan
kejiwaan. Permasalahan yang dihadapi selama masa dewasa tersebut dapat
muncul karena pada masa anak-anak tidak ditangani secara baik
(Christopher & Kiefel, 2012, h. 1).

Epilepsi tidak hanya berdampak bagi penderita, namun juga


berdampak pada keluarga atau ibunya. Keluarga penderita epilepsi
cenderung mengalami disharmoni dalam keluarga, mengalami rasa cemas
yang berlebihan, dan keluarga mengalami penurunan rasa percaya diri
(Harsono, 2007, h. 10).

Selain itu, konsekuensi ekonomi juga dapat dilihat dari banyaknya


pengobatan yang harus dijalani oleh penderita epilepsi.Peneliti dalam
penelitian ini melakukan wawancara dengan A, ibu dari anak dengan
epilepsi. A adalah seorang ibu dari penderita epilepsi bernama C (delapan
tahun), mengaku mengetahui anaknya memiliki penyakit epilepsi sejak
anaknya berusia lima tahun. Keadaan tersebut membuat keluarga sangat
terpukul karena selain memiliki penyakit epilepsi, C juga memiliki
gangguan IDD (Intellectual Deficiency Disorder). C sempat menjalani
pengobatan dua tahun, tetapi tidak berhasil karena sebulan kemudian C
mengalami kejang lagi. Sekarang C sedang menjalani pengobatan lagi yang
akan dijalani dua tahun lamanya. A mengaku sangat khawatir dengan

6
anaknya apabila pengobatan kali ini tidak berhasil. A khawatir bagaimana
jika C sudah mengalami pubertas tetapenyakit epilepsinya belum sembuh
(A, 2015). A juga menyatakan kekhawatirannya jika C sudah mengalami
menstruasi kondisi C semakin memburuk. Hal ini sesuai dengan pendapat
Harsono (2007) yang menyatakan bahwa menstruasi, kehamilan, persalinan,
laktasi, dan menopause adalah faktor khas yang dimiliki perempuan, dan
dapat menimbulkan gejala epilepsi kembali. Pengetahuan tentang penyakit
epilepsi yang tidak detail pada ibu akan menimbulkan berbagai
permasalahan. A mengaku terkadang kurang sabar dalam menghadapi C dan
sering menerima sindiran dari orang lain.

Peristiwa di atas menunjukan banyak permasalahan yang akan


dihadapi oleh ibu dalam merawat anak yang memiliki penyakit epilepsi,
terutama seorang ibu. Ibu yang memiliki anak dengan epilepsi mempunyai
stres yang lebih besar daripada ayah, hal tersebut dikarenakan ibu lebih
mempunyai peran yang besar dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu
tidak hanya dapat menerima keadaan anaknya, melainkan turut serta
bertanggung jawab dalam setiap yang terjadi pada anaknya. Kejang yang
terjadi pada anak dengan epilepsi membuat ibu mempunyai perasaan
tertekan. hal tersebut menunjukan bahwa ibu yang memiliki anak dengan
epilepsi lebih banyak mempunyai permasalahan psikologis (Hocaoglu &
Koroglu, 2011, h. 153).

Dalam menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan koping untuk


menghadapi permasahan-permasalahan yang muncul. Koping akan
mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu untuk bertahan dari
semua tuntutan yang penuh dengan tekanan dan membangkitkan emosi
(Siswanto, 2007, h. 60). Ada beberapa jenis koping yang dapat dilakukan
dalam menghadapi permasalahan, tetapi jika individu melakukan sebuah
koping yang negatif mereka akan mengalami gagal dalam penyesuaian
karena individu lebih memilih untuk mengingkari dan menghindar pada
persoalan yang ada. Hal inilah yang menyebabkan peneliti ingin mengetahui
lebih dalam tentang permasalahan apa saja yang dihadapi oleh ibu yang
memiliki anak epilepsi serta koping yang dilakukan dalam situasi yang
penuh tekanan tersebut.

7
1.1 Rumusan Masalah
1. Apa definisi Epilepsi ?
2. Bagaimana etiologi Epilepsi ?
3. Bagaimana patofisiologi Epilepsi ?
4. Apa saja manifestasi klinis dari Epilepsi ?
5. Bagaimana pemeriksaan diagostik Epilepsi ?
6. Bagaimana penatalaksaan dari Epilepsi ?
7. Apa saja komplikasi yang ada pada Epilepsi ?
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan pencernaan
akibat Epilepsi ?

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum

Mampu memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan gangguan


sistem pada anak akibat Epilepsi.
2. Tujuan Khusus
a.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI

Epilepsi adalah gangguan kejang kronis dengan kejang berulang yang terjadi
dengan sendirinya, yang membutuhkan pengobatan jangka panjang (Wong, 2008).
Epilepsi adalah gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak berat yang
dikarakteristikan oleh kejang berulang keadaan ini dapat di hubungkan dengan
kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan
dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi dan persepsi sehingga epilepsy bukan
penyakit tetapi suatu gejala (Smeltzer & Bare, 2011).
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang-
ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang
tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel
(Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai
etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan
listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik.

2.2 ETIOLOGI

Epilepsi disebabkan dari gangguan listrik disritmia pada sel saraf pada salah satu bagian
otak yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang dan
tidak terkontrol (Smeltzer & Bare, 2011).
Menurut Arif (2008), Tarwoto (2009) dan Wong (2008) etiologi dari epilepsi adalah :
1. Idiopatik : sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik
a. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum.
b. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf.
c. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol.
d. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia).
e. Tumor Otak.
f. Kelainan pembuluh darah.

2. Faktor herediter.

3. Faktor genetik : pada kejang demam dan breath holding spell.

4. Kelainan kongenital otak : atrofi, poresenfali, agenesis korpus kolosum.

5. Gangguan metabolik..

6. Infeksi : radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya,
toksoplasmosi.

7. Trauma : kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural.

8. Neoplasma otak dan selaputnya.


9. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen.

10. Keracunan, demam, luka dikepala dan pasca cidera kepala.

11. Kekurangan oksigen atau asfiksia neonatorum, terutama saat proses kelahiran.
12. Hydrocephalus atau pembesaran ukuran kepala.

13. Gangguan perkembangan otak.

14. Riwayat bayi dan ibu menggunakan obat antikolvusan yang digunakan
sepanjang hamil. Riwayat ibu-ibu yang memiliki resiko tinggi (tenaga kerja,
wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes
atau hipertensi).

2.3 KLASIFIKASI

1. Berdasarkan penyebabnya
a. epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
b. epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
- Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
- Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi
sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
- Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu
peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik
kemudian baru menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-
A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara
tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan
kesadaran.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang
menjadi bangkitan umum.
b. Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong,
bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini
berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada
kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher
atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke
belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
- Gangguan tonus yang lebih jelas.
- Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand Mal
a). Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
b). Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
c). Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah
dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi
pada anak.
d). Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului
suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku.
Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot
seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi
dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat,
mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing
ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya,
dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi
sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
e). Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai
pada anak.
c. Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.

2.4 PATOFISIOLOGI

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus


merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (Gama Amino Butiric
Acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps.
Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang
dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui
sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga
seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih
(depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula
setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada
satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada
talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang
lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai
penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya
influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar
membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang
otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang


sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah
otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul
di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama
karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus
kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin. 
Pathway Keperawatan

Idiopatik, herediter, trauma kelahiran, infeksi perinatal, meningitis, dll

System saraf

Ketidakseimbangan aliran listrik pada sel saraf

Epilepsi

Mylonik Grandmal Psikomotor

Kontraksi tidak
Hilang Gangguan Gangguan
sadar yang
keasadaran respiratori neurologis
mendadak

Spasme otot Gangguan


Aktivitas kejang pernafasan perkembangan

Penyakit kronik
Hipoksia Jatuh Obstruksi Keterla
De trakheobronkial mbatan
Pengobatan, fis
ie
Inefektifitas perfusi ns pertumb
perawatan, i Risiko Cedera
jaringan cerebral Pe Ketidakefektifan uhan dan
keterbatasan ng
et bersihan jalan nafas perkemb
ah
ua angan
n
ansietas
Perubahan status Ketidakmampuan
kesehatan keluarga mengambil
tindakan yang tepat
2.5 MANIFESTASI KLINIK
1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau
gangguan penginderaan.
2. Kelainan gambaran EEG.
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen.
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak
enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya).
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar.
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat.
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang
tidak normal seperti pada keadaan normal.
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang
individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat.
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara
secara tiba- tiba.
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
menendang.
11. Gigi geliginya terkancing.
12. Hitam bola matanya berputar- putar.
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil.
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba.
Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada
respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun
rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya
kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing.
Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan
jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat.
Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan
karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-
tiba melepaskan muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan
tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun
perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak.
Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik, benturan,
memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan
pembuluh darah atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang
dialami oleh sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya
epilepsi diakibatkan oleh berbagai faktor.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak,
fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi
simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT
scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas
tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologik yang jelas.
2. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan.
Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Rekaman EEGdapat
menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah fokal, multifokal, kortikal
atausubkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara berkala (kira-kira 8-12
% pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal).
3. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah


- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi).
- Pungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
4. Pemeriksaan radiologis
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksitulang,
kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran
sutura, erosi sela tursika dan sebagainyaPneumoensefalografi dan ventrikulografi
untuk melihat gambaran ventrikel,sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran
otak. Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh
darah otak, penyumbatan, neoplasma dan hematoma.
2.7 PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi : Anti kovulsion untuk mengontrol kejang
2. Pembedahan : Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya
anomali vaskuler
3. Jenis obat yang sering digunakanan :
a. Phenobarbital (luminal)
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah. 
b. Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.
c. Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialahDPH.
Berkhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.Tak
berhasiat terhadap petit mal. Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,
ataxia, hiperlasi gingivadan gangguan darah.
d. Carbamazine (tegretol).
Mempunyai khasiat psikotropik yang mungkin disebabkan
pengontrolan bangkitan epilepsi itu sendiri atau mungkin juga carbamazine m
emangmempunyai efek psikotropik. Sifat ini menguntungkan penderita
epilepsi lobus temporalis yang seringdisertai gangguan tingkah laku. Efek
samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri,ataxia,
depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.
e. Diazepam.
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung
(statuskonvulsi.). Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena
penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.
f. Nitrazepam (Inogadon).
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
g. Ethosuximide (zarontine)
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit malh
h. Na-valproat (dopakene)
Obat pilihan kedua pada petit mal. Pada epilepsi grand mal pun dapat
dipakai. Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak. Efek
samping mual, muntah, anorexiai)
i. Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.
Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otakmenurun,
influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaanhiperpolarisasi. 
j. ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.

2.8 KOMPLIKASI

Menurut Elizabeth (2010) dan Pinzon (2007) komplikasi epilepsi dapat terjadi:
1. Kerusakan otak akibat hipoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat
kejang yang berulang.
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas
3. Cedera kepala
4. Cedera mulut
5. Fraktur

Anda mungkin juga menyukai