Anda di halaman 1dari 7

TUGAS REVISI 1

PEMBENTUKAN HISTAMIN PADA IKAN TUNA (Thunnus sp.)


AKIBAT AKTIVITAS BAKTERI

Dosen : Prof. Ir. I.N. Semadi Antara, M.P.,Ph.D.

Oleh :

Pinky Natalia Samanta (1592561009)

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
Ikan Tuna merupakan ikan ekonomis penting dalam perdagangan perikanan
dunia yang termasuk dalam golongan ikan pelagis. Spesies ikan tuna memiliki
karakteristik yang mirip sehingga dapat disebut dengan golongan tuna dan spesies mirip
tuna. Ikan Tuna dan spesies mirip tuna dapat diklasifikasikan kedalam empat genus,
yaitu Thunnus, Eutynnus, Katsuwonus, dan Auxis. Taksonomi dan klasifikasi ikan tuna
menurut Collette dan Nauen (1983) dalam Nurjanah (2011) adalah :

Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Superclass : Gnathostomata
Class : Osteichtyes
Subclass : Actinopterygii
Infraclass : Teleostei Gambar 1. Thunnus sp.

Superorder : Acanthopterygii
Order : Percifomes
Suborder : Scromboidei
Famili : Scrombidae
Gambar 2. Katsuwonus
Subfamili : Thunnini
Genus : Thunnus (8 species)
Katsuwonus (1 species)
Euthynnus (3 species)
Auxis (2 species) Gambar 3. Euthynnus sp.

Kemunduran Mutu Pada Ikan


Dalam sistem klasifikasi, Ikan Tuna termasuk dalam famili Scrombidae yang
memiliki kandungan asam amino histidin bebas yang tinggi. Penanganan yang tepat
setelah ikan ditangkap akan memperlambat kemunduran mutu pada ikan tuna namun
apabila teknik penanganan tidak segera dilakukan maka akan terjadi kemunduran mutu
ikan salah satunya disebabkan oleh aktivitas bakteri yang mampu mengubah asam
amino histidin bebas pada daging tuna menjadi senyawa toksik yang disebut histamin.
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), kemunduran mutu pada ikan berjalan melalui
empat tahap yakni hyperaemia, rigor mortis, autolysis, dan bacterial decomposition.
a. Hyperaemia
Kondisi lendir ikan yang terlepas dari kelenjar di dalam kulit ikan membentuk lapisan
bening yang tebal pada tubuh ikan yang menjadi media ideal bagi pertumbuhan
bakteri karena terdapat substrat glukoprotein mucin yang sangat disukai oleh bakteri.
b. Rigor mortis
Ditandai dengan mulai mengejangnya tubuh ikan setelah ikan mati, rigor yakni kaku
dan mortis adalah mati. Pada saat ikan mati, senyawa organik di dalam otot
terdekomposisi oleh enzim yang masih di dalam jaringan. Senyawa yang paling cepat
terhidrolisa adalah karbohidrat dalam bentuk glikogen yang terhidrolisa menjadi asam
laktat dan akumulasinya menyebabkan penurunan pH pada daging ikan yakni dari pH
netral (7,0) menjadi pH asam (5,8-6,2). Selanjutnya fosfat organik terhidrolisa oleh
enzim yang diawali mula-mula oleh creatin phosphate yang selanjutnya membentuk
creatine dan asam fosfat, kemudian diikuti dengan terurainya adenosine triposfat
(ATP) membentuk adenosine diposfat (ADP) dan asam fosfat. Ikan pada fase ini
dapat dikatakan masih sangat segar.
c. Autolysis
Dengan turunnya pH pada daging ikan menjadi asam, enzim-enzim dalam jaringan
otot yang aktivitasnya berlangsung pada pH rendah akan menjadi aktif. Pada autolysis
terjadi proses penguraian protein dan lemak pada daging ikan yang dilakukan oleh
enzim protease dan lipase. Protein diuraikan oleh enzim protease menjadi pepton,
polipeptida, dan asam amino. Bersamaan dengan itu hidrolisis lemak menghasilkan
asam lemak dan gliserol. Pada saat autolysis ikan dapat dikatakan masih segar
karena masih layak untuk dikonsumsi. Namun demikian, autolysis merupakan fase
transisi antara segar dan busuk karena struktur pada daging sudah berubah sehingga
kekenyalannya menurun dan daging menjadi lembek.
d. Bacterial decomposition
Walaupun bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang paling baik
adalah produk-produk hidrolitik hasil proses autolysis seperti asam amino dan
senyawa-senyawa nitrogen non protein (trimetilamin oksida/ TMAO, histidin, urea)
yang terdapat di dalam daging ikan (Irianto dan Giyatmi, 2009). Seperti pada
autolysis, bakteri terlebih dulu menguraikan protein menjadi asam amino. Asam amino
ini selanjutnya mengalami deaminasi dan dekarboksilase sehingga menjadi unsur-
unsur yang sederhana di bawah pengaruh enzim bakteri contohnya histamin. Histamin
merupakan senyawa monoamine siklik/ amin biogenik yang dihasilkan dari proses
deaminasi dan dekarboksilasi asam amino histidin bebas akibat aktivitas enzim –
enzim spesifik pada bakteri gram negatif family Enterobacteriaceae dan Bacillaceae.

Pembentukan Histamin
Histamin merupakan senyawa monoamine siklik/ amin biogenik yang
dihasilkan dari proses deaminasi dan dekarboksilasi asam amino histidin bebas (α-
amina-β-inidosal asam propionat) akibat aktivitas enzim – enzim spesifik bakteri. Enzim
spesifik yang sangat mempengaruihi proses pembentukan histamin adalah enzim L-
Histidine Decarboxylase (Hdc) (Mangunwardoyo et al, 2007). Histamin memiliki berat
molekul rendah yang terdiri atas sisi rantai etilamin dan cincin imidazol yang tidak larut
dalam air dan merupakan biogenik amin yang memiliki pengaruh fisiologis pada manusia
(Shahidi dan Bota, 1994). Biogenik amin (Histamin) dihasilkan dari reaksi enzimatik dari
gugus asam karboksilat pada asam amino yakni Histidin yang pada umumnya terjadi
akibat aktivitas bakteri. Jika ikan tidak segera ditangani dengan cepat maka protein-
protein yang telah berubah menjadi asam amino bebas akibat reaksi autolysis akan
diuraikan oleh bakteri enzimatik menjadi senyawa biogenik amin yakni histamin yang
dapat membahayakan manusia (Eerola 1993 dalam Nurjanah 2011).
Ikan yang terkontaminasi bakteri penghasil enzim histidin dekarboksilase
akan mengubah asam amino menjadi biogenik amin melalui proses dekarboksilasi.
Asam-asam amino yang mengalami proses dekarboksilasi seperti asam amino histidin,
lisin akan menghasilnya senyawa senyawa yang dapat dijadikan sebagai tanda-tanda
terjadinya kerusakan pada ikan. Seperti histidin menghasilkan senyawa berbahaya
seperti histamin dan lisin yang menghasilkan senyawa berbau tidak sedap seperti
kadeverin dan putresin yang dihasilkan oleh lisin Akumulasi biogenik amin pada jumlah
yang besar akan membahayakan apabila dikonsumsi karena bersifat toksik (Halasz et al.
1994 dalam Nurjanah 2011).
Histidin bebas pada daging ikan sangat berpengaruh terhadap terbentuknya
histamin pada daging ikan. Daging ikan yang berwarna gelap memiliki kandungan histidin
bebas yang lebih besar dibandingkan dengan kandungan histidin bebas pada daging
putih. Namun, apabila dilihat dari segi kandungan histamin, daging merah memiliki
kandungan trimetilamin oksida/ TMAO yang tinggi yang berfungsi untuk menghambat
terjadinya pembentukan histamin sehingga kandungan histamin pada daging merah lebih
rendah dibandingkan dengan daging putih (Winarno, 1993). Perubahan histidin menjadi
histamin dapat dilihat pada Gambar 4.

H2N O H2N
Histadine
CH Decarboxylase CH-H
OH

N N
NH CO2 NH

Histidine Histamin

Gambar 4. Perubahan histidin menjadi histamin


Sumber : Keer et al. 2002

Degradasi histidin yang dikatalisa oleh enzim histamin dekarboksilase


menjadi histamin tidak menimbulkan bau busuk, namun bersifat toksik sehingga
keberadaan histamin menjadi berbahaya dalam daging ikan. Senyawa histamin bersifat
racun yang biasa disebut “Scromboid food poisoning” (Hadiwiyoto, 1993). Keracunan
akibat mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin dikenal dengan Scromboid Food
Poisoning atau Histamin Fish Poisonning (HFP). Pada ikan laut banyak mengandung
histidin bebas yang dapat berubah menjadi histamin. Berikut beberapa jenis ikan famili
scromboidae yang memiliki kandungan histidin bebas yang tinggi seperti pada ikan tuna
mata besar kandungan histidin mencapai 491 mg/100g, mahi-mahi kandungan histidin
mencapi 344 mg/100g, cakalang 1192 ,g/100g, tuna ekor kuning 740 mg/100 g, kembung
600mg/100g, dan pada tuna albakor yang memiliki kandungan histidin tertinggi sampai
2g/100mg. Hanya ikan yang mengandung histidin bebas diatas 100mg/100g yang dapat
mengubah histidin menjadi histamin (Mangunwardoyo et al. 2007).

Bakteri Pembentuk Histamin


Pembentukan histamin pada umumnya terjadi pada suhu 20 oC. Pada suhu
tersebut bakteri-bakteri pembentuk histamin tumbuh dan memproduksi enzim
dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam amino bebas lainnya pada
o
daging ikan. Histamin tidak dapat terbentuk pada suhu dibawah 5 C sehingga
penanganan yang cepat dengan menerapkan rantai dingin seperti melakukan
pendinginan dan pembekuan dapat dilakukan sebagai strategi pencegahan untuk
memperlambat pembentukan histamin pada daging ikan (Taylor dan Alsalvar, 2002).
Menurut Arianto dan Liviawaty (1989), kepadatan bakteri paling banyak
biasanya terdapat pada insang, kulit, dan usus. Kepadatan bakteri pada insang berkisar
103 – 105/gram, pada kulit berkisar 102 – 106/gram, dan pada usus berkisar 103 –
107/gram. Kemungkinan besar pada pembentukan histamin bakteri banyak terdapat pada
insang dan isi perut karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme
(Omura et al. 1978). Berdasarkan hasil penelitian mengatakan bahwa bakteri pembentuk
histamin adalah bakteri mesofilik karena kemampuan hidupnya yang baik pada suhu 20 –
50oC dan hidup optimal pada suhu 37oC, namun pada ikan sardine bakteri pembentuk
histamin dapat tumbuh pada suhu kurang dari 5 oC (Shahidi dan Botta, 1994).
Bakteri gram negatif family Enterobacteriaceae dan Bacillaceae seperti
spesies Bacillus, Citrobacter, Clostridium, Escherichia, Klebsiella, Lactobacillus,
Pediococcus, Photobacterium, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, Shigella, dan
Streptococcus memiliki aktivitas dekarboksilase asam amino sehingga mampu
menghasilkan enzim histidin dekarboksilase (Hdc) yang dapat digunakan untuk
mengubah histidin menjadi histamin. Berikut dapat dilihat pada Tabel 1 jenis dan
spesifikasi bakteri pembentuk histamin.

Tabel 1. Jenis-jenis dan spesifikasi bakteri pembentuk histamin


Bakteri Spesifikasi
Hafnia sp. Gram negatif, fakultatif anaerob (Hafnia alvei)
Klebsiella sp. Gram negatif, fakultatif anaerob (Klebsiella pneumonia)
Escherichia coli Gram negatif, fakultatif anaerob
Clostridium sp. Gram positif, anaerob (C. pefringens)
Lactobacillus sp. Gram positif, fakultatif anaerob (Lactobacillus 30a)
Enterobacter sp. Gram negatif, fakultatif anaerob (E. aerogenes)
Proteus sp. Gram negatif, fakultatif anaerob (Proteus morganii)
Sumber : Nurjanah, 2011

Dari hasil penelitian Taylor SL (1983), menunjukkan bahwa histamin dalam


jumlah besar lebih dari 100mg/100ml setelah diinkubasi menggunakan TFIB (Tuna Fish
Infusion Broth) pada suhu lebih dari 15oC selama kurang dari 24 jam mampu dihasilkan
oleh bakteri Proteus morganii, Klebsiella pneumonia, dan Enterobacer aerogenes.
Sedangkan histamin dalam jumlah kecil yakni kurang dari 25 mg/100ml setelah
diinkubasi menggunakan TFIB pada suhu lebih dari 30 oC selama ≥ 48 jam dihasilkan
oleh bakteri Hafnia alvei, Escherichia coli, dan Citrobacter freundii.
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), bakteri dapat digolongkan menjadi
tiga berdasarkan temperatur hidupnya yaitu bakteri thermophili yakni bakteri yang dapat
hidup baik pada temperatur tinggi (55-80 oC) kemampuan hidup optimal pada temperatur
60 oC, bakteri mesophili yakni bakteri yang dapat hidup baik pada temperatur 20-55 oC
kemampuan hidup optimal pada temperatur 37 oC, dan bakteri cryophili yakni bakteri
yang hidup baik pada temperatur 7-20 oC kemampuan hidup optimal pada temperatur 10
o
C. Hal tersebut yang menyebabkan pembentuk histamin berlangsung cepat pada suhu
(21,1 oC) daripada temperatur rendah (7,2 oC) karena bakteri-bakteri pembentuk histamin
merupakan bakteri mesofilik. Food and Drugs Administration (FDA) menetapkan bahwa
batas kritis suhu pertumbuhan bakteri pembentuk histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4 oC.
Keracunan histamin dapat terjadi apabila seseorang mengkonsusmi ikan
dengan konsentrasi histamin mencapi lebih dari 50 mg/100g. Gejala keracunan histamin
dapat dirasakan setelah 10 menit hingga 2 jam seperti gatal-gatal, bengkak, mual, dan
diare setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung histamin tinggi
(Mangunwardoyo et al. 2007).

Daftar Pustaka
Afrianto, E. dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Liberty. Yogyakarta.

Irianto dan Giyatmi. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Penerbit Universitas
Terbuka. Jakarta.

Keer M, Paul L, Sylvia A, Carl R. 2002. Effect of Storage Condition on Histamin


Formation in Fresh and Canned Tuna. Victoria: Comissioned by Food
Safety Unit.

Mangunwardoyo W, Romauli AS, dan Endang SH. 2007. Seleksi dan pengujian aktivitas
enzim L-histidine decarboxylase dari bakteri pembentuk histamin.
Makara Sains 11 (2):104-109.

Murniyati dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan.


Kanisius. Yogyakarta.

Nurjanah, dkk. 2011. Bahan Baku Hasil Perairan. IPB Press. Bogor.

Omura Y, Price RJ, Olcott HS. 1978. Histamin forming bacteria isolated from spoiled
skipjack tuna and mackerel. Journal of Food Science 43(6):1779-1781.

Shahidi F, Botta JR. 1994. Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality.
London: Blackie Academic and Professional.

Taylor SL. 1983. Monograph on Histamin Poisoning Codex Alimentarius Commision.


Rome: FAO.

Taylor T, Alasalvar C. 2002. Seafoods: Quality, Technology, and Neutraceutical


Applications. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Winarno FG. 1993. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai