Anda di halaman 1dari 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tinjauan Pustaka II.1.1 Klasifikasi Ikan Toman dan Ikan Gabus Klasifikasi ikan toman dan ikan gabus adalah sebagai berikut (Courtenay, 2004) ( Saanin, 1984) : Ikan Toman Kingdom Filum Sub filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Vertebrata : Actinopterygii : Perciformes : Channidae : Channa : Channa micropeltes Ikan Gabus Kingdom Filum Sub filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Vertebrata : Actinopterygii : Perciformes : Channidae : Channa : Channa striata Bloch

Gambar 1. Ikan Toman

Gambar 2. Ikan gabus

II.1.2 Deskripsi Ikan Toman Ikan toman (Channa micropeltes/ Ophiocephalus micropeltes) dan ikan gabus (channa striata/ophiocephalus striata) adalah ikan dari famili channadiae. Suku ikan air tawar ini hidup di kawasan tropis afrika, asia selatan, asia tenggara dan asia timur. Semua jenis toman adalah predator yang memangsa cacing, katak, anak-anak ikan, udang, ketam, dan sebaginya. Oleh karena itu toman digolongkan sebagai ikan karnivora Budi daya ikan toman dan gabus sudah lama dimulai di kalimantan, yaitu sekitar tahun 1973 (Asmawi, 1986; Kordi, 2010). Tubuh ikan toman bulat panjang, semakin ke belakang semakin pipih. Terdapat garis warna oranye dari moncong sampai ke sirip ekor bagian atas dan bawahnya dibatasi oleh garis berwarna hitam yang kemudian terputus menjadi bintik-bintik yang tidak beraturan pada ikan dewasa yang kemudian menghilang. Vomer dan palatine mempunyai deretan gigi-gigi kecil dan sederet gigi bentuk taring yang tajam (Kottelat, et al., 1993). Toman hidup di perairan tawar hingga payau. Ikan ini mampu hidup pada perairan yang minim oksigen karena mampu mengambil oksigen langsung dari udara. Toman merupakan ikan karnivora yang mempunyai nilai ekonomis relatif tinngi. Benih ikan toman diperoleh dari perairan umum seperti rawa rawa yang agak dalam, waduk, danau, maupun sungai. Musim benih toman sepanjang tahun. Anak-anak ikan toman seukuran jari kelingking biasanya masih dijaga oleh induknya, selalu bergerombol sehingga mudah ditangkap. Di perairan umum, toman memijah pada musim hujan dengan membuat sarang di tepi perairan (Kordi, 2010).

Di Sungai Kapuas Kalimantan Barat, terdapat tempat pemancingan untuk ikan toman, khususnya di daerah Taman Nasional Danau Sentarum. Dalam

beberapa tahun belakangan, spesies ini telah dibudidayakan menggunakan keramba kayu. Ikan toman diberi pakan berupa ikan-ikan kecil hingga bobotnya mencapai 0,8-1,5 kg agar siap dijual di pasar. Budidaya ikan toman di dalam keramba memberikan pemasukan cukup besar bagi warga di sekitaran Taman Nasional Danau Sentarum . Hal ini ditakutkan akan menyebabkan berkurangnya populasi ikan toman di alam liar setempat untuk tujuan budidaya, dan diperkirakan sekitar 4.000 ton ikan sungai ditangkap setiap tahunnya sebagai pakan ikan toman (Courtenay, 2004). II.1.3. Deskripsi Ikan Gabus Ikan gabus memiliki bentuk tubuh hampir bulat panjang, makin ke belakang semakin gepeng. Punggungnya cembung, perutnya rata, sirip punggung lebih panjang dari sirip dubur, sirip yang pertama disokong oleh 38-45 jari-jari lunak, sirip yang disebut belakangan disokong oleh 23-27 jari-jari sirip dada lebar dengan ujung membulat disokong oleh 15-17 jari-jari lunak. Gurat sisi ada 52-57 keping, panjang tubuhnya dapat mencapai 100 cm (Djuhanda, 1981). Kottelat et al (1993), menyebutkan bahwa ikan gabus mempunyai warna gelap dan seluruh tubuhnya ditutupi dengan sisik. Di bagian dadanya kulit tubuhnya berwarna putih. Ikan Gabus (Channa striata) yang di sebut snake head ini tergolong ikan buas dengan makanan berupa zooplankton, katak, kepiting dan lain-lain. Selain itu makanan tambahan dapat diberikan cincangan daging ikan-ikan yang tidak

memiliki nilai ekonomis atau sisa-sisa penyiangan. Ikan gabus hidup di perairan tawar dengan pH 4,5 sampai 6 dan tidak begitu dalam, ada juga yang hidup di air payau. Tubuhnya hampir bulat panjang, makin kebelakang makin pipih dan di tutupi oleh sisik yang berwarna hitam dengan sedikit belang pada bagian punggung sedangkan perutnya berwarna putih (Kordi, 2010).

II.1.4.

Komponen Bioaktif Ikan Gabus Ikan gabus merupakan jenis ikan yang sudah banyak dimanfaatkan dan

diolah oleh masyarakat untuk dibuat tepung ikan sebagai pakan ternak. Namun, sejalan dengan perkembangan teknologi, ikan gabus tidak hanya digunakan dalam pembuatan pakan ternak. Saat ini ikan gabus juga digunakan dalam dunia kedokteran sebagai penyembuh luka pasca operasi dan luka bakar dengan cara mengambil ekstrak ikan tersebut. Serum albumin merupakan komponen yang diproduksi dari darah manusia yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka, baik luka bakar maupun luka pasca operasi. Akan tetapi harga serum albumin mahal, sehingga pasien harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Dengan ditemukannya albumin pada ikan gabus diharapkan dapat menjadi alternatif obat untuk mempercepat penyembuhan luka sehingga membantu mengurangi biaya pasien untuk mendapatkan serum albumin tersebut (Saleh et al., 1985). Komponen bioaktif ikan gabus selain albumin juga terdapat mineral yang berupa seng. Fungsi lain dari seng adalah berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi, selain itu seng juga berperan dalam berbagai fungsi organ, misalnya keutuhan penglihatan

10

yang merupakan interaksi metabolisme antara seng dan vitamin A. Seng juga bertindak sebagai kofaktor dalam banyak enzim metabolik serta epitelisasi dan kekuatannya. Ikan gabus yang diekstrak menggunakan ekstraktor vakum pada suhu 35C selama 12,5 menit merupakan perlakuan terbaik dalam ekstraksi albumin ikan gabus untuk mendapatkan senyawa asam amino. Asam-asam amino seperti triptofan, arginin, trisin, fenilalanin, glutamin, alanin, treonin, dan prolin dapat merangsang proses sintesa albumin. Albumin pada manusia terutama

mengandung asam aspartat dan glutamat dan sangat sedikit triptofan. Profil asam amino albumin ikan gabus disajikan dalam tabel berikut ini (Puspitasari, 2007).

Tabel 1. Profil Asam Amino Ekstrak Ikan Gabus Jenis Asam Amino Fenilalanin Isoleusin Leusin Valin Treonin Lisin Histidin Aspartat Glutamat Alanin Prolin Serin Glisin Sistein Tirosin Arginin NH3 Kadar (g/mg) 0,132 0,098 0,169 0,127 0,084 0,197 0,062 0,072 0,286 0,15 0,082 0,081 0,14 0,017 0,025 0,109 0,026

11

II.1.5. Metode Ekstraksi Minyak Ikan Minyak ikan diperoleh dengan cara ekstraksi. Ekstraksi minyak adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan. Cara ekstraksi yang biasa dilakukan, yaitu metode ekstraksi dengan aseton, metode ekstraksi dengan hidrolisa, metode Dry Rendering, metode Wet Rendering dan ekstraksi dengan silase. Dry Rendering merupakan cara pemisahan minyak dengan menggunakan pemanasan bahan tanpa penambahan air selama proses berlangsung. Pemanasan dilakukan pada suhu 105-110oC, sedangkan pada ekstraksi dengan silase merupakan metode pemisahan minyak ikan dengan cara penambahan asam pada daging ikan sehingga terjadi proses fermentasi yang menghasilkan minyak ikan. Pada umumnya ekstraksi minyak ikan dilakukan metode Wet Rendering, yaitu proses yang umumnya digunakan untuk membuat tepung ikan. Tahap proses ini meliputi kombinasi pemasakan dan pengeringan dengan menggunakan uap panas pada keadaan hampa. Pengadukkan secara lambat dilakukan selama pengeringan tepung ikan dan dilakukan pengepresan untuk memisahkan tepung dan minyak ikan. Tahapan-tahapan pemurnian minyak ikan, yaitu penyaringan, degumming, netralisasi, pemisahan sabun, pemucatan dan deodorisasi. Tujuan dari pemurnian minyak ikan adalah untuk menghilangkan rasa dan bau yang tidak enak, warna yang tidak menarik, dan memperpanjang masa simpan minyak sebelum dikonsumsi dan digunakan sebagai bahan mentah dalam industri. Kualitas minyak ikan yang dihasilkan pada proses pemurnian tergantung pada cara penyimpanan dan penanganan ikan sebelum dimurnikan. Pada tahap penyaringan, minyak ikan yang diperoleh sebagai hasil samping pengolahan

12

tepung ikan atau ikan kaleng disaring terlebih dahulu dengan penyaring kawat untuk memisahkan kotoran-kotoran visual seperti sisa daging dan gumpalan protein. Degumming merupakan proses pemisahan getah dan lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, residu karbohidrat, air, dan resin tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak. Degumming dilakukan dengan penambahan NaCl 8% ke dalam minyak ikan pada suhu 60oC selama 15 menit. Proses netralisasi dilakukan dengan menambahkan larutan alkali atau pereaksi lainnya untuk membebaskan asam lemak bebas dengan membentuk sabun dan mengkoagulasikan bahan-bahan yang tidak diinginkan. Pemisahan sabun dilakukan dengan cara menambahkan air panas secukupnya pada minyak ikan sambil diaduk dan setelah itu didiamkan hingga minyak dan air terpisah. Tahap selanjutnya yaitu pemucatan yang dilakukan dengan penambahan adsorben, umumnya dilakukan dalam ketel yang dilengkapi dengan pipa uap dan alat penghampa udara. Minyak dipanaskan pada suhu 105oC selam 1 jam. Adsorben ditambahkan saat minyak mencapai suhu 70-80oC sebanyak 1-1,5% dari berat minyak. Tahap terakhir ialah deodorisasi yang dilakukan dengan cara memompa minyak ke dalam ketel deodorisasi. Kemudian minyak tersebut dipanaskan pada suhu 200-250oC pada tekanan 1 atmosfer dan selanjutnya pada tekanan rendah (kurang lebih 10 mmHg), sambil dialiri uap panas selama 4-6 jam untuk mengangkut senyawa yang dapat menguap (Ketaren, 1986). II.1.5. Kulit Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira

13

15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan bagian dari kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis, dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Djuanda, 2007). Kulit menutupi permukaan lebih dari 20.000 cm2 dan mempunyai bermacam-macam fungsi dan kegunaan. Kulit berfungsi sebagai pembatas terhadap serangan fisika dan kimia. Beberapa bahan seperti ion nikel, gas mostar, serta minyak damar dari rhus toksikodendron, umumnya dikenal sebagai racun ivy, dapat menembus pembatas tersebut, sedangkan umumnya zat lain tidak dapat menembus kulit dengan mudah. Kulit berfungsi sebagai termostat dalam mempertahankan suhu tubuh, melindungi tubuh dari serangan

mikroorganisme, sinar ultraviolet, dan berperan pula dalam mengatur tekanan darah (Lachman et al., 1994).

Gambar 3. Struktur Kulit Manusia

14

Secara anatomi, kulit terdiri dari banyak lapisan jaringan, tetapi pada umumnya kulit dibagi dalam tiga lapisan jaringan, yaitu epidermis, dermis, dan lapisan lemak di bawah kulit (Lachman et al., 1994). Pada permukaan kulit ada lapisan dari bahan yang diemulsikan terdiri dari campuran kompleks dari cairan berlemak, keringat dan lapisan tanduk yang dapat terkelupas, yang terakhir dari lapisan sel epidermis yang telah mati yang disebut lapisan tanduk atau stratum corneum dan letaknya langsung di bawah lapisan yang diemulsikan. Di bawah lapisan tanduk secara teratur ada lapisan penghalang epidermis yang hidup atau stratum germinativum, dan dermis atau kulit sesungguhnya. Dari anatomi kulit dapat diketahui cara absorpsi bahan luar kulit ke posisi di bawah kulit (Ansel, 1989). II.1.5.1 Absorpsi Perkutan Absorpsi bahan dari luar kulit ke posisi di bawah kulit tercakup masuk ke dalam aliran darah, disebut sebagai absorpsi perkutan. Pada umumnya, absorpsi perkutan dari bahan obat ada pada preparat dermatologi seperti cairan, gel, salep, krim atau pasta tidak hanya bergantung pada sifat kimia dan fisika dari bahan obat saja, tapi juga pada sifat apabila dimasukkan dalam pembawa farmasetika dan pada kondisi dari kulit. Selain itu pembawa farmasetika tidak dapat lebih jauh menembus kulit, atau membawa bahan obat melalui kulit, terhadap kadar dan tingkat penembus kulit, pembawa tidak mempengaruhi laju dan derajat penetrasi zat obat, dan derajat serta laju variasi penetrasi dengan berbedanya obat dan berbedanya pembawa. Oleh karena itu untuk absorpsi perkutan dan efektivitas

15

terapeutik, tiap kombinasi obat-pembawa, harus diuji secara sendiri-sendiri (Ansel, 1989). Tujuan umum penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah untuk menghasilkan efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidermis. Daerah yang terkena umumnya epidermis dan dermis, sedangkan obat-obat topikal tertentu seperti emoliens, antimikroba, dan deodoran terutama bekerja pada permukaan kulit saja. Hal ini memerlukan penetrasi difusi dari kulit atau absorpsi perkutan (Lachman et al., 1994). II.1.5.2 Rute Penetrasi Kulit Oleh Obat Bila suatu sistem obat digunakan secara topikal, maka obat akan keluar dari pembawanya dan berdifusi ke permukaan jaringan kulit. Ada tiga jalan masuk yang utama: melalui daerah kantung rambut, melalui kelenjar keringat, atau melalui stratum corneum yang terletak diantara kelenjar keringat dan kantung rambut. Hanya ada beberapa fakta yang kurang meyakinkan bahwa kelenjar keringat mempunyai peranan yang berarti pada permeabilitas kulit. Bahan-bahan dapat memasuki pembuluh-pembuluh dan bahkan kelenjar-kelenjar, tetapi tampaknya tidak ada penetrasi dari daerah ini ke dermis (Lachman et al., 1994). Obat dapat mempenetrasi kulit yang utuh setelah pemakaian topikal melalui dinding folikel rambut, kelenjar keringat atau kelenjar lemak atau antara sel-sel dari selaput tanduk. Sebenarnya bahan obat yang dipakai mudah memasuki kulit yang rusak atau pecah-pecah, akan tetapi sesungguhnya penetrasi semacam itu bukan absorpsi perkutan yang benar (Ansel, 1989).

16

Absorpsi perkutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi langsung obat melalui stratum corneum 10-15 m (Ansel, 1989). Stratum corneum terdiri dari kurang lebih 40% protein (pada umumnya keratin) dan 40% air dan sisanya berupa lemak terutama sebagai trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfat lemak. Kandungan lemak dipekatkan dalam fase ekstraselular stratum corneum dan begitu jauh akan membentuk membran yang mengelilingi sel. Komponen lemak dipandang sebagai faktor utama yang secara langsung bertanggung jawab terhadap rendahnya penetrasi obat melalui stratum corneum. Bila molekul obat melalui stratum corneum kemudian dapat terus melalui jaringan epidermis yang lebih dalam dan masuk ke dermis apabila obat mencapai lapisan pembuluh kulit maka obat tersebut siap untuk diabsorpsi ke dalam sirkulasi umum (Ansel, 1989). Stratum corneum sebagai jaringan keratin berfungsi sebagai membran buatan yang semi permeabel, dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi pasif. Jadi, jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat, kelarutannya dalam air dan koefisien partisi minyak atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum corneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan dari obat adalah sifat obat itu sendiri, sifat pembawa, kondisi kulit dan adanya uap air. Walaupun sukar untuk diambil suatu kesimpulan yang dapat diberlakukan pada kemungkinan yang

17

dihasilkan oleh kombinasi obat, pembawa dan kondisi kulit, tetapi dapat disimpulkan sebagai berikut (Ansel, 1989): a. Obat yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus bersatu pada permukaan kulit dalam konsentrasi yang cukup. b. Konsentrasi obat umumnya merupakan faktor yang penting, jumlah obat yang diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu, bertambah sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu pembawa. c. Semakin banyak obat diserap dengan cara absorpsi perkutan apabila bahan obat dipakai pada permukaan yang lebih luas. d. Bahan obat harus mempunyai suatu daya tarik fisiologi yang lebih besar pada kulit daripada terhadap pembawa, supaya obat dapat meninggalkan pembawa menuju kulit. e. Beberapa derajat kelarutan bahan obat baik dalam minyak dan air dipandang penting untuk efektivitas absorpsi perkutan. Pentingnya kelarutan obat dalam air ditunjukkan oleh adanya konsentrasi pada daerah absorpsi dan koefisien partisi sangat mempengaruhi jumlah yang dipindahkan melalui tempat absorpsi. Zat terlarut dengan bobot molekul di bawah 800 sampai 100 dengan kelarutan yang sesuai dalam minyak mineral dan air (>1 mg/mL) dapat meresap ke dalam kulit. f. Absorpsi obat nampaknya ditingkatkan dari pembawa yang dapat dengan mudah menyebar di permukaan kulit, sesudah dicampur dengan cairan

18

berlemak, dan membawa obat untuk berhubungan dengan jaringan sel untuk diabsorpsi. g. Pembawa yang meningkatkan jumlah uap air yang ditahan kulit umumnya cenderung baik bagi absorpsi pelarut obat. Pembawa yang bersifat lemak bekerja sebagai penghalang uap air sehingga keringat tidak dapat menembus kulit, dan tertahan pada kulit sehingga umumnya menghasilkan hidrasi dari kulit di daerah pembawa. h. Hidrasi dari kulit merupakan fakta yang paling penting dalam absorpsi perkutan. Hidrasi stratum corneum tampaknya meningkatkan derajat lintasan dari semua obat yang mempenetrasi kulit. Peningkatan absorpsi mungkin disebabkan melunaknya jaringan dan akibat pengaruh bunga karang dengan penambahan ukuran pori-pori yang memungkinkan arus bahan lebih besar, besar dan kecil dapat melaluinya. i. Hidrasi kulit bukan saja dipengaruhi oleh jenis pembawa (misalnya bersifat lemak) tetapi juga oleh ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya ketika pemakaian obat. Pada umumnya, pemakaian pembungkus yang tidak menutup seperti pembawa yang bercampur dengan air, akan mempengaruhi efek pelembab dari kulit melalui penghalang penguapan keringat dan oleh karena itu mempengaruhi absorpsi. Pembungkus yang menutup lebih efektif daripada anyaman jarang dari pembungkus yang tidak menutup. j. Pada umumnya, menggosokkan atau mengoleskan waktu pemakaian pada kulit akan meningkatkan jumlah obat yang diabsorpsi dan semakin lama mengoleskan dengan digosok-gosok, semakin banyak pula obat diabsorpsi.

19

k.

Absorpsi perkutan nampaknya lebih besar apabila obat dipakai pada kulit dengan lapisan tanduk yang tipis daripada yang tebal. Jadi, tempat pemakaian mungkin bersangkut-paut dengan derajat absorpsi, dengan absorpsi dari kulit yang ada penebalannya, atau tempat yang tebal seperti telapak tangan dan kaki secara komparatif lebih lambat.

l.

Pada umumnya, semakin lama waktu pemakaian obat menempel pada kulit, semakin banyak kemungkinan absorpsi. Bagaimanapun juga perubahan dalam hidrasi kulit sewaktu pemakaian atau penjenuhan kulit oleh obat, akan menghambat tambahan absorpsi. Ketentuan umum ini dalam hal absorpsi perkutan dipakai pada kulit yang

sehat, luka pada kulit atau dalam keadaan dimensi yang berbeda-beda maka akan terjadi perbedaan dalam absorpsi obat. Jelas sekali kulit yang telah dipotong secara dirusak atau pecah, akan memungkinkan obat atau bahan asing lainnya mendapat jalan langsung ke jaringan sub kutan (Ansel, 1989). II.1.6. Konsep Luka dan Perawatan Luka II.1.6.1 Pengertian Luka adalah keadaan hilang/terputusnya kontinuitas jaringan (Mansjoer, 2000). Menurut Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association, luka adalah sebuah cedera pada jaringan yang mengganggu proses selular normal, luka dapat juga dijabarkan dengan adanya kerusakan pada kuntinuitas/kesatuan jaringan tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan substansi jaringan.

20

II.1.6.2 Klasifikasi Luka Luka dibedakan berdasarkan (Mansjoer, 2000): a. Berdasarkan penyebab 1) Ekskoriasi atau luka lecet 2) Vulnus scisum atau luka sayat 3) Vulnus laseratum atau luka robek 4) Vulnus punctum atau luka tusuk 5) Vulnus morsum atau luka karena gigitan binatang 6) Vulnus combotio atau luka bakar b. Berdasarkan ada/tidaknya kehilangan jaringan 1) Ekskoriasi 2) Skin avulsion 3) Skin loss c. Berdasarkan derajat kontaminasi 1) Luka bersih a) Luka sayat elektif b) Steril, potensial terinfeksi c) Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktus elimentarius, traktus genitourinarius 2) Luka bersih tercemar a) Luka sayat elektif b) Potensi terinfeksi: spillage minimal, flora normal

21

c) Kontak dengan orofaring, respiratorius, elimentarius dan genitourinarius d) Proses penyembuhan lebih lama 3) Luka tercemar a) Potensi terinfeksi: spillage dari traktus elimentarius, kandung empedu, traktus genito urinarius, urine b) Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka, luka penetrasi. 4) Luka kotor a) Akibat proses pembedahan yang sangat terkontaminasi b) Perforasi visera, abses, trauma lama II.1.6.3 Tipe Penyembuhan Luka Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang (Mansjoer, 2000; Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association, 2004). a. Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu

penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan. b. Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.

22

c. Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir. II.1.6.4 Fase Penyembuhan Luka Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi. Antara satu fase dengan fase yang lain merupakan suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan (Mansjoer,2000 ; Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association , 2004). a. Fase Inflamasi Tahap ini muncul segera setelah injuri dan dapat berlanjut sampai 5 hari. Inflamasi berfungsi untuk mengontrol perdarahan, mencegah invasi bakteri, menghilangkan debris dari jaringan yang luka dan mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan. b. Fase Proliferasi Tahap ini berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Fibroblast (sel jaringan penyambung) memiliki peran yang besar dalam fase proliferasi. c. Fase Maturasi Tahap ini berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan

23

jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. II.1.6.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis karena merupakan suatu kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi saling berkesinambungan. Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal saja pada luka, namun dipengaruhi pula oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association, 2004). a. Faktor Instrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat berpengaruh dalam proses penyembuhan meliputi: usia, status nutrisi dan hidrasi, oksigenasi dan perfusi jaringan, status imunologi, dan penyakit penyerta (hipertensi, DM, Arthereosclerosis). b. Faktor Ekstrinsik adalah faktor yang didapat dari luar penderita yang dapat berpengaruh dalam proses penyembuhan luka, meliputi: pengobatan, radiasi, stres psikologis, infeksi, iskemia dan trauma jaringan. II.1.6.6 Komplikasi Penyembuhan Luka Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi yang berbeda-beda. Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak adekuat, keterlambatan pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya reepitalisasi dan juga akibat komplikasi post operatif dan adanya infeksi. (Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association, 2004).

24

II.1.7. Penyembuhan Kulit yang Terluka Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks namun sistematik. Dalam proses penyembuhan luka, dapat diamati tahapan-tahapan perbaikan sel kulit yang rusak menjadi seperti semula. Darah sangat berperan dalam proses penyembuhan luka, karena unsur penyusun darah dapat menghentikan pendarahan bila terjadi luka. Pada manusia normal, bila mengalami luka, maka darah yang keluar dari luka tersebut secara otomatis akan membeku. Keping darah atau trombosit, yang merupakan unsur penyusun darah, sangat berperan dalam proses pembekuan darah (Mansjoer, 2000). Pada saat terjadi luka, trombosit yang berada di tempat terjadinya luka mengeluarkan suatu zat berupa asam lemak yang kemudian beberapa asam lemak diubah menjadi thromboxane. Thromboxane dan protrombin bereaksi di dalam darah merangsang trombosit. Selanjutnya, enzim-enzim pembantu proses

penyembuhan luka mengumpulkan protein yang disebut fibrinogen. Dalam waktu singkat, terbentuklah benang-benang yang membentuk jaring pada tempat keluarnya darah. Sementara itu, trombosit terperangkap dalam jaring yang di bentuk oleh benang fibrin dan mengumpul. Trombosit yang bereaksi dengan udara luar akan mengeras dan mengalami penandukan sehingga membentuk keropeng. Di bawah keropeng atau lapisan pelindung, sel-sel baru sedang dibentuk. Ketika luka telah sembuh dan sel-sel yang rusak telah selesai diperbaruhi, keropeng tersebut akan mengelupas dan jatuh (Soewolo, et al., 2003).

25

Adapun mekanisme penyembuhan luka adalah sebagai berikut: 1. Luka mengeluarkan darah. 2. Thromboxane dan protrombin bereaksi di dalam darah merangsang trombosit. 3. Akibat reaksi kimia, terbentuklah jalinan benang-benang fibrin yang membentuk jaring lapisan pelindung. 4. Trombosit terperangkap dalam jaring yang di bentuk oleh benang fibrin yang kemudian mengeras. 5. Lapisan sel-sel paling atas akhirnya mati, dan mengalami penandukan sehingga membentuk keropeng. 6. Di bawah keropeng, atau lapisan pelindung, sel-sel baru sedang dibentuk. Ketika sel-sel yang rusak telah selesai diperbaharui, keropeng tersebut akan mengelupas dan jatuh.

26

Gambar 4. Trombosit yang Terperangkap Dalam Benang Fibrin

Gambar 5. Mekanisme Penutupan Luka

Anda mungkin juga menyukai