Kel 2 - Trend Issue Gbs
Kel 2 - Trend Issue Gbs
Kel 2 - Trend Issue Gbs
A. Latar belakang
Guillain Barre Syndrome (GBS) merupakan sekumpul sindrom yang
termanifestasi sebagai inflamasi akut poliradikulo neuropati sebagai hasil dari
kelemahan dan penurunan refleks dengan berbagai variasi klinis yang
ditemukan. GBS merupakan polineuropati demielinisasi akut dengan berbagai
macam jenis yaitu: GBS motor-sensoris, GBS motor murni, GBS Miller
Fisher, bulbar, GBS aknoral primer. GBS pertama kali ditemukan oleh
Guilliain dan rekan di mana mereka menemukan gejala neuropati akut,
paralisis, dan radikuloneuritis setelah perang dunia ke-1 sekitar tahun 1961.
GBS merupakan kondisi akut yang menyerang sistem saraf perifer. faktor
pemicu GBS sebagian besar adalah infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi
saluran cerna. Berdasarkan trend epidemiologi GBS di dunia sering didahului
atau seiring dengan peningkatan kasus infeksi seperti influenza (H1N1),
hingga yang saat ini masih menjadi perhatian pada saat peningkatan kasus
infeksi arbovirus (Chhikungunya dan Zika).1
Prevalensi kasus GBS berdasarkan hasil studi di Eropa dan Amerika Utara
diperkirakan tingkat insidensinya 0.8-1.9 kasus per 100.000 penduduk per
tahun, pada anak-anak 0.6 kasus per 100.000 dan pada penduduk usia 80
tahun atau lebih meningkat 2,7 kasus per 100.000 penduduk. Indonesia sendiri
kasus GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000 penduduk. Perbedaan
angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak Nampak. Kasus ini
cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan dengan wanita. Angka
kejadian tahunan keseluruh GBS di Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per
100.000 orang dengan rasio kejadian pada laki-laki dan wanita 3:2. Beberapa
infeksi terlibat dalam perkembangan GBS. Sekitar dua-pertiga dari pasien
dengan infeksi saluran napas atau gejala gastrointestinal telah dilaporkan
dalam tiga minggu sebelum timbulnya gejala GBS.
Faktor pemicu GBS yaitu infeksi yang masih banyak terjadi di Negara
tropis seperti Indonesia memerlukan perhatian dari tenaga kesehatan terkait
penanganan GBS. Selain itu, penanganan yang tepat dan cepat dapat
menghindari kegawatan (kegagalan otot pernapasan) dan disabilitas pasca
serangan akut. Salah satu terapi yang dapat diberikan adalah terapi pengganti
plasma yang sering disebut dengan plasmaferesis. Metode plasmaferesis
bertujuan untuk menghilangkan pathogen (zat kimia, kompleks antibodi, dan
imun kompleks, antigen dan toksin).1
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan menerapkan cara penanganan pada
kasus Sindrom Guillain Barre dengan menggunakan terapi plasmaferesis
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa memahami bagaimana panatalaksanaan terapi
Plasmaferesis pada pasien Sindrom Guillain Barre.
b. Mahasiswa mengetahui bagaimana penatalaksanaan terapi
Plasmaferesis dapat meningkatkan aktifitas fungsional pada pasien
pasca Guillain-Barre Syndrome.
c. Mahasiswa mengetahui bagaimana penatalaksanaan terapi
Plasmaferesis dapat untuk menghilangkan pathogen (zat kimia,
kompleks antibody, dan imun kompleks, antigen dan toksin).
C. Manfaat
1. Bagi penulis
a) Menambah dan memperluas pengetahuan tentang penatalaksnaan
terapi Plasmaferesis pada Guillain Barre Syndrome.
b) Memberikan informasi kepada perawat pada khususnya dan kepada
tenaga kesehatan pada umumnya, bahwa terapi Plasmaferesis dapat
membantu mengoptimalkan fungsi kardiopulmonari pada kondisi
Guillain Barre Syndrome.
2. Bagi Rumah Sakit
Bermanfaat sebagai salah satu metode pelayanan yang dapat diaplikasikan
kepada pasien dengan kondisi Guillain Barre Syndrome, sehingga dapat
ditangani secara optimal.
3. Bagi Pembaca
Memberikan pengetahuan lebih dan memahami lebih dalam tentang
kondisi Guillain Barre Syndrome serta mengetahui cara penatalaksanaan
imunoterapi pada kondisi Guillain Barre Syndrome.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Kerangka Konsep
Terapi Plasmaferesis
B. Sasaran, Waktu
Sasaran : pasien yang terdiagnosa Guillain Barre Syndrome di RS
Swasta X di Jakarta Selatan
Waktu : 5 kali dengan rentang waktu dua hari sekali
C Fase Kerja
1. Kalkulasi gumpalan plasma pasien
2. Ukur pra-plasmaferesis PT, PTT, dan jumlah platelet
3. Setelah selesai, ukur tingkat plasma terhadap substansi target yang
dibersihkan (misalnya: titer antibodi anti-GBM, reseptor antibodi
asetikolin, cryoglobulin)
4. Jarak pengobatan + 24 jam secara terpisah (variabel)
5. Untuk antikoagulasi heparin (pasien beresiko perdarahan rendah):
pada awalnyaheparin sebesar 50 U/kg, kemudian 1000 U/jam. Target
ACT (ketika garis dasar mean nilai kontrol= 145 detik) selama
prosedur + 180-220 detik. Apabila ACT <3 menit, tambahkan jumlah
fusi sebesar 500 U/jam. Apabila ACT >4 menit, hentikan infusi
heparin, kemudian lanjutkan mengukur ACT dan mulai lagi infusi
heparin saat mengurangi jumlahnya secara tepat. Hentikan infusi
heparin +30 menit sebelum mengakhiri prosedur tersebut.
6. Untuk sitrat antikoagulasi, gunakan ACD-A dengan perbandingan
1:15 hingga 1:25 pelemahan dengan darah
7. Gunakan infusi kalsium apabila diperlukan
8. Monitor status cardiac pasien
9. Buat jadwal medikasi hanya di akhir sesi tersebut
10. Perawatan kateter secara rutin
D Fase Terminasi
1 Evaluasi perasaan pasien
2 Menyampaikan rencana tindak lanjut
3 Mendokumentasi tindakan yang sudah dilakukan
4 Berpamitan
A. Hasil Penelitian
Jurnal yang kelompok gunakan untuk makalah trend issue ini
adalah jurnal dengan penelitian kualitatif dan dengan pendekatan naratif,
jadi hanya ada pembahasan atau diskusi berdasarkan laporan kasus yang
diceritakan peneliti pada jurnal ini.
B. Pembahasan
1. Laporan Kasus
Kasus SGB yang dirawat oleh penulis (ketika masih menjadi
perawat di salah satu RS Swasta X di Jakarta Selatan) adalah pada tn X
pada tahun 2013 dengan kronologis yang akan dipaparkan secara
naratif. Data didapatkan dari catatan penulis sehari-hari ketika masih
menjadi perawat pelaksana dan wawancara terstruktur dengan kakak
dari pasien (merupakan perawat di RS Swasta yang sama dengan
penulis). Tn terdiagnosa GBS melalui gejala klinis yang timbul, hasil
Elektromiografi/ EMG dan analisa cairan serebrospinal yang
menunjukkan tanda pasti GBS. Tn X pada awalnya mengalami gejala
demam (hari ke 0). Tn X memeriksakan diri ke layanan klinik dokter
umum diduga mengalami infeksi Demam Dengue karena hasil
pemeriksaan darah lengkap ditemukan trombositopenia. Tn X sempat
dirawat selama sehari, setelah diperiksa kembali, terjadi peningkatan
trombosit kemudian beliau diijinkan pulang.
Pada hari ke-2, demam tidak muncul, namun gejala defisit
neurologis mulai muncul. Gejala defisit neurologis yang muncul
adalah kelemahan pada kedua kaki di mana pasien memerlukan
bantuan untuk berjalan ke kamar mandi di rumahnya dengan cara
dipapah. Selain itu, Tn X mulai mengalami perubahan pada suara,
mulai sulit menelan, sering batuk, wajah dilaporkan baal. Pada hari
tersebut pasien kembali di rawat di RS dan dirujuk ke spesialis
neurologis. Pada hari ke-3 dilakukan CT Scan Brain, dan tidak
ditemukan adanya perdarahan atau iskemik di otak. Diagnosa pada hari
tersebut belum dapat ditegakkan, pasien pun disarankan untuk
menjalani EMG dan kakak pasien langsung merujuk ke RS Swasta X
di Jakarta Selatan dimana dia bekerja.
Pada hari ke 3 setelah dirujuk, sore harinya tindakan EMG segera
dilakukan dan hasilnya positif mengarah ke SGB dan pada malam
harinya tindakan Lumbal Pungsi pun segera dilakukan. Pada saat itu
dilakukan pemasangan selang nasogastrik dan memantau status
pernapasan pasien dimana pasien sudah mulai mengalami paraplegia.
Pada hari ke-4 pasien dianjurkan untuk menjalani terapi
Plasmaferesis di RSUPN X Jakarta. Plasmaferesis baru dilaksanakan
pada hari berikutnya. Penulis mulai merawat langsung tn X dan
menjadi perawat yang mendampingi pasien selama menjalani
plasmaferesis di RSUPN X Jakarta. Pasien menjalani plasmaferesis
sebanyak 5 kali dengan rentang waktu dua hari sekali. Setiap kali
proses plasmaferesis memerlukan albumin 5% sebagai pengganti.
Selama melakukan terapi plasmaferesis ke-1 dan ke-2 pasien belum
terdapat perubahan yang signifikan. Pasien masih memerlukan bed rest
karena kekuatan otot masih belum adekuat, status respirasi stabil
(hanya memerlukan nasal kanula), kemampuan menelan masih belum
adekuat (makan masih melalui selang nasogastrik). Pada plasmaferesis
yang ke-3 hingga ke-4 mulai tampak kemajuan pada status klinis
pasien. Kemajuan tersebut antara lain: peningkatan kemampuan
menelan di mana pasien mulai dicoba untuk makan per oral dengan
diet lunak, status respirasi semakin membaik dengan mulai stabil tanpa
bantuan oksigen, kekuatan otot ekstrimitas semakin meningkat, namun
masih memerlukan bantuan fisioterapi. Pada plasmaferesis yang ke-5,
hal yang paling tampak adalah kemampuan menelan pasien mulai
kembali pulih dengan mulai makan per oral dengan baik. Selain itu,
kekuatan otot ekstrimitas semakin membaik di mana pasien mulai
berlatih berjalan dengan bantuan walker.
3. Prosedur Plasmaferesis
Prosedur plasmaferesis biasanya dilakukan di unit hematologi atau
unit dialisis. Pemisahan komponen darah yang masuk dalam mesin
plasmaferesis terdiri dari dua prinsip dasar sentrifugasi dan filtrasi
darah melewati filter penyaring. Kedua metode tersebut memerlukan
akses vaskuler dan juga sistem akses untuk memindahkan darah dari
pasien ke mesin plasmaferesis dan mengembalikan ke dalam sirkulasi
pasien. Pemisahan Protokol plasmaferesis untuk SGB yang sering
digunakan yaitu North American trial dimana 200-250 ml/kg yang
ditukar selama 7-10 hari. Pada penelitian yang dilakukan oleh Vikrant,
Thakur, Sharma, Gupta, Sharma (2017) dalam Safety and efficacy of
therapeutic membrane plasmapheresis in the treatment of Guillain-
Barre syndrome : A study from tertiary care hospital from India:
“Akses vaskuler yang digunakan untuk prosedur plasmaferesis antara
lain catheter double-lumen / CDL pada vena jugularis atau femoralis.
Kecepatan aliran darah antara 100-150 ml/menit dan tekanan
transmembran dibawah 100 mmHg. Pada awal prosedur akan
diberikan heparin dengan dosis 50 U/ kg dan dilanjutkan dengan dosis
bolus 1000 U pada saat 1 jam digunakan. Filtrasi plasma dilakukan
dengan menyesuaikan ukuran ketinggian penyaring plasma. Plasma
yang telah tersaring akan terkumpul dalam plastik steril. Penggantian
plasma dilakukan dengan cairan kristaloid dilanjutkan dengan albumin
4% dalam normal saline / NaCl 0.9%. Pada akhir sesi dilakukan juga
pemberian 2 unit Fresh Frozen Plasma / FFP. Prosedur plasmaferesis
dimana jumlah plasma untuk satu kali prosedur yaitu 40 ml/kg setiap
dua hari sekali. “