Anda di halaman 1dari 13

1

TAFSIRAN KEJADIAN 1:1-2


Oleh: John Riwu Pekuwali, M.Th

PERMULAAN SEGALA SESUATU

1. PENDAHULUAN
Kitab Kejadian pasal pertama telah menjadi titik pusat perdebatan yang sengit. Sains
modern dan berbagai cara ungkapan yang khas bagi para ilmuwan telah menghadapkan teologi
Alkitab dengan teori-teori canggih dan menolak nilai historis dan ilmiah dari kosmologi Kitab
Kejadian. Telah dianjurkan oleh Liberalisme kuno, yang menyatakan dengan agak yakin bahwa
‗bagian pembukaan Kitab Kejadian bukanlah suatu laporan ilmiah dari proses yang sebenarnya
yang menciptakan alam semesta ini. Dunia yang asal mulanya dilukiskan dalam ayat-ayat ini tidak
dikenal oleh ilmu pengetahuan, dunia yang dikhayalkan oleh manusia purbakala, yang terdiri atas
hamparan tanah yang padat, yang dikelilingi oleh dan bertumpu pada samudera dunia, dan diliputi
kubuh yang dinamakan ‗cakrawala‘ yang diatas terdapat air samudera di langit. Dari situlah hujan
turun ke atas bumi.‖1 Akan tetapi, bila dimengerti dengan benar naskah tersebut tidak
menunjukkan kemustahilan ilmiah dan, karena itu, dapat diterima apa adanya.2 Selanjutnya,
beberapa cendekiawan akan melenyapkan perdebatan ini sebagai tidak relevan dan tidak penting.
Mereka bahkan mungkin menganjurkan bahwa Kejadian 1 tidak mempunyai implikasi
soteriologis yang berarti. Akan tetapi, hal ini secara tidak wajar menganggap enteng pentingnya
materi ini.
Sikap kita adalah kembali kepada pernyataan yang menguatkan tindakan penciptaan di
dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru untuk menyadari betapa pentingnya pokok
pembicaran ini bagi para penulis Alkitab. Kuasa Allah dan juga otoritas-Nya dalam sejarah
manusia dinyatakan dengan benar berdasarkan tindakan-tindakan penciptaan-Nya. Tindakan
pemeliharaan-Nya dapat dipahami secara paling baik bila mengingat karya penciptaan-Nya. Lagi
pula, otoritas dan ke-Ilahian Kristus berhubungan dengan penciptaan.

2. TEKS KITAB KEJADIAN 1:1-2


ITB
Genesis 1:1 Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.
ASV
Genesis 1:1 In the beginning God created the heavens and the earth.
‫ֱֹלהים אֵ ֵ֥ת הַשָ ַ ִׁ֖מי ִם וְּאֵ ֵ֥ת הָאָ ֶָֽרץ׃‬ ִ֑ ִ ‫אשית ב ָ ָָ֣רא א‬ ִׁ֖ ִ ‫ ב ְֵּר‬WTT Genesis 1:1
BHT
Genesis 1:1 Bürë´šît Bärä´ ´élöhîm ´ët haššämaºyim wü´ët hä´äºrec
KJV
Genesis 1:1 In the beginning God created the heaven and the earth.
NAS
Genesis 1:1 In the beginning God created the heavens and the earth.
BGT
Genesis 1:1 ἐν ἀρτῇ ἐποίηζεν ὁ θεὸς ηὸν οὐρανὸν καὶ ηὴν γῆν
ITB
Genesis 1:2 Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan
Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.
‫ ְּו ָה ָָ֗א ֶרץ ָהי ְָּתֵ֥ה תֹֹ֙ה ֹ֙ו ו ָֹ֔ב ֹהו ו ְִּׁ֖ח ֹשְֶך עַל־פ ְֵּנָ֣י תְּ ִ֑הֹום ו ְָּ֣רו ַח אֱֹל ִֹ֔הים ְּמ ַר ֶ ִׁ֖חפֶת עַל־פְּנֵ ֵ֥י הַמָ ָֽי ִם׃‬WTT Genesis 1:2
BHT
Genesis 1:2 wühä´äºrec häytâ töºhû wäböºhû wüHöºšek `al-Pünê tühôm würûªH ´élöhîm
müraHeºpet `al-Pünê hammäºyim

1
John Skinner, A Critical and Exegetical Commentary on Genesis, hlm. 5
2
Untuk penyelidikan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan sastra di Kejadian 1-11, bacalah artikel
Walter C. Kaiser, ―The Literary of Genesis 1-11, ―dalam J. Barton Payne, editor, New Perspectives on the Old
Testament, hlm. 48-65.
2

ASV
Genesis 1:2 And the earth was waste and void; and darkness was upon the face of the deep:
and the Spirit of God moved upon the face of the waters.
KJV
Genesis 1:2 And the earth was without form, and void; and darkness was upon the face of the
deep. And the Spirit of God moved upon the face of the waters.
NAS
Genesis 1:2 And the earth was formless and void, and darkness was over the surface of the
deep; and the Spirit of God was moving over the surface of the waters.
BGT
Genesis 1:2 ἡ δὲ γῆ ἦν ἀόραηος καὶ ἀκαηαζκεύαζηος καὶ ζκόηος ἐπάνω ηῆς ἀβύζζοσ καὶ
πνεῦμα θεοῦ ἐπεθέρεηο ἐπάνω ηοῦ ὕδαηος

3. PERTANYAAN PENELITIAN
Setelah melakuka pembacaan terhadap Teks Kitab Kejadian 1:1-2, maka selanjutnya
dimunculkan beberapa pertanyaan sebagai bahan analisis dan penelitian terhadap teks tersebut di
atas, yaitu sebagai berikut:
1. Apa maksud dari kalimat: Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi?
2. Apa maksud dari kalimat ―Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi
samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air?

Daftar pertanyaan di atas menjadi arahan dalam melakukan tafsiran dalam makalah ini,
dan hasil tafsirannya akan menjadi bahan untuk menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan
tersebut.

4. TAFSIRAN KITAB KEJADIAN 1:1-2

a. ANALISIS TEKS

Ayat 1 ini dimulai dengan frase “Pada mulanya” (Ibrani: Bereshith (BDB 912).
Menurut para ahli Kitab, bahwa kata ini merupakan kata yang dipakai untuk menentukan judul
kitab ini dalam bahasa Ibrani. Kita mendapatkan kata Kejadian dari terjemahan Septuaginta. Ini
adalah permulaan dari sejarah namun tidak dari aktifitas Allah (lih. Mat 25:34; Yoh 17:5,25; Ef
1:4; Titus 1:2; II Tim 1:9; I Pet 1:19-20; Wah 13:8).3
Secara gramatikal, mungkin hanya ada dua susunan untuk kalimat yang pertama. Para
penafsir belakangan ini telah menganggapnya sebagai sebuah anak kalimat: ―Pada waktu Allah
menciptakan langit dan bumi‖, atau seperti yang diusulkan oleh Speiser, ―Pada waktu Allah mulai
menciptakan langit dan bumi.‖4 Ini bukanlah sebuah pendekatan baru; pendekatan ini sudah
dilakukan oleh dua penafsir Yahudi abad pertengahan yang termasyur, yaitu Rashid dan Ibn. Ezra
menerjemahkan ayat pertama dan anak kalimat pertama dari ayat ke dua demikian, ―Pada waktu
Allah mulai menciptakan langit dan bumi, bumi belum berbentuk dan kosong.‖5 Speiser
berpendapat bahwa ayat 2 merupakan kalimat sisipan dan ayat 3 mengungkapkan pikiran
utamanya.6 Hakikat ayat 1 ini sangat berarti. Sehingga pandangan ini memunculkan persoalan

3
R. K. Harrison mengatakan ini harusnya diterjemahkan ―cara bermulanya‖ (Pengantar Perjanjian Lama, hal.
542 catatan kaki 3). (Lih. John H. Walton, Duni yang Hilang dari Kejadian Satu mengatakan ini memperkenalkan
suatu kurun waktu (hal. 45).
4
Speiser, Genesis, ―The Anchor Bible, disunting oleh William F. Albright dan David N. Freedman, Jilid 1, New
York: Doubleday and Co., 1964). hl. 3, Baca juga William R. Lane, ―The Initiation of Creation,‖ hlm. 63-73.
5
John J. Davis, Paradise to Prison, (Gran Rapids-Michigan, USA, 1975), telah diIndonesiakan oleh Yayasan
Penerbit Gandum Mas, dengan judul: Eksposisi Kitab Kejadian- Suatu Telaah, (Malang, 2001). hlm. 37
6
Speiser, Genesis, Op.Cit. hlm. 3
3

baru seakan-akan materi bumi (ha‟ares) sudah ada sebelum penciptaan dan bukan diciptakan dari
yang tidak ada menjadi ada.
Meskipun secara gramatikal susunan ini bisa terjadi, keabsahannya meragukan sekali.
Orang-orang yang memakai susunan itu mengartikan kata pertama, „beresit‟ sebagai bentuk anak
kalimat dan mengoreksi kata kerja utamanya, „bara‟ (‗menciptakan‘), menjadi „bero‟, sebuah
anak kalimat infinitive, bentuk kata kerja „qal‟ yang sudah selesai bentuk tunggal maskulin ketiga.
Ini menghasilkan terjemahan yang berbunyi, ―Pada mulanya Allah mulai menciptakan.‖ Akan
tetapi, perbaikan naskahnya tidak perlu dibuat, karena ―anak kalimat yang diikuti sebuah kata
kerja limit hanya dipakai dalam bahasa semit asli.7 Karena kata „beresit‟ tidak mempunyai kata
sandang tertentu (the), banyak yang menolaknya dengan mengatakan bahwa itu tidak bisa
merupakan pernyataan mutlak. Alexander Heidel membantah dengan mengatakan bahwa
bilamana istilah-istilah seperti „resit‟ (permulaan), „ro‟s‟ (awal, bagian depan/teratas), qedem
(dahulu kala), dan „olam‟ (kekekalan)8 dipakai sebagai kata keterangan, kata-kata tersebut hampir
selalu tidak disertai dengan kata sandang, dan itu merupakan pernyataan mutlak.9 Dua contoh
pemakaian kata ‗resit‘ dalam pernyataan mutlak ialah Imamat 2:12 dan nehemia 12:44.
Bukti lebih lanjut bahwa kalimat pertama itu merupakan pernyataan mutlak yaitu tanda
tekanan yang diletakan oleh orang-orang Masoret pada kata pertama. Tekanan itu terdapat pada
kata „tipha‟, kata hubung yang menyatakan perlawanan yang menunjukkan bahwa kata tersebut
berdiri sendiri dan oleh karena itu mutlak. Lagi pula, semua versi kuno tanpa kecuali
menerjemahkan „beresit‟ sebagai suatu pernyataan mutlak. Akhirnya sebagaimana yang ditulis
oleh E.J. Young, ―Dalam Perjanjian Lama, kalau sebuah anak kalimat mendahului sebuah kata
kerja limit, kenyataan itu jelas kelihatan baik dari bentuk kata dalam anak kalimat itu maupun
dari kenyataan bahwa konteksnya menuntut kata tersebut digunakan sebagai suatu anak
kalimat.‖10
Terjemahan lain: Padamulanya, ketika Allah menciptakan langit dan bumi…kedua
terjemahan ini tepat jika ditinjau dari segi tata bahasa Ibrani. Terjemahan pertama (yang terdapat
dalam semua terjemahan kuno) lebih sesuai dengan nada seluruh kisah ini. Kisah yang sebenarnya
mulai dengan Kejadian 1:2, sehingga Kejadian 1:1 berupa judul yang berhubungan dengan
Kejadian 2:4 yang merupakan kata penutup Kisah.
Namun secara sederhana, frase Pada mulanya (bereshith), Penulis menuntun pembaca
kitab Kejadian untuk kembali ke saat sebelum ada waktu, memasuki wilayah tak terselami dari
kekekalan, sekalipun tidak ada kata yang bisa dipakainya untuk mengemukakan keadaan sebelum
ada waktu. Penulis tidak memberikan tanggal dan waktu tertentu ketika segala sesuatunya mulai
ada dari mulanya. kisahnya menjangkau balik ke masa sebelum semua peristiwa ada tanggalnya.

Selanjutnya kata “menciptakan” (Ibr: Bara (lih. 1:1,21,27; 2:3,4) adalah kata kerja
Ibrani (BDB 135, KB 153, Qal PERFECT) yang secara eksklusif digunakan untuk aktivitas
penciptaan Allah yang telah selesai pada masa lampau. Arti dasarnya ialah membentuk dengan
memotong.

7
E.J. Young, Studies In Genesis one, Philadelphia: The Presbyterian and Reformed (Publishing, 1964), hlm. 3.
Beliau mengatakan banyak sekali contoh untuk semua ini: misalnya, Im. 14:46; 1 Sam. 5:9; 25:15; Mazmur. 16:3;
58:10; 81:7; Yes. 29:1; Hos. 1:2. Baca Juga Alexander Heidel, The Babylonian Genesis, hlm. 89-95
8
A.T. Robertson, ―An Exegetical Study of Genesis 1:1-3, ―Bethel Seminary Quarterly 2, (1953), hlm. 14
9
Alexander Heidel, The Babylonian Genesis, Chicago: University of Chicago Press, 1942, hlm. 92.
10
E.J. Young, Studies In Genesis one, hlm. 6. Bukti tambahan untuk menerjemahkan ayat 1 sebagai sebuah
klausa yang berdiri sendiri terdapat dalam karya Gerhard F. Hasel, ―Recent Translation of Genesis 1:1: A Critical
Look, ― hlm. 154-167; dan karya G. Douglas Young, ―Further Light on the Translation of Genesis 1:1,‖ hlm. 2,3.
4

Penulis kitab Kejadian dalam ayat 1 ini menggunakan kata „bara‟ untuk kegiatan Allah
menciptakan langit dan Bumi. Kata „bara‟ mengungkapkan gagasan suatu penciptaan mutlak, atau
„exnihilo‟ penciptaan, secara lebih baik dari pada kata kerja yang lain. Akar kata dari kata kerja ini
hanya digunakan semata-mata dalam Perjanjian Lama untuk kegiatan Allah menciptakan; dimana
subyek untuk kata kerja ini tidak pernah manusia. Dalam kitab lain, dikatakan bahwa Allah
menciptakan ‗angin (Am. 4:13), ‗hati‘ …tahir‘ (Mazmr. 51:12), dan ‗langit yang baru dan bumi
yang baru‘ (Yes. 65:17). Kejadian 1 menekankan tiga permulaan besar, masing-masing
diprakarsai oleh Allah (Kej. 1:21,27).
Allah menghendaki segala sesuatu terjadi karena diciptakan oleh Diri-Nya dan kecuali
DiriNya sendiri. Maz 33:6,9; Ibr 11:3 dan II Pet 3:5 menyajikan penciptaan (kosmologi) oleh
firman yang diucapkan Allah (fiat) dari tidak ada (ex nihilo), walaupun air tidak pernah dikatakan
diciptakan. (lih. Kej 1:2). Falsafah-falsafah Yunani (Gnostik) dan Mesopotamia menekankan
suatu dualisme abadi antara ―roh‘ dan ―materi.‖ Apapun yang diisyaratkan oleh bara ini
menonjolkan aktivitas dan maksud Allah!
Selain penulis menggunakan kata ‗bara‘, dua kata kerja lain yang mengambil bagia penting
dalam narasi-narasi penciptaan. Yang satu adalah „asa‟, yang pada dasarnya berarti: ‗mengerjakan
atau menjadikan‘.11 Kata kerja ini kelihatannya dapat bertukar tempat dengan kata „bara‟ suatu
kesimpula yang ditolak oleh banyak penulis, tetapi buktinya banyak sekali. Misalnya saja,
Kejadian 1:1, menyatakan bahwa Allah menciptakan (bara) langit dan bumi, sedangkan dalam
Kitab Keluaran 20:11 dan Nehemia 9:6 tertulis bahwa Ia menjadikan (asa) langit dan bumi.12
Sebuah contoh yang lebih jelas lagi ditemukan dalam Kejadian 1:21, 25. Meskipun ada bukti ini
beberapa penulis tetap mempertahankan bahwa kata „asa‟ hanya dapat mengacu kepada
pembentukan kembali material yang sudah ada sebelumnya.13
Kata kerja ketiga yang digunakan dalam narasi-narasi penciptaan adalah kata „yasar‟, yang
pada dasarnya berarti:‟membentuk atau membuat‟14 Kata kerja ini tidak ada dalam Kejadian 1,
tetapi muncul untuk pertama kalinya dalam Kejadian 2:7, ketika Allah membentuk manusia dari
debu tanah. Oleh sebab itu, tindakan penciptaan oleh Allah yang tercermin dalam ayat 1 tidak
melibatkan material yang sudah ada sebelumnya; Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa
menciptakan langit dan bumi dari yang tiada. Alkitab menyatakan bahwa penciptaan memiliki
suatu titik awal. Meskipun masih ada pertanyaan kapan awal mula penciptaan bumi, belum
menemui titik temu, yang walaupun menurut perhitungan Uskup Usher dimulai dari tahun 4004
sM, dan tahun 4.500.000.000 sM menurut Evolusi, masih menjadi bahan perdebatan dan
penelitian yang penuh antusiasme yang tinggi. Karena itu, pertanyaan yang paling penting adalah
bukan kapan dunia ini diciptakan tetapi siapa yang mual-mula ada, dan siapa yang menciptakan
langit dan bumi serta mengapa Tuhan menciptakan langit dan bumi dan segala isinya?
Selanjutnya penyebutan kata Allah. Mengenai siapa yang menciptakan langit dan bumi?
Penulis Kejadian menyertakan siapa penciptanya dalam ayat 1 yaitu Allah.
Kata ―Allah‖ (Ibr. Elohim (BDB 43) dalam ayat ini adalah suatu kata benda bentuk jamak
dalam bahasa Ibrani, Aram dan Arab adalah nama umum untuk Allah di Timur Dekat kuno, El

11
Francis Brown, S.R. Driver Dan Charles Briggs, A Hebrew and English Lexicon of The Old Testament, Oxford:
The Clarendon Press, 1952, hlm. 793
12
Baca juga Kej. 2:2,3; Kel. 34:10; Ayb. 9:9; Ams. 8:26; Mazm 95:5; 100:3 (bdg. Kej. 1:26, 27; Yes. 41:20; 43:7;
45:7).
13
Donald G. Barnhouse, The Invisible War, hlm. 65; The Scofield Reference Bible (New York: Oxford University
Press, 1967), hlm. 1,2. Persoalan ini dibahas lebih lanjut dalam buku John C. Whitcomb, The Early Earth, hlm.
127-131; dan Weston W. Fields, ―Unford and Unfilled: A Critique of The Gap Theory of Genesis 1:1,2‖
(Monografi, Grace Theological Seminary, 1973), hlm. 73-90.
14
Brown and Briggs, A Hebrew and English Lexicon of The Old Testament, Op.Cit. Hlm. 127.
5

(BDB 42). Sebetulnya kata ‗elohim‘ ini berbentuk jamak yang sedang menjelaskan ―hebatnya
keperkasaan pribadi‖ atau martabat luar biasa dan kemuliaan tak terbatas. Di dalam kejamakan
termaktub keesaan yang saling terpadu yang menjelaskan kekuasaan, kekekalan dan
ketidakterbatasannya.
Ketika merujuk pada Allah Israel kata kerjanya biasanya (6 perkecualian) bentuk tunggal.
Sebuah kata benda jamak maskulin yang menegaskan kuasa kemuliaan-Nya yang megah. Dari
bentuk kata kerja yang subyeknya, yaitu maskulin ketiga tunggal, adalah kata benda tersbut,
nyatalah bahwa bentuk jamak kata benda itu tidak mencerminkan politheisme. Pada umumnya
disetujui bahwa arti kata dasar dari kata benda itu, ialah ‗kuasa, kekuatan, kemuliaan.‘ Para rabi
mengatakan bahwa nama ini berbicara tentang Allah sebagai pencipta, penyedia dan pemelihara
dari segenap kehidupan di planet bumi ini (bnd. Maz 19:1-6; 104). Dengan sendirinya, Alkitab
telah membuktikan tentang keberadaan dan hakikat serta sifat khas Allah. Oleh karena itu,
infomasi Alkitab tidak bisa dibantah oleh beberapa teori para ahli modern yang menentang
eksistensi Allah. Sekurang-kurangnya, ada enam teori yang paling mendasar dikategorikan
sebagai ajaran sesat karena menentang ajaran Alkitab mengenai keberadaan Allah sejak semula,
yaitu sbb:
Yang pertama adalah atheisme, yaitu pandangan bahwa Allah tidak ada. Alkitab tidak
memberikan argument filosofis terhadap adanya Allah; Alkitab menerima keberadaan Allah dan
memandang segala sesuatu dari sudut pandang asumsi tersebut.
Kedua adalah Politheisme, bentuk tunggal kata kerja utamanya menunjukkan bahwa
bangsa Israel percaya kepada Allah Yang Esa dan bukan banyak. Tak ada bukti bahwa sebelum
sampai pada monotheisme etis, agama bangsa Israel berkembang dari animism melalui
politheisme dan henotheisme. Pendapat yang demikian, agak sewenang-wenang dan jelas
bertentangan dengan pernyataan-pernyataan Alkitab.
Ketiga adalah ayat ini menentang materialisme, yang menganggap zat itu abadi. Tanpa
bahan yang sudah ada sebelumnya Allah menyebabkan bumi yaitu zat menjadi ada.
Keempat, karena Allah jelas berbeda dari ciptaan-Nya, ayat ini jelas menolak
pantheisme.
Kelima, asal usul bumi dalam alam semesta yang terjadi secara adikodrati membuktikan
bahwa paham naturalism itu tidak benar; Allah adalah Sang Arsitek dan Pencipta dari segala
sesuatu yang ada.
Akhirnya, keunikan paham tentang asal usul dalam kesusasteraan kuno membuat tidak
dapat dipertahankannya pendapat yang mengatakan bahwa penyataan khusus tidak ada atau tidak
masuk Akal. Meskipun absah, penalaran atau penyelidikan yang dilakukan oleh manusia terbatas
sekali; oleh karenanya, masalah asal usul paling baik dipecahkan dari sudut pandang kebenaran
Alkitabiah.
Kemudian Allah Yang Mahakuasa itu menciptakan langit dan bumi sebagai bukti
kemahakuasaanNya. Ia menciptakan “langit” (Ibr: haššämaºyim (BDB 1029) bisa dipakai dalam
beberapa pengertian: (1) menunjuk pada atmosfir dari bumi sebagaimana dalam ayat 8 dan 20; (2)
bisa menunjuk pada keseluruhan semesta (yaitu seluruh materi yang ada); atau (3) ini bisa
menunjuk pada penciptaan dari segala hal yang nampak (materi) dan tidak nampak (malaikat,
surga sebagai tahta Allah). Jika pilihan tiga benar, maka sebuah paralel adalah Kolose 1:16. Jika
tidak, maka Kejadian 1 hanya berfokus pada penciptaan planet ini. Alkitab menekankan suatu
sudut pandang geosentris (yaitu penciptaan dilihat sebagai apa yang diamati seorang penonton di
planet ini). Beberapa akan menyatakan bahwa Kejadian 1 mengurusi penciptaan alam semesta
(yaitu matahari, bulan, bintang, dan galaksi-galaksi, sementara Kejadian 2-3 berfokus pada planet
ini dan penciptaan manusia. Ini tentu bisa saja karena pasal 2-4 membentuk suatu unit sastra.
6

Dalam keduanya (yaitu Kejadian 1 dan 2-4) penciptaan bersifat geosentristik. (berfokus pada
bumi).
Dan kata “bumi” (Ibr: hä´äºrec (BDB 75) dapat menunjuk pada suatu tanah tertentu,
negara, atau keseluruhan planet. Kejadian 1 diakui sebagai geosentris (lih. ayat 15). Ini cocok
dengan maksud teologis dari pasal ini, bukan ilmu pengetahuan. Ingat bahwa Alkitab ditulis dalam
bahasa penjelasan bagi maksud-maksud teologis. Ini bukan anti-ilmiah, namun pra-ilmiah.
Sebagai kesimpulan dari ayat 1 ini, kita kembali kepada perdebatan mengenai bentuk
kalimat dari ayat 1, bahwa saya yakin ayat 1 merupakan suatu anak kalimat yang berdiri sendiri:
Ibn Ezra mengatakan bahwa ini adalah suatu anak kalimat independent dengan penekanan pada
ayat 2 sementara Rashi mengatakan bahwa ayat 2 adalah sebuah kalimat dalam kurung dan
penekanannya adalah pada ayat 3. Para komentator dispensasional moderen mengatakan bahwa
ayat 1 adalah suatu anak kalimat independen supaya mendukung pandangan mereka akan adanya
suatu kejatuhan sebelumnya (teori Celah). Perhatikan bahwa tak ada keterangan mengenai asal-
usul Allah. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa Allah menciptakan materi dan tidak
membentuk dari materi yang sudah ada (kosmologi Yunani). Dalam Enuma Elish, (catatan
penciptaan Babilonia), seperti pemikiran Yunani, Roh (yang adalah baik) dan materi (yang adalah
jahat) bersifat sama-sama kekal. Alkitab tidak mendiskusikan asal-usul Allah. Ia telah dan selalu
ada (lih. Maz 90:2). Sungguh ada misteri di sini. Umat manusia secara sederhana tidak dapat
memahami kepenuhan Allah!
Intinya, Allah adalah pencipta segala sesuatu. Penulis sedang membawa konsep pembaca
kitab Kejadian untuk berfokus kepada Yang Mahakuasa. Dialah adalah yang Awal, sang causa
prima /penyebab utama, dan sumber dari segala yang ada. Dia menjadikan segala sesuatu dan
semua orang yang memahami dan memenuhi rencana-Nya bagi segala zaman. Hal ini, mengingat
adanya konsep mitos penciptaan Mesir kuno yang menceritakan bahwa bumi, langit, para dewa-
dewi termasuk Atum-Ra sang pencipta muncul dari sebuah samudera kekacauan yang dinamakan
Nu. Atau kepercayaan Babilonia kuno yang meyakini langit dan bumi diciptakan Marduk dari
mayat dewi Monster ular Tiamat.

Selanjutnya, penulis Kejadian memberikan pernyataan pada ayat 2 bahwa “bumi


belum berbentuk dan kosong, gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah
melayang-layang di atas permukaan air.”
Diskusi mengenai anak-anak kalimat ini seara teologis sangat berarti. Lembaga Penerbitan
Yahudi Amerika telah menterjemahkan Kej 1:1 sebagai suatu anak kalimat sementara, ―Ketika
Allah mulai menciptakan langit dan bumi, bumi yang masih tidak berbentuk dan kosong…‖
Terjemahan ini bisa menyimpulkan bahwa Allah dan materi bersifat sama-sama kekal
sebagaimana kosmologi Yunani (lih. ―Penciptaan dan Kosmologi‖ dalam Ensiklopedia Yudaika,
vol. 5, hal. 1059). Catatan orang Sumerian mengenai penciptaan, Enuma Elish, dimulai dengan
―ketika pada mulanya. . .‖
Frase ‗bumi belum berbentuk dan kosong‖ KATA KERJA ini (BDB 224, KB 243, Qal
PERFECT) hanya secara sangat jarang dapat diterjemahkan sebagai ―menjadi‖. Secara
ketatabahasaan dan kontekstual ―adalah‖ lebih disukai. Jangan biarkan (yaitu pramilenial
dispensasional) teologi prasuposisi anda yaitu dua kejatuhan (teori Celah) mempengaruhi
eksegesis dari naskah ini. Dalam beberapa teks bahasa Inggris, kedau kata ini diterjemahkan:
NASB ―belum berbentuk dan kosong‖; NKJV―tanpa bentuk, dan kosong‖; NRSV, NJB ―suatu
kekosongan yang tak berbentuk‖; TEV―belum berbentuk dan sunyi‖; NIV ―belum berbentuk dan
tak berisi‖ REV―kesia-siaan besar‖; SEPT ―tak nampak dan tak berperabot‖; JPSOA―belum
berbentuk dan kosong‖ Kedua kata ini ditemukan dalam BDB 1062, KB 1688-1690 dan BDB 96,
7

KB 111. Apakah ini mengisyaratkan hanya air? Bumi berubah bentuk (yaitu lempengan tektonik)
terus menerus (yaitu satu benua mula-mula yang disebut Pangea menjadi beberapa benua).
Pertanyaannya lagi adalah umur dari bumi. Kata-kata ini muncul bersamaan dalam Yer 4:23.
Kata-kata ini dipakai dalam catatan penciptaan Babilonia dan Sumeria namun dalam pengertian
mitologis. Tahapan penciptaan ini menunjukkan bahwa Allah menggunakan suatu proses
pertumbuhan untuk suatu bumi yang tak bisa didiami (lih. Yes 45:18). Kedua kata ini
menjelaskan, bukan permulaan dari materi, namun suatu status sistem aturan yang belum
terbentuk dan belum berfungsi15 Mungkin lebih tepatnya Bumi belum siap dihuni oleh /bagi
manusia.

Kemudian, “kegelapan” Kata ini (BDB 365) tidak mewakili kejahatan, namun kekacauan
mula-mula. Allah menamai kegelapan dalam ayat 5 saat Ia menamai terang. Kedua istilah ini,
walau sering digunakan dalam Alkitab untuk menyatakan realita-realita rohani, di sini mewakili
kondisi-kondisi fisik mula-mula.

Selanjutnya, “samudera raya” Istilah Ibrani nya tehom (BDB 1062 #3, KB 1690-91).
Suatu akar Semitik yang mirip namun berbeda dipersonifikasikan sebagai Tiamat dalam mitos-
mitos penciptaan Babilonia dan Sumeria yaitu sebagai raksasa kekacauan dan ibu dari dewa-dewa,
istri dari Apsu. Ia mencoba untuk membunuh semua dewa-dewa rendahan yang lahir darinya.
Marduk membunuhnya. Dari tubuhnya Marduk membentuk langit dan bumi dalam Kejadian
Babilonia yang disebut Enuma Elish. Orang Ibrani percaya bahwa air adalah elemen awal dari
penciptaan (lih. Maz 24:1; 104:6; II Pet 3:5). Air tak pernah dikatakan telah diciptakan. Namun
demikian, kata Ibraninya berbentuk jantan, bukan betina dan ini secara etimologis tak
berhubungan dengan Tiamat. Ada perikop-perikop dalam PL yang menjelaskan YHWH yang
bertentangan dengan kekacauan air yang dipersonifikasikan (lih. Maz 74:13-14; 89:9-10; 104:6-7;
Yes 51:9-10). Namun demikian, hal-hal ini selalu ada dalam perikop-perikop puitis dan
penggambaran. Air adalah suatu aspek krusial dalam penciptaan (lih. 1:2b,6-7).

Menurut klausa terakhir pada ayat 2, “Roh Allah melayang-layang di atas


permukaan air.”
Roh Allah melayang-layang; menurut beberapa terjemahan bahasa Inggri: NASB, NKJV,
TEV, NIV ―Roh Allah‖; NRSV, JPSOA ―suatu angin dari Allah‖; NJB ―suatu angin Illahi‖
REB ―roh Allah‖; SEPT ―suatu nafas Allah‖
Kata Ibrani ruach (BDB 924) dan kata Yunani pneuma (lih. Yoh 3:5,8) dapat berarti ―roh,‖
―nafas‖ atau ―angin‖ (lih. Yoh 3:5,8). Roh sering dihubungkan dengan penciptaan (lih. Kej 1:2;
Ayb 26:13; Maz 104:29-30;147:14-18). PL tidak secara jelas mendefinisikan hubungan antara
Allah dengan Roh. Dalam Ayb 28:26-28; Maz 104:24 dan Ams 3:19; 8:22-23 Allah menggunakan
hikmat (suatu kata benda betina) untuk menciptakan segala sesuatu. Dalam PB Yesus dikatakan
sebagai pelaksana Allah dalam penciptaan (lih. Yoh 1:1-3; I Kor 8:6; Kol 1:15-17; Ibr 1:2-3).
Sebagaimana dalam penebusan, demikian juga dalam penciptaan, semua tiga pribadi ke-Allahan
terlibat. Kejadian 1 itu sendiri tidak menekankan suatu penyebab sekunder apapun.
Kemudian, Istilah melayang-layang, dalam terjemahan beberapa teks Bahasa Inggris:
NASB, TEV ―bergerak‖; NKJV, NIV“melayang-layang‖; NRSV―menyapu‖; NJB ―sedang
menyapu‖. Istilah ini (BDB 934, KB 1219, Piel PARTICIPLE) mengembangkan konotasi
―merenung‖ atau melayang-layang secara aktif‖ (lih. JB). Ini adalah sebuah kata induk burung
yang sedang mengerami telurnya (lih. Kel 19:4; Ul 32:11; Yes 31:5; 40:31; Hos 3; 11:4). Ini tidak
15
John H. Walton, Dunia yang Hilang dari Kejadian Satu hal. 49.
8

berhubungan pada kosmologi Fenisia yang menyatakan bahwa bumi berasal dari sebuah telur,
namun suatu penggambaran betina bagi pemeliharaan aktif Allah seperti seorang tua, dan juga
pengembangan dari ciptaanNya pada tahap mula-mula!
Terkait dengan ayat ini, belakangan ini para penafsir menyarankan bahwa klausa tersebut
seharusnya diterjemahkan, ―angin yang dashyat bertiup di atas air itu.‖16 Sekalipun benar bahwa
kata Ibrani „ruah‟ dapat berarti ―angin‖ atau ―angin sepoi-sepoi‖ tetapi dalam konteks ini rupanya
mengacu kepada oknum ketiga dari ke-Allahan (bdg. Ayb. 26:13; Mzm. 104:30). Kata kerja yang
subyeknya Roh adalah kata kerja Partisip Aktif dan, pada dasarnya, berarti ―melayang-layang di
atas‖ (bdg. Ul. 32:11).17 Oleh sebab itu, bagian terakhir dari ayat 2 menggambarkan Roh yang
melayang-layang di atas, melindungi, dan berperan serta dalam kegiatan penciptaan. Kata kerja
serupa dalam Ulangan 32:11 dipakai untuk burung rajawali yang melayang-layang di atas anak-
anaknya, dan rupanya kiasan inilah yang diajukan sebagai di Kejadian 1:2. Bagian-bagian lain dari
Alkitab (bdg. Yoh. 1:1-3; Kol. 1:16) menjadikan jelas sekali bahwa lebih dari satu oknum ke-
Allahan terlibat dalam penciptaan dengan cara yang sulit dimengerti.

Ayat 2. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan
Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air, telah menjadi pokok perdebatan yang bukan
sepele. Pada umumnya terdapat dua teori:
1. Teori Kesenjangan.
Teori kesenjangan lebih tepatnya digambarkan sebagai teori rekonstruksi puing, melihat
suatu kesenjangan waktu yang tidak tentu antara ayat 1 dan 2. Dalam satu atau lain bentuk, teori
ini telah disokong selama berabad-abad,18 tetapi bentuknya yang modern berasal dari Thomas
Chalmers di Edinburg University. Ia mengusulkan teori ini pada tahun 1814 untuk membantu teori
Georges Cuvier yang menyatakan bahwa lapisan bumi yang mengandung fosil merupakan akibat
dari serangkaian bencana alam. Chalmers menyediakan ruang untuk berbagai bencana alam ini di
antara ayat 1 dan 2 di Kejadian pasal 1.19 Teori kesenjangan ini disebarluaskan pada awal abad ke-
20 oleh George H. Pember, yang bukunya berjudul Earth‟s Earliest Ages, terbit pada tahun
1907,20 dan melalui Scofield Reference Bible, yang terbit pada tahun 1909. C.I. Scofield
menyokong teori kesenjangan dalam sebuah komentar mengenai Kejadian 1, tetapi dalam edisi
kemudian Alkitab acuannya dialihkan ke Yesaya 45. Pember mengemukakan bahwa tafsiran
tradisional untuk Kejadian 1:1-2, sangat mempengaruhi paham kafir tentag penciptaan dari
kekacaubalauan.21 Akan tetapi, dalam edisi ketiga bukunya pember menyatakan motif
sesungguhnya ketika menyokong teori kesenjangan itu: ―solusi terhadap kesukaran-kesukaran
geologis yang berhubungan dengan Alkitab. Perhatian penuh yang kritis dalam menerjemahkan
materi yang asli adalah satu-satunya yang diperlukan oleh teori kesenjangan sebagai penopang;
dan meskipun hal itu, melumpuhkan sama sekali serangan-serangan geologi terhadap Kitab
Kejadian. Teori tersebut tidak menghilangkan kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Bilamana dimengerti secara benar, ternyata dalam Alkitab terdapat jarak waktu besar dan tak

16
Speiser, Genesis, hlm. 3, 5 (cat.). Dan juga bacalah karya Harry M. Orlinsky, ―The Plain Meaning of Ruah in
Gensis 1:2, ―hlm. 174-182
17
Kata ini juga muncul dalam Yeremia 23:9, yang berarti: ‘gemetar’.
18
Baca buku Arthur C. Custance, Without Form and Void, Brockville, Canada: Arthur C. Custance, 1970, hlm.
10-40, Bukti Historis ini dievaluasi dalam buku: Fields, ―A Critique of the Gap Theory,‖ hlm. 17-42.
19
Baca buku The Works of Thomas Chalmers on Natural Theology, (Glasgow: Collins, tak bertanggal); dan
Select Works of Thomas Chalmers, editor W. Hanna (Edinburgh: Constable, 1855) dst. Band. Buku Bernard
Ramm, The Christian View of Science dan Scripture, hlm. 195, dst.
20
(London: Holder and Stoughton, 1907), hlm. 20
21
(London: Holder and Stoughton, 1907), Ibid. hlm. 20
9

dibatasi antara penciptaan dan zaman pascatersier, dan mungkin manusia dapat menghubungkan
jarak tersebut dengan penemuan mereka tanpa takut mengingkari pernyataan-pernyataan Allah.22
Hingga kini pembelaan yang paling ilmiah dan panjang lebar mengenai teori kesenjangan ini
adalah yang ditulis oleh Arthur C. Custance dalam bukunya: ―Without Form and Void, yang
diterbitkan pada tahun 1970.23
Sebgaimana yang lazim diajarkan dewasa ini, teori kesenjangan menyatakan dengan tegas,
bahwa pada waktu lampau yang kekal Allah telah menciptakan langit dan bumi yang sempurna.
Bumi didiami oleh suatu suku bangsa pra-Adam dan diperintah oleh Iblis, yang menghuni taman
Eden. Iblis ini seringkali menjadi seperti Allah dan akhirnya dia memberontak (Yes. 14).
Demikianlah dosa memasuki alam semesta, dan hubungan Allah menimpa dalam bentuk air bah
pertama dan kemudian, ketika cahaya dan panas dari matahari berhenti, terjadi zaman es sedunia.
Semua fosil tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia berasal dari banjir besar ini dan secara
genetis tidak berhubungan dengan tumbuhan, binatang, dan manusia di bumi masa kini.
Alasan untuk teori kesenjangan, yaitu:
1. ―Bumi belum berbentuk‖, terjemahan bahasa Inggrisnya “the eart was (hayetah) without
form”, seharusnya diterjemahkan ―bumi menjadi tanpa bentuk‖ atau ―telah menjadi tanpa
bentuk.‖ Jadi, keadaan bumi yang kacau balau pada zaman purba bukanlah akibat
langsung penciptaan Ilahi.
2. ―Tanpa bentuk‖ (tohu, „tandus‟) dan „kosong‟ (wabohu)” menggambarkan keadaan yang
sangat buruk, akibat dari hukuman ilahi dan bukannya akibat penciptaan ilahi. Yesaya
mengatakan bahwa Allah tidak menjadikan bumi supaya ―kosong (tohu)‖ Yesaya 45:18.
3. Dua kata kerja dasar bahasa Ibrani yang berarti: ―menciptakan‖, seperti yang telah
diperhatikan, harus dibedakan secara cermat.
4. Karena ―gelap gulita menutupi samudera raya‖ dan karena ―Allah adalah terang dan di
dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan (1 Yoh. 1:5), maka ayat 2 tidak mungkin
melukiskan keadaan semula penciptaan. Dalam Alkitab kegelapan adalah suatu symbol
untuk kejahatan. Allah menyuruh Adam agar memenuhi bumi. Kata ‗penuhilah‘ (dalam
Alkitab bahasa Inggris: „replenish‟ ‗memenuhi lagi) bumi (Kej. 1:28), pasti bumi telah
dipenuhi selama kurun waktu yang lebih awal.

Meskipun motif para pembuat teori kesenjangan ingin menyelaraskan Alkitab dengan teori
geologi zaman sekarang, patut dihargai, keabsahan alasan mereka meragukan sekali. Geologi
modern tidak tahu apa-apa tentang dua bencana global dari teori tersebut dengan dua periode
geologis yang jelas berbeda. Pemakaian kata-kata bahasa Ibrani tidak memperbolehkan adanya
perbedaan arti da fungsi antara dua kata kerja dasar yang berarti: ‗menciptakan‘. Sedangkan kata
„bara‟ secara lebih khusus dan semata-mata mengacu kepada kegiatan Allah dalam penciptaan
khusus, kata „asa‟ seringkali mengacu kepada kegiatan yang sama.24 Lagi pula, tata bahasa Ibrani
tidak akan membolehkan adanya kesenjangan kronologi antara ayat 1 dan ayat 2. Dalam hal ini
teori kesenjangan berdiri dan juga jatuh. Berikut dibawah ini terdapat beberapa pengamatan
kristis mengenai susunan ayat tersbut.
Pertama, ayat 2 tidak dimulai dengan kata „waw‟ konsekutif, yang menunjukkan narasi
yang membentuk rangkaian, tetapi dimulai dengan kata „waw‟ yang disjungtif (bersifat

22
(London: Holder and Stoughton, 1907), Ibid. hlm.vii
23
Arthur C. Custance, Without Form and Void, Brockville, Canada: Arthur C. Custance, 1970, hlm. 10-40, Dan
ditinjau kembali oleh Whitcomb dan Charles Smith dalam buku Creation Research Society Quartely 8 (1971):
hlm. 130-134.
24
John J. Davis, Op. Cit. hlm. 43
10

memisahkan), yang mengajukan suatu anak kalimat sematan. Seharusnya diterjemahkan begini:
―Adapun bumi….‖ Alkitab versi Septuaginta mendukung pendapat ini dengan menerjemahkan
„de‟ untuk kata „waw‟.25 F.F Bruce menyatakan bahwa apabila suatu kesejangan memisahkan
kedua ayat tersebut, kita akan berharap mendapati „kata waw‟ konsekutif dengan bentuk kata kerja
yang menunjukkan perbuatan yang sedang berlangsung bukannya „kata waw‘ kopulatif (yang
bersifat/ berfungsi menggabungkan kata-kata atau kalimat-kalimat setara).‖26 Speiser menyatakan
secara tepat bahwa ―sebuah pernyataan konsekutif yang biasa tentu akan dimulai dengan „wattehi
ha ares‟ bukannya „we ha ares hayeta‟.27 Maksud dari „kata waw disjungtif‟ adalah untuk
melukisakna sesuatu yang ada dalam anak kalimat yang mendahului, bukannya sesuatu yang
terjadi sesudah itu.28
Caustance menganggap penting sekali bahwa berdasarkan pemakaian di Perjanjian Lama,
terjemahan yang tepat dari „hayeta‟ adalah ‗telah menjadi‘.29 Jelaslah alasannya adalah berkenaan
dengan statistik.30 Sebab makna aktif kata kerja tersebut („menjadi‟) , karena itu, pastilah makna
aktif yang dimaksudkan dalam Kejadian 1:2. Tetapi ini merupakan penafsiran yang gegabah.
Kenyataan ialah, kata kerja ini dipakai untuk menggabungkan kata-kata dan kalimat-kalimat
setara dalam anak kalimat sematan: ‗Yunus pergi ke Niniwe…..Niniwe adalah sebuah kata yang
mengagumkan besarnya…‖(Yun. 3:3). ―Ia memperlihatkan kepadaku imam besar Yosua…adapun
Yosua menggunakan pakaian yang kotor…‖ (Zak. 3:1-3).
Yang penting juga, untuk teori kesenjangan adalah pandangannya bahwa ‗tohu dan
wabohu‟ („tandus‟ dan „kosong‟) menunjukkan hukuman ilahi; itulah yang dilakukiskan kata-kata
tersbut pada satu-satunya kesempatan lain kata-kata itu mucul bersama-sama di dalam Alkitab
(Yes. 24:1 dan Yer. 4:23). Akan tetapi, di dalam Alkitab „tohu‟ tidak selalu mengacu kepada
sesuatu yang buruk. Misalnya: Ayub mengatakan bahwa Allah ‗membentangkan utara di atas
kekosongan („tohu‟), dan menggantungkan bumi pada kehampaan‖ (26:7). Jelaslah bahwa
kekosongan ini bukanlah sesuatu yang buruk. Di banyak bagian Alkitab kata itu hanya mengacu
kepada hutan belantara atau padang gurun, tempat yang nyata sekali tidak ada kehidupan (bdg.
Ul. 32:10; Ayub. 6:18; 12:24; Mzm. 107:40).31
Sebuah pembuktian besar lainnya untuk teori kesenjangan yaitu bahwa (sebagaimana di
Yohanes 3:19 atau Yud. 13, misalnya) kegelapan selalu menjadi symbol dosa dan hukuman. Para
penganjur teori ini memperhatikan bahwa Allah menyebut terang itu ‗baik‘, tetapi tidak demikian
halnya dengan kegelapan (Kej. 1:4). Mereka bersikeras bahwa Allah semula menciptakan dunia
dalam keadaan terang (bnd. Mazmr. 104:2; 1 Tim. 6:16), dan bahwa kegelapan adalah akibat dari
hukuman Allah atas Iblis dan malaikat-malaikatnya. Tetapi Young mengatakan bahwa di dalam
Kejadian 1 pun ―kegelapan diakui sebagai kebaikan positif bagi manusia‖. Apa pun konotasi yang
tepat untuk „areb‟ pada tiap-tiap hari, pasti petang itu juga meliputi kegelapan, dan kegelapan itu
adalah untuk kebaikan manusia. Oleh sebab itu, kadang-kadang kegelapan boleh jadi
melambangkan kejahatan dan kematian; pada waktu lain kegelapan harus dianggap sebagai berkat

25
Waw disjungtif yang lainnya diakui oleh versi Septuaginta dalam Kejadian 2:6, 10, 12.
26
―And The Earth Was Without Form and Void: AN Enquiry into the Exact Meaning of Genesis 1:2,‖ hlm. 21
27
Genesis. hlm. 5 Baca juga karya E. Kautzsch dan A. E. Cowley, Gesenius Hebrew Grammer (Oxford: The
Clarendom Press, 1949, hlm. 453, dan Derek Kidner,‟Genesis‟ hlm. 44.
28
E. Kautzsch dan A. E. Cowley, Gesenius Hebrew Grammer (Oxford: The Clarendom Press, 1949, hlm. 453
29
Arthur C. Custance, Without Form and Void, Op.Cit. hlm. 41, dst.
30
Arthur C. Custance, Without Form and Void, Ibid. hlm. 54
31
Pokok ini dibahas secara lebih teliti dalam buku Whitcomb, The Early Earth, hlm. 122-125; dan Fields, ―A
Critique of the Gap Theory,‖ hlm. 112-133.
11

yang positif.‖32 Mazmur 104:19-24, juga menjadikan sangat jelas bahwa kegelapan menurut
hukum alam tidak bertaut dengan kejahatan.
Pembuktian yang didasarkan pada terjemahan bahasa Inggris, ―penuhilah (replenish,
memenuhi lagi) bumi,‖ lemah sekali. Kata kerja tersebut dalam bahasa Ibrani hanya berarti
‗memenuhi‘, bukannya ‗memenuhi lagi‘. Teori kesenjangan menerima sebagai dalil suatu
populasi pra-Adam yang dimusnahkan, tetapi dalam Alkitab hal ini tidak tidak dilukiskan juga
tidak disinggung. Teori seperti itu dengan mudah sekali memberi kemungkinan pada
subyektifisme dan imajinasi yang tak terkontrol. Hampir segala sesuatu dapat dijadikan sebagai
dalil untuk kesenjangan misterius yang lama waktunya tidak tentu ini.33

2. Teori tidak ada Kesenjangan.


Pandangan yang umum lebih diterima mengenai Kejadian 1:1,2 ialah bahwa ayat-ayat ini
menggambarkan hari pertama penciptaan. Ayat 1 merupakan klausa yang berdiri sendiri yang
menggambarkan penciptaan ex nihilo alam semesta ―pada mulanya,‖ dan ayat 2 merupakan
serangkaian tiga klausa sematan yang menggambarkan keadaan bumi sebelum Allah
menyelesaikan karya ciptaan-Nya. Bumi masih tidak dapat didiami, jadi pada hari-hari berikutnya,
Allah mempersiapkannya untuk memungkinkan berbagai bentuk kehidupan yang akan
berkembang biak menurut hukum-hukum yang ditetapkan-Nya. Bumi juga gelap: ―……gelap
gulita menutupi samudera raya (tehom).‖ Sebagaimana dikatakan di atas, kegelapan tidak
diartikan sebagai bukti atas pemusnahan karena hukuman atau dosa; sebaliknya kegelapan
menunjukkan suatu fase kegiatan penciptaan yang dilakukan oleh Allah.
„Tehom‟ telah menjadi pokok bahasan yang panjang lebar. Secara etimologis kata ini
mirip dengan, tetapi tidak berasal dari, „Ti-amat‟ yaitu makhluk Babilonia yang tubuhnya dipakai
oleh Marduk—dewa Babilonia untuk menjadikan langit dan bumi. Peristiwa ini dipaparkan dalam
Enuma Elis.34 R. Laird Harris, menulis, ―Di tengah-tengah kata Tiamat, sebuah kata benda bahasa
Akad, tidak terdapat huruf bunyi rongkongan „h‟. Bahasa Ibrani mempertahankan bunyi
rongkogan dalam kata-kata Ibrani, tetapi dalam kata „Tehom‟ bunyi rongkongan itu tidak akan
dipertahankan apabila kata itu dipinjam dari bahasa Babilonia. Agak jelas bahwa pengaruhnya itu
sebaliknya. Kemungkinan ‗Tehom‘ adalah bahasa Semit kuno untuk ‗lautan.‘ Orang-orang
Babilonia mengumpamakan lautan menjadi Tiamat. Cerita penciptaan versi Ibrani memakai kata
‗lautan‘ untuk materi kosmis pada zaman purba.‖35
Gerhard von Rad mengemukakan bahwa meskipun istilah itu, bila berbicara dari segi
etimology, memang berasal dari mitologi, namun tidak menyimpan arti mitologis. Von Rad
berkata, ―Istilah-istilah yang digunakan di ayat 2 sudah bebas dari semua konteks mitologis; di
Israel istilah-istilah tersebut sudah lama menjadi kata-kata slogan di bidang kosmologi, yang
termasuk syarat pengetahuan yang harus dimiliki seorang Imam.‖36 “Tehom‟ dipakai sekitar 36
kali di Perjanjian Lama, dan kebanyakan kali kata itu mengacu kepada laut atau danau. 37 Beberapa

32
E.J. Young, Studies In Genesis one, op.cit. hlm. 35
33
Evaluasi tambahan mengenai teori kesenjangan dapat ditemukan dalam buku Henry M. Morris, Biblical
Cosmology and Modern Science, hlm. 62-65.
34
Pritcahard, ANET, hlm. 61-63. Baca juga karya D.F. Payne, Genesis One Reconsideret, hlm. 10 dst.
35
―The Bible and Cosmology‖, hlm. 14. Keberatan ini mungkin tidak abash karena bahasa Ibrani dalam kata
„tehom‟ sama dengan ‗(alef 2‘) dalam kata „ti-„amat‟. Ti‟amtu, tamtu dan tamdu‟ menyatakan „air asin‟ dalam
bahasa ‗Akad‘. C. Bezold, Babylonisch-assyrisches Glossar (Heidelberg: Carl Winner‘s Universitattsbuch-
handlung, 1926), hlm. 289
36
Genesis, hlm. 48. Rangkuman yang bermanfaat mengenai persoalan ini ditemukan dalam karya Hasel, ―The
Significance of the Cosmology in Genesis 1 in Revelation to Ancient Near Eastern Paralles, ― hlm. 4-7
37
Bandingkan Kel. 15:5,8; Ayb. 28:14; 38:16, 30; 41:23; Mzm. 107:26; Yun. 2:5; Yeh. 26:19; 31:4, 15.
12

bagian bacaan yang tidak jelas artinya, seperti Mazmur 78:15 dan Ulangan 8:7 mungkin mengacu
kepada air dibawah tanah, tetapi orang Ibrani, berbeda dengan orang Babilonia, tidak punya
sistem mitologi atau dewa-dewa dibawah tanah. Karena itu, Musa sekedar menunjukkan bahwa
bumi pada waktu itu diliputi atau dikelilingi sama sekali oleh air, dan air itu ditutupi gelap gulita.

5. SINTESIS (Kesimpulan): Makna teologis


Setelah menganalisa ayat-ayat di atas, selanjutnya pada bagian ini akan diberikan
sintesisnya.
Tuhan Allah Yang Maha Kuasa ada sebelum segala sesuatu ada, dan dengan sabada-Nya
sendiri, Dia menjadikan alam semesta, memerintah semua kekuatan yang dasyat dari angin, hujan,
matahari, dan laut sesuai dengan kehendak tertingi-Nya. Ini sangat kontras sekali dengan allah-
allah dan dewa-dewa kecil yang terus berselisih, bertengker, dan berubah –ubah, yang lahir dari
khayalan jahat orang kafir. Pesan dan maksud dari Kejadian 1 adalah pernyataan Allah tunggal
yang sejati yang menciptakan segala sesuatu dari kehampaan dan selalu memelihara alam semesta
dibawah pengawasan-Nya yang berdaulat.
Maksud Musa melalui Kej. 1:1-2:…Allah telah memberikan jawaban yang abadi untuk
pertanyaan ini pada ayat pembukaan di Alkitab, ―Pada mulanya Allah menciptakan langit dan
bumi‖ (Kej. 1:1).
1. Ayat 1 ini, menjawab teori dan penjelasan yang tidak berdasarkan Kitab Suci mengenai
penciptaan atau asal usul mula dunia;
2. Juga menjawab atheisme, yang menganggap bahwa tidak ada Allah, dengan cara
menyatakan keberadaan dan karya Allah;
3. Ayat ini juga menjawab agnostisisme, yang menandaskan bahwa kita tidak mungkin
mengetahui bagaimana segala sesuatu mulai, dengan menyatakan bahwa Allah yang
menciptakan sesuatu;
4. Ayat 1 juga ini menjawab politeisme yang beranggapan bahwa ada banyak allah (dewa),
dengan menyatakan bahwa Allah adalah pencipta, bukan banyak allah.

6. PENUTUP

Satu-satunya kesimpulan, yang masuk akal yang bisa ditarik ialah bahwa maksud Kejadian
1 bukan untuk menceritakan betapa cepatnya Allah melaksanakan penciptaan (kendatipun ada
tindakan-tindakan-Nya yang berlangsung secara cepat, misalnya penciptaan terang pada hari
pertama). Sebaliknya, hendak menunjukkan bahwa Tuhan Allah yang sudah menyatakan diri-Nya
kepada bangsa Ibrani dan mengadakan hubungan perjanjian secara pribadi dengan mereka, adalah
memang satu-satunya Allah sejati, pencipta alam semesta dan segala isinya temasuk manusia. Ini
berlawanan langsung dengan berbagai paham agama orang-orang kafir disekeliling orang Ibrani
yang percaya bahwa kumpulan allah (dewa-dewa) muncul pada tahap-tahap yang berurutan
dengan penciptaan dunia yang tidak diketahui permulaannya, mereka digerakkan oleh kekuatan-
kekuatan yang tentangnya tidak ada laporan sama sekali.

7. DAFTAR PUSTAKA
A.T. Robertson, ―An Exegetical Study of Genesis 1:1-3, ―Bethel Seminary Quarterly 2, (1953)
Arthur C. Custance, Without Form and Void, Brockville, Canada: Arthur C. Custance, 1970
Brown and Briggs, A Hebrew and English Lexicon of The Old Testament, Op.Cit. Hlm. 127.
13

C. Bezold, Babylonisch-assyrisches Glossar (Heidelberg: Carl Winner‘s Universitattsbuch-


handlung, 1926).
Donald G. Barnhouse, The Scofield Reference Bible (New York: Oxford University Press, 1967),
E. Kautzsch dan A. E. Cowley, Gesenius Hebrew Grammer (Oxford: The Clarendom Press, 1949,
hlm. 453, dan Derek Kidner,‟Genesis‟
E.J. Young, Studies In Genesis one, Philadelphia: The Presbyterian and Reformed (Publishing,
1964).
Francis Brown, S.R. Driver Dan Charles Briggs, A Hebrew and English Lexicon of The Old
Testament, Oxford: The Clarendon Press, 1952
John H. Walton, Duni yang Hilang dari Kejadian Satu mengatakan ini memperkenalkan suatu
kurun waktu (hal. 45).
John J. Davis, Paradise to Prison, (Gran Rapids-Michigan, USA, 1975), telah diIndonesiakan oleh
Yayasan Penerbit Gandum Mas, dengan judul: Eksposisi Kitab Kejadian- Suatu Telaah, (Malang, 2001).
Speiser, Genesis, ―The Anchor Bible, disunting oleh William F. Albright dan David N. Freedman,
Jilid 1, New York: Doubleday and Co., 1964).
The Works of Thomas Chalmers on Natural Theology, (Glasgow: Collins, tak bertanggal); dan
Select Works of Thomas Chalmers, editor W. Hanna (Edinburgh: Constable, 1855) dst.
Weston W. Fields, ―Unford and Unfilled: A Critique of The Gap Theory of Genesis 1:1,2‖
(Monografi, Grace Theological Seminary, 1973)

Anda mungkin juga menyukai