LAPORAN KASUS
1.1 IDENTIFIKASI
Nama : Tn. Z
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 50 tahun
Alamat : Sumbertlaseh, Dander, Bojonegoro
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Nomor rekam medis : 583851
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 12 Juni 2021
Tanggal pemeriksaan : 12 Juni 2021
1.2 ANAMNESIS
(Autoanamnesis, Tanggal 12 Juni 2021)
Keluhan Utama :
Pasien mengeluh sesak sejak ± 1 hari SMRS
Keluhan tambahan: batuk dan mual.
Status Sosioekonomi :
Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok. Riwayat minum alkohol disangkal
1
o Inspeksi : toraks tampak simetris pada kondisi statis maupun
dinamis, tidak terlihat retraksi
o Palpasi : tidak teraba massa maupun nyeri tekan; ekspansi
kedua hemitoraks simetris
o Perkusi : perkusi paru sonor pada kedua lapang baru
o Auskultasi : suara paru vesikuler +/+, rhonki -/- wheezing +/+
Jantung :
o Inspeksi : ictus cordis tidak tervisualisasi
o Palpasi : ictus cordis teraba di sela iga 5 garis midklavikular kiri
o Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 reguler; tidak terdengar murmur
maupun gallop
Abdomen
o Inspeksi : datar
o Palpasi : defans muscular (-); tidak teraba massa, tidak
ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
2
Mean corpuscular
27,6 pg 27,0 pg – 31,0 pg
haemoglobin (MCH)
Mean corpuscular
haemoglobin 32,3 g/dL 33,0 g/dL – 37,0 g/dL
concentration (MCHC)
3
150×103 keping/μL –
Trombosit 291 ×10 keping/μL
450×103 keping/μL
Red cell distribution
width-standard deviation 39 fL 35,0 fL – 47,0 fL
(RDW-SD)
Red cell distribution
width-coefficient of 12,7 % 11,5 % – 14,5%
variation (RDW-CV)
PDW 10,5 fL 9,0 - 13,0 fL
MPV 10,5 fL 7,2 - 11,1 fL
P-LCR 27,7 % 15-25 %
PCT 0,300 % 0,15 – 0,40 %
1,50×103 sel/μL –
Neutrofil absolut 11,1 ×103 sel/μL
7,00×103 sel/μL
Neutrofil % 77,7 % 40 – 74 %
1,00×103 sel/μL –
Limfosit absolut 1,4 ×103 sel/μL
3,70×103 sel/μL
Limfosit % 9,9 % 19 – 48 %
0,16×103 sel/μL –
Monosit absolut 1,29×103 sel/μL
1,00×103 sel/μL
Monosit % 9,1 % 3–9%
0,00×103 sel/μL –
Eosinofil absolut 0,4 ×103 sel/μL
0,80×103 sel/μL
Eosinofil % 2,5 0–7%
0,00×103 sel/μL –
Basofil absolut 0,1×103 sel/μL
0,20×103 sel/μL
Basofil % 0,8 1 – 1%
3. Elektrolit
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
3
Natrium 145 mmol/dL 136 – 145 mmol/dL
Kalium 3,5 mmol/dL 3,5 – 5,0 mmol/dL
Klorida 101 mmol/dL 98 – 107 mmol/dL
4. Serologi
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Anti SarsCov 2 ig G Non reaktif Non reaktif
Anti SarsCov 2 igM Non reaktif Non reaktif
Kesan :
- Cor : Besar dan
bentuk kesan normal
- Pulmo : Sudut
1.5 costophrenicus kanan
kiri tajam, Diafragma
kanan kiri tampak
baik, Tulang-tulang
dan soft tissue yang
tervisualisasi tampak
baik
- Kesimpulan :
paru tak tampak
kelainan
Cor tak tampak
kelainan
Daftar Masalah
Asthma bronchiale
4
- PO Promedex 3x1 tab
Rencana Monitoring
- Observasi tanda vital dan keluhan sesak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Gejala pada asma berhubungan dengan adanya gangguan pada saat ekspirasi,
yaitu kesulitan mengeluarkan udara dari paru karena konstriksi bronkus, penebalan
dinding saluran napas, dan peningkatan produksi mukus.
Faktor-faktor yang memperberat gejala asma, yaitu adanya infeksi virus, alergen
(misalnya tungau debu rumah, serbuk sari, kecoa), asap tembakau, olahraga dan stress
yang biasa muncul pada pasien dengan asma tidak terkontrol. Beberapa obat juga
dapat memicu asma, seperti, beta-blocker, aspirin atau NSAID lainnya.
Asma eksaserbasi (flare-up) dapat terjadi bahkan pada orang dengan pengobatan
asma. Pada pasien dengan asma tidak terkontrol, atau pada beberapa pasien berisiko
tinggi, lebih sering terjadi dengan gejala yang lebih parah, dan dapat berakibat fatal.
Pengobatan yang teratur, terutama dengan obat inhalasi yang mengandung
kortikosteroid (ICS), secara nyata dapat mengurangi frekuensi dan keparahan gejala
asma serta risiko terjadinya eksaserbasi.
6
Non-allergic asthma: Pada beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan alergi,
sputum pasien dapat neutrofilik, eosinofilik, atau mengandung beberapa sel
inflamasi (paucigranulocytic), pasien merespon kurang baik dengan ICS.
Late-onset asthma: beberapa orang dewasa, terutama wanita, datang dengan asma
pertama kali, cenderung non-alergik, dan sering memerlukan dosis tinggi ICS atau
relatif tidak mempan terhadap terapi kortikosteroid.
Asthma with fixed airflow limitation: terjadi pada beberapa pasien dengan asma
yang lama dan mengalami fixed airflow limitation karena remodeling jalan nafas.
Asthma with obesity: beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala
respirasi yang menonjol dan sedikit inflamasi eosinofilik saluran nafas.
2. Inflamasi Kronis
7
Sel-sel yang terlibat dan teraktivasi adalah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel
mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). CD4+
mengeluarkan sitokin antara lain IL- 3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. IL-4
berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama dengan IL-13
yang merangsang sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF
yang berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,
endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau kemokin. Epitel pada asma
sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan
tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein,
oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease
sel epitel.
c. Eosinofil
Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam
keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis
sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta
mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Eosinofil yang mengandung granul
protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP),
eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang
toksik terhadap epitel saluran napas.
d. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afinitas yang tinggi. Degranulasi sel
mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease
serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin.
Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan
GM-CSF.
e. Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan
bronkus, baik pada orang normal maupun penderita asma. Makrofag dapat
8
menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah
sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada
regulasi airway remodeling, melalui sekresi growth-promoting factors untuk
fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-β.
9
Gambar 2: Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses remodeling
Gambar 3: Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway remodeling
dengan gejala klinis
3. Airway Remodeling
Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang
secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan terjadi pergantian sel-sel
mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan
regenerasi jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan
pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai
mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway
remodeling. Pada asma terdapat hubungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel- sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen
lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial,
fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos,
kelenjar mukus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala
dan tanda asma seperti hipereaktivitas jalan napas, peregangan jalan napas dan
obstruksi jalan napas.
Perubahan struktur yang terjadi :
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
Penebalan membran reticular basal
Pembuluh darah meningkat
Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
Perubahan struktur parenkim
Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
10
Gambar 4: Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis
Asimptomatik atau
Asma dini
Gambar 1: Interaksi
Gambarfaktor genetik
8. Interaksi dangenetik
faktor lingkungan pada kejadian
dan lingkungan asma asma
pada kejadian
batuk, FAKTOR
sesak napas, mengi, rasa berat di dada yang bervariasi sepanjang waktu dan
PEJAMU
Asma adalah penyakit yang diturunkan
11 telah terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi
genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan untuk terjadinya asma.
Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif
(hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran
klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara
intensitasnya, serta variable expiratory airflow limitation. Anamnesis yang baik
cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.
12
2. Bukti dari variable air flow limitation
Adanya variabilitas fungsi paru dan FEV1/FVC menurun (N; >0.75-0.80 pada
pembatasan saluran nafas dewasa; >0.90 pada anak-anak)
Dewasa: Peningkatan FEV1 > 12% dan
>200 mL dari baseline, 10-15 menit setelah
Tes reversibilitas bronkodilator positif
200-400 mcg albuterol atau equivalen (lebih
(kemungkinan besar positif jika terapi BD
meyakinkan jika peningkatan > 15% dan >
dilakukan sebelum tes: SABA ≥4 jam,
400 mL)
LABA ≥15 jam)
Anak-anak: Peningkatan FEV1 > 12% dari
nilai prediksi
Dewasa: rata-rata variabilitas diurnal sehari-
Variabilitas PEF yang besar 2x sehari hari >10%
selama lebih dari 2 minggu Anak-anak: rata-rata variabilitas diurnal
sehari-hari >13%
Dewasa: peningkatan FEV1 >12% dan
Peningkatan signifikan fungsi paru
>200 mL dari baseline setelah 4 minggu
setelah terapi anti-inflamasi 4 minggu
terapi, di luar infeksi pernapasan
Dewasa: penurunan FEV1 >10% dan >200
mL dari baseline
Tes exercise challenge positif
Anak-anak: penurunan FEV1 >12% atau
PEF>15%
Penurunan FEV1 dari baseline ≥20%
dengan dosis standard metakolin atau
Tes bronchial challenge positif
histamine, atau ≥15% dengan hiperventilasi
(dilakukan pada orang dewasa)
standard, salin hipertonis, atau challenge
manitol
Dewasa: variasi FEV1 >12% dan >200 mL
di antara kunjungan, di luar infeksi
Variasi fungsi paru yang besar di antara pernapasan
kunjungan (kurang dapat diandalkan) Anak-anak: variasi FEV1 >12% atau PEF
>15% di antara kunjungan (termasuk infeksi
pernapasan)
Sebagai tambahan dari PDPI 2006, diagnosis asma juga ditegakkan melalui:
1. Pemeriksaan Jasmani
13
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
(wheezing) pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai
gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas.
2. Faal Paru
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai obstruksi jalan napas,
reversibilitas kelainan faal paru, variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak
langsung hiperesponsif jalan napas.
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
a. Uji Provokasi Bronkus
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan
uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain
seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas
seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
b. Pengukuran Status Alergi
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan
uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/
kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar
IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.
2.7 Klasifikasi
14
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.
Gambar 3: Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum Pengobatan )
15
Tabel 6. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam
pengobatan
Tahapan Pengobatan yang digunakan saat penilaian
Tahap I Tahap 2 Tahap 3
Gejala dan Faal paru dalam Intermiten Persisten Persisten sedang
Pengobatan Ringan
24
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma
Di Indonesia
16
Nilai faktor resiko saat diagnosis dan periodis, minimal tiap 1-2 tahun,
terutama saat eksaserbasi.
Ukur FEV1 saat awal terapi, setelah 3-6 bulan terapi kontroler untuk mencatat
fungsi paru terbaik, kemudian secara periodis untuk menilai resiko-resiko lain.
Gejala asma tak terkontrol merupakan faktor resiko penting terjadinya
eksaserbasi. Faktor resiko nya ialah:
o Tidak diresepkannya ICS, atau penggunaan ICS yang buruk, atau
pemakaian teknik inhaler yang salah
o Penggunaan SABA dosis tinggi (mortalitas meningkat jika >1x200
dosis canister / bulan
o FEV1 rendah, terutama <60%
o Reversibilitas bronkodilator yang tinggi
o Masalah psikologis atau sosioekonomi
o Paparan: rokok, allergen
o Komorbiditas: obesitas, rhinosinusitis kronis, alergi makanan
o Eosinofilia sputum atau darah
o Kehamilan
o Pernah intubasi atau masuk ICU karena asma
o Mengalami sekali atau lebih eksaserbasi dalam 12 bulan terakhir.
Faktor resiko mengalami fixed airflow limitation termasuk: lahir premature,
BBLR/berat badan lahir berlebih, kurangnya terapi ICS, paparan asap rokok,
paparan zat kimia, FEV1 rendah, hipersekresi mukus kronis, eosinofilia
sputum atau darah.
Faktor resiko untuk efek samping terapi termasuk:
o Sistemik: oral kortikosteroid yang sering, ICS dosis tinggi, konsumsi
P450 inhibitor
o Lokal: ICS dosis tinggi, teknik inhaler yang salah.
17
setiap pasien juga harus dilatih keterampilan dalam menangani asma dengan
sendirinya, termasuk:
• Informasi asma
• Keterampilan inhaler
• Kepatuhan
• Rencana aksi asma yang tertulis
• Pemantauan diri
• Peninjauan medis secara teratur
ICS dosis rendah reguler direkomendasikan untuk pasien asma dan salah satu dari
berikut:
Gejala asma lebih dari dua kali sebulan
Bangun karena asma lebih dari sekali sebulan
Semua gejala asma yang disertai dengan faktor risiko untuk eksaserbasi
(misalnya pernah membutuhkan OCS (oral corticosteroid) untuk asma dalam
12 bulan terakhir, FEV1 rendah, pernah dirawat di unit perawatan intensif
untuk asma).
Pertimbangkan memulai pada “STEP” yang lebih tinggi (misalnya ICS dosis
menengah / tinggi, atau ICS / LABA) jika pasien memiliki masalah gejala asma dalam
kesehariannya; atau pernah bangun karena asma sekali atau lebih seminggu, terutama
jika ada faktor risiko untuk eksaserbasi.
18
Jika pasien asma datang dengan asma yang sangat tidak terkontrol, atau
dengan eksaserbasi akut, berikan OCS segera dan mulai terapi controller reguler
(misalnya ICS dosis tinggi, atau ICS dosis menengah / LABA).
Sebelum memulai terapi controller awal :
Catat bukti untuk diagnosis asma
Catat gejala dan faktor risiko
Kaji fungsi paru
Latih pasien untuk menggunakan inhaler dengan benar, dan periksa teknik
mereka
Jadwalkan kunjungan berikutnya
Setelah memulai terapi controller awal:
Tinjau respons setelah 2-3 bulan, atau sesuai dengan urgensi klinis
Pertimbangkan “step down” ketika asma telah terkontrol dengan baik
selama 3 bulan
19
Gambar 5 Dosis Inhaled Corticosteroid
20
Diindikasikan hanya jika gejalanya jarang, tidak ada bangun malam karena asma,
tidak ada eksaserbasi pada tahun lalu, dan FEV1 normal. Pilihan lain: ICS dosis
rendah reguler untuk pasien dengan risiko eksaserbasi.
2. STEP 2: ICS dosis rendah reguler ditambah SABA Seperlunya
Opsi lain: LTRA kurang efektif daripada ICS; ICS / LABA mengarah ke perbaikan
gejala yang lebih cepat dan FEV1 daripada ICS saja tetapi lebih mahal dan tingkat
eksaserbasinya sama. Untuk asma alergi musiman murni, segera mulai ICS dan
hentikan 4 minggu setelah musim paparan berakhir.
3. STEP 3: Dosis rendah ICS/LABA sebagai terapi maintenance ditambah SABA
seperlunya, atau ICS/formoterol sebagai terapi maintenance dan reliever
Untuk pasien dengan jumlah eksaserbasi ≥1 pada tahun lalu, strategi pemberian obat
dan pereda dengan dosis rendah BDP / formoterol atau BUD / formoterol adalah
lebih efektif daripada pemeliharaan ICS / LABA dengan SABA yang seperlunya.
Pilihan lain: ICS dosis menengah; untuk pasien dewasa dengan rhinitis dan alergi
house dust mite (HDM) dengan eksaserbasi meski dengan ICS, tambahkan
sublingual immunotherapy (SLIT) jika FEV1 >70%.
Anak (6–11 tahun): ICS dosis sedang. Pilihan lain: dosis rendah ICS/LABA
4. STEP 4: Dosis rendah ICS / formoterol sebagai terapi maintenance dan reliever,
atau dosis sedang ICS / LABA sebagai maintenance ditambah SABA sesuai
kebutuhan
Pilihan lain: Tiotropium oleh mist inhaler untuk pasien ≥12 tahun dengan riwayat
eksaserbasi; dosis tinggi ICS / LABA, tetapi lebih banyak efek samping dan sedikit
manfaat tambahan; pengontrol tambahan, mis. LTRA atau slow-release theophylline
(dewasa); untuk pasien dewasa dengan rhinitis dan alergi (HDM) dengan eksaserbasi
meski dengan ICS, tambahkan sublingual immunotherapy (SLIT) jika FEV1 >70%.
Anak-anak (6-11 tahun): dirujuk.
5. STEP 5: Rujuk untuk penyelidikan ahli dan pengobatan tambahan Perawatan
tambahan termasuk tiotropium dengan mist inhaler untuk pasien dengan riwayat
eksaserbasi (usia ≥12 tahun), omalizumab (anti-IgE) untuk asma alergik berat ≥6
tahun, dan mepolizumab (anti-IL5) untuk asma eosinofilik berat (usia ≥12 tahun).
Pilihan lain: Beberapa pasien mungkin mendapat manfaat dari dosis rendah OCS
tetapi efek samping sistemik jangka panjang sering terjadi.
22
• Jangan sepenuhnya menarik ICS (pada orang dewasa atau remaja) kecuali
diperlukan sementara untuk mengkonfirmasi diagnosis asma.
23
Semua pasien harus diberi asthma action plan yang tepat untuk tingkat asmanya
sehingga pasien tahu bagaimana mendeteksi dan menangani asma yang memburuk.
Asthma action plan harus mencakup:
-
Pengobatan asma penderita
- Kapan dan bagaimana pengobatan ditingkatkan, dan memulai OCS
- Bagaimana jika gejala tidak membaik
Action plan bisa berdasarkan gejala dan/atau PEF (pada dewasa). Pasien yang
tiba-tiba memburuk harus diarahkan ke fasilitas kesehatan atau segera ke dokter.
Perubahan pengobatan pada asthma action plan:
Peningkatan frekuensi inhaler (SABA, atau ICS dosis rendah/formoterol jika
menggunakan regimen untuk maintenance dan reliever)
Peningkatan penggunaan controller: peningkatan komponen ICS hingga dosis
maksimal 2000 mcg beclomethasone equivalent. Pilihan berdasar controller yang
biasa digunakan:
ICS : minimal dosis ganda, pertimbangkan kenaikan hingga dosis maksimal.
ICS maintenance/formoterol: 4 kali lipat dosis maintenance ICS/formoterol
(formoterol maksimum 72 mcg/hari).
ICS maintenance/salmeterol: naik ke dosis yang lebih tinggi; pertimbangkan
menambah ICS inhaler untuk mencapai dosis ICS yang tinggi.
24
ICS maintenance and reliever/formoterol: teruskan dosis maintenance; naikkan
sesuai kebutuhan ICS/formoterol (maksimum 72 mcg/hari).
Kortikosteroid oral
Dewasa : prednisolon 1mg/kgBB/hari hingga 50mg, 5-7 hari
Anak : 1-2 mg/kgBB/hari hingga 40mg, 3-5 hari
Tidak perlu tapering off jika pengobatan <2minggu
25
Gambar 11: Manajemen eksaserbasi asma di fasilitas kesehatan primer
26
4. Review Respon
Sering memonitor pasien dengan teliti selama pengobatan. Rujuk ke fasilitas
kesehatan yang lebih tinggi jika gejala memburuk.
Putuskan apakah perlu perawatan di rumah sakit berdasarkan gejala klinis dan
fungsi paru, respon terhadap pengobatan, riwayat eksaserbasi, dan kemampuan
perawatan di rumah.
Sebelum pasien dipulangkan, susun pengobatan untuk di rumah. Untuk sebagian
besar pasien, diberikan controller dengan dosis seperti sebelumnya (atau
dinaikkan) untuk mengurangi resiko eksaserbasi. Lanjutkan kenaikan dosis
controller selama 2-4 minggu, dan diturunkan sesuai kebutuhan. Cek cara
penggunaan dan ketaatan dalam memakai inhaler. Beri asthma action plan
sementara.
Follow up setelah eksaserbasi, antara 2-7 hari.
Konsul ke spesialis jika ada pasien asma yang memerlukan perawatan rumah
sakit, atau pasien yang berulang kali masuk UGD karena asma.
27
BAB III
ANALISIS KASUS
Dari hasil anamnesis didapatkan seorang laki laki, 50 tahun datang dengan keluhan
utama sesak sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit. penderita mengalami sesak mendadak,
dan memberat sejak 2 jam SMRS. Sesak napas yang dirasakan disertai bunyi napas “ngik-
ngik”dan pasien kesulitan untuk menghirup udara hingga pasien kesulitan untuk tidur. Sesak
napas dikatakan lebih baik bila dalam keadaan duduk dan pasien merasakan sesak napas lebih
berat dalam keadaan berbaring. Sesak napas awalnya disertai dengan batuk-batuk. Batuk-
batuk dirasakan sesaat sebelum sesak nafas dirasakan, batuk yang dirasakan berdahak, namun
dahak dirasakan susah untuk dikeluarkan.
Pada anamnesa riwayat penyakit dahulu didapatkan keluhan dan riwayat sakit yang
sama sejak pasien berumur 15 tahun, pasien tidak memiliki riwayat alergi ataupun riwayat
asthma pada keluarga pasien. Dari keluhan tersebut sebenarnya kita sudah dapat menegakkan
diagnosis asthma pada pasien ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital menunjukkan keadaan sakit sedang
dimana kesadaran kompos mentis, nadi 150x/menit, pernafasan 30x/menit, tekanan darah
150/90 mmHg, dan suhu 36,70C. Kemudian didapatkan wheezing pada kedua lapang paru
pasien, sehingga pada kasus ini asthma attack dapat ditegakan.
Pada kasus ini dilakukan penatalaksan yaitu dipasang infuse RL 1000 cc/24 jam dan
diberikan drip aminofiline untuk melebarkan bronkus dari pasien sehingga keluhan sesak
pasien dapat berkurang, kemudian diberikan injeksi fartison 3x1 sebagai anti inflamatori,
injeksi omeprazole 3x1 sebagai penanganan untuk keluhan mual dan promedex 3x1 untuk
keluhan batuk dari pasien.
28
BAB IV
KESIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
GINA, 2018. Global Initiative for Asthma. Pocket Guide for Asthma Management and
Prevention.
GINA, 2018. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention.
PDPI, 2006. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis & Penatalaksaan
Asma di Indonesia
30