Anda di halaman 1dari 31

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTIFIKASI
Nama : Tn. Z
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 50 tahun
Alamat : Sumbertlaseh, Dander, Bojonegoro
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Nomor rekam medis : 583851
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 12 Juni 2021
Tanggal pemeriksaan : 12 Juni 2021

1.2 ANAMNESIS
(Autoanamnesis, Tanggal 12 Juni 2021)

Keluhan Utama :
Pasien mengeluh sesak sejak ± 1 hari SMRS
Keluhan tambahan: batuk dan mual.

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang dengan keadaan sadar ke IGD dengan keluhan sesak napas. Sesak
napas dirasakan sejak 8 jam SMRS (11/6/2021) dan memberat sejak 2 jam SMRS. Sesak
napas yang dirasakan disertai bunyi napas “ngik-ngik”dan pasien kesulitan untuk menghirup
udara hingga pasien kesulitan untuk tidur. Sesak napas dikatakan lebih baik bila dalam
keadaan duduk dan pasien merasakan sesak napas lebih berat dalam keadaan berbaring.
Sesak napas awalnya disertai dengan batuk-batuk. Batuk-batuk dirasakan sesaat sebelum
sesak nafas dirasakan, batuk yang dirasakan berdahak, namun dahak dirasakan susah untuk
dikeluarkan. Batuk dirasakan sejak 1 hari sebelum gejala sesak napas, yang semakin
memberat sesaat sebelum sesak napas. Setelah diberikan obat, pasien mengatakan dahak
mulai keluar sedikit-sedikit dengan warna dahak dikatakan berwarna putih kekuningan dan
sedikit lengket. Awalnya pasien sempat memeriksakan diri ke klinik dan diberi obat (pasien
tidak mengingat nama obat) tapi keluhan tidak membaik dan semakin memburuk hingga
menganggu tidur pasien. 18 Keluhan lain seperti panas badan, keringat malam hari,
penurunan berat badan dan mual muntah disangkal pasien. BAB dan BAK dirasakan biasa,
tidak ada keluhan lainnya.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat sakit dan keluhan yang sama sejak umur 15 tahun.
- Riwayat penyakit maag (-).

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat penyakit dalam keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.

Status Sosioekonomi :
Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok. Riwayat minum alkohol disangkal

1.3 Pemeriksaan Fisis


 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis/ GCS E4V5M6
 Berat badan : 50 kg
 Tinggi badan : 160 cm
 Indeks Massa Tubuh : 22,02 kg/m2 (normal)
 Tanda-tanda vital
o Tekanan darah : 158/104 mmHg
o Nadi : 150 x/menit, kuat, isi cukup, irama reguler
o Suhu : 36,7°C
o Pernafasan : 30 x/menit
o Saturasi perifer O2 : 83% O2 ruangan
 Kepala : Normosefali
o Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera anikterik
o Mulut : Sianosis (-), trismus (-) dysarthria (-),
 Toraks dan paru :

1
o Inspeksi : toraks tampak simetris pada kondisi statis maupun
dinamis, tidak terlihat retraksi
o Palpasi : tidak teraba massa maupun nyeri tekan; ekspansi
kedua hemitoraks simetris
o Perkusi : perkusi paru sonor pada kedua lapang baru
o Auskultasi : suara paru vesikuler +/+, rhonki -/- wheezing +/+
 Jantung :
o Inspeksi : ictus cordis tidak tervisualisasi
o Palpasi : ictus cordis teraba di sela iga 5 garis midklavikular kiri
o Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 reguler; tidak terdengar murmur
maupun gallop
 Abdomen
o Inspeksi : datar
o Palpasi : defans muscular (-); tidak teraba massa, tidak
ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba

o Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen


o Auskultasi : bising usus positif, kesan normal
 Genitalia : tidak ditemukan kelainan

 Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time (CRT) <2", tidak


terdapat pitting edema, terdapat

1.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Darah Perifer Lengkap (11/6/2021)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
4,80×103 sel/μL –
Leukosit total 14,2 ×103 sel/μL
10,80×103 sel/μL
4,70×106 sel/μL –
RBC 5,94 ×106 sel/μL
6,10×106 sel/μL
Hemoglobin (Hb) 16,4 g/dL 14,0 g/dL – 18,0 g/dL
Hematokrit (Ht) 50,7 % 37,0% – 54,0%
Mean corpuscular
85,4 fL 81,0 fL – 99,0 fL
volume (MCV)

2
Mean corpuscular
27,6 pg 27,0 pg – 31,0 pg
haemoglobin (MCH)
Mean corpuscular
haemoglobin 32,3 g/dL 33,0 g/dL – 37,0 g/dL
concentration (MCHC)
3
150×103 keping/μL –
Trombosit 291 ×10 keping/μL
450×103 keping/μL
Red cell distribution
width-standard deviation 39 fL 35,0 fL – 47,0 fL
(RDW-SD)
Red cell distribution
width-coefficient of 12,7 % 11,5 % – 14,5%
variation (RDW-CV)
PDW 10,5 fL 9,0 - 13,0 fL
MPV 10,5 fL 7,2 - 11,1 fL
P-LCR 27,7 % 15-25 %
PCT 0,300 % 0,15 – 0,40 %
1,50×103 sel/μL –
Neutrofil absolut 11,1 ×103 sel/μL
7,00×103 sel/μL
Neutrofil % 77,7 % 40 – 74 %
1,00×103 sel/μL –
Limfosit absolut 1,4 ×103 sel/μL
3,70×103 sel/μL
Limfosit % 9,9 % 19 – 48 %
0,16×103 sel/μL –
Monosit absolut 1,29×103 sel/μL
1,00×103 sel/μL
Monosit % 9,1 % 3–9%
0,00×103 sel/μL –
Eosinofil absolut 0,4 ×103 sel/μL
0,80×103 sel/μL
Eosinofil % 2,5 0–7%
0,00×103 sel/μL –
Basofil absolut 0,1×103 sel/μL
0,20×103 sel/μL
Basofil % 0,8 1 – 1%

2. Kimia Darah (12/6/2021)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Ureum 13 mg/dL 19,3 mg/dL – 49,3 mg/dL
Kreatinin 0,99 mg/dL 0,7 mg/dL – 1,3 mg/dL
Gula darah sewaktu 84 mg/dL <200 mg/dL

3. Elektrolit
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
3
Natrium 145 mmol/dL 136 – 145 mmol/dL
Kalium 3,5 mmol/dL 3,5 – 5,0 mmol/dL
Klorida 101 mmol/dL 98 – 107 mmol/dL

4. Serologi
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Anti SarsCov 2 ig G Non reaktif Non reaktif
Anti SarsCov 2 igM Non reaktif Non reaktif

5. Foto X-Ray Thorax AP (12/6/2021)

Kesan :
- Cor : Besar dan
bentuk kesan normal
- Pulmo : Sudut
1.5 costophrenicus kanan
kiri tajam, Diafragma
kanan kiri tampak
baik, Tulang-tulang
dan soft tissue yang
tervisualisasi tampak
baik

- Kesimpulan :
paru tak tampak
kelainan
Cor tak tampak
kelainan

Daftar Masalah
 Asthma bronchiale

1.6 Rencana Tatalaksana


Rencana Diagnostik :
- Tidak ada
Rencana Terapi
- IVFD RL 1000 cc/24 jam
- Drip aminofiline 1 amp/fls
- Injeksi Fartison 3x1
- Injeksi Omeprazole 2x1
- Injeksi Ceftriaxone 2x1

4
- PO Promedex 3x1 tab
Rencana Monitoring
- Observasi tanda vital dan keluhan sesak

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma
dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat
menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun
akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan),
sehingga menambah penurunan produktiviti serta menurunkan kualitas hidup.
Asma dapat diobati secara efektif, dan dapat terkontrol dengan baik pada
kebanyakan pasien. Pada pasien dengan asma terkontrol dapat menghindari gejala
yang mengganggu, hanya membutuhkan sedikit atau tanpa obat, memiliki kehidupan
yang produktif dan aktif secara fisik, memiliki fungsi paru normal atau hampir normal
dan dapat menghindari asma yang parah (eksaserbasi, atau serangan)

5
Gejala pada asma berhubungan dengan adanya gangguan pada saat ekspirasi,
yaitu kesulitan mengeluarkan udara dari paru karena konstriksi bronkus, penebalan
dinding saluran napas, dan peningkatan produksi mukus.
Faktor-faktor yang memperberat gejala asma, yaitu adanya infeksi virus, alergen
(misalnya tungau debu rumah, serbuk sari, kecoa), asap tembakau, olahraga dan stress
yang biasa muncul pada pasien dengan asma tidak terkontrol. Beberapa obat juga
dapat memicu asma, seperti, beta-blocker, aspirin atau NSAID lainnya.
Asma eksaserbasi (flare-up) dapat terjadi bahkan pada orang dengan pengobatan
asma. Pada pasien dengan asma tidak terkontrol, atau pada beberapa pasien berisiko
tinggi, lebih sering terjadi dengan gejala yang lebih parah, dan dapat berakibat fatal.
Pengobatan yang teratur, terutama dengan obat inhalasi yang mengandung
kortikosteroid (ICS), secara nyata dapat mengurangi frekuensi dan keparahan gejala
asma serta risiko terjadinya eksaserbasi.

2.2 Definisi Asma


Asma adalah gangguan inflamasi kronis saluran nafas, menyebabkan
peningkatan respon saluran nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi (wheezing), sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk yang bervariasi
sepanjang waktu dan intensitasnya, serta variable expiratory airflow limitation.
Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Variasi gejala ini dipicu
oleh olahraga, alergen, paparan iritan, perubahan cuaca, atau infeksi respiratori oleh
virus.

2.3 Fenotipe Asma

Kumpulan ciri asma berdasarkan ciri demografis, klinis, dan/atau patofisiologis


dikenal dengan nama fenotipe asma, yang terdiri dari:
 Allergic asthma: biasa muncul saat masa anak-anak dan berhubungan dengan
riwayat alergi pada keluarga, seperti eczema, rinitis alergika, alergi makanan atau
obat. Pemeriksaan sputum pada pasien sebelum terapi sering menunjukkan
inflamasi eosinofilik pada saluran nafas dan tipe ini merespon baik dengan terapi
inhaled corticosteroid (ICS).

6
 Non-allergic asthma: Pada beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan alergi,
sputum pasien dapat neutrofilik, eosinofilik, atau mengandung beberapa sel
inflamasi (paucigranulocytic), pasien merespon kurang baik dengan ICS.
 Late-onset asthma: beberapa orang dewasa, terutama wanita, datang dengan asma
pertama kali, cenderung non-alergik, dan sering memerlukan dosis tinggi ICS atau
relatif tidak mempan terhadap terapi kortikosteroid.
 Asthma with fixed airflow limitation: terjadi pada beberapa pasien dengan asma
yang lama dan mengalami fixed airflow limitation karena remodeling jalan nafas.
 Asthma with obesity: beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala
respirasi yang menonjol dan sedikit inflamasi eosinofilik saluran nafas.

2.4 Patogenesis Asma


Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel.
Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi pada
saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik
pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada
berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma
yang dicetuskan aspirin. Ada 2 proses inflamasi yang berperan pada asma:
1. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,
virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi
asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti
histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin,
prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus,
sekresi mukus dan vasodilatasi.
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

2. Inflamasi Kronis
7
Sel-sel yang terlibat dan teraktivasi adalah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel
mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). CD4+
mengeluarkan sitokin antara lain IL- 3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. IL-4
berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama dengan IL-13
yang merangsang sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF
yang berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,
endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau kemokin. Epitel pada asma
sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan
tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein,
oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease
sel epitel.
c. Eosinofil
Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam
keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis
sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta
mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Eosinofil yang mengandung granul
protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP),
eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang
toksik terhadap epitel saluran napas.
d. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afinitas yang tinggi. Degranulasi sel
mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease
serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin.
Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan
GM-CSF.
e. Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan
bronkus, baik pada orang normal maupun penderita asma. Makrofag dapat
8
menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah
sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada
regulasi airway remodeling, melalui sekresi growth-promoting factors untuk
fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-β.

Gambar 1: Inflamasi dan remodeling pada asma

9
Gambar 2: Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses remodeling

Gambar 3: Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway remodeling
dengan gejala klinis

3. Airway Remodeling
Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang
secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan terjadi pergantian sel-sel
mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan
regenerasi jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan
pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai
mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway
remodeling. Pada asma terdapat hubungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel- sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen
lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial,
fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos,
kelenjar mukus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala
dan tanda asma seperti hipereaktivitas jalan napas, peregangan jalan napas dan
obstruksi jalan napas.
Perubahan struktur yang terjadi :
 Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
 Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
 Penebalan membran reticular basal
 Pembuluh darah meningkat
 Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
 Perubahan struktur parenkim
 Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

10
Gambar 4: Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis

2.5 Faktor Resiko


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
BAB V
(hostfactor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi
FAKTOR RISIKO
genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik
(atopi)FAKTOR
, hipereaktiviti bronkus, jenis
RISIKO TERJADINYA kelamin dan ras. Faktor lingkungan
ASMA
Risiko
mempengaruhi berkembangnya
individu asma merupakan predisposisi
dengan kecenderungan/ interaksi antara faktor
asma pejamu
untuk (host factor) dan
berkembang
faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk
menjadi asma, menyebabkan
berkembangnya asma, yaituterjadinya eksaserbasi
genetik asma, dan atau
alergik (atopi) menyebabkan
, hipereaktiviti gejala-
bronkus, jenis kelamin
gejala dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma
asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi
untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan
gejala-gejala
lingkungan asma rokok,
kerja, asap menetap. Termasuk
polusi udara,dalam faktor
infeksi lingkungan
pernapasan yaitu diet,
(virus), alergen, sensitisasi
status
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi
sosioekonomi dan besarnya
dan besarnya keluarga. keluarga.
Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui
kemungkinan :
2.6 Diagnosis Asma
• pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma,
baik lingkungan
•Diagnosis maupun genetik
asma didasarkan masing-masing
pada gejala meningkatkan
yang bersifat risiko
episodik, penyakit
gejala asma.
berupa
Bakat yang diturunkan: Pengaruh lingkungan :
Asma Alergen
Atopi/ Alergik Infeksi pernapasan
Hipereaktiviti bronkus Asap rokok / polusi udara
Faktor yang memodifikasi Diet
penyakit genetik Status sosioekonomi

Asimptomatik atau
Asma dini

Manifestasi Klinis Asma


(Perubahan ireversibel pada
struktur dan fungsi jalan napas)

Gambar 1: Interaksi
Gambarfaktor genetik
8. Interaksi dangenetik
faktor lingkungan pada kejadian
dan lingkungan asma asma
pada kejadian

batuk, FAKTOR
sesak napas, mengi, rasa berat di dada yang bervariasi sepanjang waktu dan
PEJAMU
Asma adalah penyakit yang diturunkan
11 telah terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi
genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan untuk terjadinya asma.
Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif
(hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran
klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara
intensitasnya, serta variable expiratory airflow limitation. Anamnesis yang baik
cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.

Gambar 2: Bagan Diagnosis pada Asma

Menurut GINA 2018, kriteria diagnosis asma terdiri dari 2 bagian:


1. Riwayat gejala pernapasan yang bervariasi: mengi, sesak nafas, rasa berat di dada,
batuk
a. Orang dengan asma memiliki >1 gejala di atas
b. Terjadinya gejala bervariasi sepanjang waktu dan intensitasnya
c. Gejala terjadi / memburuk saat malam atau saat terbangun
d. Gejala sering dipicu oleh aktivitas olahraga, tertawa, alergen, atau udara
dingin
e. Gejala terjadi dengan atau memburuk karena infeksi virus

12
2. Bukti dari variable air flow limitation
Adanya variabilitas fungsi paru dan FEV1/FVC menurun (N; >0.75-0.80 pada
pembatasan saluran nafas dewasa; >0.90 pada anak-anak)
Dewasa: Peningkatan FEV1 > 12% dan
>200 mL dari baseline, 10-15 menit setelah
Tes reversibilitas bronkodilator positif
200-400 mcg albuterol atau equivalen (lebih
(kemungkinan besar positif jika terapi BD
meyakinkan jika peningkatan > 15% dan >
dilakukan sebelum tes: SABA ≥4 jam,
400 mL)
LABA ≥15 jam)
Anak-anak: Peningkatan FEV1 > 12% dari
nilai prediksi
Dewasa: rata-rata variabilitas diurnal sehari-
Variabilitas PEF yang besar 2x sehari hari >10%
selama lebih dari 2 minggu Anak-anak: rata-rata variabilitas diurnal
sehari-hari >13%
Dewasa: peningkatan FEV1 >12% dan
Peningkatan signifikan fungsi paru
>200 mL dari baseline setelah 4 minggu
setelah terapi anti-inflamasi 4 minggu
terapi, di luar infeksi pernapasan
Dewasa: penurunan FEV1 >10% dan >200
mL dari baseline
Tes exercise challenge positif
Anak-anak: penurunan FEV1 >12% atau
PEF>15%
Penurunan FEV1 dari baseline ≥20%
dengan dosis standard metakolin atau
Tes bronchial challenge positif
histamine, atau ≥15% dengan hiperventilasi
(dilakukan pada orang dewasa)
standard, salin hipertonis, atau challenge
manitol
Dewasa: variasi FEV1 >12% dan >200 mL
di antara kunjungan, di luar infeksi
Variasi fungsi paru yang besar di antara pernapasan
kunjungan (kurang dapat diandalkan) Anak-anak: variasi FEV1 >12% atau PEF
>15% di antara kunjungan (termasuk infeksi
pernapasan)

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan

Sebagai tambahan dari PDPI 2006, diagnosis asma juga ditegakkan melalui:
1. Pemeriksaan Jasmani

13
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
(wheezing) pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai
gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas.
2. Faal Paru
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai obstruksi jalan napas,
reversibilitas kelainan faal paru, variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak
langsung hiperesponsif jalan napas.
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
a. Uji Provokasi Bronkus
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan
uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain
seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas
seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
b. Pengukuran Status Alergi
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan
uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/
kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar
IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.

2.7 Klasifikasi

14
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.

Gambar 3: Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum Pengobatan )

15
Tabel 6. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam
pengobatan
Tahapan Pengobatan yang digunakan saat penilaian
Tahap I Tahap 2 Tahap 3
Gejala dan Faal paru dalam Intermiten Persisten Persisten sedang
Pengobatan Ringan

Tahap I : Intermiten Intermiten Persisten Persisten Sedang


Gejala < 1x/ mgg Ringan
Serangan singkat
Gejala malam < 2x/ bln
Faal paru normal di luar serangan

Tahap II : Persisten Ringan Persisten Persisten Persisten Berat


Gejala >1x/ mgg, tetapi <1x/ hari Ringan Sedang
Gejala malam >2x/bln, tetapi <1x/mgg
Faal paru normal di luar serangan

Tahap III: Persisten Sedang Persisten Persisten Berat Persisten Berat


Gejala setiap hari Sedang
Serangan mempengaruhi aktiviti dan
tidur
Gejala malam > 1x/mgg
60%<VEP1<80% nilai prediksi
60%<APE<80% nilai terbaik

Tahap IV: Persisten Berat Persisten Persisten Berat Persisten Berat


Gejala terus menerus Berat
Serangan sering
Gejala malam sering
VEP1 ≤ 60% nilai prediksi, atau
APE ≤ 60% nilai terbaik

Gambar 4: Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan

1.6 Asthma Control


Asthma control menunjukkan efek asma pada pasien, yang berkurang atau hilang
karena terapi. Asthma control memiliki 2 komponen: kontrol gejala dan faktor resiko
untuk outcome yang buruk.

24
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma
Di Indonesia

B. Faktor Resiko untuk outcome yang buruk

16
 Nilai faktor resiko saat diagnosis dan periodis, minimal tiap 1-2 tahun,
terutama saat eksaserbasi.
 Ukur FEV1 saat awal terapi, setelah 3-6 bulan terapi kontroler untuk mencatat
fungsi paru terbaik, kemudian secara periodis untuk menilai resiko-resiko lain.
 Gejala asma tak terkontrol merupakan faktor resiko penting terjadinya
eksaserbasi. Faktor resiko nya ialah:
o Tidak diresepkannya ICS, atau penggunaan ICS yang buruk, atau
pemakaian teknik inhaler yang salah
o Penggunaan SABA dosis tinggi (mortalitas meningkat jika >1x200
dosis canister / bulan
o FEV1 rendah, terutama <60%
o Reversibilitas bronkodilator yang tinggi
o Masalah psikologis atau sosioekonomi
o Paparan: rokok, allergen
o Komorbiditas: obesitas, rhinosinusitis kronis, alergi makanan
o Eosinofilia sputum atau darah
o Kehamilan
o Pernah intubasi atau masuk ICU karena asma
o Mengalami sekali atau lebih eksaserbasi dalam 12 bulan terakhir.
 Faktor resiko mengalami fixed airflow limitation termasuk: lahir premature,
BBLR/berat badan lahir berlebih, kurangnya terapi ICS, paparan asap rokok,
paparan zat kimia, FEV1 rendah, hipersekresi mukus kronis, eosinofilia
sputum atau darah.
 Faktor resiko untuk efek samping terapi termasuk:
o Sistemik: oral kortikosteroid yang sering, ICS dosis tinggi, konsumsi
P450 inhibitor
o Lokal: ICS dosis tinggi, teknik inhaler yang salah.

1.7 Penatalaksanaan Asma


Tujuan jangka panjang dari manajemen asma adalah kontrol gejala dan
pengurangan risiko. Tujuannya adalah untuk mengurangi beban pada pasien dan
risiko eksaserbasi, kerusakan saluran napas, dan efek samping obat. Tujuan pasien
sendiri mengenai asma dan pengobatannya juga harus diidentifikasi. Yang penting,

17
setiap pasien juga harus dilatih keterampilan dalam menangani asma dengan
sendirinya, termasuk:
• Informasi asma
• Keterampilan inhaler
• Kepatuhan
• Rencana aksi asma yang tertulis
• Pemantauan diri
• Peninjauan medis secara teratur

TERAPI CONTROLLER AWAL


Untuk hasil yang terbaik, terapi controller tiap hari harus dimulai sesegera
mungkin setelah diagnosis asma dilakukan, karena:
• Terapi dini dengan ICS (inhaled corticosteroid) dosis rendah mengarah ke fungsi
paru yang lebih baik daripada jika gejala telah ada selama lebih dari 2-4 tahun
• Pasien yang tidak menggunakan ICS yang mengalami eksaserbasi berat
memiliki fungsi paru jangka panjang yang lebih rendah daripada mereka yang
telah memulai ICS
• Pada asma okupasional, menjauhkan diri dari paparan dan pengobatan dini
meningkatkan kemungkinan pemulihan.

ICS dosis rendah reguler direkomendasikan untuk pasien asma dan salah satu dari
berikut:
 Gejala asma lebih dari dua kali sebulan
 Bangun karena asma lebih dari sekali sebulan
 Semua gejala asma yang disertai dengan faktor risiko untuk eksaserbasi
(misalnya pernah membutuhkan OCS (oral corticosteroid) untuk asma dalam
12 bulan terakhir, FEV1 rendah, pernah dirawat di unit perawatan intensif
untuk asma).

Pertimbangkan memulai pada “STEP” yang lebih tinggi (misalnya ICS dosis
menengah / tinggi, atau ICS / LABA) jika pasien memiliki masalah gejala asma dalam
kesehariannya; atau pernah bangun karena asma sekali atau lebih seminggu, terutama
jika ada faktor risiko untuk eksaserbasi.

18
Jika pasien asma datang dengan asma yang sangat tidak terkontrol, atau
dengan eksaserbasi akut, berikan OCS segera dan mulai terapi controller reguler
(misalnya ICS dosis tinggi, atau ICS dosis menengah / LABA).
Sebelum memulai terapi controller awal :
 Catat bukti untuk diagnosis asma
 Catat gejala dan faktor risiko
 Kaji fungsi paru
 Latih pasien untuk menggunakan inhaler dengan benar, dan periksa teknik
mereka
 Jadwalkan kunjungan berikutnya
Setelah memulai terapi controller awal:
 Tinjau respons setelah 2-3 bulan, atau sesuai dengan urgensi klinis
 Pertimbangkan “step down” ketika asma telah terkontrol dengan baik
selama 3 bulan

19
Gambar 5 Dosis Inhaled Corticosteroid

Berikut adalah ”STEP” dari penangan Asma :


1. STEP 1: SABA seperlunya tanpa controller

20
Diindikasikan hanya jika gejalanya jarang, tidak ada bangun malam karena asma,
tidak ada eksaserbasi pada tahun lalu, dan FEV1 normal. Pilihan lain: ICS dosis
rendah reguler untuk pasien dengan risiko eksaserbasi.
2. STEP 2: ICS dosis rendah reguler ditambah SABA Seperlunya
Opsi lain: LTRA kurang efektif daripada ICS; ICS / LABA mengarah ke perbaikan
gejala yang lebih cepat dan FEV1 daripada ICS saja tetapi lebih mahal dan tingkat
eksaserbasinya sama. Untuk asma alergi musiman murni, segera mulai ICS dan
hentikan 4 minggu setelah musim paparan berakhir.
3. STEP 3: Dosis rendah ICS/LABA sebagai terapi maintenance ditambah SABA
seperlunya, atau ICS/formoterol sebagai terapi maintenance dan reliever
Untuk pasien dengan jumlah eksaserbasi ≥1 pada tahun lalu, strategi pemberian obat
dan pereda dengan dosis rendah BDP / formoterol atau BUD / formoterol adalah
lebih efektif daripada pemeliharaan ICS / LABA dengan SABA yang seperlunya.
Pilihan lain: ICS dosis menengah; untuk pasien dewasa dengan rhinitis dan alergi
house dust mite (HDM) dengan eksaserbasi meski dengan ICS, tambahkan
sublingual immunotherapy (SLIT) jika FEV1 >70%.
Anak (6–11 tahun): ICS dosis sedang. Pilihan lain: dosis rendah ICS/LABA
4. STEP 4: Dosis rendah ICS / formoterol sebagai terapi maintenance dan reliever,
atau dosis sedang ICS / LABA sebagai maintenance ditambah SABA sesuai
kebutuhan
Pilihan lain: Tiotropium oleh mist inhaler untuk pasien ≥12 tahun dengan riwayat
eksaserbasi; dosis tinggi ICS / LABA, tetapi lebih banyak efek samping dan sedikit
manfaat tambahan; pengontrol tambahan, mis. LTRA atau slow-release theophylline
(dewasa); untuk pasien dewasa dengan rhinitis dan alergi (HDM) dengan eksaserbasi
meski dengan ICS, tambahkan sublingual immunotherapy (SLIT) jika FEV1 >70%.
Anak-anak (6-11 tahun): dirujuk.
5. STEP 5: Rujuk untuk penyelidikan ahli dan pengobatan tambahan Perawatan
tambahan termasuk tiotropium dengan mist inhaler untuk pasien dengan riwayat
eksaserbasi (usia ≥12 tahun), omalizumab (anti-IgE) untuk asma alergik berat ≥6
tahun, dan mepolizumab (anti-IL5) untuk asma eosinofilik berat (usia ≥12 tahun).
Pilihan lain: Beberapa pasien mungkin mendapat manfaat dari dosis rendah OCS
tetapi efek samping sistemik jangka panjang sering terjadi.

PENINJAUAN RESPON DAN PENYESUAIAN PENGOBATAN


21
Pasien dengan asma harus ditinjau sebaiknya dilihat 1-3 bulan setelah memulai
pengobatan dan setiap 3-12 bulan setelah itu, kecuali pada kehamilan ketika mereka
harus ditinjau setiap 4-6 minggu. Setelah eksaserbasi, kunjungan ulasan dalam waktu
1 minggu harus dijadwalkan. Frekuensi peninjauan tergantung pada tingkat kontrol
awal pasien, tanggapan mereka terhadap perawatan sebelumnya, dan kemampuan
serta kemauan mereka untuk terlibat dalam manajemen diri dengan rencana tindakan.

STEPPING UP PENGOBATAN ASMA


Asma adalah kondisi variabel, dan penyesuaian secara periodik dalam terapi
controller oleh dokter dan / atau pasien mungkin diperlukan.
• Peningkatan berkelanjutan (setidaknya 2–3 bulan): jika gejala dan / atau
eksaserbasi menetap meskipun 2-3 bulan terapi controller, kaji masalah umum
berikut sebelum mempertimbangkan STEP UP:
o Teknik inhaler yang salah
o Ketaatan yang buruk
o Faktor risiko, misalnya merokok
o Apakah gejala karena kondisi komorbiditas, mis. rhinitis alergika
• Peningkatan STEP jangka pendek (untuk 1-2 minggu) oleh klinisi atau oleh pasien
dengan asma action plan tertulis, mis. selama infeksi virus atau paparan alergen
• Penyesuaian sehari-hari oleh pasien: untuk pasien yang diresepkan beclometasone /
formoterol dosis rendah atau budesonide / formoterol sebagai terapi maintenance
dan reliever.

STEPPING DOWN pengobatan ketika asma terkontrol dengan baik.


Pertimbangkan untuk “step down” setelah kontrol asma yang baik telah dicapai dan
dipertahankan selama 3 bulan, untuk menemukan pengobatan terendah yang
mengontrol gejala dan eksaserbasi, dan meminimalkan efek samping.
• Pilih waktu yang tepat untuk step-down (tidak ada infeksi pernafasan, pasien
tidak bepergian, tidak hamil)
• Status dasar (kontrol gejala dan fungsi paru-paru), berikan rencana asma
action plan tertulis yang tertulis, pantau secara ketat, dan lakukan kunjungan
tindak lanjut
• Turunkan dosis ICS hingga 25-50% pada interval 2–3 bulan

22
• Jangan sepenuhnya menarik ICS (pada orang dewasa atau remaja) kecuali
diperlukan sementara untuk mengkonfirmasi diagnosis asma.

1.8 Asma Eksaserbasi


Asma eksaserbasi adalah memburuknya gejala (akut atau sub-akut) dan fungsi
paru dari penderita; kadang bisa terjadi pada serangan pertama asma.
Manajemen pada asma eksaserbasi harus dipertimbangkan sebagai terapi
kesatuan (continuum), dari manajemen diri sendiri dengan menggunakan asthma
action plan tertulis, hingga manajemen untuk gejala yang berat di puskesmas, UGD,
dan rumah sakit.

1. Identifikasi pasien dengan resiko kematian karena asma


Pasien pasien berikut ini harus di identifikasi, dan lebih sering di monitor:
 Riwayat near-fatal asthma yg membutuhkan intubasi dan ventilasi
 MRS atau emergency care karena asma dalam kurun waktu 12 bulan terakhir
 Sudah tidak menggunakan ICS atau jarang
 Menggunakan oral corticosteroid (OCS), atau baru saja berhenti menggunakan
OCS (indikasi keparahan)
 Penggunaan SABA berlebihan (lebih dari 1 canister/bulan)
 Asthma action plan buruk
 Riwayat permasalahan psikiatri/psikososial
 Alergi makanan pada pasien asma

2. Asthma Action Plan

23
Semua pasien harus diberi asthma action plan yang tepat untuk tingkat asmanya
sehingga pasien tahu bagaimana mendeteksi dan menangani asma yang memburuk.
Asthma action plan harus mencakup:

Gambar 6: Self management with a written action plan

-
Pengobatan asma penderita
- Kapan dan bagaimana pengobatan ditingkatkan, dan memulai OCS
- Bagaimana jika gejala tidak membaik
Action plan bisa berdasarkan gejala dan/atau PEF (pada dewasa). Pasien yang
tiba-tiba memburuk harus diarahkan ke fasilitas kesehatan atau segera ke dokter.
Perubahan pengobatan pada asthma action plan:
 Peningkatan frekuensi inhaler (SABA, atau ICS dosis rendah/formoterol jika
menggunakan regimen untuk maintenance dan reliever)
 Peningkatan penggunaan controller: peningkatan komponen ICS hingga dosis
maksimal 2000 mcg beclomethasone equivalent. Pilihan berdasar controller yang
biasa digunakan:
ICS : minimal dosis ganda, pertimbangkan kenaikan hingga dosis maksimal.
ICS maintenance/formoterol: 4 kali lipat dosis maintenance ICS/formoterol
(formoterol maksimum 72 mcg/hari).
ICS maintenance/salmeterol: naik ke dosis yang lebih tinggi; pertimbangkan
menambah ICS inhaler untuk mencapai dosis ICS yang tinggi.

24
ICS maintenance and reliever/formoterol: teruskan dosis maintenance; naikkan
sesuai kebutuhan ICS/formoterol (maksimum 72 mcg/hari).
 Kortikosteroid oral
Dewasa : prednisolon 1mg/kgBB/hari hingga 50mg, 5-7 hari
Anak : 1-2 mg/kgBB/hari hingga 40mg, 3-5 hari
Tidak perlu tapering off jika pengobatan <2minggu

3. Manajemen Eksaserbasi di Puskesmas


 Menilai keparahan eksaserbasi saat mulai memakai SABA dan oksigen. Menilai
dyspnea (pasien dapat berbicara per kalimat atau per kata), RR, nadi, saturasi
oksigen, fungsi paru (PEF).
 Pertimbangkan kausa lain yang menyebabkan sesak nafas (seperti gagal jantung,
disfungsi saluran pernafasan atas, emboli pulmonal).
 Merencanakan rujukan ke fasilitas penanganan akut jika ada tanda eksaserbasi
parah, atau ke fasilitas intensif jika pasien mengantuk, kebingungan, atau silent
chest. Jika terjadi, segera beri SABA inhaler, ipratropium bromide inhalasi,
oksigen, dan kortikosteroid sistemik.
 Mulai pengobatan dengan SABA dosis berulang, OCS awal, dan oksigen. Cek
respon gejala dan saturasi, ukur fungsi paru setelah 1 jam. Titrasi oksigen untuk
mempertahankan saturasi 93-95% pada dewasa dan dewasa muda (94-98% pada
anak 6-12 tahun)
 Untuk eksaserbasi yang parah, tambahkan ipratropium bromide, dan
pertimbangkan pemberian SABA nebulizer. Di fasilitas penanganan akut,
magnesium sulfat intravena diberikan jika pasien tidak merespon terapi intensif
awal.
 Jangan terlalu sering lakukan X-ray dada atau BGA, atau memberikan antibiotik
untuk asma eksaserbasi.

25
Gambar 11: Manajemen eksaserbasi asma di fasilitas kesehatan primer

26
4. Review Respon
 Sering memonitor pasien dengan teliti selama pengobatan. Rujuk ke fasilitas
kesehatan yang lebih tinggi jika gejala memburuk.
 Putuskan apakah perlu perawatan di rumah sakit berdasarkan gejala klinis dan
fungsi paru, respon terhadap pengobatan, riwayat eksaserbasi, dan kemampuan
perawatan di rumah.
 Sebelum pasien dipulangkan, susun pengobatan untuk di rumah. Untuk sebagian
besar pasien, diberikan controller dengan dosis seperti sebelumnya (atau
dinaikkan) untuk mengurangi resiko eksaserbasi. Lanjutkan kenaikan dosis
controller selama 2-4 minggu, dan diturunkan sesuai kebutuhan. Cek cara
penggunaan dan ketaatan dalam memakai inhaler. Beri asthma action plan
sementara.
 Follow up setelah eksaserbasi, antara 2-7 hari.
 Konsul ke spesialis jika ada pasien asma yang memerlukan perawatan rumah
sakit, atau pasien yang berulang kali masuk UGD karena asma.

5. FOLLOW UP SETELAH EKSASERBASI


Eksaserbasi seringkali merupakan kegagalan perawatan asma kronis, dan
memberikan kesempatan untuk mengetahui manajemen asma pasien. Semua pasien
harus di follow-up berkala oleh petugas kesehatan hingga gejala dan fungsi paru
kembali normal.
Ambil kesempatan untuk meninjau:
 Tingkat pemahaman pasien terhadap pemicu timbulnya eksaserbasi
 Faktor resiko eksaserbasi (misalnya merokok)
 Tingkat pemahaman tujuan pengobatan dan teknik penggunaan inhaler
 Review asma action plan
 Post-discharge comprehensive program meliputi, manajemen controller yang
optimal, teknik inhaler, pemantauan diri, asthma action plan tertulis, dan
peninjauan rutin berhubungan dengan perbaikan pasien asma.

27
BAB III
ANALISIS KASUS

Dari hasil anamnesis didapatkan seorang laki laki, 50 tahun datang dengan keluhan
utama sesak sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit. penderita mengalami sesak mendadak,
dan memberat sejak 2 jam SMRS. Sesak napas yang dirasakan disertai bunyi napas “ngik-
ngik”dan pasien kesulitan untuk menghirup udara hingga pasien kesulitan untuk tidur. Sesak
napas dikatakan lebih baik bila dalam keadaan duduk dan pasien merasakan sesak napas lebih
berat dalam keadaan berbaring. Sesak napas awalnya disertai dengan batuk-batuk. Batuk-
batuk dirasakan sesaat sebelum sesak nafas dirasakan, batuk yang dirasakan berdahak, namun
dahak dirasakan susah untuk dikeluarkan.
Pada anamnesa riwayat penyakit dahulu didapatkan keluhan dan riwayat sakit yang
sama sejak pasien berumur 15 tahun, pasien tidak memiliki riwayat alergi ataupun riwayat
asthma pada keluarga pasien. Dari keluhan tersebut sebenarnya kita sudah dapat menegakkan
diagnosis asthma pada pasien ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital menunjukkan keadaan sakit sedang
dimana kesadaran kompos mentis, nadi 150x/menit, pernafasan 30x/menit, tekanan darah
150/90 mmHg, dan suhu 36,70C. Kemudian didapatkan wheezing pada kedua lapang paru
pasien, sehingga pada kasus ini asthma attack dapat ditegakan.
Pada kasus ini dilakukan penatalaksan yaitu dipasang infuse RL 1000 cc/24 jam dan
diberikan drip aminofiline untuk melebarkan bronkus dari pasien sehingga keluhan sesak
pasien dapat berkurang, kemudian diberikan injeksi fartison 3x1 sebagai anti inflamatori,
injeksi omeprazole 3x1 sebagai penanganan untuk keluhan mual dan promedex 3x1 untuk
keluhan batuk dari pasien.

28
BAB IV
KESIMPULAN

Asma adalah gangguan inflamasi kronis saluran nafas, menyebabkan peningkatan


respon saluran nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi (wheezing),
sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk yang bervariasi sepanjang waktu dan
intensitasnya, serta variable expiratory airflow limitation. Episodik tersebut berhubungan
dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan
atau tanpa pengobatan. Variasi gejala ini dipicu oleh olahraga, alergen, paparan iritan,
perubahan cuaca, atau infeksi respiratori oleh virus.
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma.
Pada pasien kali ini ditemukan gejala sesak yang memberat dan didukung dengan
adanya gejala batuk sehingga mendukung diagnosis asthma attcak dari pasien. Gejala sesak
dari pasien tidak dipicu oleh suatu alergen tertentu, pasien memiliki riwayat yang sama sejak
umur 15 th.
Penatalaksanaan asthma eksaserbasi akut pada pasien ini yaitu pemberian
corticosteroid sesegera mungkin, pemberian oksigen, promedex untuk keluhan batuk, SABA
untuk melegakan keluhan sesak pasien
Eksaserbasi seringkali merupakan kegagalan perawatan asma kronis, dan memberikan
kesempatan untuk mengetahui manajemen asma pasien. Semua pasien harus di follow-up
berkala oleh petugas kesehatan hingga gejala dan fungsi paru kembali normal. Sehingga
pasien ini harus di follow up untuk kontrol keluhan sesak sehingga tidak terjadi eksaserbasi
akut.

29
DAFTAR PUSTAKA

GINA, 2018. Global Initiative for Asthma. Pocket Guide for Asthma Management and
Prevention.
GINA, 2018. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention.
PDPI, 2006. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis & Penatalaksaan
Asma di Indonesia

30

Anda mungkin juga menyukai