Cmledit
Cmledit
BAB I
PENDAHULUAN
2. 2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan Autoanamnesis dan Alloanamnesis.
Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan lemas ± 3 hari SMRS
2. 3 Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Suhu : 36,6oC
d. Nadi : 84 x/menit, reguler, kuat angkat
e. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
f. Pernafasan : irama : reguler
frekuensi : 18x/menit
jenis : abdominotorakal
g. Tinggi badan : 160 cm
h. Berat Badan : 40 Kg
(underweight)
j. Sianosis : (-)
k. Dispneu : (-)
l. Dehidrasi : (-)
m. Edema umum : (-)
n. Cara berbaring : normal, namun susah untuk duduk
a. Kulit
Warna sawo matang, hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-),
pertumbuhan rambut (+) merata, warna hitam dan tidak mudah dicabut,
keringat/ kelembapan kurang, turgor baik, ikterus (-), lapisan lemak
kurang, edema (-)
b. Kelenjar
Pembesaran kelenjar submandibula (-), submental (-), jugularis superior
(-), jugularis interna (-)
c. Kepala
Normochepal, ekspresi muka normal, simetris, nyeri tekan syaraf (-),
deformitas (-)
d. Mata
konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil
kanan & kiri isokor, d ± 3 mm.
e. Telinga
Tidak ada deformitas, fungsi pendengaran baik, serumen (+/+), nyeri (-),
sekret (-/-)
f. Hidung
Deviasi septum (-), napas cuping hidung (-), rinorhea (-), pembesaran
konka (-), perdarahan (-), sumbatan (-), fungsi penciuman baik.
g. Mulut dan faring
Sariawan (-), tonsil T1-T1, gusi berdarah (-), lidah kotor (-), atrofi papil
(-), bau pernapasan khas (-), disfagia (-).
h. Leher
Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5-2cmH2O,
kaku kuduk (-).
i. Toraks
Bentuk : Simetris, normal
Buah dada : Ginekomastia (-/-)
j. Paru-paru
Inspeksi : Simetris, tidak ada gerakan paru yang tertinggal,
otot bantu pernafasan (-), pelebaran sela iga (-), hipertrofi otot pernafasan
(-)
Palpasi : Simetris kanan dan kiri, nyeri tekan (-), vokal
fremitus normal
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
k. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari ICS V linea midclavicula sinistra,
intensitas kuat angkat, thrill (-).
Perkusi :
Batas pinggang jantung: ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas Kiri: ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop
(-)
l. Abdomen
Inspeksi : Membesar (+), sikatrik (-), pelebaran vena (-)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri lepas (-), hepar teraba 2 jari
di bawah arcus costae dan 1 jari di bawah proc.
xiphoideus dengan permukaan rata, tepi tajam, lien teraba
pada schuffner 7, teraba keras dengan permukaan rata.
Perkusi : Pekak : regio hipokondriaka sinistra, hipokondriaka
dextra, lumbal sinistra, umbilical dan iliaca dextra
Timpani : regio epigastrium, lumbal dekstra, iliaca
sinistra, suprapubik.
m. Punggung
Inspeksi : simetris, tidak ada gerakan paru yang tertinggal, otot bantu
pernafasan (-), sikatrik (-)
Palpasi : vocal fremitus normal kanan dan kiri, gerakan dinding
punggung simetris
Perkusi : sonor kanan dan kiri
Auskultasi : vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Nyeri ketok CVA : (-/-)
n. Ekstremitas
Superior : deformitas (-), sianosis (-), edem (-), palmar eritem (-),
ujung jari pucat (+/+), nyeri (-), CRT < 2 detik, gerakan keduanya aktif,
reflex fisiologis normal, reflex patologis tidak ada
Inferior : deformitas (-), sianosis (-), pucat (+/+), nyeri (-), edem
(-/-), gerakan keduanya aktif, reflex fisiologis normal, reflex patologis
tidak ada.
2. Diff Count
Jenis Hasil
Normal 8-11-2015 12-11-2015 14-11-2015 18-11-2015
Pemeriksaan
LYM (17,0-48,0 %) 57,8 36,3 38,4 42,5
MON (4,0-10,0 H 23,8 29,7 25 33,2
%)
(43,0-76,0 L
GRA 18,4 34 36,6 24,3
%)
(1,2-3,2 H
LYM 9,9 2,2 1,7 2,5
103/mm3)
(0,3-0,8 H
MON 4 1,8 1,1 2
103/mm3)
(1,2-6,8 H
GRA 3,3 2,1 1,8 1,6
103/mm3)
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Sewaktu : 88 (<200)
Ginjal
Ureum : 24 (16,6-48,5 mg/dL)
Kreatinin : 0,65 (0,5-0,9 mg/dL)
Asam Urat : 7,3 (<8,4 mg/dL)
Elektrolit
Ca : 8,2 (8,8-10,2 mg/dL)
Na : 142 (135-155 mEq/L)
K : 4 (3,5-5,5 mEq/L)
Gambaran Darah Tepi (RSU Palembang 16-10-2015)
Eritrosit : normositik, normokrom
Leukosit :Jumlah meningkat, Blast 18%, Mielosit 18%, Metamielosit
8%, Stab 4%, Segmen 18%, Limfosit 32%, Monosit 2%
Trombosit : jumlah menurun, penyebaran merata, bentuk normal
Kesan : gambaran CML monitor darah tepi
Pemeriksaan Aspirasi Sumsum Tulang (BMP)
(RSU Palembang 20-10-2015)
Pewarnaan : wright
Hemosiderin sumsum tulang:
Kepadatan : Hiperceluler
Partikel : ada
Megakariosit :-
Sel-sel lemak :-
Bentuk promegakariosit : -
Proeritroblas :-
Mieloblas 52
Eritroblas Basofil: -
Progranulosit/Promielosit: 2
Polikromatofilik: 2
Mielosit Basofil :-
Asidofilik: 6
Eosinofil: -
Megaloblas Basofil: -
Neutrofil: 2
Polikromatofilik:
Metamielosit Basofil: -
Asidofilik: 6
Eosinofil: -
Limfoblas :
Neutrofil: 7
Limfosit 14
Inti batang Basofil: -
Premonosit :
Eusinofil: -
Monosit 10
Neutrofil: 4
Plasmosit (sel plasma):
Inti segmen Basofil: 73
Histiosit :
Eusinofil: 2
Sel tak dikenal/rusak:
Neutrofil: 25
Sel mitosis :
Giant Metamielosit:
Lain-lain (monoblast): 1
Giant stab :
Partikel dominan :
Inti segmen 6 :
Jumlah sel leukosit :
Inti segmen >6 :
M: E ratio : 167:8
Morfologi eritrosit :
Kesan: CML (fase akselerasi)
2.8 Tatalaksana
1. Non-medikamentosa
- Bed rest
2. Medikamentosa
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit
- Transfusi PRC 3 kolf
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr vial
- Inj. Ketorolac 10mg 2x1 amp
- Inj. Ondansentron 4mg 2x1 amp
PO : Cytodrox 500mg 1x1tab
Ulsafat syrup 3x1C
3. Terapi pembedahan
- Splenectomy
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
10 November 2015
S : Lemas (+), mual (+), nyeri perut (+)
O : TD 110/80 mmHg, RR 23x, N 84x, T 36,8 ‘C
A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
P : Post transfusi darah 1 kolf (3)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr vial
Inj. Ketorolac 10mg 2x1 amp
Inj. Ondansentron 4mg 2x1 amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab
11 November 2015
S : Lemas (+), mual (+), BAB (-)
O : TD 100/60 mmHg, RR 20x, N 86x, T 37 ‘C
A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
P : Post transfusi darah 1 kolf (4)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr vial
Inj. Ondansentron 4mg 2x1 amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab
12 November 2015
S : BAB hitam
O : TD 100/60 mmHg, RR 20x, N 82x, T 37 ‘C
A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
P : Post transfusi darah 1 kolf (5)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Kalnex 3x50mg amp
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr vial
Inj. Ondansentron 4mg 2x1 amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab
13 November 2015
S : BAB hitam
O : TD 90/60 mmHg, RR 24x, N 82x, T 36,7 ‘C
A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
P : Post transfusi darah 1 kolf (5)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Kalnex 3x50mg amp
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr vial
Inj. Ondansentron 4mg 2x1 amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab
14 November 2015
S : BAB berdarah
O : TD 120/80 mmHg, RR 20x, N 80x, T 36,6 ‘C
A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
P : Post transfusi darah 1 kolf (6)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Kalnex 3x50mg amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab
15 November 2015
S : BAB berdarah
O : TD 90/60 mmHg, RR 22x, N 86x, T 36,8 ‘C
A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
P : Post transfusi darah 1 kolf (7)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Kalnex 3x50mg amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab
16 November 2015
S : BAB berdarah (-)
O : TD 130/80 mmHg, RR 19x, N 82x, T 36,6 ‘C
A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
P : IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab
17 November 2015
S : Nyeri perut, demam
O : TD 110/60 mmHg, RR 24x, N 82x, T 38 ‘C
A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
P : Post transfusi darah 1 kolf (8)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab
Paracetamol 500 mg 3x1 tab (jika demam)
18 November 2015
S : BAB berdarah (-), sakit perut (+)
O : TD 100/60 mmHg, RR 20x/i, N 80x/i, T 36,7 ‘C
A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
P : IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ketorolac 10mg 2x1 amp
Cytodrox 500mg 1x1tab
Ulsafat syrup 3x1C
19 November 2015
S : Sakit perut (+)
O : TD 90/70 mmHg, RR 22x, N 88x, T 36,6 ‘C
A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
P : IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ketorolac 10mg 2x1 amp
Cytodrox 500mg 1x1tab
Ulsafat syrup 3x1C
20 November 2015
S : keluhan berkurang
O : TD 100/60 mmHg, RR 20x, N 80x, T 36,6 ‘C
A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
P : Os boleh pulang
Cytodrox 500mg 1x1tab
Ulsafat syrup 3x1C
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
ANEMIA
1. Definisi
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya satu atau lebih parameter sel
darah merah, yaitu konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah
merah. Anemia menyebabkan menurunnya kemampuan pengangkutan oksigen
yang fisiologis di dalam darah dan berkurangnya suplai oksigen ke jaringan.6
2. Etiologi
Penyebab terjadinya anemia sangat bervariasi, bisa oleh karena gangguan
produksi sel darah merah atau rusaknya jumlah eritrosit yang bermakna. Jika
seseorang terlihat pucat, penting menentukan inti permasalahannya, baik itu disatu
alur sel (misalnya sel darah merah, sel darah putih atau trombosit). Jika dua atau
tiga alur sel terganggu, kemungkinan menunjukkan adanya keterlibatan sumsum
tulang (misalnya leukemia, penyakit metastase, anemia aplastik).6
3. Gejala Klinis
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya
anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia
yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik
untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.7
Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor :
1. Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan
2. Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif)
Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan
mekanisme kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah
jantung pada kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb
turun di bawah 5 g%, pada kadar Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika
terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung yang
mendasarinya. 7
Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat,
fatigue, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung
berdebar, dan roaring in the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul
letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina,
aritmia dan/ atau infark miokard).
Anemia yang disebabkan perdarahan akut berhubungan dengan komplikasi
berkurangnya volume intraseluler dan ekstraseluler. Keadaan ini menimbulkan
gejala mudah lelah, lassitude (tidak bertenaga), dan kram otot. Gejala dapat
berlanjut menjadi postural dizzines, letargi, sinkop, pada keadaan berat dapat
terjadi hipotensi persisten, syok, dan kematian. 7
4. Klasifikasi Anemia
ANEMIA
Gangguan Hasil
Ganggua Ganggua
(destruksi/Hemolii Aplastik Keganasan
n n
k)
Produksi Distribusi
Defisiensi: Thalesemia
Besi Dapat
Asam Folat Sickle sel
Terhentinya mengganggu
Vitamin Anemia
B12 Hemoragik/Perdar proses proses
Defisiensi G6PD
Mineral ahan pembentukan pembentukan,
Protein Intoksikasi
Reseptor/Ambila eritrosit dalam dan
Leukemia Infeksi Kronis
Infeksi SumTul sumsum penghancuran
Reaksi hemolitik
Penyakit Ginjal Kronik tulang dari eritrosit
Hipotiroidism post tanfusi
Tanda dan gejala Anemia Anemia Anemia Anemia Anemia
Defisiensi Perdarahan Hemolitik Aplastic Keganasan
Pucat + + + + +
Lemas, lesu, mata + + + + +
berkunang
Sakit kepala + + + + +
Demam - - + + +
BAB terganggu + - + - +
Sering berdebar + -/+ + + +
Icterus - - + - +
Muak muntah -/+ - + - +
5. Diagnosa
Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia :
a. Pendekatan kinetik, pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang
berperan dalam turunnya Hb.
b. Pendekatan morfologi, pendekatan ini mengkategorikan anemia
berdasarkan perubahan ukuran eritrosit (Mean corpuscular volume/
MCV) dan respon retikulosit.
Pendekatan kinetik
Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme
independen :
1. Berkurangnya produksi sel darah merah
2. Meningkatnya destruksi sel darah merah
3. Kehilangan darah
Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah
lebih rendah dari destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel
darah merah :
a. Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan
oleh kekurangan diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue)
atau kehilangan darah (defisiensi Fe)
b. Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell
aplasia, mielodisplasia, infiltrasi tumor)
c. Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
d. Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel
darah merah (eritropoietin pada gagal ginjal, hormon tiroid
[hipotiroidisme] dan androgen [hipogonadisme])
e. Anemia penyakit kronis/anemia inflamasi, yaitu anemia
dengan karakteristik berkurangnya Fe yang efektif untuk
eritropoiesis karena berkurangnya absorpsi Fe dari traktus
gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari
makrofag, berkurangnya kadar eritropoietin (relatif) dan
sedikit berkurangnya masa hidup erirosit.
b. Anemia mikrositik
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel
darah merah yang kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia
mikrositik biasanya disertai penurunan hemoglobin dalam eritrosit.
Dengan penurunan MCH (mean concentration hemoglobin) dan
MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan
darah tepi. 7 Penyebab anemia mikrositik hipokrom :
- Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia penyakit
kronis/anemia inflamasi, defisiensi tembaga.
- Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia
sideroblastik kongenital dan didapat.
- Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan
hemoglobinopati.
c. Anemia normositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-
100 fL). Keadaan ini dapat disebabkan oleh :
- Anemia pada penyakit ginjal kronik.
- Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan
penyakit ginjal kronik.
- Anemia hemolitik
Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah
merah: Kelainan membran (sferositosis herediter),
kelainan enzim (defi siensi G6PD), kelainan hemoglobin
(penyakit sickle cell).
Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah
merah: imun, autoimun (obat, virus, berhubungan dengan
kelainan limfoid, idiopatik), alloimun (reaksi transfusi
akut dan lambat, anemia hemolitik neonatal),
mikroangiopati (purpura trombositopenia trombotik,
sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat
kimia (bisa ular).7
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium haruslah dilakukan atas indikasi karena
pemeriksaan laboratorium seringkali menyebabkan membengkaknya biaya
pengobatan. Dengan mengurangi jenis pemeriksaan yang tidak diperlukan,
biaya dapat dikurangi. Pemilihan jenis pemeriksaan dipilih berdasarkan
seleksi yang rasional menurut protokol yang ada.
Pada pemeriksaan slide darah tepi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis anemia, melalui pemeriksaan ini dapat ditentukan
apakah termasuk anemia hipokromik mikrositik, normositik, makrositik
atau gambaran abnormalitas morfologi lainnya (misalnya sferosit, sickle
cell, sel target).
Mean corpuscular volume (MCV) mengkonfirmasikan temuan pada
apusan mengenai ukuran sel darah merah: mikrositik (< 7 μm), makrositik
(> 8μm) atau normositik (7,2 – 7,9 μm). Jumlah retikulosit dan MCV
membantu dalam mendiagnosis banding anemia. Jumlah retikulosit normal
atau menurun menunjukkan gangguan bentuk sel darah merah, peningkatan
jumlah retikulosit menunjukkan kehilangan darah kronis atau hemolisis.
Red cell distribution width (RDW) dan MCV menunjukkan morfologi
dan klasifikasi anemia. Pada beberapa kasus anemia berulang, diindikasikan
pemeriksaan sumsum tulang, pada apusan sumsum tulang sebaiknya
diwarnai dengan perwarnaan untuk besi agar dapat menilai cadangan besi
dan mendiagnosis adanya anemia sideroblastik.6
1. Etiologi
CML lebih sering terjadi pada orang dewasa dan bertanggung jawab hanya
untuk 3% dari kasus leukemia pada masa kanak-kanak. Penyebab dari CML pada
anak-anak belum diketahui. Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor
predisposisi keturunan, juga tidak dijumpai peningkatan resiko terhadap CML
pada gangguan kromosom preleukemik seperti pada anemia Fanconi dan Down
syndrome. Pada kebanyakan kasus, tidak terdapat faktor predisposisi.8
Pada kasus tertentu, hubungan CML dengan paparan radiasi telah
dijelaskan, terutama pada anak umur 5 tahun, seperti yang telah dilaporkan di
Jepang pada saat adanya ledakan hebat pada tahun 1940, juga telah dilaporkan
CML terjadi pada anak-anak dengan immunosuppresed, termasuk anak dengan
infeksi HIV, dan imunosupresi pada transplantasi ginjal.8,9
2. Patogenesis
Kromosom Philadelphia
Pada translokasi ini, bagian dari dua kromosom yaitu kromosom 9 dan 22
berubah tempat. Hasilnya, bagian dari gen BCR (breakpoint cluster region) dari
kromosom 22 bergabung dengan gen ABL pada kromosom 9. Penyatuan
abnormal ini menyebabkan penyatuan protein tyrosine kinase yang meregulasi
proliferasi sel, penurunan sel adherens dan apoptosis. Hal ini karena pada bcr-abl
produk penyatuan gen adalah juga tyrosine kinase.1,8,9
Penyatuan protein bcr-abl berinteraksi dengan 3beta (c) subunit reseptor.
Transkrip bcr-abl aktif secara terus-menerus dan tidak membutuhkan aktivasi oleh
protein sel yang lainnya. Bcr-abl mengaktivasi kaskade dari protein yang
mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Kemudian, protein bcr-abl
menghambat perbaikan DNA, menyebabkan instabilitas gen dan menyebabkan sel
dapat berkembang lebih jauh menjadi gen yang abnormal. Tindakan dari protein
bcr-abl adalah penyebab patofisiologi dari CML. Dengan pemahaman tentang
protein bcr-abl dan tindakannya sebagai tyrosine kinase, targeted therapy
dikembangkan yang secara spesifik menghambat aktifitas dari protein bcr-abl.
Inhibitor dari tyrosine kinase dapat menyembuhkan CML, karena bcr-abl tersebut
adalah penyebab dari CML.1,8
3. Klasifikasi
CML sering dibagi menjadi tiga fase berdasarkan karakteristik klinis dan
hasil laboratorium. CML dimulai dengan fase kronik, dan setelah beberapa tahun
berkembang menjadi fase akselerasi dan kemudian menjadi fase krisis blast.
Krisis blast adalah tingkatan akhir dari CML, dan mirip seperti leukemia akut.
Perkembangan dari fase kronik melalui akselerasi dan krisis blast diperoleh
kromosom abnormal yang baru yaitu kromosom philadelphia. Beberapa pasien
datang pada tahap akselerasi ataupun pada tahapan krisis blast pada saat mereka
didiagnosa.8
Fase Kronis
85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase kronik pada saat
mereka didiagnosa dengan CML. Selama fase ini, pasien selalu tidak
mengeluhkan gejala atau hanya ada gejala ringan seperti cepat lelah dan
perut terasa penuh. Lamanya fase kronik bervariasi dan tergantung seberapa
dini penyakit tersebut telah didiagnosa dan terapi yang digunakan pada saat
itu juga. Tanpa adanya pengobatan yang adekuat, penyakit dapat
berkembang menuju ke fase akselerasi.
Fase Akselerasi
Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan
abnormalitas sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria diagnosa dimana
fase kronik berubah menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi. Kriteria
yang banyak digunakan adalah kriteria yang digunakan di MD Anderson
Cancer Center dan kriteria dari WHO.
Krisis blast
Krisis blast adalah fase akhir dari CML, dan gejalanya mirip seperti
leukemia akut, dengan progresifitas yang cepat dan dalam jangka waktu
yang pendek. Krisis blast didiagnosa apabila ada tanda-tanda sebagai berikut
pada pasien CML :
Umum Jarang
Fatigue Nyeri tulang
5. Diagnosis
6. Terapi
Pada fase kronis CML diterapi dengan inhibitor tyrosine kinase, yang
pertama adalah imatinib mesylate (Gleevec, Glivec). Penggunaan Imatinib telah
disetujui oleh FDA Amerika Serikat dan dikhususkan untuk bcr-abl, yang
mengaktifkan penyatuan protein tyrosine kinase yang disebabkan oleh translokasi
kromosom philadelphia. Imatinib ini dapat ditolerir lebih baik dan lebih efektif
dibandingkan terapi sebelumnya. Transplantasi sumsum tulang juga digunakan
sebagai terapi pilihan untuk CML.
Pada sindrom tumor lysis diberikan hidrasi, alkalinisasi, dan allopurinol.
Pada hiperleukositosis pada CML yang ditandai dengan jumlah leukosit
>200.000/mm3 mulai diberikan hydroxyurea 50-75 mg/kgBB/hari. Imatinib mulai
diberikan setelah diagnosis dari Ph-positif CML telah ditegakkan. Bila terdapat
respon yang kurang memuaskan terhadap Imatinib maka digunakan IFN-α atau
IFN-α dan Ara-C 5×106 unit/m2 per hari secara subcutan atau intramuskular.
Hydroxyurea digunakan untuk menurunkan jumlah leukosit menjadi 10.000-
20.000 /mm3 dan dapat diturunkan dosisnya secara bertahap dan tidak dilanjutkan
kembali.
Respon terhadap pengobatan dapat diketahui berdasarkan beberapa kriteria,
diantaranya kriteria secara hematologi. Apabila leukosit kurang dari 9000/mm3,
tidak dijumpai splenomegali dan morfologi normal maka hal ini menunjukkan
adanya respon pengobatan secara keseluruhan (complete response). Bila leukosit
kurang dari 20.000/mm3, dijumpai splenomegali maka terdapat respon pengobatan
parsial (partial respon). Dikatakan pengobatan gagal apabila leukosit lebih dari
20.000/mm3 dan dijumpai splenomegali. Pada pasien muda atau pasien yang tidak
toleransi atau resistensi terhadap tyrosine kinase inhibitor dapat dilakukan
transplantasi sel induk untuk memberikan hasil yang lebih baik.
Pada fase akselerasi, penyakit ini akan berkembang lebih cepat sehingga
membutuhkan pendekatan yang lebih intensif. Pengobatan pada fase akselerasi
dan fase blast adalah kombinasi obat kemoterapi yang diberikan secara intravena.
Tujuan terapi pada fase ini adalah untuk menghancurkan sel leukemik dan
mengembalikan fungsi sumsum tulang normal lagi, atau untuk mengembalikan
pasien pada fase kronik penyakitnya.8
7. Prognosis
Angka harapan hidup rata-rata pada pasien dengan CML adalah 3-5 tahun
sejak didiagnosis. Akhir-akhir ini, rata-rata angka harapan hidup pada pasien
CML
mencapai 5 tahun atau lebih (50-60%). Hal ini dapat dicapai jika pasien dapat
didiagnosa lebih awal, pemberian terapi dengan interferon dan transplantasi
sumsum tulang, serta perawatan pasien yang baik. Pasien yang sudah masuk pada
fase blast yang memiliki manifestasi yang mirip dengan leukemia akut,
mempunyai prognosis yang sangat buruk. Pemberian terapi tidak memberikan
hasil yang memuaskan, dan pada umumnya pasien mempunyai angka harapan
hidup antara 3-6 bulan.1
BAB IV
ANALISIS KASUS
Tn. H Umur 42 Tahun tinggal di Desa Bukit Balai, Sengeti, masuk tanggal 8
November 2015. Pasien datang dengan keluhan tubuhnya lemas sejak 3 hari
SMRS, lemas yang dirasakan meningkat setiap hari, Os sulit untuk bangun dari
tempat tidurnya sehingga aktivitasnya terbatas. Os juga mengaku mudah lelah
sepanjang hari. Os merasa kepala berputar-putar dan sakit kepala jika os merubah
posisinya dari tidur ke duduk. Keadaan lemas dan lelah merupakan suatu tanda
kelelahan fisik ataupun mental, dan bukan merupakan hal yang spesifik, sehingga
sulit mengidentifikasi penyakit yang mendasari. Keluhan utama ini dapat terjadi
pada penyakit-penyakit : penyebab non-organik, obat-obatan, keganasan, sistem
pernapasan, jantung, hematologik dapat berupa anemia, endokrin, infeksi akut
maupun infeksi kronik.
Pasien juga mengeluh nyeri pada seluruh perut sekitar 7 hari SMRS, nyeri
yang dirasakan hilang timbul, nyeri timbul mendadak, nyeri berkurang ketika
pasien memiringkan tubuhnya ke kanan, nyeri perut yang dirasakan tidak
berkurang dengan istirahat, dan bertambah sakit bila ditekan. Os juga merasa
perut terasa penuh sejak perutnya membesar, os merasa cepat kenyang, meskipun
makan sedikit, nafsu makan menurun. Riwayat sering konsumsi obat penghilang
nyeri (+), Riwayat minum jamu-jamuan (-). Nyeri perut dapat berupa nyeri viseral
maupun parietal. Nyeri perut pada pasien ini berkurang jika memiringkan
tubuhnya ke kanan dan nyeri perut juga berada pada sebelah kiri dan menjalar
keseluruh perut menandakan suatu nyeri viseral pada organ yang berada di daerah
hipokondriaka sinistra.
Awalnya, sekitar tahun 2003, Os mengeluh perutnya semakin lama semakin
membesar pada perut bagian kiri atas, awalnya sebesar kepalan tangan os.
Sebelumnya os sering merasakan demam yang tidak sembuh-sembuh selama ± 3
bulan, demam yang dirasakan terus menerus, demam disertai menggigil, demam
turun jika diberi obat penurun panas lalu demam timbul lagi. Os juga mengaku
sering berkeringat pada malam hari, nafsu makan Os juga menurun, berat badan
menurun, muntah (+) isi muntahan apa yang dimakan. Riwayat batuk lama
disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Lalu Os berobat dan diberitahu
bahwa os menderita leukimia, Os diberikan obat Myleran secara rutin selama ± 1
bulan, setelah perut Os berangsur kembali mengecil dan keluhan hilang, Os
berhenti minum obat. Pada tahun 2009 Os kembali masuk rumah sakit dengan
keluhan perut Os semakin lama semakin membesar lagi. Sehingga Os merasa sulit
beraktivitas, selanjutnya Os diberikan obat Citodrop sehingga perut Os kembali
mengecil.
Tahun 2013 Os kembali masuk rumah sakit dengan keluhan lemas, mudah
lelah, muka pucat, mual, nyeri menelan, giginya sering berdarah dan mudah luka,
dari pemeriksaan menurut Os didapatkan Hb Os turun. Setelah mendapatkan
pengobatan di rumah sakit, keadaan os membaik lalu os kembali pulang ke rumah,
sejak saat itu os menjadi sering keluar masuk rumah sakit setiap bulan untuk
transfusi darah. Awalnya Os transfusi setiap 1 bulan sekali lalu semakin sering
menjadi 2 minggu sekali dan saat ini menjadi 1 minggu sekali.
Pada 1 tahun belakangan ini, os menjalani pengobatan alternatif dengan
mengkonsumsi obat herbal, namun perut Os malah makin membesar, dan badan
terasa semakin lemas. Sekitar 1 bulan yang lalu Os melakukan pemeriksaan BMP
dan BCR-ABL di Rumah Sakit Palembang.
Pasien didiagnosis sebagai anemia e.c CML fase akselarasi. Didapatkan
dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya konjungtiva anemis pada kedua mata,
sariawan pada lidah, abdomen yang membesar dengan bising usus meningkat,
nyeri tekan epigastrium (+), lien teraba keras pada schuffner 7 dengan permukaan
licin dan perkusi pekak pada hampir seluruh abdomen. Pada pemeriksaan darah
rutin didapatkan peningkatan jumlah sel darah putih dan RDW serta penurunan sel
darah merah, hemoglobin dan hematokrit. Dari hasil pemeriksaan Aspirasi
Sumsum Tulang didapatkan rasio antara Myeloid dan Eritrosit 167 : 8 dengan
nilai normal 3:1 atau 4:1, pada BMP didapatkan 20% merupakan sel mioblast
sedangkan menurut WHO 10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sumsum
tulang. >20% basofil di dalam darah atau sumsum tulang. Dan pada pasien
disertai juga splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat yang menandakan
CML fase akselarasi. Untuk memastikan lagi didiagnosis, perlu dilakukan
pemeriksaan BCR-ABL. Tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah terapi
dengan kemoterapi, antibiotik, analgetik, antiemetik, sukralfat, dan rencana
transfusi darah.
BAB V
KESIMPULAN
CML adalah gangguan pada sumsum tulang dimana terjadi proliferasi dari
granulosit yang matur (neutrofil, eosinofil, dan basofil). CML adalah salah satu
tipe penyakit mieloproliferasi yang dihubungkan dengan adanya translokasi
kromosom 9 dan 22 yang disebut dengan philadelphia chromosome.
CML dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase, yaitu fase kronik (85%
pasien didiagnosa pada fase ini), fase akselerasi, dan krisis blast, dimana
merupakan tahapan akhir dari perjalanan penyakit CML. Gambaran klinis CML
antara lain splenomegali, anemia, memar, demam, epistaksis, menorhagia, gout,
nyeri tulang dan gejala-gejala lain yang berhubungan dengan hipermetabolisme
(penurunan berat badan, anoreksia, atau keringat malam)
Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor predisposisi keturunan. Pada
kebanyakan kasus, tidak terdapat faktor predisposisi. Namun pada kasus tertentu,
CML berhubungan dengan paparan radiasi. Pada translokasi kromosom ini,
bagian dari dua kromosom yaitu kromosom 9 dan 22 berubah tempat. Hasilnya,
bagian dari gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22 bergabung
dengan gen ABL pada kromosom 9. Penyatuan abnormal ini menyebabkan
penyatuan protein tyrosine kinase yang meregulasi proliferasi sel.
Diagnosa CML diperoleh berdasarkan pemeriksaan histopatologik darah
tepi dan pemeriksaan sumsum tulang. Diagnosa utama dari CML diperoleh dari
ditemukannya kromosom philadelphia. Pada fase kronis CML diterapi dengan
inhibitor tyrosine kinase. Pengobatan pada fase akselerasi dan fase blast adalah
kombinasi obat kemoterapi yang diberikan secara intravena. Tujuan terapi pada
fase ini adalah untuk menghancurkan sel leukemik dan mengembalikan fungsi
sumsum tulang normal lagi, atau untuk mengembalikan pasien pada fase kronik
penyakitnya.
Akhir-akhir ini, rata-rata angka harapan hidup pada pasien CML mencapai 5
tahun atau lebih (50-60%) yang dapat dicapai jika pasien dapat didiagnosa lebih
awal, pemberian terapi dengan interferon dan transplantasi sumsum tulang, serta
perawatan pasien yang baik. Pasien yang sudah masuk pada fase blast yang
memiliki manifestasi yang mirip dengan leukemia akut, mempunyai prognosis
yang sangat buruk. Pemberian terapi tidak memberikan hasil yang memuaskan,
dan pada umumnya pasien mempunyai angka harapan hidup antara 3-6 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Besa, EC, et al. Chronic myelogenous leukemia. Medscape 2015 Okt 13.
Diunduh dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/199425-
overview. Diakses 10 November 2015
2. Fadjari, H. Leukemia granulositik kronis. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed
4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
3. Fred Hutchinson Cancer Research center. Chronic myeloid leukemia.
Diunduh dari URL: http://www.fhcrc.org/research/disease/cml/. Diakses
tanggal 10 November 2015
4. Guilhot F, Roy L. Chronic myeloid leukemia. In: Textbook of malignant
hematology. New York: Mcgraw Hill 2005.
5. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Ed 4.
Jakarta: EGC; 2005.
6. Rosdiana, N. Pendekatan diagnosa pucat pada anak. MKN 2008 Jun:41(2).
7. Oehadian, A. Pendekatan klinis dan diagnosa anemia. CDK 2012 Agus
6:39(6).
8. Heslop, E. Leukemia myeloid kronik. Dalam nelson ilmu kesehatan anak,
editor: Nelson, Waldo E. Ed 15 vol 3. Jakarta: EGC;2005.
9. Leukaemia Foundation. Chronic myeloid leukaemia (CML). Diunduh dari
URL:http://www.leukaemia.org.au/blood-cancers/leukaemias/chronic-
myeloid-leukaemia-cml. Diakses 10 November 2015.