ACARA I DAN II
Disusun Oleh :
YOGYAKARTA
2021
ACARA I DAN II
A. TUJUAN
Untuk mengetahui kemiripan anatomi berdasarkan pengamatan kayu
secara makroskopis.
C. HASIL PENGAMATAN
1. Kayu Jati (Tectona Grandis)
D. PEMBAHASAN
Pada praktikum struktur dan sifat kayu acara 1 dan 2 yang
berjudul “Analisis Anatomi Kayu” membahas mengenai kenampakan
risalah kayu tersebut secara makroskopis. Pada praktikum ini untuk
melihat struktur kayu tersebut secara lebih detail digunakan alat bernama
lup serta mikroskop digital yang mana sudah tersambung ke
komputer/laptop. Berbagai kayu yang diamati dalam praktikum ini
meliputi spesimen kayu Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia
macrophylla), Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia
mangium), Wadang (Pterospermum javanicum), Cemara udang
(Casuarina equisetifolia), Sonokeling (Dalbergia latifolia), dan Mangga
(Mangifera indica).
Adapun yang dapat dijelaskan dalam praktikum kali ini yaitu
bidang pengamatan untuk mengidentifikasi struktur dan anatomis kayu
secara makroskopis yang terdiri dari lingkaran tahun, pori-pori, jari-jari,
dan sel parenkim kayu. Analisis Sifat Dasar Kayu perlu dilakukan karena
setiap jenis kayu mempunyai karakter yang berbeda. Pemanfaatan kayu
yang sesuai dengan karakter yang dimiliki, mampu memberi efisiensi dan
nilai tambah yang lebih baik (Pandit dkk, 2011). Dalam praktikum ini
terdapat delapan spesimen kayu yang digunakan. Spesimen kayu tersebut
antara lain kayu mahoni, jati, sonokeling, akasia, cemara udang, sengon,
mangga dan wadang.
Lingkaran tahun adalah istilah yang dipergunakan dalam
menunjukkan cincin-cincin konsentris atau garis lingkaran yang ada pada
bagian dalam batang tumbuhan. Lingkaran tahun ini akan terlihat jelas jika
batang kayu pohon dipotong melintang. Lingkaran tahun ini untuk
menentukan usia/umur pohon tersebut. Lingkaran tahun ini memang
muncul seiring dengan bertambahnya usia/umur tumbuhan. Batang dengan
seiringnya waktu akan terus tumbuh dan menebal karena aktivitas
kambium yang menghasilkan lapis demi lapis xilem sekunder. Lapis xilem
sekunder inilah yang dari tahun ke tahun terus bertambah dan disebut
lingkaran tahun. (Wahyu, 2013).
Pori-pori batang (lentisel) adalah lubang-lubang kecil yang
berbentuk seperti pori-pori pada bagian epidermis di dalam batang. Bentuk
lentisel ini seperti lubang yang menganga secara terbuka dan tidak dilapisi
oleh sel gabus. Lentisel digunakan sebagai alat pernapasan bagi tumbuhan
dan membantu proses pertumbuhan tumbuhan itu sendiri, lentisel pada
umumnya terdapat pada batang dewasa. (Wahyu, 2013).
Jari-jari adalah parenkim dengan arah horizontal. Dengan
mempergunakan loupe pada bidang melintang, jari-jari terlihat seperti
garis-garis yang sejajar dengan warna yang lebih cerah dibanding warna
sekelilingnya. Jari jari dapat dibedakan berdasarkan ukuran lebarnya dan
keseragaman ukuran.
Sel parenkim merupakan jaringan dasar pembentuk batang pohon.
Ada atau tidaknya sel parenkim merupakan tanda penting dalam
pengenalan kayu. Sel parenkim dapat diamati pada bidang melintang kayu.
Jika ada sel-sel parenkim, maka sel-sel tersebut dapat tersebar secara
terpisah sehingga sulit untuk melihatnya secara makroskopis. Tetapi dapat
juga berkumpul rapat di dalam kelompok-kelompok yang kecil atau besar
yang memberikan gambaran-gambaran khas dan berguna bagi pengenalan
kayu.
Secara eksplisit kayu juga memiliki tingkat variasi yang cukup
tinggi baik pada level spesies, antar spesies hingga antar genus dalam satu
divisi tumbuhan, dan bahkan dalam satu batang pohon, yang seringkali
dianggap sebagai kelemahannya (Zobel dan Buijtenen, 1989).
Variasi-variasi tersebut tidak hanya dari segi taksonomis dimana dikenal
dua kelompok kayu yaitu kayu daun lebar (hardwood) dan kayu daun
jarum (softwood) yang secara morfologis berbeda, namun juga secara
fisiologis dan anatomis. Bahkan perbedaan secara anatomis merupakan
perbedaan yang krusial (Barnett dan Jeronimidis, 2003). Selain pengaruh
taksonomis, variasi perbedaan kondisi altitude, ketinggian tempat, iklim
dan serta lingkungan tempat tumbuh juga turut memberikan sumbangsih
yang signifikan terhadap terbentuknya variasi sifat, struktur serta
komponen penyusun material berkayu (Bosoi et al.2010). Itulah mengapa
penggunaan dan juga pengolahan kayu harus disesuaikan dengan
sifat-sifat yang dimilikinya.
Selain dipengaruhi oleh kadar air awal dan ukuran ketebalan kayu,
mutu dan sifat pengeringan sangat dipengaruhi oleh struktur anatomi, sifat
fisis dan kandungan kimia kayu. Kayu-kayu yang lebih porous (lebih tinggi
persentase rongga sel) atau yang berkerapatan/ber-BJ rendah cenderung
lebih mudah dikeringkan dengan waktu yang lebih singkat karena lebih
permeabel (sifat pengeringan baik, cacat sedikit). Begitu pula halnya
dengan kayu-kayu yang tidak banyak mengandung tilosis atau endapan
lain di dalam rongga sel kayu. Kayu dengan persentase sel parenkim dan
jari-jari yang tinggi menuntut perlakuan pengeringan yang lebih lunak
karena tipisnya dinding sel. Dinding sel yang tipis berpotensi sebagai
daerah awal terjadinya cacat. Begitu pula halnya bila dalam satu lembar
sortimen terdapat bagian gubal dan bagian terasnya. Perhatian perlu
diberikan apabila dalam satu sortimen terdapat kayu juvenil ataupun kayu
reaksi. Secara umum kayu konifer lebih mudah dikeringkan dibandingkan
dengan kayu daun.
Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan salah satu
jenis tanaman yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat karena
memiliki sifat yang cepat tumbuh sehingga dapat dipanen dalam waktu
yang tidak terlalu lama. Budidaya sengon di masyarakat dilakukan dengan
dua macam cara yaitu dengan biji dan trubusan. Informasi mengenai
sifat-sifat anatomi sengon hasil pembudidayaan yang berbeda ini masih
sangat terbatas. Sengon trubusan memiliki proporsi sel serabut 76,58%, sel
parenkim 4,70%, sel jari-jari 12,86% dan sel pembuluh sebesar 5,83%.
Sengon permudaan biji memiliki proporsi sel serabut 75,96%, sel
parenkim 4,43%, sel jari-jari 13,67% dan sel pembuluh sebesar 5,88%.
Sementara untuk faktor kedudukan radial diperoleh data bahwa panjang
serat dan tebal dinding sel dari bagian kayu dekat kulit ke dekat hati
menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Dimana panjang serat dan
tebal dinding sel menunjukkan tren peningkatan dari bagian kayu dekat
hati ke dekat kulit. Dimensi serat sengon trubusan memiliki panjang,
diameter dan tebal dinding sel 1,17 mm, 17,09 µ dan 1,35 µ. Sementara
dimensi serat sengon permudaan biji memiliki panjang, diameter dan tebal
dinding sel 1,15 mm, 18,04 µ dan 1,36 µ. Kedua sengon permudaan biji
dan trubusan keduanya masih berada dalam fase periode kayu juvenil
berdasarkan analisa dari parameter panjang serat dan tebal dinding selnya.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan literatur dan pengamatan yang telah dilakukan, dapat
diambil kesimpulan bahwa untuk mengetahui kemiripan anatomi
berdasarkan pengamatan kayu secara makroskopis, perlu diketahui
struktur anatomi dan sifat-sifat fisik dari masing-masing spesimen kayu.
Dilihat dari pembuluhnya kayu wadang, mangga, sonokeling, dan cemara
udang memiliki kesamaan pada anatomi pembuluhnya yang berbentuk
diffuse porous/baur dan penyebarannya berganda soliter kecuali pada kayu
wadang yang penyebarannya berganda radial. Dilihat dari penyebaran
parenkim kayu jati, sonokeling, dan cemara udang memiliki penyebaran
marginal inisial. Kayu-kayu tersebut dikelompokkan menjadi kayu keras
dan kayu lunak. Pengolahan kayu keras pada umumnya dijadikan sebagai
bahan furniture dan meubel sedangkan kayu lunak digunakan sebagai pulp
and paper.
F. DAFTAR PUSTAKA
Bowyer, J.L., Shmulsky, R., and Haygreen, J.G. (2003). Forest Products
and Wood Science: An Introduction. Fourth Edition. Amer, Iowa,
USA. Iowa State Press a Blackwell Publishing Company.
Hill, C. A. S. (2006). Wood Modification: Chemical, thermal and other
processes. School of Agricultural and Forest Sciences, University
of Wales, Bangor. John Wiley & Sons, Ltd.
Mandang YI, IKN Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di
Lapangan. Bogor: Yayasan PROSEA, Pusat Diklat Pegawai dan
SDM Kehutanan.
Pandit IKN, D Kurniawan. 2008. Struktur Kayu: Sifat Kayu sebagai
Bahan Baku dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia.
Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pandit, I. K., Nandika, D., & Darmawan, I. W. (2011). Analisis sifat dasar
kayu hasil hutan tanaman rakyat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia,
16(2), 119-124.
Panshin, A.J. dan C. De Zeeuw, 1980. Textbook of Wood Technology
Volume 1. McGraw-Hill Book Company. New York,USA.
Sarajar, C. (1982). Identifikasi Kayu Secara Makroskopis. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Wahyu, Iman. (2013). Hubungan Struktur Anatomi Kayu Dengan Sifat
Kayu, Kegunaan dan Pengelolaannya. IPB. Bogor.
Winarni, W.W. (2002). Kesesuaian Jenis Untuk Rehabilitasi Kawasan
Pantai Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas
Kehutanan UGM
Zobel, B.J., and Buijtenen, J.P. (1989). Wood Variation: Its causes and
control. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 363 p.