Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN SIFAT KAYU

ACARA I DAN II

ANALISIS ANATOMI KAYU

Disusun Oleh :

1. Muhammad Dawud (20/464054/SV/18373)


2. Nursasi Ramadani (20/464059/SV/18378)
3. Wakhdani Minorita (20/464062/SV/18381)
4. Yuliana Rizka H (20/464063/SV/18382)

Co Ass : Deo Ramadhan

DIPLOMA IV PROGRAM STUDI PENGELOLAAN HUTAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HAYATI DAN VETERINER

SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2021
ACARA I DAN II

ANALISIS ANATOMI KAYU

A. TUJUAN
Untuk mengetahui kemiripan anatomi berdasarkan pengamatan kayu
secara makroskopis.

B. ALAT & BAHAN


1. Cutter 8. Spesimen kayu Sengon
2. Lup 9. Spesimen kayu Cemara udang
3. Mikroskop Digital 10. Spesimen kayu Mangga
4. Komputer 11. Spesimen kayu Sonokeling
5. Alat Tulis 12. Spesimen kayu Wadang
6. Spesimen kayu Jati 13. Spesimen kayu Akasia
7. Spesimen kayu Mahoni

C. HASIL PENGAMATAN
1. Kayu Jati (Tectona Grandis)

Ciri Ciri Struktur Kayu


● Lingkaran tahun : Terlihat
● Pembuluh : Tata lingkar
● Penyebaran : Tunggal
● Isinya : Tilosis
● Parenkim : Marginal inisial
● Jari – jari kayu : Terlihat dengan mata dan tidak mempunyai
dua ukuran
● Tekstur : Lumayan kasar (agak halus)
● Serat : Lurus
Sifat Fisik
● Sifat yang khas : Seratnya padat dan rapat
● Warna : Teras coklat muda, Gubal putih
● Bau : Berbau bahan penyamak
● Berat : Sangat berat (700-900 kg/m3)
● Keras : Keras
● Kilap : Tidak
● Kesan raba : Agak licin sampai licin
● Sifat fisik yang khas : Kayu jati sangat kuat, awet, stabil
dan tidak mudah rapuh, serta tahan terhadap rayap.

2. Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla)

Ciri Ciri Struktur kayu


● Lingkaran tahun : Terlihat
● Pembuluh : Semi tata lingkar
● Penyebaran : Tunggal
● Isinya : Tylosis
● Parenkim : Paratrakeal vasisentrik
● Jari-jari : Tidak nampak dengan mata
● Tekstur : Halus sampai agak kasar
● Warna : Teras berwarna merah kekuningan sampai
merah kecoklatan, gubalnya berwarna putih kekuningan
● Serat : Lurus
● Bau : Seperti wangi jamu
● Berat : 0.61 kg/m3
● Keras : Keras
● Kilap : Mengkilap
● Kesan raba : Licin
● Penggunaan : Kontruksi berat, rangka bangunan, mebel,
kayu lapis, dan pembuat gitar
● Sifat fisik lainnya : Mudah dipotong dan dibentuk, mudah
terserang oleh rayap, berpori kecil-kecil sehingga teksturnya
halus

3. Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)

Ciri Ciri Struktur Kayu


● Lingkaran tahun : Terlihat
● Pembuluh : Berganda
● Penyebaran pembuluh : Soliter
● Parenkim :Gabungan paratrakeal dan
apotrakeal
● Jari jari : Nampak dengan mata
● Tekstur : Halus
● Serat : Lurus beraturan
Sifat Fisik
● Warna : Putih
● Bau : Tidak berbau
● Berat : 230kg/m3 (ringan)
● Berat jenis : 0,33
● Keras : Sedang – rendah
● Kilap : Sedikit mengkilap
● Kesan raba : Agak licin

4. Kayu Akasia (Acacia mangium)

Ciri Ciri Struktur Kayu


● Lingkaran tahun : Terlihat
● Pembuluh : Difusi porous dengan penyebaran
pembuluh berganda radial
● Parenkim : Paratrakeal jarang
● Tilosis : Tidak ada
● Jari-jari kayu : Nampak, hanya memiliki satu ukuran dan
tidak bertingkat
● Tekstur : Halus
● Serat : Lurus agak berpadu panjang serat dapat
mencapai 0.7-1.4 mm dan tebal dinding sel akasia mangium
yang hanya berkisar 1.5-2.5 µm.
● Serat : Lurus hingga bertautan dangkal.
Sifat Fisik.
● Warna : Kayu gubal berwarna coklat kelabu,
kayu teras berwarna coklat muda.
● Bau : Khas
● Berat : Sedang, 460-690 kg/m3
● Keras : Agak lunak, mudah dibentuk
● Kilap : Mengkilap
● Kesan raba : Agak halus
● Kerapatan : 450 sampai 690 kg/m dengan kadar
air 15%.
● Tingkat penyusutan : Rendah sampai moderat sebesar
1,4-6,4%

5. Kayu Wadang (Pterospermum javanicum)

Ciri – Ciri Struktur Kayu


● Lingkaran tahun : Jelas
● Pembuluh : Difuse Porouse
● Penyebaran : Berganda Radial
● Parenkim : Vasisentrik
● Jari – jari kayu : Terlihat jelas nampak dengan mata
● Tekstur : Halus
● Serat : Sejajar atau lurus, kasar
Sifat Fisik
● Warna : Coklat tua dengan garis hitam
● Bau : Tidak berbau
● Berat : Agak berat 0,30 – 0.70
● Keras : Agak keras
● Kilap : Agak mengkilap
● Kesan raba : Halus, licin
● Sifat fisik yang khas : Banyak serat

6. Kayu Sonokeling (Dalbergia latifolia)

Ciri – Ciri Struktur Kayu


● Lingkaran tahun : Jelas
● Pembuluh : Difuse porouse (baur)
● Penyebaran : Berganda, soliter ·
- Isinya : Tilosis.
● Parenkim : Marginal inisial
● Jari – jari kayu : Terlihat jelas ·
- Pada (x),(t),dan (r), Nampak dengan mata ·
- Pada (x),(t),dan (r), tidak dua macam ukuran ·
- Pada (t) bertingkat/tidak bertingkat
● Tekstur : halus
● Serat : Lurus
Sifat Fisik
● Warna : Merah keputihan – coklat
● Bau : Tidak terlalu enak, penyamak
● Berat : Agak berat – berat
● Keras : Keras
● Kilap : Tidak mengkilap
● Kesan raba : Licin
● Sifat fisik yang khas : Kuat dan anti rayap
● Penggunaan : Perabot rumah tangga, mebel,
furniture

7. Kayu Cemara Udang (Casuarina equisetifolia)

Ciri – Ciri Struktur Kayu


● Lingkaran tahun : Tidak terlalu jelas
● Pembuluh : Difuse Porouse
● Penyebaran : Soliter berganda, kristal krismatik
● Parenkim : Inisial
● Jari – jari kayu : Terlihat jelas
- Pada (x),(t),dan (r), Nampak dengan mata
- Pada (x),(t),dan (r), tidak dua macam ukuran
- Pada (t) bertingkat/tidak bertingkat
● Tekstur : Agak Kasar
● Serat : Lurus
Sifat Fisik
● Warna : Coklat atau kecoklatan
● Bau : Harum
● Berat : 480 – 520 kg/m3 )
● Keras : Sangat keras
● Kilap : Mengkilap
● Kesan raba : Licin
● Sifat fisik yang khas : Digunakan pulp
● Penggunaan : Kayu pertukangan, mebel, pulp, dan
arang
8. Kayu mangga (Mangifera indica)

Ciri – Ciri Struktur Kayu


● Lingkaran tahun : Jelas
● Pembuluh : Difuse Porouse (baur)
● Penyebaran : Berganda soliter
- Isinya : Tidak ada
● Parenkim : Aliform
● Jari – jari kayu : Terlihat jelas
- Pada (x),(t),dan (r), Nampak dengan mata
- Pada (x),(t),dan (r), tidak dua macam ukuran
- Pada (t) bertingkat/tidak bertingkat
● Tekstur : Sedikit kasar
● Serat : Lurus
Sifat Fisik
● Warna : Coklat
● Bau : Menyengat
● Berat : 670kg/m3
● Keras : Keras
● Kilap : Sedikit Mengkilap
● Kesan raba : Kasar
● Khas : Memiliki serat kuat
● Penggunaan : Sebagai furniture, kayu
pertukangan, alat rumah tangga, dan mebel lainnya

D. PEMBAHASAN
Pada praktikum struktur dan sifat kayu acara 1 dan 2 yang
berjudul “Analisis Anatomi Kayu” membahas mengenai kenampakan
risalah kayu tersebut secara makroskopis. Pada praktikum ini untuk
melihat struktur kayu tersebut secara lebih detail digunakan alat bernama
lup serta mikroskop digital yang mana sudah tersambung ke
komputer/laptop. Berbagai kayu yang diamati dalam praktikum ini
meliputi spesimen kayu Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia
macrophylla), Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia
mangium), Wadang (Pterospermum javanicum), Cemara udang
(Casuarina equisetifolia), Sonokeling (Dalbergia latifolia), dan Mangga
(Mangifera indica).
Adapun yang dapat dijelaskan dalam praktikum kali ini yaitu
bidang pengamatan untuk mengidentifikasi struktur dan anatomis kayu
secara makroskopis yang terdiri dari lingkaran tahun, pori-pori, jari-jari,
dan sel parenkim kayu. Analisis Sifat Dasar Kayu perlu dilakukan karena
setiap jenis kayu mempunyai karakter yang berbeda. Pemanfaatan kayu
yang sesuai dengan karakter yang dimiliki, mampu memberi efisiensi dan
nilai tambah yang lebih baik (Pandit dkk, 2011). Dalam praktikum ini
terdapat delapan spesimen kayu yang digunakan. Spesimen kayu tersebut
antara lain kayu mahoni, jati, sonokeling, akasia, cemara udang, sengon,
mangga dan wadang.
Lingkaran tahun adalah istilah yang dipergunakan dalam
menunjukkan cincin-cincin konsentris atau garis lingkaran yang ada pada
bagian dalam batang tumbuhan. Lingkaran tahun ini akan terlihat jelas jika
batang kayu pohon dipotong melintang. Lingkaran tahun ini untuk
menentukan usia/umur pohon tersebut. Lingkaran tahun ini memang
muncul seiring dengan bertambahnya usia/umur tumbuhan. Batang dengan
seiringnya waktu akan terus tumbuh dan menebal karena aktivitas
kambium yang menghasilkan lapis demi lapis xilem sekunder. Lapis xilem
sekunder inilah yang dari tahun ke tahun terus bertambah dan disebut
lingkaran tahun. (Wahyu, 2013).
Pori-pori batang (lentisel) adalah lubang-lubang kecil yang
berbentuk seperti pori-pori pada bagian epidermis di dalam batang. Bentuk
lentisel ini seperti lubang yang menganga secara terbuka dan tidak dilapisi
oleh sel gabus. Lentisel digunakan sebagai alat pernapasan bagi tumbuhan
dan membantu proses pertumbuhan tumbuhan itu sendiri, lentisel pada
umumnya terdapat pada batang dewasa. (Wahyu, 2013).
Jari-jari adalah parenkim dengan arah horizontal. Dengan
mempergunakan loupe pada bidang melintang, jari-jari terlihat seperti
garis-garis yang sejajar dengan warna yang lebih cerah dibanding warna
sekelilingnya. Jari jari dapat dibedakan berdasarkan ukuran lebarnya dan
keseragaman ukuran.
Sel parenkim merupakan jaringan dasar pembentuk batang pohon.
Ada atau tidaknya sel parenkim merupakan tanda penting dalam
pengenalan kayu. Sel parenkim dapat diamati pada bidang melintang kayu.
Jika ada sel-sel parenkim, maka sel-sel tersebut dapat tersebar secara
terpisah sehingga sulit untuk melihatnya secara makroskopis. Tetapi dapat
juga berkumpul rapat di dalam kelompok-kelompok yang kecil atau besar
yang memberikan gambaran-gambaran khas dan berguna bagi pengenalan
kayu.
Secara eksplisit kayu juga memiliki tingkat variasi yang cukup
tinggi baik pada level spesies, antar spesies hingga antar genus dalam satu
divisi tumbuhan, dan bahkan dalam satu batang pohon, yang seringkali
dianggap sebagai kelemahannya (Zobel dan Buijtenen, 1989).
Variasi-variasi tersebut tidak hanya dari segi taksonomis dimana dikenal
dua kelompok kayu yaitu kayu daun lebar (hardwood) dan kayu daun
jarum (softwood) yang secara morfologis berbeda, namun juga secara
fisiologis dan anatomis. Bahkan perbedaan secara anatomis merupakan
perbedaan yang krusial (Barnett dan Jeronimidis, 2003). Selain pengaruh
taksonomis, variasi perbedaan kondisi altitude, ketinggian tempat, iklim
dan serta lingkungan tempat tumbuh juga turut memberikan sumbangsih
yang signifikan terhadap terbentuknya variasi sifat, struktur serta
komponen penyusun material berkayu (Bosoi et al.2010). Itulah mengapa
penggunaan dan juga pengolahan kayu harus disesuaikan dengan
sifat-sifat yang dimilikinya.

Berdasarkan hubungannya dengan kekuatan kayu, sifat kayu dapat


dibedakan atas sifat kasar, yaitu sifat yang tidak ada hubungannya secara
langsung dengan kekuatan kayu, dan sifat struktural (yang tak lain adalah
struktur kayu itu sendiri) yang secara langsung akan menentukan kekuatan
dan sifat-sifat kayu lainnya. Sifat kasar bersifat subjektif, sedangkan sifat
struktural bersifat objektif. Sifat kasar harus diamati pada ketiga bidang
pengamatan, yaitu lintang (tegak lurus sumbu batang), tangensial
(memotong tegak lurus salah satu jari-jari kayu dan sejajar sumbu batang)
dan radial (sejajar dengan jari-jari kayu dan sejajar pula dengan sumbu
batang) (Sarajar, 1982).

Tekstur kayu merupakan salah satu sifat kayu yang didasarkan


pada ukuran sel penyusun kayu dan kenampakan lingkaran tahun pada
penampang melintang kayu. Berdasarkan ukuran sel penyusunnya tekstur
kayu diklasifikasikan menjadi kasar, sedang dan halus, sedangkan
berdasarkan kenampakan lingkaran tahun tekstur kayu diklasifikasikan
menjadi tekstur rata dan tidak rata (Panshin and de Zeeuw, 1980). Tekstur
kasar sampai halus dilihat berdasarkan ukuran diameter sel. Sel kayu yang
sering digunakan untuk menentukan tekstur kayu adalah sel serabut dan
sel pembuluh.

Warna kayu bagian gubal umumnya lebih cerah dibandingkan


dengan terasnya. Perbedaan warna kayu tidak hanya terdapat pada jenis
kayu yang berbeda tetapi juga pada jenis kayu yang sama bahkan dalam
sebatang pohon. Pada umumnya warna yang digunakan untuk identifikasi
jenis kayu adalah warna bagian teras (Pandit dan Kurniawan 2008). Warna
kayu dipengaruhi oleh umur pohon, kadar air dan lama penyimpanan
setelah penebangan. Menurut Mandang dan Pandit (1997), warna kayu
dapat berubah akibat serangan jamur. Kayu segar yang memiliki warna
lebih cerah umumnya lebih mudah terkena serangan jamur dan mengalami
perubahan warna menjadi biru atau hitam. Perubahan warna dapat juga
disebabkan oleh pengeringan dalam kilang pengering. Suhu yang tinggi
menyebabkan damar atau getah di dalam kayu meleleh sehingga
menimbulkan noda pada permukaan kayu. Warna-warna yang demikian
tidak dapat digunakan dalam penetapan warna kayu karena bukan
merupakan warna asli dari kayu.

Pengeringan kayu adalah suatu proses menurunkan kadar air kayu


hingga ke kadar air pemakaian melalui teknik penumpukan yang benar,
dengan atau tanpa pengaturan faktor-faktor pengeringan untuk
meningkatkan kestabilan dimensi kayu. Pengeringan yang tanpa mengatur
suhu, RH dan kecepatan angin dikenal sebagai pengeringan alami
(pengeringan udara), sedangkan pengeringan yang mengatur faktor
pengeringan tersebut dan biasanya menggunakan jadwal pengeringan
disebut pengeringan dengan kilang. Untuk mengurangi biaya adalah
lumrah bila kayu-kayu yang akan dikeringkan dalam kilang sudah terlebih
dahulu dikeringudarakan. Parameter keberhasilan suatu proses
pengeringan adalah waktu dan cacat pengeringan. Proses pengeringan
kayu dikatakan berhasil apabila waktu yang dibutuhkan tergolong singkat
dengan cacat pengeringan yang minimal (Bowyer et al. 2003).

Pengawetan kayu merupakan proses memasukkan bahan pengawet


(bahan kimia yang bersifat racun terhadap faktor perusak kayu biologis) ke
dalam kayu dengan dan tanpa tekanan (dan vakum) agar kayu menjadi
lebih tahan terhadap serangan berbagai faktor perusak kayu (biologis dan
non biologis) sehingga meningkatkan umur pakai kayu. Keberhasilan
proses pengawetan ditentukan oleh retensi (jumlah bahan pengawet yang
tertinggal di dalam kayu) dan penetrasi (dalamnya bahan pengawet masuk
ke dalam kayu). Semakin tinggi retensinya dan semakin dalam
penetrasinya maka kayu akan semakin awet, dan begitu pula sebaliknya.
Pengawetan juga dikatakan berhasil apabila kekuatan kayu setelah
diawetkan tidak berkurang secara nyata (Bowyer et al. 2003).

Peningkatan mutu kayu adalah suatu perlakuan yang biasa


diaplikasikan pada kayu untuk memperbaiki sifat-sifat kayu sehingga mutu
kayu secara keseluruhan menjadi lebih baik. Teknik atau metode yang
umum dilakukan terdiri dari: a) pemadatan/densification (memadatkan
kayu dengan bantuan panas dan tekanan), b) impregnasi (memasukkan
bahan kimia tertentu ke dalam kayu tanpa tekanan) dan c) kompregnasi
(kombinasi antara pemadatan dengan impregnasi). Indikator keberhasilan
proses ini adalah nilai kemampuan kayu untuk kembali ke ukuran tebal
awal (springback) setelah mengalami perlakuan. Semakin rendah nilai
springback, semakin stabil kayu. Kondisi ini mengindikasikan bahwa telah
terjadi fiksasi yang sempurna dalam kayu (Hill, 2006).

Selain dipengaruhi oleh kadar air awal dan ukuran ketebalan kayu,
mutu dan sifat pengeringan sangat dipengaruhi oleh struktur anatomi, sifat
fisis dan kandungan kimia kayu. Kayu-kayu yang lebih porous (lebih tinggi
persentase rongga sel) atau yang berkerapatan/ber-BJ rendah cenderung
lebih mudah dikeringkan dengan waktu yang lebih singkat karena lebih
permeabel (sifat pengeringan baik, cacat sedikit). Begitu pula halnya
dengan kayu-kayu yang tidak banyak mengandung tilosis atau endapan
lain di dalam rongga sel kayu. Kayu dengan persentase sel parenkim dan
jari-jari yang tinggi menuntut perlakuan pengeringan yang lebih lunak
karena tipisnya dinding sel. Dinding sel yang tipis berpotensi sebagai
daerah awal terjadinya cacat. Begitu pula halnya bila dalam satu lembar
sortimen terdapat bagian gubal dan bagian terasnya. Perhatian perlu
diberikan apabila dalam satu sortimen terdapat kayu juvenil ataupun kayu
reaksi. Secara umum kayu konifer lebih mudah dikeringkan dibandingkan
dengan kayu daun.
Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan salah satu
jenis tanaman yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat karena
memiliki sifat yang cepat tumbuh sehingga dapat dipanen dalam waktu
yang tidak terlalu lama. Budidaya sengon di masyarakat dilakukan dengan
dua macam cara yaitu dengan biji dan trubusan. Informasi mengenai
sifat-sifat anatomi sengon hasil pembudidayaan yang berbeda ini masih
sangat terbatas. Sengon trubusan memiliki proporsi sel serabut 76,58%, sel
parenkim 4,70%, sel jari-jari 12,86% dan sel pembuluh sebesar 5,83%.
Sengon permudaan biji memiliki proporsi sel serabut 75,96%, sel
parenkim 4,43%, sel jari-jari 13,67% dan sel pembuluh sebesar 5,88%.
Sementara untuk faktor kedudukan radial diperoleh data bahwa panjang
serat dan tebal dinding sel dari bagian kayu dekat kulit ke dekat hati
menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Dimana panjang serat dan
tebal dinding sel menunjukkan tren peningkatan dari bagian kayu dekat
hati ke dekat kulit. Dimensi serat sengon trubusan memiliki panjang,
diameter dan tebal dinding sel 1,17 mm, 17,09 µ dan 1,35 µ. Sementara
dimensi serat sengon permudaan biji memiliki panjang, diameter dan tebal
dinding sel 1,15 mm, 18,04 µ dan 1,36 µ. Kedua sengon permudaan biji
dan trubusan keduanya masih berada dalam fase periode kayu juvenil
berdasarkan analisa dari parameter panjang serat dan tebal dinding selnya.

Mahoni (Swietenia macrophylla) adalah pohon penghasil kayu


untuk tujuan kayu pertukangan dengan karakteristik kayu yang memiliki
warna dan penampakan serat yang indah sehingga bernilai ekonomis
tinggi. Penggunaan kayunya sangat populer untuk pembuatan mebel,
kusen, daun pintu dan jendela, flooring, venner serta kerajinan tangan.
Selain itu buah, kulit dan getahnya dapat dijadikan obat, pestisida,
pewarna alami dan bahan perekat. Oleh karena itu jenis mahoni menjadi
salah satu pohon andalan untuk dikembangkan sebagai bahan baku
industri kehutanan yang dapat ditanam sebagai tanaman pokok maupun
tanaman pengisi pada Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), Hutan Rakyat (HR), Hutan Kota (HK) maupun tanaman
peneduh jalan. Kualitas kayu mahoni sangat baik, mempunyai berat jenis
berkisar 0,53 hingga 0,72, termasuk kelas kuat III hingga kelas kuat II.
Kayu mahoni mempunyai penyusutan ke arah radial 0,9 % hingga 3,3 %
clan ke arah tangensial 1,3 % hingga 5,7 %. Pengeringan secara alami
kayu mahoni dengan tebal 2,5 cm dari kadar air awal 40 %,selama 40 hari
bisa mencapai kadar air kering udara. Sedangkan dengan dapur pengering
kayu mahoni dengan tebal 2,5 cm, bisa mencapai kadar air hingga 10%
dengan suhu berkisar 43°C hingga 7 6°C dengan kelembaban nisbi
berkisar 75 % hingga 33 %. Kayunya mempunyai nilai ekonomis yang
cukup tinggi dan sifatnya tidak mudah berubah. Kualitas kayunya keras
dan sangat baik untuk mebel, furniture, barang-barang ukiran dan
kerajinan. Pada konstruksi bangunan, kayu mahoni sangat baik untuk
membuat rangka atap, kusen, daun pintu dan jendela. Pada pembuatan
veneer dan kayu lapis, sangat baik karena mempunyai permukaan
dekoratif yang indah dan warna khas coklat. Sedangkan mebel, karena
sifat kekuatan, keawetan serta warna dan dekoratifnya banyak
dipergunakan dan disukai untuk pembuatan lemari, kursi, rneja dan tempat
tidur.

Kayu Akasia (Acacia mangium) memiliki ciri kayu teras berwarna


coklat kelabu, gubal berwarna putih setebal 2 - 4 cm, jelas batasnya
dengan kayu teras. Tekstur agak kasar. Kesan raba agak halus dan kayu
agak lunak. Arah serat lurus dan agak berpadu. Pori tata baur, 69 persen
soliter, lainnya gabungan radial 2 - 3 sel; diameter 193 t 31 mikron,
frekuensi 6 t 2 per mm2; bidang perforasi sederhana dengan noktah antar
pembuluh selang-seling tanpa umbai; tilosis maupun endapan tidak
dijumpai; trakeida keliling pembuluh tidak ada. Parenkim paratrakea
jarang; silika tidak dijumpai, kristal berderet vertikal sampai 15 butir.
Jari-jari homoselular, umumnya 1- 2 seriat, kadang-kadang sampai 3;
tinggi 311 t 143 mikron; frekuensi 8 ± 2 per mm. Saluran interselular
aksial maupun radial tidak dijumpai.

Wadang (Pterospermum javanicum) merupakan kayu yang sering


digunakan dalam pertukangan yang mana memiliki nama lain kayu bayur.
Bayur (P. javanicum) adalah jenis pohon yang mempunyai prospek
komersial tinggi. Meskipun tumbuhan ini tersebar hampir di seluruh
Indonesia, namun keberadaannya semakin terancam akibat banyaknya
penebangan liar. Kayu bayur masuk dalam kelas awet IV dengan berat
jenis 0,53 (0,35-0,70), termasuk jenis kayu komersial rimba campuran.
Kayu cemara udang memiliki ciri – ciri struktur kayu dimana lingkaran
tahun yang jelas, memiliki pembuluh yakni difuse porous, penyebarannya
berganda radial, parenkim pada kayu wadang ini termasuk parenkim
vasisentrik, jari – jari kayu wadang ini terlihat jelas nampak dengan mata,
tekstur dari kayunya halus, serat kayunya sejajar atau lurus, kasar. Sifat
fisik dari kayu ini adalah warna kayunya adalah coklat tua dengan garis
hitam, kayu wadang tidak memiliki bau, berat kayu wadang ini adalah
agak berat 0,30 – 0.70, tingkat kekerasan kayunya adalah agak keras, kayu
wadang saat dilihat termasuk kayu yang agak mengkilap, kesan raba dari
kayunya adalah halus dan licin, sifat fisik yang khas dari kayu wadang ini
adalah banyak serat.

Kayu Jati (Tectona grandis) yang diteliti memiliki ciri makrokopis


sebagai berikut : bagian terasnya coklat keabuan dan dapat dibedakan dari
gubalnya yang putih kekuningan; batas lingkaran tumbuh tidak jelas;
corak kurang dekoratif; permukaan kayu kusam kurang mengkilap; kesan
raba kurang licin dan agak kesat; tekstur agak kasar hingga kasar merata;
arah serat lurus hingga agak berpadu; lunak hingga agak keras; dan bau zat
penyamaknya kurang tegas. Ciri mikroskopisnya adalah porositasnya baur
hingga semi tata lingkar, pori-pori kayu hampir seluruhnya soliter meski
ditemukan juga yang bergabung radial 2 sel, bidang perforasi sederhana,
pernoktahan antar pembuluh selang seling berukuran kecil, pernoktahan
pada bidang silang dengan jari-jari kayu tipe halaman, serupa dalam
ukuran dan bentuk dengan pernoktahan di dinding antar sel pembuluh,
diameter tangensial 100 280 μm, 5 7 sel per mm2 , panjang 340 365 μm
serta berisi tilosis dan endapan putih; parenkim aksial tipe paratrakeal
jarang, 5 8 sel peruntai, sedangkan parenkim marjinalnya tipis dan kurang
jelas; jari-jari 1 4 seri, kebanyakan homogen, 3 5 sel per mm; dinding serat
agak tebal hingga tebal sekitar 2,9 3,9 μm, panjangnya 699 1.299 μm,
pernoktahannya sederhana hingga berhalaman yang jelas, dijumpai adanya
penebalan spiral pada dinding sebelah dalam serta terdapat serat bersekat
dan tidak bersekat. Tidak ditemukan adanya silika.

Cemara udang (Casuarina equisetifolia) merupakan salah satu


jenis tumbuhan asli di kawasan pesisir, mampu menahan gelombang
pasang air laut dan laju angin yang tinggi. Hasil penelitian Winarni (2002)
membuktikan bahwa cemara merupakan jenis yang cocok digunakan
untuk rehabilitasi kawasan pesisir. Jenis tersebut juga dikenal sebagai
sumber energi yang baik apabila dijadikan untuk kayu bakar. Pengaturan
jarak tanam yang tepat akan membuat pertumbuhan lebih optimal dan
berpengaruh terhadap kualitas kayu saat dilakukan pemanenan. Pohon
Cemara udang menghasilkan kayu keras yang berat dengan kerapatan
udara 900-1000 kg/m kubik. Kayu teras berwarna merah pucat, coklat
pucat hingga coklat merah tua, berdiferensiasi sedang hingga tajam dari
kayu gubal, yang berwarna kekuningan atau coklat kuning pucat dengan
semburat merah muda. Kayu cemara udang mempunyai sifat makroskopis
berupa lingkaran tahun tidak terlalu jelas, pembuluh bertipe difuse porouse
dengan penyebaran soliter berganda, kristal krismatik. Kayu cemara udang
memiliki tipe parenkim inisial dengan jari – jari kayu yang terlihat jelas.
Tekstur kayunya agak kasar dengan serat lurus. Sifat fisik lainnya yaitu
berwarna coklat atau kecoklatan berbau harum dengan berat
480-520kg/m3. Kayu cemara udang licin dan sangat keras serta memiliki
banyak serat sehingga dalam pemanfaatannya banyak digunakan sebagai
kayu pertukangan, mebel, pulp, dan arang, lantai kayu, kabinet dan berapa
furniture karena karakteristiknya yang cocok untuk tipe furniture indoor.

Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb), kayu ini masuk kedalam


kelas Leguminosae. Warna kayu terasnya berwarna kecoklatan dengan
garis-garis berwarna agak hitam, gubalnya berwarna putih keabu-abuan.
Corak permukaannya bercorak indah berkat adanya garis yang berlainan
warnanya. Teksturnya hampir halus. Arah seratnya lurus sampai
berombak. Permukaannya licin dan agak mengkilap. Kekerasan kayunya
sedang sampai keras. Pembuluh/Pori-porinya merupakan pembuluh baur,
soliter dan sebagian berganda radial yang terdiri dari atas 2-3 pori,
jumlahnya sekitar 5-8 per mm2, diameter tangensial sekitar 80-175
mikron, bidang perforasi sederhana, berisi endapan berwarna merah
kecoklatan. Parenkim: agak banyak, bertipe paratrakea selubung sayap
sampai bentuk sayap dan pita konfluen. Jari-jari: sempit sampai lebar,
yaitu dari 1 seri sampai 4 seri, pendek, terdiri atas 7-8 sel, jumlahnya
sekitar 8-12 per mm arah tangensial, dan pada bidang tangensial tampak
ada tanda kerinyut. Berat Jenis kayu sonokeling adalah kayu berat sedang
sampai berat, dengan berat jenis rata-rata 0,83 (0,77-0,86); Kelas
keawetannya masuk dalam kelas I sedangkan kelas kuatnya masuk dalam
golongan kelas II. Kayu sonokeling biasa digunakan sebagai bahan
perabot rumah tangga kelas tinggi, vinir indah, rangka pintu dan jendela,
alat musik, barang ukiran, kayu perpatungan, barang yang perlu
dilengkungkan. Kayu Sonokeling juga sering digunakan sebagai bahan
dasar furniture dan industri kayu baik di dalam negeri maupun
mancanegara.

Kayu Mangga (Mangifera Indica) tumbuh di iklim tropis dan


subtropis. Pohon itu tumbuh setinggi 60 sampai 100 kaki dengan ukuran
batang sekitar 5 kaki dengan diameter. Ini menjadikannya kandidat yang
layak untuk memanen kayu. Selain ditanam untuk buahnya yang lezat dan
berair seiring bertambahnya usia pohon, maka akan berhenti menghasilkan
buah. Pada tahap ini, pohon tua ditebang, dan pohon baru ditanam di
tempatnya. Kayu mangga biasanya digunakan untuk membuat furnitur dan
perlengkapan rumah dekoratif. Ciri khas kayu mangga membuatnya
menonjol dari varietas kayu keras lainnya yaitu kayu mangga memiliki
warna yang berkisar dari coklat muda sampai coklat tua. Furniture yang
terbuat dari kayu mangga tergolong unik karena variasi warnanya yang
beragam. Kayu pohon mangga merupakan kayu keras dengan pola yang
padat. Hal ini memungkinkan kayu untuk menggabungkan berbagai warna
dan nada, menjadikannya pilihan yang lebih disukai untuk membuat
barang dekoratif rumah seperti vas dan mangkuk. Meski keras, kayu
mudah dipotong dan diputar. Karakteristik ini bermanfaat untuk
menciptakan furnitur ukir yang indah. Hal lainnya yaitu gubal pohon
mangga rentan terhadap serangan jamur. Namun, karakteristik ini
menambah keindahan kayu. Kehadiran jamur membuat warna hitam yang
indah ke pola butiran, membuat kayu terlihat lebih atraktif. Namun,
sebelum mengolah kayu sebagai kayu, ia harus diberi pengobatan
antijamur. Meski kayu bisa digunakan untuk membuat furnitur dan barang
lainnya, tidak cukup kokoh untuk dijadikan bahan bangunan. Kayu ini
sangat tahan terhadap air, sehingga membuatnya sangat tahan lama. Kayu
mangga terutama digunakan untuk kerajinan potongan furnitur murah dan
barang-barang dekoratif seperti meja, lemari dapur, vas bunga, rak buku,
mangkuk.

Pada umumnya semua kayu memiliki lingkar tahun, jari-jari,


pori-pori, dan parenkim. Namun, setiap kayu memiliki sifat dan anatomi
yang berbeda. Perbedaan inilah yang digunakan untuk mengidentifikasi
jenis kayu yang satu dengan yang lainnya. Dilihat dari pembuluhnya kayu
wadang, mangga, sonokeling, dan cemara udang memiliki kesamaan pada
anatomi pembuluhnya yang berbentuk diffuse porous/baur dan
penyebarannya berganda soliter kecuali pada kayu wadang yang
penyebarannya berganda radial. Dilihat dari penyebaran parenkim kayu
jati, sonokeling, dan cemara udang memiliki penyebaran marginal inisial.
Berdasarkan perbedaan struktur anatomis dan sifat fisik kayu-kayu
diatas, keseluruhan spesimen tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua
jenis kayu yaitu kayu daun lebar atau kayu keras (Hardwood) dan kayu
daun jarum/conifer atau disebut juga kayu lunak (Softwood). Yang
termasuk dalam golongan kayu keras adalah mahoni, jati, sonokeling,
wadang, mangga, sengon, dan akasia dan kayu daun jarum atau conifer
adalah cemara udang. Pengelompokkan ini menentukan pengolahan kayu
yang tepat bagi jenis kayu-kayu tersebut. Kayu-kayu keras pada umumnya
dimanfaatkan sebagai bahan meubel maupun furniture karena lebih tahan
lama dan cukup kuat. Sedangkan kayu lunak biasa diolah menjadi bubur
kertas atau pulp and paper.

E. KESIMPULAN
Berdasarkan literatur dan pengamatan yang telah dilakukan, dapat
diambil kesimpulan bahwa untuk mengetahui kemiripan anatomi
berdasarkan pengamatan kayu secara makroskopis, perlu diketahui
struktur anatomi dan sifat-sifat fisik dari masing-masing spesimen kayu.
Dilihat dari pembuluhnya kayu wadang, mangga, sonokeling, dan cemara
udang memiliki kesamaan pada anatomi pembuluhnya yang berbentuk
diffuse porous/baur dan penyebarannya berganda soliter kecuali pada kayu
wadang yang penyebarannya berganda radial. Dilihat dari penyebaran
parenkim kayu jati, sonokeling, dan cemara udang memiliki penyebaran
marginal inisial. Kayu-kayu tersebut dikelompokkan menjadi kayu keras
dan kayu lunak. Pengolahan kayu keras pada umumnya dijadikan sebagai
bahan furniture dan meubel sedangkan kayu lunak digunakan sebagai pulp
and paper.

F. DAFTAR PUSTAKA
Bowyer, J.L., Shmulsky, R., and Haygreen, J.G. (2003). Forest Products
and Wood Science: An Introduction. Fourth Edition. Amer, Iowa,
USA. Iowa State Press a Blackwell Publishing Company.
Hill, C. A. S. (2006). Wood Modification: Chemical, thermal and other
processes. School of Agricultural and Forest Sciences, University
of Wales, Bangor. John Wiley & Sons, Ltd.
Mandang YI, IKN Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di
Lapangan. Bogor: Yayasan PROSEA, Pusat Diklat Pegawai dan
SDM Kehutanan.
Pandit IKN, D Kurniawan. 2008. Struktur Kayu: Sifat Kayu sebagai
Bahan Baku dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia.
Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pandit, I. K., Nandika, D., & Darmawan, I. W. (2011). Analisis sifat dasar
kayu hasil hutan tanaman rakyat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia,
16(2), 119-124.
Panshin, A.J. dan C. De Zeeuw, 1980. Textbook of Wood Technology
Volume 1. McGraw-Hill Book Company. New York,USA.
Sarajar, C. (1982). Identifikasi Kayu Secara Makroskopis. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Wahyu, Iman. (2013). Hubungan Struktur Anatomi Kayu Dengan Sifat
Kayu, Kegunaan dan Pengelolaannya. IPB. Bogor.
Winarni, W.W. (2002). Kesesuaian Jenis Untuk Rehabilitasi Kawasan
Pantai Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas
Kehutanan UGM
Zobel, B.J., and Buijtenen, J.P. (1989). Wood Variation: Its causes and
control. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 363 p.

Anda mungkin juga menyukai