Anda di halaman 1dari 112

KAPITALISME DAN MATINYA KRITISISME:

PERSPEKTIF FILOSOFIS MANUSIA SATU-DIMENSI


MENURUT HERBERT MARCUSE

SKRIPSI

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero


untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat
Program Studi Ilmu Teologi – Filsafat
Agama Katolik

OLEH
GEOVANNY CALVIN DE FLORES PALA
NPM: 16.75.5881

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO


2020
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR

Kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi yang banyak diterapkan oleh


negara-negara di dunia. Sistem ini tidak saja mengatur prinsip-prinsip produksi,
distribusi, konsumsi dan investasi berbasis modal, melainkan pula mengatur
aktivitas dan kesadaran terdalam manusia. Melalui kemajuan teknologi dan mesin
industri, kekuatan kapitalisme berkembang sebagai sebuah daya kontrol sosial.
Kontrol ini memanipulasi kesadaran dan nalar kritis manusia. Ia dianggap sebagai
prinsip yang rasional dalam masyarakat kapitalis untuk mencapai kemajuan dan
kepuasan tertinggi.
Perspektif Manusia Satu-Dimensi Herbert Marcuse berupaya untuk
menganalisis dominasi kapitalisme atas dimensi negatif manusia. Dimensi negatif
merujuk pada kemampuan manusia untuk mempertanyakan, mengkritik dan
menegasikan realitas. Ia berupa protes kritis terhadap segala sesuatu. Dalam
masyarakat kapitalis, dimensi ini mati dan digantikan dengan dimensi positif yang
lebih afirmatif terhadap realitas. Kemenangan dimensi positif dalam masyarakat
kapitalis melahirkan manusia berdimensi satu. Manusia berdimensi satu
mendukung dan mengafirmasi sistem kapitalisme tanpa bersikap kritis.
Skripsi ini adalah suatu upaya yang dilakukan oleh penulis untuk melihat
lebih jauh kritik Manusia Satu-Dimensi Herbert Marcuse terhadap kapitalisme
yang mematikan kritisisme. Penulis mengkaji masalah kapitalisme sebagai suatu
masalah yang sangat relevan dengan situasi modern zaman sekarang, terutama di
Indonesia. Marcuse menyajikan struktur analisis yang kuat untuk mengkaji
masalah tersebut. Dengan analisis ini, penulis merasa bertanggung jawab untuk
mengkajinya secara komprehensif dan kritis sebagai suatu wacana yang dapat
dipahami dan direfleksikan serta dimanfaatkan oleh semua kalangan. Meskipun
demikian, penulis tidak mengklaim karya ini sebagai hasil kerja murni penulis.
Oleh karena itu, penulis ingin berterimakasih kepada semua pihak yang telah
mendukung penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

vi
Pertama-tama, penulis ingin menghaturkan pujian dan syukur kepada Allah
sumber segala rahmat yang telah menurunkan berkat-Nya di dunia. Penulis yakin
bahwa tanpa berkat, penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Penulis juga berterima kasih kepada pembimbing, P. Felix Baghi, SVD dan
penguji, P. Frans Ceunfin, SVD yang telah membantu seluruh proses pengerjaan
dan pengujian skripsi ini.
Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang tua penulis, Bapak Irenius
Waro dan Mama Maria Magdalena Rifa, yang tanpa kenal lelah mendoakan dan
mendidik penulis menjadi manusia yang tekun dan bertanggung jawab.
Terimakasih juga penulis haturkan kepada kedua saudari, Wiegand Pala dan
Melani Pala, yang selalu menyempatkan diri untuk mendoakan kesuksesan penulis.
Penulis juga berterima kasih kepada P. Kirchberger, SVD, P. Kanis Bhila,
SVD dan P. Fredy Sebho, SVD, yang dengan setia memotivasi dan mendukung
penulis dalam seluruh proses pengerjaan skripsi. Tak lupa, penulis juga berterima
kasih kepada konfrater: Endi Sie, Jack Meo, Dedi Bei, Hendrik Making, Khrisna
Papalesa, Roland Nampu, dan Aris Ghono, yang selalu setia dan siap sedia
membantu dengan caranya masing-masing dalam pengerjaan skripsi ini.
Akhirnya penulis mengakui karya ini jauh dari bentuk tulisan yang
sempurna dan komprehensif. Oleh karena itu, penulis dengan tangan terbuka
menerima setiap bentuk kritikan dan masukan konstruktif yang dapat membarui
karya ini menjadi lebih baik.

Ledalero, 30 Juni 2020

Penulis

vii
ABSTRAK

Geovanny Calvin De Flores Pala. Kapitalisme dan Matinya Kritisisme:


Perspektif Manusia Satu-Dimensi Menurut Herbert Marcuse. Skripsi. Program
Studi Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2020.
Penelitian ini bertujuan untuk mengemukakan perspektif filosofis Manusia
Satu-Dimensi Herbert Marcuse sebagai kritik atas kapitalisme. Kritik yang termuat
dalam Manusia Satu-Dimensi menyediakan suatu titik tolak dialektis untuk
membedah isu kapitalisme dan dampaknya terhadap manusia. Pertalian antara
kekuatan kapitalisme dan pengaruhnya terhadap manusia merupakan tema utama
yang digarap dalam keseluruhan skripsi ini.
Kajian ini menggunakan metode analisa deskriptif-kritis. Sumber utama
yang digunakan adalah buku Manusia Satu-Dimensi. Penulis mengkaji data-data
tekstual dari sumber utama dan memberi analisis atasnya. Herbert Marcuse
memberikan suatu perspektif filosofis yang luas terhadap bentuk-bentuk
penindasan baru pada masyarakat kapitalis. Bentuk-bentuk penindasan baru ini
menjadi pijakan teoretis untuk berbicara tentang unsur penindasan yang ada dalam
sistem kapitalisme.
Selain sumber utama, sumber data tambahan dalam penelitian ini diperoleh
dari kajian-kajian terdahulu dan artikel-artikel yang berbicara tentang isu
kapitalisme. Penulis juga memperkaya analisis tentang konsep filosofis Manusia
Satu-Dimensi melalui buku-buku dan artikel yang menyediakan kajian
komprehensif atasnya. Karya-karya Marcuse juga dijadikan titik tolak yang
mendalam untuk berbicara tentang latar belakang, gagasan dan implikasi kritik
Marcuse.
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa menurut perspektif
filosofis Manusia Satu-Dimensi Herbert Marcuse, kapitalisme telah mematikan
dimensi kritis manusia. Kemajuan dalam bidang industri kapitalis berdampak pada
matinya kritisisme. Matinya dimensi kritis melahirkan manusia berdimensi satu
yang bertendensi menerima realitas apa adanya. Manusia berdimensi satu tidak
mampu memberikan wacana kritis untuk membongkar kebusukan dan manipulasi
yang tersembunyi dalam sistem kapitalisme. Ia berhasrat dan bercita-cita untuk
meningkatkan performa industri kapitalis. Namun, hasrat dan cita-cita tersebut
bukan merupakan hasil dari pertimbangan individu, melainkan hasil dari
pertimbangan rasionalitas teknologis kapitalisme. Dengan demikian, seluruh
aktivitas, pikiran, gaya hidup, cita-cita, kreativitas dan kritisisme tunduk pada
imperatif sistem kapitalisme.

Kata kunci: kapitalisme, kritisisme, rasionalitas teknologis, Manusia Satu-


Dimensi, Teori Kritis.

viii
ABSTRACT

Geovanny Calvin De Flores Pala. Capitalism and the Death of Criticism:


Philosophical Perspectives of One-Dimensional Man According to Herbert
Marcuse. Degree Program, Catholic Theology – Philosophy Study Program,
Catholic Institute of Philosophy – Ledalero, 2020.
This study aims to put forward the philosophical perspective of One-
Dimensional Man Herbert Marcuse as a critique of capitalism. Criticism contained
in One-Dimensional Man provides a dialectical starting point for dissecting the
issue of capitalism and its impact on humans. The relationship between the power
of capitalism and its influence on humans is the main theme that is analysed
throughout this thesis.
This study uses a descriptive-critical analysis method. The main source
used is the book One-Dimensional Man. The author examines textual data from the
main source and gives an analysis of it. Herbert Marcuse provides a broad
philosophical perspective on new forms of oppression in capitalist society. These
new forms of oppression provide a theoretical basis for talking about the elements
of oppression that exist in the capitalist system.
In addition to the main sources, additional data sources in this study were
obtained from previous studies and articles that talked about the issue of
capitalism. The author also enriches the analysis of the philosophical concepts of
the One-Dimensional Man through books and articles that provide a
comprehensive review of them. Marcuse's works are also used as a deep starting
point to talk about the background, ideas and implications of Marcuse's criticism.
Based on the results of the study, it was concluded that according to the
philosophical perspective of One-Dimensional Man Herbert Marcuse, capitalism
had killed the critical dimension of humans. Progress in the field of capitalist
industry resulted in the death of criticism. The death of the critical dimension gave
birth to a one-dimensional human being with the tendency to accept reality as it is.
Human dimension one is not able to provide critical discourse to expose the decay
and manipulation hidden in the capitalism system. He desires and aspires to
improve the performance of the capitalist industry. However, these desires and
ideals are not the result of individual considerations, but the results of
consideration of technological rationality of capitalism. Thus, all activities,
thoughts, lifestyles, ideals, creativity and criticism are subject to the imperative
system of capitalism.

Keywords: capitalism, criticism, technological rationality, One-Dimensional


Man, Critical Theory.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


HALAMAN PENERIMAAN JUDUL ............................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAAN SKRIPSI ......................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................ v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Penulisan ............................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 8
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................ 8
1.4 Metode Penulisan ........................................................................................... 8
1.5 Sistematika Penulisan ..................................................................................... 9

BAB II KRITIK MARCUSE TERHADAP


KAPITALISME ................................................................................................. 10

2.1 Pengantar ........................................................................................................ 10


2.2 Sejarah Singkat Kapitalisme: Bentuk Pengontrolan Baru .............................. 10
2.3 Kritik Marcuse Terhadap Kapitalisme ........................................................... 13
2.3.1 Kapitalisme: Sebuah Kejahatan Ideologis ................................................... 13
2.3.2 Kapitalisme yang Imperialis ........................................................................ 19
2.3.3 Prinsip Prestasi ............................................................................................ 22
2.3.4 Manipulasi Kebutuhan ................................................................................ 24
2.3.5 Desublimasi Psikologis Kapitalisme ........................................................... 26

BAB III FILSAFAT MANUSIA SATU-DIMENSI ......................................... 30

3.1 Pengantar ........................................................................................................ 30


3.1 Konteks Historis ............................................................................................. 30
3.1.1 Sejarah Mazhab Frankfurt: Lahirnya Teori Kritis ....................................... 31
3.1.2 Manusia Satu-Dimensi: Suatu Rasionalitas Teknologis ............................. 37
3.2 Gagasan-Gagasan Manusia Satu-Dimensi ..................................................... 38
3.2.1 Rasionalitas Teknologis .............................................................................. 39
3.2.2 Mengapa Satu-Dimensi? ............................................................................. 46
3.2.3 Filsafat Berdaya Kritis ................................................................................ 58
3.2.4 Irasionalitas yang Rasional ......................................................................... 61
3.2.5 Kematian Nalar ........................................................................................... 63

x
BAB IV IMPLIKASI PRAKTIS KRITIK
MANUSIA SATU-DIMENSI ............................................................................ 65

4.1 Pengantar ........................................................................................................ 65


4.2 Logika Manipulasi Ekonomi dalam Industri Budaya Modern ....................... 65
4.2.1 Otomatisasi Industri dan Perbudakan Struktural ......................................... 70
4.3 Bahasa Satu Dimensi ...................................................................................... 74
4.4 Politik Global dan Pengekangan Struktural ................................................... 78
4.5 Kapitalisme yang Positivistik dan Kematian Semesta Nilai .......................... 87

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 93

5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 93


5.2 Usul Saran ...................................................................................................... 95

BIBLIOGRAFI ....................................................................................................... 97

xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Kapitalisme dewasa ini telah menciptakan sejumlah kemajuan dalam


bidang ekonomi. Namun, tidak menutup kemungkinan, banyak orang melihat
kapitalisme sebagai penyebab berbagai kemunduran. Dalam bidang ekonomi,
kapitalisme telah turut meningkatkan produktivitas dan kemajuan teknologi.
Namun kapitalisme juga telah memunculkan permasalahan baru seperti
kemiskinan struktural dan isu kerusakan ekologi, dan ini dianggap secara negatif
sebagai kekuatan penindasan baru.1 Penindasan ini tidak hanya terjadi dalam
bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang politik, bahasa, ilmu pengetahuan
dan kebudayaan. Dengan demikian, kapitalisme turut menindas kemanusiaan itu
sendiri.
Di sini, penulis merasa bahwa dampak kapitalisme terhadap kemanusiaan
ini menjadi suatu permasalahan yang serius yang perlu direfleksikan. Dalam karya
ilmiah ini, penulis mengangkat pandangan kritik Herbert Marcuse terhadap
kapitalisme dalam terang Manusia Satu-Dimensi.2 Apa arti Manusia Satu-Dimensi
menurut Herbert Marcuse? Manusia Satu-Dimensi adalah manusia yang
kehilangan kreativitas untuk memikirkan alternatif-alternatif kritis dan rasional
atas realitas. Marcuse melihat hal ini, kehilangan kreativitas zaman dalam
kapitalisme, sebagai ketimpangan zaman yang dianggap “rasional.” Lebih lanjut,ia
melihat rasionalitas jenis ini sebagai rasionalitas yang “...menyenangkan, lembut,
masuk akal dan demokratis.”3 Hal ini menciptakan euforia, kegembiraan, kepuasan

1
Bdk. Dr. Alexander Jebadu, Drakula Abad 21: Membongkar Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar
Bebas Tanpa Kendali Sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba dan Ancamannya Terhadap
Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere: Penerbit Ledalero, 2020), hlm. 27.
2
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, penerj. Silvester G. Sukur dan Yusup Priyasudiarja
(Yogyakarta: Narasi, 2016), hlm. 1.
3
Ibid.
yang sebenarnya tidak bahagia.4 Manusia menerima apa adanya sesuai dengan
tawaran kapitalisme dan tidak lagi mengganggapnya sebagai anomali yang perlu
diubah. Masyarakat modern justru menjadi kontributor aktif yang mempertahankan
semua ketimpangan tersebut dan ini menjadi ciri masyarakat modern.
Penulis melihat, kritik Marcuse terhadap kapitalisme yang telah mereduksi
esensi manusia ke dalam satu dimensi, mematikan daya kritis manusia.
Menurutnya, kapitalisme telah melahirkan bentuk kontrol sosial baru di mana
“kemerdekaan berpikir, otonomi, dan hak untuk mengadakan oposisi politik
sedang dicabut dari fungsi kritis.” Dalam kapitalisme, usaha untuk
memperjuangkan kemerdekaan berpikir, otonomi dan hak oposisi publik dianggap
sebagaiusaha yang “neurotis, impoten, bahkan irasional.”5
Dalam penelitiannya, Marcuse mengemukakan empat aspek ketimpangan
dari kapitalisme yang mempertegas pengertian Manusia Satu-Dimensi. Keempat
aspek itu adalahekonomi, politik, bahasa dan positivisme. Mari kita lihat secara
singkat aspek-aspek tersebut.
Pertama, aspek ekonomi. Dalam aspek ekonomi, Marcuse melihat
kapitalisme sebagai perwujudan bentuk kekuatan ekonomi yang menindas.
Penindasan ini berjalan sesuai sistem logika ekonomi yang hanya memprioritaskan
kepentingan ekonomi. Kontrol sosial diterapkan melalui proses-proses produksi,
distribusi dan konsumsi. Hal ini dimungkinkan oleh kekuatan teknologi yang
berjalan sesuai “rasionalitas objektif.”6 Efisiensi teknis, otomatisasi, manajemen
produksi dan profit menjadi pertimbangan utama dalam masyarakat teknologis,
dan hal ini dianggap telah menekan kebebasan berpikir secara kritis.
Lebih lanjut, Marcuse melihat misi kapitalisme bertujuan untuk memenuhi
kepuasan individu melalui serangkaian manipulasi kesadaran. Individu digiring
untuk membutuhkan sesuatu yang ia tidak butuhkan dan menginginkan sesuatu
yang tidak ia inginkan. Kapitalisme ingin menguasai kebebasan seseorang,
mengatur keputusan-keputusan dan pertimbangan kritis setiap individu.Individu
tidak mampu menciptakan jarak untuk melihat situasi dunianya secara kritis. Ia

4
Ibid., hlm. 8.
5
Ibid., hlm. 15.
6
Ibid., hlm. 51.

2
terjerat dalam prinsip pasar di mana yang paling berguna adalah penyesuaian diri
dengan sistem yang ada. Selain itu, Marcuse melihat kapitalisme telah
memanipulasi proses-proses produksi industri di mana kelas pekerja dilihat sebagai
agen yang merawat sistem kapitalisme itu. Dalam hal ini, secara ekonomis,
manusia telah direduksi ke dalam satu-dimensi sistem ekonomi kapitalis. Nalar
kritisnya diabaikan.
Kedua, aspek politik. Marcuse melihatkekuatan politik di era modern
muncul sebagai kekuatan yang berbasis pada penguasaan teknologi dan proses
mesin. Kemajuan teknologi dan industri telah menjadi instrumen “rasional” untuk
menata masyarakat secara politis. Dengan perangkat teknologi yang maju, formasi
politik menjadi sedemikian teradministrasi secara total. Hal ini tercermin melalui
fenomena “penyatuan dan pemusatan”7 berbagai kebijakan politik nasional dengan
kepentingan bisnis atau korporasi. Partai-partai politik yang seharusnya menjadi
corong aspirasi masyarakat tidak lagi bisa dibedakan dari instrumen kepentingan
kapitalis. Dengan perkataan lain, masyarakat yang diwakilinya dimanipulasi hanya
untuk kepentingan kapitalisme.
Menurut Marcuse, kapitalisme memanfaatkan kekuatan negara lewat
keunggulan teknologi untuk menciptakan sensasi “kepuasan” dalam diri setiap
rakyat. Hal ini terlihat dari masifnya tingkat produktivitas barang dan jasa yang
secara psikologis memuaskan kebutuhan konsumsi masyarakat. Produktivitas yang
tinggi menempatkan manusia pada ilusi kesejahteraan karena berbagai
kebutuhannya terpenuhi berkat sistem kapitalisme. Kepuasan ini menciptakan
sebuah ketergantungan terhadap tatanan “masyarakat teknologis.”8
Dalam masyarakat teknologis, kesadaran para buruh industri secara
psikologis dimanipulasi. Melalui kecanggihan teknologi, yaitu industri-industri
“otomatis,”9 kesadaran para pekerja diperkerdil. Spontanitas, kreativitas, nalar
kritis yang seharusnya dibutuhkan dalam setiap proses kerja, kini digantikan
dengan “irama-irama membius”10 dari mesin. Dalam melakukan pekerjaannya,

7
Ibid., hlm. 30.
8
Ibid., hlm. 39.
9
Ibid.
10
Ibid., hlm. 41.

3
para pekerja dijadikan “atom-atom manusia”11 yang disatukan dalam irama ritmis
dari mesin dan kehilangan kekuatan politis untuk melawan penindasan yang
tersistematis. Mereka tidak menyadari bahwa sistem mesin yang otomatis telah
memperkerdil kreativitas dan kebebasan.
Menurut Marcuse, manusia telah mengalami kehilangan kekuatan ‘politik’-
nya atas realitas. Sikap kritis dalam politik yang seharusnya menjadi karakter
manusia yang rasional telah diperlemah. Diskursus dan kritik yang menjadi
karakter ruang politik menjadi kehilangan kekuatannya. Manusia tidak bisa lagi
menjaga jarak dengan realitas yang dihidupinya sebab ia tidak merasa perlu untuk
merubah tatanan hidupnya yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan konsumtifnya.
Hal ini menggiringmanusia sebagai individu yang berdimensi satu.
Matinya dimensi oposisi politik masyarakat juga diperkuat oleh sikap
politik yang kompromistik antara pemerintah dan pihak kapitalis. Sikap ini
bertujuan untuk menjaga kepentingan para kapitalis dan melanggengkan hegemoni
kekuasaan politik dari rezim yang berkuasa. Kebijakan politik yang berpihak pada
kapitalis pada gilirannya menopang struktur kekuasaan rezim pemerintahan.
Kepentingan masyarakat kecil dikorbankan.Hal ini menyebabkan munculnya
problem korupsi, nepotisme, kebal-hukumdan pelanggaran Hak Asasi
Manusia.12Dalam skala internasional, kaum kapitalis dan lembaga-lembaga
keuangan internasional memiliki pengaruh kekuasaan (bargaining power) untuk
memengaruhi kebijakan politik. Hal seperti ini meminimalisasi potensi kritis
masyarakat dan membungkam seruan oposisi. Pihak-pihak yang tidak
mempunyaikekuasaan harus tunduk pada keputusan-keputusan otoritas politik dan
oligarki.
Ketiga, aspek bahasa satu dimensi. Menurut Marcuse, bahasa di zaman
modern sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga memiliki makna yang
tunggal.Ketunggalan makna itu terletak pada perlawanan terhadap gagasan-
gagasan kritis.“Agen-agen publisitas”13 diciptakan berdasarkan satu struktur
bahasa yang bertujuan untuk mempromosikan satu realitas yang seolah-olah nyata

11
Ibid.
12
Alexander Jebadu, Bahtera Terancam Karam (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 286.
13
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 132.

4
dan rasional.Agen-agen publisitas itu mendukung sistem kapitalisme sebagai
“sistem yang bekerja sesuai yang diharapkan” dan oleh karena itu dianggap
rasional.14Bahasa kapitalis adalah bahasa yang monologal. Bahasa itu tidak
memberi ruang bagi pemaknaan yang bersifat kritis. Sebaliknya, ia menawarkan
“unifikasi dari oposisi-oposisi.”15
Menurut Marcuse, bahasa monologal atau bahasa satu-dimensi mereduksi
konsep atau wacana ke dalam dimensi kegunaanya. Fungsi bahasa seperti ini
dijadikan sebagai instrumen efektif demi kepentingan kapitalisme. Bahasa-bahasa
iklan, media sosial, berita, dan poster misalnya, merupakan instrumen artifisial
untuk mempromosikan hegemoni kaum kapitalis.Bahasa monologal itu berisi
“konstruksi-konstruksi yang memaksakan”16 dan masyarakat dipaksakan untuk
menerima tawaran itu. Dalam bahasa monologal itu, berbagai kontradiksi disatu-
padukan, misalnya konsep “maskulinitas” dikaitkan dengan produk rokok, konsep
“kebenaran” dihubungkan dengan salah satu institusi media pemberitaan,
“kemudahan” dihubungkan dengan bisnis transportasi online, “kebaikan” dikaitkan
dengan merk biskuit, dan “keindahan” dengan bisnis perhotelan. Dalam dunia
iklan, kontradiksi wacana tidak terlalu diperhatikan sejauh aspek fungsionalnya
mendukung kepentingan kapitalisme.Melalui daya iklan yanghipnotik, bahasa
iklan secara setia merepetisi gambaran-gambaran yang ideal dari produk kapitalis
industri.Citra yang terus menerus ditampilkan ini mereproduksi masyarakat yang
cenderung menerima kebohongan sebagai kebenaran permanen.17Sebagai
dampaknya, setiap individu hidup dalam wacana simulasi yang diartikan sebagai
“ruang pengetahuan yang dikonstruksikan oleh iklan televisi, di mana manusia
mendiami suatu ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi,
atau yang benar dengan yang palsu, menjadi sangat tipis.”18
Keempat, aspek ilmu pengetahuan empiris atau positivisme. Aliran ilmu
pengetahuan empris menekankan aspek realitas dan mengabaikan semesta nilai.

14
Ibid., hlm. 131.
15
Ibid., hlm. 140.
16
Ibid., hlm. 141.
17
Ibid., hlm. 138.
18
Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media
Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 120-122.

5
Nilai-nilai seperti kebebasan, kesejahteraan, kebaikan dan keadilan tidak mendapat
tempat dalam kalkulasi ilmu pengetahuan empiris. Kaum kapitalis melihat
pemikiran metafisik atau yang abstrak sebagai “spekulasi semata-mata, mimpi-
mimpi atau fantasi-fantasi.”19Namun, pemikiran yang abstrak dan metafisik dapat
menciptakan narasi-narasi kritis.Ilmu-ilmu empiris hanya melegitimasi aspek
kuantitas material yang dapat diukur dan dikalkulasi secara pasti. Kapitalisme yang
dibarengi dengan progesivitas teknologi sangat menjunjung tinggi sistem
pengetahuan ini.Kepentingan ekonomi, produktivitas, efisiensi, distribusi produk,
adalah unsur-unsur yang dijunjung tinggi oleh ilmu-ilmu empiris, dan Marcuse
melihat hal ini sebagai hal yang menghalangi nalar untuk berpikir kritis.20
Bertolak dari empataspek di atas, Marcuse menyadari bahwa daya kritis
masyarakat telah diperlemah oleh kapitalisme. Kekuatan ekonomi, politik, bahasa
dan ilmu-ilmu empiris yang terintegrasi dengan kepentingan kapitalisme telah
menindas daya kritis masyarakat. Marcuse melihat hal ini sebagai dampak dari
kekuatan rasionalitas teknologis dari kapitalisme. Rasionalitas teknologis ini
bersifat totalistis. Menurut Marcuse totalitas rasionalitas ini “bukanlah sekedar
kordinasi politik teroristis dari suatu masyarakat, namun juga merupakan
koordinasi politis nonteroristis yang bekerja melalui manipulasi kebutuhan-
kebutuhan akibat adanya vested interest. Oleh karena itu, hal ini bisa mencegah
munculnya suatu oposisi yang efektif terhadap keseluruhannya.”21
Perkembangan teknologi di bawah kontrol kapitalisme telah
mengindoktrinasi setiap individu untuk terus menyesuaikan diri dengan situasi
zaman. Barangsiapa yang tidak menjadi bagian dari perkembangan teknologi dan
sistem kapitalisme akan teralienasi. Mereka tidak mempunyai ruang yang leluasa.
Marcuse adalah generasi pertama dari mazhab Teori Kritis.22Ia turut
berperan dalam menyumbangkan kritik ideologi. Kritik ideologi adalah kritik dari
para filsuf Mazhab Frankfurt yang bertujuan untuk mengubah wajah sosial

19
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 261.
20
Ibid., hlm. 262.
21
Ibid., hlm. 4.
22
Marcuse, Horkheimer dan Adorno dikenal sebagai generasi pertama Teori Kritis Mazhab
Frankfurt. Mereka mencetuskan ide dasar dari Teori Kritis yang bertujuan untuk menciptakan
perubahan konkret dalam realitas sejarah. Bdk. Franz Magnis-Suseno, Dari Mao ke Marcuse:
Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 204

6
masyarakat pada masa itu. Kritik itu bertujuan untuk,pertama, menemukan
pertimbangan-pertimbangan transendental atas prinsip-prinsip yang beroperasi di
balik neoliberalisme. Gagasan-gagasan yang melatarbelakangi eksistensi
penindasan manusia dibedah secara kritis. Kedua, menyajikan pemikiran kritis
imanen. Kritik yang dihasilkan tidak hanya berkutat pada konsep-konsep teoretis.
Ia menemukan sebab-sebab sosio-historis yang membelenggu manusia.23Sebab-
sebab ini sepenuhnya diarahkan demi kepentingan proyek emansipasi (interest
inemancipation)24 untuk menciptakan perubahan sosial.
Teori Kritis pada dasarnya “menggarap realitas sosial sebagai fakta
sosiologis, untuk menemukan kondisi yang transendental yang melampaui data
empiris.”25Ia bukan sekedar seruan deskriptif yang menderetkan fakta, melainkan
serentak memiliki daya untuk mengubahnya menjadi lebih baik atau bahkan
sebaliknya. Konsep Manusia Satu-Dimensi menurut Marcuse sudah mewanti-wanti
kematian daya kritis ini. Hal ini dibaca oleh Marcuse dalam terang teori kritis
untuk “menghilangkan berbagai bentuk dominasi yang hanya membelenggu diri
dan akan mendorong lahirnya kebebasan, keadilan dan persamaan.”26
Manusia dilihat sebagai makhluk yang multi-dimensional. Selain
mengabsorpsi kemajuan dan kebutuhan peradaban, ia juga secara dasariah
mengembangkan distansi yang diperlukan untuk mengoreksi ambiguitas suatu
kemajuan (manusia dua dimensi). Dimensi kedua inilah yang dirasa kurang
dominan di era ekonomi liberal. Lenyapnya daya antagonis ini menjadikan
manusia dan masyarakat secara umum sebagai generasi yang konsumtif terhadap
realitas ketidakadilan dan neokolonialisme. Pertimbangan moral dan kritik etis
dilihat sebagai aspek yang tidak ilmiah dan oleh karena itu, kehilangan isi konkret
dan kritisnya ke dalam “atmosfer etis atau metafisis” belaka.27
Bertolak dari latar belakang di atas, fenomena kapitalisme dan patologi
Manusia Satu-Dimensi menggugah rasa ingin tahu penulis. Penulis ingin

23
Maghfur M. Ramin, Teori Kritis Filsafat Lintas Mazhab (Yogyakarta: Penerbit Sociality, 2017),
hlm. 22-23.
24
Rainer Forst, Normativity and Power: Analyzing Social Orders of Justification (Oxford: Oxford
University Press, 2017), hlm. 1.
25
Maghfur M. Ramin, loc. cit.
26
Ibid., hlm. 16-17.
27
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 223.

7
menyelami pandangan Marcuse dan kritiknya terhadap kapitalisme secara khusus.
Bertolak dari penjelasan di atas, penulis mengembangkan karya ilmiah ini di
bawah judul “KAPITALISME DAN MATINYA KRITISISME:
PERSPEKTIF FILOSOFIS MANUSIA SATU-DIMENSI MENURUT
HERBERT MARCUSE.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, persoalan utama bagi penulis adalah


bagaimana menganalisis secara kritis perspektif filosofis Manusia Satu-Dimensi
Herbert Marcuse dan apa kritiknya terhadap kapitalisme?Persoalan ini akan
diuraikan dalam beberapa subbab berikut. Pertama, apa kritik Marcuse terhadap
kapitalisme? Persoalan ini akan dijawab dalam bab II karya ilmiah ini. Kedua,
bagaimana memahami konsep Manusia Satu-Dimensi menurut Herbert Marcuse?
Pertanyaan ini akan dibahas pada bab III. Ketiga, apa implikasi kritik Marcuse
terhadap kapitalisme dalam konsepnya tentang Manusia Satu-Dimensi? Persoalan
ini akan dibahas pada bab IV.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk, pertama, memperluas wawasan berpikir


penulis tentang kritik terhadap kapitalisme menurut perspektif Herbert Marcuse.
Rasionalitas teknologis dan kapitalisme mereduksi manusia menjadi berdimensi
satu. Manusia kehilangan daya kritisnya terhadap konteks zaman. Sistem ekonomi
liberal membuka jalan mulus bagi dinamika despotis korporasi transnasional
melalui produktivitas, efisiensi dan distribusi kekayaan untuk mengeksploitasi
mayarakat luas. Kapitalisme menciptakan kepuasan imajiner yang memuaskan
gairah konsumtif manusia dan mengatur kebebasan hakikinya. Dengan cara inilah
ia mempertahankan keberadaannya.
Kedua, memperkenalkan secara sepintas kontribusi pemikiran Herbert
Marcuse sebagai titik tolak dialektis membedah kapitalisme. Penulis meggunakan
sudut pandang konsep Manusia Satu Dimensi untuk mengurai dampak kapitalisme
terhadap lenyapnya daya kritis manusia modern. Konsep ini sangat progresif dalam

8
menelurkan wacana tentang irasionalitas zaman dan tendensi melemahnya rasio
untuk menegasikan status quokapitalisme. Narasi-narasi tersebut sangat relevan
dengan kebutuhan zaman sekarang. Dengan demikian, aspek kritik terhadap
bercokolnya kapitalisme menjadi episentrum perhatian guna mengubah cara
pandang kacamata masyarakat di tengah belenggu neoliberalisme.
Ketiga, mempertajam dan mengaktualisasikan kemampuan penulis dalam
menganalisa permasalahan sosial dan menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Keempat, karya ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat demi
mencapai gelar akademis Strata 1 (S1) pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
Ledalero.

1.4 Metode Penulisan

Karya ilmiah ini menggunakan metode analisa deskriptif-kritis. Sumber


utama yang digunakan oleh penulis adalah buku “Manusia Satu-Dimensi” karya
filsuf Herbert Marcuse. Selain buku utama tersebut, penulis juga menggunakan
karya lain untuk mendukung dan menganalisa kritik Marcuse atas kapitalisme.
Dalam hubungan dengan tema tentang kapitalisme, penulis menggunakan sumber
utama buku “Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata
Eksploitasi Kapitalistik” karya Dede Mulyanto. Kajian tentang tema kapitalisme
yang luas akan dibahas pada bab II dengan pembatasan pada perspektif Marcuse.
Dalam hubungan dengan tema tentang gagasan Herbert Marcuse sebagai generasi
pertama Mazhab Frankfurt, penulis menggunakan sumber utama dari buku Dari
Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin karya Franz Magnis
Suseno dan The Frankfurt School: The Critical Theories of Max Horkheimer and
Theodor W. Adornokarya Zoltan Tar.28Untuk memperkuat validitas pokok pikiran
ini, penulis juga mengumpulkan sumber-sumber sekunder sesuai topik yang
disoroti berupa buku-bukudan artikel dalam media daring.

28
Zoltan Tar, The Frankfurt School: The Critical Theories of Max Horkheimer and Theodor W.
Adorno (New York: Shocken Books, 1985).

9
1.5 Sistematika Penulisan

Karya ilmiah ini dikerjakan dalam lima bab utama. Bab Pendahuluan
berisikan kajian latar belakang penulisan, tujuan penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan.

Bab kedua berbicara tentang kapitalisme, sejarah kemunculan dan


perkembangannya dewasa ini, dampak regional maupun global yang dihasilkan,
kritik atasnya, serta imbas terhadap esensi manusia.

Bab ketiga membahas latar belakang pemikiran kritis Herbert Marcuse,


sejarah kemunculan Teori Kritis dan Mazhab Frankfurt, pemikiran filsafat
Manusia Satu-Dimensi.

Bab keempat menganalisa tentang tinjaun komprehensif tentang kontribusi


kritik Marcuse dalam membedah isu kapitalisme dan pengaruhnya terhadap
refleksi kemanusiaan modern.

Bab kelima berbicara tentangkesimpulan-kesimpulan umum atas kritik


filosofis Manusia Satu-Dimensi Herbert Marcuse terhadap kapitalisme. Bab ini
mempertegas gagasan dasar Marcuse tentang manusia dua dimensi.

10
BAB II

KRITIK MARCUSE TERHADAP KAPITALISME

2.1Pengantar

Di dalam bab II ini penulis membahas secara khusus kritik Herbert


Marcuse terhadap kapitalisme. Namun, karena kapitalisme di dalam sejarah adalah
tema yang luas dan banyak dikaji, misalnya dari sisi ekonomi, sosial, antropologi,
sejarah dan filsafat, maka dalam karya ilmiah ini penulis lebih membatasi kajian
kapitalisme dari perspektif filosofis Herbert Marcuse.
Sebelum berbicara tentang kritik Marcuse terhadap kapitalisme, alangkah
baik penulis akan terlebih dahulu menyajikan sejarah singkat kapitalisme.

2.2 Sejarah Singkat Kapitalisme: Bentuk Pengontrolan Baru

Sejarah singkat kapitalisme muncul pada awal abad ke-18 M. Pada abad
itu, ada tiga pengaruh utama yang menonjol di seluruh Eropa. Pengaruh itu adalah
pengaruh kaum raja, pengaruh kelas feodal (borjuis) dan pengaruh gereja.Ketiga
pengaruh itu dalam kehidupan sosial sering saling bertentangan.Misalnya, sebagai
konsekuensi logis dari pertentangan antara kelas feodal dan gereja, ideologi
liberalisme ekonomi muncul. Dalam ideologi tersebut, kelas feodal mendapatkan
kebebasan untuk memiliki (privatisasi) dan mengolah sarana-sarana produksi demi
akumulasi keuntungan. Mereka ini menjadi tuan tanah (lord), sedangkan mereka
yang tidak memiliki sarana produksi disebut buruh atau kelas petani
(peasant).29Pada zaman modern peran tuan tanah berubah menjadi kaum kapitalis
yang mempekerjakan dan mengeksploitasi kelas buruh. Kaum kapitalis memiliki
segala akses menuju kesejahteraan ekonomi, sementara kaum buruh hanya
mengandalkan jasa mereka untuk sekedar bertahan hidup. Relasi pertentangan ini

29
Geoffrey R. Skoll, Social Theory of Fear: Terror, Torture and Death in a Post-Capitalist World
(New York: Palgrave Macmillan, 2010), hlm. 32.
semakin kompleks melalui perkembangan teknologi terhadap proses produksi
industri. Penguasaan terhadap sarana teknologi meningkatkan dominasi
totalitariankapitalisterhadap masyarakat.30 Penguasaan inipada zaman kontemporer
dilihat sebagai esensi dasar dari rasionalitas (reason) kapitalisme.31
Sistem kapitalisme semakin berkembang dari masa ke masa melalui
kemajuan teknologi dalam proses produksi industri. Misalnya, Dudley, dalam
Kapitalisme Dulu dan Sekarang, membagi tiga tahap kapitalisme berdasarkan
perkembangan teknologi industri:kapitalisme awal (1500-1750), kapitalisme klasik
(1750-1914) dan kapitalisme maju (pasca 1914).32Pada periode kapitalisme awal,
“transisi agraria” mengubah usaha produksi rumah tangga menjadi pabrik-pabrik
semi-modern.33 Melalui revolusi industri (1750-1850), jangkauan dan kuantitas
produktivitas dari pabrik lokal diperluas menjadi industri dan fase ini ditandai
sebagai periode kapitalisme klasik.Pada tahap kapitalisme lanjut, kemajuan
teknologi modern telah menciptakan relasi ekonomi global dengan industri
korporasi dan institusi transnasional sebagai aktor utamanya.
Marcuse sangat kritis terhadap ekses perkembangan kekuatan teknologi
dalam masyarakat kapitalis. Menurutnya, kemajuan teknologi telah menciptakan
pergeseran besar pada individu. Rasionalitas individual (individualistic rationality)
telah bergeser menjadi rasionalitas teknologis (technological rationality)34 di mana
rasionalitas ini bekerja hanya demi kepentingan ekonomi industri. Rasionalitas ini
seolah-olah merupakan jaminan kebenaran. Rasionalitas teknologis memanipulasi
kesadaran dan kebutuhan individu sehingga ia tidak bisa berpikir dan bertindak
dengan otonomi dirinya. Ia memberikan serangkaian standar eksternal35 yang
mendorong dan memaksa individu untuk memenuhinya secara buta. Dengan segala
keuntungan dan kepuasan yang berhasil dicapai oleh teknologi industri, individu

30
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi(Yogyakarta: Narasi, 2016), hlm. 4.
31
Ibid., hlm. 15.
32
Dudley Dillard, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, penerj. M. Dawam Rahardjo (Jakarta: LP3ES,
1987), hlm. 15-18.
33
Henry Bernstein, Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria. Edisi Revisi Seri Kajian Petani dan
Perubahan Agraria, penerj. Dian Yanuardy, Muntaza dan Stephanus Aswar Herwinto (Yogyakarta:
Insist Press, 2019), hlm. 39-41.
34
Herbert Marcuse, “Some Social Implications of Modern Technology”, dalam Douglas Kellner
(ed.), Technology, War and Fascism: Collected Papers of Herbert Marcuse (New York: Routledge,
2004), hlm. 44.
35
Ibid., hlm. 45.

12
menegaskan prinsip rasional yang berlaku dan berjuang untuk terus
mengembangkannya.
Menurut Marcuse, rasionalitas teknologis yang bekerja dalam bentuk
kapitalisme modern justru membawa bentuk-bentuk pengontrolan
baru.36Rasonalitas teknologis telah memampukan sekelompok penguasa mengatur
dan mengorganisir masyarakat banyak. Para buruh dieksploitasi dengan tuntutan-
tuntutan kerja yang berbasis pada rasionalitas teknologi. Para konsumen
diprakondisikan untuk terus membeli dan mengonsumsi produk-produk terbaru
dari industri. Negara-negara kreditur mencampuri semakin banyak kebijakan
politik negara-negara pengutang atas dasar investasi dan modal. Lembaga-lembaga
pendidikan dibentuk hanya untuk mencetak lulusan-lulusan terbaik yang dapat
memenuhi tuntutan efisiensi bisnis industri.
Dewasa ini, bentuk-bentuk pengontrolan baru rasionalitas teknologis
seperti yang dibicarakan oleh Marcuse telah berkembang jauh ke dalam institusi-
institusi. Bentuk-bentuk pengontrolan itu hadir dalam institusi politik, ekonomi,
budaya dan teknologi industri. Menurutnya, teknologi industri kapitalisme telah
menciptakan sebuah mitos (superstition), irasionalitas (irrationality) dan dominasi
baru (domination) yang mengungkung rasionalitas kritis individu.37 Atas dasar
pemikiran ini, ia meletakkan sketsa pertama untuk gagasan kritisnya atas
kapitalisme modern. Pada tahun 1940, Marcuse dikenal sebagai salah satu teoretisi
kritis pertama yang menyajikan kritik sistematis atas masyarakat kapitalis.
Gagasan ini juga kemudian menjadi bangunan dasar bagi Teori Kritis.
Kritik Marcuse terhadap bentuk kontrol sosial industri kapitalisme tidak
terlepas dari konteks sejarah yang ia alami. Semua anasir gagasan kritisnya lahir
saat ia pindah ke Amerika Serikat dan bekerja di sana. Dalam konteks Amerika
yang sangat kapitalis, Marcuse mengkaji perwujudan baru dari kontrol total
rasionalitas teknologis atas rasionalitas manusia. Ia melihat teknologi modern
sebagai instrumen kekuasaan ketimbang sebuah instrumen pembebasan manusia.

36
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi (Yogyakarta: Narasi, 2016), hlm. 1.
37
Douglas Kellner (ed.), Technology, War and Fascism: Collected Papers of Herbert Marcuse
(New York: Routledge, 2004), hlm. 5.

13
Kekuatan dari instrumen kekuasaan tersebut dijalankan melalui institusi-institusi
industri kapitalisme.

2.3 Kritik Marcuse Terhadap Kapitalisme

Dari penjelasan terdahulu, kita melihat bahwa Marcuse sesungguhnya


adalah seorang filsuf kritis yang banyak mengeritik kapitalisme modern. Karya-
karyanya38 merupakan kajian kritis terhadap rasionalitas teknologis yang mewarnai
kinerja kapitalisme industri. Rasionalitas tersebut merasuk ke dalam kesadaran dan
sikap hidup individu dalam masyarakat industri. Kekuatan kontrol sosialnya
memaksa secara halus otonomi dan nalar kritis individu agar turut
mempertahankan sistem destruktif yang sedang berlangsung.
Berikut ini akan disajikan beberapa kritik fundamental Marcuse atas
kapitalisme. Kritik-kritik Marcuse atas kapitalisme turut menopang gagasan
filosofisnya tentang Manusia Satu-Dimensi.

2.3.1 Kapitalisme: Sebuah Kejahatan Ideologis

Kapitalisme berevolusi sebagai sebuah kekuatan yang menguasai seluruh


aspek kehidupan masyarakat kontemporer. Layaknya sebuah ideologi besar, sistem
ini menjadi prinsip hidup masyarakat modern. Ia mengorganisasikan seluruh
dinamika sosial hingga personal setiap individu. Perkembangan globalisasi
meningkatkan kekuatan cengkeramannya melalui sistem teknologi dan informasi.
Perkembangan tersebut merambah ke ranah ekonomi, ranah politik, ranah sosial
dan sampai ke ranah kebudayaan dari peradaban manusia. Relasi kapitalisme
dengan aspek-asek tersebut diatur berdasarkan stratifikasi kekuatan-kekuatan
ekonomi suatu negara-bangsa atau korporat bermodal raksasa. Inilah bentuk
masyarakat yang sedang bermetamorfosis menuju perubahan peradaban.39

38
Selain Manusia Satu Dimensi, Herbert Marcuse telah menerbitkan beberapa karya tulis. Beberapa
bukunya yang terkenal antara lain, The German Artist Novel (1922), Hegel’s Ontology and
Heideggerian Marxism (1932), Reason and Revolution (1941), Eros and Civilization (1955), Soviet
Marxism (1958), dan Counterrevolution and Revolt (1972).
39
Yves Brunsvick dan Andre Danzin, Lahirnya Sebuah Peradaban; Goncangan Globalisasi
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), hlm. 15.

14
Dalam bidang politik-ekonomi misalnya, berkat ideologi kapitalisme,
pemerintah-pemerintah negara-bangsa tidak lagi punya otonomi yang kuat untuk
mengatur aktivitas ekonominya. Hal ini secara konkret terlihat dari penyesuaian
kebijakan-kebijakan nasional dan domestik terhadap kebijakan luar negeri yang
dipengaruhioleh kepentingan kapitalisme global.40Kepentingan kapitalisme,
melalui lembaga-lembaga finansial global (International Monetary Fund, World
Trade Organization, Trans-National Corporation) mengatur seluruh mekanisme
kebijakan ekonomi suatu negara.41 Hal ini terlihat jelas melalui berbagai kebijakan
neoliberalisme yang terintegrasi dalam peraturan pemerintah yakni pemotongan
subsidi bagi rakyat miskin, privatisasi perusahaan-perusahaan negara, perguruan
tinggi, lembaga pendidikan hingga pelayanan kesehatan publik.42
Selanjutnya, di bidang kebudayaan, industri budaya massa berlomba-lomba
menawarkan hiburan dan memanfaatkan arus informasi untuk menekan tingkat
ketidakpuasan dan mengaburkan gambaran kebusukan zaman. Lain halnya di
bidang sosial, relasi individu diukur berdasarkan hubungan produksi semata.
Aspek kemanusiaan diganti dengan pertimbangan material tentang ‘siapa
bermanfaat bagi siapa’. Semua manifestasi ini adalah bentuk “lengsernya ideologi”
tradisional menuju sebuah ideologi neoliberal baru yang tidak kalah
destruktifnya.43
Dengan kata lain, kapitalisme merupakan sebuah ideologi baru yang
merajai peradaban dunia dewasa ini. Sebagai sebuah ideologi, ia meresap dalam
dinamika kehidupan masyarakat dan tercermin melalui pola-pola relasi ekonomi,
politik, sosial hingga budaya. Ia menjadi spirit yang mewarnai dan memengaruhi
gestikulasi kehidupan manusia, baik secara personal maupun kolektif.
Satu aspek penting yang terkikis oleh ledakan sistem kapitalisme adalah
otonomi politik nasional suatu negara-bangsa. Pemerintah ditindas dengan

40
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 30.
41
World Bank dan International Monetary Fund—selanjutnya disingkat sebagai IMF—adalah
lembaga keuangan internasional. World Trade Organization—selanjutnya disingkat WTO--
merupakan lembaga yang meregulasi dan mengatur perdagangan dunia. Sedangkan Trans-National
Corporation(s) adalah korporasi atau perusahaan multinasional.
42
Nur Sayyid Santoso Kristeva, Kapitalisme, Negara dan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), hlm. 284-285.
43
Yves Brunsvick dan Andre Danzin, op.cit., hlm. 21.

15
kekuatan-kekuatan baru. Oligopoli44 bertumbuh subur secara masif. Korporasi-
korporasi internasional mulai membangun kekuatan monopoli bersama dengan
kelompok bermodal raksasa dan meraup sebanyak mungkin keuntungan. Nilai
lebih yang mereka dapatkan menjelma menjadi sebuah kekuasaan yang lebih
imperatif daripada pemerintahan sendiri. Bersamaan dengan kekuatan ini,
kebijakan politik bisa diarahkan sesuai kemauan mereka yang berkuasa. Tak heran
bila kemiskinan menahun di negara-negara berkembang juga disebabkan oleh
korupsi dan nepotisme antara pejabat pemerintahan dan pelaku bisnis. Sistem yang
ideologis ini sulit untuk diubah sebab didukung oleh kepentingan beberapa pihak
yang merasa diuntungkan olehnya, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Sistem
kapitalisme membantu mempertahankan hegemoni mereka atas dunia.45
Kejahatan ideologis kapitalisme tidak diwujudkan melalui agresi militer
atau invasi wilayah melainkan melalui integrasi pemikiran dan gagasan. Dalam
integrasi yang demikian, menurut Marcuse “kekuatan subversif”46 dari nalar
dimanipulasi. Sebagai contoh konkret, kapitalismememanipulasi konsep
pembangunan dan kemajuan. Bagi masyarakat kapitalis, pembangunan hanya bisa
dicapai apabila kompetisi pasar bebas tidak dibatasi oleh regulasi. Para pemilik
modal dan para pebisnis dibiarkan saling bertarung merebut keuntungan, bahkan
tanpa peduli apabila dalam kompetisi tersebut terdapat perbedaan kekuatan yang
signifikan. Sistem kompetisi demikian dapat dianalogikan seperti pembiaran
pertarungan seekor domba melawan serigala. Tentu domba akan selalu kalah dari
serigala. Yang lemah terus kalah dan yang kuat selalu menang. Konsep manipulatif
atas pembangunan ini terbukti “menelan ongkos sosial demikian besar, dengan
hasil yang sangat kecil bagi sebagian besar rakyat.”47
Ideologi kapitalisme telah mereduksi semua aspek kehidupan manusia ke
dalam konsep hubungan ekonomi yang mekanis dan teknis. Marcuse

44
Oligopoli mengacu pada sistem pasar di mana beberapa produsen memiliki konsumen yang besar.
Kekuasaan pasar didominasi oleh beberapa produsen saja. Sistem semacam ini mengurangi
kompetisi pasar dengan produsen-produsen kecil. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
“Oligopoli”, dalam KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/oligopoli, diakses pada 30
April 2020.
45
Ibid., hlm. 70.
46
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 186.
47
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), hlm. 145.

16
menerjemahkan hubungan yang demikian dengan konsep “rasionalitas teknologis.”
Rasionalitas ini menimbang suatu permasalahan dari sisi fungsionalitas dan
instrumental daripada sisi substansialnya.Masalah-masalah kebudayaan
dipecahkan berdasarkan prinsip dan pertimbangan ekonomi yang pada dasarnya
bersifat “antikebudayaan.”48 Alih-alih mencari solusi yang substantif, kekuasaan
hanya menawarkan solusi teknis menurut pendekatan ekonomis.
Kejahatan ideologis kapitalisme terus dimultiplikasi secara konsisten
melalui manipulasi kesadaran. Manipulasi ini bekerja dalam bentuk institusi atau
lembaga komunikasi dan publikasi. Manipulasi melalui media massa menjadi
sebuah faktor penting yang menyebabkan kapitalisme tetap bertahan. Hal ini bukan
sekedar karena kemampuannya untuk fleksibel terhadap tuntutan zaman,
melainkan karena adanya usaha “universalisasi ide-ide”-nya.49 Keunggulan
esensial dan kultural kapitalisme diwartakan melalui media massa dan diyakini
oleh masyarakat “subordinat” dan menjadi ideologi yang dianut bersama.
Masyarakat semakin lupa atas situasi ketertindasannya sendiri.
Gambar-gambar audio-visual di televisi misalnya, bila secara mekanis
disajikan, akan membentuk persepsi dan nalar para penontonnya sesuai tujuan
pengiklan atau korporasi. Demikianlah cara kerja iklan suatu produk yang mampu
mempersuasi pikiran penonton untuk membeli produk yang ditawarkan. Film dan
musik juga turut menjadi sarana bagi setiap orang yang ingin lari dari
penderitaannya.Mereka lebih menyukai dunia imajinatif, ruang di mana mereka
bisa merasa menjadi salah satu tokoh dalam adegan bersangkutan. Hal ini
menyebabkan mereka melupakan ketidakadilan dalam lingkungannya. Media
massa memang memiliki kekuatan tersembunyi untuk membentuk persepsi dan
pandangan anggota masyarakat.50 Tak heran, ia pun banyak dijadikan sebagai
kanal bagi penyampaian kepentingan-kepentingan politik. Cara ini menjadi
semakin relevan dan efektif seturut perubahan zaman di mana semakin banyak

48
Ibid., hlm. 146.
49
Joseph V. Femia, Marxisme dan Komunisme, dalam Ideologi Politik Kontemporer, penerj.
Eatwell dan Anthony Wright (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001), hlm. 144.
50
Roni Tabroni, Marketing Politik: Media dan Pencitraan di Era Multipartai (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2014), hlm. 67.

17
orang yang “melek informasi” menuntut kebebasan dan kebutuhan dalam
mengikuti perkembangan situasi yang terjadi di sekitarnya.
Fenomena tersebut sering disebut sebagai “industri budaya massa.”51
Melalui industri budaya massa, kejahatan kapitalisme terusdilestarikan sebagai
sebuah warisan yang ideal dan yang patut dipertahankan. Bentuk-bentuk budaya
pop, wisata, produk-produk terkini, tayangan-tayangan media mempromosikan
kenikmatan yang bisa dinikmati melalui sistem kapitalisme. Ada pun
HikmatBudiman mengartikan fenomena ini sebagai, “pelbagai produk dan praktek-
praktek kultural yang melibatkan sekumpulan besar orang tanpa organisasi sosial,
adat, tradisi, struktur peran dan status, tidak memiliki kompetensi dalam menilai
kualitas suatu produk budaya dan berselera dangkal.”52
Menurut Marcuse, jeratan ideologis kapitalisme sangat nampak dalam
organisasi para pekerja pabrik industri. Mereka diprakondisikan oleh ideologi
kepentingan industri untuk bekerja di bawah arahan mesin dan manajemen pabrik.
Dalambeberapa pabrik besar, setiap buruh atau pekerja menjalankan serangkaian
tugas mekanis dan teknis khusus. Untuk menghasilkan sebuah produk tertentu,
setiap pekerja dibagi dalam beberapa divisi kerja. Setiap divisi ini memiliki
spesialisasi kerjanya sendiri. Pada sebuah pabrik baju misalnya, terdapat divisi
pemintal kain, penjahit, pelabelan, hingga pengepakan barang jadi ke dalam paket.
Masing-masing menjalankan tugasnya secara terpola guna mencapai maksimalisasi
laba dan efisiensi produksi.
“Pendisiplinan tenaga kerja” ini menjadi basis kebutuhan kapitalisme yang
mengedepankan ideologi efisiensi dan maksimalisasi laba. Efisiensi pemanfaatan
sarana produksi dan tenaga kerja perlu dioptimalisasikan agar output nilai lebih
yang dihasilkan semakin bertambah. Oleh karena itu, benarlah apa yang
disampaikan oleh Dede Mulyanto, “proses kerja disistematisasi sedemikian rupa
sehingga pergerakan tubuh dan pikiran para pekerja sesuai dengan prosedur baku
yang meningkatkan efisiensi penghisapan tenaga kerja per detiknya.”53

51
Hikmat Budiman, op. cit., hlm. 130.
52
Ibid., hlm. 106.
53
Dede Mulyanto, op. cit., hlm. 188.

18
Proses-proses kerja yang demikian memacu pembatasan konsisten atas
rasionalitas individu. Manusia hanya menjadi salah satu fungsi kecil dalam
keseluruhan industri. Para pekerja tidak dihargai karena kontribusi kritisnya atas
kegiatan bisnis yang dilakukan melainkan karena kemampuan adaptasinya
terhadap regulasi pabrik yang berorientasi pada peningkatan produktivitas.
Produktivitas tidak lagi ditentukan oleh kreativitas individu melainkan oleh proses
mesin.54 Yang ada dalam industri kapitalisme sebenarnya bukanlah manusia,
melainkan “tenaga kerja dengan segala keterampilan yang berguna dan kinerjanya
demi kejayaan kapital.”55
Sistem kapitalisme sudah menginvasi masyarakat secara ideologis melalui
cara kerjanya sendiri. Ia menanamkan usaha-usaha pendisiplinan tubuh ke atas
individu yang tak punya kekuatan untuk melawan. Berhadapan dengan kekuatan
ideologis tersebut manusia tampak tak berdaya dan memilih jalan penyesuaian-diri
(self-adjustment). Fenomena ini digambarkan secara jelas oleh misalnya Michel
Foucault sebagai kehidupan di penjara.56 Masyarakat modern bergerak sesuai
dengan haluan-haluan dasar yang telah digariskan oleh sistem kapitalisme. Hal ini
sama halnya dengan aktivitas para tahanan di rumah tahanan. Rutinitas para
tahanan telah diprogramkan sedemikian rupa dan menuntut ketaatan total atasnya.
Urusan-urusan makro hingga mikro telah diatur tanpa celah sedikit pun dalam
bentuk jadwal dan tata aturan. Mereka tidak bisa berpikir atau bertindak di luar
ketentuan tersebut. Sebuah “panoptikon”57 dibangun di sentral untuk mengawasi
dan mengamati setiap gerak-gerik mereka.
Dalam konteks kapitalisme, kaum kapitalis berkerja layaknya sebuah
“panoptikon” yang mengawasi dan mengatur kegiatan ekonomi di bawah
kepentingannya. Melalui kekuatan kapital mereka menyetir pemerintah untuk
melegalkan undang-undang yang kompatibel dengan usaha hegemoni mereka. Di

54
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op.cit., hlm. 45.
55
Dede Mulyanto, loc. cit.
56
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of Prison (New York: Pantheon, 1978), hlm.
216-220.
57
Panoptikon adalah sebuah menara yang dibangun di bagian sentral suatu penjara. Fungsi
utamanya adalah sebagai tempat pengawasan para narapidana. Para opsir penjara mengawasi dan
mengamati aktivitas para tahanan dari atas panoptikon. Simbol ini digunakan oleh Michel Foucault
untuk menjelaskan relasi kekuasaan antar manusia. Ibid.

19
hadapan regulasi-regulasi artifisial itu, kelompok rakyat kecil menyerupai
“tahanan” di tanahnya sendiri. Kehidupan dan rutinitas mereka diprakondisikan
oleh pergerakan kapital.

2.3.2Kapitalisme yang Imperialis

Sistem kapitalisme tidak benar-benar lepas dari imperialisme. Ada


hubungan kausalitas yang esensial antar keduanya. Lenin misalnya melihat bahwa
imperialisme adalah suatu tahapan puncak dari kapitalisme.58Sebaliknya Marcuse
di pihaknya membaca gelagat imperialisme dalam rupa tendensi penyatuan dan
pemusatan kekuatan ekonomi dan politik.59 Kapitalisme telah mencampurkan
kepentingan bisnis dengan kebijakan-kebijakan politik suatu negara, ideologi pasar
dengan program pemerintahan. Kapitalisme menguasai segala lini kehidupan mulai
dari ekonomi, politik, hukum, kebudayaan, hingga ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, kapitalisme secara keseluruhan mengandung ambisi imperialis.
Dalam tulisannya berjudul State and Individual Under National
Socialism,60 Marcuse membaca gelagat imperialis dari sistem kapitalisme. Ia
secara khusus mengeritik negara sosialisme modern yang justru tampil sebagai
kekuatan kapitalis yang imperialistik. Negara sosialis menciptakan sebuah
unifikasi dalam segala kebijakan demi memperjuangkan kepentingan imperialisme
ekonominya di atas kepentingan kelas-kelas dalam masyarakat. Marcuse bahkan
melabelkan bentuk pemerintahan modern demikian sebagai “the executive organ of
the imperialist economic interest.”61 Negara hanya sekedar menjadi organ dari
kepentingan ekonomi imperialis. Dengan tetap mengadopsi sistem ekonomi
kapitalis, sosialisme tidak lagi menjadi kekuatan yang ingin mewujudkan keadilan
antar kelas melainkan melanggengkan konflik kelas dan menguntungkan status
quo.

58
Ian Roxborough, Teori-Teori Keterbelakangan (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 60.
59
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 32.
60
Douglass Kellner (ed.), Technology, War, Fascism: Collected Papers of Herbert Marcuse (New
York: Routledge, 2004), hlm. 70.
61
Ibid., hlm. 72.

20
Imperialisme bercokol sebagai usaha kapitalisme untuk mengatasi krisis
internalnya.62 Kemajuan teknologi telah meningkatkan intensitas produksi dari
industri kapitalis. Demi mengatasi kelebihan produksi, ia harus menguasai wilayah
pemasaran baru dengan lebih banyak konsumen. Masyarakat dijejali dengan
barang-barang impor dan aneka kebutuhan palsu dari produksi industri. Motivasi
ini memberi izin untuk praktek manipulasi kesadaran dan kepuasan konsumen
demi keuntungan kapitalis.
Menurut Marcuse, sindrom imperialis dari kapitalisme terlihat dari adanya
“integrasi sosial dan kultural” dari seluruh masyarakat global. Semua kekuatan
negara bangsa terintegrasi ke dalam sistem tunggal kapitalisme. Dalam kesatuan
tersebut, “the economic relations must therefore be transformed into political
relations, economic expansion and domination.”63 Imperialisme terlihat secara
nyata dari penyatuan hubungan ekonomi, politik dan dominasi. Hitler,
sebagaimana dijelaskan oleh Marcuse, menganggap penting integrasi total antara
negara dan kepentingan ekonomi demi mengamankan kepentingan ekonomi
industri. Menurutnya, “to secure industrial capacity and its utilization all the
barriers between politics and economy, between state and society had to be
removed.”64 Namun di sini, kesatuan tersebut membawa serta ketimpangan dan
relasi kekuasaan yang tidak adil.Ketimpangan imperialis dari kapitalisme dibaca
oleh Lenin dalam lima aspek penting yakni, pertama, monopoli kekuatan ekonomi;
kedua, dominasi atas modal finansial; ketiga, ekspor modal; keempat,
pembentukan monopoli global; kelima, pembagian formasi kekuatan-kekuatan
imperialis antar negara-negara metropolitan dan pinggiran.65
Sebagaimana Lenin, Marcuse juga menegaskan tatanan imperialisme
tersebut sebagai akibat dari prinsip kerja kapitalisme. Prinsip itu adalahprinciple of
efficiency.66Menurut prinsip ini setiap individu diukur dan diapresiasi karena
kontribusinya bagi efisiensi sistem kapitalisme yang berlangsung. Dengan terus
diajak untuk mengejar prestasi, monopoli ekonomi dan dominasi menjadi suatu

62
Nur Sayyid Santoso Kristeva, op. cit., hlm. 174.
63
Douglass Kellner (ed.), op. cit., hlm. 74.
64
Ibid., hlm. 75.
65
Ian Roxborough, loc. cit.
66
Douglass Kellner (ed.), op. cit., hlm. 73.

21
keniscayaan yang dipelihara oleh masyarakat sendiri. Prinsip efisiensi menjadi
daya yang efektif untuk melanggengkan bentuk imperialisme kapitalisme.
Imperialisme kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir tidak
sekedar mengontrol institusi ekonomi negara-negara. Secara lebih fundamental,
Marcuse memperluas jangkauan kontrol imperialis kapitalisme sampai pada tahap
menekan kesadaran, kebebasan dan otonomi individu-individu di
dalamnya.67Ambisi-ambisi imperialisme kapitalis dijadikan tolak ukur dalam
segala bentuk pengontrolan dan pengorganisasian massa. Kepentingan dan
kebebasan individu diingkari dan digantikan dengan serangkaian pertimbangan
keuntungan ekonomi sebab,“it is typical of a capitalist society that virtually all
economic activities that go on within it are driven by the opportunity to make profit
out of capital invested in them.”68Ciri khas utama masyarakat kapitalis adalah
bahwa semua kegiatan ekonominya berorientasi untuk mendapatkan keuntungan
dari modal yang diinvestasikannya.
Kemajuan teknologi sangat berperan untuk meningkatkan kekuatan
imperialis kapitalisme. Menurut Marcuse, ia bersifat ambigu karena memiliki
dampak ganda; ia bisa menjadi “suatu perkembangan yang disesalkan, namun bisa
pula menjanjikan.”69 Dalam aspek yang disesalkan, faktor kemajuan teknologi
menciptakan ketergantungan dari beberapa negara terhadap negara lainnya.
Ketergantungan ini pulalah yang menyebabkan aliran modal keluar dari suatu
negara miskin ke negara kaya. Imperialisme kapitalisme memanfaatkan
ketergantungan ini demi dominasi yang lebih besar dan kuat. Defenisi
‘ketergantungan’ ini dijelaskan James Fulchersebagai berikut:

.... cara artikulasi ekonomi-ekonomi terbelakang dengan


sistem ekonomi dunia mungkin menghasilkan
pemindahan sumber-daya dari pinggiran ke pusat/atau
artikulasi ini mungkin menimbulkan pelbagai
‘mekanisme yang merintangi’ yang menahan atau
‘merancukan’ ekonomi pinggiran, sehingga mencegah

67
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 78.
68
James Fulcher, op. cit., hlm. 13-14.
69
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 2.

22
alokasi sumber-daya yang akan menghasilkan
pertumbuhan ekonomi.70

Kapitalisme sebagai sebuah kekuatan imperialis mempertahankan distingsi


antara negara pinggiran dan metropolitan. Distingsi ini tidak hanya dilihat secara
teoretis melainkan pula secara praksis menggambarkan monopoli modal dan
ketimpangan arus keuntungan dalam relasi antar keduanya. Imperialisme ekonomi
ini mencegah pertumbuhan ekonomi dari negara-negara berkembang. Mereka
menekan laju pertumbuhan ekonomi dalam porsi yang berat sebelah. Negara
pinggiran mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang kecil atau bahkan tidak sama
sekali.
Formasi masyarakat yang tidak adil ini muncul dari berbagai perkawinan
kepentingan. Imperialisme ekonomi merupakan kristalisasi dari perkawinan
kepentingan parsial kelompok teknokrat dan pemegang kekuasaan di negara
bersangkutan.71 Kebijakan ekonomi kapitalisme digariskan sesuai dengan ambisi
egoistis kaum teknokrat atas keuntungan finansial dan ambisi para penguasa untuk
menduduki kekuasaan lebih lama. Para aktor berwajah kapitalis ini membuka akses
selebar-lebarnya pada mekanisme pasar bebas. Kebijakan-kebijakan mereka
diarahkan pada kompetisi pasar yang lebih kondusif bagi para pemodal atau
kreditur daripada masyarakat marginal. Tidak ada kontrol terhadap pertarungan
tersebut.

2.3.3Prinsip Prestasi

Sebagaimana rezim melanggengkan kekuasaan dengan mengindoktrinasi


masyarakatnya, demikian pula kapitalisme mempertahankan kekuatan kontrolnya
melalui promosi ideologi. Menurut Marcuse, ideologi yang dipromosikan oleh
kapitalisme hadir dalam bentuk “prinsip prestasi.” Prinsip ini ditanamkan dalam
diri setiap individu agar mereka dapat menopang sistem kapitalisme.

70
James Fulcher, op. cit., hlm. 68.
71
Didik J. Rachman, Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi (Jakarta: PT Grasindo,
2001), hlm. 2.

23
Marcuse mengidentifikasikan prinsip ini sebagai sebuah kecenderungan
setiap individu untuk hidup sesuai dengan standar prestasi yang telah ditetapkan
oleh kapitalisme. Individu diarahkan untuk berjuang mencapai prestasi tertinggi
dalam tatanan masyarakat kapitalis. Prestasi tertinggi ini bisa berupa cita-cita untuk
memperoleh jabatan pekerjaan yang ideal dalam masyarakat modern atau memiliki
sejumlah kekayaan. Atas dasar pertimbangan ini ia dipaksa untuk bekerja lebih
keras atau semakin memperbanyak investasi melalui utang. Seorang buruh dalam
keinginannya untuk mencapai kehidupan ekonomi yang sejahtera harus bekerja
jauh lebih keras dalam pabrik-pabrik industri. Bahkan ia harus menambah jam
kerjanya. Lebih parah lagi apabila ia secara sukarela membantu mengatasi masalah-
masalah yang menghambat proses kerja industri bersangkutan. Represi dan
eksploitasi oleh pabrik bersangkutan menjadi semakin efektif saat para buruh turut
mempergunakan otak, pikiran dan kreativitas mereka dalam mencari penyelesaian
masalah teknis dan produksi.72
Prinsip prestasi ini menguntungkan kepentingan kapitalisme. Individu yang
terpapar oleh prinsip ini berusaha menjadi bidak yang siap diperlakukan dan
diperintahkan untuk memenuhi khayalan prestasi semunya, sementara kapitalisme
memanfaatkan etos kerja ini demi peningkatan produktivitas dan akumulasi profit.
Prinsip prestasi berusaha untuk memenuhi “standardisasi” masyarakat
kapitalis. Prestasi individu sepenuhnya “motivated, guided and measured by
standards external to him, standards pertaining to predetermined tasks and
functions.”73Standar-standar ini menjadi mutlak perlu bagi konteks kepentingan
kapitalisme. Misalnya, dalam hal sistem kerja industri modern, agar seorang
pekerja pabrik mencapai prestasi tertinggi, yang tak lain adalah mendapat upah
yang cukup, ia harus mengikuti standar aturan pabrik bersangkutan. Standar-
standar aturan tersebut boleh jadi tidak sesuai undang-undang ketenagakerjaan
nasional atau standar itu terkesan dibuat-buat. Karena alasan “prestasi” yang ingin
ia kejar, semua ketidakadilan dikesampingkan.

72
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op.cit. hlm. 47.
73
Douglass Kellner (ed.), Technology, War, Fascism: Collected Papers of Herbert Marcuse (New
York: Routledge, 2004), hlm. 45.

24
Prinsip prestasi ini merambah ke banyak bidang kehidupan. Dalam dunia
politik misalnya, lazimnya untuk mencapai prestasi sebagai politikus sukses,
seorang kandidat harus menggelontorkan dana yang tidak murah. Dana ini ia
dapatkan dari korporasi atau pebisnis dengan konsekuensi logisnya yakni ia harus
berpihak pada kepentingan para donatur tersebut. Tuntutan ini akhirnya harus
mengorbankan aspirasi masyarakat. Aspirasi masyarakat diabaikan demi mencapai
standar prestasi.Sebagai dampaknya, kualitas kemajuan kapitalisme terus
meningkat, sebaliknya kualitas kehidupan individu semakin terkontrol dan
tertindas.
Prinsip prestasi ini mereproduksi individu yang apatis terhadap kejahatan
kapitalisme. Individu sebagai instrumen di tangan sistem kapitalisme
melanggengkan realitas yang pada dasarnya terus menindas otonomi dan
kebebasannya. Anehnya, prinsip prestasi ini diterima dengan lapang dada oleh
masyarakat teknologis sebagai sebuah kebenaran dan kelaziman. Kebenaran
semacam ini oleh Marcuse disebut sebagai rasionalitas teknologis.

2.3.4Manipulasi Kebutuhan

Menurut Marcuse, kapitalisme telah memanipulasi persepsi dan sikap


individu terhadap prioritas kebutuhan. Pertimbangan dan keputusan atas kebutuhan
hidup setiap individu tidak lagi lahir dari pertimbangan dan keputusan pribadi
melainkan dari sistem. Di luar kebutuhan biologis dasariah, kebutuhan sekunder
lainnya telah “diprakondisikan”74 oleh kepentingan kapitalisme.
Marcuse menyebut kebutuhan-kebutuhan sekunder tersebut sebagai
“kebutuhan-kebutuhan historis.”75 Konteks sejarah dan sosial membentuk mereka.
Mereka lahir dari situasi sejarah dan perubahan-perubahan sosial di tengah
masyarakat. Dengan demikian, apa yang disebut sebagai kebutuhan historis
sebenarnya tidak sepenuhnya berasal dari keputusan bebas manusia, melainkan
bentukan dari formasi kekuatan-kekuatan budaya.
Kebutuhan-kebutuhan yang diciptakan oleh kapitalisme modern disebut
oleh Marcuse sebagai “kebutuhan palsu.” Kebutuhan semacam ini merupakan
74
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 7.
75
Ibid.

25
serangkaian “kebutuhan yang dibebankan pada individu oleh adanya kepentingan
sosial khusus dalam represinya.”76 Ia bersifat represif karena menekan nalar untuk
mempertanyakan tingkat kebenarannya. Kapitalisme secara doktrinal memanipulasi
nalar kritis masyarakat hingga pada taraf insting terdalamnya. Individu dibuat
untuk bergantung dan membutuhkan kapitalisme itu sendiri.
Setiap individu memiliki jenis-jenis kebutuhan yang berbeda-beda,
terkecuali kebutuhan biologis dasariahnya. Apa yang dirasa paling dibutuhkan bagi
seseorang bisa jadi tidak diibutuhkan oleh orang lain. Ia memiliki sebuah prinsip
“pengadilan”77 yang memutuskan kebutuhan apa yang paling cocok untuk
menopang kehidupan dan eksistensinya. Kapitalisme secara sepihak mengambil
alih proses pengadilan tersebut dan memaksakan keputusannya. Marcuse
mengkritik keputusan otoritarian tersebut dengan menegaskan, “tidak ada
pengadilan yang dapat secara adil merebut suatu hak ke dalam hal itu untuk
memberi keputusan kebutuhan mana yang harus dikembangkan dan dipuaskan.”
Baginya, usaha mematikan pertimbangan individual dalam hal prioritas kebutuhan
“layak untuk dicela.”78
Individu masyarakat kapitalis tidak menyadari represi yang terjadi atas
mereka. Ia telah dimanipulasi secara total. Fenomena ini dimungkinkan oleh
kapitalisme dengan cara menawarkan suatu prinsip kebebasan semu. Dewasa ini,
perkembangan teknologi telah mempermudah setiap orang untuk mendapatkan
privilese dalam memilih produk atau jasa tertentu secara tidak terbatas. Produk-
produk industri kapitalis menawarkan beragam barang dan jasa, dan dengan
demikian menanamkan impresi kebebasan memilih dan kebebasan mengonsumsi
dalam diri setiap individu. Kepuasan setiap orang menjadi berlipat ganda. Namun,
Marcuse menganggap kebebasan semacam ini sebagai semu belaka karena pada
akar terdalamnya, ia terus meningkatkan kontrol sosial pada kehidupan. Hal ini
membenarkan teori Marcuse yang menyatakan bahwa “kebebasan dapat dijadikan
suatu instrumen kuat bagi dominasi.”79

76
Ibid.
77
Ibid., hlm. 10.
78
Ibid.
79
Ibid.

26
Represi sistem kapitalisme telah menghalangi aktualisasi otonom individu.
Determinasi dan kemerdekaan untuk memutuskan sesuatu sebagai yang penting
dan yang tidak penting dilanggar sebab manipulasi oleh kapitalisme telah
melanggar “ruang pribadi.”80 Dengan direbutnya ruang pribadi ini, individu tidak
lagi menjadi pribadi yang unik dan berbeda dengan yang lain, melainkan menjadi
pribadi instrumental dari kekuatan-kekuatan eksternal. Deindividualisasi ini dilihat
oleh Marcuse sebagai “mimesis” yang diterjemahkan sebagai tendensi “identifikasi
langsung dari individu dengan masyarakat.”81 Eksistensi setiap individu dibentuk
secara mutlak dan total oleh realitas luar, termasuk oleh kebutuhan-kebutuhan palsu
yang dianggap lazim.
Produk-produk kapitalisme industri, melalui bantuan media-media
publikasi, telah mengindoktrinasi kesadaran individu. Marcuse membaca akar
indoktrinasi produk kapitalisme yang berintensi untuk “meningkatkan kesadaran
palsu yang bersifat kebal terhadap kepalsuannya.”82 Individu yang terinjeksi
bentuk-bentuk kepalsuan kapitalisme menjadi rentan untuk dimanipulasi.
Kapasitasnya untuk memberikan penilaian kritis terhadap realitas zaman menumpul
akibat manipulasi tersebut. Dengan demikian, kebutuhan palsu akan terus dillihat
sebagai kebutuhan yang memuaskan, menyenangkan dan membebaskan.

2.3.5Desublimasi Psikologis Kapitalisme

Penindasan ideologis oleh kapitalisme memiliki dampak yang besar dalam


ranah psikologis individu dan massal. Secara psikologis, individu diarahkan untuk
menerima konsep kebahagiaan menurut kapitalisme. Kebahagiaan psikologis ini
sengaja diciptakan oleh kapitalisme untuk menjalankan sistem penindasannya.
Marcuse menggunakan terminologi “desublimasi” untuk menggambarkan
bentuk perubahan psikologis masyarakat yang lebih konformis dengan eksistensi
kapitalisme. Desublimasi merupakan konsep tandingan terhadap teori “sublimasi”
Sigmund Freud. Menurut Sigmund Freud, sublimasi merupakan sebuah proses
pengalihan dorongan seksual kepada daya-daya lain yang lebih konstruktif. Insting

80
Ibid., hlm. 16.
81
Ibid.
82
Ibid., hlm. 18.

27
seksual dibatasi sedemikian rupa dengan cara mengalihkannya pada kualitas dan
kemampuan lain. Pembatasan ini menghasilkan daya psikis yang memampukan
manusia mencapai prestasi kultural dan intelektual.83 Sebaliknya, desublimasi
mengorbankan daya psikis konstruktif ini kepada sepenuhnya dorongan insting
(libido atau seksual). Ia membebaskan dorongan insting seksual.
Sublimasi memungkinkan manusia mengalami kebahagiaan dan
kegembiraan dari prestasi-prestasi budaya yang dicapai. Kebahagiaan semacam ini
hanya bisa dinikmati melalui serangkaian pembatasan instingtual. Sebaliknya,
dalam sistem kapitalisme, kebahagiaan yang sama direduksi sebagai “kenikmatan
langsung.”84 Kenikmatan ini lahir dari terbebasnya dorongan-dorongan instingtual.
Ia diafirmasi dalam sistem kapitalisme yang memuaskan insting konsumtif
individu. Melalui tingkat produktivitas dan standar hidup yang tinggi, kenikmatan
material dianggap sebagai kebahagiaan. Atas dasar ini, setiap individu dipaksa
untuk mendukung kapitalisme yang telah dan sedang memenuhi dorongan insting
konsumtifnya.
Menurut Marcuse, manusia modern sedang tenggelam dalam kebahagiaan
menurut kapitalisme. Di satu sisi, kepuasan material oleh pengaruh kapitalisme
telah membuat individu merasa bahagia, tapi di sisi lain ia tidak sadar bahwa
kebahagiaan itu sedang memanipulasi dirinya sendiri.85 Semua kebahagiaan yang
ditawarkan tampak sangat nyata padahal ia hanya merupakan strategi kapitalisme
untuk membuai kesadaran individu. Di sini, kapitalisme sedang
mentransformasikan manusia sebagai boneka berjalan yang siap digerakkan ke
mana pun, kapan pun dan di mana pun.86
Demi memenuhi kenikmatan material, individu rela mengorbankan cita-cita
intelektual dan kulturalnya. Cita-cita ini mengalami pengosongan dan digantikan
dengan cita-cita rasionalitas teknologis dan kapitalisme. Rasionalitas individu
dialihkan kepada rasionalitas teknologis. Manusia tidak lagi hidup menurut cita-

83
Sigmund Freud, “Ceramah Kelima”, dalam K. Bertens (ed. dan penerj.), Psikoanalisis Sigmund
Freud (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 97-98.
84
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op, cit., hlm. 112-113.
85
Herbert Marcuse, Negations (Boston: Beacon Press, 1968), hlm. 182.
86
Herbert Marcuse, Towards A Critical Theory of Society (London: Routledge, 2001), hlm. 35.

28
citanya, melainkan menghidupi cita-cita sebagai organ kecil dalam sistem kerja
kapitalisme.
Menurut Marcuse, konsep kebahagiaan masyarakat kapitalis jauh berbeda
dengan kebahagiaan masyarakat tradisional atau pra-kapitalis. Pada masyarakat
tradisional, kebahagiaan selalu diperoleh melalui “penderitaan, kerja keras dan
lumpur,”87 sebab dunia yang dihidupi tidak selalu sesuai dengan cita-cita ideal
manusia. Perjuangan membangun tatanan dunia yang lebih baik dan teratur secara
emosional dan mental melahirkan kesenangan dan kegembiraan. Kegembiraan ini
bersifat konstruktif. Namun, dalam masyarakat kapitalis, kegembiraan
merepresenstasikan kondisi yang serba memuaskan, instan, tanpa penderitaan dan
tanpa hambatan. Elemen-elemen ini dijawab oleh kemajuan teknologi dalam
produktivitas barang dan jasa yang melimpah. Realitas kapitalisme modern
diyakini sebagai “suatu dunia yang pada dasarnya tidak bermusuhan,” 88 dan oleh
karena itu tidak perlu diperjuangkan atau diubah.
Kapitalisme telah berhasil menggiring manusia ke dalam tindakan-tindakan
instingtual. Tindakan instingtual tersebut tercermin dalam rupa pemenuhan
kepuasan material. Pemenuhan kepuasan material telah menjadi semangat hidup
masyarakat modern. Kehidupan dan tujuan hidup mereka diidentifikasi sesuai
realitas material. Individu melihat eksistensi dirinya dari komoditi yang ia
konsumsi. Semua tindakan tersebut menciptakan kepuasan instingtual semata.
Namun, kepuasan itu tetap berada di bawah represi, sebab “mobilisasi energi
instingtual dikendalikan” oleh status quo kapitalisme.89 Kesenangan ini melampaui
fakta penindasan yang mereka alami. Kesadaran akan kemiskinan dan kontrol
sosial tidak lagi mengemuka.
Menurut Marcuse, kapitalisme telah meningkatkan jangkauan kepuasan
individu melalui produktivitas. Barang dan jasa mengarahkan psikologi massal dan
secara serentak menjunjung prinsip kesenangan yang telah direduksi. Kesenangan
dan kebahagiaan diprakondisikan di bawah tindakan membeli mobil canggih,
memiliki tas bemerk internasional, dan mengonsumsi makanan cepat saji milik

87
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 114.
88
Ibid., hlm. 116.
89
Ibid., hlm. 118.

29
korporasi asing. Dampak jangka panjang dari kepuasan parsial ini adalah
meningkatnya prinsip penyerahan diri terhadap realitas yang menindas dan
melemahnya “rasionalitas protes.”90

90
Ibid.

30
BAB III

FILSAFAT MANUSIA SATU-DIMENSI

3.1 Pengantar

Dalam bab II kita telah melihat sejarah singkat kapitalisme dan kritik
Marcuse terhadapnya. Kritik Marcuse pada kapitalisme menjadi landasan dasar
filsafat Manusia Satu-Dimensi. Secara sistematis, filsafat Manusia Satu-Dimensi
mengkaji tendensi masyarakat kapitalis yang kehilangan otonomi dan kebebasan
untuk bersikap kritis atas realitas. Di dalam bab III ini, penulis membahas intisari
filsafat Manusia Satu-Dimensi menurut Herbert Marcuse.
Untuk memahami gagasan filsafat Manusia Satu-Dimensi, bab ini telebih
dahulu berbicara tentang konteks historis lahirnya pemikiran tersebut. Konteks
sejarah berkaitan erat dengan proses kelahiran suatu ide dan bagaimana ide
tersebut dikembangkan dalam situasi sejarah tertentu.

3.1 Konteks Historis

Figur Herbert Marcuse adalah salah satu tokoh sentral dalam Mazhab
Frankfurt. Ia bersama Horkheimer dan Adornomenjadi intelektual neo-Marxis
dalam mazhab tersebut. Ketiganya merupakan pencetus Mazhab
Frankfurt.91Gagasan-gagasan mereka diwarnai oleh usaha untuk menimba
sekaligus memperluas analisa klasik Marx atas kapitalisme. Marcuse, sebagai salah
satu pemikir, memberi perhatian khusus dalam usaha memperluas aspek

91
Mazhab Frankfurt atau biasa dikenal sebagai Frankfurt School adalah identitas yang disematkan
kepada para filsuf dan pemikir. Mereka tergabung dalam Institut Penelitian Sosial (Institut fur
Sozialforschung) yang berafiliasi dengan Universitas Frankfurt di Jerman pada tahun sejak 1923.
Mazhab ini memusatkan perhatian pada analisa atas Marxisme secara lebih luas dan kontekstual,
meskipun tidak semua memiliki pemikiran yang sejalan. Dari sekian pemikir, ilmuwan dan filsuf
yang tergabung dalam lembaga ini, ada tiga figur utama yang selalu dianggap sebagai pencetus
Mazhab Frankfurt. Mereka adalah Herbert Marcuse, Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Bdk. F.
Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama
Jurgen Habermas (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2009), hlm. 45.
“dominasi” struktural kapitalisme dalam ranah ekspresi-ekspresi budaya
modern.Perhatiannya ini dituangkan secara khusus dalam karya monumental
Manusia Satu-Dimensi(1967).Karya ini mengembangkan analisis kritis atas
bentuk-bentuk dominasi kapitalisme dalam berbagai aspek kehidupan manusia
modern.Bentuk dominasi kapitalisme secara mendalam telah memengaruhi esensi
kritis manusia dan menjadikannya manusia berdimensi satu yang cenderung
menerima bahkan menopang struktur kekuasaan sistem kapitalisme itu sendiri.
Gagasan filosofis Manusia Satu-Dimensi Herbert Marcuse muncul dari
suatu konteks sejarah. Ia banyak dipengaruhi oleh fenomena historis yang
mewarnai seluruh perjalanan intelektualnya. Ia menempuh usaha penggalian
gagasan tersebut dengan pertama-tama bergabung dalam Institut Penelitian Sosial
(Institut fur Sozialforschung) di Frankfurt pada tahun 1933. Kritiknya atas
dominasi kultural kapitalisme mulai muncul sejak ia bergabung dalam penelitian
multidisipliner Teori Kritis. Itulah sebabnya penting untuk memaparkan secara
ringkas sejarah terbentuknya Mazhab Frankfurt yang diklasifikasikan dalam aliran
Teori Kritis.92
Pergolakan internal Sekolah Frankfurt, relasi-relasi dan benturan-benturan
kepentingannya sangat memengaruhi gagasan-gagasan awal Herbert Marcuse.
Dinamika tersebut secara langsung maupun tidak langsung membentuk ide dasar
filsafat Manusia Satu-Dimensi. Meskipun ia dikategorikan dalam sebuah mazhab
atau aliran Teori Kritis bersama Horkheimer, Adorno dan kawan-kawan lainnya,
secara substansial, mereka mempunyai perhatian-perhatian yang berbeda bahkan
saling bertentangan. Pandangan Marcuse tidak selalu sesuai dengan ide-ide dari
filsuf dan ilmuwan lain yang sealiran. Oleh sebab itu, dalam bab ini, penulis akan
terlebih dahulu mengkaji secara ringkas latar belakang lahirnya pemikiran Marcuse
tentang Manusia Satu-Dimensi.

3.1.1Sejarah Mazhab Frankfurt: Lahirnya Teori Kritis

Herbert Marcuse menjadi salah satu tokoh pendiri Mazhab Frankfurt. Ia


disebut sebagai generasi pertama dari mazhab tersebut. Mazhab Frankfurt pertama

92
Ibid.

32
kali tumbuh dari Institute for Social Research di Universitas Frankfurt, Jerman
pada tahun 1923. Karena bertempat di Frankfurt, kelompok tersebut membabtis
dirinya dengan nama Mazhab Frankfurt. Mazhab ini terbentuk dengan didanai oleh
pihak swasta di Jerman dan ia mengakomodasi kaum intelektual di Jerman.Mazhab
ini meneliti fenomena zaman yang telah didominasi oleh kekuatan-kekuatan
anonim secara politis maupun ekonomis.93
Sebagai usaha menganalisa secara komprehensif dan
multidisipliner,mazhab ini mengakomodasi beberapa ilmuwan penting di berbagai
bidang seperti Walter Benyamin dari bidang sastrawan, Erich Fromm dari bidang
psikologi, Leo Lownthal dari bidang sosiologi kesusasteraan, Karl Wittfogel ahli
tentang Cina, Otto Kirchheimer, Franz Neumann, Friedrich Pollock dan Jurgen
Habermas dari filsafat sosial.94Dari banyak spesialis ini muncul tiga tokoh utama
yang menggagas dan mengembangkan Mazhab Frankfurt. Mereka itu adalah
Theodor Adorno, Marx Horkheimer dan Herbert Marcuse. Ketiga tokoh ini lebih
populer dikenal sebagai pendiri Mazhab Frankfurt. Meskipun ada beberapa
perbedaan sikap ilmiah yang mereka tunjukkan, ketiganya bekerja sama di bawah
satu payung pemikiran yang disebut Mazhab Frankfurt. Motivasi utama mereka
adalah menetapkan persoalan utama dalam filsafat, menolak interpretasi Marxisme
ortodoks dan melahirkan teori kemasyarakatan yang menghasilkan perubahan
sosial, politik, kebudayaan dan kesadaran.95
Pada awalnya, ide pembentukan sebuah lembaga penelitian sosial di
Frankfurt diproposalkan oleh Felix J. Weil. Ia melihat adanya kebutuhan besar
untuk mengembangkan analisa-analisa Marxisme atas persoalan sosial pada
masanya. Maka, pada tahun 1923 terbentuklahInstitut fur Sozialforschung
(Institute for Social Research) dan institusi ini berafiliasi dengan Universitas
Frankfurt.96
Setelah institut penelitian ini dibentuk, Carl Grunberg dipilih menjadi
direktur pertama. Ia adalah seorang profesor ekonomi-politik di Vienna dan

93
Ibid., hlm. 48.
94
Ibid., hlm. 45.
95
D. Held, Introduction to Critical Theory: Horkheimer to Habermas (London: Hutchinson, 1980),
hlm. 50-51.
96
Zoltan Tar, op. cit., hlm. 16.

33
sebagai seorang editor terkenal dari sebuah jurnal tentang sejarah sosialisme dan
gerakan buruh. Ia menjabat sampai tahun 1928 dan menjadi akademisi Marxis
yang sangat tersohor.97
Mulai tahun 1931, Horkheimer dipercayakan sebagai direktur Institusi
penelitian sosial dan sejak itu institusi ini mencapai puncak popularitasnya sebagai
generasi neo-Marxisme. Institusi ini terkenal karena analisa-analisanya yang
komprehensif dan multidisipliner. Analisa-analisa mereka dijadikan acuan teoretis
penelitian dan sebagai sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan revolusi.Hal yang
membedakan kepemimpinan Horkheimer dari Grunberg adalah proyek besar
Horkheimer untuk mengembangkan teori interdisipliner tentang masyarakat. Teori
interdisipliner itu dibangun dalam relasi antara ilmu pengetahuan alam, humaniora
dan filsafat.98Hal ini memungkinkan lahirnya Teori Kritis yang dibangun atas dasar
metodologi tentang riset empiris dan refleksi-refleksi filosofis yang multidisipliner.
Apa itu Teori Kritis? Teori Kritis adalah teori yang mengembangkan “a
connection between reflection in philosophy and in social science informed by an
interest in emancipation.”99 Teori Kritis dapat dipahami sebagai kajian kritis yang
menggabungkan analisa filsafat dan ilmu-ilmu empiris dengan perhatian utamanya
adalah emansipasi. Tujuan utama Teori Kritis adalah untuk menciptakan sebuah
perubahan konkret menuju realitas yang lebih emansipatoris. Manusia Satu
Dimensi karya Marcuse adalah salah satu hasil kajian Teori Kritis. Karya ini
bertujuan untuk membongkar selubung tatanan sosial (social order) dan sekaligus
menawarkan tatanan yang baru.
Marcuse bersama Horkheimer dan Adorno berusaha mengembangkan
analisis kritis atas realitas masyarakat kontemporer. Mereka berusaha untuk
menginterpretasi “historical development as a process of technological
rationalization culminating in the closed system of domination that beset

97
Ibid.
98
Anthony Giddens dan Jonathan Turner, Social Theory Today: Panduan Sistematis Tradisi dan
Tren Terdepan Teori Sosial, penerj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 609-
610.
99
Rainer Forst, Normativity and Power: Analyzing Social Orders of Justification (Oxford: Oxford
University Press, 2017), hlm. 1.

34
contemporary society.”100Di sini Teori Kritis memfokuskan perhatiannya pada
perkembangan historis sebagai suatu proses rasionalisasi teknologis dan puncak
dari proses itu adalah sistem dominasi yang tertutup dalam masyarakat
kontemporer.
Teori Kritis mengembangkan ajaran Marxisme lewat analisa yang progresif
dan kritis tentang isu-isu modernisme dan transformasi kapitalisme. Hal ini dikaji
tidak berdasarkan struktur analisa klasik Marxis, melainkan menurut pendekatan
yang lebih komprehensif. Para pemikir Mazhab Frankfurt tidak serta merta
menerima kerangka analisis Marx sebagai acuan mereka. Mereka sebaliknya lebih
berusaha mengkaji dan menganalisa kecenderungan umum atau dinamika fungsi-
fungsi dari institusi sosial yang memiliki kekuatan dominatif atas situasi
masyarakat. Namun, meskipun demikian, mereka juga tampak tidak “memberikan
analisa struktural alternatif”101 sebagai antitesis dari ortodoksi Marxisme. Kajian-
kajian mereka dinilai hanya menganalisa suatu kecenderungan umum atau
dinamika fungsi-fungsi dari institusi-institusi sosial yang menjadi kekuatan
dominatif serentak ekstraktif atas manusia.
Secara konkret, pendekatan Teori Kritis memusatkan perhatian pada
bentuk-bentuk perwujudan dominasi kapitalisme. Bentuk-bentuk dominasi ini
tampak dalam gagasan tentang industri budaya. Ekspresi-ekspresi kultural hasil
dari industri budaya mewujud dalam pola-pola budaya populer seperti musik,
fashion, makanan cepat saji, industri pabrik dan industri budaya komersial lain.
Hal-hal inilah yang menjadi pusat perhatian para filsuf dan ilmuwan Teori Kritis.
Mereka mengendus adanya dominasi baru pusat-pusat kontrol sosial baru dalam
bentuk industri budaya di tengah masyarakat.102
Herbert Marcuse melihat pengaruh industri budaya pop semakin kuat di
dalam masyarakat. Pengaruh semacam itu melemahkan analisa kritis atas situasi
masyarakat. Bahkan pengaruh itu dilihat hanya sekedar sebagai penyedia

100
Axel Honneth, “The Frankfurt School and Social Theory”, dalam Hauke Brunkhorst, Regina
Kreide dan Cristina Lafont (ed.), The Habermas Handbook (New York: Columbia University Press,
2018), hlm. 31.
101
Ian Craib, Teori-Teori Sosial Modern dari Parsons Sampai Habermas (Jakarta: Rajawali Press,
1992), hlm. 278
102
Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 171-172.

35
”narkotika jangka pendek yang mengalihkan perhatian orang dari masalah riil
mereka dan mengidealisasikan masa kini dengan menjadikan pengalaman
representasinya yang menyenangkan.”103
Herbert Marcuse mengembangkan analisis struktural kritis yang lebih luas
dari yang lain. Ia menganalisa konflik tentang relasi-relasi produktif di tengah
masyarakat. Menurutnya relasi-relasi itu tidak menimbulkan “kontradiksi” tajam
antar kelas sebagaimana yang diutarakan Marx. Kontradiksi-kontradiksi dikontrol
sepenuhnya oleh sistem kapitalisme modern. Di sana tidak ada lagi pertentangan
kelas sebab yang lebih diutamakan adalah ideologi kapitalis dan kepentingan
produktif pasar. Kedua hal ini, ideologi kapitalis dan kepentingan pasar, menjadi
dasar perkembangan ekonomi global dan teknologi kemudian menjelma sebagai
kekuatan pengontrol kehidupan masyarakat.104
Para pendiri Mazhab Frankfurt mengembangkan Teori Kritis sebagai
kontribusi dinamika sejarah. Peristiwa sejarah paling penting yang memengaruhi
pandangan mereka adalah peristiwa ketika Hitler menguasai Jerman. Kejahatan
genosida terhadap orang-orang Yahudi mendorong para anggota mazhab Frankfurt,
yang notabene adalah keturuan Yahudi dan beraliran Marxis, meninggalkan
Jerman. Mereka hengkang ke Amerika dan sejak tahun 1934 pusat Institut
Penelitian Sosial ini membuka cabang di Universitas Columbia, New York. Atas
ancaman genosida dari Hitler, Institut Penelitian Sosial tersebut akhirnya harus
dipindahkan pusat operasinya keUniversitas Columbia, New York pada tahun
1934.105
Selanjutnya saat Perang Dunia II di tahun 1945, Adorno dan Horkheimer
memutuskan untuk pindah ke Los Angeles sementara Herbert Marcuse sendiri
bersama rekan-rekan lainnya pindah ke Washington DC.Marcuse bekerja sebagai
pengajar yang cukup populer dan disegani di Amerika waktu itu. Setelah perang
selesai Marcuse tetap tinggal di Amerika sementara Horkheimer dan Adorno

103
Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, penerj. Nurhadi
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm. 180.
104
Ian Craib, loc. cit.
105
F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan
Bersama Jurgen Habermas, op. cit., hlm. 49.

36
memutuskan untuk pindah kembali ke Jerman untuk tetap menghidupkan Institusi
Penelitian Sosial di Frankfurt.106
Pengalaman sejarah tentang kekejaman Nazi dan kemajuan ‘budaya
industri’ di Amerika menjadi sumber refleksi kritis dari para pendiriMazhab
Frankfurt, khususnya bagi Herbert Marcuse. Refleksi kritis itu pada awalnya
melahirkan dua karya fenomenal: karyaOne Dimensional-Man (1964) Herbert
Marcuse dan Dialectic of Enlightenment (1973) karya Adorno bersama
Horkheimer. Kedua karya besar ini mengeritik secara radikal situasi zaman yang
dialami masyarakat, khususnya situasi yang dikuasai oleh rezim kapitalisme
industri di Amerika dan rezim dominasi politik Nazi di Jerman serta fasisme. Hal
ini menjadi dasar lahirnya dua karya besar itu.107
Mengapa disebut kritis dalam Teori Kritis? Persoalan ini berhubungan
dengan filsafat Kant. Para pendiri Teori Kritis mengembangkan kritisisme Kant
yang berusaha mempertanyakan batas-batas dan syarat-syarat rasionalitas manusia,
sebagai jalan untuk membaca realitas atau kebenaran.108 Prasyarat epistemologis
ini merupakan sebuah imperatif yang esensial untuk mencapai kebenaran teoretis
serta untuk memberi landasan fundamental terhadap dimensi praktis-etis
manusia.Selanjutnya, gagasan teori kritis Kant dikoreksi dan diperluas oleh
beberapa filsuf seperti Hegel dalam dialektika Roh Absolut, Karl Marx dalam
pertentangan antar kelas dan para pemikir Mazhab Frankfurt dalam Teori Kritis
dan dialektika pencerahan.109
Teori Kritis menjadi sebuah kritik ideologi yang banyak dianut oleh kaum
intelektual kiri. Kerangka kritik Mazhab Frankfurt merespon fenomena destruktif
dan dominatif dari kapitalisme modern. Ben Agger menggariskan tujuan utama

106
Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Para Filosof Terkemuka (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2003), hlm. 138.
107
Ibid., hlm. 139.
108
Kant berusaha mengkonsolidasikan pertentangan antara pandangan kaum rasionalis dan empiris.
Di satu sisi, kaum rasionalis beranggapan bahwa pikiran subjek atau rasio adalah sumber dari
pengetahuan yang benar. Paradigma ini melahirkan sistem pemikiran deduksi. Berbeda dari kaum
rasionalis, kaum empiris sebaliknya menegaskan objek material sebagai sumber kebenaran utama.
Sebagai jawaban atas polarisasi yang sama-sama punya kekuatan dan kelemahan ini, Kant
merumuskan kategori apriori dan aposteriori sebagai landasan pengetahuan. Dalam batas tertentu,
pikiran dan materi saling melengkapi dalam menyusun pengetahuan yang benar. Yang
transendental (rasionalis) dan imanen (empiris) saling komplementer. Ibid.
109
Ibid., hlm. 139.

37
dari kritik ideologi ini sebagai usaha untuk “mengungkap dan mendemistifikasi
reifikasi, dominasi, dan hegemoni yang ada di pengalaman dan aktivitas kehidupan
masyarakat sehari-hari.”110

3.1.2 Manusia Satu-Dimensi: Suatu Rasionalitas Teknologis

Melalui karya Manusia Satu-Dimensi, Herbert Marcuse mengkaji


fenomena alienasi individu, kekuatan kontrol sosial dan kematian dialektika
sebagai karakter dasar masyarakat industri modern. Kapitalisme industri telah
menimbulkan sejumlah permasalahan baru yang berakar pada tatanan masyarakat
dan tak disadari sebagai sebuah permasalahan. Karya ini menjadi salah satu
tonggak kajian Teori Kritis yang mengangkat nama besar Marcuse sebagai
generasi pertama Mazhab Frankfurt.
Karya ini berusaha merevisi konsep klasik Marx tentang alienasi
individu.111 Marcuse yakin bahwa konsep alienasi kelas proletar yang
diperkenalkan Marx perlu diubah. Kapitalisme modern telah merombak tatanan
masyarakat di mana individu teralienasi dari dunianya secara mendalam. Ekspresi-
ekspresi kebudayaan modern dan gaya hidupnya telah melepaskan esensi manusia
sebagai makhluk yang otonom dan merdeka. Marcuse berkata, “hak dan kebebasan
itu kehilangan dasar pemikiran dan kandungan tradisionalnya”dalam masyarakat
industri maju. Inti kritik yang terkandung dalam Manusia Satu-Dimensi berpusat
pada aspek-aspek baru alienasi individu yang terpelihara melalui kontrol sosial
institusi kapitalis. Masyarakat industri telah menekan kebebasan dan otonomi dasar
individu sehingga menyebabkan manusia tidak mampu mengaktualisasikan diri
sebagai subjek yang utuh.112
Alienasi manusia, menurut Marcuse, tampak secara konkret dalam bentuk
pereduksian manusia sebagai alat dalam sistem kapitalisme. Manusia yang
sejatinya adalah subjek dalam sejarah kini menjadi objek semata dalam proses

110
Ben Agger, op. cit., hlm. 163.
111
Charles Reitz, “Herbert Marcuse: Critical Theory as Radical Socialism”, dalam Beverly Best,
Werner Bonefeld dan Cris O’Kane (ed.), The Sage Handbook of Frankfurt School Critical Theory,
vol. 1(London: SAGE, 2018), hlm. 165.
112
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 2.

38
produksi industi kapitalis.113 Hal ini tercermin dari hilangnya otonomi dan
kebebasan individu di hadapan produksi kebutuhan-kebutuhan industri yang
dipaksakan kepadanya.114
Penerbitan karya Manusia Satu-Dimensi menjadi jalan untuk memberikan
kritik yang kuat terhadap ideologi masyarakat industri maju.115 Fundamen kritik ini
justru dibangun berdasarkan pengalaman langsung Marcuse terhadap fasisme
Jerman dan realitas kapitalisme yang membelenggu selama periode pembuangan di
Amerika Serikat. Melalui karyanya itu, Marcuse menyajikan sebuah analisis
filosofis yang luas atas fenomena meningkatnya tekanan teknologi industri
kapitalis atas dimensi kritik individu. Tekanan ini dalam Manusia Satu-Dimensi
dilihat sebagai “fakta yang telah terjadi, yang diterima dalam ketidakpedulian dan
kekalahan.”116

3.2 Gagasan-GagasanManusia Satu-Dimensi

Gagasan-gagasan filosofis Herbert Marcuse mencoba mengkaji bentuk-


bentuk kontrol sosial. Kapitalisme dan industri budaya telah menjadi alat kontrol
kehidupan masyarakat modern. Dalam konteks inilah ia menggali intisari
filsafatnya. Ia merumuskan konsep rasionalitas teknologis yang sangat bertali erat
dengan perkembangan kapitalisme. Konsep ini menjadi sangat sentral dalam teori
masyarakat satu-dimensi. Di dalamnya, Marcuse menjelaskan keruntuhan visi-misi
nalar kritis berhadapan dengan rasionalitas teknologis industri. Oposisi dilemahkan
dengan merebaknya bentuk-bentuk ideologis rasionalitas teknologis dalam bentuk
budaya masyarakat modern: produktivitas barang dan jasa, sarana transportasi,
komunikasi massa, makanan, pakaian dan industri hiburan.117
Keterbatasan nalar kritis melahirkan manusia berdimensi satu. Teori ini
juga menjadi kiblat utama pencarian intelektual Herbert Marcuse. Seluruh
bangunan modernitas dibentuk atas struktur despotik “satu-dimensi” ini. Dengan
ini, Marcuse sebenarnya ingin membangun basis kesadaran untuk menciptakan

113
Charles Reitz, op. cit., hlm. 165.
114
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 12.
115
Charles Reitz, op. cit., hlm. 166.
116
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 8.
117
Ibid., hlm. 18.

39
kondisi manusia yang ‘dwi-dimensional.’ Dimensi positif dan dimensi negatif
(oposisi) harus berjalan seimbang untuk meruntuhkan bentuk-bentuk kekuasaan
dan penindasan struktural kapitalisme.118

3.2.1 Rasionalitas Teknologis

Kapitalisme telah bersenyawa dengan inovasi teknologi mutakhir dan


melahirkan suatu bentuk rasionalitas teknologis (technological rationality/
operational rationality). Rasionalitas ini bertolak dari irasionalitas sistem-sistem
opresif kapitalisme. Alih-alih mengantarkan manusia kepada sebuah kebebasan
dan otonomi seperti pada masa pencerahan, rasionalitas ini bekerja demi
kepentingan dominasi oleh segelintir kekuatan kaum kapitalis. Rasionalitas ini,
menurut Marcuse, “mempertahankan struktur hierarkisnya sambil mengeksploitasi
sumber-sumber alam dan mental secara lebih efisien.”119
Lebih lanjut, menurut Marcuse, rasionalitas teknologis merupakan suatu
sistem terpadu yang berorientasi pada pertimbangan-pertimbangan efisiensi,
produktivitas, kepastian matematis, ketepatan dan untung-rugi. Nilai-nilai ini
membentuk sedimentasi pola pikir dan tingkah laku masyarakat. Selain
memberikan konsep dan paradigma berpikir, ia juga menyajikan sebuah teknik
konkret. Untuk hal ini, rasionalitas teknologis memberikan beragam instrumen
penguasaan. Penguasaan atas teknologi dan produksi menciptakan rasionalitas
teknologis. Kemajuan teknologi yang awalnya dipahami sebagai katalisator
pembebasan manusia kini harus tiba pada persimpangan jalan. Teknologi memiliki
ciri dominatif. Kapitalisme memanfaatkan keunggulan teknologi ini demi ekspansi
dominasinya atas masyarakat. Masyarakat yang dikuasai rasionalitas teknologis
disebut sebagai masyarakat teknologis atau komunitas teknologis.120
Herbert Marcuse berpegang teguh pada aspek kepentingan (nilai) dalam
teknologi. Netralitas murni tidak pernah ada dalam teknologi. Teknologi didaulat
sebagai sebuah instrumen penindasan baru di tangan para penguasa atau status
quo. Teknologi menciptakan legalitas terhadap bentuk-bentuk penindasan di bawah

118
Charles Reitz, loc. cit.
119
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 218.
120
Ibid., hlm. 41.

40
payung kapitalisme kontemporer. Rasionalitas teknis terikat pada transformasi-
transformasi sosial masyarakat dan interese-interese kekuasaan.121
Sejalan dengan pandangan Marcuse, Jeffry V. Ocay menegaskan
pergeseran nilai teknologi.122 Pada masa-masa awal kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi menjadi katalisator utama pembebasan manusia dari penderitaan dan
keringat. Dampak positif teknologi mampu mengelevasi batasan-batasan alamiah
dan kultural masyarakat. Namun, saat praktek dominasi dan totalitarian bertumbuh,
aplikasi teknologi mulai melenceng dari telos awalnya. Teknologi menjadi alat
politik untuk menguasai dan menaklukkan. Logos menjadi ‘teknologos’ yang
hanya bersifat teknis praktis.123Selain itu, akar utama rasionalitas teknologis ini
adalah paradigma positivisme yang mengabaikan pertimbangan moral-etis
teknologi. Standar-standar aksiologis teknologi terabaikan demi kepentingan
kekuasaan dan dominasi. Pada dasarnya, standar atau tolak ukur semua teknologi
adalah sama, tapi berbeda secara drastis dalam orientasi pengaplikasiannya.
Kapitalisme mengambil celah netralitas rasionalitas-teknologis untuk mendukung
eksistensinya melalui serangkaian manipulasi massa dan dominasi politis oleh
kemajuan teknologi. Kapitalisme dalam hal ini telah merubah teknologi yang netral
menjadi sangat ideologis.124
Bersamaan dengan pesatnya perkembangan bentuk-bentuk dominasi
kapitalisme melalui teknologi, kita temukan semakin kompleks bentuk-bentuk
dominasi baru yang berlaku di dalam masyarakat. Penindasan manusia oleh
manusia tidak lagi merupakan sebuah “kebergantungan personal,” melainkan
“kebergantungan pada ‘tatanan objektif segala sesuatu.’”125 Tatanan objektif ini
berupa seperangkat hukum ekonomi, prinsip-prinsip pengembangan modal,
kompetisi pasar bebas, tuntutan bisnis, hedonisme, konsumerismemaupun

121
Robert Pipin (ed.), Marcuse: Critical Theory and The Promise of Utopia (USA: Macmillan
Education, 1988), hlm. 226-227.
122
Jeffry V. Ocay, “Technology, Technological Domination, and the Great Refusal: Marcuse’s
Critique of the Advanced Industrial Society”, Journal Kritike, 4:1 (Manila, Juni 2010), hlm. 55-57.
123
Logos di sini dimengerti sebagai daya-daya kritis pikiran manusia. Kemampuan kritis logos telah
mengantar manusia untuk berinovasi pada alam dan teknologi. Sebaliknya, pada masyarakat
industri modern, ia kehilangan nilai kritisnya dan tunduk pada arahan teknologi ciptaannya sendiri.
Dengan demikian, logos berubah menjadi teknologos. Bdk. Valentinus Saeng, Herbert Marcuse:
Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global, (Jakarta: Gramedia, 2012), hlm. 194-199.
124
Jeffry V. Ocay, loc. cit.
125
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 217-218.

41
ideologi-ideologi ekonomi kapitalis.126 Prinsip-prinsip tersebut dipuja sebagai
suatu rasionalitas modern yang “lebih tinggi.” Rasionalitas teknologi ini oleh
Herbert Marcuse terlihat sebagai suatu kecenderungan untuk mempertahankan
kemapanan struktur sosial yang ada. Eksploitasi alam dan psikologis manusia terus
bergerak secara tak kasat mata di balik segala kenyamanan semu yang disediakan
oleh teknologi industri. Dengan jalan demikian, efisiensi dan produktivitas
kapitalisme menutupi segala kejahatannya.
Masyarakat luas telah merasa cocok dengan tatanan realitas era kapitalisme
maju. Secara psikologis mereka telah terkondisikan untuk berpikir demikian.
Industri-industri besar terus mengintervensi persepsi publik untuk puas terhadap
produk-produknya dan untuk memastikan komoditasnya tetap menjadi pilihan
utama konsumen. Kecocokan semacam ini menggiring “pikiran dan perilaku
mengungkapkan suatu kesadaran yang salah, yang memberikan respons dan
kontribusi terhadap pemeliharaan suatu susunan fakta-fakta yang salah.” Bila pola
pikir telah terintegrasi dengan rasionalitas semacam ini, maka sulit untuk keluar
dari lingkaran ideologis tersebut. Ideologi tersebut menjadi syarat bagi
keberlangsungan fungsi manipulatif kapitalisme dan rasionalitas teknologis.127
Menurut Marcuse, dalam usaha memanipulasi mesin-mesin industri,
manusia akhirnya belajar makna penting suatu “ketaatan” terhadap sistem
teknologis. Ketaatan tersebut menjadi satu-satunya jalan untuk mendapatkan hasil
yang memuaskan. Tidak ada ruang bagi otonomi. Rasionalitas individu
(individualistic rationality) telah dikondisikan sebagai salah satu faktor penunjang
yang menopang tujuan-tujuan produktivitas kapitalis. Dengan demikian,
kapitalisme telah menyerap semua usaha individu untuk berpikir dan
bertindakbebas, bahkan mengkritik sistemnya.128
Rasionalitas teknologis ditopang pula oleh citra modernisasi. Dunia
modern, dalam hal ini diwakili oleh negara-negara kapitalis maju, menjadi suatu
acuan cita-cita pembangunan negara Dunia Ketiga. Sarana-sarana informasi telah

126
Ibid.
127
Ibid., hlm. 219.
128
Herbert Marcuse, “Some Social Implications of Modern Technology”, dalam Douglas Kellner
(ed.), Technology, War, and Fascism; Collected Papers of Herbert Marcuse. Vol. 1 (London:
Routledge, 1998), hlm. 46.

42
menawarkan gambaran dari kemajuan-kemajuan dunia modern. Persepsi baru
mulai terbentuk; tahap akhir sebuah pembangunan nasional adalah imitasi atas
modernitas negara-negara maju, seperti Amerika Serikat. Dengan koridor
pemikiran ini, urbanisasi terjadi besar-besaran, sebab kaum marginal di Negara
Dunia Ketiga tertarik untuk merasakan ekstase modernisme di pusat-pusat kota
maju.
Seruan dan citra gemilang dari modernisme, yang sekaligus menggandeng
citra kapitalisme, menciptakan harapan-harapan rasional tapi serentak
menghasilkan“mistik hidup modern.”129 Harapan-harapan rasional itu terwujud
dalam impian keluar dari kemiskinan, terhindar dari kelaparan, penyakit, memiliki
penghasilan, atau intensi untuk merubah status sosial.Dalam kenyataannya,
harapan-harapan ini seakan mengandung nilai mistik dari modernisme itu sendiri.
Lebih dari itu, kaum buruh ditindas oleh para kapitalis industri: terciptanya
perkampungan kumuh di sentra-sentra industri, gaji yang rendah, kebutuhan hidup
yang tak terjangkau, kehilangan tanah, kemiskinan radikal, penindasan, hingga
kematian di tempat kerja. Masyarakat terperangkap dalam ilusi mistik modernisme
dan kapitalisme modern yang diyakini mengandung segala potensi kebaikan.
Rasionalitas teknologis mengandung daya-daya mistik yang menjebak individu.
Individu yang telah terjebak ini mengembangkan sebuah cara berpikir dan
berperilaku yang kebal terhadap apa saja selain rasionalitas yang tidak bisa
dipungkiri lagi, yakni rasionalitas teknologis industri.130
Rasionalitas teknologis mengingkari keluhuran perspektif tentang nilai-
nilai. Sebagai sebuah rasionalitas yang bertolak dari fakta empiris, ia menolak
pertimbangan-pertimbangan etis atau moral. Semesta nilai memang memiliki
martabat yang tinggi di benak masyarakat, tetapi sejauh ia diabaikan, sebab
“semakin kurang diperhatikan seperti itu semakin tinggi nilai-nilai itu terangkat di
atas realitas.”131 Keluhurannya terletak justru karena ia tidak tepat diberlakukan
dalam semesta konkret yang berpusat pada dinamika ekonomi antar kelas dalam
masyarakat. Paham ini didukung sepenuhnya oleh paradigma berpikir positivisme.
129
Peter L. Berger, Brigitte Berger dan Hansfried Kellner,Pikiran Kembara: Modernisasi dan
Kesadaran Manusia, penerj. A. Widyamartaya (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), hlm. 128.
130
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 219.
131
Ibid., hlm. 222.

43
Rasionalitas teknologis merupakan sebuah ideologi yang sangat
kontekstual dengan kebutuhan kapitalisme industri. Ia riil dan sangat teknis,
sehingga bisa segera diwujudkan dalam serangkaian kebijakan ekonomi atau
korporasi. Ia juga punya muatan ilmiah yang tinggi dan bisa diverifikasi.
Keunggulan-keunggulan ini melampaui konsep-konsep abstrak tentang keadilan
atau kebenaran. Gagasan-gagasan humanis, religius dan spiritual hanya sekedar
cita-cita. Dengan demikian, individu diajak untuk mengabaikan refleksi-refleksi
kritis seputar nilai-nilai dan beralih ke tinjauan teknis tentang bagaimana cara
meraup keuntungan optimal dengan modal yang minimalis dan bagaimana kapital
(modal) dikembangkan dalam serangkaian kegiatan produksi. Cita-cita semesta
nilai dikalahan oleh rasionalitas teknologis yang berorientasi pada kebutuhan bisnis
atau pertimbangan politik praktis.132
Gagasan-gagasan kritis yang berorientasi pada struktur nilai kehilangan
landasan ilmiahnya. Ia tidak bisa dilihat secara empiris dan tidak bisa diselidiki
secara ilmiah atas akar-akar terdalamnya. Gagasan-gagasan ini hanya berhenti
pada tahap ‘cita-cita,’ bahkan kini tiba pada tahap ‘imajinasi’ belaka. Saat
kekuatan ilmiahnya dipertanyakan, maka isi konkret dan muatan kritisnya akan
“menguap ke dalam atmosfer etis atau metafisis.” Oposisi terhadap realitas tidak
akan lagi terbentuk, atau pun jika masih ada, kekuatannya tidaklah seperti
sebelumnya. Manusia berhenti untuk mempertanyakan realitas dan berbalik
mengafirmasi segala sesuatu secara buta (taken for granted).133
Lebih jauh, rasionalitas teknologis menciptakan nalar instrumental.
Terminologi ‘instrumental’ yang dimaksudkan oleh Marcuse adalah pola pikir
yang menjadikan seluruh aspek kehidupan sebagai alat teknis untuk mendominasi
pihak lain. Marcuse membahas konsep ini secara mendalam dalam bukunya
Manusia Satu-Dimensi. Di dalamnya, relasi instrumental tampak dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat kapitalis.134
Pandangan ini paralel dengan gagasan populer Georg Lukacs tentang
konsep reifikasi sebagaimana dikutip oleh Eric-John Russel, “Through the

132
Ibid., hlm. 223.
133
Ibid.
134
Ian Craib, op. cit., hlm. 281.

44
production and exchange of commodities, relations between people are
subordinated to the social form of the commodity, inverting their subjective
relations to the supremacy and autonomy of the object.”135 Dalam reifikasi, relasi-
relasi kehidupan direduksi menjadi unit-unit relasi antar benda material.
Pertemuan, perjumpaan atau relasi interpersonal tidak punya makna lain selain
hubungan antar benda dan koneksi fungsional. Nalar ini berorientasi pada
kepentingan konkret-praktis. Dalam masyarakat kapitalisme, nalar ini terbentuk
dari tuntutan untuk memperoleh keuntungan lebih atau untuk mengembangkan
kapital usaha bisnis. Oleh sebab itu, pertimbangan humanisme atau etis dan moral
tidak mendapatkan ruang yang layak. Demikianlah nalar instrumental memandang
dunia sekitarnya. Bagi Marcuse, instrumentalitas hanya memandang, “pendekatan
teknis, logos yang benar adalah teknologi.”136
Ilmu pengetahuan yang positivistik digunakan oleh nalar instrumental
untuk mempertahankan dominasi kapitalisme atas masyarakat. Saat sebuah
penelitian atau pengetahuan hanya berkutat pada masalah deskripsi terhadap fakta
dan fenomena konkret, ia hanya sekedar memberi penegasan terhadap fakta-fakta
tersebut. Kapitalisme juga bekerja seturut prinsip yang sama, yakni untuk
meningkatkan produktivitasnya demi mempertahankan eksistensi diri dan
membenarkan tatanan sosial-ekonomi masyarakat. Melalui kemajuan ilmu
pengetahuan, manusia memiliki instrumen mutakhir untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Namun, tanpa pertimbangan etis, produk-produk ilmu pengetahuan
tersebut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang merugikan, misalnya melalui
dominasi massal.137
Para pemikir Mazhab Frankfurt sepakat untuk menonjolkan aspek
kepentingan nilai dalam ilmu pengetahuan. Pertimbangan nilai ini menjadi daya
untuk merombak tatanan dunia yang sudah korup atau rusak. Filsafat yang
seyogyanya berpotensi memberikan gagasan-gagasan etis filosofisnya kini malah
menjadi sekedar sebuah “alat yang bekerja” bagi kepentingan ilmu pengetahuan

135
Eric-John Russel, “Georg Lukacs: An Actually Existing Antinomy”, dalam Beverly Best,
Werner Bonefeld dan Chris O’Kane (eds.), The Sage Handbook of Frankfurt School Critical
Theory. Vol. 1 (London: SAGE, 2018), hlm. 217-218.
136
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 235-236.
137
Ian Craib, op. cit., hlm. 282-283.

45
yang positivistik. Filsafat seharusnya dapat membebaskan manusia dari
ketertindasan epistemis dan kulturalnya. Untuk mewujudkan hal ini, kita harus
memecahkan mitologi nalar instrumental yang hanya berkutat pada cara menguasai
dan memanfaatkan manusia demi kepentingan parsial.138

3.2.2 Mengapa Satu-Dimensi?

Intisari kritik Marcuse terhadap masyarakat kapitalisme industri maju


adalah matinya dimensi negatif atau kritis. Industri telah menyingkirkan peran
nalar kritis individu dan menjadikannya sebagai instrumen untuk memperjuangkan
kepentingan mesin. Fenomena ini mengubah esensi dasar manusia yang dwi
dimensional. Dua dimensi manusia menurut Marcuse adalah dimensi afirmatif dan
dimensi negatif. Dimensi afirmatif terdiri atas unsur-unsur yang mendukung dan
melanggengkan struktur kekuasaan dari sistem yang ada. Dalam konteks ini,
sistem kapitalismelah yang didukung dan diafirmasi. Sebaliknya, dimensi negatif
berisikan unsur-unsur yang menentang tatanan masyarakat dan realitas yang ada.
Dimensi negatif didukung oleh kesadaran individu atas struktur yang menindas dan
mendominasi. Dengan demikian, elemen-elemen negatif dalam diri individu selalu
mencoba untuk mengubah sistem kekuasaan yang ada. Karakter subversif dari
dimensi negatif inilah yang memunculkan usaha untuk mengekang dan menekan
daya-daya kritis individu.139
Menurut Marcuse, manusia pada dasarnya memiliki dua dimensi, yakni
dimensi afirmatif dan dimensi negatif.140 Dimensi afirmatif atau positif
mengafirmasi suatu entitas sebagai benar secara ontologis dan bersikap selaras
dengannya. Sebaliknya, dimensi negatif berbicara tentang sebuah kritik terhadap
otoritas atau sistem tertentu. Ia mempertanyakan otoritas dan status quo, sebab
menurut dimensi ini, kemajuan hanya akan bisa dicapai bila oposisi dipelihara dan
sikap negasi terus dibudidayakan. Dalam oposisi dan negasi terdapat sebuah

138
Ibid.
139
Franz Magnis-Suseno, Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 271.
140
Ibid.

46
penolakan atas realitas yang disebut Marcuse sebagai “penolakan Agung” (The
Great Refusal).141
Marcuse menawarkan sebuah tatanan sosial yang di dalamnya oposisi
menjadi taruhan. Oposisi dan kegelisahan dibudidayakan untuk menciptakan
kebebasan yang lebih besar dalam suatu masyarakat. Ia menyebutnya sebagai
prinsip kegelisahan dan oposisi permanen (principle of permanent unrest and
oposition).142 Dalam prinsip ini, dua dimensi manusia perlu dipertautkan relasinya,
baik “positive-thinking” maupun “negative-thinking.” Dengan memberi
keleluasaan kepada oposisi, masyarakat akan bebas mengemukakan pikiran
rasionalnya demi pertimbangan-pertimbangan yang konstruktif. Inilah peran
masyarakat yang sesungguhnya, yakni untuk “grant him such freedom and to
remove all restrictions upon his rational course of action.”143
Menurut Marcuse, situasi zaman modern kehilangan “unsur revolusioner”-
nya. Oposisi atau dimensi negatif menjadi sedemikian kompromistis sehingga
masyarakat kehilangan daya kritisnya. Kapitalisme telah dengan jeli
mengintegrasikan dimensi negatif manusia ke dalam sistemnya. Ia menampung
pluralitas perspektif dan disensus, tapi pada saat yang sama ia merubahnya menjadi
ruang kebebasan semu di mana setiap orang mengkomunikasikan kritiknya tanpa
memetik hasil perubahannya.144
Peluang kebebasan ini bersifat semu sebab pada dasarnya para kapitalis
ingin menanamkan impresi kebebasan dalam tubuh masyarakat tanpa benar-benar
mempedulikannya. Masyarakat yang kritis dikenyangkan dengan produk-produk
kapitalis, sifat konsumtif mereka dipuaskan dengan variasi barang-barang terbaru.
Alhasil, masyarakat yang merasa terpuaskan ini tak lagi getol memberi kritik.
Sejauh sebuah sistem, meskipun menindas, memuaskan, ia harus diterima dan
dipertahankan. Kalaupun masyarakat bersikap kritis terhadap berbagai bentuk
penindasan, kritiknya ini ditujukan secara anonim, bukan secara eksplisit pada

141
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 382.
142
Herbert Marcuse, “Some Social Implications of Modern Technology”, dalam Douglas Kellner
(ed.), Technology, War, and Fascism; Collected Papers of Herbert Marcuse. Vol. 1 (London:
Routledge, 1998), hlm. 43.
143
Ibid., hlm. 42.
144
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 17.

47
kapitalis karena mereka juga telah menyediakan apa yang masyarakat butuhkan.
Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan ini menyebabkan individu “mengenal
diri mereka sendiri di dalam komoditas mereka.”145
Lenyapnya dimensi negatif manusia dikaitkan secara inheren dengan proses
material dan industri kapitalisme. Kemajuan teknologi sukses membungkam dan
merekonsiliasi oposisi kritis. Proses-proses produksi dan distribusi telah
menghasilkan banyak fakta yang sayangnya diterima sebagai sebuah keterberian
asali. Nalar manusia yang seharusnya bisa memotori arah kemajuan suatu zaman
tergelincir menjadi hanya sekedar sebuah sikap “penyerahan terhadap kenyataan
hidup” dan fakta-fakta yang dihasilkannya. Anehnya, fakta-fakta yang dihasilkan
oleh industri kapitalisme tidak mencantumkan narasi “kekuasaan represif” di
baliknya.146
Menurut Marcuse, kapitalisme telah berhasil mengintegrasikan kekuatan
oposisi individu. Oposisi “tidak perlu ditindas, melainkan diberi ruang di mana
mereka dapat dengan bebas menyuarakan kritik, dan justru karena itu mereka
menjadi unsur dalam sistem yang ada, jadi tidak mengancamnya.” Kapitalis
industri mengakomodasi dimensi negatif ini. Pada saat bersamaan, ia terus
meningkatkan produktivitasnya demi menjawabi kebutuhan masyarakat sebagai
jalan membungkam oposisi.147
Masyarakat menikmati kebebasan yang besar oleh bantuan kapitalisme.
Semua kebebasan dan privilese yang dulu hanya dinikmati kelas-kelas atas
sekarang bisa dinikmati oleh berbagai kalangan. Siapa saja dijamin kebebasannya
untuk bepergian ke mana saja, mencari pekerjaan atau menciptakan lapangan
pekerjaan baru, menyatakan pendapat, berorganisasi, terlibat dalam institusi politik
publik, menentukan kepala pemerintahan, berpikir dan masih banyak yang lainnya.
Motivasi atas kebebasan ini tepat seperti yang diperjuangkan pada masa
Aufklarung (Pencerahan). Abad ke-XVIII adalah masa Pencerahan yang mencoba
untuk membebaskan manusia dari mitos (demitologisasi), dogma agama,
klerikalisme dan monarki. Ia mencita-citakan zaman yang dibangun di atas

145
Ibid., hlm. 14.
146
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 17.
147
Franz Magnis-Suseno, loc. cit.

48
landasan nalar kritis, bukan pada kepercayaan mitologis. Produk pada masa ini
adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat.148
Namun, pada masa modern, produk dari Pencerahan ini berbalik menjadi
suatu mitos baru. Manusia yang tadinya menjadi subjek yang menguasai alam, kini
malah berbalik menjadi objek penguasaan alam itu sendiri. Inilah yang disebut
“negativitas total,” sebuah prinsip yang coba dikritik dalam teori Manusia Satu-
Dimensi.149
Tanpa disadari, evolusi teknologi dalam kapitalisme telah menyulap
“rasionalitas individual” (individualistic rationality) menjadi “rasionalitas
teknologis” (technological rationality). Rasionalitas teknologis yang terwujud
dalam prinsip kemudahan, kepastian, dan kebebasan semu yang ditawarkan telah
mengarahkan pertimbangan-pertimbangan kritis kepada serangkai gagasan
subsistem dari sistem yang ada. Perlawanan nalar kini berperan sekedar
menegaskan standar-standar nilai atau tujuan hidup yang digariskan oleh
masyarakat industri.150 Ketumpulan nalar kritis (oposisi) boleh jadi disebabkan
pula oleh melemahnya “conscious self-awareness.” Tanpa sebuah kesadaran diri
yang kuat, individu tidak bisa membuat re-evaluasi terhadap objek atau situasi
eksternalnya. Pertimbangannya tidak lagi didasarkan pada kriteria yang
independen (independent) melainkan tergantung pada kriteria lingkungannya
sendiri, sebuah algoritma sistem kapitalisme yang melenyapkan kesadaran otonom
sebagai “The self.”151
Kebebasan-kebebasan semu itu mempertebal dimensi afirmatif.
Kapitalisme dianggap sebagai sistem yang rasional dan mampu memperbaiki
tatanan sosial-ekonomi rakyat banyak. Alternatif di luar sistem ini tak bisa
terpikirkan. Yang berada di luar sistem hanya akan menjadi pihak yang teralienasi
secara total. Satu-satunya jalan keluar dari alienasi adalah menjadi bagian dari

148
K. Bertens, Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: PT. Kanisius,
2018), hlm. 114.
149
Sunarto, “Negativitas Total; Kritik Adorno terhadap Rasionalitas dan Seni Masyarakat
Modern”, Pelataran Seni: Jurnal Pendidikan dan Kajian Seni,1:2 (Banjarmasin: September 2016),
hlm. 140.
150
Douglas Kellner (ed.), op. cit., hlm. 44.
151
Juan Pedro Nunez, “Beyond The Algorithms are Consciousness and Freedom”, International
Journal of Philosophy, 8:1(New York: Januari 2020), hlm. 6.

49
sistem itu sendiri. Namun, bahaya dari ketergabungan ini adalah semakin
tererosinya dimensi negatif. Kritisisme mati. Herbert Marcuse, bersama seluruh
Mazhab Frankfurt berintensi menjadi pelopor kritisisme yang emansipatif menuju
pencerahan dengan memantik kesadaran individu dan masyarakat atas
belenggunya.152
Selain menyediakan ruang-ruang kebebasan semu, salah satu strategi
kapitalisme untuk melanggengkan kekuasaannya adalah melalui manipulasi
kebutuhan. Manipulasi kapitalisme menghambat kebutuhan dasar manusia yakni
“mengembangkan diri dan menjalin hubungan dengan orang lain atas dasar saling
meminati dan saling menghormati dalam martabatnya.”153 Pengembangan diri
terhambat karena kebutuhan-kebutuhan dasar sebagai manusia yang utuh
dibelokkan hanya untuk kepentingan kapitalis. Relasi sosial masyarakat terhambat
karena di mata kapitalisme, relasi hanya bisa dimengerti sebagai relasi instrumental
dan fungsional pasar. Profit dan produktivitas jauh lebih penting dari erotisme.154
Inisiatif dan spontanitas manusia dikangkangi oleh sistem kapitalisme.
Sigmund Freud, sebagaimana dijelaskan oleh Erich Fromm, menegaskan
ketimpangan relasi sosial manusia di era modern. Relasi sosial antar masyarakat
dimengerti sebagai “...similar to the market – it is an exchange of satisfaction of
biologically given needs, in which the relationship to the other individual is always
a means to an end but never an end in itself.”155 Relasi sosial sekedar sebuah
transaksi material antar individu. Ia bukan tujuan untuk dirinya sendiri melainkan
suatu instrumen untuk tujuan eksternal material belaka.
Bagi Marcuse, dalam era kapitalisme industri, terjadi mekanisme
desublimasi, yaitu “manusia tidak lagi hidup dan berusaha menurut cita-citanya,

152
Luthfiah, “Kritik Modernitas Menuju Pencerahan: Perspektif Teori Kritis Mazhab Frankfurt”,
Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan, 2:1 (April 2018), hlm. 279.
153
Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 274.
154
Erotisme berkaitan dengan daya-daya kehidupan yang membentuk struktur relasi antar pribadi
seturut nilai-nilai keakraban, saling percaya, kehendak, cinta, keindahan, simpati atau intimasi.
Fundamen-fundamen ini menjadi negasi bagi struktur masyarakat yang dibangun oleh kapitalisme
yang berorientasi pada spirit hedonisme dan fetisisme material. Dalam bukunya Eros and
Civilization, Marcuse secara konsisten membuat distingsi yang tegas antara daya-daya erotis dan
ekspresi kapitalisme. Bagi Herbert, Seni merepresentasikan daya-daya erotis terdalam manusia.
Bdk. Herbert Marcuse, Eros and Civilization: Philosophical Inquiry into Freud, ed. Front Matter
(Boston: Beacon Press, 1966), hlm. 197.
155
Erich Fromm, Escape From Freedom (New York: Owl Books, 1994), hlm. 7.

50
melainkan sekarang ia bercita-cita untuk menjadi salah satu roda gigi dalam
pelancaran proses produksi kapitalisme.” Keterbalikkan ini menegaskan
kelemahan otonomi manusia yang tidak bisa berpikir secara negatif selain untuk
mengafirmasi penindasan kapitalisme. Kondisi inilah yang pada gilirannya
melahirkan ‘Manusia Satu-Dimensi’.156
Kelemahan otonomi kritis individu melahirkan kepribadian objektif
(objective personality). Lewis Mumford, sebagaimana dijelaskan oleh Marcuse,
menggambarkan pribadi ini demikian; “...one who has learned to transfer all
subjectivity spontaneity to machinery...”157 Manusia Satu-Dimensi adalah manusia
yang telah menyerahkan semua subjektivitasnya kepada rasionalitas teknologi
kapitalisme. Seluruh pertimbangan dan kebutuhannya merupakan tuntutan
produksi industri kapitalisme. Kebutuhan-kebutuhan konsumtif terhadap produk-
produk industri, misalnya, merupakan kebutuhan palsu hasil indoktrinasi
kapitalisme industri.
Kematian otonomi negatif individu semakin diperkuat melalui suatu
ketaatan baru. Superego158 tidak lagi mendorong perilaku dan pertimbangan-
pertimbangan konstruktifnya. Seluruh bangunan stabilitas masyarakat didasarkan
pada ketaatan buta terhadap “imperatif-imperatif sistem.”159 Masyarakat tunduk
pada tatanan yang telah ditentukan oleh kepentingan bisnis kapitalis dan
rasionalitas teknologisnya. Ini adalah suatu bentuk penindasan kultural baru.
Penindasan ini bersifat “mengancam budaya itu.”160
Di samping penindasan libido (sublimasi),161 kapitalisme memperkenalkan
“surplus repression” (penindasan tambahan).162 Penindasan tambahan bertujuan

156
Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 277
157
Herbert Marcuse, “Some Social Implications of Modern Technology”, op. cit., hlm. 4.
158
Superego adalah salah satu elemen dalam struktur psikis manusia menurut Sigmund Freud.
Menurut Freud, superego berkaitan dengan pertimbangan kritis dan moral yang dibuat oleh
manusia. Pertimbangan ini mampu mengarahkan sikap individu. Secara terpisah, ada dua elemen
psikis lain yang memiliki peran berbeda. Mereka adalah id dan ego. Id berisikan dorongan-
dorongan insting yang tak tekordinasi, sedangkan ego bersifat rasional dan terorganisasi. Ego dalam
struktur psikis berperan sebagai penengah antara dorongan id dan superego. Bdk. K. Bertens (ed.
dan penerj.), op. cit., hlm. 32-34. Bdk. Calvin S. Hall, Naluri Kekuasaan Sigmund Freud, penerj.
Ana Samhuri (Yogyakarta: Narasi, 2017), hlm. 42-50.
159
Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 253.
160
Ibid., hlm. 256
161
Menurut Sigmund Freud, penindasan terhadap libido atau hasrat seksual adalah sebuah
kebutuhan dasariah. Untuk membangun keteraturan dan kemajuan bersama dalam kelompok

51
untuk mempertahankan logika kapitalis. Masyarakat diindoktrinasi oleh tawaran
media untuk mengkonsumsi produk ‘tambahan’ korporasi tertentu. Penyesuaian
kebutuhan terhadap produk-produk industri menjadi tuntutan jika tidak ingin
teralienasi dari arus zaman. Semua pilihan kebutuhan dikonstruksi oleh
kepentingan kapitalis sehingga orang tak lagi bisa membedakan kebutuhan dari
keinginan. Semuanya bekerja sama demi keberlangsungan kepentingan kapitalis
dan menjadi “suatu cara pandang hidup.”163
Ironisnya, bagi Marcuse, manusia modern tidak lagi menyadari adanya
suatu penindasan atas mereka. Secara epistemologis, mereka tidak mampu
mengenali sistem penindasan yang menjadi esensi dasar dari kapitalisme.
Kebutuhan ekonomi mereka terpenuhi, kebebasan mereka difasilitasi, standar
hidup mereka ditingkatkan. Tidak ada lagi represi yang mendeterminasi mereka.
Keyakinan ini seakan-akan menjadi jati diri manusia modern. Ketika keyakinan ini
terkonsolidasi dalam kesadaran manusia, oposisi menjadi kehilangan daya
kritisnya. Individu tidak lagi mampu mengenal cacat-cacat esensial peradaban.
Nalar tunduk pada realitas manipulatif yang berlangsung.
Keyakinan atas sebuah sistem yang ‘memuaskan’ bisa berdampak pada
pola hidup masyarakat. Daripada bersusah payah mengkritik dan berdialektika atas
kehidupannya, manusia terobsesi untuk mengejar optimalisasi ekonominya. Prinsip
ini disebut sebagai “performance principle”164 (prinsip prestasi). Prinsip prestasi
ini merupakan dampak lanjutan dari menguatnya dimensi “pikiran positif” dan
melemahnya “pikiran negatif.” Identik dengan etika Protestan,165 masyarakat

masyarakat, setiap individu perlu menekan gairah seksualnya. Pembatasan naluri ini pada
gilirannya akan disalurkan untuk daya-daya yang lebih konstruktif. Kekuatan seks (libido) bila
tidak dikontrol akan merusak struktur tatanan sosial. Maka dari situ lahirlah aturan dan tatanan
moral-etis. Moralitas tersebut berisikan ketentuan dan imperatif dalam mengatur relasi sosial dan
tugas-tugasnya. Ia melahirkan kohesi sosial. Dengan demikian, penindasan atas libido dalam kadar
tertentu adalah penindasan yang konstruktif. Bdk. K. Bertens (ed. dan penerj.), op. cit., hlm. 19-20.
162
Franz Magnis-Suseno, loc. cit.
163
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 19.
164
Douglas Kellner, Herbert Marcuse and The Crisis of Marxism (Los Angeles: University of
California Press, 1984), hlm. 341.
165
Hubungan etika Protestan dan prinsip kapitalisme digagas pertama kali oleh Max Weber.
Menurutnya, aspek askese dalam agama Protestan, khususnya Calvinisme, mendukung tatanan
masyarakat kapitalis. Prinsip askese mendorong para buruh untuk menerima penindasan dan
eksploitasi atasnya sebagai sebentuk askese. Dengan demikian, kaum kapitalis mendapatkan
justifikasi dari agama untuk terus mengembangkan perusahaannya, tak peduli bila ia harus
menindas lebih banyak buruh secara tidak adil. Keuntungan ekonomi dilihat sebagai tanda bahwa

52
neoliberal berpacu untuk meraih prestasi semaksimal mungkin dalam sistem
kapitalisme. Prinsip prestasi mengabaikan dimensi negatif manusia. Pertanyaan
etis dan kritis tentang apakah sistem kapitalisme menjamin keadilan dan
kesejahteraan diganti menjadi pertanyaan teknis seputar bagaimana cara terbaik
untuk meraih laba dan merebut pangsa pasar. Persoalan-peroalan yang berbau
teknis menuntut adanya afirmasi implisit bahwa model sistem kapitalisme dalam
dirinya sudah tepat menjawabi kebutuhan manusia.
Herbert Marcuse menelaah prinsip prestasi sebagai sebuah ambiguitas. Ia
bersifat ambigu karena, obsesi untuk meraih pretasi tidak lahir dari motivasi
personal manusia, melainkan lahir dari dorongan eksternal kepentingan sistem.
Tanpa disadari, semua aktivitas manusia bertekuk lutut di bawah kaki sistem.
Ironisnya, masyarakat bahkan mendapatkan kenikmatan dari prinsip tersebut.
Prinsip prestasi ini berfungsi dalam bentuk manipulasi kebutuhan. Kebutuhan
individu dipaksakan oleh industri kapitalis demi memenuhi kenikmatan material.
Marcuse menyebutnya sebagai kebutuhan represif. Kebutuhan tersebut
“mempunyai kandungan dan fungsi kemasyarakatan yang ditentukan oleh
kekuasaan-kekuasaan eksternal di mana individu tidak mempunyai kontrolnya.”166
Dua dimensi manusia ini dalam masyarakat teknologis tidak lagi menjadi
dua kekuatan yang paradoks. Kapitalisme justru telah berhasil merangkul dimensi
negatif dan mengintegrasikannya untuk kepentingan sistem kapitalis. Daya kritis
hanyalah logos yang digunakan untuk mendukung sistem yang sedang
berlangsung. Keberhasilan utama dari kapitalisme adalah meningkatkan
produktivitas dan memperbaiki standar hidup masyarakat. Capaian-capaian ini
tentu saja lahir dari kekuatan daya kritis rasio manusia. Namun, secara serentak
kekuatan yang sama, dalam masyarakat industri, ditransformasikan menjadi sebuah
mitos baru yang mengkhianati kandungan kritisnya. Prestasi kapitalisme telah
menghilangkan pertentangan kelas dalam masyarakat sebab setiap individu dibuat
untuk meningkatkan performa dari sistem yang ada. Individu merasa kondisi

seseorang telah ditentukan untuk keselamatan kekal dari Tuhan (doktrin predestinasi). Max weber,
The Protestant Ethic And The Spirit of Capitalism, penerj. Talcott Parsons (New York: Charles
Scribner’s Sons, 2003), hlm. 250. Bdk. Bernard Raho, Agama Dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta:
Obor, 2013), hlm. 64-71.
166
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 8.

53
hidupnya lebih baik melalui bantuan inovasi teknologi industri kapitalisme.
Kepuasan semacam ini menjadi alasan terciptanya Manusia Satu-Dimensia la
Herbert Marcuse.
Masyarakat satu-dimensi berpikir dalam model logika positif yang
berintensi menganggap realitas kapitalisme sebagai realitas satu-satunya. Marcuse
mengkritisi kecenderungan ini dengan asumsi bahwa dunia yang kita huni
bukanlah realitas paling final. Ia masih merupakan aktualisasi dari “ada terbatas”
dan dengan demikian ia bukanlah “realitas sejati.” Ia belum merupakan sebuah
surga aktual yang menjadi utopi manusia segala zaman. Kontingensi, keburukan
dan perubahan masih menjadi karakter dasar dari dunia tempat di mana kita
tinggal. Justru karena ia mengandung potensialitas dan imanensi, dunia harus terus
didorong untuk menemukan bentuk-bentuk kehidupan yang lebih ideal.167
Terlepas dari keberhasilan kapitalisme untuk meningkatkan produktivitas
kebutuhan, manusia masih harus mengusahakan alternatif sistem lain dengan
memperbaiki unsur-unsur destruktif dari sistem kapitalisme bersangkutan. bagi
Marcuse, kapitalisme bukanlah akhir dari seluruh pencapaian manusia melainkan
sebuah tahap dari perjuangan historis manusia untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya. Dari titik tolak ini, masyarakat boleh mendapat afirmasi bahwa
yang riil belum tentu mutlak benar, juga sebaliknnya, yang mutlak benar belum
tentu hadir dalam segala sesuatu yang riil.
Manusia menghadapi ketegangan antara fakta dan idealisme. Fakta
berbicara tentang segala fenomena dan realitas yang terjadi di dunia. Di kutub yang
berlawanan, idealisme cenderung untuk mengakomodasi sebuah gambaran dunia
alternatif, lain dari yang sedang dialami atau dihidupi oleh masyarakat. Ia
melampaui fakta-fakta yang mengalir di dunia. Oleh sebab itu, Herbert Marcuse
melihat urgensitas untuk menjadikan dunia sebagaimana seharusnya (das Sollen).
Budaya, dan sistem politik serta ekonomi yang dianut oleh masyarakat modern saat
ini bukanlah citra kehidupan ideal seperti yang dicita-citakan oleh manusia. Dunia
pengalaman langsung ini perlu “dikomprehensifkan, ditransformasikan bahkan

167
Ibid., hlm. 191.

54
disubversikan”168 untuk menjadi realitas sesuai apa yang seharusnya (ideal).
Usaha-usaha yang demikian merupakan inti kritik filosofis Marcuse terhadap
kapitalisme.
Gagasan Manusia Satu-Dimensi bertolak dari usaha untuk mengkritisi
fenomena masyarakat modern dan sistem kapitalisme. Sebagai sebuah kritik
teoretis dan praksis, nalar atau rasio adalah amunisi utama yang perlu
dipergunakan. Dalam pemahaman Marcuse, nalar dimaksudkan sebagai “kekuatan
yang subversif, ‘kekuatan dari yang negatif’ yang membangun.”169 Usaha subversif
ini adalah karakter fundamental dari nalar yang mampu menggali kualitas-kualitas
hegemonik sistem kapitalisme.
Ideologi-ideologi yang terkonsolidasi di tengah masyarakat mendapat
kekuatan tandingan melalui kerja nalar. Tanpa kekuatan negatif, nalar yang
menegasikan semesta wacana dunia, masyarakat hanya akan menerima segala
penindasannya secara pasif. Kondisi meningkatnya kemampuan afirmasi dan
menurunnya kemampuan kritis nalar inilah yang menciptakan kondisi manusia
berdimensi satu. Dimensi afirmatif menjadi terlalu dominan sehingga dimensi
negatifnya kalah.
Kemampuan subversif dari rasio dibutuhkan untuk membuka selubung
kontradiksi internal yang terkandung dalam sistem kapitalisme. Herbert Marcuse
melalui Manusia Satu-Dimensi berupaya untuk membuka kontradiksi dalam sistem
kapitalisme dan menyajikan kritik atasnya. Karl Marx membaca kontradiksi
internal antar kekuatan-kekuatan produksi kapitalisme yang mempelopori konflik
antar kelas. Namun, Marcuse merevitalisasi gagasan ini dengan menyatakan bahwa
semua kontradiksi dari relasi-relasi produksi telah terkonsolidasi dengan baik
dalam sistem kapitalisme. Kapitalisme telah memanipulasi alam bawah sadar
massal masyarakat sehingga mereka pun tidak melihat bahwa mereka sedang
berada dalam sistem yang represif dan eksploitatif.170
Kapitalisme yang bekerja melalui manipulasi kesadaran dan psikologi
masyarakat mengesampingkan pikiran dialektis. Dialektika berusaha

168
Ibid., hlm. 185.
169
Ibid., hlm. 186.
170
Ian Craib, op. cit., hlm. 278-279.

55
mempertentangkan jenis kebenarannya melawan kebenaran realitas tertentu.
Kebenaran rasional yang lahir dari pertimbangan dan analisa kritis tersebut
mendapat musuh yang legitim dari irasionalitas sistem kapitalisme. Gagasan
kebenaran yang ingin diwujudkan untuk keluar dari sistem fatamorgana berhenti
pada label sebagai “potensialitas” belaka.171 Sebagai potensialitas, ia menawarkan
tatanan yang sangat berbeda dari realitas aktual yang ada. Namun, imperatif untuk
mengusahakan tatanan tersebut sengaja diredam oleh kapitalisme dengan segala
iming-iming kenyamanan ekonomi dan kesejahteraan finansial.
Sistem kapitalisme dan modernitas telah mengurung kekuatan ‘negative-
thinking’ dalam penjara. Oposisi didiamkan melalui serangkaian penanaman
impresi artifisial yang mengagung-agungkan kapitalisme sebagai akhir dari segala
bentuk ideologi. Kemajuan proses produksi dan distribusi telah menuntun orientasi
hidup masyarakat ke arah “penyerahan terhadap kenyataan hidup.”172 Dimensi
kritis beralih menjadi kekuatan subversif yang tumpul dan mandul. Di bawah
logika penyerahan diri, setiap individu dengan kesadarannya berusaha
mereproduksi fakta-fakta dari jenis kehidupan yang sama. Kemampuan ini
mengeliminasi alternatif pemikiran yang menegaskan adanya represi masif dari
sistem yang sedang ia perjuangkan dan mengaburkan kontradiksi realitas. Herbert
Marcuse sendiri menegaskan tendensi ini sebagai berikut: “efisiensi sistem
menumpulkan pengenalan individu bahwa hal itu tidak mengandung fakta-fakta
yang tidak mengkomunikasikan kekuasaan represif dari keseluruhannya.”173
Masyarakat sudah sedemikian terstratifikasi ke dalam kelompok yang
standar hidupnya telah meningkat tapi tanpa dibarengi kesadaran bahwa terdapat
manipulasi masif di dalamnya oleh sistem yang sama. Kondisi yang demikian
memudahkan tendensi manusia untuk beradaptasi (afirmatif). Karena manusia
sudah merasa enak dan nyaman dengan kepuasan yang diberikan oleh sistem
ekonomi kapitalisme, ia tidak merasa perlu merombak sistem yang telah ada.
Sistem sosial telah menyumbat saluran kritis masyarakat. Dimensi transendental
dan filosofis yang seharusnya mampu menyajikan alternatif pemikiran melampaui

171
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi,op. cit., hlm. 199.
172
Ibid., hlm. 17.
173
Ibid.

56
realitas dominatif menjadi lenyap. Hal ini melahirkan kemenangan pada manusia
berdimensi satu yang ditandai dengan perubahan pikiran filosofis menuju pikiran
afirmatif.174
Kecenderungan masyarakat era kapitalisme dan industri modern selalu
mencoba menstabilisasi keadaan-keadaan yang bertentangan dengan daya
subversif nalar. Produk-produk kapitalisme terlalu ‘mengenyangkan’ kepuasan
kolektif masyarakat sehingga pertentangan-pertentangan internalnya diabaikan.
Sejauh sistem ekonomi mampu menjembatani nafsu ultra-konsumtif manusia,
intensi untuk membongkar selubung dominasi dan ketidakadilannya dirasa tidak
perlu. Pemerasan buruh dan eksploitasi alam yang masif menjadi tertutup dari
pandangan mata kesadaran masyarakat konsumen dalam bentuk produk-produk
teknologi mutakhir atau barang-barang industri. Tendensi-tendensi ini “mengarah
pada kemenangan realitas satu dimensi atas semua pertentangan.”175
Herbert Marcuse melihat sebuah kecenderungan besar kehancuran identitas
eksistensial manusia. Di tengah jagat semesta, terdapat berbagai cara meng-‘ada’.
Meng-ada-nya manusia sebagai subjek otonom menekankan jenis keberadaan
“oleh mereka sendiri” atau “sebagai diri mereka sendiri.” Meng-ada yang demikian
mengandung sebuah independensi ontologis dan determinasi diri. Sebaliknya,
terdapat kondisi ‘ada’ yang dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan eksternal di luar
tanggung jawab subjek bersangkutan. Eksistensi manusia dalam model kedua ini
dibentuk oleh dunia sekitarnya sehingga manusia eksis dalam distorsi, limitasi,
atau penyangkalan akan esensi mereka. Industri kapitalisme memanipulasi dan
mengkondisikan identitas meng-ada suatu individu sebagai objek dari sistem.
Dalam perspektif sosiologis, pengkondisian ini dinamakan sebagai ‘kontrol
sosial.’ Identitas manusia dibentuk oleh seperangkat alat atau sistem yang berlaku
di masyarakat. Tatanan budaya dengan segala ekspresinya menjadi dasar utama
yang di atasnya manusia dibatasi dalam berekspresi. Peter L. Berger
mengidentifikasikan sistem seperti ini sebagai sebuah peta sosial atau “titik

174
Ibid., hlm. 261.
175
Ibid., hlm. 187.

57
kordinat.”176 Dalam peta ini, setiap individu ada dan bergerak dalam sebuah
lingkup wilayah koordinat yang telah ditentukan oleh sistem. Seluruh aktivitas,
persepsi, inisiatif, kebutuhan dan keinginan manusia telah digambarkan oleh sistem
sebagai “titik perpotongan antara kekuatan-kekuatan sosial khusus.” Kebebasan
yang dirasakan oleh individu sebenarnya masih bergerak dalam batasan-batasan,
sebab dalam peta sosial, sistem tersebut “mengatakan kepada seorang individu apa
yang harus dibuatnya dan apa yang diharapkannya dari hidup.” Tentu, kekuatan
yang menciptakan peta tersebut adalah kapitalisme dengan rasionalitas
teknologisnya.177
Dalam kajian ini, kapitalisme menjadi sebuah kekuatan kontrol sosial yang
turut memprakondisikan identitas manusia. Interese ekonomi kapitalis mereduksi
nilai manusia hanya sebagai ‘objek ekonomi’ belaka. Nilai kemanusiaan ditakar
dalam neraca profit dan kemudian dijadikan sebagai objek sasaran kebijakan
ekonomi-politik penguasa. Demikianlah identitas eksistensial manusia dan
masyarakat satu-dimensi.

3.2.3 Filsafat Berdaya Kritis

Sebagai jalan purifikasi dan penebusan atas eksistensi manusia, ruang-


ruang dialektika perlu dibuka untuk menentukan respon solutif terhadap reduksi
sehari-hari ini. Herbert Marcuse menegaskan urgensitas peran dari filsafat. Filsafat
yang bertolak dari sebuah dialektika memiliki potensi besar untuk “memberikan
respons terhadap fakta-fakta sebuah realitas antagonistis.”178 Daya kritis filsafat
mampu membeberkan elemen-elemen kontradiktif dalam fakta-fakta sosial yang
merepresi identitas kemerdekaan manusia bahkan sampai pada taraf eksistensial.
Kajian-kajian filosofis harus bermula dari realitas riil dunia. Filsuf
Aristoteles, sebagaimana digambarkan oleh Bechler Z, melihat realitas ini sebagai
ada yang terbatas.179 Dalam keterbatasannya ini, ia senantiasa berubah dari sebuah

176
Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, penerj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Inti Sarana Aksara,
1985), hlm. 96.
177
Ibid., hlm. 97.
178
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 189.
179
Bechler Z., Aristotle’s Theory of Actuality SUNY Series in Ancient Greek Philosophy (Albany:
State of University of New York Press, 1995), hlm. 12.

58
potensialitas menuju aktualitas dalam rangkaian yang tak pernah mencapai
ujungnya. Maka, keburukan atau kegagalan menjadi bagian dari mekanisme
potensi-aktus ini. Itulah mengapa realitas yang dikaji oleh filsafat bukan atau
mungkin belum merupakan “realitas sejati.” Kesejatiannya masih merupakan utopi
yang masih perlu dikejar. Dari pertentangan internal ada yang terbatas inilah
filsafat harus mengkonstruksikan suatu realitas yang “telah menguasai
negativitasnya dan sudah lengkap dan independen dalam dirinya sendiri.”180
Kondisi merdeka dari antagonisme potensi-aktus menjadi episenter perjuangan
teoretis dan praksis dimensi negatif (negative thinking) Herbert Marcuse.
Kekuatan-kekuatan negasi terdapat dalam logos dan eros. Logos mewakili
objektivitas sedangkan eros mewakili subjektivitas. Keduanya menjadi semacam
pisau bedah untuk “mencapai suatu kebenaran yang bertentangan dengan
realitas.”181 Secara berturut-turut dua media utama untuk mengaktualisasikan
kekuatan-kekuatan tersebut adalah filsafat dan seni. Ke dalam filsafat dan seni,
seseorang bebas mengungkapkan diri dan berpikir tanpa represi dari kekuatan-
kekuatan ekonomi kapitalisme. Menurut Marcuse, itulah satu-satunya ruang yang
tidak bisa dimasuki oleh dominasi kepentingan kapitalisme, yakni kehendak,
perasaan, kebebasan berbicara dan pemikiran manusia. Kedua medium itu menjadi
tempat persemaian nalar kritis dan ruang kebebasan bagi oposisi. Filsafat dan seni
menawarkan sebuah privilese bagi kritisisme melawan paradigma operasionalisme
realitas industri modern. Namun, logos juga dapat dimengerti sebagai prinsip dari
logika dominasi.182 Sebagai logika dominasi, ia bersifat “menguasai, mengatur,
mengelola, mempertimbangkan dan mengubah objek berdasarkan fungsi dan
faedah.”183
Namun, kebebasan berbicara dan berpikir menjadi suatu instrumen di
tangan kapitalisme untuk melanggengkan hegemoninya atas masyarakat modern.
Kapitalisme mengakomodasi kebebasan tersebut dalam sistemnya agar impresi
yang dikonsumsi masyarakat sesuai gambaran sebuah sistem ekonomi yang peduli

180
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 191.
181
Ibid., hlm. 191-192.
182
Herbert Marcuse, Eros and Civilization: Philosophical Inquiry into Freud, op. cit., hlm. 112.
183
Valentinus Saeng, Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 175.

59
terhadap hak-hak dasar manusia. Dengan cara demikian, eksploitasi dapat terus
berlangsung sejauh buruh mendapat ruang kebebasan dan hak-haknya.
Kebebasan yang demikian digambarkan oleh Marcuse sebagai
“pelaksanaan fungsi yang dilapiskan ke atas, kehidupan tersebut bergantung pada
pemenuhan persyaratan-persyaratan dari fungsi ini.”184 Ia diberlakukan hanya
supaya kaum buruh dan masyarakat pada umumnya betah dengan sistem yang ada.
Tindakan mengemukakan kritik atau mengaktualisasikan hak sebenarnya lahir dari
kekuatan kapitalis yang menyusun persyaratan-persyaratan tersebut, dan hal ini
bukan merupakan sebuah kehendak personal. Tidak ada yang namanya kebebasan
pribadi.
Usaha-usaha untuk mengkritisi tatanan realitas dunia bekerja seturut
‘pikiran dialektika.’ Pikiran ini mempertentangkan dan memperhadapkan
proposisi-proposisi secara kreatif, dinamis, kritis dan berkelanjutan. Pikiran ini
berbeda secara fundamental dengan logika formal. Logika formal menekankan
sebuah aturan, organisasi, dan hukum dari premis-premis daripada menekankan
kebenaran faktual terhadap setiap premisnya. Proposisi “S adalah p” menyajikan
suatu konklusi terbatas antara hubungan aksidental subjek, kopula dan objek. Nilai
esensial kebenaran menjadi nomor dua. Di luar proporsi itu tidak ada opsi lain.
Realitas, sebagaimana diwakili oleh proposisi tersebut, adalah sumber
kebenarannya.185
Logika dialektis, sebaliknya, menekankan esensi dari kebenaran. Pikiran
dalam logika ini bertentangan dengan kebenaran realitas tertentu. Ia
mentransendensikan dirinya melampaui fakta yang ada. Transendensi ini lahir
dalam bentuk potensialitas. Kebenaran yang dibayangkan berbeda dari tatanan
realitas konkret. Ia “melibatkan subversi tatanan yang sudah terbentuk”186 dan
berkomitmen mengejawantahkan tatanan alternatif dalam rupa ‘gagasan’ potensial.
Kebenaran subversif ini menekan pikiran dengan sebuah imperatif (keharusan). Di
sini, Herbert Marcuse tiba pada sebuah visi tentang kebenaran potensial suatu

184
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 193.
185
Ibid., hlm. 206-207.
186
Ibid., hlm. 199.

60
tatanan masyarakat yang bertentangan dengan masyarakat neoliberal, yaitu utopi
masyarakat sosialis yang terhindar dari dominasi kapitalisme.

3.2.4 Irasionalitas yang Rasional

Manusia Satu-Dimensi sebagai produk dari kapitalisme industri telah


menciptakan pergeseran makna irasionalitas zaman. Kapitalisme telah
menanamkan irasionalitasnya sebagai sebuah rasionalitas yang perlu diadopsi.
Menurut Marcuse, keberhasilan semacam ini didukung oleh kemampuan
kapitalisme dalam memanipulasi dua nilai dalam modernitas: rasionalitas dan
kebebasan. Dominasi, penindasan kerja, kerusakan ekologi hingga manipulasi
kesadaran konsumen kini dilihat sebagai prinsip-prinsip zaman yang rasional
serentak membebaskan. Padahal hal itu hanya seolah-olah rasional.187
Masyarakat industri maju tampaknya sangat rasional. Capaian-capaian
ekonomi dan pembangunan yang selama ini dihasilkan oleh sistem kapitalisme
tampak menjadi suatu imperatif yang rasional. Ia bersifat rasional sebab ia
memberikan hasil yang optimal bagi kebutuhan manusia dan mengatasi
permasalahan klasik masyarakat luas. Berkat inovasi teknologi industri, manusia
tidak lagi menghadapi kelangkaan kebutuhan hidup seperti dulu. Kelas-kelas sosial
yang dahulu mengalami kelaparan dan kemiskinan kini, mereka tidak hanya
mendapat pasokan produk konsumsi kebutuhan yang berlimpah melainkan pula
mereka menikmati produk-produk yang dihasilkan oleh kaum kapitalis. Seorang
buruh modern barangkali bergabung dengan serikat buruh dalam memperjuangkan
kenaikan gaji di pabrik tempatnya bekerja, tapi ia juga enggan untuk mengubah
sistem yang ada sebab dari sistem tersebut ia juga mendapatkan keuntungan.
Kontrol sosial kapitalisme sudah menjadi sebuah prinsip utama yang rasional
sebab ia mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun, ini sebenarnya
juga tidak rasional.188
Selain ketersediaan produksi yang berlimpah, kapitalisme juga telah
memanipulasi kesadaran individu atas kebebasannya. Melalui produktivitas
industri kapitalis, kebebasan yang dahulu hanya dinikmati oleh kelas-kelas sosial
187
Ibid., hlm. 14.
188
Ibid.

61
tertentu kini dapat dinikmati pula oleh semua lapisan.189 Sejauh orang memiliki
uang yang cukup--tak peduli latar belakang kelas sosialnya--ia dapat berpergian
secara bebas ke mana saja dan membeli barang apa saja. Seorang pedagang kecil
kini bisa bepergian ke luar negeri bersama dengan pebisnis-pebisnis kaya, naik
pesawat yang sama dan berekreasi di tempat yang sama.
Pada lingkup rumah tangga, melalui televisi dan internet, setiap keluarga
bisa menikmati tontonan dan informasi yang sama. Kebebasan yang dianugerahkan
oleh sistem kapitalisme telah menanamkan impresi bahwa sistem tersebut bersifat
rasional. Pada kenyataannya, kebebasan semacam itu justru dibuat untuk
mengintegrasikan suara oposisi individu ke dalam usaha pengembangan industri
kapitalis. Menurut Marcuse, “kebebasan dapat dijadikan suatu instrumen kuat bagi
dominasi.”190
Menurut Marcuse, sistem yang seolah-olah rasional dan membebaskan
justru menyembunyikan aspek destruktifnya. Kapitalisme telah merangkul
kekuatan-kekuatan kritis dan oposisi ke dalam sistemnya sehingga menciptakan
“keselarasan yang dahsyat dari kemerdekaan dan penindasan, produktivitas dan
kehancuran, pertumbuhan dan regresi.”191
Di sini, Marcuse justru melihat kesenangan dan kepuasan yang diciptakan
oleh kapitalisme sebagai yang “irasional.” Gagasan filosofis Manusia Satu-
Dimensi justru bergerak untuk keluar dari tatanan tersebut. Ia mengajukan sebuah
protes terhadap sistem kapitalisme yang kelihatan seolah-olah rasional dan
membebaskan. Menurutnya, kepuasan, kesenangan dan kesadaran palsu 192 tersebut
tidak lain merupakan sebuah strategi manipulasi oleh rasionalitas teknologis.
Rasionalitas teknologis, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, mengidentifikasikan
yang rasional sebagai yang sejalan dengan tuntutan efisiensi sistem produksi
kapitalisme. Saat tuntutan atasnya terpenuhi, maka individu merasakan suatu
kebebasan semu.193

189
Ibid., hlm. 13.
190
Ibid., hlm. 12.
191
Ibid., hlm. 186.
192
Ibid., hlm. 18.
193
Ibid., hlm. 12.

62
Irasionalitas kapitalisme mendapatkan perwujudan konkret melalui
manipulasi kesadaran. Individu merasa perlu untuk membeli produk-produk yang
dihasilkan oleh industri. Melalui promosi yang gencar di berbagai media,
kebutuhan dasar individu diperluas dengan berbagai tawaran lain yang sebenarnya
bersifat sekunder. Dengan demikian, masyarakat industri kapitalis beroperasi
dengan cara memanipulasi kebutuhan dan kesenangan setiap individu.194

3.2.5 Kematian Nalar

Dalam pandangannya, Marcuse sangat menekankan peranan penting nalar


kritis individu sebagai kekuatan kontra kapitalisme. Dimensi negatif inilah yang
secara perlahan mulai disingkirkan oleh sistem industri kapitalisme. Dalam
Manusia Satu-Dimensi, individu kehilangan kemampuan untuk menggunakan daya
kritisnya demi perubahan emansipatoris atas zaman.
Menurut Marcuse, nalar memiliki kekuatan subversif untuk melawan segala
sesuatu sebagaimana adanya. Nalar yang dimaksud oleh Marcuse tidak hanya
berfungsi pada tataran teoretis saja melainkan pula pada tataran praksis. Dengan
memperjuangkan fungsi penting nalar kritis, individu memperjuangkan kebenaran
yang dalam kacamata Marcuse dilihat sebagai, “kondisi-kondisi di mana manusia
dan segala sesuatu menjadi apa yang memang seharusnya seperti apa adanya.”195
Prinsip nalar kritis bertentangan dengan prinsip nalar operasional dari
sistem kapitalisme. Industri kapitalis, dalam usahanya untuk memperluas
kekuasaannya, menciptakan nalar dan tingkah laku yang mapan atau stabil. Nalar
dan tingkah laku tersebut dijadikan semacam doktrin dan dengan demikian
memiliki tuntutan afirmatif yang kuat. Sebaliknya, nalar kritis menentang
“tendensi-tendensi yang distabilisasikan.”196 Kekuatan subversif nalar selalu
berusaha untuk merevitalisasi dan mendekonstruksi berbagai tatanan status quo.
Kekuatan subversif nalar berfungsi seturut model pemikiran dialektis. Ia
selalu menghadirkan paradoks dan pertentangan dalam sajiannya. Ia tidak sekedar
menerima realitas sebagai kebenaran utama sebagaimana yang diyakini dalam

194
Ibid., hlm. 7.
195
Ibid., hlm. 186.
196
Ibid., hlm. 187.

63
masyarakat berdimensi satu. Marcuse secara gamblang menyatakan bahwa,
“terdapat suatu kontradiksi daripada suatu kesesuaian antara pikiran dialektis dan
realitas tertentu.”197 Gagasan Manusia Satu-Dimensi Marcuse mengadopsi prinsip
dialektika ini sebagai titik tolak kritiknya. Bila diterapkan ke dalam masyarakat
kapitalis, realitas menyenangkan yang dicapai oleh kapitalisme tampak sebagai
strategi untuk menyembunyikan kekuatan dominasi dan kontrol sosialnya. Ia
bukan merupakan gambaran realitas sebagaimana terlihat oleh masyarakat.
Jadi, usaha kritik Marcuse dalam Manusia Satu-Dimensi adalah
menawarkan fungsi praksis-kritis dari nalar untuk menciptakan kondisi sosial yang
lebih baik. Nalar ini harus menciptakan suatu perubahan historis daripada sekedar
bergerak dalam tataran akademik. Untuk menciptakan perubahan yang demikian,
menurut Marcuse, pikiran kritis harus “mentransendensikan dirinya ke dalam
praktik.”198 Kritik filosofis tidak hanya berhenti sebatas memberikan pemikiran
abstrak dan teoretis, melainkan menjadi dasar strategis dialektis bagi perubahan
hidup ini. Prinsip inilah yang diperjuangkan oleh Teori Kritis sebagai proyek dasar
interdisipliner dan juga sebagai sumber emansipasi dalam masyarakat dewasa ini.

197
Ibid., hlm. 198.
198
Ibid., hlm. 202.

64
BAB IV

IMPLIKASI PRAKTIS KRITIK MANUSIA SATU-DIMENSI

4.1 Pengantar

Setelah kita mengenal gagasan filosofis Manusia Satu Dimensi dalam bab
III, pada bab ini kita membahas implikasi praktis dari gagasan tersebut. Marcuse
membagi gagasan filosofisnya dalam empat bidang utama: bidang ekonomi,
bidang politik, bidang positivisme. Dalam keempat bidang ini kapitalisme hadir
sebagai kekuatan pengontrol atas manusia. Konsekuensi logis dari kontrol
kapitalisme ini lahirlah manusia berdimensi satu, yaitu manusia yang kehilangan
kekuatan kritis terhadap realitas hidupnya.

4.2 Logika Manipulasi Ekonomi dalam Industri Budaya Modern

Saat Institut Penelitian Sosial Frankfurt dipindahkan untuk sementara ke


Amerika Serikat,199 Marcuse mulai bergumul dengan fenomena industri budaya
kapitalis. Dalam industri modern, logika kepentingan ekonomi digunakan untuk
memanipulasi kesadaran para buruh. Logika ini menjadi satu-satunya pertimbangan
rasional yang dipakai dalam sistem kerja industri modern. Proses produksi dan
distribusi industri kapitalis membentuk sebuah budaya baru: budaya kontrol
sosial.Dalam budaya ini masyarakat digiring untuk menjalankan logika mekanis
kapitalisme tanpa mampu bersikap kritis terhadapnya. Budaya ini juga bersifat
represif dan ideologis. Aspek ideologis dari industri modern memanipulasi
kesadaran para pekerja dalam pabrik-pabrik kapitalis. Sistem kerja peralatan teknis
industri berperan sebagai “media pengontrol dan kohesi di dalam dunia politik yang
menyatukan kelas-kelas pekerja.”200

199
Charles Reitz, “Herbert Marcuse: Critical Theory as Radical Socialism”, dalam Beverly Best,
Werner Bonefeld dan Chris O’Kane (ed.), The Sage Handbook of Frankfurt School Critical Theory.
Vol. 1 (London: SAGE, 2018), hlm. 163.
200
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 36.
Kapitalisme sebagai sebuah kekuatan ekonomi bekerja dengan cara
memanipulasi kesadaran individu. Berkat bantuan teknologi dan “otomatisasi”
sistem produksi modern, para pekerja diatur oleh “irama-irama” mesin.201 Proses
kerja tidak lahir dari kreativitasrasional individu untuk mengolah alam, tetapi dari
sistem teknis mesin. Irama kerja seperti ini menggiring kebebasan pribadi ke dalam
“satu otomatisme tak disadari dan bersifat ritmis.”202 Mekanisme produksi yang
demikian “membuai” tubuh, pikiran dan bahkan jiwa para buruh yang dieksploitasi.
Di tengah “komunitas teknologis”203 seperti ini, nalar kritis manusia ditekan.
Kaum pekerja dalam era industrikapitalisme modern kehilangan posisi
negatif mereka. Eksploitasi terhadap mereka tidak dilihat sebagai kontradiksi.
Mereka menerima hal ini sebagai bentuk eksploitasi dari “rasionalitas objektif.”
Hal ini semakin diperkuat oleh bentuk-bentuk manajemen industri. Para pekerja
diatur oleh aturan administrasi perusahaan demi kepentingan para pemegang saham
atau pemilik korporasi. Dengan sistem administrasi dan manajemen yang ketat,
kesadaran para pekerja dimanipulasi sehingga ia tidak mampu membedakan antara
“kesadaran yang sejati dan yang palsu.”204
Herbert Marcuse berusaha membongkar kesadaran palsu yang diciptakan
oleh kapitalisme industri. Dominasi teknologi kapitalisme atas kelas pekerja dan
kaum marginal berlangsung sebagai indoktrinasi yang melemahkan dimensi kritis
dan kebebasan individu. Kesadaran bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem
yang dapat memuaskan kebutuhan individu secara tak terbatas mengingkari sifat
deterministik individu bersangkutan. Sifat deterministik ini dibahasakan oleh
Marcuse sebagai “kenyataan bahwa keputusan-keputusan akan hidup dan mati;
keamanan personal dan nasional diletakkan pada kedudukan di mana individu tidak
mempunyai hak kontrolnya.”205 Situasi inilah yang dialami oleh para pekerja
kontemporer. Keputusan dan sikap kritis mereka bersumber pada ketaatan buta
pada sistem kapitalisme.

201
Ibid., hlm. 41.
202
Ibid., hlm. 42.
203
Ibid., hlm. 41.
204
Ibid., hlm. 51.
205
Ibid., hlm. 52.

66
Selain soal produktivitas, aspek manipulasi ekonomi juga terjadi dalam
relasi antara produsen dan konsumen. Ada pergeseran relasi dari perhatian kepada
proses produktivitas dan pekerja kepada perhatian terhadap proses konsumsi dan
konsumen. Manipulasi ekonomi ini tidak saja mengeksploitasi para pekerja industri
melainkan juga mengeksploitasi para konsumennya di masyarakat.206
Manipulasi terhadap masyarakat konsumen terjadi secara masif melalui
“kebutuhan-kebutuhan palsu.” Industri kapitalisme menawarkan produk-produk
material dan jasa yang mengikat keputusan konsumen untuk membelinya. Faktanya
adalah bahwa mereka (konsumen) dibuat untuk menginginkan apa yang mereka
tidak butuh dan membutuhkan apa yang mereka tidak inginkan. Kepalsuan
ekonomi ini dilegalkan melalui bentuk-bentuk budaya modern yang mencakup
gaya hidup konsumtif dan wacana-wacana yang melatarinya. Inilah aspek
manipulatif dari fenomena masyarakat industri modern.
Industri kapitalis modern memperkenalkan kebutuhan palsu sebagai
“kebutuhan yang dibebankan pada individu oleh adanya kepentingan sosial khusus
dalam represinya.”207 Kepentingan khusus ini dapat diidentifikasikan sebagai
kepentingan ekonomi kapitalisme. Melalui logika ekonomi kapitalisme, keputusan
untuk membedakan kebutuhan individu dari “kebutuhan historis” tidak mendapat
bagian yang besar. Konsumen terus dijejali dengan wacana-wacana produk
kapitalis sehingga keputusan kritisnya melemah. Kepuasan atas pemenuhan
kebutuhan palsu bersifat manipulatif sebab ia menekan perkembangan kemampuan
individu untuk memahami “penyakit-penyakit” ketimpangan zaman dan kontrol
sosial. Kemampuan ini merupakan ciri dasar dimensi negatif manusia.208
Di era informasi ini, daya tarik manipulasi dan brain-washing dari industri
modern jauh lebih besar dibandingkan dari yang sebelumnya. Kini, masyarakat
konsumen bisa puas berbelanja berbagai produk industri yang bisa mereka
dapatkan lewat online tanpa benar-benar sadar bahwa pilihan produk yang mereka

206
George Ritzer, Teori Sosial Post-Modern (Bantul: Kreasi Wacana, 2010), hlm. 372-375.
207
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 7.
208
Herbert Marcuse mengkategorikan kebutuhan historis sebagai kebutuhan sosial-kultural alih-alih
kebutuhan dasariah individual. Kebutuhan ini terbentuk melalui proses relasi antar individu dalam
sebuah komunitas atau kelompok masyarakat. Dalam istilah populer ia disebut sebagai mode atau
trend. Kebutuhan semacam ini merupakan kebutuhan yang dikonstruksi demi kepentingan institusi
atau masyarakat pada suatu masa. Ia mudah berubah sesuai tuntutan zaman. Ibid.

67
beli sebenarnya diilhami dari apa yang mereka lihat dari internet. Iklan-iklan online
telah terlebih dahulu menentukan daftar produk yang bisa dibeli oleh konsumen.
Keinginan konsumtif dari setiap individu sudah dibentuk berkat tawaran-tawaran
media online. Bisa jadi, keinginan dan dorongan kebutuhan para konsumen
sebenarnya merupakan konstruksi manipulatif dari kaum kapitalis. Di balik
kepuasan para konsumen tersembunyi logika manipulatif ekonomi dari kaum
kapitalis.209
Kepuasan manipulatif konsumen diintensifkan melalui produk-produk
industri. Menurut Marcuse, “produk-produk mengindoktrinasi dan memanipulasi;
produk-produk itu meningkatkan suatu kesadaran palsu yang bersifat kebal
terhadap kepalsuannya.”210 Secara lebih terang, George Ritzer mengklasifikasikan
empat produk industri post-modern yang berkontribusi pada usaha ‘merusak’
kesadaran dan sikap konsumen. Pertama, penggunaan kartu kredit. Kemudahan
dalam proses pembayaran memacu gairah hedonis individu untuk mengkonsumsi
sebanyak-banyaknya. Dengan adanya kartu kredit, ilusi kepuasan berbelanja
berubah bentuk menjadi instrumen manipulasi kesadaran. Kedua, menjamurnya
shopping mall. Semakin masifnya keberadaan pusat-pusat perbelanjaan modern
menambah intensitas konsumsi. Mall-mall raksasa dan sentral-sentral perbelanjaan
modern kini hadir dengan tawaran kenyamanan dan keindahan yang jauh berbeda
dengan kondisi pasar-pasar tradisional dahulu. Impresi ini diinjeksikan ke dalam
budaya populer modern yang akhirnya ‘memaksa’ individu untuk menikmatinya.
Ketiga, kehadiran mekanisme online shopping atau cyber mall. Dengan kemajuan
di bidang teknologi informasi dan komunikasi, individu dipuaskan dengan tawaran
berbelanja secara online. Kosumen dapat berbelanja kapan dan di mana saja tanpa
beranjak dari rumah. Barang yang sudah dipesan via internet akan datang
menghampiri pembeli sehingga memotong sebagian anggaran untuk transportasi.
Berhadapan dengan kemudahan ini, masyarakat dirongrong untuk berbelanja lebih
banyak. Keempat, semakin beragamnya katalog produk terbaru dari seluruh dunia.
Alternatif produk yang beragam mendorong keinginan para konsumen untuk

209
Dr. Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-
Modernisme (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 25.
210
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 18.

68
membelanjakan sejumlah uangnya. Barang dan jasa dari berbagai belahan dunia
bisa diperoleh secara instan dengan mekanisme yang semakin mudah. Siapa pun
pasti tertarik dengan tawaran-tawaran yang dipromosikan.211
Logika ekonomi kapitalisme industri menjelma sebagai sebuah budaya
populer. Dalam budaya populer, ideologi konsumerisme, hedonisme, kepentingan
ekonomi, indoktrinasi psikologi massa mendapat bagian yang cukup besar.
Elemen-elemen ini sangat konstitutif bagi kepentingan industri. Cara-cara
pendekatan budaya seperti ini dipakai untuk menyusun persepsi publik dan
individu secara lebih manusiawi meskipun tetap dengan dampak yang buruk. Pada
akhirnya, manusia yang sebelumnya didaulat sebagai aktor utama pembentuk
budaya, kini menjadi budak dari budaya hasil ciptaannya sendiri. Bentuk-bentuk
budaya ciptaan kapitalisme industri berkuasa atas masyarakat.
Logika ekonomi menjadi suatu kekuatan ideologi kapitalis yang
memengaruhi esensi individu. Penanaman ideologi kapitalisme menghasilkan efek
konformitas dalam diri setiap individu. Ideologi tersebut tertanam ke dalam proses-
proses budaya, simbol dan rutinitas masyarakat. Kekuatan ini mengakibatkan
“ideologi dalam kapitalisme postmodern menjadi lebih tersebar ke dalam semiotika
(sistem simbol) dan wacana kehidupan sehari-hari.”212 Instrumen-instrumen kontrol
memungkinkan semakin terserapnya kontradiksi-kontradiksi sebagai sebuah
ungkapan yang wajar. Hal ini mempersulit nalar kritis untuk menarik garis
demarkasi antara “kebenaran dan kepalsuan, realitas dan ilusi, yang diperlukan oleh
program kritis ideologis yang bertujuan untuk mengangkat kesadaran politis.”213
Para filsuf dan ilmuwan Teori Kritis, sebagaimana pula Herbert Marcuse,
mencemaskan dua aspek destruktif yang terkandung dalam industri budaya.
Pertama, kecemasan mereka ditujukan pada ragam kepalsuan ideologis yang
terkandung dalam berbagai bentuk ekspresi industri budaya. Kedua, pada saat yang
bersamaan, mereka cemas pada dampak sifat “menaklukkan, represif dan
membodohkan” yang tersembunyi dalam produk-produk industri budaya.214
Kecemasan-kecemasan ini bila tidak diatasi akan mematikan oposisi individu dan
211
George Ritzer, op. cit., hlm. 23-24.
212
Ben Agger, op. cit., hlm. 168.
213
Ibid.
214
Dr. Bagong Suyanto, op. cit., hlm. 51.

69
seruan kritisnya. Industri budaya berpotensi merombak persepsi dan nalar publik,
sehingga kita tidak lagi bisa membedakan kebenaran dari kebohongan yang
dilazimkan.

4.2.1 Otomatisasi Industri dan Perbudakan Struktural

Perbudakan struktural terjadi dalam industri-industri kapitalis akibat


otomatisasi teknologi. Teknologi memungkinkan otomatisasi dalam seluruh proses
industri. Kerja yang sebelumnya dilakukan secara manual oleh manusia kini bisa
diselesaikan dengan bantuan mesin. Mekanisme proses produksi bisa dikontrol,
dikembangkan dan direparasi sesuai dengan keinginan melalui otomatisasi.
Persentase kesalahan dan kecelakaan kerja dapat diminimalisasi serendah mungkin.
Namun, sistem kerja yang dimekanisasi seperti itu dalam masyarakat kapitalis kini
berbalik mengatur dan memperbudak manusia. Menurut Marcuse, tujuan sistem
kerja dalam industri kapitalis adalah “mempertahankan eksploitasi, memodifikasi
sikap dan status dari pihak yang dieksploitasi.”215 Dalam sistem tersebut,
perbudakan merupakan suatu keniscayaan.
Menurut Marcuse, “otomatisasi” menimbulkan sindrom-sindrom
perbudakan gaya baru. Jenis perbudakan ini berbeda dari jenis perbudakan klasik
pada masa kolonial. Perbudakan klasik berpusat pada penggunaan kekerasan dan
kekuatan militer yang mencolok untuk mempertahankan hegemoni kaum penjajah.
Sedangkan pada “masyarakat teknologis” perbudakan terjadi melalui mekanisme
yang “kurang mencolok.” Namun, justru yang kurang mencolok inilah yang
memiliki intensitas ancaman kuat, sebab ia luput dari pengamatan, tidak disadari
dan dianggap alamiah.216 Lebih lanjut, Marcuse menganggap perbudakan struktural
kapitalisme sebagai “perbudakan yang meletihkan, membiuskan dan tidak
berperikemanusiaan.”217
Integrasi mesin ke dalam sistem produksi kapitalisme menciptakan
keteraturan. Waktu dalam produksi benar-benar secara efektif dimanfaatkan. Setiap
mesin bekerja sesuai spesialisasi dengan akurasi yang tinggi dan ketahanan yang

215
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 38-39.
216
Ibid., hlm. hlm. 42.
217
Ibid., hlm. 39.

70
luar biasa. Bagian demi bagian bahan mentah suatu produk dapat dirangkai menjadi
bahan siap pakai dalam waktu yang singkat dan dengan kuantitas yang banyak.
Keteraturan ini menciptakan “irama-irama” yang secara terus-menerus
memengaruhi kesadaran para pekerja. Pola ritmik dalam kerja membuai mereka
dalam kepastian dan ketepatan semu. Para buruh bahkan tidak lagi menyadarinya
sebagai sebuah kekuatan yang menindas pikiran dan tubuhnya sendiri. Herbert
Marcuse menyebutnya sebagai “penindasan yang termekanisasi.”218 Di hadapan
penindasan ritmik ini, rasio terbuai dengan rutinitas dan mengkhianati akar
negasinya terhadap realitas.
Otomatisasi teknologi mengubah struktur kerja dalam industri. Berkat
kemajuan teknologi, sebuah perusahaan mengurangi jumlah “blue-collar” (buruh
kasar) dan merekrut “white-collar” (pekerja kantoran, teknisi profesional, spesialis)
yang jumlahnya hanya sedikit.219 Mereka yang tidak menempuh pendidikan dan
tidak punya keahlian khusus dari institusi pendidikan tertentu kurang mendapatkan
peran dalam masyarakat teknologis. Jumlah terbesar ini pada akhirnya harus
dipotong melalui serangkaian kebijakan pemutusan hubungan kerja. Pekerjaan
yang membutuhkan campur tangan otak lebih diminati daripada pekerjaan kasar.
Soft-skills mendapat tempat yang penting dalam sistem kapitalisme modern
daripada hard-skills.
Kekuatan mesin secara keseluruhan mengurangi “otonomi profesional”220
para pekerja. Kerja manual yang membutuhkan profesionalisme dan keahlian
tertentu kini bisa dilakukan oleh kecerdasan artifisial. Intuisi, kerja keras, ketelitian,
dan tenaga diambil alih oleh organ-organ sebuah mesin industri. Peralatan
permesinan mengakomodasi semua kualitas tersebut. Secara tidak langsung, mesin
menindas kreativitas manusia dan menjadikan individu hanya sebagai “pelengkap
penderita” dalam produktivitas.
Marx harus kembali merevisi gagasannya saat melihat model kapitalisme
industri modern sekarang. Marcuse merevitalisasi dua ide pokok Marx tentang
kapitalisme. Pertama, teknologi bukan lagi sebuah “instrumen individual.” Dalam

218
Ibid., hlm. 42.
219
Ibid., hlm. 43.
220
Ibid., hlm. 43-44.

71
pandangan Marx, teknologi menjadi sebuah instrumen di tangan manusia yang
menggunakannya. Ia tidak punya nilai dalam dirinya sendiri. Namun, bagi Marcuse
teknologi kinibermutasi menjadi sebuah kekuatan independen yang mengatur dan
menekan manusia pada taraf komunal maupun personal. Mesin memiliki andil yang
penting pada output suatu sistem produksi, di mana nilai suatu produk tergantung
pada efisiensi dan kecanggihan produk daripada kerja buruh. Industri kapitalis
mengubah status mesin dari ‘objek’menjadi ‘subjek.’ Invasi teknologi atas kerja-
kerja buruh melemahkan bargaining power yang dimiliki serikat-serikat pekerja
untuk menyuarakan aspirasi dan protes kritis terhadap ketidakadilan dalam
kapitalisme. Oposisi pun dibungkam, sebab proporsi kerja manusia yang menurun
akan berdampak pada melemahnya kekuatan politik oposisi.221
Kedua, gagasan Marx tentang asal mula “nilai surplus.” Menurutnya, pada
masa prakapitalis, nilai lebih suatu produk tergantung dari jam kerja yang
dicurahkan oleh para buruh dalam suatu sistem “eksploitasi pekerja.” Semakin
bertambahnya jam kerja yang dipaksakan kepada para buruh akan berpengaruh
paralel terhadap kenaikan nilai lebih (keuntungan profit) dari produk bersangkutan.
Situasi ini tak lagi sepenuhnya berlangsung di masa sekarang. Menurut Marcuse,
dengan munculnya teknologi yang menggeser peran manusia dalam proses
produksi, nilai surplus tidak lagi dinilai dari jumlah curahan kerja manusia
melainkan proses mesin.222
Pola-pola ritmik proses produksi di industri kapitalis tanpa disadari
menciptakan fatamorgana manipulatif ke dalam benak para buruh. Agar tetap
langgeng dalam pekerjaannya, mendapat gaji yang besar dan dipercayai direktur
atau presiden perusahaan, mereka bekerja secara maksimal demi kontribusi yang
baik terhadap perusahaan. Kebutuhan akan pemuasan kepentingan industri ini
secara patologis muncul dalam ilusi ‘in-group.’223 Spirit ini menggerakkan para
buruh yang dieksploitasi untuk secara sukarela berpartisipasi mencari penyelesaian
masalah-masalah produksi dari industri bersangkutan. Mereka merasa memiliki
institusi kapitalis tersebut dan merasa butuh untuk meningkatkan performa

221
Ibid.
222
Ibid.
223
Ibid., hlm. 41.

72
kerjanya. Secara gamblang Marcuse mengidentifikasi tendensi ini sebagai “suatu
keinginan untuk berpartisipasi secara aktif di dalam mempergunakan pikiran dan
otak mereka sendiri dalam mencari penyelesaian masalah-masalah produksi
maupun teknis yang secara jelas sesuai dengan teknologi.”224 Ilusi-ilusi ini
mengaburkan kerangka kritis individu terhadap mekanisme penindasan yang
inheren dalam proses industri.
Ideologi atau paradigma berpikir yang digagas oleh industri dan rasionalitas
teknologis ini dibaca oleh Herbert Marcuse sebagai kekuatan yang menciptakan
konformitas. Indoktrinasi oleh perasaan memilikiatau peningkatan performa kerja
dapat sungguh-sungguh melenyapkan dimensi negasi yang bisa dibangun individu.
Hal ini terlihat dari melemahnya posisi kelas pekerja sebagai “kontradiksi”
berhadapan dengan “sistem (kapitalisme) yang mapan.” Perasaan “in-group”
mencegah rasio melihat penindasan yang tersembunyi di balik topeng ramah
kapitalisme. Dominasi bukan lagi terlihat sebagai kekuatan yang perlu diatasi
melainkan sebuah “administrasi” yang dibutuhkan untuk meningkatkan kondisi
sosial masyarakat.225
Herbert Marcuse sangat pesimis dengan masyarakat kontemporer yang
menurutnya tidak lagi memiliki kesadaran untuk memilah kebenaran dari
kebohongan, yang esensial dari yang aksidental. Hal ini disebabkan karena
masifnya prakondisi artifisial ciptaan sistem. Secara eksplisit, bukti perbudakan
industri kapitalis terlihat dari:

adanya rasionalitas yang kuat sekali di dalam perusahaan-


perusahaan yang irasional ini, dan adanya kedalaman
prakondisi yang membentuk gerakan-gerakan dan aspirasi-
aspirasi naluriah dari individu-individu dan menyembunyikan
perbedaan antara kesadaran yang sejati dan yang palsu.226

Prakondisi dan indoktrinasi bisnis memainkan peranan yang berpengaruh


bagi kebijakan suatu negara dan masyarakat internasional. Sebuah perusahaan
senjata perang swasta yang meningkatkan mutu teknologi persenjataannya dapat

224
Ibid., hlm. 47-48.
225
Ibid., hlm. 50-51.
226
Ibid., hlm. 51.

73
menanamkan ramalan akan masa depan. Dengan semakin bermutunya teknologi
persenjataan, suatu negara didesak untuk memilikinya di bawah indoktrinasi halus
korporasi bahwa kondisi profesi kemiliteran di masa depan akan mengantisipasi
perang-perang besar. Negara yang tidak memiliki persediaan senjata perang
mutakhir akan kalah dalam kemungkinan perang di masa yang akan datang.Selain
itu, kepemilikan alat perang yang canggih dapat meningkatkan wibawa sebuah
negara dalam melakukan diplomasi internasional dengan negara-negara lain.
Kekuatan militer menjadi salah satu faktor pendukung bagi bargaining power suatu
negara dalam diplomasi internasional.227 Perusahaan tersebut dengan demikian
memanfaatkan ancaman perang dan gengsi diplomasi untuk menjual produknya.
Berhadapan dengan kebuntuan akibat indoktrinasi kapitalisme industri,
Marcuse melihat urgennya usaha untuk keluar dari lingkaran setan tersebut.
Baginya, usaha pembebasan dari penindasan ini hanya bisa diusahakan dari “luar”
atau “atas.”228 Kesadaran kontra penindasan tidak bisa diharapkan muncul dari para
“budak” sendiri. Perjuangan untuk menciptakan perubahan kualitatif dari
penindasan kapitalisme dimungkinkan “hanya sebagai suatu perubahan yang
berasal dari luar.”229 Harus ada kekuatan dari institusi, media atau individu lain
yang mereindoktrinasi mindset para buruh menuju kesadaran yang benar. Hal ini
didasarkan pada fenomena para budak yang telah puas dengan penindasan dan
peran mereka dalam industri kapitalis. Kaum buruh kehilangan kekuatan oposisi
politiknya untuk melawan bentuk penindasan kapitalisme. Dengan demikian, dalam
bidang ekonomi, mereka menjadi manusia berdimensi satu yang hanya mampu
menjalankan rasionalitas teknologis industri tanpa mampu bersikap kritis
atasnya.230

4.3 Bahasa Satu Dimensi

Pemikiran dan perilaku satu dimensi ditransmisikan oleh penggunaan


bahasa dan distribusi wacana. Bahasa digunakan oleh agen-agen publisitas untuk

227
Yanyan Mochamad Yani dan Ian Montratama, Quo Vadis: Politik Luar Negeri Indonesia
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2017), hlm. 114-122.
228
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 64.
229
Ibid.,hlm. 78.
230
Ibid., hlm. 60.

74
menanamkan “unifikasi” terhadap prinsip-prinsip kerja kapitalisme. Bahasa yang
demikian disebut sebagai bahasa satu dimensi. Bahasa yang berdimensi satu
mempromosikan pemikiran dan perbuatan positif. Ia tak memberi ruang untuk
gagasan-gagasan kritis-transendental yang dapat mempertanyakan legitimasinya.231
Bahasa pada dasarnya bersifat dwi-dimensional. Selain memiliki
kemampuan untuk mengartikulasikan fakta, ia juga mengandung konsep di
baliknya. Herbert Marcuse membedakan pengertian konsep dan fakta. Keduanya
selalu ada dalam konflik.232 Baginya, fakta tak mampu menampung konsep.
Konsep lebih luas cakupanya dari fakta atau kata-kata. Bahkan konsep mampu
membuat negasi terhadap fakta yang ada. Konsep lahir dari sebuah refleksi kritis
atas sesuatu (benda material, faktisitas). Ia telah memahami fakta tertentu dalam
konteksnya: potensialitasnya, korelasi dengan fakta-fakta lain, kelemahannya dan
keunggulannya.233
Pada masyarakat modern, konsep-konsep yang bersifat transendental, kritis
dan negatif ini dibatasi. Bahasa “operasional” memanfaatkan penggambaran
sebuah operasi konkret sebagai inti makna yang terkandung dalam bahasa. Makna
konseptual yang tadinya luas dan abstrak kini dibatasi dan diidentifikasikan dengan
operasi partikular tertentu. Kata atau frasa umum direduksi pengertiannya dengan
pengertian baru yang lebih bias. Misalnya, makna kata “berkepribadian” diubah
menjadi “memiliki gadget terbaru.” “Percaya diri” digambarkan sebagai kondisi
“memakai baju mahal dan parfum mewah.” Pengertian “rekreasi” didistorsi
menjadi “makan di resto paling mahal.” Model-model pembelokkan makna ini
merupakan sebuah “fungsionalisasi bahasa”234 yang selalu mempersatukan
kontradiksi-kontradiksi dan menolak elemen-elemen nonkorformis.235 Inilah
bahasa satu dimensi yang dipakai kapitalisme untuk mempertahankan status quo-
nya.

231
Ibid., hlm. 132.
232
Ibid.
233
Ibid., hlm. 162.
234
Ibid., hlm. 133.
235
Ibid.

75
Bahasa satu-dimensi memberikan “ringkasan yang berat sebelah”236 tentang
kepribadian individu. Masyarakat dibuat percaya bahwa kepribadiannya lahir dari
kepemilikan smartphone mahal atau bahwa rasa percaya dirinya muncul saat ia
membeli dan mengenakan barang-barang trendy. Padahal konsep seperti percaya
diri, kepribadian, kebebasan atau keindahan tidak sepenuhnya identik atau
berkorelasi dengan produk material. Hal yang sama dapat dijumpai pula dalam
iklan-iklan rokok yang selalu mengaitkan maskulinitas di dalamnya, seakan-akan
mereka yang tidak merokok selalu berarti kurang jantan. Inilah yang Marcuse
sebut sebagai teknik industri periklanan yang bertugas untuk menanamkan suatu
citra. Citra tersebut mendorong individu untuk mengenal dirinya sendiri dari
komoditi atau produk industri kapitalis yang ia konsumsi.
Pola-pola bahasa satu-dimensi sangat efektif mengindoktrinasi kesadaran
individu. Berkat repetisi konstan dan keterampilan komunikasilah model bahasa
satu dimensi ini memiliki karakter hipnotik. Dengan repetisi terus-menerus, suatu
produk atau wacana memperoleh familiaritasnya di mata publik. Kekuatan ini
ditambah lagi dengan personalisasi bahasa yang memabukkan. Kata “Anda” yang
disematkan dalam iklan produk memberi halusinasi akut sebuah hubungan
kedekatan dan privilese bagi individu; surat kabar “Anda”, smartphone “Anda”,
obat “Anda”, kenyamanan “Anda” atau kebebasan “Anda.”237
Kapitalisme menggunakan ragam bahasa satu dimensi untuk menundukkan
kebebasan para individu. Ia menjejalkan imagi-imagi ke dalam tubuh masyarakat
hanya untuk terus mengakumulasi keuntungannya. Para buruh yang dieksploitasi
terus diiming-imingi imagi kebebasan memilih pekerjaan dan kepastian gaji. Pada
dasarnya mereka dicegah untuk mengembangkan pola pikir oposisi dengan
mengekang pemahaman “konsep-konsep” transendental seperti kebebasan,
determinasi diri, keadilan atau kesejahteraan. Media punya andil yang besar untuk
mengekspansi wacana menggunakan pendekatan bahasa satu dimensi. Itulah
mengapa media-media pemberitaan memiliki kepentingan ideologis kapitalis.238

236
Ibid., hlm. 141.
237
Ibid., hlm. 142.
238
Ibid., hlm. 147.

76
Di mata Noam Chomsky, peran media merupakan perpanjangan dari
“sistem doktrinal”239 yang lebih besar. Dengan demikian, ia juga merupakan alat
propaganda. Di era kapitalisme, propaganda masif ini diperlukan untuk
mengonstruksi tipe masyarakat yang pasif serentak ultra-konsumtif. Sasaran dari
media propaganda ini digolongkan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah
“kelas politis” yang mengisi kuota 20% dari konsumen media. Mereka adalah
orang-orang konglomerat yang berpendidikan tinggi sekaligus aktor-aktor penentu
kebijakan publik. Apabila pihak ini juga menerima narasi-narasi doktrinal yang
diberitakan media, maka bisa dibayangkan produk kebijakan seperti apa yang akan
dilahirkan.240
Walter Lippmann, sebagaimana dijelaskan oleh Noam Chomsky, menjuluki
sasaran keduadari propaganda media sebagai “kawanan yang terpesona.”241
Kelompok ini mengisi 80% konsumen media. Kelas ini mencakupi semua kelas
sosial menengah ke bawah yang memanfaatkan informasi media. Sebagai
kelompok mayoritas, mereka ini menjadi sasaran empuk propaganda politik. Pihak
penguasa dan kapitalis ingin agar mereka tetap menjadi kawanan yang terpesona
dengan produk-produk media. Keterpesonaan ini memiliki nilai yang ditanamkan
ke tengah masyarakat seperti; “kepasifan, ketertundukan pada otoritas, menolak
ketamakan atas harta dan pencapaian personal, kurangnya perhatian kepada orang
lain, ketakutan pada musuh yang nyata maupun yang tidak nyata.”242 Spirit-spirit
ini menolak secara tegas nalar kritis. Saat dimensi negatif akal budi manusia
dikhianati, maka yang tersisa adalah kesempatan yang tampan bagi ekspansi dan
stabilitas kapitalis.
Antonio Gramsci, seorang marxis asal Italia, sebagaimana dikaji oleh
Daniel Hutagalung, menegaskan kontribusi konsensus massa terhadap dominasi
kapitalisme. Menurutnya, kapitalisme bertahan hingga sekarang bukan saja karena
mampu mengadopsi model-model produksi yang sesuai kebutuhan dan tuntutan
zaman, melainkan karena mampu menciptakan konsensus dari kelompok kelas

239
Noam Chomsky, How The World Works: Empat Karya Klasik Real Story Dalam Satu Jilid,
penerj.Tia Setiadi (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2016), hlm. 90.
240
Ibid.
241
Ibid.
242
Ibid., hlm. 91.

77
subordinat. Konsensus yang berciri universal ini diwujudkan melalui manipulasi
yang terus disosialisasikan lewat media massa. Kelas-kelas subordinat terbiasa
dengan gambaran keunggulan spiritual dan kultural kelas-kelas kapitalis dan
penguasa yang melahirkan sikap pasrah atas situasi ketertindasannya sendiri. Dari
kondisi ini terciptalah hegemoni.243
Lebih lanjut, Antonio Gramsci, sebagaimana dijelaskan oleh Daniel
Hutagalung, mengidentifikasikan hegemoni sebagai “praktik-praktik kelas kapitalis
atau yang merepresentasikannya, untuk mengambil kekuasaan atasnegara,
kemudian mempertahankan dan memelihara kekuasan tersebut setelahberhasil
diperoleh.”244 Ini berarti dominasi kapitalis mendapat legitimasi dari persetujuan
kelas subordinat yang telah terlebih dahulu diprakondisikan melalui bahasa satu-
dimensi. Kelas-kelas subordinat memiliki gambaran tentang diri mereka sejalan
dengan apa yang disuapkan oleh para kapitalis. Media menjadi sebuah alat praktis
untuk menyuapi masyarakat dengan berbagai ideologi yang manipulatif. Sebagai
objek dari penyuapan ini, individu tidak lagi mampu berperan sebagai oposisi
kritis. Dimensi negatif kritis mati dan masyarakat satu-dimensi menang.

4.4 Politik Global dan Pengekangan Struktural

Kapitalisme modern telah menciptakan sebuah tatanan politik global.


Dalam tatanan ini, setiap individu terorganisir secara ketat. Kebijakan politik lokal
maupun internasional dapat memengaruhi sikap dan kesadaran individu.
Perhitungan-perhitungan politik para penguasa dan kapitalis mampu mengontrol
spontanitas dan kebebasan manusia. Fenomena ini disebut oleh Jeffrey Lustig
sebagai “organized world” atau “organized individualism.”245 Sementara Herbert
Marcuse menyebutnya sebagai “administrasi total”246 atau “administrasi
represif”247 atas masyarakat. Terminologi ini mengacu pada proses-proses kapitalis

243
Daniel Hutagalung, “Hegemoni, Kekuasaan dan Ideologi”, Diponegoro 74: Jurnal Pemikiran
Sosial, Politik dan Hak Asasi Manusia,vol.12 (Jakarta: Oktober 2004), hlm. 10.
244
Ibid., hlm. 9.
245
R. Jeffrey Lustig, Corporate Liberalism: The Origins of Modern American Political Theory,
1890-1920 (London: University of California Press, 1982), hlm. 246.
246
Herbert Marcuse, Silvester G. Sukur dan Yusup Priyasudiarja (terjs.), op. cit., hlm. 10-11.
247
Ibid.

78
yang mengadministrasikan dan mengkoordinasikan seluruh aspek politik dan
kebebasan manusia.
Kekuatan politik di era kapitalisme menampakkan diri dalam bentuk
penguasaan atas “proses mesin dan terhadap organisasi teknis dari suatu
peralatan.” Pemerintah yang menguasai keunggulan dalam teknologi jauh lebih
mudah mencapai kemajuan dan kekuasaan. Demikian pula, korporasi yang
berbasiskan teknologi jauh lebih bertahan dalam rimba kompetisi pasar bebas dan
dalam aspek manipulasi nalar kritis kelas pekerja dan konsumen. Menurut
Marcuse, organisasi lewat proses mesin menjadi sebuah “instrumen politik yang
paling efektif” untuk “menggerakkan” kepentingan individu dan masyarakat
umum.248
Dalam kapitalisme, mesin dan teknologi disulap menjadi instrumen
kekuasaan politik yang paling efektif. Menurut Marcuse “kekuasaan politik
menyatakan dirinya sendiri melalui kekuasaannya terhadap proses mesin dan
terhadap organisasi teknis dari suatu peralatan.”249 Dari sinilah muncul adagium
yang menyatakan bahwa negara yang memiliki tingkat kemajuan teknologi tinggi
akan menjadi kekuatan superior dalam pencaturan kekuasaan global. Pemerintahan
suatu negara dapat bertahan dengan langgeng dan berkembang apabila “berhasil
dalam menggerakkan, mengorganisasi dan mengeksploitasi produktivitas teknis,
ilmiah dan mekanis yang telah tersedia bagi peradaban industri.”250
Pertumbuhan IT dalam suatu negara mampu menciptakan dampak yang
besar dalam hubungan internasional dengan negara-negara lain. Penguasaan dan
pertumbuhan inovasi teknologi menjadi sebuah anasir penting bagi terciptanya
bargaining power di tengah kompetisi ekonomi global. Pada tahun 2017-2018,data
WEF (World Economic Forum) telah memublikasikan indeks ‘Kesiapan
Berjejaring’ (Networked Readiness Index). Berdasarkan indeks ini, Indonesia
ditempatkan secara global pada peringkat ke-80 dari 142 negara. Singapura dan
Malaysia masih memimpin dalam wilayah ASEAN dengan menduduki peringkat
pertama dan kedua di Asia dalam hal penguasaan teknologi dan sains. Peringkat ini

248
Ibid., hlm. 5.
249
Ibid.
250
Ibid.

79
tak terlalu jauh dibandingkan dengan Vietnam (ke-83) dan Filipina (ke-86).251 Data
ini menggambarkan secara jelas alokasi dana dan perhatian pemerintah Indonesia
terhadap pengembangan research yang masih lemah. Daripada berinovasi dengan
teknologi, pasar Indonesia bertendensi menjadi kosumen produk teknologi luar
negeri. Tak heran, dalam hubungan politik global, posisi Indonesia mudah ditekan,
baik secara politik maupun ekonomi.
Perangkat teknologi dan mesin diberdayakan dalam bentuk pemerintahan
Welfare State252 (Negara Kesejahteraaan). Negara semacam ini
memanfaatkanperangkat teknologi untuk meningkatkan standar hidup masyarakat.
Industri berbasis teknologi menciptakan produk-produk kebutuhan dengan
meningkatkan produksi kuantitas barang dan jasa. Dengan jalan mengatur produksi
dan distribusi, pemerintah secara terpusat menggerakkan roda politiknya atas
masyarakat. Ia meningkatkan taraf kepuasan konsumtif individu dan kepatuhan
politik. Saat kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan terpenuhi, maka fungsi subversif
nalar kritis pun mati. Konstelasi ini menciptakan kondisi kebuntuan kritis di mana
setiap individu tidak lagi berusaha untuk memperjuangkan “penentuan nasib
sendiri” melainkan menerima “kehidupan yang diatur” sebagai kehidupan yang
“baik.”253 Individu kehilangan kekuatan politisnya terhadap kekuasaan dan realitas.
Herbert Marcuse menolak dominasi politik yang ditampilkan oleh bentuk
pemerintahan Negara Kesejahteraan. Baginya, bentuk negara dengan penguasaan
terpusat seperti itu sukses menyatukan berbagai kontradiksi. Di dalamnya
kepentingan kapitalisme menyatu dengan sosialisme; perbudakan dengan
kebebasan; totalitarianisme dengan kebahagiaan. Di satu sisi, kemajuan
kapitalisme dalam Welfare State telah menciptakan kadar kebahagiaan yang lebih
besar melalui produktivitas. Di sisi lain ia juga turut mengatur kebebasan dan

251
Beaver Akn, “Mengapa Perkembangan Teknologi Di Indonesia Kurang Maju Dibandingkan
Negara Lain?”, dalam Rona Indonesia.com, https://ronaindonesia.com/2019/10/18/mengapa-
perkembangan-teknologi-di-indonesia-kurang-maju-dibandingkan-negara-lain/, diakses pada 8
Maret 2020.
252
Teori Welfare State (Negara Kesejahteraan) menempatkan tujuan kesejahteraan masyarakat
sebagai titik acuan kegiatan pemerintahan. Di dalamnya negara berpartisipasi aktif dalam kegiatan
ekonomi; mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi, menstimulasi usaha-usaha dan investasi,
memberikan jaminan sosial kepada warga negara. Strategi-strategi pemerintah untuk menciptakan
kesejahteraan salah satunya dengan menciptakan jaminan sosial bagi rakyat marginal.
253
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 78.

80
kekuatan politik individu untuk mencari alternatif lain atas penindasan tersebut.
Dengan demikian, “musuh permanen” kapitalisme adalah pembebasan.254
Kebebasan kelas pekerja industri dari penindasan sistem kapitalisme
mengalami banyak hambatan. Teknologi dan proses-proses manajemen oleh mesin
telah menjadi “media pengontrol” dalam menciptakan kohesi sosial. Inisiatif dan
nalar kritis mereka didomestifikasikan dalam buaian sistem agar lebih berperan
pada peningkatan efektivitas produksi daripada kesejahteraan dan kebebasan
pribadi. Penindasan liberasi semacam ini menghambat terciptanya “perubahan
kualitatif” dalam tatanan masyarakat. Dominasi rasionalitas teknologis ini
mematikan “semesta diskursus”255 yang sejatinya menjadi landasan dasar dari
kebebasan berpolitik.
Modalitas kekuasaan mutlak yang dimiliki oleh kapitalisme tidak saja
menggerus kepentingan ekonomi suatu negara, melainkan lebih dari itu,
membuyarkan budaya demokrasi yang telah dihidupi masyarakat. Banyak
kesepakatan atau pakta hukum produk pemimpin negara yang dibuat untuk
membela kepentingan para kapitalis atau investor asing.Menurut Henry J.
Schmandt,kapitalisme sebagai sebuah kekuatan politik berada di atas hukum256 dan
menganut prinsip-prinsip Machiavellian.257 Dalam rangka pembangunan,
misalnya, kerja-kerja proyek raksasa dan pemberdayaan aset-aset publik
diserahkan kepada pengelolaan korporasi asing. Mekanisme privatisasi ini sering
menjalankan operasinya dengan jalan merusak sumber daya alam masyarakat

254
Ibid., hlm. 82-83.
255
Ibid., hlm. 36-37.
256
Henry J. Schmandt,Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman
Modern,terjs. Ahmad Baidlowi dan Imam Bahehaqi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 282.
257
Telepas dari kritik-kritik yang dibangun oleh Jean Bodin terhadap perspektif negara sesuai Di
Nicolo Machiavelli, ia tidak bisa terpisah dari kerangka konseptual Machiavellian itu sendiri.
Keduanya memiliki alur pemikiran yang sama tentang konsep negara. Bagi keduanya, kedaulatan
negara dan stabilitasnya harus diutamakan tak peduli karakter pemerintahan yang akan terbentuk
darinya. Tujuan etis-moral dilepaskan dari bangunan negara. Cara-cara mempertahankan sentralitas
kekuasaan ditekankan secara berlebihan dibandingkan dengan cara-cara mengusahakan kehidupan
yang baik. Kekuatan militer yang dikerahkan untuk menjaga stabilitas kekuasaan menjadi
kebutuhan rasional. Dalam konteks abad ke-16 dan 17, kepala keluarga dan raja menjadi
representasi dari kekuasaan absolut untuk mewujudkan keharmonisan dan stabilitas suatu negara.
Pada abad-abad selanjutnya, kapitalisme membuktikan diri sebagai sebuah sistem mutlak yang kini
berupaya membongkar tujuan-tujuan moral-etis negara kepada seperangkat visi ekonomi dan profit.
Bandingkan, Nicolo Machiavelli, The Prince, penerj. W. K. Marriott (London: J. M. Dent & Sons
LTD, 1532) dan Machiavelli, The Discourses (New York: The Modern Library, 1950), hlm. 40.

81
setempat atau melakukan penggusuran besar-besaran. Eksistensi kapitalisme
mengandung pula struktur penindasan struktural baru. Hal ini terlihat dari berbagai
kebijakan sistem kapitalisme yang turut mencampuri kebijakan nasional negara-
negara lain. Negara-negara adidaya memaksakan syarat-syarat sepihaknya kepada
negara-negara lain. Prinsip-prinsip kerja yang demikian mematikan kebebasan
politik individu. Sistem demokrasi yang sedianya menjadi katalisator bagi wadah
diskursus kritis rusak oleh administrasi total yang dijalankan oleh kapitalisme
dalam negara bersangkutan.258
Marcuse dalam Manusia Satu-Dimensi mengkritisi kontrol kapitalisme
terhadap kebebasan berpolitik. Menurutnya, kapitalisme telah memanipulasi
kekuatan partai yang seharusnya menjadi corong aspirasi warga negara. Semua
partai tidak lagi memperjuangkan kepentingan warga negara, melainkan tunduk
pada kepentingan kapitalisme. Kekuatannya untuk menciptakan pemerintahan
yang adil menumpul sebab “basis sosial partai-partai itu telah dilemahkan dan
tujuan-tujuannya telah diubah melalui transformasi sistem kapitalis.”259 Kritik
Marcuse ini tidak saja ditujukan pada negara kapitalis melainkan pula pada negara
komunis yang mengintegrasikan kepentingan kapitalisme dalam penyelenggaraan
pemerintahannya. Integrasi ini telah melemahkan kekuatan “partai-partai oposisi
legal”260 menjadi gerakan nonradikal semata dalam memperjuangkan kebebasan
politik.
Otoritas yang dulunya menjadi privilese sebuah negara bangsa kini diubah
dalam struktur hierarki yang baru. Kedaulatan suatu negara atau pemimpin
pemerintahan diganti dengan kedaulatan lembaga-lembaga ekonomi neoliberal.
Kekuatan-kekuatan ekonomi global merebut otonomi birokrasi suatu negara untuk
mengatur kehidupan warga-negaranya. Korporasi-korporasi raksasa dan
kesepakatan-kesepakatan ekonomi multilateral, sebagai perwujudan kapitalisme,
menjadi panoptikon261 yang mengawasi dan mengontrol berbagai kebijakan negara

258
Aleksius Jemadu, Politik Global Dalam Teori dan Praktik (Yogyakarta: Suluh Media, 2017),
hlm. 256.
259
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 32.
260
Ibid., hlm. 32-33.
261
Panoptikon adalah sebuah menara pengawas dalam penjara. Ia dibangun sebagai sebuah menara
tinggi di pusat penjara yang memungkinkannya untuk mengawasi semua tahanan. Opsir penjara
menggunakan bangunan ini untuk mengawasi aktivitas para tahanan. Konsep ini digunakan oleh

82
agar seirama dengan tujuan-tujuan partikularnya. Tak heran, dalam dunia
kontemporer, pihak korporasi mendapat semakin banyak kekuatan dalam
kerjasama dengan para pemimpin eksekutif suatu negara. Hal ini terlihat dari
produk-produk hukum yang sangat memihak kepentingan para kapitalis dan
korporat. Potensi hegemonik korporasi ini disinyalir bisa menjadi daya yang
“powerful enough to rig the game and shape the field of common effort.”262
Kapitalisme kini memainkan peran sentral sebagai kekuatan politik global
yang mencakup seluruh dunia. Kepentingannya untuk mengekspansi modal dan
memperluas pasar berhasil menyatukan kepentingan-kepentingan nasional negara
lain dalam sebuah sistem tunggal. Di satu sisi, sistem ini menciptakan organisasi
yang masif (large scale organization), sebab tercipta sebuah ruang yang mengatur
semua kepentingan dunia. Namun, di sisi lain, kapitalisme menyembunyikan
disorganiasi (dis-organization), sebuah keterpecahan dan alienasi besar-besaran.
Masyarakat industri, menurut Marcuse, merupakan “suatu sistem dari
kekuatan-kekuatan yang saling mendukung.”263 Ia terdiri atas berbagai institusi dan
sikap yang mendukung sebuah sistem tunggal, yakni prinsip kapitalisme. Karakter
alienasi dan kontrol sosial darinya menjadi terabaikan sebab semua unsur bahu-
membahu menopang sistem bersangkutan. Sebagai akibatnya, organisasi total
seperti ini bersifat kebal terhadap negasi dan oposisi dari dalam maupun dari
luar.264
Keteraturan dan keterorganisasian dunia politik global modern tak lepas
dari aspek-aspek destruktifnya. Kapitalisme membawa dualisme kemajuan; sebuah
administrasi politik global dan aspek disorganisatifnya. Kehadiran korporasi
internasional,sebagai wujud dari kapitalisme, merangkul bipolaritas kemajuan ini.
Dualisme ini digambarkan secara nyata oleh Jeffrey, bertolak dari situasi korporasi
Amerika Serikat, sebagai berikut:

Michel Foucault untuk berbicara tentang praktek relasi kuasa antar manusia. Michel Foucault,
Discipline and Punish: The Birth of The Prison, penerj. Alan Sheridan (New York: Pantheon,
1977), hlm. 271.
262
R. Jeffrey Lustig, op. cit., hlm. 247.
263
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 80.
264
Ibid., hlm. 81.

83
Corporatist to its core, it creates mechanistic rather than
organic social relations. It forces agglomeration, but without
community. It mandates corporatism, but without diversity. It
imposes close interdependence without trust. And it justifies
hierarchy without enforcing accountability.265

Kapitalisme menciptakan biosfer sosial yang bersifat murni mekanis.


Hubungan sosial antar manusia bukan dibangun berdasarkan nilai-nilai
komunitarian melainkan berdasarkan motif utilitas dan efektivitas dalam
mendapatkan surplus keuntungan. Pluralitas dan opsi-opsi alternatif teralienasi oleh
paksaan ideologis nilai-nilai kapitalisme. Sikap ketergantungan dan kerjasama antar
negara dan antar warga negara bukan didasari oleh rasa saling percaya, melainkan
antisipasi atas ancaman kekuatan eksternal. Hierarki kekuasaan hidup tanpa
diimbangi sikap tanggung jawab.
Kapitalisme sebagai sebuah kekuatan politik global juga dimungkinkan oleh
regulasi-regulasi diplomasi luar negeri yang dianut oleh setiap negara. Setiap
negara kini sepakat pada satu kebutuhan bersama, yakni untuk terlibat dalam
politik internasional. Sebuah negara yang benar-benar terisolasi dari kepentingan
negara lain hanya akan menciptakan lebih banyak kerugian bagi warga negaranya.
Kebijakan politik luar negeri menjadi sebuah keniscayaan di era globalisasi ini.
Dalam hubungan internasional, negara-negara maju dan berkembang (lesser states)
membangun jaringan-jaringan bilateral maupun multipolar, baik dalam bentuk
aliansi maupun dalam kemitraan strategis secara ekonomi dan politik demi
perimbangan kekuatan.266 Interkonektivitas kompleks ini menjadi sebuah elemen
utama yang mendegradasi semesta politik suatu bangsa sebagaimana diutarakan
oleh Marcuse sendiri:

...adanya pemusatan ekonomi nasional pada kebutuhan-


kebutuhan korporasi-korporasi besar, dan pemerintah bertindak
sebagai suatu kekuatan yang merangsang, mendukung, dan
kadang-kadang bahkan mengontrol, menambatkan ekonomi ini
pada sistem aliansi-aliansi militer berskala internasional,

265
R. Jeffrey Lustig, loc. cit.
266
Yanyan Mochamad Yani dan Ian Montratama, op. cit., hlm. 1-3.

84
perjanjian-perjanjian moneter, bantuan-bantuan teknis dan
rencana-rencana pembangunan...267

Kepentingan kapitalisme meresapi berbagai kemitraan bilateral atau


multilateral antar negara, khususnya dalam bentuk kerjasama ekonomi. Melalui
kerjasama ekonomi, para kapitalis merambahkan cakupan ekonominya ke negara-
negara berkembang. Sejumlah besar modal diinvestasikan ke daerah-daerah
potensial baru. Kemungkinan-kemungkinan bisnis baru terbuka. Bersamaan dengan
itu, imperialisme turut dibawa serta. Dengan jalan kebijakan internasional tersebut,
negara-negara kapitalis menyerap dan mengeksplotasi sumber daya alam dan
manusia dari negara sasaran.
Kebijakan investasi asing seringkali membawa petaka yang lebih parah
daripada jika sistem ini tidak diberlakukan. Saat masyarakat telah menyadari
sindrom destruktif dari investasi korporasi asing, mereka sudah terlanjur tenggelam
dalam rasionalitas sistem bersangkutan. Karena telah tergiur dengan iming-iming
pembangunan, negara-negara berkembang bahkan terhipnotis untuk terus
melegalkan penindasan ekonomi tersebut tanpa bisa membawa narasi kritis untuk
menemukan alternatif lain. Opium tersebut membisukan suara rasio individu
kepada rasio birokrasi; “bureaucratic rationality replaces individual reason.”268
Salah satu perpanjangan jemari kapitalisme adalah mesin dan teknologi.
Marcuse telah mengantisipasi adanya fenomena penyatuan beberapa
kepentingan. Kepentingan partai-partai politik yang seharusnya menjadi jembatan
bagi suara rakyat kini tak mudah dibedakan dengan motivasi korporasi
internasional. Serikat-serikat buruh (union) mendapatkan perlawanan yang keras
dari para pemodal industri modern. Perlindungan terhadap hak-hak dasar kaum
buruh dibatasi sedemikian rupa, sehingga tuntutan-tuntutan minimal untuk sebuah
keadilan sulit diwujudkan. Saat corong-corong yang berpotensi menyuarakan kritik
diinstrumentalisasikan oleh kekuatan imperialis-kapitalis, maka batas antara sebuah
kebenaran dan manipulasi menjadi tak terjembatani. Ilusi bisa dianggap sebagai

267
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 29-30.
268
R. Jeffrey Lustig, op. cit., hlm. 248.

85
kebenaran, dan demikian pula sebaliknya. Basis kondisi ini mempertahankan rantai
penindasan struktural.269
Dalam kasus perhelatan partai-partai pasca pemilu, prioritas-prioritas
kebijakan menjadi terdistorsi. Janji-janji politik yang dicanangkan oleh partai saat
pemilu tak terpenuhi pasca pemilu. Komitmen-komitmen tersebut tidak lahir dari
sebuah kontemplasi politis atas kebutuhan rakyat melainkan hanya merupakan
simbol formal untuk menciptakan strategi kemenangan. Tak heran, titipan-titipan
kapitalis turut memengaruhi agenda partai untuk rakyat kecil. Pendanaan kampanye
oleh para pelaku bisnis dan korporat turut membentuk orientasi partai saat mereka
menang. Dalam Saliency Theory,270 partai dominan dengan segala
ketergantungannya dengan para pelaku bisnis akan menjadi “tulang punggung”
pemerintahan. Semua kebijakan yang dilahirkan tentu akan berpotensi diwarnai
oleh orientasi-orientasi sekunder partai dengan kepentingan para kapitalis ini.271
Rasionalitas teknologis memberikan dasar fundamental atas sebuah
penindasan struktural yang luas. Proses mesin dalam industri telah “membuai” para
pekerja (blue collar) untuk tenggelam dalam kesibukan ritmis dan yang tak disadari
secara penuh.272 Buaian-buaian ini – tanpa bersifat menindas-- hanya menciptakan
imaji sebuah realitas yang stagnan dan statis. Pekerjaan yang mereka jalani hanya
memberikan dua pilihan; tetap bekerja dengan lebih produktif atau menganggur
secara menderita. Kondisi-kondisi dan syarat kerja dituruti sebagai kebajikan-
kebajikan akhir jika ingin hidup. Hal-hal yang sama juga berlangsung ke atas
masyarakat kosumen. Mereka bahagia dengan infinitas alternatif pilihan produk
kapitalisme dan mengaburkan ikatan-ikatan eksistensial terhadap rasio kritis
mereka. Bagi mereka, “yang diperhitungkan adalah nilai tukar, bukan nilai
kebenaran.”273

269
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 32.
270
Fadillah Putra, Partai Politik & Kebijakan Publik: Analisis Terhadap Kongruensi Janji Politik
Partai dengan Produk Kebijakan Publik Di Indonesia 1999-2003 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 86.
271
Ibid.
272
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 42.
273
Ibid., hlm. 91.

86
4.5 Kapitalisme yang Positivistik dan Kematian Semesta Nilai

Positivisme adalah sebuah paradigma pengetahuan yang bersumber pada


produk-produk penelitan ilmiah. Paradigma ini bertolak dari keyakinan dasarnya
bahwa realitas dapat didekati secara ultim melalui sarana-sarana dan metodologi
ilmiah. Realitas yang diterima merupakan sebuah faktisitas material. Materi
merupakan sumber dari semua pengetahuan yang bisa dikuantifikasi dan
diobservasi dengan indra manusia. Segala hal yang bernilai metafisis, transenden
atau mistis bukan merupakan sumber yang paten terhadap pengetahuan.
Kapitalisme modern bekerja seturut prinsip-prinsip positivisme dan mengabaikan
prinsip nalar kritis dari nilai. Menurut Marcuse, kapitalisme dan masyarakat
industri adalah “medium bagi realisasi” prinsip positivisme.274
Dalam gagasan Manusia Satu-Dimensi, Marcuse menyamakan prinsip
positivisme dengan rasionalitas teknologis yang dijalankan oleh kapitalisme.
Menurutnya, “jagat semesta dan perilaku yang mulai berbicara dalam positivisme
Saint-Simon merupakan jagat semesta realitas teknologis. Di dalamnya, dunia-
objek sedang ditransformasikan ke dalam suatu instrumentalitas.”275 Industri
kapitalis, sebagaimana positivisme, menciptakan relasi yang instrumentalistik.
Relasi instrumental ini melihat individu sebagai alat bagi kepentingan kapitalis.
Sebagai alat, individu kehilangan dimensi kritisnya. Kehilangan dimensi kritis
melahirkan manusia berdimensi satu yang sangat afirmatif terhadap realitas.
Dalam dirinya sendiri, positivisme mengandung tiga muatan dasar.
Pertama, pikiran kognitif dan proses-proses berpikir mendapatkan afirmasi atas
validitasnya melalui serangkaian pengalaman atas fakta-fakta. Kedua, ilmu-ilmu
pengetahuan alam (fisik, eksakta) menjadi model kepastian dan kebenaran bagi
pikiran. Ketiga, kemajuan dalam ilmu-ilmu pengetahuan hanya dimungkinkan oleh
orientasi model berpikir yang menjangkarkan diri pada fakta-fakta empiris dan
terverifikasi.276
Dalam sejarah, positivisme merembes ke penelitian sosial dan kemanusiaan
dengan karakter khasnya sendiri. Penelitian sosial yang menggunakan pendekatan
274
Ibid., hlm. 261.
275
Ibid.
276
Ibid., hlm. 260.

87
positivis menjunjung tinggi objektivitas dan kebebasan dari nilai-nilai. Ia tidak
berurusan dengan tanggungjawab etis. Pengetahuan merupakan sebentuk deskripsi
atas faktisitas. Segala hal yang bisa tampak dan bisa terkalkulasi melalui penelitian
dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Bahkan sebuah penindasan dapat dengan
enteng dikaji sebagai sebuah fenomena sosial dan faktual yang menjelma secara
lebih canggih sebagai kebenaran. Kaum positivis dalam penelitian sosial tidak
mengajukan narasi kritis atau menyajikan nilai-nilai humanitarian terhadap
fenomena tersebut untuk mengatasinya, melainkan memfokuskan diri terhadap
penggalian epistemologis akar-akar dan bentuk sebuah penindasan. Usaha-usaha
menggali pengetahuan berpusat pada deskripsi daripada mengusahakan perubahan
sosial dan kultural. Usaha-usaha metodologi positivisme ini menciptakan banyak
paradoks yang mewarnai sengketa panjang dalam ilmu sosial.277
Herbert Marcusemenyerang positivisme sebagai bentuk esensial dominasi.
Sistem positivistik menawarkan premis bahwa segala permasalahan di dunia ini
bisa diatasi dan diselesaikan dengan prosedur ilmiah dan pendekatan saintifik.
Premis ini merupakan “mitos” baru yang diciptakan oleh Pencerahan sendiri. Era
pencerahan sangat berkontribusi membersihkan dunia abad ke-18 dari rantai
belenggu mitos dan agama yang pada akhirnya melahirkan embrio positivisme.
Positivisme bersikeras menentang dogma agama dan berjuang untuk merubah
orientasi pengetahuan yang teosentris menuju pengetahuan yang antroposentris.
Dengan cara demikian, manusia mendapatkan kebebasan dari dogma-dogma sempit
agama pada waktu itu.278
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, paradigma positivistik temuan
pencerahan ini mulai mengangkangi tujuan utamanya untuk menyediakan
kebebasan. Ia justru melahirkan suatu mitos baru, yakni positivisme sendiri, yang
semakin ditegaskan dengan penyamarataan ilmu sosial dan ilmu alam. Sains diubah
menjadi mitos baru. Paradigma positivistik menjadi sebuah mitos baru; sebagai
revelasi alamiah untuk mengatasi segala kebutuhan di era modern. Nalar

277
Linda Tuhiwai Smith, Dekolonisasi Metodologi (Yogyakarta: Insist Press, 2005), hlm. 267-268.
278
Maghfur M. Ramin, Teori Kritis Filsafat Lintas Mazhab (Yoyakarta: Penerbit Sociality, 2017),
hlm. 106-107.

88
diidentikkan dengan aparatus teknologi mutakhir dan efisiensi cara kerjanya di
tengah masyarakat. Nalar “sama mistiknya” dengan mitos itu sendiri.279
Paradigma positivisme yang dikritik keras oleh Marcuse adalah sikap bebas
nilai dan netralitasnya. Sebagaimana ilmu-ilmu alam mengesampingkan peran nilai
dalam metodenya, demikian pula konklusi penelitian sosial harus menolak segala
sistem tatanan nilai dan keberpihakan. Penelitian sosial menjadi sekedar sebuah
kontemplasi atas faktisitas. Penelitian yang demikian secara tidak langsung
mempertahankan tatanan status quo. Perubahan sosial tidak diberi prioritas.
Penindasan dan dominasi atas masyarakat secara sistematis menjadi sedemikian
konstan dan kontinu karena pensiunnya institusi ilmu pengetahuan sebagai pusat
perubahan sosial kemasyarakatan. Daripada mengusahakan sebuah perjuangan
progresif melawan kekuasaan, positivisme hanya mengafirmasi ekses destruktif
kekuasaan tersebut.280
Penelitian yang positivistik bertujuan untuk menemukan realitas das Sein
(apa yang ada) dan menolak realitas das Sollen (apa yang seharusnya ada). Dunia
dan semua bentuk perubahannya merupakan sebuah fakta terberi yang rasional.
Sebagai sebuah fakta, ia bersifat rasional sebagaimana prinsip “yang real itu pasti
rasional.” Prapengandaian ini punya potensi besar untuk digunakan sebagai alat
“rekayasa-sosial.”281 Ia bisa saja mengindoktrinasi masyarakat bahwa suatu
fenomena sosial, sejauh ia benar riil terjadi, adalah fakta yang harus kita terima.
Tawaran solusi revolutif untuk mengatasinya dikesampingkan.
Usaha-usaha positivisme secara gamblang teraktualisasi dalam sejarah
dengan kemunculan aliran positivisme logis. Aliran yang muncul pada abad XX ini,
sejak ditumbuhkan oleh A. Comte, berinisiatif untuk menentukan batasan universal
sebuah ilmu pengetahuan. Nilai kebenaran dari suatu ilmu pengetahuan hanya
didasarkan pada pengalaman empiris dan hukum logika serta pertimbangan
matematis.282 Segala sesuatu yang tidak bisa diverifikasi oleh logika dan

279
Ben Agger, Nurhadi (penerj.), op. cit., hlm. 172.
280
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode
Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 24.
281
Ibid.
282
Alexander Seran, “Masa Depan Filsafat Dalam Era Positivisme Logis”, Respons: Jurnal Etika
Sosial, 19:1 (Yogyakarta: Juli 2014), hlm. 136.

89
matematika dan tidak bertolak dari data empiris tidak bisa disebut sebagai ilmu
pengetahuan. Filsafat yang menawarkan sebuah refleksi kritis melampaui kondisi
empiris secara otomatis dieksklusikan dari kategori sebagai ilmu pengetahuan.
Menurut Marcuse, pengabaian atau pembersihan dimensi filsafatanalitik ini dalam
industri kapitalis melahirkan Manusia Satu-Dimensi.283 Kecenderungan ini
merambah dengan luas dan memengaruhi perubahan metodologi bagi ilmu-ilmu
sosial menjadi unified science. Ilmu-ilmu sosial danhumaniora menjadi kecanduan
terhadap metodologi positivisme logis dan kehilangan jati diri utamanya.284
Imitasi metodologi ini secara substansial melemahkan peran ilmu-ilmu
sosial dalam “memberikan pencerahan akal budi dengan pola pikir kritis dan
pencerahan rasional reflektif, karena sifat dan cirinya yang semakin dipengaruhi
oleh cara berpikir positivisme logis.”285 Saat refleksi kritis kehilangan
panggungnya dalam sebuah peradaban, sistem-sistem totalitarian status quodan
ideologi-ideologi patologis seperti kapitalisme mudah menguasai keadaan. Dalam
konteks ini, kapitalisme sebagai representasi status quo menjadi tak terkalahkan
saat gerakan resistensi kritis atasnya diblokade dengan kuat. Paradigma positivisme
hanya sekedar mendeskripsikan situasi sosial historis yang ada tanpa mampu
menegaskan keberpihakan dan penilaian terhadapnya.
Orientasi paradigma positivisme sangat kontras dengan cara Teori Kritis
membaca realitas. Positivisme cenderung memproduksi hukum-hukum sosial,
melihat fenomena sosial sebatas imbas dari faktor-faktor lain (kausalitas), serta
berpijak pada standar formal dan ukuran-ukuran yang tertata. Sebaliknya, Teori
Kritis melihat realitas sosial sebagai proses dialektika dan dinamika perjuangan
subjektif individu di tengah tatanan dunia yang didominasi oleh struktur ekonomi
dan kultural. Sementara positivisme menegaskan realitas sosial, Teori Kritis
mendekonstruksikannya ke dalam tatanan kekuatan-kekuatan yang represif yang
patut dieksklusikan.286

283
Herbert Marcuse, op. cit., hlm. 270.
284
Alexander Seran, loc. cit.
285
Poespowardojo T. M. Soerjanto dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan: H Hakikat
Ilmu Pengetahuan dan Kritik terhadap Visi Positivisme Logis serta Implikasi Pengaruhnya
(Jakarta: Penerbit Kompas, 2015), hlm. 94.
286
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: dari Teori Sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Post-Modern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), hlm. 301.

90
Postivisme menegasikan semesta nilai. Karakter dasarnya adalah sebuah
gerakan melawan metafisika, transendentalisme dan idealisme. Bentuk positivisme
tersusun atas prinsip-prinsip yang mengatasnamakan realitas empiris sebagai basis
kebenarannya. Kenyataan empiris mudah untuk dikuantifikasi secara ilmiah,
sedangkan nilai-nilai etis-humanitarian terkesan “tidak jelas” dan “regresif”. Lebih
lanjut, dalam kacamata Marcuse, ide-ide yang ‘non-positif’ distigmatisasi sebagai
fantasi, mimpi atau spekulasi semata-mata.287
Silang sengketa terjadi dalam dunia ilmu sosial terkait paradigma
positivisme. Para ilmuwan sosial terlibat dalam perdebatan panjang tentang sifat
bebas nilai yang dibangun oleh positivisme. Validitas dan reliabilitas penelitian
positivisme dipertanyakan sebab metodologi yang digunakannya. Metodologi yang
digunakan punya akar mendalam terhadap sudut pandang atas manusia dan segala
aspek kemanusiaannya. Cara pandang serta pengetahuan-pengetahuan warisan yang
reduktif terhadap manusia dan lingkungannya hanya akan melahirkan pengetahuan
yang timpang dan melegitimasi ketidakadilan. Selain itu sasaran dan peran
penelitian positivisme menimbulkan banyak paradoks yang mewarnai sengketa
panjang dalam ilmu sosial.288
Sejalan dengan karakter dasar kapitalisme yang melekat pada pertimbangan
materialisme-empirisme, positivisme telah mewarnai semua aktivitas bisnis
kapitalis di seluruh dunia. Melalui pola pikir positivisme, berbagai kegiatan bisnis
direduksi hanya demi pengejaran profit maximization. Padahal, sebagaimana dilihat
oleh John Meynard Keynes, kegiatan ekonomi tidak seharusnya hanya
berkecimpung pada kalkulasi keuntungan dan pertumbuhan modal, melainkan pada
pertimbangan kesejahteraan sosial.289 Hal ini sangat kontradiktif bila dibandingkan
dengan realitas yang ditunjukkan oleh kapitalisme industri di mana kepentingan
kalkulasi finansial berdiri di atas kepentingan kesejahteraan. Aspek nilai tak diberi
tempat pada kegiatan mikroekonomi maupun makroekonomi.
Andre Ata Ujan mempertegas kualitas moral yang perlu dimiliki sebuah
bisnis. Baginya, selain tanggung jawab ekonomi dan hukum, misalnya, regulasi
287
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, op. cit., hlm. 261.
288
Linda Tuhiwai Smith, Dekolonisasi Metodologi (Yogyakarta: Insist Press, 2005), hlm. 267-268.
289
Michel Beaud dan Gilles Dostaler, Economic Thought Since Keynes: A History and Dictionary
of Major Economists (New York: Routledge, 1997), hlm. 25.

91
Upah Minimum Regional (UMR), aktivitas ekonomi perlu dilengkapi dengan
tanggungjawab moral dalam pelaksanaannya.290 Tanggungjawab moral ini pada
gilirannya tidak hanya akan mendukung keuntungan finansial melainkan pula
keuntungan-keuntungan kualitatif seperti kebanggaan diri, harga diri dan
kepercayaan publik terhadapnya. Selain itu, moralitas dalam ekonomi membantu
menjembatani jurang konflik antara self-interest para stakeholders dan public-
interest. Aspek pertimbangan nilai dalam ekonomi menjadi urgen, sebab kegiatan-
kegiatan bisnis berskala internasional punya dampak yang kuat terhadap
masyarakat luas, entah dampak negatif maupun yang positif.291
Teori Kritis membarui paradigma pengetahuan yang digunakan oleh
positivisme. Serentak setelah Teori Kritis menjadi sebuah teori yang mendasari
penelitian (pasca 1960-an), wacana tentang pengetahuan timpang dan hegemoni
kekuasaan digaungkan sebagai sebuah wacana akademis dan dalam ranah praksis
terwujud melalui aksi-aksi protes dan demonstrasi hingga penggulingan otoritas.
Berbagai gerakan kontra dominasi muncul dengan agenda utama memperoleh
kebebasan yang sudah sekian lama tidak bisa dikecap oleh masyarakat kebanyakan.
Kebebasan bukan lagi sebuah privilese kaum elit. Secara eksplisit, Maghfur M.
Ramin menjelaskan tujuan utama Teori Kritis sebagai usaha untuk “menghilangkan
berbagai bentuk dominasi yang hanya membelenggu diri dan akan mendorong
lahirnya kebebasan, keadilan dan persamaan.”292
Masyarakat yang antusias melawan berbagai kolonialisme dan
totalitarianisme barangkali tidak mempelajari dan memahami Marxisme. Namun,
aktivitas mereka secara implisit sangat berbau Marxis dalam arti bahwa mereka
ingin menjawab pertanyaan seputar “pengetahuan dan kekuasaan, antara penelitian
dan emansipasi, dan antara realitas hidup dan ideal-ideal yang dipaksakan tentang
Other.”293 Pertanyaan-pertanyaan ini berhasrat untuk mengusahakan perubahan
sosial yang radikal. Perubahan tersebut termasuk penolakan terhadap positivisme
sebagai ideologi yang mempertahankan kekuatan status quo.

290
Andre Ata Ujan, “Tanggung Jawab Moral: Urat Nadi Bisnis”, Jurnal Ledalero 13:2 (Ledalero:
Desember 2014), hlm. 351-356.
291
Ibid., hlm. 362.
292
Maghfur M. Ramin, op. cit., hlm. 16-17.
293
Linda Tuhiwai Smith, op. cit., hlm. 269.

92
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang dibuat dalam penulisan skripsi ini, penulis


menyimpulkan bahwa berdasarkan perspektif Manusia Satu-Dimensi Herbert
Marcuse, kapitalisme telah mematikan daya kritis individu. Kapitalisme menjadi
sebuah kekuatan dominatif yang menekan dimensi kritis manusia dan melahirkan
manusia yang cenderung menerima realitas secara apa adanya. Kecenderungan ini
merupakan karakter dari masyarakat kapitalis.
Herbert Marcuse, dalam Manusia Satu-Dimensi, menyediakan sebuah kritik
fundamental pada kapitalisme. Kapitalisme bukan lagi sekedar suatu kekuatan
ekonomi, melainkan pula suatu kekuatan zaman yang memengaruhi aspek dimensi
terdalam manusia. Menurutnya, manusia bersifat dwi-dimensional. Dua dimensi
tersebut adalah dimensi positif dan dimensi negatif. Dimensi positif mengacu pada
tendensi manusia untuk mengafirmasi dan mendukung realitas. Sebaliknya,
dimensi negatif mengacu pada tendensi manusia untuk mempertanyakan secara
kritis dan mengubah realitas yang ada. Sistem kapitalisme telah menekan dimensi
negatif manusia dan mendorong sikap afirmatif terhadap realitas. Hilangnya
dimensi negatif mengindikasikan matinya daya kritis manusia. Dari titik ini,
lahirlah manusia berdimensi satu.
Kapitalisme berhasil mematikan daya kritis manusia melalui manipulasi
kebutuhan dan kesadaran. Industri kapitalis membuat individu menginginkan
sesuatu yang tidak ia inginkan dan membutuhkan sesuatu yang tidak ia butuhkan.
Kebutuhan dan keinginan tersebut mendukung kepentingan kapitalis. Hal ini
terlihat secara nyata melalui produk-produk industri kapitalis. Peningkatan
produktivitas barang memuaskan konsumsi masyarakat sampai pada tahap ia
merasa cocok dengannya.
Kritik Manusia Satu-Dimensi mengkaji kekuatan kontrol sosial dari
kapitalisme. Kontrol sosial ini dijalankan dalam empat bidang kehidupan, yakni
bidang ekonomi, bidang bahasa, bidang politik dan bidang ilmu
pengetahuan.Pertama, dalam bidang ekonomi. Marcuse membahas aktivitas
industri kapitalis yang memanipulasi kesadaran para buruh untuk bekerja di bawah
sistem kapitalisme. Teknologi mesin dalam industri mengatur kerja buruh sebagai
aktivitas spontan yang tidak membutuhkan kreativitas dan pertimbangan kritis.
Mereka terbuai dengan ritme kerja mesin dan digerakkan oleh irama kerja yang
tetap demi memenuhi kepentingan logika ekonomi industri. Tendensi ini
menciptakan individu yang hanya mampu mengafirmasi situasi ketimpangannya
tanpa mampu membuat protes atau kritik atasnya.
Kedua, dalam bidang bahasa. Marcuse memberi kritik pada praktek
penggunaan bahasa dalam industri kapitalis. Industri kapitalis menciptakan ragam
bahasa yang mereduksi kandungan makna di dalam bahasa. Ia menyebutnya
sebagai bahasa satu-dimensi. Bahasa satu dimensi memberi makna pada suatu kata
atau frasa sesuai dengan prinsip-prinsip kapitalis. Misalnya, makna kata
‘berkepribadian’ dalam masyarakat industri dibelokkan menjadi ‘memiliki
smartphone’ atau makna frasa ‘percaya diri’ menjadi ‘memiliki produk-produk
terbaru dari suatu perusahaan.’ Konsep tentang kepribadian dan percaya diri yang
luas dibatasi pada logika konsumtif industri. Pemaknaan semacam ini banyak
ditampilkan oleh bahasa-bahasa iklan. Promosi iklan menjebak individu pada pola
pikir kapitalis yang cenderung mengidentifikasikan segala sesuatu secara teknis.
Inilah teknik industri iklan yang bertugas menanamkan citra manipulatif dari
industri kapitalis dan melemahkan dimensi kritis manusia untuk menganalisis
penggunaan bahasa. Ia melahirkan manusia berdimensi satu yang terjebak dalam
prakondisi kapitalis tanpa mampu berpikir kritis.
Ketiga, bidang politik. Kekuasaan kapitalisme tampak juga dalam bidang
politik. Negara beroperasi untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan
industri. Penguasaan terhadap teknologi dan mesin diberdayakan menjadi sebuah
kekuatan politik. Negara semacam ini memanfaatkan perangkat teknologi untuk
meningkatkan standar hidup masyarakat. Industri berbasis teknologi menciptakan

94
produk-produk kebutuhan dengan meningkatkan produksi kuantitas barang dan
jasa. Dengan jalan mengatur produksi dan distribusi, pemerintah secara terpusat
menggerakkan roda politiknya atas masyarakat. Ia meningkatkan taraf kepuasan
konsumtif individu dan kepatuhan politik. Saat kepuasan akan kebutuhan-
kebutuhan terpenuhi, maka fungsi subversif nalar kritis warga negara pun mati.
Konstelasi ini menciptakan kondisi kebuntuan kritis di mana setiap individu tidak
lagi berusaha untuk memperjuangkan penentuan nasib sendiri melainkan menerima
kehidupan yang diatur sebagai kehidupan yang rasional dalam masyarakat
kapitalis. Individu kehilangan kekuatan politisnya terhadap kekuasaan dan realitas.
Keempat, bidang positivisme. Manusia Satu-Dimensi mengajukan kritik
mendasar pada pendekatan positivisme yang mewarnai sistem kerja industri
kapitalis. Sejalan dengan pendekatan ini, sistem kapitalisme beroperasi
berdasarkan pertimbangan positivistik. Pertimbangan ini menyingkirkan
pertimbangan nilai kritis dan menekankan masalah teknis. Dengan demikian,
individu kehilangan unsur kritisnya.
Atas keempat hal ini, dapat disimpulkan bahwa kapitalisme merupakan
sistem yang mematikan daya kritis manusia. Perspektif filosofis Manusia Satu-
Dimensi membaca kematian daya kritis ini sebagai kecenderungan masyarakat
kapitalis yang melahirkan manusia berdimensi satu. Manusia berdimensi satu
bersikap pasif dan afirmatif atas dominasi kapitalisme. Dimensi negatif kehilangan
tajinya untuk menjadi kekuatan oposisi atas kontrol sosial dan manipulasi yang
dijalankan oleh sistem kapitalisme.

5.2 Usul Saran

Berdasarkan kajian yang telah dibuat dalam skripsi ini, penulis ingin
mengajukan beberapa usul saran sebagai rekomendasi untuk beberapa pihak. Usul
saran ini dibuat agar kajian kritis atas pandangan filosofis Manusia Satu-Dimensi
dikembangkan dalam aktivitas akademi dan filsafat. Pertama, bagi para akademisi
yang ingin menggarap secara mendalam gagasan Manusia Satu-Dimensi Herbert
Marcuse. Sebagai sebuah karya filosofis yang komprehensif, hendaknya karya ini
dijadikan suatu sumber penting untuk mengemukakan kritik terhadap modernisme.

95
Karya ini mengkaji secara sistematis kecenderungan masyarakat modern dengan
segala tantangannya yang masih relevan di masa sekarang. Analisanya yang tajam
dapat membantu para peneliti dan akademisi dalam mencermati struktur-struktur
dominasi dalam masyarakat. Selain itu, karya ini bisa menjadi referensi yang
penting bila ingin menggarap isu seputar kapitalisme. Manusia Satu-Dimensi
memberikan perspektif filosofis dan psikologis atas fenomena kapitalisme
terutama dalam dunia industri modern.
Kedua, bagi Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.Hendaknya gagasan
Manusia Satu-Dimensi menjadi sebuah bahan kuliah bagi para mahasiswa. Kajian
tentang filsuf Herbert Marcuse jarang digarap secara mendalam di Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik Ledalero. Hal ini sangat disayangkan karena sebagai salah satu
pencetus Teori Kritis, gagasan Marcuse masih relevan dengan situasi kontemporer.
Dengan mengajarkan filsafat Manusia Satu-Dimensi, diharapkan para mahasiswa
dapat mengembangkan analisis kritis atas situasi masyarakat kontemporer dengan
segala masalah yang menaunginya.

96
BIBLIOGRAFI

I. BUKU

Beaud, Micheldan Gilles Dostaler. Economic Thought Since Keynes: A History


and Dictionary of Major Economists. New York: Routledge, 1997.

Beilharz, Peter. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Para Filosof Terkemuka.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2003.

Berger, Peter L. dkk. Penerj. A. Widyamartaya Pikiran Kembara: Modernisasi dan


Kesadaran Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992.

---------------------. Humanisme Sosiologi. Penerj. Daniel Dhakidae. Jakarta: Inti


Sarana Aksara, 1985.

Bernstein, Henry. Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria. Edisi Revisi Seri
Kajian Petani dan Perubahan Agraria. Penerj. Dian Yanuardy, Muntaza
Stephanus dan Aswar Herwinto. Yogyakarta: Insist Press, 2019.

Bertens, K., Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: PT.
Kanisius, 2018.

Brunsvick, Yvesdan Andre Danzin, Lahirnya Sebuah Peradaban; Goncangan


Globalisasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005.

Budiman, Hikmat. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,


2002.

Bungin, H. M. Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh


Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik
Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Jakarta: Kencana, 2008.

Chomsky, Noam. How The World Works: Empat Karya Klasik Real Story Dalam
Satu Jilid. Penerj. Tia Setiadi. Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2016.

Craib, Ian. Teori-Teori Sosial Modern dari Parsons Sampai Habermas. Jakarta:
Rajawali Press, 1992.

Denzin, Norman K dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Dillard, Dudley M., Kapitalisme Dulu dan Sekarang. Penerj. Dawam Rahardjo.
Jakarta: LP3ES, 1987.

97
Forst, Rainer. Normativity and Power: Analyzing Social Orders of Justification.
Oxford: Oxford University Press, 2017.

Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of Prison. New York:
Pantheon, 1978.

----------------------. Discipline and Punish: The Birth of The Prison, Penerj. Alan
Sheridan. New York: Pantheon, 1977.

Fromm, Erich. Escape From Freedom. New York: Owl Books, 1994.

Giddens, Anthony dan Jonathan Turner, Yudi Santoso Penerj. Social Theory
Today: Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis


tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2003.

Held, D. Introduction to Critical Theory: Horkheimer to Habermas. London:


Hutchinson, 1980.

J. Schmandt, Henry. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Zaman Modern. Penerj. Ahmad Baidlowi dan Imam Bahehaqi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Jebadu, Alexander. Drakula Abad 21: Membongkar Kejahatan Sistem Ekonomi


Pasar Bebas Tanpa Kendali Sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum
Rimba dan Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila. Maumere:
Penerbit Ledalero, 2020.

-----------------------. Bahtera Terancam Karam. Maumere: Penerbit Ledalero,


2018.

Jeffrey Lustig, R. Corporate Liberalism: The Origins of Modern American


Political Theory, 1890-1920. London: University of California Press, 1982.

Jemadu, Aleksius. Politik Global Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Suluh
Media, 2017.

Kellner, Douglas, ed. Technology, War and Fascism: Collected Papers of Herbert
Marcuse. New York: Routledge, 2004.

----------------------. Herbert Marcuse and The Crisis of Marxism. Los Angeles:


University of California Press, 1984.

98
Kristeva, Nur Sayyid Santoso. Kapitalisme, Negara dan Masyarakat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015.

M. Ramin, Maghfur. Teori Kritis Filsafat Lintas Mazhab. Yoyakarta: Penerbit


Sociality, 2017.

Machiavelli, Nicolo. The Prince, Penerj. W. K. Marriott. London: J. M. Dent &


Sons LTD, 1532.

-------------------------. The Discourses. New York: The Modern Library, 1950.

Magnis-Suseno, Franz. Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-


Lenin. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013.

Marcuse, Herbert. Manusia Satu-Dimensi. Penerj. Silvester G. Sukur dan Yusup


Priyasudiarja. Yogyakarta: Narasi, 2016.

-----------------------. Eros and Civilization: Philosophical Inquiry into Freud. Ed.


Front Matter. Boston: Beacon Press, 1966.

Nurhadi, Ben Agger. Penerj. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan
Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.

Pipin, Robert (ed.). Marcuse: Critical Theory and The Promise of Utopia. USA:
Macmillan Education, 1988.

Poespowardojo, T. M. Soerjanto dan Alexander Seran. Filsafat Ilmu Pengetahuan:


Hakikat Ilmu Pengetahuan dan Kritik terhadap Visi Positivisme Logis serta
Implikasi Pengaruhnya. Jakarta: Penerbit Kompas, 2015.

Putra, Fadillah. Partai Politik & Kebijakan Publik: Analisis terhadap Kongruensi
Janji Politik Partai dengan Produk Kebijakan Publik di Indonesia 1999-
2003. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Rachman, Didik J. Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi. Jakarta: PT


Grasindo, 2001.

Raho, Bernard. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Obor, 2013.

Ramin, Maghfur M. Teori Kritis Filsafat Lintas Mazhab. Yogyakarta: Penerbit


Sociality, 2017.

Ritzer, Georg. Teori Sosial Post-Modern. Bantul: Kreasi Wacana, 2010.

----------------- dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi: dari Teori Sosiologi


Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Post-Modern.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.

99
Roni Tabroni, Roni. Marketing Politik: Media dan Pencitraan di Era Multipartai.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.

Roxborough, Ian. Teori-Teori Keterbelakangan. Penerj. Rochman Achwan


Jakarta: LP3ES, 1986.

Saeng, Valentinus. Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme


Global. Jakarta: Gramedia, 2012.

Skoll, Geoffrey R. Social Theory of Fear: Terror, Torture and Death in a Post-
Capitalist World. New York: Palgrave Macmillan, 2010.

Suyanto, Bagong. Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi di Era


Masyarakat Post-Modernisme. Jakarta: Kencana, 2013.

Tar, Zoltan. The Frankfurt School: The Critical Theories of Max Horkheimer and
Theodor W. Adorno. New York: Shocken Books, 1985.

Smith, Linda Tuhiwai. Dekolonisasi Metodologi. Yogyakarta: Insist Press, 2005.

Femia, Joseph V. Marxisme dan Komunisme, dalam Ideologi Politik Kontemporer.


Penerj. Eatwell dan Anthony Wright. Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001.

Weber, Max. The Protestant Ethic And The Spirit of Capitalism. Penerj. Talcott
Parsons. New York: Charles Scribner’s Sons, 2003.

Yani, Yanyan Mochamad dan Ian Montratama. Quo Vadis: Politik Luar Negeri
Indonesia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2017.

Z, Bechler. Aristotle’s Theory of Actuality SUNY Series in Ancient Greek


Philosophy. Albany: State of University of New York Press, 1995.

II. ARTIKEL

Ata Ujan, Andre. “Tanggung Jawab Moral: Urat Nadi Bisnis”. Jurnal Ledalero,
13:2, Desember 2014.

Honneth, Axel. “The Frankfurt School and Social Theory”, dalam Hauke
Brunkhorst, Regina Kreide dan Cristina Lafont ed. The Habermas
Handbook. New York: Columbia University Press, 2018.

Hutagalung, Daniel. “Hegemoni, Kekuasaan dan Ideologi”, Diponegoro 74: Jurnal


Pemikiran Sosial, Politik dan Hak Asasi Manusia. Vol. 12, Oktober 2004.

100
Luthfiah, “Kritik Modernitas Menuju Pencerahan: Perspektif Teori Kritis Mazhab
Frankfurt”, Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan, 2:1,
April 2018.

Marcuse, Herbert. “Some Social Implications of Modern Technology”, dalam


Douglas Kellner, ed. Technology, War and Fascism: Collected Papers of
Herbert Marcuse. New York: Routledge, 2004.

Nunez, Juan Pedro. “Beyond The Algorithms are Consciousness and Freedom”,
International Journal of Philosophy, 8:1, Januari 2020.

Ocay, Jeffry V. “Technology, Technological Domination, and the Great Refusal:


Marcuse’s Critique of the Advanced Industrial Society”, Journal Kritike,
4:1, Juni 2010.

Reitz, Charles. “Herbert Marcuse: Critical Theory as Radical Socialism”, dalam


Beverly Best, Werner Bonefelddan Chris O’Kane, ed. The Sage
Handbook of Frankfurt School Critical Theory. Vol. 1. London: SAGE,
2018.

Russel, Eric-John. “Georg Lukacs: An Actually Existing Antinomy”, dalam


Beverly Best, Werner Bonefeld dan Chris O’Kane, ed. The Sage
Handbook of Frankfurt School Critical Theory. Vol. 1. London: SAGE,
2018.

Seran, Alexander. “Masa Depan Filsafat Dalam Era Positivisme Logis”, Respons:
Jurnal Etika Sosial Volume, 19:1, Juli 2014.

Sigmund Freud. “Ceramah Kelima”, dalam K. Bertens. Ed. Dan Penerj.


Psikoanalisis Sigmund Freud. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2016.

Sunarto, “Negativitas Total: Kritik Adorno terhadap Rasionalitas dan Seni


Masyarakat Modern”, Pelataran Seni: Jurnal Pendidikan dan Kajian
Seni, 1:2,September 2016.

III. PUBLIKASI ELEKTRONIK

Akn, Beaver. “Mengapa Perkembangan Teknologi Di Indonesia Kurang Maju


Dibandingkan Negara Lain?”. Rona Indonesia.com. 8 Maret 2020.
<https://ronaindonesia.com/2019/10/18/mengapa-perkembangan-
teknologi-di-indonesia-kurang-maju-dibandingkan-negara-lain/>.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. “Oligopoli”. KBBI Daring.30 April


2020.<https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/oligopoli>.

101

Anda mungkin juga menyukai