Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH COOMBS TEST MATA PERKULIAHAN

IMUNOHEMATOLOGI DAN BANK DARAH

DISUSUN OLEH :

KHOTIMATUL MA’RUFAH

(NPM 412118073)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI LABROATORIUM MEDIS (D-4)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI 2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................................. iii
A. DEFINISI COOMB’S TEST........................................................................................................................ 1
B. MACAM-MACAM COOMB’S TEST ......................................................................................................... 2
C. METODE PEMERIKSAAN COOMB’S TEST............................................................................................... 4
1. Pemeriksaan DCT dengan Metode Tabung (Tube Test) ................................................................... 4
2. Pemeriksaan ICT dengan Metode Tabung (Tube Test) ..................................................................... 6
D. INTERPRETASI HASIL COOMB’S TEST
 ................................................................................................ 9
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL PEMERIKSAAN COOMB’S TEST ................................ 9
F. SUMBER KESALAHAN PEMERIKSAAN COOMB’S TEST
 .................................................................... 12
G. MODIFIKASI DAN AUTOMATISASI PEMERIKSAAN COOMB’S TEST ................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 15

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Prinsip pemeriksaan Direct Commb’s Test (Green and Klostermann, 2012). .............. 2

Gambar 2. Prinsip pemeriksaan Indirect Commb’s Test (Green and Klostermann, 2012). ........... 3

Gambar 3 Prosedur pemeriksaan DCT dengan motode tube test (Powell, 2016). ......................... 5

Gambar 4 Prosedur pemeriksaan ICT dengan motode tube test (Powell, 2016). ........................... 7

ii
DAFTAR TABEL

Table 1 Tujuan dari masing-masing tahapan pemeriksaan ICT .................................................................... 7


Table 2 memuat ringkasan tentang penyebab ............................................................................................. 12

iii
A. DEFINISI COOMB’S TEST

Antiglobulin test yang popular disebut dengan Coomb’s test, ditemukan pertama
kali oleh Coombs, Mourant dan Race pada tahun 1945 untuk mendeteksi antibodi yang tidak
beraglutinasi dalam serum (Makroo, 2009; Green and Klostermann, 2012). Coomb’s test
menjadi sangat penting karena dapat mendeteksi antibodi IgG dan komplemen yang
menghancurkan sel darah merah baik secara in vivo maupun in vitro tanpa menunjukkan
adanya aglutinasi.
Pemeriksaan Coomb’st test adalah pemeriksaan yang digunakan untuk
mendeteksi adanya antibody pada permukaan eritrosit dan anti-antibodi eritrosit dalam
serum. Anti body ini menyelimuti permukaan sel eritrosit yang menyebabkan umur
eritrosit menjadi lebih pendek dan sering menyebabkan reaksi inkompetibel pada
transfuse darah. Jadi perdefinisi Coomb’s test adalah suatu pemeriksaan yang digunakan
untuk mendeteksi antibodi yang mengikat sel darah merah baik secara in vivo maupun in
vitro (Blaney and Howard, 2013).
Prinsip sederhana dari pemeriksaan antiglobulin adalah sebagai
berikut:
a. Molekul antibodi dan komplemen adalah globulin,
b. Human globulin yang diinjeksikan pada hewan (kelinci) akan
merangsang produksi antibodi, yaitu Anti Human Globulin
(AHG). Pemeriksaan serologi yang berkembang menggunakan
reagen AHG yang dapat bereaksi dengan berbagai jenis globulin
manusia meliputi anti-IgG antibody dan C3d yang merupakan
komponen komplemen pada manusia.
c. AHG akan bereaksi dengan molekul human globulin baik yang
terikat dengan sel darah merah maupun yang bebas dalam serum
(Green and Klostermann, 2012).

1
B. MACAM-MACAM COOMB’S TEST

1. Direct Coomb’s Test (DCT)


DCT bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi imun baik IgG maupun
komponen-komplemen (umumnya C3d) yang menyelimuti atau mensensitisasi sel darah
merah secara in vivo (Makroo, 2009). Direk coombs test mendeteksi antibody yang
melekat pada sel darah merah, yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Uji ini dapat
mengidentifikasi suatu reaksi antigen-antibodi yang lemah walaupun tidak tampak
aglutinasi sel darah merah (Kee, 2007).
Menurut Makroo (2009), pemeriksaan DCT sering digunakan untuk membantu
diagnosis kasus-kasus berikut :
a. Hemolytic disease of new born (HDN),
b. Auto immune hemolytic anemia (AIHA),
c. Pemeriksaan adanya sensitisasi sel darah merah yang diinduksi
oleh obat-obatan,
d. Pemeriksaan kasus hemolitik yang disebabkan oleh reaksi
transfuse
Prinsip Pemeriksaan Direct Coomb’s Test (DCT) :

Gambar 1. Prinsip pemeriksaan Direct Commb’s Test (Green and Klostermann, 2012).

DCT berfungsi untuk mendeteksi adanya sensitisasi sel darah


merah oleh IgG atau komponen komplemen yang terjadi secara in
vivo. Setelah dilakukan proses pencucian sel darah merah sebanyak 3
kali kemudian tambahkan reagen AHG, kemudian dilihat ada tidaknya

2
aglutinasi. Aglutinasi akan terjadi apabila ada anti-IgG antibody atau
C3d yang menyelimuti sel darah merah (Green and Klostermann,
2012).

2. Indirect Coomb’s test (ICT)


Pemeriksaan ICT bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi inkomplit atau
komplemen yang ada di dalam serum setelah diinkubasi dengan sel darah merah secara
in vitro (Makroo, 2009).
Pemeriksaan ICT digunakan untuk kasus-kasus berikut:
a. Compatibility testing,
b. Skrining dan identifikasi antibodi yang tidak diharapkan dalam
serum,
c. Mendeteksi antigen sel darah merah menggunakan antibodi
spesifik yang hanya bereaksi dengan antiglobulin seperti Fya, Fyb,
JKa, Jkb dan lain-lain (Makroo, 2009).
Prinsip Pemeriksaan Indirect Coomb’s Test (ICT) :

Gambar 2. Prinsip pemeriksaan Indirect Commb’s Test (Green and Klostermann, 2012).

ICT berfungsi untuk mendeteksi adanya sensitisasi sel darah


merah oleh IgG atau komponen komplemen yang terjadi secara in vitro.

3
Reagen sel darah merah ditambahkan serum pasien kemudian dilakukan
proses inkubasi. Inkubasi bertujuan untuk memberi kesempatan anti
IgG antibody dan C3d yang bebas dalam serum mensensitisasi sel darah
merah secara in vitro. Setelah sensitisasi terjadi lalu tambahkan reagen
AHG dan amati ada tidaknya aglutinasi (Green and Klostermann,
2012).

C. METODE PEMERIKSAAN COOMB’S TEST

1. Pemeriksaan DCT dengan Metode Tabung (Tube Test)


Alat dan bahan
Alat-alat yang dibutuhkan, antara lain: tabung gelas dengan ukuran 75 x 12 mm,
sentrifus, dan pipet tetes.
Bahan untuk pemeriksaan coomb’s test dengan metode tabung, antara lain: sel darah
merah yang akan diperiksa, reagen Anti Human Globulin (AHG), dan kontrol positif.
Ada dua tipe reagen AHG yang tersedia, yaitu:
a. Reagen AHG polispesifik 
Reagen AHG polispesifik umumnya mengandung anti-
IgG dan anti-C3d namun juga dapat mengandung anti C3b dan anti C4b. Pembuatan
AHG dilakukan dengan cara menyuntikkan human globulin ke dalam tubuh hewan,
prosedur tersebut selanjutnya akan menghasilkan antibodi spesifik untuk
immunoglobulin manusia dan sistem faktor komplemen manusia.
b. Reagen AHG monospesifik
Reagen monospesifik masing-masing mengandung
anti-IgG, IgM, IgA atau komponen komplemen yang sudah terpisah-pisah (Makroo,
2009).
Kontrol sel positif dibuat dari golongan darah O Rhesus positif yang
direaksikan dengan anti-D, reagen AHG dan dibantu dengan alat dan bahan lain
seperti salin dan tabung reaksi ukuran 75 x 12 mm. Berikut adalah teknik pembuatan
kontrol sel positif:
1) sel darah merah golongan O Rhesus positif dicuci sebanyak tiga kali
menggunakan larutan salin,
2) 0,5 mL sel darah merah yang sudah dicuci dimasukkan kedalam tabung reaksi,
diambahkan 2-3 tetes anti-D.

4
3) Dihomogenkan dan inkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit. Jika aglutinasi
positif, prosedur diulangi dengan menambahkan anti-D yang sudah diencerkan,
4) sel dicuci sebanyak 4 kali kemudian buat suspensi sel 5% dalam medium salin,
5) ambil satu volume suspensi sel 5% dan tambahkan 2 volume reagen AHG.
Campur dengan baik dan sentrifugasi. Reaksi yang didapat harus +2,

6) kontrol sel positif dapat disimpan selama 48 jam pada suhu 4 oC (Makroo,
2009).
Prosedur Pemeriksaan DCT
1. 1 tetes suspensi sel 2-4% yang akan diperiksa diteteskan ke dalam tabung yang
bersih dan berikan label. Sampel darah harus segar, tidak lebih dari 24 pasca
pengambilan atau ditampung dalam 
tabung EDTA untuk mencegah terjadinya
uptake komplemen,
2. cuci sel sebanyak 3 kali menggunakan larutan salin dan buang 
sebanyak mungkin
salin pasca pencucian,
3. ditambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
4. Dihomigenkan dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000 
revolution
per minute (rpm),
5. Tabung digoyangkan dan dibaca ada tidaknya aglutinasi,
6. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
7. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000 
rpm dan lihat adanya
aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil 
dinyatakan invalid dan pemeriksaan
harus diulang.
Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan DCT

Gambar 3 Prosedur pemeriksaan DCT dengan motode tube test (Powell, 2016).

5
2. Pemeriksaan ICT dengan Metode Tabung (Tube Test)

Alat dan bahan


Alat yang dibutuhkan adalah tabung gelas dengan ukuran 75 x 12 mm, sentrifus, dan
pipet tetes.
Bahan untuk pemeriksaan meliputi serum yang akan diperiksa, sel darah merah golongan
O, reagen Anti Human Globulin (AHG), dan kontrol sel positif.
Prosedur Pemeriksaan ICT
1) teteskan 2 tetes serum yang akan diperiksa ke dalam tabung yang bersih dan beri
label. Sampel serum harus segar, untuk mendeteksi 
adanya komplemen yang
berikatan dengan antibodi,
2) tambahkan 1 tetes suspensi sel darah golongan O 2-5%,

3) inkubasi pada suhu 37 oC selama 45-60 menit,


4) amati ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi. Hemolisis atau 
aglutinasi yang
terjadi pada tahap ini mencerminkan adanya salin 
yang bereaksi dengan antibodi,
5) jika tidak terjadi hemolisis atau aglutinasi, cuci sampel sebanyak 
3-4 kali
menggunakan larutan salin dan buang sebanyak mungkin 
salin pasca pencucian,
6) tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,
7) campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000 
revolution per
minute (rpm),
8) goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,
9) jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,
10) campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000 
rpm dan lihat adanya
aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil 
dinyatakan invalid dan pemeriksaan
harus diulang.
11) Selalu sertakan autokontrol pada pemeriksaan ICT (Makroo, 
2009).

6
Gambar 4 Prosedur pemeriksaan ICT dengan motode tube test (Powell, 2016).

Tujuan dari masing-masing tahapan pemeriksaan ICT (Green and Klostermann, 2012).

Table 1 Tujuan dari masing-masing tahapan pemeriksaan ICT

Tahapan pemeriksaan Tujuan

Inkubasi sel darah merah dengan serum Memberikan kesempatan antibodi yang ada
pasien pada serum pasien menyelimuti antigen sel
darah merah

Pencucian sel dengan salin sebanyak 3 Menghilangkan molekul globulin bebas atau
kali yang tidak terikat
Membentuk aglutinasi sel
darah merah melalui ikatan antigen eritrosit +
antibodi + anti-IgG

Sentrifugasi Mempercepat proses aglutinasi dengan cara


mendekatkan sel satu sama
lain
Memberikan

Inaterpretasi Memberikan interpretasi hasil pemeriksaan


apakah positif atau negatif

Menentukan deraajad Aglutinasi Menentukan kuat lemahnya reaksi yang


terjadi

Penambahan Coombs’ control cells pada Untuk memastikan bahwa hasil yang negatif
hasil yang negatif bukan disebabkan oleh netralisasi reagen
AHG oleh molekul globulin bebas

7
3. Pemeriksaan ICT Menggunakan Medium LISS
Penggunaan LISS pada ICT dapat meningkatkan kecepatan dan derajat pengikatan
antibodi oleh sel darah merah dan menurunkan waktu inkubasi. Berikut dijelaskan
tentang pemeriksaan ICT pada medium LISS (Makroo, 2009).

Alat dan bahan


Alat-alat yang dibutuhkan meliputi tabung gelas dengan ukuran 75 x 12 mm, sentrifus,
dan pipet tetes.
Beberapa bahan yang dibutuhkan, antara lain:
a. Low ionic strength solution (LISS)
b. Serum yang akan diperiksa
c. Sel darah merah golongan O
d. Reagen anti human globulin (AHG)
e. Kontrol sel positif

Prosedur Pemeriksaan ICT menggunakan medium LISS


a. Cuci sel darah merah dengan salin sebanyak 2 kali,
b. cuci sel sekali dalam medium LISS,
c. buat suspensi sel 2-4% dalam medium LISS,
d. teteskan serum dan sel yang disuspensi dalam LISS dengan 
volume yang sama ke
dalam tabung yang bersih dan berikan 
label,

e. inkubasi selama 15 menit pada suhu 37 oC (pada kondisi 
emergency, inkubasi


dapat dilakukan selama 5 menit),
f. amati ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi, catat hasil yang di 
dapat,
g. jika tidak terjadi hemolisis atau aglutinasi, cuci sampel sebanyak 
3 kali
menggunakan larutan salin dan buang sebanyak mungkin 
salin pasca pencucian,
h. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG, campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada
kecepatan 1000 
revolution per minute (rpm)
i. Goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi jika hasil negatif, tambahkan 1
tetes control cells, campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000

rpm dan lihat adanya aglutinasi.

8
j. Jika tidak ada aglutinasi, hasil dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus
diulang.
LISS, serum dan suspensi sel harus diadaptasikan dengan suhu kamar
sebelum digunakan (Makroo, 2009).

D. INTERPRETASI HASIL COOMB’S TEST



Pemeriksaan DCT tidak dibutuhkan secara rutin dalam protokol pretransfusion
testing. Hasil DCT yang positif secara tersendiri bukan merupakan sebuah diagnosis.
Interpretasi hasil yang positif membutuhkan informasi tentang diagnosis klinis pasien,
riwayat pemberian obat-obatan, kehamilan, riwayat transfusi sebelumnya dan informasi lain
terkait adanya proses hemolitik.

E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL


PEMERIKSAAN COOMB’S TEST
DCT dapat mendeteksi kadar molekul IgG pada level 100-500 per eritrosit dan 400-
1.100 molekul C3d per eritrosit. Sedangkan ICT mampu mendeteksi kadar molekul IgG atau
C3d pada level 100-200 pada sel dengan reaksi positif. Jumlah molekul IgG yang
mensensitisasi eritrosit dan kecepatan terjadinya sensitisasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain:
1. Rasio serum dan sel
Peningkatan rasio serum dan sel akan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan.
Umumnya, rasio minimum adalah 40:1 yang bisa didapat dengan menambahkan 2 tetes
serum dan 1 tetes suspensi sel eritrosit 5%. Jika menggunakan sel yang disuspensi dalam
salin, maka dapat meningkatkan rasio serum dan sel yang memiliki kemampuan
mendeteksi antibodi lemah (misal: 4 tetes serum dengan 1 tetes suspensi sel 3% akan
memberikan rasio 133:1) (Green and Klostermann, 2012).

2. Medium reaksi
Beberapa medium reaksi yang bisa digunakan antara lain albumin, LISS dan
polyethylene glycol. Pada 1965, Stroup dan Macllroy melaporkan peningkatan
sensitivittas ICT jika albumin digunakan sebagai medium reaksi. Campuran reaksi yang
terdiri atas 2 tetes serum, 2 tetes bovin albumin 22% dan 1 tetes suspensi sel 3-5%

9
menunjukkan sensitivitas yang sama pada inkubasi 30 menit dibandingkan inkubasi 60
menit pada medium salin. Namun, salah satu kelemahan albumin yang dilaporkan oleh
Pezt dan Coworkers adalah tidak mampu mendeteksi beberapa jenis antibodi yang
bermakna secara klinis sehingga albumin jarang digunakan sebagai media ICT secara
rutin (Green and Klostermann, 2012).
Penggunaan Low ionic strength solutions (LISS) diperkenalkan oleh Low dan
Messeter. LISS mampu meningkatkan uptake antibodi dan memperpendek waktu
inkubasi dari 30-60 menit menjadi 10-15 menit. Penggunaan LISS juga dilaporkan oleh
Moor dan Mollison yang menemukan bahwa reaksi optimal bisa didapatkan dari
penggunaan 2 tetes serum dan 2 tetes suspensi sel 3% dalam medium LISS (Green and
Klostermann, 2012).
Polyethylene glycol (PEG) bersifat larut dalam air dan digunakan sebagai zat
tambahan untuk meningkatkan uptake antibodi. Mekanisme kerja PEG adalah
menghilangkan molekul air yang mengelilingi eritrosit (the water of hydration theory)
sehingga efektif untuk meningkatkan konsentrasi antibodi. Beberapa peneliti telah
membandingkan penggunaan PEG dan LISS sebagai medium reaksi dalam pemeriksaan
antiglobulin. Hasil penelitian melaporkan bahwa PEG dapat meningkatkan deteksi
antibodi yang bermakna secara klinis dan menurunkan deteksi antibodi yang tidak
bermakna secara klinik (Green and Klostermann, 2012).
3. Temperatur

Kecepatan reaksi antibodi IgG dan aktivasi komplemen optimal pada suhu 37 oC
(Green and Klostermann, 2012).
4. Waktu inkubasi
Untuk sel yang disuspensi dalam medium salin, waktu inkubasi mencapai 30-120
menit. Mayoritas antibodi yang bermakna secara klinis akan terdeteksi setelah menit ke-
30. Jika menggunakan LISS atau PEG, waktu inkubasi bisa diperpendek menjadi 10-15
menit. Dengan waktu yang lebih singkat, sangat penting untuk dilakukan inkubasi pada

suhu 30 oC. Bila waktu inkubasi pada teknik LISS diperpanjang (misal 40 menit) maka
antibodi akan terelusi dari eritrosit dan sensitivitas akan menurun (Green and
Klostermann, 2012).

10
5. Pencucian eritrosit
Untuk pemeriksaan DCT maupun ICT, sel eritrosit harus dicuci dengan salin
minimal 3 kali sebelum dilakukan penambahan reagen AHG. Pencucian akan
menghilangkan globulin serum yang tidak berikatan. Pencucian yang tidak adekuat dapat
menyebabkan hasil negatif palsu karena reagen AHG akan dinetralisasi oleh globulin
serum yang tidak berikatan. Hal tersebut menyebabkan fase pencucian pada pemeriksaan
DCT dan ICT menjadi tahapan yang sangat penting. Proses pencucian sebaiknya segera
dilakukan setelah proses inkubasi. Semua sisa salin setelah pencucian terakhir harus
dihilangkan karena dapat mengencerkan reagen AHG yang berefek pada penurunan
sensitivitas pemeriksaan (Green and Klostermann, 2012).
6. Salin untuk pencucian
Idealnya salin yang digunakan untuk pencucian harus segar dan mempunyai pH
7,2-7,4. Salin yang disimpan terlalu lama dalam wadah plastik menunjukkan penurunan
pH sehingga meningkatkan kecepatan elusi antibodi selama proses pencucian dan
memberikan efek hasil negatif palsu. Adanya kontaminasi bakteri pada salin juga pernah
dilaporkan dan hal tersebut berkontribusi dalam memberikan hasil positif palsu (Green
and Klostermann, 2012).
7. Penambahan AHG
Reagen AHG seharusnya ditambahkan segera setelah proses pencucian untuk
mengurangi elusi antibodi dan berdampak pada netralisasis reagen AHG. Jumlah AHG
yang ditambahkan disesuaikan dengan ketentuan perusahaan reagen (Green and
Klostermann, 2012).
8. Sentrifugasi untuk pembacaan
Sentrifugasi pada campuran sel untuk membaca hemaglutinasi merupakan
langkah yang krusial dalam pemeriksaan. Sentrifugasi yang direkomendasikan adalah
1000 Relative Centrifugal Forces (RCFs) selama 20 detik. Kecepatan sentrifugasi yang
tidak standar dapat memberikan hasil positif palsu karena resuspensi menjadi inadekuat
dan dapat memberikan hasil negatif palsu karena resuspensi terlalu kuat (Green and
Klostermann, 2012).

11
F. SUMBER KESALAHAN PEMERIKSAAN COOMB’S TEST


Berikut adalah tabel yang memuat ringkasan tentang penyebab


Table 2 memuat ringkasan tentang penyebab

Penyebab hasil positif palsu Penyebab negatif palsu


Kualitas sampel kurang baik Sampel tidak adekuat
Sentrifugasi berlebihan Kontaminasi reagen AHG dengan protein
luar
Tehnik pembacaan tidak tepat Konsentrasi para protein yang tinggi dalam
serum
Kontaminasi pada salin Reagen AHG tidak bekerja dengan baik
Tabung kotor Adanya pemanasanserumdan beku ulang
serum
Terkontaminasi fibrin Lupa menambahkan AHG
Sel dengan DCT positif dapat Sentrifugasi tidak adekuat
memberikan hasil ICT positif palsu
Sel Dengan poli aglutinasi Suspensi terlalu encer / pekat
Salin terkontaminasi logam berat / silica
colloidal
Sampel ditampung dengan tabung gel
separator

G. MODIFIKASI DAN AUTOMATISASI PEMERIKSAAN COOMB’S


TEST

Ada beberapa jenis modifikasi pemeriksaan coomb’s test yang bisa digunakan dalam
situasi khusus seperti Low-Ionic Polybrene technique (LIP), Enzyme-Linked Antiglobulin
Test (ELAT), solid phase technology, dan gel test (Green and Klostermann, 2012).

12
1. Low-Ionic Polybrene technique (LIP)

Teknik LIP diperkenalkan pada 1980 oleh Lalezari dan Jiang. Teknik ini dapat
mensensitisasi sel dengan antibodi dalam waktu cepat. Namun teknik ini memiliki
kelemahan yaitu sensitivitasnya rendah untuk mendeteksi anti-Jka dan anti-Jkb (Green
and Klostermann, 2012).
2. Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT)

Pada teknik ELAT, suspensi eritrosit ditambahkan pada microtiter well dan dicuci
dengan salin kemudian ditambahkan reagen AHG yang sudah dilabel dengan enzim.
Reagen AHG yang sudah dilabel dengan enzim akan berikatan dengan eritrosit yang
disensitisasi dengan IgG. Kelebihan antibodi akan dihilangkan dengan proses pencucian.
Setelah penambahan substrate akan terjadi perubahan warna yang selanjutnya dapat
diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu (umumnya pada
panjang gelombang 405 nm). Perubahan warna yang terjadi sebanding dengan jumlah
antibodi yang ada pada sampel (Green and Klostermann, 2012).
3. Solid Phase Technology
Solid-phase technology untuk pemeriksaan antiglobulin dapat dilakukan dengan
menggunakan test tubes maupun microplates. Baik pemeriksaan DCT maupun ICT dapat
dikerjakan dengan motode solid- phase (Green and Klostermann, 2012).
4. Gel Test
Pada gel test reaksi antigen dan antibodi akan terdeteksi pada microtube yang
mengandung polyacrylamide gel. Gel akan menjaring sel darah merah yang beraglutinasi
pada bagian atas gel dan meloloskan sel darah merah yang tidak beraglutinasi sehingga
mengendap pada dasar tabung. Hasil reaksi dinyatakan negatif, bila seluruh suspensi sel
mengendap di dasar tabung dan hasil dinyatakan positif bila suspensi naik di sepanjang
atau seluruhnya ada di permukaan tabung. Semakin tinggi derajat aglutinasi maka sel
semakin berada di atas permukaan tabung.
Ada tiga jenis gel test, yaitu netral, spesifik dan antiglobulin. Neutral gel tidak
mengandung reagen spesifik dan hanya digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya
aglutinasi. Sebagian besar penggunaan neutral gel test adalah untuk skrining dan
identifikasi antibodi. Gel test yang spesifik menggunakan reagen spesifik yang
dimasukkan ke dalam gel dan sering digunakan untuk menentukan jenis antigen.

13
Gel test yang mengandung antiglobulin atau yang disebut dengan The gel low
ionic antiglobulin test (GLIAT) dapat digunakan untuk pemeriksaan IAT maupun DAT.
Salah satu contoh prosedur pemeriksaan IAT menggunakan metode gel, 50 μL suspensi
sel darah merah 0,8% dimasukkan ke dalam gel yang sudah mengandung AHG lalu
tambahkan serum. Tabung kemudian diinkubasi dalam periode tertentu dan selanjutnya
dilakukan sentrifugasi. Apabila ada aglutinasi maka akan terperangkap pada permukaan
tabung yang menandakan hasil reaksi positif. Interpretasi sama dengan pemeriksaan
golongan darah atau crossmatching menggunakan metode gel. Jika dibandingkan dengan
metode konvensional, metode GLIAT lebih aman, handal dan hasil pemeriksaan lebih
mudah dibaca (Green and Klostermann, 2012).

14
DAFTAR PUSTAKA

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Antibody Detection and Identification. Basic & Applied
Conceppts of Blood Banking and Transfusion Practices Third Edition. United States:
Elsevier Mosby.p. 158- 187.
Friedman, M. T., West, K. A., Bizargity, P. 2016. Basic Single Antibody Identification: How
Hard Can It Be?. Immunohematology and Transfusion Medicine A Case Study Approach.
Switzerland : Springer International Publishin
Green, R. A. B., Klostermann, D. A. 2012. The Antiglobulin Test.
Blood Groups and Serologic Testing. Modern Blood Banking
& Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis
company. p. 101-117.
Makroo, R.N. 2009. Antiglobulin Test. Practice of Safe Blood
Transfusion Compendium of Transfusion Medicine. New Delhi:
Kongposh. p. 100-105.
Powell, V. I. 2016. Blood Group Antigen and Antibodies. NYU Langone
Medical Center.
WHO, 2009. Detection and identification of antibodies. Safe Blood and Blood Product. Genewa:
WHO. p. 38-44.

15

Anda mungkin juga menyukai