Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metode Gravitasi


Survei gravitasi merupakan pengukuran variasi medan gravitasi bumi yang
disebabkan oleh perbedaan densitas batuan bawah permukaan. Meskipun dikenal
dengan nama metode gravitasi, pada kenyataannya variasi yang terukur merupakan
percepatan gravitasi (Reynolds, 1997). Dasar teori penggunaan metode gravitasi adalah
Hukum Newton.

2.1.1 Hukum gravitasi Newton


Gaya gravitasi dinyatakan oleh Hukum Newton dimana, “besar gaya gravitasi
antara dua partikel dengan massa m1 dan m2 berbanding lurus dengan hasil kali kedua
massanya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua pusat
massanya”. Berdasarkan hukum tersebut, gaya gravitasi dapat dinyatakan dalam
persamaan 2.1.
m1m2
F G (2.1)
r2
dengan :
F = gaya gravitasi (N)
G = konstanta gravitasi universal (6,672 x 10-11 N m2/kg2)
m1 dan m2 = massa partikel (kg)
r = jarak antara kedua pusat massa (m)

Bentuk persamaan yang diberikan oleh persamaan 2.1 dapat diekspresikan dalam
bentuk vektor dengan mendefinisikan vektor satuan 𝑟̂12 seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Gaya gravitasi antar dua partikel (Serway and Jawett, 2014)

4
5

Karena vektor satuan ini diarahkan dari partikel 1 ke arah partikel 2, gaya yang
diberikan oleh partikel 1 pada partikel 2 dinyatakan dalam persamaan 2.2.
 mm
F12  G 1 2 2 r̂12 (2.2)
r


Dimana, F12 merupakan gaya yang diberikan partikel 1 pada partikel 2 dan 𝑟̂12 adalah
vektor satuan, sementara tanda negatif menunjukkan bahwa kedua partikel saling tarik
menarik. Berdasarkan hukum ketiga Newton, gaya yang diberikan oleh partikel 2 pada
 
partikel 1 adalah F21 , sama besarnya dengan F12 dan arah sebaliknya (Serway and
Jawett, 2014). Gaya-gaya ini membentuk pasangan aksi reaksi seperti pada persamaan
2.3.
 
F21   F12 (2.3)

2.1.2 Percepatan gravitasi


Berdasarkan hukum gerak Newton kedua, “jika dilihat dari kerangka acuan
inersia, percepatan obyek berbanding lurus dengan gaya total yang bekerja padanya
dan berbanding terbalik dengan massanya”, hukum tersebut dapat diekspresikan dalam
persamaan 2.4.

a
F
m

 F  ma (2.4)

Aplikasi hukum Newton kedua dalam kasus suatu benda dengan massa m2 yang jatuh
 
bebas, dengan a  g dan  F  F12 maka dapat dinyatakan dalam persamaan 2.5.

F12  m2 g (2.5)

Percepatan pada partikel 2 akibat dari partikel 1 dapat diperoleh dengan mensubstitusi
persamaan 2.5 dalam persamaan 2.2 , sehingga percepatan gravitasi dinyatakan dalam
persamaan 2.6.
Gm1
g (2.6)
r2
6

Percepatan g sama dengan gaya gravitasi per satuan massa yang disebabkan oleh m1.
Jika m1 adalah massa bumi (Me), g merupakan percepatan gravitasi bumi yang
diekspresikan oleh persamaan 2.7 (Serway and Jawett, 2014) :

GMe
g (2.7)
R2
dengan :
g = percepatan gravitasi bumi (m/s2)
G = konstanta gravitasi universal (6,672 x 10-11 N m2/kg2)
Me = massa bumi (kg)
R = jari-jari bumi (m)

Percepatan gravitasi pertama kali diukur oleh galileo dalam eksperimennya di


Pisa, Italia. Sehingga, untuk menghormati beliau, satuan percepatan gravitasi
dinamakan dalam satuan galileo atau Gal. Berdasarkan Sistem Internasional (SI) satuan
percepatan didefinisikan dalam m/s2 , sehingga konversi satuannya sesuai dengan
persamaan 2.8.
 cm  m
1Gal   1 2   10  2  2  (2.8)
s  s 

Sementara itu, dalam pengukuran dan kegiatan ekplorasi, satuan gaya gravitasi
diberikan dalam orde mGal yang dikarenakan sensitivitas alat ukur dan perubahan antar
titik yang sangat kecil. Konversi satuan dalam orde mGal dapat dilihat pada persamaan
2.9 (Telford et al, 1990).
m
1mGal   10 3 Gal   10 5  2  (2.9)
s 
7

2.2 Percepatan Gravitasi Teoritis


Secara teoritis permukaan bumi berbentuk bola dengan permukaan yang rata
(sphereoid) berjari-jari 6.371 km, namun pada kenyataannya bumi berbentuk elipse
dimana terdapat perbedaan antara jari-jari bumi di kutub dengan di katulistiwa. Jari-jari
di kutub 6.356,751 km sedangkan di khatulistiwa 6.378,136 km. Hal ini menyebabkan
nilai gravitasi di kutub akan lebih besar dibandingkan nilai gravitasi di katulistiwa,
seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Perbedaan nilai gravitasi di kutub dan katulistiwa (Reynold, 1990)

Pada tahun 1967, International Assosiation of Geodesy merumuskan persamaan


dengan memperhitungkan pengaruh spheroid dan geoid bumi, dinamakan Geodetic
Reference System 1967 (GRS67) yang di nyatakan dalam persamaan 2.10 (Reynold,
1990) :

g t  9,78031846 1  0,005278895 sin 2   0,0000023462 sin 4   (2.10)

dengan : g𝑡 = besar gravitasi teoritis pada lintang (m/s2)


𝜙 = lintang tempat

2.3 Reduksi Gravitasi


Selain karena dipengaruhi oleh spheroid dan geoid bumi, variasi gravitasi di
permukaan bumi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: perbedaan derajat lintang
di bumi, perbedaan elevasi/ketinggian, pasang surut di bumi, efek dari topografi medan
disekitarnya, variasi densitas bawah permukaan (Telford et al, 1990). Dalam eksplorasi
gravitasi yang diperhitungkan hanya faktor densitas bawah permukaannnya, sehingga
faktor-faktor lain harus dikoreksi, sehingga dilakukan berbagai macam koreksi antara
lain:
8

2.3.1 Koreksi penyimpangan alat (instrumental drift correction)


Koreksi penyimpangan alat merupakan koreksi pada data gravitasi akibat
perbedaan pembacaan nilai gravitasi di stasiun yang sama pada waktu yang berbeda
oleh gravimeter, seperti pada Gambar 2.3. Reynolds (1997) menjelaskan perbedaan
tersebut disebabkan karena terjadi guncangan pegas dan perubahan temperatur pada alat
gravimeter selama proses perjalanan dari satu stasiun ke stasiun berikutnya. Komponen
gravimeter dirancang dengan sistem keseimbangan pegas yang dilengkapi dengan
massa beban yang tergantung diujungnya. Karena pegas yang tidak elastis sempurna,
maka sistem pegas mengembang dan menyusut perlahan sebagai fungsi waktu. Untuk
menghilangkan efek tersebut, proses akusisi data atau pengukuran dirancang dalam
suatu lintasan tertutup sehingga besar penyimpangan tersebut dapat diketahui.

Gambar 2.3 Koreksi penyimpangan alat (Reynolds, 1997)

2.3.2 Koreksi pasang surut (tide correction)


Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh gravitasi benda-benda di
luar bumi seperti bulan dan matahari, yang berubah terhadap lintang dan waktu. Dalam
prakteknya, koreksi pasang surut dilakukan dengan cara mengukur nilai gravitasi di
stasiun (base) yang sama pada interval waktu tertentu. Kemudian bacaan gravimeter
tersebut diplot terhadap waktu agar menghasilkan suatu persamaan yang digunakan
untuk menghitung koreksi pasang surut. Nilai koreksi pasang surut ini selalu
ditambahkan pada pembacaan gravitasi (Reynold, 1997). Pengaruh pasang surut dan
penyimpangan alat pada percepatan gravitasi ditunjukkan oleh Gambar 2.4.
9

Gambar 2.4 Pengaruh pasang surut dan penyimpangan alat pada


percepatan gravitasi (Reynolds, 1997)

2.3.3 Koreksi udara bebas (free air correction)


Koreksi udara bebas bertujuan untuk mereduksi pengaruh elevasi dan kedalaman
titik pengukuran atau perbedaan nilai gravitasi yang terletak di mean sea level (geoid)
dengan gravitasi yang terukur dengan elevasi h. Koreksi udara bebas ditunjukkan oleh
Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Koreksi udara bebas (Telford et al, 1990)

Koreksi udara bebas diberikan pada persamaan 2.11 (Reynold, 1997) :


2g 0 h
g FA  g 0  g h   0,3082h
R (2.11)
dengan :
g FA = koreksi udara bebas (mGal)
10

g0 = nilai gravitasi di mean sea level (geoid) (981785,5 mGal)


R = jari-jari bumi (6.371.000 m)
h = elevasi (m)
Namun, dengan menimbang bahwa bumi berbentuk elipse, bukan bola, nilai dari
koreksi udara bebas menggunakan persamaan 2.12 (Reynold, 1997):

g FA  0,3086h (2.12)

2.3.4 Koreksi bouguer (bouguer correction)


Koreksi bouguer memperhitungkan massa batuan yang terdapat di antara stasiun
pengukuran dengan bidang geoid. Koreksi ini dilakukan dengan menghitung tarikan
gravitasi yang disebabkan oleh batuan berupa slab dengan ketebalan H dan densitas
rata-rata ρ, ditunjukkan oleh Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Koreksi bouguer (Telford et al, 1990)

Nilai Koreksi bouguer dapat dihitung menggunakan persamaan 2.13 (Telford et al,
1990):
g B  2Gh

 0,04192 h (2.13)
dengan :
g𝐵 = Koreksi bouguer (mGal)
𝜌 = densitas batuan (g/cm3 = Mg/m3)
ℎ = tinggi/ketebalan slab (m)
11

2.3.5 Koreksi medan (terrain correction)


Koreksi medan atau topografi dilakukan untuk mengoreksi adanya pengaruh
penyebaran massa yang tidak teratur di sekitar titik pengukuran. Dalam koreksi bouguer
diasumsikan bahwa titik pengukuran di lapangan berada pada suatu bidang datar yang
sangat luas. Sedangkan seringkali kenyataan di lapangan memiliki topografi yang tak
merata seperti adanya lembah dan bukit. Maka jika hanya dilakukan koreksi bouguer
saja hasilnya akan kurang lengkap (Reynold, 1990). Pengaruh koreksi medan
ditunjukkan oleh Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Pengaruh lembah dan bukit dalam perhitungan gravitasi (Reynold, 1997)

Reynolds (1997) menjelaskan cara perhitungan koreksi topografi dapat dilakukan


dengan menggunakan Hammer Chart yang dikembangkan oleh Sigmund Hammer pada
tahun 1982. Hammer Chart membagi area ke dalam beberapa zona dan kompartemen
(segmen). Hammer melakukan pendekatan pengaruh topografi dengan suatu cincin
yang terlihat pada Gambar 2.8.
12

Gambar 2.8 Hammer chart (Reynolds, 1997)

2.3.6 Anomali bouguer (bouguer anomaly)


Anomali gravitasi merupakan perbedaan nilai percepatan gravitasi bumi yang
teramati (hasil pengukuran) dengan nilai percepatan gravitasi bumi teoritis (model bumi
secara homogen) dalam datum referensi tertentu. Setelah melakukan proses koreksi,
maka akan didapatkan nilai yang disebut anomali bouguer. Anomali bouguer adalah
anomali yang disebabkan oleh variasi densitas secara lateral pada batuan di kerak bumi
yang telah berada pada bidang referensi yaitu bidang geoid. Persamaan untuk
mendapatkan nilai anomali bouguer ( g ) adalah dengan persamaan 2.14 dan 2.15
(Telford et al, 1990):
g obs  g read  g tide  g drift (2.14)

g  g obs  gt  g FA  g B  gTC (2.15)


dengan :
g = anomali bouguer (mGal)
g obs = nilai gravitasi hasil pengukuran yang terkoreksi pasang surut dan
penyimpangan (mGal)
g𝑟𝑒𝑎𝑑 = nilai gravitasi terbaca di lapangan (mGal)
g tide = koreksi pasang surut (mGal)

g drift = koreksi apung (mGal)

gt = nilai gravitasi teoritis (mGal)

g FA = koreksi udara bebas (mGal)


13

g B = koreksi bouguer (mGal)

gTC = koreksi medan (mGal)

Nilai anomali bouguer sering disebut sebagai Complete Bouguer Anomaly (CBA).
Sedangkan anomali Bouguer yang didapatkan tanpa memasukkan koreksi medan ke
dalam perhitungan disebut Simple Bouguer Anomaly (SBA). Penelitian ini
menggunakan data yang bersumber dari satelit geodesi (Geosat) Topex, dimana data
yang diperoleh sudah berupa Free Air Anomaly (FAA). FAA adalah nilai anomali
gravitasi yang sudah terkoreksi hingga koreksi udara bebas dan belum
memperhitungkan efek massa batuan sehingga perlu memasukkan koreksi bouguer ke
dalam perhitungan (Astra, 2013).

2.4 Densitas Rata-Rata Batuan


Densitas batuan adalah massa per satuan volume. Densitas dapat dianggap sebagai
jumlah massa titik yang mewakili material per satuan volume. Percepatan gravitasi yang
teramati tidak bergantung oleh densitas mutlak suatu material, melainkan bergantung
pada perbedaan densitas (density contrast) dengan sekitarnya (Sehah, 2012). Parameter
penting dalam eksplorasi gravitasi atau sumber anomali adalah variasi densitas lokal.
Dengan mengetahui nilai densitas dari tipe batuan bawah permukaan, kita dapat
menginterpretasi formasi struktur di bawah suatu permukaan (Budiman, 2016). Namun
karena variasi densitas maksimum antar batuan yang sangat kecil serta umumnya sulit
untuk mengukur densitas secara lokal, maka perlu adanya suatu tabulasi densitas batuan
dan mineral seperti pada tabel nilai densitas rata-rata batuan berikut (Telford et al,
1990). Tabel nilai densitas rata-rata batuan dapat dilihat pada Tabel 2.1 sampai dengan
Tabel 2.3.

Tabel 2.1 Nilai densitas rata-rata batuan metamorf


Range Average (wet) Range Average (wet)
Rock Type 3 Rock Type
(g/cm ) (g/cm3)
Quartzite 2,50 – 2,70 2,60 Serpentine 2,40 – 3,10 2,78
Schists 2,39 – 2,90 2,64 State 2,70 – 2,90 2,79
Granywacke 2,60 – 2,70 2,65 Gneiss 2,59 – 3,00 2,80
Granulite 2,52 – 2,73 2,65 Chlorotic state 2,75 – 2,98 2,87
Phylite 2,68 – 2,80 2,74 Amphibolite 2,90 – 3,04 2,96
Marble 2,60 – 2,90 2,75 Eclogite 3,20 – 3,54 3,37
Quartzitic state 2,63 – 2,91 2,77 Methamorphic-Av 2,40 – 3,10 2,74
14

Tabel 2.2 Nilai densitas rata-rata batuan beku


Range Average (wet) Range Average (wet)
Rock Type 3 Rock Type
(g/cm ) (g/cm3)
Rhyolite glass 2,20 – 2,28 2,24 Quartz dorite 2,62 – 2,96 2,79
Obsidian 2,20 – 2,40 2,30 Diorite 2,72 – 2,99 2,85
Vitrophyre 2,36 – 2,53 2,44 Lavas 2,80 – 3,00 2,90
Rhyolite 2,35 – 2,70 2,52 Diabase 2,50 – 3,20 2,91
Decite 2,35 – 2,80 2,58 Essexite 2,69 – 3,14 2,91
Phonolite 2,45 – 2,71 2,59 Norite 2,70 – 3,24 2,92
Trachyte 2,42 – 2,80 2,60 Basalt 2,74 – 3,30 2,99
Andresite 2,40 – 2,80 2,61 Gabbro 2,70 – 3,50 3,03
Nephelite-Syemite 2,53 – 2,70 2,61 Homblede-Gabbro 2,98 – 3,18 3,08
Granite 2,50 – 2,81 2,64 Peridotite 2,78 – 3,37 3,15
Granodiorite 2,67 – 2,79 2,73 Pyroxenite 2,93 – 3,34 3,17
Porphyry 2,60 – 2,89 2,74 Acid igneous 2,30 – 3,11 2,61
Syenite 2,60 – 2,95 2,77 Basic icneous 2,69 – 3,17 2,79
Anorthosite 2,64 – 2,94 2,78

Tabel 2.3 Nilai densitas rata-rata sedimen dan batuan sedimen


Range Average (wet) Range Average (dry)
Rock Type 3
(g/cm ) (g/cm3)
Alluvium 1,96 – 2,10 2,05 1,00 – 1,60 1,40
Clays 1,63 – 2,60 2,21 1,30 – 2,40 1,70
Gracial drift – 1,80 – –
Gravels 1,70 – 2,40 2,00 1,40 – 2,20 1,95
Loess 1,40 – 1,93 1,64 0,75 – 1,60 1,20
Sand 1,70 – 2,30 2,00 1,40 – 1,80 1,60
Sand and clays 1,70 – 2,50 2,10 – –
Silt 1,80 – 2,20 1,93 1,20 – 1,80 1,53
Soils 1,20 – 2,40 1,92 1,00 – 2,00 1,46
Sandstones 1,61 – 2,76 2,35 1,60 – 2,68 2,24
Shales 1,77 – 3,20 2,40 1,56 – 3,20 2,10
Limestone 1,93 – 2,90 2,55 1,74 – 2,76 2,11
Dolomite 2,28 – 2,90 2,70 2,04 – 2,54 2,30

2.5 Geologi Tejakula


Tejakula terletak sebelah utara pulau Bali dengan batasan wilayah, utara
berbatasan dengan laut Bali, barat dan timur merupakan kabupaten Buleleng sementara
selatan berbatasan dengan Kintamani Kabupaten Bangli. Jika dilihat dari letak
geografisnya, Tejakula terletak berdekatan dengan dua perbukitan dan tak jauh dengan
dua pegunungan aktif pada masa lampau (Batur dan Buyan-Bratan purba). Oleh
karenanya, diduga merupakan kawasan yang rawan aktivitas geologi (seperti gempa).
Keberadaan sesar di Tejakula belum sepenuhnya teridentifikasi, adanya potensi sesar
ditunjukkan dengan garis putus-putus hitam pada peta geologi Bali pada Gambar 2.9.
15

Gambar 2.9 Peta geologi Tejakula dan sekitarnya (Hadiwidjojo dkk, 1998)

Wilayah Bali sebagian besar terbentuk dan tersusun oleh batuan vulkanik yang
terbentuk dari kegiatan gunung api kuarter, sedangkan batuan sedimen dan campuran
sedimen vulkanik terdapat di bagian barat (Negara), utara (Singaraja) dan selatan (Nusa
Penida dan Bukit Jimbaran) yang sebarannya tidak terlalu luas. Menurut peta geologi
pulau Bali, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (Geological Research and
Developmennt Center) oleh Hadiwidjojo dkk (1998) (lengkap Lampiran 2), wilayah
Tejakula tersusun atas beberapa batuan di sekitarnya, meliputi :
a. Qvbb
Merupakan batuan gunung api kelompok Buyan-Bratan purba pada masa
plistosen. Komposisinya didominasi oleh breksi gunung api dan lava dengan
material berbentuk tuff. Breksi gunung api adalah batuan sedimen klastik yang
tersusun atas butiran-butiran fragmen dengan diameter lebih besar dari 32 mm,
batuan ini terbentuk karena proses ekstrusi magma melalui letusan gunung
berapi.
b. Qpbb
Merupakan batuan gunung api kelompok Buyan-Bratan dan Batur pada masa
holosen. Komposisinya didominasi oleh breksi gunung api dan lava dengan
material berbentuk tuff. Batuan tuff merupakan jenis batuan piroklastik yang
mengandung debu vulkanik yang dikeluarkan selama letusan gunung berapi.
16

Batuan ini sering disebut dengan batu putih dikarenakan didominasi dengan warna
putih.
c. Qa
Merupakan kelopok aluvium pada masa holosen. Komposisinya meliputi kerakal,
kerikil, pasir, lanau, lempung (sebagai endapan sungai, danau dan pantai).
d. Qhvb
Merupakan batuan gunung api Batur pada masa holosen. Komposisinya
didominasi oleh aglomerat, tuff, lava, lahar dan ignimbrit yang dihasilkan oleh
gunung batur yang masih giat. Aglomerat merupakan jenis batuan sedimen
piroklastik yang hampir sama dengan batuan konglomerat, tetapi memiliki
komposisi yang berbeda, dimana aglomerat berasal dari material vulkanik
sementara konglomerat berasal dari material sedimen. Aglomerat ini memiliki
ukuran butir lebih besar dari 32 mm.
e. Tpva
Merupakan formasi asah pada masa holosen. Komposisinya didominasi oleh
endapan permukaan dan batuan sedimen gamping, lava, breksi gunung api dan
tuff batu apung.
17

2.6 Patahan/Sesar
Sesar adalah patahan atau retakan (fracture) batuan pada kerak bumi yang
terbentuk karena adanya gaya luar yang bekerja pada batuan. Gaya menekan
(compressional stress) akan mengakibatkan terjadinya sesar naik atau thrust fault atau
reverse fault, gaya tarikan (tensional stress) akan menyebabkan terjadinya sesar geser
atau strike-slip fault. Kombinasi dari dua gaya atau lebih pada suatu bidang sesar akan
mengakibatkan terjadinya sesar campuran Oblique (Oblique Fault) (Bormann, 2002).
Bagian pembentuk sesar akibat gaya tekanan ataupun tarikan yang bekerja dapat dilihat
pada Gambar 2.10.
a. thrust fault b. normal fault

c. strike-slip fault d. Oblique Fault

Gambar 2.10 Proses terjadinya sesar dan gaya yang bekerja pada batuan.
(https://poetrafic.wordpress.com/2010/08/15/fault-patahan/)

Sesar memiliki karakteristik tertentu yang dapat diamati dengan metode geofisika.
Parameter sesar terdiri dari strike, dip, slip dan rake. Strike (ɸ) adalah kemiringan yang
relatif terhadap arah utara diukur searah jarum jam terhadap garis yang ditentukan oleh
perpotongan bidang permukaan geologi dan permukaan horizontal. Dip (δ) adalah
inklinasi dari permukaan bidang geologi dari arah horizontal dan diukur dalam derajat.
Slip adalah perpindahan relatif dari titik perbatasan terhadap sisi yang berlawanan dari
sesar. Rake (λ) adalah perpindahan hanging wall relatif terhadap foot wall yang diukur
dalam derajat (Bormann, 2002). Parameter sesar dapat dilihat pada Gambar 2.11.
18

Gambar 2.11 Parameter Sesar (Bormann, 2002)

2.7 Metode Second Vertical Derivative (SVD)


Pada dasarnya anomali gravitasi yang terukur di permukaan merupakan gabungan
dari berbagai macam sumber. Oleh sebab itu untuk memisahkan anomali di bawah
permukaan yang diakibatkan oleh struktur lokal dan regional cukup sulit. Anomali
gravitasi dapat disebabkan oleh massa yang berada pada zona yang dicari, namun ada
pula yang berada di zona yang lebih dangkal atau berasal dari zona yang lebih dalam
(Astra, 2013).
Anomali lokal merupakan gaya gravitasi yang diakibatkan oleh anomali dangkal
yang mempunya frekuensi spasial tinggi dan panjang gelombang yang pendek.
Sebaliknya, anomali regional adalah gaya gravitasi yang diakibatkan oleh anomali
dalam yang mempunyai frekuensi rendah dan panjang gelombang yang panjang.
Metode SVD adalah metode yang cukup akurat untuk menentukan lokasi kontak
sumber. Dikatakan seperti itu karena metode SVD dapat memisahkan efek gravitasi
sumber individual dibandingkan dengan anomali bouguer (Telford dkk.,1990).
Secara teoritis turunan SVD ini juga dapat dihitung berdasarkan persamaan
Laplace. Turunan persamaan Laplace dapat dituliskan dalam persamaan 2.16, 2.17 dan
2.18 (Elkins, 1951).
 2 g  0 (2.16)

 2 g  2 g  2 g
 g 
2
  0 (2.17)
x 2 y 2 z 2
19

 2 g   2 g  2 g 
    (2.18)
z 2  x
2
y 2 

dengan :
g = nilai anomali gravitasi

 2 g
= turunan kedua arah x
x 2
 2 g
= turunan kedua arah y
y 2

 2 g
= turunan kedua arah z
z 2

Untuk data penampang/sayatan, dimana y dianggap mempunyai nilai yang tetap maka
persamaan 2.18 dapat diekspresikan dalam persamaan 2.19.
 2 g  2 g
  (2.19)
2z 2x

Secara matematis untuk menentukan jenis struktur patahan menggunakan perumusan


2.20 dan 2.21 (Telford dkk.,1990) :

 2 g  2 g
Jika,  , maka sesar turun (2.20)
x 2 max
x 2 min

 2 g  2 g
Jika,  , maka sesar naik (2.21)
x 2 max
x 2 min

Dalam kasus ini, Cung Yau Lam (1994) merepresentasi suatu turunan dapat
dengan mudah diperoleh dengan pendekatan langsung dari geometri. Sebagai contoh,
dalam turunan parsial terhadap x , hanya variabel yang bergantung terhadap x yang
bernilai dan semua variabel yang tak bergantung x dianggap konstan. Oleh karena itu,
dapat dihitung suatu fungsi u terhadap x saja ditunjukkan oleh Gambar 2.12 dan
representasi semua turunan total dari u sama-sama berlaku untuk turunan parsialnya
20

Gambar 2.12 Pendekatan langsung suatu turunan (Cung Yau Lam, 1994)

Perhitungan turunan total pertama du dx di titik x  xi yang geometris mewakili

garis singgung kurva pada xi yang ditunjukkan oleh Gambar 2.12. Jika kita

mempertimbangkan satu x -step setelah xi , pada xi 1 yang berada pada jarak x  h

dari xi , nilai tangennya dapat didekati dengan garis lurus yang menghubungkan dua

titik kurva u (x) yang sesuai dengan xi dan xi 1 . Turunan ini dapat didekati dengan tiga
cara berbeda yaitu forward difference, backward difference dan central difference.
Turunan du dx di titik x  xi dengan forward difference ditunjukkan oleh
persamaan 2.22.
 du  ui 1  ui
   (2.22)
 dx  i h
Sementara turunan keduanya diperoleh dengan persamaan 2.23.

 d 2u  d  du 
 2    
 dx i dx  dx i

1  u   u  
      
x  x  i 1  x  i 

1  u i  2  u i 1 u i 1  u i 
 
h  h h 

ui 2  2ui 1  ui
 (2.23)
h2
21

Turunan du dx di titik x  xi dengan backward difference ditunjukkan persamaan 2.24.

 du  ui  ui 1
   (2.24)
 dx  i h
Sementara turunan keduanya diperoleh dengan persamaan 2.25.
 d 2u  d  du 
 2    
 dx  i dx  dx  i

1  u   u  
      
x  x  i  x  i 1 

1  u i  u i 1 u i 1  u i 2 
 
h  h h 

ui  2ui 1  ui 2
 (2.25)
h2
Turunan du dx di titik x  xi dengan central difference ditunjukkan persamaan 2.26.

 du  ui 1  ui 1
   (2.26)
 dx  i 2h
Sementara turunan keduanya diperoleh dengan persamaan 2.27.
 d 2u  d  du 
 2    
 dx  i dx  dx  i

1  u   u  
      
2x  x  i 1  x  i 1 

1  1  u   u   1  u   u   
            
x  2  x  i 1  x  i  2  x  i  x  i 1  

1  u   u  
     
x  x  i 1 2  x  i 1 2 

u
Dengan mengasumsikan linier dengan interval tertentu, maka
x
1  u i 1  u i u i  u i 1 
 
h  h h 

ui 1  2ui  ui 1
 (2.27)
h2
22

2.8 Interpretasi Gravitasi


Dalam menentukan sebuah besaran tertentu dari anomali bouguer yang telah
diperoleh, perlu adanya proses lanjutan yaitu interpretasi terhadap data tersebut.
Interpretasi gravitasi secara umum dibedakan menjadi dua yaitu interpretasi kualitatif
dan kuantitatif (Sari, 2012).

2.8.1 Interpretasi kualitatif


Interpretasi kualitatif adalah interpretasi yang tidak melibatkan besaran
matematis. Interpretasi kualitatif dilakukan dengan mengamati data gaya berat berupa
anomali Bouguer. Anomali tersebut akan memberikan hasil secara global yang masih
mempunyai anomali lokal dan regional. Hasil interpretasi dapat menafsirkan pengaruh
anomali terhadap bentuk benda, tetapi tidak sampai memperoleh besaran matematisnya.
Misal dari lintasan hasil SVD kita memperoleh bahwa nilai mutlak minimumnya lebih
besar dari pada nilai mutlak maksimum, sehingga berdasarkan kriteria jenis sesar
termasuk sesar naik atau sebaliknya nilai mutlak maksimum yang lebih besar
mengindikasikan bahwa jenis sesarnya adalah sesar turun. Untuk mengetahui besaran
matematisnya maka harus diperoleh dari pemodelan.

2.8.2 Interpretasi kuantitatif


Interpretasi kuantitatif dilakukan untuk memahami lebih dalam hasil interpretasi
kualitatif dengan membuat penampang gravitasi pada peta kontur anomali. Teknik
interpretasi kuantitatif mengasumsikan distribusi rapat massa dan menghitung efek
gravitasi kemudian membandingkan dengan data gravitasi yang diamati.

2.9 Pemodelan Anomali Gravitasi


Untuk mendapatkan struktur bawah permukaan dari data gayaberat, maka anomali
bouguer hasil perngukuran dan perhitungan harus dilakukan pemodelan. Pemodelan
dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan metode forward modelling atau inversion
modelling. Metode forward memerlukan model terlebih dahulu, untuk menghitung
besarnya nilai Anomali bouguer berdasarkan model tersebut. Hasilnya kemudian
dibanding dengan bouguer anomaly yang diperoleh dari data. Jika sesuai maka model
atau geophysical target tersebut dianggap sudah fit atau cocok. Namun, jika tidak sesuai
maka model tersebut diproses ulang dan diubah lagi, proses ini bersifat try and error
(Astra, 2013).
23

Sebaliknya dalam metode inversi (dianggap kebalikan dari metode forward),


model langsung diprediksi berdasarkan data Anomali Bouger. Meskipun inversi
dilakukan secara langsung tetapi sebenarnya terdapat berbagai model perkiraan. Model-
model tersebut diuji kecocokannya dengan data gravitasi yang sudah ada dan model
yang paling mendekati data dianggap cocok dan sesuai. Dalam penelitian ini digunakan
software GRAV2DC untuk melakukan pemodelan secara forward modelling dan
software GRAV3D untuk melakukan pemodelan secara inversi. Secara sederhana,
perbedaan forward modelling dan inversion modelling ditunjukkan oleh Gambar 2.13.

Gambar 2.13 Perbedaan forward modelling dengan inversion modelling (Dimri, 2002)

Anda mungkin juga menyukai