Anda di halaman 1dari 19

BAB XI

SKALA PENGUKURAN

A. Proses Pengukuran

Dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, seringkali pengumpulan data


dengan menggunakan instrumen atau alat penelitian berbentuk kuesioner
(daftar pertanyaan). Banyak peneliti menggunakan kuesioner dengan
jenis pertanyaan tertutup yang mengandung alternatif jawaban berbentuk
gradasi (urutan tingkat dari tinggi ke rendah). Umumnya data dalam ilmu-
ilmu sosial bersifat kualitatif dan kebanyakan merupakan konsep
mengenai berbagai fenomena sosial yang abstrak dan tidak dapat diraba
atau dirasa dengan pancaindera. Untuk itu, diperlukan teknik membuat
skala dengan cara mengubah data kualitatif menjadi suatu urutan
kuantitatif, yakni dalam bentuk angka-angka, sehingga dapat diolah
dengan statistik.
Alasan pengubahan data kualitatif menjadi urutan kuantitatif,
antara lain: (1) Akhir-akhir ini, penelitian Ilmu sosial lebih cenderung
menggunakan statistika untuk pengolahan data yang memerlukan
kuantifikasi variabel; (2) Ilmu pengetahuan semakin menghendaki presisi
yang akurat, terlebih dalam hal mengukur gradasi; (3) Setelah variabel
penelitian dirumuskan, dengan menggunakan pengukuran yang tepat,
maka teori dan hipotesis dapat diuji dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, pengukuran penting dalam penelitian ilmu sosial,
karena hanya dengan pengukuran itulah peneliti dapat menghubungkan
konsep yang abstrak dengan realitas dari fenomena sosial yang diukur.
Di samping itu, pengukuran juga penting untuk membantu peneliti dalam
proses penelitiannya.
Proses pengukuran merupakan rangkaian dari beberapa kegiatan
pokok, yaitu:
1. Menentukan dimensi variabel penelitian. Variabel-variabel
penelitian sosial memiliki lebih dari satu dimensi. Semakin lengkap
dimensi suatu variabel yang dapat diukur, semakin baik ukuran yang
158

dihasilkan. Jadi, ukuran variabel dikatakan lengkap apabila dimensi-


dimensi yang telah ditentukan tersebut tercakup oleh instrumen
pengukur. Dalam hal ini, pemilihan dimensi variabel wajib diacu dari
teori atau pendapat para ahli.
2. Setelah dimensi-dimensi suatu variabel ditentukan, kemudian
dijabarkan atau dipilah-pilah masing-masing dimensi menjadi
beberapa subvariabel. Selanjutnya, masing-masing subvariabel
dijabarkan menjadi indikator-indikator yang dapat diukur. Akhirnya,
indikator-indikator yang terukur tersebut dijadikan titik tolak untuk
menyusun pertanyaan penelitian. Dalam hal ini, pemilihan indikator
boleh diacu dari teori atau pendapat para ahli, tetapi biasanya
pemilihan indikator-indikator dilakukan berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman sendiri, karena kerap dalam penelitian sosial bahwa
indikator-indikator dari suatu variabel belum ada teorinya.
3. Menentukan tingkat ukuran yang akan digunakan dalam
pengukuran, tergantung dari jenis skala datanya, yaitu skala nominal,
skala ordinal, skala interval, atau skala rasio.
4. Apabila yang dipakai adalah alat ukur yang baru, maka
dilakukan pengujian reliabilitas dan validitas alat pengukur tersebut.

B. Jenis Skala Pengukuran

Skala pengukuran ditentukan berdasarkan kesepakatan dengan


asumsi bahwa terdapatnya suatu kontinum yang nyata dari sifat-sifat alat
ukur. Misalnya mengenai persetujuan terhadap sesuatu, terdapat suatu
kontinum dari ”sangat setuju” sampai dengan ”sangat tidak setuju”.Skala
pengukuran digunakan untuk menentukan interval dari kontinum tersebut
yang dinyatakan dalam bentuk angka atau skor sehingga menghasilkan
data kuantitatif dalam bentuk data interval atau data rasio. Dengan
demikian, dari hasil pengolahan data akan diketahui jawaban responden
termasuk salah satu gradasi yang mana dari skala tersebut.
Dalam penelitian ilmu sosial, banyak sekali skala pengukuran
yang telah dikembangkan, di antaranya: (1) Skala Likert; (2) Skala
Guttman; (3) Skala Sosiometrik;(4) Skala Sofsil; (5) Skala Bogardus (6)
Skala Semantic Differencial (Perbedaan Semantik); (7) Rating Scale
159

(Skala Penilaian); (8) Skala Thurstone (Skala Jarak Sosial). Berikut ini,
hanya diuraikan skala nomor 1 s.d. 7 yang sering digunakan oleh
mahasiswa dalam penyusunan skripsi dan tesis.

1. Skala Likert

Skala Likert dikembangkan oleh Rensis Likert pada tahun


1932, yaitu skala untuk mengukur sikap atau intensitas pendapat
masyarakat. Kemudian, banyak peneliti ilmu sosial menggunakan
skala ini untuk mengukur penyesuaian pada keadaan tertentu,
misalnya prasangka, konservatisme, moral, dan sebagainya.
Skala Likert ini menjadi populer di kalangan peneliti maupun
mahasiswa yang sedang menyusun skripsi dan tesis, karena ada
sejumlah keuntungannya, antara lain:
a. Terdapat banyak kemudahan, di antaranya; (1) Penyusunan
sejumlah pertanyan mengenai sifat atau sikap tertentu relatif
mudah; (2) Penentuan nilai skor juga mudah karena setiap
alternatif jawaban diberi bobot berupa angka yang mudah
dijumlahkan; (3) Menafsirkan juga relatif mudah, yaitu skor yang
lebih tinggi menunjukkan sikap yang lebih tinggi taraf atau
intensitasnya dibandingkan dengan skor yang lebih rendah.
b. Skala Likert mempunyai reliabilitas yang relatif tinggi dalam
mengurutkan intensitas sikap karena skor untuk setiap alternatif
jawaban juga mengukur intensitas sikap responden terhadap
pertanyaan tersebut.
c. Skala Likert sangat fleksibel, lebih fleksibel daripada skala
pengukuran lainnya, karena jumlah item pertanyaan dan jumlah
alternatif jawaban terserah pada pertimbangan peneliti.
Langkah-langkah penggunaan skala Likert diawali dengan
penjabaran variabel menjadi beberapa dimensi, kemudian masing-
masing dimensi dijabarkan menjadi beberapa subvariabel.
Selanjutnya, masing-masing subvariabel dijabarkan menjadi
indikator-indikator yang dapat diukur. Kemudian, indikator-indikator
yang terukur tersebut dijadikan titik tolak untuk menyusun pertanyaan
dengan alternatif jawaban yang berjenjang atau mempunyai gradasi.
160

Langkah selanjutnya menentukan skor untuk masing-masing


alternatif jawaban. Dalam skala Likert ini, jawaban setiap item
pertanyaan mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat
negatif.
Untuk menentukan skor, peneliti harus membuat keputusan
tentang jenjang (range) skor untuk skala yang disusunnya. Ada
peneliti menginginkan range yang cukup lebar sehingga informasi
yang dikumpulkan lebih lengkap. Ada peneliti yang menggunakan
jenjang 3 (dengan skor 1, 2, dan 3), jenjang 4, jenjang 5, bahkan
jenjang 7. Jenjang mana pun yang digunakan tidak masalah asal saja
jenjangnya konsisten dalam setiap item pertanyaan. Dalam
praktiknya, biasanya peneliti menggunakan skala Likert dengan
jenjang 4 atau jenjang 5, Semakin lebar jenjang jawaban maka
semakin besar kemungkinan kekosongan pada titik ujung. Misalnya
digunakan jenjang 7 dengan alternatif jawaban: sangat setuju; setuju;
agak setuju; ragu-ragu; agak tidak setuju; tidak setuju; dan sangat
tidak setuju, kemungkinan besar akan terjadi kekosongan (tidak ada
pilihan jawaban) pada jawaban sangat setuju dan sangat tidak setuju.
Dalam skala Likert, nilai skor tertinggi diberikan untuk
alternatif jawaban yang sangat diharapkan peneliti sesuai dengan
tujuan penelitian, dan nilai skor terendah diberikan pada alternatif
jawaban yang sangat tidak diharapkan. Seperti contoh salah satu
item pertanyaan di bawah ini yang dijawab oleh sejumlah mahasiswa
sebagai responden:
Pertanyaan dengan kalimat positif: Apakah Anda setuju jika Rektor
mendukung aktivitas Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)?
Sangat setuju, diberi skor 5
Setuju, diberi skor 4
Cukup setuju, diberi skor 3
Tidak setuju, diberi skor 2
Sangat tidak setuju, diberi skor 1
Pertanyaan dengan kalimat negatif (menidakkan): Apakah Anda
setuju jika Rektor tidak mendukung aktivitas Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM)?
161

Sangat tidak setuju, diberi skor 5


Tidak setuju, diberi skor 4
Cukup setuju , diberi skor 3
Setuju, diberi skor 2
Sangat setuju, diberi skor 1

Kemudian kuesioner disebarluaskan untuk dijawab sejumlah


mahasiswa, misalnya sebanyak 100 orang. Setelah dilakukan tabulasi
data, hasil jawaban responden seperti tertuang dalam tabel di bawah
ini:
Tabel 10.1 Tanggapan Responden atas Dukungan Rektor
Frekuensi Skor Persen
No Tanggapan Fi.Si
(Fi) (Si) (%)

1 Sangat setuju 20 5 100 20


2 Setuju 47 4 188 47
3 Cukup setuju 20 3 60 20
4 Tidak setuju 10 2 20 10
5 Sangat tidak setuju 3 1 3 3
Jumlah 100 371 100

Kemudian untuk analisis data dapat digunakan dua alternatif


analisis dengan hasil yang sama, yaitu (1) Analisis Interpretasi Rata-
rata Skor; dan (2) Analisis Interprestasi Rata-rata Persentase.

a. Analisis Interpretasi Rata-rata Skor

Dalam analisis ini ditentukan kriteria interpretasi skor yang


diawali dengan menentukan interval kelas dari setiap gradian
(alternatif jawaban yang disebut kategori) dengan rumus:

Range
CI = C
Keterangan:
CI = class interval (interval kelas);
Range = skor tertinggi - skor terendah; dan
C = jumlah kelas (umumnya sama dengan jumlah alternatif
jawaban).
5-1
Dengan demikian interval kelas = 5 = 0,8, kemudian
dapat disusun tabel kriteria interpretasi skor, sebagai berikut:
162

Tabel 10.2 Kriteria Kategori berdasarkan Interval Skor


No. Interval kelas Kategori
1. 1,00 – 1,79 Sangat tidak setuju
2. 1,80 – 2,59 Tidak setuju
3. 2,60 – 3,39 Cukup setuju
4. 3,40 – 4,19 Setuju
5. 4,20 – 5,00 Sangat setuju

Selanjutnya untuk menentukan prediksi skor rata-rata dari

M=
∑ (Fi .Si )
hasil jawaban responden digunakan rumus: n
Keterangan:
M = nilaiprediksiskor rata-rata
Fi = frekuensi baris ke-i
Si= skor baris ke-i
n = jumlah responden
Berdasarkan data dalam tabel 10.1 di atas, maka nilai
prediksi rata-rata skor adalah:
∑ (Fi .Si ) 371
M=
n = 100 = 3,71
Nilai prediksi/interpretasi skor rata-rata sebesar 3,71 dan bila
dikonsultasikan dengan kriteria kategori, maka skor 3,71 berada
pada rentang 3,40 - 4,19 atau berada pada kelas ke-4 dengan
kategori “setuju”. Dengan demikian tanggapan rata-rata responden
atas dukungan Rektor terhadap aktivitas UKM diinterpretasi/
diprediksi dengan kategori “setuju”.

b. Analisis Interpretasi Rata-rata Persentase

Dalam analisis ini ditentukan kriteria interpretasi persentase


yang diawali dengan menentukan interval kelas dalam persentase
dari setiap kategori dengan rumus:
1) Nilai persentase terendah (PR) adalah jumlah frekuensi
sebanyak sampel atau ∑F = n dan skor (S) = 1, dengan rumus:

S.F
x 100%
PR = A.n
163

Keterangan:
PR = Persentase terendah
S = Skor = 1
∑F = Jumlah frekuensi
n = Jumlah sampel
A = Jumlah alternatif jawaban = 5
Dengan demikian PR = 1/5 x 100 % = 20 %
2) Nilai persentase tertinggi (PT) adalah jumlah frekuensi
sebanyak sampel atau ∑F = n dan skor (S) = 5, dengan rumus:

S.F
x 100%
PT = A.n

Keterangan:
PT = Persentase tertinggi
S = Skor = 5
∑F = Jumlah frekuesnsi
n = Jumlah sampel
A = Jumlah alternatif jawaban = 5
Dengan demikian PT = 5/5 x 100 % = 100 %

3) Interval kelas dengan rumus:

PT - PR
CI = C

Keterangan:
CI = class interval (interval kelas);
C = jumlah kelas (umumnya sebanyak jumlah alternatif jawaban).
100% - 20%
Dengan demikian interval kelas = 5 = 16 %,
kemudian dapat disusun tabel kriteria interpretasi persentase,
sebagai berikut:

Tabel 10.3 Kriteria Kategori berdasarkan Interval %


No. Interval kelas Kategori
1. 20 % – 35,99 % Sangat tidak setuju
2. 36 % – 51,99 % Tidak setuju
3. 52 % – 67,99 % Cukup setuju
4. 68 % – 83,99 % Setuju
5. 84 % – 100 % Sangat setuju
164

Selanjutnya untuk menentukan prediksi skor persentase dari

(Fi.Si)
P  x 100 %
hasil jawaban responden digunakan rumus: C. n
Keterangan:
P = nilaiprediksirata-ratapersentase
Fi =frekuensi baris ke-i;
Si= skor baris ke-i; dan n = jumlah responden
C = Jumlah kelas yang dikehendaki, biasanya = jumlah alternatif
jawaban
Berdasarkan data dalam tabel 10.1 di atas, maka nilai
prediksi rata-rata persentase adalah:
(Fi.Si) 371
P  x 100 % x 100 %
5.n = 500 = 74,2 %
Nilai prediksi/interpretasi rata-rata persentase sebesar 74,2
%, bila dikonsultasikan dengan kriteria kategori, maka skor 74,2 %
berada pada rentang 68 %- 83,99 % atau berada pada kelas ke-4
dengan kategori “setuju”. Dengan demikian tanggapan rata-rata
responden atas dukungan Rektor terhadap aktivitas UKM
diinterpretasi/diprediksi dengan kategori “setuju”.

2. Skala Guttman

Skala Guttman dikembangkan oleh Louis Guttman. Skala ini


mempunyai ciri yang khusus, yaitu:
a. Skala Guttman merupakan skala kumulatif berjenjang, yaitu jika
tersusun lima pertanyaan (No. 1, 2, 3, 4, dan 5) yang
menggambarkan sikap tertentu dengan intensitas yang paling kuat
sampai yang paling lemah, maka responden yang menyetujui
pertanyaan yang paling kuat intensitasnya (No.1) dengan
sendirinya (umumnya) akan menyetujui pertanyaan lainnya (No. 2,
3, 4, da, 5) yang kurang kuat intensitasnya.
b. Skala Guttman termasuk skala yang mempunyai sifat yang
unidimensional, yaitu mengukur satu dimensi saja dari suatu
variabel penelitian yang multidimensi.
165

c. Skala Guttman digunakan untuk mendapatkan jawaban yang tegas


dengan pilihan jawaban yang dikotomi (dua alternatif) dengan dua
kutub yang berlawanan. Misalnya, benar–salah; setuju–tidak
setuju; positif–negatif; pernah–tidak pernah; dan sebagainya.
d. Jawaban diberi skor tertinggi adalah 1 dan terendah adalah 0.
Misalnya, jawaban setuju diberi skor 1 dan tidak setuju, skor 0.
Langkah-langkah penyusunan skala Guttman sebagai berikut:
a. Susun beberapa pertanyaan berjenjang dengan intensitas yang
paling kuat sampai yang paling lemah. Masing-masing
pertanyaan tersebut relevan dengan masalah yang akan diteliti.
b. Kuesioner disebarluaskan untuk dijawab responden minimal
sebanyak 50 orang.
c. Jawaban responden ditabulasi ke dalam tabel Guttman. Jawaban
yang ekstrim dibuang dan dianggap eror. Jawaban ekstrim
adalah jawaban yang setuju maupun tidak setuju melebihi 80 %.
d. Kemudian untuk analisis data dapat digunakan dua alternatif
analisis, yaitu (1) Analisis Interpretasi Rata-rata Skor; dan (2)
Analisis Koefisien Reprodusibilitas.
Sebagai contoh: disusun sebanyak 5 pertanyaan berjenjang
mengenai sikap pegawai negeri (10 orang) terhadap bekas nara
pidana (Napi). Dalam praktiknya, responden minimal 50 orang.
a. Apakah Anda setuju bila bekas Napi yang tinggal berdekatan
dengan rumah Anda, harus dipindahkan?
1) Setuju 2) Tidak setuju
b. Apakah Anda setuju bila bekas Napi bekerja sebagai pegawai
negeri, harus dipecat?
1) Setuju 2) Tidak setuju
c. Apakah Anda setuju buku yang dikarang oleh bekas Napi, perlu
dibuang dari perpustakaan?
1) Setuju 2) Tidak setuju
d. Apakah Anda setuju bekas Napi dipindahkan ke luar daerah
Anda?
1) Setuju 2) Tidak setuju
166

e. Apakah Anda setuju jika bekas Napi tidak diperbolehkan


berbicara dalam rapat umum?
1) Setuju 2) Tidak setuju

Kemudian hasil jawaban ditabulasi ke dalam tabel Guttman

Tabel 10.4 Tabel Guttman


No. Pertanyaan dan skor jawaban Total
Resp.. 1 2 3 4 5 Skor
1 1 1 0 1 1 4
2 1 0 1 1 1 4
3 0 e 1 1 1 3
4 0 1 0 e 1 2
5 0 0 0 0 1 1
6 1 1 0 1 1 4
7 1 0 1 1 1 4
8 0 e 1 1 1 3
9 0 1 0 e 1 2
10 0 0 0 0 1 1
Total Skor 4 4 4 6 10 28
Total Eror 0 2 0 2 0 4

Langkah terakhir adalah melakukan analisis data dengan


menggunakan Analisis Interpretasi Rata-rata Skor, atau Analisis
Koefisien Reprodusibilitas dan Skalabilitas.

a. Analisis Interpretasi Rata-rata Skor

Dalam analisis ini ditentukan kriteria interpretasi skor


sebagai berikut:

Tabel 10.5 Kriteria Kategori berdasarkan Interval Skor


No. Interval kelas Kategori
1. 0,00 – 0,49 Skala Guttman tidak baik
atau tidak dapat dipercaya
2. 0,50 – 1,00 Skala Guttman baik atau
dapat dipercaya

Selanjutnya untuk menentukan prediksi skor rata-rata dari

TS
M=
hasil jawaban responden digunakan rumus: n .m

Keterangan: M = nilaiprediksi skor rata-rata; TS = Total skor


n = jumlah responden; dan m = jumlah pertanyaan
167

Berdasarkan data dalam tabel 10.4 di atas, maka nilai


prediksi rata-rata skor adalah:
TS 28
M= =
n .m 10 (5) = 0,56
Nilai prediksi/interpretasi skor rata-rata sebesar 0,56 dan
bila dikonsultasikan dengan kriteria kategori, maka skor 0,56
berada pada rentang 0,50–1,00. Dengan demikian skala Guttman
baik atau dapat dipercaya.

b. Analisis Koefisien Reprodusibilitas dan Skalabilitas

Koefisien reprodusibilitas dinotasikan Kr dengan ketentuan


Kr > 0,90 maka skala Guttman dianggap baik. Koefisien
reprodusibilitas adalah untuk mengukur derajad ketepatan alat
ukur (daftar pertanyaan) yang disusun. Nilai koefisien ini dihitung

e
dengan menggunakan rumus: Kr = 1 - n.m
Keterangan:
e = jumlah eror
n = jumlah responden
m = jumlah pertanyaan

Berdasarkan data dalam tabel 10.4 di atas, maka nilai


koefisien reprodusibilitas adalah:
e 4
Kr = 1 - n.m = 1 - 10 (5) = 0,92
Nilai koefisien reprodusibilitas = 0,92 > 0,90. Dengan
demikian skala Guttman dianggap baik atau dapat dipercaya.
Langkah selanjutnya adalah menentukan koefisien
skalabilitas dinotasikan Ks dengan ketentuan Ks > 0,60 maka
skala Guttman dianggap baik. Nilai koefisien ini dihitung dengan
menggunakan rumus:
e
Ks = 1 - p (n.m - TS)
Keterangan:
e = jumlah eror; n = jumlah responden; m = jumlah pertanyaan
168

TS = Total skor; dan p = probabilitas jawaban yang benar = 0,5


Berdasarkan data dalam tabel 10.4 di atas, maka nilai
koefisien skalabilitas adalah:
e 4 4
Ks = 1 - p (n.m - TS) = 1 - 0,5 {(10 )(5) - 28} = 1 - 0,5 (22) =
0,64
Nilai koefisien skalabilitas = 0,64 > 0,60. Dengan demikian
skala Guttman dianggap baik atau dapat dipercaya.

3. Skala Sosiometrik

Skala Sosiometrik dikembangkan oleh J.L. Morino dan Helen H.


yang digunakan dalam suatu kegiatan untuk mengukur penerimaan
dan penolakan antarindividu dalam suatu kelompok kecil.
Prosedurnya adalah setiap individu diminta untuk menuliskan nama
temannya sebanyak dua orang atau lebih untuk mewakili temannya
dalam suatu kegiatan. Untuk itu, ditetapkan bahwa nama yang ditulis
pada urutan pertama adalah orang yang paling diandalkan dengan
memberikan skor tertinggi, dan nama yang ditulis pada urutan kedua
adalah orang yang diandalkan dengan skor di bawah urutan pertama,
demikian seterusnya sampai urutan terbawah.
Contoh: Dosen yang mengampu mata kuliah Metodologi
Penelitian menugaskan masing-masing kelompok (satu kelompok
terdiri dari 15 mahasiswa) agar mempresentasikan laporan
penelitiannya. Untuk itu, pada setiap kelompok, mahasiswa
diwajibkan memilih seorang pemrasaran (pembicara) dan seorang
moderator. Pemilihan dilakukan secara skala Sosiometrik (tidak boleh
memilih sendiri). Kemudian hasilnya ditabulasi dalam tabel worksheet
dengan menentukan: untuk pilihan pemrasaran diberi skor 2 dan
untuk moderator diberi skor 1. Tabel worksheet itu dinamakan matrik
sosiometris atau tabel sosiogram.
Dari hasil jumlah skor tertinggi akan terpilih sebagai
pemrasaran dan skor di bawahnya terpilih sebagai moderator. Jika
jumlah skornya sama, maka diambil elemen yang jumlah skor 2
terbanyak. Misalnya, hasil tabulasinya dalam tabel di bawah ini.
169

Tabel Sosiometrik
No Nama A B C D E F G H I J K L M N O
1 A 1 2
2 B 2 1
3 C 2 1
4 D 1 2
5 E 1 2
6 F
7 G 1 2
8 H 1 2
9 I 2 1
10 J 1 2
11 K 1 2
12 L 1 2
13 M 2 1
14 N 2 1
15 O 1 2
Jml Skor 5 3 1 3 1 11 2 0 2 1 1 5 1 2 4
Jml Pemilih 4 2 1 2 1 6 1 0 1 1 1 3 1 1 3

Berdasarkan tabel di atas, yang terpilih sebagai pemrasaran


adalah F yang memperoleh jumlah skor sebesar 11, sedangkan
sebagai moderator adalah L dengan jumlah skor sebesar 5. Dalam
hal ini A juga memperoleh skor 5, tetapi nilai skor 2 lebih banyak
diperoleh L dibandingkan A, sehingga K terpilih sebagai moderator.

4. Skala Sofsil

Skala Sofsil, pada prinsipnya sama seperti Skala Sosiometrik.


Perbedaannya, skala Sofsil digunakan untuk memberikan penilaian
terhadap beberapa subjek di luar kelompok yang dinilai oleh audiens/
anggota kelompok yang jumlahnya relatif banyak, biasanya minimal
50 orang dengan tujuan untuk menentukan peringkat klasifikasi
subjek tersebut. Sedangkan skala Sosiometrik digunakan untuk
penilaian antrindividu dalam suatu kelompok kecil.
Sebagai contoh penggunaan skala Sofsil untuk pemilihan
penceramah terbaik, baik, dan cukup baik dalam kegiatan Orientasi
170

Studi Pengenalan Kampus (Ospek), di STIAMI disebut kegiatan


STIAMI Intelectual Achievement Program (SIAP) yang dilaksanakan
selama tiga hari.
Prosedurnya sebagai berikut: Setiap mahasiswa-baru diminta
untuk menuliskan tiga nama penceramah secara berurut. Untuk itu
ditetapkan bahwa yang dituliskan pada urutan pertama dikategorikan
sebagai penceramah terbaik dan diberi skor 2; urutan kedua sebagai
peceramah dengan kategori baik diberi skor 1,5; dan urutan ketiga
sebagai penceramah dengan kategori cukup baik diberi skor 1.
Kemudian data ditabulasi dalam tabel Sofsil.
Berdasarkan data yang dituangkan dalam tabel Sofsil tersebut,
hasil jumlah skor tertinggi akan terpilih sebagai penceramah terbaik
dan skor di bawahnya secara berurut terpilih sebagai penceramah
dengan kategori baik dan cukup baik. Jika jumlah skornya sama,
maka diambil elemen dengan jumlah skor 2 yang terbanyak.
Misalnya, hasil tabulasinya dibuat dalam tabel worksheetr
berikut ini dengan jumlah responden 15 orang (dalam praktiknya,
jumlah responden minimal 50 orang) dan penceramah sebanyak 7
orang, yaitu A s.d. G.
Tabel Sofsil
No Nama Penceramah
Resp A B C D E F G
1 2 1.5 1
2 2 1 1.5
3 1 2 1.5
4 1 1,5 2
5 1 1.5 2
6 1 1.5 2
7 1 1.5 2
8 1.5 1 2
9 1.5 2 1
10 1 1.5 2
11 1.5 1 2
12 1.5 1 1.5
13 1.5 2 1
14 1.5 1 2
15 1 1.5 2
Jml Skor 11 7 7 5 7 22 6.5
171

Berdasarkan tabel di atas, yang terpilih sebagai penceramah


terbaik adalah F yang memperoleh jumlah skor sebesar 22,
penceramah dengan kategori baik adalah A dengan jumlah skor
sebesar 11, dan penceramah dengan kategori cukup baik adalah B
dengan jumlah skor sebesar 7. Dalam hal ini C dan E juga sama-
sama memperoleh skor 7, tetapi ada nilai skor 2 yang diperoleh B,
sedangkan C dan E tidak memperoleh skor 2, sehingga B terpilih
sebagai penceramah yang dikategorikan cukup baik.

5. Skala Bogardus

Skala Bogardus dikembangkan oleh Emory S. Bogardus.


Skala Bogardus digunakan untuk mengukur jarak sosial, yaitu
mengukur derajat pengertian atau keintiman dan kekariban sebagai
ciri hubungan sosial secara umum. Misalnya, penerimaan beberapa
suku terhadap suku X. Pertanyaan disusun sama seperti skala
Guttman, gradasi penerimaan tertinggi sampai terendah. Skor
tertinggi diberikan pada pertanyaan (item) yang intensitasnya
tertinggi, atau sebaliknya. Analisis dilakukan dengan menggunakan
analisis persentase pada masing-masing item yang jawabannya
“menerima” atau “menyetujui”, sedangkan jawaban yang “tidak
menerima” atau “tidak setuju” tidak dianalisis,dengan rumus:

Fp
P = n x 100
Total Skor = ∑(P x S)
Keterangan:P = Persentase
Fp = Frekuensi yang menerima
n = jumlah sampel

S = Nilai skor
Sebagai contoh di bawah ini disusun sebanyak 5 pertanyaan
berjenjang mengenai tingkat penerimaan terhadap suku Batak.
Pertanyaan tersebut diajukan kepada sejumlah responden yang
terdiri dari tiga suku, yakni suku Jawa, Sunda, dan Aceh.
Pertanyaan Jawaban
a. Apakah Anda mau menerima suku Batak kawin
dengan sanak saudara Anda? -------------
172

b. Apakah Anda mau menerima suku Batak sebagai


kawan akrab Anda? -------------
c. Apakah Anda mau menerima suku Batak sebagai
tetangga dekat Anda? ------------
d. Apakah Anda mau menerima suku Batak sekantor
dengan Anda? ------------
e. Apakah Anda mau menerima suku Batak
seorganisasi dengan Anda? ------------

Pemberian nilai skor berdasarkan tingkat intensitasnya, yaitu


skor 5 untuk jawaban yang ”menerima” pertanyaan a, skor 4 untuk
pertanyaan b, sampai skor 1 untuk pertanyaan e. Kemudian, dihitung
persentase yang menjawab “ya” dan ditabulasi dalam tabel
worksheet Bogardus, seperti di bawah ini.
Tabel Penerimaan terhadap Suku Batak ala Bogardus
Jarak Penerimaan Jawa Sunda Aceh
Skor P (%) P.S P (%) P.S P (%) P.S
Kawin dengan sanak saudara 5 92 460 50 250 11 55
Sebagai sahabat karib 4 93 372 65 260 20 80
Sebagai tetangga dekat 3 96 288 80 240 34 102
Sebagai kawan sekantor 2 95 190 82 164 49 98
Sebagai kawan seorganisasi 1 96 96 90 90 55 55
Total Skor 1406 1004 390

Berdasarkan tabel di atas, total skor untuk suku Jawa sebesar


1406, untuk suku Sunda berjumlah 1004, dan untuk suku Aceh
adalah 390. Dengan demikian, suku Jawa mempunyai skala lebih
tinggi daripada suku Sunda dan Aceh. Dengan kata lain, suku Jawa
lebih menerima suku Batak dibandingkan dengan suku Sunda
maupun Aceh.
Dalam analisis skala Bogardus, tiap titik dalam skala
mempunyai jarak yang sama titik-titik lainnya, tetapi tidak mempunyai
titik nol. Oleh karena itu, walupun skala untuk suku Jawa dengan
total skor 1406 dan suku Aceh 390, tidak berarti bahwa suku Jawa
mempunyai derajat penerimaan terhadap suku Batak sebesar 3,61
kali lipat dari suku Aceh. Hal ini tidak dapat disimpulkan demikian
karena skala Bogardus menggunakan ukuran interval yang tidak
mempunyai titik nol.
173

Tingkat reliabilitas skala Bogardus hanya dapat diuji dengan


test and retest, sedangkan tingkat validitasnya diuji melalui
perbandingan dengan kelompok lain yang telah diketahui jarak
sosialnya terhadap suku Batak. Jika hasil pengujian cocok dengan
kelompok tersebut, maka skala Bogardus tersebut mempunya
validitas yang tinggi.

6. Skala Semantic Defferensial (Skala Perbedaan Semantik)

Skala Perbedaan Semantik dikembangkan oleh Osgood, Suci,


dan Tannenbaum. Skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau
untuk mengukur suatu konsep atau objek oleh responden. Skala
Semantik ini sama seperti skala Likert. Perbedaanya, skala Semantik
disusun dalam skala bipolar yang menyangkut dimensi tiga sifat, yaitu
dimensi evaluasi, potensi, dan kegiatan. Skala bipolar adalah skala
yang berlawanan, seperti aktf-pasif, senang-benci, cepat-lambat, dan
lain-lain. Sifat bipolar yang dirumuskan dapat berbentuk satu dimensi
saja, tetapi bisa juga menyangkut ketiga dimensi tersebut.
Bentuk kuesioner tidak pilihan ganda atau checklist, tetapi
tersusun dalam satu garis kontinum yang mencakup skor tertinggi
sampai terendah. Jawaban sangat positif di sebelah kiri dan jawaban
sangat negatif di sebelah kanan atau sebaliknya.
Contoh:
Mohon beri nilai mengenai sifat atasan Anda!
Menyenangkan 5 4 3 2 1 Tidak menyenangkan
Memotivasi 5 4 3 2 1 Tidak memotivasi
Bersahabat 5 4 3 2 1 Tidak bersahabat
Disiplin 5 4 3 2 1 Tidak disiplin
Komunikatif 5 4 3 2 1 Pendiam
Responden yang memberikan penilain angka 5, berarti
tanggapan terhadap atasannya sangat positif, dan angka di bawahnya
hingga angka 1 yang berarti tanggapannya sangat negatif.
Analisis skala Semantik sama seperti skala Likert dengan
menggunakan Prediksi rata-rata skor dan Prediksi rata-rata
persentase, yang selanjutnya direkapitulasi untuk memperoleh
kesimpulan.
174

7. Rating Scale (Skala Penilaian)

Penggunaan skala penilaian (rating scale) ini, variabel penelitian


yang dipilah secara rinci, disusun berderet ke bawah, sedangkan
kategori skalanya disusun ke samping. Tugas penilai melingkari skor
berupa angka dalam kolom kategori yang telah disediakan. Kemudian,
skor yang dipilih oleh penilai tersebut ditafsirkan dalam pengertian
kualitatif. Umumnya, penllai terdiri dari beberapa orang, dan penilai ini
hendaknya orang-orang yang mengetahui bidang yang dinilai.
Kategori yang dimaksud adalah skala ordinal, antara lain: (1)
Berskala dua, seperti: Puas dan Tidak puas, Tinggi dan Rendah,
Setuju dan Tidak setuju, dan lain-lain; (2) Berskala tiga, seperti:
Memadai, Cukup memadai, dan Tidak memadai; Tinggi, Sedang, dan
Rendah: Setuju, Netral, dan Tidak setuju; dan lain-lain; (3) Berskala
empat, lima, dan dapat dikembangkan sampai sembilan bahkan
sebelas. Semakin rinci skala kategori itu, semakin sulit
mengidentifikasi datanya, karena kategori yang tinggi dan rendah
sering tidak ada penilaian.
Contoh penelitian menegenai rencana mendirikan suatu pabrik.
Untuk itu, sebagai studi pendahuluan digunakan skala penilaian
berskala lima:

No Klasifikasi Skor Penilaian


1 Jarak dari Lokasi Pabrik
1) Jarak sumber bahan baku 5 4 3 2 1
2) Jarak lokasi pasar 5 4 3 2 1
3) Jarak domisili tenaga kerja 5 4 3 2 1
4) dan lain-lain 5 4 3 2 1
2 Tersedianya Sumber Daya
1) Jumlah bahan baku 5 4 3 2 1
2) Perekrutan tenaga kerja 5 4 3 2 1
3) Luasnya lahan untuk ekspansi 5 4 3 2 1
masa mendatang
4) dan lain-lain 5 4 3 2 1
3 Perkembangan Faktor Eksternal
1) Sikap penduduk terhadap recana 5 4 3 2 1
pendirian pabrik
2) Keberadaan pesaing 5 4 3 2 1
3) Peraturan Daerah 5 4 3 2 1
4) dan lain-lain 5 4 3 2 1
175

Analisis skala penilaian sama seperti skala Likert dengan


menggunakan Prediksi rata-rata skor dan Prediksi rata-rata
persentase, yang selanjutnya direkapitulasi untuk memperoleh
kesimpulan.

Anda mungkin juga menyukai