Anda di halaman 1dari 63

GANGGUAN SISTEM GASTROINTESTINAL & HEPATOPANKREATOBILIER

HEPATITIS DAN KOLELITIASIS

DISUSUN OLEH

Audley Christophorus
61118008

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2020

SKENARIO
Selasa, 17 November 2020

KUNING

Seorang karyawan swasta, berusia 30 tahun datang ke dokter puskesmas dengan


Ny. Efi keluhan mata dan kulit berwarna kekuning-kuningan. Ny. Efi sempat
mengalami demam sejak 2 minggu sebelumnya. Ny. Efi juga mengeluh rasa mual
dan nyeri pada perut kanan atas. Ny. Efi juga mengeluh muntah-muntah. Warna
kencing sangat gelap dan seperti teh pekat. Beberapa bulan yang lalu pernah
mendapatkan transfusi darah karena perdarahan kerika persalinan anaknya.

Hasil pemeriksaan dokter jaga, pasien tampak ikterik, menggigil, suhu 38°C. nyeri
tekan pada hipokhondrium kanan. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
kadar bilirubin konjugasi lebih tinggi dari nilai normal, bilirubin urin ++,
sedangkan alkali fosfatase 700 mg. Dokter menduga Ny. Efi mengalami infeksi
pada heparnya akibat infeksi virus Hepatitis dan sumbatan pada saluran empedu
Ny. Efi. Dokter selanjutnya menganjurkan dilakukan pemeriksaan tes serologi
untuk memastikan jenis hepatitis yang diderita oleh Ny. Efi karena ada beberapa
jenis hepatitis seperti Hepatitis A, B, C, D dan E. Dari pemeriksaan foto polos
abdomen ditemukan bayangan radioopaque di daerah proyeksi ginjal kanan. Pada
USG abdomen ditemukan penebalan dinding vesica felea dengan adanya
cholelithiasis multiple dengan pelebaran CBD (ductus choledocus).

Dokter jaga memberikan antibiotika Intravena , obat-obat simptomatis dan


vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh pasien dan disiapkan untuk
pencitraan lanjutan berupa cholangiografi. Bagaimana anda menjelaskan kondisi
Ny. Efi?
TERMINOLOGI ASING
1. Ikterik
Suatu keadaan yang ditandai dengan hiperbilirubinemia dan penumpukan
pigmen empedu di kulit, membran mukosa, dan sklera, yang mengakibatka
n pasien tampak kuning disebut juga ikterus.
(Kamus Kedokteran Dorland edisi 31 Hal. 1130)

2. Cholelithiasis
Adanya pembentukan batu empedu.
(Kamus Kedokteran Dorland edisi 29 Hal. 153)

3. Radioopaque
Suatu kualitas atau sifat menghambat lewatnya energi pancaran, seperti
sinar X, tampak sebagai area yang terang atau putih pada film yang telah
terpajan.
(Kamus Kedokteran Dorland edisi 29 Hal. 646)

4. Hepatitis
Paradangan hati.
(Kamus Kedokteran Dorland edisi 29 Hal. 360)

5. Cholangioografi
Radiografi duktus biliaris.
(Kamus Kedokteran Dorland edisi 29 Hal. 152)

6. Hipokhondrium
Regio lateral atas abdomen, bertumpang- tindih dengan dengan tulang
rawan iga, pada kedua sisi epigastrium.
(Kamus Kedokteran Dorland edisi 29 Hal. 384)
RUMUSAN MASALAH
1. Kenapa mata dan kulit Ny. Efi berwarna kekuning-kuningan?

2. Bagaimana cara penularan virus hepatitis?

3. Mengapa terdapat nyeri tekan pada hipokhondrium kanan?

4. Apa yang menyebabkan urin dari Ny. Efi sangat gelap dan seperti dan pek
at?

5. Apakah ada hubungannya Riwayat transfusi darah dengan penyakit yang d


iderita Ny. Efi?

6. Kenapa dokter menyerankan Ny. Efi untuk meningkatkan daya tahan tubu
h?

7. Kenapa dilakukan pencitraan lanjutan berupa cholangiografi?

8. Pada skenario kira-kira hepatitis jenis apa yang diderita Ny. Efi?

9. Pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis kasus diatas?

HIPOTESIS
1. Mata dan kulit berwarna kekuning- kuningan karena terjadi kerusakan fun
gsi hati sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin di darah
dan tersimpan di kulit dan di mata, yang menyebabkan mata dan kulit men
jadi kuning.

2. Penularan melalui konsumsi makanan dan air yang terkontaminasi dan mel
alui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi.
a) Terpapar darah, air mani, dan cairan tubuh lainnya dari pasien hepatitis
b) HBV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi ke bayi pada saat kelahira
n
c) Penularan juga dapat terjadi melalui transfusi darah dan produk darah ya
ng terkontaminasi HBV
d) Penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi HBV
e) Penularan vertikal dari ibu ke anak yakni dari ibu ke anak selama kelahi
ran dan persalinan.

3. Terdapat nyeri tekan pada hipochondrium kanan dipikirkan sebagai manife


stasi klinis gangguan pada sistem bilier. Gambaran klinis nyeri mengarah k
epada kolik bilier.

4. Urin gelap dan pekat karena kerusakan hati membuat hati tidak bisa berfun
gsi dengan baik untuk memproduksi dan menyalurkan bilirubin. Akibatnya,
bilirubin masuk ke dalam darah dan menyebabkan tubuh menjadi kuning.
Bilirubin yang masuk ke dalam sistem kandung kemih disebut urobilin, da
n jika kadarnya terlalu banyak dapat mengubah warna urine menjadi sanga
t pekat.

5. Tranfusi darah adalah salah satu faktor risiko penularan hepatitis. riwayat t
ranfusi darah merupakan salah satu jalan masuk bagi bakteri, virus dan par
asit yang menyebabkan infeksi.

6. Dokter menyarankan Ny. Efi untuk meningkatkan daya tahan tubuh karen
a pengobatan dan penatalaksanaan hepatitis harus didukung dengan terapi
suportif seperti cukup makan, istirahat, dan menghindari olahraga berat.

7. Dilakukan pencitraan lanjutan untuk mengeksklusi batu saluran empedu di


mana hasil choledografi tidak memuaskan.
8. Pada skenario hepatitis yang diderita Ny.Efi kemungkinan adalah hepatitis
B, karena adanya riwayat transfuse darah. Hepatitis E, karena ada ditemuk
an hasil pemeriksaan yaitu urine berwarna gelap seperti teh.

9. Pemeriksaan penunjang infeksi hepatitis B dapat mencakup pemeriksaan a


ntigen (HBsAg, HBeAg), antibodi hepatitis B (anti-HBs, anti-HBe, anti-H
Bc, IgM anti-HBc), HBV DNA, dan alanin aminotransferase (ALT). Biliru
bin total dan bilirubin direct dan bilirubin indirect.
SKEMA
LEARNING OBJECTIVE
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi dan
pembentukan bilirubin dan jaundice
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hepatitis A
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hepatitis B
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hepatitis C
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hepatitis D
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hepatitis E
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan batu pada hepar dan
vesica felea

PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE


1. Patofisiologi pembentukan Bilirubin dan Jaundice
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi
dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain
seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin
dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini
kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis
berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin
dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.
Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit
melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan
mengikat bilirubin ke asam glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk)
(Sacher,2004).

Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut


masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam
usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen.
Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai
feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati.
Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu
untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air
bersama urin(Sacher, 2004).

Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl(Cloherty et al, 2008).

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang


melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan
oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang
dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi
saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada
semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika
konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini
akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan
ini disebut ikterus atau jaundice(Murray et al,2009).

Patofisiologi Jaundice

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan .


Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan
beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan
bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan
pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z
berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu
bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.

Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar


larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20
mg/dl. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi
terdapat keadaan berat badan lahir rendah , hipoksia, dan hipoglikemia.

2. Hepatitis A
Epidemiologi
Variasi musim dan geografi. Di daerah dengan 4 musim, infeksi VHA
terjadi secarea epidemic musiman yang puncaknya biasanya terjadi pada
akhir musim semi dan awal musim dingin. Penurunan kejadian VHA
akhir-akhir ini telah menunjukan bahwa infeksi VHA terbatas pada
kelompok social tertentu yaitu kelompok turis yang sering bepergian,
sehingga variasi musiman sudah tidak begitu menonjol lagi. Di daerah
tropis puncak insiden yang pernah dilaporkan cenderung untuk terjadi
selama musim hujan dan pola epidemic siklik berulang setiap 5-10 tahun
sekali, yang mirip dengan penyakit virus lain.

Usia Insidens. Semua kelompok umur secara umum rawan terhadap


infeksi VHA. Insidens tertinggi pada populasi orang sipil, anak sekolah,
tetapi dibanyak negara di Eropa Utara dan Amerika Utara ternyata
sebagian kasus terjadi pada orang dewasa. Di negara berkembang dimana
kondisi hygiene dan sanitasi sangat rendah, paparan universal terhadap
VHA teridentifikasi dengan adanya prevalensi anti-VHA yang sangat
tinggi pada tahun pertama kehidupan dan tentu saja gambaran usia
prevalensi anti-HAV benar-benar tergantung pada kondisi-kondisi sosio-
ekonomi sebelumnya. Peningkatan prevalensi anti-HAV yang
berhubungan dengan umur mulai terjadi dan lebih nyata di daerah dengan
kondisi kesehatan dibawah standar.

Di negara-negara yang maju secara kontras diketahui bahwa insidens


infeksi virus hepatitis A telah menurun dalam beberapa tahun terakhir ini
dan telah beralih ke usia yang lebih tua, hal ini disebabkan kondisi secara
social dan ekonomi lebih baik, begitu pula hygiene dan sanitasi. Seperti di
negara-negara lain di dunia di Indonesia pun hepatitis A merupakan
masalah kesehatan. Berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit,
hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis
akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8%-68,3 kemudan disusul oleh
hepatitis non A-non B sekitar 15,5%-46,4% dan hepatitis B 6,4%-25,9%.

Etiologi
Virus hepatitis A merupakan partikel dengan ukuran diameter 27
nanometer dengan bentuk kubus simetrik tergolong virus hepatitis terkecil,
termasuk golongan pikornavirus. Ternyata hanya terdapat satu serotype
yang dapat menimbulkan hepatitis pada manusia. Dengan mikroskop
electron terlihat virus tidak memiliki mantel, hanya memiliki suatu
nukleokapsid yang merupakan ciri khas dari antigen virus hepatitis A.

Seuntai molekul RNA terdapat dalam kapsid, satu ujung dari RNA ini
disebut viral protein genomik (VPg) yang berfungsi menyerang ribosom
sitoplasma sel hati. Virus hepatitis A bisa dibiak dalam kultur jaringan.
Replikasi dalam tubuh dapat terjadi dalam sel epitel usus dan epitel hati.
Virus hepatitis A yang ditemukan di tinja berasal dari empedu yang
dieksresikan dari sel-sel hati setelah replikasinya, melalui sel saluran
empedu dan dari sel epitel usus. Virus hepatitis A sangat stabil dan tidak
rusak dengan perebusan singkat dan tahan terhadap panas pada suhu 60ºC
selama ± 1 jam. Stabil pada suhu udara dan pH yang rendah. Tahan
terhadap pH asam dan asam empedu memungkinkan VHA melalui
lambung dan dikeluarkan dari tubuh melalui saluran empedu.

Patofisiologi
Antigen hepatitis A dapat ditemukan dalam sitoplasma sel hati segera
sebelum hepatitis akut timbul. Kemudian, jumlah virus akan menurun
setelah timbul manifestasi klinis, baru kemudian muncul IgM anti HAV
spesifik. Kerusakan sel-sel hati terutama terjadi karena viremia yang
terjadi dalam waktu sangat pendek dan terjadi pada masa inkubasi.
Serngan antigen virus hepatitis A dapat ditemukan dalam tinja 1 minggu
setelah ikterus timbul. Kerusakan sel hati disebabkan oleh aktifasi sel T
limfosit sitolitik terhadap targetnya, yaitu antigen virus hepatitis A. Pada
keadaan ini ditemukan HLA-Restricted Virus specific cytotoxic CD8+ T
Cell di dalam hati pada hepatitis virus A yang akut. Gambaran histologis
dari sel parenkim hati yaitu terdapatnya nekrosis sel hati berkelompok,
dimulai dari senter lobules yang diikuti oleh infiltrasi sel limfosit,
makrofag, sel plasma, eosinofil, dan neutrofil. Ikterus terjadi sebagai
akibat hambatan aliran empedu karena kerusakan sel parenkim hati,
terdapat peningkatan bilirubin direct dan indirect dalam serum. Ada 3
kelompok kerusakan yaitu di daerah portal, di dalam lobules, dan di dalam
sel hati. Dalam lobules yang mengalami nekrosis terutama yang terletak di
bagian sentral. Kadang-kadang hambatan aliran empedu ini
mengakibatkan tinja berwarna pucat seperti dempul (faeces acholis) dan
juga terjadi peningkatan enzim fosfatase alkali, 5 nukleotidase dan gama
glutamil transferase (GGT). Kerusakan sel hati akan menyebabkan
pelepasan enzim transminase ke dalam darah. Peningkatan SGPT memberi
petunjuk adanya kerusakan sel parenkim hati lebih spesifik daripada
peningkatan SGOT, karena SGOT juga akan meningkat bila terjadi
kerusakan pada myocardium dan sel otot rangka. Juga akan terjadi
peningkatan enzim laktat dehidrogenase (LDH) pada kerusakan sel hati.
Kadang-kadang hambatan aliran empedu (cholestasis) yang lama menetap
setelah gejala klinis sembuh.
Gejela Klinis
Hepatitis A merupakan penyakit yang terutama menyerang anak dan
dewasa muda. Pada fase akut hepatitis A umumnya 90% asimtomatik atau
bentuk yang ringan dan hanya sekitar 1% yang timbul ikterus.

Pada anak manifestasinya sering kali asimtomatk dan anikterik. Gejala dan
perjalanan klinis hepatitis virus akut secara umum dapat dibedakan dalam
4 stadium :
1. Masa Tunas. Lamanya viremia pada hepatitis A 2-4 Minggu.

2. Fase pra-ikterik/prodromal. Keluhan umumnya tidak spesifik,


dapat berlangsung 2-7 hari, gambaran sangat bervariasi secara
individual seperti ikterik, urin berwarna gelap, lelah/lemas, hilang
nafsu makan, nyeri & rasa tidak enak di perut, tinja berwarna
pucat, mual dan muntah, demam kadang-kadang menggigil, sakit
kepala, nyeri pada sendi, pegal-pegal pada otot, diare dan rasa tidak
enak di tenggorokan. Dengan keluhan yang beraneka ragam ini
sering menimbulkan kekeliruan pada waktu mendiagnosis, sering
diduga sebagai penderita influenza, gastritis maupun arthritis.

3. Fase Ikterik. Fase ini pada awalnya disadari oleh penderita,


biasanya setelah demam turun penderita menyadari bahwa urinnya
berwarna kuning pekat seperti air teh ataupun tanpa disadari, orang
lain yang melihat sclera mata dan kulitnya berwarna kekuning-
kuningan. Pada fase ini kuningnya akan meningkat, menetap,
kemudian menurun secara perlahan-lahan, hal ini bisa berlangsung
sekitar 10-14 hari. Pada stadium ini gejala klinis sudah mulai
berkurang dan pasien merasa lebih baik. Pada usia lebih tua dapat
terjadi gejala kolestasis dengan kuning yang nyata dan bisa
berlangsung lama.

4. Fase penyembuhan. Fase penyembuhan dimulai dengan


menghilangkan sisa gejala tersebut diatas, ikterus mulai
menghilang, penderita merasa segar kembali walau mungkin masih
terasa cepat capai.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Untuk menunjang diagnosis perlu dibantu dengan pemeriksaan
laboratorium yaitu dengan timbulnya gejala, maka anti-HAV akan menjadi
positif. IgM anti-HAV adalah subkelas antibody terhadap HAV. Respons
inisial terhadap infeksi HAV hampir seluruhnya adalah IgM. Antibodi ini
akan hilang dalam waktu 3-6 bulan. IgM anti-HAV adalah spesifik untuk
diagnosis dan konfirmasi infeksi hepatitis A akut. Infeksi yang sudah lalu
atau adanya imunitas ditandai dengan adanya anti-HAV total yang terdiri
atas IgG anti-HAV dan IgM antiHAV. Antibodi IgG akan naik dengan
cepat setelah virus dieradikasi lalu akan turun perlahan-lahan setelah
beberapa bulan. Petanda anti-HAV berguna bagi penelitian epidemiologis
dan status imunitas.

Radiologi
Studi pencitraan biasanya tidak diindikasikan pada infeksi HAV. Namun,
ultrasonografi mungkin diperlukan ketika diagnosis alternatif harus
disingkirkan. Tujuannya adalah untuk menilai patensi pembuluh darah dan
untuk mengevaluasi setiap bukti yang mendukung adanya penyakit hati
kronis yang mendasari yang tidak terduga.

Diagnosis Banding
Kondisi utama yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding
untuk infeksi virus hepatitis A akut (HAV) adalah infeksi virus hepatitis E
(HEV) akut. Kedua virus tersebut memiliki gambaran klinis yang serupa
dan cara penularan yang sama, dan keduanya umum di negara
berkembang.
Diagnosis banding hepatitis A:
a) Hepatitis B
b) Hepatitis C
c) Hepatitis D
d) Hepatitis E
e) Alcoholic Hepatitis
Diagnosis hepatitis alkoholik sangat mudah dan tidak
memerlukan studi diagnostik lebih lanjut pada pasien dengan
riwayat penyalahgunaan alkohol, gejala khas dan temuan fisik,
bukti gangguan fungsi hati, dan tingkat enzim hati yang
kompatibel. Pada kasus hepatitis alkoholik yang lebih ringan,
peningkatan ringan pada level aspartate aminotransferase
(AST) mungkin satu-satunya petunjuk diagnostik.
f) Cytomegalovirus (CMV)
Cytomegalovirus (CMV) adalah virus DNA beruntai ganda dan
merupakan anggota dari keluarga Herpesviridae. Setidaknya
60% populasi AS telah terpajan CMV, dengan prevalensi lebih
dari 90% pada kelompok berisiko tinggi (misalnya, bayi dalam
kandungan yang ibunya terinfeksi CMV selama kehamilan atau
orang dengan HIV).

Tatalaksana
Non-Farmakologi
a) Perawatan Suportif
Pada periode akut dan dalam keadaan lemah diharuskan cukup
istirahat. Aktivitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan
harus dihindari.

Manajemen khusus untuk hati dapat dapat diberikan sistem


dukungan untuk mempertahankan fungsi fisiologi seperti
hemodialisis, transfusi tukar, extracorporeal liver perfusion,
dan charcoal hemoperfusion.

Rawat jalan pasien, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia


berat yang akan menyebabkan dehidrasi sebaiknya diinfus.
Perawatan yang dapat dilakukan di rumah, yaitu : Tetap tenang,
kurangi aktivitas dan banyak istirahat di rumah, Minum banyak
air putih untuk menghindari dehidrasi, Hindari minum obat
yang dapat melukai hati seperti asetaminofen dan obat yang
mengandung asetaminofen, Hindari minum minuman
beralkohol, dan Hindari olahraga yang berat sampai gejala-
gejala membaik.

b) Dietetik
1) Makanan tinggi protein dan karbohidrat, rendah lemak
untuk pasien yang dengan anoreksia dan nausea.
2) Selama fase akut diberikan asupan kalori dan cairan
yang adekuat. Bila diperlukan dilakukan pemberian
cairan dan elektrolit intravena.
3) Menghindari obat-obatan yang di metabolisme di hati,
konsumsi alkohol, makan-makanan yang dapat
menimbulkan gangguan pencernaan, seperti makanan
yang berlemak.

Farmakologi
a) Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis A.
b) Obat-obatan diberikan hanya untuk mengurangi gejala-gejala
yang ditimbulkan, yaitu bila diperlukan diberikan obat-obatan
yang bersifat melindungi hati, antiemetik golongan fenotiazin
pada mual dan muntah yang berat, serta vitamin K pada kasus
yang kecenderungan untuk perdarahan. Pemberian obat-obatan
terutama untuk mengurangi keluhan misalnya tablet antipiretik
parasetamol untuk demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi.

Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
Kolestasis berkepanjangan dapat terjadi setelah infeksi akut. Frekuensi
terjadinya ini meningkat seiring bertambahnya usia. Kolestasis
berkepanjangan ditandai dengan periode penyakit kuning yang
berkepanjangan (> 3 bulan) dan sembuh tanpa intervensi. Kortikosteroid
dan asam ursodeoxycholic dapat memperpendek periode kolestasis.

Gambaran umum dari virus hepatitis A kolestatik adalah pruritus, demam,


diare, dan penurunan berat badan, dengan kadar bilirubin serum lebih
tinggi dari 10 mg / dL. Beberapa peneliti percaya bahwa penggunaan
kortikosteroid dapat mempengaruhi pasien untuk mengembangkan
hepatitis A. Data yang baik untuk mendukung hipotesis ini masih kurang.

Gagal ginjal akut, nefritis interstisial, pankreatitis, aplasia sel darah merah,
agranulositosis, aplasia sumsum tulang, blok jantung sementara, sindrom
Guillain-Barré, artritis akut, penyakit Still, sindrom mirip lupus, dan
sindrom Sjögren telah dilaporkan berhubungan dengan HAV . Komplikasi
ini jarang terjadi.

Prognosis
Secara umum, prognosisnya sangat baik. Kekebalan jangka panjang
menyertai infeksi HAV. Kekambuhan dan hepatitis kronis biasanya tidak
terjadi. Biasanya, tidak ada gejala sisa yang bertahan lama.

Kematian jarang terjadi, meskipun lebih sering terjadi pada pasien usia
lanjut dan pada mereka yang menderita penyakit hati. Setiap tahun,
diperkirakan 100 orang meninggal di Amerika Serikat akibat gagal hati
akut akibat infeksi HAV. Meskipun kasus kematian akibat infeksi
fulminan HAV telah dilaporkan pada semua kelompok usia, di mana
secara keseluruhan kematian diperkirakan sekitar 0,3%, angka 1,8% di
antara orang dewasa yang berusia lebih dari 50 tahun dan juga lebih tinggi
pada orang dengan penyakit hati kronis.

3. Hepatitis B
Epidemiologi
Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah yang besar di
Indonesia karena prevalensi yang tinggi dan komplikasinya. Di daerah
dengan endemic tinggi, infeksi VHB biasanya terjadi melalui infeksi
perinatal atau pada awal masa kanak-kanak. VHB sendiri biasanya tidak
sitopatik. Infeksi kronik VHB merupakan suatu proses dinamis dengan
terjadi interaksi antara virus, hepatosit dan sistem imun manusia.

Perjalanan penyakit hepatitis B kronik dengan HBeAg, HBV DNA positif


di wilayah Asia-Pasifik masih belum banyak diteliti, namun reaktivasi
hepatitis dan progresivitas penyakit memang dapat terjadi. Telah
ditemukan di bidang biologi molekuler bahwa untuk pathogenesis VHB
ada peran covalently closed circular DNA (cccDNA) dalam terjadinya
infeksi kronik VHB yang menetap.

Etiologi
Virus hepatitis B adalah virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm
memiliki lapisan permukaan dan bagian inti dengan masa inkubasi sekitar
60 sampai 90 hari. Terdapat 3 jenis partikel virus yaitu : (1) Sferis dengan
diameter 17 – 25 nm dan terdiri dari komponen selubung saja dan
jumlahnya lebih banyak dari partikel lain. (2) Tubular atau filamen,
dengan diameter 22 – 220 nm dan terdiri dari komponen selubung. (3)
Partikel virion lengkap atau partikel Dane terdiri dari genom HBV dan
berselubung, diameter 42 nm.

Protein yang dibuat oleh virus ini bersifat antigenik serta memberi
gambaran tentang keadaan penyakit (pertanda serologi khas) adalah : (1)
Surface antigen atau HBsAg yang berasal dari selubung, yang positif kira-
kira 2 minggu sebelum terjadinya gejala klinis. (2) Core antigen atau
HBcAg yang merupakan nukleokapsid virus hepatitis B. (3) E antigen atau
HBeAg yang berhubungan erat dengan jumlah partikel virus yang
merupakan antigen spesifik untuk hepatitis B.

Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui darah


(penerima produk darah, pasien hemodialisa, pekerja kesehatan atau
terpapar darah). Virus hepatiitis B ditemukan di cairan tubuh yang
memiliki konsentrasi virus hepatitis B yang tinggi seperti semen, sekret
servikovaginal, saliva, dan cairan tubuh lainnya sehingga cara transmisi
hepatitis B yaitu transmisi seksual. Cara transmisi lainnya melalui
penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa yaitu alat-alat yang tercemar
virus hepatitis B seperti sisir, pisau cukur, alat makan, sikat gigi, tato,
akupuntur, tindik, alat kedokteran, dan lain-lain. Cara transmisi lainnya
yaitu transmisi maternal-neonatal, maternal-infant, akan tetapi tidak ada
bukti penyebaran fekal-oral.

Patofisiologi
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran
darah, partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi replikasi virus.
Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane
utuh, partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak
ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respon imun tubuh, yaitu
respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik.

VHB merangsang pertama kali respon imun non-spesifik ini (innate


immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam
beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini
terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan
NK-T.

Untuk prosese eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik
yaitu dengan mengaktivasi limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T
CD8+ terjadi setelah kontak reseptor T tersebut dengan kompleks peptida
VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada
permukaan dinding APC (Antigen Precenting Cell) dan dibantu dengan
rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak
dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida
VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi
antigen sasaran respon imun adalah peptida kapsid, yaitu HBcAg atau
HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada
dalam neksrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau
mekanisme sitolitik. Disamping itu dapat juga terrjadi eliminasi virus
intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas
Interferon Gamma dan TNF alfa (Tissue Necroting Factor) yang
dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik).

Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan


produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, dan anti HBe. Fungsi
anti-HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas akan mencegah masuknya
virus ke dalam sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran
virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan
produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B Kronik ternyata
dapat ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa dideteksi dengan
metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam kompleks
dengan HBsAg.

Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat
diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi
VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang tidak
efisien dapat disebabkan oleh faktor viral maupun faktor pejamu.

Setelah terinfeksi VHB, penanda virologis pertama yang terdeteksi dalam


serum adalah HBsAg. HBsAg dalam sirkulasi mendahului peningkatan
aktivitas aminotransferase serum dan gejala-gejala klinis dan tetap
terdeteksi selama keseluruhan fase ikterus atau simtomatis dari hepatitis B
akut atau sesudahnya. Pada kasus yang khas HBsAg tidak terdeteksi dalam
1 hingga 2 bulan setelah timbulnya ikterus dan jarang menetap lebih dari 6
bulan. Setelah HBsAg hilang, antibodi terhadap HBsAg (Anti-HBs)
terdeteksi dalam serum dan tetap terdeteksi sampai waktu yang tidak
terbatas sesudahnya.

Karena HBcAg terpencil dalam mantel HBsAg, maka HBcAg tidak


terdeteksi secara rutin dalam serum pasien dengan infeksi VHB. Di lain
pihak, antibodi terhadap HBcAg (anti-HBC) dengan cepat terdeteksi
dalam serum, dimulai dalam 1 hingga 2 minggu pertama setelah timbulnya
HBsAg dan mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa
bulan. Karena terdapat variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs setelah
infeksi, kadang terdapat suatu tenggang waktu beberapa minggu atau lebih
yang memisahkan hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama
“periode jendela” (window period) ini, anti-HBc dapat menjadi bukti
serologi pada infeksi VHB yang sedang berlangsung, dan darah yang
mengandung anti-HBc tanpa adanya HBsAg dan anti-HBs telah terlibat
pada perkembangan hepatitis B akibat transfusi.

Perbedaan antara infeksi VHB yang sekarang dengan yang terjadi di masa
lalu dapat diketahui melalui penentuan kelas imunoglobulin dari anti-HBc.
AntiHBC dari kelas IgM (IgM anti-HBc) terdeteksi selama 6 bulan
pertama setelah infeksi akut. Oleh karena itu, pasien yang menderita
hepatitis B akut yang baru terjadi, termasuk mereka yang terdeteksi anti-
HBc dalam periode jendela memilik IgM anti-HBc dalam serumnya. Pada
pasien yang menderita VHB kronik, antiHBc terutama dari kelas IgG yang
terdapat dalam serum. Umumnya orang yang telah sembuh dari hepatitis
B, anti-HBs dan anti-HBc nya menetap untuk waktu yang tidak terbatas.

Gejala Klinis
Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang
berat seperti muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat
ringan dan apabila ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza.
Gejala itu berupa demam ringan, mual, lemas, hilang nafsu makan, mata
jadi kuning, kencing berwarna gelap, diare dan nyeri otot. Pada sebagian
kecil gejala dapat menjadi berat dan terjadi fulminan hepatitis yang
mengakibatkan kematian. Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa
perinatal dan balita biasanya asimtomatik dan dapat menjadi kronik pada
90% kasus. Sekitar 30% infeksi hepatitis B yang terjadi pada orang
dewasa akan menimbulkan ikterus dan pada 0,1-0,5% dapat berkembang
menjadi fulminan. Pada orang dewasa 95% kasus akan sembuh dengan
sempurna yang ditandai dengan menghilangnya HBsAg dan timbul anti
HBs.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium

Gambar 3.1. Grafik Pemeriksaan Laboratorium berdasarkan waktu


(perminggu) dari gejala hepatitis.

Pada hepatitis B akut simptomatik pola serologisnya, HbsAg mulai timbul


pada akhir masa inkubasi kira-kira 2-5 minggu sebelum ada gejala klinik
dan titernya akan meningkat setelah tampak gejala klinis dan menetap
selama 1-5 bulan. Selanjutnya titer HBsAg akan menurun dan hilang
dengan berkurangnya gejala-gejala klinik. Menetapnya HBsAg sesudah 6
bulan menandakan proses akan menjadi kronis. Anti-HBs baru timbul
pada stadium konvalesensi yaitu beberapa saat setelah menghilangnya
HBsAg, sehingga terdapat masa jendela (window period) yaitu masa
menghilangnya HBsAg sampai mulai timbulnya antiHBs. Anti-HBs akan
menetap lama, 90% akan menetap lebih dari 5 tahun sehingga dapat
menentukan stadium penyembuhan dan imunitas penderita. Pada masa
jendela, Anti-HBC merupakan pertanda yang penting dari hepatitis B akut.
Anti-HBC mula-mula terdiri dari IgM dan sedikit IgG. IgM akan menurun
dan menghilang dalam 6-12 bulan sesudah sembuh, sedangkan IgG akan
menetap lama dan dapat dideteksi dalam 5 tahun setelah sembuh.

HBeAg timbul bersama-sama atau segera sesudah HBsAg. Ditemukannya


HBeAg menunjukkan jumlah virus yang banyak. Jangka waktu HBeAg
positif lebih singkat daripada HBsAg. Bila HBeAg masih ada lebih dari 10
minggu sesudah timbulnya gejala klinik, menunjukkan penyakit
berkembang menjadi kronis. Serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe
merupakan prognosis yang baik yang akan diikuti dengan penyembuhan
penyakitnya.

Pada infeksi hepatitis B asimtomatik, pemeriksaan serologis menunjukkan


kadar HBsAg dan HbeAg yang rendah untuk waktu singkat, bahkan
seringkali HBsAg tidak terdeteksi. Menghilangnya HBsAg segera diikuti
dengan timbulnya anti-HBs dengan titer yang tinggi dan lama
dipertahakan. Anti-HBc dan anti-Hbe juga timbul tetapi tidak setinggi titer
anti-HBs. Lima sampai sepulu persen yang menderita hepatitis B akut
akan berlanjut menjadi hepatitis B kronis. Pada tipe ini HBsAg timbul
pada akhir masa inkubasi dengan titer yang tinggi yang akan menetap dan
dipertahankan lama dan dapat sampai puluhan tahun atau seumur hidup.
Anti-HBs tidak akan timbul pada pengidap HBsAg, tetapi sebaliknya
antiHBc yang terdiri dari IgM dan IgG anti-HBc akan dapat dideteksi dan
menetapa selama lebih dari 2 tahun.

Studi Radiologi
Temuan pada studi pencitraan ditinjau secara singkat sesuai dengan
stadium penyakit.

Penyakit hepatitis B akut dan kronis


Melakukan ultrasonografi perut, pemindaian computed tomography (CT),
atau magnetic resonance imaging (MRI) pada pasien hepatitis B penting
untuk membantu menyingkirkan obstruksi bilier.
Gambar 3.2.

Pemeriksaan radiologis mungkin berguna pada semua tahap infeksi


hepatitis B. Ultrasonografi, pemindaian computed tomography (CT), atau
magnetic resonance imaging (MRI) dapat menyingkirkan obstruksi bilier
pada infeksi akut. Pada penyakit kronis, ultrasonogram dapat
menunjukkan peningkatan echogenisitas parenkim hati yang tidak spesifik.
Pada pasien dengan penyakit jangka panjang, pencitraan CT dapat
digunakan untuk mendeteksi sirosis atau karsinoma hepatoseluler (seperti
yang ditunjukkan).

Diagnosis Banding
Saat mengevaluasi pasien dengan dugaan infeksi virus hepatitis B (HBV),
pertimbangkan juga hepatitida dan etiologi virus lain yang dapat
menyebabkan sirosis dan gagal hati, seperti hepatotoksisitas obat. Selain
itu, karena cara utama penularan penyakit ini adalah seksual,
pertimbangkan pula kemungkinan penularan human immunodeficiency
virus (HIV) atau penyakit menular seksual lainnya.
Beberpa diagnosis banding Hepatitis B: Hepatitis A, Hepatitis C, Hepatitis
D, Hepatitis E, Sirosis Hepatis

Tatalaksana
Evaluasi awal pasien dengan infeksi VHB meliputi anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dengan penekanan khusus pada faktor-faktor risiko
terjadinya infeksi gabungan, penggunaan alcohol, riwayat keluar ga
dengan infeksi VHB, dan kanker hati.

Pemeriksaan laboratorium harus mencakup pemeriksaan fungsi hati ,


pemeriksaan darah lengkap. Tes replikasi VHB seperti HBsAg
HBeAg/anti-HBe dan HBV DNA.

Pemantauan
Apabila seseorang mengalami infeksi HBV, tidak selalu perlu diterapi
akan tetapi cukup dilakukan saja pemantauan untuk menilai apakah perlu
dilakukan intervensi dengan antiviral sewaktu. Pemantauan dilakukan
apabila pada pasien didapatkan keadaan :
a. Hepatitis B kronik dengan HBeAg +, HBV DNA > 10 5 copies/mL,
dan ALT normal. Pada pasien ini dilakukan tes SGPT setiap 3-6 bulan.
Jika kadar SGPT naik > 1-2 kali Batas Atas Nilai Normal (BANN),
maka ALT diperiksa setiap 1-3 bulan. Jika dalam tindak lanjut SGPT
naik menjadi > 2 kali BANN selama 3-6 bulan disertai HBeAg (+) dan
HBV DNA > 10 5 copies/mL, dapat dipertimbangkan untuk biopsy
hati sebagai pertimbangan untuk memberikan terapi antiviral.

b. Pada infeksi HBsAg inaktif (HBeAg, dan HBV DNA) dilakukan


pemeriksaan ALT setiap 6-12 bulan. Jika ALT naik menadji > 1-2 kali
BANN, periksa serum HBV DNA dan bila dapat dipastikan bukan
disebabkan oleh hal yang lain maka dapat dipertimbangkan terapi
antiviral. -Terapi

1) Interferon α (IFN- α)
Pada pasien HBeAg + dengan SGPT yang lebih besart 3x dari
BANN, respons angka keberhasilan terapi interferon adalah
sekitar 30-40% dibandingkan 10-20% pada kontrol. Pemberian
interferon 4,5 mu atau 5 mu seminggu 3x selama 4-6 bulan
dapat efektif. Apabila pengobatan diberikan selama 12 bulan
makan angka serokonversi HBeAg akan lebih meningkat.

Pemberian monoterapi dengan pegylated IFN- α-2a


menghasilkan angka keberhasilan serokonversi HBeAg lebih
tinggi dibanding IFN- α2a konvensional. Pada pasien dengan
kadar SGPT pra-terapi yang lebih rendah (1,3-3x ULM) angka
serokonversi HBeAg lebih rendah tetapi dapat diperbaiki
dengan pemberian kortikosteroid sebelum terapi interferon.
Namun demikian efek samping yang hebat pernah dilaporkan
akibat penggunaan cara ini.

Bila serokonversi HBeAg ke anti HBe tercapai, maka akan


menetap pada lebih dari 80% kasus.

Pasien hepatitis B kronik aktif dengan HBeAg negatif, anti


HBe positif, HBV DNA positif juga memberikan respons
selama terapi interferon, tetapi biasanya terjadi relaps pada
akhir terapi. Pengobatan ulangan dengan IFN- α menunjukkan
angka keberhasilan respons 20-40% baik pada HBeAg positif
maupun negative.

Pada penelitian jangka panjang ditemukan bahwa serokonversi


HBeAg, baik yang diinduksi oleh terapi interferon atau secara
spontan, bermanfaat untuk kelangsungan hidup, kejadian gagal
hati dan mencegah HCC.

Pengobatan interferon biasanya berhubungan dengan efek


samping seperti flulike symptoms, neutropenia,
trombositopenia, yang biasanya masih dapat ditoleransi, namun
kadang-kadang perlu dilakukan modifikasi dosis. Terapi
interferon yang menginduksi hepatitis flare dapat menyebabkan
dekompensasi pada pasieen dengan sirosis dan dapat berbahaya
bagi pasien dengan dekompensasi hati. Lama terapi interferon
standar adalah 4-6 bulan sedangkan pegilated interferon adalah
12 bulan.

2) Lamivudine
Lamivudine efektif untuk supresi HBV DNA, normalisasi
SGPT dan perbaikan secara histologist baik pada HBeAg
positif dan HBeAg negatif/HBV DNA positif. Pada pasien
dengan HBeAg (+) yang diterapi selama satu tahun dengan
lamivudine (100 mg per hari) menghasilkan serokonversi
HBeAg dengan perbandingan kadar SGPT sebelum terapi :
64% (vs. 14% sebelum terapi) pada pasien dengan SGPT
dengan 5x BANN, 26% (vs. 5% sebelum terapi) pada pasein
dengan SGPT 2-5x BANN, dan hanya 5% (vs. 2% sebelum
terapi).

Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
Beberapa komplikasi Hepatitis B adalah Glomerulonefritis dan Karsinoma
Hepatoseluler.

Prognosis
Diperkirakan 1 juta orang per tahun di seluruh dunia, termasuk sedikitnya
5.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat, meninggal karena penyakit
hepatitis B kronis.

Faktor prognostik positif


Pasien yang kehilangan antigen e hepatitis B (HBeAg) dan yang DNA
virus hepatitis B (HBV) tidak terdeteksi memiliki hasil klinis yang lebih
baik, yang ditandai dengan:
a) Laju perkembangan penyakit yang lebih lambat
b) Kelangsungan hidup yang lama tanpa komplikasi
c) Penurunan angka kanker hati dan sirosis
d) Perbaikan klinis dan biokimia setelah dekompensasi

4. Hepatitis C
Epidemiologi
Sejak berhasil ditemukannya virus hepatitis C dengan teknik cloning
molekuler di tahun 1989, sejumlah perkembangan yang bermakna telah
terjadi dalam pemahaman mengenai perjalanan alamiah, diagnosis dan
terapi infeksi virus hepatitis C. Dahulu kita hanya mengenal infeksi ini
sebagai infeksi virus hepatitis non-A,non-B, namun saat ini telah diketahui
bahwa infeksi yang hanya memiliki tanda-tanda subklinis ringan ini
ternyata memiliki tingkat kronisitas dan progresifitas kearah sirosis yang
tinggi.

Infeksi virus hepatitis C (HCV) adalah suatu masalah kesehatan global.


Diperkirakan sekitar 170 juta orang di dunia telah terinfeksi secara kronik
oleh HCV. Prevalensi global infeksi HCV adalah 2,9%. Menurut data
WHO angka prevalensi ini amat bervariasi dalam distribusi secara
geografi, dengan seroprevalensi terendah di Eropa sekitar 1% hingga
tertinggi 5,3% di Afrika. Angka seroprevalensi di Asia Tenggara sektiar
2,2% denagn jumlah penderita sekitar 32,3 juta orang.

Di Indonesia prevalensi infeksi virus hepatitis C ditemukan sangat


bervariasi, mengingat geografis yang sangat luas. Selain itu terdapat juga
variasi hasil beberapa peneliti sehubungan dengan berbedanya kelompok
yang diteliti.
Hasil pemeriksaan pendahuluan anti-HCV pada donor darah di beberapa
tempat di Indonesia menujukkan bahwa prevalensinya adalah di antara
3,1%-4%. Dengan bantuan Namru-2 dimana dimungkinkan untuk
penggunaan reagen antiHCV generasi kedua dan juga bantuan unit PUTD
Palang Merah Indonesia, data donor darah di kota-kota besar menunjukkan
prevalensi yang lebih kecil 0,5%- 3,37% dibandingkan data sebelumnya.

Etiologi
HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal
berselubung glikoprotein dengan partikel sferis, inti nukleokapsid 33 nm,
yang dapat diproduksi secara langsung untuk memproduksi protein-protein
virus (hal ini dikarenakan HCV merupakan virus dengan RNA rantai
positif). Hanya ada satu serotipe yang dapat diidentifikasi, terdapat banyak
genotipe dengan distribusi yang bervariasi di seluruh dunia, misalnya
genotipe 6 banyak ditemukan di Asia Tenggara.

Genom HCV terdiri atas 9400 nukleotida, mengkode protein besar sekitar
residu 3000 asam amino. Sepertiga bagian dari poliprotein terdiiri atas
protein struktural. Protein selubung dapat menimbulkan antibodi
netralisasi dan sisa dua pertiga dari poliprotein terdiri atas protein
nonstruktural (dinamakan NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5 B) yang terlibat
dalam replikasi HCV. Replikasi HCV sangat melimpah dan diperkirakan
seorang penderita dapat menghasilkan 10 trilion virion perhari.

Patofisiologi
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati oleh HCV masih belum
jelas karena terbatasnya kultur sel untuk HCV. Namun beberapa bukti
menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan
kerusakan selsel hati.
Protein core misalnya, diperkirakan menimbulkan reaksi pelepasan radikal
oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini mampu berinteraksi pada
mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan
regulasi imunologik dan apoptosis.
Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera mencari hepatosit dan
mengikat suatu reseptor permukaan yang spesifik (reseptor ini belum
diidentifikasi secara jelas). Protein permukaan sel CD81 adalah suatu
HCV binding protein yang memainkan peranan masuknya virus. Protein
khusus virus yaitu protein E2 nenempel pada receptor site di bagian luar
hepatosit. Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti
miliknya sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit
atau membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi.

Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk


terjadinya eliminasi menyeluruh pada infeksi akut. Reaksi inflamasi yang
dilibatkan meliputi rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan
aktivitas sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini
sebelumnya dalam keadaan tenang (quiescent) kemudian berploriferasi
menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan
matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dab berperan aktif menghasilkan
sitokin pro-inflamasi. Proses ini berlangsung terus-menerus sehingga dapat
menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati.

Sama seperti virus hepatitis lainnya, HCV dapat menyebabkan suatu


hepatitis akut yang sulit dibedakan dengan hepatitis virus akut lain. Gejala
hanya dilaporkan terjadi pada 15% kasus, sehingga diagnosa harus
tergantung pada positifnya hasil pemeriksaan anti-HCV atau pemeriksaan
HCV RNA yang biasanya terdeteksi lebih awal sebelum munculnya
antibodi anti-HCV (serokonversi). Dari semua individu dengan infeksi
hepatitis C akut, 75-80% akan berkembang menjadi infeksi kronik.
Gejala Klinis
Sama seperti virus hepatitis yang lain, HCV dapat menyebabkan suatu
penyakit hepatitis akut yang kemungkinannya, sulit dibedakan dengan
hepatitis virus akut lain. Akan tetapi gejala-gejalanya hanya dilaporkan
terjadi pada 15% kasus sehingga, diagnosisnya harus tergantung pada
positifnya hasil pemeriksaan anti-HCV atau pemeriksaan HCV RNA yang
biasanya terdeteksi lebih awal sebelum munculnya antibody anti-HCV
(serokonversi)

Masa inkubasi hepatitis C umumnya sekitar 6-8 minggu (berkisar antara 2-


26 minggu) pada beberapa pasien yang menunjukkan gejala malaise dan
jaundice dialami oleh sekitar 20-40% pasien. Peningkatan kadar enzim
hati (SGPT > 5-15 kali rentang normal) terjadi pada hampir semua pasien.
Selama masa inkubasi ini, HCV RNA pasien bisa positif dan meningkat
hingga munculnya jaundice. Selain itu juga bisa muncul gejala-gejala
fatique, tidak napsu makan, mual dan nyeri abdomen kuadran kanan atas.
Dari semua individu dengan hepatitis C akut, 75- 80% akan
berkembangmenjadi infeksi kronis.

Infeksi HCV sangat jarang terdiagnosis pada saat infeksi fase akut.
Manifestasi klinis bisa saja muncul dalam waktu 7-8 minggu (dengan
kisaran 2-26 minggu) setelah terpapar dengan HCV, namun sebagian besar
penderita umumnya tidak menunjukkan gejala atau kalaupun ada hanya
menunjukkan gejala yang ringan. Pada kasus-kasus infeksi akut HCV yang
ditemukan, gejala-gejala yang dialami biasanya jaundice, malaise, dan
nausea. Infeksi berkembang menjadi kronik pada sebagian besar penderita
dan infeksi kronik biasanya tidak menunjukkan gejala. Hal ini
menyebabkan sangat sulitnya menilai perjalanan alamiah infeksi HCV.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan konvensional untuk mendiagnosis keberadaan antigen HCV
tidak tersedia. HCV RNA petama kali muncul diikuti kenaikan enzim
ALT dan diikuti dengan munculnya anti-HCV. Pemeriksaan antibodi
terhadap HCV biasanya dideteksi menggunakan enzyme immunoassay
generasi ke-3 yang banyak dipergunakan saat ini mengandung protein core
yang dapat mendeteksi keberadaan antibodi dalam waktu 4-10 minggu
infeksi. Antibodi anti-HCV masih dapat terdeteksi selama terapi maupun
setelahnya. Uji immunoblot rekombinan (RIBA) dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil yang positif. Pemeriksaan HCV RNA merupakan
pemeriksaan yang paling spesifik dan dapat dipercaya untuk menunjukkan
adanya infeksi HCV. Pemeriksaan HCV-RNA kuantitatif dan kualitatif
didasarkan pada teknik PCR (Polymerase Chain Reactionn).

Studi Radiologi
Tes kekakuan hati (FibroScan) tersedia sebagai metode non-invasif untuk
menentukan stadium penyakit hati pada orang dengan hepatitis C.
Obesitas, jenis kelamin wanita, kurangnya pengalaman operator, dan usia
lebih dari 52 tahun dapat memberikan hasil yang tidak valid. Perkiraan
tinggi yang salah dari fibrosis hati juga telah dilaporkan dengan
peradangan akut dan asupan makanan baru-baru ini.

Diagnosis Banding
Beberapa DD dari Hepatitis C:
a) Hepatitis autoimun
Hepatitis autoimun adalah penyakit kronis yang tidak diketahui
penyebabnya, ditandai dengan peradangan dan nekrosis
hepatoseluler yang berlanjut dan cenderung berkembang menjadi
sirosis.

b) Kolangitis
Kolangitis adalah infeksi saluran empedu yang berpotensi
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Banyak
pasien dengan kolangitis akut menanggapi terapi antibiotik;
namun, pasien dengan kolangitis berat atau toksik mungkin tidak
merespon dan mungkin memerlukan drainase bilier darurat.

Tatalaksana
Pengobatan hepatitis C kronis telah berkembang pesat. Di masa lalu,
tulang punggung pengobatan untuk infeksi virus hepatitis C (HCV) kronis
terlepas dari genotipe adalah terapi kombinasi dengan interferon-alfa
pegilasi suntik (PEG-IFNa) plus ribavirin oral. Karena memiliki profil
keamanan paling buruk dari semua antivirus HCV, dengan sedikit
pengecualian, PEG-IFN tidak lagi direkomendasikan dalam rejimen
kombinasi. Ribavirin terus digunakan dalam kombinasi dengan sofosbuvir
saja atau kombinasi lain.

Agen antivirus yang bertindak langsung (DAA), pertama kali


diperkenalkan pada tahun 2011, menawarkan peningkatan kemanjuran bila
dikombinasikan dengan PEG-IFN dan ribavirin, terutama untuk infeksi
genotipe 1. PI pertama, boceprevir dan telaprevir, tidak lagi tersedia untuk
digunakan di Amerika Serikat dan telah digantikan oleh antivirus dengan
profil kemanjuran dan keamanan yang lebih baik.

Ada tiga kelas DAA yang disetujui: PI NS3 / 4A, penghambat NS5A, dan
penghambat polimerase NS5B (penghambat non-nukleosida dan
penghambat nukleotida). Kombinasi antivirus tertentu ditentukan oleh
genotipe. Beberapa agen baru hanya tersedia sebagai kombinasi dosis
tetap. Kombinasi berikut saat ini tersedia:
a) Ledipasvir / sofosbuvir (Harvoni)
b) Elbasvir / grazoprevir (Zepatier)
c) Ombitasvir / paritaprevir / ritonavir / dasabuvir (Viekira Pak)
d) Ombitasvir / paritaprevir / ritonavir (Teknik)
e) Glecaprevir / pibrentasvir (Mavyret)
f) Sofosbuvir / velpatasvir / voxilaprevir (Vosevi)
g) Sofosbuvir / velpatasvir (Epclusa): Terapi kombinasi diperlukan
karena monoterapi dengan salah satu obat tidak efektif.

Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
Dua penelitian tentang sirosis kompensasi di Amerika Serikat dan Eropa
menunjukkan bahwa dekompensasi terjadi pada 20% pasien dan
karsinoma hepatoseluler (HCC) terjadi pada sekitar 10% pasien. Tingkat
kelangsungan hidup pada 5 dan 10 tahun masing-masing adalah 89% dan
79%. HCC berkembang pada 1-4% pasien dengan sirosis setiap tahun,
setelah rata-rata 30 tahun.

Risiko sirosis dan kanker hati berlipat ganda pada pasien yang tertular
infeksi HCV melalui transfusi. Perkembangan kanker hati lebih sering
terjadi dengan adanya sirosis, alkoholisme, dan koinfeksi HBV.

Prognosis
Infeksi virus hepatitis C (HCV) sembuh sendiri pada 15% sampai 50%
pasien. Dalam tinjauan infeksi HCV, dilaporkan bahwa infeksi kronis
berkembang pada 70% -80% pasien. Sirosis berkembang dalam 20 tahun
sejak onset penyakit pada 20% orang dengan infeksi kronis. Timbulnya
infeksi hepatitis C kronis di awal kehidupan sering menyebabkan
konsekuensi yang tidak terlalu serius. Koinfeksi virus hepatitis B (HBV),
kelebihan zat besi, dan defisiensi alfa 1-antitripsin dapat meningkatkan
perkembangan infeksi HCV kronis menjadi sirosis terkait HCV.

5. Hepatitis D
Epidemiologi
Penelitian awal memperkirakan sekitar 15-20 juta orang koinfeksi dengan
HDV dan HBV di seluruh dunia. Studi yang lebih baru menunjukkan
bahwa prevalensi global HDV mungkin dua sampai tiga kali lebih tinggi
dari perkiraan sebelumnya. Daerah dengan prevalensi HDV tertinggi
termasuk Italia selatan; Afrika Utara; Timur Tengah; Lembah Amazon dan
kepulauan Pasifik Selatan Amerika di Samoa, Hauru, dan Hiue. Cina,
Jepang, Taiwan, dan Myanmar (dahulu Burma) memiliki prevalensi
infeksi HBV yang tinggi tetapi tingkat infeksi HDV yang rendah.

Sebuah studi kasus kontrol tahun 2017 dari Spanyol Utara (1983-2012)
yang mengevaluasi prevalensi dan epidemiologi infeksi HDV di antara
mereka yang terinfeksi HBV menemukan prevalensi anti-HDV 8,2%.
Dalam analisis pasien yang dikelompokkan menjadi tahun 1983-1997
(kelompok A) dan 1998-2012 (kelompok B), para peneliti mencatat bahwa
prevalensi anti-HDV turun dari 9,4% pada kelompok pertama menjadi
6,1% pada kelompok kedua. Selain itu, faktor risiko independen yang
terkait dengan kehadiran anti-HDV berbeda antara kedua kelompok,
dengan penggunaan obat intravena (IVDA), transfusi darah, dan tingkat
alanine aminotransferase (ALT) yang tinggi mempengaruhi kelompok
sebelumnya, sedangkan imigrasi, IVDA, seks promiscuous aktivitas, dan
peningkatan level ALT terutama mempengaruhi kelompok terakhir.

Infeksi HDV lebih sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada
anak-anak. Namun, anak-anak dari negara tertinggal, negara endemik
HDV lebih mungkin tertular infeksi HDV melalui kerusakan pada kulit,
karena adanya lesi kulit.

Etiologi
Virus Delta bila dilihat dari pandangan virology binatang memang
merupakan virus unik. Virus ini termasuk virus RNA yang sangat kecil.
Virion VHD hanya berukuran kira-kira 36 nm tersusun atas genom RNA
single stranded dan kira-kira 60 kopi antigen delta yang merupakan satu-
satunya jenis protein di kode oleh VHD. Antigen Delta terdiri dari 2 jenis
yakni large (L) dan small (S) Virion VHD mempunyai kapsul terdiri atas
protein yang dihasilkan oleh VHB. Dinding luar tersebut terdiri atas lipid
dan seluruh komponen HBsAg. Komponen HBsAg yang mendominasi
adalah small HBsAg kira-kira sebanyak 95%. Proporsi seperti ini sangat
berbeda dengan proporsi yang terdapat pada VHB. Selain menjadi
komponen utama dinding VHD, HBsAg juga diperlukan VHD untuk
transmisi dan masuk ke hepatosit. HBsAg akan melindungi virion VHD
tetapi secara langsung tidak mempengaruhi replikasi VHD.

Definisi hepatitis secara umum adalah proses inflamasi pada hati. Hepatitis
dapat disebabkan oleh virus hepatitis. Pada saat ini setidaknya sudah dapat
diidentifikasi beberapa jenis virus hepatitis. Sesuai dengan urutan saat
diidentifikasi, virus-virus tersebut diberi sebutan sebagai virus hepatitis
A,B,C,D, dan E. Semua virus hepatitis diidentifikasi berdasarkan pada
hasil pemeriksaan serologi. Pada tahun 1997, ditemukan antigen inti virus
yang sebelumnya belum pernah diidentifikasi pada hepatosit pasien
hepatitis kronik B. Antigen tersebut ternyata hanya dijumpai bila bersama
dengan infeksi virus hepatitis B, tetapi sangat jarang bersama HBcAg.
Selanjutnya antigen tersebut disebut antigen delta. Seperti banyak antigen
virus yang lain, antigen delta juga dapat memacu pembentukkan antibodi
anti-Delta. Pada tahun 1986, cloning dan sequencing VHD berhasil
dilakukan. Dapat dibuktikan bahwa antigen delta merupakan komponen
virus yang unik bila dibandingkan dengan virus hepatitis yang lain. Virus
ini bersifat defektif, untuk melakukan replikasi, membentuk virus baru, ia
harus berada bersama dengan HBsAg. Disebut hepatitis delta bila dapat
dibuktikan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh virus hepatitis delta
(VHD).
Infeksi HDV hanya terjadi pada individu dengan resiko infeksi HBV
(koinfeksi atau superinfeksi). Tranmisi virus ini mirip dengan HBV yaitu
melalui darah, permukosal, perkutan parenteral, seksual dan perinatal
walaupun jarang. Pada saat terjadi superinfeksi, titer VHD serum akan
mencapai puncak, sekitar 2-5 minggu setelah inokulasi, dan akan menurun
setelah 1-2 minggu kemudian.

Patofisiologi
Mekanisme kerusakan sel-sel hati akibat infeksi VHD belum jelas benar.
Masih diragukan, bahwa VHD mempunyai kemampuan sitopatik langsung
terhadap hepatosit. Replikasi genom VHD justru dapat menghalangi
pertumuhan sel, karena replikasu VHD memerlukan enzim yang diambil
dari sel inang. Diduga kerusakan hepatosit pada hepatitis D akut terjadi
akibat jumlah HDAg-S yang berlebihan di dalam hepatosit. VHB juga
berperan penting sebagai kofaktor yang dapat menimbulkan kerusakan
hepatosit yang lebih lanjut.

Gejala Klinis
Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama denagn infeksi VHB.
Gambaran klinis secara umum dapat dibagi menjadi: koinfeksi,
superinfeksi dan laten. Disebut koinfeksi bila infeksi VHD terjadi
bersama-sama secara simultan dengan VHB, sedangkan superinfeksi bila
infeksi VHD terjadi pada pasien infeksi kronik VHB. Koinfeksi akan
dapat menimbulkan baik hepatitis akut B maupun hepatitis akut D.
Sebagian besar koinfeksi VHB dan VHD akan sembuh spontan.
Kemungkinan menjadi hepatitis kronik D kurang dari 5%. Masa inkubasi
hepatitis akut D sekitar 3-7 minggu. Keluhan pada masa preikterik
biasanya merasa lemah, tak suka makan, mual, keluhan-keluhan seperti
flu. Fase ikterus ditandai dengan feses pucat, urine berwarna gelap dan
bilirubin serum meningkat. Keluhan kelemahan umum dan mual dapat
bertahan lama bahkan pada fase penyembuhan. Superinfeksi VHD pada
hepatitis kronik B biasanya akan menimbulkan hepatitis akut berat, dengan
masa inkubasi pendek, dan kira-kira 80% pasien akan berlanjut menjadi
hepatitis kronik D. Hepatitis kronik D akibat superinfeksi biasanya berat,
progresif, dan sering berlanjut menjadi sirosis hati.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama dengan infeksi VHB. Pada
masa inkubasi (koinfeksi HVB-HVD), dapat dijumpai HBsAg, HBeAg,
dan DNA HVB, IgM anti HVD, RNA HVD, HDAg, anti HBc akan
terdeteksi bila penyakit berlanjut, anti-HVD terdeteksi pada akhir masa
akut dan kemudian akan menurun titernya setelah penyakit membaik dan
semua petanda replikasi virus baik B maupun D akan menghilang pada
masa penyembuhan. Sedangkan IgG maupun IgM anti-HVD dapat
bertahan sampai beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah sembuh.
Superinfeksi VHD-HVB, memberikan tanda : didapatkan tanda viremia
HVD yakni RNA VHD dan HVDAg selama fase preakut, dan selama fase
akut didapatkan IgM anti-HVD dan IgG anti-HVD dalam titer tinggi dan
keduanya dapat bertahan seterusnya pada infeksi persisten.

Radiologi
Ultrasonografi kuadran kanan atas membantu dalam evaluasi obstruksi
bilier dan karsinoma hepatoseluler.

Lakukan cholescintigraphy (asam hidroksi iminodiacetic) untuk


menyingkirkan kolesistitis akut, jika diindikasikan secara klinis.

Lakukan pemindaian computed tomography (CT) atau magnetic resonance


imaging (MRI) jika dicurigai ada karsinoma hepatoseluler.
Diagnosis Banding
Kondisi berikut juga harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding
hepatitis D:
a) Drug Induced hepatitis
b) Keracunan jamur
c) Obstruksi kantung empedu
d) Hepatitis A
e) Hepatitis B
f) Hepatitis C
g) Hepatitis E
h) Abses hati

Tatalaksana
Infeksi yang sembuh spontan
a) Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang
akan menyebabkan dehidrasi.
b) Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat
1) Tidak ada rekomendasi diet khusus
2) Makan pagi dengan porsi yang cukup besar merupakan
makanan yang paling baik ditoleransi.
3) Menghindari konsumsi alcohol selama fase akut
c) Aktivitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus dihindari
d) Pembatasan aktivitas sehari-hari tergantung dari derajat kelelahan
dan malaise.
e) Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis D. Kortikosteroid
tidak bermanfaat.
f) Obat-obat tidak perlu harus dihentikan.

Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi infeksi HDV mungkin termasuk yang berikut:
a) Gagal hati
b) Karsinoma hepatoseluler
c) Manifestasi autoimun, sering kali termasuk antibodi antinuklear
dan antibodi otot polos.

Prognosisnya sangat baik untuk pasien koinfeksi yang pengobatannya


membasmi kedua virus tersebut.

Prognosis bervariasi untuk pasien yang superinfeksi. Itu tergantung pada


durasi dan tingkat keparahan infeksi virus hepatitis B (HBV), konsumsi
alkohol, penyakit penyerta, dan usia.

Pada pasien yang menjalani transplantasi hati untuk penyakit hati kronis
akibat infeksi HBV dan virus hepatitis D (HDV), HDV tampaknya
menekan replikasi HBV di hati yang ditransplantasikan dan dapat
membantu memperpanjang kelangsungan hidup cangkok. Namun,
hepatitis fulminan dari infeksi HBV dan HDV berulang di hati yang
ditransplantasikan telah mengakibatkan kematian pasien atau kebutuhan
untuk transplantasi ulang.

6. Hepatitis E
Epidemiologi
HEV RNA terdapat dalam serum dan tinja selama fase akut. Hepatitis
sporadik sering terjadi pada anak dan dewasa muda di negara sedang
berkembang. Penyakit ini epidemi dengan sumber penularan melalui air.
Pernah dilaporkan adanya tranmisi maternal-neonatal dan di negara maju
sering berasal dari orang yang kembali pulang setelah melakukan
perjalanan, atau imigran baru dari daerah endemik. Viremia yang
memanjang atau pengeluaran di tinja merupakan kondisi yang tidak sering
dijumpai. Penyebaran virus ini diduga disebarkan juga oleh unggas, babi,
binatang buas dan binatang peliharaan yang mengidap virus ini. Kekebalan
sepanjang hidup terjadi setelah fase pemulihan.

Beban penyakit global hepatitis E telah dilaporkan setidaknya 20 juta


kasus / tahun dengan 70.000 kematian dan 3.000 lahir mati. Hepatitis E
tersebar di seluruh dunia, tetapi faktor yang mendominasi termasuk iklim
tropis, sanitasi yang tidak memadai, dan kebersihan pribadi yang buruk.
Ini paling sering ditemukan di negara-negara berkembang dekat
khatulistiwa, baik di belahan Timur dan Barat. Wilayah dengan tingkat
prevalensi lebih dari 25% termasuk Amerika Tengah, Timur Tengah, dan
sebagian besar Afrika dan Asia. Wabah dikaitkan dengan musim hujan,
banjir, dan kepadatan penduduk.

Kontaminasi pasokan air dengan kotoran manusia sering menjadi sumber


epidemi. Wabah terbesar dilaporkan di Cina Timur Laut, dengan 100.000
orang terjangkit antara 1986 dan 1988. Waduk HEV tidak diketahui, tetapi
diyakini bahwa virus dapat ditularkan melalui hewan. Epidemi hepatitis E
yang ditularkan melalui air terutama menyerang orang dewasa muda,
tingkat serangan klinis tertinggi di antara mereka yang berusia 15-35
tahun. Pria terinfeksi secara klinis 2-5 kali lebih sering daripada wanita di
sebagian besar wabah. Namun, tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam
pajanan terhadap HEV.

Etiologi
HEV merupakan virus RNA dengan diameter 27-34 mm. Pada manusia
hanya terdiri atas satu serotipe dengan empat sampai lima genotipe utama.
Genome RNA dengan tiga overlap ORF (open reading frame) mengkode
protein struktural dan protein non-struktural yang terlibat pada replikasi
HEV. Virus dapat menyebar pada sel embrio diploid paru akan tetapi
replikasi hanya terjadi pada hepatosit.

Patofisiologi
Pada keadaan biasa, tak satupun virus hepatitis bersifat sitopatik langsung
terhadap hepatosit, tetapi merupakan respon imunologik dari host. Lesi
morfologik dari semua tipe hepatitis sama, terdiri dari infiltrasi sel PMN
pan lobuler, terjadi nekrosis sel hati, hiperplasia dari sel-sel kupffer dan
membentuk derajat kolestasis yang berbeda-beda. Regenerasi sek hati
terjadi, dibuktikan dengan adanya gambaran mitotik, sel-sel multinuklear
dan pembentukan rosette atau pseudoasinar. Infiltrasi mononuklear terjadi
terutama oleh limfosit kecil, walaupun sel plasma dan sel eosinofil juga
sering tampak. Kerusakan sel hati terdiri dari degenerasi dan nekrosis sel
hati, sel dropout, ballooning dan degenerasi asidofilik dari hepatosit.
Masih belum jelas peranan antibodi IgM dan lama waktu antibodi IgG
yang terdeteksi dalam kaitannya dengan imunitas.

Gejala Klinis
Pada infeksi yang sembuh spontan:
a) spectrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata
sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut.
b) Sindrom klinis mirip pada semua virus penyebab mulai dari gejala
prodromal yang tidak spesifik dan gejala gastrointestinal, seperti:
malaise, anoreksia, mual dan muntah. Gejala flu, faringitis, batuk,
sakit kepala dan myalgia.
c) Gejala awal cenderung muncul mendadak pada HAV dan HEV
d) Demam jarang ditemukan, kecuali pada infeksi HAV.
e) Gejala prodromal menghilang pada saat timbul kuning, tetapi
gejala anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap.
f) Icterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus
(biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika icterus
meningkat.
g) Pemeriksaan fisik menunjukan pembesaran dan sedikit nyeri tekan
pada hati.
h) Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien.

Pemeriksaan Penunjang

Gambar 6.1. pemeriksaan laboratorium berbending dengan waktu dari


mulai paparan virus hepatitis E.

Diagnosis hepatitis E pada pemeriksaan serologis dengan metode ELISA


seperti anti-HEV, IgG dan IgM anti-HEV dan PCR serum dan kotoran
untuk mendeteksi HEV-RNA serta immunofluorescent terhadap antigen
HEV di serum dan sel hati.

Peningkatan kadar aminotransferase serum adalah tanda laboratorium


hepatitis virus akut. Level serum alanine aminotransferase (ALT) biasanya
lebih tinggi dari level serum aspartate aminotransferase (AST). Tingkat
aminotransferase dapat berkisar dari 10 kali batas atas normal hingga lebih
dari 20 kali batas atas normal. Mereka meningkat dengan cepat dan
memuncak dalam 4-6 minggu setelah onset tetapi umumnya kembali
normal dalam 1-2 bulan setelah keparahan puncak penyakit telah berlalu.
Tingkat serum alkalin fosfatase mungkin normal atau sedikit meningkat
(<3 kali batas atas normal). Kadar bilirubin serum biasanya berkisar antara
5-20 mg / dL, tergantung luasnya kerusakan hepatosit. Pasien dapat
mengembangkan leukopenia dengan neutropenia atau limfopenia. Waktu
protrombin yang berkepanjangan, penurunan albumin serum, dan bilirubin
yang sangat tinggi adalah tanda-tanda kegagalan hati yang akan datang
yang memerlukan rujukan ke pusat transplantasi hati.

Lakukan kultur darah jika pasien demam dan hipotensi dengan


peningkatan jumlah sel darah putih (WBC). Dapatkan kadar asetaminofen
serum jika dicurigai overdosis.

Studi Radiologi
Radiografi perut tidak berperan dalam mengevaluasi hepatitis virus akut
kecuali diindikasikan secara klinis.

Ultrasonografi perut dianjurkan. Ini membantu untuk menyingkirkan


penyebab ekstra hati dari obstruksi bilier, yang mungkin ada bersamaan
dengan adanya infeksi virus hepatitis E. (HEV). Ini juga dapat
menunjukkan adanya hati yang membesar dan adanya penyakit hati lanjut,
seperti splenomegali, asites, atau aliran hepatofugal dari sistem vena
portal.
Diagnosis Banding
Beberpa diagnosis banding hepatitis E adalah:
a) Hepatitis A
b) Hepatitis B
c) Hepatitis C
d) Hepatitis D
e) Kerusakan hati akibat obat (terutama izoniazid)

Hepatitis E akut muncul dengan gambaran histologis dan biokimia dari


hepatitis autoimun dan, dengan demikian, infeksi HEV akut dapat salah
diklasifikasikan sebagai onset hepatitis autoimun de novo — pengobatan
dengan imunosupresan pada pasien yang terinfeksi HEV akut dapat
mempercepat perkembangan histologis. Oleh karena itu, pada pasien
dengan hepatitis autoimun yang akan diobati dengan steroid dosis rendah
dengan atau tanpa azathioprine, pemeriksaan serologis rutin untuk infeksi
HEV sangat dianjurkan pada pemeriksaan awal. Pasien dengan hepatitis
autoimun yang mengalami peningkatan kadar enzim hati yang tidak dapat
dijelaskan juga harus diuji untuk HEV RNA.

Tatalaksana
Penyakit akut dapat menyebabkan anoreksia, mual, dan muntah, yang
menyebabkan pasien mengalami dehidrasi. Gejala ini cenderung
memburuk pada sore atau malam hari. Pasien harus berusaha menelan
banyak kalori di pagi hari. Saat mereka membaik, sering makan kecil
mungkin lebih baik ditoleransi. Rawat inap harus dipertimbangkan untuk
pasien dehidrasi. Baik multivitamin maupun persyaratan diet khusus tidak
diperlukan.

Pasien harus diizinkan untuk melakukan tingkat aktivitas apa pun yang
dapat mereka toleransi. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa tirah
baring mempercepat pemulihan. Ini sebenarnya dapat memperlambat
pemulihan.

Tatalaksana HEV akut


Hepatitis E akut pada orang yang imunokompeten biasanya hanya
memerlukan pengobatan simtomatik, karena hampir semuanya dapat
membersihkan virus secara spontan. Sebuah laporan menunjukkan
peningkatan yang signifikan dari enzim dan fungsi hati pada pasien
dengan hepatitis E akut berat yang diobati dengan ribavirin selama 21 hari.
Meskipun terapi ribavirin dikontraindikasikan pada kehamilan karena
teratogenisitas, risiko HEV yang tidak diobati pada ibu dan janin tinggi,
dan uji coba terapi antivirus mungkin bermanfaat.

Tatalaksana HEV kronis


Terapi antivirus harus dipertimbangkan untuk pasien yang terapi
imunosupresifnya tidak dapat dikurangi dan untuk mereka yang tidak
mencapai pembersihan virus setelah pengurangan imunosupresi. Meskipun
datanya terbatas, monoterapi ribavirin (600-1000 mg / hari) selama
minimal 3 bulan tampaknya menjadi pilihan pengobatan pertama untuk
pasien dengan hepatitis E kronis yang tidak dapat membersihkan HEV
setelah penekanan kekebalan berkurang. Namun, adanya mutasi G1634 di
domain RdRp protein HEV ORF1 dilaporkan terkait dengan kegagalan
pengobatan ribavirin. Dalam situasi ini, interferon alfa pegilasi dapat
digunakan sebagai pilihan pengobatan alternatif jika tidak ada
kontraindikasi. Tampaknya ribavirin menyebabkan mutagenesis HEV
pada pasien yang diobati, dan mutan yang berbeda dalam populasi virus
terjadi selama terapi ribavirin.

Pengobatan dengan interferon alfa pegilasi selama 3-12 bulan telah


menyebabkan pembersihan berkelanjutan dari HEV RNA pada pasien
dengan hepatitis E kronis yang menjalani transplantasi hati. Namun, terapi
interferon dapat menyebabkan efek samping yang signifikan dan
penolakan organ pada penerima transplantasi, terutama mereka yang telah
menjalani transplantasi jantung atau ginjal.
Komplikasi dan Prognosis
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi:
a) Akut atau subakut nekrosis hati
b) Hepatitis kronis
c) Sirrois hepatis
d) Gagal hati

Tidak ada kasus kronis hepatitis E akut yang dilaporkan. Infeksinya


sembuh sendiri. Apakah imunoglobulin pelindung berkembang melawan
infeksi ulang di masa depan masih belum diketahui. Tingkat kematian
kasus secara keseluruhan adalah 4%.

Di antara wanita hamil, angka kematian kasus adalah 20%, dan angka ini
meningkat selama trimester kedua dan ketiga. Penyebab kematian yang
dilaporkan termasuk ensefalopati dan koagulasi intravaskular diseminata.
Tingkat gagal hati fulminan pada wanita hamil yang terinfeksi tinggi.

Dalam studi observasi prospektif 3 tahun (2010-2013) terhadap 55 wanita


India yang bergejala anti-HEV IgM-positif, angka kematian ibu secara
keseluruhan adalah 5%, termasuk satu kematian antenatal. Komplikasi
janin yang paling umum adalah prematuritas (80%) dan ketuban pecah
dini (11%), dengan tingkat penularan vertikal 28%.

7. Batu pada hepar dan vesica felea


Cholelithiasis (batu empedu)
Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangka angka kejadian di
Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara
(Syamsuhidayat, 2005; Lesmana, 2006). Peningkatan insiden batu empedu
dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut ”5 Fs” : female
(wanita), fertile (subur)khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), fair
(kulit putih), dan forty (empat puluh tahun) (Reeves, 2001). Kolelitiasis
dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun, semakin banyak
faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis (Sarr, 1996; Clinic Staff, 2008; Heuman, 2011).
Etiologi
Batu empedu kolesterol, batu empedu pigmen hitam, dan batu empedu
pigmen coklat memiliki patogenesis yang berbeda dan faktor risiko yang
berbeda.

Faktor resiko cholelithiasis


a) Genetik Batu empedu memperlihatkan variasi genetik.
Kecenderungan membentuk batu empedu bisa berjalan dalam
keluarga. Di negara Barat penyakit ini sering dijumpai, di USA 10-
20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. 26 Batu
empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih
dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di
negara lain selain USA, Chili dan Swedia (Bateson M, 1996;
Kasper, 2005).

b) Umur Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50


tahun. Sangat sedikit penderita batu empedu yang dijumpai pada
usia remaja, setelah itu dengan semakin bertambahnya usia
semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu,
sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga
orang (Latchieet, 1996; Henry, 2005)

c) Jenis Kelamin Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari
pada laki-laki dengan perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-
laki dewasa menderita batu kandung empedu, sementara di Italia
20 % wanita dan 14 % laki-laki. (Garden, 2007).

d) Beberapa faktor lain Faktor lain yang meningkatkan resiko


terjadinya batu empedu antara lain: obesitas, makanan, riwayat
keluarga, aktifitas fisik, dan nutrisi parenteral yang lama (Bhangu,
2007; Garden, 2007).

Patofisiologi
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan
empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu
empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu.
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi
progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus (Silbernagl, 2000).

Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada


kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu,
terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu,
terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam
empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-
sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme
lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi
lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu (Guyton, 1997; Townsend, 2004).
Gambar 7.1. Anatomi dari vesica billiaris

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui


duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti
di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan
oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus
(Sjamsuhidayat, 2005).

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan


empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan
(3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol
merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu,
kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan
kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak
larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam
bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral
kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan
lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu
rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik
(Garden, 2007).

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal
kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk
suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin
bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang
lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Hunter, 2007;
Garden, 2007).

Gejala Klinis
a) Batu kandung empedu (kolesistolitiasis)
Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak
memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala
nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik
berulang ataupun dispepsia, mual (Suindra, 2007). Studi
perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan
batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya,
adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-
benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan
gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode wakti
5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan
kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimtomatik (Hunter, 2007).
Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran
kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, 33 nyeri pascaprandial
kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan
berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah
beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu
empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering
kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris (Beat, 2008).

b) Batu saluran empedu (koledokolitiasis)


Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di
epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti
demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul
serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan
ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis
tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya
kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias
Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan
ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa
kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade
Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan
kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma
(Rachel, 2006; Alina, 2008).

Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat


serius karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin
mengancam nyawa. Batu duktus koledokus disertai dengan
bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan adanya
obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut.
Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati.
Migrasi batu empedu kecil melalui ampula Vateri sewaktu ada
saluran umum diantara duktus koledokus distal dan duktus
pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu.
Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan
ikterus obstruktif (Garden, 2007).

Pemeriksaan Penunjang
Pasien dengan kolelitiasis tanpa komplikasi atau kolik bilier sederhana
biasanya memiliki hasil tes laboratorium yang normal. Pengujian
laboratorium umumnya tidak diperlukan kecuali kolesistitis menjadi
perhatian.

Batu empedu tanpa gejala sering ditemukan secara kebetulan pada foto
polos, sonogram perut, atau pemindaian tomografi terkomputerisasi (CT)
untuk pemeriksaan proses lain. Radiografi polos memiliki peran kecil
dalam diagnosis batu empedu atau penyakit kandung empedu. Batu
kolesterol dan pigmen bersifat radiopak dan terlihat pada radiografi hanya
pada 10% -30% kasus, tergantung pada luasnya kalsifikasi.

Laboratorium
Pada pasien dengan dugaan komplikasi batu empedu, tes darah harus
mencakup hitung sel darah lengkap (CBC) dengan diferensial, panel
fungsi hati, dan amilase dan lipase.

Kolesistitis akut dikaitkan dengan leukositosis polimorfonuklear. Namun,


sepertiga dari pasien dengan kolesistitis mungkin tidak menunjukkan
leukositosis.

Dalam kasus yang parah, peningkatan ringan enzim hati dapat disebabkan
oleh luka inflamasi pada hati yang berdekatan.

Pasien dengan kolangitis dan pankreatitis memiliki nilai tes laboratorium


yang abnormal. Yang penting, nilai laboratorium abnormal tunggal tidak
mengkonfirmasi diagnosis koledocholitiasis, kolangitis, atau pankreatitis;
sebaliknya, serangkaian studi laboratorium yang koheren mengarah pada
diagnosis yang benar.

Koledocholitiasis dengan obstruksi saluran empedu umum akut (CBD)


awalnya menghasilkan peningkatan akut pada tingkat transaminase hati
(alanin dan aspartat aminotransferase), diikuti dalam beberapa jam dengan
peningkatan kadar bilirubin serum. Semakin tinggi kadar bilirubin,
semakin besar nilai prediktif untuk obstruksi CBD. Batu CBD ditemukan
pada sekitar 60% pasien dengan kadar bilirubin serum lebih dari 3 mg /
dL.

Radiologi
Radiografi abdomen tegak dan terlentang terkadang membantu dalam
menegakkan diagnosis penyakit batu empedu.

Pigmen hitam atau batu empedu campuran mungkin mengandung kalsium


yang cukup untuk tampak radiopak pada film polos. Penemuan udara di
saluran empedu pada film polos dapat menunjukkan perkembangan fistula
koledochoenteric atau kolangitis ascending dengan organisme pembentuk
gas. Kalsifikasi di dinding kandung empedu (yang disebut kandung
empedu porselen) merupakan indikasi kolesistitis kronis yang parah.

Peran utama foto polos dalam mengevaluasi pasien dengan dugaan


penyakit batu empedu adalah untuk menyingkirkan penyebab lain dari
nyeri perut akut, seperti obstruksi usus, perforasi viseral, batu ginjal, atau
pankreatitis kalsifikasi kronis.
Gambar 7.2. Kolesistitis dengan batu kecil di leher kandung empedu.
Bayangan akustik klasik terlihat di bawah batu empedu. Dinding kandung
empedu lebih besar dari 4 mm.

Gambar 7.3. Cholelithiasis. Citra ultrasound yang diperoleh dengan


transduser 3-MHz menunjukkan batu non shadowing piramidal.
Gambar 7.4. Cholelithiasis. CT kontras menunjukkan banyak batu yang
sedikit terkalsifikasi di tepi dan mengandung udara.

Gambar 7.5. MRI pada cholelithiasis. Didapatkan gambaran batu empedu


kecil.
Ultrasonografi adalah prosedur pilihan pada dugaan penyakit kandung
empedu atau empedu; ini adalah tes yang paling sensitif, spesifik, non-
invasif, dan murah untuk mendeteksi batu empedu. Selain itu, prosedur ini
sederhana, cepat, dan aman dalam kehamilan, dan tidak membuat pasien
terpapar radiasi berbahaya atau kontras intravena.

Diagnosis Banding
Pertimbangkan bahwa patologi intra-abdominal dan ekstra-abdominal
dapat muncul sebagai nyeri abdomen bagian atas, dan bahwa kondisi ini
dapat terjadi bersamaan dengan kolelitiasis. Di antara berbagai entitas
untuk dipertimbangkan adalah penyakit tukak lambung, pankreatitis (akut
atau kronis), hepatitis, dispepsia, penyakit refluks gastroesofagus (GERD),
sindrom iritasi usus besar, pneumonia, nyeri dada jantung, dan
ketoasidosis diabetikum. Anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik
harus memandu pemeriksaan lebih lanjut.

Tatalaksana
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak (Sjamsuhidayat, 2005)

Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang


meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk
menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan
kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah
pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan (Sjamsuhidayat,
2005; Rachel, 2006; Alina, 2008).

Pilihan kolesistektomi:
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan
pasien denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling
bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang
terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan
untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistitis akut.

b) Kolesistektomi laparaskopik
Koleksistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun
1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan
secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang
dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding
operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan
mengurangi komplikasi pada jantung dan paruparu Kandung
empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat
sayatan kecil di dinding perut.

Gambar 7.6. Kolesistektomi laparaskopi

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik


tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini
pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu
duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini
dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien
dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan
dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi
seperti cedera 37 duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi
lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi (Garden, 2007).

Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya
nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat
dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung
lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam
kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat
menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi
kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau
duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan
permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung
empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan
peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu (Alina,
2008).

Prognosis
Kurang dari separuh pasien dengan batu empedu menjadi bergejala. Angka
kematian untuk kolesistektomi elektif adalah 0,5% dengan morbiditas
kurang dari 10%. Angka kematian akibat kolesistektomi yang muncul
adalah 3% -5% dengan morbiditas 30% -50%.
Setelah kolesistektomi, batu dapat muncul kembali di saluran empedu.
Secara terpisah, kolesistektomi laparoskopi insisional tunggal tampaknya
dikaitkan dengan tingkat hernia insisional 8%, dengan usia (≥50 tahun)
dan indeks massa tubuh (BMI) (≥30 kg / m2) sebagai faktor prediktif
independen.

Sekitar 10% -15% pasien memiliki koledocholitiasis terkait. Prognosis


pada pasien dengan choledocholithiasis tergantung pada ada dan beratnya
komplikasi. Dari semua pasien yang menolak operasi atau tidak layak
untuk menjalani operasi, 45% tetap asimtomatik dari choledocholithiasis,
sementara 55% mengalami berbagai tingkat komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, 2002; Kamus Kedokteran Dorland; Edisi 29, Buku Kedokteran
EGC.
Noer, Sjaifoellah H.M., Sundoro, Julitasari. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati
Edisi Pertama. Editor : H. Ali Sulaiman. Jakarta: Jayabadi. 2007.
Sanityoso, A. Hepatitis Virus Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi V. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
Pyrsopoulos N, Hepatitis B, [dikutip 7Februari2012], URL : http;//www.
emedicine.com/ped/topic982.htm
Lauer GM, Walker BD. Hepatitis C virus infection. N Engl J Med 2001.
Dienstag J.L., Isselbacher K.J.,Acute Viral Hepatitis. In: Eugene
Braunwauld et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th
Edition,McGraw Hill, 2008.
Martin A and Lemon SM, Hepatitis A virus. From discovery to Vaccines.
Hepatology: 2006.
Epidemiology and prevention of viral hepatitis A to E:anoverview 2001;
http;//www.cdc.gov/ndod/disease/hepatitis/Slideset/index.htm).
Guyton, A.C., Hall, J.E. 1997. Sistem Saluran Empedu. In: Guyton, A.C.,
Hall, J.E., editors. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th. Ed.Jakarta:
EGC. p.1028- 1029.
Lacey SR, Bernstein DR, Talavera F, et al. Hepatitis D. eMedicine
specialties. 2005.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/11a08ac9fee42c75
8eba7bb6eb00a3e5.pdf
https://emedicine.medscape.com/article/177484-overview
https://emedicine.medscape.com/article/177632-overview
https://emedicine.medscape.com/article/177792-overview
https://emedicine.medscape.com/article/178038-overview
https://emedicine.medscape.com/article/178140-overview
https://emedicine.medscape.com/article/366246-overview#a1

Anda mungkin juga menyukai