DOSEN TUTOR
dr. Rusdani, MKKK
DISUSUN OLEH
Audley Christophorus
61118008
Tn. Toni (56 tahun), sudah 2 tahun berobat teratur di Puskesmas dengan diagnosis
DM tipe 2 dan hipertensi. Akhir-akhir ini Tn. Toni mengeluh mual dan badan
terasa letih. Dari pemeriksaan fisik dokter menemukan konjungtiva anemis,
tekanan darah 170/100 mmHg, jantung LVH, hati, limpa dan ginjal tidak teraba.
Laboratorium : Hb 9 gr/dL, leukosit 8200/mm 3, LED 25/jam, albumin urine (+).
Glukosa darah sewaktu 212 mg/dL
Dokter menerangkan panjang lebar pada Tn. Toni, bahwa telah terjadi penurunan
fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus). Untuk mencegah kerusakan ginjal lebih
lanjut dokter menganjurkan pembatasan intake protein dan garam, mengendalikan
gula darah dan tekanan darah serta kontrol teratur di Poliklinik Khusus Ginjal
Hipertensi. Tn. Toni berjanji akan mematuhi semua nasehat dokter, karena Tn.
Toni sangat takut untuk cuci darah.
Glomerulosklerosis
Penurunan GFR
Kerusakan
nefron dan Filtrasi ginjal
sistem vaskuler
ginjal secara
progresif
Gagal Ginjal
Kronik
LEARNING OBJECTIVE
a) Hipovolemik
Hipovolume adalah kondisi ketidakseimbangan yang ditandai
dengan defisiensi cairan dan elektrolit diruang ekstraseluler, tetapi
proporsi antara keduanya (cairandan elektrolit) mendekati
normal.Hipovolume dikenal juga dengan sebutan dehidrasi atau
deficit volume cairan (fluid volume deficit atau FVD).
Pada saat tubuh kekurangan cairan dan elektrolit, tekanan osmotic
mengalami perubahan sehingga cairan interstisial dapat masuk ke
ruang intravaskuler.Hal ini menyebabka ruang interstisial kosong
dan cairan intrasel masuk kedalamnya.
b) Hipervolemia
Hipervolume adalah kondisi ketidakseimbangan yang ditandai
dengan kelebihan (retensi) cairan dan natrium diruang
ekstraseluler.Hipervolume dikenal juga dengan sebutan overhidrasi
atau deficit volume cairan (fluid volume acces atau FVE).
Kelebihan cairan didalam tubuh dapat menimbulkan dua
manifestasi, yaitu peningkatan volume darah dan edema. Edema
dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu edema perifer atau
edema pitting, edema nonpitting, dan edema anasrka.Edema pitting
adalah edema yang muncul didaerah perifer. Penekanan daerah
edema, akan membentuk cekungan yang tidak langsung hilang
ketika tekanan dilepaskan. Hal ini disebabkan oleh perpindahan
cairan kejaringan melalui titik tekan.Edema pitting tidak
menunjukkan kelebihan cairan yang menyeluruh.Edema nonpitting
tidak menunjukkan kelebiahan cairan ekstrasel karena umumnya
disebabkan oleh infeksi dan trauma yang menyebakan
pengumpulan serta pembekuan cairan dipermukaan jaringan.
Kelebihan cairan vaskuler meningkatkan tekanan hidrostatik cairan
dan akan menekan cairan ke permukaan interstisial. Edema
anasarka adalah edema yang terdapat diseluruh tubuh.Pada edema
anasarka, tekanan hidrostatik meningkat sangat tajam sehingga
menekan sejumlah cairan hingga ke membrane kapiler paru.
Akibatnya,terjadilah edema paru dengan manifestasi berupa
penumpukan sputum, dispnea, batuk, dan terdengar suara napas
ronki basah.
b) Hipervolemik
Air, seperti subtrat lain, berubah menjadi toksik apabila
dikonsumsi secara berlebihan dalam jangka waktu tertentu.
Intoksikasi air sering terjadi bila cairan di konsumsi tubuh dalam
kadar tinggi tanpa mengambil sumber elektrolit yang
menyeimbangi kemasukan cairan tersebut.
a) Hiponatremia
Tanda dan gejala hiponatremia meliputi rasa haus berlebihan,
denyut nadi cepat, hipotensi postural, konvulsi, membrane mukosa
kering, cemas, postural dizziness, mual, muntah, dan
diare.Hiponatremia umumnya disebabkan oleh kehilangan cairan
tubuh secara berlebihan, misalnya ketika terjadi diare atau muntah
terus menerus dalam jangka waktu lama.
b) Hipernatremia
Tanda dan gejala hipernatremia meliputi kulit dan mukosa bibir
kering, turgor kulit buruk, permukaan kulit membengkak, oliguria
atau anuria, konvulsi, suhu tubuh tinggi, dan lidah kering serta
kemerahan. Hipernatremia bisa disebabkan oleh asupan natrium
yang berlebihan,kerusakan sensasi haus, diare, disfagia, poliuria
karna diabetes insipidus, dan kehilangan cairan berlebihan dari
paru-paru.
c) Hipokalemia
hipokalemia ditandai dengan kelemahan, keletihan, dan penurunan
kemampuan otot. Selain itu kondisi ini juga ditandai denga distensi
usus, penurunan bising usus, denyut jantung (aritmia) tidak
beraturan, penurunan tekanan darah, tidak napsu makan, dan
muntah-muntah.
d) Hiperkalemia
Tanda dan gejala hiperkalemia meliputi rasa cemas, iritabilitas,
hipotensi, parastesia, mual, hiperaktivitas system pencernaan,
kelemahan, dan aritmia.Hiperkalemia ini berbahaya karena dapat
menghambat transmisi impuls jantung dan dapat menyebabkan
serangan jantung.
e) Hipokalsemia
Hipokalsemia ditandai dengan terjadinya kram otot dan kram perut
kejang (spasme) dan tetani, peningkatan motilitas gastrointestinal,
gangguan kardiovaskuler dan osteoporosis.
f) Hiperkalsemia
Hiperkalsemia ditandai dengan penurunan kemampuan otot, mual,
muntah, anoreksia, kelemahan dan letargi, nyeri pada tulang, dan
serangan jantung.Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang
mengalami pengangkatan kelenjar tiroid dan mengkonsumsi
vitamin D secara berlebihan.
g) Hipofosfatemia
Hiposfatemia antara lain ditandai dengan anoreksia, parastesia,
kelemahan otot, dan pusing. Kondisi ini dapat terjadi karena
pengosumsian alcohol secara berlebihan, malnutrisi,
hipertiroidisme, dan ketoasidosis diabetes.
h) Hiperfosfatemia
Hiperfosfatemia antara lain ditandai dengan peningkatan
eksitabilitas system saraf pusat, spasme otot, konvulsi dan tetani,
peningkatan gerakan usus, ganggua kardiovaskuler, dan
osteoporosis. Kondisi ini dapat terjadi pada kasus gagal ginjal atau
pada saat kadar hormon paratiroid menurun.
b) Hipervolemik
Gejala overhidrasi meliputi, sesak nafas, edema, peningkatan
tekanan vena jugular, edema paru akut dan gagal jantung. Dari
pemeriksaan lab dijumpai hiponatremi dalam plasma.
Terapi terdiri dari pemberian diuretik(bila fungsi ginjal baik),
ultrafiltrasi atau dialisis (fungsi ginjal menurun), dan flebotomi
pada kondisi yang darurat.
b) Hipernatremia
Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (yang
disebabkan oleh diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus,
keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan.
Pengobatan hipernatremia bertujuan untuk mengembalikan
osmolalitas plasma normal serta mengoreksi penyebab yang
mendasari. Defisit air umumnya harus diperbaiki dalam 48 jam
dengan larutan hipotonik seperti 5% dextrose dalam air. Kelainan
pada volume ekstraseluler juga harus diperbaiki. Namun, koreksi
yang cepat dari hipernatremia dapat mengakibatkan kejang, edema
otak, kerusakan saraf permanen, dan bahkan kematian.
c) Hipokalemia
Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi
(alkalosis, hipomagnesemia, obatobatan), infuse potasium klorida
sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia >2 mEq/L) atau infus
potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh
EKG (untuk hipokalemia berat <2mEq/L, disertai perubahan EKG
dan kelemahan otot yang hebat)
d) Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah jika kadar kalium > 5 mEq/L. Hiperkalemia
sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat yang membatasi
ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik).
Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat
(parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik,
perubahan EKG). Efek paling penting dari hiperkalemia berada di
otot rangka dan jantung. Kelemahan otot rangka pada umumnya
tidak terlihat sampai plasma [K +] lebih besar dari 8 mEq / L, dan
karena depolarisasi berkelanjutan spontan dan inaktivasi kanal Na
+ membran otot, akhirnya mengakibatkan kelumpuhan. Perubahan
EKG berlaku secara berurutan dari simetris memuncak gelombang
T (sering dengan interval QT memendek) → pelebaran kompleks
QRS → perpanjangan interval P-R → hilangnya gelombang P →
hilangnya amplitudo R-gelombang → depresi segmen ST (kadang-
kadang elevasi) → EKG yang menyerupai gelombang sinus,
sebelum perkembangan fibrilasi ventrikel dan detak jantung.
e) Hipokalsemia
Seperti yang diketahui, hipokalsemia adalah suatu kondisi yang
gawat darurat karena menyebabkan kejang umum dan henti
jantung. Dapat diberikan 20-30 ml preparat kalsium glukonas 10%
atau CaCl 10% dapat diulang 30-60 menit kemudian sampai
tercapai kadar kalsium plasma yang optimal. Pada kasus kronik,
dapat dilanjutkan dengan terapi per oral.
f) Hiperkalsemia
Terapi pertama untuk hiperkalsemia bergejala adalah pemenuhan
volume. Kasus yang lebih parah memerlukan infus garam dengan
diuretik loop bersamaan (misalnya furosemid) untuk meningkatkan
ekskresi kalsium dan menurunkan kadar dengan cepat. Terapi lain,
diuraikan di bawah, adalah untuk manajemen jangka panjang.
Namun, perlu diketahui bahwa tidak ada terapi saat ini yang secara
umum efektif untuk terapi rawat jalan jangka panjang. Perawatan
definitif seringkali membutuhkan manajemen bedah untuk
penyebab yang mendasari.
g) Hipofosfatemia
Perawatan medis untuk hipofosfatemia sangat bergantung pada tiga
faktor: penyebab, keparahan, dan durasi. Distribusi fosfat
bervariasi di antara pasien, jadi tidak ada formula yang dapat
diandalkan untuk menentukan besarnya defisit fosfat. Rata-rata
pasien membutuhkan 1000-2000 mg (32-64 mmol) fosfat per hari
selama 7-10 hari untuk mengisi kembali simpanan tubuh.
h) Hiperfosfatemia
Strategi utama untuk mengobati hiperfosfatemia adalah sebagai
berikut:
1) Batasan asupan fosfat: Pasien dengan penyakit ginjal kronis
disarankan untuk menghindari makanan yang sangat tinggi
fosfat; makanan tinggi fosfat termasuk produk susu; daging,
kacang-kacangan, dan makanan berprotein tinggi lainnya;
makanan yang diproses; dan cola hitam. Pedoman Penyakit
Ginjal: Meningkatkan Hasil Global (KDIGO) mencatat
bahwa masuk akal untuk mempertimbangkan sumber fosfat
dalam membuat rekomendasi makanan, karena sekitar 40%
-60% fosfat hewani diserap, dibandingkan dengan 20% -
50% dari nabati. fosfat, dan makanan segar dan buatan
sendiri lebih disukai daripada makanan olahan, yang sering
mengandung aditif fosfat anorganik.
2) Peningkatan ekskresi fosfat ginjal: Hiperfosfatemia karena
lisis tumor merespons peningkatan kehilangan urin melalui
diuresis garam paksa
3) Kondisi klinis yang paling sering membutuhkan
pembatasan konsumsi adalah gagal ginjal. Karena
penyerapan usus fosfat dan kandungan fosfat dalam
makanan khas tinggi, pemeliharaan homeostasis fosfat
bergantung pada ekskresi ginjal dari kelebihan yang
tertelan. Oleh karena itu, ketika gagal ginjal berkembang
dan terjadi hiperfosfatemia, satu-satunya cara untuk
mengendalikannya adalah dengan membatasi asupan.
5. Epidemiologi
Pada 2017, 697,5 juta kasus CKD (Chronic Kidney Disease) (semua
stadium) tercatat di seluruh dunia, dengan prevalensi global 9,1%. Dari
tahun 1990 hingga 2017, prevalensi PGK semua usia global meningkat
29,3%, sedangkan prevalensi standar usia tetap stabil. Secara global, 1,2
juta orang meninggal karena CKD pada tahun 2017. Angka kematian
semua usia global akibat CKD meningkat 41,5% dari tahun 1990 hingga
2017. Nefropati diabetik menyumbang hampir sepertiga dari tahun hidup
yang disesuaikan dengan kecacatan (DALYs) dari CKD. Sebagian besar
beban PGK terkonsentrasi pada tiga kuintil terendah Indeks Sosial
Demografi (SDI).
Menurut NIDDK, kejadian CKD yang diakui pada orang berusia 20-64
tahun di Amerika Serikat hanya naik sedikit dari 2000-2008 dan tetap
kurang dari 0,5%. Sebaliknya, kejadian pada orang yang berusia 65 tahun
atau lebih meningkat dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2008, dari
sekitar 1,8% menjadi sekitar 4,3%.
6. Etiologi
Beberapa etiologi gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut:
a) Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah inflamasi nefron, terutama pada
glomerulus. Glomerulonefritis terbagi menjadi dua, yaitu
glomerulonefritis akut dan glomerulonefritis kronis.
Glomerulonefritis akut seringkali terjadi akibat respon imun
terhadap toksin bakteri tertentu (kelompok streptokokus beta A).
Glomerulonefritis kronis tidak hanya merusak glomerulus tetapi
juga tubulus. Inflamsi ini mungkin diakibatkan infeksi
streptokokus, tetapi juga merupakan akibat sekunder dari penyakit
sistemik lain atau glomerulonefritis akut (Sloane, 2004).
b) Pielonefritis kronis
Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi
bakteri. Inflamasi dapat berawal di traktus urinaria bawah
(kandung kemih) dan menyebar ke ureter, atau karena infeksi yang
dibawa darah dan limfe ke ginjal. Obstruksi kaktus urinaria terjadi
akibat pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal, atau defek
kongenital yang memicu terjadinya pielonefritis (Sloane, 2004).
c) Batu ginjal
Batu ginjal atau kalkuli urinaria terbentuk dari pengendapan garam
kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat
mengalir bersama urine, batu yang lebih besar akan tersangkut
dalam ureter dan menyebabkan rasa nyeri yang tajam (kolik ginjal)
yang menyebar dari ginjal ke selangkangan (Sloane, 2004).
d) Penyakit polikistik ginjal
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral,
dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan (Price
dan Wilson, 2012).
7. Patofisiologi
Patofisiologi GGK (Gagal Ginjal Kronik) pada awalnya tergantung dari
penyakit yang mendasarinya. Namun, setelah itu proses yang terjadi
adalah sama. Pada diabetes melitus, terjadi hambatan aliran pembuluh
darah sehingga terjadi nefropati diabetik, dimana terjadi peningkatan
tekanan glomerular sehingga terjadi ekspansi mesangial, hipertrofi
glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi yang
mengarah pada glomerulosklerosis (Sudoyo, 2009). Tingginya tekanan
darah juga menyebabkan terjadi GGK. Tekanan darah yang tinggi
menyebabkan perlukaan pada arteriol aferen ginjal sehingga dapat terjadi
penurunan filtrasi (Rahman,dkk, 2013).
Pada pasien GGK, terjadi peningkatan kadar air dan natrium dalam tubuh.
Hal ini disebabkan karena gangguan ginjal dapat mengganggu
keseimbangan glomerulotubular sehingga terjadi peningkatan intake
natrium yang akan menyebabkan retensi natrium dan meningkatkan
volume cairan ekstrasel. Reabsorbsi natrium akan menstimulasi osmosis
air dari lumen tubulus menuju kapiler peritubular 12 sehingga dapat terjadi
hipertensi .Hipertensi akan menyebabkan kerja jantung meningkat dan
merusak pembuluh darah ginjal. Rusaknya pembuluh darah ginjal
mengakibatkan gangguan filtrasi dan meningkatkan keparahan dari
hipertensi (Rahman, 2013).
Thaker dkk menemukan hubungan yang kuat antara episode cedera ginjal
akut (AKI) dan risiko kumulatif untuk perkembangan CKD lanjut pada
pasien diabetes mellitus yang mengalami AKI di beberapa rawat inap.
AKI apa pun versus tanpa AKI adalah faktor risiko untuk CKD stadium 4,
dan setiap episode AKI tambahan menggandakan risiko itu.
8. Manifestasi Klinis
Pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK) stadium 1-3 (laju filtrasi
glomerulus [GFR]> 30 mL / menit / 1,73 m²) seringkali asimtomatik;
dalam hal kemungkinan gejala "negatif" yang terkait dengan penurunan
GFR, mereka tidak mengalami gangguan yang terbukti secara klinis pada
keseimbangan air atau elektrolit atau gangguan endokrin / metabolik.
Umumnya, gangguan ini menjadi nyata secara klinis dengan CKD stadium
4-5 (GFR <30 mL / menit / 1,73 m²). Pasien dengan penyakit
tubulointerstitial, penyakit kistik, sindrom nefrotik, dan kondisi lain yang
terkait dengan gejala "positif" (misalnya, poliuria, hematuria, edema) lebih
mungkin untuk mengembangkan tanda-tanda penyakit pada tahap awal.
Diagnosa Banding
Beberapa diagnosis banding gagal ginjal kronik:
a) Renal Artery Stenosis
Aliran darah ginjal 3 sampai 5 kali lipat lebih besar daripada
perfusi ke organ lain karena mendorong filtrasi kapiler glomerulus.
Baik tekanan hidrostatik kapiler glomerulus maupun aliran darah
ginjal merupakan penentu penting dari laju filtrasi glomerulus
(GFR).
e) Nefrosklerosis
Istilah nefrosklerosis hipertensi secara tradisional digunakan untuk
menggambarkan sindrom klinis yang ditandai dengan hipertensi
esensial jangka panjang, retinopati hipertensi, hipertrofi ventrikel
kiri, proteinuria minimal, dan insufisiensi ginjal progresif.
Kebanyakan kasus didiagnosis hanya berdasarkan temuan klinis.
Faktanya, sebagian besar literatur yang didedikasikan untuk
nefrosklerosis hipertensi didasarkan pada asumsi bahwa gagal
ginjal progresif pada pasien dengan hipertensi jangka panjang,
proteinuria sedang, dan tidak ada bukti yang menunjukkan
diagnosis alternatif yang mencirikan nefrosklerosis hipertensi.
Nitrogen urea darah (BUN) dan serum kreatinin akan meningkat pada
pasien dengan PGK. Hiperkalemia atau kadar bikarbonat rendah mungkin
ada. Kadar albumin serum juga dapat diukur, karena pasien mungkin
mengalami hipoalbuminemia akibat kehilangan protein urin atau
malnutrisi. Profil lipid harus dilakukan pada semua pasien dengan PGK
karena risiko penyakit kardiovaskular.
Gambar 10.1. Tabel klasifikasi derajat gagal ginjal kronik bedasarkan LFG
Urinalisis
Pada pasien dewasa yang tidak berisiko tinggi untuk CKD, skrining
dengan protein total dapat dilakukan dengan dipstik urin standar, menurut
pedoman dari Inisiatif Kualitas Hasil Penyakit Ginjal National Kidney
Foundation (KDOQI). Jika tes dipstik positif (1+ atau lebih), pasien harus
menjalani tes untuk konfirmasi proteinuria.
Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi ginjal berguna untuk menyaring hidronefrosis, yang
mungkin tidak diamati pada obstruksi awal, atau keterlibatan
retroperitoneum dengan fibrosis, tumor, atau adenopati difus. Ginjal kecil
ekogenik diamati pada gagal ginjal lanjut.
Sebaliknya, ginjal biasanya berukuran normal pada nefropati diabetik
lanjut, di mana ginjal yang terkena awalnya membesar karena hiperfiltrasi.
Kelainan struktur, seperti yang mengindikasikan ginjal polikistik, juga
dapat diamati pada ultrasonogram.
Tatalaksana Pengobatan
Pada penyakit ginjal kronis (CKD), dosis dan interval dosis obat yang
diekskresikan atau dimetabolisme ginjal harus disesuaikan dengan laju
filtrasi glomerulus residual (GFR). Beberapa obat dikontraindikasikan
pada gangguan ginjal sedang hingga berat karena efek yang berpotensi
serius dari akumulasi obat atau metabolit. Konsultasi rutin dari referensi
yang sesuai harus dilakukan saat meresepkan obat baru untuk pasien CKD.
12. Komplikasi
Beberapa komplikasi gagal ginjal kronik:
a) Anemia
Terjadi pada 80-90% pada pasien gagal ginjal kronik. Penyebab
utamanya adalah defisiensi eritropoetin. Defisiensei zat besi,
kehilangan darah (hematuri, pendarahan saluran cerna), masa hidup
eritrosit pendek, penekanan sumsum tulang karena substansi
uremik bisa juga menyebabkan anemia. Pemberian eritropoetin
merupakan hal yang dianjurkan, pemberian transfusi darah harus
dilakukan secara hati- hati agar tidak mengakibatkan kelebihan
cairan tubuh. Sasaran hemoglobin adalah 11-12 g/dl.
b) Osteodistrofi Renal
Komplikasi ini disebabkan oleh hiperfosfatemia yang
mengakibatkan kadar calsium dalam darah rendah (hipokalsemia).
Hipokalsemia menyebabkan hiperparatiroidisme yang
mengakibatkan osteomalasia yaitu penurunan densitas tulang yang
membuat mudah terjadinya fraktur. Cara mengatasi
hiperfosfatemia adalah pembatasan asupan fosfat menjadi 600-800
mg/hari dan pemberian pengikat fosfat contohnya kalsium asetat
dan garam magnesium.
c) Penyakit Kardiovaskular
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadi jika
kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme
sekunder yang berat. Kelebihan cairan dan hipertensi dapat
menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri (LVH) atau dilatasi
kardiomiopati. Fistula dialisi arterivena yang besar dapat
menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar sehingga
mengurangi curah jantung yang dapat digunakan oleh bagian tubuh
yang tersisa (O’Callaghan, 2009).
d) Kelainan Endokrin
Pada pria, GGK dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi
dan menyebabkan penurunan jumlah motilitas sperma. Pada wanita
sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi dan
infiltrasi. Siklus hormone pertumbuhan yang abnormal dapat turut
berkontribusi dalam menyebabkan retradasi pertumbuhan pada
anak dan kehilangan massa otot pada orang dewasa (Prabowo,
2014).
e) Hipertensi
Penyakit vaskuler merupakan penyebab utama kematian pada
PGK. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi
mungkin merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagian
besar hipertensi pada PGK disebabkan hipervolemia akibat retensi
natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa
menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tipel.
Hipertensi seperti ini biasanya memberikan respon terhadap
restriksi natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialisis.
Jika fungsi ginjal memadai, pemberian furosemid dapat
bermanfaat.
13. Prognosis
Penderita penyakit ginjal kronis (PGK) umumnya mengalami kehilangan
fungsi ginjal secara progresif dan berisiko mengalami penyakit ginjal
stadium akhir (ESRD). Tingkat perkembangan tergantung pada usia,
diagnosis yang mendasari, implementasi dan keberhasilan tindakan
pencegahan sekunder, dan pasien secara individu. Memulai terapi
penggantian ginjal kronis tepat waktu sangat penting untuk mencegah
komplikasi uremik CKD yang dapat menyebabkan morbiditas dan
kematian yang signifikan.
Tujuan Hemodialisis
Tujuan utama hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu
mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit
yang terjadi pada pasien CKD dengan ESRD. Hemodialisis efektif
mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa metabolisme tubuh, sehingga
secara tidak langsung bertujuan untuk memperpanjang umur pasien
(Kallenbach, 2015). Tujuan dari hemodialisis menurut Afrian, et al (2017)
antara lain :
a) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu
membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum,
kreatinin dan sisa metabolisme lainnya.
b) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh
yang seharusnya dikeluarkan sebagai urine saat ginjal sehat.
c) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan
fungsi ginjal
d) Menggantikan ginjal sambil menunggu program pengobatan
lainnya
Pasien yang menderita gagal ginjal kronik stage terakhir atau End-Stage
Renal Disease memerlukan rujukan untuk melakukan Renal Replacement
therapy.
United State Renal Data System.USRDS Annual Data Report Chapter 5 : Acute
Kidney Injury. 2015. Vol. 1. 57-66
Inker LA, Schmid CH, Tighiouart H, Eckfeldt JH, Feldman HI, Greene T, et al.
Estimating glomerular filtration rate from serum creatinine and cystatin
C. N Engl J Med. 2012 Jul 5. 367(1):20-9.
Laterza OF, Price CP, Scott MG. Cystatin C: an improved estimator of glomerular
filtration rate?. Clin Chem. 2002 May. 48(5):699-707.
https://emedicine.medscape.com/article/238798-clinical#b1
http://repository.unimus.ac.id/2548/2/BAB%20II.pdf
http://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/repository/
NURFRIYATNA_UTAMI_143110180_3A%281%29.pdf
https://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/
7de4f855c9453d88152fbc9f442b7a60.pdf