Anda di halaman 1dari 47

TUGAS LOGBOOK GANGGUAN SISTEM UROGENITAL

GAGAL GINJAL KRONIK

DOSEN TUTOR
dr. Rusdani, MKKK

DISUSUN OLEH
Audley Christophorus
61118008

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2021
SKENARIO I

Takut Cuci Darah

Tn. Toni (56 tahun), sudah 2 tahun berobat teratur di Puskesmas dengan diagnosis
DM tipe 2 dan hipertensi. Akhir-akhir ini Tn. Toni mengeluh mual dan badan
terasa letih. Dari pemeriksaan fisik dokter menemukan konjungtiva anemis,
tekanan darah 170/100 mmHg, jantung LVH, hati, limpa dan ginjal tidak teraba.
Laboratorium : Hb 9 gr/dL, leukosit 8200/mm 3, LED 25/jam, albumin urine (+).
Glukosa darah sewaktu 212 mg/dL

Dokter menganjurkan Tn. Toni dirujuk ke RS untuk evaluasi karena dokter


mencurigai sudah terjadi gangguan pada ginjal. Pemeriksaan laboratorium di RS
didapatkan ureum 90 mg/dl, kreatinin 3,2 mg/dl, uric acid 9 mg/dl, Na 136 mEq/L
dan K 5 mEq/L.

Dokter menerangkan panjang lebar pada Tn. Toni, bahwa telah terjadi penurunan
fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus). Untuk mencegah kerusakan ginjal lebih
lanjut dokter menganjurkan pembatasan intake protein dan garam, mengendalikan
gula darah dan tekanan darah serta kontrol teratur di Poliklinik Khusus Ginjal
Hipertensi. Tn. Toni berjanji akan mematuhi semua nasehat dokter, karena Tn.
Toni sangat takut untuk cuci darah.

Bagaimana anda menerangkan apa yang terjadi pada Tn. Toni?


SKEMA

Tn. Toni 56 Tahun

Tekanan darah: Gula darah Hb: 9 gr/dL, Pemeriksaan Pemeriksaan


170/100 mmHg Sewaktu: 212 Konjungtiva fungsi ginjal Protein Urine
mg/dL Anemis

Ureum 90 mg/dl, Albumin urine


LVH Diabetes Melitus Kreatinin 3.2
Anemia (+)
Tipe II mg/dl, Uric acid 9
mg/dl
Hipertensi
Produksi
Kronis
eritropoetin 
Nefropati Gangguan pada
Hipertensi jangka diabetik filtrasi ginjal
panjang membuat Gangguan
arteriol aferen ginjal fungsi ginjal
rusak
Berkurangnya
area filtrasi

Glomerulosklerosis

Penurunan GFR
Kerusakan
nefron dan Filtrasi ginjal 
sistem vaskuler
ginjal secara
progresif
Gagal Ginjal
Kronik
LEARNING OBJECTIVE

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi gangguan


keseimbangan cairan elektrolit
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penegakan diagnosis
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan jenis-jenis gangguan
fungsi ginjal
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi gangguan
fungsi ginjal
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi gangguan fungsi
ginjal
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi gangguan
fungsi ginjal
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis
gangguan fungsi ginjal
9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pendekatan diagnostik
dan diagnostik banding gangguan fungsi ginjal
10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang
pada gangguan fungsi ginjal
11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan
gangguan fungsi ginjal secara holistik
12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan komplikasi gangguan
fungsi ginjal
13. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan prognosis gangguan
fungsi ginjal
14. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan gangguan fungsi ginjal
yang memerluakan rujukan
PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE

1. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit


Gangguan keseimbangan cairan
Tubuh manusia pada kelahiran mengandungi sekitar 75% berat cairan. Di
usia satu bulan, nilai ini menurun menjadi 65% dan pada saat dewasa berat
cairan dalam tubuh manusia bagi pria adalah 60% dan wanita pula sekitar
50%. Selain itu, faktor kandungan lemak juga mengkontribusi kepada
kandungan cairan dalam tubuh. Semakin tinggi jumlah lemak yang
terdapat dalam tubuh, seperti pada wanits, semakin ssemakin kurang
kandungan cairan yang ada.

Nilai normal ambilan cairan dewasa adalah sekitar 2500ml, termasuk


300ml hasil metabolism tenaga susbtrat. Rata-rata kehilangan cairan
adalah sebanyak 2500ml dimana ia terbahagi kepada 1500ml hasil urin,
400ml terevaporasi lewat respiratori, 400ml lewat evaporasi kulit, 100ml
lewat peluh dan 100ml melalui tinja. Kehilangan cairan lewat evaporasi
adalah penting kerna ia memainkan peranan sebagai thermoragulasi,
dimana ia mengkontrol sekitar 20-25% kehilangan haba tubuh. Perubahan
pada kesimbanngan cairan dan volume sel bisa menyebabkan impak yang
serius seperti kehilangan fungsi pada sel, terutama ada otak.

Bentuk gangguan yang paling sering terjadi adalah kelebihan atau


kekurangan cairan yang mengakibatkan perubahan volume.

a) Hipovolemik
Hipovolume adalah kondisi ketidakseimbangan yang ditandai
dengan defisiensi cairan dan elektrolit diruang ekstraseluler, tetapi
proporsi antara keduanya (cairandan elektrolit) mendekati
normal.Hipovolume dikenal juga dengan sebutan dehidrasi atau
deficit volume cairan (fluid volume deficit atau FVD).
Pada saat tubuh kekurangan cairan dan elektrolit, tekanan osmotic
mengalami perubahan sehingga cairan interstisial dapat masuk ke
ruang intravaskuler.Hal ini menyebabka ruang interstisial kosong
dan cairan intrasel masuk kedalamnya.

Hipovolume dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya


kekurangan asupan cairan dan kelebihan asupan zat terlarut
(misalnya protein dan klorida atau natrium).kelebihan asupan zat
terlarut dapat menyebabkan eksresi atau pengeluaran urine secara
berlebih serta pengeluaran keringat yang banyak dalam waktu yang
lama.

b) Hipervolemia
Hipervolume adalah kondisi ketidakseimbangan yang ditandai
dengan kelebihan (retensi) cairan dan natrium diruang
ekstraseluler.Hipervolume dikenal juga dengan sebutan overhidrasi
atau deficit volume cairan (fluid volume acces atau FVE).
Kelebihan cairan didalam tubuh dapat menimbulkan dua
manifestasi, yaitu peningkatan volume darah dan edema. Edema
dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu edema perifer atau
edema pitting, edema nonpitting, dan edema anasrka.Edema pitting
adalah edema yang muncul didaerah perifer. Penekanan daerah
edema, akan membentuk cekungan yang tidak langsung hilang
ketika tekanan dilepaskan. Hal ini disebabkan oleh perpindahan
cairan kejaringan melalui titik tekan.Edema pitting tidak
menunjukkan kelebihan cairan yang menyeluruh.Edema nonpitting
tidak menunjukkan kelebiahan cairan ekstrasel karena umumnya
disebabkan oleh infeksi dan trauma yang menyebakan
pengumpulan serta pembekuan cairan dipermukaan jaringan.
Kelebihan cairan vaskuler meningkatkan tekanan hidrostatik cairan
dan akan menekan cairan ke permukaan interstisial. Edema
anasarka adalah edema yang terdapat diseluruh tubuh.Pada edema
anasarka, tekanan hidrostatik meningkat sangat tajam sehingga
menekan sejumlah cairan hingga ke membrane kapiler paru.
Akibatnya,terjadilah edema paru dengan manifestasi berupa
penumpukan sputum, dispnea, batuk, dan terdengar suara napas
ronki basah.

Gangguan keseimbangan elektrolit

Gangguan elektrolit adalah kondisi saat kadar elektrolit di dalam tubuh


seseorang menjadi tidak seimbang, bisa terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Ketidakseimbangan kadar elektrolit bisa menimbulkan berbagai gangguan
pada fungsi organ di dalam tubuh. Bahkan pada kasus yang berat,
gangguan elektrolit bisa menyebabkan aritmia, kejang, koma, dan gagal
jantung.

Elektrolit adalah unsur alami yang dibutuhkan untuk menjaga organ-organ


tubuh agar berfungsi normal. Fungsi tubuh yang dipengaruhi elektrolit,
antara lain adalah irama jantung, kontraksi otot, dan fungsi otak.

Ketidakseimbangan elektrolit dapat terjadi karena beberapa kondisi klinis


seperti gagal ginjal, anoreksia nervosa, diabetes mellitus, penyakit chron,
gastroenteritis, pankreatitis, cedera kepala, kanker, trauma multiple, luka
bakar, dan anemia sel sabit (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Kehilangan air dan elektrolit merupakan salah satu akibat dari direa.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik dan
gangguan sekresi di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit
meningkat kemudian terjadi diare. Penyakit saluran pencernaan seperti
gastroenteritis akan menyebabkan kehilangan cairan, kalium, dan ion-ion
klorida (Pranata, 2013).
Gangguan elektrolit umumnya disebabkan karena kehilangan cairan tubuh
melalui keringat berlebih, diare atau muntah yang berlangsung lama, atau
karena luka bakar. Obat-obatan yang dikonsumsi juga bisa menyebabkan
seseorang menderita gangguan elektrolit.

Gangguan keseimbangan elektrolit yang umum yang sering ditemukan


pada kasus- kasus di rumah sakit hanyalah beberapa saja. Keadaan-
keadaan tersebut adalah :

1) Hiponatremia dan hypernatremia


2) Hipokalemia dan hyperkalemia
3) Hipokalsemia

a) Hiponatremia (<134 mEq/L)


Adalah keadaan kekurangan kadar natrium dalam cairan ekstrasel
yang menyebabkan perubahan tekanan osmotic. Pada kondisi ini,
kadar natrium serum < 136 mEq/L dan berat jenis urin < 1,010.
Penurunan kadar natrium menyebabkan cairan berpindah dari
ruang ekstrasel ke cairan intrasel sehingga menjadi bengkak.
b) Hipernatremia (>146 mEq/L)
Hipernatremia adalah kelebihan kadar natrium dalam cairan
ekstrasel yang menyebabkan peningkatan tekanan osmotic ekstrsel.
Pada kondisi ini, kadar natrium serum >144 mEq/L dan berat jenis
urine > 11,30. Peningkatan kadar natrium menyebabkan cairan
intrasel bergerak keluar sel.
c) Hipokalemia (< 3,5 mEq/L)
Hipokalemia adalah keadaan kekurangan kadar kalium dalam
cairan ekstrasel yang menyebabkan kalium berpindah keluar sel.
Pada kondisi ini, kadar kalium serum < 3,5 mEq/L. pada
pemeriksaan EKG terdapat gelombang T datar depresi segmen ST.
d) Hiperkalemia (> 5 mEq/L)
Hiperkalemia adalah keadaan kelebihan kadar kalium dalam cairan
ekstrasel. Pada konsdisi ini, nilai kalium serum > 5 mEq/L. pada
pemeriksaan EKG terdapat gelombang T memuncak, QRS
melebar, dan PR memanjang.
e) Hipokalsemia (< 4,5 mEq/L)
Hipokalsemia adalah kondisi kekurangan kalsium dalam cairan
ekstrasel. Pada kondisi ini, kadar kalsium serum < 4,5 mEq/L serta
terjadi pemanjangan interval Q-T pada pemeriksaan EKG.
f) Hiperkalsemia (> 5,8 mEq/L)
Hiperkalsemia adalah kondisi kelebihan kadar kalsium pada cairan
ekstrasel. Pada kondisi ini, kadar kalsium serum > 5,8 mEq/L serta
terjadi peningkatan BUN akibat kekurangan cairan.
g) Hipofofatemia (< 2,8 mg/dl)
Hipofosfatemia adalah kondisi penurunan kadar ion fosfat didalam
serum. Pada kondisi ini, nilai ion fosfat < 2,8 mg/dl.
h) Hiperfosfatemia (> 4,4 mg/dl)
Hiperfosfatemia adalah kondisi peningkatan kadar ion fosfat
didalam serum. Pada kondisi ini, nilai ion fosfat > 4,4 mg/dl atau >
3,0 mEq/L.

2. Penegakan Diagnosis Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit


Gejala Gangguan Keseimbangan Cairan
a) Hipovolemik
Dehidrasi dapat terjadi pada pasien yang mengalami gangguan
pada hipotalamus, kelenjar gondok, dan ginjal.Selain itu dehidrasi
juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami diare dan muntah
secara terus menerus. Secara umum, dehidrasi dapat dibagi
menjadi tiga macam, yaitu:
1) Dehidrasi isotonic, yaitu jumlah cairan yang hilang
sebanding dengan jumlah isotonic yang hilang.
2) Dehidrasi hipertonik, yaitu jumlah cairan yang hilang lebih
besar daripada jumlah elektrolit yang hilang Poltekkes
Kemenkes Padang
3) Dehidrasi hipotonik, yaitu jumlah cairan yang hilang lebih
sedikit daripada jumlah elektrolit yang hilang. Kehilangan
cairan ekstrasel secara berlebihan dapat menyebabkan
penurunan volume ekstrasel (hipovolume) dan perubahan
hematokrit.

Tabel 2. Derajat dehidrasi dengan gejalanya.

Menurut Lyndon Saputra, Berdasarkan keparahan dehidrasi bisa


dibagi menjadi:
1) Dehidrasi ringan Pada dehidrasi ringan, tubuh kehilangan
cairan sebesar 5% dari berat badan sekitar 1,5-2 liter.
Kehilangan cairan yang berlebihan dapat berlangsung
melalui kulit, saluran pencernaan, saluran kemih, paru, atau
pembuluh darah.
2) Dehidrasi sedang Pada dehidrasi sedang, tubuh kehilangan
cairan sebesar 5-10% dari berat badan atau sekitar 2-4
liter.Natrium serum dalam tubuh mencapai 152-158 mEq/L.
salah satu cirri fisik dari penderita dehidrasi sedang adalah
mata cekung.
3) Dehidrasi berat Pada dehidrasi berat, tubuh kehilangan
cairan sebesar 4-6 liter atau lebih dari 10% dari berat
badan. Natrium serum mencapai 159-166 mEq/L. Penderita
dehidrasi berat dapat mengalami hipotensi, oliguria, turgor
kulit buruk, serta peningkatan laju pernapasan.

b) Hipervolemik
Air, seperti subtrat lain, berubah menjadi toksik apabila
dikonsumsi secara berlebihan dalam jangka waktu tertentu.
Intoksikasi air sering terjadi bila cairan di konsumsi tubuh dalam
kadar tinggi tanpa mengambil sumber elektrolit yang
menyeimbangi kemasukan cairan tersebut.

Overhidrasi terjadi jika asupan cairan lebih besar daripada


pengeluaran cairan. Kelebihan cairan dalam tubuh menyebabkan
konsentrasi natrium dalam aliran darah menjadi sangat rendah.
Penyebab overhidrasi meliputi, adanya gangguan ekskresi air lewat
ginjal (gagal ginjal akut), masukan air yang berlebihan pada terapi
cairan, masuknya cairan irigator pada tindakan reseksi prostat
transuretra, dan korban tenggelam.

Gejala overhidrasi meliputi, sesak nafas, edema, peningkatan


tekanan vena jugular, edema paru akut dan gagal jantung. Dari
pemeriksaan lab dijumpai hiponatremi dalam plasma. Terapi terdiri
dari pemberian diuretik(bila fungsi ginjal baik), ultrafiltrasi atau
dialisis (fungsi ginjal menurun), dan flebotomi pada kondisi yang
darurat.

Kelebihan cairan ekstrasel memiliki manifestasi sebagai berikut.


1) Edema perifer atau edema pitting
2) Asites
3) Kelopak mata bengkak
4) Suara napas ronki basah
5) Penambahan berat badan yng tidak normal (Lyndon
Saputra, 2013).

Gejala Gangguan Keseimbangan Elektrolit

a) Hiponatremia
Tanda dan gejala hiponatremia meliputi rasa haus berlebihan,
denyut nadi cepat, hipotensi postural, konvulsi, membrane mukosa
kering, cemas, postural dizziness, mual, muntah, dan
diare.Hiponatremia umumnya disebabkan oleh kehilangan cairan
tubuh secara berlebihan, misalnya ketika terjadi diare atau muntah
terus menerus dalam jangka waktu lama.

b) Hipernatremia
Tanda dan gejala hipernatremia meliputi kulit dan mukosa bibir
kering, turgor kulit buruk, permukaan kulit membengkak, oliguria
atau anuria, konvulsi, suhu tubuh tinggi, dan lidah kering serta
kemerahan. Hipernatremia bisa disebabkan oleh asupan natrium
yang berlebihan,kerusakan sensasi haus, diare, disfagia, poliuria
karna diabetes insipidus, dan kehilangan cairan berlebihan dari
paru-paru.

c) Hipokalemia
hipokalemia ditandai dengan kelemahan, keletihan, dan penurunan
kemampuan otot. Selain itu kondisi ini juga ditandai denga distensi
usus, penurunan bising usus, denyut jantung (aritmia) tidak
beraturan, penurunan tekanan darah, tidak napsu makan, dan
muntah-muntah.

d) Hiperkalemia
Tanda dan gejala hiperkalemia meliputi rasa cemas, iritabilitas,
hipotensi, parastesia, mual, hiperaktivitas system pencernaan,
kelemahan, dan aritmia.Hiperkalemia ini berbahaya karena dapat
menghambat transmisi impuls jantung dan dapat menyebabkan
serangan jantung.

Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien luka bakar, penyakit ginjal,


dan asidosis metabolic. Ketika terjadi hiperkalemia, salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk menormalkan kadar kalium
adalah dengan pemberian insulin karena insulin dapat membantu
kalium masuk kedalam sel.

e) Hipokalsemia
Hipokalsemia ditandai dengan terjadinya kram otot dan kram perut
kejang (spasme) dan tetani, peningkatan motilitas gastrointestinal,
gangguan kardiovaskuler dan osteoporosis.

f) Hiperkalsemia
Hiperkalsemia ditandai dengan penurunan kemampuan otot, mual,
muntah, anoreksia, kelemahan dan letargi, nyeri pada tulang, dan
serangan jantung.Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang
mengalami pengangkatan kelenjar tiroid dan mengkonsumsi
vitamin D secara berlebihan.

g) Hipofosfatemia
Hiposfatemia antara lain ditandai dengan anoreksia, parastesia,
kelemahan otot, dan pusing. Kondisi ini dapat terjadi karena
pengosumsian alcohol secara berlebihan, malnutrisi,
hipertiroidisme, dan ketoasidosis diabetes.

h) Hiperfosfatemia
Hiperfosfatemia antara lain ditandai dengan peningkatan
eksitabilitas system saraf pusat, spasme otot, konvulsi dan tetani,
peningkatan gerakan usus, ganggua kardiovaskuler, dan
osteoporosis. Kondisi ini dapat terjadi pada kasus gagal ginjal atau
pada saat kadar hormon paratiroid menurun.

3. Penatalaksanaan Gangguan Cairan dan Elektrolit


Penatalaksanaan Gangguan Cairan
a) Hipovolemik
Perawatan pasien syok hipovolemik sering kali dimulai di tempat
kejadian atau di rumah. Tim perawatan pra-rumah sakit harus
bekerja untuk mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke
rumah sakit secepat mungkin, dan memulai perawatan yang tepat
di lapangan. Tekanan langsung harus diterapkan ke pembuluh
darah eksternal untuk mencegah kehilangan darah lebih lanjut.

Pencegahan cedera lebih lanjut berlaku terutama untuk pasien


dengan trauma. Tulang belakang leher harus diimobilisasi, dan
pasien harus dilepaskan, jika memungkinkan, dan dipindahkan ke
tandu. Belat patah tulang dapat meminimalkan cedera
neurovaskular lebih lanjut dan kehilangan darah.

Meskipun dalam kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat,


transportasi cepat pasien yang sakit ke rumah sakit tetap
merupakan aspek terpenting dari perawatan pra-rumah sakit.
Perawatan pasti untuk pasien hipovolemik biasanya membutuhkan
rumah sakit, dan terkadang intervensi bedah. Setiap keterlambatan
dalam perawatan definitif, misalnya, seperti penundaan
pengangkutan, berpotensi membahayakan.
Kebanyakan intervensi pra-rumah sakit melibatkan imobilisasi
pasien (jika terjadi trauma), mengamankan jalan napas yang
memadai, memastikan ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.

Dalam pengaturan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif


dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi hasil jantung, dan
memperburuk keadaan syok. Meskipun oksigenasi dan ventilasi
diperlukan, ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat
merugikan pasien yang menderita syok hipovolemik.

Terapi hipovolemik adalah mengembalikan kondisi air dan garam


yang hilang. Jumlah dan jenis cairan yang diberikan tergantung
pada derajat dan jenis dehidrasi dan elektrolit yang hilang. Pilihan
cairan untuk koreksi dehidrasi adalah cairan jenis kristaloid RL
atau NaCl.

Perawatan yang tepat biasanya dapat dimulai tanpa menunda


pengangkutan. Beberapa prosedur, seperti memulai jalur intravena
(IV) atau belat ekstremitas, dapat dilakukan saat pasien sedang
dikeluarkan. Namun, prosedur di lapangan yang memperpanjang
pengangkutan harus ditunda. Manfaat pemberian cairan IV
sebelum berangkat dari tempat kejadian tidak jelas; Namun, jalur
IV dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan setelah
pasien dalam perjalanan ke perawatan definitif.

b) Hipervolemik
Gejala overhidrasi meliputi, sesak nafas, edema, peningkatan
tekanan vena jugular, edema paru akut dan gagal jantung. Dari
pemeriksaan lab dijumpai hiponatremi dalam plasma.
Terapi terdiri dari pemberian diuretik(bila fungsi ginjal baik),
ultrafiltrasi atau dialisis (fungsi ginjal menurun), dan flebotomi
pada kondisi yang darurat.

Penatalaksanaan Gangguan Elektrolit


a) Hiponatremia
Kondisi hiponatremia apabila kadar natrium plasma di bawah
130mEq/L. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi,
gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan,
sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang,
koma. Antara penyebab terjadinya Hiponatremia adalah euvolemia
(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli
ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia
(sirosis, nefrosis). Terapi untuk mengkoreksi hiponatremia yang
sudah berlangsung lama dilakukan secara perlahan-lahan,
sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif.

Dosis NaCl yang harus diberikan, dihitung melalui rumus berikut:


NaCl = 0,6( N-n) x BB
Keterangan:
N = Kadar Na yang diinginkan
n = Kadar Na sekarang
BB = berat badan dalam kg

b) Hipernatremia
Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (yang
disebabkan oleh diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus,
keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan.
Pengobatan hipernatremia bertujuan untuk mengembalikan
osmolalitas plasma normal serta mengoreksi penyebab yang
mendasari. Defisit air umumnya harus diperbaiki dalam 48 jam
dengan larutan hipotonik seperti 5% dextrose dalam air. Kelainan
pada volume ekstraseluler juga harus diperbaiki. Namun, koreksi
yang cepat dari hipernatremia dapat mengakibatkan kejang, edema
otak, kerusakan saraf permanen, dan bahkan kematian.
c) Hipokalemia
Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi
(alkalosis, hipomagnesemia, obatobatan), infuse potasium klorida
sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia >2 mEq/L) atau infus
potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh
EKG (untuk hipokalemia berat <2mEq/L, disertai perubahan EKG
dan kelemahan otot yang hebat)

Rumus untuk menghitung defisit kalium:


K = K1 - (K0 x 0,25 x BB)
Keterangan:
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)

d) Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah jika kadar kalium > 5 mEq/L. Hiperkalemia
sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat yang membatasi
ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik).
Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat
(parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik,
perubahan EKG). Efek paling penting dari hiperkalemia berada di
otot rangka dan jantung. Kelemahan otot rangka pada umumnya
tidak terlihat sampai plasma [K +] lebih besar dari 8 mEq / L, dan
karena depolarisasi berkelanjutan spontan dan inaktivasi kanal Na
+ membran otot, akhirnya mengakibatkan kelumpuhan. Perubahan
EKG berlaku secara berurutan dari simetris memuncak gelombang
T (sering dengan interval QT memendek) → pelebaran kompleks
QRS → perpanjangan interval P-R → hilangnya gelombang P →
hilangnya amplitudo R-gelombang → depresi segmen ST (kadang-
kadang elevasi) → EKG yang menyerupai gelombang sinus,
sebelum perkembangan fibrilasi ventrikel dan detak jantung.

Bila kadar K plasma <6,5mEq/L diberikan: Diuretik, Natrium


bikarbonat, Ca glukonas,glukonas-insulin, Kayekselate. Bila dalam
6 jam belum tampak perbaikan, dilakukan hemodialisis. Bila fungsi
ginjal jelek, pertimbangkan hemodialisis lebih dini. Pada kadar K
plasma >6,5 mEq/L, segera lakukan dialisis.

e) Hipokalsemia
Seperti yang diketahui, hipokalsemia adalah suatu kondisi yang
gawat darurat karena menyebabkan kejang umum dan henti
jantung. Dapat diberikan 20-30 ml preparat kalsium glukonas 10%
atau CaCl 10% dapat diulang 30-60 menit kemudian sampai
tercapai kadar kalsium plasma yang optimal. Pada kasus kronik,
dapat dilanjutkan dengan terapi per oral.

f) Hiperkalsemia
Terapi pertama untuk hiperkalsemia bergejala adalah pemenuhan
volume. Kasus yang lebih parah memerlukan infus garam dengan
diuretik loop bersamaan (misalnya furosemid) untuk meningkatkan
ekskresi kalsium dan menurunkan kadar dengan cepat. Terapi lain,
diuraikan di bawah, adalah untuk manajemen jangka panjang.
Namun, perlu diketahui bahwa tidak ada terapi saat ini yang secara
umum efektif untuk terapi rawat jalan jangka panjang. Perawatan
definitif seringkali membutuhkan manajemen bedah untuk
penyebab yang mendasari.

Bifosfonat menghambat resorpsi tulang osteoklastik dan efektif


dalam pengobatan hiperkalsemia karena kondisi yang
menyebabkan peningkatan resorpsi tulang dan hiperkalsemia
terkait keganasan. Pamidronate dan etidronate dapat diberikan
secara intravena, sedangkan risedronate dan alendronate mungkin
efektif sebagai terapi oral. Kalsitonin dapat diberikan secara
intramuskular atau subkutan, tetapi menjadi kurang efektif setelah
beberapa hari penggunaan. Mithramycin memblokir fungsi
osteoklastik dan dapat diberikan untuk hiperkalsemia terkait
keganasan yang parah. Ini memiliki toksisitas hati, ginjal, dan
sumsum yang signifikan.

g) Hipofosfatemia
Perawatan medis untuk hipofosfatemia sangat bergantung pada tiga
faktor: penyebab, keparahan, dan durasi. Distribusi fosfat
bervariasi di antara pasien, jadi tidak ada formula yang dapat
diandalkan untuk menentukan besarnya defisit fosfat. Rata-rata
pasien membutuhkan 1000-2000 mg (32-64 mmol) fosfat per hari
selama 7-10 hari untuk mengisi kembali simpanan tubuh.

Ketika penyebab hipofosfatemia yang dapat diobati diketahui,


maka pengobatan penyebab yang mendasari itu sangat penting dan
seringkali bersifat kuratif. Contohnya adalah sebagai berikut:
1) Pemberian kembali hipofosfatemia dapat diantisipasi pada
pasien yang memiliki riwayat alkoholisme, kelaparan, atau
anoreksia / bulimia yang kuat. Perawatan yang memadai
termasuk suplemen fosfat sebagai tambahan untuk memberi
makan dan perhatian pada gangguan makan yang
mendasari atau penyalahgunaan zat.
2) Terapi yang mungkin berhasil untuk mengobati
malabsorpsi karena penyakit celiac atau penyakit Crohn
adalah terapi khusus yang diarahkan pada penyakit yang
mendasari, dengan tambahan suplemen vitamin D.

Suplemen fosfat oral, meskipun tidak menyembuhkan, berguna


untuk pengobatan kelainan genetik dari pemborosan fosfat dan
seringkali dapat menormalkan kadar fosfat dan mengurangi nyeri
tulang. Pertimbangan pengobatan adalah sebagai berikut:
1) Kadar fosfat serum, kadar kalsium, kepadatan tulang, dan
pertumbuhan pasien harus sering dipantau untuk
memastikan kecukupan pengobatan.
2) Suplemen fosfat oral juga berguna untuk pengobatan
kemungkinan osteomalasia onkogenik sampai saat tumor
dapat diidentifikasi dan diangkat dengan pembedahan.
Suplemen fosfat oral dapat ditoleransi dengan baik kecuali
dalam dosis tinggi, yang dapat menyebabkan diare.
3) Untuk hipofosfatemia yang sangat ringan, peningkatan
asupan fosfat oral dari makanan saja mungkin cukup.
Makanan yang tinggi fosfat termasuk produk susu, daging,
dan kacang-kacangan.

h) Hiperfosfatemia
Strategi utama untuk mengobati hiperfosfatemia adalah sebagai
berikut:
1) Batasan asupan fosfat: Pasien dengan penyakit ginjal kronis
disarankan untuk menghindari makanan yang sangat tinggi
fosfat; makanan tinggi fosfat termasuk produk susu; daging,
kacang-kacangan, dan makanan berprotein tinggi lainnya;
makanan yang diproses; dan cola hitam. Pedoman Penyakit
Ginjal: Meningkatkan Hasil Global (KDIGO) mencatat
bahwa masuk akal untuk mempertimbangkan sumber fosfat
dalam membuat rekomendasi makanan, karena sekitar 40%
-60% fosfat hewani diserap, dibandingkan dengan 20% -
50% dari nabati. fosfat, dan makanan segar dan buatan
sendiri lebih disukai daripada makanan olahan, yang sering
mengandung aditif fosfat anorganik.
2) Peningkatan ekskresi fosfat ginjal: Hiperfosfatemia karena
lisis tumor merespons peningkatan kehilangan urin melalui
diuresis garam paksa
3) Kondisi klinis yang paling sering membutuhkan
pembatasan konsumsi adalah gagal ginjal. Karena
penyerapan usus fosfat dan kandungan fosfat dalam
makanan khas tinggi, pemeliharaan homeostasis fosfat
bergantung pada ekskresi ginjal dari kelebihan yang
tertelan. Oleh karena itu, ketika gagal ginjal berkembang
dan terjadi hiperfosfatemia, satu-satunya cara untuk
mengendalikannya adalah dengan membatasi asupan.

4. Jenis- jenis gangguan fungsi ginjal


a) Acute Kidney Injury (AKI)
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam
hingga 6 minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya
berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia-
tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di
Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi
AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat
membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian
istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan
patologi gangguan ginjal.

Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut


(AKI) harus mencakup: 1) sebuah assessment penyebab yang
berkontribusi dalam cedera ginjal, 2) penilaian terhadap perjalanan
klinis termasuk komorbiditas, 3) penilaian yang cermat pada status
volume, dan 4) langkah-langkah terapi yang tepat yang dirancang
untuk mengatasi atau mencegah memburuknya fungsional atau
struktural abnormali ginjal. Penilaian awal pasien dengan AKI
klasik termasuk perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab
pasca-renal.

Gagal Ginjal Akut dapat di klasifikasikan menjadi 3:


1) Gagal Ginjal Akut Pre Renal
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata
< 70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu lama,
maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu
dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi
kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan
air. Keadaan ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut
fungsional dimana belum terjadi kerusakan struktural dari
ginjal.

2) Gagal Ginjal Akut Intra Renal


Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari
beberapa penyakit parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi
primer kerusakan tubulus penyebab gagal ginjal akut inta
renal, yaitu :
1) Pembuluh darah besar ginjal
2) Glomerulus ginjal
3) Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut
4) Interstitial ginjal Gagal ginjal akut intra renal yang
sering terjadi adalah nekrosi tubular akut
disebabkan oleh keadaan iskemia dan nefrotoksin.
Pada gagal ginjal renal terjadi kelainan vaskular yang
sering menyebabkan nekrosis tubular akut. Dimana pada
NTA terjadi kelainan vascular dan tubular.

3) Gagal Ginjal Akut Post Renal


Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10%
dari keseluruhan GGA. GGA post-renal disebabkan oleh
obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal
terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide)
dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi
ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi
intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik
(keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta
pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan
prostate) dan uretra (striktura). GGA postrenal terjadi bila
obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter
bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal
satunya tidak berfungsi.

b) Gagal Ginjal Kronik


Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu derajat dimana
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Salah satu sindrom klinik yang terjadi pada
gagal ginjal adalah uremia. Hal ini disebabkan karena menurunnya
fungsi ginjal (Rahman,dkk, 2013).

Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik dibagi sebagai berikut

Tabel 4. Derajat atau stadium gagal ginjal kronik berdasarkan Laju


Filtrasi Glomerolus (LFG)

5. Epidemiologi
Pada 2017, 697,5 juta kasus CKD (Chronic Kidney Disease) (semua
stadium) tercatat di seluruh dunia, dengan prevalensi global 9,1%. Dari
tahun 1990 hingga 2017, prevalensi PGK semua usia global meningkat
29,3%, sedangkan prevalensi standar usia tetap stabil. Secara global, 1,2
juta orang meninggal karena CKD pada tahun 2017. Angka kematian
semua usia global akibat CKD meningkat 41,5% dari tahun 1990 hingga
2017. Nefropati diabetik menyumbang hampir sepertiga dari tahun hidup
yang disesuaikan dengan kecacatan (DALYs) dari CKD. Sebagian besar
beban PGK terkonsentrasi pada tiga kuintil terendah Indeks Sosial
Demografi (SDI).

Di Amerika Serikat, Institut Nasional Diabetes dan Penyakit Pencernaan


dan Ginjal (NIDDK) melaporkan bahwa satu dari 10 orang dewasa
Amerika memiliki beberapa tingkat penyakit ginjal kronis (CKD).
Penyakit ginjal adalah penyebab utama kematian kesembilan di Amerika
Serikat.

Menurut NIDDK, kejadian CKD yang diakui pada orang berusia 20-64
tahun di Amerika Serikat hanya naik sedikit dari 2000-2008 dan tetap
kurang dari 0,5%. Sebaliknya, kejadian pada orang yang berusia 65 tahun
atau lebih meningkat dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2008, dari
sekitar 1,8% menjadi sekitar 4,3%.

6. Etiologi
Beberapa etiologi gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut:
a) Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah inflamasi nefron, terutama pada
glomerulus. Glomerulonefritis terbagi menjadi dua, yaitu
glomerulonefritis akut dan glomerulonefritis kronis.
Glomerulonefritis akut seringkali terjadi akibat respon imun
terhadap toksin bakteri tertentu (kelompok streptokokus beta A).
Glomerulonefritis kronis tidak hanya merusak glomerulus tetapi
juga tubulus. Inflamsi ini mungkin diakibatkan infeksi
streptokokus, tetapi juga merupakan akibat sekunder dari penyakit
sistemik lain atau glomerulonefritis akut (Sloane, 2004).

b) Pielonefritis kronis
Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi
bakteri. Inflamasi dapat berawal di traktus urinaria bawah
(kandung kemih) dan menyebar ke ureter, atau karena infeksi yang
dibawa darah dan limfe ke ginjal. Obstruksi kaktus urinaria terjadi
akibat pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal, atau defek
kongenital yang memicu terjadinya pielonefritis (Sloane, 2004).

c) Batu ginjal
Batu ginjal atau kalkuli urinaria terbentuk dari pengendapan garam
kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat
mengalir bersama urine, batu yang lebih besar akan tersangkut
dalam ureter dan menyebabkan rasa nyeri yang tajam (kolik ginjal)
yang menyebar dari ginjal ke selangkangan (Sloane, 2004).
d) Penyakit polikistik ginjal
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral,
dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan (Price
dan Wilson, 2012).

e) Penyakit endokrin (nefropati diabetik)


Nefropati diabetik (peyakit ginjal pada pasien diabetes) merupakan
salah satu penyebab kematian terpenting pada diabetes mellitus
yang lama. Lebig dari sepertiga dari semua pasien baru yang
masuk dalam program ESRD (End Stage Renal Disease) menderita
gagal ginjal. Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi
ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah
yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes
mellitus (Price dan William, 2012).

7. Patofisiologi
Patofisiologi GGK (Gagal Ginjal Kronik) pada awalnya tergantung dari
penyakit yang mendasarinya. Namun, setelah itu proses yang terjadi
adalah sama. Pada diabetes melitus, terjadi hambatan aliran pembuluh
darah sehingga terjadi nefropati diabetik, dimana terjadi peningkatan
tekanan glomerular sehingga terjadi ekspansi mesangial, hipertrofi
glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi yang
mengarah pada glomerulosklerosis (Sudoyo, 2009). Tingginya tekanan
darah juga menyebabkan terjadi GGK. Tekanan darah yang tinggi
menyebabkan perlukaan pada arteriol aferen ginjal sehingga dapat terjadi
penurunan filtrasi (Rahman,dkk, 2013).

Pada pasien GGK, terjadi peningkatan kadar air dan natrium dalam tubuh.
Hal ini disebabkan karena gangguan ginjal dapat mengganggu
keseimbangan glomerulotubular sehingga terjadi peningkatan intake
natrium yang akan menyebabkan retensi natrium dan meningkatkan
volume cairan ekstrasel. Reabsorbsi natrium akan menstimulasi osmosis
air dari lumen tubulus menuju kapiler peritubular 12 sehingga dapat terjadi
hipertensi .Hipertensi akan menyebabkan kerja jantung meningkat dan
merusak pembuluh darah ginjal. Rusaknya pembuluh darah ginjal
mengakibatkan gangguan filtrasi dan meningkatkan keparahan dari
hipertensi (Rahman, 2013).

Ginjal normal mengandung sekitar 1 juta nefron, yang masing-masing


berkontribusi pada laju filtrasi glomerulus total (GFR). Dalam menghadapi
cedera ginjal (terlepas dari etiologinya), ginjal memiliki kemampuan
bawaan untuk mempertahankan GFR, meskipun terjadi kerusakan nefron
yang progresif, karena nefron sehat yang tersisa menunjukkan hiperfiltrasi
dan hipertrofi kompensasi. Kemampuan beradaptasi nefron ini
memungkinkan pembersihan normal lanjutan dari zat terlarut plasma.
Kadar zat dalam plasma seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan
peningkatan yang dapat diukur hanya setelah GFR total menurun 50%.

Nilai kreatinin plasma kira-kira akan berlipat ganda dengan penurunan


GFR 50%. Misalnya, peningkatan kreatinin plasma dari nilai dasar 0,6
mg / dL menjadi 1,2 mg / dL pada pasien, meskipun masih dalam kisaran
referensi orang dewasa, sebenarnya menunjukkan hilangnya 50% massa
nefron yang berfungsi.
Hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron sisa, meskipun bermanfaat karena alasan
yang disebutkan, telah dihipotesiskan sebagai penyebab utama disfungsi
ginjal progresif. Tekanan kapiler glomerulus yang meningkat dapat
merusak kapiler, yang pada awalnya menyebabkan glomerulosklerosis
fokal dan segmental sekunder (FSGS) dan akhirnya menjadi
glomerulosklerosis global. Hipotesis ini didukung oleh penelitian terhadap
lima perenam dari tikus yang mengalami nefrektomi, yang
mengembangkan lesi yang identik dengan yang diamati pada manusia
dengan penyakit ginjal kronis (PGK).

Faktor-faktor selain proses penyakit yang mendasari dan hipertensi


glomerulus yang dapat menyebabkan cedera ginjal progresif meliputi:
a) Hipertensi sistemik
b) Nefrotoksin (misalnya, obat antiinflamasi nonsteroid [NSAID],
media kontras intravena)
c) Perfusi menurun (misalnya, dari dehidrasi parah atau episode syok)
d) Proteinuria (selain menjadi penanda CKD)
e) Hiperlipidemia
f) Hiperfosfatemia dengan pengendapan kalsium fosfat
g) Merokok
h) Diabetes yang tidak terkontrol

Thaker dkk menemukan hubungan yang kuat antara episode cedera ginjal
akut (AKI) dan risiko kumulatif untuk perkembangan CKD lanjut pada
pasien diabetes mellitus yang mengalami AKI di beberapa rawat inap.
AKI apa pun versus tanpa AKI adalah faktor risiko untuk CKD stadium 4,
dan setiap episode AKI tambahan menggandakan risiko itu.

8. Manifestasi Klinis
Pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK) stadium 1-3 (laju filtrasi
glomerulus [GFR]> 30 mL / menit / 1,73 m²) seringkali asimtomatik;
dalam hal kemungkinan gejala "negatif" yang terkait dengan penurunan
GFR, mereka tidak mengalami gangguan yang terbukti secara klinis pada
keseimbangan air atau elektrolit atau gangguan endokrin / metabolik.

Umumnya, gangguan ini menjadi nyata secara klinis dengan CKD stadium
4-5 (GFR <30 mL / menit / 1,73 m²). Pasien dengan penyakit
tubulointerstitial, penyakit kistik, sindrom nefrotik, dan kondisi lain yang
terkait dengan gejala "positif" (misalnya, poliuria, hematuria, edema) lebih
mungkin untuk mengembangkan tanda-tanda penyakit pada tahap awal.

Manifestasi uremik pada pasien dengan CKD stadium 5 diyakini terutama


akibat akumulasi beberapa toksin, spektrum lengkap dan identitasnya
umumnya tidak diketahui. Asidosis metabolik pada stadium 5 dapat
bermanifestasi sebagai malnutrisi energi protein, hilangnya massa tubuh
tanpa lemak, dan kelemahan otot. Penanganan garam dan air yang diubah
oleh ginjal pada PGK dapat menyebabkan edema perifer dan, tidak jarang,
edema paru dan hipertensi.

Anemia, yang pada CKD berkembang terutama sebagai akibat dari


penurunan sintesis eritropoietin ginjal, bermanifestasi sebagai kelelahan,
penurunan kapasitas olahraga, gangguan fungsi kognitif dan kekebalan,
dan penurunan kualitas hidup. Anemia juga dikaitkan dengan
perkembangan penyakit kardiovaskular, serangan baru gagal jantung,
perkembangan gagal jantung yang lebih parah, dan peningkatan mortalitas
kardiovaskular.

Manifestasi uremia lain pada penyakit ginjal stadium akhir, banyak di


antaranya lebih mungkin terjadi pada pasien yang tidak didialisis secara
adekuat, termasuk yang berikut ini:
a) Perikarditis: Dapat dipersulit oleh tamponade jantung,
kemungkinan mengakibatkan kematian
b) Ensefalopati: Dapat berkembang menjadi koma dan kematian
c) Neuropati perifer
d) Gejala gastrointestinal: Anoreksia, mual, muntah, diare
e) Manifestasi kulit: Kulit kering, pruritus, ekimosis
f) Kelelahan, rasa mengantuk yang meningkat, gagal berkembang
g) Malnutrisi
h) Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenore
i) Disfungsi trombosit dengan kecenderungan berdarah.
Sindroma Uremia

Ginjal merupakan organ dengan daya kompensasi tinggi. Jaringan ginjal


sehat akan mengambil alih tugas dan pekerjaan jaringan ginjal yang sakit
dengan mengkat perfusi darah ke ginjal dan flitrasi. Bila jaringan ginjal
yang rusak mencapai 77-85%, maka daya kompensasi tidak lagi
mencukupi sehingga timbul uremia yaitu penumpukan zat-zat yang tidak
dapat dikeluarkan oleh ginjal yang sakit. Gejala sindroma uremia adalah:

a) Gastrointestinal, yang ditandai dengan nafsu makan menurun,


mual, muntah, mulut kering, rasa pahit, perdarahan ephitel.
Manifestasi uremia pada saluran pencernaan adalah mual, muntah,
anoreksia, dan penurunan berat badan. Keadaan anoreksia, mudah
lelah, dan penurunan asupan protein menyebabkan malnutrisi pada
penderita. Penurunan asupan protein juga memengaruhi kerapuhan
kapiler dan mengakibatkan penurunan fungsi imun serta
kesembuhan luka (Price dan William, 2012).
b) Kulit kering, mengalami atrofi, dan gatal. Manifestasi sindrom
uremia pada kulit adalah gambaran kulit menyerupai lilin dan
berwarna kuning akibat gabungan antara retensi pigmen urokrom
dan pucat karena anemia, pruritus akibat deposit garam Ca++ atau
PTH dengan kadar yang tinggi, perubahan warna rambut, dan
deposit urea yang berwarna keputihan (Price dan William, 2012).
c) Pada sistem kardiovaskuler yaitu hipertensi, pembesaran jantung,
payah jantung, pericarditis
d) Anemia dan asidosis
e) Pada sistem neurologi yaitu apatis, neuropati perifer, depresi,
prekoma.

9. Pendekatan Diagnostik dan Diagnosa Banding


Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat sangat penting. Ini mungkin
mengungkapkan temuan karakteristik dari kondisi yang mendasari
penyakit ginjal kronis (CKD) (misalnya, lupus, arteriosklerosis berat,
hipertensi) atau komplikasinya (misalnya, anemia, diatesis perdarahan,
perikarditis). Namun, kurangnya temuan pada pemeriksaan fisik tidak
menyingkirkan penyakit ginjal. Faktanya, CKD seringkali tidak terdeteksi
secara klinis, jadi skrining pasien tanpa tanda atau gejala pada kunjungan
kesehatan rutin adalah penting.

Skrining untuk depresi


Empat puluh lima persen pasien dewasa dengan CKD memiliki gejala
depresi saat memulai terapi dialisis, yang dinilai menggunakan skala
laporan diri. Namun, skala ini mungkin menekankan gejala somatik —
khususnya, gangguan tidur, kelelahan, dan anoreksia — yang dapat
muncul bersamaan dengan gejala penyakit kronis.

Diagnosa Banding
Beberapa diagnosis banding gagal ginjal kronik:
a) Renal Artery Stenosis
Aliran darah ginjal 3 sampai 5 kali lipat lebih besar daripada
perfusi ke organ lain karena mendorong filtrasi kapiler glomerulus.
Baik tekanan hidrostatik kapiler glomerulus maupun aliran darah
ginjal merupakan penentu penting dari laju filtrasi glomerulus
(GFR).

Pada pasien dengan stenosis arteri ginjal, iskemia kronis yang


dihasilkan oleh terhalangnya aliran darah ginjal menyebabkan
perubahan adaptif pada ginjal yang lebih terlihat pada jaringan
tubular. Perubahan ini termasuk atrofi sebagai berikut:
1) Ukuran sel tubular menurun
2) Peradangan dan fibrosis tidak merata
3) Tubulosklerosis
4) Atrofi berkas kapiler glomerulus
5) Penebalan dan duplikasi kapsul Bowman
6) Penebalan medial arteri intramenal

Pada pasien dengan stenosis arteri ginjal, GFR bergantung pada


angiotensin II dan modulator lain yang menjaga sistem
autoregulasi antara arteri aferen dan arteri eferen dan dapat gagal
untuk mempertahankan GFR ketika tekanan perfusi ginjal turun di
bawah 70-85 mmHg. Gangguan fungsional yang signifikan dari
autoregulasi, yang menyebabkan penurunan GFR, tidak mungkin
diamati sampai penyempitan luminal arteri melebihi 50%.

b) Obstruksi Saluran Kemih


Obstruksi saluran kemih adalah masalah umum yang dihadapi oleh
ahli urologi, dokter perawatan primer, dan dokter pengobatan
darurat. Obstruksi dapat berkembang sekunder akibat batu, tumor,
striktur, kelainan anatomi, atau kelainan fungsional.
Obstruksi aliran kemih dapat terjadi di setiap titik di saluran kemih,
dari ginjal ke meatus uretra, tetapi situs tertentu lebih rentan
terhadap obstruksi. 3 titik penyempitan di sepanjang ureter
termasuk persimpangan ureteropelvis (UPJ), persimpangan ureter
di atas area pinggiran panggul pada tingkat pembuluh iliaka, dan
persimpangan ureterovesikal (UVJ).

Gambar 9.0. Gambar CT aksial non-kontras yang menunjukkan


hidronefrosis sisi kanan. Dalam kasus khusus ini, pasien
mengalami striktur ureter distal sekunder akibat ureterolitiasis
sebelumnya.

Ketika obstruksi saluran kemih berkembang, akumulasi urin


berikutnya membengkak ke proksimal saluran kemih ke titik
obstruksi dan dapat menyebabkan nyeri, yang mungkin merupakan
gejala pertama dari obstruksi. Distorsi saluran kemih dan cedera
ginjal akut dapat terjadi; beratnya tergantung pada derajat dan
durasi obstruksi. Selain itu, stasis urin di saluran kemih yang
terhambat dapat menjadi predisposisi infeksi saluran kemih.

Seorang pasien dengan salah satu dari yang berikut ini


membutuhkan perhatian segera oleh ahli urologi:
1) Obstruksi saluran kemih lengkap
2) Semua jenis obstruksi di ginjal soliter
3) Obstruksi disertai demam, infeksi, atau keduanya
4) Gagal ginjal

c) Acute Kidney Injury/ Gagal Ginjal Akut


Kekuatan pendorong untuk filtrasi glomerulus adalah gradien
tekanan dari glomerulus ke ruang Bowman. Tekanan glomerulus
terutama bergantung pada aliran darah ginjal (RBF) dan
dikendalikan oleh resistensi gabungan dari aferen ginjal dan
arteriol eferen. Terlepas dari penyebab AKI, penurunan RBF
merupakan jalur patologis umum untuk penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR). Etiologi AKI terdiri dari 3 mekanisme utama:
prerenal, intrinsik, dan obstruktif.

Pada gagal prerenal, GFR tertekan oleh gangguan perfusi ginjal.


Fungsi tubular dan glomerulus tetap normal.

Gagal ginjal intrinsik termasuk penyakit ginjal itu sendiri, terutama


mengenai glomerulus atau tubulus, yang berhubungan dengan
pelepasan vasokonstriktor aferen ginjal. Cedera ginjal iskemik
adalah penyebab paling umum dari gagal ginjal intrinsik. Pasien
dengan penyakit ginjal kronis juga dapat datang dengan AKI yang
disebabkan oleh gagal prerenal dan obstruksi, serta penyakit ginjal
intrinsik.

Obstruksi saluran kemih awalnya menyebabkan peningkatan


tekanan tubular, yang menurunkan daya penggerak filtrasi. Gradien
tekanan ini segera menyamakan, dan pemeliharaan GFR yang
tertekan kemudian bergantung pada vasokonstriksi eferen ginjal.

d) Nefrolitiasis/ Batu Ginjal


Nefrolitiasis secara khusus mengacu pada batu di ginjal, tetapi batu
ginjal dan batu ureter (ureterolitiasis) sering dibahas bersamaan.
Batu ureter hampir selalu berasal dari ginjal, meskipun mereka
dapat terus tumbuh setelah masuk ke dalam ureter. Mayoritas batu
ginjal mengandung kalsium. Nyeri akibat kolik ginjal terutama
disebabkan oleh dilatasi, peregangan, dan spasme akibat obstruksi
ureter akut.

e) Nefrosklerosis
Istilah nefrosklerosis hipertensi secara tradisional digunakan untuk
menggambarkan sindrom klinis yang ditandai dengan hipertensi
esensial jangka panjang, retinopati hipertensi, hipertrofi ventrikel
kiri, proteinuria minimal, dan insufisiensi ginjal progresif.
Kebanyakan kasus didiagnosis hanya berdasarkan temuan klinis.
Faktanya, sebagian besar literatur yang didedikasikan untuk
nefrosklerosis hipertensi didasarkan pada asumsi bahwa gagal
ginjal progresif pada pasien dengan hipertensi jangka panjang,
proteinuria sedang, dan tidak ada bukti yang menunjukkan
diagnosis alternatif yang mencirikan nefrosklerosis hipertensi.

Kurangnya kriteria yang pasti untuk mendasarkan diagnosis


histologis dan kurangnya bukti yang jelas bahwa hipertensi
memulai perkembangan gagal ginjal kemungkinan menunjukkan
bahwa prevalensi sebenarnya dari nefrosklerosis hipertensi telah
dibesar-besarkan. Hasil paradoks dari peningkatan kejadian gagal
ginjal meskipun terapi obat antihipertensi lebih luas dan penurunan
kejadian target hipertensi, seperti stroke dan penyakit
kardiovaskular, menimbulkan pertanyaan tentang peran penyebab
hipertensi pada gangguan ini.

10. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Lengkap
Pengujian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK) biasanya
meliputi hitung darah lengkap (CBC), panel metabolik dasar, dan
urinalisis, dengan perhitungan fungsi ginjal. Anemia normositik
normokromik biasanya terlihat pada CKD. Penyebab lain anemia harus
disingkirkan.

Nitrogen urea darah (BUN) dan serum kreatinin akan meningkat pada
pasien dengan PGK. Hiperkalemia atau kadar bikarbonat rendah mungkin
ada. Kadar albumin serum juga dapat diukur, karena pasien mungkin
mengalami hipoalbuminemia akibat kehilangan protein urin atau
malnutrisi. Profil lipid harus dilakukan pada semua pasien dengan PGK
karena risiko penyakit kardiovaskular.

Kadar fosfat serum, 25-hidroksivitamin D, alkali fosfatase, dan hormon


paratiroid utuh (PTH) diperoleh untuk mencari bukti penyakit tulang
ginjal. Ultrasonografi ginjal dan pemeriksaan pencitraan lainnya dapat
diindikasikan.

Pengukuran kadar cystatin C serum semakin berperan dalam estimasi


fungsi ginjal. Cystatin C adalah protein kecil yang diekspresikan di semua
sel berinti, diproduksi dengan kecepatan konstan, dan disaring bebas oleh
glomerulus; tidak disekresikan tetapi diserap kembali oleh sel epitel
tubular dan dikatabolisme, sehingga tidak kembali ke aliran darah. Sifat-
sifat ini menjadikannya penanda endogen fungsi ginjal yang berharga.

Pemeriksaan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)


Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan berdasarkan etiologi dan
derajat. Klasifikasi derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung
menggunakan rumus Kockcroft-Gault.

Gambar 10.1. Rumus Kockcroft-Gault untuk menghitung LFG

Gambar 10.1. Tabel klasifikasi derajat gagal ginjal kronik bedasarkan LFG

Urinalisis
Pada pasien dewasa yang tidak berisiko tinggi untuk CKD, skrining
dengan protein total dapat dilakukan dengan dipstik urin standar, menurut
pedoman dari Inisiatif Kualitas Hasil Penyakit Ginjal National Kidney
Foundation (KDOQI). Jika tes dipstik positif (1+ atau lebih), pasien harus
menjalani tes untuk konfirmasi proteinuria.

Meskipun pengumpulan urin 24 jam untuk total protein dan pembersihan


kreatinin (CrCl) dapat dilakukan, pengumpulan urin di tempat untuk rasio
protein-ke-kreatinin (P / C) total memungkinkan perkiraan yang dapat
diandalkan (ekstrapolasi) dari total ekskresi protein urin 24 jam. Pada
anak-anak, remaja, dan dewasa muda khususnya, spesimen urin pagi
pertama lebih disukai daripada spesimen acak, karena yang disebut
proteinuria ortostatik (dianggap jinak) dapat dikecualikan.

Pasien dengan rasio P / C di atas 200 mg / mg harus menjalani evaluasi


diagnostik lengkap. Nilai lebih dari 300-350 mg / mg berada dalam kisaran
nefrotik.

Untuk skrining pasien dengan risiko tinggi, KDOQI merekomendasikan


penggunaan tongkat ukur khusus albumin; Hal ini karena albuminuria
merupakan penanda yang lebih sensitif dibandingkan protein total untuk
PGK dari diabetes, hipertensi, dan penyakit glomerulus. Tes dipstik positif
harus diikuti dengan perhitungan rasio albumin-kreatinin, dengan rasio
lebih besar dari 30 mg / mg diikuti dengan evaluasi diagnostik lengkap.

Untuk memantau proteinuria pada orang dewasa dengan CKD, KDOQI


merekomendasikan untuk mengukur rasio P / C dalam sampel urin spot,
menggunakan rasio albumin-ke-kreatinin. Namun, rasio P / C total dapat
diterima jika rasio albumin-kreatinin tinggi (> 500 hingga 1000 mg / g).

Proteinuria dipstik mungkin menunjukkan masalah glomerulus atau


tubulointerstitial. Penemuan sedimen urin pada sel darah merah (RBC) dan
sel darah merah menunjukkan glomerulonefritis proliferatif. Piuria dan /
atau gips sel darah putih menunjukkan nefritis interstitial (terutama jika
terdapat eosinofiluria) atau infeksi saluran kemih.

Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi ginjal berguna untuk menyaring hidronefrosis, yang
mungkin tidak diamati pada obstruksi awal, atau keterlibatan
retroperitoneum dengan fibrosis, tumor, atau adenopati difus. Ginjal kecil
ekogenik diamati pada gagal ginjal lanjut.
Sebaliknya, ginjal biasanya berukuran normal pada nefropati diabetik
lanjut, di mana ginjal yang terkena awalnya membesar karena hiperfiltrasi.
Kelainan struktur, seperti yang mengindikasikan ginjal polikistik, juga
dapat diamati pada ultrasonogram.

Ultrasonografi ginjal adalah modalitas pencitraan awal pilihan untuk anak-


anak. Namun, ahli radiologi harus memiliki pelatihan khusus untuk dapat
mengenali ukuran atau perkembangan ginjal yang tidak normal pada
pasien anak.
11. Tatalaksana
Diagnosis dini dan pengobatan penyebab yang mendasari dan / atau
institusi tindakan pencegahan sekunder sangat penting pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis (PGK). Langkah-langkah ini dapat menunda, atau
mungkin menghentikan, perkembangan penyakit. Rujukan awal ke
nephrologist sangatlah penting.

Perawatan medis pasien CKD harus fokus pada hal-hal berikut:


a) Menunda atau menghentikan perkembangan CKD
b) Mendiagnosis dan mengobati manifestasi patologis CKD
c) Perencanaan tepat waktu untuk terapi penggantian ginjal jangka
panjang.
Tabel 11. Tabel yang menunjukan tatalaksana gagal ginjal kronik
berdasarkan derajatnya.

Tatalaksana Pengobatan
Pada penyakit ginjal kronis (CKD), dosis dan interval dosis obat yang
diekskresikan atau dimetabolisme ginjal harus disesuaikan dengan laju
filtrasi glomerulus residual (GFR). Beberapa obat dikontraindikasikan
pada gangguan ginjal sedang hingga berat karena efek yang berpotensi
serius dari akumulasi obat atau metabolit. Konsultasi rutin dari referensi
yang sesuai harus dilakukan saat meresepkan obat baru untuk pasien CKD.

Untuk pasien yang menjalani dialisis, sangat penting untuk memeriksa


panduan dosis dengan cermat atau memantau level jika memungkinkan.
Modalitas ini berbeda dalam pembersihan obatnya. Pasien rawat inap yang
menjalani jenis terapi penggantian ginjal berkelanjutan lainnya juga
memerlukan pemantauan ketat.

Perawatan untuk manifestasi patologis CKD meliputi:


a) Hyperphosphatemia: Pengikat fosfat makanan dan pembatasan
fosfat makanan
b) Hipokalsemia: Suplemen kalsium dan mungkin kalsitriol
c) Hiperparatiroidisme: Analog Calcitriol atau vitamin D.
d) Anemia: Terapi penggantian besi dan agen perangsang
eritropoiesis

Obati manifestasi patologis penyakit ginjal kronis (PGK) ini sebagai


berikut:
a) Anemia: Jika kadar hemoglobin di bawah 10 g / dL, obati dengan
agen perangsang eritropoiesis (ESA) seperti epoetin alfa atau
darbepoetin alfa; kehati-hatian harus dilakukan pada pasien dengan
keganasan
b) Hiperfosfatemia: Rawat dengan pengikat fosfat makanan dan
pembatasan fosfat makanan
c) Hipokalsemia: Obati dengan suplemen kalsium dengan atau tanpa
kalsitriol
d) Hiperparatiroidisme: Rawat dengan kalsitriol, analog vitamin D,
atau kalsimimetik
e) Kelebihan volume: Rawat dengan diuretik loop atau ultrafiltrasi
f) Asidosis metabolik: Rawat dengan suplementasi alkali oral
g) Manifestasi uremik: Rawat dengan terapi penggantian ginjal
jangka panjang (hemodialisis, dialisis peritoneal, atau transplantasi
ginjal)
h) Komplikasi kardiovaskular: Rawat dengan tepat dengan
mengendalikan hipertensi, diabetes, dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian cairan dan elektrolit. Obat seperti ACE
inhibitor dapat memperlambat perburukan fungsi ginjal.

12. Komplikasi
Beberapa komplikasi gagal ginjal kronik:
a) Anemia
Terjadi pada 80-90% pada pasien gagal ginjal kronik. Penyebab
utamanya adalah defisiensi eritropoetin. Defisiensei zat besi,
kehilangan darah (hematuri, pendarahan saluran cerna), masa hidup
eritrosit pendek, penekanan sumsum tulang karena substansi
uremik bisa juga menyebabkan anemia. Pemberian eritropoetin
merupakan hal yang dianjurkan, pemberian transfusi darah harus
dilakukan secara hati- hati agar tidak mengakibatkan kelebihan
cairan tubuh. Sasaran hemoglobin adalah 11-12 g/dl.

b) Osteodistrofi Renal
Komplikasi ini disebabkan oleh hiperfosfatemia yang
mengakibatkan kadar calsium dalam darah rendah (hipokalsemia).
Hipokalsemia menyebabkan hiperparatiroidisme yang
mengakibatkan osteomalasia yaitu penurunan densitas tulang yang
membuat mudah terjadinya fraktur. Cara mengatasi
hiperfosfatemia adalah pembatasan asupan fosfat menjadi 600-800
mg/hari dan pemberian pengikat fosfat contohnya kalsium asetat
dan garam magnesium.

Tabel 12. Komplikasi gagal ginjal kronik.

c) Penyakit Kardiovaskular
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadi jika
kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme
sekunder yang berat. Kelebihan cairan dan hipertensi dapat
menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri (LVH) atau dilatasi
kardiomiopati. Fistula dialisi arterivena yang besar dapat
menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar sehingga
mengurangi curah jantung yang dapat digunakan oleh bagian tubuh
yang tersisa (O’Callaghan, 2009).
d) Kelainan Endokrin
Pada pria, GGK dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi
dan menyebabkan penurunan jumlah motilitas sperma. Pada wanita
sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi dan
infiltrasi. Siklus hormone pertumbuhan yang abnormal dapat turut
berkontribusi dalam menyebabkan retradasi pertumbuhan pada
anak dan kehilangan massa otot pada orang dewasa (Prabowo,
2014).
e) Hipertensi
Penyakit vaskuler merupakan penyebab utama kematian pada
PGK. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi
mungkin merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagian
besar hipertensi pada PGK disebabkan hipervolemia akibat retensi
natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa
menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tipel.
Hipertensi seperti ini biasanya memberikan respon terhadap
restriksi natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialisis.
Jika fungsi ginjal memadai, pemberian furosemid dapat
bermanfaat.

Hipertensi yang tidak memberikan respons terhadap pengurangan


volume tubuh sering kali berkaitan dengan produksi renin yang
berlebihan. Kelebihan aktivitas simpatis juga dapat berperan.
Vasokontriksi seperti endotelin, hormon antidiuretik (antidiuretic
hormone, ADH atau vasopresin), norepinefrin (noreadrenalin), atau
defisiensi vasodilator nitrat oksida dapat pula berperan dalam
hipertensi jenis ini. Jika tekanan darah tidak bisa dikontrol dengan
inhibitor ACE, blocker reseptor angiotensin, vasodilator, atau
βblocker, maka nefrektomi kadang membantu. Namun demikian
stenosis arteri renaalis seharurnya disingkirkan sebagai penyebab
hipertensi, karena seringkali dapat diobati dengan angioplasti balon
(O'callaghan, 2009).

13. Prognosis
Penderita penyakit ginjal kronis (PGK) umumnya mengalami kehilangan
fungsi ginjal secara progresif dan berisiko mengalami penyakit ginjal
stadium akhir (ESRD). Tingkat perkembangan tergantung pada usia,
diagnosis yang mendasari, implementasi dan keberhasilan tindakan
pencegahan sekunder, dan pasien secara individu. Memulai terapi
penggantian ginjal kronis tepat waktu sangat penting untuk mencegah
komplikasi uremik CKD yang dapat menyebabkan morbiditas dan
kematian yang signifikan.

Tangri dkk mengembangkan dan memvalidasi model pada pasien dewasa


yang menggunakan hasil laboratorium rutin untuk memprediksi
perkembangan dari CKD (stadium 3-5) menjadi gagal ginjal. Mereka
melaporkan bahwa perkiraan laju filtrasi glomerulus (GFR) yang lebih
rendah, albuminuria yang lebih tinggi, usia yang lebih muda, dan jenis
kelamin laki-laki menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari gagal
ginjal. Selain itu, kadar albumin serum, kalsium, dan bikarbonat yang
lebih rendah serta kadar fosfat serum yang lebih tinggi ditemukan untuk
memprediksi peningkatan risiko gagal ginjal.

14. Gangguan fungsi ginjal yang memerlukan rujukan


Hemodialisis
Hemodialisis berasal dari kata hemo = darah, dan dialisis = pemisahan
atau filtrasi. Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialisis yang
digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam
tubuh ketika secara akut ataupun secara progresif menggunakan sebuah
mesin yang dilengkapi dengan membran penyaring semipermeabel (ginjal
buatan). Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun
harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen atau
menyebabkan kematian (Muttaqin, 2014).

Tujuan Hemodialisis
Tujuan utama hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu
mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit
yang terjadi pada pasien CKD dengan ESRD. Hemodialisis efektif
mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa metabolisme tubuh, sehingga
secara tidak langsung bertujuan untuk memperpanjang umur pasien
(Kallenbach, 2015). Tujuan dari hemodialisis menurut Afrian, et al (2017)
antara lain :
a) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu
membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum,
kreatinin dan sisa metabolisme lainnya.
b) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh
yang seharusnya dikeluarkan sebagai urine saat ginjal sehat.
c) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan
fungsi ginjal
d) Menggantikan ginjal sambil menunggu program pengobatan
lainnya

Pasien yang menderita gagal ginjal kronik stage terakhir atau End-Stage
Renal Disease memerlukan rujukan untuk melakukan Renal Replacement
therapy.

Indikasi dilakukannya hemodialisis antara lain uremic syndrome, overload


syndrome, anuria dan oliguria, hiperkalemia (K >6,5 mmol/l), asidosis
berat (pH dibawah 7.1 atau bikarbonat dibawah 12 meg/l), perikarditis,
keracunan alkohol, dan obat- obatan serta pasien dengan indikasi
hemodialisis berat.
DAFTAR PUSTAKA

Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical Practice


Guideline for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements
2012. Vol.2. 19-36

United State Renal Data System.USRDS Annual Data Report Chapter 5 : Acute
Kidney Injury. 2015. Vol. 1. 57-66

Iida M, Maeda H, Yamamoto M, et al. Association of renal artery stenosis with


aortic jet velocity in hypertensive patients with aortic valve sclerosis. Am J
Hypertens. 2010 Feb. 23(2):197-201.

Thakar CV, Christianson A, Himmelfarb J, Leonard AC. Acute kidney injury


episodes and chronic kidney disease risk in diabetes mellitus. Clin J Am
Soc Nephrol. 2011 Nov. 6(11):2567-72.

United States Renal Data System. Chapter 1: CKD in the General


Population. 2015 USRDS annual data report: Epidemiology of Kidney
Disease in the United States. Bethesda, MD: National Institutes of Health,
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases; 2015.
GBD Chronic Kidney Disease Collaboration. Global, regional, and national
burden of chronic kidney disease, 1990-2017: a systematic analysis for the
Global Burden of Disease Study 2017. Lancet. 2020 Feb 29. 395
(10225):709-733.

Inker LA, Schmid CH, Tighiouart H, Eckfeldt JH, Feldman HI, Greene T, et al.
Estimating glomerular filtration rate from serum creatinine and cystatin
C. N Engl J Med. 2012 Jul 5. 367(1):20-9.

Laterza OF, Price CP, Scott MG. Cystatin C: an improved estimator of glomerular
filtration rate?. Clin Chem. 2002 May. 48(5):699-707.

[Guideline] National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality


Initiative. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Available
at http://www.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/toc.htm.
2002; Accessed: February 28, 2018.

Tangri N, Stevens LA, Griffith J, Tighiouart H, Djurdjev O, Naimark D, et al. A


predictive model for progression of chronic kidney disease to kidney
failure. JAMA. 2011 Apr 20. 305(15):1553-9.

https://emedicine.medscape.com/article/238798-clinical#b1

http://repository.unimus.ac.id/2548/2/BAB%20II.pdf

http://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/repository/
NURFRIYATNA_UTAMI_143110180_3A%281%29.pdf

https://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/
7de4f855c9453d88152fbc9f442b7a60.pdf

Anda mungkin juga menyukai