Anda di halaman 1dari 13

1

LAPORAN PENDAHULUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT


PADA PASIEN CKD ON HD
DI RSUD HJ. ANNA LASMANAH BANJARNEGARA

DI SUSUN OLEH :
DEA MITHA APRILIANI
NIM. 210104022

PROGRAM STUDI PROFESI NERS STASE PEMINATAN HEMODIALISA


UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
TAHUN 2022

A. Konsep Dasar Penyakit Gagal Ginjal Kronik


1. Pengertian gagal ginjal kronik
Gagal ginjal kronik atau penyakit gagal ginjal stadium akhir merupakan gangguan fungsi renal
yang progresif dan ireversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia yaitu
2

retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Ginjal juga tidak mampu untuk
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir,
respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit tidak terjadi.
Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif, dan hipertensi (Smeltzer & Bare, 2010).
2. Etiologi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan dampak akhir dari seluruh penyakit yang menyerang
ginjal (Price & Wilson, 2008), penyebab GGK adalah:
a. Infeksi misalnya pielonefritis kronis atau TB paru.
Infeksi traktus urinarius pielinefritis juga disebut dengan nefropati refluks diakibatkan oleh
refluks urine yang terinfeksi kedalam ureter yang kemudian masuk ke dalam perenkim
ginjal (refluks intrarenal). Pielonefritis kronik akibat VUR adalah penyebab utama gagal
ginjal tahap akhir pada anak-anak, dan secara teoritis dapat dicegah dengan mengendalikan
UTI dan memperbaiki kelainan structural dari saluran kemih yang menyebabkan obstruksi.
Kerusakan ginjal progresif tidak dapat diketahui sampai timbul gejala dan tanda ESRD
pada masa dewasa.
b. Penyakit peradangan misalnya glomerulonephritis.
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Istilah umum
glomerulusnefritis (GN) biasanya dipakai untuk menyatakan sejumlah penyakit ginjal
primer yang terutama glomerulus, tetapi juga dipergunakan untuk menyatakan lesi-lesi
pada glomerulus yang dapat ataupun tidak disebabkan oleh penyakit ginjal primer.
c. Penyakit veskuler hipertensi misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna.
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin
merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya, penyakit
ginjal kronik yang berat dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan dalam hipertensi
melalui mekanisme retensi natrium dan air, pengaruh vasopressor dari system renin-
angiotensi, dan mungkin pula melalui defisiensi prostaglandin. Nefrosklerosis (pengerasan
ginjal) menunjukkan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal akibat
hipertensi. Hipertensi benigna bersifat progresif lambat, sedangkan hipertensi maligna
adalah suatu keadaan klinis dalam penyakit hipertensi yang bertambah berat dengan cepat
sehingga dapat menyebabkan kerusakan berat pada berbagai organ. Hipertensi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada arteriol di
seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah.
Organ sasaran utama keadaan ini adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal,
arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis benigna.
Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh
3

darah intrarenal. Ginjal dapat mengecil, biasanya simetris, dan mempunyai permukaan
yang berlubang-lubang dan bergranula. Secara histologis, lesi yang esensial adalah
sklerosis arteria-arteria kecil serta arteriol yang paling nyata pada arteriol yang paling nyata
pada arteriol aferen. Penyumbatan arteria dan arteriol akan menyebabkan kerusakan
glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak. Nefronsklerosis maligna
merupakan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan perubahan struktural
ginjal yang dikaitkan dengan fase maligna hipertensi esensial. Ginjal dapat berukuran
normal dengan sedikit granula dan beberapa petekia akibat pecahnya arteriol, atau dapat
mengisut dan membentuk jaringan parut.
d. Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodusa, sklerosis
sistemik progresif.
e. Gangguan metabolik misalnya diabetes melitus, gout, kehilangan kalium yang kronis,
konsumsi analgetik yang kronis, amyloidosis
f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbale
Ginjal rentan tehadap efek toksik, obat-obatan dan bahan-bahan jimia karena ginjal
mnerima 25% dari curah jantung, sehingga sering dan mudah kontak dengan zat kimia
dalam jumlah besar, interstisium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia
dikonsentrasikan pada daerah yang relative hipovaskular dan ginjal merupakan jalur
ekskresi obligatorik untuk sebagian besar obat, sehingga insufisiensi ginjal mengakibatkan
penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi cairan tubulua. Gagal ginjal kronik dapat
terjadi akibat penyalahgunaan analgetik dan pajanan timbal.
g. Nefropati obstruksi misalnya saluran kemih bagian atas : hipertropi prostat, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah : hipertropi prostat, striktur uretra, anomaly
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.
h. Gangguan kongenital herediter misalnya polikistik, asidosis tubulus ginjal, sindrome
fankomi.

B. Konsep Dasar Hipervolemia pada Pasien Gagal Ginjal Kronik


1. Pengertian hipervolemia
Hipervolemia adalah peningkatan volume cairan intravaskular, interstisial, dan intraseluler
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017a). Kelebihan volume cairan ekstraselular (ECF) dapat
terjadi jika natrium dan air kedua-duanya tertahan dengan proporsi yang lebih kurang sama.
Seiring dengan terkumpulnya cairan isotonic berlebihan di ECF, maka cairan akan berpindah
ke kompartemen cairan interstisial sehingga menyebabkan terjadinya edema. Kelebihan
volume cairan selalu terjadi sekunder akibat peningkatan kadar natrium tubuh total yang akan
menyebabkan terjadinya retensi air (Price & Wilson, 2008).
4

2. Etiologi
Karena air dan natrium ditahan dalam tubuh, konsentrasi natrium serum pada intinya tetap
normal, hypervolemia selalu menjadi akibat sekunder dari peningkatan kandungan natrium
tubuh total. Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) Penyebab hipervolemia adalah
gangguan mekanisme regulasi yaitu gagal ginjal kronik. Penyebab hipervolemia pada gagal
ginjal kronik antara lain:

a. Retensi natrium dan air yang disebab pada gagal ginjal kronik karena penurunan jumlah
nefron yang membuat laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun (Price & Wilson, 2008).
b. Hypoalbuminemia terjadi pada gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh sindrom nefrotik
(Price & Wilson, 2008).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hipervolemia
a. Usia
Bayi dan anak yang sedang tumbuh memiliki perpindahan cairan yang jauh lebih besar
dibandingkan orang dewasa karena laju metabolisme mereka lebih tinggi meningkatkan
kehilangan cairan. Bayi kehilangan banyak cairan melalui ginjal karena ginjal yang belum
matang kurang mampu menyimpan air dibandingkan ginjal orang dewasa. Pada usia paruh
baya (40-65 tahun) perubahan fisik individu yang terjadi pada system perkemihan yaitu
unit nefron berkurang selama periode ini dan laju filtrasi glomerulus menurun. Pada lansia
(lebih dari 65 tahun) perubahan fisik normal akibat penuaan pada perkemihan yaitu
penurunan kemampuan filtrasi ginjal dan gangguan fungsi ginjal, konsentrasi urine menjadi
kurang efektif, urgensi berkemih dan sering berkemih (Kozier & Erb, 2010).
b. Jenis kelamin dan ukuran tubuh
Air tubuh total dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ukuran tubuh. Kerna sel
lemak mengandung lebih sedikit atau sama sekali tidak mengandung air dan jaringan tanpa
lemak memiliki kandungan air yang tinggi, individu yang memiliki persentase lemak tubuh
lebih tinggi memiliki cairan tubuh yang lebih sedikit. Wanita secara proporsional memiliki
lemak tubuh yang lebih banyak dan lebih sedikit cairan tubuh dibandingkan pria. Air
menyusun sekitar sekitar 60% berat badan pria dewasa, tetapi hanya 52% untuk wanita
dewasa. Pada individu gemuk, kandungan air tubuh mungkin lebih sedikit, dengan hanya
30% sampai 40% dari berat badan individu tersebut (Kozier & Erb, 2010).
c. Suhu lingkungan
Individu yang sakit dan mereka yang berpartisipasi dalam aktrivitas berat berisiko
mengalami ketidakseimbangan cairan dan elektrolit apabila suhu lingkungan tinggi.
Kehilangan cairan melalui keringat meningkat di lingkungan yang panas karena tubuh
5

berupaya untuk menghilangkan panas (Kozier & Erb, 2010).


d. Gaya hidup
Faktor lain seperti diet, latihan, dan stress memengaruhi keseimbangan cairan, elektrolit,
dan asam-basa. Individu yang mengalami malnutrisi berat mengalami penurunan kadar
albumin serum dan dapat mengalami edema karena aliran osmotic cairan ke kompartemen
pembuluh darah menjadi berkurang. Stress dapat meningkatkan metabolisme selular, kadar
konsentrasi glukosa darah, dan kadar katekolamin. Selain itu, stress dapat meningkatkan
produksi ADH, yang pada gilirannya menurunkan produksi urine. Seluruh respons tubuh
terhadap stress adalah meningkatkan volume darah (Kozier & Erb, 2010).
e. Diet
Diet dapat mempengaruhi asupan cairan. Asupan nutrisi yang tidak
adekuat dapat mempengaruhi terhadap kadar albumin serum. Jika albumin serum menurun,
cairan interstitial tidak bisa masuk ke pembuluh darah sehingga terjadi edema. (Mubarak,
2015)
4. Patofisiologi
Pada kelebihan volume cairan atau hypervolemia, rongga intravascular dan interstisial
mengalami peningkatan kandungan air dan natrium. Kelebihan cairan interstisial dikenal
sebagai edema. (Kozier & Erb, 2010). Pada gagal ginjal kronik sekitar 90% dari massa nefron
telah hancur mengakibatkan laju filtrasi glomelurus (GFR) menurun. Menurunnya GFR
menyebabkan retensi natrium. Adanya perbedaan tekanan osmotic karena natrium tertahan
menyebabkan terjadi proses osmosis yaitu air berdifusi menembus membrane sel hingga
tercapai keseimbangan osmotic. Hal ini menyebabkan cairan ekstraselular (ECF) meningkat
hingga terjadi edema (Price & Wilson, 2008). Pada gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh
perkembangan penyakit sindrom nefrotik, tubuh mengalami hypoalbuminemia menyebabkan
tekanan osmotic plasma rendah, kemudian akan diikuti peningkatan transudasi cairan kapiler
atau vaskular ke ruang interstitial, mekanisme ini hampir secara langsung menyebabkan
edema (Price & Wilson, 2008). Edema dapat terlokalisir atau generalisata (seluruh tubuh).
Edema terlokalisir terjadi seperti pada inflamasi setempat dan obstruktif. Edema generalisata
atau anasarka menimbulkan pembengkaan yang berat jaringan bawah kulit. Anasarca
disebabkan oleh penurunan sistemik tekanan osmotik kapiler. Edema anasarka terjadi pada
pengidap hypoalbuminemia akibat sindrom nefrotik. Proses terbentuknya edema ansarka
terjadi akibat tekanan osmotic di plasma menurun, menyebabkan cairan berpindah dari
vaskuler ke ruang interstitial. Berpindahnya cairan menyebabkan penurunan sirkulasi volume
darah yang mengaktifkan sistem imun angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan edema
lebih lanjut keseluruh tubuh (Price & Wilson, 2008).
5. Manifestasi klinis
6

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), gejala dan tanda hipervolemia adalah :
a. Gejala dan tanda mayor
1) Edema anasarka dan atau edema perifer
Pembengkakan akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Jelas terlihat di
daerah yang menggantung akibat pengaruh gravitasi dan didahului oleh bertambahnya
berat badan. (Price & Wilson, 2008). Edema anasarka adalah edema yang terdapat di
seluruh tubuh. Edema perifer adalah edema pitting yang muncul di daerah perifer, edema
sering muncul di daerah mata, jari, dan pergelangan kaki (Mubarak, 2015).
2) Berat badan meningkat dalam waktu singkat
Kenaikan dan penurunan berat badan perhari dengan cepat biasanya berhubungan dengan
perubahan volume cairan. Peningkatan berat badan lebih dari 2,2 kg/hari (1lb/hari)
diduga ada retensi cairan. Secara umum pedoman yang dipakai adalah 473 ml (1 pt)
cairan menggambarkan 0,5 kg (1,1 lb) dari peningkatan berat badan (Hudak & Gallo,
2012).
3) Jugular venous pressure (JVP) dan atau central venous pressure (CVP) meningkat
Central venous pressure atau tekanan vena sentral merupakan tekanan di dalam antrium
kanan, CVP normal sekitar 0 mm hg, tekanan ini dapat naik menjadi 20-30 mm Hg pada
keadaan abnormal. Jugular venous pressure atau tekanan vena jugularis merupakan
tekanan vena perifer, saat CVP melebihi nilai normal akan membuat vena menjadi lebar
bahkan titik-titikm rawan kolaps akan terbuka bila CVP meningkat (Guyton & Hall,
2011)
4) Refleks hepatojugular positif
Refleks hepatojugular positif merupakan respon vena jugularis yang terjadi saat jantung
menerima beban sehingga peregangan vena jugularis meningkat dan frekuensi denyut
vena di leher juga meningkat (Price & Wilson,2008).

C. Asuhan Keperawatan pada Pasein Gagal Ginjal Kronik dengan Hipervolemia.


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Disini semua data dikumpulkan
secara sistematis guna menentukan status kesehatan pasien saat ini. Pengkajian harus
dilakukan secara komprehensif terkait dengan aspek biologis, psikologis, social, maupun
spiritual pasien (Asmadi, 2008).
a. Data fisiologis
Pada pasien dengan Hipervolemia termasuk kedalam kategori fisiologis dan subkategori
nutrisi dan cairan, perawat harus mengkaji data mayor dan minor yang tercantum dalam
buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2017) yaitu :
7

b. Tanda dan gejala mayor


Akibat lanjut dari kelebihan volume cairan adalah gagal jantung kongestif,
edema paru, efusi pericardium, dan efusi pleura (Esther, 2009).
1) Subyektif : ortopnea, dyspnea, paroxysmal nocturnal dyspnea
2) Obyektif : edema anasarca dana tau edema perifer, berat badan meningkat dalam waktu
singkat, jugular venous pressure (JVP) dan atau cental venous pressure (CVP), reflex
hepatojugular positif.
c. Tanda dan gejala minor
1) Obyektif: distensi vena jugularis, terdengar suara napas tambahan,
hepatomegall, kadar Hb/Ht turun, oliguria, intake lebih banyak dari output (balans cairan
positif), kongesti paru.

2. Diagnosa keperawatan
Merumuskan masalah keperawatan dengan pendekatan SDKI (2017), yaitu Hipervolemia
berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi. Diagnosa keperawatan merupakan suatu
penilaian klinis mengenai respons klien terhadap suatu masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial (Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia, 2017). Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
megidentifikasi respon klien individu, keluarga atau komunitas terhadap situasi yang berkaitan
dengan kesehatan (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2017). Diagnosa keperawatan
dalam masalah ini adalah Hipervolemia. Hipervolemia merupakan Peningkatan volume cairan
intravaskular, interstisial, dan intraseluler ( Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2017).
Dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Hipervolemia termasuk kedalam kategori
fisiologis dan subkategori nutrisi dan cairan. Penyebab dari Hipervolemia adalah gangguan
mekanisme regulasi. Adapun gejala dan tanda mayor dari hipervolemia adalah subyektif yaitu
ortopnea, dyspnea, dan paroxysmal nocturnal dyspnea (PND). obyektif yaitu edema anarsarka
atau edema perifer, berat badan meningkat dalam waktu singkat, jugular venous pressure
(JVP) dan atau cental venous pressure (CVP), reflex hepatojugular positif. Gejala dan tanda
minor dari Hipervolemia. Secara obyektif adalah distensi vena jugularis, terdengar suara napas
tambahan, hepatomegall, kadar Hb/Ht turun, oliguria, intake lebih banyak dari output (balans
cairan positif), kongesti paru. Kondisi klinis terkait Hipervolemia adalah penyakit ginjal
(gagal ginjal akut/kronis, simdrom nefrotik), hypoalbuminemia, gagal jantung kongestif,
kelainan hormone, penyakit hati (sirosis, asites, kanker hati), penyakit vena perifer (varises
vena, thrombus vena, phlebitis).
3. Intervensi
Menurut Huda & Kusuma (2015), setelah merumuskan diagnosa dilanjutkan dengan intervensi
8

dan aktivitas keperawatan untuk mengurangi menghilangkan serta mencegah masalah


keperawatan klien. Tahapan ini disebut perencanaan keperawatan yang meliputi penentuan
prioritas diagnose keperawatan, menetapkan sasaran dan tujuan, menetapkan kriteria evaluasi
serta merumuskan intervensi serta aktivitas keperawatan. Berikut ini adalah intervensi untuk
klien dengan Hipervolemia
a. Masalah keperawatan : Hipervolemia
b. Tujuan keperawatan yaitu setelah dilakukan asuhan keperawatan dengan
Keseimbangan cairan adalah keseimbangan cairan pertukaran antara karbondioksida dan
oksigen yang berlangsung di alveoli untuk mempertahankan konsentrasi darah arteri
(Moorhead et al., 2016).
Dengan pemberian intervensi keperawatan diharapkan status Keseimbangan cairan dapat
ditingkatkan dengan kriteria hasil:
1) Tekanan darah dalam batas normal
Rentang normal tekanan darah sistole pada orang dewasa yaitu 100-140 mmHg. Rentang
normal tekanan darah diastole pada orang dewasa yaitu 60-90 mmHg dengan rata-rata
120/80 mmHg (Debora, 2013).
2) Denyut nadi radial dalam batas normal
Rentang normal hasil pengukuran nadi pada orang dewasa adalah 60 sampai 100 kali per
menit (Debora, 2013).
3) Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam
Adanya asupan cairan harus dengan cermat disesuaikan dengan pengeluaran air yang
sebanding dari tubuh untuk mencegah penurunan atau peningkatan volume cairan. (Guyton
& Hall, 2011).
4) Berat badan stabil
Peningkatan atau penurunan 1 kg berat badan setara dengan penambahan atau pengeluaran
1 liter cairan. (Mubarak, 2015).
5) Turgor kulit tidak mengilap dan tegang
Pada kondisi kelebihan cairan interstisial. Area yang mengalami edema akan terlihat
bengkak, mengilap, dan tegang (Kozier & Erb, 2010).
6) Kelembaban membrane mukosa
7) Hematokrit dan Nitrogen urea darah (BUN) yaitu hematocrit normal laki-laki : 44 – 52
%, perempunan : 39 -47 %. BUN normal 10 – 20 mg/dl (Price & Wilson, 2008).
8) Tidak ada distensi vena leher
Normal distensi vena leher terletak 2 cm di atas angulus sternalis pada
posisi 45°, kelebihan cairan distensi vena leher dapat melebar sampai angulus mandibularis
pada posisi 45° (Price & Wilson, 2008).
9

9) Tidak ada edema perifer


Edema perifer adalah edeme pitting yang muncul di daerah perifer, edema sering muncul di
daerah mata, jari, dan pergelangan kaki. (Mubarak, 2015).
c. Intervensi yang dil akukan untuk mengatasi gangguan pertukaran gas
berdasarkan Nursing Interventions Classification (NIC) (Bulecheck, Butcher, Dochterman,
& Wagner, 2016): Rencana tindakan yang diberikan pada Keseimbangan cairan antara lain:
1) Fluid management
Meningkatkan keseimbangan cairan dan pencegahan komplikasi yang
dihasilkan dari tingkat cairan tidak normal atau diinginkan. (Bulecheck et al., 2016).
a) Timbang berat badan tiap hari dengan waktu yang sama dan monitor kesadaran.
Pengukuran berat badan dilakukan di saat yang sama dengan menggunakan pakaian
yang beratnya sama. Peningkatan atau penurunan 1 kg berat badan setara dengan
penambahan atau pengeluaran 1 liter cairan. (Mubarak, 2015)
b) Jaga intake yang akurat dan catat output
Asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi berlebihan. Aturan yang
dipakai untuk menentukan banyaknyan asupan cairan yaitu jumlah urin yang
dikeluarkan selama 24 jam terakhir di tambah 500 ml (IWL) (Suharyanto, 2009).
c) Monitor status hidrasi
membrane mukosa lembab, denyut nadi ade kuat, dan tekanan darah ortostatik.
d)Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan retensi cairan, misalnya, peningkatan
BUN dan penurunan hematokrit.
e) Monitor tanda-tanda vital pasien
pemeriksaan tingkat suhu, denyut nadi, respirasi, dan tekanan darah dalam kisaran
batas normal (Moorhead et al., 2016)
f) Monitor indikasi kelebihan cairan atau retensi misalnya: elevasi CVP, edema, distensi
vena leher, dan asites.
g) Monitor makanan/cairan yang dikonsumsi dan hitung asupan kalori harian
h) Batasi masukan cairan pada keadaan hipontremi
i) Berikan terapi IV seperti yang ditentukan.
j) Berikan diuretic yang diresepkan.
4. Implementasi
Menurut Kozier & Snyder (2010), implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana
perawat melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan terminologi NIC, implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan
yang merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk melaksanakan intervensi.
5. Evaluasi
10

Evaluasi keperawatan menurut Kozier (2010) adalah fase kelima atau terakhir dalam proses
keperawatan. Evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil evaluasi terdiri dari
evaluasi formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama program berlangsung. Sedangkan
evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan informasi efektifitas
pengambilan keputusan. Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP
(subjektif, objektif, assesment, planing) (Achjar, 2010). adapun komponen SOAP yaitu S
(Subjektif) dimana perawat menemui keluhan pasien yang masih dirasakan setelah diakukan
tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang berdasarkan hasil pengukuran atau
observasi perawat secara langsung pada pasien dan yang dirasakan pasien setelah tindakan
keperawatan, A (Assesment) adalah interprestsi dari data subjektif dan objektif, P (Planing)
adalah perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau
ditambah dari rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya (Nikmatur &
Saiful, 2012). Evaluasi yang diharapkan sesuai dengan masalah yang pasien hadapi yang telah
di buat pada perencanaan tujuan dan kriteria hasil.

D. Ketidakseimbangan Elektrolit Dan Asam Basa


a. Hiponatremia (<134 mEq/L)
Adalah keadaan kekurangan kadar natrium dalam cairan ekstrasel yang
menyebabkan perubahan tekanan osmotic. Pada kondisi ini, kadar natrium
serum < 136 mEq/L dan berat jenis urin < 1,010. Penurunan kadar natrium
menyebabkan cairan berpindah dari ruang ekstrasel ke cairan intrasel sehingga
menjadi bengkak. Tanda dan gejala hiponatremia meliputi rasa haus berlebihan,
denyut nadi cepat, hipotensi postural, konvulsi, membrane mukosa kering, cemas,
postural dizziness, mual, muntah, dan diare.Hiponatremia umumnya disebabkan
oleh kehilangan cairan tubuh secara berlebihan, misalnya ketika terjadi diare atau
muntah terus menerus dalam jangka waktu lama.

b. Hipernatremia (>146 mEq/L)


Hipernatremia adalah kelebihan kadar natrium dalam cairan ekstrasel yang
menyebabkan peningkatan tekanan osmotic ekstrsel. Pada kondisi ini, kadar
natrium serum >144 mEq/L dan berat jenis urine > 11,30. Peningkatan kadar
natrium menyebabkan cairan intrasel bergerak keluar sel. Tanda dan gejala
hipernatremia meliputi kulit dan mukosa bibir kering, turgor kulit buruk,
permukaan kulit membengkak, oliguria atau anuria, konvulsi, suhu tubuh tinggi,
dan lidah kering serta kemerahan. Hipernatremia bisa disebabkan oleh asupan
natrium yang berlebihan,kerusakan sensasi haus, diare, disfagia, poliuria karna
diabetes insipidus, dan kehilangan cairan berlebihan dari paru-paru.
11

c. Hipokalemia (<3,4 mEq/L)


Hipokalemia adalah keadaan kekurangan kadar kalium dalam cairan ekstrasel
yang menyebabkan kalium berpindah keluar sel. Pada kondisi ini, kadar kalium
serum < 3,5 mEq/L. pada pemeriksaan EKG terdapat gelombang T datar depresi
segmen ST. hipokalemia ditandai dengan kelemahan, keletihan, dan penurunan
kemampuan otot. Selain itu kondisi ini juga ditandai denga distensi usus,
penurunan bising usus, denyut jantung (aritmia) tidak beraturan, penurunan
tekanan darah, tidak napsu makan, dan muntah-muntah.

d. Hiperkalemia(>5,0 mEq/L)
Hiperkalemia adalah keadaan kelebihan kadar kalium dalam cairan ekstrasel.
Pada konsdisi ini, nilai kalium serum > 5 mEq/L. pada pemeriksaan EKG terdapat
gelombang T memuncak, QRS melebar, dan PR memanjang. Tanda dan gejala
hiperkalemia meliputi rasa cemas, iritabilitas, hipotensi, parastesia, mual,
hiperaktivitas system pencernaan, kelemahan, dan aritmia.Hiperkalemia ini
berbahaya karena dapat menghambat transmisi impuls jantung dan dapat
menyebabkan serangan jantung. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien luka
bakar, penyakit ginjal, dan asidosis metabolic. Ketika terjadi hiperkalemia, salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk menormalkan kadar kalium adalah dengan
pemberian insulin karena insulin dapat membantu mkalium masuk kedalam sel.

e. Hipokalsemia( <8,6 mg/ dL atau 4,5 mEq/L)


Hipokalsemia adalah kondisi kekurangan kalsium dalam cairan ekstrasel. Pada
kondisi ini, kadar kalsium serum <4,5 mEq/L serta terjadi pemanjangan interval
Q-T pada pemeriksaan EKG. Hipokalsemia ditandai dengan terjadinya kram otot
dan kram perut kejang (spasme) dan tetani, peningkatan motilitas gastrointestinal,
gangguan kardiovaskuler dan osteoporosis.

f. Hiperkalsemia( >10 mg/Dl atau 5,5 mEq/L)


Hiperkalsemia adalah kondisi kelebihan kadar kalsium pada cairan ekstrasel. Pada
kondisi ini, kadar kalsium serum > 5,8 mEq/L serta terjadi peningkatan BUN
akibat kekurangan cairan. Hiperkalsemia ditandai dengan penurunan kemampuan
otot, mual, muntah, anoreksia, kelemahan dan letargi, nyeri pada tulang, dan
serangan jantung.Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang mengalami
pengangkatan kelenjar ogondok dan mengkonsumsi vitamin D secara berlebihan.
12

g. Hipomagnesemia (<1,3 mEq/L)


Hipomagnesia adalah kondisi kekurangan kadar magnesium dalam darah. Pada
kondisi ini, kadar magnesium serum ≥ 1,4 mEq/L. Hipomagnesia ditandai
dengan iritabilitas, tremor, hipertensi, disorientasi, konvulsi, halusinasi, kejang,
dan kram pada kaki dan tangan, reflek tendon profunda yang hiperaktif, serta
takikardia. Kondisi ini umunya disebabkan oleh konsumsi alcohol yang berlebihan,
malnutrisi, gagal hati, absorbs usus yang buruk, dan diabetes mellitus.
h. Hipermagnesemia (>2,5 mEq/L)
Hipermagnesia adalah kelebihan kadar magnesium dalam darah. Pada
kondisi ini, nilai kadar magnesium serum ≥ 3,4 mEq/L. hipermagnesia
ditandai dengan depresi pernapasan, aritmia jantung, dan depresi reflex
tendon profunda.

i. Hipokloremia (≥95 mEq/L)


Hipokloremia adalah kondisi kekurangan ion klorida dalam serum. Pada
kondisi ini, nilai ion klorida ≥ 95 mEq/L. Hipokloremia ditandai dengan
gejal yang menyerupai alkalosis metabolic yaitu, kelemahan, apatis,
gangguan mental, pusing, dank ram. Kondisi ini dapat terjadi karena
tubuh kehilangan sekresi gastrointestinal secara berlebihan, misalnya
karena muntah, diare, dieresis, atau pengisapan nasogastrik.

j. Hiperkloremia (> 105 mEq/L)


Hiperkloremia adalah kondisi kelebihan ion klorida dalam serum.Pada
kondisi ini, nilai ion klorida > 105 mEq/L. hiperkloremia sering
dikaitkan dengan hipernatremia, terutama pada kasus dehidrasi dan
masalah ginjal. Hiperkloremia menyebabkan penurunan bikarbonat
sehingga menyebabkan ketidakseimbanagn asam basa. Jika berlangsung
lama, kondisi ini akan menyebabkan kelemahan, letrgi, dan pernapasan
kusmaul.
13

k. Hipofosfatemia(<2,5 mg/Dl)
Hipofosfatemia adalah kondisi penurunan kadar ion fosfat didalam
serum. Pada kondisi ini, nilai ion fosfat < 2,8 mg/dl. Hiposfatemia
antara lain ditandai dengan anoreksia, parastesia, kelemahan otot, dan
pusing. Kondisi ini dapat terjadi karena pengosumsian alcohol secara
berlebihan, malnutrisi, hipertiroidisme, dan ketoasidosis diabetes.

l. Hiperfosfatemia(>4,5 mg/Dl)
Hiperfosfatemia adalah kondisi peningkatan kadar ion fosfat didalam
serum. Pada kondisi ini, nilai ion fosfat > 4,4 mg/dl atau > 3,0 mEq/L.
Hiperfosfatemia antara lain ditandai dengan peningkatan eksitabilitas
system saraf pusat, spasme otot, konvulsi dan tetani, peningkatan
gerakan usus, ganggua kardiovaskuler, dan osteoporosis. Kondisi ini
dapat terjadi pada kasus gagal ginjal atau pada saat kadar parathormon
menurun.

Anda mungkin juga menyukai