DI SUSUN OLEH :
DEA MITHA APRILIANI
NIM. 210104022
retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Ginjal juga tidak mampu untuk
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir,
respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit tidak terjadi.
Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif, dan hipertensi (Smeltzer & Bare, 2010).
2. Etiologi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan dampak akhir dari seluruh penyakit yang menyerang
ginjal (Price & Wilson, 2008), penyebab GGK adalah:
a. Infeksi misalnya pielonefritis kronis atau TB paru.
Infeksi traktus urinarius pielinefritis juga disebut dengan nefropati refluks diakibatkan oleh
refluks urine yang terinfeksi kedalam ureter yang kemudian masuk ke dalam perenkim
ginjal (refluks intrarenal). Pielonefritis kronik akibat VUR adalah penyebab utama gagal
ginjal tahap akhir pada anak-anak, dan secara teoritis dapat dicegah dengan mengendalikan
UTI dan memperbaiki kelainan structural dari saluran kemih yang menyebabkan obstruksi.
Kerusakan ginjal progresif tidak dapat diketahui sampai timbul gejala dan tanda ESRD
pada masa dewasa.
b. Penyakit peradangan misalnya glomerulonephritis.
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Istilah umum
glomerulusnefritis (GN) biasanya dipakai untuk menyatakan sejumlah penyakit ginjal
primer yang terutama glomerulus, tetapi juga dipergunakan untuk menyatakan lesi-lesi
pada glomerulus yang dapat ataupun tidak disebabkan oleh penyakit ginjal primer.
c. Penyakit veskuler hipertensi misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna.
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin
merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya, penyakit
ginjal kronik yang berat dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan dalam hipertensi
melalui mekanisme retensi natrium dan air, pengaruh vasopressor dari system renin-
angiotensi, dan mungkin pula melalui defisiensi prostaglandin. Nefrosklerosis (pengerasan
ginjal) menunjukkan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal akibat
hipertensi. Hipertensi benigna bersifat progresif lambat, sedangkan hipertensi maligna
adalah suatu keadaan klinis dalam penyakit hipertensi yang bertambah berat dengan cepat
sehingga dapat menyebabkan kerusakan berat pada berbagai organ. Hipertensi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada arteriol di
seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah.
Organ sasaran utama keadaan ini adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal,
arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis benigna.
Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh
3
darah intrarenal. Ginjal dapat mengecil, biasanya simetris, dan mempunyai permukaan
yang berlubang-lubang dan bergranula. Secara histologis, lesi yang esensial adalah
sklerosis arteria-arteria kecil serta arteriol yang paling nyata pada arteriol yang paling nyata
pada arteriol aferen. Penyumbatan arteria dan arteriol akan menyebabkan kerusakan
glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak. Nefronsklerosis maligna
merupakan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan perubahan struktural
ginjal yang dikaitkan dengan fase maligna hipertensi esensial. Ginjal dapat berukuran
normal dengan sedikit granula dan beberapa petekia akibat pecahnya arteriol, atau dapat
mengisut dan membentuk jaringan parut.
d. Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodusa, sklerosis
sistemik progresif.
e. Gangguan metabolik misalnya diabetes melitus, gout, kehilangan kalium yang kronis,
konsumsi analgetik yang kronis, amyloidosis
f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbale
Ginjal rentan tehadap efek toksik, obat-obatan dan bahan-bahan jimia karena ginjal
mnerima 25% dari curah jantung, sehingga sering dan mudah kontak dengan zat kimia
dalam jumlah besar, interstisium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia
dikonsentrasikan pada daerah yang relative hipovaskular dan ginjal merupakan jalur
ekskresi obligatorik untuk sebagian besar obat, sehingga insufisiensi ginjal mengakibatkan
penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi cairan tubulua. Gagal ginjal kronik dapat
terjadi akibat penyalahgunaan analgetik dan pajanan timbal.
g. Nefropati obstruksi misalnya saluran kemih bagian atas : hipertropi prostat, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah : hipertropi prostat, striktur uretra, anomaly
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.
h. Gangguan kongenital herediter misalnya polikistik, asidosis tubulus ginjal, sindrome
fankomi.
2. Etiologi
Karena air dan natrium ditahan dalam tubuh, konsentrasi natrium serum pada intinya tetap
normal, hypervolemia selalu menjadi akibat sekunder dari peningkatan kandungan natrium
tubuh total. Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) Penyebab hipervolemia adalah
gangguan mekanisme regulasi yaitu gagal ginjal kronik. Penyebab hipervolemia pada gagal
ginjal kronik antara lain:
a. Retensi natrium dan air yang disebab pada gagal ginjal kronik karena penurunan jumlah
nefron yang membuat laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun (Price & Wilson, 2008).
b. Hypoalbuminemia terjadi pada gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh sindrom nefrotik
(Price & Wilson, 2008).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hipervolemia
a. Usia
Bayi dan anak yang sedang tumbuh memiliki perpindahan cairan yang jauh lebih besar
dibandingkan orang dewasa karena laju metabolisme mereka lebih tinggi meningkatkan
kehilangan cairan. Bayi kehilangan banyak cairan melalui ginjal karena ginjal yang belum
matang kurang mampu menyimpan air dibandingkan ginjal orang dewasa. Pada usia paruh
baya (40-65 tahun) perubahan fisik individu yang terjadi pada system perkemihan yaitu
unit nefron berkurang selama periode ini dan laju filtrasi glomerulus menurun. Pada lansia
(lebih dari 65 tahun) perubahan fisik normal akibat penuaan pada perkemihan yaitu
penurunan kemampuan filtrasi ginjal dan gangguan fungsi ginjal, konsentrasi urine menjadi
kurang efektif, urgensi berkemih dan sering berkemih (Kozier & Erb, 2010).
b. Jenis kelamin dan ukuran tubuh
Air tubuh total dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ukuran tubuh. Kerna sel
lemak mengandung lebih sedikit atau sama sekali tidak mengandung air dan jaringan tanpa
lemak memiliki kandungan air yang tinggi, individu yang memiliki persentase lemak tubuh
lebih tinggi memiliki cairan tubuh yang lebih sedikit. Wanita secara proporsional memiliki
lemak tubuh yang lebih banyak dan lebih sedikit cairan tubuh dibandingkan pria. Air
menyusun sekitar sekitar 60% berat badan pria dewasa, tetapi hanya 52% untuk wanita
dewasa. Pada individu gemuk, kandungan air tubuh mungkin lebih sedikit, dengan hanya
30% sampai 40% dari berat badan individu tersebut (Kozier & Erb, 2010).
c. Suhu lingkungan
Individu yang sakit dan mereka yang berpartisipasi dalam aktrivitas berat berisiko
mengalami ketidakseimbangan cairan dan elektrolit apabila suhu lingkungan tinggi.
Kehilangan cairan melalui keringat meningkat di lingkungan yang panas karena tubuh
5
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), gejala dan tanda hipervolemia adalah :
a. Gejala dan tanda mayor
1) Edema anasarka dan atau edema perifer
Pembengkakan akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Jelas terlihat di
daerah yang menggantung akibat pengaruh gravitasi dan didahului oleh bertambahnya
berat badan. (Price & Wilson, 2008). Edema anasarka adalah edema yang terdapat di
seluruh tubuh. Edema perifer adalah edema pitting yang muncul di daerah perifer, edema
sering muncul di daerah mata, jari, dan pergelangan kaki (Mubarak, 2015).
2) Berat badan meningkat dalam waktu singkat
Kenaikan dan penurunan berat badan perhari dengan cepat biasanya berhubungan dengan
perubahan volume cairan. Peningkatan berat badan lebih dari 2,2 kg/hari (1lb/hari)
diduga ada retensi cairan. Secara umum pedoman yang dipakai adalah 473 ml (1 pt)
cairan menggambarkan 0,5 kg (1,1 lb) dari peningkatan berat badan (Hudak & Gallo,
2012).
3) Jugular venous pressure (JVP) dan atau central venous pressure (CVP) meningkat
Central venous pressure atau tekanan vena sentral merupakan tekanan di dalam antrium
kanan, CVP normal sekitar 0 mm hg, tekanan ini dapat naik menjadi 20-30 mm Hg pada
keadaan abnormal. Jugular venous pressure atau tekanan vena jugularis merupakan
tekanan vena perifer, saat CVP melebihi nilai normal akan membuat vena menjadi lebar
bahkan titik-titikm rawan kolaps akan terbuka bila CVP meningkat (Guyton & Hall,
2011)
4) Refleks hepatojugular positif
Refleks hepatojugular positif merupakan respon vena jugularis yang terjadi saat jantung
menerima beban sehingga peregangan vena jugularis meningkat dan frekuensi denyut
vena di leher juga meningkat (Price & Wilson,2008).
2. Diagnosa keperawatan
Merumuskan masalah keperawatan dengan pendekatan SDKI (2017), yaitu Hipervolemia
berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi. Diagnosa keperawatan merupakan suatu
penilaian klinis mengenai respons klien terhadap suatu masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial (Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia, 2017). Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
megidentifikasi respon klien individu, keluarga atau komunitas terhadap situasi yang berkaitan
dengan kesehatan (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2017). Diagnosa keperawatan
dalam masalah ini adalah Hipervolemia. Hipervolemia merupakan Peningkatan volume cairan
intravaskular, interstisial, dan intraseluler ( Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2017).
Dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Hipervolemia termasuk kedalam kategori
fisiologis dan subkategori nutrisi dan cairan. Penyebab dari Hipervolemia adalah gangguan
mekanisme regulasi. Adapun gejala dan tanda mayor dari hipervolemia adalah subyektif yaitu
ortopnea, dyspnea, dan paroxysmal nocturnal dyspnea (PND). obyektif yaitu edema anarsarka
atau edema perifer, berat badan meningkat dalam waktu singkat, jugular venous pressure
(JVP) dan atau cental venous pressure (CVP), reflex hepatojugular positif. Gejala dan tanda
minor dari Hipervolemia. Secara obyektif adalah distensi vena jugularis, terdengar suara napas
tambahan, hepatomegall, kadar Hb/Ht turun, oliguria, intake lebih banyak dari output (balans
cairan positif), kongesti paru. Kondisi klinis terkait Hipervolemia adalah penyakit ginjal
(gagal ginjal akut/kronis, simdrom nefrotik), hypoalbuminemia, gagal jantung kongestif,
kelainan hormone, penyakit hati (sirosis, asites, kanker hati), penyakit vena perifer (varises
vena, thrombus vena, phlebitis).
3. Intervensi
Menurut Huda & Kusuma (2015), setelah merumuskan diagnosa dilanjutkan dengan intervensi
8
Evaluasi keperawatan menurut Kozier (2010) adalah fase kelima atau terakhir dalam proses
keperawatan. Evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil evaluasi terdiri dari
evaluasi formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama program berlangsung. Sedangkan
evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan informasi efektifitas
pengambilan keputusan. Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP
(subjektif, objektif, assesment, planing) (Achjar, 2010). adapun komponen SOAP yaitu S
(Subjektif) dimana perawat menemui keluhan pasien yang masih dirasakan setelah diakukan
tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang berdasarkan hasil pengukuran atau
observasi perawat secara langsung pada pasien dan yang dirasakan pasien setelah tindakan
keperawatan, A (Assesment) adalah interprestsi dari data subjektif dan objektif, P (Planing)
adalah perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau
ditambah dari rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya (Nikmatur &
Saiful, 2012). Evaluasi yang diharapkan sesuai dengan masalah yang pasien hadapi yang telah
di buat pada perencanaan tujuan dan kriteria hasil.
d. Hiperkalemia(>5,0 mEq/L)
Hiperkalemia adalah keadaan kelebihan kadar kalium dalam cairan ekstrasel.
Pada konsdisi ini, nilai kalium serum > 5 mEq/L. pada pemeriksaan EKG terdapat
gelombang T memuncak, QRS melebar, dan PR memanjang. Tanda dan gejala
hiperkalemia meliputi rasa cemas, iritabilitas, hipotensi, parastesia, mual,
hiperaktivitas system pencernaan, kelemahan, dan aritmia.Hiperkalemia ini
berbahaya karena dapat menghambat transmisi impuls jantung dan dapat
menyebabkan serangan jantung. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien luka
bakar, penyakit ginjal, dan asidosis metabolic. Ketika terjadi hiperkalemia, salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk menormalkan kadar kalium adalah dengan
pemberian insulin karena insulin dapat membantu mkalium masuk kedalam sel.
k. Hipofosfatemia(<2,5 mg/Dl)
Hipofosfatemia adalah kondisi penurunan kadar ion fosfat didalam
serum. Pada kondisi ini, nilai ion fosfat < 2,8 mg/dl. Hiposfatemia
antara lain ditandai dengan anoreksia, parastesia, kelemahan otot, dan
pusing. Kondisi ini dapat terjadi karena pengosumsian alcohol secara
berlebihan, malnutrisi, hipertiroidisme, dan ketoasidosis diabetes.
l. Hiperfosfatemia(>4,5 mg/Dl)
Hiperfosfatemia adalah kondisi peningkatan kadar ion fosfat didalam
serum. Pada kondisi ini, nilai ion fosfat > 4,4 mg/dl atau > 3,0 mEq/L.
Hiperfosfatemia antara lain ditandai dengan peningkatan eksitabilitas
system saraf pusat, spasme otot, konvulsi dan tetani, peningkatan
gerakan usus, ganggua kardiovaskuler, dan osteoporosis. Kondisi ini
dapat terjadi pada kasus gagal ginjal atau pada saat kadar parathormon
menurun.