Anda di halaman 1dari 23

Tentang Saliva

Saliva adalah suatu cairan oral yang kompleks dan tidak berwarna yang terdiri atas campuran sekresi dari
kelenjar ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral. Saliva dapat disebut juga kelenjar ludah atau
kelenjar air liur. Semua kelenjar ludah mempunyai fungsi untuk membantu mencerna makanan dengan
mengeluarkan suatu sekret yang disebut “salivia” (ludah atau air liur). Pembentukan kelenjar ludah dimulai
pada awal kehidupan fetus (4 – 12 minggu) sebagai invaginasi epitel mulut yang akan berdiferensiasi ke
dalam duktus dan jaringan asinar. Saliva terdapat sebagai lapisan setebal 0,1-0,01 mm yang melapisi seluruh
jaringan rongga mulut. Pengeluaran air ludah pada orang dewasa berkisar antara 0,3-0,4 ml/menit sedangkan
apabila distimulasi, banyaknya air ludah normal adalah 1-2 ml/menit. Menurunnya pH air ludah (kapasitas
dapar / asam) dan jumlah air ludah yang kurang menunjukkan adanya resiko terjadinya karies yang tinggi.
Dan meningkatnya pH air ludah (basa) akan mengakibatkan pembentukan karang gigi.

Ludah diproduksi secara berkala dan susunannya sangat tergantung pada umur, jenis kelamin, makanan saat
itu, intensitas dan lamanya rangsangan, kondisi biologis, penyakit tertentu dan obat-obatan. Manusia
memproduksi sebanyak 1000-1500 cc air ludah dalam 24 jam, yang umumnya terdiri dari 99,5% air dan 0,5
% lagi terdiri dari garam-garam , zat organik dan zat anorganik. Unsur-unsur organik yang menyusun saliva
antara lain : protein, lipida, glukosa, asam amino, amoniak, vitamin, asam lemak. Unsur-unsur anorganik
yang menyusun saliva antara lain : Sodium, Kalsium, Magnesium, Bikarbonat, Khloride, Rodanida dan
Thiocynate (CNS) , Fosfat, Potassium. Yang memiliki konsentrasi paling tinggi dalam saliva adalah kalsium
dan Natrium.
Saliva memiliki beberapa fungsi, yaitu :
1. Melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses mengunyah dan menelan makanan
2. Membasahi dan melembutkan makanan menjadi bahan setengah cair ataupun cair sehingga mudah ditelan
dan dirasakan
3. Membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan kuman
4. Mempunyai aktivitas antibacterial dan sistem buffer
5. Membantu proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzim ptyalin (amilase ludah) dan lipase ludah
6. Berpartisipasi dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena terdapat faktor pembekuan darah
dan epidermal growth factor pada saliva
7. Jumlah sekresi air ludah dapat dipakai sebagai ukuran tentang keseimbangan air dalam tubuh.
8. membantu dalam berbicara (pelumasan pada pipi dan lidah)

Kurang lebih 80% bau mulut timbul dari dalam rongga mulut. Air ludah atau saliva memegang peranan
dalam masalah bau mulut, gigi berlubang dan penyakit rongga mulut/penyakit tubuh secara keseluruhan
karena air ludah melindungi gigi dan selaput lunak di rongga mulut dengan sistem buffer sehingga makanan
yang terlalu asam misalnya bisa dinetralkan kembali keasamannya dan juga segala macam bakteri baik yang
aerob (hidup dengan adanya udara) maupun bakteri anaerob (hidup tanpa udara) dijaga keseimbangannya.
Di dalam air ludah juga terdapat antigen dan antibodi yang berfungsi melawan kuman dan virus yang masuk
ke dalam tubuh sehingga kita sehingga tubuh tidak akan mudah terserang penyakit. Seandainya dalam
keadaan normal tersebut seseorang memakai obat kumur ataupun antiseptik yang berlebihan, maka justru
keseimbangan bakteri akan terganggu, bakteri-bakteri yang penting bisa menjadi mati, justru bakteri-bakteri
yang merusak malah menjadi berlipat ganda sehingga timbul lah masalah dalam rongga mulut. Adanya
bakteri akan dapat membuat sisa makanan di gigi/selaput rongga mulut terfermentasi (seperti halnya ragi),
sehingga timbul racun bersifat asam yang akan membuat email menjadi rapuh (mengalami
demineralisasi/mineral gigi rontok )mula-mula secara mikro dan dengan berjalannya waktu gigi akan
berlubang secara kasat mata. Masalah lain, bakteri terutama bakteri anaerob (hidup tanpa udara) akan
mengeluarkan gas yang mudah menguap antara lain seperti gas H2S (Hidrogen Sulfid), Metil Merkaptan dll.
Gas ini menimbulkan bau mulut.

Pada orang-orang yang mengalami diabetes/kencing manis, perokok, makan obat-obatan tertentu, orang
lanjut usia, maupun orang yang menjalani terapi radiasi (pada penderita kanker) punya kecenderungan air
ludahnya berkurang (disebut dengan istilah xerostomia=kekeringan rongga mulut). Hal ini bisa diatasi
dengan terapi obat-obatan yang merangsang keluarnya air ludah (dengan obat-obatan yang diresepkan dari
dokter gigi). Kecuali bagi perokok, barangkali lebih bijaksana apabila frekuensi rokoknya yang dikurangi,
juga orang yang sedang meminum obat-obatan tertentu yang dapat menimbulkan kekeringan rongga mulut,
dapat kembali seperti semula apabila obat-obatan telah dihentikan pemakaiannya. (Khususnya pada
penderita diabetes/kencing manis, ada bau mulut khas yakni bau aseton). Kemudian dalam hal kualitas,
hindari makan-makanan yang terlalu banyak mengandung zat-zat kimia, seperti makanan yang banyak
mengandung zat pengawet, zat pewarna tambahan, zat penambah rasa, atau makanan yang terlalu
manis/lengket/asam , maupun minuman-minuman berkarbonasi secara terus menerus. Sebab dengan
keasaman yang terus menerus, air ludah tidak dapat menyangga kadar keasamannya (fungsi buffer tadi)
supaya pH-nya naik kembal. Jadi keasaman yang terus menerus itu yang membuat gigi berlubang
(mengalami demineralisasi email). Bila ingin minum air bersoda, atau permen lebih baik dimakan dalam
satu waktu tertentu berdekatan dengan makan pagi/makan siang/makan malam dan diakhiri dengan minum
air putih/sikat gigi, daripada memakan atau meminumnya sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang
lama. Menyikat gigi umumnya dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi setelah makan pagi dan malam sebelum
tidur. Dengan jumlah yang 2 kali dan juga kesalahan manusiawi misalnya tidak bisa setiap saat bisa
membersihkan gigi dengan tepat dan teliti ke seluruh bagian, maka kita harus melepaskan waktu perawatan
sisanya kepada air ludah yang cukup jumlahnya dan baik kualitasnya. Dengan cara makan makanan yang
alamiah tidak banyak mengandung zat kimia, yakni zat perasa, pewarna dan pengawet, makan makanan
berserat seperti sayur dan buah-buahan supaya saat menggigit air ludah dapat terrangsang untuk keluar (pada
makanan yang semuanya lunak/tidak berserat, gigi tidak perlu menggigit kuat, akibatnya air ludah juga tidak
banyak keluar), menghindari minuman berkarbonasi (secara berlebihan) dan juga pola makannya diatur
dengan memakan camilan/minuman manis berdekatan dengan waktu makan makanan utama, setelah itu gigi
dibersihkan, apabila tidak dapat menggosok gigi, kumur-kumurlah atau minumlah air putih yang banyak. Itu
adalah cara yang sederhana dan paling mudah dilakukan.

Jenis kelenjar saliva dan muaranya

Macam-macam kelenjar ludah :


1. Kelenjar ludah utama / mayor / besar-besar
Kelenjar-kelenjar ludah besar terletak agak jauh dari rongga mulut dan sekretnya disalurkan melalui
duktusnya kedalam rongga mulut.
Kelenjar saliva mayor terdiri dari :
Ø Kelenjar Parotis , terletak dibagian bawah telinga dibelakang ramus mandibula
Ø Kelenjar Submandibularis (submaksilaris) , terletak dibagian bawah korpus mandibula
Ø Kelenjar Sublingualis , terletak dibawah lidah
Kelenjar ludah besar sangat memegang peranan penting dalam proses mengolah makanan.

Kelenjar Parotis
v Kelenjar parotis merupakan kelenjar ludah terbesar yang terletak antara prossesus mastoideus dan ramus
mandibula.
v Duktus kelenjar ini bermuara pada vestibulus oris pada lipatan antara mukosa pipi dan gusi dihadapan
molar 2 atas.
v Kelenjar parotis dibungkus oleh jaringan ikat padat
v Mengandung sejumlah besar enzim antara lain amilase lisozim, fosfatase asam, aldolase, dan
kolinesterase.
v Jaringan ikat masuk kedalam parenkim dan membagi organ menjadi beberapa lobus dan lobulus
v Secara morfologis kelenjar parotis merupakan kelenjar tubuloasinus (tubulo-alveolar) bercbang-cabang
(compound tubulo alveolar gland)
v Asinus-asinus murni serus kebanyakan mempunyai bentuk agak memanjang dan kadang-kadang
memperlihatkan percabangan-percabangan
v Antara sel-sel asinus membran basal terdapat sel-sel basket
v Saluran keluar utama ( duktus interlobaris) disebut duktus stenon (stenson) terdiri dari epitel berlapis
semu.
v Kearah dalam organ duktus ini bercabang-cabang menjadi duktus interlobularis dengan sel-sel epitel
berlapis silindris
v Duktus interlobularis tadi kemudian bercabang-cabang menjadi duktus intralobularis. Kebanyakan duktus
intralobularis merupakan duktus Pfluger yang mempunyai epitel selapis silindris yang bersifat acidophil dan
menunjukkan garis-garis basal
v Duktus Boll pada umumnya panjang-panjang dan menunjukkan percabangan
v Duktus Pfluger agak pendek
v Sel-selnya pipih dan memanjang
v Pada jaringan ikat interlobaris dan interlobularis terlihat banyak lemak yang berhubungan dengan
“kumpulan lemak bichat” (Fat depat of bichat). Juga pada jaringan tersebut terlihat cabang-cabang dari
Nervus Facialis dan pembuluh darah

Kelenjar submandibularis (submaksilaris)


v Kelenjar ini terletak disebelah dalam korpus mandibula dan mempunyai duktus ekskretoris (Duktus
Wharton) yang bermuara pada dasar rongga mulut pada frenulum lidah , dibelakang gigi seri bawah.
v Merupakan kelenjar yang memproduksi air liur terbanyak
v Seperti juga kelenjar parotis, kelenjar ini diliputi kapsel yang terdiri dari jaringan ikat padat yang juga
masuk ke dalam organ dan membagi organ tersebut menjadi beberapa lobulus
v Secara morfologis kelenjar ini merupakan kelenjar tubuloalveolar / tubuloacinus bercabang-cabang
(compound tubulo alveolar gland)
v Percabangan duktusnya sama dengan glandula parotis demikian pula sel-selnya
v Bentuk sinus kebanyakan memanjang
v Antara sel-sel asinus membran basal terdapat sel-sel basket
v Duktus Boll : pendek, sempit sehingga sukar dicari dalam preparat bila dibandingkan glandula parotis.
Selnya pipih dan memanjang
v Duktus Pfluger : lebih panjang daripada duktus pfluger kelenjar parotis dan menunjukkan banyak
percabangan sehingga dalam preparat lebih mudah dicari

Kelenjar sublingualis
v Merupakan kelenjar terkecil dari kelenjar-kelenjar ludah besar
v Terletak pada dasar rongga mulut, dibawah mukosa dan mempunyai saluran keluar (duktus ekskretorius)
yang disebut Duktus Rivinus
v Bermuara pada dasar rongga mulut dibelakang muara duktus Wharton pada frenulum lidah
v Glandula sublingualis tidak memiliki kapsel yang jelas tetapi memiliki septa-septa jaringan ikat yang
jelas/tebal
v Secara morfologis kelenjar ini merupakan kelenjar tubuloalvioler bercabang-cabang (compound
tubuloalveolar gland)
v Merupakan kelenjar tercampur dimana bagian besar asinusnya adalah mukus murni
v Duktus ekskretoris sama dengan glandula parotis
v Duktus Pfluger sangat pendek
v Duktus Boll sangat pendek dan bentuknya sudah tidak khas sehingga dalam preparat sukar ditemukan
v Pada jaringan ikat interlobularis tidak terdapat lemak sebagai glandula parotis

2. Kelenjar ludah tambahan / minor / kecil-kecil


Kebanyakan kelenjar ludah merupakan kelenjar kecil-kecil yang terletak di dalam mukosa atau submukosa
(hanya menyumbangkan 5% dari pengeluaran ludah dalam 24 jam) yang diberi nama lokasinya atau nama
pakar yang menemukannya. Semua kelenjar ludah mengeluarkan sekretnya kedalam rongga mulut.
Ø Kelenjar labial (glandula labialis) terdapat pada bibir atas dan bibir bawah dengan asinus-asinus
seromukus
Ø Kelenjar bukal (glandula bukalis) terdapat pada mukosa pipi, dengan asinus-asinus seromukus
Ø Kelenjar Bladin-Nuhn ( Glandula lingualis anterior) terletak pada bagian bawah ujung lidah disebelah
menyebelah garis, median, dengan asinus-asinus seromukus
Ø Kelenjar Von Ebner (Gustatory Gland = albuminous gland) terletak pada pangkal lidah, dnegan asinus-
asinus murni serus
Ø Kelenjar Weber yang juga terdapat pada pangkal lidah dengan asinus-asinus mukus .
Kelenjar Von Ebner dan Weber disebut juga glandula lingualis posterior
Ø Kelenjar-kelenjar pada pallatum dengan asinus mukus .

Struktur-struktur kelenjar saliva


Tiap-tiap kelenjar sebagai suatu organ terdiri dari:
1. Parenkim, yaitu bagian kelenjar yang terdiri dari asinus-asinus dan duktus-duktus bercabang.
Asinus merupakan bagian-bagian sekretoris yang mengeluarkan sekret. Sekret ini akan dialirkan melalui
suatu duktus untuk menyalurkan sekret kemana mestinya.
2. Stroma / jaringan ikat interstisial yang merupakan jaringan antara asinus dan duktus tersebut.
Jaringan ikat ini membungkus organ (kapsel) dan masuk kedalam organ dan membagi organ tersebut
menjadi lobus dan lobulus. Pada jaringan ikat tersebut ditemukan duktus kelenjar, pembuluh darah,s erat
saraf dan lemak.

Kelenjar saliva mayor terdiri dari beberapa jenis sel:


1. Unit sekretori
Terdiri dari : sel-sel asinar , duktus interkalaris , duktus striata , dan main excretory ducts.
Sebagai tambahan kepada sel-sel ini yang bertanggung jawab besar untuk sekresi dan modifikasi dari saliva,
sel-sel plasma juga berkontribusi pada sekresi saliva, setidaknya pada kelenjar minor.
2. Unit non sekretori
Terdiri dari myoepitel sel dan sel saraf
Sel-sel asinar
Merupakan unit sekretori sel.
Sel asinar mengandung olyco protein, protein dan elektrolit.
Menurut sekretnya , asinus dapat dibedakan menjadi asinus serus, mukus, dan tercampur
a. Asinus serus
- Sekretnya encer
- Terdapat pada kelenjar parotis
- Pengecatan HE bewarna ungu kemerahan
- Lumennya sempit
- Batas sel sukar dilihat dan antara sel terdapat kanalikuli sekretoris interseluler
- Inti sel bulat kearah basal
- Penampakan sel tergantung fase sekresi selnya, dimana pada fase istirahat, bagian apikalnya banyak
terdapat butir sekresi (zimogen) sehingga inti sel terdesak ke basal. Dan setelah sekresi sel, maka sel
menjadi mengecil.
- Terdapat sel myoepitel diantara sel kelenjar dan membran basal yang dapat berkontraksi untuk membantu
mengeluarkan sekret asinus
b. Asinus mukus
- Sekretnya kental
- Terdapat pada kelenjar saliva minor / tambahan / kecil-kecil
- Pengecatan HE berwarna jernih kebiruan
- Lumennya besar
- Batas sel lebih jelas terlihat, tidak terdapat kanalikuli interseluler sehingga sekretnya langsung dituangkan
oleh sel sekretoris kedalam lumen asinus
- Inti sel pipih kearah basal
- Pada fase istirahat, sitoplasmanya mengandung butir mucigen yang sering rusak saat preparat
fifiksasi/dicat sehingga sel menjadi lebih terang
- Terdapat sel myoepitel
- Organela selnya berbeda dengan sel serus, dimana terdapat lebih sedikit mitokondria, RE, dan banyak
apparatus golgi sehingga terdapat lebih banyak komponen karbohidrat pada sekretnya
c. Asinus campuran
- Yang dimaksud dengan kelenjar-kelenjar yang mempunyai asinus tercampur, adalah kelenjar-kelenjar yang
mempunyai baik asinus serus maupun asinus-asinus mukus sebagai parenkimnya. Campuran tersebut dapat
berupa asinus-asinus murni mukus dengan asinus-asinus murni serus atau dapat pula satu asinus mempunyai
bagian mukus dan serus bersama-sama
- Kelenjar submandibularis (submaksilaris) memiliki sel serus lebih banyak dari pada sel mukusnya
- Kelenjar sublingualis memiliki sel mukus lebih banyak daripada sel serusnya
- Pada asinus tercampur sel-sel mukus sering didapatkan dekat duktus sedangkan sel-sel serus pada bagian
yang jauh dari duktus
- Kadang-kadang sel mukus berasal dari melendirnya sel-sel asinus karena terganggunay pengeluaran
sekretnya. Gangguan tersebut sering terjadi pada duktus Boll
- Bila dalam satu asinus sel-sel mukus lebih banyak lagi, maka sel-sel albumin (serus) tadi akan terdesak
kearah apikal (puncak) asinus, sehingga sel-sel serus tadi merupakan suatu lengkungan yang pada
penampang sering terlihat sebagai bulan sabit, yangs ering disebut lanula Gianuzzi (Demilines of
Haidenhain, Crescent of Gianuzzi, serous demilunes of Gianuzzi). Bagian ini masih mempunyai kanalikuli
sekretoris interseluler yang bermuara ke lumen asinus
Duktus
Saluran kelenjar ludah terdiri dari beberapa bagian yang panjangnya berbeda-beda menurut jenis kelenjar.
Jika dipandang dari segi lobulasi, ada yang letaknya intralobularis dan ada yang interlobularis.
1. Duktus intralobularis
a. Duktus interkalaris (Duktus Boll)
- Duktus yang menghubungkan asinus dengan saluran berikutnya (duktus Pfluger)
- Bersifat non sekretorius
- Terdiri dari epitel selapis pipih atau selapis kubis
- Fungsi : a. mengatur sekresi saliva asinar
b. memodifikasi komponen elektrolit
c. mengangkut komponen makromolekuler

b. Duktus sekretorius (Pfluger)


- Duktus yang lebih besar dan bersifat sekretorious, sehingga disebut juga duktus salivatorius, terutama
menghasilkan Ca dan air
- Epitelnya terdiri dari epitel selapis kubis sampai silindris dimana bagian basalnya menunjukkan garis-garis
sehingga juga disebut striated duct (duktus bergaris-garis)
- Fungsi : a. Transport elektrolit dengan menyerap sodium dari sekresi utama diangkut keluar melalui
pembuluh darah kapiler
b. memodifikasi kompisisi elektrolit saliva

2. Duktus Interlobularis
Duktus pfluger tadi dilanjutkan oleh saluran yang lebih besar keluar dari lobulus kelenjar tadi, masuk ke
dalam jaringan ikat interlobular. Saluran ini merupakan duktus pengeluaran atau eksretorius yang
mengalirkan saliva ke dalam rongga mulut. Terdiri dari epitel selapis silindris atau berlapis semu dan dekat
muara duktus, epitel ini berubah menjadi epitel berlapis pipih dan berlanjut ke epitel rongga mulut.
Penamaan duktus berdasarkan atas pakar yang menemukannya :
§ Kelenjar parotis : Stensen
§ Kelenjar Submandibular (submaksilaris) : Whartoni
§ Kelenjar Sublingualis : Bartholini

Fungsi = Resorpsi Na dan sekresi K

Sel Myoepitel
- Terdapat dalam asinar
- Fungsinya untuk mengatur pergerakan saliva dari asinar kesistem duktus dengan cara kontraksi asinar

Apa yang terjadi pada saluran saliva saat melewati saluran tersebut :
1. Sekresi bikarbonat dan Kalium (Potassium)
2. Reabsorbsi Natrium dan Chlorida

Saraf kelenjar ludah


- Kelenjar ludah disarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis (N VII)
- Saraf parasimpatis = merangsang keluarnya saliva
- Saraf simpatis = merangsang reseptor α dan β

Kelenjar ludah mendapatkan supply saraf parasimpatis dari nukleus ludah inferior, kelenjar submandibula
dan sublingualis mendapat supply saraf dari nukleus ludah superior. Supply saraf simpatis untuk kelenjar
parotis, submandibularis, sublingualis berasal dari ganglion simpatis servikal superior, dengan pleksus saraf
yang berjalan ke kelenjar ludah di sepanjang arteri. Kelenjar ludah minor mungkin juga mempunyai supply
saraf simpatis dan parasimpatis.

Sekresi kelenjar ludah


Saliva atau ludah merupakan campuran dari beberapa sekresi kelenjar ludah. Sekresi normal saliva sehari
berkisar antara 800 – 1500 ml. Pada umumnya saliva merupakan cairan viskus, tidak berwarna yang
mengandung air, mukoprotein, immunoglobulis, karbohidrat komponen-komponen organis seperti, Ca, P,
Na, Mg, Cl, Fe, dan J. Kecuali itu saliva mengandung pula enzim amilase yaitu ptialin Selanjutnya saliva
juga mengandung sel-sel desquamasi yang lazim disebut korpuskulus salivatorius. Komposisi saliva tadi
sangat tergantung pada keaktivan kelenjar-kelenajar ludah. Sekresi kelenjar ludah dapat terjadi oleh
beberapa faktor, yaitu : reflek saraf, rangsangan mekanis, rangsangan kimaiwi. Bahan makanan dan zat
kimia dapat memberi rangsangan langsung pada mukosa mulut. Bahan makanan juga dapat merangsang
serat saraf eferens yang berasal dari bagian thorakal. Sekresi air ludah dapat pula timbul secara reflektoris
hanya dengan jalan mencium bau makanan, melihat makanan, atau dengan memikirkan dan membayangkan
makanan saja.

Saliva mengandung 2 tipe sekresi protein yang utama yaitu : sekresi serus ( merupakan enzim untuk
mencernakan serat à ptyalin) , sekresi mukus (untuk pelumasan dan perlindungan permukaan).

Pada umumnya kelenjar ludah kaya dengan pembuluh darah. Pembuluh darah besar berjalan bersama-sama
dengan duktusnya pada jaringan ikat interlobularis dan memberi cabang-cabang mengikuti cabang-cabang
duktusnya kedalam lobuli, dimana pada akhirnya ia membentuk anyaman-anyaman kapiler mengitari asinus
dan akhirnya kembali membentuk vena yang berjalan bersama-sama dengan pembuluh darah arterinya.

Faktor yang mempengaruhi sekresi saliva :


Ø Irama siang malam
Ø Sifat dan besar stimulus
Ø Tipe kelenjar
Ø Diet
Ø Umur, jenis kelamin dan fisiologi seseorang
Ø Kadar hormon
Ø Elektrolit
Ø Kapasitas buffer
Ø Obat-obatan
Ø Gerak badan

Daftar Pustaka

Haskell R and Gayford J.J , Penyakit Mulut. Jakarta:1991

Arey Leslie Brainerd, Ph.D.,LL.D., Human Histology a textbook in outline from W.B. Saunders Company,
Third edition Philadelphia. London, Toronto 1968.

Regina dan Nahak M Maria, Dasar-Dasar Imlu Pencabutan Gigi. Akademi Kesehatan Gigi Denpasar.
Roth Gerald I and Camles Robert, Oral Biology.The C. V. Mosby Company. Chapter 8:196-213 , 1981.
ABSES PADA RONGGA MULUT

Abses merupakan infeksi yang gambaran utamanya berupa pembentukan pus. Pus merupakan pertahanan
efektif terhadap penjalaran infeksi dan cenderung berpindah akibat pengaruh tekanan, gravitasi, panas lokal
atau lapisan otot dekat permukaan (1). Abses pada rongga mulut dapat terjadi akibat infeksi dentoalveolar.

Infeksi dentoalveolar dapat didefinisikan sebagai infeksi pada gigi dan jaringan sekitarnya (seperti
periodontium dan tulang alveolar) yang menghasilkan pus. Salah satu bentuk dari kondisi ini adalah abses
dentoalveolar (2).

ABSES DENTOALVEOLAR
Abses dentoalveolar biasanya terbentuk melalui penyebaran dari lesi karies gigi dan penyebaran dari bakteri
atau pulpa melalui tubulus dentin. Respon pulpa terhadap infeksi dapat berupa inflamasi akut yang
mengenai seluruh pulpa yang secara cepat menyebabkan nekrosis atau dapat berupa perkembangan dari
abses kronis yang terlokalisir dimana sebagian besar pulpanya dapat bertahan hidup (2).
Etiologi (3):
-         pulpitis
-         pasien dengan imunitas yang rendah
-         gingivitis
-         infeksi postrauma atau infeksi postoperatif
Penyebaran abses dentoalveolar dapat terjadi (2) :
1. penyebaran secara langsung
-         pada jaringan lunak superfisial
-         pada daerah sekitar wajah dengan resistensi yang rendah.
-         Pada bagian medulla dari tulang alveolar.
2. penyebaran secara tidak langsung
-         melalui jalur limfatik
-         melalui jalur hematogenik
Gambaran Klinis (3,4):
1. nyeri lokal yang berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari
2. gigi sensitif terhadap panas dan dingin
3. demam
4. ginggiva : berdarah, bengkak, panas, kemerahan
5. gigi : goyang, lunak, ekstrusi
6. pembengkakan kelenjar limfe di sekitar leher
7. infeksi yang lebih serius : trismus, disphagia, gangguan pernafasan   
Mortalitas/morbiditas : kematian jarang terjadi dan biasanya terjadi akibat gangguan pada pernafasan.
Morbiditas berhubungan dengan dehidrasi (3).
Ras : tidak ada predileksi yang berhubungan dengan ras (3).
Jenis kelamin : tidak ada predileksi yang berhubungan dengan jenis kelamin (3).
Usia : abses dental jarang terjadi pada bayi karena abses tidak terbentuk sampai erupsi gigi. Pada anak-anak,
abses periapikal merupakan abses dental yang paling sering terjadi. Hal ini terjadi karena lapisan enamelnya
yang masih tipis, dan suplai darah gigi susu lebih banyak. Pada orang dewasa, abses periodontal lebih sering
terjadi dibandingkan abses periapikal (3).
Diagnosis (3,4):
1. Anamnesa : keluhan berupa nyeri pada saat mengunyah dan jika kontak dengan panas atau dingin  
2. Pemeriksaan fisik :

Inspeksi dan palpasi : gusi merah dan bengkak

Perkusi : nyeri
3. Pemeriksaan laboratorium
Diperlukan jika ada komplikasi abses.
Diagnosis banding (3):
-         abses peritonsilar
-         ginggivostomatitis
-         parotiditis
-         selulitis wajah
-         neoplasma

Terapi

Tujuan dari terapi adalah menghilangkan infeksi, perbaikan gigi dan mencegah komplikasi (3). Langkah-
langkah yang dapat dilakukan, yaitu (2) :
1. mengeringkan pus
2. menghilangkan sumber infeksi
3. pemberian antibiotik, standar antibiotic yang sering digunakan adalah phenoxymethylphenicillin
(penicillin V) atau amoksisilin dosis tinggi, dan jika pasien hipersensitif terhadap penisilin dapat
digunakan eritromisin atau metronidazol.

Prognosis

Prognosis baik karena abses dapat sembuh melalui terapi yang tepat. Preservasi gigi memungkinkan untuk
beberapa kasus (3).

Komplikasi (3)

-         kehilangan gigi


-         penyebaran infeksi pada jaringan lunak (selulitis wajah, Ludwig’s angina)
-         penyebaran infeksi pada tulang rahang (osteomyelitis mandibula atau maksila)
-         penyebaran infeksi pada daerah tubuh yang lain, menghasilkan abses serebral,
endokarditis, pneumonia, atau gangguan lainnya.

Pencegahan

Terapi yang tepat dari karies gigi menurunkan resiko terjadinya abses gigi. Trauma gigi sebaiknya diperiksa
secepatnya oleh dokter gigi (3).

ABSES ALVEOLAR
Infeksi ini terbatas pada daerah mulut dengan pembengkakan terpusat di sekitar alveolus yang dekat dengan
penyebabnya. Biasanya dalam 2 hari dapat terlihat gejala awal berupa pembentukan pus dan meningkat
menjadi pembengkakan yang berfluktuasi pada sisi labia-buccal dari alveolus. Derajat dari gangguan
sistemik biasanya ringan (1) .
ABSES PERIODONTAL
Abses periodontal disebabkan oleh proses destruktif akut atau kronis pada periodontium, yang menghasilkan
kumpulan pus yang terlokalisir, berhubungan dengan rongga mulut melalui sulcus ginggiva dan
sisiperiodontal lainnya (tidak berasal dari pulpa gigi) (2).

Etiologi

Abses ini kemungkinan dibentuk dari oklusi atau trauma pada rongga periodontal pocket menyebabkan
perluasan infeksi dari pocket ke dalam jaringan sekitar. Hal ini disebabkan masuknya makanan di sela-sela
gigi seperti tulang ikan, lepasnya bulu sikat gigi, atau penekanan dinding pocket akibat tindakan terapi
orthodentik atau kekuatan mengunyah yang tidak wajar. Normalnya sisa abses berada pada jaringan
periodontal, kemudian perkembangannya tergantung pada (2):
-         virulensi, tipe dan jumlah organisme penyebab
-         kesehatan jaringan periodontal pasien
-         efisiensi dari mekanisme pertahanan tubuh host yang spesifik dan non spesifik

Gambaran Klinis (2)

-         onset cepat, gusi mengalami pembengkakan, berwarna kemerahan serta terjadi
perlunakan
-         nyeri yang berlanjut pada saat mengunyah dan pada tindakan perkusi
-         tidak ada gambaran radiografi yang spesifik, meskipun umumnya berhubungan
dengan periodontal pocket yang dalam
-          pus dari lesi biasanya akan mengering sepanjang permukaan akar ke muara
periodontal pocket; di dalam pocket pus dapat meluas melalui tulang alveolar untuk
bermuara ke sinus yang terbuka pada ginggiva yang berdekatan
-         akibat drainase pus yang intermiten, infeksi cenderung terlokalisir, pembengkakan
ekstraoral bukan hal yang lazim
-         abses yang tidak diterapi akan mengarah ke destruksi yang lebih berat dari jaringan
periodontal dan tanggalnya gigi.

Mikrobiologi

Pada pemeriksaan mikrobiologi mikroorganisme penyebab infeksi yang umum ditemukan, yaitu (2):
-         gram negative anaerob, seperti fusobacteria
-         streptococcus sp
-         golongan lain : spirochaeta sp, capnocytophaga sp, dan actinomyces sp

Terapi (2)

-         Penilaian keadaan klinis penyakit berdasarkan riwayat penyakit sistemik pasien,
seperti diabetes

-         Jika prognosisnya buruk, dilakukan ekstraksi gigi. Namun, infeksi akut yang berlangsung harus diatasi
terlebih dahulu.
-         Irigasi pocket dengan larutan sodium klorida 0,9% yang hangat dan memberikan garam pencuci mulut
yang panas.
-         Jika terjadi demam dan selulitis, berikan antibiotik : penicillin, eritromysin atau metronidazol sebagai
obat pilihan.
-         Drainase dianjurkan dan pembersihan subginggiva dilakukan untuk menghilangkan calculus dan benda-
benda asing.

 
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedlar, J. Spreading Infection


2. Dentoalveolar Infection
3. Schneider, Karen. Dental Abscess. http./www.eMedicine.com.2004, diakses 5 Agustus 2004
4. Kapner, Michael. MedlinePlus Medical Encyclopedia: Tooth Abscess, 2004    

Abses perimandibular, submandibular dan pterygomandibular

Abses perimandibular adalah abses yang berlokasi pada margo mandibula sampai “submandibular space”,
merupakan kelanjutan serous periostitis.

Patofisiologi : Proses supurasi yang mencari jalan keluar ekstraoral dan terlokalisir di  antara margo inferior
mandibula sampai submandibular space.
Pada pemeriksaan didapatkan:

Keadaan umum:

-          Lemah, lesu, malaise

-          Demam

Pemeriksaan Ekstra oral :

-          Asimetri wajah

-          Tanda radang jelas

-          Trismus

-          Fluktuasi +/-

-          Tepi rahang tidak teraba

Pemeriksaan intra oral:

-          Periodontitis akut

-          Muccobuccal fold normal

-          Fluktuasi (-)

Abses submandibular adalah abses yang berlokasi pada submandibular space.

Submandibular space memiliki batas inferior fascia profunda dari hyoid sampai mandibula, batas lateral
corpus mandibula, dan batas superior mukosa dasar mulut.

Keadaan umum:

-          Lemah, lesu, malaise

-          Demam

Pemeriksaan Ekstra oral :

-          Asimetri wajah

-          Tanda radang jelas

-          Fluktuasi +

-          Tepi rahang teraba

Pemeriksaan intra oral:

-          Periodontitis akut

-          Muccobuccal fold


-          Fluktuasi (-)

Abses pterygomandibular adalah abses yang terjadi pada “petrygomandibular space”. Abses dibatasi di
bagian medial oleh M. pterygoideus dan lateral oleh ramus mandibula.

Klinis: nyeri telan, trismus +/-, bengkak EO tidak nyata

Intraoral: Fluktuasi (+)

Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat aktivitas
bakteri penyebab maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal
terjadi di rongga yang sama yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan periosteum bedanya
adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus alias pus sudah berhasil menembus korteks dan
memasuki rongga subperiosteal karenanya nama abses yang tadinya disebut abses periapikal berubah
terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis maka dalam
beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental sebuah kondisi yang sangat berbeda
dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih serous.

Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi maka dengan bebasnya proses
infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat karena telah mencapai area jaringan lunak. Apabila
infeksi telah meluas mengenai fascial spaces maka dapat terjadi fascial abscess. Fascial spaces adalah
ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat. Fascial spaces dibagi menjadi :

Fascial spaces primer

1. Maksila

a. Canine spaces

b. Buccal spaces

c. Infratemporal spaces

2. Mandibula

a. Submental spaces

b. Buccal spaces

c. Sublingual spaces

d. Submandibular spaces

- Fascial spaces sekunder

Fascial spaces sekunder merupakan fascial spaces yang dibatasi oleh jaringan ikat dengan pasokan darah
yang kurang. Ruangan ini berhubungan secara anatomis dengan daerah dan struktur vital. Yang termasuk
fascial spaces sekunder yaitu masticatory space cervical space retropharyngeal space lateral pharyngeal
space prevertebral space dan body of mandible space. Infeksi yang terjadi pada fascial spaces sekunder
berpotensi menyebabkan komplikasi yang parah.

Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling sering oleh karena penyebaran kuman
dari penyakit odontogenik terutama komplikasi dari periapikal abses. Pus yang mengandung bakteri pada
periapikal abses akan berusaha keluar dari apeks gigi menembus tulang dan akhirnya ke jaringan sekitarnya
salah satunya adalah fascial spaces. Gigi mana yang terkena periapikal abses ini kemudian yang akan
menentukan jenis dari fascial spaces yang terkena infeksi.

Canine spaces

Berisi musculus levator anguli oris dan m. labii superior. Infeksi daerah ini disebabkan periapikal abses dari
gigi caninus maksila. Gejala klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian depan dan hilangnya lekukan
nasolabial. Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang daerah infraorbital dan sinus
kavernosus.

Buccal spaces

Terletak sebelah lateral dari m. buccinator dan berisi kelenjar parotis dan n. facialis. Infeksi berasal dari gigi
premolar dan molar yang ujung akarnya berada di atas perlekatan m. buccinator pada maksila atau berada di
bawah perlekatan m. buccinator pada mandibula. Gejala infeksi yaitu edema pipi dan trismus ringan.

INFEKSI ODONTOGEN

Etiologi :
Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam
sulkus ginggiva, dan mukosa mulut. Yang ditemukan terutama bakteri kokus aerob gram positif, kokus
anaerob gram positif dan batang anaerob gram negative. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies,
gingivitis, dan periodontitis. Jika mencapai jaringan yang lebih yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan
pocket periodontal dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen. Yang penting adalah infeksi ini disebabkan
oleh bermacam-macam bakteri, baik aerob maupun anaerob.

Patofisiologi :
Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak terawatt dan pocket periodontal dalam merupakan jalan
bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi
akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang kortikal. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan
menembus dan masuk jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan dan tubuh.
Infeksi odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (per kontinuitatum), pembuluh darah (hematogen),
dan pembuluh limfe (limfogen). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara per kontinuitatum
karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran
infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingival, thrombosis
sinus kavernosus, abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk
abses sublingual, abses submental, abses submandibula, abses submaseter, dan angina lidwig.

Terapi :
Biasanya infeksi odontogen ringan dan hanya memerlukan terapi minor, tapi pada saat pasien datang tetap
harus ditemukan derajat keparahan infeksi yang terjadi dengan cara melakukan anamnesis lengkap tentang
perjalanan penyakit beserta gejala-gejala yang dirasakan pasien, termasuk ada tidaknya gejala sistemik.
Pemeriksaan klinis dilakukan dengan memeriksa tanda vital dan daerah pembengkakan. Jadi dapat
dibedakan apakah infeksi tersebut adalah sinusitis atau abses.
Pada infeksi ringan, penatalaksanaannya adalah tindakan insisi bila diperlukan (bila fluktuasi +), pemberian
analgesic dan antibiotic yang adekuat, dan terakhir, ekstrasi atau perawatan gigi penyebab.

contoh kasus : Abses Submandibula (pada infeksi di gigi-gigi rahang bawah)

Keterangan : Kasus ini, merupakan lanjutan dari abses yang terjadi (awalnya adalah abses periapikal-abses diakar
gigi) dapat berlanjut menjadi abses submukosa karena
adanya infeksi yang hebat menyebabkan pergerakan tekanan nanah-"pus" ke arah mukosa/gusi. Bila pergerakannya
ke arah lanjut ke bawah dari akar gigi ke arah
tulang rahang bawah (regio submandibular), lama-kelaman timbul pembengkakan sekitar wajah diderah bawah. Bila
pembengkakan makin membesar dapat menyebabkan terangkatnya lidah dan menyulitkan pernafasan dan
penelanan didalam mulut, kondisi ini sudah masuk dalam kategori kegawat daruratan. Pasien sebaiknya segera
dibawa ke
rumah sakit ataupun ke dokter gigi spesialis bedah mulut (disarankan).

Tindakan yang dapat dilakukan adalah Insisi dan drainase abses untuk mengurangi tekanan abses dan mengeluarkan
nanah yang terjebak dan mengurangi tingkat infeksi, selanjutnya dibarengi dengan asupan antibiotik yang tepat
secara intravena, dan juga asupan nutrisi yang sudah disesuaikan.

Contoh ilustrasi abses yang menembus ke daerah mukosa - Abses submukosa

Contoh ilustrasi abses yang menembus ke daerah bawah dari tulang rahang bawah - Abses submandibular

Contoh ilustrasi gambaran klinis dari Abses Submandibular (sumber : http://www.medco-


athletics.com/lectureseries/mrsa.html
)
Contoh ilustrasi penangan pada kasus abses submandibular - Insisi Drainase (membuat jalan keluar dari isi abses -
nanah)

Bila kondisi tadi bisa diatasi, tentunya pasien harus dievaluasi dan dimonitoring selama perawatan, karena infeksi
diharapkan dapat dikendalikan dan diatasi.

Kelenjar ludah mayor yaitu:

1. Kelenjar Parotis

Terdiri atas lobus superficialis dan lobus bagian dalam, dengan diantaranya N.VII, Muara nya: kelenjar
stenson yang terletak di regio M2 atas . Saliva yang dihasilkan bersifat serosa

2. Kelenjar Submandibula

Muaranya: duktus wharton yang terletak di sebelah frenulum lingualis. Saliva yang dihasilkannya campur
80% bersifat serosa dan 20% bersifat mukus.

3. Kelenjar Sublingualis

Muaranya: duktus bartholini (yang bergabung dengan duktus submandibula dan muara yang sama, duktus
rivinus). Saliva yang dihasilkan bersifat mukus.

Sedangkan kelenjar ludah minor adalah kelenjar kelenjar kecil yang tersebar luas pada mukosa mulut (labial,
bukal, lingual, palatinal, glosopalatina).

Berikut ini adalah istilah istilah kelainan pada kelenjar ludah:


* Sialadenitis: merupakan peradangan pada kelenjar ludah; gejala klinisnya berupa pembengkakan dan
pembesaran kelenjar disertai nyeri tekan dan rasa tidak nyaman
* Sialolitiasis: Duktus mengalami infeksi karena penyumbatan oleh batu
* Sialodochitis: duktus mengalami penurunan fungsi karena infeksi

Klasifikasi macam-macam kelainan pada kelenjar ludah:

1. Developmental Anomalies (Aplasia: tidak ada kelenjar ludah; Aberansia: kelainan bentuk anatomis;
Atresia: tidak ada muara kelenjar ludah)
2. Obstructive salivary gland disease (sialolitiasis)
3. Mucous retention ( Mukokel dan Ranula)
4. Infection and reactive lession (Necrotizing Metaplasia, Viral infection, Bacterial Infections,
Actinomicosis)
5. Metabolic disorder with salivary gland involvement
1. Sjrogen syndrome
2. Diabetes
3. Thyroid disease
4. Granulomatosis
5. Bulimia/ anoreksia
6. Radiation induced pathology
7. Allergy

6. Traumatic “salivary Gland” injury

7. Neoplasma

a.Benign ( monomorfic adenoma, pleomorfic adenoma, oncocytoma, ductal papiloma)

b. Malignant( mucoepidermoid carcinoma, adenoid cystic carcinoma, adenocarcinoma)

Mukokel,

ada 2 tipe mukokel, yaitu:

1. Tipe mukus ekstravasasià mukus escape reaction: trauma menyebabkan duktus ruptur sehingga mukus
keluar ke jaringan submukosa disekitarnya
2. Tipe mukus retentionà karena infeksi atau batu, mukus tertahan à tekanan intraluminal meningkat
menyebabkan duktus berdilatasi sehingga terbentuk lesi mirip kista .Terapinya adalah ekstirpasi.

Ranula

Ranula adalah kista retensi pada kelenjar berikut ini (kelenjar sublingual, submandibula atau kelenjar ludah
minor dasar mulut). Ciri khas dari ranula adalah bentuknya yang mirip perut katak (Rana= katak) ranula
bersifat lunak, fluktuatif dan tidak sakit.

Ada 2 tipe Ranula, yaitu:

1. Simple Ranula sircumscribe Cyst à sublingual ; superior dari m. milohioid


2. Plungin Ranulaà adalah simple Ranula cyst yang meluas ke inferior m. Milohyoid dan masuk ke ruangan
submandibula

Ranula sering di diagnosis banding dengan abses sublingual. Terapi yang diberikan untuk jenis simple
ranula adalah marsupialisasi, sedangkan untuk tipe pluging ranula dilakukan dengan terapi pembedahan
transoral dan transservikal, fenestrasi serta penekanan pada plunging.
Patogenesa, Pola Penyebaran, dan Prinsip Terapi
Abses Rongga Mulut
Proses infeksi pada jaringan pulpo-periapikal dapat menyebabkan beberapa kondisi ketika melibatkan
jaringan periapikal, dapat berupa granuloma, abses, kista, atau osteomyelitis. Dalam catatan ini akan dibahas
mengenai patogenesa abses mulai dari jaringan periapikal hingga ke jaringan lunak.

PATOGENESA DAN POLA PENYEBARAN

Saluran pulpa yang sempit menyebabkan drainase yang tidak sempurna pada pulpa yang terinfeksi, namun
dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri dan menyebar kearah jaringan periapikal secara progresif
(Topazian, 2002). Ketika infeksi mencapai akar gigi, jalur patofisiologi proses infeksi ini dipengaruhi oleh
jumlah dan virulensi bakteri, ketahanan host, dan anatomi jaringan yang terlibat.

Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh infeksi bakteri campuran. Bakteri
yang berperan dalam proses pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus mutans.
Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif yang disebut koagulase yang fungsinya untuk
mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus mutans memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam
penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase, streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah
enzim yang bersifat merusak jembatan antar sel, yang pada fase aktifnya nanti, enzim ini berperan layaknya
parang yang digunakan petani untuk merambah hutan.

Bagaimana sebenarnya pola perjalanan abses ini?

Seperti yang kita semua ketahui, pada umumnya abses merupakan proses yang kronis, meskipun sebenarnya
ada juga abses periapikal akut, namun di catatan ini saya hendak membahas mengenai perjalanan abses
secara kronis.

Seperti yang disebutkan diatas, bakteri Streptococcus mutans (selanjutnya disingkat S.mutans) memiliki 3
macam enzim yang sifatnya destruktif, salah satunya adalah enzim hyaluronidase. Enzim ini berperan
layaknya parang petani yang membuka hutan untuk dijadikan ladang persawahannya, ya.. enzim ini merusak
jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan ikat (hyalin/hyaluronat), kalau ditilik dari namanya
“hyaluronidase”, artinya adalah enzim pemecah hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel
penting adanya, sebagai transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel, juga sebagai unsur
penyusun dan penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar, maka dapat diperkirakan,
kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat terancam rusak/mati/nekrosis.

Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim dari S.mutans tadi, akibatnya
jaringan pulpa mati, dan menjadi media perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya mereka
mampu merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal.

Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses abses, karenanya infeksi pulpo-
periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial infection. Kondisi abses kronis dapat terjadi apabila
ketahanan host dalam kondisi yang tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi. Yang terjadi dalam
daerah periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses disertai pembentukan pus yang sifatnya
berkelanjutan apabila tidak diberi penanganan.

Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon keradangan untuk
datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena kondisi hostnya tidak terlalu baik, dan virulensi
bakteri cukup tinggi, yang terjadi alih-alih kesembuhan, namun malah menciptakan kondisi abses yang
merupakan hasil sinergi dari bakteri S.mutans dan S.aureus.
S.mutans dengan 3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja mampu merusak jaringan yang ada di
daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan enzim koagulasenya mampu mendeposisi fibrin di sekitar
wilayah kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat dari jaringan ikat, yang
sering kita kenal sebagai membran abses (oleh karena itu, jika dilihat melalui ronsenologis, batas abses tidak
jelas dan tidak beraturan, karena jaringan ikat adalah jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap dengan
baik dengan ronsen foto). Ini adalah peristiwa yang unik dimana S.aureus melindungi dirinya dan S.mutans
dari reaksi keradangan dan terapi antibiotika.

Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja yang terjadi pada peristiwa
pembentukan abses ini, tapi juga ada pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus (pyogenik), salah satunya
juga adalah S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi dua kelompok bakteri tadi, tidak kosong,
melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya terdiri dari leukosit yang mati (oleh karena itu pus terlihat
putih kekuningan), jaringan nekrotik, dan bakteri dalam jumlah besar.

Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut akan terus berusaha mencari jalan
keluar sendiri, namun pada perjalanannya seringkali merepotkan pasien dengan timbulnya gejala-gejala
yang cukup mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise. Karena mau tidak mau, pus dalam rongga
patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan dokter gigi atau keluar secara alami.

Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang notabene adalah di dalam
tulang. Untuk mencapai luar tubuh, maka abses ini harus menembus jaringan keras tulang, mencapai
jaringan lunak, lalu barulah bertemu dengan dunia luar. Terlihat sederhana memang, tapi perjalanan inilah
yang disebut pola penyebaran abses.

Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri, ketahanan jaringan, dan
perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala
arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak,
sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak pus.

Sebelum mencapai “dunia luar”, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena sesuai
perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah tepian tulang atau
lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan
normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna menutrisi tulang dari luar,
yang disebut periosteum. Karena memiliki vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi
ketika pus mulai “mencapai” korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas komponen keradangan
dan sel plasma ke rongga subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus
yang kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini alih-alih tanpa gejala, tapi cenderung
menimbulkan rasa sakit, terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini
disebut periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah “serous” disebabkan karena konsistensi
eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70% plasma, dan tidak kental
seperti pus karena memang belum ada keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis dapat berlangsung
selama 2-3 hari, tergantung keadaan host.

Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat aktivitas
bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal
terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan periosteum, bedanya
adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus sudah berhasil “menembus” korteks dan
memasuki rongga subperiosteal, karenanya nama abses yang tadinya disebut abses periapikal, berubah
terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam
beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda
dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih serous.

Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, maka dengan bebasnya,
proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah mencapai area jaringan lunak.
Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi fascial abscess. Fascial spaces
adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat. Fascial spaces dibagi
menjadi :

Fascial spaces primer

1. Maksila
a. Canine spaces
b. Buccal spaces
c. Infratemporal spaces

2. Mandibula
a. Submental spaces
b. Buccal spaces
c. Sublingual spaces
d. Submandibular spaces

- Fascial spaces sekunder

Fascial spaces sekunder merupakan fascial spaces yang dibatasi oleh jaringan ikat dengan pasokan darah
yang kurang. Ruangan ini berhubungan secara anatomis dengan daerah dan struktur vital. Yang termasuk
fascial spaces sekunder yaitu masticatory space, cervical space, retropharyngeal space, lateral pharyngeal
space, prevertebral space, dan body of mandible space. Infeksi yang terjadi pada fascial spaces sekunder
berpotensi menyebabkan komplikasi yang parah.

Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling sering oleh karena penyebaran kuman
dari penyakit odontogenik terutama komplikasi dari periapikal abses. Pus yang mengandung bakteri pada
periapikal abses akan berusaha keluar dari apeks gigi, menembus tulang, dan akhirnya ke jaringan
sekitarnya, salah satunya adalah fascial spaces. Gigi mana yang terkena periapikal abses ini kemudian yang
akan menentukan jenis dari fascial spaces yang terkena infeksi.

• Canine spaces

Berisi musculus levator anguli oris, dan m. labii superior. Infeksi daerah ini disebabkan periapikal abses dari
gigi caninus maksila. Gejala klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian depan dan hilangnya lekukan
nasolabial. Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang daerah infraorbital dan sinus
kavernosus.

• Buccal spaces

Terletak sebelah lateral dari m. buccinator dan berisi kelenjar parotis dan n. facialis. Infeksi berasal dari gigi
premolar dan molar yang ujung akarnya berada di atas perlekatan m. buccinator pada maksila atau berada di
bawah perlekatan m. buccinator pada mandibula. Gejala infeksi yaitu edema pipi dan trismus ringan.

• Infratemporal spaces

Terletak di posterior dari maksila, lateral dari proc. Pterigoideus, inferior dari dasar tengkorak, dan
profundus dari temporal space. Berisi nervus dan pembuluh darah. Infeksi berasaal dari gigi molar III
maksila. Gejala infeksi berupa tidak adanya pembengkakan wajah dan kadang terdapat trismus bila infeksi
telah menyebar.

• Submental space

Infeksi berasal dari gigi incisivus mandibula. Gejala infeksi berupa bengkak pada garis midline yang jelas di
bawah dagu.
• Sublingual space

Terletak di dasar mulut, superior dari m. mylohyoid, dan sebelah medial dari mandibula. Infeksi berasal dari
gigi anterior mandibula dengan ujung akar di atas m. mylohyoid. Gejala infeksi berupa pembengkakan dasar
mulut, terangkatnya lidah, nyeri, dan dysphagia.

• Submandibular space

Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi berasal dari gigi molar mandibula
dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan dari pericoronitis. Gejala infeksi berupa pembengkakan pada
daerah segitiga submandibula leher disekitar sudut mandibula, perabaan terasa lunak dan adanya trismus
ringan.

• Masticator space

Berisi m. masseter, m. pterygoid medial dan lateral, insersi dari m. temporalis. Infeksi berasal dari gigi
molar III mandibula. Gejala infeksi berupa trismus dan jika abses besar maka infeksi dapat menyebar ke
lateral pharyngeal space. Pasien membutuhkan intubasi nasoendotracheal untuk alat bantu bernapas.

• Lateral pharyngeal space (parapharyngeal space)

Berhubungan dengan banyak space di sekelilingnya sehingga infeksi pada daerah ini dapat dengan cepat
menyebar. Gejala infeksi berupa panas, menggigil, nyeri dysphagia, trismus.

• Retropharyngeal space (posterior visceral space)

Infeksi berasal dari gigi molar mandibula, dari infeksi saluran pernapasan atas, dari tonsil, parotis, telinga
tengah, dan sinus. Gejala infeksi berupa kaku leher, sakit tenggorokan, dysphagia, hot potato voice, stridor.
Merupakan infeksi fascial spaces yang serius karena infeksi dapat menyebar ke mediastinum dan daerah
leher yang lebih dalam (menyebabkan kerusakan n. vagus dan n cranial bawah, Horner syndrome)

PRINSIP TERAPI

Pada dasarnya, prinsip terapi abses adalah insisi untuk drainase (mengeluarkan cairan pus), dengan catatan,
prinsip ini dipergunakan untuk abses yang berada di jaringan lunak. Lalu bagaimana dengan abses
periapikal? Yang terjadi didalam tulang? Biasanya abses periapikal memiliki “kondisi” khas berupa gigi
mengalami karies besar dan terasa menonjol, sakit bila digunakan mengunyah, kadang terasa ada cairan asin
keluar dari gigi yang berlubang tersebut. Terapi kegawat-daruratannya dalam kondisi ini tentunya belum
dapat dilakukan insisi, oleh karena pus berada dalam tulang, namun yang dapat dilakukan adalah melakukan
prosedur open bur, melakukan eksterpasi guna mengeluarkan jaringan nekrotik, oklusal grinding, dan
pemberian terapi farmakologi.

Pola Perjalanan (Penyebaran) Abses Odontogen


Posted: Juni 14, 2010 by gilangrasuna in Mari Belajar!, Penjalaran Infeksi Odontogen
4

Seperti yang sudah dibahas pada materi sebelumnya, bahwa pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3
kondisi, yaitu  virulensi bakteri, ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi
mampu menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak
baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi
arah gerak pus.
Dalam skema yang ada dibawah ini, mari kita mencoba membayangkan bahwa cavum oris manusia adalah
sebuah peta perjalanan, dimana kita pasti akan bertemu pertigaan, perempatan, lampu merah, dan rambu lalu
lintas lainnya. Lalu apa korelasinya? Yaitu bahwa “peta” yang saya buat di bawah ini adalah prakiraan logis
tentang lokasi abses, darimana arah pus, akan kemana, dan kira-kira akan menjadi kondisi seperti apa. Mari
membahasnya!

Apabila terjadi sebuah kondisi abses periapikal pada sebuah gigi yang mengalami proses infeksi, maka pada
prinsipnya, pus yang terkandung harus dikeluarkan, namun jika tidak dikeluarkan, maka ia pun dapat
mencari jalan keluar sendiri, eits… tunggu dulu… jangan berasumsi “kalau gitu dibiarin aja!”, karena pada
proses perjalanannya, pasti sakit… dengan intensitas yang berbeda di tiap individu.

Kali ini, kita membayangkan jika abses periapikal tidak dirawat dengan baik agar dapat terdrainase, tentunya
pus masih akan berkutat di regio periapikal. Seperti yang sempat disebutkan diatas tadi, sesuai dengan pola
penyebaran abses yang dipengaruhi oleh 3 kondisi :

1. Virulensi bakteri,
2. Ketahanan jaringan,
3. dan perlekatan otot.

Kondisi-kondisi yang tertulis di bawah ini adalah berkaitan dengan poin ke-2 dan ke-3, karena ketahanan
jaringan dan letak perlekatan otot mempengaruhi sampai dimana arah gerak pus. Dengan adanya faktor-
faktor tersebut,  maka akan tercipta kondisi-kondisi seperti yang tertera pada gambar, dengan syarat dan
ketentuan yang berlaku :

a. Abses Submukosa (Submucous Abscess)

Disebut “submukosa” karena memang dikarenakan pus terletak dibawah lapisan mukosa, akan tetapi, jika
berbeda tempat, berbeda pula namanya. Ada 4 huruf “a” yang tertera pada gambar, kesemuanya merupakan
abses submukosa, namun untuk yang terletak di palatal, disebut sebagai Abses Palatal (Palatal Abscess).
Yang terletak tepat dibawah lidah dan diatas (superior dari) perlekatan otot Mylohyoid disebut abses
Sublingual (Sublingual Abscess). Yang terletak di sebelah bukal gigi disebut dengan Abses vestibular,
kadangkala sering terjadi salah diagnosa karena letak dan secara klinis terlihat seperti Abses Bukal (Buccal
Space Abscess), akan tetapi akan mudah dibedakan ketika kita melihat arah pergerakan polanya, jika jalur
pergerakan pusnya adalah superior dari perlekatan otot masseter (rahang atas) dan inferior dari perlekatan
otot maseter (rahang bawah), maka kondisi ini disebut Abses Bukal, namun jika jalur pergerakan pusnya
adalah inferior dari perlekatan otot maseter (rahang atas) dan superior dari perlekatan otot maseter (rahang
bawah), maka kondisi ini disebut Abses Vestibular.

b. Abses Bukal (Buccal Space Abscess)

Abses Bukal (Buccal Space Abscess) dan Abses Vestibular kadang terlihat membingungkan keadaan
klinisnya, akan tetapi akan mudah dibedakan ketika kita melihat arah pergerakan polanya, jika jalur
pergerakan pusnya adalah superior dari perlekatan otot masseter (rahang atas) dan inferior dari perlekatan
otot maseter (rahang bawah), maka kondisi ini disebut Abses Bukal, namun jika jalur pergerakan pusnya
adalah inferior dari perlekatan otot maseter (rahang atas) dan superior dari perlekatan otot maseter (rahang
bawah), maka kondisi ini disebut Abses Vestibular.

c.  Abses Submandibular (Submandibular Abscess)

Kondisi ini tercipta jika jalur pergerakan pus melalui inferior (dibawah) perlekatan otot Mylohyoid dan
masih diatas (superior) otot Platysma.

d. Abses Perimandibular

Kondisi ini unik dan khas , karena pada klinisnya akan ditemukan tidak terabanya tepian body of Mandible,
karena pada region tersebut telah terisi oleh pus, sehingga terasa pembesaran di region tepi mandibula.

e. Abses Subkutan (Subcutaneous Abscess)

Sesuai namanya, abses ini terletak tepat dibawah lapisan kulit (subkutan). Ditandai dengan terlihat jelasnya
pembesaran secara ekstra oral, kulit terlihat mengkilap di regio yang mengalami pembesaran, dan
merupakan tahap terluar dari seluruh perjalanan abses. Biasanya jika dibiarkan, akan terdrainase spontan,
namun disarankan untuk melakukan insisi untuk drainase sebagai perawatan definitifnya.

f. Sinusitis Maksilaris

Sebenarnya ini merupakan sebuah kelanjutan infeksi yang lumayan ekstrim, karena letak akar palatal gigi
molar biasanya berdekatan dengan dasar sinus maksilaris, maka jika terjadi infeksi pada periapikal akar
palatal gigi molar, jika tidak tertangani dari awal, maka penjalran infeksi dimungkinkan akan berlanjut ke
rongga sinus maksilaris dan menyebabkan kondisi sinusitis.

Anda mungkin juga menyukai