Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga selesailah tugas mata kuliah Agama dan Etika yang dibimbing oleh
dosen kita Bapak Ahmad Furqoni, M.Pd dengan judul Akhlak.
Demikian tugas ini disusun bertujuan agar bisa bermanfaat bagi mahasiswa-
mahasiswi jurusan Produksi Minyak Bumi dan Gas, Tahun Ajaran 2020-2021 khususnya
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran agar kami bisa memperbaiki untuk tugas yang akan datang.
Dan kami juga mohon maaf jika banyak terjadi kesalahan maupun kekurangan dalam
penyusunan makalah ini baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, karena kami
yakin kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata.
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
BAB II
2.1 Akhlak
2.2 Etika
2.3 Adab
BAB III
3.1 Kesimpulan
PENDAHULUAN
2.1 Akhlak
Akhlak menurut Imam Ghazali, adalah sesuatu yang mengakar kuat dalam jiwa
seseorang dan mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa harus dipikir
terlebih dahulu. Jika perbuatan yang dilakukan baik maka disebut Akhlak Mulia
(Akhlakul Mahmudah). Tetapi, jika perbuatan yang dilakukan jelek maka disebut
Akhlak Tercela (Akhlakul Madzmumah).
Definisi ini memberikan pengertian bahwa perbuatan yang dilakukan bukan didasari
keyakinan dalam jiwa tidak disebut akhlak. Begitu juga halnya perbuatan yang dilakukan
tidak secara spontan, masih dipikir terlebih dahulu atau dibuat-buat (pencitraan) bukan
termasuk kategori akhlak.
Misalnya, ketika ada orang yang mencalonkan diri menjadi pemimpin di suatu daerah,
ia sebelumnya tidak biasa salat berjamaah di masjid, jarang menghadiri kajian, jauh dari
ulama, jauh dari anak yatim, namun ketika mendekati waktu pemilihan terlihat sering ke
masjid, mendatangi ulama, dan menyantuni anak yatim, maka hal itu tidak bisa disebut
akhlak. Karena akhlak adalah tabiat atau kebiasaan yang mengakar kuat dalam jiwa karena
sudah sering dilakukan dan menjadi kebiasaan, tanpa ada maksud apapun dalam
melaksanakannya kecuali hanya untuk mencari rida Allah Swt.
Akhlak mulia diperoleh dengan cara bermujahadah (bersusah payah) pada awalnya
agar menjadi kebiasaan pada akhirnya. Seperti orang yang ingin tulisannya baik, maka ia
akan menulis terus menerus dan mengulangi berkali-kali. Ini bukanlah hal yang aneh bagi
manusia, apalagi mereka diberikan akal dan pikiran. Binatang juga mengalami hal serupa
ketika akan dirubah kebiasaannya. Kuda pada awalnya tidak bisa ditunggangi. Ia akan lari
dan meronta ketika ada sesuatu di punggungnya. Kuda harus dipaksa membawa pelana,
ditunggangi dan dicambuk untuk berjalan, berlari, atau berhenti sesuai permintaan
tuannya. Pada akhirnya, kuda akan menjadi kendaraan yang bisa digunakan untuk
melayani manusia. Begitu juga dengan anjing pemburu atau pelacak, pada awalnya tidak
punya keahlian khusus dalam berburu atau mendeteksi benda-benda berbahaya. Tetapi,
setelah melalui latihan terus menerus, akhirnya bisa menjadi anjing yang bisa diandalkan.
Akhlak mulia sangat berat pada awalnya untuk dilakukan oleh manusia. Butuh latihan
dan pembiasaan terus menerus dalam jangka waktu yang lama, sehingga manusia akan
melakukannya dengan ringan dan tanpa pertimbangan apalagi paksaan. Pada akhirnya,
ketika akhlak sudah menjadi kebiasaan, manusia akan merasakan nikmatnya. Bayi saat
akan disapih dari susu ibunya sangat susah dan menguras air mata. Bayi bisa menangis
sepanjang malam untuk mendapatkan ASI dari ibunya. Ibu juga tidak tega melihat anaknya
meronta dan meminta. Ibunya juga berurai air mata menahan perasan iba kepada anaknya.
Tetapi, ia harus tega demi kebaikan anaknya. Ibu menyapihnya demi kemandirian dan
kedewasaan anaknya. Ibu tidak ingin anaknya bergantung terus menerus kepadanya. Anak
harus dilatih, dan ini memang menyakitkan pada awalnya.
Syair dalam bahasa arab yang ditulis oleh Imam Busiri menyatakan, “Jiwa itu seperti
bayi, jika dibiarkan akan terus menyusu kepada ibunya, namun jika engkau
menyapihnya ia akan melepaskannya.”
Akhlak mulia induknya ada empat yaitu: hikmah, adil, keberanian, dan iffah (menjaga
kehormatan). Hikmah adalah mendapatkan kebenaran dengan ilmu dan amal. Hikmah
bisa dikatakan sebagai pangkal dari akhlak mulia. Allah berfirman, “Barang siapa diberi
Al Hikmah, maka sungguh dia telah diberikan kebaikan yang banyak.” (Q.S. Al
Baqarah: 269) Ibnu Abbas ketika mengomentari firman Allah, “walaqad ataina
lukmanal hikmata” (Q.S. Lukman: 12) beliau mengatakan bahwa al hikmah di sini
adalah akal, pemahaman, dan kecerdasan selain kenabian.
Sedangkan adil adalah kekuatan jiwa yang bisa mengendalikan amarah dan syahwat
dan mengantarkan kepada al hikmah. Dan keberanian adalah emosi yang terkendali oleh
akal pikiran dan digunakan untuk mengambil langkah serta tindakan. Sedangkan ‘Iffah
(menjaga kehormatan) adalah menundukkan kekuatan syahwat dengan kekuatan akal dan
syariat.
Akhlak yang mulia yang akan mengantarkan manusia ke dalam kehidupan yang penuh
bahagia di dunia dan akhirat. Akhlak akan mengangkat derajat seseorang mencapai
tingkatan malaikat. Sedangkan akhlak tercela akan membinasakan pelakunya. Seperti
racun yang sangat berbisa. Akhlak tercela akan menjauhkan pelakunya dari rahmat Allah
Swt. Wallahu A’lam.
Menurut Islam, macam akhlak ada dua yaitu akhlakul karimah (akhlak terpuji) dan
akhlakul mazmumah (akhlak tercela). Adapun defenisinya sebagai berikut:
1. Akhlakul Mahmudah
Akhlakul Karimah atau disebut dengan akhlak yang terpuji merupakan salah satu
golongan macam akhlak yang harus dimiliki setiap umat muslim. Adapun contoh macam
akhlak tersebut diantarannya sikap rela berkorban, jujur, sopan, santun, tawakal, adil, sabar
dan lain sebagainya. Sebagai umat muslim sudah seharusnya kita selalu menjaga akhlakuk
karimah dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
2. Akhlakul Mazmumah
Akhlak Mazmumah atau akhlak tercela merupakan salah satu tindakan buruk yang
harus dihindari setiap manusia. Hal ini harus dijauhi karena akhlakul mazmumah dapat
mendatangkan mudharat bagi diri sendiri maupun orang lain. Contoh dari macam akhlak
akhlakul mazmumah yaitu sombong, iri, dengki, takabur, aniaya, ghibah dan lain
sebagainya. Sebagai orang muslim sudah seharusnya kita menghindari akhlakuk
mazmumah atau akhlak tercela.
2.2 Etika
Pengertian Umum Etika
Secara umum, etika sendiri dapat diartikan sebagai peraturan, tindakan, norma, dan
moral yang ada di lingkungan masyarakat.
Peraturan ini nantinya bisa dijadikan sebagai acuan dari perbuatan dan perilaku
manusia, apakah berperilaku baik ataukah berperilaku buruk. Adanya etika akan membuat
kehidupan bermasyarakat menjadi tertib dan teratur.
Dengan adanya etika sejak zaman dahulu, diharapkan setiap pribadi manusia sadar akan
tindakannya.
Kesadaran akan baik buruknya tindakan dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan
yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat.Karena tanpa adanya etika, maka kehidupan
ini tidak akan berjalan secara tertib dan teratur.
Ciri-Ciri Etika
Etika yang berkaitan dengan tingkah laku manusia ini adalah bagian dari ilmu filsafat
yang sangat penting. Ada beberapa ciri-ciri etika yang bisa menentukan pemahaman
seseorang tentang baik dan buruknya suatu perilaku.
Berikut empat ciri etika secara umum yang berlaku dalam kehidupan manusia.
Jenis-Jenis Etika
Etika sebagai salah satu cabang ilmu filsafat ini juga memiliki pembagian lagi menjadi
2 jenis secara umum. Ilmu yang mencakup analisis serta penerapan baik dan buruk sesuatu
tindakan atau tingkah laku ini sangat penting dalam kehidupan. Ada dua jenis etika yang
dikenal hingga saat ini dalam dunia yaitu etika filosofis dan etika teologis.
1. Etika Filosofis
Etika yang bersumber dari aktivitas berpikir yang dilakukan manusia adalah jenis etika
filosofis. Atau bisa juga disebut etika adalah bagian dari filsafat. Filsafat adalah salah satu
bidang ilmu yang mengutamakan tentang pikiran manusia. Jadi filsafat ini dalam etika juga
dapat dibagi lagi menjadi dua sifat yaitu empiris dan non empiris. Empiris adalah jenis
filsafat yang berkaitan dengan hal-hal yang nyata, ada atau konkret. Salah satu contoh
yang bisa dengan mudah diambil adalah bidang filsafat hukum yang membahas tentang
hukum. Non empiris ini adalah bagian yang berusaha melampaui hal-hal konkret atau
nyata sebelumnya. Non empiris seolah menanyakan gejala konkret yang menyebabkannya.
2. Etika Teologis
Etika satu ini sangat erat kaitannya dengan agama dan ajaran agama yang ada didunia.
Ada dua hal yang harus diingat menyangkut dengan etika satu ini. Pertama etika ini tidak
dibatasi oleh satu agama tertentu saja mengingat banyaknya agama di dunia. Setiap agama
diketahui memiliki etika teologis yang masing-masing dan spesifik juga berbeda-beda.
Kedua etika ini sebenarnya adalah bagian dari etika umum yang banyak diterapkan dan
diketahui oleh sebagian besar orang. Etika umum ini lebih banyak dan luas dengan unsur-
unsur yang tidak terbatas. Jadi Anda juga bisa secara tidak langsung memahami etika
teologis dengan cara memahami etika umun atau sebaliknya.
1. Moralitas Skriptural
Moralitas scriptural ini berarti sebuah tipe etika dimana keputusan-keputusan yang
terkait dengan etika tersebut diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah dengan
memanfaatkan abstraksi- abstraksi dan analisis- analisis para filosuf dan para teolog di
bawah naungan metode- metode dan kategori- kategori diskursif yang berkembang pada
abad 8 dan 9. Kelompok yang termasuk tipe etika sebagian para ahli tafsir dan para ahli
hadist.
2. Etika teologis
Etika teologis ini berarti sebuah tipe etika dimana dalam mengambil keputusan-
keputusan etika, sepenuhnya mengambil dari Al-Quran dan As-Sunnah, kelompok etika
tipe ini ada pada kelompok aliran Mu'tazillah dan Asy' ariyah.
3. Etika filosuf
Etika filosuf ini tipe etika dimana dalam mengambil keputusan-keputusan etika,
mendasarkan diri sepenuhnya pada tulisan plato dan aristoteles yang telah
diinterpretasikan oleh para penulis Neo- Platonik dan Galen yang di gabung dengan dktrin-
doktrin Stia, platonic, phitagorian, dan Aristotelian. Termasuk kelompok ini antara lain
Ibnu Miskawaih dan penerusnya.
4. Etika religious
Etika religious merupakan tipe etika dimana keputusan etikanya berdasar pada al-
Quran, as Sunnah, konsep-konsep teologis, kategori- kategori filsafat, dan sedikit Sufis.
Unsur utama pemikiran etika ini biasanya terkonsentrasi pada dunia dan manusia.
Tipe pemikiran etika ini lebih kompleks dan berciri islam. Beberapa tokoh yang
termasuk mempunyai tipe pemikiran etika ini, antara lain Hasan Al Bashiry, Al
Mawardi, Al Ghazali, Fakhruddin Arr Razi, Raghib Al Isfihani.
3. QS Ibrahim ayat 26
Yang artinya : Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang
buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat
tetap (tegak) sedikit pun.
2.3 Adab
Adab adalah menggunakan sesuatu yang terpuji berupa ucapan dan perbuatan atau
yang terkenal dengan sebutan Al-Akhlaq Al-Karimah. Dalam Islam, masalah adab dan
akhlak mendapat perhatian serius yang tidak didapatkan pada tatanan manapun. Hal ini
dikarenakan syariat Islam adalah kumpulan dari aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ini
semua tidak bisa dipisah-pisahkan. Manakala seseorang mengesampingkan salah satu dari
perkara tersebut, misalnya akhlak, maka akan terjadi ketimpangan dalam perkara dunia
dan akhiratnya. Satu sama lainnya ada keterkaitan sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik
terhadap tetangganya.” (HR. Muslim, Bab Al-Hatstsu’ala Ikramil Jaar wadh Dhaif)
Di sini terlihat jelas bagaimana kaitan antara akidah dan akhlak yang baik. Oleh karena
itu, Nabi SAW menafikan keimanan orang yang tidak menjaga amanah dan janjinya
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak menjaga amanah dan tidak ada agama
bagi orang yang tidak menjaga janjinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban.
Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 7179)
Bahkan suatu ibadah tidak ada nilainya manakala adab dan akhlak tidak dijaga. Nabi
SAW bersabda (yang artinya): “Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan
perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan (amalan) meninggalkan makan dan
minumnya (puasa, red.).” (HR. Al-Bukhari no. 1903). Yakni puasanya tidak dianggap.
Allah SWT telah menjelaskan bahwa adab memiliki pengaruh yang besar untuk
mendatangkan kecintaan dari manusia, sebagaimana firman-Nya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut, terhadap
mereka. Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali
‘Imran: 159)
Asy-Syaikh As-Sa’di menerangkan: “Akhlak yang baik dari seorang pemuka
(tokoh) agama menjadikan manusia tertarik masuk ke dalam agama Allah l dan
menjadikan mereka senang dengan agama-Nya. Di samping itu, pelakunya akan
mendapat pujian dan pahala yang khusus. (Sebaliknya) akhlak yang jelek dari
seorang tokoh agama menyebabkan orang lari dari agama dan benci kepadanya, di
samping bagi pelakunya mendapat celaan dan hukuman yang khusus. Inilah
Rasulullah SAW, seorang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).
Pembagian Adab
1. Adab terhadap Allah
Yakni dengan seseorang memercayai berita-Nya, menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya serta bersabar atas takdir-Nya. Di dalam dirinya tertanam sikap
cinta, berharap, dan takut hanya kepada-Nya. Segala ucapan dan perbuatannya
mencerminkan pengagungan dan penghormatan kepada-Nya. Namun adab terhadap Allah
SWT tidak terealisasi dengan baik kecuali dengan mengenal nama-nama Allah SWT dan
sifat-sifat-Nya yang mulia. Demikian pula dengan mengenal syariat-Nya, hal-hal yang
dicintai Allah SWT dan yang dibenci-Nya, serta (yang tak kalah penting) adanya kesiapan
jiwa untuk menerima kebenaran secara total. Ini adalah pokok dari adab. Manakala hal ini
tidak ada pada diri seseorang maka tidak ada kebaikan pada dirinya.
Namun sebaliknya, seorang ahli ibadah dari bani Israil yang bernama Juraij tatkala
kurang adabnya terhadap ibunya, dia mendapat doa kejelekan dari ibunya. Juraij mendapat
musibah dengan dituduh berbuat zina sehingga dia ditangkap dan diarak dengan tangan
terikat. Bahkan tempat ibadahnya pun dihancurkan. (lihat pembagian adab dan
penjelasannya dalam kitab Madarijus Salikin karya Ibnul Qayyim t, 2/375-392 cet.
Maktabah As-Sunnah)
Orang-orang yang terbimbing dengan wahyu Ilahi tidaklah mengambil dari adab dan
akhlak melainkan yang paling mulia. Sebagaimana mereka tidak mengambil dari aqidah
dan ibadah kecuali yang terbersih. Inilah Rasulullah SAW, sosok teladan yang berbuat
baik dan adil tidak hanya kepada para sahabatnya. Bahkan terhadap musuh sekalipun
beliau SAW tidak mengesampingkan adab. Adalah Nabi SAW ketika hendak berhijrah ke
Madinah, beliau memerintahkan sahabat ‘Ali bin Abi Thalib RA. untuk tidur di rumah
beliau SAW dan mengembalikan amanat/titipan orang-orang Quraisy. Nabi SAW tidaklah
mengambil sedikitpun harta titipan orang-orang kafir tersebut, walaupun sekadar sebagai
bekal untuk sampai di Madinah. Padahal beliau sangat membutuhkannya, apalagi
merekalah yang menyebabkan beliau terusir dari Makkah. Maha Benar Allah ketika
berfirman dengan memuji Nabi-Nya :
Kitab-kitab adab secara khusus sendiri banyak sekali. Kita dapatkan kitab Al-Adab
An-Nabawi karya Al-Baihaqi , Al-Adab Asy-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih Al-
Hanbali , Makarimul Akhlaq karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin , Akhlaqul ‘Ulama
karya Al-Ajurri , Ash-Shamt karya Ibnu Abiddunya , dan lain-lain. Ulama memiliki
andil yang besar dalam menjaga hadits-hadits adab dan menyebarkannya. Di tengah-
tengah keterpurukan moralitas umat, sudah semestinya kita kenalkan kepada mereka kitab-
kitab tersebut. Semoga mereka mau kembali ke jalan yang benar dan krisis moral bisa
dihindarkan.
3.1 Kesimpulan
Akhlak, Etika dan Adab mengambil peranan penting di kehidupan kita sehari-hari.
Bukan hanya sebagai tuntutan sehingga menjadi individu yang disenangi oleh masyarakat
yang ada di sekitar tempat tinggal kita, melainkan Akhlak, Etika, dan Adab menjadi
sebuah hal yang harus dimiliki oleh setiap muslim sebagaimana telah tertulis dengan jelas
pada Firman Allah SWT di Al-Quran dan disempurnakan oleh Hadits Nabi SAW. Dengan
adanya dalil-dalil tersebut maka kita sebagai orang muslim diwajibkan untuk memiliki
akhlak mulia yang telah dicontohkan secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Demikian makalah yang kami persiapkan sebagai tugas yang diberikan oleh bapak
Ahmad Furqoni, M.Pd. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menjadi pengingat bagi
diri kami sendiri sebagai penyusun dan menjadi pedoman pembelajaran untuk teman-
teman lainnya.