Disusun Oleh:
1. NADHIRA SALMA S. 1910711027
2. TASYA PUTRI H. 1910711070
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidrosefalus telah dikenal sajak zaman Hipocrates, saat itu hidrosefalus dikenal sebagai
penyebab penyakit ayan. Di saat ini dengan teknologi yang semakin berkembang maka
mengakibatkan polusi didunia semakin meningkat pula yang pada akhirnya menjadi factor
penyebab suatu penyakit, yang mana kehamilan merupakan keadaan yang sangat rentan
terhadap penyakit yang dapat mempengaruhi janinnya, salah satunya adalah hidrosefalus.
Saat ini secara umum insidennya dapat dilaporkan sebesar tiga kasus per seribu kehamilan
hidup menderita hidrosefalus. Dan hidrosefalus merupakan penyakit yang sangat
memerlukan pelayanan keperawatan yang khusus.
Hidrosefalus itu sendiri adalah akumulasi cairan serebro spinal dalam ventrikel serebral,
ruang subaracnoid, ruang subdural (Suriadi dan Yuliani, 2001). Hidrosefalus dapat terjadi
pada semua umur tetapi paling banyak pada bayi yang ditandai dengan membesarnya kepala
melebihi ukuran normal. Meskipun banyak ditemukan pada bayi dan anak, sebenarnya
hidrosefalus juga biasa terjadi pada oaran dewasa, hanya saja pada bayi gejala klinisnya
tampak lebih jelas sehingga lebih mudah dideteksi dan diagnosis. Hal ini dikarenakan pada
bayi ubun-ubunnya masih terbuka, sehingga adanya penumpukan cairan otak dapat
dikompensasi dengan melebarnya tulang2 tengkorak. Sedang pada orang dewasa tulang
tengkorak tidak mampu lagi melebar.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah ada, maka rumusan permasalahatan yang terkait dengan
Patofisiologi dan Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Hidrosefalus diantaranya:
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut:
PEMBAHASAN
A. Definisi
Kata hidrosefalus diambil dari bahasa Yunani yaitu Hydro yang berarti air, dan cephalus
yang berarti kepala. Secara umum hidrosefalus dapat didefiniskan sebagai suatu gangguan
pembentukan, aliran, maupun penyerapan dari cairan serebrospinal sehingga terjadi kelebian
cairan serebrospinal pada susunan saraf pusat, kondisi ini juga dapat diartikan sebagai
gangguan hidrodinamik cairan serebrospinal. Hidrosefalus juga diartikan sebagai akumulasi
cairan serebrospina dalam ventrikel serebral, ruang subarachnoid, atau ruang subdural.
B. Etiologi
Penyebab hidrosefalus pada anak secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu
penyebab prenatal dan postnatal.
1. Penyebab prenatal
Sebagian besar anak dengan hidrosefalus telah mengalami hal ini sejak lahir atau
segera setelah lahir. Beberapa penyebabnya terutama adalah stenosis akuaduktus sylvii,
malfromasi Dandy Walker, Holopresencephaly, Myelomeningokel, dan Malformasi
Arnold Chiari. Selain itu, terdapat juga jenis malformasi lain yang jarang terjadi.
Penyebab lain dapat berupa infeksi in-utero, lesi destruktif dan faktor genetik. Stenosis
Akuaduktus Sylvius terjadi pada 10% kasus pada bayi baru lahir. Insidensinya berkisar
antara 0,5-1 kasus/1000 kelahiran. Insidennya 0,5-1% kasus/1000 kelahiran. Malformasi
Dandy Walker terjadi pada 2-4% bayi yang baru lahir dengan hidrosefalus. Malformasi
ini mengakibatkan hubungan antara ruang subarakhnoid dan dilatasi ventrikel 4 menjadi
tidak adekuat, sehingga terjadilah hidrosefalus. Penyebab yang sering terjadi lainnya
adalah Malformasi Arnold Chiari (tipe II), kondisi ini menyebabkan herniasi vermis
serebelum, batang otak, dan ventrikel 4 disertai dengan anomali inrtakranial lainnya.
Hampir dijumpai di semua kasus myelomeningokel meskipun tidak semuanya
berkembang menjadi hidrosefalus (80% kasus).
2. Penyebab postnatal
Lesi massa menyebabkan sekitar 20% kasus hidrosefalus, kista arakhnoid dan kista
neuroepitelial merupakan kedua terbanyak yang mengganggu aliran likuor. Perdarahan,
meningitis, dan gangguan aliran vena juga merupakan penyebab yang cukup sering
terjadi.
a. Infeksi - Timbul perlekatan menings sehingga terjadi obliterasi ruang
subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi bila
aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di akuaduktus
Sylvius atau sisterna basalis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu
sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara patologis
terlihat penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar sisterna basalis dan
daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama
terdapat di daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan interpendunkularis,
sedangkan pada meningitis purulenta lokasinya lebih tersebar.
b. Neoplasma - hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap
tempat aliran CSS. Pada anak, kasus terbanyak yang menyebabkan penyumbatan
ventrikel IV dan akuaduktus Sylvius bagian terakhir biasanya suatu glioma yang
berasal dari serebelum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III
biasanya disebabkan suatu kraniofaringioma.
c. Perdarahan - perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat
menyebabkan fibrosis leptomeningen pada daerah basal otak, selain penyumbatan
yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri
C. Manifestasi Klinis
1. Kepala membesar, fontanel anterior menonjol, vena pada kulit kepala dilatasi dan
terlihat jelas pada saat bayi menangis, terdapat bunyi creckedpot (tanda Macewen),
mata melihat ke bawah (tanda setting sun), mudah terstimulasi, lemah, kemampuan
makan kurang, perubahan kesadaran, opisthotonus, dan spatik pada ekstremitas
bawah.
2. Pada bayi dengan malformasi Arnold Chiari, bayi mengalami kesulitan menelan,
bunyi napas stridor, kesulitan bernafas, apnea, aspirasi, dan tidak ada refleks muntah.
3. Sakit kepala, muntah, papil edema, strabismus, ataxia, mudah terstimulasi, letargi,
apatis, bingung, bicara inkoheren.
D. Patofisiologi
Ruangan cairan serebrospinal (CSS) terdiri dari sistem ventrikel, sisterna magna pada
dasar otak dan ruangan subaraknoid. Ruangan ini mulai terbentuk pada minggu kelima
masa embrio. Sistem ventrikel dan ruang subarachnoid dihubungkan melalui foramen
Magendi di median dan foramen Luschka di sebelah lateral ventrikel IV.
Cairan serebrospinalis
dihasilkan oleh pleksus
koroidalis di ventrikel
otak. Cairan ini mengalir ke foramen Monro ke ventrikel III, kemudian melalui akuaduktus
Sylvius ke ventrikel IV. Cairan tersebut kemudian mengalir melalui foramen Magendi dan
Luschka ke sisterna magna dan rongga subarachnoid di bagian cranial maupun spinal. Sekitar
70% cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus koroidideus, dan sisanya di hasilkan oleh
pergerakan dari cairan transepidermal dari otak menuju sistem ventrikel. Bagi anak-anak usia
4-13 tahun rata-rata volume cairan liqour adalah 90 ml dan 150 ml pada orang dewasa.
Tingkat pembentukan adalah sekitar 0,35 ml /menit atau 500 ml / hari. Sekitar 14% dari total
volume tersebut mengalami absorbsi setiap satu jam.
Dengan jalur aliran yang dimulai dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro
kemudian ke ventrikel 3, selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu ke ventrikel 4 dan
menuju ke foramen luska dan magendi, hingga akhirnya ke ruang subarakhnoid dan kanalis
spinalis. Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya hidrosefalus, yaitu:
1. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab paling jarang
dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh adanya tumor
pleksus koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula yang terjadi akibat
dari hipervitaminosis vitamin A.
2. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus hidrosefalus.
Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau tersumbatnya sirkulasi cairan
serebrospinalis yang dapat terjadi di ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara
umum terdapat tiga penyebab terjadinya keadaan patologis ini, yaitu:
a. Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor, misalnya stenosis
akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold Chiari.
b. Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun ekstrinsik saluran
likuor, misalnya tumor intraventrikel, tumor para ventrikel, kista arakhnoid,
dan hematom.
c. Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis, termasuk
reaksi ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili arakhnoid.
3. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal. Suatu kondisi seperti sindrom vena
cava dan trombosis sinus dapat mempengaruhi penyerapan cairan serebrospinal.
Kondisi jenis ini termasuk hidrosefalus tekanan normal atau pseudotumor serebri.
Dari penjelasan di atas maka hidrosefalus dapat diklasifikasikan dalam beberapa
sebutan diagnosis. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel,
sedangkan hidrosefalus eksterna menunjukkan adanya pelebaran rongga
subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus komunikans adalah keadaan di
mana ada hubungan antara sistem ventrikel dengan rongga subarakhnoid otak dan
spinal, sedangkan hidrosefalus non-komunikans yaitu suatu keadaan dimana terdapat
blok dalam sistem ventrikel atau salurannya ke rongga subarakhnoid. Hidrosefalus
obstruktif adalah jenis yang paling banyak ditemui dimana aliran likuor mengalami
obstruksi. Terdapat pula beberapa klasifikasi lain yang dilihat berdasarkan waktu
onsetnya, yaitu akut (beberapa hari), subakut (meninggi), dan kronis (berbulan-
bulan). Terdapat dua pembagian hidrosefalus berdasarkan gejalanya yaitu
hidrosefalus simtomatik dan hidrosefalus asimtomatik.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan funduskopi - Evaluasi funduskopi dapat mengungkapkan papilledema
bilateral ketika tekanan intrakranial meningkat. Pemeriksaan mungkin normal,
namun, dengan hidrosefalus akut dapat memberikan penilaian palsu.
2. Foto polos kepala lateral – tampak kepala membesar dengan disproporsi kraniofasial,
tulang menipis dan sutura melebar.
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal – dilakukan pungsi ventrikel melalui foramen
frontanel mayor. Dapat menunjukkan tanda peradangan dan perdarahan baru atau
lama. Juga dapat menentukan tekanan ventrikel.
4. CT scan kepala - Meskipun tidak selalu mudah untuk mendeteksi penyebab dengan
modalitas ini, ukuran ventrikel ditentukan dengan mudah. CT scan kepala dapat
memberi gambaran hidrosefalus, edema massa seperti kista koloid dari ventrikel
ketiga atau thalamic atau pontine tumor. CT scan wajib bila ada kecurigaan proses
neurologis akut, edema serebral, atau lesi massa seperti kista koloid dari ventrikel
ketiga atau thalamic atau pontine tumor.
5. MRI - dapat memberi gambaran dilatasi ventrikel atau adanya lesi massa.
F. Penatalaksaan Klinis
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi hidrosefalus, menangani komplikasi,
mengatasi efek hidrosefalus atau gangguan perkembangan. Penatalaksaan terdiri dari:
1. Non pembedahan: pemberian acetazolamide dan isosorbide atau furosemide
mengurangi produksi cairan serebrospinal.
2. Pembedahan: pengangkatan penyebab obstruksi misalnya neoplasma, kista, atau
haematom; pemasangan shunt yang bertujuan untuk mengalirkan cairan serebrospinal
yang berlebihan dari ventrikel ke ruang ekstra kranial misalnya ke rongga
peritoneum, atrium kanan, dan rongga pleura.
a. Ventriculoperitoneal shunting - Cara yang paling umum untuk mengobati
hidrosefalus. Dalam ventriculoperitoneal (VP) shunting, tube dimasukkan melalui
lubang kecil di tengkorak ke dalam ruang (ventrikel) dari otak yang berisi cairan
serebrospinal (CSF). Tube ini terhubung ke tube lain yang berjalan di bawah kulit
sampai ke perut, di mana ia memasuki rongga perut (rongga peritoneal). Shunt
memungkinkan CSS mengalir keluar dari ventrikel dan ke rongga perut di mana
ia diserap. Biasanya, katup dalam sistem membantu mengatur aliran cairan.
3. Pemberian terapi
a. Terapi konservatif
medikamentosa - untuk
membatasi evolusi
hidrosefalus melalui
upaya mengurangi sekresi
cairan dan pleksus
choroid (asetazolamit 100
mg/kgBB/hari; furosemid
1,2 mg/kgBB/hari) atau
upaya meningkatkan resorpsinya (isorbid). Terapi diatas hanya bersifat sementara
sebelum dilakukan terapi defenitif diterapkan atau bila ada harapan kemungkinan
pulihnya gangguan hemodinamik tersebut; sebaliknya terapi ini tidak efektif
untuk pengobatan jangka panjang mengingat adanya resiko terjadinya gangguan
metabolik.
b. Terapi etiologi - Merupakan strategi penanganan terbaik; seperti antara lain;
pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi
massa yang mengganggu aliran liquor, pembersihan sisa darah dalam liquor atau
perbaikan suatu malformasi. Pada beberapa kasus diharuskan untuk melakukan
terapi sementara terlebih dahulu sebelum diketahui secara pasti lesi penyebab;
atau masih memerlukan tindakan operasi shunting karena kasus yang mempunyai
etiologi multifaktor atau mengalami gangguan aliran liquor skunder.
G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat keperawatan.
b. Kaji adanya pembesaran kepala pada bayi, vena terlihat jelas pada kulit kepala,
bunyi cracked-pot pada perkusi, tanda setting-sun, penurunan kesadaran,
opisthotonus, dan spatik pada ekstremitas bawah, tanda peningkatan tekanan
intracranial (muntah, pusing, papil edema), dan bingung.
c. Kaji lingkar kepala.
d. Kaji ukuran ubun-ubun, bila menangis ubun-ubun menonjol.
e. Kaji perubahan tanda vital khususnya pernapasan.
f. Kaji pola tidur, perilaku dan interaksi.
2. Diagnosa keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan meningkatnya volume
cairan serebrospinal, meningkatnya tekanan intracranial.
b. Risiko injury berhubungan dengan pemasangan shunt.
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan adanya tindakan untuk
mengurangi tekanan intracranial, meningkatnya tekanan intracranial.
d. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi yang mengancam
kehidupan anak.
e. Antisipasi berduka berhubungan dengan kemungkinan kehilangan anak.
3. Perencanaan
a. Anak akan menunjukkan tidak adanya tanda-tanda komplikasi dan perfusi
jaringan serebral adekuat.
b. Anak akan menunjukkan tanda-tanda terpasangnya shunt dengan tepat.
c. Anak tidak akan menunjukkan tanda-tanda injury.
d. Anak tidak akan menunjukkan tanda-tanda infeksi
e. Orang tua akan menerima anak dan akan mencari bantuan mengatasi rasa
berduka.
4. Implementasi
a. Mencegah komplikasi
1) Mengukur lingkar kepala setiap 8 jam.
2) Memonitor kondisi fontanel.
3) Mengatur posisi anak miring ke arah yang tidak dilakukan tindakan operasi.
4) Menjaga posisi kepala tetap sejajar dengan idur untuk menghindari
pengurangan tekanan intracranial yang tiba-tiba.
5) Mengobservasi dan menilai fungsi neurologis setiap 15 menit hingga tanda-
tanda vital stabil.
6) Melaporkan segera setiap perubahan tingkah laku (misalnya; mudah
terstimulasi, menurunnya tingkat kesadaran) atau perubahan tanda-tanda vital
(meningkatnya tekanan darah, denyut nadi perlahan).
7) Menilai keadaan balutan terhadap adanya perdarahan dan daerah sekitar
operasi terhadap tanda-tanda kemerahan dan pembengkakan setiap 15 menit
hingga tanda vital stabil, selanjutnya setiap 2 jam.
8) Mengganti posisi setiap 2 jam dan jika perlu gunakan matras yang berisi
udara untuk mencegah penekanan yang terlalu lama pada daerah tertentu.
5. Perencanaan pemulangan
a. Ajarkan teknik perawatan dan balutan pemasangan shunt dan jelaskan tanda-tanda
infeksi dan malfungsi dari shunt.
b. Anjurkan untuk melapor ke perawat atau dokter bila ada sumbatan.
c. Jelaskan tentang obat-obatan yang diberikan; efek kebutuhan mempertahankan
tekanan darah (seperti anti kejang).
d. Jelaskan pentingnya kontrol ulang.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
Diharapkan kepada orang tua yang mendapatkan anak dengan kasus hidrosefalus untuk
tidak berkecil hati karena ada masih ada cara pengobatan yang dapat dilakukan. Pengobatan
tersebut dapat membantu anak tersebut untuk proses tumbuh kembangnya dikemudian hari.
Bagi petugas kesehatan diharapkan dapat melakukan penatalaksanaan dan asuhan yang
adekuat dan hati-hati untuk mencegah terjadinya infeksi sehingga dapat menurunkan angka
kematian pada bayi.
Daftar Pustaka:
Dr. Iskandar Japardi (2002). Cairan Serebrospinal. USU Digital Library, Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.
Jason G. Mandell et. All. 2010. Journal of Neurosurgery: Pediatrics. July 2010 Volume 6,
Number 1.
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 27, No. 3, Februari 2013; Korespondensi: Farhad Bal'afif.
Laboratorium Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, Jl. Jaksa
Agung Suprapto No.2 Malang,
Hydrocephalus.