Anda di halaman 1dari 119

RANCANGAN SISTEM PENYALIRAN TAMBANG PADA BLOK

B PT. SINAR JAYA SULTRA UTAMA SITE WATURAMBAHA


KABUPATEN KONAWE UTARA SULAWESI TENGGARA

SKRIPSI

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN


MENCAPAI DERAJAT SARJANA (S1)

DIAJUKAN OLEH

HERLINA
F1B213086

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
:OImA:.:

£ler%B
.F.IBM 13 ti8G
Tdleh dipeztabaa a dl”depen Tiés PesguJl”
I'ad• teaggat”03”Jc•x•ri 2018 "”
’ dia’.dizryataIcad telah zsms<aubi
syaral

.N. lDi.'4.:.. 00..d2.A.


4-.R.. 9.4:1:
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas khadirat Allah SWT, karena limpahan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dengan judul “Rancangan

Sistem Penyaliran Tambang pada Blok B PT. Sinar Jaya Sultra Utama Site

Waturambaha, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara” dapat diselesaikan

dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulisan hasil penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan

dari semua pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa

terima kasih kepada Bapak Drs. Firdaus, M.Si., selaku pembimbing I dan Ibu

Fitrani Amin, ST., MT., selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu,

pikiran dan tenaga untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis

sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.

Terima kasih atas segala bimbingannya. Semoga Allah SWT senantiasa

memberikan kebaikan kepada keduanya. Ucapan terima kasih juga penulis

berikan kepada berbagai pihak yang langsung maupun tidak langsung membantu

penulis, terutama kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si., M.Sc., selaku Rektor

Universitas Halu Oleo.

2. Bapak Dr. Ida Usman, S.Si., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu dan

Teknologi Kebumian Universitas Halu Oleo.

3. Bapak Jahidin S.Si., M.Si selaku Ketua Jurusan Teknik Pertambangan.

iii
4. Bapak Erwin Anshari, S.Si., M.Eng., selaku Sekretaris Jurusan Teknik

Pertambangan.

5. Bapak Deniyatno, S.Si., MT. selaku wakil dekan bidang akademik sekaligus

penasehat akademik penulis

6. Bapak Dr. Mulidin, S.Si., M.Si, Bapak Irfan Ido, S.P., M.Si, dan Bapak

Marwan Zam Mili, ST., MT selaku dosen-dosen penguji yang telah

memberikan saran dan masukan untuk penulis demi baiknya penulisan skripsi

ini.

7. Dosen-dosen Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Ilmu dan Teknologi

Kebumian, yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan.

8. Bapak Dani Parjaman, Selaku Kepala Teknik Tambang PT. Sinar Jaya Sultra

Utama yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan

penelitian di lokasi yang beliau pimpin.

9. Bapak Muhammad Ikhsan ST., dan Bapak Ika Santika, selaku mineplan

engineer dan head surveyor PT. Sinar Jaya Sultra Utama yang turut membantu

dalam pelaksanaan penelitian ini.

10. Teman-temanku Jurusan Teknik Pertambangan 2013: Rati, Isra, Ayuni, Kitos,

Dede, Nurmeng, Hanan, Fira, Intan, Dita, Fani, Inong, Magda, Erni, Mariani,

Yesi, Siska, Nayla, Hiro, Jalil, Ema, Fuad, Guslan, Uya, Kiel, Nanang, Aldhy,

Andy, Fahmi, Keting, Nurdin, Hady, Utha, Candra, Agus, Ufu, Ari, Indrawan,

Panji, Gilbert, Alpha, Fadhel, Roy, dan Fadly.

11. Senior dan junior Teknik Pertambangan: Kak Yusran, Kak Yusman, Kak

Arman, Kak Asdin, Kak Muly, Kak Fani, Kak Resty, Kak Adel, Kak Achi,

Kak Sandra, Bayu Adji, Ilham, Ikin, Alif, Bengbeng, Madu Arum dan seluruh

iv
teman-teman lainnya yang selalu memberikan doa, motivasi, dan bantuannya

kepada penulis.

12. Seseorang yang selalu ada ketika penulis membutuhkan bantuan dan

dukungan, Terima kasih yang sebesar-besarnya.

13. Kak Yuni, selaku rekan kerja sehati yang selalu memberi dukungan dan

motivasi kepada penulis.

14. Sahabatku di rumah Yanti Yuniar dan Juanti, Amd. Keb., yang telah

memberikan dukungan kepada penulis.

Teristimewa penulis ucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan tak

terhingga kepada Ayahanda La Ridi dan Ibunda Hasni atas limpahan cinta, kasih

sayang, doa restu serta dukungan moril dan materi kepada penulis sehingga

penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tak lupa juga penulis

ucapkan terima kasih kepada Kakakku Herdianti,S.Pd, dan Adik-adikku Abdul

Rahman, dan Anisa Susia Hasri atas doa, dukungan dan motivasi selama ini

kepada penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT membalas semua pihak yang

telah banyak membantu dan mendoakan penulis, sehingga penulisan skripsi ini

dapat terselesaikan. Aamiiin!

Kendari, Desember 2017

Penulis

v
RANCANGAN SISTEM PENYALIRAN TAMBANG PADA BLOK B
PT. SINAR JAYA SULTRA UTAMA SITE WATURAMBAHA
KABUPATEN KONAWE UTARA SULAWESI TENGGARA. Dibimbing
oleh Drs. Firdaus, M.Si (Pembimbing I) dan Fitrani Amin, ST., MT.
(Pembimbing II).
Herlina (F1B213 086),
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian,
Universitas Halu Oleo
Email : hlyna53@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo Kepulauan,


Kabupaten Konawe Utara dengan tujuan (1) untuk menentukan rancangan
drainase yang sesuai pada blok B PT. Sinar Jaya Sultra Utama dan (2) untuk
menentukan rancangan kolam pengendap untuk blok B PT. Sinar Jaya Sultra
Utama. Data penelitian diperoleh dari pengumpulan data primer dan data
sekunder. Data primer berupa data hasil pengujian laboratorium dan data tata guna
lahan. Pengujian laboratorium yang dilakukan berupa pengujian viskositas
dinamis, specific gravity, perbandingan padatan dan air, dan diameter partikel.
Data sekunder berupa data curah hujan lokasi penelitian dan peta situasi tambang
PT. Sinar Jaya Sultra Utama. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis untuk
mendapatkan rancangan dimensi saluran dan dimensi kolam pengendap. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rancangan sistem penyaliran tambang yang sesuai
adalah (1) dimensi saluran dibuat berdasarkan debit air yang telah diperoleh sesuai
dengan perkiraan umur tambang blok B yaitu sebesar 0,03977 m 3/s dengan
dimensi saluran berupa tinggi saluran basah 0,25 meter, tinggi saluran 0,60 meter,
tinggi jagaan 0,35 meter, lebar dasar saluran 0,31 meter, dan lebar permukaan
saluran 0,6 meter (2) kolam pengendap yang dirancang terdiri atas 3 kolam
dengan dimensi masing-masing kolam, yaitu lebar kolam 9 meter, panjang kolam
2 meter, dan tinggi 4 meter sehingga luas kolam keseluruhan adalah 54 m2.
Volume kolam pengendap yang diperoleh adalah sebesar 216 m3 dengan waktu
pengerukan kolam pengendap untuk ketiga kolam tersebut adalah selama 5 hari.

Kata Kunci: Dimensi, Saluran, Kolam Pengendap

vi
DESIGN OF MINING DRAINAGE SYSTEM ON BLOCK B PT. SINAR
JAYA SULTRA UTAMA SITE WATURAMBAHA KABUPATEN
KONAWE UTARA SULAWESI TENGGARA. Guided by Drs. Firdaus,
M.Si (Counselor I) and Fitrani Amin, ST., MT. (Counselor II).
Herlina (F1B213 086),
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian,
Universitas Halu Oleo
Email : hlyna53@gmail.com

ABSTRACK

This research was conducted in Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo


Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara with the aim of (1) to determine the
appropriate drainage design on block B of PT. Sinar Jaya Sultra Utama and (2) to
determine the design of settling pond for block B of PT. Sinar Jaya Sultra Utama.
The research data is collected from primary data collection and secondary data.
Primary data are data of laboratory test result and land use data. Laboratory
testing performed in the form of dynamic viscosity testing, specific gravity, solids
and water ratio, and particle diameter. Secondary data in the form of rainfall data
of research location and mine situation map of PT. Sinar Jaya Sultra Utama. The
data obtained were processed and analyzed to obtain the design of channel
dimension and dimension of settling pond. The result of the research indicates that
the design of suitable mining drainage system is (1) dimensions of the channel are
made based on the water debit that has been obtained in accordance with the
estimated life of block B mine that is 0,03977 m3/s with the dimension of the
channel in the form of wet channel height 0,25 meters, channel height 0,60
meters, the channel bottom width is 0,31 meters, and the channel surface width is
0,6 meters (2) a designed settling pool consisting of 3 pools with dimensions of
each pond, the pool 9 meters, the length of the pool 2 meters, and 4 meters high so
the total pool area is 54 m2. The volume of settling pond obtained is 216 m 3 with
the dredging time of the settling pond for the three ponds is for 5 days.

Keywords: Dimensions, Channels, Settling Pond

vii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
ABSTRAK ................................................................................................... vi
ABSTRACK ................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Batasan Masalah ............................................................................. 3
C. Rumusan Masalah ............................................................................ 3
D. Tujuan ……………………………………………………………. 4
E. Manfaat Penelitian ……………………………………………….. 4

II. KAJIAN PUSTAKA


A. Siklus Hidrologi .............................................................................. 5
B. Sistem Penyaliran Tambang ........................................................... 6
1. Curah Hujan .............................................................................. 7
2. Air Limpasan ............................................................................ 18
C. Saluran Terbuka (Drainase) .............................................................. 20
D. Kolam Pengendap ............................................................................... 22

III. METODE PENELITIAN


A. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................ 30
B. Jenis Penelitian ................................................................................. 32
C. Jenis Data ......................................................................................... 32
D. Instrumen ......................................................................................... 32
E. Tahapan Penelitian ........................................................................... 35
1. Studi Literatur ............................................................................. 35
2. Pengambilan dan Pengumpulan Data ......................................... 36
3. Pengolahan dan Analisis Data .................................................... 40
F. Kerangka Berpikir ............................................................................. 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Analisis Data Curah Hujan ............................................................... 44
B. Analisis Daerah Tangkapan Hujan.................................................... 54
viii
C. Debit Air Limpasan........................................................................... 58
D. Saluran terbuka (Drainase)................................................................ 59
E. Kolam Pengendap ............................................................................. 62

V. PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 69
B. Saran .................................................................................................. 70

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Acuan untuk Menentukan Periode Ulang Hujan Rencana.................... 13
Tabel 2. Reduced Mean (Yn)....................................................................... 14
Tabel 3. Nilai Variabel Reduksi Gumbel .................................................... 15
Tabel 4. Reduced Standard Deviation (Sn) ................................................. 15
Tabel 5. Keadaan Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan ....................... 17
Tabel 6. Beberapa Harga Koefisien Limpasan ............................................ 20
Tabel 7. Koefisien Kekasaran Dinding Saluran .......................................... 22
Tabel 8. Instrumen Penelitian ...................................................................... 33
Tabel 9. Nilai Koefisien Thiessen ............................................................... 47
Tabel 10. Perhitungan Curah Hujan Harian Rata-rata................................... 48
Tabel 11. Perhitungan Standar Deviasi ......................................................... 49
Tabel 12. Hasil Perhitungan Curah Hujan Rencana ...................................... 50
Tabel 13. Curah Hujan Rencana Periode Ulang T dengan Metode Gumbel. 51
Tabel 14. Hasil Perhitungan Intensitas Curah Hujan..................................... 52
Tabel 15. Analisis Debit Air Limpasan ......................................................... 59
Tabel 16. Hasil Perhitungan Rancangan Saluran .......................................... 60
Tabel 17. Rincian Perhitungan Kolam Pengendap ........................................ 67
Tabel 18. Data Curah Hujan Bulanan Pos Hujan Tinobu.............................. 74
Tabel 19. Data Curah Hujan Bulanan Pos Hujan Asera ................................ 75
Tabel 20. Data Curah Hujan Bulanan Pos Hujan Lamonae .......................... 76
Tabel 21. Hasil Analisis Data Curah Hujan Pos Hujan Tinobu .................... 77
Tabel 22. Hasil Analisis Data Curah Hujan Pos Hujan Asera....................... 78
Tabel 23. Hasil Analisis Data Curah Hujan Pos Hujan Lamonae ................. 79
Tabel 24. Hasil Uji Waktu Alir...................................................................... 85
Tabel 25. Klasifikasi Ukuran Butir ................................................................ 88
Tabel 26. Klasifikasi Tanah Menurut USCS.................................................. 88

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Ilustrasi Siklus Hidrologi......................................................... 6
Gambar 2. Geometrik Penampang Saluran ............................................... 21
Gambar 3. Zona-Zona pada Kolam Pengendapan..................................... 24
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian ............................................................. 31
Gambar 5. Viskometer Ostwald ................................................................ 37
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian........................................................... 43
Gambar 7. Grafik Intensitas Durasi dan Frekuensi ................................... 53
Gambar 8. Layout Daerah Tangkapan Hujan (Catchment Area) .............. 56
Gambar 9. Perbesaran Layout Daerah Tangkapan Hujan ......................... 57
Gambar 10. Saluran Penampang Trapesium ............................................... 60
Gambar 11. Rancangan Saluran ................................................................. 61
Gambar 12. Rancangan Kolam Pengendap ................................................. 68
Gambar 13. Hasil Analisis Sampel.............................................................. 99
Gambar 14. Layout Sistem Penyaliran Tampak Atas ................................. 100
Gambar 15. Layout Rancangan Kolam Pengendap Tampak Samping ....... 101
Gambar 16. Foto Citra Kondisi Blok B....................................................... 102
Gambar 17. Pengujian Specific Gravity ...................................................... 103
Gambar 18. Pengujian Diameter Partikel .................................................... 103
Gambar 19. Pengujian Viskositas Dinamis ................................................. 104
Gambar 20. Pengujian Perbandingan Padatan dan Air ............................... 104

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Data Curah Hujan Bulanan...................................................... 74
Lampiran 2. Peta Sebaran Hujan Menggunakan Metode Thiessen ............. 80
Lampiran 3. Peta Topografi PT. SJSU......................................................... 81
Lampiran 4. Hasil Pengujian Laboratorium................................................. 84
Lampiran 5. Perhitungan Rancangan Saluran dan Kolam Pengendap......... 91
Lampiran 6. Layout Rancangan Sistem Penyaliran ..................................... 100
Lampiran 7. Kondisi Tata Guna Lahan Blok B PT. SJSU........................... 102
Lampiran 8. Dokumentasi Pengujian Laboratorium .................................... 103
Lampiran 9. Perhitungan Yn dan Sn ............................................................ 105

xii
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penambangan merupakan kegiatan penyediaan bahan galian yang

bermanfaat untuk kebutuhan hidup manusia. Kegiatan penambangan adalah

kegiatan yang padat modal, padat teknologi dan memiliki resiko sangat besar,

sehingga dalam melakukan kegiatan penambangan diperlukan perencanaan yang

sangat matang agar tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut dapat terarah

dan terlaksana dengan sebaik-baiknya.

Sistem penambangan secara umum terbagi menjadi 3, yaitu sistem tambang

terbuka (surface mine system), sistem tambang bawah tanah (underground mine

system), dan sistem tambang bawah air (underwater mine system). Sistem

tambang terbuka (surface mine system) merupakan sistem penambangan yang

banyak diterapkan di Indonesia khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara yang

merupakan salah satu daerah penghasil nikel terbesar di Indonesia.

PT. Sinar Jaya Sultra Utama (PT. SJSU) merupakan salah satu perusahaan

pertambangan yang bergerak di bidang penambangan bijih nikel yang terletak di

Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara dan menerapkan sistem

penambangan tambang terbuka (surface mine system), dimana dalam sistem

penambangan tersebut kegiatannya berhubungan langsung dengan udara luar.

Salah satu hambatan yang menjadi kekurangan dari surface mine system adalah

lingkup pekerjaannya yang bergantung pada kondisi cuaca, sehingga air hujan

maupun air tanah merupakan hal utama yang harus diperhatikan agar tidak

mengganggu dan merusak lokasi penambangan.


Penyaliran tambang merupakan suatu usaha yang diterapkan untuk

mencegah, mengeringkan, dan mengeluarkan air yang ada di area penambangan,

baik air yang berasal dari aliran permukaan (run off) maupun air tanah. Air yang

berasal dari penyaliran tambang tersebut akan masuk menuju kolam pengendap

sebelum dialirkan ke sungai maupun lautan. Kolam pengendap berfungsi sebagai

tempat mengendapkan material sedimen agar air yang masuk ke sungai maupun

lautan tidak melewati batas baku mutu.

Pada saat musim penghujan, dasar tambang akan tergenang air akibat air

limpasan dari sekitar lokasi penambangan yang telah berbentuk cekungan besar.

Sasaran penirisan adalah membuat lokasi kerja di area penambangan selalu

kering, sehingga tidak menimbulkan masalah baik dalam masalah teknis dan

masalah lingkungan sekitar tambang (Jafar, N., dkk., 2016)

PT. Sinar Jaya Sultra Utama memiliki luas IUP ±301 ha dan sedang

melakukan proses penambangan di blok A. Kegiatan penambangan yang sedang

berlangsung di blok A tersebut dilakukan tanpa adanya perencanaan dan

perancangan awal penanganan masalah air, sehingga mengakibatkan banyaknya

genangan-genangan air yang sudah menjadi kolam dan berada di tengah-tengah

lokasi penambangan, akibatnya kegiatan penambangan tidak dapat berlangsung

secara maksimal.

Adanya rencana pembukaan blok baru di PT. SJSU, dalam hal ini adalah

blok B, maka pihak perusahaan harus membuat perencanaan yang matang untuk

mendapatkan hasil yang maksimal dan menjadikan hal yang terjadi di blok A

sebagai pembelajaran agar tidak melakukan hal tersebut untuk yang kedua kalinya
dalam penanganan masalah air. Sehingga berdasarkan hal tersebut, penulis

melakukan penelitian mengenai “Rancangan Sistem Penyaliran Tambang pada

Blok B PT. Sinar Jaya Sultra Utama Site Waturambaha”.

B. Batasan Masalah

Sistem penyaliran tambang memiliki fungsi untuk mencegah,

mengeringkan, dan mengeluarkan air di lokasi penambangan, baik air berasal dari

air permukaan ataupun air tanah, sehingga dalam perancangannya seharusnya

memperhitungkan letak sump, banyaknya pompa, letak dan bentuk saluran hingga

penempatan kolam pengendap. Namun, kondisi di PT. Sinar Jaya Sultra Utama

yang tidak menerapkan sistem pemompaan dan lebih memperhitungkan air yang

berasal dari air permukaan (run off), menyebabkan penulis harus membatasi

beberapa masalah dalam penelitian ini, yaitu antara lain: perancangan sistem

penyaliran tambang hanya difokuskan pada drainase dan kolam pengendap saja

tanpa memperhitungkan banyaknya erosi yang akan terjadi, air tanah tidak

diperhitungkan, dan studi dilakukan secara teknis saja, tidak sampai ke

perhitungan ekonomi.

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana rancangan drainase yang sesuai pada blok B PT. Sinar Jaya

Sultra Utama?

2. Bagaimana rancangan kolam pengendap yang sesuai untuk blok B PT.

Sinar Jaya Sultra Utama?


D. Tujuan

Adapun tujuan dalam penelitian yang dilakukan, adalah sebagai berikut:

1. Menentukan rancangan drainase yang sesuai pada blok B PT. Sinar

Jaya Sultra Utama

2. Menentukan rancangan kolam pengendap untuk blok B PT. Sinar Jaya

Sultra Utama

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian yang penulis lakukan,

adalah sebagai berikut:

1. Mengaplikasikan pengetahuan yang didapatkan di bangku perkuliahan,

serta menambah pengetahuan praktis mengenai kegiatan penambangan

terutama mengenai perencanaan dan perancangan tambang khususnya

pada sistem penyaliran tambang sebagai bekal di dunia kerja nantinya.

2. Memberikan masukan kepada perusahaan tentang rancangan sistem

penyaliran tambang yang baik dan benar sesuai dengan lokasi

penelitian, sehingga penanganan masalah air di lokasi penambangan

nantinya akan dapat dilakukan dengan baik dan kegiatan penambangan

dapat berlangsung dengan aman dan lancar.


II. KAJIAN PUSTAKA

A. Siklus Hidrologi

Air di bumi ini mengulangi terus menerus sirkulasi -> penguapan,

presipitasi dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan

tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan

kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum

tiba ke permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba

ke permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi

mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan

dimana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir

melalui dahan- dahan ke permukaan tanah (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam

tanah (inflitrasi). Bagian lain akan mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah,

kemudian mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk ke sungai-sungai dan

akhirnya ke laut. Tidak semua butir air yang mengalirkan tiba ke laut. Dalam

perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air

yang masuk ke dalam tanah keluar kembali dan segera ke sungai-sungai (disebut

aliran intra = interflow). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah

(groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang

lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah (disebut groundwater

runoff = limpasan air tanah) (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

Jadi sungai itu mengumpulkan 3 jenis limpasan, yakni limpasan permukaan

(surface runoff), aliran intra (interflow) dan limpasan air tanah (groundwater
runoff) yang akhirnya akan mengalir ke laut. Singkatnya ialah: uap dari laut

dihembus ke atas daratan (kecuali bagian yang telah jatuh sebagai presipitasi ke

laut), jatuh ke daratan sebagai presipitasi (sebagian jatuh langsung ke sungai-

sungai dan mengalir langsung ke laut). Sebagian dari hujan atau salju yang jatuh

di daratan menguap dan meningkatkan kadar uap di atas daratan. Bagian yang lain

mengalir ke sungai dan akhinya ke laut (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

Gambar 1. Ilustrasi Siklus Hidrologi (Sumber: Ismaya F., 2007)

B. Sistem Penyaliran Tambang

Sistem penyaliran tambang adalah suatu sistem yang dilakukan untuk

mencegah masuknya aliran air ke dalam lubang bukaan tambang atau

mengeluarkan air yang telah masuk ke dalam lubang bukaan tambang (pit).

Sistem penyaliran tambang yang baik adalah suatu sistem pengaliran air tambang

yang dapat mengarahkan aliran air tersebut agar tidak mengganggu kegiatan

penambangan. Air dalam jumlah yang besar merupakan permasalahan besar

dalam
pekerjaan penambangan, baik secara langsung maupun tidak langsung

berpengaruh terhadap produktivitas. Sumber air yang masuk ke lokasi

penambangan, dapat berasal dari air permukaan tanah maupun air bawah tanah

(Nauli F.,2014)

Air tambang yang tidak ditanggulangi dengan baik, dapat mengganggu

operasi penambangan. Salah satu kegiatan tambahan pada usaha penambangan

adalah penyaliran yang berfungsi untuk mencegah masuknya air (Mine Drainage)

dan mengeluarkan air yang telah masuk daerah penambangan (Mine Dewatering).

Kemajuan tambang menyebabkan sistem penyaliran ikut berubah dan debit air

yang harus ditanggulangi semakin besar, sehingga jumlah pompa yang harus

dioperasikan menjadi bertambah. Minimalisasi jumlah pompa dapat dilakukan

dengan memaksimalkan upaya pencegahan terhadap air tambang yang berasal dari

air permukaan tanah. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan penambahan

pembuatan saluran terbuka (Prayuditha, M.F., 2013)

Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam merancang sistem penyaliran

pada tambang terbuka adalah :

1. Curah Hujan

Curah hujan adalah jumlah atau volume air hujan yang jatuh pada satu

satuan luas tertentu, dinyatakan dalam satuan mm. 1 mm berarti pada luasan 1 m2

jumlah air hujan yang jatuh sebanyak 1 Liter. Sumber utama air permukaan pada

suatu tambang terbuka adalah air hujan (Putri Y.E., 2014)

Komponen hujan pada daerah penambangan merupakan komponen

masukan paling penting yang mempengaruhi kondisi hidrologi tambang. Untuk

mendapatkan besar curah hujan maka dilakukan pengukuran dengan alat ukur

curah
hujan, dalam hal ini adalah alat penakar hujan. Alat penakar hujan dapat dibedakan

menjadi:

a) Alat penakar hujan manual yang mempunyai luas bukaan sebesar

200 cm2 dan di letakkan kurang lebih 1 meter dari permukaan tanah.

b) Alat penakar hujan otomatis

Dengan alat penakar hujan manual umumnya pengukuran dilakukan sekali

dalam sehari, biasanya pada jam 07.00, dengan demikan akan didapat curah hujan

harian. Sedangkan alat penakar hujan otomatis pengukuran dilakukan secara

berkesinambungan, sehingga dihasilkan data curah hujan yang akurat (Amin M.,

2002)

a. Curah Hujan Rata-rata

Perhitungan curah hujan rata-rata dimaksudkan untuk mendapatkan

nilai curah hujan rata-rata Daerah Tangkapan Air (DTA), yang merupakan

hasil penggabungan nilai curah hujan yang diperoleh dari stasiun-stasiun

pengamatan curah hujan dengan metode tertentu (Hilaludin dan Joko, 2011).

Adapun metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata

ada beberapa cara (Sosrodarsono dan Takeda, 2003):

1. Metode Rata-Rata Aljabar (Metode Arithmatic)

Metode metode rata-rata aljabar dapat menghasilkan data yang baik

bila daerah pengamatannya datar, penempatan alat ukur tersebar merata, dan

besarnya curah hujan tidak bervariasi. Metode ini merupakan metode yang

paling sederhana, yaitu dengan menjumlahkan curah hujan dari semua

tempat pengukuran selama satu periode tertentu dan membaginya dengan

banyaknya
stasiun pengukuran curah hujan. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan

adalah sebagai berikut (Sosrodarsono dan Takeda, 2003):

1
R= (R1 + R2 + R3 + ⋯ Rn) (1)
n

Keterangan:

R = Curah hujan rata-rata (mm)


R1....Rn = Besarnya curah hujan pada masing-masing stasiun (mm)
n = Banyaknya stasiun hujan

2. Metode Poligon Thiessen

Metode Poligon Thiessen memiliki ketelitian yang cukup, sehingga

sangat baik jika digunakan untuk menghitung curah hujan rata-rata DTA

yang masing-masing dipengaruhi oleh lokasi stasiun pengamatan curah

hujan berdasarkan lokasi stasiun pengamatan (Hilaludin dan Joko, 2011).

Syarat-syarat penggunaan Metode Thiessen, yaitu :

a) Stasiun hujan minimal 3 buah dan letak stasiun dapat tidak merata

b) Daerah yang terlibat dibagi menjadi poligon-poligon, dengan

stasiun pengamat hujan sebagai pusatnya.

Curah hujan dengan menggunakan metode ini, dapat ditentukan dengan

menggunakan persamaan (Sosrodarsono dan Takeda, 2003):


A
C= (2)
A
A1R1 + A2R2 + ⋯ AnRn
R = C .R = (3)
A1 + A2 + ⋯ An

Keterangan:

R = Curah hujan rata-rata (mm)


Ci = Koefisien Thiessen
Ai = Luas pengaruh dari stasiun pengamatan i (km2)
A = Luas total dari DTA (km2)
R1,..Rn = Curah hujan pada setiap titik pengukuran (mm)

3. Metode Isohyet

Prinsip dari metode ini yaitu curah hujan pada suatu wilayah di antara

dua Isohyet sama dengan rata-rata curah hujan dari garis-garis Isohyet

tersebut. Syarat-syarat penggunaan Metode Isohyet, yaitu:

a) Digunakan di daerah datar/ pegunungan.

b) Stasiun hujan harus banyak dan tersebar merata

c) Perlu ketelitian tinggi dan diperlukan analis yang berpengalaman.

Peta Isohyet digambar pada peta topografi dengan perbedaan

(interval) 10 sampai 20 mm berdasarkan data curah hujan pada titik-titik

pengamatan didalam dan di sekitar daerah yang dimaksud. Untuk

memperkirakan curah hujan daerah, titik-titik yang curah hujannya sama

dihubungkan agar membentuk Isohyet dari berbagai harga. Luas bidang

diantara 2 Isohyet yang berurutan diukur dengan planimeter dan rata-rata

curah hujan pada wilayah di antara 2 Isohyet tersebut dianggap terjadi pada

wilayah tertutup. Curah hujan daerahnya dapat dihitung dengan persamaan

berikut (Sosrodarsono dan

Takeda, 2003):

A1R1 + A2R2 + ⋯ AnRn


R= (4)
A1 + A2 + ⋯ An
Keterangan:

R = Curah hujan rata-rata (mm)


R1,...Rn = Curah hujan stasiun 1, 2,.. . ., n (mm)
A1,...An = Luas bagian yang dibatasi oleh Isohyet-Isohyet (Km2)
b. Data Curah Hujan yang Hilang

Pencatatan data curah hujan yang dilakukan pada suatu daerah

dilakukan di beberapa titik stasiun pencatat curah hujan untuk mengetahui

sebaran hujan yang turun pada suatu daerah apakah merata atau tidak.

Diperlukan data curah hujan bertahun-tahun untuk mendapatkan

perhitungan perencanaan yang akurat, semakin banyak data curah hujan

yang ada maka semakin akurat perhitungan yang akan dilakukan.

Namun terkadang di beberapa titik stasiun pencatat curah hujan

terdapat data yang hilang. Hilangnya data tersebut dapat disebabkan oleh

kelalaian dari petugas pencatat curah hujan atau rusaknya alat pencatat

curah hujan karena kurangnya perawatan. Untuk memperbaiki atau

memperkirakan data curah hujan yang tidak lengkap atau hilang, maka

dapat dilakukan perhitungan dengan menggunakan salah satu metode yaitu

metode normal ratio (Fanny, dkk, 2016).

Metode Normal Ratio adalah salah satu metode yang digunakan untuk

mencari data yang hilang. Metode perhitungan yang digunakan cukup

sederhana yakni dengan memperhitungkan data curah hujan di stasiun hujan

yang berdekatan untuk mencari data curah hujan yang hilang di stasiun

tersebut (Wei and McGuiness, 1973 dalam Fanny, dkk, 2016). Pada metode

normal ratio, syarat untuk menggunakan metode ini adalah rata-rata curah

hujan tahunan stasiun yang datanya hilang harus diketahui, disamping

dibantu dengan data curah hujan rata-rata tahunan dan data pada stasiun

pengamatan sekitarnya. Rumus Metode Normal Ratio untuk mencari data

curah hujan
yang hilang sebagai berikut (CD. Soemarto, 1999 dalam Hilaludin dan Joko,

2011):

1
= ( + +⋯ ) (5)

Keterangan:

= Curah hujan stasiun yang datanya dicari (mm)


… = Curah hujan stasiun A, stasiun B dan stasiun n (mm)
= Rata-rata curah hujan tahunan stasiun yang datanya dicari (mm)
,… = Rata-rata curah hujan tahunan stasiun A, B dan stasiun n (mm)

c. Periode Ulang Hujan

Curah hujan biasanya terjadi menurut pola tertentu dimana curah

hujan biasanya akan berulang pada suatu periode tertentu, yang dikenal

dengan Periode Ulang Hujan. Periode ulang hujan adalah periode (tahun)

dimana suatu hujan dengan tinggi intensitas yang sama kemungkinan bisa

terjadi lagi. Kemungkinan terjadinya adalah satu kali dalam batas periode

(tahun) ulang yang ditetapkan. Penetapan periode ulang hujan sebenarnya

lebih ditekankan pada masalah kebijakan dan resiko yang perlu diambil

sesuai dengan perencanaan (Putri Y.E., 2014). Acuan untuk menentukan

periode ulang hujan (PUH) dapat dilihat pada tabel 1


Tabel 1. Acuan untuk Menentukan Periode Ulang Hujan Rencana
Keterangan Periode Ulang
Hujan
Daerah terbuka 0,5
Sarana tambang 2–5
Lereng-lereng tambang dan 5 – 10
penimbunan
Sumuran utama 10 – 25
Penyaliran keliling tambang 25
Pemindahan aliran sungai 100
Sumber : Dasar-dasar Klimatologi dalam Putri Y.E., 2014

d. Hujan Rencana

Pengolahan data curah hujan dimaksudkan untuk mendapatkan data

curah hujan yang siap pakai untuk suatu perencanaan penyaliran.

Pengolahan data ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya

adalah metode Gumbel, yaitu suatu metode yang didasarkan atas distribusi

normal (distribusi harga ekstrim) (Putri Y.E., 2014). Metode Gumbel

tersebuti adalah sebaga berikut (Endriantho dan Ramli, 2013)

= + ( − )
(6)
Keterangan :

Xr = Nilai curah hujan rencana yang diramalkan (mm)


X = Nilai curah hujan rata-rata dari data/sampel (mm)
S = Standar deviasi dari data/sampel
Sn = Standar deviasi dari variansi reduksi, nilainya tergantung dari
jumlah data
Y = Nilai variansi reduksi dari variable yang diramalkan (reduced
variate)
Yn = Nilai variansi reduksi rata-rata dari data/sample (reduced mean)

Harga standar deviasi dari data didapatkan dengan persamaan sebagai

berikut (Putri Y.E., 2014):


= ∑(̅
) (7)

Keterangan :

S = Standar deviasi
n = Banyaknya data
x = Total curah hujan n tahun

Untuk menentukan nilai Yn (reduced mean) dapat mengacu pada tabel

2 atau dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Putri Y.E.,


2014):

(
= −In −In (8)

Keterangan :

n = Jumlah sample
m = Urutan sample (m = 1,2,3,…)

Tabel 2. Reduced Mean (Yn)


n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220
20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5300 0,5820 0,5882 0,5343 0,5353
30 0,5363 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5400 0,5410 0,5418 0,5424 0,5430
40 0,5463 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5468 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481
50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518
60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545
70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567
80 0,5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585
90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599
100 0,5600
Sumber : CD Soemarto, 1999 dalam Hilaludin dan Joko, 2011

Nilai Y adalah nilai dari faktor reduksi Gumbel yang merupakan

fungsi dari besarnya peluang atau periode ulang. Untuk menghitung

reduced variate dapat mengacu pada tabel 3 atau dengan menggunakan

persamaan berikut (Endriantho dan Ramli, 2013):


= − −
(9)

Keterangan:

Y = Nilai variansi reduksi dari variable yang diramalkan


T = Periode ulang (tahun)

Tabel 3. Nilai Variabel Reduksi Gumbel


T (Tahun) Y
1 -1,930
2 0,366
5 1,510
10 2,250
20 2,970
50 3,900
100 4,600
200 5,290
500 6,210
1000 6,900
Sumber : Hidrologi Aplikasi Metode Statistik
Untuk Analisa Data dalam Putri Y.E., 2014

Nilai Standar deviasi variansi reduksi dapat ditentukan dengan

mengacu pada tabel 4 atau menggunakan rumus sebagai berikut (Endriantho

dan Ramli, 2013):

∑( )
= (10)

Tabel 4. Reduced Standard Deviation (Sn)


n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565
20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0915 1,0961 1,1004 1,1047 1,1080
30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388
40 1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590
50 1,1607 1,1623 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734
60 1,1747 1,1759 1,1770 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844
70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1890 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,1930
80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1980 1,1987 1,1994 1,2001
90 1,2007 1,2013 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2046 1,2049 1,2055 1,2060
Lanjutan Tabel 4.
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
100 1,2065
Sumber : CD Soemarto, 1999 dalam Hilaludin dan Joko, 2011

e. Intensitas Curah Hujan

Intensitas curah hujan menyatakan besarnya curah hujan dalam jangka

pendek yang memberikan gambaran deras hujan perjam. Untuk mengolah

data curah hujan menjadi intensitas curah hujan digunakan cara statistik dari

data pengamatan durasi hujan yang terjadi (Agustianto, D.A., 2014).

Intensitas curah hujan adalah jumlah hujan per satuan waktu yang

relatif singkat, dinyatakan dalam mm/jam, mm/menit, mm/detik. Intensitas

curah hujan biasanya dinotasikan dengan huruf ”I” dengan satuan mm/jam,

yang artinya tinggi atau kedalaman yang terjadi dalam waktu satu jam

adalah sekian mm. Intensitas curah hujan ditentukan berdasarkan rumus

mononobe.

R  24  2 / 3
I  24   (11)
24  t 

Keterangan :

I = Intensitas curah hujan (mm/jam)


R24 = Curah hujan maksimun dalam 24 jam (mm)
t = Durasi hujan (jam)
(Subiakto, dkk., 2016)

Dari kondisi lingkungan sekitar pada saat hujan turun maka derajat

hujan dapat dibagi menjadi 5 bagian. Pada tabel 3 berikut ini dapat dilihat

hubungan antara derajat hujan dengan intensitas hujan dan kondisi

lingkungan saat terjadinya hujan.


Tabel 5. Keadaan Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan
Derajat Hujan Intensitas Kondisi
Curah Hujan
(mm/menit)
Hujan sangat lemah 0,02 Tanah agak basah
Hujan lemah 0,02 – 0,05 Tanah menjadi basah
Hujan normal 0,05 – 0,25 Bunyi curah hujan terdengar
Hujan deras 0,25 – 1,0 Air tergenang di seluruh
permukaan tanah dan terdengar
bunyi dari genangan
Hujan sangat deras >1,0 Hujan seperti ditumpahkan,
saluran drainase meluap
Sumber : Dasar-dasar Klimatologi dalam Putri Y.E., 2014

d. Daerah Tangkapan Hujan (Cathment Area)

Daerah tangkapan hujan adalah luas permukaan yang apabila terjadi

hujan, maka air hujan tersebut akan mengalir ke daerah yang lebih rendah

menuju ke titik pengaliran (Endriantho dan Ramli, 2013)

Daerah tangkapan hujan adalah suatu daerah dimana air hujan yang

turun akan tertampung dan menuju ke suatu titik konsentrasi yang sama.

Luas catchment area dapat ditentukan dengan peta topografi untuk daerah

yang masih alami, sedangkan untuk daerah-daerah yang sudah terganggu

digunakan peta situasi. Dari hasil pengamatan langsung di lapangan

terhadap kemungkinan arah aliran air limpasan dan bentuk permukaan

bumi pada lokasi di peta topografi (Putri Y.E., 2014).

Semakin luas muka kerja suatu area penambangan, maka semakin

luas pula area yang terganggu dan luasan daerah tangkapan hujan (DTH)

menjadi semakin besar. Hal ini akan menyebabkan jumlah air yang perlu

ditanggulangi oleh suatu sistem penyliran cenderung semakin besar

(Suhendra Y.K.,2015)
2. Air limpasan

Limpasan (runoff) adalah semua air yang mengalir akibat dari hujan yang

bergerak dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, tanpa

memperhatikan asal atau jalan yang ditempuh oleh air tersebut (Putri Y.E., 2014).

Limpasan permukaan adalah kelebihan air dari kecepatan infiltrasi dan

tampungan permukaan. Volume air ini yaitu aliran langsung (direct runoff).

Besarnya volume aliran ini tergantung pada intensitas hujan yang berlangsung,

Semakin besar intensitas hujan maka akan semakin besar pula volume aliran pada

suatu saluran (Agustianto, D.A., 2014).

Debit air limpasan dapat dihitung dengan persamaan rasional yaitu (Praja,

S.A.,2013):

Q = 0,278 x C x I x A (12)

Keterangan :

Q = Debit air limpasan maksimum (m3/detik)


C = Koefisien limpasan
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
A = Luas daerah tangkapan hujan (km2)

Menurut (Putri Y.E., 2014) dalam penggunaan persamaan di atas ada

beberapa asumsi yaitu:

a) Frekuensi hujan sama dengan frekuensi limpasan

b) Hujan terdistribusi secara merata ke seluruh daerah catchment area

c) Debit maksimal merupakan fungsi intensitas hujan dan tercatat pada

akhir waktu konsentrasi.

Koefisien limpasan permukaan atau sering disingkat C adalah bilangan yang

menunjukkan perbandingan antara besarnya limpasan permukaan terhadap


besarnya curah hujan. Misalnya C untuk hutan adalah 0,10 artinya 10 persen dari

total curah hujan akan menjadi limpasan permukaan. Secara matematis, koefisien

limpasan permukaan dapat dijabarkan sebagai berikut (Sudarto, dkk.,


2015):
(
(13)
Koefisien limpasan permukaan (C) = )
(
)

Nilai C yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang

menjadi limpasan permukaan. Hal ini kurang menguntungkan dari segi

pencagaran sumberdaya air karena besarnya air yang akan menjadi air tanah

berkurang. Kerugian lainnya adalah dengan semakin besarnya jumlah air hujan

yang menjadi limpasan permukaan, maka ancaman terjadinya erosi dan banjir

menjadi lebih besar. Angka C berkisar antara 0 hingga 1. Angka 0 menunjukkan

bahwa semua air hujan terdistribusi menjadi air intersepsi dan terutama infiltrasi.

Sedang angka C = 1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai

limpasan permukaan (Sudarto, dkk., 2015).

Menurut Wicaksono, 2010 dalam Sudarto, dkk., 2015 di lapangan, angka

koefisien limpasan permukaan biasanya lebih besar dari 0 dan lebih kecil dari 1.

Putri Y.E., 2014 mengungkapkan bahwa dalam penentuan koefisien

limpasan, beberapa faktor yang harus diperhatikan adalah :

1) Kerapatan Vegetasi

Daerah dengan vegetasi yang rapat, akan memberikan nilai C yang

kecil, karena air hujan yang masuk tidak dapat langsung mengenan tanah,

melainkan akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan, sedangkan tanah yang

gundul akan memberi nilai C yang besar.


2) Tata Guna Lahan

Lahan persawahan atau rawa-rawa akan memberikan nilai C yang kecil

daripada daerah hutan atau perkebunan, karena pada daerah persawahan

misalnya padi, air hujan yang jatuh akan tertahan pada petak-petak sawah,

sebelum akhirnya menjadi limpasan permukaan.

3) Kemiringan Tanah

Daerah dengan kemiringan yang kecil (<3%), akan memberikan nilai C

yang kecil, daripada daerah dengan kemiringan tanah yang sedang sampai

curam untuk keadaan yang sama.

Tabel 6. Beberapa Harga Koefisien Limpasan


Kemiringan Kegunaan Lahan Nilai C
- Persawahan, Rawa-rawa 0.2
< 3% - Hutan, Perkebunan 0.3
- Perumahan 0.4
- Hutan, Perkebunan 0.4
- Perumahan 0.5
3% - 15%
- Vegetasi ringan 0.6
- Tanpa tumbuhan, daerah penimbunan 0.7
- Hutan, Perkebunan 0.6
- Perumahan 0.7
> 15%
- Vegetasi ringan 0.8
- Tanpa tumbuhan, daerah penimbunan 0.9
Sumber : Gautama R.S. 1999 dalam Purwaningsih D.A, dan Suhariyanto, 2015

C. Saluran Terbuka (Drainase)

Saluran (drainase) berfungsi untuk menampung dan mengalirkan air ke

tempat pengumpulan (kolam penampungan) atau tempat lain. Bentuk penampang

saluran umumnya dipilih berdasarkan debit air, tipe material serta kemudahan

dalam pembuatannya. Dalam merancang bentuk saluran penyaliran beberapa hal


yang perlu diperhatikan antara lain: dapat mengalirkan debit air yang

direncanakan, mudah dalam penggalian saluran serta tidak lepas dari penyesuaian

dengan bentuk topografi dan jenis tanah. Bentuk dan dimensi saluran juga harus

memperhitungkan efektifitas dan ekonomisnya (Putri Y.E., 2014).

Rancangan saluran terbuka dibuat berdasarkan pada topografi daerah

penambangan dengan memperhatikan perbedaan ketinggian supaya aliran air bisa

terjadi secara alamiah. Dimensi saluran disesuaikan dengan debit air limpasan,

semakin besar debit limpasan maka dimensinya makin besar (Wibawa, F.S.,, 2015)

Saluran terbuka berfungsi sebagai wadah untuk mengalirkan fluida atau air

limpasan yang jatuh ke permukaan tanah menuju ke suatu tempat tertentu

(Subiakto, dkk., 2016). Dalam sistem penyaliran itu sendiri terdapat beberapa

bentuk penampang saluran yang dapat digunakan. Bentuk penampang saluran

diantaranya bentuk segi empat, bentuk segi tiga, dan bentuk trapesium.

Gambar 2. Geometrik Penampang Saluran (Ven Te Chow, 1959)

Kapasitas debit saluran terbuka dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Manning yaitu: (Subiakto, dkk., 2016)


Q = 1/n x R2/3 x S1/2 x A (14)

Keterangan :

Q = Debit (m3/detik)
R = Jari-jari hidrolik (m)
S = Kemiringan saluran (%)
A = Luas penampang basah (m2)
n = Koefisien kekasaran manning

Kemiringan dinding saluran tergantung pada macam material atau bahan

yang membentuk tubuh saluran. Kemiringan dinding saluran sesuai dengan bahan

yang membentuk tubuh saluran (Putri Y.E., 2014).

Tabel 7. Koefisien Kekasaran Dinding Saluran untuk Persamaan Manning


Bahan dinding saluran Koefesien Manning (n)
Besi tulang dilapis 0,014
Kaca 0,010
Saluran betin 0.013
Bata dilapis mortar 0,015
Pasangan batu disemen 0,025
Saluran tanah 0,030
Saluran dengan dasar batu dan tebing rumput 0,040
Saluran pada galian batu padas 0,040
Sumber : Triatmodjo B., 1996

D. Kolam Pengendap

Kolam pengendap merupakan suatu tempat yang digunakan untuk

menampung atau menyimpan sementara air yang berasal dari saluran sebelum

disalurkan kembali ke sungai atau digunakan untuk kebutuhan perusahaan, air

yang ditampung harus didiamkan sampai nilai baku mutu dari air sudah mendekati

netral sehingga tidak berbahaya bila digunakan oleh mahluk hidup. Ukuran dari

kolam
pengendap harus disesuaikan dengan jumlah air yang akan ditampung sehingga

air yang berasal dari pit penambangan dapat teratasi (Jafar, N., dkk., 2016)

Pembuatan kolam pengendapan bertujuan untuk menampung air dari

tambang yang mengandung material (lumpur) sebelum di alirkan ke perairan

umum (sungai). Hal ini dilakukan agar patikel- partikel material halus yang

tersuspensi di dalam air diendapkan terlebih dahulu sebelum dialirkan ke perairan

umum, sehingga nantinya tercipta suatu penambangan yang berwawasan

lingkungan (Subiakto, dkk., 2016).

Kolam pengendap biasanya ditempatkan pada awal dalam rangkaian

penanganan air, tetapi dapat juga digunakan sebagai kolam terakhir dalam sebuah

sistem penyaliran. Rancangan kolam pengendap diharapkan dapat membantu

pengontrolan sedimen sebelum dilepaskan di anak sungai (McNaughton, N.,dkk,

2011).

Dalam merancang kolam pengendapan harus mempertimbangkan dimensi

dan bentuk dari kolam tersebut. Besarnya dimensi kolam pengendapan ditentukan

berdasarkan debit air yang masuk dan kecepatan pengendapan material

padatannya (Nauli F. 2014).

Walaupun bentuk kolam pengendap bermacam-macam, namun pada setiap

kolam pengendap akan selalu ada 4 zona penting yang terbentuk karena proses

pengendapan material padatan (Putri Y.E., 2014). Keempat zona yang ditunjukkan

pada gambar 3 adalah :


a) Zona Masukan merupakan tempat masuknya aliran air berlumpur kedalam

kolam pengendapan dengan anggapan campuran antara padatan dan cairan

terdistribusi secara merata.

b) Zona Pengendapan, merupakan tempat dimana partikel akan mengendap,

material padatan disini akan mengalami proses pengendapan disepanjang

saluran masing-masing check dam.

c) Zona Endapan Lumpur, merupakan tempat dimana partikel padatan dalam

cairan mengalami sedimentasi dan terkumpul pada bagian bawah saluran

pengendap.

d) Zona Keluaran, merupakan tempat keluarnya buangan cairan yang relative

bersih, zona ini terletak pada akhir saluran.

Gambar 3. Zona-Zona pada Kolam Pengendapan (Putri Y.E., 2014)


Parameter – parameter yang perlu diperhitung dalam perancangan kolam

pengendap antara lain sebagai berikut:

a) Berat Padatan

Berat padatan yang dimaksud adalah berat padatan material per m 3 yang

akan masuk ke kolam pengendap melalui saluran. Berat padatan dihitung

dengan menggunakan persamaan (Hartono, 2013)

msol = %sol x Qmat x ρsol (15)

Keterangan :

msol = Berat padatan material (kg/jam)


%sol = Persen padatan yang akan masuk ke kolam pengendap
Qmat = Debit air yang masuk ke kolam pengendap (m³/jam)
ρsol = Kerapatan partikel padatan (kg/m3)

b) Berat Air

Berat air yang dimaksud adalah berat air per m3 yang akan masuk ke

kolam pengendap melalui saluran. Berat air dihitung dengan menggunakan

persamaan (Hartono, 2013):

mwat = %wat x Qmat x ρwat (16)

Keterangan :

mwat = Berat air (kg/jam)


%wat = Persen air akan masuk ke kolam pengendap
Qmat = Debit air yang masuk ke kolam pengendap (m³/jam)
ρwat = Massa jenis air (kg/m3)

c) Volume Padatan per Detik

Volume padatan dihitung dengan menggunakan rumus (Hartono, 2013):

Vsol = (17)
Keterangan :

Vsol = Volume padatan (m3/detik)


msol = Berat padatan material (kg/jam)
ρsol = Kerapatan partikel padatan (kg/m3)

d) Volume Air per Detik

Volume air dihitung dengan menggunakan persamaan (Hartono, 2013):

Vwat = (18)

Keterangan :

Vwat = Volume air


(m3/detik) mwat = Berat air
(kg/jam)
ρwat = Massa jenis air (kg/m3)

e) Total Volume per Detik

Total volume dihitung dengan menggunakan persamaan (Hartono,

2013): Vtot =

Vsol + Vwat (19)

Keterangan :

Vtot = Total volume (m3/detik)


Vsol = Volume padatan
(m3/detik) Vwat = Volume
air (m3/detik)

f) Kecepatan Jatuh Sedimen

Besarnya kecepatan jatuh sedimen yang ikut terbawa bersama air

tergantung pada diameter partikel yang lolos dari kolam pengendap.

Kecepatan pengendapan ini dapat dihitung dengan menggunakan hukum

Stokes, yaitu (Anonim


, 2015)

( )
Vs = (20)

Keterangan :
Vs = Kecepatan jatuh sedimen (m/s)
g = Percepatan gravitasi (m/s2)
SG = Specific gravity atau berat jenis partikel padatan
= Viskositas kinematika air (m2/s)
D = Diameter partikel padatan (m)

g) Luas Kolam Pengendap

Besarnya luas kolam pengendap dapat dihitung dengan rumus berikut:

(Pasha M.I., 2010)

A = Qtot / Vs (21)

Keterangan :

A = Luas kolam pengendap (m2)


Qtot = Total volume yang dialirkan per detik (m3/detik)
Vs = Kecepatan jatuh sedimen (m/s)

h) Dimensi Kolam Pengendap

Dimensi kolam pengendap (lebar dan kedalaman kolam pengendap)

ditentukan berdasarkan kemampuan alat yang digunakan perusahaan untuk

membuat kolam pengendap (Isnaeni,dkk., 2016). Sehingga panjang kolam

pengendap dapat ditentukan menggunakan persamaan (Hartono, 2013):

P = A/L (22)

Keterangan :

P = Panjang kolam pengendap (m)


A = Luas kolam pengendap (m2)
L = Lebar kolam pengendap (m)

i) Waktu yang Dibutuhkan Partikel untuk Mengendap

Waktu yang dibutuhkan oleh partikel untuk mengendap dengan

kecepatan (v) sejauh (h) dapat dihitung menggunakan rumus (Purwaningsih

D.A., dan Suhariyanto 2015):

tv = h/v (23)
Keterangan :

tv = Waktu pengendapan partikel (detik)


h = Kedalaman kolam pengendap (m)
v = Kecepatan jatuh sedimen (m/detik)

j) Waktu yang Dibutuhkan Partikel untuk Keluar

Waktu yang dibutuhkan partikel untuk keluar dari kolam pengendapan

dapat dihitung menggunakan rumus (Purwaningsih D.A., dan Suhariyanto 2015)

th = P/vh (24)

dengan

vh = Qtotal/Avert , Avert = L x h (25)

Keterangan :

th = Waktu yang dibutuhkan partikel untuk keluar


(detik) vh = Kecepatan mendatar partikel (m/detik)
Qtotal = Total volume yang dialirkan per detik (m3/detik)
Avert = Luas mendatar kolam pengendap (m²)
P = Panjang kolam pengendap (m)
L = Lebar kolam pengendap (m)
h = Kedalaman kolam pengendap (m)

k) Persentase Pengendapan

Persentase pengendapan dapat dihitung dengan menggunakan

persamaan (Hartono, 2013):

th
%Sed = x 100% (26)
th +
tv

Keterangan :

%Sed = Persentase pengendapan


tv = Waktu pengendapan partikel (detik)
th = Waktu yang dibutuhkan partikel untuk keluar (detik)
l) Volume Padatan Terendapkan

Volume padatan yang berhasil terendapkan dalam sehari dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan (Prasetyo Eben E.E, 2012):

Volpt = Vsol x %Sed x (24 jam/hari x 3600 detik/jam) (27)

Keterangan :

Volpt = Volume padatan yang berhasil diendapkan


(m3/hari) Vsol = Volume padatan per detik (m3/detik)
%Sed = Persentase pengendapan

m) Waktu Pengerukan Kolam Pengendap

Waktu pengerukan kolam pengendap dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan (Prasetyo Eben E.E, 2012):

t = (28)
Keterangan :

tkeruk = Waktu pengerukan kolam pengendap (hari)


Volpond = Volume kolam pengendap (m3)
Volpt = Volume padatan yang berhasil diendapkan
(m3/hari)
III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian direncanakan berlangsung selama kurang lebih dua bulan.

Lokasi penelitian berada pada wilayah administrasi Desa Waturambaha,

Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi

Tenggara. Lokasi ini dapat dengan mudah dijangkau dengan berbagai sarana

transportasi yang ada baik lewat darat, laut, ataupun udara. Lokasi ini dapat

dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat dari Kota

Kendari ke arah utara melalui jalan poros lintas Sulawesi menuju ke Langgikima

ibukota Kecamatan Langgikima selama + 5 jam, dan dilanjutkan dengan

perjalanan melalui

jalan pengerasan kawasan perkebunan sawit dan jalan pertambangan selama 2 jam

menuju Site Waturambaha. Adapun lokasi penelitian yang dimaksud dapat dilihat

pada gambar berikut:


Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian (Sumber : PT. SJSU)
31
32

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis hasil dari pengolahan data

sekunder, kemudian dari hasil analisis tersebut mendapatkan bentuk rancangan

sistem penyaliran tambang sesuai dengan kondisi di lokasi penelitian. Setelah itu

dapat disimpulkan dimensi drainase dan kolam pengendap yang sesuai untuk

lokasi penelitian berdasarkan hasil analisis tersebut.

C. Jenis Data

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang penulis peroleh langsung dari

lapangan dan pengujian laboratorium berupa hasil dokumentasi langsung

keadaan di lokasi penelitian data tata guna lahan, nilai viskositas dinamis,

perbandingan padatan dan air, diameter partikel dan specific gravity serta

informasi mengenai situasi di lokasi penelitian yang diperoleh dari hasil

wawancara langsung dengan pihak perusahaan.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh penulis dari studi

literatur PT. SJSU, untuk mendukung data-data penelitian berupa peta

topografi, peta situasi tambang, data curah hujan, dan data pendukung

lainnya.

D. Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian merupakan instrumen yang

sifatnya membantu penulis dalam proses pengumpulan data dan pengolahan hasil

penelitian.
Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai

berikut:

Tabel 8. Instrumen Penelitian


No Instrumen Kegunaan Gambar
Penelitian

Sebagai wadah dalam pengerjaan


1 Laptop
laporan penelitian

Untuk menentukan luasan


Software catchment area dan membuat
2
Autocad dimensi saluran dan kolam
2007 pengendap

Software Untuk menentukan peta sebaran


3
ArcMap hujan
10.3

Software
Untuk menampilkan peta
4 Gemcom
topografi dalam bentuk 3D
Surpac
6.3

Untuk mengolah laporan


5 Microsoft word
penelitian

6 Microsoft excel Untuk mengolah data curah hujan

7 Kamera Untuk dokumentasi

Wadah untuk mentukan berat


8 Piknometer
sampel
No Instrumen Kegunaan Gambar
Penelitian

Alat untuk menentukan berat


9 Neraca Digital
sampel

10 Viskometer Alat penentuan viskostas dinamis

11 Viller Alat penentuan viskostas dinamis

Gelas Kimia/
12 Wadah penyimpanan sampel
gelas beaker

Gelas Ukur
Alat untuk penentuan
13 500 ml dan 25
perbandingan padatan dan air
ml

Untuk memasukkan dan


14 Pipet Tetes
mengeluarkan sampel

15 Stopwatch Alat penentuan viskostas dinamis

16 Spatula Untuk mengaduk sampel


No Instrumen Kegunaan Gambar
Penelitian

Ayakan
Alat untuk mentukan diameter
17 50,100,200,270
partikel
mesh

Wadah untuk mentukan diameter


18 Baskom
partikel

Untuk menghitung hasil


19 Kalkulator
penelitian

E. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap yaitu tahap studi literatur,

tahap pengambilan dan pengumpulan data serta tahap pengolahan dan analisa

data. Berikut adalah tahapan penelitian yang di maksud :

1. Studi Literatur

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah mengumpulkan literatur-

literatur terkait dengan sistem penyaliran tambang untuk sistem tambang

terbuka (surface mine system) khususnya pada penambangan nikel. Literatur-

literatur tersebut dapat berupa buku-buku yang menyangkut judul penelitian,

jurnal- jurnal, laporan penelitian yang membahas masalah yang sama,

wawancara dan sumber lainnya. Selain itu, literatur lain berupa jenis tanah dan

keadaan geologi daerah penelitian baik secara regional maupun geologi lokal

sehubungan dengan penyebaran litologi dan kondisi morfologi.


2. Pengambilan dan Pengumpulan Data

Pengambilan dan pengumpulan data ini dilakukan dengan melakukan

pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil

dokumentasi langsung keadaan di lokasi penelitian, data tata guna lahan, nilai

viskositas dinamis, perbandingan padatan dan air, diameter partikel dan

specific gravity serta informasi mengenai situasi di lokasi penelitian yang

diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pihak perusahaan.

a) Nilai Viskositas Dinamis

Kekentalan zat cair atau yang biasa disebut dengan viskositas

merupakan salah satu nilai yang harus diketahui ketika akan melakukan

suatu perancangan sistem penyaliran, khususnya pada rancangan kolam

pengendap. Nilai viskositas dibutuhkan untuk mengetahui kecepatan jatuh

sedimen dengan menggunakan hukum stokes. Adapun proses pengambilan

data nilai viskositas, adalah sebagai berikut:

1) Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan selama

proses pengujian laboratorium berupa viskometer, viller, gelas

kimia, pipet tetes, stopwatch, piknometer, neraca digital,

sampel yang akan ditentukan nilai viskositasnya, dan aquades.

2) Menentukan massa jenis sampel (ρ) dengan mengukur berat

piknometer kosong, berat piknometer + aquades, dan berat

piknometer + sampel

3) Memasukkan aquades sebagai pembanding untuk pengujian

sampel ke dalam viskometer untuk diketahui waktu alirnya.


Aquades dimasukkan melalui (2) hingga menyentuh (4).

Kemudian viller diletakkan diujung (1) untuk mengisap sampel

yang berada didalam viskometer hingga sampai ke (6).

Kemudian viller dilepaskan dan ujung (1) ditutupi dengan

menggunakan ibu jari. Dengan perlahan-lahan ibu jari

digerakkan untuk menurunkan sampel yang di (6) ke tanda tera

(5). Ketika sudah mencapai (5), stopwatch dinyalakan dan

dijalankan bersamaan dengan melepaskan ibu jari. Kemudian

ketika mencapai (4) stopwatch dihentikan dan dicatat waktu

alirnya. Pengujian ini dilakukan sebanyak 5 kali pengulangan.

Gambar 5. Viskometer Ostwald

4) Setelah pengujian menggunakan aquades dilakukan,

selanjutnya dilakukan pengujian sampel dengan cara yang

sama seperti pengujian menggunakan aquades. Pengujian

sampel ini dilakukan sebanyak 10 kali pengulangan hingga

diperoleh waktu alir rata-rata dari seluruh pengujian.

b) Diameter Partikel

Diameter partikel merupakan salah satu parameter yang harus

diketahui untuk menentukan kecepatan jatuh sedimen. Diameter partikel


(D) ditentukan nilainya dengan melakukan pengujian sampel yang

diperoleh dari kolam pengendap yang telah ada di PT. SJSU. Pengujian

dilakukan dengan menggunakan sistem ayakan basah guna untuk

mendapatkan ukuran partikel yang sesuai dengan keadaan di lapangan.

Proses pengujian tersebut, adalah sebagai berikut:

1) Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan berupa ayakan 50

mesh, 100 mesh, 200 mesh, dan 270 mesh, baskom, aquades,

dan sampel yang akan diuji.

2) Sampel dicampur dengan menggunakan aquades kemudian

ditempatkan diatas ayakan. Ayakan dimulai dengan

menggunakan ayakan 50 mesh hingga ayakan 270 mesh

3) Pengayakan dihentikan ketika material sudah tidak dapat lolos

lagi pada ayakan yang digunakan.

c) Specific Gravity

Specific Gravity merupakan salah satu parameter untuk menentukan

kecepatan jatuh sedimen. Specific Gravity (SG) yang ditentukan adalah SG

dari sampel tanah yang berada di kolam pengendap yang telah ada di PT.

SJSU. Adapun proses pengujian sampel untuk penentuan SG, adalah

sebagai berikut:

1) Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan berupa

piknometer, neraca digital, spatula, ayakan 50 mesh, aquades

dan sampel tanah yang akan diuji.


2) Sampel yang digunakan diayak dengan menggunakan ayakan

50 mesh untuk meratakan ukuran butir sampel.

3) Menimbang berat piknometer kosong sebagai W1.

4) Menimbang berat piknometer + aquades sebagai W4. Aquades

diisi penuh kedalam piknometer dan ditutup menggunakan

penutup piknometer.

5) Menimbang berat piknometer + sampel sebagai W2. Sampel

yang dimasukkan sebanyak seperempat dari ukuran

piknometer, kemudian sampel ditutup menggunakan penutup

piknometer.

6) Menimbang berat piknometer + aquades + sampel sebagai W3.

Sampel yang dimasukkan sebagai W2 ditambahkan aquades

hingga piknometer penuh, kemudian ditutup menggunakan

penutup piknometer.

7) W2, W3, dan W4 dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.

Hasil pengulangan tersebut kemudian dirata-ratakan untuk

mendapatkan nilai berat yang akan digunakan dalam

perhitungan SG.

d) Perbandingan Padatan dan Air

Persen padatan dan persen air merupakan salah satu parameter yang

dibutuhkan untuk merancang suatu kolam pengendap. Untuk mengetahui

perbandingan antara kedua hal tersebut, dilakukan pengambilan sampel di

lapangan pada saluran yang akan memasuki kolam pengendap (mendekati


zona inlet). Kemudian sampel tersebut dilakukan pengujian laboratorium

dengan proses, sebagai berikut:

1) Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan berupa gelas ukur

500 ml dan sampel yang akan dilakukan pengujian

2) Memasukkan sampel tersebut ke dalam gelas ukur yang telah

disediakan dan membiarkan sampel tersebut selama kurang

lebih 24 jam.

3) Mencatat nilai batas padatan yang telah terendapkan pada gelas

ukur tersebut.

Data sekunder yang dikumpulkan berupa gambaran umum daerah

penelitian seperti peta topografi, peta situasi tambang PT. SJSU serta data

curah hujan daerah penelitian yang diperoleh dari Balai Wilayah Sungai

(BWS) Sulawesi IV.

3. Pengolahan dan Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan data, maka dilanjutkan dengan

pengolahan dan analisis data untuk rancangan sistem penyaliran tambang pada

blok B PT. SJSU, dalam hal ini berupa rancangan saluran dan kolam

pengendap. Adapun langkah-langkah pengolahan dan analisis data, adalah

sebagai berikut:

1. Penentuan Debit Air Limpasan (Runoff)

Penentuan besarnya debit air limpasan menggunakan persamaan (12).

Untuk menyelesaikan persamaan (12), terdapat beberapa hal yang

ditentukan terlebih dahulu, antara lain sebagai berikut:


a. Intensitas Curah Hujan

Untuk menentukan intensitas curah hujan, maka perlu dilakukan

analisis data curah hujan terlebih dahulu. Analisis data curah hujan

berupa penentuan data curah hujan yang hilang, penentuan curah hujan

rata-rata dan penentuan curah hujan rencana dalam periode ulang

tertentu. Penentuan tersebut dilakukan dengan menggunakan batuan

Software ArcMap 10.3 dan menggunakan persamaan (2), (3), (5), (6),

(7), (8), (9), dan (10). Dari hasil tersebut kemudian ditentukan intensitas

curah hujan menggunakan persamaan (11).

b. Luas Daerah Tangkapan Hujan (Catchment Area)

Luas daerah tangkapan hujan ditentukan dengan menggunakan

Software Autocad 2007 dengan menampilkan data peta topografi PT.

SJSU.

c. Koefisien Limpasan

Koefisien limpasan ditentukan menggunakan 2 opsi, yaitu dengan

menggunakan persamaan (13) ataupun dengan melihat kondisi

peruntukan area di daerah tangkapan hujan, dengan mengacu pada tabel

6.

Apabila ketiga hal tersebut sudah ditentukan, maka besarnya debit air

limpasan dapat diketahui.

2. Rancangan Saluran

Rancangan dimensi saluran didasarkan pada gambar 2 dengan

mengacu pada besarnya kapasitas debit saluran yang dapat ditentukan

dengan menggunakan persamaan (14)


3. Rancangan Kolam Pengendap

Rancangan kolam pengendap ditentukan berdasarkan volume air yang

masuk melalui saluran penyaliran dan kecepatan jatuh material sedimen.

Untuk penentuan dimensi kolam pengendap hingga waktu pengerukan

kolam pengendap digunakan persamaan (15), (16), (17), (18), (19), (20),

(21), (22),

(23), (24), (25), (26), (27), dan (28).

F. Kerangka Berpikir

Adapun kerangka berpikir yang dapat mempermudah dalam proses

pemecahan masalah studi kasus ini dapat digambarkan pada gambar berikut ini:
Mulai

Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder


1. Dokumentasi keadaan lokasi 1. Peta topografi
penelitian 2. Peta situasi tambang
2. Data tata guna lahan 3. Data curah hujan
3. Data kondisi material
(Diameter partikel dan
Specific gravity)
4. Viskositas dinamis

Pengolahan Data
1. Perhitungan curah hujan rata-rata wilayah
menggunakan metode Thiessen
2. Perhitungan curah hujan rencana menggunakan

metode Gumbel ( )

3. Perhitungan intensitas curah hujan

menggunakan rumus Mononobe ( )

4. Perhitungan luas daerah tangkapan hujan (catchment


area) menggunakan software Autocad 2007
5. Perhitungan debit air limpasan menggunakan
persamaan Rasional (Q = 0,278 x C x I x A)

Analisis
1. Penentuan dimensi drainase menggunakan rumus
Manning (Q = 1/n x R2/3 x S1/2 x A)
2. Penentuan dimensi kolam pengendap

Hasil
1. Rancangan drainase
2. Rancangan kolam pengendap

Selesai

Gambar 6. Diagram Alir Penelitian


44

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Data Curah Hujan

Data curah hujan merupakan salah satu data sekunder yang harus ada

dalam melakukan rancangan sistem penyaliran tambang. PT. Sinar Jaya Sultra

Utama mempunyai alat penakar hujan di lokasi penambangannya dan alat tersebut

mulai difungsikan pada awal tahun 2017. Data curah hujan yang diperoleh dari

PT. Sinar Jaya Sultra Utama merupakan data curah hujan 7 bulan terakhir dan

pada hakekatnya untuk menganalisis data curah hujan diperlukan data curah hujan

minimal 10 tahun terakhir, sehingga untuk dapat melakukan analisis data curah

hujan perlu dilakukan pendekatan terhadap data curah hujan yang ada di sekitar

lokasi penelitian. Data curah hujan yang digunakan berupa data curah hujan

harian 10 tahun terakhir (2007-2016) pada beberapa stasiun pengamatan curah

hujan yang terletak di sekitar lokasi penelitian. Data curah hujan tersebut berupa

data curah hujan harian dari pos hujan Tinobu, pos hujan Asera, dan pos hujan

Lamonae. Berdasarkan data curah hujan dari ketiga pos hujan tersebut, maka

diperoleh data curah hujan bulanan pada masing-masing stasiun seperti pada tabel

18, tabel 19, dan tabel 20 pada lampiran 1.

Berdasarkan data curah hujan bulanan pada lampiran 1 tersebut, terlihat

bahwa curah hujan pertahun terbesar selama 10 tahun terakhir terletak pada pos

hujan Asera dengan rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir adalah sebesar

2090,8 mm. Nilai rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir pada pos hujan

Asera memiliki selisih nilai yang kecil dengan pos hujan Tinobu yaitu sebesar

1949,5 mm. Sedangkan nilai rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir pada
pos hujan Lamonae memiliki perbedaan yang cukup signifikan diantara kedua pos

tersebut dengan nilai rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir adalah sebesar

1009,3 mm.

Data curah hujan yang terdapat pada lampiran 1, terlihat bahwa ada

beberapa data yang hilang atau rusak pada pos hujan Tinobu dan pos hujan

Lamonae. Data curah hujan yang hilang atau rusak tersebut dapat disebabkan

karena beberapa hal, diantaranya karena kelalaian petugas yang sedang

mengamati pada waktu tersebut, ataupun karena tercecernya data yang telah

diperoleh pada waktu tersebut. Data yang hilang atau rusak tersebut dapat

diestimasi dengan melihat data stasiun curah hujan yang terletak disekitaran atau

berdekatan dengan stasiun yang datanya akan diestimasi. Untuk mengestimasi

data curah hujan yang hilang atau rusak, dapat dilakukan menggunakan

persamaan (5):

Beberapa contoh perhitungan data curah hujan yang hilang pada stasiun

tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Untuk Pos Hujan Lamonae pada bulan maret tahun 2007 diketahui :

 Curah hujan Pos Hujan Asera pada bulan maret tahun 2007 ( ) =

317,0 mm

 Curah hujan Pos Hujan Tinobu di bulan maret tahun 2007 ( ) = 39,0 mm

 Rata-rata curah hujan tahunan Pos Hujan Lamonae ( ) = 1009,3 mm

 Rata-rata curah hujan tahunan Pos Hujan Asera ( ) = 2090,8 mm

 Rata-rata curah hujan tahunan Pos Hujan Tinobu ( ) = 1949,5 mm

1 1009,3 1009,3
=
2 2090,8 317,0 + 1949,5 39,0

= 86,6 mm
2. Untuk Pos Hujan Tinobu pada bulan april tahun 2008 diketahui :

 Curah hujan Pos Hujan Asera pada bulan april tahun 2008 ( ) =

277,0 mm

 Curah hujan Pos Hujan Lamonae pada bulan april tahun 2008 ( ) =

87,0 mm

 Rata-rata curah hujan tahunan Pos Hujan Tinobu ( ) = 1949,5 mm

 Rata-rata curah hujan tahunan Pos Hujan Asera ( ) = 2090,8 mm

 Rata-rata curah hujan tahunan Pos Hujan Lamonae ( ) = 1009,3 mm

1 1949,5
1949,5 277,0 + 87,0
= 1009,3
2
2090,8

= 213,2 mm

Dengan menggunakan cara yang sama seperti di atas, maka dihasilkan

data curah hujan yang lengkap seperti pada tabel 21, 22, dan 23 pada lampiran 1.

Untuk mendapatkan data curah hujan harian rata-rata keseluruhan, dapat

dilakukan dengan menggunakan metode Poligon Thiessen. Metode ini diterapkan

karena memiliki ketelitian yang cukup dengan melihat stasiun pengamatan yang

tidak tersebar merata. Luas daerah pengaruh masing-masing stasiun ditentukan

dengan menggunakan software ArcMap 10.3, sehingga dihasilkan peta sebaran

hujan untuk masing-masing stasiun (Lampiran 2). Pada peta seberan hujan

tersebut, terlihat luas daerah pengaruh masing-masing stasiun berbeda-beda,

dimana luas daerah pengaruh untuk pos Hujan Tinobu adalah 77.359,68 Ha, pos

Hujan Asera seluas 209.193,79 Ha, dan pos Hujan Lamonae seluas 172.838,30

Ha. Luas masing- masing daerah tersebut menjadi acuan untuk menentukan nilai

koefisien Thiessen
dengan menggunakan persamaan (2), dengan contoh perhitungannya adalah

sebagai berikut:

Jika diketahui luas daerah pengaruh dari Pos Hujan Tinobu (Ai) adalah 77.359,68

Ha atau 773,5968 km2 dan luas total DTA adalah 4.593,918 km2, maka:
,
CPos Hujan Tinobu =
,
= 0,16840

Untuk nilai hasil perhitungan koefisien Thiessen pada pos hujan lainnya

dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Nilai Koefisien Thiessen


Nama Stasiun Luas (Ai) Luas (Ai)
No Koef. Thiessen (C)
Pos Hujan Ha Km2
1 Tinobu 77.359,68 773,5968 0,16840
2 Asera 209.193,79 2.091,938 0,45537
3 Lamonae 172.838,30 1.728,383 0,37623
Jumlah (A) 4.593,918
Sumber: Hasil Perhitungan

Dengan mengetahui nilai koefisien Thiessen pada setiap pos hujan (Ci) dan

curah hujan maksimum (Rh Maks) pada setiap pos hujan (Ri), maka nilai curah

hujan rata-rata (R) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (3), sehingga

hasil perhitungan curah hujan rata-rata wilayah dapat dilihat pada tabel 10:
Tabel 10. Perhitungan Curah Hujan Harian Rata-rata
Tahun Tinobu Asera Lamonae Curah
0,1684 0,4554 0,3762 Hujan
No No No Harian
C Rata-
rata
Rh Rh Rh
C.Rh C.Rh C.Rh
(mm) (mm) (mm)
1 2007 315,5 53,1 11 226,4 103,1 21 22,3 8,4
2 2008 239,7 40,4 12 245,9 111,9 22 98,6 37,0
3 2009 254,2 42,8 13 160,8 73,2 23 82,4 31,0
4 2010 325,7 54,8 14 236,4 107,6 24 130,8 49,1
5 2011 32,8 5,5 15 167,6 76,3 25 98,7 37,1 55,724
6 2012 29,8 5,0 16 135,0 61,4 26 93,9 35,3 mm
7 2013 64,8 10,9 17 270,6 123,2 27 145,8 54,8
8 2014 211,2 35,6 18 201,8 91,9 28 135,1 50,8
9 2015 207,8 34,9 19 212,4 96,7 29 95,0 35,7
10 2016 337,0 56,7 20 233,8 106,4 30 106,7 40,1

Berdasarkan data curah hujan harian rata-rata wilayah yang telah diperoleh

diatas, terlihat bahwa curah hujan harian rata-rata wilayah selama 10 tahun

terakhir adalah sebesar 55,724 mm

Data curah hujan harian rata-rata yang telah diperoleh, kemudian digunakan

untuk menentukan curah hujan rencana. Penentuan curah hujan rencana dilakukan

dengan menggunakan metode Gumbel yang didasarkan pada distribusi dan nilai

ekstrim. Beberapa nilai yang harus dihitung untuk mengetahui curah hujan

rencana menggunakan metode Gumbel, antara lain adalah nilai standar deviasi

(S), nilai variansi reduksi rata-rata (Yn), nilai standar deviasi dari variansi reduksi

(Sn), dan nilai variansi reduksi (Y).

Nilai standar deviasi (S) yang dimaksud adalah nilai standar deviasi dari

data/sampel yang digunakan. Untuk mengetahui nilai standar deviasi, beberapa

data yang harus diketahui, antara lain adalah total curah hujan selama n tahun (x),

dimana n adalah banyaknya data yang digunakan. Dalam hal ini banyaknya data
yang dimaksud adalah banyaknya data curah hujan yang diperoleh yaitu 10 tahun,

sehingga n yang digunakan adalah 10. Nilai x dan curah hujan rata-rata ( ̅
) yang

akan digunakan adalah nilai dari hasil perhitungan curah hujan harian rata-rata

yang telah diperoleh pada tabel 10.

Dengan menggunakan persamaan (7), maka diperoleh nilai standar deviasi

data (S) adalah sebesar 33,2. Untuk rincian perhitungan nilai standar deviasi dapat

dilihat pada tabel 11.

Tabel 11. Perhitungan Standar Deviasi


No X X- (X- )2 No X X- (X- )2 No X X- (X- )2
1 53,1 -2,6 6,7 11 103,1 47,4 2244,6 21 8,4 -47,3 2239,5
2 40,4 -15,3 233,8 12 112,0 56,2 3163,6 22 37,1 -18,6 347,3
3 42,8 -12,9 167,0 13 73,2 17,5 306,0 23 31,0 -24,7 611,0
4 54,8 -0,9 0,8 14 107,7 51,9 2697,2 24 49,2 -6,5 42,7
5 5,5 -50,2 2519,6 15 76,3 20,6 423,8 25 37,1 -18,6 346,1
6 5,0 -50,7 2571,3 16 61,5 5,8 33,2 26 35,3 -20,4 415,8
7 10,9 -44,8 2007,6 17 123,2 67,5 4554,8 27 54,9 -0,9 0,7
8 35,6 -20,2 406,6 18 91,9 36,2 1309,2 28 50,8 -4,9 23,8
9 35,0 -20,7 430,1 19 96,7 41,0 1679,6 29 35,7 -20,0 399,4
10 56,8 1,0 1,1 20 106,5 50,8 2575,7 30 40,1 -15,6 243,2
X Rata-rata 55,7
∑(X-X)2 32002,0
Standar Deviasi (S) 33,2

Penentuan nilai variansi reduksi rata-rata/reduced mean (Yn) dan nilai

standar deviasi dari variansi reduksi/reduced standard deviation (Sn) bergantung

pada banyaknya data yang digunakan (n). Penentuan nilai Yn dan Sn tersebut

dapat dilihat pada lampiran 9. Banyaknya data yang digunakan (n) adalah 30,

sehingga berdasarkan perhitungan di lampiran 9 diperoleh nilai Yn adalah sebesar

0,5385 dan nilai Sn adalah sebesar 1,13014.


Dengan mengetahui nilai standar deviasi (S), nilai variansi reduksi rata-rata

(Yn) dan nilai standar deviasi dari variansi reduksi (Sn), maka penentuan nilai

curah hujan rencana (Xr) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (6).

Salah satu contoh perhitungan nilai curah hujan rencana pada periode ulang 2

tahun adalah jika diketahui nilai curah hujan rata-rata (X) adalah 95,856 mm dan

nilai variansi reduksi dari periode ulang 2 tahun (tabel 3) adalah 0,366, maka nilai

curah hujan rencana pada periode ulang 2 tahun adalah:

Xr = 55,726 33,22
+ (0,366 − 0,5385)
1,13
= 50,657mm

Dengan cara yang sama menggunakan persamaan (6) di atas, maka nilai

perhitungan curah hujan rencana lainnya dapat dilihat pada tabel 12 berikut: Tabel 12.

Hasil Perhitungan Curah Hujan Rencana


T
Y Yn (Y-Yn) Sn S S/Sn X Xr
(Tahun)
2 0,366 0,5385 -0,1725 1,13 33,22 29,388 55,726 50,657
5 1,510 0,5385 0,9715 1,13 33,22 29,388 55,726 84,276
10 2,250 0,5385 1,7115 1,13 33,22 29,388 55,726 106,023
20 2,970 0,5385 2,4315 1,13 33,22 29,388 55,726 127,183
50 3,900 0,5385 3,3615 1,13 33,22 29,388 55,726 154,513
100 4,600 0,5385 4,0615 1,13 33,22 29,388 55,726 175,085

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode Gumbel di

atas, maka diperoleh curah hujan rencana pada periode ulang tertentu yang dapat

dilihat pada tabel 13.


Tabel 13. Curah Hujan Rencana Periode Ulang T dengan Metode Gumbel
Curah Hujan Rencana
T (Tahun)
(mm)
2 50,657
5 84,276
10 106,023
20 127,183
50 154,513
100 175,085

Data curah hujan rencana pada periode ulang tertentu yang telah diperoleh

pada tabel 13 merupakan data acuan yang digunakan untuk menentukan intensitas

hujan rencana. Intensitas hujan merupakan ketinggian curah hujan yang terjadi

pada kurun waktu tertentu. Intensitas curah hujan dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan (11). Analisis perhitungan intensitas hujan rencana

dilakukan dengan menggunakan durasi hujan (t) 1 sampai 24 jam, dikarenakan

curah hujan di daerah penelitian sangat bervariasi, mulai dari hujan ringan sampai

hujan yang sangat deras. Beberapa contoh perhitungan intensitas hujan rencana

dengan menggunakan persamaan (11), adalah sebagai berikut:

1. Jika diketahui curah hujan rencana (R24) selama periode ulang 2 tahun adalah

93,497 mm dan durasi huj


an (t) selama 1 jam, maka:

I = ,
() /

= 17,564 mm/jam

2. Jika diketahui curah hujan rencana (R24) selama periode ulang 5 tahun adalah

114,381 mm dan durasi hujan (t) selama 3 jam, maka:

I = ,
() /

= 14,047 mm/jam
3. Jika diketahui curah hujan rencana (R24) selama periode ulang 10 tahun

a huj n (t) selama 24 jam, maka:


adalah 127,890 mm dan durasi

I = ,
( )/

= 4,418 mm/jam
Untuk hasil perhitungan intensitas curah hujan rencana selanjutnya dapat

dilihat pada tabel 14.

Tabel 14. Hasil Perhitungan Intensitas Curah Hujan


t (Jam) T (2 th) T (5 th) T (10 th) T (20 th) T (50 th) T (100 th)
/ R24
(mm) 50,657 84,276 106,023 127,183 154,531 175,085
1 17,564 29,220 36,760 44,097 53,579 60,705
2 11,064 18,407 23,157 27,778 33,752 38,241
3 8,443 14,047 17,672 21,199 25,757 29,183
4 6,970 11,595 14,588 17,499 21,262 24,090
5 6,006 9,993 12,571 15,080 18,323 20,760
6 5,319 8,849 11,132 13,354 16,225 18,384
7 4,799 7,985 10,045 12,050 14,641 16,588
8 4,391 7,304 9,189 11,023 13,394 15,175
9 4,059 6,753 8,495 10,191 12,382 14,029
10 3,784 6,295 7,919 9,500 11,542 13,077
11 3,551 5,907 7,432 8,915 10,832 12,272
12 3,351 5,574 7,013 8,412 10,221 11,581
13 3,177 5,285 6,648 7,975 9,690 10,979
14 3,023 5,030 6,328 7,591 9,223 10,450
15 2,887 4,804 6,043 7,249 8,808 9,980
16 2,766 4,601 5,789 6,944 8,437 9,560
17 2,656 4,419 5,559 6,669 8,103 9,181
18 2,557 4,254 5,352 6,420 7,800 8,838
19 2,466 4,103 5,162 6,192 7,524 8,525
20 2,384 3,965 4,989 5,984 7,271 8,238
21 2,307 3,838 4,829 5,793 7,038 7,974
22 2,237 3,721 4,681 5,616 6,823 7,731
23 2,171 3,613 4,545 5,452 6,624 7,505
24 2,111 3,512 4,418 5,299 6,439 7,295
Tabel 14 di atas menunjukkan bahwa, semakin lama durasi hujan yang

berlangsung, maka semakin rendah intensitas curah hujan yang dihasilkan. Hasil

perhitungan intensitas hujan rencana tersebut kemudian dihubungkan dalam suatu

kurva atau grafik intensitas durasi dan frekuensi seperti pada gambar 7

Grafik Intensitas Durasi dan Frekuensi


80
75
70
65
60
55
50
45
intensitas (mm/jam)

40
35
30
25
20
15
10
5
0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
t (jam)

T (2 th) T (5 th) T (10 th)


T (20 th) T (50 th) T (100 th)

Gambar 7. Grafik Intensitas Durasi dan Frekuensi


Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa intensitas hujan tinggi

berlangsung dengan durasi yang relatif cepat dan intensitas hujan rendah

berlangsung dengan durasi yang lebih lama. Hal tersebut menunjukkan bahwa

hujan deras berlangsung pada waktu yang singkat dan hujan tidak deras

berlangsung pada waktu yang lama. Selain itu, semakin lama waktu periode ulang

yang ditentukan, maka semakin besar pula intensitas curah hujannya.


B. Analisis Daerah Tangkapan Hujan (Catchment Area)

Daerah tangkapan hujan merupakan suatu daerah yang dibatasi oleh elevasi

tertinggi hingga elevasi terendah yang membentuk suatu luasan tertentu. Daerah

tangkapan hujan dapat ditentukan berdasarkan kondisi topografi daerah yang

dapat diamati secara langsung di lapangan maupun berdasarkan keadaan yang

terlihat pada peta kontur atau peta topografi.

Analisis daerah tangkapan hujan (catchment area) perlu ditentukan ketika

akan melakukan perencanaan sistem penyaliran tambang dengan tujuan untuk

mengetahui arah aliran air yang akan dilewati ketika terjadi hujan sehingga

rancangan sistem penyaliran tambang dapat dibuat guna untuk menangani air

limpasan yang timbul akibat adanya hujan tersebut.

Penentuan daerah tangkapan hujan pada PT. SJSU ditentukan melalui

kondisi peta situasi tambang PT. SJSU (Lampiran 3). Beberapa hal yang harus

diperhatikan dalam menentukan daerah tangkapan hujan adalah bentuk topografi,

elevasi atau titik ketinggian, dan bentuk kontur. Bentuk topografi dalam hal ini

adalah bentuk topografi yang akan memungkinkan air mengalir di daerah tersebut,

dimana bentuk topografi tersebut dimulai dari topografi yang berbentuk

pegunungan hingga bertemu pada topografi yang berbentuk pedataran. Elevasi

dalam hal ini adalah titik ketinggian yang terdapat pada peta kontur yang

mengartikan bahwa semakin tinggi atau rendahnya daerah tersebut yang dilihat

berdasarkan angka-angka yang terdapat disetiap garis kontur. Bentuk kontur

dalam hal ini adalah bentuk kontur yang menunjukkan bentuk lereng daerah

tersebut, dimana semakin rapat kontur yang terlihat, maka semakin curam daerah

tersebut. Sebaliknya semakin jarang kontur


yang terlihat, maka semakin landai ataupun datar daerah tersebut. Layout daerah

tangakapan hujan pada blok B PT. SJSU dapat dilihat pada gambar 8 dan gambar

9. Dengan menggunakan software Autocad 2007, maka diperoleh luasan daerah

tangkapan hujan tersebut sebesar 33.350,587 m2 atau 0,033350587 km2.


0,033350587 km2

Gambar 8. Layout Daerah Tangkapan Hujan (Catchment Area)


57

0,033350587 km2

Gambar 9. Perbesaran Layout Daerah Tangkapan Hujan (Catchment Area)


58

C. Debit Air Limpasan

Debit air limpasan merupakan salah satu parameter yang menjadi penentu

dalam merancang suatu saluran. Besarnya debit air limpasan dihitung dengan

menggunakan persamaan rasional, dalam hal ini persamaan (12). Perhitungan

debit air limpasan dengan menggunakan persamaan rasional disesuaikan dengan

perkiraan tata guna lahan dan umur blok B.

Perhitungan debit air limpasan dengan periode ulang 2 tahun diterapkan

untuk kondisi blok B yang saat ini memiliki kondisi lahan hutan, sehingga nilai

koefisien limpasan (tabel 6) yang digunakan adalah 0,6 dengan total debit air

limpasan yaitu sebesar 0,01196 m3/s.

Umur blok B yang diperkirakan 5 tahun dengan asumsi terjadi perubahan

kondisi lahan dari kondisi lahan yang awalnya hutan menjadi lahan yang tanpa

tumbuhan dikarenakan adanya pembersihan lahan, dalam hal ini tahapan

penambangan sedang berlangsung, sehingga periode ulang yang digunakan adalah

5 tahun dengan koefisien limpasan yang digunakan adalah 0,9. Maka perhitungan

debit air limpasan yaitu sebesar 0,03977 m3/s. % kemiringan ditentukan

berdasarkan beda ketinggian daerah tangkapan hujan yang terlihat pada peta

topografi PT. SJSU (Lampiran 3) dengan asumsi bahwa belum ada perubahan

kemiringan lereng selama proses pembersihan lahan dilaksanakan. Berdasarkan

luas daerah tangkapan hujan yang telah ditentukan, maka rincian perhitungan

besarnya debit air limpasan dapat dilihat pada tabel 15.


Tabel 15. Analisis Debit Air Limpasan
Perhitungan Debit Air Limpasan

Periode Ulang 2 Tahun

Durasi Waktu 24 Jam


Intensitas Hujan Rencana 2,111 mm/jam
Kegunaan Lahan Hutan
Luas Daerah Tangkapan Hujan (Km2) 0,033350587
Koefisien Limpasan (C) 0,6
Debit (m3/s) 0,011956

Periode Ulang 5 Tahun

Durasi Waktu 24 Jam


Intensitas Hujan Rencana 3,512 mm/jam
Kegunaan Lahan Tanpa Tumbuhan
Luas Daerah Tangkapan Hujan (Km2) 0,033350587
Koefisien Limpasan (C) 0,9
Debit (m3/s) 0,03977

D. Saluran (Drainase)

Perancangan saluran dimaksudkan untuk menampung masuknya air

limpasan yang terjadi akibat adanya hujan, sehingga diharapkan dapat tehindar

dari adanya genangan air yang akan mengganggu aktivitas yang akan berlangsung

di blok B.

Pembuatan saluran (drainase) dibuat di sepanjang jalan yang telah dirancang

untuk kegiatan penambangan pada blok B, dimana panjang jalan tersebut adalah

sekitar 1.088,398 m hingga sampai ke kolam pengendap. Dimensi drainase

disesuaikan dengan besarnya debit air limpasan dan umur blok B yang

direncanakan. Sehingga dimensi drainase mengacu pada debit air pada periode 5

tahun yaitu sebesar 0,03977 m3/s.


Perancangan saluran yang dibuat berbentuk trapesium (gambar 10), sebab

saluran dalam bentuk tersebut lebih efektif dan efisien karena dapat menampung

debit air yang besar. Selain itu, saluran tersebut lebih mudah dalam proses

pembuatan dan pemeliharaannya serta telah menjadi bentukan saluran yang

dominan diterapkan di perusahaan-perusahaan tambang lainnya. Saluran dibuat

pada tanah asli sehingga nilai koefisien kekasaran Manning (n) (tabel 7) adalah

0,030 dengan sudut yang diterapkan untuk saluran trapesium adalah sebesar 60º.

Gambar 10. Saluran Penampang Trapesium

Untuk menentukan rancangan dimensi saluran, digunakan beberapa persamaan-

persamaan dalam perhitungannya (Lampiran 5). Berdasarkan perhitungan rancangan

dimensi saluran pada lampiran 5 diperoleh hasil perhitungan sebagai berikut :

Tabel 16. Hasil Perhitungan Rancangan Saluran


Debit (Q) 0,03977 m3/s
Kecepatan Aliran Air (V) 0,4264 m/s
Koefisien Manning (n) 0,03
Sudut 60º
Kemiringan Saluran (z) 0,58
Jari-jari Hidrolik (R) 0,12925 m
Lebar Dasar Saluran (B) 0,31 m
Luas Penampang (A) 0,11375 m2
Tinggi Saluran Basah (y) 0,25 m
Tinggi Jagaan (W) 0,35 m
Tinggi Saluran (H) 0,60 m
Lebar Saluran Atas (T) 0,6 m
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel di atas, maka diperoleh dimensi

saluran berupa kedalaman penampang basah 0,25 m, tinggi saluran 0,60 m, tinggi

jagaan 0,35 m, lebar dasar saluran 0,31 m, dan lebar permukaan saluran 0,6 m.

Sehingga rancangan saluran dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 11. Rancangan Saluran

Indikasi terjadinya pengendapan sedimen pada saluran yang dirancang

dengan debit air yang masuk sebesar 0,03977 m 3/s tersebut yaitu kecil

kemungkinan untuk terjadi pengendapan, dimana secara perhitungan matematis

lebih besar kecepatan aliran air di saluran (V) yaitu 0,4264 m/s daripada

kecepatan jatuh sedimen (Vs) yaitu 0,00243 m/s (dapat dilihat pada lampiran 5),

sehingga sedimen yang terbawa bersama aliran air di saluran lebih cepat waktunya

untuk mengalir menuju kolam pengendap daripada untuk terendapkan di saluran

tersebut. Selain itu, lokasi jalan tambang yang menjadi rencana penempatan

saluran yang kondisinya relatif tidak datar, membuat aliran air di saluran akan

mengalami laju aliran yang lebih besar, sehingga kemungkinan untuk terjadi

pengendapan sedimen di saluran itu relatif kecil. Tetapi dalam hal ini penjadwalan

perawatan saluran juga perlu dilakukan, guna untuk menjaga kestabilan dari

bentukan saluran yang telah dirancang, sehingga air permukaan yang akan masuk

ke saluran tidak mengalami


peluapan. Oleh karena itu, dalam perancangan saluran ini diasumsikan seluruh

endapan sedimen terbawa bersama air menuju kolam pengendap tanpa

memperhitungkan banyaknya sedimen yang akan terendapkan di saluran tersebut.

Untuk rencana penempatan saluran dapat dilihat pada lampiran 6.

E. Kolam Pengendap

Kolam pengendap berfungsi untuk menanpung air dan mengendapkan

material yang berasal dari saluran sebelum air tersebut diarahkan ke sungai

ataupun lautan. Kolam pengendap terdiri atas 2 bagian, yaitu sediment pond dan

settling pond. Sediment pond berfungsi sebagai kolam pengendapan sedimen yang

terbawa bersama air yang berasal dari drainase. Setelah masuk ke sediment pond,

air dialirkan menuju settling pond yang berfungsi sebagai kolam pengaturan

(settling) sehingga air yang akan dialirkan ke badan perairan berupa sungai

ataupun lautan dapat terminimalisir dari campuran sedimen.

Perancangan letak kolam pengendap diusahakan berada pada lokasi yang

paling rendah dengan daerah yang tidak curam (hampir datar sampai datar). Hal

ini dimaksudkan agar air limpasan yang ada di daerah tersebut dapat tertampung

seluruhnya pada kolam pengendap tersebut. Kolam pengendap yang akan

dirancang diharapkan dapat digunakan selama umur tambang blok B, sehingga

debit air limpasan yang digunakan mengacu pada debit air dengan periode ulang 5

tahun yaitu 0,03977 m3/s atau 143,172 m3/jam.

Beberapa parameter yang harus diperhitungkan dalam merancang kolam

pengendap, antara lain sebagai berikut:


a) Total Debit Limpasan

Limpasan yang akan masuk ke dalam kolam pengendap melalui saluran

terdiri atas 2 jenis material, yaitu air dan sedimen. Berat dari material tersebut

harus dihitung untuk memperoleh besar debit dari masing-masing material

tersebut. Penggabungan dari besar debit kedua material tersebut merupakan

nilai dari total debit limpasan yang akan masuk ke dalam kolam pengendap.

Berat masing-masing material yang akan masuk ke dalam kolam

pengendap dihitung berdasarkan beberapa parameter yang telah diketahui,

yaitu %masing-masing material, dimana %sedimen (padatan) sebesar 1,6%

atau 0,016 dan %air 98,4% atau 0,984, debit air limpasan yang akan masuk ke

kolam pengendap (Qmat) sebesar 143,172 m3/jam, dan kerapatan partikel

masing-masing material, dimana kerapatan partikel padatan adalah sebesar

1040 kg/m3 dan massa jenis air adalah sebesar 1000 kg/m3. Sehingga

diperoleh berat material sedimen (padatan) dan air per m3 secara berturut-

turut, adalah sebesar 2382,38 kg dan 140.881,25 kg.

Dengan mengetahui berat dari masing-masing material, maka diperoleh

besar debit material padatan dan air secara berturut-turut, adalah sebesar

0,000636 m3/detik dan 0,0391 m3/detik. Sehingga dapat diperoleh total debit

limpasan per detik yang akan masuk ke kolam pengendap adalah sebesar 0,04

m3/detik.

b) Kecepatan Jatuh Sedimen

Kecepatan jatuh sedimen dihitung dengan menggunakan beberapa

parameter yang telah ditentukan, diantaranya yaitu viskositas kinematika (v)


sebesar 0,9048 x 10-6 m2/s, diameter partikel (D) 0,053 mm (0,000053 m), dan

specific gravity (SG) sebesar 2,4350. Dengan menggunakan persamaan (20),

maka diperoleh nilai besarnya kecepatan jatuh sedimen adalah sebesar 0,00243

m/s.

c) Luas Kolam Pengendap

Besarnya luas kolam pengendap dihitung dengan menggunakan

persamaan (21), dimana pada persamaan tersebut parameter yang dibutuhkan

untuk memperoleh nilai luas kolam pengendap, antara lain adalah total

volume limpasan perdetik (Qtot) yaitu sebesar 0,04 m3/detik dan kecepatan

jatuh sedimen (Vs) sebesar 0,00243 m/s. Dengan menggunakan nilai dari

kedua parameter tersebut, maka diperoleh luas kolam pengendap untuk 1

kolam (pond) adalah sebesar 16,396 m2.

Berdasarkan luas kolam pengendap tersebut, maka dimensi kolam

pengendap dapat ditentukan dengan mempertimbangkan alat berat yang akan

digunakan perusahaan untuk pembuatan dan perawatan kolam pengendap.

Alat berat yang akan digunakan oleh PT. SJSU dalam pembuatan dan

perawatan kolam pengendap adalah excavator komatsu PC 200 dengan

jangkauan gali horizontal efektif adalah sejauh 9 meter yang merupakan lebar

untuk kolam pengendap dan jangkauan gali vertical efektif adalah sejauh 4

meter yang merupakan kedalaman kolam pengendap. Dengan mengetahui

lebar dan luas kolam pengendap, maka panjang kolam pengendap untuk 1

pond adalah sebesar 2 meter dengan volume kolam pengendap yaitu sebesar

72 m3.
d) Waktu Pengendapan dan Waktu Keluar Partikel

Waktu pengendapan partikel (tv) dihitung berdasarkan besar kedalaman

kolam pengendap dan kecepatan jatuh sedimen, sehingga diperoleh waktu

pengendapan partikel adalah sebesar 1649,1318 detik.

Waktu partikel untuk keluar dari kolam pengendap (th) ditentukan

berdasarkan panjang kolam pengendap dan kecepatan mendatar partikel di

kolam (vh), sehingga diperoleh waktu partikel untuk keluar dari kolam

pengendap adalah sebesar 1810,18 detik.

Persentase pengendapan yang diperoleh berdasarkan waktu

pengendapan partikel dan waktu partikel akan keluar dari kolam pengendap

adalah sebesar 52,19%. Dengan persentase pengendapan tersebut, maka

padatan yang terlarut dalam air tidak semua terendapkan. Padatan yang

berhasil diendapkan adalah 52,19% dari total padatan yang masuk ke kolam

pengendap. Volume padatan yang berhasil terendapkan selama 24 jam (1

hari) adalah sebesar 28,677 m3/hari atau 0,0003 m3/detik.

Partikel akan mengendap dengan baik apabila waktu pengendapan

partikel lebih kecil daripada waktu partikel keluar dari kolam pengendap

(tv<th), sehingga semakin panjang kolam pengendap yang dibuat, dalam hal

ini kolam (pond) yang dibuat semakin banyak, maka semakin bagus proses

pengendapan partikel dan air yang akan keluar menuju badan perairan akan

semakin jernih, dalam hal ini partikel yang akan terbawa keluar bersama air

akan semakin sedikit.


e) Waktu Pengerukan Kolam Pengendap

Kolam pengendap yang telah dirancang perlu dilakukan perawatan

dengan melakukan pengerukan secara rutin guna untuk menghindari

terjadinya peluapan air akibat semakin banyaknya padatan yang masuk ke

dalam kolam pengendap tanpa adanya pengurangan/pengerukan material

tersebut. Selain itu, pengerukan kolam pengendap juga dilakukan untuk

menjaga tingkat kekeruhan air yang akan keluar dari kolam pengendap,

sehingga persentase partikel yang akan keluar diharapkan dapat stabil.

Waktu pengerukan kolam pengendap ditentukan berdasarkan volume

kolam (pond) dan volume padatan yang berhasil terendapkan. Sehingga

diperoleh waktu pengerukan untuk volume pond sebesar 72 m3 dan volume

padatan yang berhasil diendapkan adalah sebesar 28,677 m3/hari adalah 2,5

hari atau sekitar 3 hari. Dengan waktu tersebut, diharapkan kolam pengendap

dapat dilakukan pengerukan rutin selama 3 hari sekali.

Adapun rincian perhitungan rancangan kolam pengendap dapat dilihat pada

tabel 17.
Tabel 17. Rincian Perhitungan Kolam Pengendap
Rancangan Kolam Pengendap
Debit air yang masuk Qmat 143,172 m3/jam
Berat padatan per m3
m sol 2382,38 kg
Berat air per m3 mwat 140.881,25 kg
Debit padatan Vsol 0,000636 m3/detik
Debit air Vwat 0,0391 m3/detik
Debit total Vtot 0,04 m3/detik
Kecepatan jatuh sedimen Vs 0,00243 m/detik
Satu Pond
Panjang pond P 2 m
Lebar pond L 9 m
Kedalaman pond h 4 m
Luas pond A 18 m2
Volume pond Volpond 72 m3
Waktu pengendapan partikel tv 1649.1318 detik
Kecepatan mendatar partikel vh 0.001111 m/detik
Waktu partikel keluar th 1800,18 detik
Persentase pengendapan %sed 52,19 %
Volume padatan terendapkan Vol pt 28,67 m3/hari
Waktu pengerukan tkeruk 3 hari
Dua Pond
Panjang pond P 4 m
Lebar pond L 9 m
Kedalaman pond h 4 m
Luas pond A 36 m2
Volume pond Volpond 144 m3
Waktu pengendapan partikel tv 1649.1318 detik
Kecepatan mendatar partikel vh 0.001111 m/detik
Waktu partikel keluar th 3600 detik
Persentase pengendapan %sed 68,58 %
Volume padatan terendapkan Volpt 37,68 m3/hari
Waktu pengerukan tkeruk 4 hari
Tiga Pond
Panjang pond P 6 m
Lebar pond L 9 m
Kedalaman pond h 4 m
Luas pond A 54 m2
Volume pond Volpond 216 m3
Waktu pengendapan partikel tv 1649.1318 detik
Kecepatan mendatar partikel vh 0.001111 m/detik
Waktu partikel keluar th 5400 detik
Persentase pengendapan %sed 76,61 %
Volume padatan terendapkan Volpt 42,095 m3/hari
Waktu pengerukan tkeruk 5 hari
Berdasarkan tabel 18 di atas, terlihat bahwa semakin banyak kolam (pond)

yang dirancang, maka semakin bagus kolam pengendap tersebut. Hal ini

dibuktikan dengan perbandingan antara persentase pengendapan dengan waktu

keluarnya partikel semakin besar, dimana semakin lama waktu partikel keluar dari

kolam pengendap, maka semakin baik persentase pengendapannya, dalam hal ini

volume padatan yang terendapkan dalam air semakin besar dan air yang akan

keluar dari kolam pengendap dapat lebih baik (tingkat kekeruhan berkurang).

Adapun bentuk rancangan kolam pengendap, dapat dilihat pada gambar 12.

Gambar 12. Rancangan Kolam Pengendap


V. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perancangan saluran yang dibuat berbentuk trapesium dengan dimensi

saluran berdasarkan besarnya debit air limpasan dan umur blok B yang

direncanakan. Sehingga perancangan saluran dibuat berdasarkan debit air

pada periode ulang 5 tahun yaitu sebesar 0,03977 m3/s dengan dimensi

berupa saluran tinggi saluran basah 0,25 meter, tinggi saluran 0,60 meter,

tinggi jagaan 0,35 meter, lebar dasar saluran 0,31 meter, dan lebar

permukaan saluran 0,6 meter.

2. Kolam pengendap yang dirancang untuk satu kolam memiliki lebar 9

meter, panjang 2 meter, dan tinggi 4 meter. Semakin banyak kolam yang

dirancang, maka semakin bagus kolam pengendap tersebut. Sehingga

kolam pengendap yang dirancang memiliki 3 kolam dengan luas kolam

keseluruhan adalah 54 m2 . Volume kolam pengendap yang diperoleh

adalah sebesar 216 m3 dengan waktu pengerukan kolam pengendap untuk

ketiga kolam tersebut adalah selama 5 hari.


B. Saran

1. Untuk mendapatkan hasil analisa yang lebih akurat, sebaiknya digunakan

data curah hujan yang ada di lokasi penambangan yang berasal dari stasiun

penakar hujan PT. SJSU.

2. Perlu diadakan perawatan saluran (drainase) secara rutin untuk

mengantisipasi kerusakan saluran akibat erosi dan banjir

3. Perlu dilakukan penjadwalan perawatan kolam pengendap secara rutin

berdasarkan waktu yang telah ditetapkan

4. Untuk peneliti yang selanjutnya, sebaiknya melakukan perhitungan erosi

yang akan terjadi dan perancangan kembali berdasarkan rencana

penambangan PT. SJSU.


DAFTAR PUSTAKA

Agustianto, D.A., 2014, Model Hubungan Hujan dan Runoff (Studi Lapangan),
Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan Vol. 2, No. 2, Juni 2014 ISSN : 2355-
374X, Halaman 215-224

Amin, M., 2002, Penambangan Cadangan Batubara dengan Tambang Terbuka :


Kajian Pertimbangan Hidrologi dan Lingkungan (Studi Kasus Bukit K),
Tesis Program Studi Rekayasa Pertambangan ITB : Bandung

Anonim, 2015, Technical Guidance 7 Environmental Management Act: Assessing


the Design, Size, and Operation of Sediment Ponds Used in Mining,
Ministry of Environment : British Columbia

Badan Standardisasi Nasional, 2008, Standar Nasioanl Indonesia (SNI)


1970:2008, Cara Uji Berat Jenis dan Penyerapan Air Agregat Halus,
Dewan Standardisasi Indonesia : Jakarta

Das, B. M. 2010, Principles of Geotechnical Engineering, Seventh Edition.


CENGAGE Learning : USA

Endriantho dan Ramli, 2013, Perencanaan Sistem Penyaliran Tambang Terbuka


Batubara, Jurnal Geosains Vol. 09 No. 01 Tahun 2013 Halaman 29-40

Fanny, Zakaria, A., Tugiono, S., 2016, Analisis Data Curah Hujan yang Hilang
dengan Menggunakan Metode Normal Ratio, Inversed Square Distance,
dan Rata-rata Aljabar (Studi Kasus Curah Hujan Beberapa Stasiun Hujan
Daerah Bandar Lampung), JRSDD, Edisi September 2016, Vol. 4, No. 3,
Hal:397 – 406 (ISSN:2303-0011)
Hartono, 2013, Kolam Pengendapan, Program Studi Teknik Pertambangan
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta
Hilaludin dan Joko, 2011, Perencanaan Dam dan Spillway Yang Dilengkapi
PLTMH di Kampus Tembalang, Fakultas Teknik Jurusan Sipil, Universitas
Diponegoro

Ismaya.F., 2007. Evaluasi dan Optimasi Sistem Penyaliran Level 500 Ciurug
PT. Aneka Tambang Tbk. UBPE Pongkor.
https://www.scribd.com/document/351160865/penyaliran-tambang

Isnaeni, Untung, Gunawan, dan Sudaryanto, 2016, Kajian Teknis Dimensi Kolam
Pengendapan di Settling Pond 71 C PT. Perkasa Inakakerta Kecamatan
Bengalon Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur, Jurnal
Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 2 Periode: Sept. 2015 – Feb.
2016
Jafar, N., Marwan, Widodo, S., 2016, Kajian Teknis Penirisan Tambang Nikel
Laterit Mengunakan Metode Mine Dewatering, Jurnal Geomine, Vol 4,
No. 3, Desember 2016, Halaman 106-110

McNaughton, N., Smith Jr, J.E., dan Stoll, S., 2011. Principles of Design and
Operations of Wastewater Treatment Pond Systems for Plant Operators,
Engineers, and Managers, USEPA : Ohio

Nauli F.,2014, Rancangan Sistem Penyaliran pada tambang Batubara Tambang


Air Laya Tanjung Enim Sumatera Selatan, Tesis Program Magister Teknik
Pertambangan UPN “Veteran” Yogyakarta : Yogyakarta

Orianto dan Praktikto, 1989, Mekanika Fluida I, BPFE Yogyakarta : Yogyakarta

Pasha M.I., 2010. Rancangan Sistem Penyaliran di Pit L2 Site Lati PT. Berau

Coal
Untuk Kemajuan Penambangan Tahun 2010-2011. Skripsi Prodi Teknik
Pertambangan ITB : Bandung

Praja, S.A.,2013, Evaluasi Kapasitas Saluran Kali Belik Yogyakarta, Jurnal Bumi
Indonesia Volume 2, No. 3 Tahun 2013 Halaman 55-62

Prasetyo Eben E.E, 2012, Rancangan Dimensi Settling Pond Berdasarkan


Daerah Tangkapan Hujan pada Pit B2a PT. Sebuku Batubai Coal Pulau
Laut Tengah Kotabaru Kalimantan Selatan. Prodi Teknik Pertambangan
UPN “Veteran” Yogyakarta

Prayuditha. M.F.,2013, Upaya Pencegahan Sumber Air Tambang dari Air


Permukaan Tanah untuk Meminimalkan Penggunaan Pompa di Tambang
Batubara Blok Bisa PT. Telen Orbit Prima, Jurnal Rekayasa Teknologi
Industri dan Informasi, Seminar Nasional Ke 8, 14 Desember 2013
Halaman 6-9

Purwaningsih D.A., dan Suhariyanto 2015, Kajian Dimensi Penyaliran pada


Tambang Terbuka PT. Baturona Adimulya Kabupaten Musi Banyuasin
Propinsi Sumatera Selatan, Jurnal Geologi Pertambangan, Volume 2
September 2015, Halaman 16-28

Putri Y.E., 2014. Analisa Penyaliran Air Tambang Batu Kapur PT. Semen
Baturaja (Persero) di Pabrik Baturaja, Jurnal Desiminasi Teknologi,
Volume 2, No. 1, Januari 2014 Halaman 78-92

Sosrodarsono S., Takeda. K., 2003. Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya
Paramita : Jakarta
Soedrajat. S, 1999, Mekanika-Fluida dan Hidrolika, NOVA : Bandung

Subiakto, Rosadi, P.E., dan Hartono., 2016, Kajian Teknis Sistem Penyaliran
pada Tambang Batubara PIT 1 Utara Banko Barat PT. Bukit Asam
(Persero) Tbk. Tanjung Enim Sumatera Selatan, Jurnal Rekayasa
Teknologi Industri dan Informasi, Prosiding Seminar Nasional XI Tahun
2016

Sudarto, Alimin, M., dan Wicaksono, K.S., 2015, Estimasi Limpasan Permukaan
DAS Mikro Brantas Hulu Kecamatan Bumiaji Kota Batu Menggunakan
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Jurnal Tanah dan
Sumberdaya Lahan Vol 2 No 2: 171-177, 2015

Suhendra Y.K.,2015. Kajian Teknis Sistem Penyaliran Tambang Terbuka di PT.


Megumy Inti Anugerah Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur.
Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 1 Periode: Maret-
Agustus 2015

Triatmodjo B., 1996. Hidrolika II. Beta Offset : Yogyakarta

Ven Te Chow, 1959, Open-Channel Hydraulics, McGraw-Hill Book Company:


United States ISBN 07-010776-9

Wibawa, F.S., 2015, Rancangan Sump D1 Blok D1-D2 Pit Roto Selatan PT.
Pamapersada Nusantara Distrik Kideco Batu Kajang Kalimantan Timur,
Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 1 Periode: Maret-
Agustus 2015 Halaman 23-28
74

Lampiran 1. Data Curah Hujan Bulanan

Tabel 18. Data Curah Hujan Bulanan Pos Hujan Tinobu (mm)
Bulan Rata-
Tahun Total
Rata
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agu Sept Okt Nov Des
2007 460,0 255,0 39,0 555,0 455,0 510,0 365,0 327,0 115,0 335,0 110,0 260,0 3786,0 315,5
2008 30,0 377,0 146,0 - - - 105,0 320,0 120,0 245,0 110,0 595,0 2048,0 170,7
2009 385,0 435,0 400,0 225,0 240,0 285,0 240,0 15,0 325,0 30,0 170,0 300,0 3050,0 254,2
2010 0,0 0,0 0,0 360,0 413,0 775,0 610,0 725,0 210,0 445,0 225,0 145,0 3908,0 325,7
2011 19,5 20,0 19,0 45,5 61,0 17,5 52,0 42,5 12,5 32,1 28,5 44,0 394,1 32,8
2012 60,5 46,5 19,8 22,0 36,5 52,0 30,0 10,0 35,3 4,0 18,0 23,0 357,6 29,8
2013 37,0 26,5 17,1 21,0 20,0 29,5 44,0 15,0 10,0 23,0 225,0 310,0 778,1 64,8
2014 211,0 308,0 341,0 210,0 330,0 435,0 235,0 5,0 0,0 60,0 10,0 389,0 2534,0 211,2
2015 296,0 487,2 274,0 358,0 266,0 230,0 203,0 20,0 0,0 75,0 18,0 266,0 2493,2 207,8
2016 345,0 246,3 308,1 589,0 315,0 557,0 927,0 80,0 108,0 168,0 35,0 366,0 4044,4 337,0
Curah Hujan Rata-rata Pertahun 1949,5
Sumber: BWS Sulawesi IV
Tabel 19. Data Curah Hujan Bulanan Pos Hujan Asera (mm)
Bulan Rata-
Tahun Total
rata
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agu Sept Okt Nov Des
2007 440,0 186,0 317,0 215,0 212,0 451,0 448,0 262,0 109,0 77,0 0,0 0,0 2717,0 226,4
2008 125,0 229,0 180,0 277,0 480,0 280,0 0,0 535,2 182,0 118,0 133,0 411,5 2950,7 245,9
2009 197,0 213,0 390,0 312,2 205,3 68,0 205,0 41,0 46,0 22,0 112,0 118,0 1929,5 160,8
2010 298,9 246,5 306,0 151,5 202,0 324,5 630,0 0,0 48,5 211,7 170,0 247,5 2837,1 236,4
2011 42,8 175,0 92,2 307,7 271,0 173,0 261,0 29,0 148,5 43,5 133,5 333,8 2011,0 167,6
2012 272,9 258,0 295,0 189,5 42,0 0,0 43,0 24,0 88,0 96,5 87,0 224,5 1620,4 135,0
2013 219,5 163,0 318,5 202,5 348,0 296,5 800,5 117,0 190,5 20,0 296,0 275,0 3247,0 270,6
2014 305,0 276,0 265,5 149,5 144,5 429,0 305,5 107,5 0,0 10,0 68,5 361,0 2422,0 201,8
2015 310,5 361,5 392,5 272,5 409,5 448,0 226,5 13,0 3,0 5,0 0,0 106,5 2548,5 212,4
2016 174,5 514,4 278,0 177,5 286,0 285,0 378,5 172,0 115,0 120,5 105,5 199,0 2805,9 233,8
Curah Hujan Rata-rata Pertahun 2090,8
Sumber: BWS Sulawesi IV
Tabel 20. Data Curah Bulanan Pos Hujan Lamonae (mm)
Bulan Rata-
Tahun Total
rata
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agu Sept Okt Nov Des
2007 78,0 118,0 - - - - - - - 20,0 34,0 18,0 268,0 22,3
2008 62,0 110,0 59,0 87,0 195,0 75,0 144,0 200,0 121,0 69,0 21,0 40,0 1183,0 98,6
2009 33,0 167,0 189,0 87,0 90,0 57,0 109,0 22,0 7,0 19,0 77,0 132,0 989,0 82,4
2010 227,0 49,0 201,0 97,0 32,0 333,0 206,0 112,0 15,0 136,0 95,0 66,0 1569,0 130,8
2011 184,0 132,0 62,0 83,0 136,0 133,0 253,0 14,0 81,0 15,0 0,0 91,0 1184,0 98,7
2012 127,0 132,0 62,0 83,0 136,0 133,0 253,0 14,0 81,0 15,0 0,0 91,0 1127,0 93,9
2013 110,0 82,5 233,5 163,0 161,0 87,0 467,0 77,5 104,0 34,0 155,0 75,5 1750,0 145,8
2014 124,5 168,0 63,5 161,0 140,0 356,0 177,2 188,0 2,0 5,0 27,0 209,5 1621,7 135,1
2015 133,5 106,0 63,5 121,5 94,0 167,0 201,0 141,0 2,0 0,0 0,0 110,5 1140,0 95,0
2016 66,0 238,5 165,0 77,0 52,0 207,0 115,0 58,5 29,0 61,0 54,0 157,0 1280,0 106,7
Curah Hujan Rata-rata Pertahun 1009,3
Sumber: BWS Sulawesi IV
Tabel 21. Hasil Analisis Data Curah Hujan Pos Hujan Tinobu (mm)
Bulan Rata-
Tahun Total
Rata
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agu Sept Okt Nov Des
2007 460,0 255,0 39,0 555,0 455,0 510,0 365,0 327,0 115,0 335,0 110,0 260,0 3786,0 315,5
2008 30,0 377,0 146,0 213,2 412,1 203,0 105,0 320,0 120,0 245,0 110,0 595,0 2876,2 239,7
2009 385,0 435,0 400,0 225,0 240,0 285,0 240,0 15,0 325,0 30,0 170,0 300,0 3050,0 254,2
2010 0,0 0,0 0,0 360,0 413,0 775,0 610,0 725,0 210,0 445,0 225,0 145,0 3908,0 325,7
2011 19,5 20,0 19,0 45,5 61,0 17,5 52,0 42,5 12,5 32,1 28,5 44,0 394,1 32,8
2012 60,5 46,5 19,8 22,0 36,5 52,0 30,0 10,0 35,3 4,0 18,0 23,0 357,6 29,8
2013 37,0 26,5 17,1 21,0 20,0 29,5 44,0 15,0 10,0 23,0 225,0 310,0 778,1 64,8
2014 211,0 308,0 341,0 210,0 330,0 435,0 235,0 5,0 0,0 60,0 10,0 389,0 2534,0 211,2
2015 296,0 487,2 274,0 358,0 266,0 230,0 203,0 20,0 0,0 75,0 18,0 266,0 2493,2 207,8
2016 345,0 246,3 308,1 589,0 315,0 557,0 927,0 80,0 108,0 168,0 35,0 366,0 4044,4 337,0
Curah Hujan Rata-rata Pertahun 2018,5
Tabel 22. Hasil Analisis Data Curah Hujan Pos Hujan Asera (mm)
Bulan Rata-
Tahun Total
rata
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agu Sept Okt Nov Des
2007 440,0 186,0 317,0 215,0 212,0 451,0 448,0 262,0 109,0 77,0 0,0 0,0 2717,0 226,4
2008 125,0 229,0 180,0 277,0 480,0 280,0 0,0 535,2 182,0 118,0 133,0 411,5 2950,7 245,9
2009 197,0 213,0 390,0 312,2 205,3 68,0 205,0 41,0 46,0 22,0 112,0 118,0 1929,5 160,8
2010 298,9 246,5 306,0 151,5 202,0 324,5 630,0 0,0 48,5 211,7 170,0 247,5 2837,1 236,4
2011 42,8 175,0 92,2 307,7 271,0 173,0 261,0 29,0 148,5 43,5 133,5 333,8 2011,0 167,6
2012 272,9 258,0 295,0 189,5 42,0 0,0 43,0 24,0 88,0 96,5 87,0 224,5 1620,4 135,0
2013 219,5 163,0 318,5 202,5 348,0 296,5 800,5 117,0 190,5 20,0 296,0 275,0 3247,0 270,6
2014 305,0 276,0 265,5 149,5 144,5 429,0 305,5 107,5 0,0 10,0 68,5 361,0 2422,0 201,8
2015 310,5 361,5 392,5 272,5 409,5 448,0 226,5 13,0 3,0 5,0 0,0 106,5 2548,5 212,4
2016 174,5 514,4 278,0 177,5 286,0 285,0 378,5 172,0 115,0 120,5 105,5 199,0 2805,9 233,8
Curah Hujan Rata-rata Pertahun 2090,8
Tabel 23. Hasil Analisis Data Curah Hujan Pos Hujan Lamonae (mm)
Bulan Rata-
Tahun Total
rata
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agu Sept Okt Nov Des
2007 78,0 118,0 86,6 195,6 169,0 240,9 202,6 147,9 56,1 20,0 34,0 18,0 1366,6 113,9
2008 62,0 110,0 59,0 87,0 195,0 75,0 144,0 200,0 121,0 69,0 21,0 40,0 1183,0 98,6
2009 33,0 167,0 189,0 87,0 90,0 57,0 109,0 22,0 7,0 19,0 77,0 132,0 989,0 82,4
2010 227,0 49,0 201,0 97,0 32,0 333,0 206,0 112,0 15,0 136,0 95,0 66,0 1569,0 130,8
2011 184,0 132,0 62,0 83,0 136,0 133,0 253,0 14,0 81,0 15,0 0,0 91,0 1184,0 98,7
2012 127,0 132,0 62,0 83,0 136,0 133,0 253,0 14,0 81,0 15,0 0,0 91,0 1127,0 93,9
2013 110,0 82,5 233,5 163,0 161,0 87,0 467,0 77,5 104,0 34,0 155,0 75,5 1750,0 145,8
2014 124,5 168,0 63,5 161,0 140,0 356,0 177,2 188,0 2,0 5,0 27,0 209,5 1621,7 135,1
2015 133,5 106,0 63,5 121,5 94,0 167,0 201,0 141,0 2,0 0,0 0,0 110,5 1140,0 95,0
2016 66,0 238,5 165,0 77,0 52,0 207,0 115,0 58,5 29,0 61,0 54,0 157,0 1280,0 106,7
Curah Hujan Rata-rata Pertahun 1100,9
80

Lampiran 2. Peta Sebaran Hujan Menggunakan Metode Thiessen


81

Lampiran 3. Peta Situasi Tambang dan Peta Topografi PT. SJSU


84

Lampiran 4. Hasil Pengujian Laboratorium

1. Viskositas Dinamis

Viskositas merupakan hasil dari gaya-gaya antara molekul yang timbul pada

saat lapisan-lapisan fluida berusaha menggeser satu dan lainnya (Orianto dan

Praktikto, 1989). Viskositas atau kekentalan ialah sifat cairan yang dapat menahan

gaya-gaya geser. Viskositas dinamis adalah gaya-gaya persatuan luas yang

dibutuhkan untuk menggeser lapisan zat cair dengan satu kesatuan kecepatan

terhadap lapisan yang berlekatan di dalam zat cair itu. Satuannya adalah Ns/m 2

(Soedrajat. S, 1999).

a) Penentuan Massa Jenis (ρ)

Diketahui :

Berat piknometer kosong (Wo) = 28,1213 gram

Berat piknometer + sampel (W1) = 80,2065 gram

Berat piknometer + aquades (W2) = 78,1618 gram

ρ Air = 1 gram/cm3

Ditanyakan : ρ sampel = ……?

Penyelesaian :

ρ sampel = x ρ air

.
.= x 1 gram/cm
. .

= .
x 1 gram/cm
.

= 1,040 gram/cm3
b) Penentuan Viskositas Dinamis

Diketahui :
ρ Air : 1 gr/cm3
ρ Sampel : 1,040 gr/cm3
µ air pada suhu 25º C : 0,000891 Ns/m2
Hasil uji waktu alir adalah sebagai berikut:
Tabel 24. Hasil Uji Waktu Alir
Waktu Alir (detik)
Larutan
t1 t2 t3 t4 t5 t6 t7 t8 t9 t10 t akhir
Aquades 9,55 9,32 9,23 9,47 9,42 9,40
Sampel 9,80 9,83 9,48 9,92 9,80 9,22 9,15 9,36 9,32 9,59 9,55

Ditanyakan : µ sampel = ……?


Penyelesaian:

µ sampel = x μ air

. /
.= x 0.000891 Ns/m
/ .

= .
x 0.000891 Ns/m
.

= 0,000941 Ns/m2

c) Penentuan Nilai Viskositas Kinematik

Viskositas kinematik adalah perbandingan antara koefisien

viskositas (viskositas dinamis) dengan density (Orianto dan Praktikto,

1989).

Diketahui :
µ sampel = 0,000941 Ns/m2
ρ Sampel = 1040 kg/m3
1N = 1 Kg.m/s2
Ditanyakan : v = …..?
Penyelesaian:
μ
=
ρ

0,000941/ Ns m
=
1040 kg/m

= 0,0000009048 m /s
= 0,9048 x 10-6 m2/s

2. Specific Gravity

Specific gravity (berat jenis) adalah perbandingan antara berat dari satuan

volume dari suatu material terhadap berat air dengan volume yang sama pada

temperatur yang ditentukan. Nilai-nilainya adalah tanpa dimensi (Badan

Standardisasi Nasional, 2008)

Penentuan nilai Specific gravity berdasarkan SNI 1970:2008 menggunakan

persamaan berikut:

A
Berat Jenis =
+ −
Keterangan :

A adalah berat benda uji kering oven (gram);


B adalah berat piknometer yang berisi air (gram);
C adalah berat piknometer dengan benda uji dan air (gram);

Diketahui:

Massa piknometer kosong (W1) = 28,1213 gram


Massa piknometer + sampel (W2) = 39,2499 gram
40,4877 gram
40,0608 gram
Rata-rata W2 = 39,9328 gram
Massa piknometer + sampel + air (W3 / C) = 84,7769 gram
85,8390 gram
85,0997 gram
Rata-rata W3 = 85,2385 gram
Massa piknometer + air (W4 / B) = 78,2748 gram
78,2801 gram
78,2785 gram
Rata-rata W4 = 78,2778 gram
Ditanyakan : SG = …..?
Penyelesaian :
A W2 − W1
SG = → SG
= + −
+ −
39,9328 − 28,1213
=
78,2778 + (39,9328 − 28,1213) − 85,2385
11,8115
=
4,8508
= 2,435

Atau dengan menggunakan persamaan berikut:


(W2 − W1)
SG =
(W4 − W1) − (W3 − W2)
(39,9328 − 28,1213)
=
(78,2778 − 28,1213) − (85,2385 − 39,9328 )
= 2,4350

3. Diameter Partikel

Dilakukan dengan metode ayakan basah, dimana ayakan yang digunakan

yaitu 50, 100, 200, dan 270 mesh. Sedimen/tanah mayoritas lolos ayakan 270

mesh,

yang tertahan pada ayakan 50, 100, dan 200 mesh < 1%. Berdasarkan tabel 25 dan

26, Sedimen terkategori material berbutir halus (lanau sampai lempung) dengan

ukuran butir 0,053 mm.


Tabel 25. Klasifikasi Ukuran Butir (Das, B.M., 2010)
Ukuran Butir (mm)
Nama Organisasi
Kerikil Pasir Lanau Lempung
Massachusetts Institute of Technology 2 ke 0,06 ke
>2 <0,002
(MIT) 0,06 0,002
2 ke 0,05 ke
U.S. Department of Agriculture (USDA) >2 <0,002
0,05 0,002
0,075
American Association of State Highway 76,2 ke 2 ke
ke <0,002
and Transportation Officials 2 0,075
0,002
(AASHTO)
Unified Soil Classification System (U.S. Halus: yaitu lanau
76,2 ke 4,75 ke
Army Corps of Engineers, U.S. Bureau dan lempung
5,75 0,075
of Reclamation, and ASTM) <0,075

Tabel 26. Klasifikasi Tanah Menurut USCS (Das, B.M., 2010)


Gambar 13. Hasil Analisis Sampel
4. Persen Perbandingan Padatan dan Air

 Persen Padatan

Banyaknya padatan yang terendapkan pada gelas beaker 500 ml

adalah sebanyak 8 ml, sehingga persen padatan yang diperoleh, adalah:

%Padatan = x 100%

= x 100%

= 1,6%

 Persen Air

Volume air yang diperoleh adalah selisih dari volume total

dengan volume padatan, yaitu sebesar 492 ml, sehingga persen air

yang diperoleh adalah:

%Air = x 100%

= x 100%

= 98,4%
Lampiran 5. Perhitungan Rancangan Saluran dan Kolam Pengendap

Perhitungan dimensi saluran digunakan persamaan-persamaan berikut :

a) Persamaan Manning : Q =VxA

= 1/n x R2/3 x S1/2 x A

b) Sifat-sifat penampang trapesium :

θ = 60º, z = 60° =

0,58 B = 1,24.y

T = B + 2.z.y
= 1,24y + 2(0,58)y
= 1,24y + 1,16y

W = 0,5 x y

H =y+W

c) Penampang basah

A = (B + zy)y
= (1,24y + 0,58y)y
= 1,82y2

P = B + 2y √1 + z
= 1,24y + 2y 1 + 0,58
= 1,24y + 2y √1,3364
= 1,24y + 2y (1,1560)
= 1,24y + 2,312y
= 3,52y

R = A/P
( , )
= ,
= 0,5170y
Keterangan :

Q = Debit (m3/detik)
V = Kecepatan aliran air di saluran (m/s)
R = Jari-jari hidrolik (m)
S = Kemiringan saluran (%)
A = Luas penampang basah (m2)
n = Koefisien kekasaran manning
P = Keliling saluran (m)
B = Lebar alas (m)
W = Tinggi Jagaan (m)
T = Lebar Permukaan (m)
y = Kedalaman saluran yang tergenang air (m)
H = Tinggi saluran (m)
Q = 1/n x R2/3 x S1/2 x A
0,03977 = 1/0,030 x (0,5170y) 2/3 x (0,0025)1/2 x 1,82y2
0,03977 = 33,333 x (0,5170y) 2/3 x (0,05) x 1,82y2
0,03977 = 1,66665 x (0,94094y) 8/3
0,03977 = 1,5682y 8/3
, 3/8
y = ,
y = 0,25 m

V = 1/n x R2/3 x S1/2


= 1/0,030 x (0,5170y) 2/3 x (0,0025)1/2
= 1/0,030 x (0,1295) 2/3 x (0,0025)1/2
= 33,333 x 0,2559 x 0,05
= 0,4264 m/s

B = 1,24y
= 1,24 (0,25)
= 0,31 m

T = 1,24y + 2(0,58)y
= 1,24y + 1,16y
= 1,24 (0,25) + 1,16 (0,25)
= 0,6 m

W = 0,5 x y
= 0,5 x 0,25
= 0,35 m
H =y+W
= 0,25 + 0,35
= 0,60 m

R = 0,5170y
= 0,5170 (0,25)
= 0,12925

A = 1,82y2
= 1,82 (0,25)2
= 0,11375

Kolam Pengendap
a) Berat Padatan Per Jam

Diketahui :

Debit air yang akan masuk (Qmat) = 0,03977 m3/s = 143,172


m3/jam Kerapatan partikel padatan (ρsol) = 1040 kg/m3
Persen padatan (%sol) = 1,6% = 0,016
Ditanyakan : msol = …..?

Penyelesaian:

msol = %sol x Qmat x ρsol


= 0,016 x 143,172 m3/jam x 1040 kg/m3
= 2382,38 kg

b) Berat Air Per Jam

Diketahui :

Debit air yang akan masuk (Qmat) = 0,03977 m3/s = 143,172


m3/jam Massa jenis air (ρwat) = 1000 kg/m3
Persen air (%wat) = 98,4% = 0,984

Ditanyakan : mwat = ……?

Penyelesaian:
mwat = %wat x Qmat x ρwat
= 0,984 x 143,172 m3/jam x 1000 kg/m3
= 140.881,25 kg

c) Debit Padatan

Diketahui :

Berat padatan material (msol) = 2382,38 kg/jam


Kerapatan partikel padatan (ρsol) = 1040 kg/m3

Ditanyakan : Vsol = ……?

Penyelesaian:

Vsol =
, /
=
/

= 0,000636 m3/detik

d) Debit Air

Diketahui :

Berat air (mwat) = 140.881,25 kg/jam


Massa jenis air (ρwat) = 1000 kg/m3

Ditanyakan : Vwat = ……?

Penyelesaian:

Vwat =
. /
,
= /

= 0,0391 m3/detik

e) Total Debit

Diketahui :

Debit padatan (Vsol) = 0,000636


m3/detik Debit air (Vwat) = 0,0391 m3/detik
Ditanyakan : Vtot = ……?

Penyelesaian:

Vtot = Vsol + Vwat


= 0,000636 m3/detik + 0,0391 m3/detik
= 0,04 m3/detik

f) Kecepatan Jatuh Sedimen (Vs)

Diketahui :

Percepatan gravitasi (g) = 9,8 m/s2


Specific Gravity (SG) = 2,4350
Diameter partikel (D) = 0,053 mm = 0,000053 m
Viskositas Kinematika (v) = 0,9048 x 10-6 m2/s

Ditanyakan : Vs = ……?

Penyelesaian:

g (SG − 1)D
Vs18v
=
, ( ,)( ,
)
=
,

,
= ,

= 24,3 x 10-4 m/s


= 0,00243 m/s

g) Luas Kolam Pengendap

Diketahui :

Debit total (Qtot) = 0,04 m3/detik


Kecepatan jatuh sedimen (Vs) = 0,00243 m/detik

Ditanyakan : A = ……?

Penyelesaian:
A = Qtot / Vs
. /
=
,/

= 16,396 m2

h) Dimensi Kolam Pengendap

Lebar (L) = 9 m (jangkauan gali horizontal efektif excavator PC.200)

Kedalaman (h)= 4 m (jangkauan gali vertical efektif – 1 meter)

Sehingga, panjang kolam pengendap (P) dengan diketahui luas kolam

pengendap (A) sebesar 16,396 m2 adalah:

P = A/L
= 16,396 m2 / 9 m
= 1,822 m = 2 m (Untuk 1 pond)

P = A/L
= 16,396 m2 x 3 / 9 m
= 5,46 m = 6 m (Untuk 3 pond)

Sehingga Volume kolam pengendap (Volpond) adalah:

Volpond =PxLx h
=2mx9mx4m
= 72 m3 (Untuk 1 pond)

Volpond =PxLx h
= 3 (2 m x 9 m x 4 m)
= 216 m3 (Untuk 3 pond)

i) Waktu yang Dibutuhkan Partikel untuk Mengendap

Diketahui :

Kedalaman kolam pengendap (h) =4m


Kecepatan jatuh sedimen (v) = 0,00243 m/detik

Ditanyakan : tv = ……?

Penyelesaian:
tv = h/v
=
, /

= 1649,1318 detik

j) Waktu yang Dibutuhkan Partikel untuk Keluar

Diketahui :

Tinggi kolam pengendap (h) = 4 m


Lebar kolam pengendap (L) = 9 m
Panjang kolam pengendap (P) = 2 m
Total volume yang dialirkan per detik (Qtotal) = 0,04 m3/detik

Ditanyakan : tv = ……?

Avert = L x h
=9mx4m
= 36 m2

vh = Qtotal/Avert
, /
=
= 0.001111 m/detik

Maka,

th = P/vh
=
. /
= 1800,18 detik
= 30,173498 menit (Untuk 1 pond)

th = P/vh
=
. /
= 5400 detik
= 90 menit (Untuk 3 pond)
k) Persentase Pengendapan

Diketahui:

Waktu pengendapan partikel (tv) = 1649,1318 detik


Waktu yang dibutuhkan partikel untuk keluar (th) = 1800,18 detik

Ditanyakan : %Sed = ……?

Penyelesaian:

th
%Sed = x 100%
th + ,
tv
= x 100%
, ,

= 52,19 % (Untuk 1
pond)

th
%Sed = x 100%
th + tv x 100%
=
,

= 76,61 % (Untuk 3
pond)

l) Volume Padatan Terendapkan

Diketahui:

Volume padatan per detik (Vsol) = 0,000636


m3/detik Persentase pengendapan (%Sed) = 52,19% =
0,5219

Ditanyakan : Volpt = ……?

Volpt = Vsol x %Sed x (24 jam/hari x 3600 detik/jam)


= 0,000636 m3/detik x 0,5219 x 86.400 detik/hari
= 28,677 m3/hari (Untuk 1 pond)
=0,0003 m3/detik (Untuk 1 pond)

Volpt = Vsol x %Sed x (24 jam/hari x 3600 detik/jam)


= 0,000636 m3/detik x 0,7661 x 86.400 detik/hari
= 42,095 m3/hari (Untuk 3 pond)
=0,0005 m3/detik (Untuk 3 pond)
m) Waktu Pengerukan Kolam Pengendap

Diketahui:

Volume kolam pengendap (Volpond) = 72 m3


Volume padatan yang berhasil diendapkan (Volpt) = 28,67
m3/hari

Ditanyakan : tkeruk = ….?

Penyelesaian :

t =

=
, /
= 2,5 hari
= 3 hari (Untuk 1 pond)

t =

=
, /
= 5,13 hari
= 5 hari (Untuk 3 pond)
100

Lampiran 6. Layout Rancangan Sistem Penyaliran

Gambar 14. Layout Sistem Penyaliran Tampak Atas


101

Gambar 15. Layout Rancangan Kolam Pengendap Tampak Samping


102

Lampiran 7. Kondisi Tata Guna Lahan Blok B PT. SJSU

Gambar 16. Foto Citra Kondisi Blok B


103

Lampiran 8. Dokumentasi Pengujian Laboratorium

Gambar 17. Pengujian Specific Gravity

Gambar 18. Pengujian Diameter Partikel


Gambar 19. Pengujian Viskositas Dinamis

8 ml

Gambar 20. Pengujian Perbandingan Padatan dan Air


105

Lampiran 9. Perhitungan Reduced Mean (Yn) dan Reduced Standard


Deviation
(Sn)
 Reduced Mean (Yn)

m Yn
1 3,417
2 2,708
3 2,284
4 1,979
5 1,738
6 1,537
7 1,363
8 1,209
9 1,070
10 0,943
11 0,825
12 0,714
13 0,610
14 0,510
15 0,413
16 0,320
17 0,2294
18 0,1404
19 0,0523
20 0,0355
21 -0,1235
22 -0,2125
23 -0,3035
24 -0,3974
25 -0,4960
26 -0,6013
27 -0,7167
28 -0,8482
29 -1,0083
30 -1,2337
Jumlah 16,156
Rata-rata (Y) 0,5385
 Reduced Standard Deviation (Sn)

m Yn (Yn-Y)2
1 3,417 8,286
2 2,708 4,707
3 2,284 3,047
4 1,979 2,076
5 1,738 1,438
6 1,537 0,996
7 1,363 0,680
8 1,209 0,450
9 1,070 0,283
10 0,943 0,164
11 0,825 0,082
12 0,714 0,031
13 0,610 0,005
14 0,510 0,001
15 0,413 0,016
16 0,320 0,048
17 0,2294 0,096
18 0,1404 0,159
19 0,0523 0,236
20 0,0355 0,253
21 -0,1235 0,438
22 -0,2125 0,564
23 -0,3035 0,709
24 -0,3974 0,876
25 -0,4960 1,070
26 -0,6013 1,299
27 -0,7167 1,576
28 -0,8482 1,923
29 -1,0083 2,392
30 -1,2337 3,141
Jumlah 16,156 37,039
Y 0,5385 1,277
Sn 1,13014

Anda mungkin juga menyukai