d. Memilih Kata-Kata
Prinsip-prinsip dalam memilih kata-kata:
1. Kata-kata harus jelas:
a. Gunakan istilah yang spesifik (tertentu)
b. Gunakan kata-kata sederhana
c. Hindari istilah-istilah teknis
d. Berhemat dalam penggunaan kata
e. Gunakan perulangan atau pernyataan kembali gagasan yang sama dengan kata yang berbeda
2. Kata-kata harus tepat
3
Jalaluddin Rakhmat, hal. 45.
a. Hindari kata-kata klise
b. Gunakan bahasa pasaran secara hati-hati
c. Hati-hati dalam penggunaan kata-kata pungut (serapan)
d. Hindari vulgarisme dan kata-kata yang tidak sopan
e. Jangan menggunakan penjulukan
e. Memperkenalkan diri
Pidato yang pembukaannya memperkenalkan diri biasanya dilakukan oleh pembicara yang masuk
kelingkungan baru untuk menjelaskan masalah tertentu. Biasanya pejabat baru atau petugas baru
yang belum dikenal oleh semua atau sebagian besar pendengar.
f. Menyampaikan gambaran umum
Membuka pidato dengan cara ini sangat mudah dilakukan. Hanya menyampaikan persoalan umum
berkaitan dengan isi pidatonya. Cara ini dapat meningkatkan kesiapan pedengar dalam menerima isi
pidato karena pikiran pedengar sudah diarahkan melalui gambaran umum.
g. Menyebutkan faktor pendengar
Cara ini tidak sulit karena yang dilakukan pembicara hanya “membaca” keadaan pendengar,
terutama keadaan yang baik, mulai dari penampilan, pakaian, kehadiran, semangat, sampai pada
sorot matanya.
h. Menyebut contoh nyata
Peristiwa nyata yang berhubungan dengan isi pidato boleh digunakan untuk membuka pidato,
asalkan pembicara mengetahui persis peristiwanya.
i. Menyampaikan kutipan
Kutipan pendapat tokoh, peribahasa, semboyan, buku, dan kitab suci dapat digunakan untuk
membuka pidato. Tetapi yang ada kaitannya dengan isi pidato.
j. Melibatkan peserta
Dalam situasi yang tidak terlalu resmi dan memungkinkan, pembicara dapat membuka pidato dengan
melibatkan pendengar. Melibartkan peserta dapat berupa tanya jawab, menyampaikan pendapat,
menunjukkan sesuatu, atau hanya sekedar berdiri sebentar. 4
4
Wiyanto, Usul, Terampil Pidato, (Jakarta: PT Grasindo, 2001) hlm.23-42
Setelah tema ditentukan, penulis harus menentukan tujuan pidato. Hal ini penting karena tujuan
pidato akan berpengaruh pada penggunaan gaya bahasa serta gaya pembawaan.
3. Menentukan dan menulis poin penting dalam pidato
Poin penting ini bertujuan agar penulis lebih dipermudah dalam menyusun kerangka pidato. Poin
penting ini bisa mencakup hal yang ingin lebih ditekankan atau menjadi fokus utama.
4. Menyusun kerangka teks pidato
Setelah poin penting dalam pidato, penulis harus menyusun kerangka teks pidato. Kerangka ini
terdiri atas pendahuluan, isi dan penutup. Semuanya harus disusun secara terstruktur agar penulis
atau orator mudah dalam berpidato.
5. Mengembangkan kerangka menjadi pidato yang utuh
Pembuatan kerangka pidato harus diikuti dengan pengembangannya. Misalnya dengan pemilihan dan
penggunaan bahasanya.
12. Tahap Penyampaian Pidato
a. Membangun Kepercayaan Diri dan Kredibilitas
Kecemasan Berkomunikasi (KK)
Banyak istilah yang dipakai untuk menamai gejala ini, antara lain demam panggung (stage fright),
kecemasan berbicara (speech anxiety), atau stres kerja (performance stress). Anda mengalami gejala ini bila
harus bekerja di bawah pengawasan orang lain.
Gejala-gejala kecemasan berkomunikasi:
a. Detak jantung yang cepat
b. Telapak tangan atau punggung berkeringat
c. Nafas terengah-engah
d. Mulut kering dan sukar menelan
e. Ketegangan otot dada, tangan, leher, dan kaki
f. Tangan atau kaki bergetar
g. Suara bergetar dan parau
h. Berbicara cepat dan tidak jelas
i. Tidak sanggup mendengar atau konsentrasi
j. Lupa atau ingatan hilang
Menurut para psikolog, semua gejala itu adalah reaksi alamiah kepada ancaman. Begitu makhluk
menghadapi ancaman, ia bersiaga untuk fight (melawan) atau flight (melarikan diri). Sistem syaraf
simpatetisnya berguncang.
Adrenalin dan kadar gula dalam pembuluh darah meningkat. Tiba-tiba dalam tubuh ada tumpukan
energi. Semuanya adalah upaya tubuh untuk menyesuaikan diri dengan ancaman. Perilaku dalam daftar
tersebut disebut sebagai sindrom mekanisme penyesuaian (general adaptation syndrome, GAS).
Tidak mungkin kita menghilangkan GAS, tetapi kita dapat mengendalikannya. Tumpkan energi itu
dapat disalurkan dalam pembicaraan kita, sehingga suara menjadi bagus dan berwibawa, gerakan menjadi
dinamis dan mantap.
Sebab-Sebab Kecemasan Berkomunikasi
Sebab-sebab terjadinya KK antara lain:
a. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan, tidak dapat
memperkirakan yang diharapkan pendengar. Ia menghadapi sejumlah ketidakpastian. Untuk
mengobati sebab pertama, latihan dan pengalaman sangat menentukan. Pengetahuan akan retorika
akan memberikan kepastian untuk memulai, melanjutkan, dan mengakhiri pembicaraan.
b. Tahu akan dinilai. Berhadapan dengan penilaian akan membuat orang nervous.
c. Berhadapan dengan situasi yang asing dan tidak siap. Misalnya diminta berbicara di depan khalayak
yang tidak dikenal.
Metode Mengendalikan KK
Ada dua metode mengendalikan KK, yaitu:
a. Metode jangka panjang, ketika kita secara berangsurangsur mengembangkanketerampilan
mengendalikan KK dengan sebab-sebab yang telah diuraikan sebelumnya. Hal ini memerlukan
proses belajar yang panjang.
b. Metode jangka pendek, yaitu ketika kita harus segera mengendalikan KK pada waktu (atau sebelum)
menyampaikan pidato. Metode ini ibarat pintu darurat (emergency door) ketika pesawat dalam
keadaan bahaya.
Kredibilitas
Apa yang disebut sebagai ethos oleh Aristoteles disebut sebagai kredibilitas oleh para pakar
komunikasi sekarang. Kredibilitas tidak melekat pada diri pembicara, tapi terletak pada persepsi khalayak
tentang pembicara. Karena itu seorang profesor senior sangat dihormati di fakultasnya, tetapi tidak dikenal
di lingkungan pedagang pasar.
Jenis-jenis kredibilitas:
a. Initial credibility (kredibilitas awal), yaitu kredibilitas yang timbul pada saat awal berpidato.
b. Derived credibility, atau kredibilitas yang timbul selama pembicara berpidato.
c. Terminal credibility (kredibilitas akhir), yaitu kredibilitas yang diperoleh setelah pembicara
berpidato.
Karena kredibilitas itu sama dengan persepsi khalayak tentang komunikator, maka kredibilitas dapat
dibentuk atau dibangun. Dari mana kita membangun kredibilitas komunikator? Dari informasi orang lain
tentang dia, dari sahabat, media massa, sumber lain yang dapat dipercaya. Selain itu juga dari pengamatan
langsung terhadap komunikator. Komunikator juga dapat membangun kredibilitasnya dengan meminta
bantuan orang lain, atau merekayasa perilaku, termasuk cara penyampaian pidatonya, sesuai citra yang
diinginkan.
Membangun Kredibilitas
Untuk membangun kredibilitas dapat dilakukan dengan cara membangun komponen kredibilitas:
1. Otoritas (keahlian). Otoritas dibentuk karena orang melihat latar belakang pendidikan dan
pengalaman. Prestasi dan penghargaan dapat dimasukkan ke dalam curriculum vitae untuk
meningkatkan kredibilitas. Selain itu juga dapat dengan cara gilt by association (hubungan dengan
orang yang ahli dengan topik yang dibahas). Sebutkan juga seminar-seminar dan diskusi-diskusi
yang pernah Anda ikuti. Atau dalam pembicaraan kutiplah sumber-sumber yang memiliki otoritas.
2. Good sense. Pendengar menyukai (dan akhirnya menerima) gagasan yang dikemukakan oleh
pembicara yang dipandang ojektif. Anda dapat membangun citra objektif ini dengan: 1)
menggunakan pendekatan rasional dan argumentasi yang logis. 2) menghindari penjulukan, 3)
menghindari sikap tidak jujur dalam menyajikan informasi yang sudah sangat dikenal khalayak. 4)
tidak menggurui dan menunjukkan penghargaan kepada pendapat yang berbeda. Perlakukan
pendengar sebagai manusia, bukan sebagai objek yang Anda menipulasikan.
3. Good character (akhlak yang baik), termasuk di dalamnya kejujuran, integritas, dan ketulusan.
Hadirin akan tertarik pada tokoh-tokoh yang jujur, yang tidak mudah dibeli, yang telah berbuat
banyak untuk masyarakatnya. Saat Anda bicara bukan hanya menyampaikan yang Anda ketahui,
tetapi juga seluruh kepribadian Anda. Karena itu good character dibangun melalui sejaah yang
panjang. Tidak ada resep yang baik ntuk memperoleh good character selain upaya untuk selalu
meningkatkan kualitas diri. Bila sulit dipertahankan, paling tidak peliharalah ia ketika berbicara.
Sajikan informasi dengan cermat dan jelas.Gunakan katakata yang sopan. Hindari omongan yang
kasar, vulgar, atau menyinggung perasaan. Tunjukkan juga hubungan Anda dengan orang-orang
yang akhlaknya baik (gilt by association). Tampakkan ketidaksenangan Anda pada orang-orang yang
berperilaku jelek, supaya Anda tidak tercemar karena hubungan (guilt by association).
4. Good will (niat yang baik). Para pendengar akan tertarik kepada Anda bila mereka tahu bahwa Anda
berbicara untuk kepentingan mereka. Anda bukan berbicara kepada (speak to) mereka, tetapi
berbicara bersama (speak with) mereka. Anda dapat membangun good will melalui proses ko-
orientasi. Anda mencari kesamaan antara Anda dengan khalayak dalam perbuatan, sikap, dan nilai.
Ciptakan kesan bahwa keperluan mereka adalah keperluan Anda, kerugian mereka adalah kerugian
Anda. Satukan Anda secara psikologis dengan seluruh khalayak Anda. Selain itu good will juga bisa
dibangun dengan menunjukkan keterlibatan pribadi (komitmen) Anda kepada topik dan kebutuhan
khalayak. Komitmen dapat ditunjukkan dengan kesediaan untuk memberikn informasi tambahan,
bila khalayak memerlukan. Anda siap menjawab pertanyaan, memasok informasi, dan memperjelas
uraian.
5. Dinamisme. Dinamisme adalah ekspresi fisikal dari komitmen psikologis Anda terhadap topik. Bila
Anda memandang serius pembicaraan Anda, suara dan gerak Anda juga kelihatan serius. Semangat,
begitu juga kelesuan, mudah menular. Bila pembicara berbicara dengan penuh semangat, pendengar
pun akan mendengarkan dengan penuh semangat pula. Bila ia lesu dan kelihatan capek, pendengar
pun akan dilanda kebosanan.
Secara singkat, dalam membangun kredibilitas kita perlu mengetahui bagaimana orang lain menilai
kita. Glenn R. Capp dan Richard Capp, Jr. Dalam Basic Oral Comunication dalam Rakhmat (2007),
menjelaskan lima cara bagaimana Anda dinilai orang lain:
1. Anda dinilai antara lain dari reputasi yang mendahului Anda. Apa yang sudah Anda lakukan,
kontribusi Anda, jasa-jasa Anda memperindah atau menghancurkan reputasi Anda.
2. Anda dinilai antara lain dari perkenalan tentang Anda. Itulah sebabnya pada seminar-seminar
biasanya pembicara dibacakan curriculum vitae-nya sebelum mulai berbicara.
3. Anda dinilai antara lain dari apa yang Anda ucapkan. Bila Anda berbicara tentang hal-hal yang
kotor, tidak berarti, atau rendah, seperti itulah kualifikasi Anda. Bila Anda mengungkapka hal-hal
yang bermutu, gagasan yang matang, pikiran yang cemerlang, khalayak akan menilai Anda sebagai
orang yang pandai.
4. Anda dinilai antara lain dari cara Anda berkomunikasi. Bila Anda berbicara dengan lancar,
mengungkapkan gagasan dengan tenang dan mantap, penuh keyakinan, hadirin akan membentuk
kesan yang baik tentang Anda.
5. Anda dinilai antara lain dari pernyataan-pernyataan yang menciptakan ethos. Misalnya 1) pernyataan
mengenai sumber-sumber yang Anda kutip, 2) pernyataan yang menunjukkan keterlibatan Anda
dalam studi yang relevan dengan pembicaraan, 3) pernyataan yang mengacu pada posisi,
penghargaan, prestasi yang Anda capai, 4) pernyataan yang menunjuk pada peristiwa, orang, atau
tempat penting yang berkaitan dengan topik Anda.
b. Teori-Teori Humor
Teori humor jumlahnya sangat banyak, tidak satu pun yang persis sama dengan yang lainnya, tidak
satu pun juga yang bisa mendeskripsikan humor secara menyeluruh, dan semua cenderung saling
terpengaruh (Setia-wan, 1990). Dewasa ini, pengertian humor yang paling awam , ialah sesuatu yang lucu,
yang menimbulkan kegelian atau tawa. Humor identik dengan segala sesuatu yang lucu, yang membuat
orang tertawa. Pengertian awam tersebut tidaklah keliru. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1982), seperti yang
dinyatakan oleh Setiawan (1990), “Humor itu kualitas untuk menghimbau rasa geli atau lucu, karena
keganjilannya atau ketidakpantasannya yang menggelikan; paduan antara rasa kelucuan yang halus di dalam
diri manusia dan kesadaran hidup yang iba dengan sikap simpatik”.
Lebih lanjut, teori humor dibagi dalam tiga kelompok (Manser, 1989), meliputi: (1) teori superioritas
dan meremehkan, yaitu jika yang menertawakan berada pada posisi super; sedangkan objek yang
ditertawakan berada pada posisi degradasi (diremehkan atau dihina). Plato, Cicero, Aristoteles, dan Francis
Bacon (dalam Gauter, 1988) mengatakan bahwa orang tertawa apabila ada sesuatu yang menggelikan dan di
luar kebiasaan. Menggelikan diartikan sebagai sesuatu yang menyalahi aturan atau sesuatu yang sangat
jelek. Lelucon yang menimbulkan ketertawaan, juga mengandung banyak kebencian. Lelucon selalu timbul
dari kesalahan/kekhilafan yang menggoda dan kemarahan; (2) teori mengenai ketidakseimbangan, putus
harapan, dan bisosiasi. Arthur Koestler (Setiawan, 1990) dalam teori bisosiasinya mengatakan bahwa hal
yang mendasari semua bentuk humor adalah bisosiasi, yaitu mengemukakan dua situasi atau kejadian yang
mustahil terjadi sekaligus. Konteks tersebut menimbulkan bermacam-macam asosiasi; (3) teori mengenai
pembebasan ketegangan atau pembebasan dari tekanan. Humor dapat muncul dari sesuatu kebohongan dan
tipuan muslihat; dapat muncul berupa rasa simpati dan pengertian; dapat menjadi simbol pembebasan
ketegangan dan tekanan; dapat berupa ungkapan awam atau elite; dapat pula serius seperti satire dan
murahan seperti humor jalanan. Humor tidak mengganggu kebenaran.
Fuad Hasan dalam tulisan Humor dan Kepribadian (1981) membagi humor dalam dua kelompok
besar, yaitu: (1) humor pada dasarnya berupa tindakan agresif yang dimaksudkan untuk melakukan
degradasi terhadap seseorang; (2) humor adalah tindakan untuk melampiaskan perasaan tertekan melalui
cara yang ringan dan dapat dimengerti, dengan akibat kendornya ketegangan jiwa.
Arwah Setiawan (dalam Suhadi, 1989), mengatakan sebagai berikut: “Humor itu adalah rasa atau
gejala yang merangsang kita untuk tertawa atau cenderung tertawa secara mental, ia bisa berupa rasa, atau
kesadaran, di dalam diri kita (sense of humor); bisa berupa suatu gejala atau hasil cipta dari dalam maupun
dari luar diri kita. Bila dihadapkan pada humor, kita bisa langsung tertawa lepas atau cenderung tertawa saja;
misalnya tersenyum atau merasa tergelitik di dalam batin saja. Rangsangan yang ditimbulkan haruslah
rangsangan mental untuk tertawa, bukan rang- sangan fisik seperti dikili-kili yang mendatangkan rasa geli
namun bukan akibat humor”
Persoalan humor oleh beberapa orang dianggap sebagai persoalan teori estetik , yang dicoba untuk
diterangkan lewat berbagai teori tentang humor. Teori humor mencoba menerangkan bagaimana suatu hal
dapat membangkitkan tawa atau geli pada seseorang.
Seperti yang diungkapkan Setiawan (1990) dalam majalah Astaga, teori humor digolongkan menjadi
tiga macam, yaitu: (1) teori keunggulan; seseorang akan tertawa jika ia secara tiba-tiba memperoleh
perasaan unggul atau lebih sempurna dihadapkan pada pihak lain yang melakukan kesalahan, kekurangan
atau mengalami ke-adaan yang tidak menguntungkan. Kita dapat tertawa terbahak-bahak pada waktu
melihat pelawak terjatuh, terinjak kaki temannya serta melakukan berbagai kekeliruan dan ketololan; (2)
teori ketaksesuaian; perasaan lucu timbul karena kita dihadapkan pada situasi yang sama sekali tak terduga
atau tidak pada tempatnya secara mendadak, sebagai perubahan atas situasi yang sangat diharapkan.
Harapan dikacaukan, kita dibawa pada suatu sikap mental yang sama sekali berbeda. Sebagai contoh adalah
rasa humor yang timbul karena kita melihat kartun yang menggambarkan seseorang yang sedang mancing.
c. Teknik-Teknik Humor
Teknik-teknik humor adalah sebagai berikut;
1. Puns
Puns yaitu humor dengan mempermainkan kata-kata yang memiliki makna ganda. Contoh, cerita
seseoang gadis cantik yang mendambakan suami yang tidak harus kaya, tapi “cukup” saja, yaitu
cukup satu rumah, cukup satu mobil BMW, cukup umrah ke tanah suci setiap tahun,, contoh lain,
“Dengan secangkir, ia berhasil membuat seratus kopi”
Puns adalah teknik mempermainkan kata-kata yang mempunyai makna ganda. Saya pernah
memberikan contohnya pada kata “conceive” dan “deliver” dalam bahasa inggris. Dalam bahasa
Indonesia, kita memiliki banyak sekali kata yang seperti itu.35 Puns atau paranomasi adalah kiasan
dengan mempergunakan kemiripan bunyi, ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada
kemiripan bumyi, tetapi ia terdapat perbedaan besar dalam maknanya.5
2. Ironi
Ironi yaitu humor dengan mennggunakan kata-kata untuk menyampaikan makna yang bertentagan
dengan makna harfiahnya. Misalnya, tulisan Emha Ainun Najib untuk mengkritik sebuah aturan atau
larangan atau keharusan berjenggot di sebuah kantor. Dia menulis “…negara yang santun kepada
5
Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012) h.134
warganya memang perlu mengurusi nasib semua bagian kehidupan diwilayahnya sampai yang
sekecil-kecilnya. Kita butuh fatwa jenggot, fatwa panjang pendeknya kuku, fatwa tentang gincu,
merek apa yang harus dipakai...”. Ironi ialah mengatakan sesuatu dengan cara mengatakan
sebaliknya, misalnya: Benar-benar pandai engkau, naik sepeda sekecil itu tidak bisa. (maksudnya,
semula dikatakan pandai tetapi akhirnya dikatakan tidak bisa).
3. Parodi
Parodi (berasal dari bahasa yunani “para-”, disampingkan dan “- ode”, lagu) adalah sejenis
komposisi dimana gaya suatu karya (seperti prosa, puisi atau prosa liris) yang serius ditiru dengan
maksud melucu. Aristophanes dikenal sebagai parodis besar karena menggunakan karya Aeschylus
dan Euripides sebagai sumber parodinya. Dalam pidato rekreatif, parodi dapat berupa peniruan suara
dan gaya bicara seorang tokoh (seperti kelompok Warkop yang meniru acara Dunia dalam Berita
TVRI) atau peniruan verbal terhadap karya sastra atau karya-karya tulis yang serius. Parodi yaitu
humor dengan menyampaikan sebuah karya misalnya prosa, puisi, lagu dan sebagainya yang serius
tapi ditirukan untuk melucu.6
d. Organisasi Pesan
Teknik satu pokok
a. Kisahkan cerita atau berikan ilustrasi
b. Tunjukkan gagasan pokok atau pandangan yang menajdi pijakan untuk mempersatukan rincian
pembicaraan Anda
c. Ikuti dengan serangkaian cerita dan ilustrasi tambahan.
d. Tutup dengan mengulang kembali gagasan utama yang telah Anda jelaskan
6
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2015), h. 181