TENAGA KEPERAWATAN
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah subhanahu wata’ala karena berkat
Rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Penerapan Pelayanan Islam
Sebagai Tenaga Keperawatan pada Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes
Muhammadiyah Palembang dapat diselesaikan dengan baik.
Tim penyusun dalam hal ini telah berupaya untuk menyelesaikan makalah
Penerapan Pelayanan Islam Sebagai Tenaga Keperawatan pada Program Ilmu Keperawatan
yang penugasannya sesuai dengan perencanaan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapankan
demi sempurnanya makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua mengenai Penerapan Pelayanan
Islam Sebagai Tenaga Keperawatan.
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hasil penelitian Maulana Pandu, (2010) Mayoritas perawat Rumah Sakit Islam
Surakarta mengalami kepuasan dalam bekerja. Namun demikian kepuasan kerja yang
terjadi pada perawat yang menerapkan keperawatan islami belum dapat dijelaskan. Hal
ini bisa berakibat pelayanan keperawatan banyak berdasar pada aliran pemikiran
positivism dan pragmatism yang disadari semakin menjauhkan manusia dari nilai etika
universal sehingga tugas keperawatan tidak melahirkan suatu rasa cinta dan kasih sayang
terhadap sesama makhluk Allah karena hanya lahir dari motivasi untuk tujuan jangka
pendek seperti sekedar melaksanakan kewajiban, motif mencari upah(Ridwan, 2010).
Kondisi tersebut mengakibatkan kepuasan kerja perawat masih kurang,
sedangkan kepuasan kerja yang dirasakan perawat, diharapkan berdampak terhadap
kualitas kinerja pelayanan keperawatan. Ketidakpuasan kerja perawat tersebut berkaitan
dengan faktor kebijakan dan imbalan (Dewi Basmala,2004). Perusahaan jasa seperti
rumah sakit peran sumber daya manusia sangat diperlukan karena ia berhubungan
langsung dengan kepuasan yang akan dirasakan pasien rumah sakit tersebut
(Novadilastri, 2004) dan (Fatati, 2005).
Kepuasan kerja perawat sangat menentukan kepuasan pasien karena perawat
yang mengalami kepuasan dalam pekerjaan akan menunjukkan perilaku dan aktivitas
yang citizenship seperti menolong sesama pekerja, menolong pasien dan lebih kooperatif
(Moorman (1993) dalam Luthans (1995). Pendapat ini didukung oleh Syptak, Masrland
dan Ulmer (1999) yang menyatakan terdapat korelasi langsung antara kepuasan perawat
dengan kepuasan pasien.
Menurut Robbins (2003) sikap karyawan yang positif dapat ditunjukkan karena
karyawan memiliki tingkat kepuasan kerja, sedangkan karyawan yang tidak puas dengan
pekerjaan akan menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan. Dampak Perbuatan
Ikhsan dalam asuhan keperawatan akan melahirkan : Niat yang Ikhlas, bahwa segala
sesuatu diniatkan hanyalah kepada Allah semata, sehingga dengan keikhlasan yang
bersih hanya kepada Allah akan memberikan barier (benteng) bagi pekerjaan kita agar
tetap konsisten dalam garis yang ditetapkan agama dan profesi. Pekerjaan yang rapi,
senantiasa berorientasi kepada kualitas yang tinggi karena merasakan segala sesuatu
berada dalam pengawasan Allah SWT. Penyelesaian hasil yang baik, artinya setelah
berbuat maksimal atas segala aktivitas, maka secara sunatullah melahirkan pekerjaan
yang baik atau memiliki kualitas yang tinggi. Ikhsan dalam melaksanakan asuhan
keperawatan bisa menimbulkan komunikasi terapeutik antara perawat dan pasien yang
bisa meningkatkan kualitas mutu pelayanan keperawatan yang berdampak pada kepuasan
pasien dan kepuasan perawat.
Asuhan Keperawatan Islami yang diberikan secara profesional oleh perawat
dengan kaidah Islam memberi kesempatan Umat Islam di negeri ini mendapatkan
pelayanan atau asuhan keperawatan berkualitas sesuai dengan keimanannya sebagai
seorang muslim. Bagi perawat muslim pemahaman dan pengamalan terhadap rukun iman
dan Islam belumlah cukup dikategorikan dalam insan yang sempurna dalam pengamalan
agamanya, jika belum diikuti oleh perbuatan yang ikhsan. Hal ini yang mendasari
implementasi asuhan keperawatan Islami selain berlandaskan pada keilmuan, karena
Islam mementingkan professionalisme, pengetahuan dan keterampilan. Perawat dalam
memberikan pelayanan keperawatan sebagai sebuah sistem, profesi perawat dengan
segala penguasaan ilmu pengetehuan, nilai iman dan islam yang dimiliki perawat
merupakan input. Pelaksanaan proses yang diiringi dengan rasa syukur atas nikmat
karunia Allah dan dimanifestasikan dalam sifat Ikhsan, yaitu rasa ikhlas dalam bekerja
sebagai ibadah dalam bentuk perilaku caring, profesional, ahlakul karimah dan kerjasama
yang baik, berdampak pada pelayanan keperawatan yang diberikan mampu menyentuh
esensi fitrah manusia. Kondisi demikian ini akan melahirkan rasa empati, pandai
bersyukur sehingga menghasilkan output kepuasan kerja perawat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pelayanan secara umum?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pelayanan secara umum?
3. Untuk mengetahui pelayanan islami terhadap pasien sejenis dan lain jenis?
Dienul Islam adalah sebuah agama yang mengatur segala seluk beluk yang ada di
kehidupan manusia dan semua ciptaan Allah. Adapun yang termasuk yang dibahas
adalah mengenai hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Di
dalam agama ini diatur bagaimana hubungan antar seorang wanita dan laki-laki
selayaknya menurut pandangan Islam.
Adapun perintah Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan
wanita pada (QS. Al-Ahzab : 53). Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis,
harus disampaikan dari balik tabir pembatas
Banyak pendapat dari berbagai ulama mengenai hubungan antara laki-laki dan wanita
ini, antara lain:
Asy Syaikh berkata, Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan
itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah.
Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan
taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka
KEHARAMAN berjabat tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua
syarat ini tidak terpenuhi - YAITU TIADANYA SYAHWAT DAN AMAN DARI
FITNAH – meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti
bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka
berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.Bahkan berjabat tangan dengan
anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang
disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang
terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan TIDAK BAIK hal ini
diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat,
mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang
menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat
atau tidak mempunyai hubungan yang erat). Dan yang lebih utama bagi seorang
muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya – IALAH TIDAK
MEMULAI BERJABAT TANGAN DENGAN LAIN JENIS. Tetapi, apabila diajak
berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Dari Ma'qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah bersabda: "Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang
diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus
menyentuh wanita yang tidak diperbolehkan baginya". [Thabrani dalam KitabAl-
Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad hasan].
Tidak hanya itu, dalam islam juga melarang agar kaum muslimin tidak berdua-duan
(LARANGAN BERKHALWAT) seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berpidato: “Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan
seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah seorang wanita
bepergian kecuali bersama mahramnya”. Tiba-tiba seorang lelaki bangkit berdiri dan
berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku pergi untuk menunaikan ibadah
haji, sedangkan aku terkena kewajiban mengikuti peperangan ini dan itu. Beliau
bersabda: “Berangkatlah untuk berhaji bersama isterimu”. [Bukhari, Muslim, Ibnu
Majah dan Ahmad]
Hendaklah para muslimah tidak duduk-duduk dengan lelaki lain, hanya untuk sekedar
ngobrol tanpa ada maksud dan tujuan tertentu. Duduk-duduk yang diperbolehkan
hanya bila ada kebutuhan yang bersifat syar’I (dibolehkan agama).
b. Melakukan inspeksi
Inspeksi ini sudah dilakukan sejak pasien memasuki kamar kerja dokter, cara dia
berjalan, normal atau dipapah, napas sesak, kemudian bentuk
badan,emosionalnya,dan lain-lain
c. Melakukan palpasi
Yaitu meraba tubuh dengan telapak tangan. Untuk ini perlulah pasien diminta untuk
membuka pakaiannya terutama bagian atas, kalau nanti ternyata diperlukan
pemeriksaan yang lebih lengkap barulah si pasien diminta untuk membuka celana,
gune pemeriksaan dalam, baik melalui vagina maupun anus (dubur).
d. Melakukan perkusi
Yaitu dengan memukulkan jari tengah kanan diatas jari tengah tangan kiri yang
diletakkan dibagian atas tubuh yang diperiksa. Pada perkusi akan menimbulkan suara
sehingga dapat ditentukan batas konfigurasi jantung, paru-paru dan sebagainya.
Apakah ada cairan di rongga dada atau pada rongga perut.
e. Melakukan aukultasi
Dengan alat pendengar stetoskop dokter dapat mendengar bunyi-bunyi udara di dalam
paru-paru, baik yang normal maupun yang tidak normal, bunyi jantung yang normal
dan yang tidak normal, bunyi bising, bunyi gerakan usus dan sebagainya.
f. Pemeriksaan Pelengkap
Dilakukan dengan alat-alat seperti Reflek hamer dan Elektro Cardiograf, alat yang
untuk mencatataktivitas jantung yang mengungkapkan peristiwa-peristiwa abnormal
yang tidak diketahui dengan cara-cara diatas.
g. Pemeriksaan Laboratorium
Permeriksaan darah untuk mengetahui sel-sel darah, berbagai macam zat-zat dalam
darah seperti gula, empedu , kolesterol, asam urat, dan sebagainya.
Pendek kata dengan berbagai cara pemeriksaan ini dokter mendapat bahan-bahan
dalam menegakkan suatu diagnosa penyakit.
ii. Dokter melihat dan meraba sebagian atau seluruh badan penderita, termasuk bagian
auratnya.
iii. Dokter yang memeriksa dapat sejenis dengan penderita yaitu dokter laki-laki
memeriksa penderita laki-laki atau tidak sejenis yaitu dokter wanita memeriksa
penderita laki-laki dan sebaliknya.
Tidak hanya itu, dalam pelayanan kesehatan masih banyak sekali tindakan medis yang
membuat antara tenaga medis dan petugas kesehatan terjadi interaksi yang
“melanggar” aturan agama yang telah kita bahas sebelumnya pada bagian A.
Contohnya seperti tindakan operasi. Tidak jarang para dokter atau pun perawatnya
yang berlawanan jenis dengan pasien. Belum lagi jika yang dilakukan operasi adalah
bagian vital dari pasien. Seperti operasi pengangkatan rahim ataupun operasi kanker
payudara. Atau tindakan pemasangan kateter( pemasangan suatu alat ke bagian alat
pengeluaran urin untuk mempermudah pasien buang air kecil). Dan disini lah terlihat
sekali peran tenaga medis yang membuat mereka harus melihat bahkan memegang
alat kelamin pasiennya, dan tidak jarang pula yang melakukan itu adalah tenaga medis
yang bukan muhrim dengan pasiennya.
Belum lagi pada kasus dokter kandungan yang dokternya adalah seorang laki-laki.
Dalam pemeriksaannya maupun proses kelahiran itu dokter tersebut akan sering
berinteraksi dengan kliennya,yaitu para wanita. Dan mungkin masih banyak
fenomena lain di tempat pelayanan kesehatan yang melibatkan interaksi antara tenaga
medis atau para medis dengan pasiennya yang bukan muhrim.
Islam menentukan bahwa setiap manusia harus menghormati manusia yang lainnya,
karena Allah sebagai khalik sendiri menghormati manusia, sebagai mana di jelaskan
Allah dalam surat Al Isra’ :70.
Maka dokter maupun paramedis haruslah tidak memaksakan sesuatu kepada pasien,
segala tindakan yang harus mereka kerjakan haruslah dengan suka rela dan atas
keyakinan.
Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah
Idzaa dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan
kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat menjadikan
sesuatu yang haram menjadi mubah’.
Berbicara mengenai kaidah fiqhiyyah tentang darurat maka terdapat dua kaidah yaitu
kaidah pokok dan kaidah cabang. Kaidah pokok disini menjelaskan bahwa
kemudharatan harus dilenyapkan yang bersumber dari Q.S Al- Qashash : 77),
contohnya meminum khamar dan zat adiktif lainnya yang dapat merusak akal,
menghancurkan potensi sosio ekonomi, bagi peminumnya kan menurunkan
produktivitasnya. Demikian pula menghisap rokok, disamping merusak diri
penghisapnya juga mengganggu orang lain disekitarnya. Para ulama menganggap
keadaan darurat sebagai suatu kesempitan, dan jika kesempitan itu datang agama
justru memberikan keluasan.
Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilakukan.
Umumnya darurat baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi
kritis dan tidak ada alternatif lain. Itu pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan
sebagainya.
Akan tetapi, untuk mencegah fitnah dan godaan syaitan maka sebaiknya sewaktu
dokter memeriksa pasien dihadiri orang ketiga baik dari keluarga maupun dari tenaga
medis itu sendiri.
Akan lebih baik lagi jika pasien diperiksa oleh dokter sejenis, pasien perempuan
diperiksa oleh dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh dokter laki-laki.
Karena dalam dunia kedokteran sendiri banyak cerita-cerita bertebaran di seluruh
dunia, di mana terjadi praktek asusila baik yang tak sejenis hetero seksual, maupun
yang sejenis homoseksual antara dokter dan pasien.
Di Indonesia, dalam fatwa MPKS disebutkan, tidak dilarang melihat aurat perempuan
sakit oleh seorang dokter laki-laki untuk keperluan memeriksa dan mengobati
penyakitnya. Seluruh tubuhnya boleh diperiksa oleh dokter laki-laki, bahkan
hinggagenetalianya, tetapi jika pemeriksaan dan pengobatan itu telah mengenai
genitalian dan sekiatarnya maka perlu ditemani oleh seorang anggota keluarga laki-
laki yang terdekat atau suaminya. Jadi, kebolehan berobat kepada lain jenis
dopersyaratkan jika yang sejenis tidak ada. Dalam hal demikian, dianjurakan bagi
pasien untuk menutup bagian tubuh yang tidak diobati. Demikian pula dokter atau
yang sejenisnya harus membatasi diri tidak melihat organ pasien yang tidak berkaitan
langsung
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Demikianlah penulisan makalah ini semoga ini bermanfaat bagi para pembaca
maupun penulis. Besar harapan semoga didalam makalah dengan materi kerakteristi
keperawatan Islami ini dapat menjadi refrensi bagi pembaca atau mahasiswa sebgai
calon perawat kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Pribadi, Ulung, 2012. Nilai-Nilai Agama dan Pelayanan Publik Studi Kasus di RS
Depkes RI. 2004. Pedoman Pelayanan Gawat Darurat. Jakarta. Dirjen yanmed Depkes RI.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.