Anda di halaman 1dari 43

PENINGKATAN MUTU FISIOLOGI DAN KESEHATAN

BENIH KACANG BAMBARA (Vigna subterranea (L.) Verdc.)


MELALUI PERLAKUAN MATRICONDITIONING PLUS
FUNGISIDA NABATI

ANNISA DHIENAR ALIFIA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peningkatan Mutu


Fisiologis dan Kesehatan Benih Kacang Bambara (Vigna subterranea (L) Verdc.)
melalui Perlakuan Matriconditioning plus Fungisida Nabati adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016

Annisa Dhienar Alifia


NIM A24110060
ABSTRAK
ANNISA DHIENAR ALIFIA. Peningkatan Mutu Fisiologis dan Kesehatan Benih
Kacang Bambara (Vigna subterranea (L) Verdc.) melalui Perlakuan
Matriconditioning plus Fungisida Nabati. Dibimbing oleh SATRIYAS ILYAS
dan CANDRA BUDIMAN.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendapatkan perlakuan benih dengan fungisida
nabati untuk mengendalikan cendawan secara in vitro tanpa menurunkan viabilitas
benih; (2) mengidentifikasi cendawan terbawa benih kacang bambara; dan (3)
mengembangkan perlakuan invigorasi benih plus fungisida nabati untuk
meningkatkan viabilitas, vigor, dan kesehatan benih. Penelitian dilaksanakan di
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, IPB. Benih yang digunakan merupakan lanras Sumedang dengan
daya berkecambah awal 78%. Identifikasi cendawan dilakukan dengan blotter
test. Uji daya hambat fungisida nabati terhadap cendawan dilakukan
menggunakan media potato dextrose agar. Uji fitotoksisitas dilakukan dengan
menanam benih pada media pasir untuk mengetahui konsentrasi fungisida nabati
yang tidak menurunkan viabilitas. Percobaaan invigorasi menggunakan rancangan
kelompok lengkap teracak satu faktor (invigorasi) dengan empat ulangan. Faktor
invigorasi terdiri atas matriconditioning, matriconditioning plus benomil 0,05%,
serta matriconditioning plus minyak cengkeh (eugenol 78%) 1% dan 2%.
Pemberian minyak cengkeh 0,1% - 0,3% secara in vitro menghambat total
pertumbuhan cendawan terbawa benih. Cendawan Rhizopus stolonifer, Aspergilus
flavus, dan Aspergilus niger teridentifikasi sebagai cendawan terbawa benih
kacang bambara. Matriconditioning plus minyak cengkeh 2% mulai menunjukkan
fitotoksisitas pada kecambah. Perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh
1% meningkatkan vigor benih dan menekan tingkat infeksi cendawan pada benih
kacang bambara dari 18,9% menjadi 6,7%.
Kata kunci: cendawan terbawa benih, invigorasi, minyak cengkeh, viabilitas,
vigor

ABSTRACT

ANNISA DHIENAR ALIFIA. Improving Physiological and Health Quality of


Bambara Groundnut (Vigna subterranea (L) Verdc.) Seed by Matriconditioning
plus Botanical Fungicide. Supervised by SATRIYAS ILYAS and CANDRA
BUDIMAN.

This research was aimed to: (1) determine in vitro treatment using botanical
fungicide to control fungal growth without decreasing seed viability; (2) identify
seedborne fungi on bambara groundnut seed; and (3) develop invigoration
treatment using matriconditioning plus natural fungicide to increase viability,
vigor, and seed health of bambara groundnut. The experiment was conducted at
Seed Science and Technology Laboratory, Department of Agronomy
and Horticulture, Bogor Agricultural University. Sumedang landrace was used
with 78% initial germination. Fungi identification was done by blotter test
method. Inhibition test of botanical fungicide was done on potato dextrose agar
medium. Phytotoxicity test was done by doing germination test on sand to
determine concentration of botanical fungicide that did not reduce seed viability.
Invigoration experiment was arranged in a complete randomized block design
with one factor (invigoration) and four replications. Invigoration treatments were
consisted of matriconditioning, matriconditioning plus synthetic fungicide, and
matriconditioning plus natural fungicide. In vitro treatment using clove oil
(eugenol 78%) 0,1% - 0,3% completely inhibited fungal growth. Rhizopus
stolonifer, Aspergilus flavus, and Aspergilus niger was identified as seedborne
fungi on bambara groundnut seed. Matriconditioning plus clove oil 2% started to
cause phytotoxicity on seedling. Matriconditioning plus clove oil 1% increased
seed vigor and reduced infection rate of fungi on bambara groundnut seed from
18,9% down to 6,7%.

Keywords: clove oil, invigoration, seedborne fungi, viability, vigor


PENINGKATAN MUTU FISIOLOGI DAN KESEHATAN
BENIH KACANG BAMBARA (Vigna subterranea (L.) Verdc.)
MELALUI PERLAKUAN MATRICONDITIONING PLUS
FUNGISIDA NABATI

ANNISA DHIENAR ALIFIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Judul Skripsi : Peningkatan Mutu Fisiologi dan Kesehatan Benih Kacang
Bambara (Vigna subterranea (L) Verdc.) melalui Perlakuan
Matriconditioning plus Fungisida Nabati
Nama : Annisa Dhienar Alifia
NIM : A24110060

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. Candra Budiman, S.P., M.Si.
Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Sugiyanta, M.Si.


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah mutu
benih, dengan judul Peningkatan Mutu Fisiologis dan Kesehatan Benih Kacang
Bambara (Vigna subterranea (L) Verdc.) melalui Perlakuan Matriconditioning
plus Fungisida Nabati.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. dan Bapak Candra Budiman, S.P., M.Si.
selaku pembimbing skripsi yang telah memberi bimbingan dan pengarahan
selama penelitian dan penulisan skripsi.
2. Dr. Ir. Faiza C. Suwarno, M.S. selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan dan motivasi.
3. Ibu Maryati Sari, S.P., M.Si. selaku penguji pada ujian skripsi.
4. Bapak Reno Subroto, S.P., Ibu Yuni Puspitasari, dan Akbar Ramadhani, yang
selalu memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan bagi penulis.
5. Seluruh teman-teman Agronomi dan Hortikultura angkatan 48 yang telah
memberi bantuan dan dukungan dalam menyelesaikan kegiatan penelitian,
serta seluruh pihak yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2016

Annisa Dhienar Alifia


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
METODE 6
Benih Kacang Bambara 6
Percobaan 1. Penentuan Periode Pengamatan Daya Berkecambah 6
Percobaan 2. Identifikasi Cendawan Terbawa Benih 7
Percobaan 3. Uji Daya Hambat Fungisida Nabati terhadap Cendawan 8
Percobaan 4. Uji Fitotoksisitas Fungisida Nabati terhadap Benih 8
Percobaan 5. Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Viabilitas dan Vigor
Benih 9
Percobaan 6. Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Kesehatan Benih 10
Pengamatan 10
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Percobaan 1. Penentuan Periode Pengamatan Daya Berkecambah 12
Percobaan 2. Identifikasi Cendawan Terbawa Benih 12
Percobaan 3. Uji Daya Hambat Fungisida Nabati terhadap Cendawan 14
Percobaan 4. Uji Fitotoksisitas Fungisida Nabati terhadap Benih 16
Percobaan 5. Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Viabilitas dan Vigor 17
Percobaan 6. Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Kesehatan Benih 19
KESIMPULAN DAN SARAN 21
Kesimpulan 21
Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 21
RIWAYAT HIDUP 25
DAFTAR TABEL
1 Jari-jari miselia cendawan yang dikulturkan pada media PDA plus
fungisida nabati 14
2 Pengaruh konsentrasi minyak cengkeh terhadap daya berkecambah
dan persentase benih mati 16
3 Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap viabilitas dan vigor benih 18
4 Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap tingkat infeksi cendawan 20

DAFTAR GAMBAR
1 Menentukan tinggi kecambah normal. 7
2 Persentase pertambahan kecambah normal (KN) per hari dan
kumulatif 12
3 Struktur cendawan 13
4 Pengaruh perlakuan fungisida nabati secara in vitro terhadap
pertumbuhan cendawan. 15
5 Struktur kecambah normal kacang bambara 12 hari setelah tanam (a),
dan benih yang mati akibat serangan cendawan (b) 16
6 Kecambah normal pada hari terakhir pengamatan. 18
7 Infeksi cendawan pada benih 4 hari setelah inkubasi di bawah sinar
NUV. 20
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kacang bambara (Vigna subterranea (L) Verdc) dikenal di dunia


internasional sebagai bambara groundnut. Redjeki (2007) melaporkan bahwa
tanaman kacang bambara dapat menghasilkan biji kering 0,77 ton ha-1 tanpa
pemupukan. Hasil panen di Afrika dilaporkan beragam dari 50 sampai 4.000 kg
ha-1. Hasil panen melebihi 3.000 kg ha-1 mampu didapatkan pada percobaan
kultivar yang diadakan oleh Agricultural Research Council (ARC) di
Potchefstroom, Afrika Selatan (Swanevelder, 1998). Hal tersebut membuktikan
bahwa produktivitas kacang bambara di Indonesia masih terbilang rendah.
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi kacang bambara adalah
dengan menggunakan benih yang bermutu. Karakter benih berkualitas tinggi
antara lain adalah vigor dan daya berkecambah yang tinggi. Karakter penting
lainnya adalah bebasnya benih dari penyakit seedborne (Ilyas, 2006). Benih dapat
terinfeksi dan terinfestasi organisme baik pada saat panen, processing, maupun
pada masa penyimpanan. Benih yang mengalami kondisi tersebut dapat ditangani
dengan perlakuan benih tertentu untuk memperbaiki mutunya (Agrawal, 1980).
Performa benih yang turun akibat terkena deraan cuaca lapangan saat panen,
kondisi simpan, ataupun serangan hama dan penyakit dapat ditingkatkan kembali
dengan invigorasi benih. Metode invigorasi yang dapat dilakukan adalah
matriconditioning. Matriconditioning adalah metode hidrasi benih terkontrol
menggunakan media padat lembab yang didominasi oleh kekuatan matriks untuk
memperbaiki pertumbuhan bibit (Khan et al. dalam Ilyas, 2012).
Matriconditioning dapat diintegrasikan dengan material lain dalam medianya.
Penambahan fungisida sintetis atau alami dapat meningkatkan indeks vigor dan
menurunkan tingkat infeksi cendawan Alternaria padwickii pada benih padi
varietas Ciherang (Astuti, 2009). Di lapangan, kacang bambara banyak diserang
oleh cendawan seperti Sclerotium spp. dan Fusarium spp. Perlakuan
matriconditioning plus fungisida dan Rhizobium juga terbukti meningkatkan
viabilitas dan vigor kacang bambara (Kusumawati dan Ilyas, 2015).
Cengkeh (Syzigium aromaticum) memiliki kandungan bahan kimia,
diantaranya yakni 87% eugenol dalam minyak yang berasal dari kuncupnya
(Alma et al., 2007). Matriconditioning plus minyak cengkeh 0,1% dapat
menghambat infeksi dari cendawan Aspergillus spp., Fusarium spp., dan
Penicillium sp. yang menyebabkan busuk benih dan busuk kecambah pada benih
kedelai (Fadhilah, 2003). Minyak cengkeh 0,06% atau 0,01% menghambat tingkat
infeksi Colletotrichum capsici pada benih cabai (Ilyas et al., 2015). Minyak
cengkeh mampu menghambat terbentuknya konidia cendawan Fusarium
oxysporum f.sp. vanillae (Tombe et al., 2012). Serai wangi (Cymbopogon nardus)
menghasilkan minyak esensial yang dikenal sebagai minyak citronella, dan
mengandung beberapa bahan aktif. Serai wangi kultivar Ceylon di Perancis
mengandung citronellal (42%), dan geraniol (20,8%) (Billerbeck et al., 2001).
Minyak serai wangi telah dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan
cendawan. Nilai effective concentration 50 (EC50) minyak serai wangi terhadap
cendawan Colletotrichum gloeosporioides adalah 986,64 ppm dalam kondisi in
2

vitro (Nugraheni et al., 2014). Pemberian 250 ml minyak serai wangi setiap satu
liter media potato dextrose agar menghambat 100% pertumbuhan Aspergillus
niger, Aspergillus flavus, dan Penicillium sp (Mahilrajan et al., 2014). Pengaruh
perlakuan matriconditioning yang diintegrasikan dengan minyak cengkeh dan
serai wangi terhadap mutu fisiologis dan kesehatan benih kacang bambara belum
dilakukan sebelumnya, sehingga perlu dipelajari.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu mendapatkan perlakuan benih secara in vitro


dengan fungisida nabati untuk mengendalikan cendawan tanpa menurunkan
viabilitas benih, mendeteksi patogen cendawan terbawa benih kacang bambara,
dan mengembangkan perlakuan invigorasi benih plus fungisida nabati untuk
meningkatkan viabilitas, vigor, dan kesehatan benih.

TINJAUAN PUSTAKA

Kacang Bambara

Kacang bambara (Vigna subterranean (L.) Verdc.) yang biasa disebut di


Indonesia sebagai kacang bogor merupakan tanaman yang berasal dari Afrika
Utara, dan menyebar melalui migrasi hingga ke Afrika Selatan (Swanevelder,
1998). Tanaman ini teradaptasi untuk lahan kering dan ditanam sebagai tanaman
sela dengan pola perkecambahan hipogeal. Kacang bambara ditanam untuk
konsumsi. Polong buahnya terbentuk di bawah permukaan tanah yang
mengandung biji (Berchie et al., 2010).
Kacang bambara merupakan tanaman legum tahunan dengan akar tunggang
yang kompak dan berkembang baik. Daun tanaman ini adalah trifoliat
(panjangnya ± 5 cm) serta memiliki petiol yang kaku dan dapat mencapai panjang
15 cm. Dasar batangnya berwarna ungu atau hijau. Bunga kacang bambara
berbentuk seperti kupu-kupu (papilionaceous) dan yang tumbuh dari ketiak daun
dengan tangkai yang berbulu. Ukuran polong tanaman ini sekitar 1,5 cm,
berbentuk bulat atau oval dengan kulit yang keriput. Dalam satu polong dapat
terbentuk satu sampai dua biji (Swanevelder, 1998).
Kacang bambara di negara-negara Afrika seperti Bostwana memiliki
kontribusi signifikan terhadap ketahanan pangan negara tersebut. Kacang bambara
beradaptasi dengan baik pada kondisi yang cukup kering seperti di Bostwana
(Batlang dan Shushu, 2007). Tanaman kacang bambara telah memasuki fase
generatif pada umur 42 hari setelah tanam (HST). Kacang bambara berbunga pada
70 HST. Biji untuk dijadikan benih dapat dipanen pada umur 122 HST (Hamid,
2009). Manggung et al. (2016) melaporkan benih kacang bambara aksesi Bogor
dan Sukabumi testa hitam mencapai masak fisiologis pada 112 HST, sementara
benih aksesi Sumedang testa hitam pada 128 HST, dan testa coklat 116 HST.
Kacang bambara aksesi Sukabumi dan Bogor testa hitam memiliki jumlah bobot
polong maupun biji pertanaman yang lebih tinggi dibandingkan aksesi Sumedang
testa hitam dan coklat.
3

Biji kacang bambara dapat dimakan mentah maupun dimasak ketika masih
muda. Biji yang tua berubah menjadi keras, sehingga butuh perebusan dahulu
sebelum diolah lebih lanjut. Kacang bambara di tempat asalnya dikonsumsi
sebagai makanan ringan, diolah menjadi tepung, sup, maupun bubur (Hillocks et
al., 2012). Benih dapat mengalami kerusakan dalam gudang penyimpanan jika
tidak terlindung dan kondisi gudang kurang bersih. Embaby dan Abdel-Galil
(2006) mengidentifikasi cendawan seperti Aspergillus niger, A. ochraceus, A.
parasiticus, A. flavus, Epicoccum sp., dan Fusarium oxysporum sebagai cendawan
yang terbawa benih legum. Infeksi cendawan pada kacang bambara juga dapat
muncul ketika ditanam di lapangan yang desebabkan oleh Sclerotium spp. dan
Fusarium spp. (Kusumawati dan Ilyas, 2015).

Mutu Fisiologis dan Kesehatan Benih

Mutu benih menyangkut mutu fisik, mutu genetis, mutu patologis, dan mutu
fisiologis. Mutu fisiologis benih di antaranya adalah viabilitas dan vigor benih.
Viabilitas benih merupakan kemampuan benih untuk berkecambah pada keadaan
yang sesuai (Agrawal, 1980). Viabilitas menunjukkan bahwa lot benih yang diuji
aktif secara metabolis dan memiliki enzim yang diperlukan sebagai katalis dalam
reaksi metabolis yang dibutuhkan untuk perkecambahan dan pertumbuhan
kecambah (Copeland dan McDonald, 2001).
Viabilitas benih kemungkinan berada pada posisi paling tinggi saat masak
fisiologis. Seiring waktu, viabilitas akan semakin menurun. Kecepatan penurunan
tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pengujian viabilitas benih dapat
dilakukan dengan berbagai metode seperti uji daya berkecambah, uji tetrazolium,
uji daya hantar listrik, dan lain-lain (Copeland dan McDonald, 2001).
Mutu fisiologis benih yang lain adalah vigor benih. Vigor merupakan
kemampuan benih atau bibit untuk tumbuh menjadi tanaman normal yang
berproduksi normal dalam keadaan yang suboptimum dan di atas normal dalam
keadaan yang optimum. Benih vigor juga mampu disimpan dalam kondisi simpan
yang suboptimum dan tahan disimpan lama dalam kondisi optimum. Tolok ukur
untuk menghitung vigor benih dapat dilihat dari beberapa parameter, sepeti
kecepatan tumbuh benih, keserempakan tumbuh, dll (Sadjad, 1993).
Vigor benih berhubungan dengan kecepatannya dalam tumbuh dan
mencapai ukuran tertentu. Benih yang vigor dari sudut pandang pengujian benih
merupakan penjumlahan dari semua atribut benih yang mampu berkembang baik
dalam kondisi lapangan yang bervariasi. Pengujian vigor dapat melalui uji
langsung maupun tidak langsung. Pengujian langsung menstimulasi ketahanan
terhadap konsidi lapangan yang tidak optimum pada skala laboratorium,
sedangkan uji tidak langsung mengukur atribut fisiologis tertentu pada benih. Uji
tidak langsung dapat dilakukan dengan mengetahui kecepatan pertumbuhan
kecambah melalui pengukuran bobot kering kecambah, kecepatan berkecambah,
dan pengukuran panjang kecambah (Agrawal, 1980).
Berchie et al. (2010) dalam penelitiannya mengenai perkecambahan kacang
bambara pada tahun 2006 dan 2009, menyatakan terlihat adanya
ketidakserempakan perkecambahan. Awal perkecambahan pada lanras yang sama
teramati mulai dari hari ke-7 hingga hari ke-15, bahkan lebih. Kecambah baru
muncul pada hari ke 21 setelah tanam pada beberapa kasus. Tertundanya
4

perkecambahan memiliki implikasi terhadap hari pembungaan, pembentukan


polong, dan hari masaknya. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap penangkapan
sumberdaya seperti cahaya matahari pada awal masa pertumbuhan melalui
pembentukan kanopi, penyerapan nutrisi, pengendalian gulma, dan hasil panen.
Sadjad (1993) menyatakan bahwa benih yang cepat tumbuh merupakan benih
yang lebih mampu menghadapi kondisi lapangan yang suboptimum, sehingga,
lama dan tidak serempaknya perkecambahan kacang bambara menunjukkan
rendahnya vigor benih tersebut.
Selain mutu fisiologis, benih yang bermutu tinggi juga dicirikan oleh mutu
kesehatan benihnya, antara lain bebas dari penyakit seedborne, yaitu infeksi yang
berasal dari tanaman yang menghasilkan benih terinfeksi. Patogen ini dapat
menginfeksi benih yang berkecambah, sehingga bibit tidak muncul. Apabila
perkecambahan tidak dipengaruhi tetapi patogen berkembang biak, kecambah atau
bibit yang dihasilkan akan tumbuh abnormal (Ilyas, 2012). International Rice
Research Institute (2016) menyebutkan kontaminasi terjadi melalui jumlah kecil
spora pada benih dari saat panen, penyimpanan, dan penanganan, ataupun spora
yang sudah berada di dalam struktur benih. Temperatur dan kelembaban yang
tinggi dapat mendorong pertumbuhan cendawan pada benih.
Kesehatan benih utamanya mengacu pada ada atau tidaknya organisme yang
dapat menyebabkan penyakit, seperti fungi, bakteri, virus, dan serangga.
Pengujian kesehatan benih penting untuk mendapatkan informasi mengenai status
kesehatan suatu lot benih. Informasi ini penting karena: penyakit berpotensi
mengurangi hasil panen; benih impor berpenyakit dapat mengintroduksi penyakit
baru; dan penyakit dapat menurunkan daya berkecambah maupun keragaan
tanaman (Agrawal, 1980). Kusumawati dan Ilyas (2015) melaporkan cendawan
Sclerotium spp. dan Fusarium spp. sebagai jenis cendawan yang menyerang pada
tanaman kacang bambara di lapangan.

Matriconditioning

Performa benih yang turun akibat terkena deraan cuaca lapangan saat panen,
kondisi simpan, ataupun serangan hama dan penyakit dapat ditingkatkan kembali
dengan invigorasi benih. Metode invigorasi yang dapat dilakukan adalah
matriconditioning. Matriconditioning adalah metode hidrasi benih terkontrol
menggunakan media lembab yang didominasi oleh kekuatan matriks untuk
memperbaiki pertumbuhan bibit (Khan et al. dalam Ilyas, 2012). Menurut Ilyas
dan Sopian (2013), perlakuan matriconditioning dilaksanakan dengan mencampur
benih, arang sekam (lolos saringan 0,5 mm), dan air dengan perbandingan
masing-masing 5:3:3. Ketiganya dicampur dan disimpan dalam ruang AC dengan
suhu rata-rata 25°C selama 3 hari, dan diaduk sekali setiap hari.
Matriconditioning dapat diintegrasikan dengan material lain dalam
medianya. Penambahan fungisida sintetis dan alami dapat meningkatkan indeks
vigor dan menurunkan tingkat infeksi cendawan Alernaria padwickii pada benih
padi varietas Ciherang (Astuti, 2009). Perlakuan matriconditioning plus fungisida
sintetis berbahan aktif benomil 50% terbukti efektif meningkatkan viabilitas dan
vigor benih kacang bambara (Kusumawati dan Ilyas, 2015). Penggunaan fungisida
alami berupa minyak cengkeh dan minyak serai wangi dapat menaikkan viabilitas
5

dan vigor benih cabai, serta menurunkan tingkat infeksi Colletotichum capsici 30-
70% selama periode simpan 6-12 minggu (Ilyas et al., 2015).

Minyak Cengkeh

Minyak dari tanaman cengkeh (Syzigium aromaticum) telah terbukti


memiliki kemampuan sebagai fungisida nabati. Minyak cengkeh mengandung
bahan kimia yang teruji mampu menghambat pertumbuhan cendawan. Salah satu
kandungan bahan kimia yang utama pada minyak cengkeh adalah eugenol.
Eugenol bekerja secara ekstensif melukai membran sel fungi. Selain itu, minyak
cengkeh dan eugenol menyebabkan berkurangnya ergosterol, yakni suatu
komponen spesifik dari membran sel fungi (Pinto et al., 2009).
Minyak cengkeh telah terbukti mampu menghambat pertumbuhan berbagai
jenis cendawan secara in vitro, seperti Rhizoctonia solani, Aspergillus flavus, A.
niger, Fusarium oxysporum, F. Equiseti, dan Pennicillium chrysogenum
(Kritzinger et al., 2002). Minyak cengkeh dengan konsentrasi 0.2% mampu
menghambat 87% pertumbuhan Phytium ultimum secara in vitro pada cabai merah
(Sari, 2006).
Minyak cengkeh dapat diaplikasikan bersamaan dengan perlakuan benih.
Matriconditioning plus minyak cengkeh 0.1% mampu menghambat infeksi dari
cendawan Aspergillus spp., Fusarium spp., dan Penicillium sp. yang
menyebabkan busuk benih dan busuk kecambah pada benih kedelai (Fadhilah,
2003). Minyak cengkeh pada konsentrasi 0.06% atau 0.01% menghambat tingkat
infeksi Colletotrichum capsici pada benih cabai (Ilyas et al., 2015). Minyak
cengkeh mampu menghambat terbentuknya konidia cendawan Fusarium
oxysporum f.sp. vanillae (Tombe et al., 2012).

Minyak Serai Wangi

Tanaman serai wangi (Cymbopogon nardus) menghasilkan minyak atsiri


yang umum disebut minyak citronella. Minyak serai wangi mengandung berbagai
bahan kimia yang memiliki atribut anti cendawan, seperti citronella, citronellol,
eugenol, citral, geraniol, linalool, dsb (Istianto dan Eliza, 2009; Pattnaik et al.,
1997). Serai wangi kultivar Ceylon di Perancis mengandung citronellal (42%),
dan geraniol (20.8%) (Billerbeck et al. 2001). Perbedaan kandungan bahan aktif
dapat disebabkan perbedaan letak geografis atau kondisi tumbuh. Minyak serai
wangi diduga menghambat pertumbuhan cendawan dengan cara menyebabkan
kerusakan pada sel maupun perubahan morfologi pada hifa (Istianto dan Eliza,
2009).
Secara in vitro, pengaplikasian minyak serai wangi terbukti mengurangi
pertumbuhan cendawan Colletotrichum sp. sebesar 62-64% pada hari ketujuh
(Istianto dan Eliza, 2009). Pada konsentrasi 25%, minyak serai wangi terbukti
menghambat 100% pertumbuhan cendawan Aspergillus niger dan Penicillium sp
(Mahilrajan et al. 2014). Nilai effective concentration 50 (EC50) minyak serai
wangi terhadap cendawan Colletotrichum gloeosporioides adalah 986.64 ppm
dalam kondisi in vitro (Nugraheni et al. 2014).
6

Minyak serai wangi juga telah diintegrasikan dengan perlakuan


matricontidioning untuk memperbaiki mutu benih. Matriconditioning plus minyak
serai wangi dengan konsentrasi 0.5-2.0% dapat menghambat pertumbuhan
Xanthomonas oryzae, Alternaria padwickii, Drechslera oryzae, dan Fusarium
moniliforme pada benih padi tanpa menyebabkan fitotoksisitas (Ilyas et al. 2007).

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih,


Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Penentuan periode pengamatan
daya berkecambah dilakukan pada bulan April 2015. Identifikasi cendawan
terbawa benih dilakukan pada bulan Maret 2015. Uji daya hambat fungisida
nabati terhadap cendawan dilakukan pada bulan Juni 2015. Uji fitotoksisitas
fungisida nabati terhadap benih dilakukan pada bulan September – Oktober 2015.
Perlakuan invigorasi untuk memperbaiki viabilitas, vigor, dan kesehatan benih
dilakukan bulan Februari hingga Maret 2016.

Benih Kacang Bambara

Benih kacang bambara yang digunakan merupakan lanras Sumedang yang


berasal dari petani di desa Pamulihan, kecamatan Situraja, kabupaten Sumedang,
Jawa Barat yang dipanen pada bulan April 2014. Benih disimpan dengan kondisi
masih di dalam polong dan dikemas dalam kotak kaleng besar di dalam gudang
dengan suhu kamar selama sekitar 11 bulan. Pada bulan Maret 2015, benih dibeli
dari petani dan dikirim ke Bogor masih dalam bentuk polong. Benih kemudian
disimpan di seed storage Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih dengan kondisi
ruangan ber-AC dengan suhu rata-rata 18°C. Benih tersebut memiliki daya
berkecambah sebesar 78% ketika diuji pada bulan April 2015.

Percobaan 1. Penentuan Periode Pengamatan Daya Berkecambah

Sebanyak 200 butir kacang bambara disiapkan dan dibagi dalam delapan
ulangan. Benih ditanam dalam media pasir di dalam boks plastik. Perawatan
dilakukan dengan menyiram benih setiap hari. Pengamatan dilakukan dengan
menghitung jumlah kecambah normal (KN) yang tumbuh setiap hari hingga tidak
ada kecambah yang tumbuh lagi. Penentuan waktu pengamatan hitungan pertama
(first count) untuk uji daya berkecambah didasarkan pada hari tercapainya
persentase pertambahan KN yang maksimum. Pengamatan hitungan terakhir (final
count) dilakukan pada hari pencapaian akumulasi persentase perkecambahan yang
maksimum (Sadjad, 1994).
Penentuan kecambah normal menurut ISTA (2014) merupakan kecambah
yang menunjukkan potensi tumbuh menjadi tanaman yang sempurna pada kondisi
yang optimal. Kecambah dikategorikan sebagai normal apabila memenuhi
beberapa kriteria yakni: (1) utuh, yaitu struktur esensial kecambah tumbuh dengan
baik, lengkap, seimbang, dan sehat; (2) kecambah dengan sedikit cacat, yaitu
7

kecambah dengan sedikit kecacatan pada struktur esensialnya, akan tetapi


pertumbuhannya cukup baik dibandingkan dengan kecambah utuh pada hasil uji
yang sama; dan (3) kecambah dengan infeksi sekunder, yakni kecambah dengan
kriteria seperti disebutkan sebelumnya, namun telah terinfeksi cendawan atau
bakteri yang tidak bersumber dari benih induk.
Kecambah utuh sendiri dijelaskan memiliki sistem akar dan batang
(hipokotil atau epikotil) yang berkembang baik, jumlah kotiledon yang sesuai,
daun primer berwarna hijau dan berkembang baik, memiliki tunas terminal atau
tunas pucuk, dan jumlah panjang akar primer dan hipokotil melebihi empat kali
panjang benih (pada kecambah tanaman pohon) (ISTA 2014). Pada pengamatan
ini, kecambah kacang bambara dikategorikan sebagai normal apabila memenuhi
ciri-ciri seperti disebutkan dalam ISTA. Panjang kecambah yang termasuk normal
(dari pangkal hingga titik tumbuh teratas) dihitung minimal tiga kali panjang
benih (Gambar 1).

Panjang
benih Pangkal hingga
titik tumbuh
teratas

a b

Gambar 1. Penentuaan tinggi kecambah normal. a = panjang benih yang


digunakan sebagai perbandingan untuk mengukur tinggi kecambah;
b = tinggi kecambah normal.
Percobaan 2. Identifikasi Cendawan Terbawa Benih

Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui jenis cendawan apa yang


mungkin terbawa oleh benih kacang bambara yang dipakai. Metode yang
digunakan adalah Blotter test. Cawan petri, kertas tissue towel Nice™, dan
aquadest disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
Tiga lembar kertas tissue towel ditata dalam cawan petri yang telah steril. Kertas
dibasahi aquadest hingga lembab. Pengujian menggunakan 100 butir benih yang
ditata dalam cawan petri, masing-masing berisi 10 benih. Benih disterilkan
dengan direndam dalam larutan klorox 1% selama 1 menit dan dibilas dengan
aquadest steril. Benih dalam cawan petri diinkubasi di bawah sinar near ultra
violet (NUV). Penyinaran dilakukan bergantian 12 jam terang dan 12 jam gelap
setiap harinya selama tujuh hari pada suhu 20°±2°C. Pada hari kedua, benih
dipindahkan ke dalam deep freezer dengan suhu -20°±2°C selama 24 jam untuk
8

menghambat perkecambahan. Pada hari ketiga, benih dikeluarkan dan inkubasi di


bawah NUV dilakukan kembali hingga hari ketujuh. Cawan petri diamati di
bawah mikroskop stereo dan compound untuk melihat cendawan yang tumbuh
pada benih. Benih yang terinfeksi cendawan dipisahkan dan dikulturkan di dalam
laminar air flow cabinet.
Media potato dextrose agar (PDA) dibuat dengan merebus PDA instan
dengan takaran 3,9 g setiap 100 ml larutan. Media PDA kemudian disterilkan
dalam autoklaf dan dituang ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan memadat.
Media PDA dioles dengan spora cendawan yang tumbuh pada benih dan disegel
dengan plastic wrap. Kultur cendawan diinkubasi selama 7 hari di bawah sinar
NUV pada suhu 20°±2°C dengan siklus gelap-terang setiap 12 jam. Miselium
yang didapat kemudian dipindahkan pada media PDA lain untuk menghindari
kontaminasi. Miselium yang diisolasi disubkulturkan beberapa kali hingga didapat
isolat murni.

Percobaan 3. Uji Daya Hambat Fungisida Nabati terhadap Cendawan

Fungisida nabati yang digunakan adalah minyak cengkeh (eugenol 78%)


dan minyak serai wangi (citronellal 6,3%) yang dibeli dari Serambi Botani, Bogor
dan diuji di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro), Bogor.
Konsentrasi minyak cengkeh yang diuji yakni 0%, 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25%,
dan 0,3% (Astuti, 2009). Konsentrasi minyak serai wangi yang diuji adalah 0%,
0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%, dan 1% (Ilyas et al., 2015). Masing-masing konsentrasi
diulang sebanyak empat kali sehingga ada 48 cawan petri.
Fungisida nabati dengan konsentrasi yang telah ditentukan dicampur dengan
surfaktan Tween 80 dan media PDA, kemudian disterilkan. Tween 80 digunakan
untuk membantu fungisida nabati yang berupa minyak agar dapat tercampur
merata dalam media, dan dicampurkan dengan minyak nabati dengan
perbandingan 1:2. Isolat murni cendawan yang telah didapat dipotong
menggunakan cork borer. Potongan tersebut diletakkan di atas cawan berisi PDA
plus fungisida nabati yang telah memadat dan diposisikan di tengah cawan.
Cawan diinkubasi pada suhu 20°±2°C selama 7 hari di bawah sinar NUV dengan
siklus gelap-terang setiap 12 jam.
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jarak (jari-jari) antara potongan
isolat murni dengan permukaan terluar paling jauh koloni cendawan pada hari ke-
7 inkubasi untuk mendapat konsentrasi fungisida nabati yang efektif untuk
menghambat pertumbuhan cendawan. Dari percobaan ini dipilih jenis dan
konsentrasi fungisida yang efektif untuk diuji pada percobaan selanjutnya.

Percobaan 4. Uji Fitotoksisitas Fungisida Nabati terhadap Benih

Perlakuan yang diberikan adalah matriconditioning plus fungisida nabati


dengan konsentrasi terpilih. Media matriconditioning adalah arang sekam yang
telah dioven selama 24 jam pada suhu 105°C lalu dihaluskan dan disaring
menggunakan saringan 0,5 mm. Perbandingan benih:arang sekam:air adalah 5:3:3
(Ilyas dan Sopian, 2013). Larutan fungisida dari minyak nabati dibuat dengan
mencampur minyak nabati, Tween 80, dan aquadest. Larutan fungisida baik
sintetis maupun nabati dicampur dengan bubuk arang sekam yang lolos saringan
9

0,5 mm dan diaduk rata dalam wadah transparan bervolume 1 liter. Benih
kemudian dimasukan dan diaduk hingga semua permukaan benih tertutup arang
sekam. Wadah disimpan dalam ruang AC dengan suhu sekitar 25°C selama 3 hari.
Pengadukan dilakukan sekali setiap hari selama satu menit (Ilyas dan Sopian,
2013).
Benih yang telah diberi perlakuan dicuci bersih dan dikeringanginkan. Pasir
yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam boks plastik transparan
untuk media tanam. Benih yang telah diberi perlakuan matriconditioning ditanam
pada media pasir dengan jumlah 25 butir setiap boks. Setiap perlakuan diulang
sebanyak empat kali.
Pengamatan dilakukan terhadap daya berkecambah dan jumlah kecambah
fitotoksik. Daya berkecambah (DB) merupakan persentase kecambah normal
(KN) yang dihitung pada hari hitungan I dan II yang telah ditentukan pada
percobaan pertama. Kecambah fitotoksik merupakan kecambah yang
menunjukkan tanda-tanda abnormal seperti akar primer lemah, tidak ada rambut
pada akar primer, dan warna akar yang berdekatan dengan benih berwarna coklat
(Ilyas et al., 2007). Fadhilah (2003) menunjukkan ciri kecambah kedelai
fitotoksik adalah adanya nekrosis pada kotiledon yang tidak ditemukan pada
kontrol, serta konsentrasi minyak cengkeh yang aman digunakan untuk kedelai
adalah 0,1% atau kurang. Konsentrasi fungisida nabati yang tidak menyebabkan
fitotoksisitas pada kecambah digunakan untuk percobaan selanjutnya.

Percobaan 5. Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Viabilitas dan Vigor


Benih

Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah rancangan


kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan faktor perlakuan invigorasi. Perlakuan
invigorasi yang diaplikasikan adalah sebagai berikut:
P0. Kontrol
P1. Matriconditioning
P2. Matriconditioning plus benomil 0,05%
P3. Matriconditioning plus minyak cengkeh 1%
P4. Matriconditioning plus minyak cengkeh 2%
Model yang digunakan dalam percobaan ini sebagai berikut:
Yij = µ + τi + βj + εij
Keterangan: Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j
µ = Nilai tengah umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke-j
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i kelompok ke-j
Setiap perlakuan diulang empat kali, sehingga terdapat 20 unit percobaan dengan
25 butir benih setiap unitnya. Berdasarkan hasil uji daya hambat dan uji
fitotoksisitas, diketahui bahwa minyak cengkeh 0,1%-0,3% efektif menghambat
pertumbuhan cendawan (percobaan 3), dan benih yang diuji belum menunjukkan
tanda-tanda fitotoksisitas hingga konsentrasi 0,3% (percobaan 4), sehingga
digunakan minyak cengkeh 1% dan 2% untuk percobaan ini. Fungisida sintetis
10

yang digunakan adalah merk Benlox 50 WP berbahan aktif benomil 50% dan
diaplikasikan pada konsentrasi 0,05% (Kusumawati dan Ilyas, 2015). Konsentrasi
0,05% didapatkan dengan melarutkan 0,1 gram Benlox 50 WP (benomyl 50%)
dalam 100 ml aquadest steril.
Benih diberi perlakuan matriconditioning dengan langkah yang sama pada
uji fitotoksisitas, kemudian dikecambahkan pada media pasir. Pengamatan
dilakukan terhadap tolok ukur daya berkecambah, indeks vigor, potensi tumbuh
maksimum, bobot kering kecambah normal, kecepatan tumbuh, dan laju
pertumbuhan kecambah.

Percobaan 6. Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Kesehatan Benih

Rancangan dan faktor yang digunakan sama dengan percobaan lima, tetapi
setiap taraf diulang sebanyak tiga kali. Sebanyak 225 butir benih dibagi untuk
lima taraf. Benih diberi perlakuan matriconditioning dengan langkah yang sama
seperti sebelumnya. Metode percobaan yang dilakukan adalah Blotter test seperti
pada percobaan pertama. Cawan petri, kertas tissue towel Nice™, dan aquadest
disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Benih yang telah
diberi perlakuan kemudian ditata di atas kertas tissue towel lembab dalam cawan
petri yang telah disterilkan. Masing-masing cawan berisi 15 butir benih. Cawan
berisi benih diinkubasi pada suhu 20°±2°C selama 7 hari di bawah sinar NUV
dengan siklus gelap-terang setiap 12 jam. Pengamatan dilakukan pada tingkat
infeksi cendawan pada benih dengan menghitung persentase benih yang
mengalami infeksi.

Pengamatan

Daya Hambat Fungisida Nabati (cm)


Daya hambat fungisida nabati terhadap pertumbuhan koloni cendawan
dalam cawan petri diamati dengan menghitung jarak antara potongan isolat murni
dengan permukaan terluar koloni cendawan pada hari ke-7 inkubasi.
Daya Berkecambah (%)
Daya berkecambah adalah persentase perbandingan jumlah kecambah
normal pada hari hitungan pertama dan hari hitungan terakhir terhadap jumlah
benih yang ditanam. Hari hitungan pertama dan terakhir ditentukan dari hasil
percobaan pertama. Rumus yang digunakan sebagai berikut:

N N
Daya berkecambah = x 100%
e i i
Keterangan:
KN I = kecambah normal hitungan I
KN II = kecambah normal hitungan II
11

Kecepatan Tumbuh (%/etmal)


Kecepatan tumbuh dihitung berdasarkan akumulasi kecepatan tumbuh
dengan satuan persentase kecambah normal per hari (24 jam = 1 etmal). Rumus
yang digunakan sebagai berikut:

Kecepatan tumbuh = ∑ Ket: t = waktu pengamatan (etmal)


N = % KN setiap waktu pengamatan
tn = waktu akhir pengamatan

Potensi Tumbuh Maksimum (%)


Potensi tumbuh maksimum (PTM) mengidentifikasi viabilitas total benih.
PTM dihitung berdasarkan persentase benih yang mampu tumbuh menjadi
kecambah normal maupun abnormal pada pengamatan hari terakhir.

e i e ec
PTM = x 100%
e i i

Indeks Vigor (%)


Indeks vigor dihitung berdasarkan jumlah kecambah normal saat hitungan
pertama pada uji daya berkecambah. Rumus yang digunakan:
N i
IV = x 100%
e i i

Bobot Kering Kecambah Normal (g)


Pengukuran dilakukan terhadap lot benih yang telah dikecambahkan. Semua
kecambah normal pada akhir pengujian daya berkecambah dibuang kotiledonnya.
Kecambah dimasukkan ke dalam amplop dan dikeringkan di dalam oven pada
suhu 80°C selama 24 jam, kemudian ditimbang bobotnya. Nilai bobot kecambah
normal yang telah dikeringkan tersebut dinyatakan sebagai bobot kering
kecambah normal.

Laju Pertumbuhan Kecambah (mg/KN)


Laju pertumbuhan kecambah dihitung dengan cara membagi bobot kering
kecambah normal (BKKN) dengan jumlah kecambah normal (KN).

N
LPK = x 100%
N
Tingkat Infeksi Cendawan
Persentase tingkat infeksi cendawan pada setiap perlakuan dihitung dengan
rumus:
e i ei e i
Tingkat infeksi = x 100%
e i i
12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan 1. Penentuan Periode Pengamatan Daya Berkecambah

Penentuan waktu pengamatan hitungan pertama untuk uji daya


berkecambah didasarkan pada hari tercapainya persentase pertambahan kecambah
normal yang maksimum. Pengamatan hitungan terakhir dilakukan pada hari
pencapaian akumulasi persentase perkecambahan yang maksimum (Sadjad, 1994).
Hasil pengecambahan menunjukkan puncak pertambahan jumlah kecambah
normal terjadi pada hari ke-7, dan pertambahan kecambah normal kumulatif mulai
stabil pada hari ke-11 (Gambar 2). Berdasarkan hasil tersebut, hari ke-7 dan ke-11
ditetapkan sebagai hari hitungan pertama dan terakhir untuk uji daya berkecambah,
yang digunakan pada percobaan selanjutnya.

90
80
70
Persentase KN

60
50 pertambahan KN
40
30 pertambahan KN
20 kumulatif
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Hari setelah tanam (HST)

Gambar 2. Persentase pertambahan kecambah normal (KN) per hari dan kumulatif
Menurut ISTA (2014) hitungan pertama untuk kacang bambara adalah hari
ke-5 dan hitungan terakhir adalah hari ke-10 pada suhu 20-30°C. Ilyas dan Sopian
(2013) menggunakan hari ke-7 sebagai hitungan pertama dan hari ke-14 sebagai
hitungan terakhir pada benih kacang bambara yang berasal dari Sukabumi.
Pengujian daya berkecambah di Sigaro, Zimbabwe menggunakan periode
pengamatan yang ditentukan oleh ISTA (Zengeni dan Mupamba, 1997). Kondisi
pengujian dan lanras yang berbeda kemungkinan dapat mempengaruhi periode
pengamatan daya berkecambah.

Percobaan 2. Identifikasi Cendawan Terbawa Benih

Terdapat tiga jenis cendawan yang dapat diidentifikasi, yakni Aspergillus


niger, Aspergillus flavus, dan Rhizopus stolonifer (Gambar 3). Kusumawati dan
Ilyas (2015) melaporkan Sclerotium spp. dan Fusarium spp. pada tanaman kacang
bambara yang tumbuh di lapangan. Akan tetapi, cendawan terbawa benih kacang
bambara belum teridentifikasi, sehingga uji ini perlu dilakukan. Patogen
cendawan dapat mengurangi produktivitas tanaman karena benih yang terinfeksi
dapat tidak berkecambah, menjadi media penyebaran penyakit, dan infeksi
13

terhadap benih sebelum panen dapat mengurangi hasil panen dan mutu benih.
Koloni cendawan jenis Mucor, Rhizopus, Aspergillus, dan Penicillium spp. sering
ditemui pada benih yang diuji pada media agar maupun blotter test (Copeland dan
McDonald, 2001).
Aspergillus flavus dapat menyerang berbagai tanaman seperti jagung,
kacang tanah, dan kapas. Cendawan ini memproduksi racun yang disebut
aflatoxin. Racun dari cendawan dapat mematikan jaringan hidup pada benih. Zat
ini juga beracun bagi hewan yang memakan pakan dari biji terinfeksi (Copeland
dan McDonald 2001). Mugiono dalam Fadhilah (2003) melaporkan perendaman
benih kedelai dalam filtrat cendawan A. flavus dan Fusarium oxysporum telah
menyebabkan penurunan viabilitas benih secara signifikan, perkecambahan tidak
normal, dan pembusukan benih.
Aspergillus niger menyebabkan penyakit yang disebut black mold pada
berbagai tanaman. Cendawan ini sering ditemukan sebagai saprofit pada daun
mati, biji-bijian, dan lain-lain (Sharma, 2012). Benih kapas yang diinkubasi A.
niger, A. flavus, dan Rhizopus arrhizus mengalami penurunan daya berkecambah
dan ukuran kecambah (Halloin, 1975). Rhizopus stolonifer dan Aspergillus spp.
teridentifikasi sebagai cendawan terbawa benih pada beberapa varietas padi
hibrida di Bangladesh. Infeksi cendawan pada benih padi menyababkan turunnya
kuantitas dan kualitas hasil panen, dan dapat menyebabkan kontaminasi permanen
pada tanah (Ora et al., 2011).

konidia

sporangium
vesikula
sporangiofor

konidiofor spora

a b c

konidia
spora
vesikula
sporangium

konidiofor
sporangiofor

d e f
a
Gambar 3. Struktur cendawan a = Aspergillus niger (Ellis , 2016), b = Aspergillus
flavus (Ellisb, 2016), c = sporangium Rhizopus sp. (Ellis dan Hermanis,
2003); dan yang teramati dari benih kacang bambara dengan
pembesaran 100×, yakni d = konidia Aspergillus niger, e = konidia
Aspergillus flavus, f = sporangium Rhizopus stolonifer.
14

Ghangaokar et al. (2013) mengidentifikasi A. niger, A.flavus, Rhizopus sp.,


Fusarium sp., Penicillium sp., dan Rhizoctonia sp. sebagai cendawan terbawa
benih pada beberapa jenis legum seperti buncis, kacang gude, kacang tunggak,
dan kapri. Abdelmallek et al. (1994) melaporkan A. niger, R. stolonifer,
A.fumigatus, A. terreus, A. flavus, serta Emericella nidulans var. lata
teridentifikasi sebagai cendawan yang banyak muncul pada benih kedelai.
Cendawan A. flavus dan A. niger disebutkan oleh Baig et al. (2012) termasuk
dalam cendawan terbawa benih (seedborne).

Percobaan 3. Uji Daya Hambat Fungisida Nabati terhadap Cendawan

Hasil identifikasi cendawan menunjukkan bahwa cendawan yang tumbuh


merupakan Rhizopus stolonifer, Aspergilus flavus, dan Aspergilus niger. Ketiga
jenis cendawan tersebut digunakan untuk menguji daya hambat fungisida nabati
berupa minyak cengkeh dan minyak serai wangi yang digunakan dalam percobaan.
Nilai tengah jari-jari permukaan terjauh miselia cendawan yang telah diberi
perlakuan fungisida nabati disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jari-jari miselia cendawan yang dikulturkan pada media PDA plus
fungisida nabati (cm)
Jenis Cendawan
Konsentrasi
Perlakuan A. flavus A. niger R. stolonifer
minyak nabati (%)
(cm)
Kontrol 0 0,78 0,85 4,25
0,1 0 0 0
0,15 0 0 0
Minyak cengkeh (eugenol 78%) 0,2 0 0 0
0,25 0 0 0
0,3 0 0 0
0,2 1,65 0,88 4,28
0,4 2,25 2,10 4,18
Minyak serai wangi (citronellal
6,3%) 0,6 1 1,28 4,18
0,8 1,43 0,93 3,81
1 1,10 0,63 3,33

Jari-jari miselia pada koloni cendawan yang diberi perlakuan minyak


cengkeh dengan berbagai konsentrasi menunjukkan angka nol (Tabel 1) yang
berarti cendawan sama sekali tidak tumbuh pada perlakuan tersebut. Koloni
cendawan tidak terlihat pada media agar seperti terlihat pada Gambar 4a. Ini
berarti minyak cengkeh efektif untuk menghambat pertumbuhan cendawan.
Minyak cengkeh yang digunakan mengandung bahan aktif utama yakni eugenol
dengan konsentrasi cukup tinggi yakni 78%. Pinto et al. (2009) menyebutkan
bahwa eugenol bekerja sebagai anti cendawan dengan menyebabkan luka cukup
lebar pada membran sel, serta mengurangi jumlah ergosterol yang merupakan
komponen spesifik sel membran cendawan dan berfungsi menjaga fungsi dan
integritas sel.
15

potongan
isolat

a b

c d
Gambar 4. Pengaruh perlakuan fungisida nabati secara in vitro terhadap
pertumbuhan cendawan. a = cendawan R. stolonifer pada potato
dextrose agar (PDA) plus minyak cengkeh 0,2%, b = cendawan A.
flavus pada PDA plus minyak serai wangi 0,4%, c = cendawan A.
niger pada PDA plus minyak serai wangi 0,4%, d = cendawan R.
stolonifer pada PDA plus minyak serai wangi 0,4%.
Minyak cengkeh 500 ppm yang mengandung 63,7% eugenol mampu
menghambat pertumbuhan A. flavus sebanyak 87% (Omidbeygi et al., 2007).
Jari-jari miselia cendawan pada perlakuan minyak serai wangi tidak menunjukkan
hasil yang lebih baik dari kontrol, bahkan untuk A. flavus dan A. niger nilainya
lebih tinggi dari kontrol (Tabel 1), sehingga daya hambatnya kurang efektif. Jari-
jari miselia teramati lebar dan jelas pada media (Gambar 4 b, c, d). Hal ini diduga
karena kandungan bahan aktif dalam minyak cengkeh yang digunakan lebih tinggi
dibandingkan dengan kandungan bahan aktif minyak serai wangi dalam setiap
konsentrasi yang diuji.
Minyak serai wangi diketahui memiliki beberapa macam bahan aktif,
diantaranya citronellal, citral, dan juga eugenol. Konsentrasi bahan aktif paling
banyak biasanya didominasi oleh citronellal, baru diikuti bahan aktif lain
termasuk eugenol (Billerbeck et al., 2001; Nugraheni et al., 2014). Citronellal
dalam minyak serai wangi untuk percobaan ini hanya 6,3%. Kandungan bahan
aktif dalam minyak yang digunakan tidak dapat dikontrol karena bahan dibeli dari
produk komersil yang asal bahan baku dan proses produksinya tidak diketahui.
Jumlah tersebut terbilang sangat sedikit untuk bahan aktif yang seharusnya
mendominasi, sehingga dapat diduga bahwa konsentrasi bahan aktif lainnya lebih
sedikit lagi. Minyak serai wangi menghambat total pertumbuhan A. niger dalam
percobaan in-vitro pada konsentrasi 800 mg per liter media agar dengan
16

kandungan citronellal 42% (Billerbeck et al., 2001) dan pada konsentrasi 0,5 %
dengan citronellal 37,51% (Li et al. 2013). Untuk percobaan selanjutnya,
penggunaan minyak cengkeh saja yang dilanjutkan untuk perlakuan fungisida
nabati.

Percobaan 4. Uji Fitotoksisitas Fungisida Nabati terhadap Benih

Pengamatan terhadap daya berkecambah dan jumlah kecambah normal non


fitotoksik dilakukan setelah uji daya hambat. Ilyas et al. (2007) menyebutkan
kecambah fitotoksik merupakan kecambah yang menunjukkan tanda-tanda
abnormal seperti akar primer lemah, tidak ada rambut pada akar primer, dan
warna akar yang berdekatan dengan benih berwarna coklat. Fadhilah (2003)
melaporkan kecambah normal fitotoksik pada kedelai memiliki bercak nekrosis
pada kotiledonnya. Hasil pengamatan menunjukkan seluruh kecambah yang
berhasil tumbuh berciri seperti kecambah normal (Gambar 5a) dan tidak
menunjukkan adanya fitotoksisitas. Daya berkecambah masih diatas 70% pada
semua konsentrasi yang diujikan (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi minyak cengkeh terhadap daya berkecambah dan
persentase benih mati
Perlakuan konsentrasi Kecambah
Daya berkecambah (%) Benih mati (%)
minyak cengkeh (%) abnormal (%)
0,1 76 ab 0 24
0,15 89 a 0 11
0,2 71 b 0 29
0,25 85 ab 0 15
0,3 81 ab 0 19

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

daun trifoliat

petiol
miselia
tunas cendawan

epikotil
kotiledon
akar sekunder
akar primer

a b
Gambar 5. Struktur kecambah normal kacang bambara 12 hari setelah tanam (a),
dan benih yang mati akibat serangan cendawan (b)
17

Minyak cengkeh hingga konsentrasi 0,3% belum menyebabkan


fitotoksisitas pada benih ataupun kecambah. Benih yang mati 11% - 29% (Tabel
2) diakibatkan oleh serangan cendawan (Gambar 5b), bakteri, maupun semut.
Fitotoksisitas minyak cengkeh yang diaplikasikan dalam matriconditioning
kemungkinan menurun karena tercampur dengan bubuk arang sekam yang
digunakan sebagai media (carrier) matriconditioning. Oleh karena itu, konsentrasi
minyak cengkeh perlu ditingkatkan ketika diintegrasikan dalam matriconditioning.
Konsentrasi minyak cengkeh dinaikkan dengan harapan dapat tetap menghambat
pertumbuhan cendawan tanpa mengurangi viabilitas benih. Fadhilah (2003)
melaporkan minyak cengkeh dengan kadar eugenol 77% dengan konsentrasi
0,15% mulai menyebabkan fitotoksisitas pada kecambah kedelai. Struktur testa
kacang bambara yang cukup tebal mungkin menghambat penyerapan larutan yang
dipakai untuk matriconditioning jika dibandingkan dengan benih kedelai,
sehingga memerlukan konsentrasi lebih tinggi untuk menyebabkan fitotoksisitas.
Al-Askar dan Rashad (2010) melaporkan ekstrak cengkeh pada konsentrasi
1% secara total menghambat pertumbuhan cendawan Rhizoctonia solani secara
in-vitro. Rachmawati (2009) melaporkan minyak cengkeh konsentrasi 1% - 2%
mampu menghambat pertumbuhan bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae secara
in-vitro. Berdasarkan hal tersebut, pada percobaan selanjutnya digunakan
konsentrasi fungisida nabati yang lebih tinggi, yakni 1% dan 2%.

Percobaan 5. Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Viabilitas dan Vigor


benih.

Perlakuan invigorasi matriconditioning plus minyak cengkeh 1%


menunjukkan daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum yang sama
(92%), begitu pula dengan matriconditioning plus benomil 0,05% (91%). Nilai
kedua perlakuan tersebut lebih tinggi daripada kontrol (84%), tapi tidak berbeda
nyata. Indeks vigor pada matriconditioning plus benomil 0,05% (91%) ataupun
minyak cengkeh 1% (89%) nyata lebih tingi dari kontrol (57%). Bobot kering
kecambah normal, pada matriconditioning plus benomil 0,05% (9,15 g) dan
minyak cengkeh 1% (8,39 g) juga nyata lebih tinggi daripada kontrol. Kedua
perlakuan tersebut juga menghasilkan kecepatan tumbuh (masing-masing 18,5 dan
17,3%/etmal) yang nyata lebih tinggi dari kontrol (13,6%/etmal). Laju
pertumbuhan kecambah pada perlakuan matriconditioning plus benomil 0,05%
(40,91 mg/KN) nyata lebih tinggi dari kontrol (25,86 mg/KN), sedangkan laju
pertumbuhan kecambah perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 1%
(36,47 mg/KN) lebih tinggi dari kontrol tapi tidak berbeda nyata (Tabel 3).
Fadhilah (2003) melaporkan perlakuan matriconditioning plus minyak
cengkeh 0,1% pada benih kedelai meningkatkan daya berkecambah, kecepatan
tumbuh, indeks vigor, dan laju pertumbuhan kecambah. Menurut Mariam (2006)
perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 0,1% dapat meningkatkan
viabilitas dan vigor benih cabai merah. Matriconditioning plus fungisida sintetis
benomil 0,05% meningkatkan viabilitas dan vigor kacang bambara (Kusumawati
dan Ilyas, 2015). Jumhana (2004) melaporkan perlakuan tepung bunga cengkeh
1% dapat menghasilkan indeks vigor yang lebih tinggi dari kontrol setelah
penyimpanan 4 bulan, yakni dari 33,3% menjadi 56,7%.
18

Tabel 3. Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap viabilitas dan vigor benih


Tolok ukur
Perlakuan invigorasi DB IV PTM LPK BKKN KCT
(%) (%) (%) (mg/KN) (g) (%/etmal)
Kontrol 84 b 57 b 84 b 25,86 b 05,42 b 13,6 b
Matriconditioning 99 a 96 a 99 a 42,42 a 10,48 a 19,5 a
Matriconditioning+ benomil 91 ab 91 a 91 ab 40,91 a 09,15 a 18,5 a
0,05%
Matriconditioning + minyak 92 ab 89 a 92 ab 36,47 ab 08,39 a 17,3 a
cengkeh 1%
Matriconditioning + minyak 88 b 53 b 88 b 25,48 b 05,59 b 13,6 b
cengkeh 2%
Keterangan: DB = daya berkecambah, IV = indeks vigor, PTM = potensi tumbuh maksimum,
LPK = laju pertumbuhan kecambah, BKKN = berat kering kecambah normal, K CT
= kecepatan tumbuh. Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan perbedaan nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

a b c d e
Gambar 6. Kecambah normal pada hari terakhir pengamatan. a = kontrol, b =
matriconditioning, c = matriconditioning plus benomil 0,05%, d =
matriconditioning plus minyak cengkeh 1%, e = matriconditioning
plus minyak cengkeh 2%.
Nilai semua tolok ukur mulai menurun pada perlakuan matriconditioning
plus minyak cengkeh 1%, walaupun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan
perlakuan matriconditioning (Tabel 3). Hal ini berarti perlakuan
matriconditioning plus minyak cengkeh 1% kemungkinan telah menyebabkan
fitotoksisitas, tetapi belum secara nyata menurunkan mutu fisiologis benih.
Penurunan nyata terjadi pada perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh
2%, di mana hasilnya tidak berbeda nyata dengan kontrol, yang berarti
fitotoksisitas telah menyebabkan penurunan mutu fisiologis dan tidak lagi layak
diaplikasikan untuk memperbaiki mutu benih. Astuti (2009) melaporkan
matriconditioning plus minyak cengkeh 0,1%-0,2% menghasilkan 7,8%-8%
kecambah normal fitotoksik pada benih padi. Konsentrasi yang akan memberi
hasil lebih baik diperkirakan adalah minyak cengkeh 0,5%. Konsentrasi tersebut
lebih tinggi dari 0,3%, yang diharapkan dapat lebih menekan infeksi cendawan,
19

namun masih dibawah 1% sehingga diharapkan belum menyebabkan fitotoksisitas.


Zainal et al. (2010) melaporkan perlakuan matriconditioning plus minyak
cengkeh 0,5% mampu menurunkan tingkat infeksi bakteri Clavibacter
michiganensis subsp. michiganensis tanpa menurunkan daya berkecambah,
kecepatan tumbuh, dan indeks vigor benih tomat.
Keragaan kecambah hasil perlakuan matriconditioning plus benomil 0,05%
dan minyak cengkeh 1% terlihat lebih baik dengan akar sekunder lebih banyak
dibandingkan perlakuan matriconditioning dan kontrol (Gambar 6 a, b, c, dan d).
Fisik kecambah hasil perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 2%
terlihat lebih kurus dan layu (Gambar 6e) dibandingkan dengan perlakuan
matriconditioning plus benomil maupun minyak cengkeh 1% (Gambar 6 c dan d),
walaupun tidak ada ciri lain seperti nekrosis. Hal ini didukung oleh nilai laju
pertumbuhan kecambah (25,48 mg/KN) dan bobot kering kecambah normal (5,59
g) yang terendah pada perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 2%
dibandingkan perlakuan invigorasi lainnya.
Perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 1% menunjukkan nilai
yang lebih tinggi dari kontrol pada semua tolok ukur vigor dan tidak berbeda
nyata dengan perlakuan matriconditioning plus benomil 0,05%. Berdasarkan hasil
tersebut, minyak cengkeh 1% dapat menggantikan peran benomil 0,05% untuk
meningkatkan viabilitas dan vigor benih kacang bambara. Hal ini dapat membantu
mengurangi pemakaian fungisida sintetis dalam perlakuan benih dan budidaya
tanaman.
Percobaan 6. Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Kesehatan Benih

Pada hari keempat setelah inkubasi, infeksi cendawan mulai terlihat pada
benih dengan perlakuan kontrol dan matriconditioning (Gambar 7 a, b), sementara
infeksi cendawan belum terlihat pada perlakuan matriconditioning plus benomil
0,05%, matriconditioning plus minyak cengkeh 1%, dan matriconditioning plus
minyak cengkeh 2% (Gambar 7 b, c, dan d). Pada hari ketujuh, tingkat infeksi
cendawan pada perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 1%, 2%,
ataupun benomil 0,05% lebih rendah dari kontrol. Masing-masing perlakuan dapat
menurunkan tingkat infeksi dari 18,9% menjadi 8,9%, 6,7%, dan 4,4% (Tabel 4).
Hal ini menunjukkan bahwa penambahan minyak cengkeh sebagai fungisida
nabati dapat menggantikan peran fungisida sintetis dalam menghambat terjadinya
infeksi pada benih.
Menurut Fadhilah (2003) perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh
0,1% dapat menekan tingkat infeksi cendawan pada kedelai dari 25,3% menjadi
8%. Ilyas (2006) menyebutkan matriconditioning plus fungisida Dithane 0,2%
mengurangi tingkat infeksi Colletotrichum capsici pada cabai dari 100% menjadi
3,2%. Perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 0,1% dapat mengurangi
tingkat infeksi cendawan Alternaria padwickii pada benih padi Ciherang dari
28,5% menjadi 2,5% (Astuti, 2009). Pemberian tepung bunga cengkeh 1% dapat
menekan perkembangan cendawan A. flavus selama 4 bulan penyimpanan pada
benih kedelai (Jumhana, 2004).
20

Tabel 4. Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap tingkat infeksi cendawan (%) 7


hari setelah inkubasi di bawah sinar NUV
Perlakuan Tingkat infeksi (%)
Kontrol 18,9b
Matriconditioning 33,3a
Matriconditioning + benomil 0,05% 04,4c
Matriconditioning + minyak cengkeh 1% 08,9c
Matriconditioning + minyak cengkeh 2% 06,7c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%.

benih
terinfeksi
cendawan

a b

c d

e
Gambar 7. Infeksi cendawan pada benih 4 hari setelah inkubasi di bawah sinar
NUV. a = kontrol, b = matriconditioning, c = matriconditioning plus
benomil 0,05%, d = matriconditioning plus minyak cengkeh 1%, d =
matriconditioning plus minyak cengkeh 2%
21

Perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 1% dapat menekan


tingkat infeksi cendawan tanpa menurunkan mutu fisiologis secara nyata.
Persentase infeksi cendawan pada benih yang diberi perlakuan matriconditioning
plus minyak cengkeh 1% maupun minyak cengkeh 2% (masing-masing 8,9% dan
6,7%) ataupun benomil (4,4%) menurun nyata dibandingkan kontrol (18,9%).
Akan tetapi, tingkat infeksi cendawan pada perlakuan matriconditioning lebih
tinggi dari kontrol yakni 33,3% (Tabel 4). Fadhilah (2003) menyebutkan tingkat
infeksi pada perlakuan matriconditioning tidak berbeda nyata dengan kontrol
karena diduga bubuk arang sekam tidak memiliki kandungan unsur-unsur yang
dapat menekan atau mengendalikan cendawan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perlakuan matriconditioning plus fungisida, baik nabati maupun sintetis,


dapat meningkatkan mutu fisiologis (viabilitas dan vigor) benih kacang bambara.
Minyak cengkeh (eugenol 78%) konsentrasi 0,1% - 0,3% mampu menghambat
total pertumbuhan cendawan secara in vitro. Jenis cendawan yang terdeteksi
terbawa oleh benih kacang bambara dalam penelitian ini adalah Rhizopus
stolonifer, Aspergilus flavus, dan Aspergilus niger. Perlakuan matriconditioning
plus minyak cengkeh 2% mulai menunjukkan tanda-tanda fitotoksisitas pada
kecambah. Matriconditioning plus minyak cengkeh 1% nyata meningkatkan vigor
benih dengan tolok ukur indeks vigor dan kecepatan tumbuh, dan menekan
tingkat infeksi cendawan pada benih kacang bambara dari 18,9% menjadi 6,7%.
Minyak cengkeh 1% dapat menggantikan peran fungisida sintetis benomil 0,05%
dalam meningkatkan viabilitas, vigor, dan kesehatan benih kacang bambara.

Saran

Perlakuan menggunakan minyak serai wangi dapat diamati lebih lanjut


dengan menggunakan minyak serai wangi yang mengandung konsentrasi bahan
aktif yang lebih tinggi. Uji daya hambat dapat dilakukan dengan kisaran
konsentrasi minyak serai wangi yang lebih luas untuk mengetahui konsentrasi
yang dapat menghambat pertumbuhan kecambah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdelmallek A.Y., Hasan H.A.H., Bagy M.M.K. 1994. Efficacy of hydrocarbons


against soybean seedborne fungi and aflatoxin production. Microbiol.Res.
149(1994):173-180.
Agrawal R.L. 1980. Seed Technology.Oxford & IBH Publishing Co, New Delhi.
Al-Askar A.A. dan Rashad Y.M. 2010. Efficacy of some plant extracts against
Rhizoctonia solani on pea. Journal of Plant Protection Res. 50(3):239-243.
22

Alma M.H., Ertas M., Nitz S., Kollmannsberger H. 2007. Chemical composition
and content of essential oil from the bud of cultivated turkish clove
(Syzigium aromaticum L.). BioResources 2(2):265-269.
Astuti D. 2009. Pengaruh matriconditioning plus minyak cengkeh terhadap
viabilitas, vigor, dan kesehatan benih padi (Oryza sativa) yang terinfeksi
Alternaria padwickii (Ganguly) M. B. Ellis. Skripsi. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Baig M., Fatima S., Kadam V.B., dan Shaikh Y. 2012. Utilization of antagonist
against seedborne fungi. Trends in Life Sci. 1(1):42-46.
Batlang U. and Shushu D.D. 2007. Allelopathic activity of sunflower (Hellianthus
annuus L.) on growth and nodulation of bambara groundnut (Vigna
subterranean (L.) Verdc.). Journal of Agronomy 6(4):541-547.
Berchie J.N., Adu-Dapah H., Sarkodic-Addo J., Asare E., Agyemang A., Addy S.,
and Donkoh J. 2010. Effect of seed priming on seedling emergence and
establishment of four bambara groundnut (Vigna subterranea L. Verdc.)
landraces. Journal of Agronomy 9(4): 180-183.
Billerbeck V.G., Roques C., Bessiere J., Fonvieille J., and Dargent R. Effects of
Cymbopogon nardus (L.) Watson essential oil on the growth and
morphogenesis of Aspergillus niger. Can J, Microbiol. 47(1):9-16.
Copeland L.O., dan McDonald M.B. 2001. Principles of seed science and
technology 4th edition. Kluwer Academic Publishers, London.
Embaby E.M. dan Abdel-Galil M.M. 2006. Seed borne fungi and mycotoxin
associated with some legume seeds in Egypt. Journal of Appl. Sci. Res.
2(11):1064-1071.
Ellis Da. 2016. Aspergilus niger complex. Mycology Online The University of
Adelaide. http://www.mycology.adelaide.edu.au/Fungal_Descriptions/Hy
phomycetes_(hyaline)/Aspergillus/niger.html [30 Oktober 2016]
Ellis Db. 2016. Aspergilus flavus complex. Mycology Online The University of
Adelaide http://www.mycology.adelaide.edu.au/Fungal_Descriptions/Hy
phomycetes_(hyaline)/Aspergillus/flavus.html [30 Oktober 2016]
Ellis D. dan Hermanis R. 2003. Systemic Zygomycosis (Mucormycosis).
http://www.mycology.adelaide.edu.au/downloads/Powerpnt/Zygomycosis/
Systemic.ppt [30 Oktober 2016]
Fadhilah S. 2003. Pengaruh matriconditioning plus minyak cengkeh atau
fungisida terhadap mutu dan kesehatan benih kedelai (Glicyne max (L.)
Merr.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ghangaokar N.M., Kshirsagar A.D. 2013. Study of seed borne fungi of different
legumes. Trends in Life Sciences 2(1):32-35.
Halloin J.M. 1975. Postharvest infection of cottonseed by Rhisopus arrhizus,
Aspergillus niger, and Aspergillus flavus. Phytopathology 65:1229-1232.
Hamid M.N. 2009. Menggali potensi genetik tanmaan kacang bogor (Vigna
subterranean (L.) Verdc.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.
Ilyas S. 2006. Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable seed
quality. Bul. Agron. 34(2):124–132.
Ilyas, S., Kadir T.S., Amiyarsi, Yosita, Fadhilah S., Nugraha U.S., dan Sudarsono.
2007. Teknik Peningkatan Kesehatan dan Mutu Benih Padi. Laporan Hasil
Penelitian KKP3T. Fakultas Pertanian. IPB-BB PADI.
23

Ilyas S. 2012. Ilmu dan teknologi benih: teori dan hasil-hasil penelitian. IPB Press,
Bogor.
Ilyas S., Asie K.V., Sutariati G.A.K., dan Sudarsono. 2015. Biomatriconditioning
or biopriming with biofungicide or biological agent applied on hot pepper
(Capsicum annuum L.) seeds reduced seedborne Colletotrichumcapsici
and increased seed quality and yield. Acta Hort. 1105:89-96.
Ilyas S. dan Sopian O. 2013. Effect of seed maturity and invigoration on seed
viability and vigor, plant growth, and yield of bambara groundnut (Vigna
subterranea (L.) Verdc). Acta Hort. 979:675-701.
[ISTA] International Seed Testing Association. 2014. International rules for seed
testing. ISTA, Switzerland.
[IRRI] International Rice Research Institute. 2016. Fungi. www.knowledgebank.
irri.org [4 September 2016].
Istianto M. dan Eliza. 2009. Aktivitas antijamur minyak atsiri terhadap penyakit
antraknos buah pisang di penyimpanan pada kondisi laboratorium. J. Hort.
19(2):192-198.
Hillocks R.J., Bennet C., Mponda O.M. 2012. Bambara nut: a review of
utilization, market potential, and crop improvement. African Crop Sci. J.
20(1): 1-16.
Jumhana A. 2004. Penggunaan tiga jenis tepung nabati untuk menekan serangan
cendawan dan mempertahankan viabilitas serta vigor benih kedelai
(Glycine max (L.) Merrill) selama penyimpanan. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Kritzinger Q., Aveling T.A.S., Marasas W.F.O. 2002. Effect of essential plant oils
on storage fungi, germination, and emergence of cowpea seeds. Seed Sci.
& Technol. 30:09-619.
Kusumawati W. dan Ilyas S. 2015. Effect of testa color and invigoration treatment
on seed viability, vigor, and vegetative plant growth of bambara groundnut
(Vigna subterranea (L.) Verdc). 5th KU-UT Student Symposium, Kasetsart
University, Bangkok, Thailand, 27 Februari 2015.
Li W.R., Shi Q.S., and Ouyang Y.S. 2013. Antifungal effects of citronella oil
against Aspergillus niger ATCC 16404. Appl Microbiol Biotechnol.
97:7483-7492.
Mahilrajan S., Nandakumar J., Kailayalingam R., Manoharan N.A., and
Srivijeindran S. 2014. Screening the antifungal acivity of essential oils
against decay fungi from palmyrah leaf handicrafts. Biological Res. 2014
47:35
Manggung R.E.R., Qadir A., Ilyas S. 2016. Fenologi, Morfologi, dan hasil empat
aksesi kacang bambara (Vigna subterranean (L.) Verdc.). J. Agron.
Indonesia. 44(1):47-54
Mariam. 2006. Pengaruh perlakuan matriconditioning plus fungisida nabati
terhadap pertumbuhan dan hasil cabai merah (Capsicum annuum L.).
Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nugraheni A.S., Djauhari S., Cholil A., dan Utoma E.P. 2014. Potensi minyak
atsiri serai wangi (Cymbopogon winteranius) sebagai fungisida nabati
terhadap penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) pada buah
apel (Malus sylvestris Mill). Jurnal HPT. 2(4):92-102.
24

Omidbeygi M., Barzegar M., Hamidi Z., and Naghdibadi H. 2007. Antifungal
activity of thyme, summer savory and clove essential oils against
Aspergillus flavus in liquid medium and tomato paste. Food Control 18:
1518-1523.
Ora N., Faruq A.N., Islam M.T., Akhtar N., and Rahman M.M. 2011. Detection
and identification of seedborne pathogens from some cultivated hybrid rice
varieties in Bangladesh. Mid.East Journal of Sci.Res. 10(4):482-488.
Pattnaik S., Subramanyam V.R., Bapeji M., and Kole C.R. 1997. Antibacterial
and antifungal activity of aromatic constituents of essential oils. Microbios.
89:39-46.
Pinto E., Vale-Silva L., Cavaleiro C., and Salgueiro L. 2009. Antifungal activity
of the clove essential oil from Syzygium aromaticum on Candida,
Aspergillus and dermatophyte species. J. Med. Microbiol. 58(2009):1454-
1462.
Rachmawati A.Y. 2009. Pengaruh perlakuan matriconditioning plus bakterisida
sintetis atau nabati untuk mengendalikan hawar daun bakteri
(Xanthomonas oryzae pv. oryzae) terbawa benih serta meningkatkan
viabilitas dan vigor benih padi (Oryza sativa L.). Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Rao N.K., Hanson J., Dulloo, Ghosh K., Nowell A., and Iarinde M. 2006. Manual
of Seed Handling in Genebank. Chapter 8. Bioversity International
(CGIAR). http://cropgenebank.sgrp.cgiar.org/images/file/procedures/chap
ter_germplasmtesting_genebankmanual8.pdf [5 Jan 2014].
Redjeki E.S. 2007. Pertumbuhan dan hasil tanaman kacang bambara (Vigna
subterranea (L.) Verdcourt) galur Gresik dan Bogor pada berbagai warna
biji. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian yang Dibiayai oleh
Hibah Kompetitif. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sadjad S. 1993. Dari benih kepada benih. Gramedia. Jakarta.
Sadjad S. 1994. Kuantifikasi metabolisme benih. Grasindo, Jakarta
Sari A.Y. 2006. Efektivitas fungisida botani dalam menghambat pertumbuhan
cendawan patogenik penyebab rebah semai pada cabai merah (Capsicum
annuum L.) secara in vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.
Sharma R. 2012. Pathogenicity of Aspergillus niger in plants. Cibtech Journal of
Microbiol. 1(1):47-51.
Swanevelder C.J. 1998. Production guidelines: bambara groundnuts. National
Department of Agriculture and ARC – Grain Crops Institute, Pretoria.
Tombe M., Pangeran D., and Haryani T.S. 2012. Keefektifan formula minyak
cengkeh dan serai wangi terhadap Fusarium oxysporum f.sp. vanillae
penyebab busuk batang vanili. Jurnal Littri 18(4):143-150.
Zainal A., Anwar A., Ilyas S., Sudarsono, dan Giyanto. 2010. Efektivitas ekstrak
tumbuhan untuk mengeliminasi Clavibacter michiganensis subsp.
michiganensis. J.Agron.Indonesia 38(1):52-59.
Zengeni S.B. and Mupamba J. 1997. Preliminary studies on the germinability and
vigour of Zimbabwean bambara groundnut genotypes. Dalam: Heller J.,
Begemann, and Mushonga J., (Eds). Conservation and Improvement of
Bambara Groundnut (Vigna subterranean (L.) Verdc.); Harare, 14-16
November 1995.
25

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Pacitan pada 16 Mei 1993, dan merupakan anak pertama
dari dua bersaudara pasangan Reno Subroto, S.P., dan Yuni Puspitasari. Penulis
menjalani pendidikan di SDN Pringkuku 1, SMP N 1 Pacitan, SMA 1 Pacitan,
hingga diterima pada program S1 Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan SNMPTN
(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selama perkuliahan, penulis
pernah mengikuti beberapa kepanitiaan dan kegiatan organisasi International
Association of Student in Agricultural and Related Sciences (IAAS) IPB sebagai
salah satu ketua departemen pada tahun 2013. Penulis juga pernah mengikuti
program pertukaran pelajar MIT Student Mobility selama satu semester di
Kasetsart University, Thailand pada tahun 2013.

Anda mungkin juga menyukai