Anda di halaman 1dari 19

MENGGAGAS SISTEM AGRIBISNIS: KAJIAN DEDUKSI SYARIAH 

Endry Martius

Abstrak
Menggagas ulang sistem agribisnis (bisnis pertanian) sudah harus
dilakukan paling tidak dengan alasan bahwa pertanian itu “undervalue”,
pelaku pertanian menjadi underdog, sehingga pertanian sepertinya tidak
menyumbang apa-apa kepada kemaslahatan. Sistem agribisnis syariah
adalah alternatif karena bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
bersama. Gagasan sistem agribisnis syariah bisa dibagi menjadi
subsistem hulu (praproduksi), tengah (produksi) dan hilir (pascaproduksi).
Kajian ini menggunakan arti produksi yang absah sebagai fungsi yang
menghasilkan nilai ekonomi kemanfaatan pertanian, bukan sebagai
fungsi yang menghasilkan barang-barang atau layanan-layanan ekonomi
pertanian. Berdasarkan arti produksi demikian maka aktivitas
pengolahan dan pemasaran hasil-hasil pertanian, yang secara
konvensional dinyatakan sebagai bagian dari subsistem hilir
(pascaproduksi), sesungguhnya adalah elemen-elemen subsistem
produksi, karena merupakan fungsi yang juga mewujudkan nilai ekonomi
kemanfaatan pertanian, atau paling tidak nilai tambahnya. Kajian ini
selanjutnya mencermati bahwa syariah harus dapat berlaku sebagai
provisi (pembekalan) yang mendeterminasi seluruh sub-subsistem
agribisnis. Subsistem pascaproduksi yang selama ini bekerja sepenuhnya
dalam mekanisme pasar yang “sesat” adalah tataran (platform) utama
bagi pengembangan sistem agribisnis ke depan, disamping tataran
syariah itu sendiri yang berlaku sebagai provisinya (forward provision).

PENDAHULUAN
Berbicara tentang agribisnis syariah pada pada dasarnya adalah
untuk memahami determinasi Islam dalam bentuk ajaran-ajarannya
yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasul terhadap agribisnis.
Syariah bersifat totalitas, baik dalam kategori yang hakikat maupun
dalam kategori yang teknis. Syariah yang hakikat menandakan bahwa
Islam adalah rahmatan lil alamin, penuh dengan muatan nilai-nilai
kebenaran dan kemaslahatan yang universal (nir-waktu). Syariah yang
teknis merupakan hukum-hukum dalam Islam yang diberlakukan
secara kontekstual, baik spasial maupun secara temporal. Oleh sebab
itu, syariah yang tenis ini tidak boleh menafikan hakikatnya, dan ini


Tulisan, yang merupakan bagian hasil desk-study tentang “Rekonstruksi Agribisnis
Syariah”, disampaikan pada SEMIRATA BKS-PTN Bidang Ilmu Pertanian se Indonesia
Barat di Jambi, 25-28 April 2006.

Staf Pengajar pada Jurusan Sosial-Ekonomi Fakultas Pertanian dan Pascasarjana
Universitas Andalas, Padang.
menegaskan adanya tata-cara agribisnis menurut Islam yang bisa selalu
bisa sesuai dengan zamannya.
Dalam sistem agribisnis berbasis syariah tentu saja yang
dipersoalkan adalah menemukan atau memberi jawaban, secara
rasional, tentang apa dan mengapa suatu perbuatan bisnis di bidang
pertanian dikatakan benar atau salah, baik atau buruk. Karena ini
maka sebenarnya kegiatan yang diperlukan adalah usaha untuk
memikirkan secara kritis, apa yang selama ini dianggap baik atau benar,
jangan-jangan anggapan itu ternyata salah atau buruk, berdasarkan Al-
Quran dan Sunnah Rasul.

RISALAH MUAMALAH AGRIBISNIS SYARIAH


Ekonomi dan bisnis adalah bagian kehidupan yang taat pada asas
kehidupan. Kehidupan merupakan pemberian Allah yang sudah diatur
oleh Allah sendiri. Dalam ekonomi dan bisnis itu, sebagaimana dalam
kehidupan, terdapat tiga hal pokok yang selalu dikelola: (i) waktu (usia);
(ii) ilmu; dan (iii) material (ruang). Atas waktu manusia tidak boleh sia-
sia dalam hidup, melainkan beribadah secara produktif sesuai dengan
kehendak ilahiah sehingga selamat dunia dan akhirat. 1 Atas ilmu,
manusia harus terus medalaminya dan mencarinya kemana saja, tetapi
ilmu itu kemudian harus digunakan sesuai dengan jalan Allah. Atas
material, yang sering dinyatakan sebagai harta atau kekayaan—yang
dalam hal ini term
asuk pertanian dan lingkungannya, manusia harus mendapatkan
maupun memanfaatkannya sesuai dengan jalan Allah.
Pengelolaan tiga hal di atas itulah yang sesungguhnya dikatakan
bisnis dan secara prinsip bukanlah menjadi persoalan bagi umat Islam
karena petunjuknya sudah ada. Islam adalah agama yang mengatur
tatanan hidup dengan sempurna, kehidupan individu dan masyarakat,
baik gatra rasio, materi, maupun spritul (Qardhawi, 1997). Petunjuk
kehidupan sudah cukup, dan tentu saja untuk (agri)bisnis, yaitu ayat-
ayat Allah (kauliah dan kauniah). Tidak ada persoalan yang tidak ada
solusinya. Islam adalah cara hidup yang komprehensif, mengatur
seluruh aspek dan lini kehidupan (lihat Gambar 1: Islam sebagai cara
hidup komprehensif). Dengan ayat-ayat Allah, umat Rasulullah saw
adalah dinyatakan sebagai makhluk terbaik, yang mengisaratkan
mempunyai peralatan yang cukup untuk kehidupan ini. Lihatlah firman
Allah:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyu-
ruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah” [QS Ali Imran (3): (110)).

1
Al-hadist, “Gunakan lima sebelum datangnya lima: muda sebelum tua; sehat sebelum
sakit; lapang sebelum sempit; kaya sebelum miskin; hidup sebelum mati.”

2
Gambar 1: Islam sebagai cara hidup komprehensif

I S L A M

AKIDAH S Y A R I 'A H AKHLAK

MUAMALAT IBADAH

HAK KHUSUS HAKUMUM

URUSAN URUSAN LUAR HUBUNGAN


HUKUM KRIMINAL HUKUM SIPIL
DALAM NEGERI NEGERI INTERNASIONAL

ADMINISTRATIF KEUANGAN KONSTITUENSI

PERSEWAAN ASURANSI PERBANKAN PERGADAIAN VENTURA CAPITAL

Ayat di atas seakan menyatakan bahwa umat Islam adalah umat


terbaik (khaira ummah) di tengah-tengah manusia-manusia
keseluruhan, dulu, sekarang, maupun pada masa yang akan datang
(ukhrijat linnas). Alasannya tentu saja karena umat Islam dibekali
dengan Al-Quran sebagai petunjuk hidup dan Rasulullah saw (nabi
terakhir) sebagai tauladan sejati kehidupan. Dalam ayat itu terkandung
kejelasan nilai-nilai ilahiah sebagai pegangan hidup, apa yang ma’ruf
dan apa yang munkar. Hanya saja konsep umat terbaik tersebut
bukanlah otomatis dan mandat kosong. Umat Islam haruslah
memperjuangkannya, yaitu sebagai bagian keharusan beriman kepada
Allah (tu’minunabillah) dengan selalu menegakkan hal-hal yang ma’ruf
serta mencegah dan menjauhi hal-hal yang munkar. Dalam (agri)bisnis
sesungguhnya konsep umat terbaik juga harus diperjuangkan.
Ber(agri)bisnis maksudnya bukanlah bekerja untuk pendapatan,
berinvestasi untuk keuntungan, melainkan beramal saleh untuk
mendapat imbalan langsung dari Allah yang disebut reski. Oleh sebab
itu, sebagai termaktub pada Gambar 1, seluruh persoalan muamalat
haruslah cerminan ibadah, yang keduanya adalah syariah. Bagaimana
cerminan konsep umat terbaik, termasuk dalam hal (agri)bisnis, telah

3
diperjuangkan dalam Islam bisa dicermati dari upaya-upaya yang
dilakukan pada masa Rasulullah, baik pada periode Mekah maupun
pada periode Madinah.

Periode Mekah
Periode Mekah dicirikan oleh tumbuhnya Islam yang berfokus
pada pengembangan sistem akhlak manusia yang berbasis tauhid atau
akidah. Kehidupan (ekonomi) dikembangkan berdasarkan ketuhanan.
Allahlah yang maha berkuasa, maha menentukan, sehingga ayat-ayat
Quran yang diturunkan pada waktu itu berkisar pada ajakan untuk
menggunakan akal, pikiran dan pencermatan terhadap yang ada di alam
ini, termasuk realitas atau kisah mengapa umat-umat terdahulu
mengalami kehancuran karena mengingkari kehendak ilahiah. Allah-lah
yang menentukan kehidupan ini. Segala perbuatan, tidak terkecuali
dalam agribisnis, merujuk dan tunduk pada kehendak ilahiah. Manusia
adalah makhluk predestinasi—tunduk pada kehendak ilahiah, dan oleh
sebab itu mereka harus bisa memahami sistem akhlak. Disamping itu,
manusia juga sekaligus adalah makhluk providensi, dengan pengertian
bahwa manusia tetap harus berikhtiar mewujudkan kehendak ilahiah
secara positif.2
Akidah diberlakukan sebagai dasar pengembangan akhlak
kehidupan, termasuk dalam berekonomi. Keasasian akidah itu
meletakan umat Islam harus berkorban secara ekonomi demi
menegakkan akhlak kehidupannya (Qardhawi, 1997). Akhlak adalah
urusan prioritas masyarakat pada Periode Mekah. Tampillah manusia-
manusia istimewa seperti Khadijah dan Abu Bakar sebagai pelaku-
pelaku ekonomi yang mampu mensubordinasikan ekonomi dan
bisnisnya untuk urusan dawah dan menegakkan akhlak.3
Demi perjuangan akhlak itu umat Islam Mekah pernah terputus
hubungan kerjanya oleh Quraisy. Quraisy mem-blokade ekonomi umat
Islam. Akhirnya tekanan kuat Quraisy ini pulalah yang menyebabkan
2
Menurut Saefuddin (1992: 232), etika bisnis yang diturunkan dari bukan sumber
tauhid jelas akan lain sekali dan akan menurunkan martabat manusia. Etika bisnis
umumnya adalah non-tauhid karena memposisikan Tuhan ataupun agama secara
negatif. Ambil contoh apa yang disampaikan oleh Comte: Tuhan adalah budi yang
ketinggalan (Comte), Nietzhe: Tuhan sudah mati, Hegel: Tuhan adalah gambaran
khayalan yang diciptakan manusia menurut modelnya sendiri, Feuerback: Tuhan itu
wahana cita dan sumur tanpa dasar, penuh dengan kebohongan dan khayal,
pertentangan dan kesimpulan-kesimpulan palsu, Engels: Agama adalah salah satu
aspek tekanan jiwa, Marx: Agama adalah candu atau racun rakyat, dan Lenin: Kita
harus memerangi agama.
3
Dalam al-hadists: tentang Khadijah: “Dia telah beriman ketika semua manusia kufur
kepadaku. Dia telah membenarkanku ketika semua orang mendustakanku, dan telah
menyerahkan padaku dirinya dan hartanya, dan darinyalah aku punya anak,” dan
tentang Abu Bakar: “Tidak ada sama sekali harta yang bermanfaat begiku seperti
manfaatnya kekayaan Abu Bakar.”

4
Rasulullah saw akhirnya mengizinkan sebagian kaum muslimin untuk
hijrah ke Habsyah.
Periode Mekah mendudukkan akhlak umat Islam secara
konseptual, yaitu bahwa:
1. Obyek ekonomi dan bisnis adalah untuk meningkatkan ketaatan
manusia dan manjauhkan manusia dari kemaksiatan. Oleh sebab itu
umat Islam harus menjauhkan diri dari kemewahan atau menumpuk
harta serta menghindari kejahatan dalam mencari harta;
2. Barang-barang ekonomi atau harta harus memberikan manfaat
secara luas. Dengan itu orang Islam dianjurkan untuk melakukan
daur-ulang terhadap hartanya dengan membayarkan zakat, berinfak,
bersedekah dan berlomba-lomba untuk kebaikan;
3. Berlaku adil adalah ciri berekonomi yang benar. Setiap orang Islam
dituntut tidak merugikan orang lain: penuhilah timbangan dan
takaran, dan jauhkanlah pengrusakan di bumi. 4 Secara lebih spesifik,
berekonomi tidak boleh memunculkan kezaliman. Dengan itu orang
Islam dikenakan larangan riba dan kewajiban membayarkan zakat.

Periode Madinah
Menurut Babibly (1990), periode Madinah dicirikan oleh
perkembangan syariah yang semakin luas pada soal-soal muamalat,
dengan upaya penumbuhan institusi negara. Pada permulaan periode
ini, ekonomi kaum Anshar terbebani dengan berbagi seperdua kekayaan
mereka untuk saudara-saudara mereka kaum Muhajirin, ditambah
dengan juga memberikan pertolongan-pertolongan yang lainnya. Pada
masa inilah Allah meletakkan kaidah-kaidah untuk mendukung sistem
ekonomi negara—kaum Anshar-Muhajirin— untuk melengkapi dasar-
dasar yang telah diletakkan semasa periode Mekah. Kaedah-kaedah
tersebut antara lain menyangkut pengaturan urusan ekonomi yang
dikaitkan dengan:
1. Perang, untuk menertibkan salah satu sumber kekayaan kaum
muslimin5;
2. Ekonomi keluarga, untuk mengatur infak diri sendiri, atas istri dan
anak-anak6 dan waris7;
3. Muamalah antara manusia, untuk mencegah terjadinya pemerasan
sesama manusia. Manusia diharuskan menggunakan harta secara
baik, tidak secara batil8, selalu memenuhi janji, dan menunaikan
amanat9; dan
4
QS. al-Isra’ (17): (35)
5
QS. al-Anfaal (8): (41) dan QS. al-Hasyr (59): (6)
6
QS. an-Nisa’ (4): (1, 34) dan QS. al-Isra’ (17): (31), dan al-hadits
7
QS. an-Nisa’ (4): (7)
8
QS. al-Baqarah (2): (188) dan QS. an-Nisa’ (4): (10, 29)
9
QS. an-Nisa’ (4): (58), QS. Al-Baqarah (2): (283) dan al-hadits

5
4. Zakat, untuk memelihara sumber kekayaan negara yang
berkelanjutan (mengalir terus).10Disamping berkewajiban
membayarkan zakat, manusia dilarang berbuat riba. 11 Menurut
Thahir Abdul Muhsin (dalam Yusanto, 2001), riba merupakan salah
satu sumber liabilitas perekonomian masyarakat terbesar.

SISTEM AGRIBISNIS
Agribisnis adalah bisnis pertanian, yang menyangkut pengelolaan
sumberdaya-sumberdaya alam dan lingkungan untuk menghasilkan
nilai ekonomi kemanfaatan pertanian untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Sebagai suatu sistem, agribisnis terdiri dari bangun
kompleksitas yang terdiri dari sub-subsistem praproduksi (up-stream
agrbusiness), produksi (on-farm agribusiness) dan pascaproduksi (down-
stream agribusiness) (Gambar 2: Sistem agribisnis).

Gambar 2: Sistem Agribisnis

SUBSISTEM SUBSISTEM SUBSISTEM


PRAPRODUKSI PRODUKSI PASCAPRODUKSI
(upstream agribusiness) (on-farm agribusiness) (down-stream agribusiness)

FUNGSI PENYEDIAAN INPUT-


FUNGSI PRODUKSI NILAI FUNGSI UTILISASI NILAI
INPUT PRODUKSI NILAI
EKONOMI KEMANFAATAN EKONOMI KEMANFAATAN
EKONOMI KEMANFAATAN
PERTANIAN PERTANIAN
PERTANIAN

PRODUKSI INPUT-INPUT AKUMULASI NILAI EKONOMI


USAHATANI-USAHATANI
PERTANIAN KEMANFAATAN PERTANIAN

PEMASOKAN (ALOKASI DAN PROSESING DAN RELOKASI/REDISTRIBUSI


DISTRIBUSI) INPUT-INPUT PEMASARAN PRODUK NILAI EKONOMI
PERTANIAN PERTANIAN KEMANFAATAN PERTANIAN

BACKWARD PROVISION SYARIAH FORWARD PROVISION

10
QS. an-Nuur (24): (56), QS. al-Baqarah (2): (177, 277), QS. al Ahzab (33): (33), QS. at-
Taubah (9): (34-35) dan al-hadits
11
QS. al-Baqarah (2): (275-276 dan 278-279)

6
Subsistem praproduksi mengendalikan sumberdaya-sumberdaya
pertanian di kawasan hulu luar-usahatani (up-stream agribusiness)
dalam fungsi-fungsi penyediaan barang-barang dan layanan yang
diperlukan sebagai input-input pertanian. Subsistem produksi
mengendalikan sumberdaya-sumberdaya pertanian di tingkat usahatani
dan di tingkat pengolahan dan pemasaran hasil pertanian (on-farm
agribusiness) sebagai fungsi produksi nilai ekonomi kemanfaatan
pertanian melalui transformasi input-input pertanian menjadi output-
output pertanian.12 Subsistem pascaproduksi mengendalikan sumberda-
ya-sumberdaya pertanian pada kawasan luar usahatani setelah fase
produksi (down-stream agribusines) sebagai fungsi utilisasi nilai ekonomi
kemanfaatan pertanian. Subsistem pasca produksi ini berupaya
mengonkritkan utilisasi nilai ekonomi kemanfaatan pertanian bagi
kesejahteraan masyarakat melalui akumulasi atau agregasi, dan
kemudian dilanjutkan dengan relokasi atau redistribusi nilai ekonomi
kemanfaatan pertanian tersebut kepada seluruh masyarakat. Gambaran
tentang sistem agribisnis seperti ini adalah lebih utuh ketimbang yang
umumnya dipahami. Sistem agribisnis konvensional meletakkan fungsi-
fungsi pengolahan dan pemasaran hasil-hasil pertanian dalam
subsistem pascaproduksi (Gumbira Sa’id dan Prastiwi, 2005).
Pemahaman tentang produksi menjadi amat sempit, yakni terbatas pada
transformasi input-input pertanian menjadi out-ouput pertanian di
tingkat usatani. Dengan begitu, utilisasi nilai ekonomi kemanfaatan
pertanian malahan tidak terpedulikan, sampai-sampai dalam
kecenderungannya telah mengakibatkan nilai tukar (term-of-trade) hasil-
hasil pertanian yang undervalue yang akut dan amat mengkhawatirkan.
Pelaku-pelaku pertanian menjadi underdog. Akibat lebih jauh, pertanian
seolah-olah tidak (bisa) menyumbang apa-apa terhadap kesejahteraan
ekonomi masyarakat.
Pada setiap subsistem terdapat pelaku-pelaku agribisnis
(stakeholders) yang secara sederhana terdiri dari pihak-pihak
pemerintah, masyarakat (petani) dan swasta. Setiap pelaku mempunyai
peran tertentu yang secara aktual menjalankan fungsi-fungsi tertentu
pula seperti diuraikan dalam Tabel 1 (Peta aktual pelaku dan fungsi-
fungsi agribisnis).
Subsistem praproduksi adalah agribisnis-hulu yang meliputi
fungsi-fungsi produksi, alokasi dan distribusi input-input pertanian.
Fungsi produksi input-input pertanian dalam skala besar dijalankan
oleh industri-industri input-input pertanian perusahaan-perusahaan
swasta dan lembaga usaha milik negara (parastatal). Fungsi alokasi dan
distribusi input-input pertanian dijalankan dalam perniagaan yang juga
melibatkan pihak-pihak swasta dan juga lembaga parastatal. Amat kecil
12
Gagasan tentang produksi di sini ada miripnya dengan konsep yang dinyatakan oleh
Muslich (2004) bahwa produksi sesungguhnya adalah proses pembentukan nilai
tambah, bukan sebagai proses penghasil produk-produk.

7
peluang bagi petani untuk menjadi pelaku mandiri pada subsistem
praproduksi ini, kecuali mengambil bagian dalam pemasokan input-
input pertanian melalui koperasi-koperasi pertanian, atau ketika petani
tidak memerlukan input-input eksternal, misalnya dalam situasi skala
usahatani kecil yang hanya menggunakan input-input pertanian yang
tersedia secara setempat.

Tabel 1. Peta aktual pelaku dan fungsi agribisnis


PELAKU FUNGSI-FUNGSI DALAM SUB-SUBSISTEM
AGRIBISNIS
PRAPRODUKSI PRODUKSI PASCAPRODUKSI
-Provisi tentang -Provisi tentang -Provisi tentang
PEMERINTAH
produksi dan produksi pertanian agregasi, alokasi dan
pemasokan input-  Regulator distribusi
input pertanian  Fasilitator kemanfaatan
(forward provision) -Penjamin kredit pertanian (forward
 Regulator pertanian (acak) provision)
 Rasilisator  Regulator
-Pembangun  Fasilitator
prasarana -Penerima manfaat,
-Pengembang dan dari ketahanan
pemasok teknologi pangan
pertanian
-Produser masif -Produser masif -Penerima manfaat,
SWASTA
input-input produk-produk dari produksi
(PENGUSAHA
pertanian pertanian tertentu pertanian tertentu
PERTANIAN,
-Pemasok (besar) -Industriawan -Penerima manfaat,
TERMASUK
input-input pertanian dari penyediaan
LEMBAGA
pertanian -Pedagang-pedagang tenaga kerja pertanian
PARASTATAL)
-Importir input-input besar (dan eksportir) murah, akibat tidak
pertanian -Importir komoditas langsung kebijakan
pertanian pangan
-Produser gurem -Produser gurem -Penerima manfaat
PETANI
input-input produk-produk gurem, dari produksi
pertanian pertanian pertanian pangan
-Penerima harga (price
taker), dampak
(negatif) langsung dari
nilai tukar produk
pertanian yang
undervalue dan dari
sectoral trade-off
-Pemasok kredit -Pemasok kredit -Penerima manfaat,
PERBANKAN

8
perdagangan input- produksi pertanian dari perdagangan
input pertanian input-input pertanian
-Penerima manfaat,
dari perdagangan
produk pertanian
- - -Penerima manfaat
MASYARAKAT
tidak langsung dari
SEKTOR NON-
sectoral trade-off
PERTANIAN

Pemerintah juga adalah pelaku subsistem praproduksi. Walau


perannya terlihat terkonsentrasi sebagai produsen melalui keterlibatan
lembaga parastatal-nya, sesungguhnya pemerintah juga adalah provider,
yang harus menjalankan fungsi provisi 13, yaitu pembekalan dan
pengaturan produksi dan perniagaan input-input pertanian agar
pasokan input-input pertanian kepada petani berjalan lancar dan baik.
Provisi dalam kawasan praproduksi ini disebut provisi-ke-belakang
(backward provision).
Pada subsistem produksi terdapat fungsi-fungsi usahatani (on-
farm), serta penyimpanan, pemrosesan (processing) dan pemasaran
produk-produk pertanian. Fungsi usahatani menghasilkan produk-
produk pertanian yang bernilai ekonomi kemanfaatan. Penyimpanan dan
processing adalah fungsi-fungsi pemeliharaan dan pengubahan produk-
produk pertanian untuk menambah nilai ekonomi kemanfaatannya.
Selanjutnya, fungsi pemasaran merupakan mekanisme untuk
menyampaikan produk-produk pertanian dan sekaligus kemanfaatannya
ke tangan konsumen.
Sebagaimana pada subsistem praproduksi, pelaku-pelaku pada
subsistem produksi ini juga terdiri dari pihak masyarakat (petani kecil),
swasta (pengusaha-pengusaha pertanian, pedagang-pedagang,
industriawan-industriawan, bank-bank dan sebagainya), dan juga
pemerintah. Keterlibatan petani kecil hanya terlihat pada fungsi
usahatani, kecuali secara terbatas ketika mereka berafiliasi dalam suatu
koperasi dalam fungsi-fungsi penyimpanan, pemrosesan dan pemasaran
produk-produk pertanian. Keterlibatan pemerintah dan pihak swasta
berpusat pada fungsi-fungsi non-usahatani. Pihak swasta adalah
pelaku-pelaku utama pada produksi pertanian yang berskala besar.
Dalam hal ini, pemerintah yang memegang monopoli fungsi provisi,
melalui lembaga parastatal-nya, ternyata juga menjalankan fungsi
13
Provisi adalah upaya-upaya untuk membekali proses produksi maupun konsumsi
melalui regulasi dan fasilitasi (Ostrom dkk., 1993). Provisi di sini memasukkan arti
yang utuh, yaitu mencakup organisasi, inpterpretasi dan aplikasi: organisasi ialah
penataan sumber-sumberdaya, unit-unit, dan metoda-metoda agar program-program
pemerintah dapat berjalan; interpretasi ialah translasi bahasa program menjadi
perencanaan-perencanaan ataupun petunjuk-petunjuk yang dapat diterima dan
memungkinkan; aplikasi ialah provisi (pembekalan) rutin untuk layanan-layanan,
pembayaran-pembayaran, atau persetujuan lain tentang tujuan-tujuan dan peralatan-
peralatan program (lihat Pressman dan Wildavsky, 1990).

9
produksi, khususnya yang untuk menjalankan fungsi-fungsi komersial
dan perdagangan produk-produk pertanian.
Fungsi provisi oleh pemerintah pada subsistem produksi ini sudah
berjalan lama. Di masa kolonial, pemerintah Belanda membuat
ketentuan-ketentuan di bidang pertanian semisal peraturan pertanian
(Agrarisce Wet) dan peraturan irigasi (Algemeen Waterreglement 1936).
Sampai sekarang, ketentuan-ketentuan pertanian bahkan masih
berpusat pada pengsukseskan subsistem peroduksi, khususnya di
subsektor pangan. Setelah sampai tahun 1980-an kebijakan pertanian
Indonesia berorientasi pada pencapaian swasembada pangan, kebijakan
pertanian berikutnya sudah terdiversifikasi, walaupun sebenarnya tetap
bercorak lama yang top-down dan ambisius. Corak lama itulah yang
tetap tampak pada sejumlah kebijakan pertanian sampai sekarang.
Salah satu di antara kebijakan bercorak lama itu yang teramat
kontraversial adalah Inpres 82/1995 yang dibuat untuk pengembangan
lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah.
Awal 1990-an, pemerintah mengeluarkan UU RI 12/1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman untuk berbagai tujuan: diversifikasi hasil
pertanian, peningkatan taraf hidup petani, dan perluasan dan
pemerataan kesempatan kerja. Namun hasilnya tidak memuaskan.
Khusus di bidang pangan, Arifin (2005a) mencatat sejumlah reforma
kebijakannya yang tidak mendatangkan hasil yang memuaskan, antara
lain misalnya: tahun 1998, liberalisasi impor pangan (LOI-IMF) yang
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi perdagangan beras dan
menghilangkan fungsi monopoli lembaga parastatal Bulog ternyata
malahan menghasilkan rekor tertinggi impor beras, walau kekeringan
juga sebagai faktor dominan dalam hal ini; tahun 1999, pencabutan
subsidi pupuk (Kepres 8/1998) yang bertujuan untuk menyehatkan
anggaran negara dan industri pupuk dan meningkatkan efisiensi produk
pertanian, justru tidak menghambat naiknya harga pupuk, dan
konsumsi pupuk justru menurun; tahun 2000, proteksi beras dan gula
(SK Menkeu 368/KMK.01/1999) untuk memberi insentif peningkatan
produksi dan meningkatkan rasa percaya diri menaikkan produktivitas,
ternyata diiringi dengan meningkatnya penyeludupan dan total impor
yang tidak dilaporkan; tahun 2002, harga dasar pembelian (Inpres
9/2002) untuk memberikan insentif dan menyesuaikan dengan
perkembangan harga padi, ternyata tidak dapat menahan jatuhnya
harga gabah petani sampai 50 persen; tahun 2004, tataniaga impor gula
(SK Menperindag 527/MPP/Kep/9/2004, sebagai pengganti SK
643/MPP/Kep/9/2002) untuk mengatur impor dan distribusi gula
domestik, ternyata belum memperlihatkan hasil nyata pada revitalisasi
industri gula domestik.
Banyaknya kebijakan pada subsistem produksi seperti tersebut di
atas tidak dapat menghilangkan kesan, sebagaimana juga pada

10
subsistem praproduksi, bahwa pemerintah gagal memainkan peran
pokoknya dalam fungsi provisi. Dalam banyak kejadian malahan tampak
keinginan pemerintah untuk mengedepankan perannya dalam fungsi
produksi, misalnya melalui SK Menperindag untuk memperkokoh
lembaga parastatal Bulog dalam memainkan fungsi-fungsi korporasi dan
perdagangan atau komersial, menjauhi fungsi-fungsi tradisional
pengaturan dan sebagai agen pembangunan (Arifin, 2005).
Subsistem pascaproduksi (agribisnis-hilir) terdiri dari fungsi-
fungsi agregasi, relokasi dan redistribusi nilai ekonomi kemanfaatan
pertanian dalam suatu kawasan atau wilayah tertentu (negara).
Agribisnis hilir berhubungan dengan peristiwa yang hanya mungkin
dilakukan melalui kebijakan kardinal, sebuah kombinasi kebijakan yang
tepat dari regulasi dan mekanisme pasar untuk mengendalikan pasar
produk-produk pertanian dan sekaligus untuk mekanisme agregasi dan
relokasi nilai ekonomi kemanfaatan (produk-produk) pertanian untuk
kesejahteraan rakyat keseluruhan, termasuk kesejahteraan petani.
Kebijakan-kebijakan dalam subsistem pascaproduksi ini merupakan
provisi-ke-depan (forward provision). Tanpa provisi-ke-depan mungkin
kesejahteraan petani tidak ada sangkut-pautnya dengan kemajuan di
bidang pertanian. Sebagaimana dinyatakan oleh Madeley (2005) dan
Arifin (2005b) bahwa kebijakan pertanian nasional dan liberalisasi
perdagangan kelihatannya telah mendorong kemajuan tertentu dalam
pertanian (dalam arti, modernisasi) tetapi ternyata tidak berpengaruh
apa-apa terhadap kesejahteraan petani. Kekacauan sektor non-riil
(moneter) sejak akhir 1990-an yang nota-bene adalah sektor non-
pertanian, malahan telah memperparah keadaan ekonomi petani
(Yusanto, 2001). Padahal melalui provisi-ke-depan itulah kemelaratan
petani diharapkan tidak akan terjadi, karena mereka diakui sebagai
produsen sejati dari nilai ekonomi kemanfaatan untuk kehidupan yang
bersumber dari pertanian, yaitu sebagai produsen dan pemasok pangan.
Oleh sebab itu para petani pulalah yang seharusnya menjadi penerima
manfaat utama dari pertanian, bukan sebagai penerima harga (price
taker) pertanian sebagaimana kenyataannya. Sementara itu, pemerintah
dan pedagang menjadi penerima manfaat karena mereka dapat menjadi
penentu harga (price determinant). Kalaupun provisi-ke-depan sudah
ada, tapi agaknya belumlah memadai sebagai fungsi-fungsi agregasi dan
sekaligus relokasi atau redistribusi nilai kemanfaatan pertanian. Dengan
demikian terjadilah kondisi yang seolah-olah membiarkan nilai tukar
pertanian yang ‘undervalue’.
Pemahaman tentang sistem dan rantai agribisnis yang sempit,
yang tidak mencakup fungsi-fungsi agregasi dan relokasi nilai ekonomi
kemanfaatan pertanian, menundakan adanya keperluan untuk berpikir-
ulang tentang sistem agribisnis. Pertama, perlu pergeseran makna
bahwa output agribisnis bukanlan produk-produk pertanian, melainkan
nilai ekonomi kemanfaatan pertanian. Pemrosesan dan pemasaran

11
produk pertanian sesungguhnya adalah bagian saja dari subsistem
produksi, bukan bagian dari subsistem pascaproduksi sebagaimana
lumrahnya dipahami. Kedua, tujuan agribisnis untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia hanya mungkin dilakukan melalui fungsi-
fungsi agribisnis lebih jauh, yaitu melalui fungsi-fungsi agregasi,
relokasi dan distribusi nilai ekonomi kemanfaatan pertanian. Tetapi
persoalannya adalah bahwa provisi-ke-depan selama ini seakan tidak
dipedulikan sehingga nilai ekonomi kemanfaatan pertanian dibiarkan
terdistribusi menurut pasar produk-produk pertanian yang jauh dari
kesempurnaan. Perbaikan subsistem pascaproduksi lebih merupakan
tantangan dari sisi provisi yang relatif kurang disentuh.

MODEL AGRIBISNIS SYARIAH


Sebagaimana terlihat pada Tabel 1 sebelumnya, sistem agribisnis
merupakan kompleksitas pelaku-pelaku agribisnis dan ativitas-
aktivitasnya. Kompleksitas agribisnis tersebut dapat disederhanakan
menjadi model agribisnis, yang amat ditentukan ajaran moral (sistem
etika) yang mendasari pengambilan keputusan dalam sistem agribisnis
yang bersangkutan. Model agribisnis syariah akan berbeda dari model
agribisnis kontemporer.
Menurut Beekum (2004), secara kontemporer, terdapat lima
sistem etika yang mendominasi pemikiran etika bisnis, termasuk
agribisnis, yaitu: relativisme, utilitarianisme, universalisme, hak-hak,
dan keadilan distributif, seperti dalam Tabel 2 (Enam sistem etika bisnis
kontemporer).

Tabel 2: Enam sistem etika agribisnis kontemporer


SISTEM ETIKA KRITERIA PENGAMBILAN KEPUTUSAN BISNIS
Keputusan etis tentang bisnis dibuat berdasarkan
RELATIVISME
kepentingan pribadi dan kebutuhan pribadi
(kepentingan pribadi
Keputusan etis dibuat berdasarkan hasil yang diberikan
UTILITARIANISME
oleh keputusan: suatu tindakan dikatakan etis jika
(kalkulasi untung rugi) memberikan keuntungan terbesar bagi sejumlah besar
orang
Keputusan etis yang menekankan maksud suatu tindakan
UNIVERSALISME
atau keputusan: keputusan yang sama harus dibuat oleh
(kewajiban) setiap orang dibawah kondisi yang sama
Keputusan etika yang menekankan nilai-nilai individu,
HAK (kepentingan kebebasan untuk memilih
individu)
Keputusan etika yang menekankan nilai-nilai individu,
KEADILAN DISTRIBUTIF keadilan dan menegaskan pembagian yang adil atas
(keadilan-kesetaraan) kekayaan dan keuntungan
Sumber: Bekum (2004, hal. 21).

Etika kontemporer mendorong agribisnis menjadi representasi dari


kehendak bebas (free will) untuk mencapai tujuan kepuasan tanpa

12
batas, dan sekaligus sebagai tindakan bebas (free choice) yang tidak
harus dipertanggungjawabkan kepada siapapun dan kapanpun, kecuali
mematuhi kontrak sosial, sebuah institusi berpamrih yang berlaku
sebagai koridor perilaku berbisnis. Namun hal itulah pokok
persoalannya. Manakala kontrak-kontrak sosial hanyalah wahana
pertandingan kepentingan, agribisnis tidak obahnya sebagai anasir dari
kompromi pelaku-pelaku ekonomi yang akan bergerak secara instinktif
dan spekulatif ke arah yang tidak maknawi, tidak ke arah kemaslahatan
bersama, melainkan ke arah kepentingan untuk meraup keuntungan
dari pertanian. Keuntunganlah yang berlaku sebagai kekuatan yang
amat menentukan keputusan agribisnis. Siapapun unsur pelakunya,
agaknya boleh berbuat apa saja terhadap alam dan sumberdaya per-
tanian untuk memenuhi kebutuhannya atau mengejar kepentingannya,
dan keuntungan terbesarlah yang dijadikan patokan. Alam seolah-olah
wahana berekonomi yang membiarkan sifat serakah pelaku agribisnis
untuk mencapai tujuan efisiensi—untuk produsen keuntungan tertinggi
dan untuk konsumen kepuasan tertinggi— dengan memakai asumsi
persaingan sempurna dan manusia berciri homo economicus yang
mementingkan diri sendiri—egois dan selfish (Mubyarto, 2002).
Akibat paling mengkhawatirkan dari etika kontemporer dalam
agribisnis ialah mengejalanya perilaku pelaku-pelaku agribisnis yang
tidak otonom dan amat dideterminasi oleh hukum atau kondisi ekonomi
tentang: (i) kelangkaan sumberdaya; (ii) tujuan yang tidak terbatas
dengan pilihan tindakan yang terbatas; (iii) hukum pasokan-permintaan;
dan (iv) hukum law of diminishing return.14 Atas hukum-hukum ekonomi
tersebut agribisnis berlaku sebagai ruang persaingan atau bahkan ruang
keniscayaan pertentangan (rasionally unsetable conflict). Komitmen
moral, etika, dan akhlak tidak masuk sebagai pertimbangan bisnis. 15
Akibat lebih jauh, agribisnis menjurus peristiwa hubungan antar
sesama pelaku-pelakunya yang saling menghancurkan yang sekaligus
mendorong pengrusakan sumberdaya lingkungan, demi yang namanya
keuntungan.
Sebenarnya, diluar model agribisnis yang berdasarkan etika
kontemporer terdapat pula model agribisnis syariah, yang mengandung
arti bahwa manajemen sumberdaya pertanian harus menghasilkan
14
Kondisi-kondisi inilah, khususnya kondisi kelangkaan, yang mendasari aktivitas
ekonomi manusia dan juga mendasari fenomen ekonomi, sehingga dikenal benda-
benda dan jasa-jasa ekonomi, jumlah sumberdaya terbatas, tujuan tidak terbatas,
pilihan terbatas, dan seterusnya. Dari hukum kelangkaan pula ditemukan kurva
pasokan-permintaan, yang selanjutnya menentukan tingkat harga dalam mekanisme
pasar. Mekanisme pasar merupakan dasar atau sumber dari semua dinamika ataupun
fenomen ekonomi kapitalis (Putranto, 2004).
15
Dalam khasanah ilmu pengetahuan, istilah etika, moral dan akhlak sering saling
terpertukarkan. Pembeda spesifiknya ialah bahwa moral atas dasar nilai-nilai adat
atau tradisi, etika atas dasar nilai-nilai yang dihasilkan pemikiran ilmiah, dan akhlak
atas dasar nilai-nilai agama Islam.

13
kemanfaatan yang harus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Dalam model tersebut, agribisnis lebih jauh harus diaku
sebagai perbuatan bernilai ibadah yang dapat disejajarkan dengan amal
saleh: mengisi eksistensi kehidupan dengan sikap dan perilaku yang
baik (akhlakul karimah) yang mendatangkan kemaslahatan16 yang
didasarkan prinsip-prinsip tertentu menurut kriteria-kriteria tertentu
(al-mizan), baik kriteria rasionalitas ekonomi 17; kriteria etis18; kriteria
obligasi dan kebajikan sosial19:
“Dan orang-orang yang menafkahkan (hartanya) tanpa berlebih-
lebihan dan tiada pula kikir, melainkan pertengahan antara
keduanya” [QS. al-Furqan (25): (67)].
“Jikalau Allah melayangkan rezki bagi hamba-hambaNya, mereka
aniaya di muka bumi, tetapi Dia menurunkan dengan sekedar (yang
tertentu), menurut kehendakNya. Sesungguhnya Dia Maha-
mengetahui lagi Maha-melihat segala hambaNya” [QS. al-Syura (42):
(27)].
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta orang
lain dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan (jual-beli)
dengan suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu bunuh
dirimu (saudaramu). Sesungguhnya Allah Penyayang kepadamu”
[QS. an-Nisa’ (4): (29)].
“Hanya sedekah (zakat) itu, untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus zakat, orang-orang muallaf hatinya, untuk memer-
dekakan hamba (budak), orang yang berutang, pada jalan Allah dan
untuk orang musafir, sebagai suatu keperluan daripada Allah. Allah
Maha-mengetahui lagi Maha-bijaksana” [QS. al-Taubah (9): (60)].
“Berikanlah kepada karib-kerabat haknya masing-masing dan
kepada orang miskin dan orang musafir dan janganlah engkau
mubazir (pemboros) dengan semubazir-mubazirnya” [QS. al-Isra’
(17): (26)].

Ciri-ciri aksiomatis akhlak model agribisnis syariah adalah seperti


dalam Tabel 3 (Akhlak agribisnis syariah).

Tabel 3: Akhlak agribisnis syariah


KRITERIA AKHLAK CIRI-CIRI AKSIOMATIS
RASIONALITAS EKONOMI
-segala sesuatu milik Allah, manusia hanya punya hak guna
Tauhid -terbebas dari determinasi perbuatan, selain dari Allah
-percaya hanya Allah penolong, tidak pernah putus asa
-percaya Allah mengetahui segalanya: taat pada kehendak
ilahiah
16
QS. at-Tiin (95): (4)
17
QS. al-Furqan (25): (67) dan QS. al-Syura (42): (27)
18
QS. an-Nisa’ (4): (29)
19
QS. al-Taubah (9): (60) dan al-Isra’ (17): (26)

14
-berbuat adil
Keseimbangan -memelihara keteraturan
-tidak berlaku ekstrim

15
Tabel 3 (sambungan).
ETIS
-bertindak tanpa tekanan eksternal
Kehendak otonom -berlaku dan bertindak sebagai Khalifah
yang ilahiah
-fardal ain dan fardal kifayah
Tanggungjawab -tidak nawafil, beribadah secara berlebihan sampai tidak ada
waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup
-tidak ada alasan untuk menyeleweng (untuk tidak etis
berbisnis)
KABAJIKAN
-mendorong kepada kebaikan
Kebajikan (ihsan): -memberi kepada yang sedang membutuhkan
memelihara -membayar lebih dari harga, untuk kaum miskin
keadilan dalam -memberi waktu lebih longgar kepada (meringankan) si
pertukaran (just peminjam
price: justum -membolehkan pengembalian barang yang sudah dibeli, demi
pretium) kebajikan
-tidak memaksa membayar kepada yang tidak mampu
membayar (pada jual barang secara kredit)
Sumber: Disarikan dari konsep ekonomi oleh Taimiyah (dalam Islahi, 1988) dan
Beekum, 2004.

Kriteria-kriteria akhlak agribisnis—rasionalitas ekonomi, etis, dan


kebajikan— adalah saling memasuki. Kriteria rasionalitas ekonomi
menjelaskan hal-hal yang menyangkut tauhid dan keseimbangan secara
saling terkait, dengan isu-isu penguasaan sumberdaya (resource
entitlement), pengendalian tindakan, dan esensi tindakan. Struktur
penguasaan sumberdaya oleh pelaku agribisnis dibuat fleksibel untuk
tujuan memelihara kelangsungan pendaur-ulangan sumberdaya
pertanian dan kelancaran relokasi nilai ekonomi kemanfaatan pertanian.
Penguasaan sumberdaya pertanian oleh pelaku agribisnis untuk tujuan
sebesar-besarnya kemanfaatan, dengan modus menjadi (being mode).
Allah-lah yang diaku sebagai pemilik absolut sumberdaya pertanian.
Manusia hanya diberi hak guna untuk tujuan mewujudkan
kemaslahatan berupa nilai ekonomi kemanfaatan pertanian.
Agribisnis syariah dicirikan pula sebagai pengendalian tindakan
melalui pengakuannya sebagai muamalah yang dideterminasi oleh nilai-
nilai ilahiah. Dalam hal ini agribisnis harus dapat diberlakukan sebagai
wujud dari amal saleh. Walaupun agribisnis itu adalah kerja tetapi
tujuannya bukanlah untuk mengejar pendapatan ataupun keuntungan,
tetapi menjalankan fungsi ibadah—beramal saleh untuk kemaslahatan.
Kerja demikian bukan berimplikasi pendapatan ataupun keuntungan,
tetapi ‘reski’ yang datangnya dari Allah dalam berbagai bentuk dan dari
berbagai sumber yang tidak terduga oleh manusia sendiri.
Esensi agribisnis syariah paling tidak harus menyangkut tiga hal
berikut. Pertama untuk melakukan daur-ulang (reinvestment) seluruh

16
sumberdaya pertanian sehingga dapat menghasilkan nilai ekonomi
kemanfaatan pertanian yang lebih besar secara lebih kerkelanjutan.
Dalam syariah tidak dibolehkan terdapat sumberdaya yang mati atau
diam (idle resources). Kedua untuk menjaga agar sumberdaya pertanian
tidak mengalami nilai tukar yang undervalue. Ketiga untuk mereposisi
profesi agribisnis dan non-agribisnis secara lebih adil dalam tataran
sistem agribisnis yang utuh. Misalnya, jangan terjadi dalam sistem
agribisnis yang menerima manfaat pertanian justru profesi non-petani,
dan petani justru yang disengsarakan. Dengan kata lain, jangan
dibiarkan profesi yang berhubungan dengan pertanian underdog.
Kriteria etis akhlak agribisnis dapat dilihat dari penciri kehendak
otonom yang ilahiah dan penciri tanggungjawab. Pelaku agribisnis
keseluruhan harus mampu menjalankan fungsi Khalifatullah untuk
mewujudkan kemaslahatan secara bertanggungjawab. Kemaslahatan
merujuk pada tujuan kesejahteraan umat. Bertanggungjawab
maksudnya sesuai dengan ketentuan bahwa manajemen sumberdaya
pertanian haruslah dijalankan secara benar, mulai dari hulu, on-farm,
sampai ke hilir. Jika pada agribisnis konvensional provisi terkonsentrasi
di subsistem produksi on-farm, maka agribisnis syariah juga mengatur
subsistem pascaproduksinya, yaitu tentang agregasi, relokasi atau
redistribusi nilai ekonomi kemanfaatan pertanian.
Kriteria etis agribisnis syariah itu bisa dijabarkan lebih jauh dalam
implementasi dengan kriteria kebajikan, yaitu menyangkut upaya-upaya
ke arah memelihara keadilan ekonomi dalam masyarakat. Provisi yang
dibutuhkan dalam hal ini adalah tentang bagaimana membuat formulasi
agregasi, relokasi atau redistribusi nilai ekonomi kemanfaatan pertanian
yang dapat berjalan secara adil. Zakat, infak dan sadakah dapat dilihat
sebagai konsep-konsep yang secara simultan dapat dipakai bersama
konsep larangan riba dalam provisi agribisnis syariah di subsistem
pascaproduksi.

CATATAN PENUTUP: MEMBANGUN PLATFORM AGRIBISNIS SYARIAH


Menggagas ulang sistem agribisnis (bisnis pertanian) sudah harus
dilakukan paling tidak dengan alasan bahwa pertanian itu “undervalue”,
pelaku pertanian menjadi “underdog”, sehingga pertanian sepertinya
tidak menyumbang apa-apa kepada kemaslahatan. Sistem agribisnis
syariah adalah alternatif karena bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bersama.
Gagasan sistem agribisnis syariah berpusat pada subsistem
produksi yang secara absah berarti sebagai fungsi yang menghasilkan
nilai ekonomi kemanfaatan pertanian, bukan sebagai fungsi yang
menghasilkan barang-barang atau layanan-layanan ekonomi pertanian.
Berdasarkan arti produksi demikian maka aktivitas pengolahan dan
pemasaran hasil-hasil pertanian, yang secara konvensional dinyatakan

17
sebagai bagian dari subsistem hilir (pascaproduksi), sesungguhnya
adalah elemen-elemen subsistem produksi, karena merupakan fungsi
yang juga mewujudkan nilai ekonomi kemanfaatan pertanian, atau
paling tidak nilai tambahnya.
Syariah harus dapat berlaku sebagai provisi (pembekalan) yang
mendeterminasi seluruh sub-subsistem agribisnis. Subsistem
pascaproduksi yang selama ini bekerja sepenuhnya dalam mekanisme
pasar yang “sesat” adalah tataran (platform) utama bagi pengembangan
sistem agribisnis ke depan, disamping tataran syariah itu sendiri yang
berlaku sebagai provisinya (forward provision). Pada tataran pertama
kepedulian diarahkan kepada agregasi dan relokasi/redistribusi nilai
ekonomi kemanfaatan pertanian kepada masyarakat keseluruhan. Pada
tataran kedua, menyangkut syariah, kepedulian diarahkan kepada
pembacaan kehendak ilahiah, yaitu tentang benar-salah dan baik-
buruknya fungsi-fungsi agribisnis berdasarkan Al-Quran dan Sunnah
Rasul. Penentuan benar-salah dan baik-buruk sesuatu untuk dijadikan
dasar agribisnis membutuhkan telaahan lebih jauh. Perlu upaya ilmiah
lebih jauh. Islam kita yakini adalah sepenuhnya kebenaran (haqul
yakin), namun kita dituntut untuk menurunkan nilai-nilai tauhid itu
menjadi obyektif sebagai obyektivitas yang dapat terbukti secara ilmiah
(ilmal yakin) dan secara empiris atau dalam pengujian laboratorium
(ainul yakin). Ini tugas berat.
Dalam tataran syariah ini paling tidak terdapat pula dua bilik
kepedulian. Pertama ialah bilik fundamental yang menyangkut upaya
untuk mensubordinasikan sistem agribisnis kepada kepentingan
menegakkan akidah dan akhlak manusia. Kedua dalam bilik fungsional
yang menyangkut pengembangan cara atau metoda agribisnis yang
bertujuan untuk pendaur-ulangan sumberdaya pertanian untuk
kesejahteraan umat.
*****

KEPUSTAKAAN
Arifin, Bustanul. 2005a. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta: LP3ES.
Arifin, Bustanul. 2005b. Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan dan
Strategi Revitalisasi. Jakarta: Grasindo.
Bablily, Mahmud Muhammad. 1990. Etika Bisnis: Studi Kajian Konsep
Perekonomian Menurut Al Quran dan As Sunnah. Solo: Ramadhani.
Beekum, Rafik Issa. 2004. Islamic Business Ethics. Goodword Books and The
International Institute of Islamic Thought.
Gumbira-Sa’id, E. dan Prastiwi, Yayuk Eka. 2005. Agribisnis Syariah
(Manajemen Agribisnis dalam perspektif Syariah Islam). Depok: Penebar
Swadaya.

18
Gumbira-Said, E.; Rahmayanti; Muttaqin, M. Zahrul. 2001. Manajemen
Teknologi Agribisnis. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Islahi, Abdul Azim. 1988. “Economic Concepts of Ibn Taimiyah.” Islamic
Economics Series-12. Leincester, UK: The Islamic Foundation.
Madeley, John. 2005. Loba, Keranjingan Berdagang. Yogyakarta: Cindelaras
Pustaka Rakyat Cerdas.
Martius, Endry. 2004. “Rekonstruksi Pengelolaan Sumberdaya Air:
Endogenisasi Teknologi.” Disertasi S3, Universitas Gadjah Mada.
Mubyarto. 2002. Ekonomi Pancasila: Landasan Pikir dan Misi Pendirian Pusat
Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: BPFE.
Muslich. 2004. Etika Bisnis Islami: Landasan Filosofos, Normatif dan Substansi
Implementatif. Yogyakarta: Penerbit Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII.
Ostrom, Elinor; Schroeder, Larry; Wynne, Susan. 1993. Institutional Incentives
and Sustainable Development: Infrastructure Policies in Perspective. Boulder-San
Fransisco-Oxford: Westview Press.
Pressman, Jefrey L. Dan Wildavsky, Aaron. 1973. Implementation (Third
Edition). Berkeley, California: The University of California).
Putranto, Hani. 2004. Herucakra Society: Jalan Ketiga Ekonomi Dunia. Jakarta:
Penerbit WWS.
Qardhawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam (Cetakan ke-4).
Jakarta: Gema Insani Press.
Rahardjo, Dawam. 2002. Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Penerbit Paramadina dan Jurnal Ulumul
Quran.
Saefuddin, A.M. 1992. “Perspektif Ekonomi Umat Islam.” Dalam Burhan
Bungin dan Laely Widjayati (Penyunting) Dialog Indonesia Masa Depan.
Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.
Yunus, Mahmud. 1993. Tafsir Quran Karim. Jakarta: P.T. Hidakarya Agung.
Yusanto, Ismail. 2001. “Mencari Solusi Krisis Ekonomi.” Dalam Dinar Emas,
Solusi Krisis Moneter. Jakarta: PIRAC, SEM Institute, Infid.

19

Anda mungkin juga menyukai