Buku Ajar Alergi Imunologi Anak 2 With Cover Page v2
Buku Ajar Alergi Imunologi Anak 2 With Cover Page v2
Text book-mikrobiologi19
suhart a faizat ur Rohmah suhart a
imun
indria erna prabawat i
BUKU AJAR
ANAK
Edisi Kedua
Penyunting
Arwin AP Akib
Zakiudin Munasir
Nia Kurniati
lkatan Dokter Anak Indonesia
Jakarta, 2008
Assalamualaikum wr. wb
P
uji dan syukur kanli panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-Nya
maka Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak ini dapat diterbitkan. Buku ini merupakan
hasil karya anggota Unit Kerja Koordinasi Alergi-Imunologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia dan diharapkan dapat dipakai sebagai acuan bidang alergi-imunologi anak di
semua pusat pendidikan Dokter Spesialis Anak.
Buku acuan untuk alergi-imunologi, terutama yang bersangkutan dengan ilmu
kesehatan anak masih cukup sulit dan jarang didapat, apalagi dalam bahasa Indonesia.
Dengan terbitnya buku ini yang berisi pengetahuan dasar imunologi serta berbagai kelainan
klinis pada anak maka diharapkan para peserta program studi Ilmu Kesehatan Anak dapat
lebih mudah memahami berbagai masalah di bidang alergi-imunologiyang dihadapi dalam
menlenuhi objektif pendidikannya. Demikian pula bagi dokter sepesialis anak, serta untuk
menambah khasanah ilmunya dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan serta
meningkatkan kemampuan profesionalnya untuk menghadapi era globalisasi di masa yang
akan dating.
Akhirnya saya ingin menyampaikan penghargaan kepada para penulis yang telah
bersusah payah memberikan pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga dalam
buku ini, dan juga kepada para penyunting karena berkat ketekunan kerja inereka maka
buku ini dapat diterbitkan.
Harapan kami mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat yang telah
dilimpahkan-Nya dalam membimbing kami menyelesaikan dan menerbitkan Buku Ajar
Alergi-Imunologi Anak ini.
Buku ini diterbitkan dengan tujuan untuk menambah perbendaharaan buku ajar
di bidang ilmu kesehatan anak pada umumnya dan bidang alergi-imunologi anak pada
khususnya. Sasaran utama buku ini adalah Peserta Program Studi llmu Kesehatan Anak,
tetapi dapat juga ia dipakai oleh dokter spesialis anak yang ingin memperluas wawasannya di
bidang alergi-imunologi.Sejalan dengan kemajuan teknologi dalam bidang ilmu kedokteran
pada akhir-akhir ini, pengetahuan di bidang alergi-imunologi pun maju dengan pesat,
terutama mengenai dasar-dasar bidang ini. Karena itu buku ini membahas imunologi dasar,
irnunitas dan imunopatologi, imunologi klinis, terapi dasar penyakit alergi, dan pemeriksaan
penunjang.
Para penulis adalah anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Alergi-Imunologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI). Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada para penulis dan seluruh anggota UKK Alergi-lmunologi IDAI yang telah
menyediakan waktu mereka yang sangat berharga untuk menyelesaikan buku ini.
Penyunting
KATA PENCANTAR
EDlSl KEDUA
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat yang telah
dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan dan menerbitkan Buku Ajar
Alergi-ImunologiAnak edisi kedua, cetakan kedua.
Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak edisi kedua ini merupakan revisi terhadap edisi
pertama dan terdapat beberapa tambahan ilmu mengenai alergi-imunologi anak. Hal ini
penting dilakukan mengingat pesamya perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang
alergi-imunologi.
Para penulis pada buku edisi kedua ini adalah penulis pada buku edisi pertama
ditambah para penulis baru yang semuanya adalah anggota Unit Keja Koordinasi (UKK)
Alergi-Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Salah satu penyunting buku ajar
ini yaitu Prof. dr. Corry S. Matondang, Sp.A(K) telah mendahului kita, sehingga digantikan
oleh dua penyunting baru, yaitu dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K) dan dr. Nia Kumiati, Sp.A.
Semoga jasa almarhumah mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Pada kesempatan ini kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan dan penerbitan Buku Ajar Alergi-Imunologiedisi kedua
ini. Edisi kedua ini dicetak ulang atas perrnintaan banyak pihak, karena cetakan pertama
edisi kedua sudah habis terjual.
Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam melakukan
tatalaksana alergi-imunologi pada anak, yang pada saat ini dituntut untuk lebih
profesional.
Penyunting
DAFTAR PENULIS
Ariyanto Harsono Julius Roma
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Laboratoriunl Ilmu Kesehatan Anak
FKUN/RSUD Dr. Soetomo FKUNHASMU Ujung Pandang
Surabaya Ujung Pandang
Arwin Ali Purbaya Akib Martani Widjajanti Rakun
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUImSUP Dr. Cipto Mangunkusumo RSAB Harapan Kita
Jakarta Jakarta
Budi Setiabudiawan. Myrna Soepriadi
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
FKUNPAD/RSU Dr. Hasan Sadikin FKUNPADIRSU Dr. Hasan Sadikin
Bandung Bandung
Cahya Dewi Satria Nia Kurniati
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUGM/RSUP Dr. Sardjito FKUI/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Yogyakarta Jakarta
Cony Siahaan Matondang Oscar Rahrnan
Profesor Ilmu Kesehatan Anak Laboratoriuill Ilrnu Kesehatan Anak
FKUIJRSUP Dr. Cipto Mangunkusumo FKUNPADKSU Dr. Hasan Sadikin
Jakarta Bandung
Diantje Sondakh Takumangsang Sumadiono
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUNSRAT/RSU Gunung Wenang FKUGMKSUP Dr. Sardjito
Manado Yogyakarta
Esti Mulyaning Dadi Suyoko Sjawitri Pane Siregar
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo FKUI/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta Jakarta
Harsoyo Notoatmojo Zakiudin Munasir
Profesor Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUNDIP/RSU Dr. Karyadi FKUI/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Semarang Jakarta
Hendra Santoso
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
FKUNUD/RSU Sanglah
Denpasar
DAFTAR SINGKATAN
vii
DNA : Deoxy ribonucleic acid
DNCB : 2-4 dinitrochloro benzene
DQ : Alel kelas I1 MHC
DR : Lokus D yang berhubungan dengan HLA manusia
EAR : Early asthmatic reaction (reaksi asma fase dini)
EBP : Eosinophilic basic protein (protein dasar eosinopil)
ECF-A : Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (faktor kemotaktik eosinofil
anafilaksis)
EDN : Eosinophil derived neurotoxin (neurotoxin yang berasal dari eosinofil)
EDP : Eosinophil derived protein (protein yang berasal dari eosinofil)
EIA : Exercise induced asthma (asma yang diinduksi latihan)
EKG : Elektrokardiografi
ELISA : Enzyme linked immunosorbent assay
EPO : Eosinophil peroksidase
Fab : Fragmen immunoglobulin pengikat antigen
FAB : Faktor aktivasi sel B
Fc : Fragmen immunoglobulin yang dapat dikristalkan
FcR : Reseptor Fc IgE
FEF : Forced expiratory flow (aliran paksa ekspirasi)
FEV 1 : Flow expiratory volume in one second (volume aliran ekspirasi dalam
satu detik)
FMLP : Formyl methionyl leucocyte phenylalanine
FPB : Faktor pertumbuhan sel B
GALT : Gut associated lymphoid tissue
G-CSF : Granulocyte colony stimulating factor (faktor stimulasi koloni
granulosit)
GM-CSF : Granulocyte macrophage colony stimulating factor (faktor stimulasi
koloni granulosit makrofag)
gP 120 : Glikoprotein dengan berat molekul 120 kd
HIV : Human Immunodeficiencyvirus
HLA : Human Leukocyte antigen
HMP : Hexose monophosphate
ICAM : Intercellular adhesion molecule (molekul adhesi interselular)
IFNa : Interferon alfa
INFP : Interferon beta
IFNY : Interferon gama
Ig : Imonoglobulin
IL : Interleukin
Ir gene : Immune response gene (gen respons imun)
JH : Segmen penggabungan bagian variable dan diversitas rantai berat
H Immunoglobulin
: Keluarga berencana
viii
LAR : Late asthnlatic reaction (reaksi asma fase lambat)
LDH : Lactic dehydrogenase
LED : Laju endap darah
LES : Lupus eritematosis sistemik
LFAI : Limphocyte fuctional antigen 1
LPS : Lipopolisakarida
LTB 4 : Leukotrien B4
LTC 4 : Leukotrien C4
LTD 4 : Leukotrien D4
LTE 4 : Leukotrien L4
MAF : Macrophage activating factor (faktor aktivasi makrofag)
MBP : Major basic protein
MCAF : Monocyte chenlotactic activating factor (faktor aktivasi kemotaktik
monosit)
MCSF : Macrophage colony stimulating factor (faktor stimulasi koloni
makrofag)
MDP : Muramil dipeptid
MGF : Macrophage growth factor (faktor pertumbuhan makrofag)
MHC I : Kompleks hiitokompatibilitas mayor kelas I
MHC I1 : Kompleks histokompatibilitas mayor kelas I1
MIF : Macrophage inhibiting factor (faktor inhibisi makrofag)
MPO : Mieloperoksidase
MPS : Mononuclear phagocyte system (sistem fagosit mononuklear)
NADH : Nicotinamide adenine dinucleotide
NADPH : Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
xii
BAB 26. Alergi Obat ............................................................................ 294
Arwin AP Akib, Diantje S Takumansang
Sumadiono, Cahya Dewi Satria
BAB 27. Sindrom Stevens. Johnson ..................................................... 307
Arwin AP Akib, Diantje S Takumansang
BAB 28. Penyakit Defisiensi Imun .......................................................312
Arwin AP Akib, Iulius Roma, Nia Kumiati
BAB 29. Artritis Reumatoid Juvenil .................................................... 332
Arwin AP Akib
BAB 30. Lupus Eritematosus Sistemik .................................................345
Arwin AP Akib, Myma Soepriadi, Budi Setiabudinwan
BAB 3 1. Purpura Henoch-Schonlein ................................................... 373
Cony S Matondang, Iuliw Roma
BAB 32. Infeksi HIV pada Bayi dan Anak ........................................... 378
Cony S Matondang, Nia Kumiati
xiii
.
6 UJI ELUlINASI DAN PROVOKASI SUSU SAP1 ........... 459
Zakidin Munasir
.
7 UJI KULIT WELAMBAT .............................................461
EM Dadi Suyoko
BAB 37. Pemeriksaan Laboratorium ....................................................
463
Zakiudin Munasir
PENJURUS ..........................................................................................
479
Lampiran ..............................................................................................483
xiv
BAGIAN I
IMUNOLOGI DASAR
Bagian ini mengemukakan sejarah imunologi, perkembangan sistem
imun serta respons imun dan sistem kekebalan tubuh manusia. Pokok
bahasan utama adalah tentang mekanisme kerja sistem imun spesifik
dan nonspesifik yang merupakan keharusan untuk pemahaman masalah
imunologi selanjutnya.
Sejara h Imunologi
Corry S Matondang
P
ada mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari'respons
tubuh, terutama respons kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546,
Girolamo Fracastoro mengajukan teon kontagion yang menyatakan bahwa pada
penyakit infeksi terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit tersebut dari satu
. individu ke individu lain, tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan
mata dan pada waktu itu belum dapat diidentifikasi.
Pada tahun 1798, Edward Jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari
infeksi variola secara alamiah, bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow
pox). Sejak saat itu, mulai dipakailahvaksin cacas walaupun pada waktu itu belum diketahui
bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila
tidak diiringi dengan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran.
Dengan ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat
dan mulai dapat ditelusuri penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi
baru dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab penyakit infeksi
dan dapat menlbiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (gem theory) penyakit.
Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksinrabies pada manusia tahun
1885. Hasil karya Pasteur ini kemudian merupakan dasar perkembangan vaksin selanjutnya
dan merupakan pencapaian gemilang di bidang imunologi yang memberi dampak positif
pada penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi pada anak.
Pada tahun 1880, Robert Koch menemukan kuman penyebab penyakit tuberkulosis.
Dalam rangka mencari vaksin terhadap tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi
tuberkulin (1891) yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap
kuman tuberkulosis. Reaksi tuberkulin ini kemudian oleh Mantoux (1908) dipakqi untuk
mendiagnosispenyakit tuberkulosis pada anak. Imunologi mulai dipakai untuk menegakkan
diagnosis penyakit pada anak. Vaksin terhadap tuberkulosis ditemukan pada tahun 1921
oleh Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin).
.Kemudian diketahui bahwa tidak hanya mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan
kekebalan, bahan yang tidak hidup pun dapat mengnduksi kekebalan.
Setelah Roux dan Yersin menemukan toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring
dan Kitasato menemukan antitoksin difteri pada binatang (1890). Sejak itu dimulailah
Sejarah lmunologi 3
pengobatan dengan serum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam
pengobatan penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini di kenludian
hari berkembang menjadi pengobatan dengan imunoglobulin spesifik atau globulin gama
yang diperoleh dari manusia.
Dengan pemakaian serum kebal, muncullah secara klinis kelainan akibat pemberian
serum ini. Dua orang dokter anak, Clemens von Pirquet dari Austria dan Bela Shick dari
Hongaria melaporkan pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikan serum kebal
berasal dari kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang
dinamakan penyakit serum (serum sickness). Selain itu peneliti Perancis, Charles Richet
dan Paul Portier (1901) menemukan bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul
dengan menyuntikkan zat toksin pada anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah
keadaan sebaliknya yaitu kematian sehingga dinamakan dengan istilah anafilaksis (tanpa
pencegahan). Mulailah irnunologi dilibatkan dalam reaksi lain dari kekebalan akibat
pemberian toksin atau antitoksin. Clemens von Pirquet dari Austria (1906) memakai istilah
reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini. Pada tahun 1873 Charles Blackley mempelajari
penyakit hay fewer, yaitu penyakit dengan gejala klinis konjungtivitis dan rinitis, serta
melihat bahwa ada hubungan antara penyakit ini dengan serbuk sari (pollen). Oleh Wolf
Eisner (1906) dan Meltzer (1910), penyakit ini dinamakan anafilaksis pada manusia (human
anaphykzxu).
Pada tahun 1911-1914, Noon dan Freeman mencoba mengobati penyakit hay fever
dengan cara terapi imun yaitu menyuntikkan serbuk sari subkutan sedikit demi sedikit.
Dasamya pada waktu itu dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan
harapan agar terbentuk antitoksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih dipakai untuk
mengobati penyakit alergi terhadap antigen tertentu yang dikenal dengan cara desensitisasi.
Akan tetapi mekanisme yang sekarang dianut adalah berdasarkan pembentukan antibodi
penghambat (blocking antibody).
Dengan penemuan reaksi tuberkulin, Schloss (1912) dan von Pirquet (1915)
melakukan uji gores (scratch test) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada anak.
Talbot (1914), seorang dokter anak, dengan uji gores melihat adanya hu- bungan antara
asma anak dengan telur. Cooke (1915) memodifikasi uji gores dengan uji intrakucan, dan
melaporkan juga bahwa faktor keturunan memegang peranan pada penyakit alergi. Pada
tahun 1913, Stiick juga memperkenalkan uji kulit untuk menentukan kepekaan seseorang
terhadap kuman difteri, sehingga makin banyak fenomena imun diterapkan dalam uji
diagnostik penyakit anak.
Pada tahun 1923, CookedanCoca mengajukan konsep atopi (strange disease) terhadap
sekumpulan penyakit alergi yang secara klinis mempunyai manifestasi sebagai hay fever,
asma, dermatitis, dan mempunyai predisposisi diturunkan. Mulailah ilmu alergi-imunologi
diterapkan dalam kelainan dan penelitian di bidang alergi klinis. Rackemann (1918)
melihat bahwa sebagian besar asma pada anak mempunyai dasar alergi dan dinamakan
asma tipe ekstrimik. Prausnitz dan Kustner (1921) menyatakan bahwa zat yang menimbulkan
sensitisasi kulit pada uji kulit dapat ditransfer melalui serum penderita. Memang pada
Sejarah lmunologi 5
genetik identik (singenik) akan diterima, sedangkan jaringan dari individu yang secara
genetik tidak identik (alogenik) akan ditolak. Beliau juga mengajukan teori seleksi klon
( c h e ) pada respons tubuh terhadap antigen tertentu. Semuanya ini kemudian merupakan
dasar untuk penatalaksanaan transplantasi jaringan.
Bertambahnya kelainanimunologiksecara klinis terlihatsejakBruton pada tahun 1952
melaporkan seorang anak umur 8 tahun dengan infeksi berulang yang ternyata kemudian
darahnya tidak mengandung globulin gama. Sejak itu makin bertambah laporan kelainan
klinis yang berdasarkan adanya defisiensi imun primer. Bahkan sekarang kita menghadapi
kelainan klinis dengan defisiensi imun tetapi yang bersifat sekunder akibat infeksi, penyakit
atau kekurangan gizi yang diderita. Penyakit infeksi human immunodefuiency virus (HIV)
yang merupakan penyakit pandemi yang sedang kita hadapi adalah salah satu contoh
defisiensi imun sekunder akibat infeksi yang diderita.
Kelainan klinis berdasarkan reaksi autoimun mulai banyak dikenal secara klinis.
Dengan ditemukannya antibodi monoklonal pada tahun 1975 oleh George, Kohler dan
Cesar Milstein, maka limfosit T dan limfosit B mulai dapat dibedakan melalui molekul
pada permukaan membran sel yang dinamakan petanda permukaan. Selanjutnya dengan
kemajuan di bidang biologi molekular, mekanisme pengenalan antigen yang sangat
kompleks oleh sel limfosit mulai dapat terungkap. Dengan pengetahuan ini, reaksi imun
yang te jadi pada patogenesis penyakit autoimun, termasuk juga penyakit infeksi, alergi, dan
-penolakan jaringan dapat dijabarkan secara molekular. Kelainan klinis yang menunjukkan
adanya defisiensi imun pun mulai dapat dijelaskan lebih terinci, sehingga penanganannya
menjadi lebih tepat. Pengetahuan mekanisme respons imun yang terinci ini selain dapat
dipakai untuk mendiagnosis penyakit alergi-imunologi, juga untuk mendiagnosis penyakit
autoimun dan keganasan sehingga penangangan yang tepat dapat dilaksanakan. Pengobatan
yang melibatkan regulasi sistem imun sekarang tidak hanya difokuskan pada regulasi ke
bawah (dom regulation) seperti pada pemakaian kortikosteroid dan sitotoksik,'tetapi juga
merespons imun dengan obat yang dapat memodifikasi respons biologik (biologic respome
modifiers) seperti sitokin, antara lain interferon dan interleukin.
DAFTAR PU STAKA
1. Bellanti A. Immunology 111. Philadelphia: WB Saunders Company, 1985.
2. Stites DP, Teer AI. Basic and clinical immunology. Nonvalk: Appleton & Lange, 1991.
Corry S Matondang
Evolusi perkembangan sistem imun dapat dianggap sebagai suatu sen respons adaptif
terhadap lingkungan yang berubah-ubah dan potensial rawan. Evolusi perkembangan
sistem imun yang ditinjau dari sudut keragaman berbagai macam spesies, dari spesies yang
paling primitif sampai yang paling berkembang yaitu manusia, dinamakan filogeni sistem
inlun. Pengaruh lingkungan yang rawan ini akan menimbulkan seleksi spesies yang paling
dapat beradaptasi terhadap lingkungan untuk bertahan hidup. Proses adaptasi inilah yang
merupakan dasar filogeni respons imun. .
.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bellanti A. Immunology 111. Philadelphia: WB Saunders Company, 1985.
2. Stites DP,Ten AI. Basic and clinical immunology, Nonvalk: Appleton & Lange 1991.
Respon lrnun
Antigen alogenik, disebut juga antigen homolog, adalah antigen yang berasal dari
individu lain dalam satu spesies. Antigen ini akan merangsang respons imun host. Antigen
xenogenik adalah antigen yang berasal dari individu dengan spesies yang berbeda, misalnya
dari monyet ke manusia. Antigen ini akan rnerangsang kuat respons imun host. Isoantigen
adalah aloantigen yang ada pada kelompok anggota tertentu pada spesies yang sama,
misalnya antigen A dan B dari golongan darah sel darah merah.
Antigen heterofil, dinamakan juga antigen heterogenetik, adalah antigen yang didapat
pada spesies berbeda, misalnya antigen yang ada pada permukaan sel darah merah biri-biri
dengan antigen yang ada pada pem~ukaanvirus Epstein-Barr, atau antigen yang ada pada
spiroketa penyebab sifilis dengan antigen yang ada pada otot jantung sapi. Jadi seseorang
yang terinfeksi virus Epstein-Barr akan membentuk antibodi yang secara in vitro akan
bereaksi dengan sel darah merah biri-bin, demikian pula seseorang yang terinfeksi spiroketa
sifilis akan membentuk antibodi yang secara in vitro bereaksi dengan sel otot jantung sapi.
Mitogen adalah zat yang dapat merangsang sel lilnfosit untuk berproliferasi, tecapi
bukan melalui reseptor antigen melainkan melalui reseptor mitogen. Contoh mitogen ialah
phytohaemaglutinin (PHA), concanavalin A (con-A) yang terutama merupakan nlitogen sel
T, sedangkan pokeweed merupakan mitogen sel B.
Superantigen adalah antigen yang merangsang sel T melalui ikatan dengan kompleks
peptida TCR-MHC APC (reseptor antigen sel T-nlolekul MHC kelas I1 pada sel yang
mempresentasikan antigen) pada rantai p TCR dan bagian molekul MHC kelas 11, jadi
bukan pada bagian ikatan reseptor antigen normal (konvensional) atau reseptor mitogen
(lihat Gambar 3-1).
\ MHCkelasII TCR 1 ~ 1
/ pep-
.'
-
- 4
Superantigen
Garnbar 3-1. lkatan superantigen dengan kompleks peptida TCR-MHC kelas II.
(Dikutip dengan rnodifikasi dari Sigal LH dan Ron Y, 1994)
-- - .- - -- - -.
Tolerogen adalah antigen yang menginduksi toleransi, contohnya antigen din (self
antigen). Idiotip adalah determinan antigenik dari bagian variabel antibodi yaitu bagian
antibodi yang berikatan dengan antigen.
Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit
Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa.
Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.
lmunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa
bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel
I Permukaan I
sel T sel target/APC
Garnbar 3-2.Ppngepalan antigen rnelalui asosiasi dengan rnolekul MHC kelas I dan kelas II pada sel T.
(Dikutip dengan rnodifikasi dari Sigal LH dan Ron Y. 1994)
Limfokin
Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc dan
C3Bpadapermukaan makrofagsehinggamempermudahnlelihatantigenyang telah berikatan
dengan antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis.Selain
itu limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit oksigen yang
bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit, dan lain-lain) sehingga
meningkatkan daya penghancuran antigen oleh makrofag.
lmunitas humoral
Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa
bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin
yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu
IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.
Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkernbangannya pada mamalia
dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabriciw dan pada manusia oleh lingkungan hati,
Respon lmun
Regulasi oleh antibodi yang terbentuk
Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi
selanjutnya. Pada waktu kadar antibodi masih rendah, pada tahap respons permulaan,
antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang rnempunyai kapasitas memproduksi
antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan faktor penting
untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi karena antibodi yang terbentuk
akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga
yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi terhadap antigen atau
berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga berafinitas tinggi.
Adanya efek antibodi tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip antibodi. Umumnya
IgM mempunyai tendensi untuk meningkatkan produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering
bersifat supresif. Di samping itu, pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen
masih lebih besar daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks
Ag-Ab terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat dipresentasikan
pada sel T h yang kemudian merangsang sel B membentuk antibodi. Jadi pada permulaan
terjadi peningkatan jumlah maupun afinitas antibodi. Tetapi bila antibodi sudah ada dalam
konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai jumlah cukup untuk menetralkan antigen yang
ada, antibodi akan menjadi umpan balik negatif agar tidak dibentuk antibodi lebih lanjut.
Hal ini terjacli karena dengan terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka
reseptor antigen pada sel B tidak akan terangsang lagi oleh epitop antigen tersebut, sehingga
tidak terjadi aktivasi dan priming sel B terhambat (lihat Gambar 3-3).
Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan umpan balik negatif
melalui bagian Fc-nya. Sel B selain mempunyai reseptor antigen juga mempunyai reseptor
Fc. Dengan terikatnya antibodi pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat
Hambatan
determinan b
antigen
@ i
Gambar 3-3. Regulasi sel B yang bergantung pada bagian F(ab)Z antibodi
(Dikutip dengan modifikasi dari Roitt, 1985)
Respon lmun
melalui pembentukan anti-idiotip adalah regulasi untuk menurunkan respons imun (down
regulation) yang dikenal sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne (1974).
DAFTAR PUSTAKA
1. Bellanti A. Immunology 111. Philadelphia: WB Saunders Company, 1985.
2. Abbase AK, Lichtman. Cellular and Molekular Immunology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2095.
3. Roitt I, Brostoff J, Male D. Immunology. Edisi Ke-6. Edinburg; Mosby, 2001.
4. Cruse JM, Lewis RE. Atlas of Immunology. USA. CRC-Springer Verlag. 1999.
1. Barrier epitel
Tempat masuknya mikroba yaitu kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran pernapasan
diliidungi oleh epitel yang berfungsi sebagai barrier fisik dan kimiawi terhadap infeksi.
Sel epitel memproduksi antibodi peptida yang dapat membunuh bakteri. Selain itu, epitel
juga mengandung limfosit intraepitelial yang mirip dengan sel T namun hanya mempunyai
reseptor antigen yang terbatas jenisnya. Limfosit intraepitelial dapat mengenali lipid atau
struktur lain pada mikroba. Spesifisitas dan fungsi limfosit ini masih belum jelas.
2. Sistern fagosit
Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit, sel darah yang dapat
datang ke tempat infeksi kemudian mengenali mikroba intraselular dan memakannya
(intracellukn killing). Sistem fagosit dibahas dalam bab tersendiri (Bab 6).
4. Sistem komplemen
Sistem komplemen merupakan sekumpulan protein dalam sirkulasi yang penting dalam
pertahanan terhadap mikroba. Banyak protein komplemen merupakan enzim proteolitik.
Aktivasi komplemen membutuhkan aktivasi bertahap enzim-enzim ini yang dinamakan
enzymatic cascade.
Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu jalur alternatif, jalur klasik, dan jalur
lektin. J d u r altematif dipicu ketika protein komplemen diaktivasi di permukaan mikroba
dan tidak dapat dikontrol karena mikroba tidak mempunyai protein pengatur komplemen
(protein ini terdapat pada sel host). Jalur ini merupakan komponen imunitas non spesifik.
Jalur.klasik dipicu setelah antibodi berikatan dengan mikroba atau antigen lain. Jalur ini
merupakan komponen humoral pada imunitas spesifik. Jalur lektin teraktivasi ketika suatu
protein plasma yaitu lektin pengikat manosa (mannose-binding lectin) berikatan dengan
manosa di permukaan mikroba. Lektin tersebut akan mengaktivasi protein pada jalur klasik,
tetapi karena aktivasinya tidak membutuhkan antibodi maka jalur lektin dianggap sebagai
bagian dari imunitas non spesifik. Ketiga jalur aktivasi komplemen di atas berbeda pada
cara dimulainya, tetapi tahap selanjutnya dan hasil akhirnya adalah sama.
Protein komplemen yang teraktivasi berfungsi sebagai enzim proteolitik untuk
memecah protein komplemen lainnya. Bagian terpenting dari komplemen adalah C3 yang
akan dipecah oleh enzim proteolitik pada awal reaksi complement cascade menjadi C3a dan
C3b. Fragmen C3b akan berikatan dengan mikroba dan mengaktivasi reaksi selanjutnya.
Sistem komplemenmempunyai3 fungsi sebagai mekanisme pertahanan. Pertama, C3b
menyelubungi mikroba sehingga mempermudah mikroba berikatan dengan fagosit (melalui
reseptor C3b pada fagosit). Kedua, hasil pemecahan komplemen bersifat kemoatraktan
untuk neutrofil dan monosit, serta menyebabkan inflamasi di tempat aktivasi komplemen.
Ketiga, tahap akhir dari aktivasi komplemen berupa pembentukan membrane attack complex
(MAC) yaitu kompleks protein polimerik yang dapat menembus membran sel mikroba, lalu
membentuk lubang-lubang sehingga air dan ion akan masuk dan mengakibatkan kematian
mikroba. Sistem komplemen dibahas lebih lanjut pada Bab 5.
fase akut. Sedangkan pertahanan terhadap bakteri intraselular dan virus diperantarai oleh
fagosit dan sel NK, serta sitokin sebagai sarana penghubung fagosit dan sel NK.
Mikroba dan IFN-y yang dihasilkan oleh sel NK akan merangsang sel dendrit dan
makrofag untuk memproduksi 2 jenis "sinyal kedua" pengaktivasi limfosit T. Pertama, sel
dendrit dan makrofag mengekspresikan petanda permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko-
stimulator ini berikatan dengan reseptor pada sel T naif, kemudian bersama-sama dengan
mekanisme pengenalan antigen akan mengaktivasi sel T (lihat Gambar 4-2). Kedua, sel
dendrit dan makrofag mensekresi IL-12. Interleukin ini merangsang diferensiasi sel T naif
menjadi sel efektor pada imunitas selular (lihat Gambar 4-3).
Mikroba di dalam tarah mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur altematif.
Pada aktivasi komplemen, diproduksi C3d yang akan berikatan dengan mikroba. Pada
saat limfosit B mengenali antigen mikroba melalui reseptornya, sel B juga mengenali C3d
yang terikat pada mikroba melalui reseptor terhadap C3d. Kombinasi pengenalan ini
rnengakibatkan diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Dalam ha1 ini, produk komplemen
berfungsi sebagai "sinyal kedua" pada respons irnun humoral.
Contoh-contoh di atas menunjukkan pentingnya "sinyal kedua" karena sinyal ini
tidak hanya rnenstimulasi imunitas spesifik namun juga mengatur respons yang akan timbul.
Jenis mikroba yang berbeda-beda akan merangsang respons imun non spesifik yang berbeda-
beda pula, yang kemudian akan merangsang respons imun spesifik yang paling sesuai untuk
mengatasi jenis mikroba tersebut.
EM Dadi Suyoko
K omplemen yang biasanya disingkat dengan C adalah suatu faktor berupa protein
yang terdapat di dalam serum. Seperti namanya, complement berarti tambahan.
Faktor ini perlu ditambahkan dalam reaksi antigen dan antibodi, agar terjadi lisis
antigen. Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks
protein yang satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada kedaan normal komplemen beredar
di sirkulasi. darah dalam keadaan tidak aktif, yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua
jalur yang tidak tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur alternatif.
Aktivasi sistem komplemen menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan
berbagai substansi biologik aktif yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen.
Aktivasi sistem komplemen tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan tubuh, sebaliknya
juga dapat membahayakan bahkan mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut
seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat endapan kompleks antigen-
antibodi pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan terjadi kerusakan jaringan dan
dapat menimbulkan penyakit.
Makalah ini ditulis dengan tujuan agar pengertian mengenai komplemen dapat lebih
dihayati, baik dalam fungsinya sebagai salah satu mekanisme pertahanan tubuh, maupun
keterlihatannya dalam berbagai penyakit.
KONlPONElV KOMPLEMEN
Unsur pokok sisrem komplemen diwujudkan oleh sekumpulan komponen protein yang
terdapat di dalam serum. Protein-protein ini dapat dibagi menjadi protein fungsional yang
menggambarkan elemen dari berbagai jalur, dan protein pengatur yang menunjukkan fungsi
pengendalian.
Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel hepatosit, dan juga
oleh sel fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah. Komplemen C 1 juga dapat
di sintesis oleh sel epitel lain di luar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit
mononuklear terutama akan disintesis di tempat dan waktu terjadinya aktivasi.
Sebagian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan huruf C: CLq, Clr,
CIS, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan sesuai dengan urutan penemuan unit
tersebut, bukan menurut cara kerjanya
AKTlVASl KOMPLEMEN
Sistern kolnplelnek dapat diaktifkan melalui dua jalur, yaitu jalur klasik dan jalur alternatif.
Aktivasi tersebut melalui suatu proses enzimatik yang te jadi secara berantai, berarti produk
yang timbul pada satu reaksi akan rnerupakan enzim untuk reaksi berikutnya. Caranya
ialal~dengan mepaskan sebagian atau mengubah bangunan kompleks protein tersebut
(pro enzim) yang tidak aktif rnenjadi bentuk aktif (enzim). Satu molekul enzim yang aktif
mampu mengakibatkan banyak molekul komplernen berikutnya. Cara keija semacam ini
disebut the one hit theory.
Sistern Komplemen 27
Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif
terdiri atas tiga mekanisme, a) pengenalan dan pencetusan, b) penguatan (amplifikasi),dan c)
pengakhiran kerja berantai dan terjadinya lisis serta penghancuran mernbran sel (mekanisme
terakhir ini seringkali juga disebut kompleks serangan membran) (lihat Gambar 5-1) .
Aktivasi jalur klasik dicetuskan dengan berikatannya C1 dan kompleks antigen-
antibodi, sedangkan aktivasi jalur altematif dimulai dengan adanya ikatan antara C3b
dengan berbagai zat aktivator seperti dinding sel bakteri. Kedua jalur bertemu dan memacu
terbentuknya jalur serangan membran yang akan mengkibatkan lisisinya dinding sel antigen
(lihat Gambar 5-2).
Saronganmembran
I
I
I
I
I
,
I
I
I
+ --,
--
Reaksl Moklmla
ALtlvltas anzlm
diaktiflcan menjadi bentuk esterase yang aktif. Clq, C l r dan Cls dalam bentuk aktif ini
oleh pengaruh ion Ca++akan bereaksi menjadi satu unit Clqrs. . .
Komponen Clq rnempunyai afinitas untuk reseptor dua kelas antibodi, yaitu IgG
dan IgM. Kemarnpuan imunoglobulin untuk mengikat komplemen juga sangat bewanasi,
IgM akan mengikat komplernen secara lebih efektif daripada IgG karena hanya diperlukan
1 rnolekul IgM dibandingkan dengan 2 molekul IgG
Sistem Komplemen
Tahap serangan membran
Tahap ini merupakan pengakhiran kerja berantai dan terjadi lisis serta penghancuran
membran sel (aktivasi C5, C6, C7, C8dan C9). C3 peptidase atau disebut juga C5 konvertase
(C4b2b3b), akan memecah C5 menjadi C5a dan C5b. Fragmen C5b inilah yang merupakan
titik tolak penghancuran serta lisis membran sel, sedangkan C5a bersama dengan C4a dan
C3a berada bebas di dalam serum. Fragrnen C5b akan mengaktivasi C6 dan C7 membentuk
C567 yang kemudian melekat pada permukaan membran sel. Tiap kompleks C567 akan
mengikat 1 molekul C8, yang kemudian mengikat lagi 6 molekul C9. Dengan melekatnya
komponen-komponen tersebut pada permukaan membran sel akan terbentuk saluran-
saluran pada lapisan fosfolipid permukaan membran sel sehingga terjadi lisis osmotik.
Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran aktivasi
C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada permukaan membran
sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang berada pada permukaan membran sel
dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi
selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur altematif (kompleks serangan membran).
Sistem Komplemen 31
eosinofil, sel T, sel B, dan sel dendrit folikular. CRI sedikitnya menlpunyai 3 fungsi pentiug,
1) regulator untuk aktivasi komplernen dengan cara rnengharnbat aktivasi C3 konvertase,
2) reseptor opsonin, rneningkatkan fungsi fagositosis leukosit untuk rnenghancurkan
rnikroorganisrne yang ditempel C3b atau C4b, 3) pembersihan kom~leksimun dari sirkulasi
darah.
Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi dalam dua golongan besar,
1) lisis sel sasaran oleh kompleks serangan mernbran, dan 2) sifat biologik aktif fragmen
yang terbentuk selarna aktivasi.
Sitolisis
Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan rnernbran) yang berfungsi adalah C5-C9.
Mekanisme ini sangat penting bagi pertahanan tubuh melawan mikrooorganisrne. Proses
lisis ini dapat melalui jalur altematif maupun jalur klasik.
Proses peradangan
Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut di atas mengakibatkan terkumpulnya sel-sel
dan serum protein yang diperlukan untuk terjadinya proses dalam rangka memusnahkan
mikroorganisme atau benda asing tersebut; proses ini disebut peradangan.
MEDIATOR
Terdapat berbagai mediator yang dilepas pada waktu komplernen diaktifkan.
C1 meningkatkan afinitas terhadap IgG dan IgM
C l q pengumpulan kompleks antigen-antibodi
C1-4, netralisasi virus
C1 qrs, meninggikan permeabilitas vaskular
C2, mengaktifkan kinin
C5a, bersifat kemotaksis yang dapat mengarahkan leukosit fagosit ke tempat terjadinya
rea ksi
. C3a, C4a dan C5a : anafilatoksin
C3b, iC3b dan C5b, berfungsi sebagai opsonin
C5-6, 7, bersifat kemotaksis lemah
C8-9, bersifat sitolisis
Aktivasi komplemen yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Dalam
keadaan normal biasanya ha1 ini tidak terjadi karena adanya regulator untuk mengatur agar
tidak terjadi reaksi terus menerus yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan
(lihat Tabel 2). Sistem enzim yang kompleks ini diatur oleh beberapa protein penyekal yang
dapat mencegah aktivasi prematur dan aktivasi memanjang setiap produk.
Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama, yaitu I) komponen
komplemen yang sudah diaktifkan biasanya ada dalam bentuk yang tidak stabil sehingga bila
tidak berikatan dengan komplemen berikutnya akan rusak, 2) adanya beberapa inhibitor
yang spesifik misalnya C1 esterase inhibitor, faktor I dan faktor H, 3) pada permukaan
membran sel terdapat protein yang dapat merusak fragrnen komplemen yang rnelekat.
Aktivitas C l inhibitor
Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1 dalaln
peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi
akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.
. .
Protein 5 . C5b-7 . ..
Sistem Komplemen
35
CR1 dan MCE Faktor I memecah C3b dan yang tertinggal nlelekat pada permukaan sel
adalah inaktif C3b (iC3b), yang tidak dapat membentuk C3 konvertase, selanjutnya iC3b
dipecah menjadi C3dg dan terakhir menjadi C3d.
Sel-sel yang berbeda menunjukkan jumlah yang berbeda dari protein regulator MCP
dan CN, sehingga dapat mengontrol C3b dan pembentukan C3 konvertase. Kebanyakan
sel tubuh normal mempunyai MCP dan CRI dalam jumlah besar sehingga dapat mencegah
sel ini dari penghancuran oleh komplemen. Sebaliknya partikel asing dan mikroorganisme
tidak mempunyai MCP dan C N sehingga C3b yang berikatan pada sel tersebut tidak
dihalangi ~intulibereaksi dengan faktor Bb membentuk C3bBb yang selanjutnya dapat
mengaktifkan jalur altematif.
Defisiensi genetik
Defisiensi genetik fragmen jalur klasik dan altematif meliputi Clq, Clr, Cls, C4, C2, C3,
properdin, dan faktor D. Defisiensi fragmen awal dari jalur klasik biasanya berhubungan
dengan penyakit autoimun seperti glomerulonefritisdan lupus eritematosus sistemik (LES).
Yang terbanyak dijumpai pada manusia adalah dehsiensi C2. Lebih dari seperdua dari pasien
dengan defisiensi C2 dan C4 menderita LES. Pasien dengan defisiensi C2 dan C4 tidak
menunjukkan kenaikan frekuensi terkena infeksi. Defisiensi C3 biasanya berhubungan
dengan sering terjadinya infeksi bakteri piogen yang fatal. Hal ini mungkin menunjukkan
pentingnya peran C3 pada opsonisasi, peningkatan fagositosis, dan penghancuran
mikroorganisme. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemungkinan fungsi utama dari jalur
klasik adalah untuk eliminasi kompleks imun dan jalur altematif untuk eliminasi bakteri.
Sistem Komplemen
Defisiensi regulator jalur alternatif yang larut (faktor H dan I) sangat jarang terjadi.
Akibat defisiensi ini C 3 akan diaktiflcan terus menerus. Gambaran klinis keadaan ini sama
dengan keadaan yang terjadi pada pasien dengan autoantibodi C3 faktor nefritik (C3NeF)
yang menstabilkan C3bBb dan melindungi dari perusakan oleh faktor H. Pasien dengan
antibodi ini sering menderita glomerulonefritis yang mungkin disebabkan oleh kurang
adekwatnya pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan mengendap pada membran
glomerulus ginjal.
Efek patologis
Walaupun telah diregulasi dengan baik, sistem komplemen yang berfungsi normal juga
dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Pada kenyataannya banyak keadaan patologis yang
berkaitan dengan infeksi bakteri berkaitan dengan efek biologik dari aktivasi komplemen.
Keadaan patologik ini dapat terjadi pads jaringan tubuh dimana proses inflamsi terjadi.
Keadaan yang paling nyata terjadi pada penyakit kompleks imun. Vaskulitis sistemik
dan glomerulonephritis disebabkan oleh pengendapan kompleks imun di dinding pembuluh
darah dan glomerulus ginjal. Pada tempat pengendapan kompleks imun terjadi aktivasi
komplemen dari proses peradangan yang menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah
atau glomerulus ginjal, dengan akibat terjadinya trombosis dan kerusakan jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
1 Abbas AK, Lichtman. Cellular and molecular immunology. Edisi ke-5 Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2005.
2. Brown EJ, Joiner KA, Frank MM. Complement. Dalam: Paul, penyunting. fundamental
immunology .Edisi ke-3. New York: Raven Press, 1985; 645-68.
3. Chapel H, Haeney M. Essentials of clinical immunology; edisi ke-3. Oxford: Blackwell
Scientific,1993; 1-32.
4. Frank MM.Complement and kinin. Dalam: Stites Dl? Terr AI, penyunting. Basic and clinical
immunology; edisi ke-7. NonvaIk: Appleton & Lange, 1991; 161-74.
5. Kunkel SL, Ward PA, CaporaJe LH. Vogel cw. The complement system. Dalam : Bellanry JA,
penyunting. Immunology 111; edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders, 1985; 106-16.
6. Roitt IM.Essential immunology; edisi ke-6. Oxford: Blackwell Scientific,2005;164-77.
P roses fagositosis adalah sebagian dari respons imun non spesifik dan yang pertama
kali mempertemukan tuan rumah dengan benda asing. Istilah endositosis lebih
umum dan mempunyai dua arti yaitu fagositosis (pencemaan partikel) dan pinositosi.
(pencernaan nonpartikel, misalnya cairan). Sel yang berfungsi menelan dan mencema
partikel atau substansi cairan disebut sel fagositik, terdiri dari sel fagosit mononuklear dan
fagosit polimorfonuklear. Sel ini pada janin berasal dari sel hematopoietik pluripotensial
yolk sac, hati, dan sumsurn tulang.
Leukosit polimorfonuklear beredar di sirkulasi yang kemudian bermigrasi ke tempat
proses inflamasi,sedangkan sel mononuklear fagositselain beredar di sirkulasidan berkumpul
di tempat inflamasi juga akan menetap di jaringan. Pada manusia, fagositosis diperankan
oleh fagosit mononuklear, neutrofil, dan juga eosinofil. Sel ini sanggup mengenal benda
asing inelalui reseptor permukaan membran selnya, kemudian menelan dan mencemanya.
Sel fagosit mononuklear mempunyai peranan lebih hebat daripada sel polimorfonuklear
dalam ha1 endositosis dan interaksi dengan sel limfosit T, karena proses pematangan sel ini
lebih progresif dari sel induknya di sumsum tulang.
Sistem Fagosit 39
factor = GM-CSF), faktor stirnulasi koloni makrofag (macrophage colony stimtilating factor
= M-CSF) dan interleukin-3 (IL3) yang merangsang diferensiasi sel CFU-GM menjadi
sel monoblast yang kemudian menjadi sel promonosit dan sel mieloblast menjadi sel
progranulosit. Sel promonosit dapat mengadakan endositosis tetapi daya fagositnya kurang
dibandingkan dengan monosit. Sel monosit lebih kecil dari prekusornya tetapi mempunyai
daya fagositosis dan mikrobisidal yang kuat. Perkembangan sen mononuklear sampai berada
di darah perifer mernakan waktu 6 hari dan mernpunyai masa paruh di sirkulasi selama 3
hari (lihat Garnbar 6- 1).
Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit, sel darah
yang datang ke tempat infeksi kemudian mengenali rnikroba intraselular dan menlakannya
(ingestion). Neutrofil (disebut juga leukosit polimorfonuklear / PMN) adalah leukosit
terbanyak di dalam darah yaitu berjumlah 4.000-10.000 per mm3. Apabila terjadi infeksi,
produksi neutrofil di sumsum tulang meningkat dengan cepat hingga mencapai 20.000 per
mm' darah. Produksi neutrofil distimulasi oleh sitokin yang disebut colony-stimulatingfactor.
Sitokin ini diproduksi oleh berbagai sel sebagai respons terhadap infeksi dan bekerja pada
sel stem sumsum tulang untuk menstimulasi proliferasi dan maturasi prekursor neutrofil.
Neutrofil merupakan sel yang pertama berespons terhadap infeksi, terutama infeksi bakteri
dan jamur. Neutrofil memakan rnikroba di dalam sirkulasi, serta dapat mernasuki jaringan
ekstraselular di tempat infeksi dengan cepat kemudian memakan rnikroba dan mati setelah
beberapa jam.
Jumlah rnonosit lebih sedikit dari neutrofil yaitu 500-1.000 per mm3 darah. Monosit
juga memakan mikroba dalam darah dan jaringan. Tidak seperti neutrofil, monosit yang
masuk ke jaringan ekstravaskuler dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama dan
berdiferensiasi menjadi makrofag. Monosit darah dan makrofag jaringan merupakan 2
bentuk dari sel yang sama sehingga disebut mononuclear phagocyte system. Makrofag terdapat
di jaringan ikat dan setiap organ tubuh, dan berfungsi sama seperti fagosit mononuklear
yang baru datang dari sirkulasi.
Neutrofil dan monosit bermigrasi ke jaringan ekstravaskuler di tempat infeksi akibat
berikatan dengan molekul adhesi endotel dan sebagai respons terhadap kemoatraktan. Jika
mikroba infeksius dapat melewati epitelium dan masuk jaringan subepitel, makrofag akan
mengenali mikroba dan memproduksi sitokin. Dua dari sitokin ini, yaitu tumor necrosis
factor (TNF)dan interleukin- I (IL-I), bekerja pada endotel pembuluh darah kecil di tempat
infeksi. TNF dan IL-1 menstimulasi endotel untuk mengekspresikan 2 molekul adhesi
yang disebut E-sekctin dan P-selectin. Neutrofil dan monosit dalam sirkulasi mempunyai
karbohidrat di permukaannya sehingga dapat berikatan lemah dengan sekctin. Neutrofil
menempel ke endotel, kemudian aliran darah akan merusak ikatan ini, lalu terbentuk lagi
ikatan, dan seterusnya, sehingga leukosit bergulir (rolling) pada permukaan endotel (lihat
Gambar 6-2).
Chemokme Mikraba
Penggabungan
fagosom dengan
lisosom
FAGOSIT POLIMORFONUKLEAR
Sel granulosit pada manusia mempunyai tiga bentuk morfologis, yaitu neutrofil, eosinofil,
dan basofil. Di antara ketiganya yang mempunyai sifat fagositik hanya neutrofil dan
eosinofil. Tidak seperti makrofag, neutrofil adalah sel terakhir dari diferensiasi mieloid,
Sistem Fagosit
45
jadi tidak akan terbagi lagi. Sel ini berasal dari sel asal (stem cell) di sumsum tulang dan
telah mengalami pematangan bertahap mulai dari mieloblast, promielosit, metamielosit, sel
batang, dan akhimya neutrofil. Berlainan dengan monosit, karena sel ini banyak tertimbun
di sumsum tulang maka bila diperlukan dapat segera masuk ke sirkulasi. Setelah 12 jam
berada di sirkulasi, sel ini akan memasuki jaringan dan menetap untuk beberapa hari. Sel
yang sudah berada di jaringan tidak akan kembali ke sirkulasi.
Dengan pematangan sel akan terdapat 2 jenis granula, yaitil granula azurofilik dan
granula spesifik. Granula azurofilik tampak lebih padat, mempunyai diameter 0,4 p dan
mempunyai susunan lisosom sama dengan jaringan lain yang terdiri dari miel~~eroksidase,
beberapa lisozim, beberapa kation protein, protein arginin basa, sulfat mukopolisakarida,
asam fosfat dan bermacam asam hidrolase. Granula sekunder spesifik bukanlah lisosom
sejati, bentuknya lebih kecil dari 0,3 p dan kurang padat, kaya akan fosfatase alkali,
lisozim, aminopeptida, dan laktoferin. Pada tingkat pematangan menengah kedua bentuk
granula tersebut sudah terlihat, dan pada tingkat lebih matang akan tampak lebih banyak
granula sekunder. Kedua granula ini penting kegunaannya dalam proses penghancuran dan
pemusnahan mikroorganisme yang diingesti. Produksi granulosit dan peredarannya diatur
oleh faktor selular dan humoral.
Neutrofil
Sel neutrofil terdapat lebih dari seperdua jumlah sel darah putih di sirkulasi dan mempunyai
nukleus multilobus dengan granula sitoplasma. Granulanya mengandung bermacam enzim,
seperti protein dan glikosaminoglikan yang berperan pada fungsi sel. Neutrofil sangat
di~erlukanuntuk pertahanan tubuh sebagai fagosit dan proses pemusnahan patogen di
jaringan. Seorang dewasa sehat dapat menghasilkan 1-3 x lo7 neutrofil sel dari sumsum
tulang ke sirklilasi.
Umur neutrofil mulai dari sel asal sampai lenyap di jaringan adalah 12-14 hari, dan
diperlukan waktu 5 hari dari sel asal untuk berproliferasi nlenjadi mielosit, serta 5 hari lagi
untuk pematangan mielosit menjadi sel dengan nukleolus bersegmen dengan sitoplasma
bergranula. Neutrofil dari sumsum tulang (berdiameter 7-7,5 pm dan dapat melewati
pori-pori kecil dinding endotel (diameter 1-3 pm), diperkirakan pasti terjadi deformasi
sel untuk dapat melewati pori-pori. Faktor stimulasi koloni (colony stimulating factor =
CSF) merangsang sel neutrofil keluar dari sumsum tulang. Faktor lain yang juga dapat
mengeluarkan neutrofil dari sumsum tulang adalah tekanan hidrostatik sumsum tulang.
Jumlah neutrofil dipengaruhi oleh beberapa faktor patofisiologik seperti infeksi,
stres, hormon, CSE faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor = TNF), CSF, IL-1, IL-
3. Endotoksin meningkatkan produksi neutrofil dari sumsum tulang, walaupun efeknya
diperankan oleh IL-1 dan TNF dari monosit atau makrofag yang terstimulasi. Cara
menghilangnya neutrofil dari sirkulasi belum diketahui dengan jelas. Tetapi perpindahan
sel ini ke lokasi inflamasi akan menyebabkan neutrofil sirkulasi menghilang karena sekali ia
berada di jaringan inflamasi tidak akan kembali ke sirkulasi. Pemusnahan neutrofil melalui
Eosinofil
Granulosit eosinofil merupakan 1-3% dari jumlah leukosit di sirkulasi. Persarnaannya
banyak dengan sel neutrofil dan berasal dari sel progenitor yang sama dan menunjukkan
monogenesis yang sama. Berbeda dengan neutrofil, eosinofil matang di sumsum tulang dalam
waktu 3.6 hari dan kemudian berada di sirkulasi dengan masa paruh 6-12 jam. Sedangkan
di jaringan masa paruhnya beberapa hari. Eosinofil melakukan fungsinya di jaringan dan
tidak akan kernbali ke sirkulasi, serta akan dieliminasi melalui mukosa saluran nafas dan
saluran cema. Diperkirakan untuk tiap satu sel eosinofil di sirkulasi terdapat 200 eosinofil
matang di sumsum tulang dan 500 eosinofil di jaringan pengikat.
Dalam proses pematangannya terjadi perubahan granula azurofilik ke bentuk granula
sitoplasmik besar yang mempunyai struktur kristaloid. Granula eosinofil tidak berisi lisozim
dan fagositin seperti pada neutrofil, tetapi kaya akan asam fosfatase dan peroksidase.
Terdapat eosinophihc basic protein (EBP) pada inti kristalin, dengan ukuran 11.000 Dalton
yang sangat toksik untuk parasit (skistosoma) dan epitel trakea. Walaupun sel ini dapat
memfagosit bermacam partikel, mikroorganisme atau kompleks antigemantibodi terlarut,
tetapi kurang efisien dibandingkan neutrofil. Sarnpai sekarang peran spesifik sel ini belum
diketahui, kecuali ada hubungannya dengan alergi dan infeksi parasit. Selain untuk eliminasi
kompleks imun, ia juga berperan dalam menghambat proses inflamasi dengan menghambat
efek mediator, misahnya aril sulftase B yang dihasilkan sel eosinofil akan menginaktiflcan
SRS-A yang dilepaskan sel mast. Eosinofil berperan juga pada reaksi antibody mediated
cytotoxity dalam memusnahkan parasit. Pada rnembran sel eosinofil terdapat reseptor IgE
(FcsRII) yang mempunyai afinitas 100 kali lebih rendah dari afinitas reseptor IgE pada sel
mast dan basofil (FcsRI).
Reseptor imunoglobulin
Pada orang normal diperkirakan 10.30% dari jumlah eosinofil mempunyai reseptor
IgG. Aktivasi reseptor IgG pada sel eosinofil dengan IgG yang meliputi skistosorna akan
menyebabkan degranulasi sel dan menghasilkan mediator newly generated LTC4. Aktivasi
ini 10 kali lebih besar pada eosinofil hipodens dibanding eosinofil normodens.
Sistern Fagosit
Reseptor komplemen
Pada 40-50% eosinofil orang normal terdapat reseptor komplemen, sedangkan pada neutrofil
90% mempunyai reseptor komplemen. Pada sindrom hipereosinofilia, infeksi parasit, dan
atopi persentase reseptor komplemen akan nleningkat yang membuktikan adanya proses
inflamasi.
Berdasarkandensitasnya seleosinofil perifer terdiridari 2 jenis, yaitu eosinofil hipodens
dan normodens. Sel eosinofil aktif adalah yang hipodens. Eosinofil dapat diaktifkan oleh
endotelium vaskular, Tcell derived cytokines (GM-CSF, IL-3, IL-5) dan monocyte macsophage-
derived cytokines (IL-1 dan TNF). Peranan inflamasi sel eosinofil pada penyakit alergi telah
banyak dibahas pada patogenesis respons inflamasi saluran napas pada asma.
Sebelum peristiwa fagositosis akan terjadi kemotaksis yaiti~migrasi sel fagosit ke jaringan
karena pengaruh berbagai zat atau substansi dalam serum seperti C5a, N-formilmetionil
peptida, sel limfosit, kolagen, dan elastin. Juga dikenal beberapa substansi yang bersifat
kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil yang berasal dari komplemen (complement-derived
chemotactic), faktor kemotaktik dzri eosinofil (eosinophilic chemotacticfactor), dan mediator
yang dihasilkan oleh sel mast dan basofil.
Pada proses fagositosis mikroba harus menempel terlebih dahulu di permukaan sel
fagosit. Sebelumnya mikroba sudah diserang dan diikat oleh antibodi. Penempelan ini
dapat te qadi karena terdapat reseptor fragmen Fc dan reseptor C3b pada Inembran sel
fagosit, makrofag dan neutrofil. Penempelan ini akan nlemulai fase menelan (ingestion)
yang dipengaruhi sistem kontraktil aktin-miosin. Akan terbentuk pseudopodia di sekitar
mikroba dan membran plasma akan ditarik mengelilinginya sehingga menyerupai zipper
sampai terbentuk vakuola (fagosom). Peristiwa ini berlangsung dalam beberapa menit
dan kemudian granula berpadu dengan fagosom untuk nlelepaskan isinya di sekeliling
mikroorganisme tersebut.
Proses pemusnahan
Peristiwa tergantung oksigen
Setelah proses fagositosis akan terjadi peningkatan aktivasi pirau heksosamonofosfat
menghasilkan NADPH yang akan dimanfaatkan untuk mengurangi ikatan molekul
oksigen dengan sitokrom membran plasma (Cyt-b245) dan nlenyebabkan peningkatan
hebat pemakaian oksigen (burst oxygen consumption). Oksigen akan diubah menjadi anion
superoksida, hidrogen peroksida, O,, dan radikal hidroksil yang kesemuanya adalah
mikrobisid kuat. Selanjutnya kombinasi peroksida, mieloperoksidase dan ion halida
membentuk sistem halogen yang dapat nlembunuh bakteri dan virus (lihat Tabel 6- 1).
, .
. . . .; . . . , ,. . :
. . .
. . . . -202 -+.lo
. .H . .- -:. ; .r-
. . .2 ;., ........
i. -. . .
20, + 2H+ stimulasi spontan OH+OH-*'O . 2 ,.. - . : ..;;: !.,:,. ..... ''i:.
:z.,,:!,i .
02- H202 + mikrobisida~:~ I.,
:.: :".;::: A;::, P ...:.
. . .. . . .
. . ..
. . . . . ... ... ,.. ..,, ... .
. . ., . , . .,
+. ~ ~ ~ ~ ? f i o l e k y l ; p i ~ ~ ~ i s ~ ~ a ~ $ . ~
H202+-CI-
OCI- HO, +
myeloperoksidase
, l ~ . + c I. . . .. ....
,0CI-
2. . +
,,~M~
;.
~~.:.-i'.i:25;-
,,2:,.t5:,.. -.;
:i..'~
i ~~3;&,+:',.:
$<:ex
;.'I.-.
. ,:
:
,, ... .-.. .
, ..;. ;
:
. . .
... .; ;.: . .,.: :, .......
. . :
. .. :.... .. ..:... .
-
mekanisme pelindung yang digunakan host + mikroba
Mekanisme tidak . . : : . . . .,.,. . . .: . ,., . ;
DAFTAR PUSTAKA
I. Yohnston RB.Monocytes and macrophages. Dalam: Lachman PJ, Keith DI: Rosen FS, Walprot
MI, penyunting. Clinical aspects of immunology, vol 1; edisi ke-5, Oxford: Blackwell Scientific,
1993.
2. Roitt LM.Innate immunity. Dalam: Roitt IM, penyunting. Essential immunology. Edisi ke-6,
London: Blackwell Scientific, 1988; 1-13.
3. Zena W. Phagocytic cells, chemotaxis and effector function of machrophages and granulocytes.
Dalam: Stites DE StoboJE Fudenberg HH, Wells JV, penyunting. Basic and clinical immunology;
edisi ke-5. Singapore: Langehlaruzen, 1982; 104-18.
4. Golub SE. Immunology: A synthesis. Sunderland: Sinauer, 1987; 103-11.
5. Bellanti JA, Kadlec JV. General immunology. Dalam: Bellanti JA, penyunting. Immunology 111.
Philadelphia: WB Saunders, 1985;16-53.
R
espons imun spesifik dimulai ketika reseptor pada limfosit mengenali antigen.
Limfosit B dan T mengenali jenis antigen yang berbeda. Reseptor di limfosit B yaitu
ntibodi yang terikat di membran (membrane-bound antibody) dapat mengenali
berbagai nlakromolekul (protein, polisakarida, lipid, dan asam nukleat) serta bahan-bahan
kimia kecil yang terlarut atau terdapat di permukaan sel. Sebaliknya, limfosit T hanya
dapat mengenali fragmen peptida dari antigen protein, dan hanya jika peptida tersebut
dipresentasikan oleh molekul tertentu di sel pejamu.
Kupffer)
Otak (astrosit)
. . .
6. Sel B (khususnya Jaringan limfoid Aktif
bila teraktivasi) . .
Keterangan: KGB = kelenjar getah bening, lg = imunoglobulin.
(Dikutip dengan rnodifikasidari Chapel H, Haeney M, dkk, 2001)
Sel APC berperan penting dalam memulai respons sel T CD8 terhadap antigen
mikroba intraselular. Sebagian mikroba (misalnya virus) dapat menginfeksi sel pejamu
dengan cepat dan hanya dapat diatasi dengan cara penghancuran sel tersebut oleh sel T
sitotoksik. Virus dapat menginfeksi semua jenis sel pejamu (tidak hanya APC saja), dan
sel-sel ini tidak dapat nlenlproduksi sinyal yang diperlukan untuk mengaktivasi sel T.
Mekanisme yang terjadi pada keadaan ini adalah sel APC memakan sel yang terinfeksi dan
mempresentasikan antigen ke linlfosit T CD8. Hal ini disebut sebagai cross-presentation,
artinya suatu jenis sel (yaitu APC) mempresentasikan antigen dari sel lain (yaitu sel yang
terinfeksi) kemudian mengaktivasi limfosit T naif sehingga menjadi spesifik untuk antigen
tersebut. Sel APC yang nlemakan sel terinfeksi juga dapat mempresentasikan antigen ke
limfosit T CD4.
MHC terdiri ddari dua set gen yang bersifat sangat polimorfik (highly polymorphic) yaitu gen
.MHC kelas I dan kelas 11. Selain itu, lokus MHC juga mengandung gen-gen non polimorfik,
diantaranya berperan pada presentasi antigen.
Molekul MHC kelas I dan I1 merupakan protein menlbran yang mengandung peptide-
binding cleft pada ujung amino-teminal. Peptide-binding cleft pada molekul MHC akan
mengikat peptida dari antigen protein dan membawanya agar dapat dikenali oleh sel T.
Setiap molekul MHC hanya dapat mempresentasikan satu peptida setiap kali karena hanya
ada satu lekukan (cleft), dan molekul ini dapat nzempresentasikan berbagai jenis peptida.
Komposisi subunit MHC kelas I berbeda dengan kelas 11, namun secara keseluruhan
strukturnya hampir sama (lihat Gambar 7-1). Molekul MHC kelas I diekspresikan pada
semua sel berinti, sedangkan MHC k ~ l a sI1 pada APC (misalnya sel dendrit), makrofag dan
limfosit B.
Pemrosesan antigen berbeda untuk antigen endogen dan eksogen (lihat Gambar 7-2).
Antigen endogen dipecah menjadi peptida, kemudian ditranspor secara aktif dari sitoplasma
ke retikulum endoplasma oleh suatu protein yang dinamakan transporters associated with
antigen processing (TAP-1 dan TAP-2). Protein TAP ini mengantarkan peptida ke molekul
MHC kelas I di retikulum endoplasma. Kompleks MHC-peptida tersebut diantarkan ke
permukaan sel. Adanya kelainan yaitu mutasi pada gen TAP akan tnenghambac ekspresi
molekul MHC kelas I di permukaan sel.
Sel APC mensintesis molekul MHC kelas I1 secara terus-menerus di retikulum
endoplasma. Selama berada di dalam retikulum endoplasma, molekul MHC kelas I1 dicegah
untuk berikatan dengan peptida di dalam lumen oleh suatu protein yang dinamakan MHC
: PaoseM~diddsm!
i sctyangtmrJcksl~ata~)
; secbfw-sga t
j dapat dlkaralioleh WT C08+ 1
molekul ini menjadi tidak stabil dan dihancurkan oleh protease di dalanl endosom. Suatu
antigen protein akan dipecah menjadi banyak peptida, tetapi hanya sedikit (satu atau dua)
peptida yang dapat berikatan dengan molekul MHC individu tersebut. Oleh sebab itu,
hanya peptida ini yang dapat menimbulkan respons imun pada individu tersebut sehingga
disebut immunodominant epitopes.
Antigen endogen (termasuk antigen virus) akan diproses di retikulum endoplasma
dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I kepada sel T CD8+, sedangkan antigen
eksogen diproses di lisosom (endosom) dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I1
kepada.se1T CD4+ (lihat Gambar 7-3).
Sel APC tidak hanya mempresentasikan peptida antigen kepada sel T, tetapi juga
berfungsi sebagai "sinyal kedua" untuk aktivasi sel T. Antigen merupakan sinyal pertama,
sedangkan sinyal kedua adalah mikroba atau APC yang sudah mencerna mikroba. Peran
penting dari sinyal kedua ini adalah untuk menjaga agar respons imun spesifik hanya timbul
terhadap rriikroba dan tidak terhadap bahan-bahan non infeksius yang tidak berbahaya.
Berbagai produk dari mikroba dan respons imun non spesifik dapat mengaktifkan APC
untuk mengekspresikan sinya1,keduabagi aktivasi limfosit. Sebagai contoh, berbagai bakteri
menghasilkan lipopolisakarida (LPS). Pada saat bakteri ditangkap oleh APC, LPS akan
menstimulasi APC tersebut. Sebagai respons, APC mengekspresikan protein permukaan
yang disebut ko-stimulator. KO-stimulator ini akan dikenali oleh reseptornya di sel T. Sel
APC juga mensekresi sitokin yang akan dikenali oleh reseptor sitokk di sel T. KO-stimulator
dan sitokin bekerja bersama dengan pengenalan antigen oleh T cell receptor (TCR) untuk
merangsang proliferasi dan diferensiasi sel T. Dalam ha1 ini, antigen adalah sinyal pertama,
sedangkan kostimulator dan sitokin merupakan sinyal kedua.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004;41-
61.
2. Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N. Essentials of clinical immunology. Edisi ke-4.
Oxford: Blackwell Science, 2001;7-15.
3. Roitt I, Brostoff J, Male D. Immunology. Edisi ke-6. Edinburgh: Mosby, 2002; 105-12.
4. Sompayrac L. How the immune system works. Edisi ke-2.Massachusetts: Blackwell Publishing,
2003;43-53.
P
engetahuan tentang kompleks histokompatibilitas mayor (MHC = major
histocompatibility complex) bermula dari pengamatan terhadap reaksi penolakan
jaringan hewan percobaan, kemudian diikuti dengan pemahaman tentang rejeksi
transplan, genetika respons imun, dan komunikasi antar limfosit. Beberapa pemikiran
tersebut semula tidak terlihat berhubungan, tetapi kemudian terbukti saling berkaitan
erat dalam proses yang menentukan respons imun individu. Molekul pennukaan sel yang
bertanggung jawab terhadap rejeksi transplan ini dinamakan molekul histokompatibilitas,
dan gen yang mengkodenya disebut gen histokompatibilitas. Nama ini kemudian disebut
dengan histokompatibilitas mayor karena ternyata MHC bukan satu-satunya penentu
rejeksi. Terdapat pula molekul lain yang walaupun lebih lemah juga ikut menentukan
rejeksi, yang disebut molekul histokompatibilitas minor. Pada saat ini telah diketahui bahwa
molekul MHC merupakan titik sentral inisiasi respons imun.
MOLEKUL MHC
Gen MHC berhubungan dengan gen imunoglobulin dan gen reseptor sel T (TCR
= T-cell receptors) yang tergabung dalam keluarga supergen imunoglobulin, tetapi
pada perkembangannya tidak mengalami penataan kembali gen seperti halnya gen
imunoglobulin dan TCR. Daerah MHC sangat luas, sekitar 3500 kb di lengan pendek
kromosom 6, meliputi regio yang mengkode MHC kelas 1, 11, 111, dan protein lain, serta
gen lain yang belum dikenal, yang mempunyai peran penting pada fungsi sistem imun
(lihat Gambar 8-1).
Ekspresi gen MHC bersifat kodominan, artinyagen orang tua akan tampak ekspresinya
pada anak mereka. Selain itu jelas terlihat beberapa gen yang terkait erat dengan gen MHC
dan mengkode berbagai molekul MHC yang berbeda, karena itu gen MHC disebut sebagai
gen multigenik. Pada populasi terlihat bahwa setiap gen tersebut mempunyai banyak
macam ale1 sehingga MHC bersifat sangat polimorfik. Untuk memudahkan maka semua
ale1 pada gen MHC yang berada pada satu kromosom disebut sebagai haplotip MHC. Setiap
individu mempunyai dua haplotip, masing-masing satu dari ayah dan ibu yang akan terlihat
ekspresinya pada individu tersebut.
terdiri dari regio hidrofilik ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan regio hidrofilik
intraselular (lihat Ganlbar 6-3). Selain itu terdapat pula rantai nonpolimorfik yang disebut
rantai invarian, berfungsi untuk penlbentukan dan transport molekul MHC kelas I1 dengan
antigen.
Molekul MHC kelas I1 terdapat pada sel makrofag dan monosit, sel B, sel T aktif,
sel dendrit, sel Langerhans kulit, dan sel epitel, yang umumnya tirnbul setelah rangsangan
sitokin. Fungsi nlolekul MHC kelas I1 adalah untuk presentasi antigen pada sel CD4
(umumnya Th) yang merupakan sentral respons imun, karena itu sel yang mempunyai
molekul MHC kelas I1 umumnya disebut sel APC (antigen presenting cells). Molekul MHC
kelas I1 perlu terdapat dalan~timus untuk maturasi sel T CD4.
genetika klasik terlihat bahwa gen Ir mirip dengan gen MHC kelas 11, sehingga diangap
bahwa molekul MHC keIas I1 adalah produk gen Ir. Studi tentang struktur molekul kelas
I dan 11, serta tempat ikatan antigen pada molekul kelas 11, memperkuat anggapan bahwa
molekul kelas I1 merupakan mediator gen Ir.
Keragaman tempat ikatan antigen dalam berbagai molekul kelas 11, serta perbedaan
kemampuan molekul kelas I1 tertentu untuk mengikat antigen spesifik, menimbulkan dugaan
bahwa hanya molekul keIas I1 tertentu saja yang dapat mempresentasikan suatu antigen
tertentu pula. Hal ini terlihat pada pemetaan bahwa hanya individu yang mempunyai gen
kelas I1 tertentu saja yang dapat bereaksi terhadap suatu antigen khusus.
Contoh tentang efek gen Ir pada manusia adalah respons antibodi IgE terhadap
antigen ragweed Ra5 yang sangat berhubungan dengan HLA-DRZ, serta respons IgE
terhadap antigen ragweed Ra6 yang sangat berhubungan dengan HLA-DR5. Walaupun
belum jelas terbukti, antigen ragweed dipercaya terikat pada nlolekul MHC kelas 11.
Sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan HLA adalah kelompok penyakit
autoimun, dan prototip asosiasi ini adalah hubungan antara HLA-B27 dan spondilitis
angkilosis. Dengan risiko relatif 91, maka individu ras Kaukasia HLA-B27 (+) mempunyai
risiko 91 kali lebih besar untuk mendapat spondilitis angkilosis dibandingkan dengan
individu HLA-B27 (-). Ekspresi molekul MHC pada berbagai ras dapat berbeda bernlakna
sehingga harus selalu dibandingkan dengan kontrol. Contohnya, HLA-B27 terdapat pada
48% ras hitam penderita spondilitis angkilosis di USA dibandingkan dengan 2% pada
kelompok kontrol ras yang sama sehingga risiko relatif ras hitam di USA adalah 3 1.
Karena daerah MHC sangat luas maka dapat saja terjadi rekombinasi genetik pada
berbagai lokus individu. Rekombinasi ini tidak seluruhnya terjadi secara acak karena terbukti
bahwa beberapa ale1 memperlihatkan kecenderungan tinggi untuk merangkai dengan ale[
lain, yang disebut sebagai rangkaian yang tidak seimbang (linkage disequilibrium).Jadi dapat
saja suatu penyakit yang selama ini kita kenal sebagai berhubungan dengan ale1 MHC
tertentu, sebetulnya dipengaruhi ale1 lain yang terangkai dengan ale1 terdahulu. Contohnya
adalah sindrom Sjogren yang dikenal berhungan dengan HLA-B8, sebetulnya dipengaruhi
oleh HLA-DR3 yang terangkai dengan HLA-B8. Yang sangat menarik adalah bahwa
temyata hubungan antara penyakit autoimun dengan HLA-DR3 cukup sering terlihat.
Imunitas Humoral
Sjawitri P Siregar
-
TINGKAT
PEMATANGAN
T
FUNGSI
mAK
STATUS PREKURSOR RESWNS
ERHADAP
MDUKSI RESWNS RESPONS
TERHADAP TERHADAP AKWODl
FAWE
ANTK+EN TOLERAN ANTK;EN AWAL wERDAN
SEKUNMR
Gambar 9-1. Perkembangan limfosit B. (Dikutip dengan modifikasi dari AK Abbas, 1991)
lrnunitas Humoral
Sel B memori ini mengandung imunoglobulin yang afinitasnya lebih tinggi. Maturasi
afinitas ini diperoleh melalui mutasi somatik. Sel B rnatur yang tidak distimulasi, jadi yang
tidak menemukan ligannya, akan mati dengan waktu paruh 3-4 hari. Sedangkan sel B
memori akan bertahan hidup lebih lama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan tanpa
stimulasi antigen. Sel B memori ini akan beresirkulasi secara aktif melalui pembuluh darah,
pembuluh limfe, dan kelenjar limfe. Bila antigen dapat lama disimpan oleh sel dendrit di
kelenjar limfe, maka sel dendrit ini pada suatu waktu akan mengekspresikanantigen tersebut
pada permukaannya. Antigen yang diekspresikan oleh sel dendrit ini akan merangsang sel
B memori menjadi aktif kembali, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
memproduksi antibodi. Dalam ha1 ini, kadar antibodi terhadap suatu antigen tertentu dapat
bertahan lama pada kadar protektif, sehingga kekebalan yang timbul dapat bertahan lama.
PENATAAN KEMBALI V J3 Ck
GEM KAPPA
4 TRANSKRIPSI
TRANSKRIP PERTAMA 1111011111Im
4 SPLAlSlNG RNA
lmunitas Hurnoral
terdiri atas 100 segmen dan J, terdiri atas 5 segmen, maka jumlah jenis domain V, yang
dapat dibentuk dari penggabungan segmen ini adalah 100 x 5 = 500 jenis domain yang
berbeda. Penggabungan ini merupakan sumber yang penting dari keragaman protein rantai
ringan L.
Rantai ringan lambda berasal dari kompleks gen yang sama yaitu pada kromosom 22
walau dapat mengandung 6-9 kopi ekson C, berbeda. Penggabungan ekson V, dan J, sama
seperti penggabungan segmen k.
RRAUHAN
-- .
L-
4.
S P W SING RNA
I TRANSKRlPSl PERTAMA
v DJCy2
sPWSD(tmRN4mRNA
m
VDJOp VDJaa
mRNA DELTA
lmunoglobulin G
IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2 rantai berat H dan 2 rantai
ringan L. IgG manusia mempunyai koefisien sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar
150.000. Pada orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.
Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai perbedaan yang
tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya sebagai berikut: IgGl40-70%, IgG2 4-20%,
IgG3 4-8%, dan IgG4 2-6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang
hanya mempunyai masa paruh 1minggu. Kemampuan mengikat komplemen setiap subkelas
IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl > IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat
mengikat komplemen dari jalur klasik (ikatan Clq) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi
ikatan C l q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.
Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgGl dan IgG3 pada fragmen Fc. Ikatan
antibodi dan makrofag secara pasif akan memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang
telah dibungkus antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgGl dan IgG3 pada
lokasi domain CH3.
ikatan
Rantai berat antigen
+Tempat ikatan
komplemen
+Ternpat ikatan
reseptor FC * Grup karbohidrat
S- -S lketan disulfida
lmunoglobulin M
Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah imunoglobulin, dengan koefisien
sedimen 19 S dan berat molekul 850.000-1.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari
beratnya adalah karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali tirnbul
pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada golongan darah secara
alami. Gabungan antigen dengan satu molekul IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade
komplemen.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai p dan C., Molekul
monomer dihubungkan satu dengan laimya dengan ikatan disulfida pada domain CH4
menyerupai gelang dan tiap monomer dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan
dan akhirnya oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.
A. faA serum I
Dimr Rantai J
B. IgA sekretori
2 ci Rantai J
Komponen
sekretori
Sekretori IgA
Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling banyak terdapat pada
sekret mukosa saliva, trakeobronkial, kolostrum/ASI, dan urogenital. IgA yang berada
dalam sekret internal seperti cairan sinovial, amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe
IgA serum.
SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul monomer,
dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J. Komponen sekretori diproduksi
oleh sel epitel dan dihubungkan pada bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai ] dimer yang
memungkinkan melewati sel epitel mukosa (lihat Gambar 4-6). SIgA merupakan pertahanan
pertama pada daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan antigen lokal, dan
telah dibuktikan dapat menghambat virus menembus mukosa.
lmunoglobulin D
Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mglml), sangat labil terhadap pemanasan
dan sensitif terhadap proteolisis. Berat molekulnya adalah 180.000. Rantai 6 mempunyai
berat molekul60.000 - 70.000 dan 12% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD belum
diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel limfosit B bersama IgM dan
diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas AK. Maturation of B lymphocytes and expression of immunoglobulin genes. Dalam:
Abbas AK, Lichtrnan AH, Pober JS, penyunting. Cellular and n~olecular immunology.
Philadelphia: Saunders, 1991; 70-96.
2. Immunoglobulin structure and function. Dalam: Stites Dl? Terr lA, penyunting. Basic and
clinical immunology; edisi ke-7. Norwalk: Appleton & Lange, 1991; 109-21.
3. Paralow TG. Immunoglobulin genetics. Dalam: Stites Dl? Ten IA, penyunting. Basic and
clinical immunology; edisi ke-7. Norwalk: Appleton & Lange. 1991; 122-30.
4. Golub SE. The basic immunoglobulin monomer. Dalam: Golub SE, penyunting. Immunology:
a synthesis.Sunderland: Sinatier Ass, 1987; 54-91.
5. Rabbita TH. Human immunoglobulin genes and associated chromosomal abnormalities.
Dalam: Lachman PJ, Peters KD, penyunting. Clinical aspects of immunology; edisi ke-5.
London: Blackwell, 1993; 131.48.
M asuknya antigen ke dalam tubuh akan mengakibatkan suatu seri kejadian yang
sangat kompleks yang dinamakan respons imun. Secara garis besar, respons imun
terdiri atas respons imun selular dan hurnoral. Sebenamya kedua macam respons
imun ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, oleh karena respons yang terjadi
pada umumnya merupakan gabungan dari kedua macam respons tersebut. Hanya saja pada
keadaan tertentu imunitas selular lebih berperan daripada respons humoral, sedang pada
keadaan lainnya imunitas humoral yang lebih berperan.
Secara ringkas imunitas selular didefinisikan sebagai suatu respons imun ;erhadap antigen
.
yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya.
.
Imunitas seluler merupakan bagian dari respons imun didapat yang berfungsi
untuk mengatasi infeksi mikroba intraseluler. Imunitas seluler diperantarai oleh limfosit
T. Terdapat 2 jenis mekanisme infeksi yang rnenyebabkan mikroba dapat masuk dan
berlindung di dalam sel. Pertama, mikroba diingesti oleh fagosit pada awal respons imun
alamiah, narnun sebagian dari mikroba tersebut dapat menghindari aktivitas fagosit. Bakteri
dan protozoa intraseluler yang patogen dapat bereplikasi di dalam vesikel fagosit. Sebagian
mikroba tersebut dapat memasuki sitoplasma sel dan bermultiplikasi menggunakan nutrien
dari sel tersebut. Mikroba tersebut terhindar dari mekanisme mikrobisidal. Kedua, virus
dapat berikatan dengan reseptor pada berbagai macam sel, kemudian bereplikasi di dalam
sitoplasma sel. Sel tersebut tidak mempunyai mekanisme intrinsik untuk menghancurkan
virus. Beberapa virus meqebabkan infeksi laten, DNA virus diintegrasikan ke dalam genom
pejamu, kemudian protein virus diproduksi di sel tersebut.
Eliminasi mikroba yang berada di vesikel fagosit atau sitoplasma sel merupakan
fungsi utama limfosit T pada imunitas didapat. Sel T helper CD4+ juga membantu sel B
memproduksi antibodi. Dalam menjalankan fungsinya, sel T harus berinteraksi dengan sel
lain seperti fagosit, sel pejamu yang terinfeksi, atau sel B. Sel T mempunyai spesifisitas
terhadap peptida tertentu yang ditunjukkan denganmajor histocompatibilitycomplex (MHC).
Hal ini rnembuat sel T hanya dapat merespons antigen yang terikat dengan sel lain.
Diferensiasi limfosit T
Perkembangan sel limfosit T intratimik mernbutuhkan asupan sel asal limfoid terus-menerus
yang pada fetus berasal dari yolksac, hati, serta sumsum tulang; dansesudahlahirdarisumsum
tulang. Sel yang berasal dari hati fetus dan sumsum tulang yang bersifat multipotensial
itu dalarn lingkungan mikro timus akan berkembang menjadi sel limfosit T yang matur,
tolerandiri (self tolerant) dan terbatas MHC diri (major histocompatibility complex restricted).
Di dalam timus, dalam proses menjadi limfosit matur terlihat adanya penataan kembali gen
yang produk molekulnya merupakan reseptor antigen pada permukaan limfosit T (TCR)
dan juga ekspresi molekul-molekul pada pennukaan limfosit T yang dinamakan petanda
permukaan (surfnce marker) Iimfosit T. Dinamakan petanda permukaan limfosit T karena
molekul tersebut dapat membedakan limfosit T dengan limfosit lainnya. Di dalam timus,
sebagian besar sel limfosit T imatur akan mati dengan proses yang dinamakan apoptosis.
Apoptosis adalah kematian sel yang diprogram (fisiologis) demi kebaikan populasi sel
lainnya. Sedangkan nekrosis atau disebut juga kematian sel accidental adalah kematian sel
karena kerusakan berat (patologis), misalnya akibat infeksi mikroorganisrne, trauma fisis,
zat kimia, hipertermia, iskemia, dan lain-lain.
Hanya 0,5,10% sel T matur perifer mempunyai TCR, yaitu limfosit T yang tidak
memperlihatkan petanda permukaan CD4 dan CD8 yang dinamakan sel limfosit T negatif
ganda (double negative = DN). Sel DN matur ini dapat mengenal aloantigen kelas I,
mungkin juga aloantigen kelas 11, dengan mekanisme yang belum jelas. Masih belum jelas
pula apakah sel DN matur juga dapat mengenal antigen asing.
PENATAANWBN
GEN IREVERSIBEL
*1
kornbinasi
1 011
-
I Protein 1
Pengumpulan Ekspresi
intra sitoplasrna permukaan
rul/a= a&,#
Gambar 10-1. Penataan kembali gen TCR. (Dikutip dengan modifikasi dari Acuto. 1985)
Gen yang mengkode TCR terletak pada kromosom 14 (a,y)dan kromosom 7 (P,6).
Gen ini merupakan anggota dari superfamili gen imunoglobulin, karena itu molekul TCR
mempunyai struktur dasar yang sama dengan struktur dasar imunoglobulin. Segmen gen
ini ada yang akan membentuk daerah variabel M dari TCR, daerah diversitas (D), daerah
joining (J), dan daerah konstan (C). Karena segmen gen ini terletak terpisah, maka perlu
diadakan penataan kembali gen VDJC atau VJC agar dapat ditranskripsi dan menghasilkan
produk berupa TCR. Penataan kembali segmen DNA ini akan memungkinkan keragaman
(diversity) spesifisitas TCR yang luas. Setiap limfosit T hanya mengekspresikan satu produk
kombinasi VDJC atau VJC, yang membedakan klon yang satu dari klon lainnya (lihat
Gambar 10-1).
Limfosit T yang mempunyai TCR antigen diri (selfantigen) akan mengalami apoptosis
karena ia telah terpajan secara dini pada antigen diri dan mati insitu dengan mekanisme
yang belun-r jelas. Karena itu, limfosit matur yang keluar dari timus adalah limfosit yang
hanya bereaksi dengan antigen non selfdan dinamakan toleran diri. Di dalam timus, limfosit
T juga mengalami pengenalan antigen diri hanya bila berasosiasi dengan molekul MHC
diri, melalui proses yang juga belum diketahui dengan jelas yang dinamakan terbatas MHC
diri. Molekul TCR I11 diekspresikan pada membran sel T bersama molekul CD3, yaitu salah
satu molekul petanda permukaan sel T.
Membran sel T
Gambar 10-3. Reseptor sel T. (Dikutip dengan modifikasi dari Shearer, 1993)
AKTlVASl SEL T
Sel limfosit T biasanya tidak bereaksi dengan antigen utuh. Sel T baru bereaksi terhadap
antigen yang sudah diproses menjadi peptida kecil yang kemudian berikatan dengan
~nolekulMHC di dalam fagosom sitoplasma dan kemudian diekspresikan ke permukaan sel.
Sel limfosit T hanya dapat mengenal antigen dalam konteks molekul MHC diri. Molekul
CD4 dan CD8 inerupakan molekul yang menentukan terjadinya interaksi antara CD3/
TCR dengan kompleks MHCIantigen. Sel T CD4 akan mengenal antigen dalam konteks
molekul MHC kelas 11, sedang sel T CD8 akan mengenal antigen dalam konteks molekul
MHC kelas I.
Untuk dapat mengaktifkan sel T dengan efektif, perlu adanya adhesi antara sel T
dengan sel APC atau sel sasaran (target). Adhesi ini, selain melalui kompleks CD4/CD8-
TCR-CD3 dengan MHC kelas II/kelas I-ag, dapat juga ditingkatkan melalui ikatan reseptor-
ligan lainnya. Reseptor-ligan tersebut antara lain, CD28eB7, LFA-I-ICAM112 (molekul
asosiasi fungsi limfosit 1 = lymphocyte function associated 1 , molekul adhesi inte~selular1 =
inter cellular adhesion mokcule I), CD2-LFA3, CD5-CD72 (lihat Gambar 10-4).
Terjadinya ikatan antara antigen dan TCR dinamakan tahapan primer. Aktivasi sel
T juga memerlukan adanya stimulasi sitokin, seperti interleukin 1 (IL-1) yang dikeluarkan
oleh sel APC yang dinamakan ko-stimulator. Sinyal adanya ikatan TCR dengan antigen
akan ditransduksi melalui bagian TCR dan CD3 yang ada di dalam sitoplasma (lihat
Gambar 10-3). Sinyal ini akan mengaktifkan enzim dan mengakibatkan naiknya Ca++
+ Reseptor 11 11-1,6 1 10
ICAM-112
/'-
S U APC
C M atau CD8
SEL TARGET