Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PSIKOLOGI

LATIHAN MANAGEMEN STRES PADA TENAGA KESEHATAN

DISUSUN OLEH

Dini Hendiani

Nim : 213310722

DOSEN PEMBIMBING

Ns. Yudistira Afconneri,M.Kep

JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES RI PADANG
TP. 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha ESA karena dengan
rahmat,karunia,serta taufik dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan tugas kuliah
yang berjudul “Latihan Managemen Stres Pada Tenaga Kesehatan” sebagai tugas
dari mata kuliah Psikologi.

Saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Ns. Yudistira


Afconneri,M.Kep selaku dosen mata kuliah telah membantu dalam menyelesaikan
tugas kuliah ini.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya
harapkan untuk penyempurnaan makalah ini. Akhir kata, saya ucapkan
terimakasih,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

28 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................3

A. Latar Belakang.........................................................................................3
B. Rumusan Masalah...................................................................................4
C. Tujuan......................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................6

A. Stres Kerja...............................................................................................6
B. Kategori Stres Kerja................................................................................7
C. Faktor Penyebab Stres Kerja Pada Tenaga Kesehatan............................8
D. Gejala Stres Kerja Pada Tenaga Kesehatan.............................................9
E. Managemen Stres Pada Tenaga Kesehatan...........................................10
F. Mengendalikan Stres Pada Tenaga Kesehatan......................................11
G. Mengatasi Stres (stres coping) pPada Tenaga Kesehatan.....................16

BAB III PENUTUP...........................................................................................19

A. Kesimpulan............................................................................................19
B. Saran......................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................20

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stres dialami oleh setiap orang dengan tidak mengenal jenis kelamin, usia,
jabatan, kedudukan, atau status sosial ekonomi. Tanggapan dan tingkat stres
dapat bervariasi pada setiap orang, karena stres merupakan proses persepsi yang
bersifat individual (Riggio, 1990).
Seseorang yang mengalami stres mungkin mengalami kelelahan fisik,
emosional dan mental di lingkungan kerja. Banyak individu menghabiskan
sebagian besar waktunya di tempat kerja dan stres kerja dengan cepat menjadi
isu pelayanan kesehatan nasional. Strategi manajemen stress on site sangat
penting untuk membantu menjaga kesehatan optimum pekerja di setiap sudut
lapangan kerja (Devi Yulianti, 2003).
Pemberian pelayanan kesehatan menjadi prioritas utama bagi banyak
negara, termasuk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan tenaga kerja yang
handal merupakan kebutuhan mendesak yang dialami instansi rumah sakit, baik
swasta maupun pemerintah. Salah satu pelayanan sentral di rumah sakit adalah
bagian Instalasi Perawatan Intensif. Tenaga kesehatan yang bertugas di
dialamnya merupakan tim kesehatan yang terdiri dari dokter dan perawat yang
telah mendapat pelatihan khusus untuk meliputi Basic Life Support (BLS) dan
Advanced Cardiac Life Support (ACLS) (Depkes, 2006).
Perawat di Instalasi Perawatan Intensif berbeda dengan perawat bagian
lain yang mana sebagai salah satu tim kesehatan harus memiliki pengetahuan
dan keahlian khusus, meliputi kemampuan menangani kondisi pasien yang kritis,
bekerja dengan cepat, tepat, teliti, dan senantiasa cermat dalam mengobservasi
dan menilai keadaan umum pasien yang cenderung fluktuatif. Perawat di
Instalasi Perawatan Intensif juga harus memiliki tingkat keterampilan yang
kompleks karena bertanggung jawab mempertahankan homeostasis pasien untuk
melewati kondisi kristis (Meltzer & Huckabay, 2004). Kondisi pasien yang
kritis, beban kerja yang sangat tinggi, serta lingkungan Instalasi Perawatan
Intensif dapat menjadi sumber stres bagi perawat tersebut.

4
Stres menurut Hans Selye (1974) adalah respons tubuh yang sifatnya
adaptif pada setiap perlakuan yang menimbulkan perubahan fisik atau emosi.
Stres juga dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan mengatasi ancaman
yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia yang pada
suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut. Perubahan
sosial yang serba cepat dapat memengaruhi nilai moral, etika dan gaya hidup
(Selye, 1974). Tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan
yang cepat, yang pada akhirnya akan mengganggu kondisi kesehatan fisik
maupun mental.
Peristiwa-peristiwa dari dalam dan di luar tempat kerja dapat memicu
terjadinya stres. Stres kerja yang dialami individu merupakan hubungan timbal
balik antara sesuatu yang berada dalam diri individu dengan sesuatu yang berada
di luar individu tersebut (Atwater, 1983). Hubungan tersebut juga berlaku pada
peristiwa-peristiwa yang menyebabkan stres kerja pada perawat di Instalasi
Perawatan intensif.
Stres yang dialami perawat khususnya perawat Instalasi Perawatan Intensif
dapat memberikan dampak yang negatif terhadap kesehatannya dan pada
akhirnya dapat mempengaruhi kinerja dan mutu asuhan keperawatan. Oleh
karena itu, penanganan dan manajemen yang tepat terhadap stres kerja perawat
sangat dibutuhkan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Latihan Managemen Stres Pada Tenaga Kesehatan dalam
ilmu Psikologi?
C. Tujuan Umum
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang di berikan oleh dosen
dalam mata kuliah Psikologi.
D. Tujuan Khusus
Memahami dan mengetahui mengenai Latihan Managemen Stres Pada
Tenaga Kesehatan dalam ilmu Psikologi .

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Stres Kerja
Menurut Anwar (1993:93) Stres kerja adalah suatu perasaan yang
menekan atau rasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi
pekerjaannya.
Yoder dan Staudohar (1982 : 308) mendefinisikan Stres Kerja adalah Job
stress refers to a physical or psychological deviation from the normal human
state that is caused by stimuli in the work environment. yang kurang lebih
memiliki arti suatu tekanan akibat bekerja juga akan mempengaruhi emosi,
proses berpikir dan kondisi fisik seseorang, di mana tekanan itu berasal dari
lingkungan pekerjaan tempat individu tersebut berada.
Beehr dan Franz (dikutip Bambang Tarupolo, 2002:17), mendefinisikan
stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak
nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang
tertentu.
Stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi,
proses berpikir dan kondisi seseorang. Jika seseorang / karyawan mengalami
stres yang terlalu besar maka akan dapat menganggu kemampuan seseorang /
karyawan tersebut untuk menghadapi lingkungannya dan pekerjaan yang akan
dilakukannya(Handoko 1997:200)
Menurut Pandji Anoraga (2001:108), stres kerja adalah suatu bentuk
tanggapan seseorang, baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di
lingkunganya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam.
Gibson dkk (1996:339), menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu
tanggapan penyesuaian diperantarai oleh perbedaan- perbedaan individu dan
atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan
dari luar (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan
psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang.

6
B. Kategori Stres Kerja
Menurut Phillip L (dikutip Jacinta, 2002), seseorang dapat dikategorikan
mengalami stres kerja bila:
1. Urusan stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau
perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di
dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke
pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah dapat juga
menjadi penyebab stress kerja.
2. Mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu.
3. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antara kedua belah pihak untuk
menyelesaikan persoalan stres tersebut.

Secara umum, seseorang yang mengalami stres pada pekerjaan akan


menampilkan gejala-gejala yang meliputi 3 aspek, yaitu : Physiological,
Psychological dan Behavior. (Robbins, 2003, pp. 800-802)

1. Physiological memiliki indikator yaitu: terdapat perubahan pada


metabolisme tubuh, meningkatnya kecepatan detak jantung dan napas,
meningkatnya tekanan darah, timbulnya sakit kepala dan menyebabkan
serangan jantung.
2. Psychological memiliki indikator yaitu: terdapat ketidakpuasan
hubungan kerja, tegang, gelisah, cemas, mudah marah, kebosanan dan
sering menunda pekerjaan.
3. Behavior memiliki indikator yaitu: terdapat perubahan pada
produktivitas, ketidakhadiran dalam jadwal kerja, perubahan pada selera
makan, meningkatnya konsumsi rokok dan alkohol, berbicara dengan
intonasi cepat, mudah gelisah dan susah tidur

7
C. Faktor Penyebab Stres Kerja pada Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan khususnya perawat yang bekerja di Instalasi Rawat
Darurat dituntut untuk memiliki kecekatan, keterampilan dan kesiagaan setiap
saat (Mahwidhi, 2010). Para perawat tersebut harus bisa melakukan interprestasi
keadaan klien, mendeteksi berbagai perubahan fisiologis yang dapat mengancam
jiwa, serta dapat bertindak mandiri untuk menangani kegawatan yang
mengancam jiwa, sebelum dokter datang. Tugas dan tanggung jawab perawat di
Instalasi Rawat Darurat cukup berat, baik terhadap klien, keluarga dan dokter.
Karena itu diperlukan kesiapan mental, fisik, pengetahuan dan keterampilan
yang tinggi (Diklat Rumah Sakit PHC Surabaya, 2007).
Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya
penanganan perawatan pasien atau asuhan kepada pasien dengan tuntutan kerja
yang bervariasi. Perawat Instalasi Rawat Darurat merupakan perawat yang
memberikan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera yang
memberikan pelayanan 24 jam. Hal ini akan memberikan beban kerja yang
sangat berat yang bisa memicu dan berdampak pada stres kerja (Adityaningtiyas,
2010).
Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya stres kerja perawat
Instalasi Gawat Darurat antara lain kelebihan beban kerja, jumlah dan tingkat
ketergantungan pasien, tuntutan pelayanan menjadi perawat professional, tingkat
pendidikan, pengalaman sebelumnya dengan stres, kepribadian perawat dan
mekanisme koping (Potter dan Perry, 2005). Tugas dan tanggung jawab atau
beban kerja perawat IRD cukup kompleks, antara lain melakukan observasi
pasien secara ketat, banyaknya dan beragamnya pekerjaan yang harus dilakukan
demi keselamatan pasien, perawat juga harus melakukan kontak langsung
dengan pasien secara terus menerus selama jam kerja, dan lain sebagainya
(Nursalam, 2007). Beban kerja akan menjadi stresor bagi perawat, dimana
semakin berat beban kerja maka akan semakin besar stres yang dialami perawat.
Pada suatu pelayanan profesional, jumlah tenaga yang diperlukan tergantung
pada jumlah pasien dan derajat ketergantungan pasien (Nursalam, 2007).

8
Semakin tinggi jumlah dan tingkat kegawatan pasien maka semakin besar stresor
bagi perawat di Instalasi Rawat Darurat (Adityaningtiyas, 2010).
Penelitian yang dilakukan The National Institute Occupational Safety and
Health (NIOSH) menunjukkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan
dengan rumah sakit atau kesehatan memiliki kecenderungan tinggi untuk terkena
stres kerja atau depresi, sedangkan American National Association for
Occupational Health (ANAOH) menempatkan kejadian stres kerja pada perawat
berada diurutan paling atas pada empat puluh pertama kasus stres kerja pada
pekerja (Izzati, 2011). Berdasarkan penelitian Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2005) bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan tugas
kebersihan, 63,6% melakukan tugas administrasi dan lebih dari 90% melakukan
tugas non keperawatan misalnya membuat resep, menetapkan diagnose penyakit
dan melakukan tindakan pengobatan dan hanya 50% yang melakukan asuhan
keperawatan sesuai dengan fungsinya. Survey di Perancis (Levin, 2004)
ditemukan bahwa persentase kejadian stres sekitar 74% dialami perawat.
Perawat mengeluh terhadap lingkungan kerjanya yang menuntut kekuatan fisik
dan keterampilan.
Timbulnya stres pada perawat dapat diakibatkan oleh berbagai faktor
pemicu. Berdasarkan faktor pemicunya stres secara umum dapat dibagi menjadi
empat jenis stres yaitu: stres kepribadian (personality stress), stres psikososial
(psychosocial stress), stres bioekologi (bio-ecological stress) dan stres kerja (job
stress) (Lexshimi, dkk, 2007). Antara keempat jenis stres di atas stres kerja
merupakan salah satu jenis stres yang banyak ditemui, terutama di negara-negara
maju. Beehr dan Franz mendefinisikan stres kerja sebagai suatu proses yang
menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan,
tempat kerja atau situasi kerja yang tertentu (Izzati, 2011).
Hal tersebut disebabkan oleh tugas-tugas perawat yang sering monoton
dan kondisi ruangan yang sempit, biasa dirasakan oleh perawat yang bertugas di
bagian bangsal. Tuntutan untuk bertindak cepat dan tepat dalam menangani
pasien biasanya dihadapi oleh perawat diruang gawat darurat atau bagian
kecelakaan. Keperawatan sebagai pelayanan atau asuhan profesional bersifat

9
humanistik, menggunakan pendekatan holistik, dilakukan berdasarkan ilmu dan
kiat keperawatan, berorientasi kepada kebutuhan objektif klien, mengacu pada
standar professional keperawatan dan menggunakan etika keperawatan sebagai
tuntutan utama. Perawat dituntut untuk selalu melaksanakan asuhan keperawatan
dengan benar atau rasional dan baik atau etikal (Nursalam, 2003). Hal ini tentu
saja merupakan stresor yang cukup besar bagi perawat. Tingkat pendidikan juga
dapat mempengaruhi respons tubuh terhadap stresor. Perawat yang bekerja di
ruang Instalasi Rawat Darurat memerlukan pendidikan khusus. Sebagai perawat
professional dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dituntut untuk bisa
menjadi panutan bagi tim kerja keperawatan sehingga semakin tinggi pendidikan
semakin besar tanggung jawabnya (Nursalam, 2003). Pengalaman juga dapat
mempengaruhi respons tubuh terhadap stresor yang dimiliki. Semakin banyak
stresor dan pengalaman yang dialami dan mampu menghadapinya, maka
semakin baik dalam mengatasinya sehingga kemampuan adaptif akan semakin
baik pula (Hidayat, 2007). Namun bila stresor yang banyak tidak mampu
dihadapi akan menyebabkan stres. Oleh sebab itu bila perawat yang bertugas di
ruang Instalasi Rawat Darurat belum berpengalaman tentu tingkat stresnya akan
lebih tinggi daripada perawat yang berpengalaman lebih lama.
Stres pekerjaan berdampak pada penurunan perhatian pada orang dengan
siapa kita bekerja, keletihan fisik dan emosional (Potter dan Perry, 2005). Stres
yang berkepanjangan dapat berdampak pada penurunan konsentrasi, perawat
menjadi mudah marah terhadap pasien, meningkatkan ketidakhadiran kerja,
mengganggu pola tidur, dan mengurangi kualitas pekerjaan dengan dalam
memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien (Eysenck, 2009)
D. Gejala Stres Kerja Pada Tenaga Kesehatan
Cary Cooper dan Alison Straw (1995:8-15) menemukan gejala stress
dapat berupa tanda-tanda berikut ini:
 Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan tenggorokan kering,
tangn lembab, merasa panas, oto-otot tegang, letih yang tidak
beralasan, sakit kepala, salah urat dan

10
 Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas, sedih jengkel, salah
paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah,
gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi,
sulit berfikir jernih, sulit membuat keputusan, hilangnya
kretifitas, hilangnya gairah penampilan dan hilangnya minat
terhadap orang
 Watak dan keprubadian, yatitu sikap hati-hati menjadi cermat
yang berlebihan, cemas menjadi mlekas panic, kurang percaya
diri menjadai rawan, dan penjengkel menjadi meledak-ledak.

Gejala stres pada tenaga kesehatan di tempat kerja, yaitu meliputi:

1. Kepuasan kerja rendah


2. Kinerja yang menurun
3. Semangat dan energy menjadi hilang
4. Komunukasi tidak lancar
5. Pengambilan keputusan jelek
6. Kretifitas dan inovasi kurang
7. Begulat pada tugas-tugas yang tidak produktif
E. Managemen Stres Pada Tenaga Kesehatan
Beberapa strategi menghadapi stress (strategi koping) yang dilakukan oleh
nakes dan dokter dari hasil pengambilan data pada beberapa penelitian adalah
bersyukur dan berserah pada Allah, mengembalikan segala sesuatunya pada
Allah dan perbanyak bersabar.
Coping Strategi yang dilakukan oleh Perawat Tenaga Kesehatan dan Dokter
:
1. Bersyukur dan berserah pada Allah
2. Perbanyak mengingat Allah, perbanyak bersyukur dan perbanyak
bersabar, mengkatkan doa
3. Cerita kepada keluarga
4. Mengembalikan sesuatunya pada Allah, yang penting Allah ridha

11
5. Tidak dianggap ditempat kerja jangan khawatir masih ada orang lain
yang lebih sulit dari saya
6. Mengendalikan rasa cemas khususnya pada saat pandemi Covid-19
di tempat kerja
7. Menjaga kondisi psikologis tetap stabil
8. Pasrah kepada Allah
9. Berusaha untuk mencari win-win solution PSISULA
10. Selalu berpikiran positif
11. Perilaku tenang
12. Pola hidup sehat
13. Mengendalikan stress
Perawat, dokter dan tenaga kesehatan lain (karyawan Puskesmas)
melakukan beberapa strategi untuk mengatasi stress.
Perbedaan Individual dalam penyesuaian diri secara kepribadian pada
beberapa responden yaitu pemaknaan terhadap pekerjaan, diantaranya;
menganggap pekerjaan yang dimiliki bermakna, mengakui bahwa dirinya
optimis menghadapi situasi yang dihadapi,memerlukan dukungan dan berharap
terdapat peningkatan secara positif dalam kondisi pekerjaan, dan sarana dan
prasarana di tempat kerja telah memenuhi kebutuhan subjek
Outcome yang dihasilkan saat melakukan penyesuaian Coping Strategi
adalah sebagai berikut: kondisi pasangan dan keluarga tampak masih baik-baik
saja dan terjadi peningkatan perhatian dan dukungan dari para sahabat. Secara
umum seluruh responden melaporkan mengalami peningkatan dalam
keterlibatan di komunitas atau masyarakat. Responden mengaku mengalami
peningkatan berfikir positif, berperilaku tenang, dan terus melakukam pola hidup
sehat agar dapat melakukan manajemen stres. Dukungan sosial yang dibutuhkan
oleh perawat dan Nakes adalah sebagai berikut: doa, kerjasama yang baik, saling
mendukung, dukungan moral, doa, dan kerjasama.
Hasil penelitian yang menggambarkan kecenderungan subjek
menggunakan coping strategy yang berfokus pada emosi serta dibutuhkannya
dukungan sosial yang bersifat religius, doa dan kerja sama, mengarahkan pada

12
diperlukannya intervensi dan prevensi yang sesuai bagi tipe coping strategi,
dukungan sosial yang dibutuhkan dan kecenderungan upaya untuk penggalian
makna. Upaya manajemen stress merupakan gabungan pendekatan nomotetik
dan idiografis, tidak jarang dilakukan dengan mengumpulkan data dan menggali
permasalahan dengan melakukan asesmen dan dilanjutkan dengan intervensi dan
prevensi. Perbedaan yang penting harus terlihat berasal dari teori, riset maupun
pengalaman pribadi (Wolfolk, Lehler, Allen, 2007). Pada penelitian ini
dilakukan pengambilan data secara online dan wawancara online. Hasil
penelitian ini menghasilkan ide untuk manajemen stress yang berkaitan dengan
manajemen emosi karena subjek yang cenderung memiliki coping strategi yang
berfokus pada emosi. Intervensi yang sederhana dan mungkin dilakukan adalah
dengan EFT, SEFT maupun mindfulness.
SEFT dan EFT dilakukan dengan mempertimbangkan kecenderungan
kepraktisan dan bisa dilakukan oleh segala lapisan masyarakat. Kondisi
Pandemik Covid-19 yang cenderung tidak memungkinkan subjek keluar dari
tempat kerja dan rumah dan berguna bagi masyarakat luas menyebabkan
penggunaan SEFT , EFT dan mindfulness ini tepat.
EFT (Emotional Freedom Technique) adalah terapi yang memiliki pola
terapi yang lebih aktif dan sadar dan hubungan terapi yang berkembang, sesuai
dengan kepribadian dan kebutuhan klien. Hal ini dilakukan dengan
mengembangkan proses yang sesuai dengan kepribadian agar menjadi mandiri
dan lebih asertif. Hubungan terapetik bisa terjadi antara caregivers yang
berkepribadian healer. Praktisi EFT memiliki standar etika dan panduan yang
terlisensi (Church, D, 2013). Sebelum memulai EFT dilakukan asesmen yang
teliti sebelum memulai EFT agar tidak terjadi masalah. Klien yang menerima
energy therapies beraneka ragam dari mulai yang evaluasi medisnya bagus,
sampai sakit, kanker, diabetes, depresi dan lain-lain (Church, D, 2013).
Pada mindfulness, praktisi mindfulness membuat laporan dan iklim
hubungan interaksi biologis yang dekat. Sehingga menghasilkan kondisi
kesadaran tertentu. Terdapat pola kepribadian dalaminteraksi yang dapat
menghasilkan intervensi yang menguatkan. Mindfulness merupakan kualitas

13
spiritual dalam pembahasan yang lebih ilmiah, menggunakan beberapa
kombinasi bukti secara ilmiah dalam praktik spiritual yang tradisional. Banyak
mindfulness dipandang sebagai bagaimana seseorang hidup dan menjadi hidup
di dunia dibanding mempelajari bagaimana set teknik tersebut dipergunakan dan
mempelajarinya dengan mempergunakan buku. Praktisi menggunakannya untuk
berbagai intervensi dan pendekatan seperti kecanduan, bunuh diri, depresi,
trauma dan HIV/AIDS.
Secara subjektif, hal itu merepresentasikan sikap yang diterima sebagai
pengalaman dalam diri melalui pikiran, perasaan, dan sensasi. Dalam konteks
interpersonal, sikap yang digambarkan sebelumnya, adalah hangat, menerima,
ramah, bersyukur tanpa menuntut perhatian lebih. Terapis yang mindful sebagai
kapasitas terapis,dan kemampuan mendengarkan secara mendalam. Pendekatan
tersebut penting untuk menolong terapis agar lebih mudah menyelesaikan
masalah, dan terapis dapat bekerja dengan lebih fleksibel (Hick, 2008).
Mindfulness digambarkan sebagai pemfokusan perhatian, sadar, tertarik, tidak
menilai, menerima dan bersyukur.
Mindfulness digambarkan non-judgmental, non-elaborative, non-
judgmental, menampilkan pusat kesadaran dalam berpikir, merasa atau sensasi
dan menerimanya. Pusat kesadaran adalah cara mengarahkan perhatian,
integrasi, meliputi satu terapi komunitas. Sebagai dasar mindfulness, praktik
mindfulness adalah ongoing praktik meditasi atau latihan melalui inquiry yang
dalam (Hick, 2008). EFT dapat diterapkan dalam berbagai kasus, diantaranya
Mark Lau dan timnya menggunakan dalam pusat adiksi dan kesehatan mental di
Toronto, Kabat-Zinn (1990), & Shapiro, Schwartz, (1998), Segal, Williams, dan
Teasdale (2002).
Dukungan sosial berperan dalam menurunkan tingkat stress dengan
memberikan dukungan pada subjek untuk menurunkan tingkat stresnya. Semua
jenis dukungan sosial berguna dan penting, nilai informasi, emosi, dalam
dukungan sosial seringkali bersifat praktis, begitupula dalam adivis. Akibatnya
pada kesehatan dan pemberdayaan dengan mengurangi prasaan isolasi, hilang
harapan dan dinilai oleh orang lain serta meningkatkan perasaan bersahabat,

14
mengetahui dan memahami. Semakin kuat percaya diri terjadi maka orang dapat
menerima sakit dan ketidakmampuannya dan mengijinkannya merasa lebih
diterima. Pemberdayaan ini membuat individu mampu berjuang dan lebih aktif
menghadapi situasi yang menekan. Sejumlah contoh program dukungan soaial
dari Sullivan (2003), berupa kolaborasi dalam penelitian dan advokasi pada
kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan caregiver para feminis, melalui
diskusi kolaborasi. Program dalam kelompok didesain untuk maksimalkan hasil
prevensi (Orford, 2008).
Teknik mentoring juga dapat digunakan untuk menerima ide-ide baru ke
dalam realita pengalaman masa muda dan belajar darinya. Ini ditujukan pada
anggota keluarga yang mengasuh anak-anak perawat, dokter, perawat dan tenaga
kesehatan dalam keluarga. Individu tidak hanya nenek atau kakek dapat
memberi dukungan bagi anak-anak perawat, tenaga kesehatan maupun dokter
dengan dimentori oleh, nenek, kakek ataupun mertua. Skema mentor ini dapat
bersifat lebih natural. Pada penelitian ini disesuaikan dengan peran dalam
keluarga seperti kakek atau nenek yang menjadi mentor, karena telah memiliki
peran yang khusus pada cucu ataupun anak yang berusia anak ataupun remaja,
dapat juga mentor adalah orang dewasa yang belum menikah karena biasanya
kurang mencampui urusan remaja (Hirsch, 2002 dalam Orford, 2008).
F. Mengendalikan Stres Pada Tenaga Kesehatan
Mengendalikan Stress Tekanan yang dihadapi seseorang tidak hanya
menimbulkan stress yang negatif (distress), akan tetapi bisa juga menjadi stress
yang positif (eusstres). Butuh pengendalian jiwa yang matang (dewasa) agar
kondisi yang ada menjadi hal yang positif. Stress dapat dikonseptualisasikan dari
berbagai macam sudut pandang, yaitu stress sebagai stimulus, stress sebagai
respons, dan stress sebagai interaksi antara individu dan lingkungan.
a. Stress sebagai ‘stimulus’ Pendekatan ini menitikberatkan pada
lingkungan dan menggambarkan stres sebagai suatu stimulus dengan
keseluruhan perlawanan perilaku coping Kondisi ini menjadi stimulus seseorang
mengalami stress. Akan tetapi tidak sedikit dijumpai kondisi tersebut sebagai

15
titik awal yang mendorong untuk berpikir kritis, logis dan realistis, sehingga
muncul ide-ide cemerlang dan menciptakan karya-karya inovasi.
b. Stress sebagai ‘respons’ Pendekatan ini memfokuskan pada reaksi
seseorang terhadap stresor dan menggambarkan stres sebagai suatu respons (atau
stres sebagai variabel tertentu). Kondisi pandemi covid ini direspons dengan
positif oleh sebagian orang. Dalam dunia pendidikan, misalnya, muncul
sebagian model pembelajaran dengan menggunakan media online. Guru dan
siswa “dipaksa” menjadi melek IT dan memanfaatkan media online untuk
belajar.

c. Stress sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan. Pendekatan ini


menggambarkan stres sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan strain
dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan.
Interaksi antara manusia dengan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut
sebagai hubungan transaksional. Di dalam proses hubungan ini termasuk juga
proses penyesuaian.

G. Mengatasi stress (stress coping) pada Tenaga Kesehatan


Stress dapat mempengaruhi kondisi fisik, mental dan emosi seseorang.
Maka dari itu penting bagi setiap orang untuk memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam memiliki kuasa penuh dalam mengontrol diri dan emosinya
sehingga ia dapat mengoptimalkan kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.
(In The Know:2014) Yang perlu ditekankan juga dalam mengatasi stress ialah
bahwa kita tidak memiliki kendali terkait penyebab stress, tetapi kita mampu
mengontrol bagaimana kita bereaksi terhadap stress tersebut. (U.S. Department of
Veterant Affairs,: 2014) Menurut Lazzarus dan Folkman, coping stress
merupakan suatu proses di mana individu mencoba untuk mengelola jarak yang
ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun
tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka
gunakan dalam menghadapi situasi penuh tekanan. Secara umum, stress dapat

16
diatasi dengan melakukan transaksi dengan lingkungan di mana hubungan
transaksi ini merupakan suatu proses yang dinamis. (Lazarus & Folkman:1984).,
Terdapat dua macam fungsi, coping stress, yaitu:
a. Emotion-focused coping Digunakan untuk mengatur respons emosional
terhadap stress. Pengaturan ini melalui perilaku individu, seperti penggunaan obat
penenang, bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan, melalui
strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressful,
individu akan cenderung untuk mengatur emosinya.
b. Problem-focused coping Untuk mengurangi stressor, individu akan
mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang
baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan
dapat mengubah situasi. Metode atau fungsi masalah ini lebih sering digunakan
oleh orang dewasa.
Ada delapan strategi coping yang berbeda yang secara umum dikenal dalam
psikologi, yaitu:
1. konfrontasi,
2. mencari dukungan sosial,
3. merencanakan pemecahan masalah dikaitkan dengan problem-
focused coping,
4. kontrol diri,
5. membuat jarak,
6. penilaian kembali secara positif,
7. menerima tanggung jawab, dan
8. lari atau penghindaran.

Tidak ada satu metode pun yang dapat digunakan untuk semua situasi
stress. Tidak ada strategi copi coping yang paling berhasil. Strategi coping yang
paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stress dan situasi.
Keberhasilan coping lebih tergantung pada penggabungan strategi coping yang
sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh stress, daripada mencoba
menemukan satu strategi coping yang paling berhasil.

17
Penyesuaian yang sifatnya problem solving terhadap stress, merupakan
jenis penyesuaian terhadap stress yang bersifat disadari, berupaya
menghilangkan sumber stres, tidak tergesa-gesa atau lebih terarah, ada strategi
tertentu, dan lebih efektif. Ini dapat dilakukan dengan memodifikasi diri agar
lebih toleran terhadap stress atau memodifikasi situasi yang menimbulkan stress.
PMI menyebutkan 5 teknik manajemen stress dalam buku Panduan Manajemen
Stres.
a. Mengenal diri sendiri. Mengetahui kekuatan, kelemahan, hal-hal yang
disukai dan yang tidak disukai dapat membantu kita memetakan ke arah mana
kehidupan akan kita bawa. Dengan mengenal diri sendiri, akan lebih mudah
untuk menentukan cara dan strategi apa yang tepat untuk meringankan stress.
b. Peduli diri sendiri. Setelah mengetahui diri secara mendalam, maka
kebutuhan-kebutuhan dan kewajiban juga akan tampak. Memenuhi kebutuhan
diri sendiri merupakan salah satu cara untuk mengatur stres yang dihadapi.
Peduli akan diri sendiri dapat dimulai dengan mencoba pola hidup sehat,
bersosialisasi dengan teman dan sanak saudara, merencanakan kegiatan yang
realistis dan menjalani hobi.
c. Perhatikan keseimbangan. Sebagaimana manusia yang dianugerahi
beberapa aspek dalam dirinya, maka kelima aspek ini harus dipelihara dan
dipenuhi secara seimbang. Lima aspek pemeliharaan diri ini adalah: Aspek
Mental Emosional, Aspek Intelektual, Aspek Fisik, Aspek Spiritual dan Aspek
Rekreasional
d. Bersikap proaktif dalam mencegah gangguan stres dengan merawat
kelima aspek di atas dengan baik dan rutin agar menjadi sosok yang resilien dan
memiliki kemampuan dan kekuatan lebih dalam menghadapi stres.
e. Sinergi: Langkah-langkah sebelumnya ialah satuan proses yang perlu
dilakukan secara berurutan dan terpadu dengan kehendak dan kesadaran penuh
untuk bangkitdari keterpurukan dan stres.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Stres dapat memiliki konsekuensi negatif terhadap kesehatan,
memengaruhi proses berpikir dan emosi, mengganggu untuk beradaptasi
terhadap lingkungan, bahkan memengaruhi aktivitas dan pekerjaannya.
Seseorang yang mengalami stres mungkin mengalami kelelahan fisik,
emosional dan mental di lingkungan kerja. Banyak individu menghabiskan
sebagian besar waktunya di tempat kerja dan stres kerja dengan cepat menjadi
isu pelayanan kesehatan nasional. Strategi manajemen stress on site sangat
penting untuk membantu menjaga kesehatan optimum pekerja di setiap sudut
lapangan kerja.
Stres yang dialami perawat khususnya perawat Instalasi Perawatan Intensif
dapat memberikan dampak yang negatif terhadap kesehatannya dan pada
akhirnya dapat mempengaruhi kinerja dan mutu asuhan keperawatan. Oleh
karena itu, penanganan dan manajemen yang tepat terhadap stres kerja perawat
sangat dibutuhkan.
B. Saran
Diharapkan diadakannya penyuluhan dan pelatihan tentang lingkungan kerja
yang baik agar dapat meningkatkan kenyamanan dan kinerja bagi tenaga
kesehatan sehingga stres kerja dapat berkurang. Tenaga kesehatan juga perlu
melakukan manajemen stres yang efektif berupa pengelolaan waktu, teknik
relaksasi, pemecahan masalah yang kreatif, komunikasi yang asertif dan
kerjasama dengan rekan kerja, supervisor dan tenaga kesehatan lain serta
komunikasi terapeutik dengan pasien.

19
DAFTAR PUSTAKA

Jembarwati, O. (2020). Stres dan Dukungan Sosial pada Perawat, Dokter dan Tenaga
Kesehatan pada Masa Pandemi Covid-19. Stres dan Dukungan Sosial pada
Perawat, Dokter, Tenaga Kesehatan.

Lisnawati, S. P. (2019). Pengaruh Pelatihan Manajemen Stres. Supersenol Terhadap


Tenaga Kesehatan.

Muslim, M. (2020). Manajemen Stres Pada Masa Pandemi Covid-19. Manajemen Stres.

Rina Tri Handayani, S. K. (2020). Faktor Penyebab Stres Pada Tenaga Kesehatan Dan
Masyarakat Saat Pandemi. Faktor Penyebab Stres Pada Tenaga Kesehatan dan
Masyarakat.

Tia Oktari, F. A. (2021). Gambaran Tingkat Stres Kerja Perawat Rumah Sakit Pada Era
New Normal. Stres Kerja Perawat.

20

Anda mungkin juga menyukai