Disusun Oleh:
Naibin
NIM: 1320510032
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KOSENTRASI FILSAFAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
PENGERTIAN RELATIVISME
Ada dua benntuk realtivisme dalam filsafat: relativisme kognitif dan relativisme etika.
Relativisme Kognitif
1
Cara lain untuk membahas berbagai bentuk relativisme adalah memandangnya secara
berbeda-beda, sehingga orang menggangap relativisme itu benar, seperti pernyataan tentang semua
bentuk kebenaran (dalam kasus relativisme kognitif atau tentang bentuk khas kebenaran (dalam kasus
relativisme etika). Pandangan yang agak mirip dikemukakan oleh Blakcbrun (1994, hlm. 326).
Menurut pandangan ini, relativisme dapat dianggap sebagai doktrin global tentang semua pengetahuan
atau sebagai doktrin local tentang beberapa bidang, misalnya etestika dan etika. Tetapi, menurut saya,
apa yang telah saya kemukakan pada teks di atas lebih masuk akal, karena sebagian dari mereka
percaya, misalnya, terhadap relativisme etika (sepertihalnya sebagian kaum kognitivis) tidak mungkin
memandang moralitas sebagai masalah kebenaran atau sebagai bidang pengetahuan.
1
segala sesuatu: ukuran segala sesuatu secara apa adanya, dan ukuran
segala sesuatu yang bukan sebagaimana adanya.” Nelson Goodman, Hilary
Putman, dan Richard Rorty adalah para filusuf kontemporer yang
menganut beberapa versi relativisme. Rorty, misalnya, mengatakan bahwa
“’kebenaran objektif’ tak lain hanyalah gagasan terbaik yang kita miliki
mengenai cara menjelaskan apa yang tengah terjadi” (Pojman, hlm, 690)
Penganut relativisme kognitif memiliki kesadaran yang lebih baik tentang
keragaman budaya, moral, dan pandangan dunia, mempertimbangkan “Revolusi
Kopernikan” versi Kant secara lebih serius (dan menarik semua implikasinya), dan
mengkritik filsafat sains yang positif, yang dianggap sebagai faktor penting yang
memberi kontribusi terhadap perkembangan relativisme kognitif pada filsafat
kontemporer.
Akan tetapi dalam hal ini, meskipun relativisme kognitif memiliki kesadarn
yang lebih baik dalam memahami keberagaman yang sudah dusebutkan, tidak secara
langsung relativisme kognitif mempunyai kekurangan. Kritik khas terhadap
relativisme kognitif adalah bahwa ia dengan sendirinya terbantah, sebab ia
menampilkan berbagai pernyataan secara universal benar, dan bukan relative semata.
Realtivisme Etika
2
Mungkin inilah yang membuat Wong memilih menjelaskan relativisme etika
sebagai “sekelompok doktrin yang muncul dari refleksi terhadap perbedaan
keyakinan etika sepanjang waktu dan di antara berbagai individu, kelompok dan
masyarakat” (Wong, 1992, hlm. 355). Pada bagian lain, Wong mengatakan,
“Relativisme moral adalah sekumpulan doktrin tentang keberagaman putusan moral
di sepanjang zaman, masyarakat, dan individu” (Wong, 1998, hlm, 539). Penjelasan
mengenai relativisme ini terlalu umum sehingga di dalamnya juga tercakup pendapat
nonrelativistik; setidaknya, pendapat nonrelativistik yang dikembangkan untuk
menjelaskan keberagaman moral secara nonrelativistik.
2
Untuk menghindari kekaburan, saya menyarankan, lebih baik memandang relativisme
individual dan relativisme sosial sebagai dua bagian relativisme dan yang sesudahnya, relatifisme
deskriptif, relativisme meta-etika, dan relativisme normative, sebagai tiga bentuk, atau lebih tepatnya
tingkatan, relativisme etika.
3
berbeda mungkin saja menganut pandangan yang berbeda tapi sama benarnya
mengenai dasar kebenaran atau kesalahan.
Absolutisme Etika
Lawan relativisme etika adalah absolutism etika, yang meyakini bahwa ada
berbagai kebenaran moral yang universal, atau setidaknya satu kebenaran moral yang
universal. Ia juga bisa didefinisikan sebagai pandangan bahwa hanya ada satu
moralitas yang benar. Ada pelbagai pendapat dikalangan filsuf moral mengenai
sebutan apa yang dapat diberikan kepada lawan relativisme etika. Misalnya, Unerman
mengatakan, “Lawan relativisme etika adalah absolutism etika, yang berpendapat
semua pernyataan moral bersifat mutlak, entah pernyataan itu merupakan prinsip
moral umum luas, atau kaidah moral terperinci mengenai perilaku yang meliputi
norma-norma moral yang absolut” (Unerman, 1996, hlm. 14). Harre dan Krausz juga
memilih istilah absolutism bagi lawan relativisme dalam berbagai bentuknya,
termasuk bersifat semantic, epistemic, ontologis, dan moral. Mereka berkata,
“Sebagai istilah umum bagi berbagai bentuk antirelativis, kami memilih istilah
‘absolutisme’.
4
Selain penggunaan absolutism sebagai lawan dari relativisme ada beberapa
tokoh menggunakan kata lain. Seperti, Wong memilih menyebut pandangan
antirelativitas sebagai “universalisme”, Wong (1996, hlm. 442). Pojman
menggunakan istilah “objektivisme” sebagai lawan “relativisme. Pojman (1996, hlm.
690) memandang absolutism hanya sebagai salah satu bentuk objektivisme, yang
meyakini bahwa ada satu system moral sejati dengan kaidah moral yang khas, seperti
etika Israel kuno dalam perjanjian lama dengan ratusan hukumnya. Akan tetapi,
dalam hal ini Shomali lebih memilih menggunakan kata “absolutism” dengan
berbagai alasan.
5
SEJARAH RELATIVISME ETIKA
Zaman Kuno
Perdebatan relativisme etika dan absolutism etika diwakili oleh Protagoras dan
Plato. Protagoras menampilkan versi relativisme dalam sebuah risalah yang berjudul
Truth. Protagoras berkat, “Manusia adalah ukuran segala sesuatu”. Menurutnya,
“Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, dari sesuatu yang ada, dari sesuatu apa
adanya, dan dari sesuatu yang tidak ada, dan sesuatu yang bukan apa adanya” (Plato,
Theaetetus, 1973, 152a). Tampaknya ia bermaksud bahwa masing-masing individu
adalah tolak ukur sesuatu bagi orang tersebut; segala sesuatu ada atau tidak ada
(menurutku) ketika ia tampak kepadaku ada atau tidak ada. 3
3
Protagoras pada dasarnya bersifat individualistic, yakni bahwa setiap individu menjadi ukuran
segala sesuatu.
6
Sebaliknya, pada zaman Yunani kuno, ketika banyak orang terpengaruh oleh
keragaman adat-istiadat dan moral dan menganut relativisme moral, masih ada
sebagian orang yang meragukan argumen dari keberagaman menuju relativisme.
Seperti dikemukakan Sokrates, kita mmemiliki akal budi untuk hanya mendengarkan
orang bijak ditengah-tengah kita (Crito, 44 SM). Sokrates mengembangkan sebuah
system etika yang didasarkan atas akal budi itu sendiri, bukan apa yang disetujui
secara tradisional. Dinyatakan (misalnya, Cooper, 1992, hlm. 464 dan 465) bahwa
teori etika rasionalis ini menjadi teori moral yang dominan dalam tradisi Yunani, dan
kemudian dianut oleh Plato, Aristoteles dan kaum Stoa.
Zaman Modern
7
David Hume
Nietzsche
Salah satu tokoh penting dalam sejara moral secara umum, khususnya
relativisme moral, adalah Nietzsche (1844-1900). Nietzsche percaya bahwa tidak ada
“kebenaran” yang benar-benar identic, dan tidak ada “dunia wujud yang sejati”. Kita
tidak memiliki “pengetahuan” yang pasti atau mutlak bahkan mengenai diri kita
sendiri. Nietzsche menyebut kebenaran, “sepasukan metafor, metonimi, dan
antropomorfisme yang bergerak. Pendeknya, sejumlah hubungan manusiawi yang
secara puitis dan retorik telah diintensifkan, diubah, dan dihiasi sehingga setelah lama
lantas dibakukan dalam kanon yang mengikat bagi orang-orang.
Singkatnya, Nietzsche berpendapat bahwa tidak ada apa-apa di luar dunia ini
atau di dalam kita sendiri, sehingga kita memperoleh prinsip-prinsip moral yang
benar secara universal. Namun, ada berbagai moralitas aktual yang harus dinilai
menurut fungsinya dan sesuai dengan “nilai kehidupanya”. Setiap moralitas aktual
muncul karena berbagai keadaan, dan menjawab kebutuhan psikologis dan sosial
manusia tertentu sepanjang perjalan sejarah.
Zaman Kontemporer
8
persoalan relativistic lama soal apakah ada pengetahuan morl yang objektif atau
mutlak.
Posmodernisme
9
RELATIVISME ETIKA VERSUS ABSOLUTISME ETIKA
Relativisme Deskriptif
Relativisme deskriptif adalah Pandangan bahwa ada kaidah moral yang berbeda
secara subtansial (atatu fundamental) di kalangan masyarakat atau individu, yang
tidak dapat dijelaskan oleh kaum absolutis. Dalam bentuknya yang paling kuat, ia
menekankan bahwa nilai dasar moral berbeda dari satu individu ke individu lain, atau
dari satu masyarakat ke masyarakat lain. dalam bentuknya yang moderat, ia
menegaskan bahwa sekurang-kurangnya hanya beberapa nilai dasar moral yang
berbeda. Kaum relativis deskriptif mengemukakan berbagai contoh; orang Eskimo
membiarkan kaum manula mati kelaparan, padahal kita yakin bahwa secara moral
perbuatan keliru. Demikian pula, ada sebuah suku di Melanesia, yang percaya bahwa
kerja sama dan kebaikan itu salah, sedangkan kita memandang kedua hal itu sebagai
kebajikan. Perbedaan ini dapat pula ditemukan dalam satu masyarakat pada waktu
yang berbeda. Seperti yang dikemukakan Pojman, seratus tahun silam mayoritas
penduduk di Amerika Serikat bagian utara memandang perbudakan secara moral
baik, padahal kini menganggapnya salah.
Relativisme Meta-Etika
4
Dalam pandangan Shomali, ketiga bentuk relativisme etika tersebut merupakan tahapan atau
tingkatan relativisme etika. Yang pertama adalah yang terendah atau minimum.
10
Kaum relativitas radikal berpendapat bahwa setiap moralitas sama benar
dan beralasan dengan moralitas yang lain. kaum relativis moderat, seperti
Foot (1978), Walzer dan Wong (1984), menolak adanya satu moralitas
yang benar, tetapi juga berpendapat bahwa sebagian moralitas lebih benar
atau lebih beralasan daripada yang lain.
Relativisme Normatif
Relativisme Deskriptif
Bentuk paling kuat relativisme deskriptif jelas lebih baik bagi argumentasi
relativistic lebih lanjut, karena dengan sendirinya atau bersama premis lain, ia dapat
menjadi dasar yang lebih masuk akal bagi relativisme meta-etika. Jika seorang
mengakui bahwa semua nilai moral dasar berbeda-beda, tentuanya ia akan lebih
mudah menyatakan bahwa tidak ada satupun moralitas yang benar. Dengan demikian,
banyak adat-istiadat dan setidaknya beberapa nilai moral berbeda dari satu budaya ke
budaya lain atau dari satu individu ke individu lain, seperti cara berpakaian,
perkawinan dini, dan memakan jasad kerabat yang telah mati.
Akan tetapi, meyakini versi yang paling kuat sangatlah sulit, karena ini benar-
benar meragukan, sehingga semua nilai moral, atau bahkan nilai moral yang
terpenting sekalipun, berbeda-beda. Bagaimanapun orang yang meyakini relativisme
deskriptif, sebelum menunjukan contoh perbedaan yang fundamental, pertama-tama
harus menjelaskan apa yang mereka maksudkan dengan etika (bandingkan dengan
11
yang bukan etika, seperti adat-istiadat atau kontrak sosial sederhana) dan ungkapan
semacam “dasar”, “substansial”, dan sebagainya. Kedua, harus yakin bahwa mereka
memahami, menafsirkan dan menerjemahkan moralitas oranng lain dengan benar.
Jika tidak demikian, akan muncul kesalapahaman, sehingga mereka menganggap
kesepakatan sebagai contoh perbedaan pendapat.
Shomali dalam hal ini tidak sepakat dengan pendapat Wong. Menurutnya, baik
moralitas maupun kemaslahatan umum yang berpusat pada hak tidak berbeda secara
radikal atau fundamental. Keduanya sama-sama memiliki nilai dan bersandar pada
beberapa dasar yang sama. Keduanya hanya berbeda dalam pemaknanaan.
Argumenya adalah bahwa semua system moral yang ideal haruslah menampung
kedua perangkat nilai tersebut, yakni nilai-nilai individual dan nilai-nilai
kemaslahatan umum. Misalnya, tidak diragukan lagi bahwa menolong orang lain
merupakan salah satu unsur kunci dalam pemahaman manusia tentang moralitas,
sehingga sebagian orang memandang altruism sebagai esensi moralitas.
Relativisme Meta-Etika
12
Orang berpendapat bahwa kebenaran dan pertanggungjawaban didefinisikan
menurut pengetahuan-demi-tujuan-praktis seorang atau kelompok, dan yang
meragukan nilai mencari kebenaran yang pasti secara independen, hanya akan
menerapkan pandangan ini terhadap etika untuk sampai pada relativismemeta-etika.
Supaya dapat menilai argument semacam ini, orang harus memperdebatkan
kebenaran atau objektivitas pengetahuan secara umum. Namun ada juga sebagian
orang yang berpendapat bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam
moralitas,meskipun mereka mungkin saja percaya terhadap adanya kebenaran mutlak
dibidang lain.
2. Fungsionalisme
3. Eksistensialisme
Kaum eksistensialisme seperti Sartre yakin bahwa sama sekali tidak ada prinsip atau
hukum yang umum dan universal. Setiap orang membuat keputusanya dalam setiap
13
kasus dan mematuhinya. Berbuat secara moral sekedar berarti memiliki “keyakinan
baik”, yakni berbuat menurut moralitas yang dianut seseorang. Dengan demikian,
moralitas menjdai relativistic, karena setiap kasus itu uni dan “tidak ada pembenaran
di hadapan kita”. Seperti jawaban Sartre kepada muridnya, “kamu bebas. Karena itu
pilihlah –temukanlah. Tidak ada kaidah moralitas umum yang dapat menunjukan
kepadamu apa yang harus dilakukan.
Problem dari pendapat Sartrre adalah bahwa moralitas tampaknya lebih dari sekedar
keyakinan baik. Pepatah mora seperti “jangan mmembunuh”, “bantulah orang-orang
yang tak mampu”, dan lain sebgainya menuntut lebih dari sekedar benar menurut
anda sendiri. Harus diperhatikan bahwa pendapat Sartre, dalam arti tertentu,
merupakan pendapat absolutiatik karena memandang “keyakinan baik” sebagai nilai
yang benar secara universal, yang harus dipahami semua orang.
4. Etika situasi
Para pendukung etika situasi percaya bahwa setiap persoalan moral adalah unik.
Hanya orang terlibat dalam persoalan itu yang dapat memecahkannya. Dinyatakan
Unerman, bahwa etika situasi merupakan bentuk lain dari relativisme etika, karena
berpendapat bahwa bahkan dalam sebuah masyarakat, tidak ada perilaku yang benar
atau salah secara mutlak, sebab “kebaikan” atau “kesalahan” perilaku tententu
bergantung pada situasi tertentu sang agen.
Persoalan pertama dari argument etika situasi adalah bahwa meyakini etika
situasi sembari tetap menolak relativisme etika merupakan sikap konsisten. Kita tahu,
setiap sitiasi dibentuk oleh seperangkat parameter atau faktor. Orang dapat memiliki
prinsip-prinsip mutlak di mana setiap parameter mungkin saja mempunyai peran
khusus dan berbagai prinsip bisa diterapkan, karena adanya perubahan pada
parameter tersebut. oleh karena itu, orang mungkin meyakini keunikan situasi, tetapi
masih tetap yakin bahwa ia harus memperhatikan prinsip-prinsip mutlak dan umum
yang menentukan status permanen yang digunakan.
14
Relativisme Normatif
Seperti yang kita ketahui, Boas, Benedicht dan Herskovits termasuk kalangan
antropolog terkemuka yang membelah realtivisme. Benedicht menyatakan bahwa
keberagaman system moral yang luar biasa. Tindakan yang sama secara moral
mungkin dilakukan berbagai cara. Yang ditekankan bagi para pendukun relativisme
disini adalah prinsip toleransi (toleransi terhadap budaya lain).
Para pengikut Boas, memiliki dua argument bagi prinsip toleransi. Pertama,
mereka berpendapat karena terdapat moralitas yang berbeda mengenai praktik yang
sama, kita harus menerima prinsip toleransi. Kedua, jika system moral benar bagi
sebuah budaya, ia mesti disikapi dengan toleransi. Bagi para pengikut Boas, nilai
praktik sebuah adat-istiadat dalam kehidupan suku memperlihatkan apakah sebuah
pandangan moral itu benar bagi suku tersebut atau tidak.
15
DASAR-DASAR MORALITAS
Robert Cavalier membuat pemilahan yang baik antara antara adat-istiadat dan
moral. Dia mengatakan, “Ada perbedaan antara ‘moral’ (morals) dan ‘kebiasaan’
(mores) –yang disebut terakhir dapat didefinisikan sebagai ‘adat-istiadat yang
merugikan’ (misalnya, minum the pada pukul empat), sedangkan yang pertama
sebagai ‘perlakuan terhadap orang lain’ (misalnya, praktek Apartheid). Dalam
membahas relativisme, kita hanya perlu memperhatikan “perilaku moral”.
Menurut saya, adat-istiadat murni –dan yang saya maksudkan dengan “adat-
istiadat murni” adalah adat-istiadat yang tidak berisi unsur moral apapun- secara
sosial dan kultural merupakan peraturan yang disepakati guna menciptakan
keharmonisan dalam sebuah masyarakat dan kemungkinan aspek-aspek sosial
kehidupan kita sehari-hari terhindar dari kekacauan dan perselihian dalam
masyarakat. Adat-istiadat membantu warga setiap masyarakat untuk menciptakan
hubungan sosial yang harmonis, teratur dan tertib. Misalnya, bentuk dan warna
pakaian dalam upara pemakaman, kaidah memberi salam, atau memperlakukan tamu
ditentukan oleh masyarakat dan budaya.
Dalam hal ini, Haraman tampaknya tidak membedakan antara moral dan adat-
istiadat. Padahal perbedaan adat-istiadat semata tidak menimbulkan perbedaan dalam
nilai. Rachels mengatakan:
16
oleh para warga dan lingkungan fisik di mana mereka harus hidup, juga
penting. Maka, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa karena adanya
perbedaan adat-istiadat, pastilah ada perbedaan pendapat mengenai nilai.
Memandang nilai-nilai (moralitas) itu tidak bisa melihat dari sisi praktik adat-
istiadat tertentu. Karena, pada dasarnya meskipun berbeda dalam praktik adat-
istiadatnya belum tentu kandungan nilainya itu berbeda.
17
Moralitas dan Cinta Diri
Membuat Keputusan
Motivasi
Ada hubungan yang mutlak antara dua bentuk penalaran, yaitu, penalan teoritis
dan penalaran praksis. Setiap penalan praksis didahului oleh beberapa bentuk
penalaran teoritis. Pada mulanya seorang pelaku menemukan beberapa alasan untuk
meyakini bahwa dalam kenyataannya, perbuatan tertentu adalah kondusif atau tidak
18
kondusif bagi cita-citanya. Kemudian, setelah menemukan beberapa alasan untuk
meyakini bahwa salah satu alternatif memang lebih baik, dia mendapatkan motivasi
untuk berbuat sesuai dengan alternative itu. Hanya setelah termotivasi kita berniat
atau memutuskan untuk melakukan perbuatan tertentu. Di sini dan selama penilaian,
peran emosi dan hasrat sangatlah penting.
Salah satu bagian penting keputusan moral kita adalah cara kita memahami
sebuah persoalan, kemudian cara kita mendapatkan hasil dan akibat-akibat dari setiap
sisi persoalan. Perbedaan dan perselisihan dalam ranah ini dapat membawa keputusan
yang berbeda mengenai perbuatan yang sama. Bahkan, orang yang memiliki cita-cita
atau kaidah moral yang sama tidak terlepas dari perbedaan dan perselisihan ini.
2. Peran hasrat
19
Perbedaan antara pelaku yang berbeda dalam mewujudkan kehendak bebasnya
dapat dilihat dari beberapa parameter berikut ini: pertama, dalam menganut beberapa
cita-cita atau nilai bagi kehidupan mereka. Cita-cita hidup manusia sangat penting
dalam mengarahkan perbuatan mereka. Kedua, dalam kesediahan mereka untuk
mendapatkan informasi yang diperlukan dan dengan tepat mengkajinya. Sebagian
orang bertindak dengan cepat; yang lainya memilih bersikap cermat dan hati-hati.
Sebagian lain cendrung pesimis dan yang lain cendrung memperhatikan yang positif
saja dan bahkan mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menyenagkan.
Ketiga, dalam menata hasrta mereka dan memberikan prioritas terhadap sebagian di
antaranya atau menggabungkan sebagianya untuk menolak hasrat yang lain.
4. Peran keadaan
Yang dimaksud dengan keadaan adalah sifat-sifat atau ciri khas yang berada di
sekitar masalah keputusan, termasuk keadaan fisik dan mental si pelaku (misalnya,
sehat atau sakit), perasaan pelaku (misalnya, senang atau sedih), kemauan si pelaku,
keadaan orang lain yang mungkin terlibat (misalnya, guru harus mempertimbangkan
keadaan muridnya), waktu, tempat, hukum, budaya (termasuk adat-istiadat), sumber
alam yang ada, sara dan alat.
Mengetahui dan mencermati semua fakta yang –pasti atau boleh jadi, sadar atau
tidak sadar- berpengaruh terhadap pengambilan keputusan membantu kita
mengontrolnya. Dengan cara ini, kita dapat membuat keputusan yang benar-benar
menguntungkan kita.
20
Catatan Kritis
Kedua, dari apa yang dijelaskan Shomali, kekurangan dari kaum relativisme
etika adalah dalam mensajikan contoh-contoh yang kurang relevan dengan
permasalahan etika. Dengan demikian, tidak secara langsung ketika ada contoh yang
relevan maka bisa dikatan relativisme etika itu bisa diakui. Dalam hal ini, dalam
pengamatan penulis, argumen-argumen Shomali masih terjebak pada pandangan
“yang kurang kuat”, padahal dia meyakini adanya absolutism etika.
21
Ketiga, penulis sepakat dengan konsep absolutisme etika yang di jelaskan oleh
Shomali. Karena dalam pemahaman penulis, mendasarkan persoalan etika harus
terlebih dahuli mengakui adanya konsep etika yang absolut itu bagian yang terpenting
dalam memahami persoalan-persoalan etika. Sehingga pemahaman etika tidak
terjebak pada tingkat etiket atau tindakan.
22