Anda di halaman 1dari 23

Relativisme Etika: Analisis Prinsip-Prinsip Moralitas

Book review disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Filsafat Etika

Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Anis

Disusun Oleh:
Naibin
NIM: 1320510032

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KOSENTRASI FILSAFAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
PENGERTIAN RELATIVISME

Secara umum relativisme dapat didefinisikan sebagai penolakan terhadap


bentuk kebenaran universal tertentu. Relativisme dapat dibahas di berbgai bidang.
Kesamaan yang dimiliki oleh semua bentuk atau subbentuk relativisme adalah
keyakinan bahwa sesuatu (misalnya, pengetahuan dan moralitas) bersifat relative
terhadap prinsip tertentu dan penolakan bahwa prinsip itu mutlak benar atau paling
sahih. Perbedaan antara bentuk dan subbentuk ini terkait erat dengan perbedaan
objek-objek (antara berbagai bentuk) dan perbedaan prinsip (antara berbagai
subbentuk, semisal perbedaan anatara relativisme etika individual, yang menjadikan
kerangka etika sebagai varian individual, dan relativisme etika sosial yang
menjadikan kerangka etika varian sosial. 1

Ada dua benntuk realtivisme dalam filsafat: relativisme kognitif dan relativisme etika.

Relativisme Kognitif

Relativisme kognitif adalah pandangan yang menekankan relativitas kebenaran


secara umum. Ia menekankan bahwa tidak ada kebenaran universal atau pengetahuan
tentang dunia. Dunia ahanyalah tunduk pada berbagai penafsiran, karena tidak
mempunyai sifat intristik dan tidak ada seperangkat norma epistemic yang secara
metafisis lebih istimewa dari pada yang lain. mengenai sejara relativisme kognitif, L.
P. Pojman menulis:

Tokoh sofis yunani, Protagoras, orang pertama dalam sejarah yang


menganut pandangan semacam itu, mengatakan , “Manusia adalah ukuran

1
Cara lain untuk membahas berbagai bentuk relativisme adalah memandangnya secara
berbeda-beda, sehingga orang menggangap relativisme itu benar, seperti pernyataan tentang semua
bentuk kebenaran (dalam kasus relativisme kognitif atau tentang bentuk khas kebenaran (dalam kasus
relativisme etika). Pandangan yang agak mirip dikemukakan oleh Blakcbrun (1994, hlm. 326).
Menurut pandangan ini, relativisme dapat dianggap sebagai doktrin global tentang semua pengetahuan
atau sebagai doktrin local tentang beberapa bidang, misalnya etestika dan etika. Tetapi, menurut saya,
apa yang telah saya kemukakan pada teks di atas lebih masuk akal, karena sebagian dari mereka
percaya, misalnya, terhadap relativisme etika (sepertihalnya sebagian kaum kognitivis) tidak mungkin
memandang moralitas sebagai masalah kebenaran atau sebagai bidang pengetahuan.

1
segala sesuatu: ukuran segala sesuatu secara apa adanya, dan ukuran
segala sesuatu yang bukan sebagaimana adanya.” Nelson Goodman, Hilary
Putman, dan Richard Rorty adalah para filusuf kontemporer yang
menganut beberapa versi relativisme. Rorty, misalnya, mengatakan bahwa
“’kebenaran objektif’ tak lain hanyalah gagasan terbaik yang kita miliki
mengenai cara menjelaskan apa yang tengah terjadi” (Pojman, hlm, 690)
Penganut relativisme kognitif memiliki kesadaran yang lebih baik tentang
keragaman budaya, moral, dan pandangan dunia, mempertimbangkan “Revolusi
Kopernikan” versi Kant secara lebih serius (dan menarik semua implikasinya), dan
mengkritik filsafat sains yang positif, yang dianggap sebagai faktor penting yang
memberi kontribusi terhadap perkembangan relativisme kognitif pada filsafat
kontemporer.

Akan tetapi dalam hal ini, meskipun relativisme kognitif memiliki kesadarn
yang lebih baik dalam memahami keberagaman yang sudah dusebutkan, tidak secara
langsung relativisme kognitif mempunyai kekurangan. Kritik khas terhadap
relativisme kognitif adalah bahwa ia dengan sendirinya terbantah, sebab ia
menampilkan berbagai pernyataan secara universal benar, dan bukan relative semata.

Realtivisme Etika

Ada beragam definisi relativisme etika yang dikemukakan oleh berbagai


penulis. Menurut pengertian yang lazim, relativisme etika adalah pandangan bahwa
tidak ada prinsip moral yang benar secara universal; kebenaran semua prinsip moral
bersifat relative terhadap budaya atau pilihan individu. Ada pelbagai bentuk dan versi
relativisme etika, dan definisi ini bisa dianggap memadai hanya untuk satu bentuk
relativisme etika, yang nanti disebut disebut sebagai relativisme “meta-etis”.

Definisi relativisme etika yang tepat harus mempertimbangkan relativisme etika


yang lebih dari sekedar klaim sederhana bahwa manusia mungkin saja memiliki
putusan moral yang berbeda dalam berbagai kasus, atau klaim bahwa berbagai
pandangan moral yang saling bertentangan mungkin saja benar.

2
Mungkin inilah yang membuat Wong memilih menjelaskan relativisme etika
sebagai “sekelompok doktrin yang muncul dari refleksi terhadap perbedaan
keyakinan etika sepanjang waktu dan di antara berbagai individu, kelompok dan
masyarakat” (Wong, 1992, hlm. 355). Pada bagian lain, Wong mengatakan,
“Relativisme moral adalah sekumpulan doktrin tentang keberagaman putusan moral
di sepanjang zaman, masyarakat, dan individu” (Wong, 1998, hlm, 539). Penjelasan
mengenai relativisme ini terlalu umum sehingga di dalamnya juga tercakup pendapat
nonrelativistik; setidaknya, pendapat nonrelativistik yang dikembangkan untuk
menjelaskan keberagaman moral secara nonrelativistik.

Relativisme etika individual dan sosial 2

Menurut salah satu klasifikasi, relativisme etika terbagi ke dalam relativisme


individual dan relativisme sosial. Relativisme individual adalah teori bahwa setiap
individu berhak menentukan kaidah moralnya sendiri. Tentu saja, seperti diyakini
Hare (1993), kaidah moral kebanyakan individu dalam masyarakat tertentu pada
prakteknya terlihat sama, karena kemungkinan mereka mempunyai pengalaman
kultural yang sama.

Relativisme sosial adalah pandangan bahwa setiap masyarakat berhak


menentukan norma-norma moralnya sendiri. Telah dinyatakan (Donaldson, 1989)
bahwa kebenaran moral hanyalah kesepakatan kultural di dalam masyarakat. Ruth
Benedict (1934) yakin bahwa moralitas merupakan istilah yang bagi perilaku yang
secara sosial disetujui. Ini menyiratkan bahwa taka da kaidah moral yang berlaku
universal, sehingga apa yang secara moral dipandang baik dalam sebuah masyarakat
yang telah melembaga, dan masyarakat lain dengan pengalaman kultural yang

2
Untuk menghindari kekaburan, saya menyarankan, lebih baik memandang relativisme
individual dan relativisme sosial sebagai dua bagian relativisme dan yang sesudahnya, relatifisme
deskriptif, relativisme meta-etika, dan relativisme normative, sebagai tiga bentuk, atau lebih tepatnya
tingkatan, relativisme etika.

3
berbeda mungkin saja menganut pandangan yang berbeda tapi sama benarnya
mengenai dasar kebenaran atau kesalahan.

Relativisme individual dan relativisme sosial terkadang disebut dengan istilah


lain, subjektivisme sebagai pengganti relativisme individual dan konvesionalisme
sebagai pengganti relativisme sosial. Konvesionalisme berpendapat bahwa prinsip-
prinsip moral secara relative benar, sesuai dengan konvensi budaya atau masyarakat
tertentu. Aborsi, misalnya, mungkin saja benar pada masyarakat A dan salah pada
masyarakat B. Bahkan dalam sebuah masyarakat, aborsi mungkin saja berbeda status
di waktu berbeda, jika orang-orang mengubah pandangan mengenai kebolehanya.
Subjektivisme berpendapat bahwa pilihan-pilahan individu menentukan validitas
sebuah principal moral. Sloganya adalah: “Moralitas bersemayam di mata orang yang
melihat.”

Absolutisme Etika

Lawan relativisme etika adalah absolutism etika, yang meyakini bahwa ada
berbagai kebenaran moral yang universal, atau setidaknya satu kebenaran moral yang
universal. Ia juga bisa didefinisikan sebagai pandangan bahwa hanya ada satu
moralitas yang benar. Ada pelbagai pendapat dikalangan filsuf moral mengenai
sebutan apa yang dapat diberikan kepada lawan relativisme etika. Misalnya, Unerman
mengatakan, “Lawan relativisme etika adalah absolutism etika, yang berpendapat
semua pernyataan moral bersifat mutlak, entah pernyataan itu merupakan prinsip
moral umum luas, atau kaidah moral terperinci mengenai perilaku yang meliputi
norma-norma moral yang absolut” (Unerman, 1996, hlm. 14). Harre dan Krausz juga
memilih istilah absolutism bagi lawan relativisme dalam berbagai bentuknya,
termasuk bersifat semantic, epistemic, ontologis, dan moral. Mereka berkata,
“Sebagai istilah umum bagi berbagai bentuk antirelativis, kami memilih istilah
‘absolutisme’.

4
Selain penggunaan absolutism sebagai lawan dari relativisme ada beberapa
tokoh menggunakan kata lain. Seperti, Wong memilih menyebut pandangan
antirelativitas sebagai “universalisme”, Wong (1996, hlm. 442). Pojman
menggunakan istilah “objektivisme” sebagai lawan “relativisme. Pojman (1996, hlm.
690) memandang absolutism hanya sebagai salah satu bentuk objektivisme, yang
meyakini bahwa ada satu system moral sejati dengan kaidah moral yang khas, seperti
etika Israel kuno dalam perjanjian lama dengan ratusan hukumnya. Akan tetapi,
dalam hal ini Shomali lebih memilih menggunakan kata “absolutism” dengan
berbagai alasan.

Penggunaan “absolutisme” dipilih untuk menunjukan lawan relativisme. Alasan


pemilihan tersebut ada dua. Pertama, secara semantic absolutisme lebih cocok, karena
kata “absolut” secara harfiah mengandung arti “bukan-relativisme” dan kata “relatif”
mengandung arti “bukan-absolut”. Kedua, secara teknis “absolutisme” tidak terlalu
membingungkan, karena kata “objektivisme” atau “universalisme” biasanya
digunakan dalam arti lain sehingga dapt lebih mudah disalahpahami, yakni dimaknai
penolakan terhadap subjektivisme, partikularisme dan situasionalisme dalam etika.

5
SEJARAH RELATIVISME ETIKA

Sejarah perdebatan antara relativisme etika dan absolutisme etika dapat


dianggap sepadan dengan sejarah pemikiran etika.

Zaman Kuno

Perdebatan relativisme etika dan absolutism etika diwakili oleh Protagoras dan
Plato. Protagoras menampilkan versi relativisme dalam sebuah risalah yang berjudul
Truth. Protagoras berkat, “Manusia adalah ukuran segala sesuatu”. Menurutnya,
“Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, dari sesuatu yang ada, dari sesuatu apa
adanya, dan dari sesuatu yang tidak ada, dan sesuatu yang bukan apa adanya” (Plato,
Theaetetus, 1973, 152a). Tampaknya ia bermaksud bahwa masing-masing individu
adalah tolak ukur sesuatu bagi orang tersebut; segala sesuatu ada atau tidak ada
(menurutku) ketika ia tampak kepadaku ada atau tidak ada. 3

Jadi, pandangan Protagoras juga mencakup kepercayaan moral. Implikasi


frasanya “Manusia adalah ukuran segala sesuatu” adalah bahwa tidak ada standar
nilai universal, dan bahwa semua prinsip moral diciptikan oleh kita sendiri. Plato
menisbahkan kepada argumen Protagoras bahwa adat-istiadat manusia menentukan
apa yang baik dan buruk, adil dan tidak adil. Apapun yang diputuskan secara
komunal, argument tetap berlaku. Sementara bagian pertama Theaeetus membahas
persepsi ukuran individual, bagian kedua (Theaetetus, 172a-b) menyajikan sebuah
bentuk relativisme etika menurut ukuran sosial. Keadilan, keberanian, dan sebagainya
adalah apapun yang sesuai dengan pandangan public pada masyarakat tertentu.
Dengan kata lain, seperti dinyatakan Richard Brandt, Protagoras tampaknya meyakini
dua hal: a) Pandangan moral tidak dapat dibuktikan benar bagi setiap orang; b) Orang
harus mengikuti kesepakatan tak tertulis kelompoknya sendiri.

3
Protagoras pada dasarnya bersifat individualistic, yakni bahwa setiap individu menjadi ukuran
segala sesuatu.

6
Sebaliknya, pada zaman Yunani kuno, ketika banyak orang terpengaruh oleh
keragaman adat-istiadat dan moral dan menganut relativisme moral, masih ada
sebagian orang yang meragukan argumen dari keberagaman menuju relativisme.
Seperti dikemukakan Sokrates, kita mmemiliki akal budi untuk hanya mendengarkan
orang bijak ditengah-tengah kita (Crito, 44 SM). Sokrates mengembangkan sebuah
system etika yang didasarkan atas akal budi itu sendiri, bukan apa yang disetujui
secara tradisional. Dinyatakan (misalnya, Cooper, 1992, hlm. 464 dan 465) bahwa
teori etika rasionalis ini menjadi teori moral yang dominan dalam tradisi Yunani, dan
kemudian dianut oleh Plato, Aristoteles dan kaum Stoa.

Plato berpendapat bahwa relativisme etika Pratogoras jelas keliru, karena ia


menolak dirinya sendiri, sebab menurut Protagoras, orang yang menolak relativisme
juga pasti benar. Padahal, jika penolakan relativisme benar, maka relativisme tentulah
salah (lihat, Theaetetus, 161c-162a).

Zaman Modern

Michel de Montiagne (1533-1592), seorang filusuf Prancis, melopori skeptisme


Yunani versi zaman Renaisans. Kesadaran akan beragamnya kaidah dan praktik di
seluruh dunia membuat Montaigne meragukan adanya nilai-nilai moral yang
universal atau mutlak. Montiagne percaya bahwa data para peneliti mengenai
keregaman adat-istiadat dan moral meneguhkan kembali relativisme budaya dan etika
kaum skeptis kuno.

Seperti halnya kaum skeptis, Montaigne percaya bahwa pemahaman perseptual


dan rasional kita tidak dapat diandalkan. Orang harus menunda putusan terhadap
semua teori yang ada di dular pengalamanya dan mengikuti hukum alam, aturan, dan
adat-istiadat masyarakatnya sendiri. Montaigne juga menekankan peran agama
sembari mengemukakan bahwa orang harus mempertahankan agama yang dianutnya
sejak kecil dan hanya menerima prinsip-prinsip yang diwahyukan.

7
David Hume

Secara umum, Hume memandang moralitas sebagai urusan manusia yang


sepenuhnya didasarkan atas sifat dan keadaan manusia. Hume juga percaya bahwa
sifat manusia sama dalam diri semua individu, dan manusia memiliki perasaan yang
sama dimanapun mereka berada. Karena itu, Hume tampaknya meyakini adanya
semacam nilai-nilai moral yang bersifat mutlak.

Nietzsche

Salah satu tokoh penting dalam sejara moral secara umum, khususnya
relativisme moral, adalah Nietzsche (1844-1900). Nietzsche percaya bahwa tidak ada
“kebenaran” yang benar-benar identic, dan tidak ada “dunia wujud yang sejati”. Kita
tidak memiliki “pengetahuan” yang pasti atau mutlak bahkan mengenai diri kita
sendiri. Nietzsche menyebut kebenaran, “sepasukan metafor, metonimi, dan
antropomorfisme yang bergerak. Pendeknya, sejumlah hubungan manusiawi yang
secara puitis dan retorik telah diintensifkan, diubah, dan dihiasi sehingga setelah lama
lantas dibakukan dalam kanon yang mengikat bagi orang-orang.

Singkatnya, Nietzsche berpendapat bahwa tidak ada apa-apa di luar dunia ini
atau di dalam kita sendiri, sehingga kita memperoleh prinsip-prinsip moral yang
benar secara universal. Namun, ada berbagai moralitas aktual yang harus dinilai
menurut fungsinya dan sesuai dengan “nilai kehidupanya”. Setiap moralitas aktual
muncul karena berbagai keadaan, dan menjawab kebutuhan psikologis dan sosial
manusia tertentu sepanjang perjalan sejarah.

Zaman Kontemporer

Dalam pemikiran kontemporer, relativisme moral khususnya didasarkan atar


penelitian sosial terhadap keragaman dan dipertahankan mati-matian oleh ilmuwan
sosial. Bangkitnya antropologi modern mendorong tokoh semacam Wiliam Graham,
Summer, Ruth Benedicht, dan Edward Wastermark untuk membuka kembali

8
persoalan relativistic lama soal apakah ada pengetahuan morl yang objektif atau
mutlak.

Posmodernisme

Di era posmodernisme sulit untuk menemukan kesepakatan dikalangan kaum


posmodernisme mengenai setiap doktrin yang subtantif. Unsur-unsur yang diangggap
sebagai posmodernisme: antiesensialisme, antifondasionalisme, antirealism,
penolakan terhadap gambaran pengetahuan sebagai representasi yang akurat,
penolakan kebenaran sebagai peraturan dengan realitas, dan pebolakan terhadap
prinsip-prinsip, pembedaan, dan kategori-kategori yang dianggap secara mutlak
bersifat mengikat disepanjang zaman, orang dan tempat. Ada banyak karakteristi dari
posmodernisme, diantaranya; “penolakan untuk memandang kriteria posivistik,
rasionalistik, dan instrumental sebagai standar ekslusif atau satu-satunya bagi
pengetahuan yang berguna” dan “keinginan untuk meninggalkan kebutuhan terhadap
mitos-mitos, narasi, atau bingkai pengetahuan berlebihan”.

Dari sudut pandang posmodernisme, karakteristik yang diperlukan untuk


memandang sesuatu sebagai “baik” dibentuk secara sosial, sehingga apa yang
danggap baik dalam sebuah masyarakat belum tentu dianggap baik dalam masyarakat
lain. Neimark berpendapat bahwa “yang membentuk etika pada saat tertentu—
pengetahuan secara umum—di bentuk secara sosial. Ia merupakan produk ruang dan
waktu”. Dengan demikian, tampaknya posmodernisme berhubungan erat dengan
relativisme dan mendukungnya.

Whitaker menyatakan bahwa dukungan terhadap relativisme etika mulai


merosot selama Perang Dunia II dan sesudahnya ksrena beberapa alasan berikut:
pertama, kegagalan menerapkan toleransi relativis terhadap periode ideologi yang
berdarah. Kedua, kesadaran bahwa “relativisme etika dan pendekatan ‘jangan sentuh’
terhadap hubungan lintas budaya tak lebih sekedar ideology Barat yang digunakan
oleh para penguasa colonial untuk membenarkan status quo represif mereka.

9
RELATIVISME ETIKA VERSUS ABSOLUTISME ETIKA

Bentuk-bentuk relativisme etika

Ada tiga bentuk relativisme moral 4 mempunyai ciri padangan sendiri.

Relativisme Deskriptif

Relativisme deskriptif adalah Pandangan bahwa ada kaidah moral yang berbeda
secara subtansial (atatu fundamental) di kalangan masyarakat atau individu, yang
tidak dapat dijelaskan oleh kaum absolutis. Dalam bentuknya yang paling kuat, ia
menekankan bahwa nilai dasar moral berbeda dari satu individu ke individu lain, atau
dari satu masyarakat ke masyarakat lain. dalam bentuknya yang moderat, ia
menegaskan bahwa sekurang-kurangnya hanya beberapa nilai dasar moral yang
berbeda. Kaum relativis deskriptif mengemukakan berbagai contoh; orang Eskimo
membiarkan kaum manula mati kelaparan, padahal kita yakin bahwa secara moral
perbuatan keliru. Demikian pula, ada sebuah suku di Melanesia, yang percaya bahwa
kerja sama dan kebaikan itu salah, sedangkan kita memandang kedua hal itu sebagai
kebajikan. Perbedaan ini dapat pula ditemukan dalam satu masyarakat pada waktu
yang berbeda. Seperti yang dikemukakan Pojman, seratus tahun silam mayoritas
penduduk di Amerika Serikat bagian utara memandang perbudakan secara moral
baik, padahal kini menganggapnya salah.

Relativisme Meta-Etika

Relativisme meta-etika adalah pandangan bahwa diantara kaidah-kaidah moral


yang berbeda secara subtansial, tidak terdapat satu kaidah etika yang benar atau
paling masuk akal. Semua kaidah moral yang berbeda secara subtansial itu benar
(menurut versi yang lebih kuat), atau setidaknya terdapat pluralitas kaidah yang benar
dan paling masuk akal (menurut versi yang lebih moderat). Wong menulis:

4
Dalam pandangan Shomali, ketiga bentuk relativisme etika tersebut merupakan tahapan atau
tingkatan relativisme etika. Yang pertama adalah yang terendah atau minimum.

10
Kaum relativitas radikal berpendapat bahwa setiap moralitas sama benar
dan beralasan dengan moralitas yang lain. kaum relativis moderat, seperti
Foot (1978), Walzer dan Wong (1984), menolak adanya satu moralitas
yang benar, tetapi juga berpendapat bahwa sebagian moralitas lebih benar
atau lebih beralasan daripada yang lain.
Relativisme Normatif

Relativisme noramtif adalah pandangan bahwa secara moral tindakan


memberlakukan putusan etika terhadap perilaku dan praktik individu, kelompok,
atau masyarakat lain yang memiliki kaidah moral yang sangat berbeda merupakan
tindakan salah, apalagi mencoba membuat individu, kelompok, atau masyarakat lain
agar sejalan dengan kaidah seorang atau mencampuri urusan mereka berdasarkan
putusan etika itu.

Argumen Pro dan Kontra Relativisme Etika

Relativisme Deskriptif

Bentuk paling kuat relativisme deskriptif jelas lebih baik bagi argumentasi
relativistic lebih lanjut, karena dengan sendirinya atau bersama premis lain, ia dapat
menjadi dasar yang lebih masuk akal bagi relativisme meta-etika. Jika seorang
mengakui bahwa semua nilai moral dasar berbeda-beda, tentuanya ia akan lebih
mudah menyatakan bahwa tidak ada satupun moralitas yang benar. Dengan demikian,
banyak adat-istiadat dan setidaknya beberapa nilai moral berbeda dari satu budaya ke
budaya lain atau dari satu individu ke individu lain, seperti cara berpakaian,
perkawinan dini, dan memakan jasad kerabat yang telah mati.

Akan tetapi, meyakini versi yang paling kuat sangatlah sulit, karena ini benar-
benar meragukan, sehingga semua nilai moral, atau bahkan nilai moral yang
terpenting sekalipun, berbeda-beda. Bagaimanapun orang yang meyakini relativisme
deskriptif, sebelum menunjukan contoh perbedaan yang fundamental, pertama-tama
harus menjelaskan apa yang mereka maksudkan dengan etika (bandingkan dengan

11
yang bukan etika, seperti adat-istiadat atau kontrak sosial sederhana) dan ungkapan
semacam “dasar”, “substansial”, dan sebagainya. Kedua, harus yakin bahwa mereka
memahami, menafsirkan dan menerjemahkan moralitas oranng lain dengan benar.
Jika tidak demikian, akan muncul kesalapahaman, sehingga mereka menganggap
kesepakatan sebagai contoh perbedaan pendapat.

Orang yang mendukung versi moderat relativisme deskriptif mengajukan


beberapa contoh perbedaan yang substansial. David Wong menekankan contoh ini,
dan menjelaskan melalui relativisme. Wong sebetulnya percaya bahwa cara terbaik
untuk membela relativisme etika adalah memperhatikan perbedaan semacam ini
dalam kepercayaan moral. Contoh tersebut adalah perbedaan mencolok antara
kaidah-kaidah etika yang menekankan hak-hak individu untuk bebas dan hidup
sejahtera, dan hak menekan kehidupan komunitas serta kemampuan individu untuk
berkembang di dalamnya.

Shomali dalam hal ini tidak sepakat dengan pendapat Wong. Menurutnya, baik
moralitas maupun kemaslahatan umum yang berpusat pada hak tidak berbeda secara
radikal atau fundamental. Keduanya sama-sama memiliki nilai dan bersandar pada
beberapa dasar yang sama. Keduanya hanya berbeda dalam pemaknanaan.
Argumenya adalah bahwa semua system moral yang ideal haruslah menampung
kedua perangkat nilai tersebut, yakni nilai-nilai individual dan nilai-nilai
kemaslahatan umum. Misalnya, tidak diragukan lagi bahwa menolong orang lain
merupakan salah satu unsur kunci dalam pemahaman manusia tentang moralitas,
sehingga sebagian orang memandang altruism sebagai esensi moralitas.

Relativisme Meta-Etika

Ada beberapa argumen yang mendukung relativisme meta-etiaka yang


dijelaskan oleh Shomali, diantaranya:

1. Relativisme kebenaran secara umum atau dalam moralitas saja

12
Orang berpendapat bahwa kebenaran dan pertanggungjawaban didefinisikan
menurut pengetahuan-demi-tujuan-praktis seorang atau kelompok, dan yang
meragukan nilai mencari kebenaran yang pasti secara independen, hanya akan
menerapkan pandangan ini terhadap etika untuk sampai pada relativismemeta-etika.
Supaya dapat menilai argument semacam ini, orang harus memperdebatkan
kebenaran atau objektivitas pengetahuan secara umum. Namun ada juga sebagian
orang yang berpendapat bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam
moralitas,meskipun mereka mungkin saja percaya terhadap adanya kebenaran mutlak
dibidang lain.

2. Fungsionalisme

Menurut fungsionalisme, kaidah-kaidah etika atau keyakinan etika yang lazim


memainkan peran penting dan secara fungsional mutlak untuk mempertahankan
masyarakat di mana kaidah-kaidah itu diterima. Oleh karena itu, lanjut kaum
fungsionalis, kaidah-kaidah dan keyakinan etika itu benar bagi masyarakat tadi,
namun tidak demikian halnya dalam masyarakat lain. dengan demikian, apa yang
secara moral baik dalam suatu masyarakat belum tentu baik bagi masyarakat lain.

Dalam pandangan Shomali, jelas bahwa fungsionalisme merupakan sebuah


teori teleologis yang mencoba menilai moralitas dengan menggunakan akibat-
akibatnya. Tujuan moralitas adalah mempertahankan atau memantapkan sebuah
tatanan atau system sosial. Dalam keadaan yang berbeda-beda, peraturan yang
berbeda-beda diperlukan. Akibatnya, dalam keadaan yang sama akan terdapat
moralitas yang sama dengan fungsi yang sama pula. Tapi inilah yang diyakini kaum
absolutis.

3. Eksistensialisme

Kaum eksistensialisme seperti Sartre yakin bahwa sama sekali tidak ada prinsip atau
hukum yang umum dan universal. Setiap orang membuat keputusanya dalam setiap

13
kasus dan mematuhinya. Berbuat secara moral sekedar berarti memiliki “keyakinan
baik”, yakni berbuat menurut moralitas yang dianut seseorang. Dengan demikian,
moralitas menjdai relativistic, karena setiap kasus itu uni dan “tidak ada pembenaran
di hadapan kita”. Seperti jawaban Sartre kepada muridnya, “kamu bebas. Karena itu
pilihlah –temukanlah. Tidak ada kaidah moralitas umum yang dapat menunjukan
kepadamu apa yang harus dilakukan.

Problem dari pendapat Sartrre adalah bahwa moralitas tampaknya lebih dari sekedar
keyakinan baik. Pepatah mora seperti “jangan mmembunuh”, “bantulah orang-orang
yang tak mampu”, dan lain sebgainya menuntut lebih dari sekedar benar menurut
anda sendiri. Harus diperhatikan bahwa pendapat Sartre, dalam arti tertentu,
merupakan pendapat absolutiatik karena memandang “keyakinan baik” sebagai nilai
yang benar secara universal, yang harus dipahami semua orang.

4. Etika situasi

Para pendukung etika situasi percaya bahwa setiap persoalan moral adalah unik.
Hanya orang terlibat dalam persoalan itu yang dapat memecahkannya. Dinyatakan
Unerman, bahwa etika situasi merupakan bentuk lain dari relativisme etika, karena
berpendapat bahwa bahkan dalam sebuah masyarakat, tidak ada perilaku yang benar
atau salah secara mutlak, sebab “kebaikan” atau “kesalahan” perilaku tententu
bergantung pada situasi tertentu sang agen.

Persoalan pertama dari argument etika situasi adalah bahwa meyakini etika
situasi sembari tetap menolak relativisme etika merupakan sikap konsisten. Kita tahu,
setiap sitiasi dibentuk oleh seperangkat parameter atau faktor. Orang dapat memiliki
prinsip-prinsip mutlak di mana setiap parameter mungkin saja mempunyai peran
khusus dan berbagai prinsip bisa diterapkan, karena adanya perubahan pada
parameter tersebut. oleh karena itu, orang mungkin meyakini keunikan situasi, tetapi
masih tetap yakin bahwa ia harus memperhatikan prinsip-prinsip mutlak dan umum
yang menentukan status permanen yang digunakan.

14
Relativisme Normatif

Seperti yang kita ketahui, Boas, Benedicht dan Herskovits termasuk kalangan
antropolog terkemuka yang membelah realtivisme. Benedicht menyatakan bahwa
keberagaman system moral yang luar biasa. Tindakan yang sama secara moral
mungkin dilakukan berbagai cara. Yang ditekankan bagi para pendukun relativisme
disini adalah prinsip toleransi (toleransi terhadap budaya lain).

Para pengikut Boas, memiliki dua argument bagi prinsip toleransi. Pertama,
mereka berpendapat karena terdapat moralitas yang berbeda mengenai praktik yang
sama, kita harus menerima prinsip toleransi. Kedua, jika system moral benar bagi
sebuah budaya, ia mesti disikapi dengan toleransi. Bagi para pengikut Boas, nilai
praktik sebuah adat-istiadat dalam kehidupan suku memperlihatkan apakah sebuah
pandangan moral itu benar bagi suku tersebut atau tidak.

Relativisme normative umumnya dikritik sebagai tidak koheren dan terbantah


dengan sendirinya. Tampaknya relativisme ini mewajibkan atas setiap individu,
kelompok dan masyarakat sebuah etika toleransi tanpa-keputusan dan tanpa campur
tangan, namun kewajiban universal semacam itu akan berubah menjadi tidak
koheren. Jika saya memberikan putusan terhadap orang-orang yang mengambil
putusan terhadap perilaku orang lain dengan moralitas yang berbeda dan mencelanya,
saya harus mencela diri saya sendiri, karena saya telah berupaya memaksakan sebuah
nilai toleransi atas setiap orang meskipun mereka tidak memiliki nilai semacam itu.

15
DASAR-DASAR MORALITAS

Moral dan Adat Istiadat

Robert Cavalier membuat pemilahan yang baik antara antara adat-istiadat dan
moral. Dia mengatakan, “Ada perbedaan antara ‘moral’ (morals) dan ‘kebiasaan’
(mores) –yang disebut terakhir dapat didefinisikan sebagai ‘adat-istiadat yang
merugikan’ (misalnya, minum the pada pukul empat), sedangkan yang pertama
sebagai ‘perlakuan terhadap orang lain’ (misalnya, praktek Apartheid). Dalam
membahas relativisme, kita hanya perlu memperhatikan “perilaku moral”.

Dari urian di atas, Shomali mencoba mengembangkan teori tentang hakikat


moralitas dengan cara membedakan fungsi adat-istiadat dan moral.

Analisis tentang adat-istiadat

Menurut saya, adat-istiadat murni –dan yang saya maksudkan dengan “adat-
istiadat murni” adalah adat-istiadat yang tidak berisi unsur moral apapun- secara
sosial dan kultural merupakan peraturan yang disepakati guna menciptakan
keharmonisan dalam sebuah masyarakat dan kemungkinan aspek-aspek sosial
kehidupan kita sehari-hari terhindar dari kekacauan dan perselihian dalam
masyarakat. Adat-istiadat membantu warga setiap masyarakat untuk menciptakan
hubungan sosial yang harmonis, teratur dan tertib. Misalnya, bentuk dan warna
pakaian dalam upara pemakaman, kaidah memberi salam, atau memperlakukan tamu
ditentukan oleh masyarakat dan budaya.

Dalam hal ini, Haraman tampaknya tidak membedakan antara moral dan adat-
istiadat. Padahal perbedaan adat-istiadat semata tidak menimbulkan perbedaan dalam
nilai. Rachels mengatakan:

Banyak faktor bekerja bersama-sama untuk menciptakan adat-istiadat


sebuah masyarakat. Nilai masyarakat hanya salah satu di antaranya. Hal-
hal lain, semisal keyakinan-keyakinan agama dan factual yang diyakini

16
oleh para warga dan lingkungan fisik di mana mereka harus hidup, juga
penting. Maka, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa karena adanya
perbedaan adat-istiadat, pastilah ada perbedaan pendapat mengenai nilai.
Memandang nilai-nilai (moralitas) itu tidak bisa melihat dari sisi praktik adat-
istiadat tertentu. Karena, pada dasarnya meskipun berbeda dalam praktik adat-
istiadatnya belum tentu kandungan nilainya itu berbeda.

Analisis tentang moral

Sebelum menjelaskan pendapat saya mengenai hakikat moralitas, saya harus


mencatat bahwa dalam karya ini saya tidak membedakan antara istilah “etika” dan
“moral”. Tentu saja, pada dasarnya keduanya mempunyai arti yang berbeda: “etika”
berasal dari kata Yunani bagi sifat pribadi dan “moral” berasal dari kata Latin bagi
adat-istiadat sosial.

Menurut saya, moral berfungsi untuk menata perbuatan kita maupun


mengarahkan kita kepada cita-cita tertentu. Adat-aistiadat tidak dengan sendirinya
mengarah pada cita-cita. Jika cara bertindak tertentu membantu kita dalam mencapai
cita-cita kehidupan kita, tentunya ia memiliki anasir moral di dalamnya. Misalnya,
jika salah satu cara memperlakukan jenazah para kerabat menunjukan penghargaan
terhadap mereka, tetapi adat-istiadat yang lain tidak, maka unsur moralitas terlibat,
berbeda dengan kasus mengendarai kendaran pada lajur kanan dan kiri jalan. Di
samping itu, menjalankan moralitas membutuhkan upaya spiritual yang sungguh-
sungguh dan kebulatan tekad, karena biasanya ia bertentangan dengan sifat
mementingkan diri sendiri dan keinginan langsung. Akan tetapi, sejauh menyangkut
adat-istiadat, tidak ada konflik batin yang niscaya di antara hasrat-hasrat pribadi. Oleh
karena itu, jauh lebih mudah melaksakan adat-istiadat sosial merupakan fenomena
sosial daripada kaidah moral. Adat-istiadat sosial merupakan fenomena sosial
sehingga dengan sendirinya tidak berkaitan dengan kehidupan pribadi yang berada di
luar konteks sosial, semantara moralitas melibatkan aspek kehidupan sosial dan
nonsosial (diri sendiri).

17
Moralitas dan Cinta Diri

Segala sesuatu yang mampu menggerakan seorang pelaku haruslah memiliki


hubungan tertentu denganya dan harus pula dengan berbagai cara dapat direduksi
pada kepentinganya. Jika tidak demikian, ia menjadi tidak relevan baginya dan sang
pelaku pelaku tidak peduli terhadapnya. Misalnya, kita tidak peduli jika da orang
melempar batu ke tanah kosong, tapi kita terusik jika ada orang melempar batu kecil
ke kita. Kaum ibu yang menjadi symbol cinta bagi orang lain, tidak peduli pada anak
orang lain sebesar kepedulian mereka terhadap anak mereka sendiri.

Harus di catat bahwa cinta-diri sangat berbeda dengan mementingkan diri


sendiri. Perbedaan antara egois dan tidak egois bukanlah ada atau tidak anya cinta-
diri. Perbedaan itu terkait dengan cara seseorang mempertimbangkan kepentingan
dan tujuan dan coba memenuhi syarat-syarat cinta-diri.

Membuat Keputusan

Sebelum membuat keputusan apapun untuk melakukan sesuatu, kita harus


melewati sebuah proses rumit yang terdiri atas berbagai tahapan.

Pemahaman dan Penilaian

Langkah pertama adalah memahami beberapa perbuatan, misalnya pergi ke


pesta. Mustahil membuat keputusan tanpa memahami masalah tersebut. kita mulai
berfikir tentang perbuatan itu dan akibatnya, manfaat atau mudaratnya. Evaluasi ini
membantu kita memustukan untuk pergi kepesta atau tidak.

Motivasi

Ada hubungan yang mutlak antara dua bentuk penalaran, yaitu, penalan teoritis
dan penalaran praksis. Setiap penalan praksis didahului oleh beberapa bentuk
penalaran teoritis. Pada mulanya seorang pelaku menemukan beberapa alasan untuk
meyakini bahwa dalam kenyataannya, perbuatan tertentu adalah kondusif atau tidak

18
kondusif bagi cita-citanya. Kemudian, setelah menemukan beberapa alasan untuk
meyakini bahwa salah satu alternatif memang lebih baik, dia mendapatkan motivasi
untuk berbuat sesuai dengan alternative itu. Hanya setelah termotivasi kita berniat
atau memutuskan untuk melakukan perbuatan tertentu. Di sini dan selama penilaian,
peran emosi dan hasrat sangatlah penting.

Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap keputusan moral

Proses pengambilan keputusan menyajikan sebuah pandangan tentang peran


faktor-faktor internal maupun eksternal dalam keputusan moral.

1. Peran keyakinan, pengetahuan dan informasi

Salah satu bagian penting keputusan moral kita adalah cara kita memahami
sebuah persoalan, kemudian cara kita mendapatkan hasil dan akibat-akibat dari setiap
sisi persoalan. Perbedaan dan perselisihan dalam ranah ini dapat membawa keputusan
yang berbeda mengenai perbuatan yang sama. Bahkan, orang yang memiliki cita-cita
atau kaidah moral yang sama tidak terlepas dari perbedaan dan perselisihan ini.

2. Peran hasrat

Hasrat akan setiap perbuatan alternative merupakan faktor kunci dalam


pengambilan keputusan kita. Meskipun hasrat sejati sama saja diatara manusia
danmendorong mereka kebutuhan untuk bertahan hidup dan kebahagian (atau dengan
kata lain, hidup dengan banyak harta dan sifat terpuji), interaksi dan penarapanya
mungkin berbeda. Orang sejak kecil selalu dianjurkan untuk bersikap baik terhadap
orang lain memiliki hasrat yang lebih kuat untuk mendorong orang lain dan
mencegah penderitaan mereka. Tentu saja ada banyak keputusan bagi si pelaku untuk
membuat keputusanya sendiri dan mewujudkan keinginannya sendiri.

3. Peran keinginan dan keputusan seseorang

19
Perbedaan antara pelaku yang berbeda dalam mewujudkan kehendak bebasnya
dapat dilihat dari beberapa parameter berikut ini: pertama, dalam menganut beberapa
cita-cita atau nilai bagi kehidupan mereka. Cita-cita hidup manusia sangat penting
dalam mengarahkan perbuatan mereka. Kedua, dalam kesediahan mereka untuk
mendapatkan informasi yang diperlukan dan dengan tepat mengkajinya. Sebagian
orang bertindak dengan cepat; yang lainya memilih bersikap cermat dan hati-hati.
Sebagian lain cendrung pesimis dan yang lain cendrung memperhatikan yang positif
saja dan bahkan mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menyenagkan.
Ketiga, dalam menata hasrta mereka dan memberikan prioritas terhadap sebagian di
antaranya atau menggabungkan sebagianya untuk menolak hasrat yang lain.

4. Peran keadaan

Yang dimaksud dengan keadaan adalah sifat-sifat atau ciri khas yang berada di
sekitar masalah keputusan, termasuk keadaan fisik dan mental si pelaku (misalnya,
sehat atau sakit), perasaan pelaku (misalnya, senang atau sedih), kemauan si pelaku,
keadaan orang lain yang mungkin terlibat (misalnya, guru harus mempertimbangkan
keadaan muridnya), waktu, tempat, hukum, budaya (termasuk adat-istiadat), sumber
alam yang ada, sara dan alat.

Mengetahui dan mencermati semua fakta yang –pasti atau boleh jadi, sadar atau
tidak sadar- berpengaruh terhadap pengambilan keputusan membantu kita
mengontrolnya. Dengan cara ini, kita dapat membuat keputusan yang benar-benar
menguntungkan kita.

20
Catatan Kritis

Dari pembahsan di atas, dengan segala kekurang penulis dalam memahami


konten isi buku Relativisme Etiaka “Analisis prinsip-prinsip moralitas” (Ethical
Relativism: An Analysis of the Foundation of Morality) karya Mohammad A. Shomali
terbitan Shadra Press 2011, ada beberapa catatan yang menurut penulis perlu
dipahami secara mendalam.

Pertama, pemahaman paling mendasar tentang masalah etika adalah terkait


definisi itu sendiri. Karena perberbedaan dalam memahami dan mendefinisikan etika
akan berakibat pada perumusan kaidah-kaidah etika itu sendiri. Seperti dalam
pembahasan ini, Shomali menyamakan definisi etika dengan moralitas dan
menggunakannya untuk mengkritisi dan mengevaluasi pandangan-pandangan kaum
relativisme etika. Dimana dari apa yang dijelaskan oleh Shomali tentang pendapat-
pendapat relativisme etika dalam pemahaman penulis semuanya (pandangan
antropolog) merupakan relativisme moral, karena dalam pemahaman penulis
pengertian etika dengan moral itu berbeda. Moral adalah Wacana normatif dlm
bentuk kewajiban hipotetis atau kategoris yang dirumuskan dalam kerangka baik-
buruk, benar-salah. Sedangkan etika adalah refleksti tentang moralitas itu sendiri.
Tidak secara langsung dalam pemahaman penulis kritik Shomali sebenarnya hanya
sebatas dalam lingkaran moralitas. Tepatnya kritik terhadap moralitas yang
digunakan sebagai dasar etika yang digunakan oleh para antropolog.

Kedua, dari apa yang dijelaskan Shomali, kekurangan dari kaum relativisme
etika adalah dalam mensajikan contoh-contoh yang kurang relevan dengan
permasalahan etika. Dengan demikian, tidak secara langsung ketika ada contoh yang
relevan maka bisa dikatan relativisme etika itu bisa diakui. Dalam hal ini, dalam
pengamatan penulis, argumen-argumen Shomali masih terjebak pada pandangan
“yang kurang kuat”, padahal dia meyakini adanya absolutism etika.

21
Ketiga, penulis sepakat dengan konsep absolutisme etika yang di jelaskan oleh
Shomali. Karena dalam pemahaman penulis, mendasarkan persoalan etika harus
terlebih dahuli mengakui adanya konsep etika yang absolut itu bagian yang terpenting
dalam memahami persoalan-persoalan etika. Sehingga pemahaman etika tidak
terjebak pada tingkat etiket atau tindakan.

Keempat, tawaran konsep cita-diri dari Shomali merupakan bagian terpenting


dalam konsep etika dizaman sekarang. Karena konsep cinta-diri yang ditawarkan
Shomali berbeda dengan konsep-konsep etika lainya, seperti, egoisme etis dan
egoism psikologi yang menekankan kesenangan pada diri sendiri. Konsep cinta-diri
tidak sama dengan konsep-konsep etika di atas.

Demikian apa yang bisa pemakalah tulis, dengan kekurangan pemakalah


meminta saran dari semua elemen untuk membimbing pemakalah dalam melakukan
perbaikan dalam menulis selanjutnya. Terimaksih atas bimbingan selama berproses
dikelas sehingga pemakalah dapat pengalaman dan pemahaman yang luas mengenai
persoalan etika.

22

Anda mungkin juga menyukai