Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


HNP

OLEH:

RISDAMAYANTI
PO.713.241.18.1.037

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
PROGRAM STUDI DIPLOMA III
JURUSAN FISIOTERAPI
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan Laporan kasus dengan judul “PENATALAKSANAAN
FISIOTERAPI PADA KASUS HNP”. Laporan kasus ini disusun berdasarkan video kasus
HNP.
Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang memberikan
arahan selama menyusun laporan ini.
Saya berharap hasil Laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi Mahasiswa Fisioterapi
Khususnya dan seluruhnya mahasiswa pada umumnya.

Makassar , 13 Juli 2020

Penyusun

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut The Healthy Back Institute (2010), daerah lumbal merupakan
daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya cedera atau kerusakan karena
daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak dan saat menumpu
berat badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat objek yang sangat
berat biasanya dapat menyebabkan terjadinya cedera pada lumbal spine (Bellenir,
2008). Salah satu diantaranya adalah Herniated Nucleus Pulposus (HNP).
HNP adalah penonjolan matriks nukleus pulposus ke kanalis vetebralis yang
berakibat terjadinya kompresi pada saraf spinalis (Sarno, 2010). HNP merupakan
salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan nyeri serta gangguan gerak
dan fungsional seseorang. Menurut sebuah clinical evidence oleh Jo Jordan (2010),
prevalensi dari HNP adalah sebanyak 1% sampai 3% di Finlandia dan Italia dimana
kondisi ini dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Prevalensi tertinggi terjadi pada
usia 30 sampai 50 tahun dengan rasio laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Pada usia
25 sampai 55 tahun, sekitar 95% HNP terjadi di lower lumbal spine (L4-L5 dan L5-
S1). HNP yang terjadi di atas level tersebut lebih umum dialami oleh orang yang
berusia diatas 55 tahun
HNP lumbar paling sering terjadi pada pria dewasa, dimana insiden puncak
terjadi pada usia 40-an dan 50-an namun rata-rata terkena pada usia 35 tahun.
Hampir 2/3 dari seluruh penyakit diskus intervertebralis selalu melibatkan lumbal
spine. HNP lumbar sering terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1 yaitu sekitar
90% - 95% dari kasus diskus intervertebralis (Heliovaara et al, 2007).
HNP lumbar bisa menyebabkan keterbatasan ROM dalam bidang sagital.
Hal ini disebabkan karena gerakan fleksi dapat menyebabkan diskus semakin
menonjol kearah posterior sehingga akan semakin menekan akar saraf. Untuk
menghindari hal tersebut maka pasien HNP lumbar enggan melakukan gerakan
membungkuk dan gerakan ke belakang, sehingga lama kelamaan terjadi spasme otot
disekitar area lumbal dan keterbatasan ROM. Selain itu, umumnya ditemukan

1
adanya keterbatasan fleksi hip yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari, karena
gerakan tersebut menyebabkan tension pada saraf ischiadicus dan akar sarafnya
sehingga dapat memperbesar tekanan pada akar sarafnya (Ciaccio et al, 2012)
Pada umumnya penderita HNP lumbar mengalami kesulitan dalam
melakukan aktivitas fungsional yang melibatkan beban dan gerak pada lumbal
seperti aktivitas duduk saat bekerja, berjalan, membungkuk, memindahkan dan
mengangkat objek. Hambatan fungsional tersebut menyebabkan penderita HNP
lumbar tidak mampu melakukan aktivitas pekerjaan dalam waktu yang lama.
B. Rumusan masalah :
Rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah bagaimana
Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus HNP?
C. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui
Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus HNP.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Kasus
1. Definisi
Herniated Nucleus Pulposus (HNP) atau herniasi diskus intervertebralis,
yang sering pula disebut sebagai Lumbar Disc Syndrome atau Lumbosacral
Radiculopathies adalah penyebab tersering nyeri punggung bawah yang bersifat
akut, kronik, atau berulang. HNP adalah suatu penyakit dimana bantalan lunak
diantara ruas-ruas tulang belakang (soft gel disc atau nucleus pulposus)
mengalami tekanan di salah satu bagian posterior atau lateral sehingga nucleus
pulposus pecah dan meluruh, akibatnya terjadi penonjolan melalui annulus
fibrosus ke dalam kanalis spinalis dan menyebabkan penekanan akar saraf
(Leksana, 2013).
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) merupakan suatu gangguan yang
melibatkan rupturnya angulus fibrosus sehingga mengakibatkan menonjolnya
nucleus pulposus dan menekan canalis spinalis, Hernia Nukleus Pulposus (HNP)
pada lumbal sering terjadi pada L4-S1.
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) atau yang sering disebut saraf kejepit
adalah suatu tanda atau gejala yang diakibatkan oleh degenerasi diskus
intervertebralis bagian lumbar, atau gambaran klinis yang terjadi akibat adanya
perubahan proses degenerasi pada diskus intervertebralis lumbar bagian dalam
anulus fibrosus. Kerusakan diskus bagian dalam akibat adanya perubahan-
perubahan proses degenerasi sering dikaitkan dengan proses degenerasi,
kesalahan dalam beraktivitas, trauma dan sebagainya (Budi Susanto, 2015).
Hernia Nukleus Pulposus adalah suatu keadaan dimana terjadi penonjolan
pada diskus intervertebralis ke dalam kanalis vertebralis (prostusi diskus) pada
diskus vertebra yang diakibatkan oleh menonjolnya nucleus pulposus yang
menekan anulus fibrosus yang menyebabkan kompresi saraf, terutama banyak
terjadi di daerah lumbar sehingga sering menimbulkan adanya gangguan
neurologi yang didahului oleh perubahan degeneratif (Djohan Aras, 2013).

3
Hernia Nukleus Polposus (HNP) lumbar umumnya menimbulkan gejala
ischialgia. Keluhan ischialgia sering muncul setelah melakukan aktivitas yang
berlebihan, terutama banyak membungkukkan badan atau banyak berdiri dan
berjalan. Jika dibiarkan maka semakin lama mengakibatkan kelemahan anggota
badan bawah atau tungkai bawah yang disertai dengan mengecilnya otot-otot
tungkai bawah tersebut (Kuntono, 2000)

Gambar 2.1

Herniated Nucleus Pulposus (HNP)


Sumber : James (2010)

2. Anatomi Lumbal
a. Anatomi Segmen Gerak
1) Diskus Intervertebralis
Diantara dua korpus vertebra dihubungkan oleh diskus
intervertebralis, merupakan fibrocartilago compleks yang membentuk
articulatio antara corpus vertebra, dikenal sebagai symphisis joint. Diskus
intervertebralis pada orang dewasa memberikan kontribusi sekitar ¼ dari
tinggi spine. (Dutton, 2002)

4
Gambar 2.2
Diskus Intervertebralis
Sumber : Dutton (2002)

Diskus juga dapat memungkinkan gerak yang luas pada vertebra.


Setiap diskus terdiri atas 2 komponen yaitu:
a) Nukleus pulposus; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk
jelly transparan, mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen dan
proteoglycans yang merupakan unsur-unsur khusus yang bersifat
mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus tidak mempunyai
pembuluh darah dan saraf. Nukleus pulposus mempunyai kandungan
cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan beban kompresi serta
berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke annulus fibrosus
dan sebagai shock absorber.
b) Annulus fibrosus; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan

collagen, serabutnya saling menyilang secara vertikal sekitar 30 o.


Karena serabutnya saling menyilang secara vertikal maka struktur ini
lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan
shear. Orientasi serabutnya juga memberikan kekuatan tension ketika
vertebra mengalami beban kompressi, twisting, atau pembengkokan
sehingga membantu mengendalikan gerakan vertebra yang beragam.
Susunan serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya dan
mencegah terjadinya prolapsus nukleus.
2) Facet Joint
Facet joint dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra
bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Facet joint
termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap facet joint mempunyai
cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi
pada facet joint adalah gliding yang cukup kecil, sehingga memungkinkan
terjadi gerak tertentu yang lebih dominan pada segmen tertentu. Fungsi
mekanis facet joint adalah mengarahkan gerakan. Besarnya gerakan pada

5
setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular
(Levangie and Norkin, 2005).
Pada regio lumbar kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya
terletak lebih dekat kedalam bidang sagital. Facet bagian atas menghadap
kearah medial dan sedikit posterior, sedangkan facet bagian bawah
menghadap kearah lateral dan sedikit anterior. Kemudian, facet bagian
atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian bawah adalah
konveks. Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbar sebenarnya
terkunci melawan gerakan rotasi sehingga rotasi lumbar sangat terbatas.
Facet artikularis lumbosacral terletak sedikit lebih kearah bidang frontal
daripada sebenarnya pada sendi-sendi lumbar lainnya (Levangie and
Norkin, 2005).
Facet joint dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine
untuk menahan gaya rotasi torsion dan shear, dimana ½-nya diberikan oleh
facet joint. Facet joint juga menopang sekitar 30% beban kompresi pada
spine, terutama pada saat hiperekstensi. Gaya kontak yang paling besar
terjadi pada facet joint L5-S1. Apabila diskus intervertebralis dalam keadaan
baik, maka facet joint akan menyangga beban axial sekitar 20% sampai
dengan 25%, tetapi ini dapat mencapai 70% apabila diskus intervertebralis
mengalami degenerasi. Facet joint juga menahan gerakan torsi sampai 40%
(Frank, 2001).
3) Ligamen
Ligamen utama dari lumbar spine sama seperti yang ada pada lower
cervical dan thoracal, yaitu ligamen longitudinale anterior dan ligamen
longitudinal posterior. Ligamen longitudinale anterior merupakan ligamen
yang tebal dan kuat, berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan ektensi
lumbar. Ligamen longitudinal posterior merupakan ligamen yang sangat
sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (A delta
dan tipe C) dan memiliki sirkulasi darah yang banyak, berperan sebagai
stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbar. Ligamentum flavum

6
mengandung lebih banyak serabut elastin daripada serabut kolagen
dibandingkan dengan ligamen-ligamen lainnya pada vertebra, berperan
mengontrol gerakan fleksi lumbar. Ligamentum supraspinosus dan
interspinosus berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbar,
serta ligamentum intertransversum berperan mengontrol gerakan lateral
fleksi kearah kontralateral. (Magee, 2008)

Gambar 2.3
Ligamen-ligamen pada lumbar spine
Sumber : Magee (2008)
4) Muskular
Otot-otot punggung dapat dibagi secara umum menjadi otot global
dan otot lokal. Sistem otot global terdiri dari otot-otot yang menghasilkan
torsi besar dan bekerja pada trunk tanpa melekat secara segmental pada
vertebra. Otot-otot ini termasuk m. rectus abdominis, m. external oblique,
dan m. iliocostalis lumbar bagian thoracic. Sistem otot lokal terdiri dari
otot-otot yang secara langsung melekat pada setiap segmen vertebra
lumbar dan bertanggung jawab mempertahankan stabilitas segmental dan
mengontrol segmen lumbar. (Kisner, 2012)
M. multifidus lumbar, m. psoas major, m. quadratus lumborum, m.
interspinales, m. intertransversarii, m. iliocostalis dan longissimus bagian
lumbar, m. tranversus abdominis (TrA), diaphragma, dan serabut posterior
dari m. internal oblique merupakan bagian dari sistem otot lokal. Otot-otot
lokal, seperti m. tranversus abdominis (TrA) dan m. multifidus

7
lumbosacral cenderung mengambil peran besar kesuksesan rehabilitasi
pada gangguan instabilitas spinal dengan gangguan gerakan koordinasi.
(Kisner, 2012)
Otot multifidus lumbar merupakan otot dengan tipe bipennate pada
origo dan insersionya. Otot ini muncul dari tendinous slip prosesus
mammilaris tepatnya pada lateral dan inferior dari facet joint. Berasal dari
titik ini berjalan ke atas dan medial menuju origo otot multifidus pada
sepertiga atas facet yang berdekatan. Kemudian 2 set otot multifidus
bersambung dengan jaringan otot multifidus lainnya pada ujungnya dalam
sebuah tendinous slip yang berinsersio pada processus spinosus bagian
posterior inferior. Fasciculus otot multifidus lumbar berperan baik sebagai
rotator sagital posterior pada origonya dan panjang processus spinosus
dapat memberikan keuntungan mekanik yang besar. Namun, posisinya
tidak berperan baik dalam memberikan kontribusi terhadap gerakan
translasi posterior dari ekstensi, dan otot multifidus memiliki lever lengan
pendek untuk membantu gerakan axial rotasi vertebra. (Kisner, 2012)
Otot-otot yang berperan besar terhadap gerakan rotasi axial adalah
m. oblique abdominal namun otot tersebut pada saat yang sama juga dapat
menghasilkan gerakan fleksi. M. erector spine dan m. multifidus telah
dijelaskan sebagai otot yang aktif selama rotasi untuk mengatasi moment
gerak fleksi. Walaupun m. multifidus telah dikatakan sebagai lateral fleksor
vertebra lumbar, perlekatan otot ini sangat dekat dengan aksis gerak yang
memberikan berkontribusi signifikan pada lateral fleksi. Beberapa gerakan
lateral fleksi dihasilkan oleh otot multifidus yang menyebabkan kombinasi
ekstensi dengan sedikit axial rotasi kontralateral, yang menjadi salah satu
alasan untuk gerakan berpasangan yang konsisten pada upper lumbar
dengan gerak rotasi kontralateral saat lateral fleksi. M. multifidus
memberikan kontribusi terhadap kontrol gerakan segmental lumbar dengan
mempertahankan keseimbangan segmental dan perkembangan stiffness
intersegmental. (Kisner, 2012)

8
Gambar 2.4
Otot-otot pada lumbar spine
Sumber : Kisner (2012)

b. Anatomi Akar Saraf dan Saraf


1) Plexus Lumbosacral
Plexus lumbar dibentuk oleh divisi utama anterior dari akar saraf L1,
L2, L3 dan bagian dari L4. Plexus sacral dibentuk dari L4, L5, S1, dan
bagian dari S2 dan S3. Sama seperti pleksus brachialis, cabang dan divisi
dari plexus lumbosacral mengatur setiap saraf perifer yang berjalan ke
extremitas inferior. Selain itu, rami utama anterior dari plexus lumbosacral
menerima serabut simpatik postganglionik dari rantai simpatik yang
mempersarafi pembuluh darah, kelenjar keringat, dan otot-otot piloerector
di extremitas inferior. Berbagai cedera yang terisolir pada plexus lumbar
atau sacral sangat jarang, gejala-gejala lebih sering muncul akibat dari lesi
diskus atau deformitas spondilitik yang mempengaruhi satu atau lebih akar

9
saraf atau dari tension dan kompresi pada saraf perifer spesifik. (Kisner,
2012)
Plexus lumbosacral berakhir dan bercabang menjadi tiga saraf perifer
utama yang bertanggungjawab terhadap innervasi jaringan pada extremitas
inferior. Ketiga saraf tersebut adalah saraf femoral dan obturator dari
plexus lumbar dan saraf sciatic dari plexus sacral. (Kisner, 2012)

Gambar 2.5
(A) Pleksus Lumbar dan (B) Pleksus Sacral
Sumber : Kisner (2012)

2) Saraf Sciatic (L4,5, S1-3)


Saraf sciatic muncul dari plexus sacral sebagai saraf terbesar pada
tubuh manusia, terdiri dari saraf tibial dan common peroneal yang bisa
dibedakan pada pembungkusnya. Otot-otot regio pantat (otot-otot external
rotators dan gluteal) dipersarafi oleh saraf-saraf kecil dari plexus sacralis,
yang muncul kearah proksimal membentuk saraf sciatic. Saraf sciatic
keluar dari pelvis melalui foramen sciatic yang besar dan secara khas
berjalan ke bawah, meskipun kadang-kadang melalui m. piriformis.
(Kisner, 2012)
Saraf ini terlindungi dibawah m. gluteus maximus sebagaimana
berjalan antara tuberositas ischiadicus dan trochanter major, meskipun
cedera dapat terjadi di regio ini saat dislokasi hip atau reduksi. Bagian

10
tibialis dari saraf sciatic mempersarafi otot-otot biartikular hamstring dan
m. adductor magnus. Bagian common peroneal dari saraf sciatic
mempersarafi caput brevis biceps femoris. Kearah proksimal pada fossa
poplitea, saraf sciatic berakhir ketika saraf tibialis dan common peroneal
muncul sebagai struktur yang terpisah. (Kisner, 2012)

Gambar 2.6
Saraf Sciatic dan Saraf Tibialis
Sumber : Kisner (2012)

3. Biomekanik Lumbal
Regio Lumbopelvic bergerak dalam koordinasi dengan hip joint untuk
membentuk lumbopelvic rhythm saat gerakan fleksi dan ekstensi lumbar. Dalam
posisi berdiri dengan ekstensi knee, gerakan fleksi trunk dihasilkan melalui fleksi
hip, anterior pelvic tilt, dan fleksi lumbar. Kontribusi relatif dari total lingkup
gerak sendi fleksi lumbar bergantung pada panjang otot (contohnya m.
hamstring), mobilitas sendi (contohnya hip joint, facet joint, dan sacroiliaca
joint), dan kontrol neuromuskular. Untuk fungsional yang baik dari lumbopelvic
rhythm, fleksi hip harus lebih besar daripada fleksi lumbar dan harus terjadi
pertama kali saat aktivitas fungsional. (Reese dan bandy, 2010)

11
Saat fleksi lumbar, serabut annulus fibrosus bagian posterior dari diskus
intervertebralis menjadi tegang dan serabut anterior menjadi kendur serta
menonjol kearah anterior. Nukleus pulposus di dalam diskus tertekan kearah
anterior, dan tekanan minimal di permukaan posterior. Berdasarkan data dari
Computed Tomography (CT) Scan, fleksi lumbar dapat meningkatkan ukuran
kanal sentral sebesar 24 mm2 atau 11%, dan ekstensi lumbar menurunkan ukuran
kanal sebesar 26 mm2 atau 11%. Area neuroforaminal meningkat sebesar 13 mm2
(12%) pada gerakan fleksi lumbar dan menurun sebesar 9 mm2 (15%) pada
gerakan ekstensi lumbar. (Schenk, 2005)
Facet joint memiliki dua prinsip gerakan : translation (slide, slope, atau
glide) dan distraction (gapping). Ketika upglide terjadi pada kedua sisi secara
simultan, maka menghasilkan gerak fleksi lumbar. Sebaliknya, ketika downglide
terjadi pada kedua sisi secara simultan, maka menghasilkan gerak ekstensi
lumbar. Gerak fleksi lumbar akan melibatkan flattening lordosis lumbar,
khususnya pada level upper lumbar, dan melibatkan kombinasi rotasi sagital ke
anterior dan translasi superior anterior (yakni upglide) pada facet joint secara
bilateral. (Darlene Hertling, 2006)
Ketika upglide terjadi pada satu sisi dengan downglide pada sisi
kontralateral, maka menghasilkan gerakan lateral fleksi. Distraksi terjadi dengan
axial rotasi dari lumbar ketika satu facet terkompresi dan menjadi fulcrum dan
ketika facet sisi rotasi mengalami distraksi. (Schenk, 2005)
Lateral fleksi dan axial rotasi lumbar cenderung terjadi sebagai gerakan
berpasangan, namun arah pola pasangan yang tepat tampaknya bervariasi pada
setiap individu dan pada setiap segmen lumbar. Saat rotasi, gerakan berpasangan
lateral fleksi cenderung terjadi pada sisi berlawanan, dan pola ini lebih konsisten
terjadi di level L1 – L2 sampai L3 – L4 pada sampel tanpa low back pain. Temuan
yang tidak konsisten terlihat pada segmen lower lumbar dengan pola gerak
berpasangan. Panjabi et al menemukan bahwa rotasi L4 – L5 dan L5 – S1 serta
gerak pasangannya lateral fleksi terjadi pada arah yang sama. (Schenk, 2005)

12
Penemuan lainnya menunjukkan bahwa pasien dengan Chronic Low Back
Pain (CLBP) dapat terjadi tiga pola gerakan berpasangan yang berbeda, antara
lain : lateral fleksi disertai dengan axial rotasi (normal) dalam arah yang
berlawanan, lateral fleksi disertai dengan rotasi dalam arah yang sama, atau tidak
terjadi gerakan berpasangan antara lateral fleksi dan rotasi. Dalam satu
penelitian, hanya 14% pasien yang memiliki pola gerakan berpasangan normal
yaitu gerak berpasangan axial rotasi yang berlawanan arah dengan lateral fleksi.
Sekitar 50% menunjukkan gerak berpasangan axial rotasi dalam arah yang sama
dengan lateral fleksi dan sisanya menunjukkan tidak ada gerak pasangan rotasi
dengan lateral fleksi. (Legaspi dan Edmond, 2007)
menyempurnakan review literatur yang luas dalam beberapa penelitian (n =
32) dengan mengukur gerak segmental berpasangan pada lumbar dan
menyimpulkan bahwa tidak ada pola gerakan berpasangan yang konsisten terlihat
saat lateral fleksi atau rotasi lumbar. Sekitar 29% penelitian menunjukkan
gerakan lateral fleksi menjadi gerakan pertama yang terjadi, dimana sebagian
besar sampel menunjukkan gerakan lateral fleksi dan rotasi adalah berpasangan
dalam arah berlawanan. Meskipun demikian, 33% penelitian lainnya
menunjukkan bahwa gerakan berpasangan lateral fleksi dan rotasi adalah
bervariasi, bergantung pada level spinal. Sebanyak 45% penelitian dengan rotasi
yang menjadi gerak pertama ditemukan bahwa gerak berpasangan antara lateral
fleksi dan rotasi tidak konsisten, dan 45% penelitian lainnya menemukan bahwa
sebagian besar sampel memiliki gerak berpasangan yang bervariasi, bergantung
pada level spinal. (Legaspi dan Edmond, 2007)
Beberapa penelitian melaporkan bahwa range of motion aktif dari lumbar
adalah 60° fleksi, 25° ekstensi, 25° lateral fleksi, dan 30° rotasi. nilai normatif
dari range of motion lumbar pada 405 sampel dengan umur 16 sampai 90 tahun,
dengan hasil yaitu nilai median dari range of motion lumbar untuk fleksi berkisar
dari 73° pada kelompok umur muda sampai 40° pada kelompok usia tua.
Gerakan ekstensi berkisar dari 29o sampai 6°, dengan penurunan 79% dari
kelompok umur muda ke kelompok umur tua. Lateral fleksi menurun dari 28o

13
sampai 16°, dan rotasi tetap konsisten pada 7°. Troke et al menemukan sedikit
perbedaan pada nilai median ROM lumbar antara sampel laki-laki dan
perempuan. (Troke, 2003 )
Lapisan dari serabut annulus fibrosus memiliki orientasi oblique yang
memungkinkan hanya setengah dari serabut yang mengalami ketegangan
(tension) selama rotasi. Fleksi lumbar menyebabkan tension pada seluruh serabut
posterior annulus fibrosus sehingga gerakan kombinasi rotasi dan fleksi dapat
menghasilkan ketegangan yang berlebihan pada serabut posterior annulus
fibrosus. Nachemson mengukur tekanan intradiskal pada vertebra L3 dalam
beragam posisi dan menemukan bahwa tekanan diskus intervertebralis paling
besar terjadi pada posisi duduk dan badan condong ke depan 20° dengan beban
jatuh pada kedua tangan. Posisi berdiri memiliki sedikit tekanan intradiskal
dibandingkan posisi duduk, dan posisi terlentang adalah posisi dengan beban
tekanan intradiskal yang paling sedikit. Penelitian Nachemson memberikan dasar
untuk pembuatan keputusan klinis yang berkaitan dengan interpretasi sifat gejala-
gejala pasien dengan gejala diskogenik. Sebagai contoh, jika gejala low back
pain dan leg pain diprovokasi saat duduk dan badan condong ke depan, maka
kemungkinan gejala-gejala berasal dari peningkatan kondisi diskogenik. (Reese
dan bandy, 2010)
4. Etiologi
Herniated Nucleus Pulposus (HNP) dapat disebabkan oleh beberapa hal
berikut ini :
a. Degenerasi diskus intervertebralis. Penyebab dari HNP biasanya sejalan
dengan meningkatnya usia dimana terjadi perubahan degeneratif yang
mengakibatkan kurang lentur dan tipisnya nucleus pulposus (Moore dan Agur,
2013).
b. Trauma minor pada pasien lanjut usia dengan degenerasi
c. Trauma berat atau jatuh dengan posisi duduk
d. Mengangkat atau menarik benda berat

14
Selain itu, sebagian besar HNP juga disebabkan karena adanya trauma
derajat sedang yang berulang-ulang pada diskus intervertebralis sehingga
menimbulkan sobeknya annulus fibrosus. Kebanyakan pasien dengan gejala
trauma yang tiba-tiba, cedera pada diskus tidak terlihat gejalanya selama
beberapa bulan atau bahkan dalam beberapa tahun (Helmi, 2012).
Bukti radiografi dari HNP tidak selalu dapat memperkirakan kondisi nyeri
punggung bawah ke depannya yang berhubungan dengan gejalanya. Sekitar 19%
sampai 27% orang terdiagnosis oleh radiografi memiliki HNP tanpa
menunjukkan gejala. Faktor resiko dari HNP termasuk merokok, olah raga
dengan weight bearing (weight lifting, hammer throw), serta aktivitas berulang
seperti mengangkat beban yang berat. (Jordan, 2006).
5. Patofisiologi
Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan
perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Adanya trauma
sebelumnya atau mekanikal stress minor yang berulang-ulang seperti
mengangkat atau memindahkan barang yang tidak benar dapat melemahkan
serabut annulus fibrosus sehingga mudah mengalami kerobekan. (Hertling and
Kessler, 2006).
Herniasi nukleus pada segmen L2 kebawah akan menekan akar saraf
terutama herniasi kearah posterolateral. Pada daerah lumbar, herniasi nukleus
sering terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Herniasi pada segmen L4 – L5
dapat menekan akar saraf L5 sedangkan herniasi pada segmen L5 – S1 dapat
menekan akar saraf S1 dan sedikit L5 namun semuanya menimbulkan keluhan
ischialgia. (Hertling and Kessler, 2006).
Disfungsi diskus akibat proses degenerasi masih kurang jelas tetapi
kemungkinan melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus
fibrosus. Jika kerobekannya pada lapisan paling luar maka penyembuhannya
mungkin terjadi karena adanya beberapa suplai darah. Pada lapisan paling dalam,
mungkin kurang terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi suplai darah.
Secara perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area circumferential

15
yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai
mengalami perubahan dengan hilangnya kandungan proteoglycan. Pada saat
nukleus pulposus mengalami kehilangan bentuknya dan annulus fibrosus
mengalami penurunan elastisitas akibat proses degenerasi, maka desakan nukleus
menyebabkan diskus menonjol kearah belakang melewati batas corpus vertebra.
Herniasi nukleus pulposus melewati serabut annular yang robek akan
menyebabkan protrusi yang jelas dari material diskus melewati batas endplate
corpus vertebra sehingga menghasilkan herniasi diskus (Hertling and Kessler,
2006).
Kerobekan nukleus pulposus melewati annulus fibrosus umumnya
disebabkan oleh trauma berulang-ulang yang berhubungan dengan aktivitas
pekerjaan dan aktivitas olahraga. Selain itu, kerobekan pada annulus fibrosus
juga umumnya terjadi akibat faktor mekanikal tersebut. Konsekuensi dari HNP
adalah terjadinya radiculopathy atau myelopathy. Radiculopathy terjadi akibat
kompresi pada akar saraf atau akibat proses inflamasi yang mempengaruhi akar
saraf, sedangkan myelopathy telah melibatkan kompresi pada spinal cord.
(Hertling and Kessler, 2006).
Menurut gradasinya, herniasi dan nukleus pulposus, Herniated Nucleus
Pulposus (HNP) terbagi atas:
a. Herniasi: istilah umum yang digunakan pada terjadinya perubahan bentuk
annulus fibrosus, yaitu menonjol keluar dari btas pinggir normalnya.
b. Protrusi: material nucleus pulposus ditahan oleh lapisan terluar annulus dan
struktur ligamen penopang.
c. Prolaps: material nucleus pulposus rupture total ke kanalis vertebralis.
d. Ekstrusi: ekstensi material nucleus pulposus keluar dari batas ligamen
longitudinal posterior atau di atas dan di bawah ruang diskus, seperti yang
tampak pada pencitraan MRI, tetapi masih kontak dengan diskus.
e. Sekuestrasi bebas: material nucleus pulposus yang telah terekstrusi terpisah
dari diskus dan menjauhi area prolaps.

16
Gambar 2.7
Jenis-jenis Herniated Nucleus Pulposus (HNP).
(A) Protrusion. (B) Prolapse. (C) Extrusion. (D) Sequestation
Sumber :Magee (2008).

6. Manifestasi Klinis
a. Nyeri punggung bawah yang intermitten (dalam beberapa minggu sampai
beberapa tahun). Nyeri menjalar sesuai dengan distribusi saraf sciatic.
b. Sifat nyeri berubah dari posisi berbaring ke duduk, nyeri mulai dari pinggang dan
menjalar ke bagian posterolateral kemudian sampai di tungkai bawah.
c. Nyeri bertambah hebat karena pencetus seperti batuk, bersin, mengedan, berdiri,
duduk dalam jangka waktu yang lama dan berkurang saat beristirahat atau
berbaring.
d. Penderita sering mengeluh kesemutan (parasthesia) atau baal bahkan kekuatan
otot menurun sesuai dengan distribusi persarafan yang terlibat.
e. Nyeri bertambah bila daerah L5 – S1 ditekan.
f. Jika dibiarkan maka lama kelamaan akan mengakibatkan kelemahan anggota
bawah/tungkai.
g. Bila mengenai conus medullaris atau cauda equina dapat terjadi gangguan
defekasi, miksi, dan fungsi seksual. Keadaan ini merupakan kegawatan
neurologis yang memerlukan tindakan pembedahan untuk mencegah kerusakan
fungsi permanen. (Setyanegara 2014)

17
B. Tinjauan Tentang Assesment & Pengukuran Fisioterapi
Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, fisioterapi seharusnya selalu
memulai dengan melaksanakan assesment yaitu di mulai dari pengkajian  data
(anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spesifik, dan lain-lain) kemudian
dilanjutkan dengan tujuan terapi, penatalaksanaan fisioterapi serta tindak lanjut dan
evaluasi.
1. Pengkajian Data
Dalam pengkajian fisioterapi, proses pemeriksaan untuk menentukan
problematika pasien dimulai dari anamnesa, pemeriksaan, dan dilanjutkan
dengan menentukan diagnose fisioterapi.
2. Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan
mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (auto anamnesis)
ataupun dengan mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (hetero
anamnesis) mengenai kondisi/ keadaan penyakit pasien. Dengan melakukan
anamnesis ini akan diperoleh informasi-informasi penting untuk membuat
diagnosis. Anamnesis dikelompokan menjadi dua yaitu anamnesis umum dan
anamnesis khusus.
1) Anamnesis Umum
Identitas pasien
Data identitas pasien yang diperoleh berupa  nama, jenis kelamin, umur,
agama, pekerjaan, serta alamat pasien.
2) Anamnesis Khusus
a. Keluhan utama
Merupakan satu atau lebih keluhan atau gejala dominan yang
mendorong penderita untuk mencari pertolongan.
b. Kapan terjadi
Merupakan waktu awal terjadinya keluhan pada pasien yang
dirasakan hingga saat diberikan terapi.
c. Riwayat penyakit sekarang

18
Merupakan rincian keluhan dan menggambarkan proses terjadinya
riwayat penyakit secara kronologis dengan secara jelas dan lengkap.
Yang isinya kapan mulai terjadinya, sifatnya seperti apa, manifestasi
lain yang menyertai, penyebab sakit, dan lain-lain.
d. Riwayat penyakit dahulu / penyerta
Pertanyaan diarahkan pada penyakit-penyakit yang pernah dialami
yang tidak berkesinambungan dengan munculnya keluhan sekarang.
e. Riwayat pribadi
Riwayat pribadi adalah hal-hal atau kegiatan sehari-hari yang
dilakukan pasien menyangkut hobi atau kebiasaan Riwayat penyakit
keluarga
f. Riwayat keluargaa dalah penyakit-penyakit yang bersifat menurun dari
orang tua atau keluarga yang lain .
3. Pemeriksaan Fisioterapi
Pemeriksaan yang dilakukan dibagi menjadi dua, antara lain:
1) Pemeriksaan fisik
a. Tanda – tanda Vital
Pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh data sebagai berikut: (1)
tekanan darah, (2) denyut nadi, (3) pernafasan (4) temperatur.
b. Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati.
Ada dua macam yaitu inspeksi statis dan inspeksi dinamis.Inspeksi statis
adalah inspeksi dimana pasien dalam keadaan diam, sedangkan inspeksi
dinamis adalah inspeksi dimana pasien dalam keadaan bergerak.
c. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
Pemeriksaaan fungsi gerak adalah suatu cara pemeriksaan dengan
melakukan yang terdiri dari pemeriksaan gerak aktif, pasif, dan
isometrik melawan tahanan..
 Pemeriksaan Fungsi Gerak Aktif

19
Pemeriksaan fungsi gerak yang dilakukan secara mandiri oleh
pasien tanpa bantuan dari orang lain atau terapis. Hasil yang
didapat dari pemeriksaan fungsi gerak dasar aktif adalah nyeri
dan keterbatasan gerak.
 Pemeriksaan Fungsi Gerak Pasif
Pemeriksaan fungsi gerak yang dilakukan terapis sementara
pasien dalam keadaan pasif atau rileks. Hasil yang didapat dari
pemeriksaan fungsi gerak dasar pasif adalah nyeri, keterbatasan
gerak dan end feel.
 Pemeriksaan Fungsi Gerak Isometrik Melawan Tahanan
Pemeriksaan fungsi gerak yang dilakukan terapis dengan
memberikan tahanan pada pasien saat melakukan gerakan.
Hasil yang didapat dari pemeriksaan fungsi gerak dasar
Isometrik Melawan Tahanan adalah nyeri, dan kualitas otot.
2) Pemeriksaan Spesifik
a. Patrick Test
Patrick test bertujuan untuk mendeteksi patologi pada hip, lumbar,
atau SI Join Dysfunction dengan Teknik Pasien terlentang dalam posisi
comfortable. Praktikan selanjutnya secara pasif menggerakkan tungkai
pasien yang dites kearah fleksi knee dengan menempatkan ankle diatas
knee pada tungkai pasien yang satunya. Praktikan kemudian memfiksasi
SIAS pasien pada tungkai yang tidak di tes dengan menggunakan satu
tangan dan tangan satunya pada sisi medial knee pasien yang dites, lalu
menekan tungkai pasien kearah abduksi. yang interpretasinya yaitu
Positif nyeri pada bagian hip, lumbar, dan atau SIJ.
b. SLR Test
Tes ini dikenal juga dengan Laseque’s test. Tes ini dilakukan untuk
meregangkan saraf sciatic pada pasien Ischialgia di level L4-L5 atau L5-
S1  yang menyebabkan tekanan pada akar saraf L5 atau S1 (Gross,
2009). Tes ini dilakukan dengan cara pasif, posisi pasien tidur telentang

20
dengan tungkai lurus normal, hip medial rotasi dan adduksi, lutut
ekstensi, setelah itu terapis memfleksikan atau mengangkat tungkai
antara 350-700 tersebut sampai pasien mengeluh nyeri atau kaku di
posterior paha (Magee, 2006). Hasil dikatakan positif bila timbul rasa
nyeri sepanjang perjalanan saraf iskhiadikus dan kemungkinan ada
penekanan pada akar saraf, bila tes negatif kemungkinan penekanan
akar saraf kecil (Tjokorda, 2009). Namun dalam penderita nyeri
punggung bawah miogenik  hasil tes ini negatif, karena tidak ada
keterlibatan radik vertebra (Willms, 2005).
c. Palpasi
Palpasi merupakan cara pemeriksaan dengan cara meraba, menekan
dan memegang organ atau bagian tubuh pasien dimana untuk
mengetahui adanya nyeri tekan, spasme otot, suhu local, tonus otot, dan
oedema.
d. Palpasi tenderness
e. Femoral Stretch Test
f. Kompresi Test
g. Anti Patrick Test
h. Dermatom Test
i. Myotom Test
4. Pengukuran Fisioterapi
a. Visual Analog Scale (VAS)
Vas digunakan untuk mengukur kwantitas dan kwalitas nyeri yang
pasien rasakan, dengan menampilkan suatu kategorisasi nyeri mulai dari
”tidak nyeri, ringan, sedang atau berat” . Secara operasional VAS umumnya
berupa garis horizontal atau vertical, panjang 10 cm seperti yang di
ilustrasikan pada gambar. Pasien menandai garis dengan menandai sebuah
titik yang mewakili keadaan nyeri yang di rasakan pasien saat ini.
Kriteria Visiual analog scale (VAS)
o Skala 0, tidak nyeri

21
o Skala 1, nyeri sangat ringan
o Skala 2, nyeri ringan. Ada sensasi seperti dicubit, namun tidak
begitu sakit
o Skala 3, nyeri sudah mulai terasa, namun masih bisa ditoleransi
o Skala 4, nyeri cukup mengganggu (contoh: nyeri sakit gigi)
o Skala 5, nyeri benar-benar mengganggu dan tidak bisa didiamkan
dalam waktu lama
o Skala 6, nyeri sudah sampai tahap mengganggu indera, terutama
indera penglihatan
o Skala 7, nyeri sudah membuat Anda tidak bisa melakukan aktivitas
o Skala 8, nyeri mengakibatkan Anda tidak bisa berpikir jernih,
bahkan terjadi perubahan perilaku
o Skala 9, nyeri mengakibatkan Anda menjerit-jerit dan
menginginkan cara apapun untuk menyembuhkan nyeri
o Skala 10, nyeri berada di tahap yang paling parah dan bisa
menyebabkan Anda tak sadarkan diri
C. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi
1. Micro Wave Diathermy (MWD)
a. Definisi MWD
Sugijanto (2007) mengemukakan Microwave Diathermy (MWD)
merupakan suatu pengobatan menggunakan stressor fisis berupa energi
elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus bolak-balik frekuensi 2450 MHz
dengan panjang gelombang 12,25 cm.
b. Efek Fisiologi
Efek fisiologis yang ditimbulkan dari Microwave Diathermy adalah
perubahan temperatur menyebabkan reaksi lokal jaringan yang dapat
meningkatkan metabolisme sel-sel local ± 13% tiap kenaikan temperatur 1˚C,
juga dapat meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul homeostatic
lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal.

22
Reaksi general, mungkin dapat terjadi kenaikan temperatur, tetapi
perlu dipertimbangkan karena penetrasinya dangkal ± 3 cm dan aplikasinya
lokal. Consensual efek menyebabkan timbulnya respon panas pada sisi
kontralateral dari segmen yang sama.
Pada jaringan ikat dapat meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih
baik seperti jaringan collagen kulit, otot, tendon, ligamen, dan kapsul sendi
akibat menurunnya viskositas matriks jaringan tanpa menambah panjang
matriks, tetapi terbatas pada jaringan ikat yang letak kedalamannya ± 3 cm.
Pada jaringan otot dapat meningkatkan elastisitas jaringan otot dan
menurunkan tonus melalui normalisasi nocicencorik. Sedangkan pada jaringan
saraf dapat meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf,
meningkatkan konduktivitas serta ambang rangsang saraf.

c. Efek Trapeutik
Efek terapeutiknya dapat meningkatkan proses perbaikan atau reparasi
jaringan secara fisiologis. Menurunkan nyeri, normalisasi tonus otot melalui
efek sedatif, serta perbaikan metabolisme. Dengan peningkatan elastisitas
jaringan lemak, maka dapat mengurangi proses kontraktur jaringan.
d. Indikasi MWD
Alat Microwave Diathermy (MWD) memiliki indikasi sebagai berikut :
Kondisi inflamasi subakut dan kronik, spasme otot, jaringan colagen, kelainan
tulang, sendi, otot, kelainan saraf perifer. Ini dimaksudkan sebagai persiapan
sebelum pemberian latihan. Apabila elastisitas dan threshold jaringan saraf
semakin membaik, maka konduktivitas jaringan saraf akan membaik pula,
proses ini melalui efek fisiologis.
e. Kontraindikasi
Adapun kontraindikasi Microwave Diathermy Seperti yang
dikemukakan Sugijanto (2007) mengenai kontra indikasi alat Microwave
Diathermy adalah sebagai berikut : Pemakaian implant pacemaker, metal di
dalam jaringan dan permukaan jaringan, gangguan sensasi panas, pendarahan,

23
malignant tumor,trombosis vena, pasien dengangangguan kontrol gerakan
atau tidakbisa bekerja sama.
f. Mekanisme Penurunan Nyeri Dengan Microwave Diathermy (MWD)
Sugijanto (2007) menjelaskan bahwa perubahan temperatur lebih
terkonsentrasi pada jaringan otot, sebab jaringan otot lebih banyak
mengandung cairan dan darah. Karena efek sedatifnya dapat mengurangi nyeri
melalui stimulasi sekunder pada saraf afferent. Namun selain itu efek
sekunder dari serabut saraf afferent dapat mempengaruhi ujung serabut saraf
pada spindle otot dan tendon golgi, yang akan mempengaruhi inhibisi terharap
motor neuron sehingga akan mengurangi spasme (ketegangan) pada otot.
Dengan berkurangnya spasme otot tersebut diharapkan otot tersebut
diharapkan otot dapat berfungsi kembali, efek lain adalah meningkatkan
metabolisme sehingga dapat menurunkan nyeri akibat iskemia jaringan.
g. Prosedur Pelaksanaan
1) Posisi pasien diatur senyaman mungkin sesuai dengan arah yang akan
disinari. Untuk pasien LBP biasanya adalah posisi tengkurap.
2) Persiapan alat : tes alat, pre pemanasan alat 5-10 menit
3) Persiapan pasien : bebaskan pasien dari pakaian dan logam, posisikan
pasien senyaman mungkin, tes sensibilitas pasien, jarak alat 5-10 cm dari
kulit, durasi 8-10 menit, alat 2456 MHz, frekuensi terapi 2x/minggu,
intensitas 50-100 watt tergantung toleransi pasien.
2. TENS (Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation)
a. Definisi TENS
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah
perangsangan saraf secara elektris melalui kulit. Dua pasang elektroda yang
berperekat dipasang pada punggung, dikedua sisi dari tulang punggung.
Elektroda ini dihubungkan dengan sebuah kotak kecil yang mempunyai
tombol-tombol putar dan tekan. Tombol putar mengendalikan kekuatan dan
frekuensi denyut listrik yang dihasilkan oleh mesin. Denyut ini menghambat
pesan nyeri yang dikirim ke otak dari rahim dan leher rahim serta merangsang

24
tubuh mengeluarkan bahan pereda nyeri alaminya, yaitu endorfin. Penelitian
menunjukkan bahwa TENS paling efektif meredakan nyeri (Nolan, 2004).
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah
penerapan arus listrik melalui kulit untuk kontrol rasa sakit, dihubungkan
dengan kulit menggunakan dua atau lebih elektroda, diterapkan pada frekuensi
tinggi (>50Hz) atau frekuensi rendah (<10Hz) dengan intensitas yang
menghasilkan sensasi getar (Robinson, 2008).
b. Indikasi TENS
a) Pada kondisi akut: nyeri pasca operasi, nyeri sewaktu melahirkan, nyeri
haid (dysmenorrhea), nyeri musculosceletal, dan nyeri akibat patah tulang.
b) Nyeri yang berhubungan dengan penanganan kasus gigi.
c) Pada kondisi kronik: nyeri punggung bawah, arthritis, nyeri punting dan
nyeri phantom, neuralgia pasca herpetic, neuralgia trigeminal.
d) Injuri saraf tepi.
e) Angina pectoris.
f) Nyeri fascial.
g) Nyeri tulang akibat metastase.
c. Kontraindikasi TENS
a) Penyakit vaskuler.
b) Adanya kecenderungan perdarahan.
c) Keganasan pada area yang diterapi.
d) Pasien beralat pacu jantung.
e) Kehamilan, apabila terapi diberikan pada area pungggung dan abdomen.
f) Luka terbuka yang sangat lebar.
g) Kondisi infeksi.
h) Pasien yang mengalami gangguan hambatan komunikasi.
i) Kondisi dermatologi. (Amelia, 2014).
Mekanisme kerja TENS adalah dengan pengaturan neuromodulasi
seperti penghambatan pre sinaps pada medula spinalis, pelepasan endorfin
yang merupakan analgesik alami dalam tubuh dan penghambat langsung pada

25
saraf yang terserang secara abnormal. Mekanisme analgesia TENS adalah
stimulasi elektrik akan mengurangi nyeri dengan menghambat nosiseptif pada
pre sinaps. Stimulasi elektrik akan mengaktifkan serabut saraf bermyelin yang
akan menahan perambatan nosisepsi pada serabut C tak bermyelin ke sel T
yang berada di substansia gelatinosa pada cornu posterior yang akan
diteruskan ke cortex cerebri dan talamus. Pada pemberian TENS juga akan
terjadi peningkatan beta – endorphin dan met – encephalin yang
memperlihatkan efek antinosiseptif (Susilo, 2010).
TENS merupakan suatu cara penggunaan energi listrik untuk
merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit. Pada kasus low back pain
karena spasme musculus erector spine ini menggunakan TENS dengan
mekanisme segmental, karena dengan mekanisme ini akan memblokir nyeri,
yang nanti nya akan menghasilkan efek anagesia dengan jalan mengaktifkan
serabut A beta yang selanjutnya akan menginhibisi neuron nosiseptif di kornu
dorsalis medula spinalis.
Menurut Parjoto (2006) Spesifikasi mekanisme konvensional yang
merangsang serabut syaraf segmental yaitu mengaktivasi syaraf diameter
besar, yang mengaktivassi serabut A beta, dan menimbulkan paraestesia yang
kuat dan menimbulkan sedikit kontraksi. Dengan menggunakan frekuensi
tinggi (10 – 200 pps/hz), intensitas yang rendah dan berpola kontinyu.
d. Prosedur Pelaksanaan
Posisikan pasien diatur senyaman mungkin sesuai dengan arah yang
akan dipasangkan pad/elektroda. Untuk pasien low back pain biasanya adalah
posisi tengkurap. Kemudian letakkan pad/elektroda pada titik nyeri yang
dirasakan pasien dengan dosis sebagai berikut :
Dosis : Frekuensi : 2x Seminggu
Intensitas : Sesuai toleransi pasien
Waktu : 10 menit
Teknik : Asimetric Byphasic

26
3. Stretching M. Erector Spine
Manfaat penguluran M. Erector Spine yaitu memberikan relaksasi otot
melalui pembakaran golgi tendon organ (GTO) yang terletak pada tendon otot.
Dengan relaksasinya otot, maka spasme otot akan menurun kemudian nyeri
akan berkurang.

4. MET (Muscle Energy Technique)


Muscle Energy Technique (MET) adalah bentuk terapi manual yang
menggunakan energi otot sendiri dalam bentuk kontraksi isometrik yang lembut
untuk mengendurkan otot melalui penghambatan autogenik atau timbal balik,
dan memperpanjang otot. Dibandingkan dengan peregangan statis yang
merupakan teknik pasif di mana terapis melakukan semua pekerjaan, MET
adalah teknik aktif di mana pasien juga merupakan peserta aktif. MET
didasarkan pada konsep Autogenic Inhibition dan Reciprocal Inhibition. Jika
kontraksi sub-maksimal otot diikuti oleh peregangan otot yang sama dikenal
sebagai Autogenic Inhibition MET, dan jika kontraksi submaksimal otot diikuti
oleh peregangan otot yang berlawanan maka ini dikenal sebagai Reciprocal
Inhibition MET.
Tujuan dari teknik ini adalah untuk treatment pada kondisi
musculoskeletal seperti nyeri, muscle spasm dan kontraktur. Teknik ini
merupakan variasi dari isometric, isotonic, dan isokinetic. Prinsip teknik ini
yaitu neurophysiological, cara kerja teknik ini adalah otot otomatis relaksasi
setelah diberikan kontraksi.
5. Traksi Lumbal
Traksi lumbal adalah sebuah alat dengan tenaga mekanik ataupun manual
dengan cara kerja yaitu dengan cara memisahkan atau melonggarkan sendi dan
jaringan lunak (Cameron, 1999).
a. Teknik aplikasi traksi lumbal

27
Teknik dalam aplikasi traksi ada dua cara yaitu statik dan intermiten. Dalam
penelitian ini prosedur penggunaan tehnik aplikasi traksi lumbal adalah
sebagai berikut :
a) Penentuan alat
Menggunakan traksi elektrik dengan perangkat semi computer digital.
b) Posisi pasien
Posisi yang umum adalah tidur terlantang dalam sedikit paha fleksi 85
derajat dan eksorotasi 10-15 derajat serta lutut dalam keadaan fleksi 85-
90 derajat (Thamrin, 1991 dikutp oleh Hartini, 2007)
c) Alat pengikat
Menggunakan alat pengikat punggung berupa sabuk (pelvic belt) yang
diikatkan di atas krista iliaka dan dihubungkan ke mesin traksi serta
fiksasi pada tubuh bagian atas untuk menghindari bagian atas untuk
tertariknya tubuh ke bawah akibat tarikan lumbal.
b. Mekanisme traksi lumbal
Mekanisme traksi lumbal dengan teknik intermiten dapat menurunkan nyeri
oleh stimulasi dari mekanoreseptor oleh adanya oscillatory movements yang
dapat mengaktifkan serabut aferen berdiamter besar sehingga diperoleh
penutupan dari spinal gate (Cameron, 1999 dan Mardiman, 2001). Traksi
dengan teknik intermiten juga dapat merileksasikan otot-otot punggung
bawah dengan stimulasi dari golgi tendon organs (GTOs) untuk
menginhibisi alfa motor neuron sehingga menurunkan spasme otot
(Cameron, 1999).
Johnstan (1986) dan Cryax (1982) dikutip oleh Cameron (1999) tarikan
yang dihasilkan oleh traksi lumbal dengan kekuatan tarikan 50% berat badan
akan mengurangi penekanan pada permukaan dari sendi faset apabila ada
gangguan atau distraksi pada sendi faset yang menekan pada akar syaraf
spinalis, dan dapat direkomendasikan untuk kasus HNP ringan.

c. Kontraindikasi dari traksi lumbal

28
Kontra indikasi dari pemberian traksi lumbal menurut Dellito (1990) dikutip
oleh Cameron (1999) adalah : (1) kondisi trauma akut atau inflamasi (2)
hipermobilitas atau instabilitas (3) hipertensi yang tidak terkontrol (4)
fraktur (5) osteoporosis (6) spondilosis (7) selama proses terapi keluhan
nyeri bertambah sehingga dalam pengaplikasian traksi lumbal terapis harus
selalu melakukan monitoring.
6. Terapi Latihan (Mc. Kenzie Exercise)
Teknik Mc. Kenzie adalah suatu bentuk latihan aktif yang bertujuan untuk
mengurangi nyeri pinggang. Program latihan Mc. Kenzie diperkenalkan oleh
Robin Mc. Kenzie pada tahun 1960-an. Selama tahun 1960-an, Mc. Kenzie
mengembangkan pemeriksaan dan pengobatan untuk gangguan spinal, yang
sekarang dikenal seluruh dunia sebagai penemu dan pengobatan NPB.
Pemeliharaan postur yang baik dan latigan dapat membantu mengurangi
nyeri. Teknik Mc. Kenzie dapat membantu memulihkan kondisi pasien dan
dangat membnatu nyeri yang berulang-ulang. Prinsip dari metode Mc. Kenzie
melibatkan pemahaman tentang cervical spine dan lumbal spine yang memiliki
kurva, yang dikenal sebagai kurva cervical atau lumbal akan mengalami distprsi
dan spine akan menjadi lebih tegang. Keadaan ini dapat menyebabkan strain
pada otot-otot cervical atau otot-otot lumbal. Dengan menggunakan metode
Mc. Kenzie maka kurva lordosis lumbal dapat dikembalikan ke posisi normal.
Koreksi postural dan pemeliharaan postur yang benar akan selalu disertai
dengan latihan. Bahkan ketika anda mengalami nyeri pinggang yang ringan dan
perlu istirahat, maka kebiasaan postur yang baik adalah hal yang esensial untuk
mencegah problem kambuh lagi.
Latihan-latihan ini didesain untuk mempercepat pengaruhnya terhadap
nyeri. Efek-efek latihan ini dapat meningkaykan nyeri atau menurunkan nyeri
atau menyebankan perubahan nyeri pada lokasinya. Untuk menentukan apakah
program latihan bekerja secara efektif maka sangatlah penting anda lebih teliti
mongobservasi suatu perubahan dalam intensitas atau lokasi nyerinya
( Anonim,2007).

29
a. Tujuan Mc. Kenzie
Adapun tujuan Mc. Kenzie antara lain :
1) Mengurangi nyeri dan ketegangan otot.
2) Menambah jarak gerak sndi (ROM) dari lumbal
3) Mengembalikan/koreksi terhadap sikap tubuh/ postur.
4) Mengembalikan fungsi.
b. Indikasi dan Kontra Indikasi teknik Mc. Kenzie
1) Indikasi
a) Spasme otot erector spine.
b) Nyeri gerak fleksi
c) Keterbatasan gerak fleksi
d) Gangguan diskus
2) Kontra indikasi
a) Fraktur
b) Ada dislokasi atau sublukasi
c) Terdapat sejala peradangan atau infeksi akut pada daerah sekitar
sendi.
d) Terdapat gejala osteoporosis
c. Proses Fisiologi Teknik Mc. Kenzie Dapat Mengurangi Nyeri
Pada kondisi nyeri dengan aktualotas tinggi sering mengalami kesulitan
dalam melakukan gerakan sehingga pemberian latihan seperti Mc. Kenzie
exercise harus dilakukan dengan hati-hati. Pada umumnta nyeri meningkat
pada tahap awal latihan. Kemdian pada saat pasien melakukan latihan Mc.
Kenzie exercise secara kontiyu maka nyeri secara perlahan dan bertahap
akan turun. Hal ini biasanya terjadi selam sessio latihan pertama dan
kemudia akan diikuti oleh nyeri yang terpusat.
Penurunan nyeri melalui teknik Mc.Kenzie dihasilkan oleh adanya efek
gerak sendi dan otot, akan menghasilkan efek gerak pada facet joint
( intervertebral joint). Efek gerakan tersebut dapat merangsang akticitas
mekanoreceptor. Dimana aktifitas dari mekanorceptor dapat menginhibisi

30
transmisi stimulus nociseptif pada medulla spinalis ( gate control theory ).
Disamping itu, metode gerakan pada Mc. Kenzie dapat menormalkan kurva
lordosis cervical sehingga dapat menurunkan beban strain pada otot dan
akhirya ketegangan otot akan menurun.
Prosedur pelaksanaan dari program latihan Mc. Kenzie adalah sebagai
berikut :
1) Tidur tengkurap dengan kepala memoleh ke satu sisi kedua tangan
relaks di samping badan. Dalam posisi tersebut, lakukan deep breathing
kemudia relaks secara sempirna selama 4-5 menit. Latihan ini terutama
digunakan dalam pengobatan akut nyeri pinggang, dilakukan pada awal
dari setiap latihan.

2) Posisi pasien tengkurap, dengan kedua elbow menyangga badan. Selama


latihan ini dilakukan deep breathing kemudia relaksasikan otot-otot
pinggang secara sempurna. Lakukan latiha ini selama 5 menit. Latian 2
terutama digunakan dalam pengibatan low back pain berat.

31
3) Posisi pasien tengkurap, kemudian kedua lengan di bawah sholder
dalam posisi menyangga badan. Kemudia luruskan kedua elbow dengan
mendiring badan ke atas sejauh mungkin sehingga nyeri berkurang.
Posisi ini penting untuk merelaksasikan pelvis, hip dan tingkai secara
sempurna. Pertahankan posisi tersebut selama 2 detik sehingga regio
pinggang terasa lentur/ longgar dan dilakukan 10 kali pengulangan.
Latihan ini
sangat
berguna dan
efektif
dalam
pengobatan
akut low
back pain dan stiffness.

4) Beridiri tegak dengan kedua kaki sedikit membuka. Letakkan kedua


tangan pada pinggang dengan jari-jari menghadap ke belakang.
Kemudia ektensikan trunk sejauh mungkin dengan kedua tangan sebagai
fulcrum ( knee harus tetap lurus ). Pertahankan latihan ini dapat
diberikan setelah mengalami recvery low back pain, jaringan diberikan
pada akut LBP.

32
5) Posisi pasien tidur terlentang kemudian bengkokkan kedua lutut dan
kedua kaki datar pada lantai. Kemudian bawa kedua lutut ke arah dada
denga bantuan kedua tangannya secara perlahan selama 2 detik dan
kembali ke posisi semula jangan menaikkan kepala atau meluruskan
tungkai dan ulangi sebanyak 5-6 kali. Latihan ini dugunakan pada

pengobatan stiffness low back pain.

6) Posisi pasien duduk di kursi atau stool dengan kedua lutut dan kaki
terbuka dan kedua tangan bersandar di atas kedua tungkai. Kemusa
bengkokkan trunk ke depan sehingga keuda tangan menyentuh laintai.
Kembali ke posisi awal dan ulangi sebanya 5-6 kali. Latihan ini menjadi
lebih efektif dengan kedua tangan pada ankle dan mengkokkan trunk
sejauh mungkin. Latihan 6 hanya dilakukan setelah 1 minggu melakukan
latihan 5.

33
7. Bugnet Exercise
Bugnet exercises (terapi tahanan sikap) adalah metode pengobatan
berdasarkan kesanggupan dan kecenderungan manusia untuk mempertahankan
sikap badan melawan kekuatan dari luar. Kemampuan mempertahankan sikap
tubuh melibatkan aktivitas sensomotorik dan mekanisme refleks sikap. Aktivitas
motorik terapi ini bersifat umum yang diikuti oleh fungsi sensorik untuk
bereaksi mempertahankan sikap tubuh. Tujuan terapi ini:
 Memelihara dan meningkatkan kualitas postur tubuh dan gerakan tubuh
 Mengoreksi sikap tubuh yang mengalami kelainan
 Memelihara dan meningkatkan kekuatan dan kemampuan fisik dan psikis
sehingga tidak mudah lelah melalui perbaikan sirkulasi darah dan
pernafasan.
 Mengurangi nyeri
8. Strengthening ABD & ADD
Penguatan pada otot-otot abduktoren dan adduktoren untuk mobilisasi
simpisis pubis dan SIJ dengan teknik isometric. Dengan teknik isometric
tersebut mampu meningkatkan kekuatan otot abduktoren dan adduktoren. Dan
sebagai muscle relax tone pada region pelvic.
9. Bridging Exercise
Bridging exercise merupakan latihan untuk meningkatkan kekuoatan otot
hip, ekstensor, dan promotor stabilitas trunk. Latihan ini ditujukan untuk pasien
dengan keluhan nyeri punggung bawah dan meningkatkan aktivitas stabilisasi

34
muscle trunk seperti internal oblique, eksternal oblique, dan erector spine
muscle.
10. Tapping
Tujuannya yaitu untuk menurunkan nyeri, mengangkat jaringan yang
mengalami adhesive, serta berguna untuk mengatasi masalah diskus
intervertebral dengan adanya efek recoil pada tapping tersebut.

35
BAB III
PROSES FISIOTERAPI

A. Data-Data Medis Rumah Sakit


Diagnosa medis : HNP
B. Identitas Umum Pasien
Nama : Tn I
Umur : 30 Tahun
Alamat : Toddoppuli
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama :-
Pekerjaan : Wiraswasta
C. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Nyeri pada punggung hingga ke tungkai pada bagian kiri,
nyeri pasien terasa pada saat duduk terlalu lama, shalat dan
batuk. Pada saat nyeri dirasakan selama beberapa minggu.
Sifat keluhan : Nyeri Menjalar (Radicular Pain)
RPP : Pernah mengalami jatuh sekitar satu bulan sebelumnya
pada saat bermain futsal hingga nyeri pada bagian pantat
selama satu jam, dan tetap melanjutkan permainan selama
beberapa kali setelah terjatuhnya pasien. Tidak ada riwayat
penyakit terdahulu yang berkaitan dengan penyakit
sekarang, tidak ada riwayat penyakit penyerta dan tidak ada
riwayat penyakit pribadi dan keluarga dengan kasus yang
sama.
D. Pemeriksaan Vital Sign
 Tekanan Darah : 110/70 Mmhg
 Denyut Nadi : 62x/menit
 Suhu : (-)/(-)
E. Inspeksi/Observasi
1. Statis
 Wajah pasien terlihat cemas

36
 Shoulder asimetris
 SIAS asimetris
 Antalgic position (tubuh lebih dominan ke arah yang sehat)
2. Dinamis
 Berdiri jongkok tidak dapat dilakukan karena adanya nyeri
 Gerakan membungkuk dilakukan dan ada nyeri
 Gait analysis DBN
F. PemeriksaanFungsi Gerak Dasar
 Lumbal
GERAKN AKTIF PASIF TIMT
Fleksi Lumbal Terbatas Terbatas Mampu
karena ada dilakukan
nyeri sebatas nyeri
Ekstensi Lumbal DBN DBN DBN
Lateral Fleksi Lumbal Sinistra DBN DBN DBN
Lateral Fleksi Lumbal Dextra DBN DBN DBN
Rotasi Lumbal Sinistra DBN DBN DBN
Rotasi Lumbal Dekstra DBN DBN DBN

G. Palpasi
Teknik :Cara pemeriksaan dengan cara meraba, menekan dan
memegang organ atau bagian tubuh pasien.
Hasil : Oedem : (-)/(-)
Kontur kulit : (-)/(-)
Tenderness : M. Erector spine sinistra

H. Pemeriksaan Spesifik
 Palpasi tenderness
Teknik : Pasien tengkurap dalam posisi comfortable. Praktikan
selanjutnya meraba, menekan bagian tubuh pasien.
Hasil : (+) Nyeri

 Femoral Stretch Test

37
Teknik :Pasien tengkurap dalam posisi comfortable. Praktikan
selanjutnya secara pasif menngerakkan tungkai pasien yang
dites kearah fleksi knee lalu melakukan gerakan ekstensi
hip.
Hasil : (-)
 Kompresi Test
Teknik :Pasien tengkurap dalam posisi comfortable. Praktikan
selanjutnya menekan bagian belakang pasien (lumbal).
Hasil :(+) Nyeri L4-S1
 SLR
Teknik :Tes ini dilakukan dengan cara pasif, posisi pasien tidur
telentang dengan tungkai lurus normal, hip medial rotasi dan
adduksi, lutut ekstensi, setelah itu terapis memfleksikan atau
mengangkat tungkai antara 350-700 tersebut sampai pasien
mengeluh nyeri atau kaku di posterior paha.
Hasil :(+)
 Patrick Test
Teknik :Pasien terlentang dalam posisi comfortable. Praktikan
selanjutnya secara pasif menggerakkan tungkai pasien yang
dites kearah fleksi knee dengan menempatkan ankle diatas
knee pada tungkai pasien yang satunya. Praktikan kemudian
memfiksasi SIAS pasien pada tungkai yang di tes dengan
menggunakan satu tangan dan tangan satunya pada sisi
medial knee pasien yang dites, lalu menekan tungkai pasien
kearah abduksi.
Hasil : (-)
 Anti Patrick Test
Teknik :Pasien terlentang dalam posisi comfortable. Praktikan
selanjutnya secara pasif menggerakkan tungkai pasien yang
dites kearah fleksi knee. Praktikan kemudian memfiksasi
SIAS pasien pada tungkai yg di tes dengan menggunakan

38
satu tangan dan tangan satunya pada sisi lateral knee pasien
yang di tes, lalu menekan tungkai pasien ke arah adduksi.
Hasil :(-)
 Dermatom Test
Teknik :Pasien terlentang dalam posisi comfortable. Praktikan
kemudian menggunakan sebuah benda yang terdapat titik
tajam dan tumpul. Kemudian mengaplikasikan benda
tersebut ke tungkai pasien dengan tujuan untuk mengetahui
pasien dapat membedakan benda yang menyentuh tubuh
pasien tumpul ataukah tajam.
Hasil :(-)
 Myotom Test
Teknik :Pasien terlentang dalam posisi comfortable. Praktikkan
kemudian berada pada ujung tungkai pasien dan
menginstruksikan pasien melakukan gerakan palmar, plantar
fleksi dan eversi dengan memberikan tahanan.
Hasil :(-)
I. Pengukuran
 Visual Analog Scale (VAS)

Tujuan : Untuk mengetahui derajat nyeri pasien


Hasil :
- Nyeri diam : 2
- Nyeri tekan : 6
- Nyeri gerak : 4
 ROM
- Fleksi-ekstensi : S = 60o.0o.30o

39
- Lateral fleksi : F = 30o.0o.30o
- Rotasi : T = 30o.0o.30o

J. Diagnosa
Gangguan Fungsional Pinggang Bawah Akibat HNP
K. Problematik
 Impairment :
 Nyeri gerak pada gerakan fleksi, rotasi kiri-kanan ,dan lateral flexi kiri-
kanan
 Nyeri tekan dan spasme otot
 Activity Limitation
 Berjalan lama
 Participation Rescriction
 Kesulitan dalam beribadah
L. Perencanaan Fisioterai
 Jangka pendek
- Mengurangi nyeri gerak dan nyeri tekan
- Mengurangi spasme
 Jangka panjang
- Mengembalikan fungsional lumbal
M. Intervensi Fisioterapi
a. Micro Wave Diathermi (MWD)
Efek thermal dari MWD dapat membuat kondisi jaringan sekitar menutup
karena efek panas yang dihasilkan. Fungsi lain dari MWD adalah
meningkatkan plastisitas connecitve tissue dan sebagai potensial untuk
mengoreksi kontraktur, menurunkan viskositas cairan dalam tubuh dan
meningkatkan mobilitas sendi serta mengubah velositas konduksi saraf
sehingga jaringan lebih siap untuk menerima latihan.
Tujuan : Untuk memperlancar sirkulasi darah dan mengurangi nyeri

40
b. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation ( TENS)
Penurunan tingkat nyeri didapat karena TENS konvensional menghasilkan
efek analgesia terutama melalui mekanisme segmental yaitu dengan jalan
mengaktivasi serabut A-β yang selanjutnya akan menginhibisi neuron
nosiseptif di kornu dorsalis medulla spinalis. Ini mengacu pada teori gerbang
control (Gate Control Therapy) yang menyatakan bahwa gerbang terdiri dari
sel internunsial yang bersifat inhibisi yang dikenal sebagai substansia
gelatinosa dan yanag terletak di kornu posterior dan sel T yang merelai
informasi dari pusat yang lebih tinggi.
Tujuan : untuk mereduksi nyeri
c. Stretching M. Erector Spine
Manfaat penguluran M. Erector Spine yaitu memberikan relaksasi otot
melalui pembakaran golgi tendon organ (GTO) yang terletak pada tendon otot.
Dengan relaksasinya otot, maka spasme otot akan menurun kemudian nyeri
akan berkurang.
d. MET (Muscle Energy Technique)
Tujuan dari teknik ini adalah untuk menempatkan pada kondisi
musculoskeletal seperti nyeri, muscle spasm dan kontraktur. Teknik ini
merupakan variasi dari isometric, isotonic, dan isokinetic. Prinsip teknik ini
yaitu neurophysiological, cara kerja teknik ini adalah otot otomatis relaksasi
setelah diberikan kontraksi.
e. Traksi Lumbal
Traksi lumbal menghasilkan efek pressure negatif di dalam diskus.
Dengan cara ini dapat menarik hernia yang merupakan bagian dari diskus
sehingga mampu menghilangkan tekanan pada akar saraf yang menghasilkan
nyeri menjalar hingga ke tungkai.
f. Mc. Kenzie Exercise
Latihan ini menyebabkan terjadinya penekanan di titik tertentu daerah
vertebra sehingga mengurangi jarak antara vertebra dan menekan nukleus
diskus atau mendorong ke tempat semula menyebabkan pergerakan nukleus

41
akan lebih mudah karena diskus bergerak maju sehingga mengurangi dan
menghilangkan tonjolan di posterior dan menyebabkan nyeri berkurang.
g. Bugnet Exercise
Latihan ini bertujuann untuk mengontrol posisi tubuh sebagai pusat
stabilisasi dan orientasi. Ada studi yang mengatakan bahwa posturl kontrol
sebagai interaksi kompleks antara tujuh komponen yaitu neuromuscular
sinergy, internal representation, adpative mechanism (postural reaktif), sensory
strategist, system individual sensoric dan komponen muskuloskeletal.
h. Strengthening ABD & ADD
Penguatan pada otot-otot abduktoren dan adduktoren untuk mobilisasi
simpisis pubis dan SIJ dengan teknik isometric. Dengan teknik isometric
tersebut mampu meningkatkan kekuatan otot abduktoren dan adduktoren. Dan
sebagai muscle relax tone pada region pelvic.
i. Bridging Exercise
Bridging exercise merupakan latihan untuk meningkatkan kekuoatan otot
hip, ekstensor, dan promotor stabilitas trunk. Latihan ini ditujukan untuk pasien
dengan keluhan nyeri punggung bawah dan meningkatkan aktivitas stabilisasi
muscle trunk seperti internal oblique, eksternal oblique, dan erector spine
muscle.
j. Tapping
Tujuannya yaitu untuk menurunkan nyeri, mengangkat jaringan yang
mengalami adhesive, serta berguna untuk mengatasi masalah diskus
intervertebral dengan adanya efek recoil pada tapping tersebut.

N. Evaluasi
- Subjektif
- pasien merasa sudah ada perubahan
- Objektif
- Nyeri berkurang
- Spasme berkurang

42
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) atau yang sering disebut saraf kejepit
adalah suatu tanda atau gejala yang diakibatkan oleh degenerasi diskus
intervertebralis bagian lumbar, atau gambaran klinis yang terjadi akibat adanya
perubahan proses degenerasi pada diskus intervertebralis lumbar bagian dalam
anulus fibrosus. Kerusakan diskus bagian dalam akibat adanya perubahan-
perubahan proses degenerasi sering dikaitkan dengan proses degenerasi, kesalahan
dalam beraktivitas, trauma dan sebagainya (Budi Susanto, 2015).
HNP dapat ditangani oleh fisioterapis dengan menggunakan beberapa
modalitas seperti Dhiatermy, Tens, terapi latihan dan terapi manual.
B. Saran
 HNP memiliki prognosis yang baik jika ditangani sedini mungkin dengan
penanganan yang sesuai
 Pasien disarankan menghindari gerakan/posisi yang memprovokasi
timbulnya nyeri seperti gerakan fleksi lumbal

43
DAFTAR PUSTAKA
Aras, Djohan. 2013. Tes Spesifik Muskuloskeletal Disorder. Makassar PhysioCare
Publishing.

Ciaccio, E. Di, dkk. 2012. ‘’Herniated Lumbar Disc Treated With Global Postural
Reeducation. A Middle-term Evaluation’’. European Review For Medical ana
Pharmalogical Sciences. 16:1072-1077.

Dutton, Mark. 2002. Manual Therapy of The Spine An Intergated Approach. United States
of America: Mc. Graw-Hill.

Heliovaara,M., Paul, K., Arpo, A.2007.Incidence and risk factors of herniated lumbar
intervertebral disc or sciatica leading to hospitalization. Journal of Chronic
Disease: Vol.40; page 251-258.

Bandy, Reese. 2010. Joint Range of Motion and Muscle Length Testing . Second Edition.
Missouri: St Louis.

Herling, D dan Randolph, M.K. 2006. Management of Common Musculoscletal Disorder:


Physical Therapy Principles and Methods. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins. PP: 420

Helmi, Zairin Noor (2012). Buku Ajar Gangguan Musculoscletal. Jakarta: Salemba
Medika.

Jordan, J et al. 2006, Herniated Lumbar Disk, American Academy of Family Physicins.
BMJ Publishing Group, UK, diakses pada 8 April 2020,
http://www.aaafp.org/afp/2006/p1240.html

Kisner, Carolyn. & Colby, Lynn Allen. 2012. Therapeutic Exercise Foundations and
Techniques. Sixth Edition. Unted States of America: F. A. Davis Company.

Kisner, Carolyn. & Colby, Lynn Allen. 2012. Therapeutic Exercise Foundations and
Techniques. Sixth Edition. Unted States of America: F. A. Davis Company.

Kuntono H.P. 2000. Manajement Nyeri Musculoscletal. Makalah disajikan dalam Temu
Ilmiah Tahunan Fisioterapi XV, Semarang.

Legaspi and Edmond. 2007. Lumbar Spine Coupled Motions: A Literature Review With
Clinical Implications.

Leksana, Jeffri S. 2013. Hernia Nukleus Pulposus Lumbal Ringan Pada Janda Lanjut Usia
Yang Tinggal Dengan Keponakan Dengan Usia Yang Sama. Lampung: Medula
Vol. 1 No. 2

44
Levangie, Pamela K., Norkin, Cynthia C. 2005. Joint Structure & Function. United Sates of
America: F. A. Davis

Magee, David J. 2008. Orthopedic Physical Assessment. Fifth Edition. Philadelphia:


Saunders Elsevier.

Netter, Frank H.ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25TH Edition. Jakarta : EGC. 2001.

Sarno. John E., M D. 2010. Healing Back Pain. Opos. Jakarta.

Setyanegara dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Schenk., Dana J Lawrence. 2005. Muscle Energy Technique. Fourth Edition. Chhurchill
Livingstone: Elsevier.

45

Anda mungkin juga menyukai