Anda di halaman 1dari 63

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA TN.

S DENGAN TINDAKAN
LAMINEKTOMI ATAS INDIKASI HNP DI INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

KOKO SENOAJI
NIM P07120721013

PROGAM STUDI ALIH JENJANG


SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diskus intervertebral dibentuk oleh dua komponen yaitu; nukleus pulposus
yang terdiri dari serabut halus dan longgar, berisi sel-sel fibroblast dan dibentuk
oleh anulus fibrosus yang mengelilingi nukleus pulposus yang terdiri dari jaringan
pengikat yang kuat.
Nyeri tulang belakang dapat dilihat pada hernia diskus intervertebral pada
daerah lumbosakral, hal ini biasa ditemukan dalam praktek neurologi. Hal ini biasa
berhubungan dengan beberapa luka pada tulang belakang atau oleh tekanan yang
berlebihan, biasanya disebabkan oleh karena mengangkat beban/ mengangkat
tekanan yang berlebihan (berat). Hernia diskus lebih banyak terjadi pada daerah
lumbosakral, juga dapat terjadi pada daerah servikal dan thorakal tapi kasusnya
jarang terjadi. HNP sangat jarang terjadi pada anak-anak dan remaja, tetapi terjadi
dengan umur setelah 20 tahun.
Menjebolnya (hernia) nucleus pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau di
bawahnya. Bisa juga menjebol langsung ke kanalis vertbralis. Menjebolnya
sebagian dari nucleus pulposus ke dalam korpus vertebra dapat dilihat dari foto
roentgen polos dan dikenal sebagai nodus Schmorl. Robekan sirkumferensial dan
radikal pada nucleus fibrosus diskus intervertebralis berikut dengan terbentuknya
nodus schomorl merupakan kelainan mendasari “low back pain” sub kronik atau
kronik yang kemudian disusun oleh nyeri sepanjang tungkai yang dikenal sebagai
khokalgia atau siatika.
HNP sering terjadi pada daerah L4-L5 dan L5 –S1 kemudian pada C5-C6
dan paling jarang terjadi pada daerah torakal, sangat jarang terjadi pada anak-anak
dan remaja tapi kejadiannya meningkat dengan umur setelah 20 tahun. Insiden
terbanyak adalah pada kasus Hernia Lumbo Sakral lebih dari 90 %, dan diikuti oleh
kasus Hernia Servikal 5-10 % .
Anestesi umum atau general anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa
nyeri atau sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat puli kembali
(reversibel). Komponen trias anestesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan
relaksasi otot.
Stadium anestesi umum meliputi “analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran”,
terhambatnya sensorik dan reflek otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk
menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai varisasi tersendiri
bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan dan keadaan secara klinis.
Anastetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu, batas
keamanan pemakain harus cukup lebar dengan efek sampoing yang sangat minimal.
Tidak satupun obat anestetik dapat memberikan efek yang diinginkan tanpa disertai
efek samping, bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu pada anestetik modren
selalu digunakan anestetik dalam bentuk kombinasi untuk mengurangi efek samping
yang tidak diharapkan.
Ada dua cara anestesi umum yang digunakan yaitu anestesi dengan
menggunakan gas atau cairan anestesi yang mudah menguap (volatile agent)
sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa
campuran gas ( dengan O2) dan konsentrasi zat anestetik itu tegantung dari tekanan
parsialnya. Yang ke dua yaitu anestesi intravena, selain untuk induksi juga dapat
digunakan untuk rumatan anestesi dan tambaan pada analgesisa. Obat – obat yang
sering digunakan yaitu : analgetika dan sedative , golongan OPIOID, obat induksi
dan relaksan.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana asuhan keperawatan anestesiologi pada pasien perioperatif HNP dengan
general anestesi?

1.3.Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan anstesiologi pada pasien HNP (Hernia Nucleus
Pulposus) dengan general anestesi
1.3.2 Tujuan Khusus
Mampu melakukan:
a. Pengkajian peri operatif anestesi
b. Merumuskan diagnosa keperawatan perioperatif general anestesi
c. Membuat rencana tindakan keperawatan perioperatif general anestesi
d. Melakuakan implementasi keperawatan perioperatif general anestesi
e. Mengevaluasi asuhan keperawatan perioperatif general anestesi
f. Mendokumentasi asuhan keperawatan perioperatif general anestesi
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Definisi HNP
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang disebabkan oleh
trauma atau perubahan degeneratif yang menyerang massa nukleus pada daerah
vertebra L4-L5, L5-S1, atau C5-C6 yang menimbulkan nyeri punggung bawah yang
berat, kronik dan berulang atau kambuh ( Doenges, 1999).
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah menonjolnya nukleus dari diskus ke
dalam anulus (cincin fibrosa sekitar diskus) dengan akibat kompresi saraf
( Smeltzer, 2001).
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah herniasi atau penonjolan keluar dari
nukleus pulposus yang terjadi karena adanya degenerasi atau trauma pada anulus
fibrosus ( Rasjad, 2003).
Herniasi adalah suatu proses bertahap yang ditandai dengan serangan-
serangan penekanan akar syaraf yang menimbulkan berbagai gejala dan periode
penyesuaian anatomik ( Price, 2005).
Nukleus Pulposus adalah bantalan seperti bola dibagian tengah diskus
(lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra).
(Smeltzer, 2001).
Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah
bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan
dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus
pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth,
2002)
Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa
juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990)
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang disebabkan
oleh proses degeneratif atau trauma yang ditandai dengan menonjolnya nukleus
pulposus dari diskus ke dalam anulus yang menimbulkan kompresi saraf sehingga
terjadi nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).
2.2.Anatomi Fisiologi Vertebrae
Tulang (belakang) pada batang punggung sepanjang punggung,
menghubungkan tengkorak dengan panggul. Tulang ini melindungi syaraf yang
menonjol pada otak dan menjalar kebawah punggung dan ke seluruh tubuh. tulang
belakang tersebut dipisahkan oleh piringan yang berisi bahan yang lembut, seperti
agar-agar, yang menyediakan batalan ke batang tulang belakang. Piringan ini bisa
hernia (bergerak keluar dari tempatnya) atau pecah karena luka berat atau tegangan.
Batang tulang belakang dibagi kedalam beberapa bagian-cervical tulang
belakang (leher), thoracic spine (bagian punggung dibelakang dada), lumbar tulang
belakang (punggung bagian bawah), dan sacral tulang belakang (bagian yang
dihubungkan dengan panggul yang tidak bisa bergerak).
Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah
bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan
dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus
pulposus.

2.3. Etiologi
Radiculopathy merujuk pada setiap penyakit yang mengenai pusat syaraf
tulang belakang. Herniated disk adalah salah satu penyebab radiculopathy (sciatica).
Kebanyakan hernia terjadi di bagian punggung bawah (daerah lumbar) pada
punggung. Lebih dari 80% piringan yang hernia terjadi di punggung bagian bawah.
Paling sering terjadi pada orang berusia 30 sampai 50 tahun. diantara usia ini,
pelindung tersebut melemah. Bagian dalam, yang dibawah tekanan tinggi, bisa
menekan melalui sebuah sobekan atau bintik yang melemahkan pada penutup dan
menonjol keluar. Setelah usia 50 tahun, bagian dalam piringan tersebut mulai
mengeras, membuat hernia sedikit mungkin. Sebuah piringan bisa sobek secara tiba-
tiba, luka trauma atau luka berulang. Obesitas ataupun mengangkat benda berat,
terutama mengangkat beban dengan posisi yang tidak semestinya dapat
meningkatkan resiko tersebut.
Lumbar disk herniation terjadi 15 kali lebih sering dibandingkancervical  disk
herniation, dan ini adalah salah satu penyebab yang paling umum pada nyeri
punggung belakang. Cervical disk mengenai 8% setiap kali dan upper-to-mid-back
disk (thoracic) hanya 1-2 % setiap kali.
Faktor Risiko
1. Faktor risiko yang tidak dapat dirubah
 Umur: makin bertambah umur risiko makin tinggi
 Jenis kelamin: laki-laki lebih banyak dari wanita
 Riwayat cedera punggung atau HNP sebelumnya
1. Faktor risiko yang dapat dirubah
 Pekerjaan dan aktivitas : duduk yang terlalu lama, mengangkat atau
menarik barang-barang berta, sering membungkuk atau gerakan memutar
pada punggung, latihan fisik yang berat, paparan pada vibrasi yang
konstan seperti supir.
 Olahraga yang tidak teratur, mulai latihan setelah lama tidak berlatih,
latihan yang berat dalam jangka waktu yang lama.
 Merokok. Nikotin dan racun-racun lain dapat mengganggu kemampuan
diskus untuk menyerap nutrien yang diperlukan dari dalam darah.
 Berat badan berlebihan, terutama beban ekstra di daerah perut dapat
menyebabkan strain pada punggung bawah.
 Batuk lama dan berulang

2.4. Klasifikasi
2.4.1. Hernia Lumbosacralis
Penyebab terjadinya lumbal menonjol keluar, bisanya oleh kejadian luka
posisi fleksi, tapi perbandingan yang sesungguhnya pada pasien non trauma adalah
kejadian yang berulang. Proses penyusutan nukleus pulposus pada ligamentum
longitudinal posterior dan annulus fibrosus dapat diam di tempat atau
ditunjukkan/dimanifestasikan dengan ringan, penyakit lumbal yang sering kambuh.
Bersin, gerakan tiba-tiba, biasa dapat menyebabkan nucleus pulposus prolaps,
mendorong ujungnya/jumbainya dan melemahkan anulus posterior. Pada kasus
berat penyakit sendi, nucleus menonjol keluar sampai anulus atau menjadi
“extruded” dan melintang sebagai potongan bebas pada canalis vertebralis. Lebih
sering, fragmen dari nucleus pulposus menonjol sampai pada celah anulus, biasanya
pada satu sisi atau lainnya (kadang-kadang ditengah), dimana mereka mengenai
menimpa sebuah serabut atau beberapa serabut syaraf. Tonjolan yang besar dapat
menekan serabut-serabut saraf melawan apophysis artikuler.
2.4.2. Hernia Servikalis
Keluhan utama nyeri radikuler pleksus servikobrakhialis. Penggerakan
kolumma vertebralis servikal menjadi terbatas, sedang kurvatural yang normal
menghilang. Otot-otot leher spastik, kaku kuduk, refleks biseps yang menurun atau
menghilang Hernia ini melibatkan sendi antara tulang belakang dari C5 dan C6 dan
diikuti C4 dan C5 atau C6 dan C7. Hernia ini menonjol keluar posterolateral
mengakibatkan tekanan pada pangkal syaraf. Hal ini menghasilkan nyeri radikal
yang mana selalu diawali gejala-gejala dan mengacu pada kerusakan kulit.
2.4.3. Hernia Thorakalis
Hernia ini jarang terjadi dan selalu berada digaris tengah hernia. Gejala-
gejalannya terdiri dari nyeri radikal pada tingkat lesi yang parastesis. Hernia dapat
menyebabkan melemahnya anggota tubuh bagian bawah, membuat kejang
paraparese kadang-kadang serangannya mendadak dengan paraparese.
Penonjolan pada sendi intervertebral toracal masih jarang terjadi (menurut
love dan schorm 0,5 % dari semua operasi menunjukkan penonjolan sendi). Pada
empat thoracal paling bawah atau tempat yang paling sering mengalami trauma
jatuh dengan posisi tumit atau bokong adalah faktor penyebab yang paling utama.

2.5. Patofisiologi
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) dapat disebabkan oleh proses degeneratif dan
trauma yang diakibatkan oleh ( jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti
mengangkat benda berat) yang berlangsung dalam waktu yang lama. Diskus
intervertebralis merupakan jaringan yang terletak antara kedua tulang vertebra, yang
dilingkari oleh anulus fibrosus yang terdiri atas jaringan konsentrik dan
fibrikartilago dimana didalamnya terdapat substansi setengah cair. Substansi inilah
yang dinamakan dengan Nukleus Pulposus yang mengandung berkas-berkas serat
kolagenosa, sel jaringan ikat, dan sel tulang rawan. Bahan ini berfungsi sebagai
peredam-kejut (shock absorver) antara korpus vertebra yang berdekatan, dan juga
berperan penting dalam pertukaran cairan antara diskus dan kapiler. Diskus
intervertebra ini membentuk sekitar seperempat dari panjang keseluruhan kolumna
vertebralis. Diskus paling tipis terletak di regio lumbalis. Seiring dengan
bertambahnya usia, kandungan air diskus berkurang (dari 90% pada masa bayi
menjadi 70% pada lanjut usia) dan diskus menjadi lebih tipis sehingga resiko
terjadinya HNP menjadi lebih besar. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus
menurunkan kandungan air nukleus pulposus.
Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan
pada herniasi nukleus.Selain itu serat-serat menjadi lebih kasar dan mengalami
hialinisasi,yang ikut berperan menimbulkan perubahan yang menyebabkan HNP
melalui anulus disertai penekanan saraf spinalis. Dalam herniasi diskus
intervertebralis, nukleus dari diskus menonjol kedalam anulus (cincin fibrosa sekitar
diskus) dengan akibat kompresi saraf. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus
menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang
menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setelah trauma
(jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat beban berat dalam
waktu yang lama) kartilago dapat cedera, kapsulnya mendorong kearah medulla
spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong
terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.
Sebagian besar herniasi diskus (proses bertahap yang ditandai serangan-
serangan penekanan akar saraf) terjadi di daerah lumbal di antara ruang lumbal IV
ke V (L4 ke L5), atau lumbal kelima (L5 ke S1), hal ini terjadi karena daerah inilah
yang paling berat menerima tumpuan berat badan kita pada saat beraktivitas. Arah
tersering herniasi bahan Nukleus pulposus adalah posterolateral. Karena akar saraf
daerah lumbal miring kebawah sewaktu keluar melalui foramen saraf, herniasi
diskus antara L5 dan S1 lebih mempengaruhi saraf S1 daripada L5. (Price, 2005) ,
(Brunner& Suddarth , 2001), (Rasjad, 2003).
Hernia Nukleus Pulposus yang menyerang vertebra lumbalis biasanya
menyebabkan nyeri punggung bawah yang hebat, mendesak, menetap beberapa jam
sampai beberapa minggu, rasa nyeri tersebut dapat bertambah hebat bila batuk,
bersin atau membungkuk, dan biasanya menjalar mulai dari punggung bawah ke
bokong sampai tungkai bawah. Parastesia yang hebat mugkin terjadi sesudah gejala
nyeri menurun, deformitas berupa hilangnya lordosis lumbal atau skoliosis,
mobilitas gerakan tulang belakang berkurang (pada stadium akut gerakan pada
bagian lumbal sangat terbatas, kemudian muncul nyeri pada saat ekstensi tulang
belakang), nyeri tekan pada daerah herniasi dan bokong (paravertebral), klien juga
biasanya berdiri dengan sedikit condong ke satu sisi.
Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus dapat meninbulkan komplikasi
antara lain berupa radiklitis (iritasi akar saraf), cedera medulla spinalis, parestese,
kelumpuhan pada tungkai bawah.

2.6. Manifestasi Klinis


Gejala utama yang muncul adalah rasa nyeri di punggung bawah disertai otot-
otot sekitar lesi dan nyeri tekan. Hal ini desebabkan oleh spasme otot-otot tersebut
dan spasme menyebabkan penekanan pada saraf, neuron saraf menjadi terjepit lalu
timbul reaksi zat kimia/bioaktif (serotonin , bradikinin dan prostaglandin). Zat-zat
tersebut merupakan reseptor nyeri sehingga timbul rasa nyeri pada diri pasien.
Dimana nyeri tersebut terjadi tergantung dimana piringan tersebut mengalami
herniasi dan dimana pusat syaraf tulang punggung terkena. Nyeri tersebut terasa
sepanjang lintasan syaraf yang tertekan oleh piringan yang turun berok. Misal,
piring hernia umumya menyebabkan sciatica. Nyeri tersebut bervariasi dari ringan
sampai melumpuhkan, dan gerakan memperhebat nyeri tersebut. kaku dan
kelemahan otot bisa juga terjadi. Jika tekanan pada pusat syaraf besar, kaki
kemungkinan lumpuh. Jika cauda equina (berkas syaraf melebar dari bagian bawah
tali tersebut) terkena, pengendalian kantung kemih dan isi perut bisa hilang. Jika
gejala-gejala serius ini terjadi, perawatan medis diperlukan dengan segera.
Pusat syaraf (syaraf besar yang bercabang keluar dari tali tulang belakang)
bisa menjadi tertekan mengakibatkan gejala-gejala neurological, seperti perubahan
sensor atau gerak.
Manifestasi klinis HNP tergantung dari radiks saraf yang lesi. Gejala klinis
yang paling sering adalah iskhialgia (nyeri radikuler sepanjang perjalanan nervus
iskhiadikus). Nyeri biasanya bersifat tajam seperti terbakar dan berdenyut menjalar
sampai di bawah lutut. Bila saraf sensorik yang besar (A beta) terkena akan timbul
gejala kesemutan atau rasa tebal sesuai dengan dermatomnya. Pada kasus berat
dapat terjadi kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon patela (KPR) dan Achills
(APR). Bila mengenai konus atau kauda ekuina dapat terjadi gangguan miksi,
defekasi dan fungsi seksual.
Sindrom kauda equina dimana terjadi saddle anasthesia sehingga
menyebabkan nyeri kaki bilateral, hilangnya sensasi perianal (anus), paralisis
kandung kemih, dan kelemahan sfingter ani. Sakit pinggang yang diderita pun akan
semakin parah jika duduk, membungkuk, mengangkat beban, batuk, meregangkan
badan, dan bergerak. Istirahat dan penggunaan analgetik akan menghilangkan sakit
yang diderita.
2.6.1. Henia Lumbosakralis
Gejala pertama biasanya low back pain yang mula-mula berlangsung dan
periodik kemudian menjadi konstan. Rasa nyeri di provokasi oleh posisi badan
tertentu, ketegangan hawa dingin dan lembab, pinggang terfikasi sehingga kadang-
kadang terdapat skoliosis. Gejala patognomonik adalah nyeri lokal pada tekanan
atau ketokan yang terbatas antara 2 prosesus spinosus dan disertai nyeri menjalar
kedalam gluteus dan tungkai. “Low back pain” ini disertai rasa nyeri yang menjalar
ke daerah iskhias sebelah tungkai (nyeri radikuler) dan secara refleks mengambil
sikap tertentu untuk mengatasi nyeri tersebut, sering dalam bentuk skilosis lumbal.
Syndrom Perkembangan lengkap syndrom sendi intervertebral lumbalis yang
prolaps terdiri :
1. Kekakuan/ketegangan, kelainan bentuk tulang belakang.
2. Nyeri radiasi pada paha, betis dan kaki
3. Kombinasi paresthesiasi,  lemah, dan kelemahan refleks.
Nyeri radikuler dibuktikan dengan cara sebagai berikut :
1. Cara Kamp. Hiperekstensi pinggang kemudian punggung diputar kejurusan
tungkai yang sakit, pada tungkai ini timbul nyeri.
2. Tess Naffziger. Penekanan pada vena jugularis bilateral.
3. Tes Lasegue. Tes Crossed Laseque yang positif dan Tes Gowers dan
Bragard yang positif.
Gejala-gejala radikuler lokasisasinya biasanya di bagian ventral tungkai atas dan
bawah. Refleks lutut sering rendah, kadang-kadang terjadi paresis dari muskulus
ekstensor kuadriseps dan muskulus ekstensor ibu jari.
2.6.2. Hernia servicalis
1. Parasthesi dan rasa sakit ditemukan di daerah extremitas (sevikobrachialis)
2. Atrofi di daerah biceps dan triceps
3. Refleks biceps yang menurun atau menghilang
4. Otot-otot leher spastik dan kaku kuduk.
2.6.3.  Hernia thorakalis
1. Nyeri radikal
2. Melemahnya anggota tubuh bagian bawah dapat menyebabkan kejang
paraparesis
3. Serangannya kadang-kadang mendadak dengan paraplegia

2.7. Pemeriksaan Diagnostik


1. Rontgen Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang
belakang dan ruang invertebratalis dan dapat digunakan untuk
mengesampingkan kecurigaan patologis lain seperti tumor atau osteomielitis.
2. MRI : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk
penyakit spinal lumbal, serta menunjukkan adanya perubahan tulang dan
jaringan lunak yang dapat memperkuat bukti adanya discus.
3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat
pada MRI. Mielogram menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara
spesifik.
4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus /
melihat adanya polineuropati. Pemeriksaan ini dapat melokolisasi lesi pada
tingkat akar saraf spinal utama yang terkena.
5. Venogram epidura : dilakukan pada kasus dimana keakuratan dari miogram
terbatas.
6. Pungsi lumbal : mengesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi,
adanya darah.
7. Tanda LeSeque : dengan mengangkat kaki lurus keatas,dapat mendukung
diagnosa awal dari herniasi diskus intervetebra ketika muncul nyeri pada
kaki posterior.
8. Pemeriksaan urine : menyingkirkan kelainan pada saluran kencing.
9. LED : menyingkirkan adanya diagnosa banding tumor ganas, infeksi, dan
penyakit Reumatik.

2.8. Penatalaksanaan 
Setelah sekitar 2 minggu, kebanyakan orang sembuh tanpa pengobatan
apapun. Memberikan kompres dingin (seperti ice pack) untuk nyeri yang akut dan
panas (seperti heating pad) untuk nyeri yang kronik. Dapat pula menggunakan
analgesik OTC bisa membantu meringankan nyeri tersebut. kadangkala operasi
untuk mengangkat bagian atau seluruh piringan dan bagian tulang belakang
diperlukan. Pada 10 % sampai 20% orang yang mengalami operasi untuk sciatica
disebabkan piringan hernia, piringan lain pecah.
Penatalaksanaan pada klien dengan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah :
2.8.1. Penatalaksanaan medis.
1. Pemberian obat-obatan seperti analgetik, sedatif (untuk mengontrol
kecemasan yang sering ditimbulkan oleh penyakit diskus vertebra servikal),
relaksan otot, anti inlamasi atau kortikosteroid untuk mengatasi proses
inflamasi yang biasanya terjadi pada jaringan penyokong dan radiks saraf
yang terkena, antibiotik diberikan pasca operasi untuk mengurangi resiko
infeksi pada insisi pembedahan (Smeltzer, 2001).
2. Prosedur pembedahan.
a.    Laminektomi, adalah eksisi pembedahan untuk mengangkat lamina dan
memungkinkan ahli bedah spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat
patologi dan menghilangkan kompresi medulla dan radiks, laminektomi juga
berarti eksisi vertebra posterior dan umumnya dilakukan untuk
menghilangkan tekanan atau nyeri akibat HNP.
b.    Disektomi, adalah mengangkat fragmen herniasi atau keluar dari diskus
intervertebral.
c.    Laminotomi, adalah pembagian lamina vertebra.
d.   Disektomi dengan peleburan- graft tulang (dari krista iliaka atau bank
tulang) yang digunakan untuk menyatukan dengan prosesus spinosus
vertebra ; tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani diskus defektif
untuk menstabilkan tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan.
e.    Traksi lumbal yang bersifat intermitten. (Smeltzer, 2001).
f.     Interbody Fusion (IF) merupakan penanaman rangka Titanium yang
berguna untuk mempertahankan dan mengembalikan tulang ke posisi
semula.
3. Fisioterapi
a.    Immobilisasi
Immobilisasi dengan menggunakan traksi dan brace. Hal ini dilakukan agar
tidak terjadi pergerakan vertebra yang akan memperparah HNP.
b. Traksi
Traksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada
katrol dan beban. Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan vertebra
servikalis.
c.  Meredakan Nyeri
Kompres hangat dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri. Kompres hangat
menimbulkan vasodilatasi sehingga tidak terjadi kekakuan pada daerah
vertebra.
2.8.2. Penatalaksanaan keperawatan.
a.    Tirah baring (biasanya 2 minggu) pada alas yang keras atau datar.
b.    Imobilisasi dengan menggunakan kolar servikal, traksi servikal, brace atau
korset.
c.    Kompres lembab panas (untuk 10 sampai 20 menit diberikan pada daerah
belakang leher beberapa kali sehari untuk meningkatkan aliran darah ke
otak dan menolong relaksasi otot bagi klien yang mengalami spasme otot).
d.   Anjurkan mempergunakan posisi yang benar dan disiplin terhadap gerakan
punggung yaitu membungkuk dan mengangkat barang. Teknik yang benar
adalah menjaga agar tulang belakang tetap tegak, menekuk lutut dan
menjaga berat badan tetap dekat dengan tubuh untuk menggunakan otot-
otot tungkai yang kuat dan menghindari pemakaian otot-otot punggung.
e.    Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri
f.     Perawatan luka pada klien pasca operasi untuk mengurangi risiko infeksi.
(Smeltzer, 2001).
2.8.3. Diit.
Klien dengan HNP dianjurkan untuk makan makanan yang banyak
mengandung serat untuk mencegah konstipasi yang dapat memperberat rasa nyeri.

2.9. Komplikasi
1. kelumpuhan pada ekstremitas bawah
2. cedera medula spinalis
3. radiklitis (iritasi akar saraf)
4. parestese
5. disfungsi seksual
6. hilangnya fungsi pengosongan VU dan sisa pencernaan.
2.10. Prognosa
Umumnya prognosa baik dengan pengobatan yang konservatif. Presentasi
rekurensi dari keadaan ini sangat kecil. Tetapi kadang-kadang pada sebagian orang
memerlukan waktu beberapa bulan sampai beberapa tahun untuk memulai lagi
aktivitasnya tanpa disertai rasa nyeri dan tegang pada tulang belakang. Keadaan
tertentu (misalnya dalam bekerja) yang mengharuskan pengangkatan suatu benda
maka sebaiknya dilakukan modifikasi untuk menghindari rekurensi nyeri pada
tulang belakang.

Manajemen anestesi
a. General anestesi
Anestesi umum atau general anestesi adalah tindakan menghilangkan
rasa nyeri atau sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
dapat puli kembali (reversibel). Komponen trias anestesi ideal terdiri
dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.

Prinsip dari general anestesi adalah


1. Meminimalisir terjadinya potensi bahaya baik secara
langsung maupun tidak langsungdari tehnik anestesi dan
agen anestesi.
2. Mempertahankan keadaan sefisiologis mungkin selama
proses pembedahan.
3. Meningkatkan kondisi umum setelah operasi.
Ada dua cara anestesi umum yang digunakan
a. Anestesi inhalasi
Obat-obat anestesi inhalasi adalah obat-obat anestesi yang
berupa gas atau cairan mudah menguap, yang deberikan
melalui nafas pasien. Campuran gas atau uap obat anestesi
dan oksigen masuk mengikuti aliran udara inspirasi, mengisi
seluruh rongga paru, selanjutnya mengalami difusi dari
alveoli ke kapiler paru sesuai dengan sifat disik masing-
masing gas. Dalam dunia modern anestesi inhalasi yang
umum digunakan untuk prakteki klinik adalah N2O, halotan,
enfluren, isofluren, desfluren dan sevofluren. Mekanisme
kerja inhalasi sangat rumit merupakan misteri dalam
farmakologi modern. Pemberian anestesi inhalasi melaui
pernafasan menujun organ sasaran yang jauh merupakan
suatu hal yang rumit dalam dunia anestesiologi. Ambilan
alveolus gas atau uap anestesi inhalasi ditentukan oleh sifat
fisiknya :
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru kedarah
3. Distribusioleh darah ke otak dan organ lain.

Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan


hipoventilasi akan menurunkan ambilan ventilasi alveolus.
Dalam praktek larutanzat inhalasi dalam darah adalah faktor
utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan
pemulihannya. Induksi dalam pemulihanberlangsung cepat
pada zat yang tidak larut dan lambat padayang larut.
Konsentraqsi uap anestesi dalam alveoli selama induksi
ditentukan oleh :

1. Konsentgrasi inspirasi
Teoritis kalau saturasi uap anestesi di dalam jaringan
sudah penuh, maka ambilan paru berhenti dan konsentrasi
uap inspirasi sama dengan alveoli. Induksi makin cepat
kalau kosentrasi makin tinggi, asalkan tidak terjadi
depresi nafas atau spasme laring.
2. Ventilasi alveolar
Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolaar makin
tinggi dan sebaliknya.
3. Koefisien darah dan gas
Makin tinggi angkanya makin cepat larut dalam darah,
makinrenfah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya
4. Hubungan ventilasi perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas
anestesi. Jumlah uap dalam mesin anestesi bukan
merupakan gambaran yang sebenarnya, karena sebagian
uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit anestesi atau ke
atmosfir sekitar sebelum mencapai pernafasan.

Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan


melalui paru, sebagian lagi dimetabolis oleh hepar, sisa
metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan oleh ginjal. Zat
atau gas yang sering digunakan yaitu :
a) N2O (nitrous oxide)
Memiliki daya anlgesik yang kuat tetapi daya
anestesinya lemah, harus diberikan bersama-sama
dengan oksigen yang cukup, konsentrasi tertinggi
yang dianjurkan adalah 70% bila lebih dari pada
itu terjadi hipoksia. N2O adalah zat anestesi yang
lemah, dan bila digunakan sebagai obat tunggal
untuk anestesi sulit didapat hasil yang memadahi,
bahkan untuk operasi kecil sekalipun biasanya
diberikan setelah premedikasi, induksi dengan
obat anestesi intravena dan obat pelemas otot.
Pada akhir anestesia N2O harus dihentikan jika
tidak N2O akan cepat keluar mengisi alveoli
sehingga terjadi hipoksia difusi. Untuk
menghindari hipoksia difusi berikan oksigen
selama 10 sampai 15 menit.
b) Isofuren
Merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestesi menurunkan laju metabolisme otak
terhadap oksigen tetapi meninggikan aliran darah
ke otak dan tekanan intra kranial. Peninggian
aliran darah ke otak dan tekanan intra kranial
dapat dikurangi dengan teknik anestesia
hiperventilasi, sehingga isofluren banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anestesia teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner.
Proses induksi dan poemulihannya relatif
cepat dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi
yang ada pada saat ini tapi masih lebih lama
dibandingkan dengan sevoflurane. Isoflurane di
eliminasi di paru-paru, hati dan ginjal, Action nya
tergantung dosis, efek puncak 15 menit, durasi
15,6 menit dan MAC nya 1,2.

c) Sevofluren
Merupakan induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan dengan isofluren. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
nafas, sehingga digemari untuk teknik induksi
anestesia inhalasi.
Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek tgerhadap SSP seperti
isofluren dan belum ada laporan toksik terhadap
hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluren
cepat dikeluarkan oleh badan. Sevoflurane di
eliminasi di paru-paru, hati dan ginjal, Action nya
1-6 menit, efek puncak 14 menit, durasi 14,3
menit dan MAC nya 2,0.

Keuntungaan Dan Kerugian Gas Inhalasi Anestesi

Zat Untung Rugi

N2O Analgesi kuat, tidak Jarang digunakan


iritasi, tidak terbakar tunggal, harus disertai O2
minimal 25%, anestesi
lemah, dapat
menyebabkan hipoksia
difusi

Halotan Baunya enak, tidak Vasodilator serebral


merangsang jalan nafas, meningkatkan aliran
anestesi kuat darah ke otak yang sulit
di kendalikan, analgesik
lemah. Kelebihan dosis
menyebabkan depresi
nafas, menurunkan tonus
simpatis, hipotensi,
bradikardi, vasodilator
perifer, depresi
vasomotor, depresi
miokard. Kontraindikasi
gangguan hepar

Enfluren Induksi dan pemulihan Depresi nafas, iritatif,


lebih cepat dari halotan. depresi sirkulasi.
Efek relaksasi terhadap
otot lebih baik.

Isofluren Menurunkan laju Meninggikan aliran darah


metabolisme otak otak dan TIK
terhadap O2.

Desfluren Cepat bangun, bau tidak Sangat mudah menguap,


menyengat depresi nafas,
merangsang jalan nafas
atas

Sevofluren Bau tidak menyengat, Biaya pemakaiannya


tidak merangsang jalan
nafas, kardiovaskuler mahal
stabil, pasien cepat
bangun.

b. Anestesi intravena
Anestesi intravena selain untuk induksi dapat digunakan
untuk rumatan anestesia dan tambahan pada analgesia. Obat –
obat yangh sering digunakan yaitu:
a) Analgetika dan sedative
Obat -obat yang digunakan untuk mengurangi kecemasan
pre operasi antara lain:
 Midazolam (dormicum, miloz, sedacum) :
merupakan golongan benzodiazepine, obat sedativ
pada dosis standar, dosis tinggi untuk induksi.
Memiliki sifat antiansietas, sedative, amnesive,
antikolvusane, dan relaxan otot scelet. Tekanan
darah menurun. Dosis 0,5 mg – 1 mg /kgBB untuk
sedasi, 0,15 – 0,3 mg/kgBB untuk induksi IV.
Onset 60 detik dan durasi 20 menit. Eliminasi di
ginjal. Perhatian pada pasien tua.
b) Opioid
Opioid adalah sebuah zat baik sintetik atau natural
yang dapat berikatan dengan reseptor morpin. Opioid
disebut juga sebagai analgetika narkotik yang sering
digunakandalam anestesi umum untuk mengendalikan
nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.
Onset /aksi < 1 menit/ IV, lama aksi/durasi 2 – 7 jam,
opioid yang sering digunakan untuk anestesi :
 Morpin
Adalah alkaloid opium menimbulkan efek primer
terhadap SSP dan organ yang mengandung otot
polos. Morpin menimbulkan analgesia, rasa
mengantuk, euforia, depresi pernafasan.
Morpin mengurangi aliran darah ke otak dan TIK,
dan di eliminasi di hati. Awitan atau aksi/onset IV
< 1 menit, lama aksi 2- 7 jam
 Fentanyl
Adalah opioid potensi tinggi seratus kali morfin.
Onset cepat dan durasi pendek, tidak bersifat
mengeluarkan histamin. Stabilisasi kardiovaskular
dipertahankan walaupun dalam dosis besar. Aliran
darah otak, kecepatan metabolisme otak, dan TIK
menurun. Dosis analgesi IV 25- 100 mcg (0,7 -
2mcg /kgBB), induksi IV 30 -60 menit. Perhatian
kurangi dosis pada manula, hipovolemi. Reaksi
samping iutama berupa hipotensi, depresi
pernafasan, pusing, mata kabur, kejang, dan mata
miosis.
c) Induksi
 Profofol (difrifan, recovol)
Profofol dikemas dalam cairan lemak berwarna
putih susu dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg).
Suntikan IV sering menyebabkan nyeri,
penggunakan profofol untuk induksi sadar,
pemeliharaan anestesi. Dosis bolus untuk sedasi
sadar : 25 -50 mg, dosis induksi : 2- 2,5mg /kgBB.
Profofol merupakan suatu obat hipnotik IV yang
menimbulkan induksi anestesia yang cepat. Dosis
induksi berkaitan dengan apnoe dan hipotensi
sebagai akibat depresi miokard langsung dan
penurunan vaskuler sistemik dengan perubahan
nadi minimal. Profofol tidak memiliki sifat
analgesik, kemungkinan memiliki sifat antiemetik
intriksi, profofol mengurangi aliran darah otak,
TIK, dan kecepatan metabolik otak, dpat terjadi
pelepasan histamin, dan reaksi alergi
kemungkinan sekali anafilaksis, onset 40 detik.
 Ketamin
Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi
anestesi, khususnya pada pasien hipovolemik
karena sering menimbulan takhikardi, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesi dapat
menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan
mimpi buruk. Dosis bolus untuk induksi 1- 2,5 mg
/kgBB. Ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1 ml = 1 mg), 5% (1 ml = 100mg).
Ketamin dieliminasi dihati dan di ekskresi
diginjal. Onset IV 30- 60 detik, lama aksi IV 5- 15
menit.
d) Pelumpuh otot
Obat golongan ini menghambat transmisi
neuromuskular sehingga menimbulkan kelumpuhan
otot pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya
obat ini dibagi menjadi dua golongan yaitu obat
penghambat secara depolarisasi resisten dan obat
penghambat kompetitif atau non depolarisasi.
1) Pelumpuh otot golongan depolarisasi yaitu
bekerjanya seperti asetilkolin, tetapi dicelah saraf
otot tak dirusak oleh kolinesterase , sehingga
cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga
terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulisasi
yang disusul relaksasi otot lurik. Obat golongan
ini adalah:
 Suksinilkolin
Suksinilkolin merupakan relaksan otot skelet
depolarisasi cepat. Efek kardiovaskuler minimal,
bradikardi dan aritmia mungkin nampak.
Fasikulisasi menyebabkan peningkatan K serum.
Dosis IV 0,7 mg/kgBB. Perhatian/peringatan tidak
boleh diberikan pada pasien dengan hiperkalemia
karena dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel.
2) Pelumpuh otot golongan Non depolarisasi
berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik,
tetap tidak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetil colin menempatinnya sehingga
asetilcolin tidak dapat bekerja. Obat golongan ini
misalnya:
 Rocuronium: merupakan obat pemblokir
mendepolarisasi dengan onset cepat (45-90 detik),
onset dan durasi / lama aksi tergantung dosis
normal biasanya 15-30 menit. Dosis intubasi IV
0,6-1,2 mg/kgBB. Pemeliharaan IV 0,06-0,6
mg/kgBB. Reaksi samping utama kardiovaskuler,
takikhardi, vulmoner, hipoventilasi, apneu,
bronchospasme. Perhatian hati-hati pada kesulitan
intubasi.
 Vecuronium: bekerja dengan mengikat dan
bersaing dengan asetilocolin pada reseptor. Onset
3 menit, lama aksi 30 menit. Reaksi samping
utama kardiovaskuler, bradikarsi, vulmoner,
hipoventilasi dan apneu.
 Tracrium (notricum, atracurium) : obat ibni
merupakan relaksan otot skelet non depolarasasi.
Obat ini mengalami metabolisme yang cepat via
eliminasi dibadan hoftman, obat ini juga
menyebabkan pelepasan histamin, penurunan
tekanan arteri dan peningkatan nadi. Onset atau
awitan aksi kurang 3 menit, lama aksi reaksi
anifilaktoid. Reaksi samping utama hipotensi,
vasodilatasi, hipoventilasi, apneu, bronhkospasme.
1. PERSIAPAN DAN PENATALAKSANAAN PRE, INTRA DAN
POST ANESTESI
1. Pre anestesi
Adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesia yang
dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk
menjalani tindakan operatif , kunjungan praanestesi pada
tindakan elektif dilaukan dalam waktu yang sesingkat
mungkin.

Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mingkin akan terjadi selama
operasi dan atau paskah bedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi
penyulit yang diramalkan

Evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi,


selanjutnya evaluasi ulang dilakukan lagi pada pagi hari
menjelang pasien dikirim kekamar operasi dan evaluasi
terakhir dilakukan dikamar persiapan instalasi bedah central
(IBS) untuk menentukan stastus fisik ASA.

Hal-hal yang dilakukan persiapan anestesi yaitu:

a. Anamnesis
1. Identitas pasien atau biodata, meliputi:
 Nama
 Umur
 Alamat
 Pekerjaan
 Dll
2. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit
bedah yang mungkin menimbulkan gangguan fungsi
sistem organ.
3. Anamnesis umum meliputi:
 Riwayat penyakit sistemik yang pernah
diderita atau sedang menderita penyakit
sistemik selain penyakit bedah yang diderita,
yang bisa mempengaruhi anaestesiatau di
pengaruhi oleh anestesi seperti: DM, penyakit
ginjal, penyakit jantung, hipertensi, alergi,
penyakit paru kronis.
 Riwayat pemakaian obat yang telah / sedang
digunakan yang mungkin berinteraksi dengan
onat anestesi misa nya: kortikosteroid, obat
antihipertensi, obat antidiabetik,antibiotik
golongan aminoglikolisid, digitalis, deuretika,
transquilizer, obat penghambat enzim mono
spasiamin oksidase dan bronchodilator.
 Riwayat operasi / anestesi terdahulu, misalnya:
apakah pasien mengalami komplikasi anestesi.
 Riwayat sistem organ meliputi keadaan umum,
pernapasan, kardivaskuler, ginjal,
gastrointestinal, hematologi, neurologi,
endokrin, psikiatri, dermatologi.
 Kebiasaan buruk, antara lain: perokok,
opeminum minuman keras (alkohol), pemakai
obat-obatan terlarang (sedatif dan narkotik)
 Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain
 Riwayat keluarga yang menderita kelainan
seperti hipermia maligna.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan atau pengukuran status persen:
kesadaran, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu
tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status
gizi/ BMI
2. Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status:
 Psikis: gelisah, takut dan kesakitan
 Saraf (otak, medula spinalis dan saraf tepi)
 Respirasi
 Hemodinamik
 Penyakit darah
 Gastrointestinal
 Hepato-bilier
 Urogenital dan saluran kencing
 Metabolik dan endokrin
 Otot rangka
 Integumen

c. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan lainnya


1. Pemeriksaan rutin
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk
operasi kecil dan sedang, hal-hal yang diperiksa :
 Darah: HB, HT, eritrosit, lekosit dan hitung
jenis, trombosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan.
 Urine: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen
urine.
2. Pemeriksaan khusus
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk
operasi besar dan pasien yang menderita penyakit
sistemik tertentu dengan indikasi tegas. Hal-hal yang
diperiksa adalah:
 Pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi:
fungsi hati, fungsi ginjal, analisis gas darah,
elektrolit, hematologi dan faal hemostasis
lengkap, sesuai dengan indikasi.
 Pemeriksaan radiologi: photo thoraks, IVP dan
yang lain sesuai indikasi.
 Evaluasi kardiologi terutama untuk pasien
yang berumur diatas usia 35 tahun.
 Pemeriksaan spirometri pada penderita PPOM.
3. Klasifikasi status fisik
American Society Of Anaesthesiologist (ASA)
menetapkan sistem penilaian yang membagi status
fisik penderita kedalam 6 kelompok

ASA STATUS FISIK

1 Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik

2 Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit


sistemik ringan sampai sedang

3 Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit


sistemik berat yang disebabkan karena berbagai
penyebab tetapi tidak mengancam nyawa contohnya
DM dengan komplikasi pembuluh darah

4 Penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat


yang secara langsung mengancam kehidupannya
contohnya MCI atau insufiensi koroner

5 Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil,


pembedahan dilakukan sebagai pilihan terakhir, misal
penderita dengan syock berat karena perdarahan akibat
kehamilan diluar uterus yang pecah

6 Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang


mana organ nya akan diangkat untuk kemudian
diberikan sebagai organ donor bagi yang
membutuhkan.

d. Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam
jalan nafas merupakan resiko utamna pada pasien-pasien
yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan resiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi
elektif, dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa).

Puasa dengan aturan sebagai berikut

Usia Makanan padat dan susu Cairan jernih tanpa


formula (ASI) partikel

<6 bulan 2-4 jam 2 jam

6-36 bulan 4-6 jam 3 jam

>36 bulan 6-8 jam 3 jam

e. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum
induksi anestesi dengan yang ada hubungan dengan
anestesi. Golongan obat ini yang digunakan yaitu seperti
midazolam, opioid (petidine), anti kolinergik (SA),
antiemetik (ondansetron), antagonis reseptor H2 histamine
(ranitidine, simetidine). Tujuan nya yaitu:
 Meredahkan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan
bronkus
 Mengurangi mual muntah paska bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi cairan lambung

2. Induksi Anestesia
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar. Induksi anestesi
dapat dilakukan dengan intravena dan inhalasi, setelah
pasien tertidur akibat induksi anestesi langsung
dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai
tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai
induksi anestesi perlu disiapkan peralatan dan obat –
obatan yang diperlukan, untuk persiapan induksi
anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS.

STATICS ANESTESI

S (scope / Untuk mendengarkan suara paru. Laryngoscope,


Stetoscope) pilih blade yang sesuai dengan usia pasien,
lampu harus cukup terang.

T (Tubes) Pipa trakea (endostrachea tube), dan LMA, pilih


sesuai dengan usia/berat badan pasien.

A (Airway) Orofaryngeal (guedel) untuk menahan lidah saat


pasien tidak sadar agar tidak menyumbat jalan
nafas.

T (Tape) Plester untuk fiksasi supaya pipa tidak terdorong


taua tercabut.

I (Introducer) Maindrain atau stilet dari kawat yang terbungkus


dan mudah dibengkokkan untuk memandu
supaya pipa trakea mudah masuk.

C (Connector) Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S (Suction) Penyedot lendir, ludah dan cairan lainnya yang


akan menganggu proses pemasangan pipa trakea.

ASUHAN KEPERAWATAN PRE, INTRA DAN POST ANESTESIA

A. Persiapan pre, intra, post anestesi


1. Persiapan praanestesi
Keadaan fisik pasien telah dinali sebelumnya. Dilakukan penilaian pra
operasi. Keadaan hidrasi pasien dinilai, akses intravena dipasang untuk
pemberian cairan infus, transfusi dan obat-obatan. Dilakukan pemantauan
elektrografi, tekanan darah, saturasi, kadar CO2 dalam darah (kapnograf),
dan tekanan vena sentral (CVP) jika diperlukan biasanya untuk operasi
yang berdurasi panjang dan operasi besar. Premedikasi dapat diberikan oral,
rektal, intramuskular, atau intravena.

2. Induksi anestesi
Diusahakan tenang dan diberikan O2 melalui sungkup muka. Obat-obat
induksi diberikan secara intravena seperti ketamine, diazepam, midazolam,
propofol dan relaksan. Jalan nafas dikontrol dengan sungkup muka atau
nafas orofaring/nasofaring. Setelah itu dilakukan intubasi trakea. Setelah
kedalaman anestesi tercapai posisi pasien disesuaikan dengan tindakan
bedah.
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan anestesi. Hal-hal
yang dipantau adalah fungsi vital : pernafasan, tekanan darah, nadi, dan
kedalaman anestesi, misalnya adanya gerakan batuk, mengedan, perubahan
pola nafas, takikardi, hipertensi, keringat, air mata, midriasis. Ventilasi
pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu atau kendali tergantung
jenis, lama, dan posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan
memperhitungkan kebutuhan puasa, rumatan, perdarahan, evaporasi, dan
lain-lain.
Selama pasien dalam anestesi dilakukan pemantauan frekuensi nadi
dan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi terjadi
bila anestesi kurang dalam. Hal ini disebabkan karena terjadi sekresi
adrenalin. Diatasi dengan membuat anestesi lebih dalam, yaitu dengan
meningkatkan konsentrasi halotan atau suntikan barbiturat. Poenurunan
tekanan darah dan nadi sebagai tanda syok dan disebabkan karena
kehilangan banyak darah. Hal ini diatasi dengan pemberian cairan
pengganti plasma atau darah. Penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi
dapat disebabkan karena anestesi terlalu dalam atau terlalu ringan serta
kehilangan banyak darah atau cairan. Peninbgkatan tekanan darah dan
tekanan nadi serta penurunan frekuensi nadi disebabkan transfusi yang
berlebihan. Diatasi dengan penghentian transfusi.
Tanda vital dipantau dengan status fisik umum pasien dikaji setiap 5 menit.
Kepatenan jalan nafas dan fungsi pernafasan selalu dievaluasi pertama kali,
diikuti dengan pengkajian fungsi kardiovaskuler, kondisi letak yang
dioperasi dan fungsi system saraf pusat.
Sasaran utama intervensi adalah mempertahankan ventilasi pulmonal
dan dengan demikian mencegah hipoksemia (penurunan oksigen dalam
darah) dan hiperkapnea (kelebihan kadar dioksida dalam darah) hal ini
terjadi jika jalan nafas tersumbat dan ventilasi berkurang.

3. Post anestesi
Setelah operasi selesai pasien dibawa keruang pemulihan (recovery
room) atau keruang perawatan intensif (bila ada indikasi), secara umum,
ekstubasi terbaik dilakukan pada saat anestesi ringan atau sadar. Diruang
poemuliahn dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan
darah, nadi, pernafasan, suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drain, dan
lain-lain. Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai adalah warna
kulit, kesadran, sirkulasi, pernafasan dana aktifitas motorik, seperti skor
Aldrette. Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor adalah
10, namun bila skor total telah diatas 8 pasien boleh pindah dari ruang
pemulihan.

Pengkajian segera pasien bedah saat kembali keunit klinik terdiri atas:
a. Respirasi dan kepatenan jalan nafas: kedalaman, frekuensi dan
karakter pernafasan, sulit dan bunyi nafas.
b. Sirkulasi: tanda-tanda vital termasuk tekanan darah, kondisi kulit.
c. Neurologi: tingkat respon
d. Drainase: adanya drainase, keharusan untuk menghubungkan
selang ke sistem drainase yang spesifik, adanya dan kondisi balutan
e. Kenyaman: tipe nyeri dan lokasi, mual, muntah perubahan posisi
yang dibutuhkan
f. Keselamatan: kebutuhan akan pagar tempat tidur, drainase selang
tidak tersumbat, cairan infus yang tepat dan letak IV line terbebat
dengan baik.

Skor Pemulihan Pasca Anestesi

Warna Merah muda 2

Pucat 1

Sianotik 0

Pernafasan Dapat bernafas dalam batuk 2


Dangkal namun pertukaran udara 1
adekuat

Apneu atau obstruksi 0

Sirkulasi Tekanan darah menyimpang <20% 2

Tekanan darah menyimpang 20- 1


50% dari normal

Tekanan darah menyimpang > 0


50% dari normal

Kesadaran Sadar, siaga, dan orientasi 2

Bangun namun capat kembali 1


tertidur

Tidak berespon 0

Ekstremitas Seluruh ekstrimitas dapat bergerak 2

Dua ekstrimitas dapat bergerak 1

Tidak bergerak 0
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI

A. PENGKAJIAN

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 65 Tahun
Jenis kelamin :L
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Alamat : ***
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Wiraswasta
Diagnosis medis : HNP L4&L5
Berat badan : 55 Kg
Tinggi badan : 156 cm
No.Rekam medis : ***
TAHAP PRE ANESTESI

1. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama

Klien mengatakan nyeri di bagian tulang belakang sejak 1


bulan yang lalu, diperberat saat melakukan aktivitas. Rasanya
seperti di tusuk-tusuk pada bagian tulang belakang dengan
skala nyeri 5 dari 10, dan hilang timbul.
b. Riwayat Penyakit Sekarang

Klien datang dari IRJ pada tanggal 16 Maret 2022 karena


mengalami nyeri punggung yang sudah dirasakan kurang lebih
1 bulan lamanya. Direncanakan untuk operasi Laminectomy
pada tanggal 17 Maret 2022 dan menjalani rawat inap di
RSUD Prof Dr Margono Sukarjo. Di Bangsal klien dipasang
infus di tangan kiri dan juga kateter.
c. Riwayat Penyakit Dahulu

Klien mengatakan nyerinya sudah dirasakan sejak 1 bulan yang


lalu hingga sekarang dan hilang timbul, klien mengatakan
pernah di rawat di RS dengan sakit yang sama.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Klien mengatakan tidak ada anggota keluarga lain yang


mengalami penyakit serupa dengannya. Tidak ada anggota
keluarga yang mempunyai penyakit menular dan keturunan
seperti TBC, asma, diabetes mellitus, dll

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum: Baik
b. Kesadaran : Compos mentis (E4,V5,M6)
c. AMPLE

Alergi : tidak ada

Medication : tidak mengonsumsi obat rutin


Post illness :-
Last meal : pagi (3 sendok)
Event Leading : HNP
d. Tanda Vital :

TD: 130/80 mmHg; N: 90 x/mnt; RR 18 x/menit

e. Kepala : bentuk kepala mechochepal, kulit kepala nampak


bersih, tidak ada lesi
f. Mata : konjungtiva tidak pucat, sclera putih, klien tidak
memakai lensa kontak
g. Telinga : bentuk simestris, tidak ada gangguan fungsi
pendengaran
h. Hidung : simetris, tidak ada secret Palpasi
i. Mulut : tidak ada gigi palsu, klien tidak memakai kawat gigi
j. Wajah : tidak ada lesi
k. Leher : tidak ada pembesaran tiroid
l. Kulit : tidak kering, turgor kulit baik
m. Dada
1) Paru-paru

Inspeksi : simetris, tidak ada retraksi, tidak ada


penggunaan otot pernafasan tambahan
Palpasi : ekspansi dada maksimal,
tidak ada nyeri tekan
Perkusi : suara resonan

Auskultasi : suara vesikuler

2) Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak pada ICS ke-5


medial linea midclavicularis sinistra
Palpasi : tidak ada pergeseran ictus cordis

Perkusi : tidak ada pelebaran batas jantung,


suara redup

Auskultasi : suara jantung S1, S2, regular tidak


ada suara tambahan
n. Abdomen

Inspeksi : Tidak ada jejas

Auskultasi : bising usus terdengar lemah 9x/menit

Perkusi : kuadran 1 timpani, kuadran 2 timpani,


kuadran redup, kuadran 4 redup
Palpasi : tidak ada nyeri tekan

o. Genitalia

Terpasang kateter Uk 18, jenis kelamin perempuan

p. Ekstremitas
1) Atas

Inspeksi : terpasang infus RL, tidak ada edema, tidak


ada kelainan jari

Palpasi: tidak ada nyeri tekan


2) Bawah

Inspeksi : tidak ada edema, tidak terdapat bekas luka


Palpasi : tidak ada nyeri tekan

3. Pemeriksaan psikologis

Pasien mengatakan sedikit cemas, pasien belum pernah menjalani


pembedahan sebelumnya.
4. Kebutuhan Cairan
a. Monitoring cairan

Kebutuhan cairan pasien selama operasi yang harus terpenuhi

1) Rumus maintenance
(M): 2cc/kgBB
2cc/55kg = 110 cc
2) Rumus pengganti puasa (PP): Lama puasa (jam) x maintenance

8 x 110 cc = 880 cc

3) Rumus stress operasi (SO): Jenis operasi (b/s/k) x BB = 8x 55 =


440 cc
b. Prinsip pemberian cairan durante operasi (Jam I-IV)
1) Jam I : M + ½ PP + SO = 840 ml
2) Jam II dan III : M + ¼ PP + SO = 720 ml
3) Jam IV : M + SO = 600 ml
4)
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

DARAH LENGKAP

Hemoglobin 13.70 g/dL 12.0 – 16.0

Eritrosit 4.27 10^6/ 4.20 – 5.50


Ul
Leukosit 11.20 10^3/ 4.8 – 10.8
uL
Trombosit 331 10^3/uL 150 - 450

Hematokrit 41.3 % 37.0 – 52.0

MCV 97.1 fL 80.0 – 99.0

MCH 29.4 fL 27 – 31

MCHC 33.6 g/dL 33.0 – 37.0

DIFF COUNT

Neutrofil 71.30 % 50 – 70

Limfosit 26.90 % 20 – 40

MXD 1.30 % 1.0 – 12.0


RDW 11.5 % 10.0 – 15.0

MPV 6.6 fL

APTT 30.0 fL 2.0 – 40.0

PT

PT 14.0 Detik 11.0 17.0

Ratio (PT) 1.11

INR (PT) 1.16 Detik 1.0 – 1.47

KIMIA KLINIK

Ureum 20.3 Mg / dL 15.0 – 40.0

Creatinin 0.51 Mg / dL 0.60 – 0.9

Bun 9.7 Mg / dL 7.0 – 18.0

AST (GOT) 17.1 U/L 7.0 – 31.0

ALT (GPT) 24.6 U/L 7.0 – 31.0

Gula Darah Sewaktu 105.38 Mg / Dl 70.00 – 140.00

SERO IMUNOLOGI

Hbs Ag Negatif Negatif

b. Rontgen Thorax
Hasil bacaan Dalam Batas normal.

6. Kesimpulan : Status Fisik ASA II


7. Rencana Anestesi: General anestesi menggunakan ETT
a. Persiapan pasien
1) Mengecek kelengkapan status pasien
2) Mengklarifikasi pasien puasa dari jam berapa
3) Memposisikan pasien
4) Mengecek TTV
5) Mengklarifikasi riwayat asma, DM, HT dan alergi
b. Pesiapan mesin
1) Mengecek sumber gas apakah sudah terpasang dan tidak ada
kebocoan
2) Mengecek isi volatil agent
3) Mengecek kondisi absoben
4) Mengecek apakah ada kebocoan mesin
c. Persiapan alat :
1) S (Scope) : Laryngoscope dan stesoscope
2) T (Tube) : ETT No 7
3) A (Aiway) : OPA
4) T (Tape) : Plester ± 20 cm 2 lembar
5) I (Introducer) : Mandring dan stilet
6) C (Conector) : Sambungan yang disambungkan ke mesin
anestesi dan ventilator
7) S (Suction) : Kanul dan selang suction
d. Persiapan obat
1) Induksi : Propofol 100 mg
2) Analgetik : Ketorolac 30mg
3) Pelumpuh otot : atracurium 25 mg
4) Pre medikasi : Fentanyl 100mg, Ondansentron 4mg
5) Emegency :
a) Epinefrin
b) Dexametasone
c) Atropin
d) Ephedrine
e) Pethidin

TAHAP INTRA ANESTESI


1. Jenis Pembedahan : Laminectomy
2. Jenis Anestesi : General anestesi
3. Teknik Anestesi : Intubasi (ETT Oral)
4. Ukuran ETT : 7,0
5. Mulai Anestesi : Pukul 08.30 WIB
6. Mulai Operasi : Pukul 09.00 WIB
7. Posisi : Pronasi
8. Premedikasi : Fentanyl 100 mcg/IV
9. Induksi : Propofol 100 mg/IV
10. Pelumpuh otot : Atracurium 25 mg
11. Medikasi tambahan :
a. Ondansentron 4 mg
b. Ketorolac 30 mg
12. Maintanance : Sevoflurane 2 vol%, N20:O2 50:50 (2 lt : 2
lt)
13. Respirasi : kontrol
14. Cairan Durante Operasi : RL 1500 ml
15. Perdarahan : 300 ml
16. Urin output : 200 ml
17. Pemantauan Tekanan Darah dan HR (Terlampir)
18. Selesai operasi : 11.30 WIB
19. Selesai anestesi : 11.45WIB

TAHAP POST ANESTESI


1. Pasien masuk ruang RR pukul 12.00 WIB
2. Kesadaran Apatis
3. Mual (-), muntah (-), pusing (-), Nyeri (+)
4. Jalan nafas per oral, nafas dibantu terapi, SpO2 100%
5. Posisi pasien pasca anestesi: supinasi
6. Aldrete skor

No Kriteria Skor 5’ 10’ 15’ 30’


1 Aktivitas motorik :

Mampu menggerakkan 2 V

empat ekstremitas
Mampu menggerakkan dua
1
ekstremitas

Tidak mampu
menggerakkan ekstremitas 0
2 Respirasi :

Mampu napas dalam, batuk 2 V

dan tangis kuat

Sesak atau pernapasan


1
terbatas

Henti napas 0

3 Tekana darah :

Berubah sampai 20% dari 2 V


prabedah

Berubah 20%-50% dari


1
prabedah

Berbubah > 50% dari 0

Prabedah
4 Kesadaran :

Sadar baik dan orientasi baik 2

Sadar setelah dipanggil 1 V

Tak ada tanggapan terhadap 0


rangsangan

5 Warna kulit :

Kemerahan 2 V

Pucat agak suram 1

Sianosis 0
Jumlah 9
1. Pasien dipindah ke bangsal 12.30 WIB
No Data Masalah Etiologi
Pre Anestesi
1 DS: Ansietas Kurang
pengetahuan
- Pasien mengatakan cemas
masalah
- Pasien belum pernah
pembiusan
menjalani pembedahan
sebelumnya
DO:

- Pasien terlihat gelisah

- TD : 130/80 mmHg
- Nadi : 90x/menit
- RR: 18 x/menit
2 DS: Nyeri Agen cedera
biologis
- Pasien mengatakan nyeri
di bagian tulang belakag
sejak 1 bulan yang lalu,
nyeri bertambah jika
digunakan untuk
beraktifitas nyeri seperti
ditusuk-tusuk di bagian
tulang belakang. Skala : 5
dari 10, nyeri hilang
timbul

DO:
- TD :130/80 mmHg
- Nadi :90 x/menit
- RR : 18x/menit
- Pasien tampak beberapa waktu
menahan sakit

Intra Anestesi
3 D Ketidakefekti Pengaruh
S fan pola sekunder:
: nafas obat-
obatan
- anestesi

D
O
:
- Pasien terpasang ETT ukuran
7

- Ada periode apneu sesaat


setelah diberikan induksi
dengan propofol 100 mg
dan atracurium 25 mg

- Terjadi penurunan
frekuensi pernafasan

- TD : 101/72 mmHg

- RR : 12x/menit

- Nadi :68 x/menit

- SPO2 : 95%
4 D Risiko Vasodilat
S ketidakseimb asi
: ang an cairan pembuluh
dan elektrolit darah
- dampak
agen
D anestesi
O
:
- Pasien dilakukan
laminektomi
- Pasien mengalami
perdarahan pada area
pembedahan ±300 ml
- Induksi anestesi dengan
Propofol 100 mg

- Pemeliharaan anestesi
dengan O2, N2O, dan
sevofluran

Post Anestesi
5 D Bersihan Mukus
S jalan nafas banyak,
: tidak efek
efektif general
- anestesi

D
O
:
- Pasien belum sadar

- Terdapat lendir pada


mulut pasien
- Pasien pasca dilakukan
laminektomi

- Suara nafas gurgling

- Pasien terpasang ETT No. 7

6 D Risiko jatuh Efek


S general
: anestesi
-
D
O
:
- Pasien pasca
operasi dengan
general anestesi

- Aldrete skor : 9 (15.35)

- Kesadaran apatis

7 DS: Nyeri Agen


cedera
- Pasien mengatakan nyeri
fisik
bertambah saat digunakan
untuk bergeser, rasanya
seperti tertusuk-tusuk, di
bagian luka post operasi,
Skala nyeri 3 dari 10, hilang
timbul
DO:
- Pasien nampak merintih
kesakitan

- Kesadaran apatis

- TD : 146/93 mmHg
- Nadi : 98x/menit

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Anestesi
1. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan masalah
pembiusan ditandai dengan: pasien mengatakan cemas, pasien
belum pernah menjalani pembedahan sebelumnya, pasien terlihat
gelisah, TD : 130/80 mmHg, Nadi : 90x/menit, RR: 18 x/menit
2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai pasien
mengatakan nyeri di bagian tulang belakang sejak 1 bulan,
pasien mengatakan nyeri bertambah jika digunakan untuk
beraktifias, nyeri seperti ditusuk-tusuk, skala 5 dari 10,nyeri
hulang timbul, klien tampak beberapa waktu menahan sakit, TD :
130/80 mmHg, N: 90 /menit, RR : 18 x/menit.

Intra Anestesi

3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan pengaruh


sekunder: obat- obatan anestesi ditandai dengan Pasien terpasang
ETT ukuran 7,0, ada periode apneu sesaat setelah diberikan
induksi dengan propofol 100 mg dan attracurium 25 mg, terjadi
penurunan frekuensi pernafasan, TD : 101/72 mmHg, RR
:12x/menit , Nadi : 68x/menit, SPO2 : 95%
4. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan vasodilatasi pembuluh darah dampak agen anestesi
ditandai dengan: Pasien dilakukan pembedahan laminektomi,
pasien mengalami perdarahan pada area pembedahan ±300 ml,
induksi anestesi dengan Propofol 100 mg, pemeliharaan anestesi
dengan O2, N2O, dan sevofluran.
Pasca Anestesi

5. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mukus


banyak, efek general anestesi ditandai dengan: Pasien belum

6. sadar, terdapat lendir pada mulut pasien, pasien pasca dilakukan


laminektomi, suara nafas gurgling, pasien terpasang ETT.
7. Risiko jatuh berhubungan dengan efek general anestesi ditandai
dengan: Pasien pasca operasi dengan general anestesi, aldrete
skor : 9 .
8. Nyeri berhubugan dengan agen cedera fisik ditandai dengan
pasien mengeluh nyeri,pasien tampak merintih kesakita,
kesadaran apatis, TD : 146/93, Nadi 98, RR 18 X/menit,SPO2
96%.
C. PERENCANAAN

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


Pre Anestesi
Ansietas berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Bina hungan 1. Hubungan saling
dengan kurang pengetahuan keperawatan selama saling percaya percaya mampu
masalah pembiusan pasien di ruangan pre menciptakan suasana
operasi, diharapkan yang kooperatif
kecemasan pasien 2. Jelaskan tentang 2. Pasien lebih siap
berkurang. tindakan dan efek menghadapi tindakan apa

Kriteria hasil : anestesi yang yang akan dilakukan


akan dilakukan sehingga pasien mampu
1. Pasien tidak
menerimanya
tampak tegang dan
3. Ajarkan dan 3. Teknik relaksasi seperti
koorperatif
dampingi pasien pengalihan perhatian
2. Pasien
dalam dapat mengurangi
mampu
menggunakan kecemasan pasien
mengungkapkan
teknik relaksasi
penyebab kecemasan
pengalihan
3. Pasien
mengetahui tentang perhatian
penatalaksanaan 4. Dorong pasien 4. Pasien menyampaikan apa
tindakan pembiusan untuk yang dirasakan untuk
4. Pasien mengatakan mengungkapka mengurangi beban
siap untuk dilakukan n perasaan dan Psikologis
pembiusan persepsi
5. TTV dalam batas 5. Kolaborasi 5 . Penggunaan obat penenang
normal dalam yang tepat dapat
pemberian obat mengurangi tingkat
penenang kecemasan pasien

Intra Anestesi
Ketidakefektifan pola nafas Setelah dilakukan tindakan 1. Bersihakan jalan 1. Menjaga jalan nafas
berhubungan dengan selama durante operatif nafas dengan dan pola nafas pasien
pengaruh sekunder: obat- diharapkan melakukan kembali efektif
obatan anestesi ketidakefektifan pola nafas suction pada
oral,hidung, dan
teratasi dengan kriteria : ETT
2. Jaga jalan nafas
1. Irama nafas teratur
2. Dilakukan dengan
2. Jalan nafas pemasangan ETT
pasien paten nasal
3. Beri suplai
3. RR 16 – 20 x/menit 3. Pemberian suplai
oksigen
4. BP syst. 100 – 160 oksigen dapat
sesuai tidal
membuat pola nafas
mmhg. BP dyast. 60 volume
efektif
– 90 mmhg.
5. HR 60 -100 bpm. Nadi
besar, teratur dan kuat
4. Pantau tanda
angkat.
tanda 4. Untuk mengetahui
6. Tidak terjadi sianosis,
vital,saturasi apakah ada tanda tanda
SPO2>95%
O2, dan pola pola nafas telah efektif
nafas kembali

5. Bantu nafas
dengan 5. Bagging sesuai respirasi

memberikan dan tidal volume dapat

bagging membuat nafas sponan


dengan kembali
kontrol sesuai
tidal volum
Risiko ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji 1. Pemenuhan cairan
cairan dan elektrolit keperawatan selama kebutuhan pasien sesuai
berhubungan dengan pasien berada di ruang cairan pasien dengan kebutuhan
vasodilatasi pembuluh darah operasi, diharapkan 2. Kolaborasi 2. Terapi cairan untuk
dampak agen anestesi keseimbangan cairan pemberian mencegah terjadinya
pasien tercukupi. cairan dan syok hipovolemi
Kriteria hasil: elektrolit, dan
vaso
1. Akral kulit hangat
konstriktor
2. Hemodinam
3. Monitor 3. Penurunan tekanan
ik normal
Hemodinamik darah dan
3. Masukan
peningkatan denyut
dan
jantung
keluarancairan
mengindikasikan
imbang
pasien kekurangan

4. Monitor input volume cairan


dan output 4. Menentukan balance

cairan cairan pasien

Pasca Anetesi
Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi 1. Bersihan jalan nafas
efektif berhubungan dengan keperawatan selama hemodinamik yang tidak efektif
mukus banyak, efek general pasien di RR diharapkan menyebabkan
anestesi bersihan jalan nafas gangguan pola dan
efektif dengan kriteria : frekuensi pernafasan
2. Atur posisi miring 2. Posisi iring
1. Tidak ada suara
nafas tambahan mencegah aspirasi
lendir ke dalam
2. Pasien
paru-paru
bernafas
3. Kaji adanya suara 3. Suara nafas gurgling
spontan
nafas tambahan mengindikasikan
3. Suara nafas vesikuler adanya obstruksi
cairan pada airway,
4. RR 14 x/menit stridor karena
obstruksi oleh lidah,
wheezing karena
4. Lakukan
1. Dengan melakukan
Suction bila
suction dapat
terdapat secret
membersihkan jalan
nafas, bebas dari
lendir
Risiko jatuh berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Posisikan 1. Posisi yang nyaman
dengan efek general anestesi keperawatan selama pasien dengan mencegah pasien
pasien dirawat di ruang nyaman bergerak-gerak
pemulihan, diharapkan 2. Pasang restrain 2. Restrain
resiko jatuh tidak terjadi. di sisi kanan kiri
meminimalkan pasien
Kriteria hasil : pasien untuk
terjatuh dari brankar.
menjaga
1. Rasa nyaman
keamanan
pasien
pasien.
2. Pasien aman dan
tidak jatuh
3. Pantau penggunaan
3. Efek samping obat
3. Pasien segera sadar obat anestesi dan efek
anestesi umum dapat
setelah anestesi yang timbul membuat pasien

selesai mengalami cidera bila tidak


dipantau
4. Pasien tidak
mengalami
disorientasi

D. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


PRE ANESTESI

Diagnosa Implementasi EVALUASI


Ansietas berhubungan 1. Membina hubungan S:
- Paien mengatakan paham dengan tindakan
dengan kurang saling percaya
pembiusan yang akan dilakukan pada dirinya
pengetahuan masalah 2. Menjelaskan tentang
- Pasien mengatakan akan sudah siap untuk
pembiusan tindakan dan efek
dilakukan pembiusan
anestesi yang akan
O:
dilakukan
- Pasien terlihat kooperatif
3. Mengajarkan pasien
- Pasien terlihat mampu menerapkan teknik
dalam menggunakan
teknik relaksasi nafas relaksasi nafas dalam
dalam - Pasien terlihat lebih tenang
- TD : 127/75 mmHg
- N : 85 x/menit
- RR : 16 x/menit
A : Ansietas teratasi
P : Hentikan Intervensi

Nyeri berhubungan 1. Mengkaji tingkat S:


dengan agen cedera nyeri, durasi, lokasi - Pasien megatakan akan menerapkan nafas
biologis dan intensitas dalam apabila nyeri muncul kembali
2. Mengajarkan teknik - Pasien mengatakan nyeri masih dirasakan
relaksasi nafas dalam apabila digunakan untuk bergeser atau merubah

3. Ciptakan suasana posisi, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri

lingkungan yang dirasakan pada tulang belakang, skala 4 dari 10,

tenang hilang timbul


O:

(EZ) (NU) (TH) - Pasien dapat menerapkan nafas dalam dengan


benar
- Pasien tampak lebih tenang
- Pasien tampak sesekali masih menahan nyeri
akibat HNP
A : Nyeri akut teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi

INTRA ANESTESI

Diagnosa Implementasi EVALUASI


Ketidakefektifan pola 1. Menjaga jalan nafas S:-
nafas berhubungan tetap paten O:
dengan pengaruh 2. Memberi suplai
- Jalan nafas paten
sekunder: obat- obatan oksigen sesuai tidal
- Propofol 100 mg masuk pukul 12.45 WIB
anestesi volume
- Attracurium 25 mg masuk pukul 12.47 WIB
3. Memantau TTV, SPO2
- TD : 110/70 mmHg
, pola nafas
- N : 60 x/menit
4. Memberikan bantuan
- RR : 14 x/menit
nafas melalui bagging
- Pemberian oksigen kontrol melalui bagging 2
sesuai tidal volume
detik sekali hingga saturasi dan rr meningkat
- SPO2 : 97 %
- Irama nafas tidak teratur
A : Ketidakefektifan pola nafas teratasi
P : Hentikan Intervensi

Risiko 1. Mengkaji kebutuhan S:-


O:
ketidakseimbangan cairan pasien
- Pasien menngatakan puasa 6 jam
cairan dan elektrolit 2. Mengelola
- Pasien diberikan cairan RL 1500
berhubungan dengan pemberian cairan dan
- Pasien mengalami perdarahan 500 cc
vasodilatasi pembuluh elektrolit, dan vaso
- Urin Output 200cc
darah dampak agen konstriktor
- Hemodinamik : sisitole 100-110 dan diastole
anestesi 3. Memonitor 70-90 mmHg
Hemodinamik - Intake-Output : 1500-500= +1000cc
4. Memonitor input dan A : Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
output cairan tidak terjadi
P : Hentikan Intervensi
POST ANESTESI

Diagnosa Implementasi EVALUASI


Bersihan jalan nafas tidak 1. Mengkaji adanya S:-
efektif berhubungan suara nafas O:
dengan mukus banyak, tambahan - Suara nafas gurgling, setelah di suction
efek general anestesi vesikuler
2. Melakukan
- Sekret kental, bau khas, ±5 cc, berwarna putih
Suction bila
terdapat secret - Kesadaran pasien Apatis
- Pasien bernafas spontan
3. Memonitor
- TD sistol antara 100-115 dan diastole antara 70-
Hemodinamik
90 mmHg, Nadi 60-85 x.menit
- RR : 16 x/menit
A : Bersihan jalan nafas teratasi
P : Hentikan Intervensi

Risiko jatuh berhubungan 1. Memposisikan S:-


dengan efek general pasien dengan
anestesi nyaman O:
2. Memasang
- Kesadaran pasien apatis
restrain di sisi
- Restrain di bed terpasang, roda bed terkunci
kanan kiri pasien
- Pasien terpasang gelang warna kuning
untuk menjaga
- Pasien mengalami disorientasi
keamanan pasien.
- Aldrete score 7
3. Memantau
A : Resiko jatuh teratasi sebagian
penggunaan obat
anestesi dan efek P : Observasi pengaruh obat anestesi dan efek yang
yang timbul timbul, hingga pasien dapat dipindahkan ke bangsal

Nyeri berhubungan 1. Mengkaji tingkat S:-


dengan agen cedera fisik nyeri, durasi, lokasi
O:
dan intensitas
2. Mengobservasi - Kesadaran pasien apatis

ketidaknyamanan - Pasien terlihat meringkih kesakitan

non verbal - Drip fentanyl 200 mcg dalam RL 500 , 20 tpm


- Pasien kurang kooperatif
3. Mengelola
pemberian analgesik - TD : 115/70 mmHg
drip fentanyl 200 - Nadi : 85 x/menit
mcg dalam - RR : 16 x/menit

A : Nyeri akut teratasi sebagian

P : Lanjutkan intervensi pemberian terapi non


farmakologi nafas dalam, mengkaji nyeri
BAB III

KESIMPULAN

Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada pasien Tn S


dengan diagnosis medis Hernia Nucleus Pulsosus dengan tindakan
Laminectomy, didapatkan diagnose keperawatan yaitu :
1. Pre Anestesi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis teratasi sebagian,
lanjutkan intervensi
b. Ansietas berhubungan dengan tindakan pembiusan dan operasi teratasi
2. Intra Anestesi
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan pengaruh sekunder: obat-
obatan anestesi teratasi
b. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
vasodilatasi pembuluh darah dampak agen anestesi teratasi
3. Post Anestesi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mukus banyak, efek
general anestesi teratasi
b. Risiko jatuh berhubungan dengan efek general anestesi teratasi sebagian,
lanjutkan Observasi pengaruh obat anestesi dan efek yang timbul, hingga
pasien dapat dipindahkan ke bangsal

Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik teratasi sebagian, lanjutkan intervensi
pemberian nafas dalam dan kaji nyeri lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC,


Jakarta.
Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta :
Gajahmada University Press, 1993
Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000.
Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.
Anonim A. http://minepoems.blogspot.com/2009/07/pregabalin.html. diakses tanggal
16 Mei 2011, pukul 17.00 WIB.

Anonim B. http://belibis-a17.com/2009/11/17/hernia-nukleus-pulposus-hnp-lumbalis/.
diakses tanggal 16 Mei 2011, pukul 17.00 WIB.

Latief S, A., Suryadi K, A., Dachlan M, R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Patient monitors. In : Lange Medical
Books Clinical Anesthesiology. 4th eds. New York.

Anda mungkin juga menyukai