S DENGAN TINDAKAN
LAMINEKTOMI ATAS INDIKASI HNP DI INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
KOKO SENOAJI
NIM P07120721013
1.3.Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan anstesiologi pada pasien HNP (Hernia Nucleus
Pulposus) dengan general anestesi
1.3.2 Tujuan Khusus
Mampu melakukan:
a. Pengkajian peri operatif anestesi
b. Merumuskan diagnosa keperawatan perioperatif general anestesi
c. Membuat rencana tindakan keperawatan perioperatif general anestesi
d. Melakuakan implementasi keperawatan perioperatif general anestesi
e. Mengevaluasi asuhan keperawatan perioperatif general anestesi
f. Mendokumentasi asuhan keperawatan perioperatif general anestesi
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Definisi HNP
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang disebabkan oleh
trauma atau perubahan degeneratif yang menyerang massa nukleus pada daerah
vertebra L4-L5, L5-S1, atau C5-C6 yang menimbulkan nyeri punggung bawah yang
berat, kronik dan berulang atau kambuh ( Doenges, 1999).
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah menonjolnya nukleus dari diskus ke
dalam anulus (cincin fibrosa sekitar diskus) dengan akibat kompresi saraf
( Smeltzer, 2001).
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah herniasi atau penonjolan keluar dari
nukleus pulposus yang terjadi karena adanya degenerasi atau trauma pada anulus
fibrosus ( Rasjad, 2003).
Herniasi adalah suatu proses bertahap yang ditandai dengan serangan-
serangan penekanan akar syaraf yang menimbulkan berbagai gejala dan periode
penyesuaian anatomik ( Price, 2005).
Nukleus Pulposus adalah bantalan seperti bola dibagian tengah diskus
(lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra).
(Smeltzer, 2001).
Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah
bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan
dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus
pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth,
2002)
Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa
juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990)
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang disebabkan
oleh proses degeneratif atau trauma yang ditandai dengan menonjolnya nukleus
pulposus dari diskus ke dalam anulus yang menimbulkan kompresi saraf sehingga
terjadi nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).
2.2.Anatomi Fisiologi Vertebrae
Tulang (belakang) pada batang punggung sepanjang punggung,
menghubungkan tengkorak dengan panggul. Tulang ini melindungi syaraf yang
menonjol pada otak dan menjalar kebawah punggung dan ke seluruh tubuh. tulang
belakang tersebut dipisahkan oleh piringan yang berisi bahan yang lembut, seperti
agar-agar, yang menyediakan batalan ke batang tulang belakang. Piringan ini bisa
hernia (bergerak keluar dari tempatnya) atau pecah karena luka berat atau tegangan.
Batang tulang belakang dibagi kedalam beberapa bagian-cervical tulang
belakang (leher), thoracic spine (bagian punggung dibelakang dada), lumbar tulang
belakang (punggung bagian bawah), dan sacral tulang belakang (bagian yang
dihubungkan dengan panggul yang tidak bisa bergerak).
Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah
bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan
dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus
pulposus.
2.3. Etiologi
Radiculopathy merujuk pada setiap penyakit yang mengenai pusat syaraf
tulang belakang. Herniated disk adalah salah satu penyebab radiculopathy (sciatica).
Kebanyakan hernia terjadi di bagian punggung bawah (daerah lumbar) pada
punggung. Lebih dari 80% piringan yang hernia terjadi di punggung bagian bawah.
Paling sering terjadi pada orang berusia 30 sampai 50 tahun. diantara usia ini,
pelindung tersebut melemah. Bagian dalam, yang dibawah tekanan tinggi, bisa
menekan melalui sebuah sobekan atau bintik yang melemahkan pada penutup dan
menonjol keluar. Setelah usia 50 tahun, bagian dalam piringan tersebut mulai
mengeras, membuat hernia sedikit mungkin. Sebuah piringan bisa sobek secara tiba-
tiba, luka trauma atau luka berulang. Obesitas ataupun mengangkat benda berat,
terutama mengangkat beban dengan posisi yang tidak semestinya dapat
meningkatkan resiko tersebut.
Lumbar disk herniation terjadi 15 kali lebih sering dibandingkancervical disk
herniation, dan ini adalah salah satu penyebab yang paling umum pada nyeri
punggung belakang. Cervical disk mengenai 8% setiap kali dan upper-to-mid-back
disk (thoracic) hanya 1-2 % setiap kali.
Faktor Risiko
1. Faktor risiko yang tidak dapat dirubah
Umur: makin bertambah umur risiko makin tinggi
Jenis kelamin: laki-laki lebih banyak dari wanita
Riwayat cedera punggung atau HNP sebelumnya
1. Faktor risiko yang dapat dirubah
Pekerjaan dan aktivitas : duduk yang terlalu lama, mengangkat atau
menarik barang-barang berta, sering membungkuk atau gerakan memutar
pada punggung, latihan fisik yang berat, paparan pada vibrasi yang
konstan seperti supir.
Olahraga yang tidak teratur, mulai latihan setelah lama tidak berlatih,
latihan yang berat dalam jangka waktu yang lama.
Merokok. Nikotin dan racun-racun lain dapat mengganggu kemampuan
diskus untuk menyerap nutrien yang diperlukan dari dalam darah.
Berat badan berlebihan, terutama beban ekstra di daerah perut dapat
menyebabkan strain pada punggung bawah.
Batuk lama dan berulang
2.4. Klasifikasi
2.4.1. Hernia Lumbosacralis
Penyebab terjadinya lumbal menonjol keluar, bisanya oleh kejadian luka
posisi fleksi, tapi perbandingan yang sesungguhnya pada pasien non trauma adalah
kejadian yang berulang. Proses penyusutan nukleus pulposus pada ligamentum
longitudinal posterior dan annulus fibrosus dapat diam di tempat atau
ditunjukkan/dimanifestasikan dengan ringan, penyakit lumbal yang sering kambuh.
Bersin, gerakan tiba-tiba, biasa dapat menyebabkan nucleus pulposus prolaps,
mendorong ujungnya/jumbainya dan melemahkan anulus posterior. Pada kasus
berat penyakit sendi, nucleus menonjol keluar sampai anulus atau menjadi
“extruded” dan melintang sebagai potongan bebas pada canalis vertebralis. Lebih
sering, fragmen dari nucleus pulposus menonjol sampai pada celah anulus, biasanya
pada satu sisi atau lainnya (kadang-kadang ditengah), dimana mereka mengenai
menimpa sebuah serabut atau beberapa serabut syaraf. Tonjolan yang besar dapat
menekan serabut-serabut saraf melawan apophysis artikuler.
2.4.2. Hernia Servikalis
Keluhan utama nyeri radikuler pleksus servikobrakhialis. Penggerakan
kolumma vertebralis servikal menjadi terbatas, sedang kurvatural yang normal
menghilang. Otot-otot leher spastik, kaku kuduk, refleks biseps yang menurun atau
menghilang Hernia ini melibatkan sendi antara tulang belakang dari C5 dan C6 dan
diikuti C4 dan C5 atau C6 dan C7. Hernia ini menonjol keluar posterolateral
mengakibatkan tekanan pada pangkal syaraf. Hal ini menghasilkan nyeri radikal
yang mana selalu diawali gejala-gejala dan mengacu pada kerusakan kulit.
2.4.3. Hernia Thorakalis
Hernia ini jarang terjadi dan selalu berada digaris tengah hernia. Gejala-
gejalannya terdiri dari nyeri radikal pada tingkat lesi yang parastesis. Hernia dapat
menyebabkan melemahnya anggota tubuh bagian bawah, membuat kejang
paraparese kadang-kadang serangannya mendadak dengan paraparese.
Penonjolan pada sendi intervertebral toracal masih jarang terjadi (menurut
love dan schorm 0,5 % dari semua operasi menunjukkan penonjolan sendi). Pada
empat thoracal paling bawah atau tempat yang paling sering mengalami trauma
jatuh dengan posisi tumit atau bokong adalah faktor penyebab yang paling utama.
2.5. Patofisiologi
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) dapat disebabkan oleh proses degeneratif dan
trauma yang diakibatkan oleh ( jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti
mengangkat benda berat) yang berlangsung dalam waktu yang lama. Diskus
intervertebralis merupakan jaringan yang terletak antara kedua tulang vertebra, yang
dilingkari oleh anulus fibrosus yang terdiri atas jaringan konsentrik dan
fibrikartilago dimana didalamnya terdapat substansi setengah cair. Substansi inilah
yang dinamakan dengan Nukleus Pulposus yang mengandung berkas-berkas serat
kolagenosa, sel jaringan ikat, dan sel tulang rawan. Bahan ini berfungsi sebagai
peredam-kejut (shock absorver) antara korpus vertebra yang berdekatan, dan juga
berperan penting dalam pertukaran cairan antara diskus dan kapiler. Diskus
intervertebra ini membentuk sekitar seperempat dari panjang keseluruhan kolumna
vertebralis. Diskus paling tipis terletak di regio lumbalis. Seiring dengan
bertambahnya usia, kandungan air diskus berkurang (dari 90% pada masa bayi
menjadi 70% pada lanjut usia) dan diskus menjadi lebih tipis sehingga resiko
terjadinya HNP menjadi lebih besar. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus
menurunkan kandungan air nukleus pulposus.
Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan
pada herniasi nukleus.Selain itu serat-serat menjadi lebih kasar dan mengalami
hialinisasi,yang ikut berperan menimbulkan perubahan yang menyebabkan HNP
melalui anulus disertai penekanan saraf spinalis. Dalam herniasi diskus
intervertebralis, nukleus dari diskus menonjol kedalam anulus (cincin fibrosa sekitar
diskus) dengan akibat kompresi saraf. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus
menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang
menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setelah trauma
(jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat beban berat dalam
waktu yang lama) kartilago dapat cedera, kapsulnya mendorong kearah medulla
spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong
terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.
Sebagian besar herniasi diskus (proses bertahap yang ditandai serangan-
serangan penekanan akar saraf) terjadi di daerah lumbal di antara ruang lumbal IV
ke V (L4 ke L5), atau lumbal kelima (L5 ke S1), hal ini terjadi karena daerah inilah
yang paling berat menerima tumpuan berat badan kita pada saat beraktivitas. Arah
tersering herniasi bahan Nukleus pulposus adalah posterolateral. Karena akar saraf
daerah lumbal miring kebawah sewaktu keluar melalui foramen saraf, herniasi
diskus antara L5 dan S1 lebih mempengaruhi saraf S1 daripada L5. (Price, 2005) ,
(Brunner& Suddarth , 2001), (Rasjad, 2003).
Hernia Nukleus Pulposus yang menyerang vertebra lumbalis biasanya
menyebabkan nyeri punggung bawah yang hebat, mendesak, menetap beberapa jam
sampai beberapa minggu, rasa nyeri tersebut dapat bertambah hebat bila batuk,
bersin atau membungkuk, dan biasanya menjalar mulai dari punggung bawah ke
bokong sampai tungkai bawah. Parastesia yang hebat mugkin terjadi sesudah gejala
nyeri menurun, deformitas berupa hilangnya lordosis lumbal atau skoliosis,
mobilitas gerakan tulang belakang berkurang (pada stadium akut gerakan pada
bagian lumbal sangat terbatas, kemudian muncul nyeri pada saat ekstensi tulang
belakang), nyeri tekan pada daerah herniasi dan bokong (paravertebral), klien juga
biasanya berdiri dengan sedikit condong ke satu sisi.
Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus dapat meninbulkan komplikasi
antara lain berupa radiklitis (iritasi akar saraf), cedera medulla spinalis, parestese,
kelumpuhan pada tungkai bawah.
2.8. Penatalaksanaan
Setelah sekitar 2 minggu, kebanyakan orang sembuh tanpa pengobatan
apapun. Memberikan kompres dingin (seperti ice pack) untuk nyeri yang akut dan
panas (seperti heating pad) untuk nyeri yang kronik. Dapat pula menggunakan
analgesik OTC bisa membantu meringankan nyeri tersebut. kadangkala operasi
untuk mengangkat bagian atau seluruh piringan dan bagian tulang belakang
diperlukan. Pada 10 % sampai 20% orang yang mengalami operasi untuk sciatica
disebabkan piringan hernia, piringan lain pecah.
Penatalaksanaan pada klien dengan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah :
2.8.1. Penatalaksanaan medis.
1. Pemberian obat-obatan seperti analgetik, sedatif (untuk mengontrol
kecemasan yang sering ditimbulkan oleh penyakit diskus vertebra servikal),
relaksan otot, anti inlamasi atau kortikosteroid untuk mengatasi proses
inflamasi yang biasanya terjadi pada jaringan penyokong dan radiks saraf
yang terkena, antibiotik diberikan pasca operasi untuk mengurangi resiko
infeksi pada insisi pembedahan (Smeltzer, 2001).
2. Prosedur pembedahan.
a. Laminektomi, adalah eksisi pembedahan untuk mengangkat lamina dan
memungkinkan ahli bedah spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat
patologi dan menghilangkan kompresi medulla dan radiks, laminektomi juga
berarti eksisi vertebra posterior dan umumnya dilakukan untuk
menghilangkan tekanan atau nyeri akibat HNP.
b. Disektomi, adalah mengangkat fragmen herniasi atau keluar dari diskus
intervertebral.
c. Laminotomi, adalah pembagian lamina vertebra.
d. Disektomi dengan peleburan- graft tulang (dari krista iliaka atau bank
tulang) yang digunakan untuk menyatukan dengan prosesus spinosus
vertebra ; tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani diskus defektif
untuk menstabilkan tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan.
e. Traksi lumbal yang bersifat intermitten. (Smeltzer, 2001).
f. Interbody Fusion (IF) merupakan penanaman rangka Titanium yang
berguna untuk mempertahankan dan mengembalikan tulang ke posisi
semula.
3. Fisioterapi
a. Immobilisasi
Immobilisasi dengan menggunakan traksi dan brace. Hal ini dilakukan agar
tidak terjadi pergerakan vertebra yang akan memperparah HNP.
b. Traksi
Traksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada
katrol dan beban. Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan vertebra
servikalis.
c. Meredakan Nyeri
Kompres hangat dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri. Kompres hangat
menimbulkan vasodilatasi sehingga tidak terjadi kekakuan pada daerah
vertebra.
2.8.2. Penatalaksanaan keperawatan.
a. Tirah baring (biasanya 2 minggu) pada alas yang keras atau datar.
b. Imobilisasi dengan menggunakan kolar servikal, traksi servikal, brace atau
korset.
c. Kompres lembab panas (untuk 10 sampai 20 menit diberikan pada daerah
belakang leher beberapa kali sehari untuk meningkatkan aliran darah ke
otak dan menolong relaksasi otot bagi klien yang mengalami spasme otot).
d. Anjurkan mempergunakan posisi yang benar dan disiplin terhadap gerakan
punggung yaitu membungkuk dan mengangkat barang. Teknik yang benar
adalah menjaga agar tulang belakang tetap tegak, menekuk lutut dan
menjaga berat badan tetap dekat dengan tubuh untuk menggunakan otot-
otot tungkai yang kuat dan menghindari pemakaian otot-otot punggung.
e. Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri
f. Perawatan luka pada klien pasca operasi untuk mengurangi risiko infeksi.
(Smeltzer, 2001).
2.8.3. Diit.
Klien dengan HNP dianjurkan untuk makan makanan yang banyak
mengandung serat untuk mencegah konstipasi yang dapat memperberat rasa nyeri.
2.9. Komplikasi
1. kelumpuhan pada ekstremitas bawah
2. cedera medula spinalis
3. radiklitis (iritasi akar saraf)
4. parestese
5. disfungsi seksual
6. hilangnya fungsi pengosongan VU dan sisa pencernaan.
2.10. Prognosa
Umumnya prognosa baik dengan pengobatan yang konservatif. Presentasi
rekurensi dari keadaan ini sangat kecil. Tetapi kadang-kadang pada sebagian orang
memerlukan waktu beberapa bulan sampai beberapa tahun untuk memulai lagi
aktivitasnya tanpa disertai rasa nyeri dan tegang pada tulang belakang. Keadaan
tertentu (misalnya dalam bekerja) yang mengharuskan pengangkatan suatu benda
maka sebaiknya dilakukan modifikasi untuk menghindari rekurensi nyeri pada
tulang belakang.
Manajemen anestesi
a. General anestesi
Anestesi umum atau general anestesi adalah tindakan menghilangkan
rasa nyeri atau sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
dapat puli kembali (reversibel). Komponen trias anestesi ideal terdiri
dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
1. Konsentgrasi inspirasi
Teoritis kalau saturasi uap anestesi di dalam jaringan
sudah penuh, maka ambilan paru berhenti dan konsentrasi
uap inspirasi sama dengan alveoli. Induksi makin cepat
kalau kosentrasi makin tinggi, asalkan tidak terjadi
depresi nafas atau spasme laring.
2. Ventilasi alveolar
Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolaar makin
tinggi dan sebaliknya.
3. Koefisien darah dan gas
Makin tinggi angkanya makin cepat larut dalam darah,
makinrenfah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya
4. Hubungan ventilasi perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas
anestesi. Jumlah uap dalam mesin anestesi bukan
merupakan gambaran yang sebenarnya, karena sebagian
uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit anestesi atau ke
atmosfir sekitar sebelum mencapai pernafasan.
c) Sevofluren
Merupakan induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan dengan isofluren. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
nafas, sehingga digemari untuk teknik induksi
anestesia inhalasi.
Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek tgerhadap SSP seperti
isofluren dan belum ada laporan toksik terhadap
hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluren
cepat dikeluarkan oleh badan. Sevoflurane di
eliminasi di paru-paru, hati dan ginjal, Action nya
1-6 menit, efek puncak 14 menit, durasi 14,3
menit dan MAC nya 2,0.
b. Anestesi intravena
Anestesi intravena selain untuk induksi dapat digunakan
untuk rumatan anestesia dan tambahan pada analgesia. Obat –
obat yangh sering digunakan yaitu:
a) Analgetika dan sedative
Obat -obat yang digunakan untuk mengurangi kecemasan
pre operasi antara lain:
Midazolam (dormicum, miloz, sedacum) :
merupakan golongan benzodiazepine, obat sedativ
pada dosis standar, dosis tinggi untuk induksi.
Memiliki sifat antiansietas, sedative, amnesive,
antikolvusane, dan relaxan otot scelet. Tekanan
darah menurun. Dosis 0,5 mg – 1 mg /kgBB untuk
sedasi, 0,15 – 0,3 mg/kgBB untuk induksi IV.
Onset 60 detik dan durasi 20 menit. Eliminasi di
ginjal. Perhatian pada pasien tua.
b) Opioid
Opioid adalah sebuah zat baik sintetik atau natural
yang dapat berikatan dengan reseptor morpin. Opioid
disebut juga sebagai analgetika narkotik yang sering
digunakandalam anestesi umum untuk mengendalikan
nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.
Onset /aksi < 1 menit/ IV, lama aksi/durasi 2 – 7 jam,
opioid yang sering digunakan untuk anestesi :
Morpin
Adalah alkaloid opium menimbulkan efek primer
terhadap SSP dan organ yang mengandung otot
polos. Morpin menimbulkan analgesia, rasa
mengantuk, euforia, depresi pernafasan.
Morpin mengurangi aliran darah ke otak dan TIK,
dan di eliminasi di hati. Awitan atau aksi/onset IV
< 1 menit, lama aksi 2- 7 jam
Fentanyl
Adalah opioid potensi tinggi seratus kali morfin.
Onset cepat dan durasi pendek, tidak bersifat
mengeluarkan histamin. Stabilisasi kardiovaskular
dipertahankan walaupun dalam dosis besar. Aliran
darah otak, kecepatan metabolisme otak, dan TIK
menurun. Dosis analgesi IV 25- 100 mcg (0,7 -
2mcg /kgBB), induksi IV 30 -60 menit. Perhatian
kurangi dosis pada manula, hipovolemi. Reaksi
samping iutama berupa hipotensi, depresi
pernafasan, pusing, mata kabur, kejang, dan mata
miosis.
c) Induksi
Profofol (difrifan, recovol)
Profofol dikemas dalam cairan lemak berwarna
putih susu dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg).
Suntikan IV sering menyebabkan nyeri,
penggunakan profofol untuk induksi sadar,
pemeliharaan anestesi. Dosis bolus untuk sedasi
sadar : 25 -50 mg, dosis induksi : 2- 2,5mg /kgBB.
Profofol merupakan suatu obat hipnotik IV yang
menimbulkan induksi anestesia yang cepat. Dosis
induksi berkaitan dengan apnoe dan hipotensi
sebagai akibat depresi miokard langsung dan
penurunan vaskuler sistemik dengan perubahan
nadi minimal. Profofol tidak memiliki sifat
analgesik, kemungkinan memiliki sifat antiemetik
intriksi, profofol mengurangi aliran darah otak,
TIK, dan kecepatan metabolik otak, dpat terjadi
pelepasan histamin, dan reaksi alergi
kemungkinan sekali anafilaksis, onset 40 detik.
Ketamin
Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi
anestesi, khususnya pada pasien hipovolemik
karena sering menimbulan takhikardi, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesi dapat
menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan
mimpi buruk. Dosis bolus untuk induksi 1- 2,5 mg
/kgBB. Ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1 ml = 1 mg), 5% (1 ml = 100mg).
Ketamin dieliminasi dihati dan di ekskresi
diginjal. Onset IV 30- 60 detik, lama aksi IV 5- 15
menit.
d) Pelumpuh otot
Obat golongan ini menghambat transmisi
neuromuskular sehingga menimbulkan kelumpuhan
otot pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya
obat ini dibagi menjadi dua golongan yaitu obat
penghambat secara depolarisasi resisten dan obat
penghambat kompetitif atau non depolarisasi.
1) Pelumpuh otot golongan depolarisasi yaitu
bekerjanya seperti asetilkolin, tetapi dicelah saraf
otot tak dirusak oleh kolinesterase , sehingga
cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga
terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulisasi
yang disusul relaksasi otot lurik. Obat golongan
ini adalah:
Suksinilkolin
Suksinilkolin merupakan relaksan otot skelet
depolarisasi cepat. Efek kardiovaskuler minimal,
bradikardi dan aritmia mungkin nampak.
Fasikulisasi menyebabkan peningkatan K serum.
Dosis IV 0,7 mg/kgBB. Perhatian/peringatan tidak
boleh diberikan pada pasien dengan hiperkalemia
karena dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel.
2) Pelumpuh otot golongan Non depolarisasi
berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik,
tetap tidak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetil colin menempatinnya sehingga
asetilcolin tidak dapat bekerja. Obat golongan ini
misalnya:
Rocuronium: merupakan obat pemblokir
mendepolarisasi dengan onset cepat (45-90 detik),
onset dan durasi / lama aksi tergantung dosis
normal biasanya 15-30 menit. Dosis intubasi IV
0,6-1,2 mg/kgBB. Pemeliharaan IV 0,06-0,6
mg/kgBB. Reaksi samping utama kardiovaskuler,
takikhardi, vulmoner, hipoventilasi, apneu,
bronchospasme. Perhatian hati-hati pada kesulitan
intubasi.
Vecuronium: bekerja dengan mengikat dan
bersaing dengan asetilocolin pada reseptor. Onset
3 menit, lama aksi 30 menit. Reaksi samping
utama kardiovaskuler, bradikarsi, vulmoner,
hipoventilasi dan apneu.
Tracrium (notricum, atracurium) : obat ibni
merupakan relaksan otot skelet non depolarasasi.
Obat ini mengalami metabolisme yang cepat via
eliminasi dibadan hoftman, obat ini juga
menyebabkan pelepasan histamin, penurunan
tekanan arteri dan peningkatan nadi. Onset atau
awitan aksi kurang 3 menit, lama aksi reaksi
anifilaktoid. Reaksi samping utama hipotensi,
vasodilatasi, hipoventilasi, apneu, bronhkospasme.
1. PERSIAPAN DAN PENATALAKSANAAN PRE, INTRA DAN
POST ANESTESI
1. Pre anestesi
Adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesia yang
dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk
menjalani tindakan operatif , kunjungan praanestesi pada
tindakan elektif dilaukan dalam waktu yang sesingkat
mungkin.
Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mingkin akan terjadi selama
operasi dan atau paskah bedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi
penyulit yang diramalkan
a. Anamnesis
1. Identitas pasien atau biodata, meliputi:
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
Dll
2. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit
bedah yang mungkin menimbulkan gangguan fungsi
sistem organ.
3. Anamnesis umum meliputi:
Riwayat penyakit sistemik yang pernah
diderita atau sedang menderita penyakit
sistemik selain penyakit bedah yang diderita,
yang bisa mempengaruhi anaestesiatau di
pengaruhi oleh anestesi seperti: DM, penyakit
ginjal, penyakit jantung, hipertensi, alergi,
penyakit paru kronis.
Riwayat pemakaian obat yang telah / sedang
digunakan yang mungkin berinteraksi dengan
onat anestesi misa nya: kortikosteroid, obat
antihipertensi, obat antidiabetik,antibiotik
golongan aminoglikolisid, digitalis, deuretika,
transquilizer, obat penghambat enzim mono
spasiamin oksidase dan bronchodilator.
Riwayat operasi / anestesi terdahulu, misalnya:
apakah pasien mengalami komplikasi anestesi.
Riwayat sistem organ meliputi keadaan umum,
pernapasan, kardivaskuler, ginjal,
gastrointestinal, hematologi, neurologi,
endokrin, psikiatri, dermatologi.
Kebiasaan buruk, antara lain: perokok,
opeminum minuman keras (alkohol), pemakai
obat-obatan terlarang (sedatif dan narkotik)
Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain
Riwayat keluarga yang menderita kelainan
seperti hipermia maligna.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan atau pengukuran status persen:
kesadaran, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu
tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status
gizi/ BMI
2. Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status:
Psikis: gelisah, takut dan kesakitan
Saraf (otak, medula spinalis dan saraf tepi)
Respirasi
Hemodinamik
Penyakit darah
Gastrointestinal
Hepato-bilier
Urogenital dan saluran kencing
Metabolik dan endokrin
Otot rangka
Integumen
d. Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam
jalan nafas merupakan resiko utamna pada pasien-pasien
yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan resiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi
elektif, dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa).
e. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum
induksi anestesi dengan yang ada hubungan dengan
anestesi. Golongan obat ini yang digunakan yaitu seperti
midazolam, opioid (petidine), anti kolinergik (SA),
antiemetik (ondansetron), antagonis reseptor H2 histamine
(ranitidine, simetidine). Tujuan nya yaitu:
Meredahkan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan
bronkus
Mengurangi mual muntah paska bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
2. Induksi Anestesia
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar. Induksi anestesi
dapat dilakukan dengan intravena dan inhalasi, setelah
pasien tertidur akibat induksi anestesi langsung
dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai
tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai
induksi anestesi perlu disiapkan peralatan dan obat –
obatan yang diperlukan, untuk persiapan induksi
anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS.
STATICS ANESTESI
2. Induksi anestesi
Diusahakan tenang dan diberikan O2 melalui sungkup muka. Obat-obat
induksi diberikan secara intravena seperti ketamine, diazepam, midazolam,
propofol dan relaksan. Jalan nafas dikontrol dengan sungkup muka atau
nafas orofaring/nasofaring. Setelah itu dilakukan intubasi trakea. Setelah
kedalaman anestesi tercapai posisi pasien disesuaikan dengan tindakan
bedah.
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan anestesi. Hal-hal
yang dipantau adalah fungsi vital : pernafasan, tekanan darah, nadi, dan
kedalaman anestesi, misalnya adanya gerakan batuk, mengedan, perubahan
pola nafas, takikardi, hipertensi, keringat, air mata, midriasis. Ventilasi
pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu atau kendali tergantung
jenis, lama, dan posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan
memperhitungkan kebutuhan puasa, rumatan, perdarahan, evaporasi, dan
lain-lain.
Selama pasien dalam anestesi dilakukan pemantauan frekuensi nadi
dan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi terjadi
bila anestesi kurang dalam. Hal ini disebabkan karena terjadi sekresi
adrenalin. Diatasi dengan membuat anestesi lebih dalam, yaitu dengan
meningkatkan konsentrasi halotan atau suntikan barbiturat. Poenurunan
tekanan darah dan nadi sebagai tanda syok dan disebabkan karena
kehilangan banyak darah. Hal ini diatasi dengan pemberian cairan
pengganti plasma atau darah. Penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi
dapat disebabkan karena anestesi terlalu dalam atau terlalu ringan serta
kehilangan banyak darah atau cairan. Peninbgkatan tekanan darah dan
tekanan nadi serta penurunan frekuensi nadi disebabkan transfusi yang
berlebihan. Diatasi dengan penghentian transfusi.
Tanda vital dipantau dengan status fisik umum pasien dikaji setiap 5 menit.
Kepatenan jalan nafas dan fungsi pernafasan selalu dievaluasi pertama kali,
diikuti dengan pengkajian fungsi kardiovaskuler, kondisi letak yang
dioperasi dan fungsi system saraf pusat.
Sasaran utama intervensi adalah mempertahankan ventilasi pulmonal
dan dengan demikian mencegah hipoksemia (penurunan oksigen dalam
darah) dan hiperkapnea (kelebihan kadar dioksida dalam darah) hal ini
terjadi jika jalan nafas tersumbat dan ventilasi berkurang.
3. Post anestesi
Setelah operasi selesai pasien dibawa keruang pemulihan (recovery
room) atau keruang perawatan intensif (bila ada indikasi), secara umum,
ekstubasi terbaik dilakukan pada saat anestesi ringan atau sadar. Diruang
poemuliahn dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan
darah, nadi, pernafasan, suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drain, dan
lain-lain. Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai adalah warna
kulit, kesadran, sirkulasi, pernafasan dana aktifitas motorik, seperti skor
Aldrette. Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor adalah
10, namun bila skor total telah diatas 8 pasien boleh pindah dari ruang
pemulihan.
Pengkajian segera pasien bedah saat kembali keunit klinik terdiri atas:
a. Respirasi dan kepatenan jalan nafas: kedalaman, frekuensi dan
karakter pernafasan, sulit dan bunyi nafas.
b. Sirkulasi: tanda-tanda vital termasuk tekanan darah, kondisi kulit.
c. Neurologi: tingkat respon
d. Drainase: adanya drainase, keharusan untuk menghubungkan
selang ke sistem drainase yang spesifik, adanya dan kondisi balutan
e. Kenyaman: tipe nyeri dan lokasi, mual, muntah perubahan posisi
yang dibutuhkan
f. Keselamatan: kebutuhan akan pagar tempat tidur, drainase selang
tidak tersumbat, cairan infus yang tepat dan letak IV line terbebat
dengan baik.
Pucat 1
Sianotik 0
Tidak berespon 0
Tidak bergerak 0
BAB III
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 65 Tahun
Jenis kelamin :L
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Alamat : ***
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Wiraswasta
Diagnosis medis : HNP L4&L5
Berat badan : 55 Kg
Tinggi badan : 156 cm
No.Rekam medis : ***
TAHAP PRE ANESTESI
1. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum: Baik
b. Kesadaran : Compos mentis (E4,V5,M6)
c. AMPLE
2) Jantung
o. Genitalia
p. Ekstremitas
1) Atas
3. Pemeriksaan psikologis
1) Rumus maintenance
(M): 2cc/kgBB
2cc/55kg = 110 cc
2) Rumus pengganti puasa (PP): Lama puasa (jam) x maintenance
8 x 110 cc = 880 cc
DARAH LENGKAP
MCH 29.4 fL 27 – 31
DIFF COUNT
Neutrofil 71.30 % 50 – 70
Limfosit 26.90 % 20 – 40
MPV 6.6 fL
PT
KIMIA KLINIK
SERO IMUNOLOGI
b. Rontgen Thorax
Hasil bacaan Dalam Batas normal.
Mampu menggerakkan 2 V
empat ekstremitas
Mampu menggerakkan dua
1
ekstremitas
Tidak mampu
menggerakkan ekstremitas 0
2 Respirasi :
Henti napas 0
3 Tekana darah :
Prabedah
4 Kesadaran :
5 Warna kulit :
Kemerahan 2 V
Sianosis 0
Jumlah 9
1. Pasien dipindah ke bangsal 12.30 WIB
No Data Masalah Etiologi
Pre Anestesi
1 DS: Ansietas Kurang
pengetahuan
- Pasien mengatakan cemas
masalah
- Pasien belum pernah
pembiusan
menjalani pembedahan
sebelumnya
DO:
- TD : 130/80 mmHg
- Nadi : 90x/menit
- RR: 18 x/menit
2 DS: Nyeri Agen cedera
biologis
- Pasien mengatakan nyeri
di bagian tulang belakag
sejak 1 bulan yang lalu,
nyeri bertambah jika
digunakan untuk
beraktifitas nyeri seperti
ditusuk-tusuk di bagian
tulang belakang. Skala : 5
dari 10, nyeri hilang
timbul
DO:
- TD :130/80 mmHg
- Nadi :90 x/menit
- RR : 18x/menit
- Pasien tampak beberapa waktu
menahan sakit
Intra Anestesi
3 D Ketidakefekti Pengaruh
S fan pola sekunder:
: nafas obat-
obatan
- anestesi
D
O
:
- Pasien terpasang ETT ukuran
7
- Terjadi penurunan
frekuensi pernafasan
- TD : 101/72 mmHg
- RR : 12x/menit
- SPO2 : 95%
4 D Risiko Vasodilat
S ketidakseimb asi
: ang an cairan pembuluh
dan elektrolit darah
- dampak
agen
D anestesi
O
:
- Pasien dilakukan
laminektomi
- Pasien mengalami
perdarahan pada area
pembedahan ±300 ml
- Induksi anestesi dengan
Propofol 100 mg
- Pemeliharaan anestesi
dengan O2, N2O, dan
sevofluran
Post Anestesi
5 D Bersihan Mukus
S jalan nafas banyak,
: tidak efek
efektif general
- anestesi
D
O
:
- Pasien belum sadar
- Kesadaran apatis
- Kesadaran apatis
- TD : 146/93 mmHg
- Nadi : 98x/menit
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Anestesi
1. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan masalah
pembiusan ditandai dengan: pasien mengatakan cemas, pasien
belum pernah menjalani pembedahan sebelumnya, pasien terlihat
gelisah, TD : 130/80 mmHg, Nadi : 90x/menit, RR: 18 x/menit
2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai pasien
mengatakan nyeri di bagian tulang belakang sejak 1 bulan,
pasien mengatakan nyeri bertambah jika digunakan untuk
beraktifias, nyeri seperti ditusuk-tusuk, skala 5 dari 10,nyeri
hulang timbul, klien tampak beberapa waktu menahan sakit, TD :
130/80 mmHg, N: 90 /menit, RR : 18 x/menit.
Intra Anestesi
Intra Anestesi
Ketidakefektifan pola nafas Setelah dilakukan tindakan 1. Bersihakan jalan 1. Menjaga jalan nafas
berhubungan dengan selama durante operatif nafas dengan dan pola nafas pasien
pengaruh sekunder: obat- diharapkan melakukan kembali efektif
obatan anestesi ketidakefektifan pola nafas suction pada
oral,hidung, dan
teratasi dengan kriteria : ETT
2. Jaga jalan nafas
1. Irama nafas teratur
2. Dilakukan dengan
2. Jalan nafas pemasangan ETT
pasien paten nasal
3. Beri suplai
3. RR 16 – 20 x/menit 3. Pemberian suplai
oksigen
4. BP syst. 100 – 160 oksigen dapat
sesuai tidal
membuat pola nafas
mmhg. BP dyast. 60 volume
efektif
– 90 mmhg.
5. HR 60 -100 bpm. Nadi
besar, teratur dan kuat
4. Pantau tanda
angkat.
tanda 4. Untuk mengetahui
6. Tidak terjadi sianosis,
vital,saturasi apakah ada tanda tanda
SPO2>95%
O2, dan pola pola nafas telah efektif
nafas kembali
5. Bantu nafas
dengan 5. Bagging sesuai respirasi
Pasca Anetesi
Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi 1. Bersihan jalan nafas
efektif berhubungan dengan keperawatan selama hemodinamik yang tidak efektif
mukus banyak, efek general pasien di RR diharapkan menyebabkan
anestesi bersihan jalan nafas gangguan pola dan
efektif dengan kriteria : frekuensi pernafasan
2. Atur posisi miring 2. Posisi iring
1. Tidak ada suara
nafas tambahan mencegah aspirasi
lendir ke dalam
2. Pasien
paru-paru
bernafas
3. Kaji adanya suara 3. Suara nafas gurgling
spontan
nafas tambahan mengindikasikan
3. Suara nafas vesikuler adanya obstruksi
cairan pada airway,
4. RR 14 x/menit stridor karena
obstruksi oleh lidah,
wheezing karena
4. Lakukan
1. Dengan melakukan
Suction bila
suction dapat
terdapat secret
membersihkan jalan
nafas, bebas dari
lendir
Risiko jatuh berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Posisikan 1. Posisi yang nyaman
dengan efek general anestesi keperawatan selama pasien dengan mencegah pasien
pasien dirawat di ruang nyaman bergerak-gerak
pemulihan, diharapkan 2. Pasang restrain 2. Restrain
resiko jatuh tidak terjadi. di sisi kanan kiri
meminimalkan pasien
Kriteria hasil : pasien untuk
terjatuh dari brankar.
menjaga
1. Rasa nyaman
keamanan
pasien
pasien.
2. Pasien aman dan
tidak jatuh
3. Pantau penggunaan
3. Efek samping obat
3. Pasien segera sadar obat anestesi dan efek
anestesi umum dapat
setelah anestesi yang timbul membuat pasien
INTRA ANESTESI
KESIMPULAN
Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik teratasi sebagian, lanjutkan intervensi
pemberian nafas dalam dan kaji nyeri lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim B. http://belibis-a17.com/2009/11/17/hernia-nukleus-pulposus-hnp-lumbalis/.
diakses tanggal 16 Mei 2011, pukul 17.00 WIB.
Latief S, A., Suryadi K, A., Dachlan M, R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Patient monitors. In : Lange Medical
Books Clinical Anesthesiology. 4th eds. New York.