Anda di halaman 1dari 22

Sejarah 

Kerajaan Banten

Pada awal abad ke-16, daerah pajajaran yang beragama hindu. pusat kerajaan ini berlokasi di

pakuan ( sekarang bogor ). kerajaan pajajaran memiliki bandar-bandar penting seperti banten,

sunda kelapa ( jakarta ) dan Cirebon.

Kerajaan pajajaran telah mengadakan kerja sama dengan portugis. oleh kerena itu, portugis

diizinkan mendirikan kantor dagang dan benteng pertahanan di sunda kelapa. untuk

membendung pengaruh portugis di pajajaran, sultan trenggono dari demak memrintahkan

fatahilah selaku panglima perang demak untuk menaklukan bandar-bandar pajajaran. pada

tahun 1526, armada demak berhasil menguasai banten.

Pasukan fatahillah juga berhasil merebut pelabuhan sunda kelapa pada tanggal 22 juni 1527.

sejak saat iru nama “sunda kelapa” diubah menjadi “jayakarta” atau “jakarta” yang berarti

kota kemenanggan. tanggal itu ( 22 juni ), kemudian dijadikan hari jadi kota jakarta.

Dalam waktu singkat. seluruh pantai utara jawa barat dapat dikuasai fatahillah,agama islam

lambat laun tersebar di jawa barat. fatahillah kemudian menjadi wali ( ulama besar ) dengan

gelar sunan gunung jati dan berkedudukan di cirebon. Pada tahun 1552, putra fatahillah yang

bernama hasanudin diangkat menjadi penguasa banten. putranya yang lain, pasarean diangkat

menjadi penguasa di cirebon. fatahillah sendiri mendirikan pusat kegiatan keagamaan di

gunung jati, cirebon sampai beliau wafat pada tahun  pada tahun 1568. jadi, pada awalnya

kerajaan banten merupakan wilayah kekuasaan kerajaan demak.


Raja-Raja Kerajaan Banten

1. Sultan hasanuddin

Ketika terjadi perebitan kekuasaan di kerajaan demak, daerah banten dan cirebon berusaha

melepaskan diri dari kekuasaan demak. akhirnya, banten dan cirebn menjadi kerajaan yang

berdaulat, lepas dri pengaruh demak. sultan hasanuddin menjadi raja banten yang pertama. ia

memerintah banten selama 18 tahun, yaitu tahun 1552 – 1570 M. di bawah pemerintahannya,

banten berhasil menguasai lampung ( di sumatra ) yang banyak menghasilkan rempah-

rempah dan selat sunda yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan.

Selama pemerintahannya, sultan hasanuddin berhasil membangun pelabuhan banten menjadi

pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai bangsa.para pedagang dari

persia, gujarat, dan venesia berusaha enghindari selat malaka yang dikuasai potugis dan

beralih ke selat sunda. banten kemudian berkembang menjdi bandar perdagangan maupun

pusat penyebaran agama islam. setelah sultan hasanuddin wafat pada tahun 1570 M, ia

digantikan oleh putranya yaitu maulana yusuf.

2. Maulana Yusuf

Maulana yusuf memerintah banten pada tahun 1570-1580 M. pada tahun 1579, maulana

yusuf menaklukan kerajaan pajajaran di pakuan ( bogor ) dan sekligus menyinggirkan rajanya

yang bernama prabu sedah. akibatnya, banyk rakyat pajajaran yang menyinggir ke

pegunungan. mereka inilah yang sekarang dikenal sebagai orang-orang baduy atau suku

baduy di rangkasbitung banten.


3. Maulana muhammad

Setelah sultan maulana yusuf wafat,putranya yang bernama maulana muhammad naik tahta

pada usia 9 tahun. karena maulana muhammad masih sangat muda, pemerintahan dijalankan

mengkubumi jayanegara sampai maulana muhammad dewasa ( 1580-1596 ). enam belas

tahun kemudian, sultan maulana muhammad menyerang kesultanan palembang yang di

dirikan oleh ki gendeng sure, seorang bangsawan demak. kerajaan banten yang juga

keturunan demak merasa berhak atas daerah palembang. akan tetapi, banten mengalami

kekalahan. sultan maulana muhammad tewas dalam pertempuran itu.

4. Pangeran Ratu ( Abdul Mufakhir )

Pangeran ratu,yang berusia 5 bulan, menjadi sultan banten yang ke empat ( 1596-1651 ).

sampai pangeran ,dewasa, pemerintahan dijalankan oleh mangkubumi ranamanggala. pada

saat itulah untuk pertama kalinya bangsa belanda yang di pimpin oleh cornelis de houtman,

mendarat di banten pada tahun 22 juni 1596. pangeran ratu mendapat gelar kanjeng ratu

banten. ketika wafat, beliau digantikan oleh anaknya yang dikenal dengan nama sultan ageng

tirtaayasa.

5. Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan ageng tirtayasa memerintah banten paada tahun 1651-1682M, kerajaan banten pada

masa beliau mencapai masa kejayaan. sultan ageng tirtayasa berusaha memperluas wilayah

kerajaannya ini pada tahun 1671 M, sultan ageng tirtayasa mengangkat putranya menjadi raja

pembantu dengan gelar sultan abdul kahar atau sultan haji. sultan haji menjalin hubungan

baik dengan belanda. melihat hal itu, sultan ageng tirtayasa kecewa dan menarik kembali

jabatan raja pembantu bagi sultan haji, akan tetapi, sultan haji berusaha mempertahankan
dengan meminta bantuan kepada belanda. akibatnya terjadilah perang saudara. sultan ageng

tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga beliau wafat pada tahun 1691 M

Peninggalan Kerajaan Banten

Selama berkuasa kurang lebih 3 abad tersebut, kerajaan Banten meninggalkan beberapa bukti

bahwa kerajaan ini pernah berjaya di pulau Jawa .Lantas, apa saja peninggalan kerajaan

Banten yaitu sebagai berikut :

1. Masjid Agung Banten

Masjid Agung Banten adalah salah satu bukti peninggalan kerajaan Banten sebagai salah satu

kerajaan Islam di Indonesia. Masjid yang berada di desa Banten Lama, kecamatan Kasemen

ini masih berdiri kokoh sampai sekarang.

Masjid Agung Banten dibangun pada tahun 1652, tepat pada masa pemerintahan putra

pertama Sunan Gunung Jati yaitu Sultan Maulana Hasanudin. Selain itu, Masjid Agung

Banten juga merupakan salah satu dari 10 masjid tertua di Indonesia yang masih berdiri

sampai sekarang.

Keunikan masjid ini yaitu bentuk menaranya yang mirip mercusuar dan atapnya mirip atap

pagoda khas China. Selain itu, dikiri kanannya bangunan masjid tersebut ada sebuah serambi

dan komplek pemakaman sultan Banten bersama keluarganya.

2. Istana Keraton Kaibon


Peninggalan kerajaan Banten yang selanjutnya yaitu bangunan Istana Keraton Kaibon. Istana

ini dulunya digunakan sebagai tempat tinggal Bunda Ratu Aisyah yang merupakan ibu dari

Sultan Syaifudin.

Tapi kini bangunan ini sudah hancur dan tinggal sisa-sisa runtuhannya saja, sebagai akibat

dari bentrokan yang pernah terjadi antara kerajaan Banten dengan pemerintahan Belanda di

nusantara pada tahun 1832.

3. Istana Keraton Surosowan

Selain Istana Keraton Kaibon, ada satu lagi peninggalan kerajaan Banten yang berupa Istana

yaitu Istana Keraton Surosowan. Istana ini digunakan sebagai tempat tinggal Sultan Banten

sekaligus menjadi tempat pusat pemerintahan.

Nasib istana yang dibangun pada 1552 ini juga kurang lebih sama dengan Istana Keraton

Kaibon, dimana saat ini tinggal sisa-sisa runtuhan saja yang bisa kita lihat bersama dengan

sebuah kolam pemandian para putri kerajaan.

4. Benteng Speelwijk

Benteng Speelwijk adalah peninggalan kerajaan Banten sebagai bentuk dalam membangun

poros pertahanan maritim kekuasaan kerajaan di masa lalu. Benteng setinggi 3 meter ini

dibangun pada tahun 1585.

Selain berfungsi sebagai pertahanan dari serangan laut, benteng ini juga digunakan untuk

mengawasi aktivitas pelayaran di sekitar Selat Sunda. Benteng ini juga memiliki Mercusuar,

dan didalamnya juga ada beberapa meriam, serta sebuah terowongan yang menghubungkan

benteng tersebut dengan Istana Keraton Surosowan.


5. Danau Tasikardi

Di sekitar Istana Keraton Kaibon, ada sebuah danau buatan yaitu Danau Tasikardi yang

dibuat pada tahun 1570 – 1580 pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf. Danau ini

dilapisi dengan ubin dan batu bata.

Danau ini dulunya memiliki luas sekitar 5 hektar, tapi kini luasnya menyusut karena dibagian

pinggirnya sudah tertimbun tanah sedimen yang dibawa oleh arus air hujan dan sungai di

sekitar danau tersebut.

Danau Tasikardi pada masa itu berfungsi sebagai sumber air utama untuk keluarga kerajaan

yang tinggal di Istana Keraton Kaibon dan sebagai saluran air irigasi persawahan di sekitar

Banten.

6. Vihara Avalokitesvara

Walaupun kerajaan Banten adalah kerajaan Islam, tapi toleransi antara warga biasa dengan

pemimpinnya dalam hal agama sangat tinggi. Buktinya adalah adanya peninggalan kerajaan

Banten yang berupa bangunan tempat ibadah agama Budha.

Tempat ibadah umat Budha tersebut yaitu Vihara Avalokitesvara yang sampai sekarang

masih berdiri kokoh. Yang unik dari bangunan ini yaitu di dinding Vihara tersebut ada

sebuah relief yang mengisahkan tentang legenda siluman ular putih.

7. Meriam Ki Amuk

Seperti yang disebut sebelumnya, di dalam benteng Speelwijk adalah beberapa meriam,

dimana diantara meriam-meriam tersebut ada meriam yang ukurannya paling besar dan diberi

nama meriam ki amuk.


Dinamakan seperti itu, karena konon katanya meriam ini memiliki daya tembakan sangat

jauh dan daya ledaknya sangat besar. Meriam ini adalah hasil rampasan kerajaan Banten

terhadap pemerintah Belanda pada masa perang.

Kehidupan Politik Kerajaan Banten

Sultan pertama Kerajaan Banten ini adalah Sultan Hasanuddin yang memerintah tahun 1522-

1570. Ia adalah putra Fatahillah, seorang panglima tentara Demak yang pernah diutus oleh

Sultan Trenggana menguasai bandarbandar di Jawa Barat. Pada waktu Kerajaan Demak

berkuasa, daerah Banten merupakan bagian dari Kerajaan Demak. Namun setelah Kerajaan

Demak mengalami kemunduran, Banten akhirnya melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan

Demak.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) membuat para pedagang muslim memindahkan

jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin,

Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan. Hasanuddin memperluas

kekuasaan Banten ke daerah penghasil lada, Lampung di Sumatra Selatan yang sudah sejak

lama mempunyai hubungan dengan Jawa Barat. Dengan demikian, ia telah meletakkan dasar-

dasar bagi kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada. Pada tahun 1570, Sultan Hasanuddin

wafat.

Penguasa Banten selanjutnya adalah Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin. Di

bawah kekuasaannya Kerajaan Banten pada tahun 1579 berhasil menaklukkan dan menguasai

Kerajaan Pajajaran (Hindu). Akibatnya pendukung setia Kerajaan Pajajaran menyingkir ke


pedalaman, yaitu daerah Banten Selatan, mereka dikenal dengan Suku Badui. Setelah

Pajajaran ditaklukkan, konon kalangan elite Sunda memeluk agama Islam.

Maulana Yusuf digantikan oleh Maulana Muhammad (1580-1596). Pada akhir kekuasaannya,

Maulana Muhammad menyerang Kesultanan Palembang. Dalam usaha menaklukkan

Palembang, Maulana Muhammad tewas dan selanjutnya putra mahkotanya yang bernama

Pangeran Ratu naik takhta. Ia bergelar Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir.

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa putra Pangeran Ratu yang bernama

Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Ia sangat menentang kekuasaan Belanda.Usaha untuk

mengalahkan orang-orang Belanda yang telah membentuk VOC serta menguasai pelabuhan

Jayakarta yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa mengalami kegagalan. Setelah

pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mulai dikuasai oleh Belanda di bawah

pemerintahan Sultan Haji.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Banten

Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat berkembang menjadi bandar

perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Adapun faktor-faktornya ialah: (1) letaknya

strategis dalam lalu lintas perdagangan; (2) jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, sehingga

para pedagang Islam tidak lagi singgah di Malaka namun langsung menuju Banten; (3)

Banten mempunyai bahan ekspor penting yakni lada.

Banten yang menjadi maju banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab, Gujarat, Persia,

Turki, Cina dan sebagainya. Di kota dagang Banten segera terbentuk perkampungan-

perkampungan menurut asal bangsa itu, seperti orang-orang Arab mendirikan Kampung

Pakojan, orang Cina mendirikan Kampung Pacinan, orang-orang Indonesia mendirikan

Kampung Banda, Kampung Jawa dan sebagainya.


Kehidupan Sosial Dan Budaya Kerajaan Banten

Sejak Banten di-Islamkan oleh Fatahilah (Faletehan) tahun 1527, kehidupan sosial

masyarakat secara berangsur- angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten

berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman.

Pendukung kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan,

mereka dikenal sebagai Suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang

artinya Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak

pengaruh Islam.

Kehidupan sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik, karena

sultan memerhatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun setelah Sultan Ageng

Tirtayasa meninggal, dan adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan sosial

masyarakat berubah merosot tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan pada bangunan

Masjid Agung Banten (tumpang lima), dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di

samping itu juga bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda,

pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai

istana raja di Eropa.

Kejayaan Kerajaan Banten

Kerajaan Banten mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-

1682). Dimana, Banten membangun armada dengan contoh Eropa serta memberi upah

kepada pekerja Eropa. Namun, Sultan Ageng Tirtayasa sangat menentang Belanda yang

terbentuk dalam VOC dan berusaha keluar dari tekanan VOC yang telah memblokade kapal
dagang menuju Banten. Selain itu, Banten juga melakukan monopoli Lada di Lampung yang

menjadi perantara perdagangan dengan negara-negara lain sehingga Banten menjadi wilayah

yang multi etnis dan perdagangannya berkembang dengan pesat.

Runtuhnya Kerajaan Banten

Kerajaan Banten mengalami kemunduruan berawal dari perselisihan antara Sultan Ageng

dengan putranya, Sultan Haji atas dasar perebutan kekuasaan. Situasi ini dimanfaatkan oleh

VOC dengan memihak kepada Sultan Haji. Kemudian Sultan Ageng bersama dua putranya

yang lain bernama Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf terpaksa mundur dan pergi ke arah

pedalaman Sunda. Namun, pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng berhasil ditangkap dan ditahan

di Batavia. Dilanjutkan pada 14 Desember 1683, Syekh Yusuf juga berhasil ditawan oleh

VOC dan Pangeran purbaya akhirnya menyerahkan diri.

Atas kemenangannya itu, Sultan Haji memberikan balasan kepada VOC berupa penyerahan

Lampung pada tahun 1682. Kemudian pada 22 Agustus 1682 terdapat surat perjanjian bahwa

Hak monopoli perdagangan lada Lampung jatuh ketangan VOC. Sultan Haji meninggal pada

tahun 1687. Setelah itu, VOC menguasai Banten sehingga pengangkatan Sultan Banten harus

mendapat persetujuan Gubernur Jendral Hindian Belanda di Batavia.

Terpilihlah Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya sebagai pengganti Sultan Haji kemudian

digantikan oleh Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Aabidin. Pada tahun 1808-1810,

Gubernur Hindia Jenderal Belanda menyerang Banten pada masa pemerintahan Sultan

Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin.


Penyerangan tersebut akibat Sultan menolak permintaan Hindia Belanda untuk memindahkan

ibu kota Banten ke Anyer. Pada akhirnya, tahun 1813 Banten telah runtuh ditangan Inggris.

A. Kehidupan Politik

Sultan pertama Kerajaan Banten ini adalah Sultan Hasanuddin yang memerintah tahun 1522-

1570. Ia adalah putra Fatahillah, seorang panglima tentara Demak yang pernah diutus oleh

Sultan Trenggana menguasai bandarbandar di Jawa Barat. Pada waktu Kerajaan Demak

berkuasa, daerah Banten merupakan bagian dari Kerajaan Demak. Namun setelah Kerajaan

Demak mengalami kemunduran, Banten akhirnya melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan

Demak.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) membuat para pedagang muslim memindahkan

jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin,

Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan. Hasanuddin memperluas

kekuasaan Banten ke daerah penghasil lada, Lampung di Sumatra Selatan yang sudah sejak

lama mempunyai hubungan dengan Jawa Barat. Dengan demikian, ia telah meletakkan dasar-

dasar bagi kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada. Pada tahun 1570, Sultan Hasanuddin

wafat.

Penguasa Banten selanjutnya adalah Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin. Di

bawah kekuasaannya Kerajaan Banten pada tahun 1579 berhasil menaklukkan dan menguasai

Kerajaan Pajajaran (Hindu). Akibatnya pendukung setia Kerajaan Pajajaran menyingkir ke

pedalaman, yaitu daerah Banten Selatan, mereka dikenal dengan Suku Badui. Setelah

Pajajaran ditaklukkan, konon kalangan elite Sunda memeluk agama Islam.


Maulana Yusuf digantikan oleh Maulana Muhammad (1580-1596). Pada akhir kekuasaannya,

Maulana Muhammad menyerang Kesultanan Palembang. Dalam usaha menaklukkan

Palembang, Maulana Muhammad tewas dan selanjutnya putra mahkotanya yang bernama

Pangeran Ratu naik takhta. Ia bergelar Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir.

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa putra Pangeran Ratu yang bernama

Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Ia sangat menentang kekuasaan Belanda.Usaha untuk

mengalahkan orang-orang Belanda yang telah membentuk VOC serta menguasai pelabuhan

Jayakarta yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa mengalami kegagalan. Setelah

pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mulai dikuasai oleh Belanda di bawah

pemerintahan Sultan Haji.

B. Kehidupan Ekonomi

Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat berkembang menjadi bandar

perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Adapun faktor-faktornya ialah: (1) letaknya

strategis dalam lalu lintas perdagangan; (2) jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, sehingga

para pedagang Islam tidak lagi singgah di Malaka namun langsung menuju Banten; (3)

Banten mempunyai bahan ekspor penting yakni lada.

Banten yang menjadi maju banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab, Gujarat, Persia,

Turki, Cina dan sebagainya. Di kota dagang Banten segera terbentuk perkampungan-

perkampungan menurut asal bangsa itu, seperti orang-orang Arab mendirikan Kampung

Pakojan, orang Cina mendirikan Kampung Pacinan, orang-orang Indonesia mendirikan

Kampung Banda, Kampung Jawa dan sebagainya.


C. Kehidupan Sosial-budaya

Sejak Banten di-Islamkan oleh Fatahilah (Faletehan) tahun 1527, kehidupan sosial

masyarakat secara berangsur- angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten

berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman.

Pendukung kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan,

mereka dikenal sebagai Suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang

artinya Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak

pengaruh Islam

Kehidupan sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik, karena

sultan memerhatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun setelah Sultan Ageng

Tirtayasa meninggal, dan adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan sosial

masyarakat berubah merosot tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan pada bangunan

Masjid Agung Banten (tumpang lima), dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di

samping itu juga bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda,

pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai

istana raja di Eropa.

Perkembangan Kesultanan Banten


1. Maulana Hasanuddin

Hasanuddin penguasa kedua Banten,  melanjutkan cita-cita ayahnya untuk meluaskan

pengaruh Islam di tanah Banten. Banyak tindakan progresif yang ia lakukan dalam rangka

memberikan arah terhadap kesultanan yang baru muncul tersebut. Masjid agung Banten, dan

sarana pendidikan berupa pesantren di Kasunyatan merupakan karya nyata yang

monumentalnya terhadap generasi penerusnya.

Dalam hal perluasan wilayah kerajaan dan menyebarkan agama Islam, sultan Hasanuddin

memperluas wilayahnya ke Lampung dan daerah-daerah disekitarnya di Sumatera selatan.

Daerah-daerah taklukan pada Maulana Hasanuddin ini ternyata adalah daerah penghasil

utama merica. Perdagangan merica itu membuat Banten menjadi kota pelabuhan penting,

yang disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari Cina, India, dan Eropa.

Hasanuddin memperbesar dan memperindah kota pelabuhan Banten yang diberinya nama

Sura-Saji (Surosuwan). Kota ini lebih penting kedudukannya dibanding kota lama Banten

Girang. Pada tahun 1570 M sultan pertama Banten itu wafat dan digantikan putra sulungnya,

Pangeran Yusuf. Setelah meninggal Maulana Hasanuddin terkenal dengan nama anumerta

“Pangeran Saba Kingking”.

2. Maulana Yusuf

Periode pemerintahan Pangeran Yusuf, kharisma Banten naik selangkah lebih tinggi dari

sebelumnya. Proses Islamisasi pun nampak bertambah sempurna. Seluruh wilayah Banten,

baik di pusat kota Banten Girang, Banten Surosuwan maupun daerah selatan telah mengikuti

agama Islam.
Pesantren Kasunyatan yang telah dirintis oleh Sultan Hasanuddin dikembangkannya secara

intensif sehingga mampu mengorbitkan kader-kader agama yang handal dan

bertanggungjawab. Pada masa ini Masjid Agung Banten bukan saja sebagai saran ibadah

mahdah tetapi juga difungsikan sebagai tempat dakwah dan diskusi problematika agama, bagi

ulama-ulama saat itu.

Sultan Maulana Yusuf merupakan Sultan yang giat dalam perluasan wilayah. Maulana Yusuf

dikenal sebagai penguasa yang gagah perkasa dan memiliki ketrampilan istimewa dalam

berperang. Dengan bantuan prajurit dan tokoh agama Maulana Yusuf menyerang Pajajaran,

hasilnya pada 1579 Pakuan, ibu kota Pajajaran berhasil direbut oleh kerajaan Banten.

Penyerangan ini dilakukan pada waktu panembahan Yusuf sudah 9 tahun memerintah.

Setelah berhasil merebut Pakuan, Panembahan Yusuf mulai membangun Banten Surosowan

sebagai ibu kotanya yang baru. Pada tahun 1980 tepatnya satu tahun setelah pelah penaklukan

Pakuwan, Maulana Yusuf meninggal dan dikenang dengan nama Pangeran Pasareyan.[9] Dan

meninggalkan pewaris tahta yang baru berusia 9 tahun.

3. Maulana Muhammad

Pengganti Maulana Yusuf ialah putranya Maulana Muhammad. Akan tetapi karena Malulana

Muhammad masih berumur 9 tahun. Selama Maulana masih di bawah umur kekuasaan

pemerintahan dipegang oleh seorang mangkubumi. Sebelum Maulana beranjak dewasa,

terjadi peperangan antara Banten dengan Jepara.


Pangeran Aria Jepara (adik Maulana Yusuf yang diasuh dan menggantikan Ratu Kalimanyat)

datang di Banten dan menuntut diakui sebagai pewaris tahta kerajaan Banten. Pangeran

Jepara yang datang melalui laut membawa pasukan bersenjata untuk mengakuisisi kekuasaan,

namun sesampainya disana ternyata penobatan Maulana Muhammad sebagai Sultan Banten,

telah dilakukan, hal ini membuat Pangeran Jepara naik pitam, sehingga perang tidak bisa

dihindarkan. Dalam peperangan ini Demang Laksamana Jepara gugur, yang menyebabkan

Pangeran Aria Jepara mengurungkan niatnya dan kembali ke Jepara.[10]

Setelah Maulana Muhammad dewasa ia terkenal sebagai orang yang shalih dan memiliki

gairah yang kuat untuk menyebarluaskan Islam, ia banyak mengarang kitab  serta

membangun sarana ibadah sampe ke pelosok desa. Walaupun kemajuan yang diperoleh

Maulana Muhammad tidak setinggi ayahnya, tapi ada peristiwa yang menonjol pada

masanya, yaitu ekspansi ke Palembang.

Palembang pada masa itu sangat maju dibawah kekuasaan Ki Gede Ing Suro. Pada saat

ekspansi tersebut, hampir saja Palembang dapat dikuasai, namun pada saat kemenangan

hampir diraih, Sultan Banten gugur terkena peluru. Maka serangan terpaksa dihentikan, dan

tentara kembali pulang. Maulana Muhammad yang gugur pada usia relatif muda, karena baru

bertahta 5 bulan.[11]

4. Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir

Sultan Abdul Mufhakir dinobatkan ketika ia masih balita, maka untuk yang kedua kalinya

kesultanan Banten diserahkan kuasanya kepada Mangkubumi Jayanegara, ia termasuk abdi

yang mempunyai loyalitas tinggi, sehingga Banten tetap dalam kondisi stabil.
Read  Kerajaan Pajang (1568-1587)

Akan tetapi semenjak Mangkubumi Jayanegara wafat tahun 1602, otomatis jabatan

Mangkubumi menjadi incaran, banyak pangeran yang berambisi menduduki jabatan

bergengsi itu.[12]Mangkubumi pengganti Jayanegara, membuat kebijakan yang sangat

terbuka dengan hubungannya dengan bangsa Barat. Hal ini menyebabkan kecurigaan dan iri

hati beberapa pangeran lain, sehingga pengkhianatan pun banyak terjadi dimana-mana. Aksi

pengkhianatan ini berhasil melumpuhkan Mangkubumi dan membunuhnya.

Aksi pemberontakan baru bisa diredam berkat kerja sama antara pasukan Sultan, pasukan

Pangeran Ranumganggala,dan bantuan Pangeran Jayakarta, sehingga pemberontakan tersebut

berhasil ditumpas. Sebagai pengganti jabatan Mangkubumi diangkatlah Pangeran Arya

Ranumanggala.

Setelah menjabat sebagai Mangkubumi ia segera mengadakan penertiban-penertiban, baik

keamanan dalam negeri maupun merekontruksi kebikjasanaan Mangkubumi sebelumnya

terhadap pedagang-pedagang Eropa. Pajak ditingkatkan terutama untuk kompeni, tindakan ini

dilakukan agar para pedagang asing pergi dari Banten. Karena ia sudah mengetahui maksud

lain mereka selain berniaga mereka juga ingin mencampuri urusan dalam negeri.

Tindakan tegas Arya Ranumanggala ini memaksa kompeni untuk memalingkan orientasi

niaganya ke Jayakarta. Di Jayakarta mereka disambut ramah Pangeran Wijayakrama, ia

berdalih kedatangan mereka mampu meramaikan perlabuhan Sunda Kelapa.

Melihat hubungan erat Pangeran Jayakarta dengan Kompeni membuat Mangkubumi Arya

terusik. Sebagai pemegang kendali Banten yang membawahi Jayakarta, ia mengutus

Pangeran Upatih untuk menghancurkan benteng-benteng asing yang ada di kawasan Banten.
Dalam upaya ini orang-orang Inggris dapat didesak hingga kembali ke kapal, pasukan juga

dapat mendesak Belanda, akan tetapi Belanda tetap defensif dan tidak mau menyerah, hingga

bantuan dari Maluku tiba.

Setelah bantuan datang (dipimpin J.P. Coon) pada bulan maret 1619 kepungan banten tak ada

artinya lagi dan mereka kembali dengan membawa kekecewaan. Saat itulah secara resmi

Jayakarta dikuasai oleh Kompeni dan dirubah namanya menjadi Batavia.[13]

Sejak peristiwa itu kontak senjata antara Banten dengan kompeni agak tenang, walaupun

secara kecil-kescilan masih tetap berlanjut. Hal ini disebabkan oleh faktor intern istana,

peralihan kekuasaan dari Mangkubumi Arya kepada Sultan Abdul Mufakhir yang sudah

menjadi dewasa, serta adanya usaha Mataram untuk mengambil alih Banten melalui

perantaraan Cirebon (1650).[14]

Pada masa Sultan Abdul Mufakhir inilah penguasa Banten yang bergelar sultan, ia juga

dikenal sebagai pribadi yang menentang VOC, ia menolak keinginan Belanda untuk

memonopoli perdagangan. Kemudian terjadi konflik  akibat hal tersebut, VOC memblokade

jalur ke pelabuhan Banten sehingga terjadi perang pada november 1633, perang berakhir

dengan perjanjian damai kedua pihak. Meskipun setelahnya masih muncul ketegangan-

ketegangan kedua belah pihak.[15]

5. Sultan Ageng Tirtayasa


Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta menggantikan kakeknya yang meninggal pada tahun 1651.

Banten mengalami perkembangan pesat semenjak diperintah Sultan Ageng Tirtayasa, baik di

bidang politik, sosial budaya, dan terutama perekonomiannya.

Hubungan dagang dengan Perisa, Surat, Mekkah, Karamandel, Benggala, Siam, Tonkin dan

China cukup mengancam kedudukan VOC yang bermarkas di Batavia.[16] Pada masa ini

juga dibangun sebuah sistem pengairan besar, yang mana ini bertujuan untuk

mengembangkan pertanian. Antara 30km dan 40km kanal dibangun untuk pengairann 40 ribu

hektar lahan sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa.[17]

Sebagai seorang yang taat dalam beragama ia sangat antipati kepada Belanda. Penyerangan

secara gerilya beliau lancarkan melalui darat dan laut untjuk mematahkan pertahanan

Belanda yang bermarkas di Batavia. Aksi teror dan sabotase yang diarahkan ke kapal-kapal

dagang sangat membahayakan Belanda. Kurang lebih dua puluh tahun lamanya Banten dalam

suasanan aman dan tentram dibawah kekuasaan Sulten Ageng Tirtayasa.

Akan tetapi, ketentraman itu berbah setelah putranya sulungnya, Sultan Haji kembali dari

tanah suci (1676) sebab ia lebih berpihak terhadap Belanda ketimbang orang-orang yang

dekat dengan ayahnya. Sultan Haji yang ditunjuk membantu urusan dalam negeri, malah

berkompromi dengan Kompeni untuk menghancurkan ayahnya sendiri.

Read  Kesultanan Demak

Pada tahun1681, Sultan Ageng Tirtayasa benar-benar mengalami kesulitan sebab putranya

melakukan kudeta ke istana dengan bantuan pasukan VOC dari Batavia. Akhirnya, karena
dirasa sulit untuk meluruskan jalan pemikiran anaknya yang sudah terseret rayuan kompeni.

Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya memutuskan hijrah ke Tirtayasa dan membentuk front

disana beserta pengikut setianya. Keadaan ini adalah hasil nyata keberhasilan politik adu

domba Belanda.[18]

Meskipun harus berhadapan dengan putranya sendiri, ia tetap tegar pada pendiriannya. Front

bentukan Sultan Ageng Tirtayasa ini terus melancarkan serangan kepada Belanda yang

pengaruhnya di istana Surosowan semakin kuat. Pada 27 februari 1682 istana Surosuwan

diserbu, dan berhasil diduduki untuk sementara waktu, akan tetapi berkat bantuan Belanda

Sultan Haji berhasil mempertahankan kekuasaanya.[19]

Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa baru berhenti setelah ia ditangkap dan dipenjarakan oleh

Kompeni sampai wafatnya tahun 1692. Dengan ditanda tanganinya perjanjian antara

Kompeni dan Sultan haji pada agustus 1682, maka kekuasaan mutlak sultan atas daerahnya

berakhir. status Sultan di sini hanya sebagai simbol boneka pemerintahan Belanda.[20]

Sehingga pada perkembangan kerajaan Banten, hal ini terus berlanjut hingga runtuhnya

kesultanan tersebut.

  PENUTUP

  Kesimpulan

 Dari pemaparan pembahasan di atas mengenai perkembangan Kerajaan Banten, kita bisa

menarik beberapa point penting dalam perkembangan Kerajaan tersebut. Di sini kami

membagi perkembangan Kerajaan Banten menjadi 5 fase. Fase pertama ialah fase perintisan/,

fase ini dimulai dari penaklukan Banten dan Bandar Sunda Kelapa yang saat itu masih masuk

sebagai wilayah Pajajaran, oleh Sunan Gunung Jati. Setelah Sunan Gunung Jati pindah ke
Cirebon kekuasaan diserahkan ke anaknya Hasanuddin. Yang mendeklerasikan Kerajaan

Banten sebagai Kerajaan independent bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Demak.

Kemudian fase kedua yaitu fase perkembangan. Pada masa Maulana Yusuf Banten

berkembang dengan pesat, Seluruh wilayah Banten sudah mengikuti Islam. Semakin

berkembangnya Pesantren Kasunyatan dan Masjid Agung Banten sebagai sarana pendidikan

dan dakwah. Moment yang luar biasa pada masa Maulana Muhammad ialah keberhasilannya

menaklukan Pakuan ibu kota Pajajaran Saat itu dengan bantuan para Ulama.

Setelah itu masuk ke fase ketiga yaitu fase krisis politik. Pada masa ini terjadi peperangan

antara pasukan Pangeran Jepara yang menginginkan kekuasaan Banten, karena putra

Maulana Yusuf yang masih 9 tahun. Selain perang Banten melawan pangeran Jepara, juga

terjadi perebutan jabatan Mangkubumi yang menyebabkan pemberontakan disana-sini. Pada

fase keempat ini juga Jayakarta berhasil dikuasai Belanda.

Kemudian Fase ke empat, fase ini dinamakan fase kejayaan. Naik tahtanya Sultan Ageng

Tirtayasa membawa perubahan di Banten, langkah awalnya ialah membenahi dan

menertibkan aparatur pemerintahan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga dikenal sebagai

sosok anti asing, dapat dilihat beliau begitu getolnya melancarkan perlawanan-perlawanan

gerilya terhadap Belanda, hal ini ditunjukan agar Belanda keluar dari wilayah Banten. Pada

masa ini Perdagangan sangat berkembang pesat.

Fase terakhir ialah fase lepasnya kesultanan Banten ke tangan Belanda. Fase ini dimulai

ketika Sultan Haji putra Sultan Tirtayasa kembali dari tanah suci (1676). Sultan Haji dikenal

lebih berpihak terhadap Belanda ketimbang ayahnya sendiri. Arah politik Banten pun

dibelokkan Sultan Haji dan malah bekerjasama dengan VOC untuk mengkudeta ayahnya

sendiri, hingga akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan hijrah ke Tirtayasa dan
membentuk front untuk melakukan penyerangan ke Wilayah dudukan Belanda. Perlawan ini

mulai surut dengan tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa. Dan dengan disepakatinya

perjanjian antara Sultan Haji dan Belanda, maka kekuasaan mutlak Banten diambil alih oleh

Belanda, kesultanan sendiri hanya simbol boneka belaka.

Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) (1683 – 1687)

Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)

Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)

Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)

Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)

Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)

Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)

Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)

Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)

Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)

Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)

Aliyuddin II (1803-1808)

Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)

Muhammad Syafiuddin (1809-1813)

Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

Anda mungkin juga menyukai