Disusun oleh:
1. Adif fatus Syarofah (1810810047)
2. Musdalifah (1810810055)
3. Santi Nur Atikah Santoso (1810810074)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kudus merupakan kabupaten terkecil di provinsi jawa tengah dengan luas mencapai
425,17 km2 atau sekitar 1,31 persen dari luas Provinsi Jawa Tengah. Kota ini mendapat julukan
kota santri dikarenakan banyak pondok-pondok pesantren yang telah berdiri disini, selain pondok
pesantren terdapat sekolah berbasis Islam yang kental mulai dari Madrasah Ibtidaiyah sampai
Madrasah Aliyah dan juga perguruan tinggi. Adanya madrasah pun karena awal terbentuknya
Kota Kudus yang dahulunya masyarakat memeluk agama Hindu, namun kedatangan Syeikh
Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) membawa perubahan kepada masyarakat Kudus sendiri, yang
menjadikan pemeluk Islam.
Sebagai pemeluk agama Islam, seorang muslim pastinya tidak jauh dari perayaan
keagamaan salah satunya yaitu perayaan bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan adalah bulan
kesembilan dalam kalender Islam yang dirayakan oleh umat muslim. Perayaan bulan Ramadhan
identik dengan suatu ritual keagamaan. Salah satu ritual keagamaan tersebut adalah melakukan
ibadah puasa Ramadhan. Terdapat alasan tersendiri bagi seorang muslim dalam menjalankan
ibadah pada bulan Ramadhan selain alasan kewajiban. Alasan tersebut adalah mendapatkan
pahala yang dilipat gandakan dan ampunan dosa-dosa yang telah dilakukan. Maka, pada bulan
Ramadhan yang suci ini banyak seorang muslim yang berlomba-lomba untuk mendapatkan
kesempatan emas tersebut baik dalam penyambutan bulan Ramadhan ataupun ketika pasca bulan
Ramadhan. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat kudus yang memiliki corak spiritualisasi
tersendiri dalam penyambutan bulan suci Ramadhan dan pengisian aktifitas selama bulan suci
Ramadhan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan dari nilai-nilai spiritualitas pra Ramadhan di
Kudus?
2. Apa saja nila-nilai yang terkandung dalam tradisi pra Ramadhan di Kudus?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan dari nilai-nilai spiritualitas pra Ramadhan
di Kudus
2. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi spiritualitas pra Ramadhan di
Kudus
BAB II
PEMBAHASAN
Spiritual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah berhubungan dengan
atau bersifat kejiwaan (rohani, batin). Menurut Fontana dan Davic definisi spiritual lebih sulit
dibandingkan mendefinisikan agama atau religion, dibandingkan dengan kata religion, para
psikolog membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spiritual memiliki beberapa arti,
diluar dari konsep agama. Kita berbicara masalah orang dengan spirit atau menunjukkan spirit
tingkah laku. Kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai faktor kepribadian. Secara pokok
spirit merupakan energi baik secara fisik dan psikologi. Secara terminologis, spiritualitas berasal
dari kata “spirit”. Dalam literatur agama dan spiritualitas, istilah spirit memiliki dua makna
subtansial yaitu:
a. Karakter dan inti dari jiwa-jiwa manusia, yang masing-masing saling berkaitan, serta
berpengalaman dari keterkaitan jiwa-jiwa tersebut yang merupakan dasar utama dari
keyakinan spiritual. Spirit merupakan bagian terdalam dari jiwa, dan sebagai alat
komunikasi atau sarana yang memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan.
b. Spirit mengacu pada konsep bahwa semua spirit yang saling berkaitan merupakan bagian
dari sebuah kesatuan (consciousness and intellect) yang lebih besar.
Spiritualitas kehidupan adalah inti keberadaan dari kehidupan. Spiritualitas adalah kesadaran
kesadaran tentang diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan dan nasib1.
Ramadhan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bulan kesembilan
dalam kalender Islam dan dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia dengan puasa (saum)
dan memperingati wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad menurut keyakinan umat
Muslim. Ibnu Mandzur (630-711 H), seorang ahli bahasa Arab, menjelaskan bahwa Ramadhan
berasal dari kata al ramadh yang artinya panas batu akibat sengatan panas matahari. Ada juga
1
Eni Pustakasari, Kajian Teori Spiritualitas. (2014): 21, diakses pada 01 Mei, 2019, http://etheses.uin-
malang.ac.id/772/6/07410003%2520Bab%25202.pdf
yang mengatakan, Ramadhan diambil dari akar kata ramidha yang berarti keringnya mulut orang
yang berpuasa akibat haus dan dahaga. Menurut pandangan bahasa di atas, Ramadhan tidak lain
simbol dari sengatan sinar matahari yang bisa memengaruhi dan memanaskan batu. Batu sering
pula menjadi simbol Al-Qur’an saat menyorot kerasnya hati manusia. Hati yang tidak memiliki
ruh petunjuk dan kepekaaan terhadap orang lain, sering diumpamakan sebagai “hati batu”. Tidak
punya sense dan kepekaan apa-apa selain kaku dan membisu. Sekalipun hati seorang keras
seperti batu, Ramadhan sanggup membuatnya panas dan terpengaruh. Seseorang yang berhati
kaku dan kurang peka terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya bisa berubah seketika jika
ia mau menerima ajaran selama bulan Ramadhan2.
Hakikat dari Ramadhan adalah sebuah finishing dari beberapa bulan sebelumnya yaitu Rajab,
Sya’ban dan Ramadhan. Rajab memiliki arti sebuah pembersihan jasad dan Sya’ban memiliki
arti pembersihan jiwa sedangkan Ramadhan memiliki arti pembersihan ruh. Ketika jasad, jiwa
dan ruh telah bersih maka seseorang dapat kembali kepada fitrahnya. Abu Bakr al Warraq al
Balkhi rahimahullah mengatakan:
شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و رمضان شهر حصاد الزرع
Artinya:” Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan
Ramadhan adalah bulan untuk memanen. Sehingga terdapat sebuah doa yang berkaitan antara
ketiga bulan tersebut.”3
يِف ِ
َ اللَّ ُه َّم بَار ْك لَنَا ْ َر َج
َ ب َو َش ْعبَا َن َو َبلِّ ْغنَا َر َم
ضا َن
“Duhai Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami
dengan bulan Ramadhan”. Doa tersebut mengisyaratkan bahwa ketiga bulan tersebut saling
berkesinambungan untuk menuju ke fitrah yang sesungguhnya. Fitrah adalah peningkatan. Hasil
akhir dari ketiga bulan tersebut berupa peningkatan pada bulan berikutnya yaitu bulan Syawal.
Syawal memiliki arti meningkat. Dikatakan meningkat karena pada bulan Rajab di ibaratkan
2
Yusuf Burhanudin, Misteri Bulan Ramadhan (Jakarta: Kultum Media, 2006), 3.
3
Raehanul Bahraen, Menyambut Ramadhan dengan Ilmu. ( 2018), diakses pada 01 Mei, 2019,
https://muslim.or.id/39064-menyambut-ramadhan-dengan-ilmu.html
sebagai menanam, Sya’ban mengaliri/menyirami dan Ramadhan adalah menuai, maka hasilnya
adalah sebuah keuntungan atau peningkatan. Keterkaitan antara bulan Rajab, Sya’ban dan
Ramadhan mengandung makna semangat dalam menjalani serangkaian ibadah untuk mencapai
peningkatan. Ada yang mengatakan bahwa bulan Rajab sebagai syahrullah, bulan Sya’ban
sebagai syahrunnabi dan bulan Ramadhan sebagai syahrul umati sehingga memiliki arti bahwa
kita mendekatkan diri kepada Allah, mendekatkan diri kepada Rasullullah dan membersihkan
diri sehingga dapat kembali ke fitrah. Selain itu, terdapat juga yang mengatakan bahwa bulan
Rajab adalah bulan untuk beristighfar, bulan Sya’ban bulan untuk shalawat, dan bulan Ramadhan
bulan untuk membaca Alquran artinya pembersihan pertama kali dengan cara beristighfar
kemudian dihiasi dengan shalawat dan Alquran.4
Bulan Ramadhan menjadi bulan suci dan penuh berkah bagi umat Islam, karena di
dalamnya terdapat beberapa keutamaan, salah satunya adalah bulan diturunkannya Alquran,
puasa di siang hari, shalat Tarawih dan shalat Witir di malam hari, malam lailatul qadr (malam
penentuan bagi hidup seseorang), pelaksanaan zakat fitrah, dan hari raya idul fitri. 5Masyarakat
kota Kudus memiliki tradisi khusus dalam penyambutan bulan Ramadhan yaitu diantaranya
adalah tradisi Dandangan dan Ruwahan.
a. Dandangan
Dandangan berasal dari kata dandang yang artinya adalah panci. Jadi dahulu sebelum bedug
naik ke menara alat yang digunakan untuk menandakan masuknya bulan Ramadhan adalah
dengan mengetuk atau menabuh dandang.6 Tradisi dandangan ini awalnya pada zaman dahulu
masyarakat Kudus berkumpul di depan Menara Masjid al-Aqsha yang kini populer dengan
sebutan Masjid Menara Kudus. Menunggu pengumuman awal puasa Ramadhan dari Syeikh
Dja’far Shodiq (Sunan Kudus). Setelah keputusan awal puasa itu disampaikan oleh Sunan
Kudus, maka dipukullah bedug di Masjid Menara Kudus yang bunyinya “dang-dang-dang”. Dari
suara bedug itulah istilah Dandangan lahir. Secara historis, upacara rakyat Kudus itu sudah ada
sejak tahun 1459H, atau sekitar tahun 454-an. Konon, sejak zaman Syekh Dja’far Shodiq, salah
satu walisongo penyebar agama Islam di Jawa, setiap menjelang bulan puasa, ratusan santri
Sunan Kudus berkumpul di Masjid Menara guna menunggu pengumuman dari sang guru tentang
4
Mohammad Bahauddin, wawancara oleh penulis , 01 Mei, 2019.
5
Yusuf Burhanudin, Misteri Bulan Ramadhan (Jakarta: Kultum Media, 2006), 3.
6
Mohammad Bahauddin, wawancara oleh penulis , 01 Mei, 2019
awal puasa. Para santri tidak hanya berasal dari kota Kudus, tapi juga dari daerah sekitarnya
seperti Kendal. Semarang, Demak, Pati, Jepara, Rembang bahkan sampai Tuban, Jawa Timur.
Setelah berjamaah shalat ashar, Sunan Kudus langsung mengumumkan awal puasa.
Pengumuman itu dilanjutkan dengan pemukulan beduk yang berbunyi “dang-dang-dang”. Suara
beduk yang bertalu-talu itulah yang menimbulkan kesan dan pertanda khusus tibanya bulan
puasa. Berawal dari suara dang-dang, setiap menjelang puasa masyarakat Kudus mengadakan
tradisi dandangan.
Selain memiliki sisi positif dandangan juga memiliki sisi negatif yaitu kemacetan lalu
lintas. Karena letak lokasi dandangan yang berada pada jalan Menara Kudus membentang ke
jalan-jalan di sekitarnya ke timur hingga perempatan Pekojan dan ke barat hingga pasar Jember
(jalan Kudus-Jepara) sehingga tidak dapat di pungkiri kemacetan akan terjadi, untuk
7
Asa Jatmiko, “Mengenal Tradisi Kudus Dandangan” Mei 01, 2019.
https://www.academia.edu/828547/Tradisi_Dandangan
mengantisipasi hal tersebut Dinas Perhubungan Kudus memberi jalur alternatif seperti jalan arah
ke pati lewat jalur lingkar atau dari jember belok ke kiri8.
b. Ruwahan
Kata nyadran memiliki pengertian yaitu selametan ing sasi ruwah, nyelameti in leluhur
(kang lumrah ono ing kuburan utowo papan sing kramat ngiras reresik tuwin ngirim kembang)
artinya selametan di bulan ruwah menghormati para leluhur. Tradisi nyadran di bulan ruwah atau
yang disebut sadranan atau ruwahan merupakan suatu tradisi yang sudah kental di dalam sosial
masyarakat Jawa. Ruwahan merupakan bulan kedelapan dalam penanggalan Jawa, tepatnya 10
hari sebelum bulan puasa yang sistem penanggalannya menggunakan sistem peredaran bulan
seperti sistem penanggalan dalam Islam yang juga menggunakan penanggalan bulan. Namun
kedua hal ini sedikit berbeda sebab dalam penanggalan Jawa berakhir atau berganti tanggalnya
selepas pukul 13.00 sampai 14.00. Namun penanggalan Islam berakhir atau selesai selepas
terbenamnya matahari (masuk shalat Maghrib). Tradisi nyadran merupakan peninggalan
penganut Hindu yang kemudian diberi sentuhan ajaran Islam di dalamnya. Hal ini berkaitan erat
dengan penyebaran yang dilakukan walisongo di pulau Jawa dengan menggunakan pendekatan
persuasif tanpa menghapus tradisi dan kesenian yang ada, namun memberikan sentuhan yang
baru.9 Salah satu sentuhan tersebut ialah mengganti konteks ruwahan yang awalnya berupa
memuja leluhur atau roh di Islamisasikan dengan mendoakan orang-orang yang telah meninggal
(arwah) dan tetap melestarikan adanya kue apem dan pisang dalam hidangan acara ruwahan.10
8
Sunaryo, wawancara oleh penulis, 29 April, 2019.
9
Siti Noer Tyas Tuti, “Tradisi Nyadran sebagai Komunikasi Ritual,” no. 2, tth.
10
Mohammad Bahauddin, wawancara oleh penulis , 01 Mei, 2019
sosial-ekonomi yang justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar agama. Ia tidak lagi dijiwai
oleh semangat religius, tetapi oleh semangat kapitalisme, hedonisme dan materialisme.
Masyarakat kota Kudus tidak hanya merayakan tradisi Dandangan dengan gagap gempita
dan hedonisme saja melainkan juga memahami arti dan esensi yang terkandung dalam tradisi
Dandangan ini. Islam merupakan ajaran yang diturunkan untuk manusia agar bersosialisasi
kemudian melahirkan suatu kebudayaan. Suatu kebudayaan meliputi pengetahuan, kepercayaan,
moral, hukum, seni serta kebiasaan-kebiasaan yang dibuat manusia sebagai anggota
masyarakat.11
PENUTUP
1. Simpulan
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah. Sehingga banyak orang
yang dengan penuh suka cita menyambut kedatangan bulan tersebut. Salah satunya
adalah masyarakat Kudus yang menyambut kedatangan bulan Ramadhan dengan
beberapa tradisi meliputi Dandangan, Ruwahan dan Buka luwur. Dandangan merupakan
tradisi untuk mengetahui awal bulan Ramadhan yang dibawakan oleh Syekh Ja’far
Shodiq (sunan kudus). Ruwahan adalah salah satu tradisi yang masih luhur di kota
Kudus. Ruwahan merupakan bentuk islamisasi dari tradisi nyadran yang dibawa oleh
pemeluk Hindu dahulu yang diberi corak islam oleh Sunan Kudus berupa mendoakan
orang-orang yang telah meninggal tetapi tidak menghilangkan corak budaya kue apem
dan buah pisang dalam hidangan acara Ruwahan. Buka Luwur adalah tradisi
memperingati Haulnya Sunan Kudus dengan ditandai penggantian luwur (penutup
makam).
Dandangan memiliki banyak nilai diantaranya adalah nilai religius, nilai sosial,
nilai ekonomi, nilai budaya dan lain sebagainya. Nilai yang terkandung dalam tradisi
Ruwahan adalah gotong royong, nilai persatuan dan kesatuan, nilai musyawarah, nilai
pengendalian sosial dan nilai kearifan lokal. Sedangkan nilai yang terkandung dalam
tradisi Buka Luwur adalah meneladani nilai-nilai dari perjuangan para Wali khususnya
Sunan Kudus dalam hidup bermasyarakat, rasa toleransi yang tinggi kepada sesama, rasa
saling tolong-menolong dan menghargai, membiasakan diri untuk bersedekah,selalu
mendekatkan diri kepada Allah SWT, mampu membina budi pekerti luhur, mengekang
perbuatan tercela, serta mengingatkan supaya senantiasa beramal ibadah sebagai bekal
kehidupan sesudah mati.
2. Saran
Tradisi pra Ramadhan yang meliputi Dandangan, Ruwahan dan Buka Luwur
memiliki berbagai nilai positif. Untuk itu, sebaiknya masyarakat Kudus selalu
melestarikan tradisi-tradisi tersebut dengan tidak menghilangkan nilai-nilai yang sudah
ada sejak diadakan tradisi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aditia Ismaya, Erik . Makna dan Nilai Buka Luwur Sunan Kudus.- 01 Mei, 2019 –
http://jurnal.umk.ac.id/.
Fuadi, Akhlis. Upacara Buka Luwur Makam Sunan Kudus di Kabupaten Kudus, no. 2,
tth.
Noer Tyas Tuti, Siti. “Tradisi Nyadran sebagai Komunikasi Ritual,” no. 2, tth.
Narasumber : “ Nilai-nilai nya sudah jelas terlihat dari nilai sosial dimana kita bisa saling
berjumpa dengan yang lain dan nilai ekonomi yangbisa meningkatkan perekonomian”
Hasyim “
Pewawancara : “ Bagaimana keadaan lalu lintas saat adanya tradisi Dandhangan ini, kan secara
jelas ada penutupan jalan dari prapatan jember sampai alun alun (sepanjang jalan sunan kudus).
Apa kah ada kendala?
Narasumber : “ Kendala ya pasti ada , seperti macet jika tidak macet ya tidak akan sukses.”
Pewawancara : “ Bagaimana solusi nya?”
Narasumber : “ Lewat jalur alternatif, seperti kalau mau ke pati: lewat jalur lingkar atau
kalau dari jember belok ke kiri”
2. Wawancara dengan Ibu Sukati merupakan salah satu pedagang di Dandangan, 29-
April-2019.
3. Wawancara dengan Ibu Sumini merupakan salah satu pedagang di dandangan, 29-
April-2019.