Anda di halaman 1dari 29

TIMBUL LENYAPNYA

SUATU NEGARA

Disusun oleh Kelompok 2 :


Ainur Rochmah, 202111500007
Hanna Grace Indah Mulia, 202111500009
Malvin Adam Christio Kurniawan Subarjo, 202111500019
Mardi Jaya, 202111500036
Muhammad Alfin Ariefin, 202111500037
Siti Fatimah Aliza Cahyani, 202111500041
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah, sehingga dapat menyelesaikan tugas
makalah ilmu Negara.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu demi
kelancaran tugas ini. Makalah yang kami buat tentu jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kritik serta saran sangat kami harapkan untuk memperbaiki makalah-makalah yang akan
dibuat kedepannya.
Tak banyak yang dapat kami sampaikan dalam kesempatan kali ini. Akhir kata kami ucapkan
terima kasih dan semoga makalah yang kami buat dapat memberikan manfaat bagi kami
khususnya dan bagi siapa saja umumnya.
Wa’alaikumussalam warah matullahi wa barokatuh
BAB 1

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Daerah, bangsa, dan pemerintahan adaah unsur pokok terbentuknya negara, jika ketiga unsur
itu dirawat dengan baik sehingga tumbuh dan berkembang, maka semakin besar dan jayalah
negara itu. Akan tetapi, sebaliknya jika tidak dirawat dengan baik maka negara itu akan
lenyap. Peranan daerah bagi kelangsungan hidup suatu negara, terletak pada kekayaan alam,
struktur geografisnya dan posisi geologisnya daerah yang bersangkutan, tetapi suatu negara
yang kaya akan alamnya juga akan mengalami hancur dikarenakan adanya faktor alam yang
menghancurkannya dan menyebabkannya wilayah negara tersebut lenyap. Selain dari faktor
alam lenyapnya suatu negara juga dapat disebabkan oleh beragam faktor sosial yang ada
didalam negara dan pernah dialami suatu negara.
Selain itu bila kita berbicara mengenai negara, maka terbersit pertanyaan dalam benak kita
mengenai apa sebenarnya negara itu ?, bagaimana terbentuknya dan kalau sudah terbentuk
apakah bisa runtuh?, dan apa saja yang menyebabkan negara itu runtuh ?
Dari pemaparan diatas kami tidak akan membahas tentang apa itu negara atau bagaimana bisa
terbentuknya, tetapi kami akan memaparkan atau menjelaskan dimana sebuah negara atau
suatu negara dimuka bumi ini bisa hilang atau tenggelam. Karena suatu negara itu bukan
hanya bisa tumbuh dan berkembang tetapi juga karena keadaan tertentu suatu negara juga
akan bisa hilang atau lenyap, seperti yang dipaparkan oleh beberapa ahli di dalam beberapa
teori mengenai lenyapnya Negara serta faktor-faktor yang mempengaruhi hilang atau
lenyapnya suatu negara.

B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.     Apa yang mempengaruhi lahirnya teori lenyapnya negara?
2.     Apa saja teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai lenyapnya negara?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.     Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi lahirnya teori lenyapnya negara.
2.     Untuk mengetahui apa saja teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai
lenyapnya negara.
3.     Untuk mengetahui isi mengenai teori organis, teori anarkis, serta mati tuanya negara
melalui uraian yang akan disajikan dalam makalah.

D.    Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini diharapkan :
1.     Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca, terutama pengatahuan tentang teori
lenyapnya negara dalam mata kuliah ilmu negara.
2.     Dapat dipertimbangkan sebagai bahan pemikiran atau masukan, serta
3.     Memberikan informasi baik bagi penulis maupun pembaca.
BAB 2

KONSEP NEGARA
Negara Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing: state (Inggris),
staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Secara terminologi, negara diartikan
sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita
untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang pada galibnya dimiliki oleh suatu negara
berdaulat: masyarakat (rakyat), wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga unsur ini
perlu ditunjang dengan unsur lainnya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia
internasional yang oleh Mahfud M.D. disebut dengan unsur deklaratif.
Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu negara adalah sekumpulan manusia yang
dipersatukan oleh persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Tidak bisa
dibayangkan jika ada suatu negara tanpa rakyat. Hal ini mengingat rakyat atau warga negara
adalah substratum personel dari negara.
Adapun wilayah adalah unsur negara yang harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara
tanpa batas-batas teritorial yang jelas. Secara umum, wilayah dalam sebuah negara biasanya
mencakup daratan, perairan (samudra, laut, dan sungai), dan udara. Dalam konsep negara
modern masing-masing batas wilayah tersebut diatur dalam perjanjian dan perundang-
undangan internasional. Sedangkan pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas
memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara.
Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan
ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan
kepentingan warga negaranya yang beragam. Untuk mewujudkan cita-cita bersama tersebut
dijumpai bentuk-bentuk negara dan pemerintahan. Pada umumnya, nama sebuah negara
identik dengan model pemerintahan yang dijalankannya, misalnya, negara demokrasi dengan
sistem pemerintahan parlementer atau presidensial.
Ketiga unsur ini dilengkapi dengan unsur negara lainnya, konstitusi. Unsur pengakuan oleh
negara lain hanya bersifat menerangkan tentang adanya negara. Hal ini hanya bersifat
deklaratif, bukan konstutif, sehingga tidak bersifat mutlak.
Ada dua macam pengakuan suatu negara, yakni pengakuan de facto dan pengakuan de jure.
Pengakuan de facto ialah pengakuan atas fakta adanya negara. Pengakuan ini didasarkan
adanya fakta bahwa suatu masyarakat politik telah memenuhi tiga unsur utama negara
(wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat). Adapun pengakuan de jure merupakan
pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum.
Dengan memperoleh pengakuan de jure, maka suatu negara mendapat hak-haknya di samping
kewajiban sebagai anggota keluarga bangsa sedunia. Hak dan kewajiban dimaksud adalah
hak dan kewajiban untuk bertindak dan diberlakukan sebagai suatu negara yang berdaulat
penuh di antara negara-negara lain.
B. Konsep Negara Menurut Tokoh Muslim
Menurut teori-teori politik Islam klasik, konsep negara merupakan inti filsafat politik Islam.
Istilah negara (dawlah) dalam literatur Islam yaitu Al- Qur’an, memang tidak ditemukan satu
ayatpun, tetapi unsur-unsur esensial yang menjadi dasar Negara dapat ditemukan dalam kitab
suci itu. Usaha memahami masalah politik dalam Islam memang bukan perkara sederhana.
Hal itu menurut Nurcholis Madjid, karena ada dua alasan. Pertama, bahwa Islam telah
membuat sejarah selama lebih dari 14 abad sehingga akan merupakan suatu kenaifan jika
dianggap bahwa selama waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap stasioner dan
berhenti. Sementara hanya sedikit sekali di kalangan kaum Muslim yang memiliki
pengetahuan, apalagi kesadaran tentang sejarah itu. Kedua, selain beraneka ragamnya bahan-
bahan kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti, dalam sejarah Islam juga terdapat
perbendaharaan teoritis yang amat luas tentang politik yang hampir setiap kali muncul
bersama dengan munculnya sebuah peristiwa sejarah.
Banyak diantara sarjana modern melukiskan Nabi Muhammad adalah “sebagai Nabi
Penguasa atas komunitas Islam”, walaupun dalam kenyataannya nabi tidak pernah
mengklaim dirinya sebagai penguasa. Nama Hasan Al-Mawardi (meninggal 1058) cukup
terkenal dalam sejarah Islam. Karyanya yang membicarakan secara luas mengenai
pemerintahan dijadikan rujukan dalam zaman modern ini. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah (Hukum
Pemerintahan) merupakan karangan ilmiah pertama tentang ilmu politik dan admnistrasi
negara dalam sejarah Islam. Seorang pemikir Islam yang mula–mula dianggap paling
komprehensif menggagas konsep Negara Islam adalah Jamaluddin Al-Asadabadi (1838-
1897) atau yang kemudian dikenal dengan Jamaluddin Al-Afghani. Setidaknya ada dua hal
menurutnya yang mendorong kehendak untuk melaksanakan Negara Islam ini, yaitu :
1. Al-Afghani melihat betapa lemahnya umat Islam dan para penguasanya menghadapi
imperialisme barat pada waktu itu, sehingga perlu dibangkitkan gerakan Pan-Islamisme untuk
mempersatukan kekuatan politik Islam.
2. Gerakan semacam ini tidak mungkin lahir tanpa umat Islam merumuskan kembali Islam
sebagai ideologi, nilai peradaban dan identitas kebudayaannya sendiri menghadapi tantangan
modernitas barat. Dalam konsep Negara Islam terpadu semua itu, kata Al-Afghani, janganlah
hanya membicarakan Islam dari sudutnya sebagai agama ritual yang sempit, tetapi bagaimana
melakukan elaborasi secara intelektual-religius agar bisa mendiskusikan hal-hal seperti
berkaitan dengan soal hukum Islam, soal kelembagaan sosial Islam, dan soal-soal
berhubungan dengan kekuasaan serta wilayah politik lainnya.
Gagasan Islam seperti itu yang kemudian sering dikatakan sebagai awal munculnya
modernisme Islam. Memang selain menumbuhkan semangat menentang terhadap hegemoni
barat, tetapi kalau diambil positifnya secara jujur bahwa sikap militansi yang tampak
bercorak fundamentalistik ini sesungguhnya juga mengandung keterbukaan. Ide dan konsep
mengenai Negara Islam pada akhirnya sampai ke Indonesia dalam sejarah prakemerdekaan
sampai pascakemerdekaan (juga di era reformasi ini.). Salah seorang pahlawan nasional,
Muhammad Natsir sangat dikenal di Indonesia juga luar negeri sebagai seorang tokoh Islam
yang gigih untuk membela Islam sebagai Dasar Negara. Ide dan pemikirannya telah membuat
catatan sejarah baru bagi perkembangan umat Islam di Indonesia. M. Natsir berpandangan
bahwa Islam merupakan agama yang ajarannya komprehensif dan mengatur segala aspek
kehidupan manusia di muka bumi ini. Politikus modern Islam ini dengan sangat gigih
memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara dan memberikan konsep-konsep mengenai
negara.
Dalam sejarah peradaban Islam di dunia telah banyak melahirkan tokoh dan beragam
pemikiran mereka mengenai Islam dan ajaran–ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini.
Diskursus yang selalu mencuat dan tidak kehabisan waktu bagi semua kalangan baik
akademisi maupun kalangan agamawan ialah diskursus tentang Negara Islam. Term Negara
Islam sangat sering didengar, apalagi dalam perkembangan sejarah Indonesia, yaitu
terjadinya pemberontakan S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat yang kemudian berkembang ke
daerah Aceh, Jawa Tengah, Kaliantan Selatan, Sulawesi Selatan. Kartosuwiryo
memproklamirkan Negara Islam Indonesia dengan dia sebagai amir (pemimpinnnya). Namun
pergerakan yang dianggap makar ini dapat juga pada akhirnya diberantas oleh pemerintah
dengan sebuah operasi yang cukup dikenal yaitu Operasi Pagar Betis.
Baik oleh pemikir Islam besar dunia seperti Abul A’la Al-Maududi, Muhammad Assad,
Jamaluddin Al-Afghani, Ayatullah Khomeini, dan lainnya. Dalam konteks perkembangan
sejarah Indonesia, mulai dari prakemerdekaan sampai pasca kemerdekaan istilah Negara
Islam muncul dan bahkan menjadi perdebatan sengit di antara para Founding Father dalam
merumuskan dasar negara Indonesia. Ada banyak tokoh intelektual Islam yang vokal
menawarkan sebuah konsep Negara Islam dalam perpolitikan di tanah air (dengan cara
konstitusional). Di antaranya ada M. Natsir, seorang tokoh Islam yang juga mantan Perdana
Menteri di era Soekarno dan seorang pendiri Masyumi, kedua ada Zainal Abidin Achmad
yang juga tokoh-tokoh sentral dalam Masyumi.
Definisi Negara Islam menurut para tokoh nasional dan internasional Islam, di antaranya :
1. Rashid Rida, seorang ulama terkemuka di awal abad ke-20, yang dianggap paling
bertanggung jawab dalam merumuskan konsep Negara Islam modern, menyatakan bahwa
premis pokok dari konsep Negara Islam adalah bahwa syariat merupakan sumber hukum
tertinggi. Dalam pandangannya, syariat mesti membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan
implementasinya, dan adalah mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa kehadiran
Negara Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan hukum Islam merupakan
satu-satunya kriteria utama yang amat menentukan (the single most decisive criterion) untuk
membedakan antara suatu negara Islam dengan negara non-Islam.
2.Surjopranoto (1871-1959), seorang pemimpin Sarekat Islam (SI) membuat pengertian
sederhana tentang konsep Negara Islam yaitu suatu pemerintahan Islam.
3. Dr. Sukiman Wirjosanjoyo, seorang mantan Perdana Menteri di era Soekarno dan juga
tokoh Sarekat Islam (SI) mendefinisikan Negara Islam adalah suatu kekuasaan Islam di
bawah benderanya sendiri. Untuk menciptakan suatu kekuasaan Islam di Indonesia, menurut
Sukiman merupakan tujuan kemerdekaan.
4. Zainal Abidin Achmad, seorang tokoh Masyumi juga memberikan konsep Negara Islam,
menurutnya dalam suatu Negara Islam, rakyat mempunyai dua hak konstitusional, yaitu: a.
Hak untuk membuat konstitusi, b. Hak untuk memilih kepala negara. Jadi menurut Achmad,
kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara Islam adalah sepenuhnya berada di tangan rakyat.
Achmad tidak membela Teori Kedaulatan Tuhan seperti Ayatullah Khomeiny di Iran.
5. Muhammad Asad (1900-1992), teori Muhammad Asad mengenai Negara Islam banyak
persamaannya dengan tokoh Islam modernis 54 Indonesia. Asad mengambil Pakistan sebagai
basis empiris bagi perumusan teori politiknya. Bagi Asad, yang sebelum memeluk Islam
bernama, Leopold Weiss, suatu negara dapat menjadi benar-benar islami hanyalah dengan
keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa dan dengan
jalan menyatukan ajaran-ajaran itu ke dalam undang-undang. Menurut kerangka berpikirnya
suatu negara yang dihuni oleh mayoritas Islam seperti halnya Indonesia tidak otomatis
menjadi suatu negara Islam kecuali bila ajaran Islam tentang sosiopolitik dilaksanakan dalam
kehidupn rakyat berdasarkan konstitusi. Inilah tema sentral dari Teori Politik Asad. Dalam
penolakannya terhadap bentuk negara sekuler Asad berdalil, dalam suatu negara sekuler
modern, tidak ada norma yang tetap yang dapat dipakai untuk menimbang yang baik dan
buruk dan antara betul dengan yang salah. Satu-satunya kriteria yang mungkin ialah
kepentingan bangsa. Dalam suatu Negara Islam menurut Asad nilai-nilai moral tidak berubah
dari satu kasus ke kasus lain atau dari waktu ke waktu, tetapi validitasnya tetap bertahan buat
seluruh waktu dan kondisi. Fungsi suatu Negara Islam hanyalah sebagai sarana untuk
memaksakan nilai-nilai moral Islam dalam kehidupan sosiopolitik umat. Pendapatnya tidak
berbeda dengan Ibnu Taimiyah, Fazlur Rahman dan M. Natsir. Mengenai kedaulatan negara,
Asad menempuh jalan tengah antara kubu Maududi-Khomeini dan golongan modernis. Pada
satu pihak ia membela dan mempertahankan hak-hak rakyat untuk memerintah namun pada
sisi lain. Negara Islam menurut Asad yang 55 eksistensinya bergantung pada kemauan rakyat
dan ia berhak dikontrol olehnya, mendapatkan kedaulatan pada akhirnya dari Tuhan. Tetapi
sebenarnya apa yang dimaksudkannya dengan kedaulatan Tuhan itu tidak lain dari kedaulatan
syariah atas seluruh warga negara suatu Negara Islam.
6. M. Natsir (1908-1993), merupakan tokoh pendiri Masyumi yang sangat gigih dan vokal
untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai Dasar
Negara, di depan sidang Majelis Konstituante tahun 1957, Natsir mengatakan (berdalil) untuk
dasar negara Indonesia hanya punya dua pilihan yaitu sekularisme (la-diniyah) dan paham
agama (dini).
7. Suha Taji-Farouki (1996) dalam artikelnya yang berjudul “Islamic State Theories and
Contemporary Realities” menyebutkan bahwa ada dua jenis teori tentang Negara Islam.
Walaupun kedua teori itu tidak satu kata dalam hal apakah negara merupakan bagian penting
dan integral dari syariat atau hanya sekedar merupakan alat merealisasikan syariat. Dua-
duanya sama-sama menekankan signifikansi posisi syariat dalam negara. Sebab bagi kedua
teori tersebut, penerapan syariat merupakan komponen primer Negara Islam.
BAB 3
PRINSIP PENGAKUAN NEGARA DARI HUKUM
INTERNASIONAL

Kelahiran sebuah negara baru dapat melalui bermacam - macam cara, contohnya :
pemisahan diri dari wilayah suatu negara dan berdiri sendiri sebagai negara merdeka,
melepaskan diri dari penjajahan, pecahnya suatu negara menjadi negara - negara kecil,
ataupun penggabungan beberapa negara menjadi sebuah negara yang baru. Kemerdekaan
Kosovo dapat digolongkan sebagai negara yang memisahkan diri dari wilayah suatu negara
dan berdiri sendiri sebagai sebuah negara merdeka, Karena sebelumnya Kosovo merupakan
salah satu provinsi dari Serbia. Kelahiran sebuah negara baru seperti Kosovo dalam
masyarakat internasional akan menimbulkan reaksi dari negara - negara lain yang
dicerminkan dalam pernyataan - pernyataan sikap menerima atau mengakui kelahiran sebuah
negara baru atau sebaliknya ada negara - negara yang menolak atau tidak mengakui
kehadiran negara baru tersebut (Setyo, 2008). Dalam hukum internasional pengakuan
merupakan persoalan yang cukup rumit, karena melibatkan masalah Hukum dan masalah
Politik. Permasalahan yang akan dibahas adalah mengenai Bagaimana peran pengakuan
negara-negara dunia dalam pembentukan sebuah Negara baru? Penelitian ini adalah
diharapkan bermanfaat dan memberikan sebuah evaluasi kerja sehingga hasil ini dapat
menyumbangkan pikiran demi perkembangan, pengetahuan tentang Hukum Internasional,
khususnya dalam hal pengakuan Negara baru, dan juga diharapkan dapat bermanfaat dalam
mengambil sikap yang berkaitan dengan kemerdekaan sebuah Negara baru. Penelitian ini
menggunakan tipe penelitian normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan jenis
data bahan pustaka yang merupakan data sekunder, yaitu data - data yang diperoleh dari
bahan - bahan bacaan dan pustaka.
Fungsi Pengakuan Menurut J.B. Moore makna pengakuan adalah sebagai suatu
jaminan yang diberikan kepada suatu negara baru bahwa negara tersebut diterima sebagai
anggota masyarakat internasional (Adolf, 1993). Dari definisi di atas maka dapat diartikan
fungsi pengakuan ini yaitu, untuk memberikan tempat yang sepantasnya kepada suatu negara
atau pemerintah baru sebagai anggota masyarakat internasional. Dalam literatur - literatur
hukum terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pengakuan ini adalah sebagai suatu
keharusan atau sebagai suatu kewajiban hukum. Hal ini berawal dari doktrin Luterpacht dan
Chen yang menyatakan bahwa pengakuan ini merupakan suatu keharusan agar suatu negara
dapat lahir. Menurut Lauterpacht, karena suatu negara tidak dapat ada sebagai subyek hukum
tanpa adanya pengakuan ini, maka hukum internasional membebankan kewajiban kepada
negara - negara yang telah ada untuk memberikan pengakuannya. Agar negara baru itu ada
(Adolf, 1993). Dengan hal yang nada yang sama, namun berbeda redaksinya, Chen
berpendapat bahwa karena negara baru itu ada dan mempunyai hak, maka ada suatu
kewajiban bagi Negara - negara lain untuk mengakuinya agar hak negara tersebut berlaku
(Adolf, 1993). Teori - teori Tentang Pengakuan Dalam literature - literatur hukum
internasional terdapat dua teori yang terkenal tentang pengakuan, yaitu : 1. Teori Konstitutif
Dalam teori konstitutif ini dikemukakan bahwa di mata hukum internasional, suatu negara
lahir jika negara tersebut telah diakui oleh negara lainnya. Hal ini mengartikan bahwa hanya
dengan pengakuanlah suatu negara baru itu dapat diterima sebagai anggota masyarakat
internasional dan dapat memperoleh status sebagai subjek hukum internasional. Pendukung
utama teori ini adalah Lauterpacht yang menyatakan bahwa a state is, and becomes, an
international person through recognition only and exclusively (Mauna, 2003). Selanjutnya
ditegaskannya pula bahwa statehood alone does not imply membership of the family of
nations (Mauna, 2003). Untuk menguatkan sifat hukum dari perbuatan pengakuan, ia juga
menegaskan bahwa recognition is a quasi judicial duty dan bukan merupakan an act of
arbitrary discreation or a political concession (Mauna, 2003). Ada dua alasan yang
melatarbelakangi teori ini. Pertama, jika kata sepakat yang menjadi dasar berlakunya hukum
internasional, maka tidak ada negara atau pemerintah yang diperlakukan sebagai subjek
hukum internasional tanpa adanya kesepakatan dari negara yang ada terlebih dahulu. Alasan
kedua, yaitu bahwa suatu negara atau pemerintah yang tidak diakui tidak mempunyai status
hukum sepanjang negara atau pemerintah itu berhubungan dengan negara - negara yang tidak
mengakui (Adolf, 1993). 2. Teori Deklaratif Dalam teori ini pengakuan tidak menciptakan
suatu negara karena lahirnya suatu negara, karena suatu negara lahir atau ada berdasarkan
situasi - situasi/fakta murni. Kemampuan tersebut secara hukum ditentukan oleh usaha -
usahanya serta keadaan-keadaan yang nyata dan tidak perlu menunggu untuk dapat diakui
oleh negara lain. Suatu negara ketika lahir langsung menjadi anggota masyarakat
internasional dan pengakuan hanya merupakan pengukuhan dari kelahiran tersebut, maka
menurut teori ini pengakuan tidak menciptakan suatu negara, dan pengakuan bukan
merupakan syarat lahirnya suatu negara baru. Dalam perkembangan di lingkungan hukum
internasional kecenderungan praktek negara±negara lebih mengarah kepada teori deklaratif.
Contohnya adalah penolakan pengakuan oleh negara negara Barat sampai tahun 1973 atas
pembentukan Republik Demokrasi Jerman yang dianggap merupakan pelanggaran Uni Soviet
terhadap kewajiban - kewajiban yang tercantum dalam perjanjian - perjanjian yang telah
dibuat dengan negara - negara sekutu sesudah perang (Mauna, 2003). Ini adalah contoh dari
pelaksanaan teori konstitutif yang sekarang ini tidak lagi dipakai dalam praktek negara -
negara. Salah satu ciri pokok yang sebagaimana diketahui dalam hubungan internasional
sesudah tahun 1945 adalah munculnya negara - negara baru setelah membebaskan diri dari
penjajahan colonial. Berkaitan dengan hal itu hukum internasional tidak melarang gerakan
kemerdekaan nasional untuk lepas dari penjajahan. Meskipun kecenderungan praktek dalam
hukum internasional lebih mengarah kepada teori deklaratif, namun bukan berarti teori
konstitutif sepenuhnya salah. Kedua teori ini mempunyai alasan masing - masing yang benar
dan dalam beberapa keadaan keduanya pun benar. Suatu Negara atau pemerintah tidak akan
mendapatkan status dari negara lain kecuali negara tersebut diakui oleh negara yang
bersangkutan (teori konstitutif). Namun bukan berarti bahwa negara tersebut tidak ada (teori
deklaratif). Maka, jika dilihat dari hal tersebut, negara tetap ada meskipun tidak diakui.
Negara tersebut hanya dapat mengadakan hubungan dengan negara yang mengakuinya. Pada
waktu rezim komunis Cina berkuasa, negara Cina ini tetap ada meskipun Amerika Serikat
tidak mengakuinya, tetapi negara Cina tidak dapat melakukan hubungan dengan Amerika
Serikat sampai Amerika Serikat memberikan pengakuannya (Adolf, 1993). Dari uraian di
atas dapat dikatakan bahwa muncul atau lahirnya suatu negara adalah suatu peristiwa yang
tidak langsung mempunyai ikatan dengan hukum internasional. Pengakuan yang diberikan
kepada negara yang baru lahir tersebut hanya bersifat politik, atau seperti pengukuhan
terhadap statusnya di lingkungan anggota masyarakat internasional dengan segala hak dan
kewajiban yang dimiliki sesuai dengan hukum internasional. Bentuk - bentuk Pengakuan 1.
Pengakuan secara Kolektif Pengakuan suatu negara dalam kategori ini dapat berupa dua
bentuk. Bentuk yang pertama adalah deklarasi bersama oleh sekelompok negara. Contohnya
adalah pengakuan negara - negara Eropa secara koletif/bersama - sama pada tahun 1992
terhadap ketiga negara yang berasal dari pecahan Yugoslavia yakni Bosnia dan Herzegovina ,
Kroasia, dan Slovenia (Mauna, 2003). Bentuk kedua yaitu pengakuan yang diberikan melalui
penerimaan suatu negara baru untuk menjadi bagian/peserta ke dalam suatu perjanjian
multilateral. Contohnya seperti perjanjian damai.
Pengakuan kolektif ini dalam kaitannya dengan pengakuan negara baru mempunyai
peranan sebagai bukti pengakuan terhadap adanya negara baru. Pengakuan kolektif berkaitan
dengan masuknya suatu negara ke dalam suatu organisasi internasional terkadang
menimbulkan masalah yang cukup penting bagi negara yang bersangkutan. Penyebab hal ini
adalah karena masuknya negara tersebut ke dalam pengakuan terhadapnya bukan diberikan
oleh organisasi internasional melainkan oleh para anggotanya. Pengakuan kepada negara baru
diberikan oleh sekelompok negara yang bergabung dalam organisasi tersebut. Sudah tentu
dengan diberikannya pengakuan kolektif ini akan mempunyai dampak yang cukup
berpengaruh terhadap hubungan negara baru tersebut dengan negara - negara anggota
organisasi internasionall tersebut. 2. Pengakuan secara Terang - terangan dan Individual
Pengakuan seperti ini berasal dari pemerintah atau badan yang berwenang di bidang
hubungan luar negeri, ada beberapa cara seperti : a. Nota Diplomatik, Suatu Pernyataan atau
Telegram. Pada umumnya suatu negara mengakui negara lain secara individual yang hanya
melibatkan negara itu saja. Pengakuan individual ini mempunyai arti diplomatik tersendiri
bila diberikan oleh suatu negara kepada negara bekas jajahannya atau kepada negara yang
sebelumnya bagian dari negara yang memberikan pengakuan (Mauna, 2003). Misal
pernyataan negara Republik Indonesia terhadap kemerdekaan Timor Leste dimana
sebelumnya Timor Leste adalah salah satu bagian dari NKRI. b. Suatu Perjanjian
Internasional, beberapa contohnya adalah :
1. Pengakuan Prancis terhadap Laos tanggal 19 Juli 1949 dan Kamboja 18 November
1949. 2. Pengakuan Jepang terhadap Korea tanggal 8 September 1951 melalui pasal 12 Peace
Treaty. 3. Pengakuan timbal - balik Italia - Vatikan melalui pasal 26 Treaty of Latran 14
Februari 1929 (Mauna,2003:68-69). 4. Pengakuan secara Diam - Diam Pengakuan ini terjadi
jika suatu negara mengadakan hubungan dengan pemerintah atau negara baru dengan
mengirimkan seorang wakil diplomatik, mengadakan pembicaraan dengan pejabat resmi atau
kepala negara setempat. Namun dalam keadaan ini harus ada indikasi atau tindakan nyata
untuk mengakui pemerintah atau negara yang baru. Seperti yang terjadi pada hubungan
Amerika Serikat dan Cina. Walaupun Amerika Serikat secara resmi tidak mengakui RRC,
tetapi semenjak tahun 1955 negara tersebut telah mengadakan perundingan - perundingan
tingkat duta besar di Jenewa, Warsawa, Prancis, dan yang diikuti dengan pembukaan kantor -
kantor penghubung di kedua negar akhir Mei 1973 (Mauna, 2003). Dapatlah dikatakan bahwa
perundingan - perundingan dan pembukaan kantor penghubung tersebut ditambah dengan
kunjungan resmi Presiden Nixon ke Peking tahun 1971 merupakan pengakuan secara timbal-
balik secara diam-diam walaupun tidak adanya pengakuan secara resmi. Dalam hubungan
internasional, hubungan antar dua negara atau perundingan-perundingan tingkat duta besar
tidak mungkin dapat terjadi jika antara negara satu dengan yang lain tidak saling me ngakui
keberadaan masing ± masing walaupun secara diam ± diam. Kunjungan PM Israel Shimon
Peres ke Maroko tanggal 21 Juli 1986 dan pembicaraan ± pembicaraan yang dilakukannya
dengan Raja Hasan II untuk mencari penyelesaian Timur Tengah dapatlah dianggap sebagai
pengakuan se-cara diam ± diam antara kedua negara (Mauna, 2003). Contoh lainnya adalah
Vatikan yang sering mengadakan hubungan dengan Israel pada tingkat duta besar walaupun
kedua negara ini tidak mem-punyai hubungan diplomatik, dan pada akhirnya Vatikan secara
resmi mengakui Israel pada tanggal 30 Desember 1993. 4. Pengakuan Terpisah Pengakuan
terpisah ini juga dapat diberikan kepada suatu Negara baru. Apabila pengakuan itu diberikan
kepada suatu negara baru, namun tidak kepada pemerintahnya, atau sebaliknya pengakuan
diberikan kepada suatu pemerintah yang baru yang berkuasa, tetapi pengakuan tidak
diberikan kepada negaranya (Tasrif, 1966). 5. Pengakuan Mutlak Suatu pengakuan yang telah
diberikan kepada suatu negara baru tidak dapat ditarik kembali. Institut Hukum Internasional
dalam suatu Resolusi yang disahkannya pada 1936 menyatakan bahwa pengakuan de jure
suatu negara tidak dapat ditarik kembali (Tasrif, 1966). Moore menyatakan bahwa pengakuan
sebagai suatu asas umum bersifat mutlak dan tidak dapat ditarik kembali (absolute and
irrevocable) (Tasrif, 1966). Hal ini dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari pengakuan de
jure. Namun pengakuan secara de facto yang telah diberikan, dalam keadaan tertentu
pengakuan ini dapat ditarik kembali (Malcolm, 1986). Penyebab hal ini karena biasanya
pengakuan de facto diberikan kepada negara, sebagai hasil dari penilaiannya yang bersifat
temporer atau sementara dan hati± hati terhadap lahirnya suatu negara baru. Hal seperti ini
dilakukan untuk mengahadapi suatu situasi dimana pemerintah yang diakui secara de facto
tersebut kehilangan kekuasaan, karena hal ini maka alasan untuk memberikan pengakuan
menjadi hilang. Oleh karena itu pengakuan yang telah diberikan dapat ditarik kembali bagi
negara yang memberi pengakuan (Adolf, 1993). Pada waktu pertama kali Indonesia
menyatakan kemerdekaanya, Belanda tidak mengakuinya, tetapi ketika Indonesia berhasil
mempertahankan kemerdekaan setelah dilalui oleh aksi ± aksi militer, Belanda tidak langsung
memberikan pengakuan de jure, tetapi hanya pengakuan de facto. Tindakan ini dilakukan
karena Belanda masih berharap situasi di dalam negeri Indonesia dapat berubah dan Belanda
dapat kembali berkuasa. Dalam praktek hukum internasional, penarikan suatu pengakuan
jarang terjadi atau ditemui, namun hal ini mempunyai kemungkinan untuk terjadi. Tahun
1936 Inggris mengakui secara de facto penaklukan Italia atas Ethiopia dan kemudian diikuti
pengakuan de jure di tahun 1938, namun Inggris menarik pengakuannya ini di tahun 1940
menyusul terjadinya pergolakan senjata di negeri Ethiopia yang diduduki itu (Malcolm,
1986). 6. Pengakuan Bersyarat suatu pengakuan yang diberikan kepada suatu negara baru
yang disertai dengan syarat ± syarat tertentu untuk dilaksanakan oleh negara baru tersebut
sebagai imbangan pengakuan (Tasrif, 1966). Menurut Hall, pengakuan ini ada dua macam,
yakni pertama, pengakuan dengan syarat± syarat yang harus dipenuhi sebelum pengakuan
diberikan. Kedua, pengakuan dengan syarat± syarat yang harus dilakukan kemudian sesudah
pengakuan diberikan. Dalam hal yang pertama, pengakuan tidak perlu dilakukan apabila
syarat ± syarat yang telah disetujui tidak dilakukan atau dilaksanakan. Dalam hal yang kedua,
tidak dipenuhinya syarat ± syarat pengakuan yang telah disetujui untuk dilaksanakan maka
hal ini member alasan kepada negara yang memberikan pengakuan untuk melaksanakan
penataan syarat ± syarat tersebut melalui pemutusan hubungan diplomatik atau bahkan
dengan mengadakan intervensi. Pengakuan bersyarat ini diberikan sebagai pengikat dan
sebagai suatu cara tekanan politik kepada suatu negara baru. Contoh dari pengakuan ini
adalah, ditandatanganinya perjanjian Litvinov tahun 1933, perjanjian ini berisi pengakuan
Amerika Serikat terhadap pemerintah Soviet. Dalam perjanjian tersebut diisyaratkan agar Uni
Soviet membayar seluruh tuntutan keuangan Amerika Serikat dan bahwa Uni Soviet tidak
akan melakukan tindakan ± tindakan yang dapat mengganggu keamanan dalam negeri
Amerika Serikat (Adolf, 1993). Pada tahun 1878 Bulgaria, Montenegro, Serbia, dan Rumania
diakui oleh sekelompok negara± negara Eropa dengan syarat bahwa negara± negara ini tidak
akan melarang warga negaranya menganut agamanya. Contoh lain adalah pengakuan
Amerika Serikat dan Inggris terhadap Pemerintahan sementara Cekoslovakia dan Polandia,
dimana dalam pengakuan tersebut tercantum didalamnya persyaratan agar kedua negara ini
mengadakan pemilihan umum yang bebas sesudah pendudukan yang dilakukan Jerman atas
kedua negara ini berakhir (Adolf, 1993). Sehubungan dengan persyaratan± persyaratan ini
pula, Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam kasus U.S vs pink mengatakan bahwa
recognition is not always absolute, it is sometimes conditional. Pengakuan bersyarat ini tidak
berakibat hukum apapun juga, hal ini disebabkan karena pengakuan yang demikian
merupakan tindakan sepihak saja, dan dilatarbelakangi oleh maksud ± maksud politik (Adolf,
1993). Dalam hukum internasional dikenal dua macam bentuk pemerintah baru, yaitu
pengakuan pemerintah de jure dan de facto Pengakuan Pemerintah Baru Pengakuan
pemerintah baru ini adalah hal yang kerapkali muncul. Pemerintah dalam suatu negara akan
dan pasti berganti ± ganti. Perubahan seperti ini sebetulnya tidak memerlukan pengakuan dari
negara± negara lain. Jika dibutuhkan pengakuan diberikan hanya sebatas tindakan formalitas
saja dan biasanya dilakukan secara diam ±diam. Keadaan seperti ini terjadi khususnya
manakala penggantian pemerintah tersebut dilakukan menurut cara ± cara konstitusional,
yaitu cara ±cara yang sah dan terjadi secara normal sesuai dengan kehidupan politik negara
yang bersangkutan. Baik itu dilakukan dengan pemilihan umum, penggantian sementara
kepala negara karena yang bersangkutan meninggal. Contohnya adalah, ketika Soekarno
digantikan kedudukannya oleh Soeharto, masalah pengakuan ini tidak lahir karenanya (Adolf,
1993). Yang menjadi permasalahan adalah ketika dalam penggantian pemerintahan suatu
negara terjadi karena cara ±cara yang tidak konstitusional. Contoh, pemerintah yang berkuasa
mendapatkan kekuasaanya melalui kudeta, pemberontakan atau penggulingan pemerintah
yang sah melalui cara ± cara yang tidak sah. Contohnya, Rezim Tinoco di Kosta Rica yang
berkuasa antara tahun 1917 ± 1919 tidak diakui oleh negara ±negara sekutu yang sebagian
besar disebabkan karena Amerika Serikat tidak menyetujui rezim tersebut (Adolf, 1993).
Dalam praktek pengakuan terhadap negara dan pemerintah memang biasanya berjalan
bersamaan. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1945, negara lain
seperti India dan Mesir mengakui Indonesia dimana didalamnya pengakuan ini mencakup
pengakuan terhadap negara dan pemerintah. Namun karena ada pemisahan pengakuan
terpisah, maka pemberian atau penolakan pemberian pengakuan terhadap pemerintah baru
tidak ada hubungannya dengan pengakuan negara. Oleh karena itu pula, jika suatu negara
menolak pengakuan suatu pemerintah baru yang berkuasa didalam suatu negara, hal ini tidak
mengakibatkan negara tersebut kehilangan statusnya sebagai subjek hukum internasional
(Adolf, 1993).
BAB 4

Asal mula negara

Asal Mula Negara Ketika kita mempelajari negara, maka akan ada pertanyaan
bagaimana asal mula suatu negara terbentuk? Tidaklah mungkin suatu negara terbentuk tanpa
ada asal mulanya. Oleh karena itu, pada bagian ini kita akan membahas bagaimana asal mula
negara. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang asal mula suatu negara, yaitu teori
teokrasi, teori hukum alam, teori perjanjian masyarakat, teori kekuatan atau kekuasaan, teori
positivisme, teori organis, teori garis kekeluargaan, dan teori modern (Ismatullah dan Gatara,
2007: 57; Hufron dan Hadi, 2007: 89-92). Selain delapan teori tentang asal mula suatu negara
yang telah disebutkan, ada dua teori lagi yang menjelaskan tentang asal mula atau terjadinya
suatu negara. Terjadinya suatu negara dapat dilakukan secara primer dan secara sekunder
(Sabon, 2014: 41).
Teori Teokrasi
Teori teokrasi atau teori ketuhanan merupakan salah satu teori yang mengkonstruksi tentang
asal mula negara. Teori teokrasi yang mempunyai kaitan dengan asal mula negara terdiri atas
dua teori. Dua teori tersebut yaitu teori teokrasi klasik dan theori teokrasi modern. Teori
teokrasi klasik menyatakan bahwa otoritas kekuasaan berasal Tuhan dan kemudian diberikan
secara langsung kepada manusia yang memerintah. Manusia yang mendapat kekuasaan
tersebut yang dianggap sebagai titisan Tuhan (Atmadja 2012: 24). Sebagai contoh Iskandar
Zulkarnaen yang dianggap sebagai putera Zeus, Fir’aun dari Mesir yang juga dianggap
sebagai titisan Dewa Ra atau Dewa Matahari. BAB II 16 Dasar-Dasar Ilmu Negara Teori
teokrasi turut memperkuat tingkat kepercayaan manusia yang meyakini bahwa kekuasaan
atau kejadian yang terjadi adalah milik Tuhan, termasuk tentang asal mula negara yang tidak
lain adalah kehendak atau ketetapan dari Tuhan. Kepercayaan tersebut melahirkan
kepercayaan bahwa negara, yang di dalamnya terdapat kekuasaan, merupakan kehendak dari
Tuhan. Artinya, suatu negara bisa ada dan berdiri apabila Tuhan menghendaki negara
tersebut ada dan berdiri. Kepercayaan tersebut kemudian melahirkan kepercayaan tentang
manusia-manusia yang dianggap sebagai titisan Tuhan dan mendapatkan kekuasaan dari
Tuhan untuk memerintah serta menjalankan kekuasaan negara (Ismatullah dan Gatara, 2007:
57). Teori teokrasi yang kedua adalah teori teokrasi modern. Teori teokrasi modern juga
menyatakan bahwa kekuasaan berasal dari Tuhan, tetapi dengan perspektif yang agak
berbeda. Teori ini mengamini bahwa kekuasaan berasal dari Tuhan dan diberikan pada
manusia tertentu dalam suatu proses sejarah tertentu. Salah satu tokoh populer teori ini yaitu
Friederich Julius Stahl, yang menyatakan bahwa negara tumbuh dikarenakan adanya
ketetapan historis dan negara tidak tumbuh karena ketetapan manusia, tapi skenario dari
Tuhan (Atmadja, 2012: 24). Tokoh lain yang mempelopori teori teokrasi yaitu Abu Al A’la
Al-Maududi. Dalam argumennya Abu Al A’la Al-Maududi memberikan penjelasan bahwa
kekuasaan tertinggi terdapat pada Allah. Manusia di dunia hanya menjalankan kekuasaan
yang Allah berikan. Oleh karena itu, manusia sering disebut sebagai pemimpin di dunia.
Pernyataan tersebut menandakan bahwa negara merupakan ciptaan dan ketetapan dari Tuhan
(Ismatullah dan Gatara, 2007: 58). Argumen kontra terhadap teori teokrasi disampaikan oleh
Kranenburg. Menurut Kranenburg, teori teokrasi memiliki dua masalah. Pertama, teori ini
jauh dari logika dan sulit dinalar oleh ilmu pengetahuan, karena yang menjadi dasar adalah
keyakinan atau kepercayaan. Kedua, teori ini akan mengalami masalah apabila terjadi perang
antara dua kekuasaan yang diyakini sebagai titisan Tuhan. Jadi, kekuasaan mana yang akan
tetap dipercaya sebagai pemberian dari Tuhan? (Atmadja, 2012: 24-25).
Teori Hukum Alam
Teori selanjutnya yang turut menjelaskan asal mula negara adalah teori hukum alam. Teori
hukum alam menekankan pada hukum alam sebagai asal mula dari negara. Hukum alam ada
yang sifatnya irrasional dan rasional. Hukum Alam yang Dasar-Dasar Ilmu Negara 17
irrasional dapat ditemukan dengan menggunakan metode induktif (logika induktif: khusus-
umum). Contoh hukum alam yang irrasional seperti hukum yang lahir dari Tuhan atau
Firman Tuhan, hal-hal yang bersifat mistis, dan sejenisnya. Adapun hukum alam yang
rasional adalah hukum alam yang ditemukan melalui metode deduktif (logika deduktif:
umum-khusus), yang merupakan metode yang didapat melalui observasi. Berangkat dari dua
dasar tersebut maka teori hukum alam lahir dan kemudian ikut terlibat mengkonstruksi ilmu-
ilmu, termasuk Ilmu Negara. Sifat hukum alam yang abstrak dan universal membuat hukum
alam lebih alamiah, karena tidak dibuat oleh negara atau kekuasaan secara langsung. Hukum
alam lahir secara alamiah berdasarkan kondisi alam. Selain itu hukum alam juga memusatkan
manusia sebagai titik tolak, dan membuat manusia lebih alamiah, cenderung tidak terdapat
tekanan (Ismatullah dan Gatara, 2007: 58). Tokoh teori hukum alam yang terkenal salah
satunya Hugo de Groot atau Grotius. Hugo de Groot menyatakan bahwa hukum alam
merupakan hukum yang mutlak, sehingga tidak dapat diubah. Indikator atau ukuran dari
hukum alam terletak pada baik dan buruk. Oleh karena itu, hukum alam seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya lebih bersifat abstrak dan universal, karena hanya dapat dinilai dari
baik dan buruk (Ismatullah dan Gatara, 2007: 61). Dalam perspektif hukum alam, negara
lahir secara alamiah atau natural karena keadaan alam sendiri, yang akhirnya melahirkan
berdirinya negara. Dalam konteks ini, negara lahir secara alamiah tanpa ada tekanan dari
kekuasaan manusia yang lain. Lahirnya negara dari keadaan alamiah tidak dapat dihentikan
oleh siapapun.
Teori Perjanjian Masyarakat
Teori perjanjian masyarakat diperkenalkan oleh tokoh yang bernama Thomas Hobbes, yang
lahir pada tahun 1588 dan meninggal pada tahun 1679. Hobbes menyatakan bahwa yang
berlaku pada masa sebelum adanya negara adalah hukum rimba. Di masa tersebut, yang
berlaku adalah prinsip homo homini lupus, yang berarti manusia menjadi serigala bagi
manusia lain. Selain itu, juga berlaku prinsip bellum omnium contra omnes¸ yang artinya
semua lawan semua. Kemudian, untuk mengakhiri hukum rimba di tegah masyarakat, maka
masyarakat membuat kontrak sosial atau perjanjian masyarakat. Kontrak sosial tersebut
berupa penyerahan kewenangan atau kekuasaan kepada raja untuk memerintah. Artinya
masyarakat secara bersama-sama berjanji untuk menyerahkan kekuasaan kepada raja yang 18
Dasar-Dasar Ilmu Negara ditunjuk untuk memerintah agar hukum rimba tidak terjadi lagi
(Atmadja, 2012: 26-27). Hobbes juga menyatakan bahwa perjanjian untuk membuat negara
dimulai dengan rakyat yang mengadakan perjanjian. Kemudian rakyat menyerahkan semua
kekuasaan kepada negara, agar dengan kekuasaan yang dimiliki negara dapat mengatur
masyarakat secara mutlak. Menurut Hobbes, kondisi tersebut menimbulkan konsekuensi
politik, di mana kekuasaan yang sudah diberikan tersebut tidak dapat ditarik lagi. Hobbes
menyatakan bahwa bentuk negara yang ideal adalah kerajaan atau monarki absolut
(Ismatullah dan Gatara, 2007: 64). Selain Hobbes, John Locke juga merupakan salah satu
tokoh pencetus teori perjanjian masyarakat. Locke, yang lahir pada tahun 1632 dan
meninggal pada tahun 1704, menyatakan bahwa manusia pada dasarnya secara alamiah sudah
mempunyai hak-hak asasi. Hak-hak tersebut meliputi hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak
milik. Sebagai wujud untuk melindungi hak-hak tersebut maka dibuatlah kontrak sosial. John
Locke menyatakan bahwa ada dua macam kontrak sosial. Pertama, pactum unionis, atau
perjanjian yang sebenarnya. Perjanjian yang sebenarnya merujuk pada perjanjian antara satu
individu dengan individu yang lain untuk membuat suatu negara. Kedua, pactum subjectionis,
atau perjanjian pemerintahan. Perjanjian pemerintahan yaitu merupakan perjanjian antara
rakyat dengan penguasa yang diberi wewenang untuk memerintah. Perjanjian ini pada era
sekarang dapat juga disebut semacam kontrak politik (Atmadja, 2012: 28). 2.1.4. Teori
Kekuatan Teori kekuatan juga dapat disebut sebagai teori kekuasaan. Teori kekuatan sendiri
dapat dibagi menjadi dua: teori kekuatan fisik dan teori kekuatan ekonomi. Teori kekuatan
fisik menyatakan bahwa kekuasaan adalah bentukan orang-orang yang paling kuat, berani,
dan berkemauan teguh untuk memaksakan kemauannya kepada pihak yang lemah. Voltaire
menyatakan bahwa raja yang pertama merupakan “the winning hero”. Teori kekuatan fisik
mendeklarasikan bahwa negara dapat muncul disebabkan oleh kemenangan dari pihak yang
secara fisik lebih unggul dan kuat dari pihak lain (Atmadja, 2012: 33). Teori kekuatan yang
kedua adalah teori kekuatan ekonomi. Teori kekuatan ekonomi menyatakan bahwa kekuasaan
pada dasarnya berasal dari orang-orang yang kuat secara ekonomi dan ingin melanggengkan
kekuatannya tersebut dengan Dasar-Dasar Ilmu Negara 19 kekuasaan. Franz Oppenheimer
menyatakan dalam pendapatnya bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia akan
menempuh dua jalan, yaitu jalan ekonomi atau memeras keringat dan jalan politik atau
merampas jerih payah orang lain (Atmadja, 2012: 34). Pendapat tentang teori kekuatan
ekonomi juga dikemukakan oleh Karl Marx. Sebagai penggagas marxsisme, Marx
menyatakan bahwa teori kekuatan ekonomi tidak lain merupakan perjuangan kelas atau
pertarungan antar kelas. Karl Marx juga menyatakan bahwa teori kekuatan ekonomni tidak
lain adalah eksploitasi kaum borjuis atau pemilik modal terhadap kaum proletar atau buruh.
Karl Marx berpandangan bahwa munculnya negara diikuti dengan lahirnya hak milih
individu. Kondisi tersebut menyebabkan terjadi perpecahan antara dua kelas, yaitu kelas
pemilik modal dan kelas buruh. Perpecahan tersebut yang menyebabkan pemilik modal
berusaha menguasai alat produksi agar dapat mengekspolitasi negara dan kelas buruh
(Ismatullah dan Gatara, 2007: 62). Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Harold J.
Laski, yang berpandangan bahwa kekuasaan ekonomi merupakan puncak perebutan bagi
orangorang yang ingin menguasai sistem perekonomian. Dengan penguasaan sistem
perekonomian, maka semuanya bisa didapat. Dalam konteks ini, negara dijadikan alat untuk
merebut kekuasaan ekonomi bagi orang-orang memiliki modal. Jalan yang dilakukan untuk
menguasai sistem ekonomi adalah jalan hukum dan politik, yang merupakan bagian dari
negara. Jadi, dengan teori ini, terciptanya negara berawal dari orang yang mempunyai modal
dan ingin menguasai sistem ekonomi, sehingga memerlukan negara sebagai alat untuk
menguasai (Hufron dan Hadi, 2016: 88-89).
Teori Positivisme
Teori positivisme juga turut menjelaskan tentang asal mula negara. Hans Kelsen, salah satu
tokoh positivisme hukum, sering mengaitkan antara teori hukum, negara, dan hukum
internasional. Sebenarnya Hans Kelsen bukan merupakan bagian penuh dari aliran
positivisme empiris, dan juga bukan merupakan bagian penuh dari aliran hukum alam.
Menurut para ahli, Hans Kelsen lebih pada posisi di tengah-tengah antara dua aliran tersebut
(Asshiddiqie dan Safaat, 2006:9). Walaupun demikian, karya-karya Hans Kelsen yang selalu
mempromosikan teori hukum murni membuat Hans Kelsen dapat dianggap cenderung pada
teori hukum positivisme. Selain mempromosikan teori hukum murni yang dekat dengan teori
20 Dasar-Dasar Ilmu Negara hukum positivisme, Hans Kelsen juga mengkaji tentang negara.
Salah satu buku yang ditulisnya, yaitu General Theory of Law and State, khususnya pada
bagian dua, mengkaji tentang negara (Kelsen, 1949: 181). Dalam pandangannya, Hans
Kelsen menyatakan bahwa Ilmu Negara harus terlepas dari pengaruh-pengaruh lain, dan
harus memusatkan kajian negara secara yuridis-normatif. Asal mula negara adalah salah satu
problem karena sifatnya yang tidak murni hukum. Dengan demikian Hans Kelsen
berpandangan bahwa asal mula negara merupakan objek kajian filsafat hukum, sehingga
tidak dapat dibicarakan dalam tataran Ilmu Negara. Artinya, menurut Hans Kelsen, asal mula
negara bukan merupakan objek dari Ilmu Negara (Hufron dan Hadi, 2016: 90). Hans Kelsen
juga berpandangan bahwa negara harus terlepas dari fenomenafenomena lain selain fenomena
hukum. Negara dibuat oleh kelompok masyarakat dari satu bangsa berdasarkan hukum yang
sah. Pembentukan hukum dalam membuat negara tertuang dalam konstitusi yang disepakati
bersama oleh masyarakat (Kelsen, 1949: 181). Pendapat Hans Kelsen tentang negara menarik
dikaji lebih mendalam. Pandangan Hans Kelsen tentang negara, yang harus lepas dari segala
fenomena kecuali hukum, membuat asal mula negara tidak harus diperdebatkan secara keras.
Negara dapat lahir karena adanya masyarakat yang membuat konstitusi sebagai dasar untuk
menjalankan negara. Selain itu, konstitusi sebagai hukum tertinggi yang dapat dijadikan
untuk mengetahui hakikat negara yang sejatinya, juga dapat digunakan untuk mengkaji asal
mula berdirinya negara tersebut. Walaupun Hans Kelsen beranggapan bahwa asal mula
negara bukan menjadi objek kajian Ilmu Negara, tetapi teori positivisme setidaknya dapat
dijadikan landasan untuk mengetahui asal mula suatu negara dari sudut pandang yuridis.
Hanya saja asal mula negara yang dikaji lebih pada negara secara kongkrit, bukan secara
umum dan menyeluruh. Misalnya, mengkaji asal mula negara Indonesia dari sudut pandang
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi atau hukum tertinggi di negara Indonesia.
Teori Organis
Teori organis dalam kaitan dengan asal mula negara lebih mensimulasikan negara
seperti anatomi manusia. Negara dianggap sama dengan makhluk hidup yang mempunyai
struktur seperti kepala, badan, kaki, tangan, otak dan lain.lain. Kepala, badan, kaki, tangan
dapat disamakan dengan struktur lembaga negara, sedangkan otak dapat disamakan dengan
pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara. Selain persamaan tersebut, negara dan
makhluk hidup juga mempunyai persamaan dalam hal pertumbuhan dan perkembangan.
Artinya, sebagaimana makhluk hidup, negara juga mengalami masa kelahiran atau asal mula,
masa tumbuh dan berkembang, serta masa kematian atau lenyap dari muka bumi. Teori
organis mempunyai substansi atau materi yang terbagi menjadi empat yaitu organisme moral,
organisme psikis, organisme biologis, dan organisme sosiologis. (Hufron dan Hadi, 2016: 92-
93). Konsep asal mula negara yang menyamakan negara dengan makhluk hidup membuat
teori organis cenderung menjadikan asal mula negara secara alamiah yang artinya negara
lahir dipandang secara alamiah. Teori ini hampir mirip dengan teori hukum alam. Hanya
bedanya, teori ini menjadikan negara seperti makhluk hidup yang mempunyai organ. Begitu
juga negara yang mempunyai organ, dan dapat menjalankan organnya dengan fungsi-fungsi
tertentu. Teori organis dipopulerkan oleh George W. Hegel, J.K. Bruntscli, John Salisbury,
Marsigilio Padua, Pfufendorf, Henrich Ahrens, J.W. Scelling, serta F.J. Schitenner
(Ismatullah dan Gatara, 2007: 66). Teori organis merupakan salah satu teori yang mudah
dipahami untuk mengkonstruksi asal mula negara. Penggunaan imajinasi dalam teori organis
terkait asal mula negara lebih dapat diterima dan dapat dimengerti dengan cepat. Pemahaman
yang mudah tersebut dapat memberikan pemahaman terkait asal mula negara, khusunya
dalam menganalisis contoh-contoh kongkrit suatu negara. Misalnya, sebuah negara yang pasti
lahir kemudian tumbuh dan berkembang, bahkan menjadi maju. Namun setelah itu, ia akan
mati atau lenyap, walaupun kita tidak pernah tahu pasti kapan akan ia akan lenyap atau
mengalami kematian.
Teori Garis Kekeluargaan
Teori garis kekeluargaan, atau teori patriarkhal-matriarkhal, merupakan salah satu teori asal
mula negara. Teori garis kekeluargaan fokus pada penciptaan negara yang bersumber dari
adanya keluarga. Negara dapat terbentuk dari adanya keluarga kecil yang saling bersatu, dan
kemudian membentuk keluarga yang lebih besar, sampai pada akhirnya tercipta atau
terbentuk sebuah negara. Garis kekeluargaan yang dimaksud juga dapat berbentuk suku atau
keturunan. Oleh karena itu, teori ini menganggap bahwa negara bisa jadi lahir dari keluarga
atau suku yang berasal 22 Dasar-Dasar Ilmu Negara garis keturunan bapak (patriarkhal), atau
bisa juga dari garis keturunan ibu (matriarkhal) (Ismatullah dan Gatara, 2007: 66). Teori garis
kekeluargaan patriarkhal memiliki perbedaan dengan teori garis keturunan matriarkhal. Teori
garis kekeluargaan patriarkhal, yang memusatkan garis keturunan pada bapak, beranggapan
bahwa negara dapat tercipta dari garis keturunan bapak. Keadaan tersebut akan menjadikan
penguasa atau orang yang menjalankan negara tersebut adalah dari keturunan bapak
(patriarkhal). Adapun teori garis kekeluargaan matriarkhal menjadikan keturunan dari ibu
sebagai pemimpin. Dengan kata lain, orang yang menjalankan negara berasal dari garis
keturunan Ibu. Menariknya, teori ini tidak menentukan penguasa atau pemimpin dari suatu
negara berdasarkan gen atau jenis kelamin. Penentuan penguasa atau pemimpin dari negara
yang diciptakan oleh teori garis kekeluargaan adalah berdasarkan pada klan (Hufron dan
Hadi, 2016: 91-92).
Teori Modern
Teori selanjutnya yang bisa menjelaskan tentang asal mula negara yaitu teori modern.
Kranenburg menjelaskan bahwa negara lahir karena adanya komunitas manusia yang disebut
sebagai bangsa. Negara akan lahir apabila terdapat suatu bangsa. Oleh karena itu, bangsa
menjadi fondasi bagi terciptanya negara. Pendapat Kranenberg ini menyimpulan bahwa tidak
akan mungkin ada negara jika tidak ada komunitas yang disebut bangsa. Keadaan tersebut
menyebabkan penguasa dari sebuah negara adalah bangsa yang menciptakan negara.
Penjelasan dari Kranenberg bertolak belakang dengan penjelasan Logemann, yang
menjelaskan bahwa negara lebih dulu ada sebelum tercipta bangsa. Logemann berpandangan
bahwa negara, dengan kekuasaan yang dimilikinya, kemudian menciptakan suatu bangsa,
sehingga bangsa itu ada karena adanya suatu negara (Hufron dan Hadi, 2016: 91).
Teori Terjadinya Negara secara Primer
Teori terjadinya negara secara primer juga merupakan salah satu teori yang menawarkan
penjelasan tentang asal mula negara. Menurut teori ini, terjadinya negara secara primer dapat
digolongkan menjadi empat fase, yaitu fase genootshap (genossenchaft), fase reich (rijk), fase
staat, dan fase (democratische natie dan dictatuur atau dictatum). Fase-fase ini merupakan
tahapan dalam pembentukan negara. Dasar-Dasar Ilmu Negara 23 Fase genootshap berawal
dari individu-individu manusia yang kemudian mendeklarasikan diri untuk saling hidup
bersama-sama dengan berdasarkan pada persamaan kepentingan. Fase ini mengutamakan
unsur bangsa sebagai lahirnya suatu negara. (Busroh, 2009: 44-45). Fase selanjutnya, yaitu
fase reich, sudah masuk pada tahap manusia menerti dan memiliki hak atas tanah. Pemilik
tanah kemudian menyerahkan kekuasaan kepada penguasa untuk menjalankan negara. Fase
ini juga menjadikan negara mempunyai ukuran. Ukuran dari negara adalah kekayaan, yang
salah satunya dari adanya kepemilikan tanah. Setelah fase reich adalah fase staat. Fase
tersebut sudah memasuki wilayah politik, khususnya secara vertikal. Adanya wilayah politik
yang menjadi kekuasaan politik membuat antar wilayah saling beradu kekuatan. Fase ini
menghasilkan adanya kekuasaan pusat dengan daerah. Kekuasaan pusat mengontrol
kekuasaan daerah, sedangkan kekuasaan daerah tunduk pada kekuasaan pusat (Sabon, 2014:
42). Fase yang keempat adalah fase democratische natie dan fase dictatuur atau dicatum. Fase
democratische natie adalah kelanjutan dari fase sebelumnya yaitu fase staat. Fase
democratiche natie atau fase demokrasi nasional merupakan fase yang menjadikan kedaulatan
rakyat sebagai dasar. Negara ada atau lahir karena adanya kedaulatan rakyat, atau rakyat yang
berdaulat. Adapun dalam fase dictatuur atau dictatum terdapat perbedaan pendapat. Pendapat
pertama menyatakan bahwa fase dictatuur atau dictatum merupakan perluasan dari fase
democratische natie. Pendapat lain menyatakan bahwa fase dictatuur atau dictatum adalah
fase penyimpangan dari fase democratische natie. Jadi fase dictatuur atau fase dictatum
bukan perluasan dari fase democratische natie. Empat fase tersebut merupakan fase-fase
utama dalam terbentuknya atau terjadinya suatu negara. Tanpa fase tersebut, menurut teori
terjadinya negara secara primer, maka negara tidak mungkin dapat terjadi. (Busroh, 2009: 45-
46).
Teori Terjadinya Negara secara Sekunder
Selain teori terjadinya negara secara primer, kita juga mendapati teori terjadinya negara
secara sekunder. Teori terjadinya negara secara sekunder fokus pada terjadinya negara pada
claim atau pengakuan terhadap suatu negara (Busroh, 2009: 46). Adanya pengakuan tersebut
menunjukkan bahwa suatu negara dianggap ada karena dua hal. Pertama, sudah ada negara-
negara lain yang kemudian 24 Dasar-Dasar Ilmu Negara mengakui terjadinya negara yang
lainnya. Kedua, adanya pengakuan dari manusia atau bangsa yang belum memiliki atau
menciptakan negara, dalam hal ini belum ada negara tercipta di dunia. Pernyataan yang kedua
dapat menegaskan bahwa teori ini berasumsi bahwa bangsa lebih dulu ada sebelum
berdirinya negara. Pengakuan atau erkening terdiri atas tiga macam, yaitu (1) pengakuan de
facto yang bersifat sementara; (2) pengakuan de jure, atau pengakuan yuridis; dan (3)
pengakuan atas pemerintahan de facto. Pengakuan de facto yang bersifat sementara
merupakan pengakuan yang diberikan kepada negara yang baru lahir. Pemberian pengakuan
tersebut sifatnya sementara, karena secara nyata negara tersebut memang telah lahir, tetapi
secara hukum belum dapat dinyatakan apakah negara tersebut telah benar-benar lahir atau
tidak. Sedangkan pengakuan de jure adalah pengakuan terhadap lahirnya suatu negara yang
sifatnya tetap dan mutlak. Keadaan tersebut dikarenakan negara yang tercipta merupakan
negara yang lahir karena hukum, sehingga bersifat tetap. Pengakuan selanjutnya adalah
pengakuan atas pemerintahan yang de facto. Pengakuan ini hanya bersifat pengakuan lahiriah
atas kedudukan pemerintah saja. Pengakuan ini tidak mengakui eksistensi negara secara
penuh. Tetapi pengakuan ini juga bisa masuk dalam pengakuan terhadap negara secara
sebagian, karena pemerintah merupakan unsur negara yang harus ada dalam berdirinya
negara. Karena negara tanpa pemerintahan juga tidak akan bisa disebut sebagai negara
(Busroh, 2009: 46-47). Teori terjadinya negara secara sekunder menyatakan bahwa negara
berdiri jika ada pengakuan dari negara-negara atau bangsa-bangsa lain. Agar negara tersebut
dapat memperoleh pengakuan, maka yang harus dilakukan oleh negara yang akan berdiri
adalah melakukan deklarasi atau pernyataan pembentukan negara baru. Tujuan deklarasi
tersebut adalah untuk mendapatkan persetujuan atau pengakuan dari negara-negara atau
bangsa-bangsa lainnya. Deklarasi juga dapat dijadikan sebagai arena untuk memberitahukan
bahwa negara yang berdiri merupakan negara yang berdaulat dan merdeka. Kemerdekaan
tersebut tidak hanya kemerdekaan ke dalam, tetapi juga kemerdekaan ke luar (Sabon, 2014:
43). Teori terjadinya negara secara sekunder ini menarik untuk dikaji. Berdasarkan teori ini,
negara dianggap ada hanya apabila ada pengakuan, yang tidak terbatas pada negara tersebut
saja, melainkan juga dari bangsa-bangsa lain di dunia. Negara yang lahir dan memerlukan
pengakuan harus mendeklarasikan diri bahwa negara tersebut telah berdiri secara merdeka
(dalam dan luar). Setelah melakukan deklarasi, maka ada tahap pengakuan atau persetujuan
dari negara atau bangsa lain Dasar-Dasar Ilmu Negara 25 terhadap berdirinya negara tersebut.
Sebagai contoh adalah Negara Indonesia. Pada saat kelahirannya, negara Indonesia
mendeklarasikan kemerdekaan dalam bentuk proklamasi. Proklamasi tersebut merupakan
ajang bagi Negara Indonesia untuk memberitahukan kepada negara-negara lain, atau bangsa-
bangsa lain, bahwa Negara Indonesia yang merdeka (ke dalam dan ke luar) telah lahir.
Setelah Negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, maka terjadi pengakuan dari
negara-negara lain seperti dari Mesir, Arab Saudi, dan negara-negara lainnya.
Lenyapnya Negara
Setelah mempelajari tentang asal-mula atau terciptanya negara. Pembahasan selanjutnya
adalah tentang lenyapnya negara. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa sebuah negara akan
terus hidup dan berdiri kokoh di atas bumi. Suatu negara bisa saja lenyap atau hancur kapan
pun. Bagian ini kita akan mempelajari teori mengenai lenyapnya negara. Mac Iver
mengemukakan bahwa suatu negara dapat lenyap dengan dua cara, yaitu cara revolusi dan
cara evolusi. Cara revolusi terjadi manakala di negara tersebut terjadi hal yang cepat dan
besar, seperti peperangan dan pemberontakan, yang dapat mengakibatkan hancurnya sebuah
negara. Cara evolusi terjadi manakala proses hancurnya negara terjadi secara perlahan.
Misalnya melalui adanya konflik internal yang berlarutlatur dan berkepanjangan di tubuh
negara tersebut, sehingga menyebabkan sendi-sendi kenegaraan melemah dan pada akhirnya
runtuh (Atmadja, 2012: 75-76). Diponolo menjelaskan lenyapnya negara dalam tiga teori,
yaitu teori organis, teori anarkis, dan teori marxis. Teori organis mengasumsikan negara
layaknya organisme hidup, yang akan lenyap manakala organisme tersebut sudah tidak
berfungsi lagi, atau organisme itu sendiri hancur. Teori organisme mengasumsikan negara
seperti makhluk hidup, yang bisa lahir, muda, tua, dan akhirnya mati. Teori anarkis
mendasarkan pada dampak dari anarkisme. Terjadinya anarkisme dapat membuat negara
hancur, yang berarti lenyapnya negara terjadi karena munculnya anarkisme dalam tubuh
negara. Teori Marx menjelaskan bahwa negara bisa hancur dan lenyap karena adanya
pertentangan kelas di dalam negara. Dalam konteks ini, negara bisa hancur atau lenyap
karena adanya kemenangan suatu kelas dalam masyarakat atas kelas lainnya (Atmadja, 2012:
76-77). Selain penjelasan dari teori-teori tersebut, negara bisa juga lenyap karena adanya
kolonialisme, kemiskinan, kudeta atau terjadi peperangan, pemisahan diri 26 Dasar-Dasar
Ilmu Negara dari wilayah yang merupakan bagian dari suatu negara. Kemudian juga negara
dapat mati karena adanya bencana alam, hilangnya penduduk, musnahnya pemerintahan, dan
semacamnya (Syafiie, 2013: 39-40). Dari berbagai sebab ini, dapat disimpuilkan bahwa
negara bisa lenyap karena dua alasan. Alasan pertama, negara bisa lenyap karena kondisi
alam. Kondisi alam yang tidak bersahabat dapat membuat negara hancur. Contoh dari
hilangnya negara karena kondisi alam yang tidak bersahabat adalah terjadinya gunung
meletus yang menghancurkan wilayah, banjir yang menghanyutkan wilayah, dan tsunami
yang menghancurkan manusia atau wilayah. Alasan kedua, karena kondisi sosial yang
menyebabkan lenyapnya negara. Contoh negara yang hilang karena faktor sosial misalnya
adanya kemiskinan yang menghilangkan penduduk, penjajahan, kudeta yang mengganti
negara, perjanjian, dan penggabungan atau pemisahan (atau perpecahan) wilayah dalam suatu
negara (Busroh, 2009: 47-48).
Hakikat Negara
Apa sebenarnya hakikat negara? Pertanyaan ini sepertinya ringan, tapi tidak mudah
menjawabnya. Perlu penjelasan-penjelasan filosofis untuk menerangkan apa sesungguhnya
hakikat negara. Plato menjelaskan bahwa negara sama halnya dengan manusia, yang
mempunyai perasaan, akal untuk berpikir, serta kehendak untuk berbuat (Kusnardi dan
Saragih, 1994). Negara juga mempunyai tiga hal tersebut sesuai dengan kriteria masing-
masing. Perasaan negara dapat disamakan dengan golongan profesi seperti petani, nelayan,
pedagang dan lain lain. Golongan ini sesungguhnya yang dapat memenuhi kebutuhan hajat
hidup warganegara. Tanpa profesi-profesi tersebut, negara tidak dapat berjalan dengan
semestinya. Dengan demikian, kondisi tersebut sering disebut sebagai perasaan negara
(Junaidi, 2016: 18-19). Akal yang dimiliki negara untuk berpikir dapat diidentikkan dengan
pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang otoritas negara wajib memikirkan bagaimana
menjalankan dan mengembangkan suatu negara. Sebagai otak negara, pemerintah harus dapat
berpikir sesuai dengan tujuan negara. Kehendak untuk berbuat dapat disimulasikan dengan
keinginan negara. Keinginan negara akan kehidupan yang tertib dan adil dapat dilakukan
dengan menggunakan instrumen yang dimiliki negara, sehingga tercipta ketertiban dan
keadilan bagi masyarakat di dalamnya. Hakikat negara yang seperti ini dalam pandangan
Plato merupakan hakikat negara yang idealis. Berbeda dengan Plato, Aristoteles yang
merupakan Dasar-Dasar Ilmu Negara 27 murid Plato menyatakan bahwa hakikat negara tidak
lain adalah terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan bagi masyarkat negara tersebut.
Pandangan Aristoteles yang demikian menunjukkan hakikat negara yang realistis (Junaidi,
2016: 19-20). Pembahasan mengenai hakikat negara juga tidak lepas dari teori-teori yang
berkembang dalam rangka menemukan hakikat negara. Oleh karena itu, ada baiknya terlebih
dahulu kita mengetahui teori hakikat negara, sebagai konstruksi berpikir untuk memahami
apa sesungguhnya hakikat negara. Berikut ini dijelaskan enam teori tentang hakikat negara,
yang meliputi teori sosiologis, teori organis, teori ikatan golongan, teori hukum murni, teori
dua sisi, dan teori modern (Atmadja, 2012: 41-45).
Teori Sosiologis
Teori sosiologis yaitu teori yang memandang negara sebagai suatu institusi sosial yang
tumbuh di wilayah masyarakat agar dapat mengurus, mengatur, dan menyelenggarakan
kepentingan masyarakat. Teori sosiologis menurut Rudolf Smend tidak lain ialah suatu
himpunan kehendak masyarakat yang tidak berubah dan mengadakan integrasi-integrasi agar
dapat bersatu. Pandangan dari Rudolf Smend mengantarkan pada hakikat negara yang
berawal dari persamaan nasib dan kemudian menyatu untuk mewujudkan tujuan bersama.
Tujuan bersama tersebut merupakan kehendak yang dicita-citakan oleh masyarakat dan tetap
dijaga secara konsisten oleh masyarakat yang ada di negara tersebut (Atmadja, 2012: 42).
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Kranenburg, yang berpandangan bahwa
manusia selalu hidup bersama agar dapat bertahan hidup (survive). Kehidupan bersama
tersebut kemudian akan menjadikan masyarakat yang ada di negara tersebut membuat tujuan
bersama. Mereka mengupayakan secara kuat agar tujuan tersebut dapat diwujudkan. Pendapat
yang berbeda disampaikan oleh Heller dan Logemann, yang menyatakan bahwa hakikat
negara terletak pada otoritas tertinggi dari suatu negara. Kekuasaan yang ada pada siapa dan
berlaku untuk siapa merupakan hakikat dari suatu negara (Sabon, 2014: 33-35). Pendapat
yang lain tentang hakikat negara berdasarkan teori sosiologis dikemukakan oleh Openheimer
dan Leon Duguit. Openheimer berpendapat bahwa hakikat negara terletak pada negara yang
dijadikan sebagai alat oleh penguasa, atau pihak yang kuat, untuk menindak pihak yang
lemah. Hal tersebut dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam masyarakat. Sama dengan
Openheimer, Leon 28 Dasar-Dasar Ilmu Negara Duguit juga menyatakan bahwa negara
merupakan milik kelompok yang kuat untuk dapat menguasai kelompok yang lemah. Dalam
memiliki negara, kelompok yang kuat kerap sekali menggunakan cara-cara politis untuk
mencapai tujuannya (Busroh, 2009: 22). Teori sosiologis tentang hakikat negara ini juga
dipopulerkan oleh beberapa tokoh lain, di antaranya Rudolf Smend, Kranenburg, Herman
Heller, Logemann, Gumplowicks, dan Horald J. Laski (Sabon, 2014: 33-35).
BAB 5

Teori lenyapnya negara

Menurut para ahli, negara bukan hanya bisa tumbuh dan berkembang tetapi juga
karena keadaan tertentu negara bisa hilang atau lenyap. Beberapa teori tentang lenyapnya
negara, yaitu sebagai berikut : (D.S. Diponolo)
Teori organis
Tokoh-tokoh teori organis, diantaranya adalah Herbert Spencer, F. J. Schmitthenner ,
Gonstantin Frantz, dan Bluntsehi. Para penganut teori ini berpandangan bahwa negara
dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup, seperti manusia, hewan, dan tumbuhan.
Individu yang merupakan komponen-komponennegara diibaratkan sebagai sel-sel dari
makhluk hidup.
Sebagai suatu organisme, negara tidak akan lepas dari kenyataan dan perkembangannya dari
mulai berdiri, berkembang, besar, kokoh, dan kuat. Kemudian, melemah sampai akhirnya
tidak mampu lagi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai negara. Setelah itu, lenyap
dari percaturan dunia. Dengan demikian, teori organis berpandangan bahwa suatu negara
pada saat tertentu akan lenyap seperti suatu organisme hidup.
Teori ini berkembang pada abad XIX (19) yang memandang negara sebagai organisme. Teori
ini berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan terutama biologi, dengan
ditemukannya sistem sel pada binatang dan tumbuhan dan teori evolusi dari Darwin.
Pengant teori ini memperkuat argumentasinya dengan mengambil beberapa contoh, yaitu :
Mesir, Babilonia, Persia, Phunisia, Romawi, dan lain-lain yang semuanya menjalani dari
Negara kecil, hingga besar dan kuat dan akhirnya menjadi kecil kembali, lemah dan akhirnya
lenyap.
Namun tidak pula semua organisme mati karena tua, maka negara pun juga demikian, ada
yang hancur karena peperangan walaupun belum tua. Bluntschi memandang negara terjadi
tidak langsung karena karya manusia. Negara adalah zat yang hidup yang tumbuh baik di
dalam maupun di luar dan berkembang seperti organisme biologis. Negara adalah suatu unit
besar yang akan menua dan mati.
Teori Kekuatan

Teori kekuatan juga dapat disebut sebagai teori kekuasaan. Teori kekuatan sendiri dapat
dibagi menjadi dua: teori kekuatan fisik dan teori kekuatan ekonomi. Teori kekuatan fisik
menyatakan bahwa kekuasaan adalah bentukan orang-orang yang paling kuat, berani, dan
berkemauan teguh untuk memaksakan kemauannya kepada pihak yang lemah. Voltaire
menyatakan bahwa raja yang pertama merupakan “the winning hero”. Teori kekuatan fisik
mendeklarasikan bahwa negara dapat muncul disebabkan oleh kemenangan dari pihak yang
secara fisik lebih unggul dan kuat dari pihak lain (Atmadja, 2012: 33). Teori kekuatan yang
kedua adalah teori kekuatan ekonomi. Teori kekuatan ekonomi menyatakan bahwa kekuasaan
pada dasarnya berasal dari orang-orang yang kuat secara ekonomi dan ingin melanggengkan
kekuatannya tersebut dengan Dasar-Dasar Ilmu Negara 19 kekuasaan. Franz Oppenheimer
menyatakan dalam pendapatnya bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia akan
menempuh dua jalan, yaitu jalan ekonomi atau memeras keringat dan jalan politik atau
merampas jerih payah orang lain (Atmadja, 2012: 34). Pendapat tentang teori kekuatan
ekonomi juga dikemukakan oleh Karl Marx. Sebagai penggagas marxsisme, Marx
menyatakan bahwa teori kekuatan ekonomi tidak lain merupakan perjuangan kelas atau
pertarungan antar kelas. Karl Marx juga menyatakan bahwa teori kekuatan ekonomni tidak
lain adalah eksploitasi kaum borjuis atau pemilik modal terhadap kaum proletar atau buruh.
Karl Marx berpandangan bahwa munculnya negara diikuti dengan lahirnya hak milih
individu. Kondisi tersebut menyebabkan terjadi perpecahan antara dua kelas, yaitu kelas
pemilik modal dan kelas buruh. Perpecahan tersebut yang menyebabkan pemilik modal
berusaha menguasai alat produksi agar dapat mengekspolitasi negara dan kelas buruh
(Ismatullah dan Gatara, 2007: 62). Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Harold J.
Laski, yang berpandangan bahwa kekuasaan ekonomi merupakan puncak perebutan bagi
orangorang yang ingin menguasai sistem perekonomian. Dengan penguasaan sistem
perekonomian, maka semuanya bisa didapat. Dalam konteks ini, negara dijadikan alat untuk
merebut kekuasaan ekonomi bagi orang-orang memiliki modal. Jalan yang dilakukan untuk
menguasai sistem ekonomi adalah jalan hukum dan politik, yang merupakan bagian dari
negara. Jadi, dengan teori ini, terciptanya negara berawal dari orang yang mempunyai modal
dan ingin menguasai sistem ekonomi, sehingga memerlukan negara sebagai alat untuk
menguasai (Hufron dan Hadi, 2016: 88-89). 2.1.5.

Teori Anarkis
Menurut teori ini, negara merupakan suatu bentuk susunan tata paksa yang sesuai jika
diterapkan dalam tatanan kehidupan masyarakat yang masih primitif. Teori ini tidak cocok
bagi masyarakat modern yang beradab dan bertatakrama. Para penganut teori ini
berkeyakinan bahwa pada suatu saat negara pasti akan lenyap dan muncul lah masyarakat
yang penuh kebebasan dan kemerdekaan, tanpa paksaan, tanpa pemerintahan, serta tanpa
negara. Anarkisme atau dieja anarkhisme yaitu suatu paham yang mempercayai bahwa segala
bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang
menumbuh suburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan,
beserta perangkatnya harus dihilangkan atau dihancurkan. Penganut teori ini antara la\in
William Godwin, Joseph Proudhon, Kropotkin, dan Michael Bakounin.
Penganut teori ini dapat di bedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan pertama yang
berpandangan bahwa untuk menghapuskan atau melenyapkan “tata paksa” harus dilakukan
dengan cara menghancurkan organisasi tersebut bersama perlengkapan dan pendukungnya,
maksudnya untuk melenyapkan negara harus dengan jalan terorisme (Joseph Proudhon,
Kropotkin, dan Michael Bakounin). Menurut mereka untuk menjamin kebebasan manusia
tidak perlu ada negara, karena negara dianggap sebagai “alat pemaksa” yang dapat
mengekang kebebasan, karenanya negara dengan pemerintahannya harus dihapuskan.
Adapun golongan kedua berpandangan bahwa masyarakat yang penuh kebebasan tanpa
pemerintahan akan dapat diwujudkan melalui evolusi dan pendidikan, tanpa harus melalui
kekerasan dan kekejaman. Leo Tolstoy, salah satu seorang penganut golongan kedua,
berpendapat bahwa kekerasan dari mana pun datangnya akan mengundang dendam dan
pembalasan dengan kekerasan. Kekerasan dapat dihilangkan dengan kasih sayang dan
pendidikan.
Terorisme dan kekerasan adalah tindakan berlebihan dan tindakan melampaui batas. Teori ini
mencapai puncaknya pada zaman Tsar Alexander II di Rusia.  
3.     Teori Marxisme
Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl
Marx. Marx menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem
sosial, dan sistem politik. Penganut teori ini disebut Marxis. Teori ini merupakan dasar teori
komunisme modern. Teori ini tertuang dalam buku Manisfesto komunis yang dibuat oelh
Marx dan sahabatnya, Friedrich Engels. Merxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap
paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan
mengorbankan kaum proleter. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa
bekerja berjam-jam dengan upah minimum, sementara hasil keringat mereka dinikmati oleh
kaum kapitalis.
Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Marx berpendapat
bahwa masalah ini timbul karena adanya “ kepentingan pribadi” dan penguasaan kekayaan
yang didominasi orang-orang kaya. Untuk mensejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat
bahwa paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme. Bila kondisi ini terus dibiarkan,
menurut Marx kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan. Itulah dasar dari
Marxisme. Para penganutnya adalah orang-orang komunis, dan pelopornya adalah Karl
Marx. Menurut Marx ini negara dipandang sebagai “alat pemaksa” dari kelas yang kuat
terhadap kelas yang lemah. Lahirnya negara adalah perjuangan kelas. Kelas yang menang
artinya kelas yang kuat, membutuhkan susunan tata paksa Negara sebagai alat untuk
memaksakan kehendaknya kepada kelas yang kalah (kelas lemah). Karena itu jika dalam
pertentangan kelas yang menang akan berusaha melenyapkan kelas yang kalah.
Akan tetapi, suatu saat jika masyarakat yang adil dan makmur sudah terwujud, disana tidak
ada lagi perbedaan kelas, karena tidak ada lagi perjuangan kelas, disitulah negara akan
lenyap. Penganut teori ini adalah Karl Marx, Reidrich, Engles, dan Lenin.
4.     Teori Mati Tuanya Negara
Menurut teori ini, negara sebagai suatu susunan tata paksa tidak perlu dihapus atau
diperangi, karena keberadaannya, berdirinya, atau hilangnya negara sesuai dengan hukum
yang berlaku. Dengan kata lain, negara akan berdiri atau lenyap menurut syarat-syarat
objektifnya sendiri. Jika syarat-syarat untuk berdirinya suatu negara terpenuhi, negara akan
tetap berdiri. Sebaliknya, apabila persyaratan tidak terpenuhi dengan sendirinya negara akan
lenyap atau hilang.
Prof. Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bila negara dianggap berhenti, hancur atau jatuh
maka unsut wilayah, dan masyarakat tetap ada, hanya unsur pemerintahannya yang musnah.
Di Indonesia pernah terjadi pada Zaman Sriwijaya, di abad VII pernah jaya namun kemudian
tenggelam. Demikian juga dengan kerajaan Majapahit, tapi unsur daerah dan rakyatnya tetap
ada yang hilang unsur pemerintahannya saja
Selain teori-teori tersebut, hilang atau lenyapnya suatu negara dapat disebabkan oleh dua
faktor yaitu sebagai berikut :
a.       Faktor Alam
Yang dimaksud dengan hilangnya negara karena faktor alam adalah suatu negara yang sudah
ada, tetapi dikarenakan faktor alam negara tersebut menjadi lenyap. Karena disebabkan oleh
alam maka wilayah dari negara tadi akan hilang dan hilangnya wilayah tadi berarti, hilanglah
negara itu dari dunia kenegaraan. Hilangnya negara karena faktor alam, misalnya dapat
disebabkan oleh :
·     Gunung meletus
·     Pulau yang terendam air laut, atau bencana alam yang lainnya.
Contoh wilayah negara yang lenyap di karenakan faktor alam, misalnya adalah bisa kita
ketahui yang mana dulunya pulau Jawa dan Sumatra itu sebenarnya menyatu tapi
dikarenakan sebagian wilayah pulau tersebut ditelan oleh air laut yang menurut para ahli hal
tersebut dikarenakan meletusnya gunung krakatau pada 416 masehi yang lalu, kemudian
membentuk daratan yang disebut sunda besar.
b.       Faktor Sosial
Yaitu suatu negara yang sudah ada dan diakui oleh negara lain, tetapi dikarenakan oleh faktor
sosial negara itu menjadi hilang dan lenyap. Hal tersebut dapat disebabkan oleh faktor-faktor,
antara lain :
1)   Karena adanya Revolusi (kudeta yang berhasil)
Revolusi berarti suatu pergantian tatanan sosial. revolusi menstranfer kekuasaan dari tangan-
tangan kelas yang telah kehabisan tenaganya kepada kelas lain yang berada di atas
kekuasaan.
Runtuhnya negara karena revolusi sebabnya banyak dipengaruhi oleh faktor internal sebuah
negara dalam menjalankan fungsinya. Menurut Mac Iver, ada dua cara atau sebab lenyapnya
negara, yaitu : cara peperangan atau pemberontakan, dikarenakan revolusi (cara secundaire
wording), dan cara evolusioner, karena pertentangan intern atau percektokan dinasti (cara
premaire wording).
2)   Karena adanya Penaklukan
Penaklukkan terjadi jika suatu daerah belum ada yang menguasai kemudian diduduki oleh
suatu bangsa.
3)    Kerena adanya Persetujuan
4)    Karena adanya Penggabungan
Setelah adaanya penggabungan atau pemisahan dan juga penukaran nama, banyak negara
yang diantaranya sangat dikenal umum, telah hilang atau lenyap dari peta dunia. Contohnya :
Jerman Timur dan Jerman Barat, bergabung pada tahun 1989 dan membentuk kesatuan
Jerman, sehingga negara Jerman Timur dan Jerman Barat menjadi lenyap.
Yaman Utara dan Yaman Selatan, Yaman pecah pada tahun 1967 dan membentuk dua negara
yaitu Yaman Utara (dikenal sebagai Republik Arab Yaman) dan Yaman Selatan ( dikenal
dengan nama Republik Demokratis Rakyat Yaman) sebelum kembali bersatu pada tahun
1990 dan kembali menjadi Yaman, sehi2ngga kedua negara Yaman yang dahulu yaitu yaman
Utara dan Yaman Selatan menjadi lenyap.
Contoh negara yang lenyap atau hilang di karenakan faktor sosial, misalnya adalah perang
antara Uni Soviet melawan Afghanistan. Uni Soviet memang salah satu negara yang hebat
pada zaman dahulu, Uni Soviet menguasai teknologi-teknologi canggih, khususnya dalam
mengembangkan senjataperangnya. Sedangkan Afghanistan tidak terlalu maju
pengembangan teknologinya, tetapi mereka sangat menguasai alam, menggunakan taktik
yang memanfaatkan alam negara mereka.
Jadi saat Uni Soviet menyerang, negara Afghanistan membuat bunker-bunker didalam tanah
yang berisi senjata-senjata yang di tempatkan dimana kemungkinan datangnya tentara-tentara
Uni Soviet, tentara Uni Soviet tidak pernah mengetahui itu, mereka sangat tidak menguasai
alam yang akan ditempatinya, jadi pada saat itu beratus-ratus ribu tentara Uni Soviet  mati.
Uni Soviet pun akhirnya jadi negara miskin karena kalah perang.
Pada saat itu tanggal 24 agustus 1991, Uni Soviet menghadapi kesulitan ekonomi, di dalam
negaranya semakin parah inflasi dan terjadi di mana-mana, selain itu kelompok militer mulai
terpecah-pecah dan negara-negara bagian semakin banyak yang menuntut kemerdekaan. 
Pada saat itulah seakan-akan timbul kekosongan kepemimpinan, apalagi dengan hal ini
kemudian disusul dengan pernyataan pengunduran diri Gorbachev sebagai sejen PKUS dan
sekaligus mengeluarkan dekrit pembubaran PKUS pada 24 agustur 1991.
Sehari sesudah peristiwa itu, Boris Yeltin mengambil alih kekuasaan, sayang sekali tindakan
Boris Yeltin tidak didukung semua negara bagian Uni Soviet, mereka malahan dengan
leluasa dapat melepaskan diri dari Uni Soviet.
Akibatnya, runtuhlah negara adidaya yang telah dibangun dengan susah payah itu, secara
resmi, pembubaran Uni Soviet berlangsung pada 8 Desember 1991, kemudian bendera Uni
Soviet diturunkan.
Dari uraian diatas mengenai Uni Soviet dan Afghanistan dapat disimpulkan bahwa negara itu
timbul dapat disebabkan karena peperanga, dan negara itu lenyap juga dapat dikerenakan
peperangan, walaupun tidak semata-mata muncul dan tenggelamnya negara adalah akibat
dari peperangan, melainkan juga faktor yang lain, termasuk faktor-faktor lain yang telah
diuraikan diatas.
Akibat peperangan negara yang kalah akan hancur dan muncul negara baru, demikian
seterusnya, jadi faktor peperangan merupakan yang turut serta menentukan hidup dan
matinya suatu negara.

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Lenyapnya suatu nengara dipengaruhi oleh dua faktor, diantaranya, faktor alam yang
disebabkan oleh gunung meletus, pulau yang ditelan air laut dan bencana alam lainnya. Dan
faktor sosial karena adanya penaklukan dan adanya revousi (kudeta yang berhasil),
perjanjian, penggabungan, seperti contohnya perang Uni Soviet melawan Afghanistan.
Selain itu teori lenyapnya negara menurut pandangan teoritis yaitu teori organis, teori anarkis,
teori marxisme, dan teori mati tuanya sebuah negara.
Jadi, hilangnya suatu negara atau lenyapnya suatu negara baik dikarenakan faktor alam
maupun sosial semuanya dapat mempengaruhi terhadap hilang atau runtuhnya suatu negara
yang dulunya ada dalam suatu percaturan dunia.

B.    Saran
  
DAFTAR PUSTAKA

            Aim Abdulkarim. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas X. Jakarta :


Grafindo Media Pratama. (Online). Tersedia di : https://books.google.co.id/books?
id=CN4AKakbBfkC&pg=PA10&lpg=PA10&dq=teori+organis&source=bl&ots=sO0RMEao
0F&sig=FxYhJH7mY9jNqk1ukkalFKUtNvs&hl=id&sa=X&ei=pfXmVPz7H87muQT1-
ID4BQ&redir_esc=y#v=onepage&q=teori%20organis&f=false 
Bagus Kurnia Wijaya. 2013. Teori asal mula negara dan bentuk negara. (Online). Tersedia
di : http://bagaskurniawijaya.blogspot.com/2013/04/teori-asal-mula-negara-dan-bentuk.html
John Koynja. 2014. Teori lenyapnya negara. (Online). Tersedia
di : https://www.scribd.com/doc/176237360/TEORI-LENYAPNYA-NEGARA
Nanang Ardhyansa. 2014. Ilmu negara tenggelamnya negara. (Online). Tersedia
di : http://nanangardhyansa17realmadrid.blogspot.com/2014/12/ilmu-negara-tenggelamnya-
negara.html
Soehino. 1996. Ilmu Negara. Yogyakarta : Liberty
Zharfan. 2011. Ilmu Negara. (Online). Tersedia
di :      http://zharfan29.blogspot.com/2011/04/ilmu-negara.html
http://hairinarina.blogspot.com/2015/08/teori-lenyapnya-negara-mata-kuliah-ilmu.html
( MALVIN )
http://lib.unnes.ac.id/39673/1/Dasar%20%E2%80%93%20Dasar%20Ilmu%20Negara.pdf
( ALIZA )
https://media.neliti.com/media/publications/18064-ID-prinsip-pengakuan-dalam-
pembentukan-negara-baru-ditinjau-dari-hukum-internasiona.pdf ( ALFIN )
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/pdfcoffee.com_proses-terjadinya-negara-pdf-free.pdf
( GRACE )
http://mariberbagi-ilmu2.blogspot.com/2015/02/timbulnyanegara-banyak-teori.html?m=1
( AINUR )

Anda mungkin juga menyukai