Anda di halaman 1dari 32

TIMBUL LENYAPNYA

SUATU NEGARA

Disusun oleh Kelompok 2 :


Ainur Rochmah, 202111500007
Hanna Grace Indah Mulia, 202111500009
Malvin Adam Christio Kurniawan Subarjo, 202111500019
Mardi Jaya, 202111500036
Muhammad Alfin Ariefin, 202111500037
Siti Fatimah Aliza Cahyani, 202111500041

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah, sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ilmu Negara.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu demi kelancaran tugas ini.
Makalah yang kami buat tentu jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik serta saran sangat kami harapkan untuk
memperbaiki makalah-makalah yang akan dibuat kedepannya.
Tak banyak yang dapat kami sampaikan dalam kesempatan kali ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih dan
semoga makalah yang kami buat dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya dan bagi siapa saja umumnya.
Wa’alaikumussalam warah matullahi wa barokatuh

BAB 1

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Daerah, bangsa, dan pemerintahan adaah unsur pokok terbentuknya negara, jika ketiga unsur itu dirawat dengan
baik sehingga tumbuh dan berkembang, maka semakin besar dan jayalah negara itu. Akan tetapi, sebaliknya jika
tidak dirawat dengan baik maka negara itu akan lenyap. Peranan daerah bagi kelangsungan hidup suatu negara,
terletak pada kekayaan alam, struktur geografisnya dan posisi geologisnya daerah yang bersangkutan, tetapi suatu
negara yang kaya akan alamnya juga akan mengalami hancur dikarenakan adanya faktor alam yang
menghancurkannya dan menyebabkannya wilayah negara tersebut lenyap. Selain dari faktor alam lenyapnya suatu
negara juga dapat disebabkan oleh beragam faktor sosial yang ada didalam negara dan pernah dialami suatu
negara.
Selain itu bila kita berbicara mengenai negara, maka terbersit pertanyaan dalam benak kita mengenai apa
sebenarnya negara itu ?, bagaimana terbentuknya dan kalau sudah terbentuk apakah bisa runtuh?, dan apa saja yang
menyebabkan negara itu runtuh ?
Dari pemaparan diatas kami tidak akan membahas tentang apa itu negara atau bagaimana bisa terbentuknya, tetapi
kami akan memaparkan atau menjelaskan dimana sebuah negara atau suatu negara dimuka bumi ini bisa hilang
atau tenggelam. Karena suatu negara itu bukan hanya bisa tumbuh dan berkembang tetapi juga karena keadaan
tertentu suatu negara juga akan bisa hilang atau lenyap, seperti yang dipaparkan oleh beberapa ahli di dalam
beberapa teori mengenai lenyapnya Negara serta faktor-faktor yang mempengaruhi hilang atau lenyapnya suatu
negara.

B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.     Apa yang mempengaruhi lahirnya teori lenyapnya negara?
2.     Apa saja teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai lenyapnya negara?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.     Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi lahirnya teori lenyapnya negara.
2.     Untuk mengetahui apa saja teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai lenyapnya negara.
3.     Untuk mengetahui isi mengenai teori organis, teori anarkis, serta mati tuanya negara melalui uraian yang akan
disajikan dalam makalah.

D.    Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini diharapkan :
1.     Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca, terutama pengatahuan tentang teori lenyapnya negara dalam
mata kuliah ilmu negara.
2.     Dapat dipertimbangkan sebagai bahan pemikiran atau masukan, serta
3.     Memberikan informasi baik bagi penulis maupun pembaca.
BAB 2

KONSEP NEGARA
Negara Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing: state (Inggris), staat (Belanda dan
Jerman), atau etat (Perancis). Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu
kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai
pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang pada galibnya dimiliki oleh suatu
negara berdaulat: masyarakat (rakyat), wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga unsur ini perlu ditunjang
dengan unsur lainnya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia internasional yang oleh Mahfud M.D. disebut
dengan unsur deklaratif.
Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu negara adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh persamaan
dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Tidak bisa dibayangkan jika ada suatu negara tanpa rakyat.
Hal ini mengingat rakyat atau warga negara adalah substratum personel dari negara.
Adapun wilayah adalah unsur negara yang harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa batas-batas
teritorial yang jelas. Secara umum, wilayah dalam sebuah negara biasanya mencakup daratan, perairan (samudra,
laut, dan sungai), dan udara. Dalam konsep negara modern masing-masing batas wilayah tersebut diatur dalam
perjanjian dan perundang-undangan internasional. Sedangkan pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang
bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara.
Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan,
mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga negaranya yang beragam.
Untuk mewujudkan cita-cita bersama tersebut dijumpai bentuk-bentuk negara dan pemerintahan. Pada umumnya,
nama sebuah negara identik dengan model pemerintahan yang dijalankannya, misalnya, negara demokrasi dengan
sistem pemerintahan parlementer atau presidensial.
Ketiga unsur ini dilengkapi dengan unsur negara lainnya, konstitusi. Unsur pengakuan oleh negara lain hanya
bersifat menerangkan tentang adanya negara. Hal ini hanya bersifat deklaratif, bukan konstutif, sehingga tidak
bersifat mutlak.
Ada dua macam pengakuan suatu negara, yakni pengakuan de facto dan pengakuan de jure. Pengakuan de facto
ialah pengakuan atas fakta adanya negara. Pengakuan ini didasarkan adanya fakta bahwa suatu masyarakat politik
telah memenuhi tiga unsur utama negara (wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat). Adapun pengakuan de
jure merupakan pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum. Dengan
memperoleh pengakuan de jure, maka suatu negara mendapat hak-haknya di samping kewajiban sebagai anggota
keluarga bangsa sedunia. Hak dan kewajiban dimaksud adalah hak dan kewajiban untuk bertindak dan
diberlakukan sebagai suatu negara yang berdaulat penuh di antara negara-negara lain.

B. Konsep Negara Menurut Tokoh Muslim


Menurut teori-teori politik Islam klasik, konsep negara merupakan inti filsafat politik Islam. Istilah negara (dawlah)
dalam literatur Islam yaitu Al- Qur’an, memang tidak ditemukan satu ayatpun, tetapi unsur-unsur esensial yang
menjadi dasar Negara dapat ditemukan dalam kitab suci itu. Usaha memahami masalah politik dalam Islam
memang bukan perkara sederhana.
Hal itu menurut Nurcholis Madjid, karena ada dua alasan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah selama
lebih dari 14 abad sehingga akan merupakan suatu kenaifan jika dianggap bahwa selama waktu yang panjang
tersebut segala sesuatu tetap stasioner dan berhenti. Sementara hanya sedikit sekali di kalangan kaum Muslim yang
memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran tentang sejarah itu. Kedua, selain beraneka ragamnya bahan-bahan
kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti, dalam sejarah Islam juga terdapat perbendaharaan teoritis yang amat
luas tentang politik yang hampir setiap kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa sejarah.
Banyak diantara sarjana modern melukiskan Nabi Muhammad adalah “sebagai Nabi Penguasa atas komunitas
Islam”, walaupun dalam kenyataannya nabi tidak pernah mengklaim dirinya sebagai penguasa. Nama Hasan Al-
Mawardi (meninggal 1058) cukup terkenal dalam sejarah Islam. Karyanya yang membicarakan secara luas
mengenai pemerintahan dijadikan rujukan dalam zaman modern ini. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah (Hukum
Pemerintahan) merupakan karangan ilmiah pertama tentang ilmu politik dan admnistrasi negara dalam sejarah
Islam. Seorang pemikir Islam yang mula–mula dianggap paling komprehensif menggagas konsep Negara Islam
adalah Jamaluddin Al-Asadabadi (1838- 1897) atau yang kemudian dikenal dengan Jamaluddin Al-Afghani.
Setidaknya ada dua hal menurutnya yang mendorong kehendak untuk melaksanakan Negara Islam ini, yaitu :
1. Al-Afghani melihat betapa lemahnya umat Islam dan para penguasanya menghadapi imperialisme barat pada
waktu itu, sehingga perlu dibangkitkan gerakan Pan-Islamisme untuk mempersatukan kekuatan politik Islam.
2. Gerakan semacam ini tidak mungkin lahir tanpa umat Islam merumuskan kembali Islam sebagai ideologi, nilai
peradaban dan identitas kebudayaannya sendiri menghadapi tantangan modernitas barat. Dalam konsep Negara
Islam terpadu semua itu, kata Al-Afghani, janganlah hanya membicarakan Islam dari sudutnya sebagai agama
ritual yang sempit, tetapi bagaimana melakukan elaborasi secara intelektual-religius agar bisa mendiskusikan hal-
hal seperti berkaitan dengan soal hukum Islam, soal kelembagaan sosial Islam, dan soal-soal berhubungan dengan
kekuasaan serta wilayah politik lainnya.
Gagasan Islam seperti itu yang kemudian sering dikatakan sebagai awal munculnya modernisme Islam. Memang
selain menumbuhkan semangat menentang terhadap hegemoni barat, tetapi kalau diambil positifnya secara jujur
bahwa sikap militansi yang tampak bercorak fundamentalistik ini sesungguhnya juga mengandung keterbukaan.
Ide dan konsep mengenai Negara Islam pada akhirnya sampai ke Indonesia dalam sejarah prakemerdekaan sampai
pascakemerdekaan (juga di era reformasi ini.). Salah seorang pahlawan nasional, Muhammad Natsir sangat dikenal
di Indonesia juga luar negeri sebagai seorang tokoh Islam yang gigih untuk membela Islam sebagai Dasar Negara.
Ide dan pemikirannya telah membuat catatan sejarah baru bagi perkembangan umat Islam di Indonesia. M. Natsir
berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang ajarannya komprehensif dan mengatur segala aspek kehidupan
manusia di muka bumi ini. Politikus modern Islam ini dengan sangat gigih memperjuangkan Islam sebagai Dasar
Negara dan memberikan konsep-konsep mengenai negara.
Dalam sejarah peradaban Islam di dunia telah banyak melahirkan tokoh dan beragam pemikiran mereka mengenai
Islam dan ajaran–ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini. Diskursus yang selalu mencuat dan tidak
kehabisan waktu bagi semua kalangan baik akademisi maupun kalangan agamawan ialah diskursus tentang Negara
Islam. Term Negara Islam sangat sering didengar, apalagi dalam perkembangan sejarah Indonesia, yaitu terjadinya
pemberontakan S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat yang kemudian berkembang ke daerah Aceh, Jawa Tengah,
Kaliantan Selatan, Sulawesi Selatan. Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia dengan dia sebagai
amir (pemimpinnnya). Namun pergerakan yang dianggap makar ini dapat juga pada akhirnya diberantas oleh
pemerintah dengan sebuah operasi yang cukup dikenal yaitu Operasi Pagar Betis.
Baik oleh pemikir Islam besar dunia seperti Abul A’la Al-Maududi, Muhammad Assad, Jamaluddin Al-Afghani,
Ayatullah Khomeini, dan lainnya. Dalam konteks perkembangan sejarah Indonesia, mulai dari prakemerdekaan
sampai pasca kemerdekaan istilah Negara Islam muncul dan bahkan menjadi perdebatan sengit di antara para
Founding Father dalam merumuskan dasar negara Indonesia. Ada banyak tokoh intelektual Islam yang vokal
menawarkan sebuah konsep Negara Islam dalam perpolitikan di tanah air (dengan cara konstitusional). Di
antaranya ada M. Natsir, seorang tokoh Islam yang juga mantan Perdana Menteri di era Soekarno dan seorang
pendiri Masyumi, kedua ada Zainal Abidin Achmad yang juga tokoh-tokoh sentral dalam Masyumi.
Definisi Negara Islam menurut para tokoh nasional dan internasional Islam, di antaranya :
1. Rashid Rida, seorang ulama terkemuka di awal abad ke-20, yang dianggap paling bertanggung jawab dalam
merumuskan konsep Negara Islam modern, menyatakan bahwa premis pokok dari konsep Negara Islam adalah
bahwa syariat merupakan sumber hukum tertinggi. Dalam pandangannya, syariat mesti membutuhkan bantuan
kekuasaan untuk tujuan implementasinya, dan adalah mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa kehadiran
Negara Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan hukum Islam merupakan satu-satunya kriteria
utama yang amat menentukan (the single most decisive criterion) untuk membedakan antara suatu negara Islam
dengan negara non-Islam.
2.Surjopranoto (1871-1959), seorang pemimpin Sarekat Islam (SI) membuat pengertian sederhana tentang konsep
Negara Islam yaitu suatu pemerintahan Islam.
3. Dr. Sukiman Wirjosanjoyo, seorang mantan Perdana Menteri di era Soekarno dan juga tokoh Sarekat Islam
(SI) mendefinisikan Negara Islam adalah suatu kekuasaan Islam di bawah benderanya sendiri. Untuk menciptakan
suatu kekuasaan Islam di Indonesia, menurut Sukiman merupakan tujuan kemerdekaan.
4. Zainal Abidin Achmad, seorang tokoh Masyumi juga memberikan konsep Negara Islam, menurutnya dalam
suatu Negara Islam, rakyat mempunyai dua hak konstitusional, yaitu: a. Hak untuk membuat konstitusi, b. Hak
untuk memilih kepala negara. Jadi menurut Achmad, kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara Islam adalah
sepenuhnya berada di tangan rakyat. Achmad tidak membela Teori Kedaulatan Tuhan seperti Ayatullah Khomeiny
di Iran.
5. Muhammad Asad (1900-1992), teori Muhammad Asad mengenai Negara Islam banyak persamaannya dengan
tokoh Islam modernis 54 Indonesia. Asad mengambil Pakistan sebagai basis empiris bagi perumusan teori
politiknya. Bagi Asad, yang sebelum memeluk Islam bernama, Leopold Weiss, suatu negara dapat menjadi benar-
benar islami hanyalah dengan keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa dan
dengan jalan menyatukan ajaran-ajaran itu ke dalam undang-undang. Menurut kerangka berpikirnya suatu negara
yang dihuni oleh mayoritas Islam seperti halnya Indonesia tidak otomatis menjadi suatu negara Islam kecuali bila
ajaran Islam tentang sosiopolitik dilaksanakan dalam kehidupn rakyat berdasarkan konstitusi. Inilah tema sentral
dari Teori Politik Asad. Dalam penolakannya terhadap bentuk negara sekuler Asad berdalil, dalam suatu negara
sekuler modern, tidak ada norma yang tetap yang dapat dipakai untuk menimbang yang baik dan buruk dan antara
betul dengan yang salah. Satu-satunya kriteria yang mungkin ialah kepentingan bangsa. Dalam suatu Negara Islam
menurut Asad nilai-nilai moral tidak berubah dari satu kasus ke kasus lain atau dari waktu ke waktu, tetapi
validitasnya tetap bertahan buat seluruh waktu dan kondisi. Fungsi suatu Negara Islam hanyalah sebagai sarana
untuk memaksakan nilai-nilai moral Islam dalam kehidupan sosiopolitik umat. Pendapatnya tidak berbeda dengan
Ibnu Taimiyah, Fazlur Rahman dan M. Natsir. Mengenai kedaulatan negara, Asad menempuh jalan tengah antara
kubu Maududi-Khomeini dan golongan modernis. Pada satu pihak ia membela dan mempertahankan hak-hak
rakyat untuk memerintah namun pada sisi lain. Negara Islam menurut Asad yang 55 eksistensinya bergantung pada
kemauan rakyat dan ia berhak dikontrol olehnya, mendapatkan kedaulatan pada akhirnya dari Tuhan. Tetapi
sebenarnya apa yang dimaksudkannya dengan kedaulatan Tuhan itu tidak lain dari kedaulatan syariah atas seluruh
warga negara suatu Negara Islam.
6. M. Natsir (1908-1993), merupakan tokoh pendiri Masyumi yang sangat gigih dan vokal untuk menjadikan
Islam sebagai dasar negara. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai Dasar Negara, di depan sidang Majelis
Konstituante tahun 1957, Natsir mengatakan (berdalil) untuk dasar negara Indonesia hanya punya dua pilihan yaitu
sekularisme (la-diniyah) dan paham agama (dini).
7. Suha Taji-Farouki (1996) dalam artikelnya yang berjudul “Islamic State Theories and Contemporary Realities”
menyebutkan bahwa ada dua jenis teori tentang Negara Islam. Walaupun kedua teori itu tidak satu kata dalam hal
apakah negara merupakan bagian penting dan integral dari syariat atau hanya sekedar merupakan alat
merealisasikan syariat. Dua- duanya sama-sama menekankan signifikansi posisi syariat dalam negara. Sebab bagi
kedua teori tersebut, penerapan syariat merupakan komponen primer Negara Islam.

BAB 3
PRINSIP PENGAKUAN NEGARA DARI
HUKUM INTERNASIONAL
Kelahiran sebuah negara baru dapat melalui bermacam - macam cara, contohnya : pemisahan diri dari
wilayah suatu negara dan berdiri sendiri sebagai negara merdeka, melepaskan diri dari penjajahan, pecahnya suatu
negara menjadi negara - negara kecil, ataupun penggabungan beberapa negara menjadi sebuah negara yang baru.
Kemerdekaan Kosovo dapat digolongkan sebagai negara yang memisahkan diri dari wilayah suatu negara dan
berdiri sendiri sebagai sebuah negara merdeka, Karena sebelumnya Kosovo merupakan salah satu provinsi dari
Serbia. Kelahiran sebuah negara baru seperti Kosovo dalam masyarakat internasional akan menimbulkan reaksi
dari negara - negara lain yang dicerminkan dalam pernyataan - pernyataan sikap menerima atau mengakui
kelahiran sebuah negara baru atau sebaliknya ada negara - negara yang menolak atau tidak mengakui kehadiran
negara baru tersebut (Setyo, 2008). Dalam hukum internasional pengakuan merupakan persoalan yang cukup
rumit, karena melibatkan masalah Hukum dan masalah Politik. Permasalahan yang akan dibahas adalah mengenai
Bagaimana peran pengakuan negara-negara dunia dalam pembentukan sebuah Negara baru? Penelitian ini adalah
diharapkan bermanfaat dan memberikan sebuah evaluasi kerja sehingga hasil ini dapat menyumbangkan pikiran
demi perkembangan, pengetahuan tentang Hukum Internasional, khususnya dalam hal pengakuan Negara baru, dan
juga diharapkan dapat bermanfaat dalam mengambil sikap yang berkaitan dengan kemerdekaan sebuah Negara
baru. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan jenis data
bahan pustaka yang merupakan data sekunder, yaitu data - data yang diperoleh dari bahan - bahan bacaan dan
pustaka.
Fungsi Pengakuan Menurut J.B. Moore makna pengakuan adalah sebagai suatu jaminan yang diberikan
kepada suatu negara baru bahwa negara tersebut diterima sebagai anggota masyarakat internasional (Adolf, 1993).
Dari definisi di atas maka dapat diartikan fungsi pengakuan ini yaitu, untuk memberikan tempat yang sepantasnya
kepada suatu negara atau pemerintah baru sebagai anggota masyarakat internasional. Dalam literatur - literatur
hukum terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pengakuan ini adalah sebagai suatu keharusan atau sebagai
suatu kewajiban hukum. Hal ini berawal dari doktrin Luterpacht dan Chen yang menyatakan bahwa pengakuan ini
merupakan suatu keharusan agar suatu negara dapat lahir. Menurut Lauterpacht, karena suatu negara tidak dapat
ada sebagai subyek hukum tanpa adanya pengakuan ini, maka hukum internasional membebankan kewajiban
kepada negara - negara yang telah ada untuk memberikan pengakuannya. Agar negara baru itu ada (Adolf, 1993).
Dengan hal yang nada yang sama, namun berbeda redaksinya, Chen berpendapat bahwa karena negara baru itu ada
dan mempunyai hak, maka ada suatu kewajiban bagi Negara - negara lain untuk mengakuinya agar hak negara
tersebut berlaku (Adolf, 1993). Teori - teori Tentang Pengakuan Dalam literature - literatur hukum internasional
terdapat dua teori yang terkenal tentang pengakuan, yaitu : 1. Teori Konstitutif Dalam teori konstitutif ini
dikemukakan bahwa di mata hukum internasional, suatu negara lahir jika negara tersebut telah diakui oleh negara
lainnya. Hal ini mengartikan bahwa hanya dengan pengakuanlah suatu negara baru itu dapat diterima sebagai
anggota masyarakat internasional dan dapat memperoleh status sebagai subjek hukum internasional. Pendukung
utama teori ini adalah Lauterpacht yang menyatakan bahwa a state is, and becomes, an international person through
recognition only and exclusively (Mauna, 2003). Selanjutnya ditegaskannya pula bahwa statehood alone does not
imply membership of the family of nations (Mauna, 2003). Untuk menguatkan sifat hukum dari perbuatan
pengakuan, ia juga menegaskan bahwa recognition is a quasi judicial duty dan bukan merupakan an act of arbitrary
discreation or a political concession (Mauna, 2003). Ada dua alasan yang melatarbelakangi teori ini. Pertama, jika
kata sepakat yang menjadi dasar berlakunya hukum internasional, maka tidak ada negara atau pemerintah yang
diperlakukan sebagai subjek hukum internasional tanpa adanya kesepakatan dari negara yang ada terlebih dahulu.
Alasan kedua, yaitu bahwa suatu negara atau pemerintah yang tidak diakui tidak mempunyai status hukum
sepanjang negara atau pemerintah itu berhubungan dengan negara - negara yang tidak mengakui (Adolf, 1993). 2.
Teori Deklaratif Dalam teori ini pengakuan tidak menciptakan suatu negara karena lahirnya suatu negara, karena
suatu negara lahir atau ada berdasarkan situasi - situasi/fakta murni. Kemampuan tersebut secara hukum ditentukan
oleh usaha - usahanya serta keadaan-keadaan yang nyata dan tidak perlu menunggu untuk dapat diakui oleh negara
lain. Suatu negara ketika lahir langsung menjadi anggota masyarakat internasional dan pengakuan hanya
merupakan pengukuhan dari kelahiran tersebut, maka menurut teori ini pengakuan tidak menciptakan suatu negara,
dan pengakuan bukan merupakan syarat lahirnya suatu negara baru. Dalam perkembangan di lingkungan hukum
internasional kecenderungan praktek negara±negara lebih mengarah kepada teori deklaratif. Contohnya adalah
penolakan pengakuan oleh negara negara Barat sampai tahun 1973 atas pembentukan Republik Demokrasi Jerman
yang dianggap merupakan pelanggaran Uni Soviet terhadap kewajiban - kewajiban yang tercantum dalam
perjanjian - perjanjian yang telah dibuat dengan negara - negara sekutu sesudah perang (Mauna, 2003). Ini adalah
contoh dari pelaksanaan teori konstitutif yang sekarang ini tidak lagi dipakai dalam praktek negara - negara. Salah
satu ciri pokok yang sebagaimana diketahui dalam hubungan internasional sesudah tahun 1945 adalah munculnya
negara - negara baru setelah membebaskan diri dari penjajahan colonial. Berkaitan dengan hal itu hukum
internasional tidak melarang gerakan kemerdekaan nasional untuk lepas dari penjajahan. Meskipun kecenderungan
praktek dalam hukum internasional lebih mengarah kepada teori deklaratif, namun bukan berarti teori konstitutif
sepenuhnya salah. Kedua teori ini mempunyai alasan masing - masing yang benar dan dalam beberapa keadaan
keduanya pun benar. Suatu Negara atau pemerintah tidak akan mendapatkan status dari negara lain kecuali negara
tersebut diakui oleh negara yang bersangkutan (teori konstitutif). Namun bukan berarti bahwa negara tersebut tidak
ada (teori deklaratif). Maka, jika dilihat dari hal tersebut, negara tetap ada meskipun tidak diakui. Negara tersebut
hanya dapat mengadakan hubungan dengan negara yang mengakuinya. Pada waktu rezim komunis Cina berkuasa,
negara Cina ini tetap ada meskipun Amerika Serikat tidak mengakuinya, tetapi negara Cina tidak dapat melakukan
hubungan dengan Amerika Serikat sampai Amerika Serikat memberikan pengakuannya (Adolf, 1993). Dari uraian
di atas dapat dikatakan bahwa muncul atau lahirnya suatu negara adalah suatu peristiwa yang tidak langsung
mempunyai ikatan dengan hukum internasional. Pengakuan yang diberikan kepada negara yang baru lahir tersebut
hanya bersifat politik, atau seperti pengukuhan terhadap statusnya di lingkungan anggota masyarakat internasional
dengan segala hak dan kewajiban yang dimiliki sesuai dengan hukum internasional. Bentuk - bentuk Pengakuan 1.
Pengakuan secara Kolektif Pengakuan suatu negara dalam kategori ini dapat berupa dua bentuk. Bentuk yang
pertama adalah deklarasi bersama oleh sekelompok negara. Contohnya adalah pengakuan negara - negara Eropa
secara koletif/bersama - sama pada tahun 1992 terhadap ketiga negara yang berasal dari pecahan Yugoslavia yakni
Bosnia dan Herzegovina , Kroasia, dan Slovenia (Mauna, 2003). Bentuk kedua yaitu pengakuan yang diberikan
melalui penerimaan suatu negara baru untuk menjadi bagian/peserta ke dalam suatu perjanjian multilateral.
Contohnya seperti perjanjian damai.
Pengakuan kolektif ini dalam kaitannya dengan pengakuan negara baru mempunyai peranan sebagai bukti
pengakuan terhadap adanya negara baru. Pengakuan kolektif berkaitan dengan masuknya suatu negara ke dalam
suatu organisasi internasional terkadang menimbulkan masalah yang cukup penting bagi negara yang
bersangkutan. Penyebab hal ini adalah karena masuknya negara tersebut ke dalam pengakuan terhadapnya bukan
diberikan oleh organisasi internasional melainkan oleh para anggotanya. Pengakuan kepada negara baru diberikan
oleh sekelompok negara yang bergabung dalam organisasi tersebut. Sudah tentu dengan diberikannya pengakuan
kolektif ini akan mempunyai dampak yang cukup berpengaruh terhadap hubungan negara baru tersebut dengan
negara - negara anggota organisasi internasionall tersebut. 2. Pengakuan secara Terang - terangan dan Individual
Pengakuan seperti ini berasal dari pemerintah atau badan yang berwenang di bidang hubungan luar negeri, ada
beberapa cara seperti : a. Nota Diplomatik, Suatu Pernyataan atau Telegram. Pada umumnya suatu negara
mengakui negara lain secara individual yang hanya melibatkan negara itu saja. Pengakuan individual ini
mempunyai arti diplomatik tersendiri bila diberikan oleh suatu negara kepada negara bekas jajahannya atau kepada
negara yang sebelumnya bagian dari negara yang memberikan pengakuan (Mauna, 2003). Misal pernyataan negara
Republik Indonesia terhadap kemerdekaan Timor Leste dimana sebelumnya Timor Leste adalah salah satu bagian
dari NKRI. b. Suatu Perjanjian Internasional, beberapa contohnya adalah :
1. Pengakuan Prancis terhadap Laos tanggal 19 Juli 1949 dan Kamboja 18 November 1949. 2. Pengakuan
Jepang terhadap Korea tanggal 8 September 1951 melalui pasal 12 Peace Treaty. 3. Pengakuan timbal - balik Italia
- Vatikan melalui pasal 26 Treaty of Latran 14 Februari 1929 (Mauna,2003:68-69). 4. Pengakuan secara Diam -
Diam Pengakuan ini terjadi jika suatu negara mengadakan hubungan dengan pemerintah atau negara baru dengan
mengirimkan seorang wakil diplomatik, mengadakan pembicaraan dengan pejabat resmi atau kepala negara
setempat. Namun dalam keadaan ini harus ada indikasi atau tindakan nyata untuk mengakui pemerintah atau
negara yang baru. Seperti yang terjadi pada hubungan Amerika Serikat dan Cina. Walaupun Amerika Serikat
secara resmi tidak mengakui RRC, tetapi semenjak tahun 1955 negara tersebut telah mengadakan perundingan -
perundingan tingkat duta besar di Jenewa, Warsawa, Prancis, dan yang diikuti dengan pembukaan kantor - kantor
penghubung di kedua negar akhir Mei 1973 (Mauna, 2003). Dapatlah dikatakan bahwa perundingan - perundingan
dan pembukaan kantor penghubung tersebut ditambah dengan kunjungan resmi Presiden Nixon ke Peking tahun
1971 merupakan pengakuan secara timbal-balik secara diam-diam walaupun tidak adanya pengakuan secara resmi.
Dalam hubungan internasional, hubungan antar dua negara atau perundingan-perundingan tingkat duta besar tidak
mungkin dapat terjadi jika antara negara satu dengan yang lain tidak saling me ngakui keberadaan masing ±
masing walaupun secara diam ± diam. Kunjungan PM Israel Shimon Peres ke Maroko tanggal 21 Juli 1986 dan
pembicaraan ± pembicaraan yang dilakukannya dengan Raja Hasan II untuk mencari penyelesaian Timur Tengah
dapatlah dianggap sebagai pengakuan se-cara diam ± diam antara kedua negara (Mauna, 2003). Contoh lainnya
adalah Vatikan yang sering mengadakan hubungan dengan Israel pada tingkat duta besar walaupun kedua negara
ini tidak mem-punyai hubungan diplomatik, dan pada akhirnya Vatikan secara resmi mengakui Israel pada tanggal
30 Desember 1993. 4. Pengakuan Terpisah Pengakuan terpisah ini juga dapat diberikan kepada suatu Negara baru.
Apabila pengakuan itu diberikan kepada suatu negara baru, namun tidak kepada pemerintahnya, atau sebaliknya
pengakuan diberikan kepada suatu pemerintah yang baru yang berkuasa, tetapi pengakuan tidak diberikan kepada
negaranya (Tasrif, 1966). 5. Pengakuan Mutlak Suatu pengakuan yang telah diberikan kepada suatu negara baru
tidak dapat ditarik kembali. Institut Hukum Internasional dalam suatu Resolusi yang disahkannya pada 1936
menyatakan bahwa pengakuan de jure suatu negara tidak dapat ditarik kembali (Tasrif, 1966). Moore menyatakan
bahwa pengakuan sebagai suatu asas umum bersifat mutlak dan tidak dapat ditarik kembali (absolute and
irrevocable) (Tasrif, 1966). Hal ini dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari pengakuan de jure. Namun
pengakuan secara de facto yang telah diberikan, dalam keadaan tertentu pengakuan ini dapat ditarik kembali
(Malcolm, 1986). Penyebab hal ini karena biasanya pengakuan de facto diberikan kepada negara, sebagai hasil dari
penilaiannya yang bersifat temporer atau sementara dan hati± hati terhadap lahirnya suatu negara baru. Hal seperti
ini dilakukan untuk mengahadapi suatu situasi dimana pemerintah yang diakui secara de facto tersebut kehilangan
kekuasaan, karena hal ini maka alasan untuk memberikan pengakuan menjadi hilang. Oleh karena itu pengakuan
yang telah diberikan dapat ditarik kembali bagi negara yang memberi pengakuan (Adolf, 1993). Pada waktu
pertama kali Indonesia menyatakan kemerdekaanya, Belanda tidak mengakuinya, tetapi ketika Indonesia berhasil
mempertahankan kemerdekaan setelah dilalui oleh aksi ± aksi militer, Belanda tidak langsung memberikan
pengakuan de jure, tetapi hanya pengakuan de facto. Tindakan ini dilakukan karena Belanda masih berharap situasi
di dalam negeri Indonesia dapat berubah dan Belanda dapat kembali berkuasa. Dalam praktek hukum internasional,
penarikan suatu pengakuan jarang terjadi atau ditemui, namun hal ini mempunyai kemungkinan untuk terjadi.
Tahun 1936 Inggris mengakui secara de facto penaklukan Italia atas Ethiopia dan kemudian diikuti pengakuan de
jure di tahun 1938, namun Inggris menarik pengakuannya ini di tahun 1940 menyusul terjadinya pergolakan
senjata di negeri Ethiopia yang diduduki itu (Malcolm, 1986). 6. Pengakuan Bersyarat suatu pengakuan yang
diberikan kepada suatu negara baru yang disertai dengan syarat ± syarat tertentu untuk dilaksanakan oleh negara
baru tersebut sebagai imbangan pengakuan (Tasrif, 1966). Menurut Hall, pengakuan ini ada dua macam, yakni
pertama, pengakuan dengan syarat± syarat yang harus dipenuhi sebelum pengakuan diberikan. Kedua, pengakuan
dengan syarat± syarat yang harus dilakukan kemudian sesudah pengakuan diberikan. Dalam hal yang pertama,
pengakuan tidak perlu dilakukan apabila syarat ± syarat yang telah disetujui tidak dilakukan atau dilaksanakan.
Dalam hal yang kedua, tidak dipenuhinya syarat ± syarat pengakuan yang telah disetujui untuk dilaksanakan maka
hal ini member alasan kepada negara yang memberikan pengakuan untuk melaksanakan penataan syarat ± syarat
tersebut melalui pemutusan hubungan diplomatik atau bahkan dengan mengadakan intervensi. Pengakuan bersyarat
ini diberikan sebagai pengikat dan sebagai suatu cara tekanan politik kepada suatu negara baru. Contoh dari
pengakuan ini adalah, ditandatanganinya perjanjian Litvinov tahun 1933, perjanjian ini berisi pengakuan Amerika
Serikat terhadap pemerintah Soviet. Dalam perjanjian tersebut diisyaratkan agar Uni Soviet membayar seluruh
tuntutan keuangan Amerika Serikat dan bahwa Uni Soviet tidak akan melakukan tindakan ± tindakan yang dapat
mengganggu keamanan dalam negeri Amerika Serikat (Adolf, 1993). Pada tahun 1878 Bulgaria, Montenegro,
Serbia, dan Rumania diakui oleh sekelompok negara± negara Eropa dengan syarat bahwa negara± negara ini tidak
akan melarang warga negaranya menganut agamanya. Contoh lain adalah pengakuan Amerika Serikat dan Inggris
terhadap Pemerintahan sementara Cekoslovakia dan Polandia, dimana dalam pengakuan tersebut tercantum
didalamnya persyaratan agar kedua negara ini mengadakan pemilihan umum yang bebas sesudah pendudukan yang
dilakukan Jerman atas kedua negara ini berakhir (Adolf, 1993). Sehubungan dengan persyaratan± persyaratan ini
pula, Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam kasus U.S vs pink mengatakan bahwa recognition is not always
absolute, it is sometimes conditional. Pengakuan bersyarat ini tidak berakibat hukum apapun juga, hal ini
disebabkan karena pengakuan yang demikian merupakan tindakan sepihak saja, dan dilatarbelakangi oleh maksud
± maksud politik (Adolf, 1993). Dalam hukum internasional dikenal dua macam bentuk pemerintah baru, yaitu
pengakuan pemerintah de jure dan de facto Pengakuan Pemerintah Baru Pengakuan pemerintah baru ini adalah hal
yang kerapkali muncul. Pemerintah dalam suatu negara akan dan pasti berganti ± ganti. Perubahan seperti ini
sebetulnya tidak memerlukan pengakuan dari negara± negara lain. Jika dibutuhkan pengakuan diberikan hanya
sebatas tindakan formalitas saja dan biasanya dilakukan secara diam ±diam. Keadaan seperti ini terjadi khususnya
manakala penggantian pemerintah tersebut dilakukan menurut cara ± cara konstitusional, yaitu cara ±cara yang sah
dan terjadi secara normal sesuai dengan kehidupan politik negara yang bersangkutan. Baik itu dilakukan dengan
pemilihan umum, penggantian sementara kepala negara karena yang bersangkutan meninggal. Contohnya adalah,
ketika Soekarno digantikan kedudukannya oleh Soeharto, masalah pengakuan ini tidak lahir karenanya (Adolf,
1993). Yang menjadi permasalahan adalah ketika dalam penggantian pemerintahan suatu negara terjadi karena cara
±cara yang tidak konstitusional. Contoh, pemerintah yang berkuasa mendapatkan kekuasaanya melalui kudeta,
pemberontakan atau penggulingan pemerintah yang sah melalui cara ± cara yang tidak sah. Contohnya, Rezim
Tinoco di Kosta Rica yang berkuasa antara tahun 1917 ± 1919 tidak diakui oleh negara ±negara sekutu yang
sebagian besar disebabkan karena Amerika Serikat tidak menyetujui rezim tersebut (Adolf, 1993). Dalam praktek
pengakuan terhadap negara dan pemerintah memang biasanya berjalan bersamaan. Ketika Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1945, negara lain seperti India dan Mesir mengakui Indonesia dimana
didalamnya pengakuan ini mencakup pengakuan terhadap negara dan pemerintah. Namun karena ada pemisahan
pengakuan terpisah, maka pemberian atau penolakan pemberian pengakuan terhadap pemerintah baru tidak ada
hubungannya dengan pengakuan negara. Oleh karena itu pula, jika suatu negara menolak pengakuan suatu
pemerintah baru yang berkuasa didalam suatu negara, hal ini tidak mengakibatkan negara tersebut kehilangan
statusnya sebagai subjek hukum internasional (Adolf, 1993).

BAB 4

Asal mula negara


Asal Mula Negara Ketika kita mempelajari negara, maka akan ada pertanyaan bagaimana asal mula suatu
negara terbentuk? Tidaklah mungkin suatu negara terbentuk tanpa ada asal mulanya. Oleh karena itu, pada bagian
ini kita akan membahas bagaimana asal mula negara. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang asal mula suatu
negara, yaitu teori teokrasi, teori hukum alam, teori perjanjian masyarakat, teori kekuatan atau kekuasaan, teori
positivisme, teori organis, teori garis kekeluargaan, dan teori modern (Ismatullah dan Gatara, 2007: 57; Hufron dan
Hadi, 2007: 89-92). Selain delapan teori tentang asal mula suatu negara yang telah disebutkan, ada dua teori lagi
yang menjelaskan tentang asal mula atau terjadinya suatu negara. Terjadinya suatu negara dapat dilakukan secara
primer dan secara sekunder (Sabon, 2014: 41).
Teori Teokrasi
Teori teokrasi atau teori ketuhanan merupakan salah satu teori yang mengkonstruksi tentang asal mula negara.
Teori teokrasi yang mempunyai kaitan dengan asal mula negara terdiri atas dua teori. Dua teori tersebut yaitu teori
teokrasi klasik dan theori teokrasi modern. Teori teokrasi klasik menyatakan bahwa otoritas kekuasaan berasal
Tuhan dan kemudian diberikan secara langsung kepada manusia yang memerintah. Manusia yang mendapat
kekuasaan tersebut yang dianggap sebagai titisan Tuhan (Atmadja 2012: 24). Sebagai contoh Iskandar Zulkarnaen
yang dianggap sebagai putera Zeus, Fir’aun dari Mesir yang juga dianggap sebagai titisan Dewa Ra atau Dewa
Matahari. BAB II 16 Dasar-Dasar Ilmu Negara Teori teokrasi turut memperkuat tingkat kepercayaan manusia yang
meyakini bahwa kekuasaan atau kejadian yang terjadi adalah milik Tuhan, termasuk tentang asal mula negara yang
tidak lain adalah kehendak atau ketetapan dari Tuhan. Kepercayaan tersebut melahirkan kepercayaan bahwa
negara, yang di dalamnya terdapat kekuasaan, merupakan kehendak dari Tuhan. Artinya, suatu negara bisa ada dan
berdiri apabila Tuhan menghendaki negara tersebut ada dan berdiri. Kepercayaan tersebut kemudian melahirkan
kepercayaan tentang manusia-manusia yang dianggap sebagai titisan Tuhan dan mendapatkan kekuasaan dari
Tuhan untuk memerintah serta menjalankan kekuasaan negara (Ismatullah dan Gatara, 2007: 57). Teori teokrasi
yang kedua adalah teori teokrasi modern. Teori teokrasi modern juga menyatakan bahwa kekuasaan berasal dari
Tuhan, tetapi dengan perspektif yang agak berbeda. Teori ini mengamini bahwa kekuasaan berasal dari Tuhan dan
diberikan pada manusia tertentu dalam suatu proses sejarah tertentu. Salah satu tokoh populer teori ini yaitu
Friederich Julius Stahl, yang menyatakan bahwa negara tumbuh dikarenakan adanya ketetapan historis dan negara
tidak tumbuh karena ketetapan manusia, tapi skenario dari Tuhan (Atmadja, 2012: 24). Tokoh lain yang
mempelopori teori teokrasi yaitu Abu Al A’la Al-Maududi. Dalam argumennya Abu Al A’la Al-Maududi
memberikan penjelasan bahwa kekuasaan tertinggi terdapat pada Allah. Manusia di dunia hanya menjalankan
kekuasaan yang Allah berikan. Oleh karena itu, manusia sering disebut sebagai pemimpin di dunia. Pernyataan
tersebut menandakan bahwa negara merupakan ciptaan dan ketetapan dari Tuhan (Ismatullah dan Gatara, 2007:
58). Argumen kontra terhadap teori teokrasi disampaikan oleh Kranenburg. Menurut Kranenburg, teori teokrasi
memiliki dua masalah. Pertama, teori ini jauh dari logika dan sulit dinalar oleh ilmu pengetahuan, karena yang
menjadi dasar adalah keyakinan atau kepercayaan. Kedua, teori ini akan mengalami masalah apabila terjadi perang
antara dua kekuasaan yang diyakini sebagai titisan Tuhan. Jadi, kekuasaan mana yang akan tetap dipercaya sebagai
pemberian dari Tuhan? (Atmadja, 2012: 24-25).
Teori Hukum Alam
Teori selanjutnya yang turut menjelaskan asal mula negara adalah teori hukum alam. Teori hukum alam
menekankan pada hukum alam sebagai asal mula dari negara. Hukum alam ada yang sifatnya irrasional dan
rasional. Hukum Alam yang Dasar-Dasar Ilmu Negara 17 irrasional dapat ditemukan dengan menggunakan metode
induktif (logika induktif: khusus-umum). Contoh hukum alam yang irrasional seperti hukum yang lahir dari Tuhan
atau Firman Tuhan, hal-hal yang bersifat mistis, dan sejenisnya. Adapun hukum alam yang rasional adalah hukum
alam yang ditemukan melalui metode deduktif (logika deduktif: umum-khusus), yang merupakan metode yang
didapat melalui observasi. Berangkat dari dua dasar tersebut maka teori hukum alam lahir dan kemudian ikut
terlibat mengkonstruksi ilmu-ilmu, termasuk Ilmu Negara. Sifat hukum alam yang abstrak dan universal membuat
hukum alam lebih alamiah, karena tidak dibuat oleh negara atau kekuasaan secara langsung. Hukum alam lahir
secara alamiah berdasarkan kondisi alam. Selain itu hukum alam juga memusatkan manusia sebagai titik tolak, dan
membuat manusia lebih alamiah, cenderung tidak terdapat tekanan (Ismatullah dan Gatara, 2007: 58). Tokoh teori
hukum alam yang terkenal salah satunya Hugo de Groot atau Grotius. Hugo de Groot menyatakan bahwa hukum
alam merupakan hukum yang mutlak, sehingga tidak dapat diubah. Indikator atau ukuran dari hukum alam terletak
pada baik dan buruk. Oleh karena itu, hukum alam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya lebih bersifat abstrak
dan universal, karena hanya dapat dinilai dari baik dan buruk (Ismatullah dan Gatara, 2007: 61). Dalam perspektif
hukum alam, negara lahir secara alamiah atau natural karena keadaan alam sendiri, yang akhirnya melahirkan
berdirinya negara. Dalam konteks ini, negara lahir secara alamiah tanpa ada tekanan dari kekuasaan manusia yang
lain. Lahirnya negara dari keadaan alamiah tidak dapat dihentikan oleh siapapun.
Teori Perjanjian Masyarakat
Teori perjanjian masyarakat diperkenalkan oleh tokoh yang bernama Thomas Hobbes, yang lahir pada tahun 1588
dan meninggal pada tahun 1679. Hobbes menyatakan bahwa yang berlaku pada masa sebelum adanya negara
adalah hukum rimba. Di masa tersebut, yang berlaku adalah prinsip homo homini lupus, yang berarti manusia
menjadi serigala bagi manusia lain. Selain itu, juga berlaku prinsip bellum omnium contra omnes¸ yang artinya
semua lawan semua. Kemudian, untuk mengakhiri hukum rimba di tegah masyarakat, maka masyarakat membuat
kontrak sosial atau perjanjian masyarakat. Kontrak sosial tersebut berupa penyerahan kewenangan atau kekuasaan
kepada raja untuk memerintah. Artinya masyarakat secara bersama-sama berjanji untuk menyerahkan kekuasaan
kepada raja yang 18 Dasar-Dasar Ilmu Negara ditunjuk untuk memerintah agar hukum rimba tidak terjadi lagi
(Atmadja, 2012: 26-27). Hobbes juga menyatakan bahwa perjanjian untuk membuat negara dimulai dengan rakyat
yang mengadakan perjanjian. Kemudian rakyat menyerahkan semua kekuasaan kepada negara, agar dengan
kekuasaan yang dimiliki negara dapat mengatur masyarakat secara mutlak. Menurut Hobbes, kondisi tersebut
menimbulkan konsekuensi politik, di mana kekuasaan yang sudah diberikan tersebut tidak dapat ditarik lagi.
Hobbes menyatakan bahwa bentuk negara yang ideal adalah kerajaan atau monarki absolut (Ismatullah dan Gatara,
2007: 64). Selain Hobbes, John Locke juga merupakan salah satu tokoh pencetus teori perjanjian masyarakat.
Locke, yang lahir pada tahun 1632 dan meninggal pada tahun 1704, menyatakan bahwa manusia pada dasarnya
secara alamiah sudah mempunyai hak-hak asasi. Hak-hak tersebut meliputi hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak
milik. Sebagai wujud untuk melindungi hak-hak tersebut maka dibuatlah kontrak sosial. John Locke menyatakan
bahwa ada dua macam kontrak sosial. Pertama, pactum unionis, atau perjanjian yang sebenarnya. Perjanjian yang
sebenarnya merujuk pada perjanjian antara satu individu dengan individu yang lain untuk membuat suatu negara.
Kedua, pactum subjectionis, atau perjanjian pemerintahan. Perjanjian pemerintahan yaitu merupakan perjanjian
antara rakyat dengan penguasa yang diberi wewenang untuk memerintah. Perjanjian ini pada era sekarang dapat
juga disebut semacam kontrak politik (Atmadja, 2012: 28). 2.1.4. Teori Kekuatan Teori kekuatan juga dapat
disebut sebagai teori kekuasaan. Teori kekuatan sendiri dapat dibagi menjadi dua: teori kekuatan fisik dan teori
kekuatan ekonomi. Teori kekuatan fisik menyatakan bahwa kekuasaan adalah bentukan orang-orang yang paling
kuat, berani, dan berkemauan teguh untuk memaksakan kemauannya kepada pihak yang lemah. Voltaire
menyatakan bahwa raja yang pertama merupakan “the winning hero”. Teori kekuatan fisik mendeklarasikan bahwa
negara dapat muncul disebabkan oleh kemenangan dari pihak yang secara fisik lebih unggul dan kuat dari pihak
lain (Atmadja, 2012: 33). Teori kekuatan yang kedua adalah teori kekuatan ekonomi. Teori kekuatan ekonomi
menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya berasal dari orang-orang yang kuat secara ekonomi dan ingin
melanggengkan kekuatannya tersebut dengan Dasar-Dasar Ilmu Negara 19 kekuasaan. Franz Oppenheimer
menyatakan dalam pendapatnya bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia akan menempuh dua jalan,
yaitu jalan ekonomi atau memeras keringat dan jalan politik atau merampas jerih payah orang lain (Atmadja, 2012:
34). Pendapat tentang teori kekuatan ekonomi juga dikemukakan oleh Karl Marx. Sebagai penggagas marxsisme,
Marx menyatakan bahwa teori kekuatan ekonomi tidak lain merupakan perjuangan kelas atau pertarungan antar
kelas. Karl Marx juga menyatakan bahwa teori kekuatan ekonomni tidak lain adalah eksploitasi kaum borjuis atau
pemilik modal terhadap kaum proletar atau buruh. Karl Marx berpandangan bahwa munculnya negara diikuti
dengan lahirnya hak milih individu. Kondisi tersebut menyebabkan terjadi perpecahan antara dua kelas, yaitu kelas
pemilik modal dan kelas buruh. Perpecahan tersebut yang menyebabkan pemilik modal berusaha menguasai alat
produksi agar dapat mengekspolitasi negara dan kelas buruh (Ismatullah dan Gatara, 2007: 62). Pendapat yang
hampir sama dikemukakan oleh Harold J. Laski, yang berpandangan bahwa kekuasaan ekonomi merupakan
puncak perebutan bagi orangorang yang ingin menguasai sistem perekonomian. Dengan penguasaan sistem
perekonomian, maka semuanya bisa didapat. Dalam konteks ini, negara dijadikan alat untuk merebut kekuasaan
ekonomi bagi orang-orang memiliki modal. Jalan yang dilakukan untuk menguasai sistem ekonomi adalah jalan
hukum dan politik, yang merupakan bagian dari negara. Jadi, dengan teori ini, terciptanya negara berawal dari
orang yang mempunyai modal dan ingin menguasai sistem ekonomi, sehingga memerlukan negara sebagai alat
untuk menguasai (Hufron dan Hadi, 2016: 88-89).

Teori Positivisme
Teori positivisme juga turut menjelaskan tentang asal mula negara. Hans Kelsen, salah satu tokoh
positivisme hukum, sering mengaitkan antara teori hukum, negara, dan hukum internasional. Sebenarnya Hans
Kelsen bukan merupakan bagian penuh dari aliran positivisme empiris, dan juga bukan merupakan bagian penuh
dari aliran hukum alam. Menurut para ahli, Hans Kelsen lebih pada posisi di tengah-tengah antara dua aliran
tersebut (Asshiddiqie dan Safaat, 2006:9). Walaupun demikian, karya-karya Hans Kelsen yang selalu
mempromosikan teori hukum murni membuat Hans Kelsen dapat dianggap cenderung pada teori hukum
positivisme. Selain mempromosikan teori hukum murni yang dekat dengan teori 20 Dasar-Dasar Ilmu Negara
hukum positivisme, Hans Kelsen juga mengkaji tentang negara. Salah satu buku yang ditulisnya, yaitu General
Theory of Law and State, khususnya pada bagian dua, mengkaji tentang negara (Kelsen, 1949: 181). Dalam
pandangannya, Hans Kelsen menyatakan bahwa Ilmu Negara harus terlepas dari pengaruh-pengaruh lain, dan
harus memusatkan kajian negara secara yuridis-normatif. Asal mula negara adalah salah satu problem karena
sifatnya yang tidak murni hukum. Dengan demikian Hans Kelsen berpandangan bahwa asal mula negara
merupakan objek kajian filsafat hukum, sehingga tidak dapat dibicarakan dalam tataran Ilmu Negara. Artinya,
menurut Hans Kelsen, asal mula negara bukan merupakan objek dari Ilmu Negara (Hufron dan Hadi, 2016: 90).
Hans Kelsen juga berpandangan bahwa negara harus terlepas dari fenomenafenomena lain selain fenomena hukum.
Negara dibuat oleh kelompok masyarakat dari satu bangsa berdasarkan hukum yang sah. Pembentukan hukum
dalam membuat negara tertuang dalam konstitusi yang disepakati bersama oleh masyarakat (Kelsen, 1949: 181).
Pendapat Hans Kelsen tentang negara menarik dikaji lebih mendalam. Pandangan Hans Kelsen tentang negara,
yang harus lepas dari segala fenomena kecuali hukum, membuat asal mula negara tidak harus diperdebatkan secara
keras. Negara dapat lahir karena adanya masyarakat yang membuat konstitusi sebagai dasar untuk menjalankan
negara. Selain itu, konstitusi sebagai hukum tertinggi yang dapat dijadikan untuk mengetahui hakikat negara yang
sejatinya, juga dapat digunakan untuk mengkaji asal mula berdirinya negara tersebut. Walaupun Hans Kelsen
beranggapan bahwa asal mula negara bukan menjadi objek kajian Ilmu Negara, tetapi teori positivisme setidaknya
dapat dijadikan landasan untuk mengetahui asal mula suatu negara dari sudut pandang yuridis. Hanya saja asal
mula negara yang dikaji lebih pada negara secara kongkrit, bukan secara umum dan menyeluruh. Misalnya,
mengkaji asal mula negara Indonesia dari sudut pandang Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi atau
hukum tertinggi di negara Indonesia.
Teori Organis
Teori organis dalam kaitan dengan asal mula negara lebih mensimulasikan negara seperti anatomi manusia.
Negara dianggap sama dengan makhluk hidup yang mempunyai struktur seperti kepala, badan, kaki, tangan, otak
dan lain.lain. Kepala, badan, kaki, tangan dapat disamakan dengan struktur lembaga negara, sedangkan otak dapat
disamakan dengan pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara. Selain persamaan tersebut, negara dan
makhluk hidup juga mempunyai persamaan dalam hal pertumbuhan dan perkembangan. Artinya, sebagaimana
makhluk hidup, negara juga mengalami masa kelahiran atau asal mula, masa tumbuh dan berkembang, serta masa
kematian atau lenyap dari muka bumi. Teori organis mempunyai substansi atau materi yang terbagi menjadi empat
yaitu organisme moral, organisme psikis, organisme biologis, dan organisme sosiologis. (Hufron dan Hadi, 2016:
92-93). Konsep asal mula negara yang menyamakan negara dengan makhluk hidup membuat teori organis
cenderung menjadikan asal mula negara secara alamiah yang artinya negara lahir dipandang secara alamiah. Teori
ini hampir mirip dengan teori hukum alam. Hanya bedanya, teori ini menjadikan negara seperti makhluk hidup
yang mempunyai organ. Begitu juga negara yang mempunyai organ, dan dapat menjalankan organnya dengan
fungsi-fungsi tertentu. Teori organis dipopulerkan oleh George W. Hegel, J.K. Bruntscli, John Salisbury,
Marsigilio Padua, Pfufendorf, Henrich Ahrens, J.W. Scelling, serta F.J. Schitenner (Ismatullah dan Gatara, 2007:
66). Teori organis merupakan salah satu teori yang mudah dipahami untuk mengkonstruksi asal mula negara.
Penggunaan imajinasi dalam teori organis terkait asal mula negara lebih dapat diterima dan dapat dimengerti
dengan cepat. Pemahaman yang mudah tersebut dapat memberikan pemahaman terkait asal mula negara, khusunya
dalam menganalisis contoh-contoh kongkrit suatu negara. Misalnya, sebuah negara yang pasti lahir kemudian
tumbuh dan berkembang, bahkan menjadi maju. Namun setelah itu, ia akan mati atau lenyap, walaupun kita tidak
pernah tahu pasti kapan akan ia akan lenyap atau mengalami kematian.
Teori Garis Kekeluargaan
Teori garis kekeluargaan, atau teori patriarkhal-matriarkhal, merupakan salah satu teori asal mula negara.
Teori garis kekeluargaan fokus pada penciptaan negara yang bersumber dari adanya keluarga. Negara dapat
terbentuk dari adanya keluarga kecil yang saling bersatu, dan kemudian membentuk keluarga yang lebih besar,
sampai pada akhirnya tercipta atau terbentuk sebuah negara. Garis kekeluargaan yang dimaksud juga dapat
berbentuk suku atau keturunan. Oleh karena itu, teori ini menganggap bahwa negara bisa jadi lahir dari keluarga
atau suku yang berasal 22 Dasar-Dasar Ilmu Negara garis keturunan bapak (patriarkhal), atau bisa juga dari garis
keturunan ibu (matriarkhal) (Ismatullah dan Gatara, 2007: 66). Teori garis kekeluargaan patriarkhal memiliki
perbedaan dengan teori garis keturunan matriarkhal. Teori garis kekeluargaan patriarkhal, yang memusatkan garis
keturunan pada bapak, beranggapan bahwa negara dapat tercipta dari garis keturunan bapak. Keadaan tersebut akan
menjadikan penguasa atau orang yang menjalankan negara tersebut adalah dari keturunan bapak (patriarkhal).
Adapun teori garis kekeluargaan matriarkhal menjadikan keturunan dari ibu sebagai pemimpin. Dengan kata lain,
orang yang menjalankan negara berasal dari garis keturunan Ibu. Menariknya, teori ini tidak menentukan penguasa
atau pemimpin dari suatu negara berdasarkan gen atau jenis kelamin. Penentuan penguasa atau pemimpin dari
negara yang diciptakan oleh teori garis kekeluargaan adalah berdasarkan pada klan (Hufron dan Hadi, 2016: 91-
92).
Teori Modern
Teori selanjutnya yang bisa menjelaskan tentang asal mula negara yaitu teori modern. Kranenburg
menjelaskan bahwa negara lahir karena adanya komunitas manusia yang disebut sebagai bangsa. Negara akan lahir
apabila terdapat suatu bangsa. Oleh karena itu, bangsa menjadi fondasi bagi terciptanya negara. Pendapat
Kranenberg ini menyimpulan bahwa tidak akan mungkin ada negara jika tidak ada komunitas yang disebut bangsa.
Keadaan tersebut menyebabkan penguasa dari sebuah negara adalah bangsa yang menciptakan negara. Penjelasan
dari Kranenberg bertolak belakang dengan penjelasan Logemann, yang menjelaskan bahwa negara lebih dulu ada
sebelum tercipta bangsa. Logemann berpandangan bahwa negara, dengan kekuasaan yang dimilikinya, kemudian
menciptakan suatu bangsa, sehingga bangsa itu ada karena adanya suatu negara (Hufron dan Hadi, 2016: 91).

Teori Terjadinya Negara secara Primer


Teori terjadinya negara secara primer juga merupakan salah satu teori yang menawarkan penjelasan tentang
asal mula negara. Menurut teori ini, terjadinya negara secara primer dapat digolongkan menjadi empat fase, yaitu
fase genootshap (genossenchaft), fase reich (rijk), fase staat, dan fase (democratische natie dan dictatuur atau
dictatum). Fase-fase ini merupakan tahapan dalam pembentukan negara. Dasar-Dasar Ilmu Negara 23 Fase
genootshap berawal dari individu-individu manusia yang kemudian mendeklarasikan diri untuk saling hidup
bersama-sama dengan berdasarkan pada persamaan kepentingan. Fase ini mengutamakan unsur bangsa sebagai
lahirnya suatu negara. (Busroh, 2009: 44-45). Fase selanjutnya, yaitu fase reich, sudah masuk pada tahap manusia
menerti dan memiliki hak atas tanah. Pemilik tanah kemudian menyerahkan kekuasaan kepada penguasa untuk
menjalankan negara. Fase ini juga menjadikan negara mempunyai ukuran. Ukuran dari negara adalah kekayaan,
yang salah satunya dari adanya kepemilikan tanah. Setelah fase reich adalah fase staat. Fase tersebut sudah
memasuki wilayah politik, khususnya secara vertikal. Adanya wilayah politik yang menjadi kekuasaan politik
membuat antar wilayah saling beradu kekuatan. Fase ini menghasilkan adanya kekuasaan pusat dengan daerah.
Kekuasaan pusat mengontrol kekuasaan daerah, sedangkan kekuasaan daerah tunduk pada kekuasaan pusat (Sabon,
2014: 42). Fase yang keempat adalah fase democratische natie dan fase dictatuur atau dicatum. Fase democratische
natie adalah kelanjutan dari fase sebelumnya yaitu fase staat. Fase democratiche natie atau fase demokrasi nasional
merupakan fase yang menjadikan kedaulatan rakyat sebagai dasar. Negara ada atau lahir karena adanya kedaulatan
rakyat, atau rakyat yang berdaulat. Adapun dalam fase dictatuur atau dictatum terdapat perbedaan pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa fase dictatuur atau dictatum merupakan perluasan dari fase democratische
natie. Pendapat lain menyatakan bahwa fase dictatuur atau dictatum adalah fase penyimpangan dari fase
democratische natie. Jadi fase dictatuur atau fase dictatum bukan perluasan dari fase democratische natie. Empat
fase tersebut merupakan fase-fase utama dalam terbentuknya atau terjadinya suatu negara. Tanpa fase tersebut,
menurut teori terjadinya negara secara primer, maka negara tidak mungkin dapat terjadi. (Busroh, 2009: 45-46).
Teori Terjadinya Negara secara Sekunder
Selain teori terjadinya negara secara primer, kita juga mendapati teori terjadinya negara secara sekunder.
Teori terjadinya negara secara sekunder fokus pada terjadinya negara pada claim atau pengakuan terhadap suatu
negara (Busroh, 2009: 46). Adanya pengakuan tersebut menunjukkan bahwa suatu negara dianggap ada karena dua
hal. Pertama, sudah ada negara-negara lain yang kemudian 24 Dasar-Dasar Ilmu Negara mengakui terjadinya
negara yang lainnya. Kedua, adanya pengakuan dari manusia atau bangsa yang belum memiliki atau menciptakan
negara, dalam hal ini belum ada negara tercipta di dunia. Pernyataan yang kedua dapat menegaskan bahwa teori ini
berasumsi bahwa bangsa lebih dulu ada sebelum berdirinya negara. Pengakuan atau erkening terdiri atas tiga
macam, yaitu (1) pengakuan de facto yang bersifat sementara; (2) pengakuan de jure, atau pengakuan yuridis; dan
(3) pengakuan atas pemerintahan de facto. Pengakuan de facto yang bersifat sementara merupakan pengakuan yang
diberikan kepada negara yang baru lahir. Pemberian pengakuan tersebut sifatnya sementara, karena secara nyata
negara tersebut memang telah lahir, tetapi secara hukum belum dapat dinyatakan apakah negara tersebut telah
benar-benar lahir atau tidak. Sedangkan pengakuan de jure adalah pengakuan terhadap lahirnya suatu negara yang
sifatnya tetap dan mutlak. Keadaan tersebut dikarenakan negara yang tercipta merupakan negara yang lahir karena
hukum, sehingga bersifat tetap. Pengakuan selanjutnya adalah pengakuan atas pemerintahan yang de facto.
Pengakuan ini hanya bersifat pengakuan lahiriah atas kedudukan pemerintah saja. Pengakuan ini tidak mengakui
eksistensi negara secara penuh. Tetapi pengakuan ini juga bisa masuk dalam pengakuan terhadap negara secara
sebagian, karena pemerintah merupakan unsur negara yang harus ada dalam berdirinya negara. Karena negara
tanpa pemerintahan juga tidak akan bisa disebut sebagai negara (Busroh, 2009: 46-47). Teori terjadinya negara
secara sekunder menyatakan bahwa negara berdiri jika ada pengakuan dari negara-negara atau bangsa-bangsa lain.
Agar negara tersebut dapat memperoleh pengakuan, maka yang harus dilakukan oleh negara yang akan berdiri
adalah melakukan deklarasi atau pernyataan pembentukan negara baru. Tujuan deklarasi tersebut adalah untuk
mendapatkan persetujuan atau pengakuan dari negara-negara atau bangsa-bangsa lainnya. Deklarasi juga dapat
dijadikan sebagai arena untuk memberitahukan bahwa negara yang berdiri merupakan negara yang berdaulat dan
merdeka. Kemerdekaan tersebut tidak hanya kemerdekaan ke dalam, tetapi juga kemerdekaan ke luar (Sabon,
2014: 43). Teori terjadinya negara secara sekunder ini menarik untuk dikaji. Berdasarkan teori ini, negara dianggap
ada hanya apabila ada pengakuan, yang tidak terbatas pada negara tersebut saja, melainkan juga dari bangsa-
bangsa lain di dunia. Negara yang lahir dan memerlukan pengakuan harus mendeklarasikan diri bahwa negara
tersebut telah berdiri secara merdeka (dalam dan luar). Setelah melakukan deklarasi, maka ada tahap pengakuan
atau persetujuan dari negara atau bangsa lain Dasar-Dasar Ilmu Negara 25 terhadap berdirinya negara tersebut.
Sebagai contoh adalah Negara Indonesia. Pada saat kelahirannya, negara Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan
dalam bentuk proklamasi. Proklamasi tersebut merupakan ajang bagi Negara Indonesia untuk memberitahukan
kepada negara-negara lain, atau bangsa-bangsa lain, bahwa Negara Indonesia yang merdeka (ke dalam dan ke luar)
telah lahir. Setelah Negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, maka terjadi pengakuan dari negara-
negara lain seperti dari Mesir, Arab Saudi, dan negara-negara lainnya.
Lenyapnya Negara
Setelah mempelajari tentang asal-mula atau terciptanya negara. Pembahasan selanjutnya adalah tentang
lenyapnya negara. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa sebuah negara akan terus hidup dan berdiri kokoh di atas
bumi. Suatu negara bisa saja lenyap atau hancur kapan pun. Bagian ini kita akan mempelajari teori mengenai
lenyapnya negara. Mac Iver mengemukakan bahwa suatu negara dapat lenyap dengan dua cara, yaitu cara revolusi
dan cara evolusi. Cara revolusi terjadi manakala di negara tersebut terjadi hal yang cepat dan besar, seperti
peperangan dan pemberontakan, yang dapat mengakibatkan hancurnya sebuah negara. Cara evolusi terjadi
manakala proses hancurnya negara terjadi secara perlahan. Misalnya melalui adanya konflik internal yang
berlarutlatur dan berkepanjangan di tubuh negara tersebut, sehingga menyebabkan sendi-sendi kenegaraan
melemah dan pada akhirnya runtuh (Atmadja, 2012: 75-76). Diponolo menjelaskan lenyapnya negara dalam tiga
teori, yaitu teori organis, teori anarkis, dan teori marxis. Teori organis mengasumsikan negara layaknya organisme
hidup, yang akan lenyap manakala organisme tersebut sudah tidak berfungsi lagi, atau organisme itu sendiri
hancur. Teori organisme mengasumsikan negara seperti makhluk hidup, yang bisa lahir, muda, tua, dan akhirnya
mati. Teori anarkis mendasarkan pada dampak dari anarkisme. Terjadinya anarkisme dapat membuat negara
hancur, yang berarti lenyapnya negara terjadi karena munculnya anarkisme dalam tubuh negara. Teori Marx
menjelaskan bahwa negara bisa hancur dan lenyap karena adanya pertentangan kelas di dalam negara. Dalam
konteks ini, negara bisa hancur atau lenyap karena adanya kemenangan suatu kelas dalam masyarakat atas kelas
lainnya (Atmadja, 2012: 76-77). Selain penjelasan dari teori-teori tersebut, negara bisa juga lenyap karena adanya
kolonialisme, kemiskinan, kudeta atau terjadi peperangan, pemisahan diri 26 Dasar-Dasar Ilmu Negara dari
wilayah yang merupakan bagian dari suatu negara. Kemudian juga negara dapat mati karena adanya bencana alam,
hilangnya penduduk, musnahnya pemerintahan, dan semacamnya (Syafiie, 2013: 39-40). Dari berbagai sebab ini,
dapat disimpuilkan bahwa negara bisa lenyap karena dua alasan. Alasan pertama, negara bisa lenyap karena
kondisi alam. Kondisi alam yang tidak bersahabat dapat membuat negara hancur. Contoh dari hilangnya negara
karena kondisi alam yang tidak bersahabat adalah terjadinya gunung meletus yang menghancurkan wilayah, banjir
yang menghanyutkan wilayah, dan tsunami yang menghancurkan manusia atau wilayah. Alasan kedua, karena
kondisi sosial yang menyebabkan lenyapnya negara. Contoh negara yang hilang karena faktor sosial misalnya
adanya kemiskinan yang menghilangkan penduduk, penjajahan, kudeta yang mengganti negara, perjanjian, dan
penggabungan atau pemisahan (atau perpecahan) wilayah dalam suatu negara (Busroh, 2009: 47-48).
Hakikat Negara
Apa sebenarnya hakikat negara? Pertanyaan ini sepertinya ringan, tapi tidak mudah menjawabnya. Perlu
penjelasan-penjelasan filosofis untuk menerangkan apa sesungguhnya hakikat negara. Plato menjelaskan bahwa
negara sama halnya dengan manusia, yang mempunyai perasaan, akal untuk berpikir, serta kehendak untuk berbuat
(Kusnardi dan Saragih, 1994). Negara juga mempunyai tiga hal tersebut sesuai dengan kriteria masing-masing.
Perasaan negara dapat disamakan dengan golongan profesi seperti petani, nelayan, pedagang dan lain lain.
Golongan ini sesungguhnya yang dapat memenuhi kebutuhan hajat hidup warganegara. Tanpa profesi-profesi
tersebut, negara tidak dapat berjalan dengan semestinya. Dengan demikian, kondisi tersebut sering disebut sebagai
perasaan negara (Junaidi, 2016: 18-19). Akal yang dimiliki negara untuk berpikir dapat diidentikkan dengan
pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang otoritas negara wajib memikirkan bagaimana menjalankan dan
mengembangkan suatu negara. Sebagai otak negara, pemerintah harus dapat berpikir sesuai dengan tujuan negara.
Kehendak untuk berbuat dapat disimulasikan dengan keinginan negara. Keinginan negara akan kehidupan yang
tertib dan adil dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen yang dimiliki negara, sehingga tercipta ketertiban
dan keadilan bagi masyarakat di dalamnya. Hakikat negara yang seperti ini dalam pandangan Plato merupakan
hakikat negara yang idealis. Berbeda dengan Plato, Aristoteles yang merupakan Dasar-Dasar Ilmu Negara 27
murid Plato menyatakan bahwa hakikat negara tidak lain adalah terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan bagi
masyarkat negara tersebut. Pandangan Aristoteles yang demikian menunjukkan hakikat negara yang realistis
(Junaidi, 2016: 19-20). Pembahasan mengenai hakikat negara juga tidak lepas dari teori-teori yang berkembang
dalam rangka menemukan hakikat negara. Oleh karena itu, ada baiknya terlebih dahulu kita mengetahui teori
hakikat negara, sebagai konstruksi berpikir untuk memahami apa sesungguhnya hakikat negara. Berikut ini
dijelaskan enam teori tentang hakikat negara, yang meliputi teori sosiologis, teori organis, teori ikatan golongan,
teori hukum murni, teori dua sisi, dan teori modern (Atmadja, 2012: 41-45).

Teori Sosiologis
Teori sosiologis yaitu teori yang memandang negara sebagai suatu institusi sosial yang tumbuh di wilayah
masyarakat agar dapat mengurus, mengatur, dan menyelenggarakan kepentingan masyarakat. Teori sosiologis
menurut Rudolf Smend tidak lain ialah suatu himpunan kehendak masyarakat yang tidak berubah dan mengadakan
integrasi-integrasi agar dapat bersatu. Pandangan dari Rudolf Smend mengantarkan pada hakikat negara yang
berawal dari persamaan nasib dan kemudian menyatu untuk mewujudkan tujuan bersama. Tujuan bersama tersebut
merupakan kehendak yang dicita-citakan oleh masyarakat dan tetap dijaga secara konsisten oleh masyarakat yang
ada di negara tersebut (Atmadja, 2012: 42). Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Kranenburg, yang
berpandangan bahwa manusia selalu hidup bersama agar dapat bertahan hidup (survive). Kehidupan bersama
tersebut kemudian akan menjadikan masyarakat yang ada di negara tersebut membuat tujuan bersama. Mereka
mengupayakan secara kuat agar tujuan tersebut dapat diwujudkan. Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Heller
dan Logemann, yang menyatakan bahwa hakikat negara terletak pada otoritas tertinggi dari suatu negara.
Kekuasaan yang ada pada siapa dan berlaku untuk siapa merupakan hakikat dari suatu negara (Sabon, 2014: 33-
35). Pendapat yang lain tentang hakikat negara berdasarkan teori sosiologis dikemukakan oleh Openheimer dan
Leon Duguit. Openheimer berpendapat bahwa hakikat negara terletak pada negara yang dijadikan sebagai alat oleh
penguasa, atau pihak yang kuat, untuk menindak pihak yang lemah. Hal tersebut dimaksudkan agar tercipta
ketertiban dalam masyarakat. Sama dengan Openheimer, Leon 28 Dasar-Dasar Ilmu Negara Duguit juga
menyatakan bahwa negara merupakan milik kelompok yang kuat untuk dapat menguasai kelompok yang lemah.
Dalam memiliki negara, kelompok yang kuat kerap sekali menggunakan cara-cara politis untuk mencapai
tujuannya (Busroh, 2009: 22). Teori sosiologis tentang hakikat negara ini juga dipopulerkan oleh beberapa tokoh
lain, di antaranya Rudolf Smend, Kranenburg, Herman Heller, Logemann, Gumplowicks, dan Horald J. Laski
(Sabon, 2014: 33-35).
BAB
SYARAT TERBENTUKNYA
NEGARA

Menurut Konvensi Montevideo tahun 1933, yang merupakan Konvensi Hukum


Internasional, Negara harus mempunyai empat unsur konsititutif, yaitu :
a. Harus ada penghuni (rakyat, penduduk, warga Negara) atau bangsa
(staatvolk).
b. Harus ada wilayah atau lingkungan kekuasaan.
c. Harus ada kekuasaan tertinggi (penguasa yang berdaulat) atau pemerintahan yang berdaulat.
d. Kesanggupan berhubungan dengan Negara-negara lain.

A.
WILAYAH
Merupakan landasan material atau landasan fisik Negara. Secara umum dapat dibedakan menjadi
1. Wilayah Daratan
Batas wilayah suatu negaradengan Negara lain di darat , dapat berupa :
· Batas
Alamiah
· Batas Buatan
· Batas Secara geografis

2.Wilayah Lautan
Negara yang tidak memiliki lautan disebut land locked. Sedangkan Negara yang memiliki
wilayah lautan denganpulau-pulau di dalamnya disebut archipelagic state
Dewasa ini, yang dijadikan dasar hukum masalah wilayah kelautan suatu Negara adalah Hasil
Konferensi Hukumlaut nternasional III tahun 1982 di Montigo Bay (Jamaika) yang
diselenggarakan oleh PBB, yaitu UNCLOS (United Nations Conference on The Law of the
Sea).
Batas Lautan :
1) Laut Teritorial
(LT)
2) Zona Bersebelahan (ZB)
3) Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
4) Landas Kontinen (LK)Pemerintah RI pada tanggal 17 Februari 1969,
Telah mengeluarkan Deklarasi tentang “ Landas Kontinen” dengan kebiasaan
Negara praktik
dan dibenarkan pula oleh Hukum Internasional bahwa suatu Negara pantai
mempunyaipenguasaan dan yurisdiksi yang ekslusif atau kekayaan mineral dan kekayaan lainnya
dalam dasar laut dan tanahdi dalamnya di landas kontinen. Contoh hasil perjanjian landasan
kontinen :
a. Perjanjian RI – Malaysia tetang Penetapan garis Batas Landas Kontinen Kedua Negara
(di Selat Malaka danLaut Cina Selatan) ditandatangani 27 Oktober 1969 dan mulai
berlaku 7 November 1969.
b. Perjanjian RI – Thailand tentang Landas Kontinen Selat Malaka Bagian Utara dan
Laut
Andaman,ditandatangani17 Desember 1971 dan mulai berlaku 7 April
c. 1972.
Persetujuan RI – Australia tentang Penetapan Atas Batas-Batas Dasar Laut Tertentu
di
daerah Laut Timor dan laut Arafuru sebagai tambahan pada persetujuan tanggal 18
Mei
1971, dan berlaku mulai 9 Oktober 1972.
5). Landas Benua (LB)

3.Wilayah Udara
Pasal 1 Konvensi Paris 1919 : Negara-negara merdeka dan berdaulat berhak
mengadakan eksplorasi dan eksploitasidii wilayah udaranya, misalnya untuk kepentingan radio,
satelit, dan penerbangan.

Konvensi Chicago 1944 (Pasal 1) : Setiap Negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan
ekslusif di ruang udara di atas wilayahnya UU RI No. 20 tahun 1982, batas wilayah kedaulatan
dirgantara yang termasuk orbit geo- stationer adalah
setinggi35.671km.

4.Wilayah Ekstrateritorial
Wilaya suatu Negara yang berada di luar wilayah Negara itu. Menurut Hukum
h
Internasional, yang mengacu padahasil Reglemen dalam Kongres Wina(1815) dan
Kongres
Aachen (1818), “ perwakilan diplomatik suatu Negara di Negara lain merupakan daerah
ekstrateritorial”
Daerah Ekstrateritorial , mencakup :
(1) Daerah perwakilan diplomatik suatu Negara
(2) Kapal yang berlayar di bawah bendera suatu Negara
B.
RAKYAT
Berdasarkan hubungannya dengan daerah tertentu, dibedakan atas dua jenis yaitu :
1. Penduduk
Mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam suatu wilayah Negara
(menetap) untuk jangka waktu yang lama.
2. Bukan Penduduk
Mereka yang bearada di dalam suatu wilayah Negara hanya untuk sementara waktu (tidak
menetap).
Berdasarkan hubungannya dengan pemerintah, rakyat dapat dibedakan menjadi :
1. Warga
NegaraMereka yang berdasarkan hukum tertentu merupakan anggota dari suatu Negara, dengan

status kewarganegaraan warga Negara asli atau warga Negara keturunan


asing.
2. Bukan Warga
NegaraMereka yang berada di suatu Negara tetapi secara hukum tidak menjadi anggota Negara

yang bersangkutan, namun tunduk pada Pemerintah dimana mereka berada.

C. PEMERINTAH YANG
BERDAULAT
Kata kedaulatan atau “daulat” berasal dari kata daulah (Arab), souvereignty (Inggris),
Souvereiniteit (Perancis), supremus (Latin), yang berarti “ kekuasaan tertinggi ”. Kekuasaan
yang dimiliki pemerintah mempunyai kekuatan yang berlaku kedalam (interne-souvereiniteit )
dan keluar (extrene-souvereiniteit).
Menurut Jean Bodin (1500-1596) kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk
menentukan hukum dalam suatuNegara. Kedaulatan mempunyai sifat-sifat pokok sebagai berikut
 Asli
Kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.
 Permanen
kekuasaan itu tetap ada selama Negara itu berdiri sekalipun pemegang kedaulatan
berganti-
 berganti.
Tunggal (Bulat)
Kekuasaan itu merupakan satu-kesatuan tertinggi dalam Negara yang tidak diserahkan
atau dibagi-bagikan kepada badan lain.
 Tidak terbatas ( absolute)
kekuasaan itu tidak dibatasi oleh kekuasaan lain. Bila ada kekuasaan lain yang
membatasinya, maka kekuasaan tertinggi yang dimilikinya akan lenyap.

D. PENGAKUAN DARI NEGARA


LAIN
1). Pengakuan secara de facto
Diberikan kalau suatu Negara baru sudah memenuhi unsur konstitutif dan juga telah
menunjukkan diri sebagaipemerintahan yang stabil. Pengakuan de facto adalah pengakuan
tentang kenyataan (fakta) adanya suatu Negara.
Pengakuan de facto bersifat sementara
Pengakuan yang diberikan oleh suatu Negara tanpa melihat bertahan tidaknya Negara
tersebut di masa depan. Kalau Negara baru tersebut kemudian jatuh atau hancur,
Negara
itu akan menarik kembali pengakuannya.
Pengakuan de facto bersifat tetap
Pengakuan dari Negara lain terhadap suatu Negara hanya bisa menimbulkan hubungan di
bidang ekonomi danperdagangan (konsul). Sedangkan dalam hubungan untuk tingkat
Duta belum dapat dilaksanakan.

2). Pengakuan secara de jure


Pengakuan de jure bersifat
tetap dari Negara lain berlaku untuk selama-lamanya setelah melihat adanya
Pengakuan
jaminan bahwa pemerintahan Negara baru tersebut akan stabil dalam jangka waktu yang
cukup lama.
Pengakuan de jure secara
penuh hubungan antara
Terjadinya yang mengakui dan diakui meliputi hubungan
Negara
dagang, ekonomi, dan diplomatic. Negara yang mengakui berhak menempatkan
Konsuler atau Kedutaan.
Sesuai dengan Konvensi Montevideo tahun 1933, menurut Mahfud MD syarat
terbentuknya Negara disebut unsur konstitutif, sementara tambahan lainnya adalah unsur
deklaratif (Pengakuan dari negara lainnya).

Jika salah satu dari ketiga syarat tersebut tidak dimiliki, maka tidak bisa disebut negara
1. Rakyat (unsur
2. konstitutif)
Wilayah (unsur
3. konstitutif)
Pemerintah yang Berdaulat (unsur
4. konstitutif)
Pengakuan dari Negara Lain (unsur
deklaratif)

Sumber: http://www.scribd.com/doc/34169341/5/UNSUR-UNSUR-
TERBENTUKNYA-
NEGAR
A
BAB 5

Teori lenyapnya negara

Menurut para ahli, negara bukan hanya bisa tumbuh dan berkembang tetapi juga
karena keadaan tertentu negara bisa hilang atau lenyap. Beberapa teori tentang lenyapnya
negara, yaitu sebagai berikut : (D.S. Diponolo)
Teori organis
Tokoh-tokoh teori organis, diantaranya adalah Herbert Spencer, F. J. Schmitthenner ,
Gonstantin Frantz, dan Bluntsehi. Para penganut teori ini berpandangan bahwa negara
dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup, seperti manusia, hewan, dan tumbuhan.
Individu yang merupakan komponen-komponennegara diibaratkan sebagai sel-sel dari
makhluk hidup.
Sebagai suatu organisme, negara tidak akan lepas dari kenyataan dan perkembangannya dari
mulai berdiri, berkembang, besar, kokoh, dan kuat. Kemudian, melemah sampai akhirnya
tidak mampu lagi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai negara. Setelah itu, lenyap
dari percaturan dunia. Dengan demikian, teori organis berpandangan bahwa suatu negara
pada saat tertentu akan lenyap seperti suatu organisme hidup.
Teori ini berkembang pada abad XIX (19) yang memandang negara sebagai organisme. Teori
ini berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan terutama biologi, dengan
ditemukannya sistem sel pada binatang dan tumbuhan dan teori evolusi dari Darwin.
Pengant teori ini memperkuat argumentasinya dengan mengambil beberapa contoh, yaitu :
Mesir, Babilonia, Persia, Phunisia, Romawi, dan lain-lain yang semuanya menjalani dari
Negara kecil, hingga besar dan kuat dan akhirnya menjadi kecil kembali, lemah dan akhirnya
lenyap.
Namun tidak pula semua organisme mati karena tua, maka negara pun juga demikian, ada
yang hancur karena peperangan walaupun belum tua. Bluntschi memandang negara terjadi
tidak langsung karena karya manusia. Negara adalah zat yang hidup yang tumbuh baik di
dalam maupun di luar dan berkembang seperti organisme biologis. Negara adalah suatu unit
besar yang akan menua dan mati.

Teori Kekuatan
Teori kekuatan juga dapat disebut sebagai teori kekuasaan. Teori kekuatan sendiri
dapat dibagi menjadi dua: teori kekuatan fisik dan teori kekuatan ekonomi. Teori kekuatan
fisik menyatakan bahwa kekuasaan adalah bentukan orang-orang yang paling kuat, berani,
dan berkemauan teguh untuk memaksakan kemauannya kepada pihak yang lemah. Voltaire
menyatakan bahwa raja yang pertama merupakan “the winning hero”. Teori kekuatan fisik
mendeklarasikan bahwa negara dapat muncul disebabkan oleh kemenangan dari pihak yang
secara fisik lebih unggul dan kuat dari pihak lain (Atmadja, 2012: 33). Teori kekuatan yang
kedua adalah teori kekuatan ekonomi. Teori kekuatan ekonomi menyatakan bahwa kekuasaan
pada dasarnya berasal dari orang-orang yang kuat secara ekonomi dan ingin melanggengkan
kekuatannya tersebut dengan Dasar-Dasar Ilmu Negara 19 kekuasaan. Franz Oppenheimer
menyatakan dalam pendapatnya bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia akan
menempuh dua jalan, yaitu jalan ekonomi atau memeras keringat dan jalan politik atau
merampas jerih payah orang lain (Atmadja, 2012: 34). Pendapat tentang teori kekuatan
ekonomi juga dikemukakan oleh Karl Marx. Sebagai penggagas marxsisme, Marx
menyatakan bahwa teori kekuatan ekonomi tidak lain merupakan perjuangan kelas atau
pertarungan antar kelas. Karl Marx juga menyatakan bahwa teori kekuatan ekonomni tidak
lain adalah eksploitasi kaum borjuis atau pemilik modal terhadap kaum proletar atau buruh.
Karl Marx berpandangan bahwa munculnya negara diikuti dengan lahirnya hak milih
individu. Kondisi tersebut menyebabkan terjadi perpecahan antara dua kelas, yaitu kelas
pemilik modal dan kelas buruh. Perpecahan tersebut yang menyebabkan pemilik modal
berusaha menguasai alat produksi agar dapat mengekspolitasi negara dan kelas buruh
(Ismatullah dan Gatara, 2007: 62). Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Harold J.
Laski, yang berpandangan bahwa kekuasaan ekonomi merupakan puncak perebutan bagi
orangorang yang ingin menguasai sistem perekonomian. Dengan penguasaan sistem
perekonomian, maka semuanya bisa didapat. Dalam konteks ini, negara dijadikan alat untuk
merebut kekuasaan ekonomi bagi orang-orang memiliki modal. Jalan yang dilakukan untuk
menguasai sistem ekonomi adalah jalan hukum dan politik, yang merupakan bagian dari
negara. Jadi, dengan teori ini, terciptanya negara berawal dari orang yang mempunyai modal
dan ingin menguasai sistem ekonomi, sehingga memerlukan negara sebagai alat untuk
menguasai (Hufron dan Hadi, 2016: 88-89). 2.1.5.

Teori Anarkis
Menurut teori ini, negara merupakan suatu bentuk susunan tata paksa yang sesuai jika
diterapkan dalam tatanan kehidupan masyarakat yang masih primitif. Teori ini tidak cocok
bagi masyarakat modern yang beradab dan bertatakrama. Para penganut teori ini
berkeyakinan bahwa pada suatu saat negara pasti akan lenyap dan muncul lah masyarakat
yang penuh kebebasan dan kemerdekaan, tanpa paksaan, tanpa pemerintahan, serta tanpa
negara. Anarkisme atau dieja anarkhisme yaitu suatu paham yang mempercayai bahwa segala
bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang
menumbuh suburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan,
beserta perangkatnya harus dihilangkan atau dihancurkan. Penganut teori ini antara la\in
William Godwin, Joseph Proudhon, Kropotkin, dan Michael Bakounin.
Penganut teori ini dapat di bedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan pertama yang
berpandangan bahwa untuk menghapuskan atau melenyapkan “tata paksa” harus dilakukan
dengan cara menghancurkan organisasi tersebut bersama perlengkapan dan pendukungnya,
maksudnya untuk melenyapkan negara harus dengan jalan terorisme (Joseph Proudhon,
Kropotkin, dan Michael Bakounin). Menurut mereka untuk menjamin kebebasan manusia
tidak perlu ada negara, karena negara dianggap sebagai “alat pemaksa” yang dapat
mengekang kebebasan, karenanya negara dengan pemerintahannya harus dihapuskan.
Adapun golongan kedua berpandangan bahwa masyarakat yang penuh kebebasan tanpa
pemerintahan akan dapat diwujudkan melalui evolusi dan pendidikan, tanpa harus melalui
kekerasan dan kekejaman. Leo Tolstoy, salah satu seorang penganut golongan kedua,
berpendapat bahwa kekerasan dari mana pun datangnya akan mengundang dendam dan
pembalasan dengan kekerasan. Kekerasan dapat dihilangkan dengan kasih sayang dan
pendidikan.
Terorisme dan kekerasan adalah tindakan berlebihan dan tindakan melampaui batas. Teori ini
mencapai puncaknya pada zaman Tsar Alexander II di Rusia.  
3.     Teori Marxisme
Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl
Marx. Marx menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem
sosial, dan sistem politik. Penganut teori ini disebut Marxis. Teori ini merupakan dasar teori
komunisme modern. Teori ini tertuang dalam buku Manisfesto komunis yang dibuat oelh
Marx dan sahabatnya, Friedrich Engels. Merxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap
paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan
mengorbankan kaum proleter. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa
bekerja berjam-jam dengan upah minimum, sementara hasil keringat mereka dinikmati oleh
kaum kapitalis.
Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Marx
berpendapat bahwa masalah ini timbul karena adanya “ kepentingan pribadi” dan penguasaan
kekayaan yang didominasi orang-orang kaya. Untuk mensejahterakan kaum proletar, Marx
berpendapat bahwa paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme. Bila kondisi ini
terus dibiarkan, menurut Marx kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan.
Itulah dasar dari Marxisme. Para penganutnya adalah orang-orang komunis, dan pelopornya
adalah Karl Marx. Menurut Marx ini negara dipandang sebagai “alat pemaksa” dari kelas
yang kuat terhadap kelas yang lemah. Lahirnya negara adalah perjuangan kelas. Kelas yang
menang artinya kelas yang kuat, membutuhkan susunan tata paksa Negara sebagai alat untuk
memaksakan kehendaknya kepada kelas yang kalah (kelas lemah). Karena itu jika dalam
pertentangan kelas yang menang akan berusaha melenyapkan kelas yang kalah.
Akan tetapi, suatu saat jika masyarakat yang adil dan makmur sudah terwujud, disana
tidak ada lagi perbedaan kelas, karena tidak ada lagi perjuangan kelas, disitulah negara akan
lenyap. Penganut teori ini adalah Karl Marx, Reidrich, Engles, dan Lenin.
4.     Teori Mati Tuanya Negara
Menurut teori ini, negara sebagai suatu susunan tata paksa tidak perlu dihapus atau
diperangi, karena keberadaannya, berdirinya, atau hilangnya negara sesuai dengan hukum
yang berlaku. Dengan kata lain, negara akan berdiri atau lenyap menurut syarat-syarat
objektifnya sendiri. Jika syarat-syarat untuk berdirinya suatu negara terpenuhi, negara akan
tetap berdiri. Sebaliknya, apabila persyaratan tidak terpenuhi dengan sendirinya negara akan
lenyap atau hilang.
Prof. Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bila negara dianggap berhenti, hancur atau jatuh
maka unsut wilayah, dan masyarakat tetap ada, hanya unsur pemerintahannya yang musnah.
Di Indonesia pernah terjadi pada Zaman Sriwijaya, di abad VII pernah jaya namun kemudian
tenggelam. Demikian juga dengan kerajaan Majapahit, tapi unsur daerah dan rakyatnya tetap
ada yang hilang unsur pemerintahannya saja
Selain teori-teori tersebut, hilang atau lenyapnya suatu negara dapat disebabkan oleh dua
faktor yaitu sebagai berikut :
a.       Faktor Alam
Yang dimaksud dengan hilangnya negara karena faktor alam adalah suatu negara yang sudah
ada, tetapi dikarenakan faktor alam negara tersebut menjadi lenyap. Karena disebabkan oleh
alam maka wilayah dari negara tadi akan hilang dan hilangnya wilayah tadi berarti, hilanglah
negara itu dari dunia kenegaraan. Hilangnya negara karena faktor alam, misalnya dapat
disebabkan oleh :
·     Gunung meletus
·     Pulau yang terendam air laut, atau bencana alam yang lainnya.
Contoh wilayah negara yang lenyap di karenakan faktor alam, misalnya adalah bisa kita
ketahui yang mana dulunya pulau Jawa dan Sumatra itu sebenarnya menyatu tapi
dikarenakan sebagian wilayah pulau tersebut ditelan oleh air laut yang menurut para ahli hal
tersebut dikarenakan meletusnya gunung krakatau pada 416 masehi yang lalu, kemudian
membentuk daratan yang disebut sunda besar.
b.       Faktor Sosial
Yaitu suatu negara yang sudah ada dan diakui oleh negara lain, tetapi dikarenakan oleh faktor
sosial negara itu menjadi hilang dan lenyap. Hal tersebut dapat disebabkan oleh faktor-faktor,
antara lain :
1)   Karena adanya Revolusi (kudeta yang berhasil)
Revolusi berarti suatu pergantian tatanan sosial. revolusi menstranfer kekuasaan dari tangan-
tangan kelas yang telah kehabisan tenaganya kepada kelas lain yang berada di atas
kekuasaan.
Runtuhnya negara karena revolusi sebabnya banyak dipengaruhi oleh faktor internal sebuah
negara dalam menjalankan fungsinya. Menurut Mac Iver, ada dua cara atau sebab lenyapnya
negara, yaitu : cara peperangan atau pemberontakan, dikarenakan revolusi (cara secundaire
wording), dan cara evolusioner, karena pertentangan intern atau percektokan dinasti (cara
premaire wording).
2)   Karena adanya Penaklukan
Penaklukkan terjadi jika suatu daerah belum ada yang menguasai kemudian diduduki oleh
suatu bangsa.
3)    Kerena adanya Persetujuan
4)    Karena adanya Penggabungan
Setelah adaanya penggabungan atau pemisahan dan juga penukaran nama, banyak
negara yang diantaranya sangat dikenal umum, telah hilang atau lenyap dari peta dunia.
Contohnya :
Jerman Timur dan Jerman Barat, bergabung pada tahun 1989 dan membentuk kesatuan
Jerman, sehingga negara Jerman Timur dan Jerman Barat menjadi lenyap.
Yaman Utara dan Yaman Selatan, Yaman pecah pada tahun 1967 dan membentuk dua negara
yaitu Yaman Utara (dikenal sebagai Republik Arab Yaman) dan Yaman Selatan ( dikenal
dengan nama Republik Demokratis Rakyat Yaman) sebelum kembali bersatu pada tahun
1990 dan kembali menjadi Yaman, sehi2ngga kedua negara Yaman yang dahulu yaitu yaman
Utara dan Yaman Selatan menjadi lenyap.
Contoh negara yang lenyap atau hilang di karenakan faktor sosial, misalnya adalah perang
antara Uni Soviet melawan Afghanistan. Uni Soviet memang salah satu negara yang hebat
pada zaman dahulu, Uni Soviet menguasai teknologi-teknologi canggih, khususnya dalam
mengembangkan senjataperangnya. Sedangkan Afghanistan tidak terlalu maju
pengembangan teknologinya, tetapi mereka sangat menguasai alam, menggunakan taktik
yang memanfaatkan alam negara mereka.
Jadi saat Uni Soviet menyerang, negara Afghanistan membuat bunker-bunker didalam tanah
yang berisi senjata-senjata yang di tempatkan dimana kemungkinan datangnya tentara-tentara
Uni Soviet, tentara Uni Soviet tidak pernah mengetahui itu, mereka sangat tidak menguasai
alam yang akan ditempatinya, jadi pada saat itu beratus-ratus ribu tentara Uni Soviet  mati.
Uni Soviet pun akhirnya jadi negara miskin karena kalah perang.
Pada saat itu tanggal 24 agustus 1991, Uni Soviet menghadapi kesulitan ekonomi, di dalam
negaranya semakin parah inflasi dan terjadi di mana-mana, selain itu kelompok militer mulai
terpecah-pecah dan negara-negara bagian semakin banyak yang menuntut kemerdekaan. 
Pada saat itulah seakan-akan timbul kekosongan kepemimpinan, apalagi dengan hal ini
kemudian disusul dengan pernyataan pengunduran diri Gorbachev sebagai sejen PKUS dan
sekaligus mengeluarkan dekrit pembubaran PKUS pada 24 agustur 1991.
Sehari sesudah peristiwa itu, Boris Yeltin mengambil alih kekuasaan, sayang sekali tindakan
Boris Yeltin tidak didukung semua negara bagian Uni Soviet, mereka malahan dengan
leluasa dapat melepaskan diri dari Uni Soviet.
Akibatnya, runtuhlah negara adidaya yang telah dibangun dengan susah payah itu, secara
resmi, pembubaran Uni Soviet berlangsung pada 8 Desember 1991, kemudian bendera Uni
Soviet diturunkan.
Dari uraian diatas mengenai Uni Soviet dan Afghanistan dapat disimpulkan bahwa negara itu
timbul dapat disebabkan karena peperanga, dan negara itu lenyap juga dapat dikerenakan
peperangan, walaupun tidak semata-mata muncul dan tenggelamnya negara adalah akibat
dari peperangan, melainkan juga faktor yang lain, termasuk faktor-faktor lain yang telah
diuraikan diatas.
Akibat peperangan negara yang kalah akan hancur dan muncul negara baru, demikian
seterusnya, jadi faktor peperangan merupakan yang turut serta menentukan hidup dan
matinya suatu negara.
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Lenyapnya suatu nengara dipengaruhi oleh dua faktor, diantaranya, faktor alam yang
disebabkan oleh gunung meletus, pulau yang ditelan air laut dan bencana alam lainnya. Dan
faktor sosial karena adanya penaklukan dan adanya revousi (kudeta yang berhasil),
perjanjian, penggabungan, seperti contohnya perang Uni Soviet melawan Afghanistan.
Selain itu teori lenyapnya negara menurut pandangan teoritis yaitu teori organis, teori anarkis,
teori marxisme, dan teori mati tuanya sebuah negara.
Jadi, hilangnya suatu negara atau lenyapnya suatu negara baik dikarenakan faktor alam
maupun sosial semuanya dapat mempengaruhi terhadap hilang atau runtuhnya suatu negara
yang dulunya ada dalam suatu percaturan dunia.

B.    Saran
  
DAFTAR PUSTAKA

            Aim Abdulkarim. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas X. Jakarta :


Grafindo Media Pratama. (Online). Tersedia di : https://books.google.co.id/books?
id=CN4AKakbBfkC&pg=PA10&lpg=PA10&dq=teori+organis&source=bl&ots=sO0RMEao
0F&sig=FxYhJH7mY9jNqk1ukkalFKUtNvs&hl=id&sa=X&ei=pfXmVPz7H87muQT1-
ID4BQ&redir_esc=y#v=onepage&q=teori%20organis&f=false 
Bagus Kurnia Wijaya. 2013. Teori asal mula negara dan bentuk negara. (Online). Tersedia
di : http://bagaskurniawijaya.blogspot.com/2013/04/teori-asal-mula-negara-dan-bentuk.html
John Koynja. 2014. Teori lenyapnya negara. (Online). Tersedia
di : https://www.scribd.com/doc/176237360/TEORI-LENYAPNYA-NEGARA
Nanang Ardhyansa. 2014. Ilmu negara tenggelamnya negara. (Online). Tersedia
di : http://nanangardhyansa17realmadrid.blogspot.com/2014/12/ilmu-negara-tenggelamnya-
negara.html
Soehino. 1996. Ilmu Negara. Yogyakarta : Liberty
Zharfan. 2011. Ilmu Negara. (Online). Tersedia
di :      http://zharfan29.blogspot.com/2011/04/ilmu-negara.html
http://hairinarina.blogspot.com/2015/08/teori-lenyapnya-negara-mata-kuliah-ilmu.html
( MALVIN )
http://lib.unnes.ac.id/39673/1/Dasar%20%E2%80%93%20Dasar%20Ilmu%20Negara.pdf
( ALIZA )
https://media.neliti.com/media/publications/18064-ID-prinsip-pengakuan-dalam-
pembentukan-negara-baru-ditinjau-dari-hukum-internasiona.pdf ( ALFIN )
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/pdfcoffee.com_proses-terjadinya-negara-pdf-free.pdf
( GRACE )
http://mariberbagi-ilmu2.blogspot.com/2015/02/timbulnyanegara-banyak-teori.html?m=1
( AINUR )

Anda mungkin juga menyukai