Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TENTANG PELAKSANAAN SURVEILANS PENYAKIT TB PARU

DI PUSKESMAS BUHIT KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR


TAHUN 2021

Disusun Oleh : Kelompok II

1. Achrom Lubis (2002022024)

2. Ashari Hasibuan (2002022006)

3. Desrina Nasution (2002022006)

4. Eodiah (2002022011)

5. Mutiara Ulina Simbolon (2002022025)

6. Rini Astuti Nasution (2002022020)

7. Serlina Simamora (2002022027)

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

INSTITUT KESEHATAN HELVETIA

MEDAN

2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................
A. 1.1. Latar Belakan.............................................................................................................3
B.  1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................6
C. 1. 3. Tujua.........................................................................................................................6
BAB  II PEMBAHAAN..........................................................................................................

A. 2.1. Latar Belakang Penyakit TB Paru.............................................................................7


B.  2.2 Rantai Penularan Penyakit TB Paru………............................................................8
C. 2.3. Justifikasi Pelaksanaan Surveilans TB Paru...........................................................9
D. 2.4. Pelaksanaan Surveilans di Puskesmas Buhit.........................................................10
BAB  II PENUTUP...........................................................................................................
A. 3.1. Kesimpulan…............................................................................................................13
B. 3.2. Saran…......................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain:
M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb, yang juga dikenal sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis
yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan
diagnosis dan pengobatan Tuberkulosis.

Sebagian besar kuman TB menyerang paru paru, tetapi dapat juga menyerang organ
atau bagian tubuh lainnya (misalnya: tulang,kelenjar, kulit, dll). Sekitar 75 % pasien TB Paru
adalah kelompok usia yangpaling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Pasien TB Paru
50% akanmeninggal jika tanpa pengobatan (Kemeneks RI, 2014). Sumber penularanadalah
pasien TB Paru BTA positif melalui percikan dahak yang dikeluarkannya.Namun, pasien TB
Paru dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinanmenularkan penyakit TB Paru.
Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirupudara yang mengandung percikan dahak
yang infeksius tersebut. Pada waktubatuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikandahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar3000 percikan dahak (Kemenkes RI, 2014). Mengingat mudahnya TB Paru menular
dan dapat menyebar ke organ tubuh lainnya, maka mencegah itu lebihbaik dari pada
mengobati. Pemerintah sudah menyediakan fasilitas pengobatan bagi penderita TB Paru
dengan penerapan strategi DOTS, melalui Puskesmas danRumah Sakit. Pengetahuan
masyarakat tentang deteksi dini TB Paru sangatdiperlukan untuk memberantas penyakit TB
Paru. Pengetahuan baik dapat menyadarkan masyarakat tentang deteksi dini TB Paru. Deteksi
dini merupakan suatu mekanisme yang berupa pemberian informasi secara tepat waktu
danefektif, agar masyarakat/ individu di daerah rawan mampu mengambil
tindakanmenghindari atau mengurangi resiko dan mampu bersiap-siap untuk meresponsecara
efektif.

3
Gejala utama pasien Tuberkulosis paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan
HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala Tuberkulosis yang khas, sehingga
gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.

Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan Tuberkulosis telah
dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995. Pada tahun 2018, diperkirakan ada 10 (9.0-
11.1) juta kasus Tuberkulosis baru (insiden) di seluruh dunia, di mana 5,7 juta adalah laki-
laki, 3,2 juta adalah perempuan dan 1,1 juta adalah anak-anak. Orang yang hidup dengan HIV
(Human Immunodeficiency Virus) menyumbang 9% dari total. Delapan negara menyumbang
66% dari kasus baru: India (27%), Cina (9%), Indonesia (8%), Filipina (6%), Pakistan (5%),
Nigeria (4%), Bangladesh (4%), dan Afrika Selatan (3%). Sekitar 1,5 (1,4-1,6) juta orang
meninggal karena Tuberkulosis. Secara global, angka kematian Tuberkulosis turun 42%
antara tahun 2000 dan 2018. Tingkat keparahan epidemi nasional sangat bervariasi di antara
negara-negara. Pada tahun 2018, ada kurang dari 10 kasus baru per 100.000 penduduk di
sebagian besar negara dengan populasi tinggi, 150 - 400 di sebagian besar dari 30 negara
dengan beban Tuberkulosis tinggi, dan di atas 500 di beberapa negara termasuk Mozambik,
Filipina, dan Afrika Selatan.

Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah India dan Cina dalam dalam
penemuan kasus Tuberkulosis pada tahun 2018. Jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2018
ditemukan sebanyak 566.623 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus Tuberkulosis
yang ditemukan pada tahun 2017 yang sebesar 446.732 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang
dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Kasus Tuberkulosis ditiga provinsi tersebut sebesar 44% dari
jumlah seluruh kasus Tuberkulosis di Indonesia.

Demikian juga dengan penemuan kasus TB di Kabupaten Samosir. Pada tahun 2016
Case Notification Rate/kasus baru yang tercatat dalam buku register kabupaten tercatat
sebanyak 115/100.000 penduduk TB Paru BTA positif dan pada tahun 2017 sebanyak
126/100.000 penduduk. Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian adalah
4
Case Detection Rate (CDR), yaitu proporsi jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang
ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan
ada dalam satu wilayah (Dinkes Samosir, 2017).

Kabupaten Samosir ditemukan 154 kasus TB semua tipe yaitu terdiri dari TB Paru
BTA positif, Ekstra Paru, Rontgen dan kambuh. Pada hasil penemuan kasus di Kabupaten
Samosir di dominasi pemeriksaan dahak untuk diagnosa TB Paru BTA positif dibandingkan
diagnosis yang lain yaitu sebanyak 61 persen. Data kasus di Kabupaten Samosir bersumber
dari 12 puskesmas yang menyebar di 9 kecamatan. Klasisifikasi penderita dari 154 kasus baru
yang ditemukan terdiri dari TB Paru sebanyak 135 kasus, Extra Paru sebanyak 12 kasus,
kambuh 6 kasus dan Dropout 1 kasus. Penyebaran kasus TB Paru BTA Positif berdasarkan
kelompok umur di Kabupaten Samosir masih tetap tinggi yaitu lebih kecil dari 34 tahun
sebesar 39 kasus, 34 hingga 54 tahun sebesar 65 kasus, 55 hingga 74 tahun sebesar 45 kasus
dan kelompok umur di atas 74 tahun sebesar 5 kasus. Pada kelompok umur 35 hingga 54
tahun merupakan kejadian TB Paru yang paling tinggi dimana usia ini adalah usia yang
produktif. Persentase kasus TB Paru BTA Positif di Kabupaten Samosir lebih dominan pada
jenis kelamin laki-laki sebesar 73 persen dibandingkan dengan perempuan sebesar 23 persen.

Berdasarkan fakta bahwa TB Paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat


yang mendasar di Kabupaten Samosir dengan trend angka penemuan kasus TB Paru BTA
positif di Kabupaten Samosir selama tiga tahun berturut-turut mulai dari tahun 2015 yaitu
sebesar 123/100.000 penduduk dari 164 kasus TB semua tipe, tahun 2016 yaitu 115/100.000
penduduk dari 262 kasus TB semua tipe, dan tahun 2017 dengan jumlah kasus baru
126/100.000 penduduk dari 252 kasus TB semua tipe. Survei pendahuluan yang dilakukan
pada tanggal 28 Juni 2018 ditemukan penderita TB Paru semua tipe yaitu 135 penderita TB
Paru (Rontgen positif dan BTA positif), kasus kambuh enam orang, Dropout satu orang dan
Ekstra Paru 12 orang penderita yaitu kategori anak.

5
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka penulis merumuskan


permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang / masalah penyakit TB paru?
2. Bagaimana rantai penularan penyakit TB paru?
3. Bagaimana justifikasi pelaksanaan surveilans TB paru?
4. Bagaimana konsep pelaksanaan surveilans TB paru di Puskesmas Buhit Kecamatan
Pangururan Kabupaten Samosir?

1. 3. Tujuan

Penulisan Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:

1. Mahasiswa mampu memahami latar belakang / masalah penyakit TB Paru.


2. Mahasiswa mampu memahami rantai penularan penyakit TB Paru.
3. Mahasiswa mampu memahami justifikasi pelaksanaan surveilans TB paru.
4. Mahasiswa mampu memahami konsep pelaksanaan surveilans TB paru.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Latar Belakang Penyakit TB Paru

TB Paru atau Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat hingga
saat ini. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang mudah menyebar karena penularan
melalui udara (airborne disease). Secara umum orang yang terinfeksi akan berkembang
menjadi penderita TB relatif kecil, tetapi kemungkinan tersebut menjadi lebih tinggi pada
orang dengan infeksi HIV. Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, dan
dua-pertiga kasus diperkirakan terjadi pada kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun
(WHO, 2011). Secara global jumlah kasus TB per tahun telah menurun sejak tahun 2006 dan
angka kejadian per 100.000 penduduk sejak tahun 2002 mengalami penurunan 1,3% per
tahun. Apabila tren tersebut berlanjut terus, diperkirakan target MDGs akan tercapai pada
tahun 2015. Tahun 2010 terdapat sekitar 8,8 juta insiden kasus TB dengan 1,1 juta
diantaranya meninggal dunia pada kasus HIV negatif dan 350.000 pada kasus HIV positif.
Sebagian besar jumlah kasus TB terdapat di Asia (58%), Afrika (26%) dan sisanya di Timur
Tengah (7%), Eropa (5%) dan Amerika (3%) (WHO, 2011). Mycobacterium tuberculosis
merupakan isu kesehatan global dan menjadi masalah kesehatan prioritas terutama di negara
berkembang seperti Indonesia. Tahun 2006 terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB Paru dan
diperkirakan 1,7 juta kematian (25/100.000) akibat TB. Sekitar 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negaraberkembang.

Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian karena
kehamilan, persalinan dan nifas (Kemenkes, 2011). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok
usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB
dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat
pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal
akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial yaitu stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes, 2011). Diperkirakan pada negara-negara dengan
pendapatan nasional yang tinggi, rata-rata kejadian TB adalah 10/100.000, sementara pada
7
negara dengan pendapatan rendah 20 kali lebih tinggi (WHO, 2005). Situasi TB di dunia
semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah
TB terbesar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO
mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). (Kemenkes, 2011). Secara
global, satu miliar orang hidup dengan kurang dari US$ 1 (satu dollar) sehari. Dua miliar
orang hidup di daerah kumuh perkotaan dan lingkungan yang sulit lainnya. Hidup mereka
ditandai oleh kondisi lingkungan yang keras, penuh sesak, ventilasi yang buruk dan gizi
buruk. Keadaan tersebut membuat mereka lebih rentan terhadap TB, mengakibatkan kondisi
keuangan dan sosial yang tidak aman. Saat ini, 95% dari kematian terkait TB terjadi di negara
berkembang (WHO, 2010). Setelah sekitar satu dekade Indonesia menduduki peringkat 3
(tiga) dunia dalam jumlah penderita TB, berdasar laporan Global Tuberculosis Control
(WHO, 2010), berdasar data tahun 2009 Indonesia telah mengalami penurunan jumlah kasus
dan menduduki peringkat ke-5 setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria. Berdasar
laporan tersebut, total seluruh kasus TB di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 294.731
dengan rincian 169.213 adalah kasus baru TB Paru BTA Positif, 108.616 kasus TB BTA
Negatif, 11.215 kasus TB Extra Paru, 3.709 kasus TB Kambuh.

2.2 Rantai Penularan Penyakit TB Paru

Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis


ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan
ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber penularan
adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif, bila penderita batuk, bersin atau berbicara saat
berhadapan dengan orang lain, basil Tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru
orang sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe
atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan. (Widoyono, 2008) Lingkungan yang kurang baik
sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam menularkan penyakit menular seperti
penyakit tuberkulosis. Menurut Azwar (1990), peranan faktor lingkungan sebagai
predisposing artinya berperan dalam menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya
sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab dalam daerah yang
endemis terhadap penyakit Tuberkulosis. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,

8
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Menurut Depkes RI (2008),
risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien Tuberkulosis
paru dengan BTA positif memberikan risiko penularan lebih besar
dari pasien Tuberkulosis Paru dengan BTA negatif. Setiap satu BTA positif akan menularkan
kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular Tubekulosis
adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga
serumah) akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah).(Widoyono,
2008) Angka risiko penularan infeksi Tuberkulosis setiap ditunjukan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi Tuberkulosis
selama satu tahun. ARTI di Indonesia sebesar 1-3% yang berarti di antara 100 penduduk
terdapat 1-3 warga yang terinfeksi Tuberkulosis. Setengah dari mereka BTAnya akan positif
(0,5%). (DepkesRI,2008)

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien Tuberkulosis


adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDSdan malnutrisi (gizi
buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi Tuberkulosis
menjadi sakit Tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan
tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunity), seperti
Tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Menurut Amin, Alsagaf dan Saleh yang dikutip Rajagukguk pada tahun 2008,
faktor-faktor yang erat hubungannya dengan infeksi basil Tuberkulosis adalah : Harus ada
sumber penularan, jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya
infeksi, cukup banyak dan terus menurus, virulensi (keganasan) basil, daya tahan tubuh yang
menurun sehingga memungkinkan basil Tuberkulosis berkembang biak.

2.3. Justifikasi Pelaksanaan Surveilans TB Paru

TB paru merupakan salah satu penyakit yang berpotensi terjadi KLB. Surveilans TB
paru terutama ditujukan untuk deteksi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan monitoring program
penanggulangan. Setiap letusan KLB dilakukan penyelidikan epidemiologi dan pemusatan
penularan serta pengambilan dan pemeriksaan spesimen.

9
2.4. Pelaksanaan Surveilans di Puskesmas Buhit

Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis sistematis terus menerus terhadap


data dan informasi tentang kejadian penyakit TB atau masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhinya untuk mengarahkan tindakan penanggulangan yang efektif dan efisien.
Surveilans TB diselenggarakan dengan berbasis indikator dan berbasis kejadian.
Surveilans TB berbasis indikator ditujukan untuk memperoleh gambaran yang akan
digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian program Penanggulangan TB.
Surveilans TB berbasis kejadian ditujukan untuk meningkatkan kewaspadaan dini dan
tindakan respon terhadap terjadinya peningkatan TB resistan obat. Hal ini menyebutkan agar
dibentuk unit surveilans dan unit pelaksana teknis surveilans serta dibentuk jejaring
surveilans antara unit-unit tersebut. (Permenkes 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis).

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam penyelenggaraan Surveilans TB dilakukan pengumpulan data secara aktif dan


pasif baik secara manual maupun elektronik.

1. Pengumpulan data secara aktif merupakan pengumpulan data yang diperoleh


langsung dari masyarakat atau sumber data lainnya.
2. Pengumpulan data secara pasif merupakan pengumpulan data yang diperoleh dari
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

2. Pengendalian Faktor Risiko TB Paru


Pengendalian faktor risiko TB ditujukan untuk mencegah, mengurangi penularan dan
kejadian penyakit TB. Pengendalian faktor risiko TB dilakukan dengan cara:

a. Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat;

b. Membudayakan perilaku etika berbatuk;

c. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan


lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat.
d. Peningkatan daya tahan tubuh;

e. Penanganan penyakit penyerta TB; dan

10
f. Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan
di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan

3. Penemuan dan Penanganan Kasus TB


Penemuan kasus TB secara aktif dilakukan melalui:

1. investigasi dan pemeriksaan kasus kontak;


2. skrining secara massal terutama pada kelompok rentan dan kelompok berisiko; dan
3. skrining pada kondisi situasi khusus.

Penemuan kasus TB secara pasif dilakukan melalui pemeriksaan pasien yang datang
ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Penemuan kasus TB ditentukan setelah dilakukan
penegakan diagnosis, penetapan klasifikasi dan tipe pasien TB.

4. Tata Laksana Kasus Tb Paru

Tata laksana kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
pedoman nasional pelayanan kedokteran tuberkulosis dan standar lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Penanganan kasus dalam Penanggulangan TB
dilakukan melalui kegiatan tata laksana kasus untuk memutus mata rantai penularan dan/atau
pengobatan pasien adalah :
a. Pengobatan dan penanganan efek samping di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;

b. Pengawasan kepatuhan menelan obat;

c. Pemantauan kemajuan pengobatan dan hasil pengobatan; dan/atau


d. pelacakan kasus mangkir.

Setiap pasien TB berkewajiban mematuhi semua tahapan dalam penanganan kasus TB


yang dilakukan tenaga kesehatan.

5. Pemberian Kekebalan
Pemberian kekebalan dalam rangka Penanggulangan TB dilakukan melalui imunisasi
BCG terhadap bayi. Penanggulangan TB melalui imunisasi BCG terhadap bayi dilakukan
dalam upaya mengurangi risiko tingkat keparahan TB.

6. Pemberian Obat Pencegahan

11
Pemberian obat pencegahan TB ditujukan pada:

a. Anak usia di bawah 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan pasien TB aktif;

b. Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak terdiagnosa TB; atau

c. Populasi tertentu lainnya.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan obat
dan perbekalan kesehatan dalam penyelenggaraan Penanggulangan TB, yang meliputi:

a. Obat Anti Tuberkulosis lini 1 dan lini 2;

b. Vaksin untuk kekebalan;

c. Obat untuk pencegahan Tuberkulosis;

d. Alat kesehatan; dan

e. Reagensia.

7. Pencatatan dan Pelaporan Kasus TB Paru


a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
setiap kejadian penyakit TB.
b. Pencatatan dan pelaporan pasien TB untuk klinik dan dokter praktik perorangan
disampaikan kepada Puskesmas setempat.
c. Puskesmas harus melaporkan jumlah pasien TB di wilayah kerjanya kepada dinas
kesehatan kabupaten/kota setempat.
d. Pelaporan pasien TB dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan
disampaikan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
e. Dinas kesehatan kabupaten/kota melakukan kompilasi pelaporan dan melakukan
analisis untuk pengambilan kebijakan dan tindak lanjut serta melaporkannya ke dinas
kesehatan provinsi.
f. Dinas kesehatan provinsi melakukan kompilasi pelaporan melakukan analisis untuk
pengambilan rencana tindak lanjut serta melaporkannya kepada Menteri dengan
tembusan Direktur Jenderal yang memiliki tugas dan fungsi di bidang pencegahan dan
pengendalian penyakit.
g. Pelaporan disampaikan setiap 3 (tiga) bulan.

12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. TB Paru atau Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat hingga saat ini. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang
mudah menyebar karena penularan melalui udara (airborne disease).TB Paru
merupakan penyakit menular yang ditularkan melalui droplet, sumber penularan
adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif, bila penderita batuk, bersin atau
berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil Tuberkulosis tersembur dan
terhisap ke dalam paru orang sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain
melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung ke organ terdekat. Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Masa inkubasinya selama
3-6 bulan.
2. Surveilans TB paru terutama ditujukan untuk deteksi Kejadian Luar Biasa (KLB)
dan monitoring program penanggulangan. Terdapat pula masalah atau kendala
pelaksanaan surveilans TB paru, diantaranya ketidakakuratan data, tidak
lengkapnya data, belum ada penguatan pelaksanaan surveilans di tatanan
struktural dinas kesehatan, dan ketepatan data masih rendah. Indikator utama
pelaksanaan surveilans TB paru meliputi indikator di provinsi, nasional, dan
internasional.

3.2. Saran
Diharapkan agar pelaksanaan surveilans penyakit TB paru dapat berlangsung secara
teratur dan sesuai pedoman yang ada agar upaya penanggulangan penyakit TB paru dapat
termonitor dengan baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Samosir. (2018). Samosir dalam Angka. Diakses dari
https://samosirkab.bps.go.id/publication/2018/08/16/65990ba288
f439c515bdb1f5/kabupaten-samosir-dalam-angka-2018.html
Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir. (2016). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir Tahun
2016. Diakses dari
https://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KAB_KOTA_2016/1217_
Sumut_Kab_Samosir_2016.pdf

Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir. (2017). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Samosi Tahun
2017. Diakses dari
https://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KAB_KOTA_2017/1113_
Aceh_Kab_Gayo_Lues_2017.pdf

Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2014. Diakses melalui


http://ditjenpp.kemenkumham.go.id

14

Anda mungkin juga menyukai