Anda di halaman 1dari 33

REFORMASI POLITIK HUKUM KETENAGAKERJAAN

DALAM KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA

Ujang Charda S.
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Subang
E-mail: ujangch@gmail.com

Abstract

Development paradigm in the ϔield of manpower should be reformed. It tended to see


the labors as production factors, or subjects of production process in the development with
their all dignities. The change of this paradigm eventually will lead and decide legal politic
of government policy in the ϔield of manpower through resolutive and compositive change by
considering the labors as the subjects and propotionally takes into account every aspect of a
holistic unit. In order to make the reformative legal political policynot to be considered good
in terms of the material course, so it should be implemented through the program which is
emphasized not only on its instrument but also access which boosts quantitively and educate
qualitatively in developing the system of balance between reality and it is supposed to be.

Keywords: reform; paradigm; manpower; legal politic; policy.

Abstrak

Paradigma pembangunan di bidang ketenagakerjaan perlu direformasi yang dulu


cenderung melihat pekerja sebagai faktor produksi dan atau bagian dari komoditi, harus
diubah kepada pekerja sebagai manusia Indonesia seutuhnya atau sebagai subjek/
pelaku proses produksi dalam pembangunan dengan segala harkat dan martabatnya.
Perubahan paradigma ini pada akhirnya akan mengarah dan menentukan politik hukum
kebijakan pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan melalui suatu perubahan yang
resolutif-kompositif dengan memandang pekerja sebagai subjek dan secara proporsional
memperhitungkan seluruh aspek dalam suatu kesatuan yang holistik. Agar kebijakan
politik hukum yang reformatif ini tidak dipandang hanya bagus dimaterinya saja, maka
perlu diimplementasikan melalui program yang titik beratnya bukan hanya sekedar
instrumen tetapi akses yang mendorong kuantitatif dan mendidik kualitatif dalam
membangun sistem keseimbangan antara yang seharusnya dengan kenyataan.

Kata Kunci: Reformasi, paradigma, ketenagakerjaan, politik hukum, kebijakan.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 121


A. PENDAHULUAN Sejarah membuktikan bahwa
Cara pandang terhadap pekerja pandangan dasar itu gagal, bahkan
merupakan penentu paradigma dan politik Orde Baru mewariskan kebangkrutan
ketenagakerjaan. Oleh karena itu, menjadi perekonomian nasional dan utang luar
penting untuk memulai pembahasan negeri yang sudah melampaui batas
dalam hal ini. Pertama, adalah pandangan psikologisnya.4 Oleh karena itu, strategi
tentang manusia dan kerja. Kedua, kebijakan pembangunan hendaknya
relasi antara manifestasi kerja (tenaga) merubah orientasinya dari trilogi Orde
dengan upah. Ketiga, hak dasar pekerja.1 Baru yang gagal menjadi pendekatan
Membahas ketiga hal tersebut, menjadi keseimbangan pemenuhan kebutuhan
jelas posisi pekerja dalam konteks kerja, dasar manusia yang manusiawi, karena
upah dan pekerjaan dengan hanya dengan demikian, dalam posisinya yang
menjual tenaga. Selama ini ketiga aspek sentral dalam pembangunan sebagai
lebih dipandang dari sudut produksi instrumen dalam rangka mencapai
dan ekonomi belaka, padahal dimensi kebutuhan dasar manusia.5 Selama
manusia, kerja, tenaga, upah dan alamiah ini paradigma lama selalu membela
(dasar) pekerja multidimensi dan dalam kepentingan pengusaha, segala peraturan
pola hubungan yang kompleks bahkan perusahaan selalu dipermudah. Tidak
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.2 hanya itu, dalam praktiknya pengusaha
Reduksi manusia yang mutidimensi ini juga melakukan kesewenang-wenangan,
menjadi hanya ekonomis semata, bahkan yang mana upah pekerja dibayar murah
menjadi alat produksi yang merupakan dan bila ada protes dari pekerja, pengusaha
instrumen produktivitas menjadikan mengerahkan militer untuk menindasnya,
posisi pekerja hanya komoditi dalam negara membiarkan hal itu terjadi. Oleh
pasar tenaga kerja. Dehumanisasi inilah karena itu, paradigma lama tersebut harus
yang menjadi pandangan dasar selama ini sudah diubah.6
terhadap pekerja, sehingga pada proses Berdasarkan pandangan dasar yang
selanjutnya pekerja semakin teralienasi disebutkan di atas, maka kebijakan atau
(terasing) dengan kodrat dasarnya politik ketenagakerjaan berorientasi
sebagai manusia di muka bumi ini. Posisi pada pengembalian posisi pekerja kepada
yang demikian ini semakin memperoleh itrahnya sebagai manusia yang jelas
legitimasi dari orientasi pembangunan harkat dan martabatnya. Pengembalian
Orde Baru yang bertumpu pada citra kemanusiaan pada diri pekerja
pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan ini dalam bentuk promosi hak dan
distribusi melalui trickle down effect.3 perlindungannya, termasuk di dalamnya

1
Eggi Sudjana, Nasib & Perjuangan Buruh di Indonesia, Renaisan, Jakarta, 2005, hlm. 27.
2
Idem.
3
Ibid., hlm. 28.
4
Idem.
5
Idem.
6
Idem.

122 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


adalah akses pemilikan terhadap kekayaan 3. Perlindungan hak pekerja.
(perusahaan) yang secara hakikat adalah 4. Kesejahteraan spiritual pekerja.
milik Allah SWT.7 Di dalam merealisasikan Sesuai dengan semangat Indonesia
program politik ketenagakerjaan yang baru, paradigma pembangunan politik
demikian, maka dibutuhkan agenda kerja hukum di bidang ketenagakerjaan perlu
sebagai berikut:8 direformasi. Paradigma lama yang
1. Meningkatkan program pembinaan cenderung melihat pekerja sebagai faktor
pandangan dasar dari orientasi produksi dan atau bagian dari komoditi,
pembaharuan pekerja Indonesia. harus diubah kepada pekerja sebagai
2. Meningkatkan dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya atau
kualitas pekerja Indonesia. sebagai subjek produksi pembangunan.
3. Membangun kemitraan sejati sesuai Perubahan paradigma ini pada akhirnya
dengan pandangan dasar, sehingga akan mengarah dan menentukan kebijakan
tercipta saling mempunyai loyalitas, pemerintah menjadi pro pekerja melalui
integritas dan profesional di segala suatu perubahan yang resolutif-kompositif,
bidang. artinya dengan memandang pekerja
4. Dalam mengatasi kon lik sebagai subjek dan secara proporsional
ketenagakerjaan, maka diperlukan memperhitungkan seluruh aspek dalam
pelayanan mediator bila terjadi suatu kesatuan yang holistik.
perselisihan serta pembelaan hukum
bagi kaum pekerja. B. PEMBAHASAN
5. Memberikan pelayanan informasi 1. Konsep Dasar Kebijakan Politik
tentang peluang kerja bagi pekerja. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
6. Setiap pekerja sepakat dan setuju a. Arah dan Kebijakan Perencanaan
dengan visi, misi dan tujuan yang Hukum Ketenagakerjaan
sesuai dengan pandangan dasar. Pada dasarnya masalah
Agenda politik ketenagakerjaan ketenagakerjaan merupakan agenda
tersebut akan operasional apabila sosial, politik, dan ekonomi yang cukup
terdapat suatu kondisi yang mendukung- krusial di negara-negara modern, sebab
nya, baik secara sistematik maupun masalah ketenagakerjaan sebenarnya
kulturnya. Di dalam mempersiapkan tidak hanya hubungan antara para tenaga
kondisi tersebut, maka diperlukan suatu kerja dengan pengusaha, tetapi secara
tindakan aktual, yaitu:9 lebih luas juga mencakup persoalan
1. Membangun kekuatan pekerja. sistem ekonomi dari sebuah negara dan
2. Hubungan sosial pekerja dengan sekaligus sistem politiknya. Oleh karena
produksinya (pekerja pemilik aset itu, ekonomi dan politik suatu negara
perusahaan). akan sangat menentukan corak dan warna

7
Idem.
8
Idem.
9
Ibid., hlm. 28-44.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 123


dari suatu sistem ketenagakerjaan yang rasional sumber daya alam dengan
diberlakukannya.10 memperhatikan daya dukungnya.
Persoalan ketenagakerjaan sangat 2) Pengembangan industri yang
ditentukan oleh sistem ekonomi yang memperkuat kemampuan dan
sasarannya pada tahun 2025 diarahkan pembangunan jaringan interaksi,
pada perencanaan sasaran-sasaran pokok komunikasi, dan informasi, baik
sebagai berikut:11 untuk kepentingan domestik maupun
1) Terbangunnya struktur perekonomian dalam kaitannya dengan dinamika
yang kokoh, di mana pertanian dan globalisasi.
pertambangan menjadi basis aktivitas 3) Pengembangan industri yang
ekonomi yang menghasilkan produk- memperkuat integrasi dan struktur
produk secara e isien dan modern, keterkaitan antar industri ke depan.
industri manufaktur yang berdaya Dengan prinsip tersebut, focus
saing global menjadi motor penggerak pengembangan industri hingga 2025
perekonomian dan jasa menjadi diarahkan pada 4 (empat) pilar utama,
perekat ketahanan ekonomi. yaitu:13
2) Pendapatan per kapital pada tahun 1) Industri yang berbasis pertanian dan
2025 mencapai sekitar US$ 6,000 kelautan.
dengan tingkat pemerataan yang 2) Industri transportasi.
relatif baik dan jumlah penduduk 3) Industri teknologi informasi dan
miskin tidak lebih dari 5 persen. peralatan telekomunikasi (telematika).
3) Kemandirian pangan dapat 4) Basis industri manufaktur yang
dipertahankan pada tingkat aman potensial dan strategis untuk
dan dalam kualitas gizi yang memadai penguatan daya saing industri ke
serta tersedianya instrumen jaminan depan.
pangan untuk tingkat rumah tangga. Untuk mendorong visi pembangunan
Dengan keunggulan komparatif ekonomi Indonesi tahun 2025 itu,
sebagai negara berpenduduk besar pemerintah Indonesia telah menetapkan
dengan wawasan, kemampuan, dan daya delapan program utama dan delapan belas
kreasi tinggi, serta memiliki bentang alam aktivitas ekonomi. Kedelapan program
yang luas dan kekayaan sumber daya alam, utama yang akan didorong itu adalah
basis keunggulan kompetitif industri perindustrian, pertambangan, pertanian,
tahun 2025 dikembangkan berdasarkan 3 kelautan, pariwisata, telekomunikasi,
(tiga) prinsip utama, yaitu:12 energi dan pengembangan kawasan.
1) Pengembangan industri yang Pada program perindustrian terdapat
mengolah secara e isien dan enam aktivitas ekonomi utama, yakni

10
Abdul Jalil, Teologi Buruh, LKIS Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hlm. v-vi.
11
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenagakerjaan di Indonesia, Kantor ILO,
Jakarta, 2011, hlm. 41.
12
Ibid., hlm. 41-42.
13
Idem.

124 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


pengembangan industri baja, makanan yang menganut sistem hukum Eropa
dan minuman, industri tekstil, mesin Kontinental (Civil Law).16
dan peralatan transportasi, industri Tipe korporatis digunakan, karena
perkapalan, serta pengembangan industri model hubungan kerja yang hendak
pangan, sedangkan dalam program ditumbuhkan adalah harmoni model,
pertambangan ada tiga aktivitas utama, yaitu:17
yakni pengembangan pengolahan nikel, 1) Para pihak tidak memiliki kebebasan,
pengeolahan tambang, dan pengolahan melainkan dikuasai oleh pemerintah
bauksit. Adapun pada program pertanian melalui ketentuan-ketentuan hukum
pada aktivitas pengembangan kelapa yang bersifat represif.
sawit dan karet.14 2) Konsensus (kerjasama) diharuskan
Visi Indonesia di bidang ekonomi dengan melarang terjadinya kon lik
tersebut harus diikuti dengan (pemogokan).
perkembangan dunia ketenagakerjaan 3) Diwajibkan menggunakan
yang selama ini persoalan ketenagakerjaan penyelesaian secara damai dan
sangat ditentukan oleh sistem ekonomi melarang penggunaan cara-cara
dunia, sehingga mempengaruhi arah paksaan (mogok atau pun out lock).
kebijakan hukum ketenagakerjaan yang Sementara itu, dalam tipe hukum
melahirkan tipe hukum ketenagakerjaan ketenagakerjaan yang kontraktualis
seperti yang dikemukakan oleh hubungan kerja lebih didasarkan pada
Tamara Lothion yang membedakan kekuatan tawar menawar (bargaining
tipe hukum ketenagakerjaan ke dalam position) tenaga kerja terhadap pengusaha,
tipe kontraktualis dan tipe korporatis. pemerintah bukan sebagai pihak yang
Tipe korporatis ini di bidang hukum aktif membuat regulasi ketenagakerjaan,
ketenagakerjaan dilakukan melalui melainkan hanya bertindak memfasilitasi
praktik kebijakan legislasi dalam bentuk organisasi tenaga kerja dengan menjamin
pembentukan peraturan perundang- hak berorganisasi,18 maka ciri ini menunjuk
undangan sebagai usaha pemerintah untuk pada tipe koalisi yang memiliki ciri
melakukan pembinaan hukum nasional.15 hubungan kerja harmonis dan hubungan
Hal ini semakin mendapatkan dasar kerja kon lik.19
pembenaran, jika dihubungkan dengan Tipe kontraktualis ini merupakan
sistem hukum yang dianut Indonesia konsep kapitalis yang menghendaki agar
sejak awal kemerdekaan berdasarkan negara tidak terlalu ikut mencampuri
asas konkordansi (dari hukum Belanda) persoalan pekerja dengan pengusaha,

14
Idem.
15
Ujang Charda S., ”Reorientasi Reformasi Model Hukum Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Pemerintah”,
Jurnal Ilmu Hukum Syiar Hukum, Vol. XIV No. 1, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, Maret 2012, hlm. 9.
16
Aloysius Uwiyono, “Implikasi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi”, Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 22 No. 5, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2003, hlm. 43.
17
Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum, Sofmedia, Medan, 2011, hlm. 10.
18
Idem.
19
Idem.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 125


melainkan diserahkan kepada mekanisme pembangunan ekonomi dengan saling
pasar dengan sistem ϔlexible worker, melengkapi.
tetapi kembali kepada tujuan hukum Negara sebagai badan hukum
ketenagakerjaan serta peran pemerintah publik, sebagai korporasi harus mampu
masih sangat dibutuhkan dan meniadakan memposisikan dirinya sebagai regulator
campur tangan negara bukan solusi yang yang bijak melalui sarana pembentukan
benar-benar tepat.20 Untuk itu, antara dan pelaksanaan hukum ketenagakerjaan,
peran pasar dan campur tangan negara karena hukum ketenagakerjaan akan
maupun antara pembangunan ekonomi menjadi sarana utama untuk menjalankan
dengan pendekatan pasar dan normatif kebijakan pemerintah di bidang
(konstitusional) harus saling melengkapi, ketenagakerjaan itu sendiri. Kebijakan
dikarenakan menjalankan pembangunan ketenagakerjaan (labor policy) di Indonesia
ekonomi dalam kevakuman politik adalah dapat dilihat dalam UUD 1945 sebagai
hal yang mustahil, karena:21 konstitusi negara dan juga peraturan
1) Peran pasar sangat penting dalam perundang-undangan yang terkait. Oleh
rangka perusahaan memaksimalkan karena itu, peran negara sangat penting
keuntungan dan individu serta dalam pengaturan keberadaan hukum
masyarakat memaksimalkan kesejah- ketenagakerjaan, hal ini disebabkan pihak
teraan, namun peran pemerintah yang dilibatkan dalam hubungan kerja
penting juga dalam melakukan koreksi umumnya berada pada posisi yang tidak
terhadap kegagalan pasar. seimbang.22
2) Peran konstitusi dan aturan main O. Kahn Freund menyatakan, bahwa
dalam pembuatan kebijakan ekonomi timbulnya hukum ketenagakerjaan
sangat penting untuk memastikan dikarenakan adanya ketidaksetaraan
kebijakan ekonomi yang baik dalam posisi tawar yang terdapat dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan hubungan kerja (antara tenaga kerja
masyarakat untuk jangka panjang. dengan pengusaha) dengan alasan
3) Kebijakan ekonomi dalam mengejar itu pula dapat dilihat, bahwa tujuan
pertumbuhan maupun pemerataan utama hukum ketenagakerjaan adalah
hasil sangat berkaitan dengan proses agar dapat meniadakan ketimpangan
politik yang berlangsung terus hubungan di antara keduanya yang timbul
menerus. Kebijakan ekonomi tidak dalam hubungan kerja,23 bahkan asas
berjalan dalam kevakuman politik, kebebasan berkontrak dalam perjanjian
karena secara praktis pendekatan kerja digambarkan oleh H. Sinzheimer
normatif atau konstitusional dapat tidak lebih dari sebuah kepatuhan secara
memberikan arahan yang jelas bagi sukarela terhadap kondisi-kondisi yang

20
Idem.
21
Ibid., hlm. 11-12.
22
Idem.
23
O. Kahn Freund dan H. Sinzheimer dalam Ibid., hlm. 13.

126 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


telah ditetapkan secara sepihak oleh tenaga kerja diatur melalui jalan legislasi
pengusaha.24 dalam bentuk peraturan perundang-
Senada dengan hal tersebut, menurut undangan sebagai instrumen kebijakan
G. Ripert diaturnya masalah kerja dalam pemerintah dalam usaha untuk melakukan
hukum sosial tersendiri (dalam hal ini pembinaan hukum nasional dalam
hukum ketenagakerjaan) adalah akibat mendayagunakan hukum sebagai sarana
kenyataan sosial yang dalam kehidupan merekayasa masyarakat.28 Kebijakan
ekonomis mengalami pergeseran legislasi dalam proses penegakan
perlindungan kepentingan dalam hukum ketenagakerjaan diawali dengan
kontrak/perjanjian kerja yang merupakan proses penetapan/pembuatan hukum
kepentingan umum yang tidak dapat lagi ketenagakerjaan terlebih dahulu oleh
diabaikan berdasarkan asas kebebasan badan pembuat undang-undang.
individu serta otonomi individu dalam Tahap ini dapat disebut sebagai tahap
mengadakan kontrak/perjanjian kerja.25 kebijakan legislasi/formulatif.29 Dilihat
Lebih lanjut Ripert menyatakan, bahwa dari keseluruhan proses penegakan
kekuatan politik tenaga kerja sebagai hukum ketenagakerjaan, tahap kebijakan
faktor utama yang mendorong hukum legislasi/formulatif ini merupakan tahap
ketenagakerjaan menjadi bagian dari yang paling strategis. Oleh karena itu,
hukum publik.26 Bergesernya persepsi kesalahan/kelemahan kebijakan legislasi
ini tidak lepas dari pengalaman sejarah merupakan kesalahan strategis yang
negara, seperti di Perancis yang telah dapat menghambat upaya penegakan
membuktikan gerakan politik pekerja/ hukum pada tahap berikutnya, yaitu
buruh mampu membawa ke arah tahap aplikatif/kebijakan yudikatif dan
revolusi, begitu juga di Inggris pada abad tahap eksekusi/kebijakan administratif.30
pertengahan 18 terjadi revolusi industri.27 Apabila hal ini terjadi, maka reformasi
Berdasarkan uraian di atas, tipe hukum, apalagi supremasi hukum hanya
hukum ketenagakerjaan Indonesia dalam akan tetap sebagai harapan belaka.31
perlindungan hukum terhadap tenaga Norma dasar memberikan landasan
kerja adalah tipe hukum ketenagakerjaan bagi aturan dasar yang merupakan
yang korporatis. Dalam tipe hukum tatanan suatu negara dalam bentuk
korporatis ini, perlindungan terhadap Undang-Undang Dasar atau konstitusi

24
H. Sinzheimer dalam Ibid., hlm. 13.
25
Idem.
26
Idem.
27
Marsen Sinaga, Pengadilan Perburuhan di Indonesia (Tinjauan Hukum Kritis atas Undang-Undang PPHI),
Semarak Cemerlang Nusa (SCN), Yogyakarta, 2006, hlm. 11.
28
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional : Dinamika Sosial Politik dalam
Perkembangan Hukum di Indonesia, RajaGra indo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 231.
29
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,
Utomo, Bandung, 2004, hlm. 8.
30
Idem.
31
Idem.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 127


tertulis, maka aturan dasar tersebut pada merupakan a paper constitutional atau a
gilirannya merupakan landasan hukum semantic constitutional dengan mengakui
perundang-undangan (gesetzesrecht) yang hak warga negaranya untuk mendapatkan
berlaku dalam negara.32 Oleh karena itu, pekerjaan,33 maka sebenarnya Indonesia
UUD 1945 sebagai landasan konstitusional telah bertekad dan memutuskan untuk
merupakan arah politik hukum ketenaga- melenyapkan pengangguran, sehingga
kerjaan nasional yang dimuat pada Alinea negara berani memasukan pasal tersebut
Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu: dalam konstitusinya.34 Oleh karena
“...melindungi segenap bangsa Indonesia itu, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 harus
dan seluruh tumpah darah Indonesia, ditafsirkan sebagai berikut: 35
memajukan kesejahteraan umum...” yang “...bahwa pemerintah berkewajib-
berkorelasi dengan Pasal 1 ayat (3) UUD an untuk memberantas pengangguran
1945, bahwa: “Negara Indonesia adalah dan harus mengusahakan supaya
negara hukum.” setiap warga negara bisa mendapat
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut pekerjaan dengan na kah yang layak
dapat dikorelasikan dengan pasal-pasal untuk hidup, bukan hanya asal bekerja
yang mengatur tentang ketenagakerjaan, saja sekalipun dengan penindasan
seperti Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: atau eksploitasi, melainkan harus
“Tiap-tiap warga negara berhak atas layak untuk penghidupan.”
pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”, Pasal 28D ayat (2) Secara fundamental hukum
berbunyi: “Setiap orang berhak untuk ketenagakerjaan Indonesia bukan hanya
bekerja serta mendapat imbalan dan harus berlandaskan pada Pasal 27 ayat
perlakuan yang adil dan layak dalam (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat
hubungan kerja”. Kemudian dipertegas (2) UUD 1945, tetapi berlandaskan pula
oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang pada Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, sebagai berikut: mengatur tentang dasar perekonomian
“Setiap orang berhak bebas dari negara Indonesia yang secara historis
perlakuan yang bersifat diskriminatif pernah dikemukakan oleh Moch. Hatta
atas dasar apapun dan berhak yang memberikan konseptual Pasal 33
mendapatkan perlindungan terhadap dengan istilah demokrasi ekonomi dengan
perlakuan yang bersifat diskriminatif mengedepankan kemakmuran rakyat dan
itu”. bukan kemakmuran orang perseorangan,
sehingga perekonomian Indonesia disusun
Menurut Ismail Sunny, ketentuan sebagai usaha bersama berdasarkan asas
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 di atas kekeluargaan.36

32
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 52.
33
Ismail Sunny, Hak Asasi Manusia, Yarsif Watampone, Jakarta, 2004, hlm. 8-9.
34
Idem.
35
R. Wiyono, Garis Besar Pembahasan dan Komentar UUD 1945, Alumni, Bandung, 1976, hlm. 194-195.

128 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


Sementara itu, di dalam Undang- yang meliputi terjaminnya hak
Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur pengusaha dan pekerja.
lebih lanjut mengenai arah kebijakan 8) Memberikan perlindungan tenaga
pemerintah dalam pembangunan kerja yang meliputi keselamatan
hukum ketenagakerjaan adalah dengan dan kesehatan kerja, pengupahan,
mengikutsertakan unsur dunia usaha jamsostek, serta syarat kerja.
dan masyarakat, melakukan pembinaan Dalam pembangunan ketenagakerjaan,
terhadap segala kegiatan yang ber- pemerintah menetapkan kebijakan dan
hubungan dengan ketenagakerjaan yang menyusun perencanaan tenaga kerja.
pelaksanaannya dilakukan secara terpadu Perencanaan tanaga kerja meliputi:38
dan terkoordinasi. Pembangunan hukum 1) Perencanaan tenaga kerja makro
ketenagakerjaan, sasarannya diarahkan Proses penyusunan rencana
kepada pembinaan tenaga kerja untuk:37 ketenagakerjaan secara sistematis
1) Mewujudkan perencanaan tenaga yang memuat pendayagunaan tenaga
kerja dan informasi ketenagakerjaan. kerja secara optimal dan produktif
2) Mendayagunakan tenaga kerja guna mendukung pertumbuhan
secara optimum serta menyediakan ekonomi atau sosial, baik secara
tenaga kerja yang sesuai dengan nasional, daerah, maupun sektoral,
pembangunan nasional. sehingga dapat membuka kesempatan
3) Mewujudkan terselenggaranya pelatih- kerja seluas-luasnya, meningkatkan
an kerja yang berkesinambungan guna produktivitas kerja dan meningkatkan
meningkatkan kemampuan, keahlian, kesejahteraan pekerja.
dan produktivitas tenaga kerja. 2) Perencanaan tenaga kerja mikro
4) Menyediakan informasi pasar kerja, Proses penyusunan rencana
pelayanan penempatan tenaga kerja ketenagakerjaan secara sistematis
yang sesuai dengan bakat, minat, dalam suatu instansi, baik instansi
dan kemampuan tenaga kerja pada pemerintah maupun swasta dalam
pekerjaan yang tepat. rangka pendayagunaan tenaga kerja
5) Mewujudkan tenaga kerja mandiri. secara optimal dan produktif untuk
6) Menciptakan hubungan yang harmonis mendukung pencapaian kinerja yang
dan terpadu antara pelaku proses tinggi pada instansi atau perusahaan
produksi barang dan jasa dalam yang bersangkutan.
mewujudkan hubungan industrial Di dalam menyusun kebijakan, strategi,
Pancasila. dan pelaksanaan program pembangunan
7) Mewujudkan kondisi yang harmonis yang berkesinambungan, pemerintah harus
dan dinamis dalam hubungan kerja berpedoman kepada perencanaan tenaga

36
Moch. Hatta dalam Sri Bintang Pamungkas, Pokok-pokok Pikiran tentang Demokrasi Ekonomi dan
Pembangunan, Yayasan Daulat Rakyat, Jakarta, 1996, hlm. 1.
37
Ujang Charda S Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Sejarah, Teori & Praktiknya di Indonesia),
Fakultas Hukum Universitas Subang, Subang, 2015, hlm. 29.
38
Pasal 7 ayat (2) dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 129


kerja yang disusun atas dasar informasi dan/atau mengembangkan kompetensi
ketenagakerjaan yang antara lain meliputi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan
penduduk dan tenaga kerja, kesempatan kemampuannya melalui pelatihan kerja.43
kerja, pelatihan kerja termasuk kompensasi Pengusaha bertanggung jawab atas
kerja, produktivitas tenaga kerja, hubungan peningkatan dan/atau pengembangan
industrial, kondisi lingkungan kerja, peng- kompetensi pekerjanya melalui pelatih-
upahan dan kesejahteraan tenaga kerja, an kerja.44 Pengguna tenaga kerja
dan jaminan sosial tenaga kerja.39 terampil adalah pengusaha, oleh karena
itu pengusaha bertanggung jawab
b. Kebijakan dalam Pelatihan Kerja mengadakan pelatihan kerja untuk
Pelatihan kerja diselenggarakan meningkatkan kompetensi pekerjanya.45
dan diarahkan untuk membekali, Oleh karena itu, peningkatan dan/atau
meningkatkan, dan mengembangkan pengembangan kompetensi diwajibkan
kompetensi kerja guna meningkatkan bagi pengusaha yang memenuhi
kemampuan, produktivitas, dan kese- persyaratan yang diatur dengan Keputusan
jahteraan. Peningkatan kesejahteraan ini Menteri.46 Peningkatan dan/atau pengem-
adalah kesejahteraan bagi tenaga kerja bangan kompetensi diwajibkan bagi
yang diperoleh karena terpenuhinya pengusaha, karena perusahaan yang akan
kompetensi kerja melalui pelatihan kerja.40 memperoleh manfaat hasil kompetensi
Pelatihan kerja dilaksanakan dengan pekerja/buruh.47
memperhatikan kebutuhan pasar kerja Setiap pekerja/buruh memiliki
dan dunia usaha, baik di dalam maupun di kesempatan yang sama untuk mengikuti
luar hubungan kerja yang diselenggarakan pelatihan kerja sesuai dengan bidang
berdasarkan program pelatihan yang tugasnya. Pelaksanaan pelatihan kerja
mengacu pada standar kompetensi kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta
dapat dilakukan secara berjenjang41 yang kesempatan yang ada di perusahaan
ketentuan mengenai tata cara penetapan agar tidak mengganggu kelancaran
standar kompetensi kerja diatur dengan kegiatan perusahaan.48 Pelatihan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja.42 kerja diselenggarakan oleh lembaga
Setiap tenaga kerja berhak untuk pelatihan kerja pemerintah dan/atau
memperoleh dan/atau meningkatkan lembaga pelatihan kerja swasta yang

39
Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
40
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
41
Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
42
Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
43
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
44
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
45
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
46
Lihat Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012
tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional.
47
Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
48
Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

130 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


pelaksanaannya dapat diselenggarakan a) Tersedianya tenaga kepelatihan.
di tempat pelatihan atau tempat kerja.49 b) Adanya kurikulum yang sesuai
Lembaga pelatihan kerja swasta dapat dengan tingkat pelatihan.
berbentuk badan hukum Indonesia atau c) Tersedianya sarana dan prasarana
perorangan wajib memperoleh izin atau pelatihan kerja.
mendaftar ke instansi yang bertanggung d) Tersedianya dana bagi kelang-
jawab di bidang ketenagakerjaan di sungan kegiatan penyelenggaraan
kabupaten/kota, sedangkan lembaga pelatihan kerja.
pelatihan kerja yang diselenggarakan e) Lembaga pelatihan kerja swasta
oleh instansi pemerintah mendaftarkan yang telah memperoleh izin
kegiatannya kepada instansi yang bertang- dan lembaga pelatihan kerja
gung jawab di bidang ketenagakerjaan di pemerintah yang telah terdaftar
kabupaten/kota. Ketentuan mengenai tata dapat memperoleh akreditasi dari
cara perizinan dan pendaftaran lembaga lembaga akreditasi.52
pelatihan kerja tersebut diatur dengan Penghentian sementara pelaksanaan
Keputusan Menteri.50 penyelenggaraan pelatihan kerja, disertai
Instansi yang bertanggung jawab di alasan dan saran perbaikan dan berlaku
bidang ketenagakerjaan di kabupaten/ paling lama 6 (enam) bulan yang hanya
kota dapat menghentikan sementara dikenakan terhadap program pelatihan
pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana
kerja, apabila di dalam pelaksanaannya dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15
ternyata:51 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
1) Tidak sesuai dengan arah pelatihan Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam
kerja sebagaimana dimaksud dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 dan melengkapi saran perbaikan
Tahun 2003, bahwa pelatihan kerja dikenakan sanksi penghentian program
diselenggarakan dan diarahkan pelatihan. Apabila dalam penyelenggara
untuk membekali, meningkatkan, dan pelatihan kerja yang tidak menaati
mengembangkan kompetensi kerja dan tetap melaksanakan program
guna meningkatkan kemampuan, pelatihan kerja yang telah dihentikan
produktivitas, dan kesejahteraan. dikenakan sanksi pencabutan izin dan
2) Tidak memenuhi persyaratan sebagai- pembatalan pendaftaran penyelenggara
mana dimaksud dalam Pasal 15 pelatihan. Ketentuan mengenai tata cara
Undang-Undang Nomor 13 Tahun penghentian sementara, penghentian,
2003, yaitu: pencabutan izin, dan pembatalan

49
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
50
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
51
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
52
Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud bersifat independen terdiri atas unsur masyarakat dan
pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Lihat Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 131


pendaftaran diatur dengan Keputusan kerja dalam rangka pembangunan
Menteri.53 ketenagakerjaan, dikembangkan satu
Tenaga kerja berhak memperoleh sistem pelatihan kerja nasional yang
pengakuan kompetensi kerja setelah merupakan acuan pelaksanaan pelatihan
mengikuti pelatihan kerja yang kerja di semua bidang dan/atau sektor.
diselenggarakan lembaga pelatihan kerja Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme,
pemerintah, lembaga pelatihan kerja dan kelembagaan sistem pelatihan kerja
swasta, atau pelatihan di tempat kerja. nasional lebih lanjut diatur dengan
Pengakuan kompetensi kerja dilakukan Peraturan Pemerintah.57 Pelatihan kerja
melalui serti ikasi kompetensi kerja dapat diselenggarakan dengan sistem
dan dapat pula diikuti oleh tenaga kerja pemagangan58 yang dilaksanakan atas
yang telah berpengalaman.54 Untuk dasar perjanjian pemagangan antara
melaksanakan serti ikasi kompetensi peserta dengan pengusaha yang dibuat
kerja dibentuk badan nasional serti ikasi secara tertulis59 dengan sekurang-
profesi yang independen yang lebih lanjut kurangnya memuat ketentuan hak60
diatur dengan Peraturan Pemerintah.55 dan kewajiban peserta dan pengusaha
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja serta jangka waktu pemagangan.61
penyandang cacat dilaksanakan Pemagangan yang diselenggarakan tidak
dengan memperhatikan jenis, derajat melalui perjanjian pemagangan, dianggap
kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja tidak sah dan status peserta berubah
penyandang cacat yang bersangkutan.56 menjadi pekerja/buruh perusahaan yang
Untuk mendukung peningkatan pelatihan bersangkutan.62

53
Pasal 17 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003.
54
Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
55
Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
56
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
57
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
58
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
59
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan sebagai berikut :
60
Di dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan sebagai
berikut:
Hak peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau uang transpor, memperoleh
jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh serti ikat apabila lulus di akhir program.
Hak pengusaha antara lain berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan, merekrut pemagang
sebagai pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan.
61
Di dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan sebagai
berikut:
Kewajiban peserta pemagangan antara lain menaati perjanjian pemagangan, mengikuti tata tertib
program pemagangan, dan mengikuti tata tertib perusahaan.
Adapun kewajiban pengusaha antara lain menyediakan uang saku dan/atau uang transpor bagi peserta
pemagangan, menyediakan fasilitas pelatihan, menyediakan instruktur, dan perlengkapan keselamatan
dan kesehatan kerja.
Jangka waktu pemagangan bervariasi sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai
standar kompetensi yang ditetapkan dalam program pelatihan pemagangan.

132 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


Tenaga kerja yang telah mengikuti perlindungan dan kesejahteraan peserta
program pemagangan berhak atas pemagangan, termasuk melaksanakan
pengakuan kuali ikasi kompetensi ibadahnya. Menteri atau pejabat yang
kerja dari perusahaan atau lembaga ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan
serti ikasi. Serti ikasi dapat dilakukan oleh pemagangan di luar wilayah Indonesia
lembaga serti ikasi yang dibentuk dan/ apabila di dalam pelaksanaannya ternyata
atau diakreditasi oleh pemerintah bila tidak sesuai dengan ketentuan.66
programnya bersifat umum, atau dilakukan Menteri dapat mewajibkan kepada
oleh perusahaan yang bersangkutan bila perusahaan yang memenuhi persya-
programnya bersifat khusus.63 Pemagangan ratan untuk melaksanakan program
dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri pemagangan. Dalam menetapkan persya-
atau di tempat penyelenggaraan pelatihan ratan, Menteri harus memperhatikan
kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam kepentingan perusahaan, masyarakat, dan
maupun di luar wilayah Indonesia.64 negara.67 Untuk memberikan saran dan
Pemagangan yang dilakukan di luar pertimbangan dalam penetapan kebijakan
wilayah Indonesia wajib mendapat izin serta melakukan koordinasi pelatihan
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk, kerja dan pemagangan dibentuk lembaga
bahwa penyelenggara pemagangan harus koordinasi pelatihan kerja nasional.
berbentuk badan hukum Indonesia sesuai Pembentukan, keanggotaan, dan tata
dengan ketentuan peraturan perundang- kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja
undangan yang berlaku yang ketentuan sebagaimana dimaksud lebih lanjut diatur
mengenai tata cara perizinan pemagangan dengan Keputusan Presiden.68
di luar wilayah Indonesia diatur dengan Pemerintah Pusat dan/atau
Keputusan Menteri.65 Penyelenggaraan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan
pemagangan di luar wilayah Indonesia pelatihan kerja dan pemagangan yang
harus memperhatikan harkat dan ditujukan ke arah peningkatan relevansi,
martabat bangsa Indonesia, penguasaan kualitas, dan e isiensi penyelenggaraan
kompetensi yang lebih tinggi, dan pelatihan kerja dan produktivitas.69

62
Menurut Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa dengan status sebagai
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, maka berhak atas segala hal yang diatur dalam
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
63
Penjelasan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
64
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
65
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
66
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
67
Menurut Pasal 27 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa yang dimaksud dengan:
Kepentingan perusahaan dalam ayat ini adalah agar terjamin tersedianya tenaga terampil dan ahli pada
tingkat kompetensi tertentu seperti juru las spesialis dalam air.
Kepentingan masyarakat misalnya untuk membuka kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan
industri yang bersifat spesi ik seperti teknologi budi daya tanaman dengan kultur jaringan.
Kepentingan negara misalnya untuk menghemat devisa negara, maka perusahaan diharuskan
melaksanakan program pemagangan seperti keahlian membuat alat-alat pertanian modern.
68
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 133


Peningkatan produktivitas dilakukan Perluasan kesempatan kerja di
melalui pengembangan budaya produktif, luar hubungan kerja dilakukan melalui
etos kerja, teknologi, dan e isiensi penciptaan kegiatan yang produktif dan
kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya berkelanjutan dengan mendayagunakan
produktivitas nasional.70 Untuk mening- potensi sumber daya alam, sumber daya
katkan produktivitas dibentuk lembaga manusia dan teknologi tepat guna.74
produktivitas yang bersifat nasional Penciptaan perluasan kesempatan kerja
berbentuk jejaring kelembagaan pelayan- dilakukan dengan pola pembentukan
an peningkatan produktivitas, yang dan pembinaan tenaga kerja mandiri,
bersifat lintas sektor maupun daerah. penerapan sistem padat karya, penerapan
Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja teknologi tepat guna, dan pendayagunaan
lembaga produktivitas nasional lebih tenaga kerja sukarela atau pola lain yang
lanjut diatur dengan Keputusan Presiden.71 dapat mendorong terciptanya perluasan
kesempatan kerja.75
c. Kebijakan dalam Perluasan Pemerintah menetapkan kebijakan
Kesempatan Kerja ketenagakerjaan dan perluasan kesempat-
Pemerintah bertanggung jawab an kerja yang pelaksanaan pengawasannya
mengupayakan perluasan kesempatan bersama-sama masyarakat.76 Dalam
kerja baik di dalam maupun di luar melaksanakan tugas dapat dibentuk badan
hubungan kerja yang pelaksanaanya koordinasi yang beranggotakan unsur
dilakukan bersama-sama masyarakat.72 pemerintah dan unsur masyarakat. Oleh
Semua kebijakan pemerintah, baik karena itu, upaya perluasan kesempatan
pusat maupun daerah di setiap sektor kerja mencakup lintas sektoral, maka
diarahkan untuk mewujudkan perluasan harus disusun kebijakan nasional di semua
kesempatan kerja baik di dalam maupun sektor yang dapat menyerap tenaga kerja
di luar hubungan kerja. Lembaga secara optimal. Agar kebijakan nasional
keuangan baik perbankan maupun tersebut dapat dilaksanakan dengan
non perbankan, dan dunia usaha perlu baik, maka pemerintah dan masyarakat
membantu dan memberikan kemudahan bersama-sama mengawasinya secara
bagi setiap kegiatan masyarakat yang terkoordinasi.77
dapat menciptakan atau mengembangkan
perluasan kesempatan kerja.73

69
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
70
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
71
Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
72
Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
73
Pasal 39 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
74
Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
75
Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
76
Pasal 41 ayat (1), dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
77
Pasal 41 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

134 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


d. Kebijakan dalam Penempatan dengan mem-perhatikan pemerataan
Tenaga Kerja kesempatan kerja dan penyediaan tenaga
Setiap tenaga kerja memiliki kerja sesuai dengan kebutuhan program
kesempatan yang sama tanpa diskriminasi nasional dan daerah.82
untuk memperoleh pekerjaan, dan setiap Di dalam Pasal 33 Undang-
pekerja/buruh berhak pula memperoleh Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi penempatan tenaga kerja terdiri dari
dari pengusaha.78 Oleh karenanya, penempatan tenaga kerja di dalam negeri
setiap tenaga kerja mempunyai hak dan dan penempatan tenaga kerja di luar
kesempatan yang sama untuk memilih, negeri. Ketentuan mengenai penempatan
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan tenaga kerja di luar negeri diatur dengan
memperoleh penghasilan yang layak di Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
dalam atau di luar negeri.79 Penempatan tentang Penempatan dan Perlindungan
tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
asas terbuka, bebas, objektif, serta adil, dan dengan pertimbangan sebagai berikut:83
setara tanpa diskriminasi.80 Penempatan 1) Bekerja merupakan hak asasi manusia
tenaga kerja diarahkan untuk menempat- yang wajib dijunjung tinggi, dihormati,
kan tenaga kerja pada jabatan yang tepat dan dijamin penegakannya.
sesuai dengan keahlian, keterampilan, 2) Setia tenaga kerja mempunyai hak
bakat, minat, dan kemampuan dengan dan kesempatan yang sama tanpa
memperhatikan harkat, martabat, diskriminasi untuk memperoleh
hak asasi, dan perlindungan hukum.81 pekerjaan dan penghasilan yang layak,
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan baik di dalam maupun di luar negeri

78
Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
79
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
80
Di dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan, bahwa yang
dimaksud dengan:
Terbuka adalah pemberian informasi kepada pencari kerja secara jelas antara lain jenis pekerjaan,
besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini diperlukan untuk melindungi pekerja/buruh serta untuk
menghindari terjadinya perselisihan setelah tenaga kerja ditempatkan.
Bebas adalah pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan pemberi kerja bebas memilih tenaga
kerja, sehingga tidak dibenarkan pencari kerja dipaksa untuk menerima suatu pekerjaan dan pemberi
kerja tidak dibenarkan dipaksa untuk menerima tenaga kerja yang ditawarkan.
Objektif adalah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja sesuai
dengan kemampuannya dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan
kepentingan umum dengan tidak memihak kepada kepentingan pihak tertentu.
Adil dan setara adalah penempatan tenaga kerja dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan
tidak didasarkan atas ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan aliran politik.
81
Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
82
Menurut Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa pemerataan kesempatan
kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar
kerja nasional dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh
tenaga kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan kesempatan
kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja di seluruh sektor dan daerah.
83
Lihat konsiderans “menimbang” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 135


sesuai dengan keahlian, keterampilan, serta masyarakat dalam suatu sistem
bakat, minat, dan kemampuan. hukum guna melindungi tenaga kerja
3) Tenaga kerja Indonesia di luar negeri Indonesia yang ditempatkan diluar
sering dijadikan objek perdagangan negeri.
manusia, termasuk perbudakan 7) Peraturan perundang-undangan di
dan kerja paksa, korban kekerasan, bidang ketenagakerjaan yang ada
kesewenang-wenangan, kejahatan belum mengatur secara memadai,
atas harkat dan mertabat menusia, tegas, dan terperinci mengenai
serta perlakuan lain yang melanggar penempatan dan perlindungan tenaga
hak asasi manusia. kerja Indonesia di luar negeri.
4) Negara wajib menjamin dan 8) Dalam Undang-Undang Nomor 13
melindungi hak asasi warga negaranya Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang bekerja baik di dalam maupun dinyatakan penempatan tenaga kerja
di luar negeri berdasarkan prinsip Indonesia di luar negeri diatur dengan
persamaan hak, demokrasi, keadilan undang-undang.
sosial, kesetaraan dan keadilan Pemberi kerja yang memerlukan
gender, anti diskriminasi, dan anti tenaga kerja dapat merekrut sendiri
perdagangan manusia. tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui
5) Penempatan tenaga kerja Indonesia pelaksana penempatan tenaga kerja.84
di luar negeri merupakan suatu Pelaksana penempatan tenaga kerja
upaya untuk mewujudkan hak dan wajib memberikan perlindungan sejak
kesempatan yang sama bagi tenaga rekrutmen sampai penempatan tenaga
kerja untuk memperoleh pekerjaan kerja yang dalam mempekerjakan tenaga
dan penghasilan yang layak, yang kerja wajib memberikan perlindungan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan mencakup kesejahteraan, keselamatan,
tetap memperhatikan harkat, dan kesehatan baik mental maupun
martabat, hak asasi manusia isik tenaga kerja.85 Penempatan tenaga
dan perlindungan hukum serta kerja oleh pelaksana dilakukan dengan
pemerataan kesempatan kerja dan memberikan pelayanan penempatan
penyediaan tenaga kerja yang sesuai tenaga kerja yang bersifat terpadu dalam
dengan hukum nasional. satu sistem penempatan tenaga kerja
6) Penempatan tenaga kerja Indonesia yang meliputi unsur-unsur pencari kerja,
di luar negeri perlu dilakukan secara lowongan pekerjaan, informasi pasar kerja,
terpadu antara instansi Pemerintah mekanisme antar kerja, dan kelembagaan
baik Pusat maupun Daerah dan peran penempatan tenaga kerja.86 Unsur-unsur

84
Menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa pelaksana penempatan tenaga kerja
terdiri dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan lembaga
swasta berbadan hukum. Lembaga penempatan tenaga kerja swasta dalam melaksanakan pelayanan
penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
85
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
86
Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

136 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


sistem penempatan tenaga kerja tersebut 1) Pemberi kerja orang perseorangan
dapat dilaksanakan secara terpisah yang dilarang mempekerjakan tenaga kerja
ditujukan untuk terwujudnya penempatan asing.
tenaga kerja.87 Pelaksana penempatan 2) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan
tenaga kerja, dilarang memungut biaya di Indonesia hanya dalam hubungan
penempatan, baik langsung maupun tidak kerja untuk jabatan tertentu dan
langsung, sebagian atau keseluruhan waktu tertentu ditetapkan dengan
kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga Keputusan Menteri.
kerja. Lembaga penempatan tenaga 3) Masa kerjanya habis dan tidak dapat
kerja swasta, hanya dapat memungut diperpanjang dapat digantikan oleh
biaya penempatan tenaga kerja dari tenaga kerja asing lainnya.
pengguna tenaga kerja dan dari tenaga Pemberi kerja yang menggunakan
kerja golongan dan jabatan tertentu yang tenaga kerja asing harus memiliki rencana
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.88 penggunaan tenaga kerja asing yang
disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
e. Kebijakan Penggunaan Tenaga ditunjuk. Rencana penggunaan tenaga
Kerja Asing kerja asing sekurang-kurangnya memuat
Setiap pemberi kerja yang mempe- keterangan alasan penggunaan tenaga
kerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki kerja asing, jabatan dan/atau kedudukan
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang tenaga kerja asing dalam struktur
ditunjuk agar penggunaan tenaga kerja organisasi perusahaan yang bersangkutan,
warga negara asing dilak-sanakan secara jangka waktu penggunaan tenaga kerja
selektif dalam rangka pendayagunaan asing, dan penunjukan tenaga kerja warga
tenaga kerja Indonesia secara optimal.89 negara Indonesia sebagai pendamping
Kewajiban memiliki izin sebagaimana tenaga kerja asing yang dipekerjakan. 91
dimaksud, tidak berlaku bagi perwakilan Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib
negara asing yang mempergunakan tenaga menaati ketentuan mengenai jabatan dan
kerja asing sebagai pegawai diplomatik standar kompetensi yang berlaku yang
dan konsuler.90 lebih lanjut diatur dengan Keputusan
Selanjutnya di dalam Pasal 42 Menteri.92 Selanjutnya pemberi kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tenaga kerja asing wajib:93
diatur pula, bahwa:

87
Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
88
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
89
Pasal 42 ayat (1) dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
90
Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
91
Ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku bagi istansi pemerintah, badan-badan
internasional dan perwakilan negara asing. Lihat juga Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003.
92
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
93
Menurut Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa ketentuan sebagaimana
dimaksud tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 137


1) Menunjuk tenaga kerja warga negara Ketentuan mengenai penggunaan tenaga
Indonesia sebagai tenaga pendamping kerja asing serta pelaksanaan pendidikan
tenaga kerja asing yang dipekerjakan dan pelatihan tenaga kerja pendamping
untuk alih teknologi dan alih keahlian diatur dengan Keputusan Presiden.99
dari tenaga kerja asing.
2) Melaksanakan pendidikan dan 2. Reorientasi Reformasi Politik
pelatihan kerja bagi tenaga kerja Hukum Ketenagakerjaan dalam
Indonesia sebagaimana dimaksud Kebijakan Pemerintah Indonesia
pada huruf a yang sesuai dengan a. Model Kebijakan Pemerintah dalam
kuali ikasi jabatan yang diduduki oleh Pembangunan Politik Hukum
tenaga kerja asing. Ketenagakerjaan
Tenaga kerja asing dilarang menduduki Kebijakan dasar dalam hukum
jabatan yang mengurusi personalia ketenagakerjaan adalah melindungi
dan/atau jabatan-jabatan tertentu. pihak yang lemah (pekerja/buruh)
Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dari kesewenang-wenangan majikan/
dimaksud diatur dengan Keputusan pengusaha yang timbul dalam hubungan
Menteri.94 Pemberi kerja wajib membayar kerja dengan tujuan memberikan perlin-
kompensasi atas setiap tenaga kerja dungan hukum dan mewujudkan keadilan
asing yang dipekerjakannya.95 Kewajiban sosial. Lahirnya hukum ketenagakerjaan
membayar kompensasi tidak berlaku bagi dikarenakan adanya ketidakseimbangan
instansi pemerintah, perwakilan negara posisi tawar dalam hubungan kerja,
asing, badan-badan internasional, lembaga sehingga dengan alasan itu pula tujuan
sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan- hukum ketenagakerjaan adalah agar dapat
jabatan tertentu di lembaga pendidikan.96 meniadakan ketimpangan hubungan
Ketentuan mengenai jabatan-jabatan diantara keduanya. Secara umum tujuan
tertentu di lembaga pendidikan diatur dan fungsi hukum ketenagakerjaan tidak
dengan Keputusan Menteri, sedangkan lepas dari tujuan hukum pada umumnya
mengenai ketentuan besarannya yang oleh Gustav Radbrugh terdiri atas
kompensasi dan penggunaannya diatur keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.100
dengan Peraturan Pemerintah.97 Untuk mencapai tujuan hukum, diperlukan
Pemberi kerja yang mempekerjakan proses pembentukan dan pelaksanaan
tenaga kerja asing wajib memulangkan hukum agar sesuai dengan tujuan tersebut.
tenaga kerja asing ke negara asalnya Dalam hal ini politik hukum sebagai
setelah hubungan kerjanya berakhir.98 kebijakan dasar merupakan sarana dalam

94
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
95
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
96
Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
97
Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
98
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
99
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
100
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung,
1977, hlm. 137.

138 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


rangka mewujudkan pembinaan hukum pasar. Keadilan bukan nilai yang
nasional. diperhitungkan dari ekonomi pasar,
Dalam usaha mewujudkan pembinaan karena itu pendekatan pasar harus selalu
hukum nasional, keberadaan hukum diikuti oleh pendekatan normatif, salah
ketenagakerjaan sangat strategis dan satunya melalui hukum yang meletakkan
mendasar, hal ini terjadi karena muatannya batas-batas dan aturan-aturan. Bila
bukan hanya teknis ketenagakerjaan mengambil kajian Tamara Lothion yang
semata, tetapi juga penuh dengan muatan membedakan tipe hukum ketenagakerjaan
sosial, ekonomi, dan politik yang juga ke dalam tipe kontraktualis dan tipe
berkaitan dengan masalah hak asasi korporatis, maka tipe korporatis yang
manusia yang bersifat multi dimensional. mendominasi peraturan di bidang hukum
Oleh karenanya, bukan hanya pengaruh ketenagakerjaan.102 Hal ini semakin
kepentingan politik elit penguasa, tetapi mendapatkan dasar pembenaran, jika
pengaruh politik ekonomi juga sangat dihubungkan dengan sistem hukum yang
mempengaruhi hukum ketenagakerjaan dianut Indonesia sejak awal kemerdekaan
terlebih di era globalisasi perdagangan, berdasarkan asas konkordansi (dari
hukum yang berlaku adalah hukum hukum Belanda) yang menganut sistem
pasar bebas yang menghendaki peranan hukum Eropa Kontinental (Civil Law).103
pemerintah menjadi semakin berkurang Model korporatis digunakan karena
dan peranan swasta menjadi lebih besar, model hubungan ketenagakerjaan yang
termasuk juga berlaku dalam hukum hendak ditumbuhkan adalah harmonie
ketenagakerjaan.101 Namun tidak semua model, karena dalam pola hubungan
dalam hal dalam hukum ketenagakerjaan ini: Pertama, para pihak tidak memiliki
dapat diserahkan pada mekanisme pasar. kebebasan, melainkan dikuasai oleh
Selain itu, sistem hukum Indonesia juga pemerintah melalui ketentuan-ketentuan
tidak memberi ruang yang cukup luas untuk hukum yang bersifat refresif, kedua,
itu, karena pemerintah ditantang untuk consensus (kerjasama) diharuskan dengan
menjalankan kebijakan ketenagakerjaan melarang terjadinya kon lik (pemogokan),
yang mampu mengakomodir semua ketiga, diwajibkan menggunakan
kepentingan, baik pemodal, pekerja/ penyelesaian secara damai dan melarang
buruh maupun pemerintah sendiri. penggunaan cara-cara paksaan(mogok
Keadilan yang merupakan tujuan atau pun out lock).104 Sementara dalam
dasar dalam pembentukan dan pelaksana- model hukum ketenagakerjaan yang
an hukum, bahkan yang menjadi tujuan kontraktualis hubungan ketenagakerjaan
hidup bernegara tidak akan dapat lebih didasarkan pada kekuatan tawar
dicapai dengan menyerahkan sistem menawar (bargaining position) pekerja
ekonomi semata-mata pada mekanisme terhadap pengusaha, di mana pemerintah

101
Aloysius Uwiyono, “Implikasi ...”, Op. Cit., hlm. 41.
102
Tamara Lothion dalam Agusmidah, Dilematika … Op. Cit., hlm. 9.
103
Aloysius Uwiyono, “Implikasi ...”, Op. Cit., hlm. 43.
104
Agusmidah, Dilematika … Op. Cit., hlm. 10.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 139


bukan sebagai pihak yang aktif membuat rangka meningkatkan kesejahteraan
regulasi ketenagakerjaan, melainkan masyarakat untuk jangka panjang.
hanya bertindak memfasilitasi organisasi 3) Kebijakan ekonomi dalam mengejar
pekerja/buruh dengan menjamin hak pertumbuhan maupun pemerataan
berorganisasi,105 maka ciri ini menunjuk hasil sangat berkaitan dengan proses
pada model koalisi yang memiliki ciri politik yang berlangsung terus
hubungan ketenagakerjaan harmonis menerus. Kebijakan ekonomi tidak
dan hubungan ketenagakerjaan kon lik. berjalan dalam kevakuman politik,
Model kontraktualis ini merupakan karena secara praktis pendekatan
konsep kapitalis yang menghendaki agar normatif atau konstitusional dapat
negara tidak terlalu ikut mencampuri memberikan arahan yang jelas bagi
persoalan pekerja dengan pengusaha, pembangunan ekonomi dengan saling
melainkan diserahkan kepada mekanisme melengkapi.
pasar dengan sistem ϔlexible worker, Pemerintah (negara) harus mampu
tetapi kembali kepada tujuan hukum memposisikan dirinya sebagai regulator
ketenagakerjaan serta peran pemerintah yang bijak melalui sarana pembentukan
masih sangat dibutuhkan dan meniadakan dan pelaksanaan hukum ketenagakerjaan,
campur tangan negara bukan solusi yang dikarenakan hukum ketenagakerjaan
benar-benar tepat. akan menjadi sarana utama untuk
Untuk itu, antara peran pasar menjalankan kebijakan pemerintah
dan campur tangan negara maupun di bidang ketenagakerjaan itu sendiri.
antara pembangunan ekonomi dengan Kebijakan ketenagakerjaan (labor policy)
pendekatan pasar dan normatif di Indonesia dapat dilihat dalam UUD
(konstitusional) harus saling melengkapi, 1945 sebagai konstitusi negara juga
dikarenakan menjalankan pembangunan peraturan perundang-undangan yang
ekonomi dalam kevakuman politik adalah terkait. Oleh karena itu, peran pemerintah
hal yang mustahil, karena:106 sangat penting dalam pengaturan
1) Peran pasar sangat penting dalam keberadaan hukum ketenagakerjaan,
rangka perusahaan memaksimalkan hal ini disebabkan pihak yang dilihatkan
keuntungan dan individu serta dalam hubungan kerja umumnya berada
masyarakat memaksimalkan kesejah- pada posisi yang tidak seimbang.
teraan, namun peran pemerintah Pembinaan hukum nasional melalui
penting juga dalam melakukan koreksi kebijakan legislatif dalam pembuatan
terhadap kegagalan pasar. hukum ketenagakerjaan menurut
2) Peran konstitusi dan atauran main Mochtar Kusumaatmadja berguna untuk
dalam pembuatan kebijakan ekonomi mengadakan perubahan yang teratur
sangat penting untuk memastikan melalui prosedur hukum, baik berwujud
kebijakan ekonomi yang baik dalam perundang-undangan atau keputusan-

105
Idem.
106
Ibid., hlm. 11-12.

140 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


keputusan badan-badan peradilan. Hal Untuk menciptakan hukum
mana lebih baik daripada perubahan ketenagakerjaan yang akomodatif,
yang tidak teratur dengan menggunakan tentunya saja diperlukan modal utama
kekerasan semata.107 Sebagai bagian dari dalam pembentukan suatu peraturan
hukum publik, hukum ketenagakerjaan perundang-undangan ketenagakerjaan,
melibatkan peran negara yang cukup yaitu aspirasi untuk mendapatkan
dominan, sehingga diharapkan negara konsensus. Konsensus merupakan
dapat tanggap dan menjadi fasilitator syarat mutlak untuk dapat diterimanya
kedua kepentingan kelompok, yaitu peraturan tersebut dalam masyarakat,
antara pekerja dan pengusaha. Pada sisi bahkan pemikir-pemikir hukum
lain ada yang menilai, bahwa hukum sampai berkeyakinan bahwa harus
ketenagakerjaan ini menjadi alat politik diminta persetujuan dari pihak anggota
untuk melegitimasi tindakan pemerintah masyarakat untuk membentuk undang-
dalam merefensi gerakan buruh dan lebih undang.109 Hal ini berarti bahwa yang
mementingkan kelompok investor. berkuasa dalam negara harus menyatakan
Pembentukan hukum ketenagakerjaan kehendak rakyat dalam menentukan tata
melalui pembentukan undang-undang hukum negara. Dalam hal ini Rousseau
ketenagakerjaan dan peraturan pelaksa- paling jelas meminta suatu kehendak
naannya tidak lepas dari tuntutan umum supaya negara didirikan secara
konstitusi mengenai hak setiap warga hukum dan juga supaya hukum disusun
negara atas pekerjaan dan penghidupan sesuai dengan tuntutan keadilan.110
yang layak yang pelaksanaannya meliputi Dengan demikian, bahwa hukum secara
hal yang kompleks, mulai kondisi di konkrit dapat dilihat dalam peraturan
tempat kerja harus memenuhi unsur perundang-undangan, maka seyogyanya
kelayakan dari sisi kemanusiaan harus mengandung nilai-nilai keadilan,
(humanity), kesehatan (hygiene), maupun sehingga hukum tersebut dapat menjadi
keamanan dan keselamatan, hingga hukum yang hidup di tengah masyarakat,
mengenai upah dan lainnya. Di samping dilaksanakan dan dipatuhi. Demikian
itu, perlu juga dalam menciptakan hukum pula dengan hukum ketenagakerjaan
ketenagakerjaan harus benar-benar harus mengandung nilai-nilai keadilan,
mengakomodir kedua kepentingan, yaitu baik nilai keadilan ekonomi maupun
pekerja dan pengusaha diharapkan akan nilai keadilan sosial. Dalam nilai keadilan
menjadikan iklim usaha di Indonesia ekonomi berlaku aturan main hubungan-
menjadi kondusif, sehingga investor tidak hubungan ekonomi berdasarkan prinsip-
segan untuk menginvestasikan modalnya prinsip etika, sedangkan keadilan sosial
di Indonesia.108 merupakan hasil dari dipatuhinya aturan

107
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm.
19.
108
Agusmidah, Op. Cit., hlm. 121.
109
Idem.
110
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, 1982, hlm. 296.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 141


main keadilan ekonomi tersebut, sehingga menjadi begitu kuat, sehingga keluhuran
antara keadilan ekonomi dan keadilan manusia cenderung direduksi dan diukur
sosial ada hubungan yang erat. Masalah hanya berdasarkan prestasi-prestasi
keadilan menjadi persoalan paling ekonomi. Apabila kecenderungan ini
serius, baik di lapangan hukum maupun tidak terkontrol, maka sebagian anggota
ekonomi,111 dan salah satu implementasi masyarakat dengan sendirinya akan
bentuk-bentuk perwujudan keadilan tertinggal, paling sedikit secara ekonomis,
ekonomi dalam masyarakat antara lain karena potensi setiap individu secara
peraturan tentang hak-hak dasar yang objektif memang berbeda. Dengan kata
harus dimiliki dan diberikan pada setiap lain, kemalangan kelompok masyarakat
insan individu yang hidup sebagai manusia. yang kurang beruntung menjadi harga
Manusia memerlukan kebutuhan minimal yang harus dibayar apabila sikap tidak
untuk hidup layak sebagai manusia dan peduli berkembang secara luas dalam
regulasi ekonomi sangat penting dibangun masyarakat.
untuk mendukung suatu masyarakat dan Ketika dunia ekonomi menjadi sebuah
negara yang adil di samping institusi pasar arena pertarungan bebas, ada bahaya
yang harus bekerja secara efektif.112 marginalisasi (penyingkiran) bagi sebagian
Keadilan tidak dapat diharapkan anggota masyarakat akan menjadi sebuah
terwujud dengan sendirinya, ibarat jatuh kenyataan yang akan terus berkembang,
dari langit dan juga tidak dapat dilahirkan bahkan mungkin sulit dihentikan. Salah
semata-mata dengan mekanisme pasar. satu indikasi, bahwa keadilan masih
Suatu sistem ekonomi memerlukan diabaikan adalah adanya undang-undang
institusi dan mekanisme pasar, tetapi tugas yang hanya memihak kepada kepentingan
keadilan sosial yang merupakan keadilan individu/kelompok tertentu saja. Dapat
publik ini tidak dapat diserahkan kepada dikatakan di sini, bahwa keadilan masih
mekanisme pasar, karena dikhawatirkan akan menjadi sebuah problem dalam
mekanisme pasar yang dibiarkan lepas di kehidupan bersama sebagai bangsa dan
tengah struktur dan pranata sosial politik negara, apabila politik kepentingan masih
yang tidak tepat justru akan melahirkan sangat mendominasi.114
ketidakadilan. Tom Campbell mengatakan, Keadilan yang diharapkan melalui
bahwa keadilan dewasa ini tidak penerapan undang-undang ketenaga-
mendapat lagi prioritas terhadap nilai kerjaan dan berbagai peraturan
ekonomi. Masyarakat modern sekarang pelaksanaannya, jika dihubungkan
seakan terjebak dalam suatu persaingan dengan kajian keadilan menurut John
bebas demi kepentingn dan kemanfaatan Rowls merupakan keadilan formal.
ekonomi.113 Dominasi nilai ekonomi Konsistensi Rowls dalam menempatkan

111
Bustanul Ari in & Didik J. Rachbini, Ekonomi Publik dan Kebijakan Publik, Gramedia, Jakarta, 2001, hlm.
49.
112
Agusmidah, Op. Cit., hlm. 122.
113
Tom Campbell, Justice, Atlantic Highlanda, Humanities Press International, 1988, hlm. 7.
114
Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi : Telaah Filsafat Politik, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hlm. 19-20.

142 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


konstitusi dan hukum sebagai basis berbagai perkembangan dalam era
pelaksanaan hak dan kewajiban dalam globalisasi telah menempatkan hukum
interkasi sosial merupakan kenyataan ketenagakerjaan berada dipersimpangan
yang memperkuat pendapat di atas. jalan.117 Untuk itu, diperlukan sebuah
Rowls percaya, bahwa keadilan yang pendekatan yang mampu menciptakan
berbasis peraturan, bahkan yang sifatnya hukum ketenagakerjaan yang akomodatif
administrasi formal sekalipun tetaplah dalam pembentukan peraturan per-
penting karena setiap orang dalam kasus undang-undangan ketenagakerjaan dan
yang sama harus diperlakukan secara mengikuti pola yang umum berlaku
sama atau dengan kata laian keadilan dalam upaya mencari format hukum
formal menuntut kesamaan minimal yang ideal, paling tidak mendekati hasil
bagi segenap warga masyarakat.115 yang optimal untuk membenahi sistem
Dengan demikian, Rowls juga percaya dan mekanisme hukum yang formalistik
bahwa eksistensi suatu masyarakat individual agar keluar dari apa yang
sangat tergantung pada peraturan formal disebut model refresif.
melalui hukum serta lembaga-lembaga Hukum refresif formalistik yang
pendukungnya. Jika peraturan dan hukum berorientasi pada kepentingan kelompok
sangat penting, maka konsistensi dari hanya akan melahirkan letupan-letupan
para penegak hukum dalam pelaksanaan sosial yang berkepanjangan, di samping
peraturan, menjadikan hukum sebagai tidak efektif dan e isien, karena bila ada
tuntutan yang mutlak sifatnya, bahkan perubahan sistem politik dan wacana
konsistensi dalam penerapan peraturan pemerintahan, maka serta merta hukum
yang tidak adil sekalipun akan sangat itu diubah dan dirombak sekehendak
membantu anggota masyarakat karena hati dan tiada ada adaptabilitas sesuai
hukum yang diterapkan secara pasti dengan kehendak pemerintah yang
dan konsisten, meskipun tidak adil, terlegitimasi.118 Tipologi hukum yang
tetapi minimal dapat membantu warga baik adalah hukum yang berorientasi
masyarakat untuk belajar melindungi diri melindungi ruang lingkup publik
sendiri dari berbagai konsekuensi buruk berbarengan dengan sifat privat orang
yang diakibatkan oleh hukum yang tidak perseorangan yang sama derajatnya.
adil.116 Tipologi hukum responsif memungkinkan
Saat ini hukum ketenagakerjaan masyarakat tanpa terkecuali memaklumi
di Indonesia belum mampu menjadi dan menerimanya sebagai hukum yang
hukum yang akomodatif, bahkan dengan hidup dalam masyarakat (living law)

115
John Rowls, A Theoru of Justice, Cambridge – Massachusetts, Harvard University Press, 1971, hlm. 58.
116
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil : Problematika Filsafat Hukum, Grasindo, Jakarta,
1999, hlm. 150.
117
Aloysius Uwiyono, Op. Cit., hlm. 41 dan 46.
118
H.F. Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (dari Ola, Orba Sampai Reformasi) Telaah
Sosiologis Yuridis dan Yuridis Pragmatis Kritis Jati Diri Hukum Tata Negara Indonesia), RajaGra indo
Persada, Jakarta, 2005, hlm. 397.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 143


dan secara spontan ditaati dan dipatuhi haruslah future oriented, dan seyogyanya
karena mengikat semua kepentingan yang diikuti oleh future analysis yang
terakomodasi dalam susbtansinya secara komprehensif dan imitigatif dari setiap
tegas dan jelas tentang semua sanksi fenomena hukum yang ada, karena hal
hukumnya. tersebut sangat krusial dan tensi dari
Kebijakan ketenagakerjaan melalui perkembangan ketenagakerjaan begitu
perwujudan regulasi peraturan perun- cepat, itu pula salah satu sebab, kenapa
dang-undangan ketenagakerjaan harus pihak otoritas lebih suka mengatur
mencerminkan dan memantulkan ketenagakerjaan dengan surat-surat
kepentingan masyarakat, karena kepen- edaran yang lebih mudah dicabut/diubah
tingan masyarakat selalu berubah, maka apabila diperlukan, tetapi dari sinilah awal
secara operasional hukum juga dituntut dari kerancuan, yakni membentuk hukum
untuk selalu mengubah dirinya. Apabila tanpa legalitas yang cukup. Keberadaan
dilihat secara sosiologis perangkat aturan elemen-elemen “competent” dan “fairnest”
hukum telah menjelmakan dirinya menjadi yang merupakan elemen terpenting dari
responsive law berarti yang termaju dalam suatu sistem hukum tidak terjamin.
fase perkembangan hukum. Hukum Sebenarnya, masa depan dari
berkembang dari repressive law menjadi hukum ketenagakerjaan Indonesia
autonomous law dan kemudian berbentuk sangat tergantung pada bagaimana
responsive law. Dalam merespon ketenagakerjaan itu diatur dan masa depan
kepentingan masyarakat, hukum tidak dari hukum ketenagakerjaan itu sendiri
selalu hanya menyediakan perangkatnya terletak pada bagaimana para ahli hukum
persis seperti apa yang terjadi dalam ketenagakerjaan menginterpretasikan
masyarakat. Hukum bahkan harus juga eksistensi dan aktingnya dalam proses
memberi bentuk kepada masyarakat, pembangunan yang sedang berlangsung.
yakni menyediakan plat form ke arah Apakah akan menjadi penglima atau
tujuan pembangunan masyarakat itu hanya sekedar prajurit yang taat. Di dalam
sendiri. Jadi, hukum tidak semata-mata bidang hukum ketenagakerjaan, masih
reaktif melainkan mesti juga proaktif. terlalu banyak terjadi ketidakpastian,
Dalam konteks ini, hukum akan berperan ketidakadilan, dan ketidakompetenan. Kita
secara tut wuri handayani, atau yang memang sedang hidup dalam masyarakat
dikenal juga dengan istilah tool of social yang penuh dikelilingi oleh hukum
engineering.119 ketenagakerjaan yang salah tempat, salah
Atas dasar hal tersebut, maka dalam waktu, salah arah, bahkan salah kaprah.120
pembentukan hukum ketenagakerjaan

119
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek (Buku Kesatu), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996,
91.
120
Ujang Charda S., Kapita Selekta Hukum Ketenagakerjaan (Suatu Paparan Aktual, Kreatif & Inovatif),
Fakultas Hukum UNSUB, Subang, 2008, hlm. 23.

144 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


b. Orientasi Reformatif Kebijakan sosial-ekonomi yang berbeda, sehingga
Pemerintah dalam Pembangunan kondisi ini sangat memungkinkan
Politik Hukum Ketenagakerjaan timbulnya kesewenang-wenangan dalam
Kebijakan dasar Hukum Ketenaga- hubungan kerja. Ketimpangan mana
kerjaan adalah melindungi pihak menurut H. Sinzheimer sebagai suatu
yang lemah, dalam hal ini pekerja dari hal yang akan terus terjadi mengingat
kesewenang-wenangan pengusaha yang kedudukan keduanya memiliki perbedaan
dapat timbul dalam hubungan kerja cukup tajam, bahkan jika berlaku asas
dengan tujuan memberikan perlindungan kebebasan berkontrak, maka tidak lain
hukum dan mewujudkan keadilan sebagai sebuah kepatuhan sukarela atas
sosial.121 Kebijakan ini merupakan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
merupakan arah politik hukum guna pengusaha. Oleh karena itu, tujuan utama
terciptanya sistem hukum nasional yang Hukum Ketenagakerjaan adalah agar
adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif, dapat meniadakan ketimpangan hubungan
terjaminnya konsistensi seluruh peraturan di antara pekerja dengan pengusaha,
perundang-undangan pada tingkat pusat untuk melindungi pihak yang lemah
dan daerah, serta tidak bertentangan dalalm hal ini pekerja dari kesewenang-
dengan peraturan perundang-undangan wenangan pengusaha yang dapat timbul
yang lebih tinggi. Politik hukum yang lebih dalam hubungan kerja dengan tujuan
mementingkan kebijakan pemberlakuan memberikan perlindungan hukum dan
(enactment policy) dengan mengabaikan mewujudkan keadilan sosial tersebut.123
kebijakan dasar (basic policy) menjadi Di samping untuk mewujudkan
salah satu faktor utama timbulnya keadilan sosial alasan dasar dibentuknya
inkonsisten. Sesungguhnya politik hukum peraturan perundang-undangan ketenaga-
itu berguna untuk menemukan hukum kerjaan juga berkaitan erat dengan usaha
yang benar-benar sesuai antara harapan pemerintah untuk melakukan pembinaan
dengan kenyataan, antara aturan-aturan hukum nasional. Pembinaan hukum
(bunyi Pasal) dalam undang-undang nasional, sesungguhnya merupakan proses
dengan peraturan di bawahnya (peraturan penting dalam rangka pembangunan
pelaksana), antara law in book dan law in nasional.124 Menurut Mochtar
action.122 Kusumaatmadja pembinaan hukum
Politik hukum dalam dimensi kebijakan berguna untuk mengadakan perubahan
dasar dipahami sebagai alasan dasar dari yang teratur melalui prosedur hukum,
dibuatnya peraturan ketenagakerjaan. baik berwujud perundang-undangan
Dalam hubungan ketenagakerjaan terlibat atau keputusan badan-badan peradilan.
dua pihak yang memiliki kedudukan Hal mana lebih baik daripada perubahan

121
Agusmidah, Op. Cit., hlm. 1.
122
Ibid., hlm. 24.
123
H. Sinzheimer dalam Ibid., hlm. 118.
124
Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., hlm. 19.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 145


yang tidak teratur dengan menggunakan Indonesia dinilai rendah dibandingkan
kekerasan semata.125 dengan negara lain, seperti Cina dan
Di era globalisasi ini, persoalan Thailand.126
ketenagakerjaan Indonesia diwarnai oleh Perdagangan bebas diyakini
timpangnya pasar tenaga kerja, ditandai memberikan dampak negatif, khususnya
oleh tingkat pengangguran terbuka yang bagi rakyat miskin, antara lain:127
makin meningkat dari tahun ke tahun pasca 1) Upah buruh akan semakin ditekan,
krisis ekonomi dan moneter di tahun 1997, karena perusahaan harus menekan
penyebabnya antara lain pertumbuhan biaya, buruh akan semakin diperas.
ekonomi yang tidak sebanding dengan 2) Menurunnya ekonomi pedesaan,
pertumbuhan angkatan kerja. Globalisasi karena kekalahan bersaing dengan
erat kaitannya dengan sistem pasar produktivitas pertanian internasional.
bebas. Umumnya pasar bebas dianut 3) Meningkatnya urbanisasi ke kota.
oleh dunia kapitalis, dan sistem komando 4) Meningkatnya sektor informal yang
dan perencanaan oleh negara sosialis tidak dilindungi oleh undang-undang
yang ekstrimnya adalah negara marxis. dan peraturan perburuhan.
Globalisasi dengan tuntutan ekonomi 5) Lingkungan akan lebih terancam,
pasar bebas juga berpengaruh dalam karena perdagangan meningkatkan
Hukum Ketenagakerjaan. Hal ini perlu permintaan yang akan meningkatkan
diperhatikan, karena pada satu sisi pasar eksploitasi sumber daya alam.
kerja yang ada pertumbuhan ekonomi Sementara itu, Aloysius Uwiyono
berbasis penggunaan tenaga kerja, menilai, jika dalam ekonomi pasar bebas
sedangkan pada sisi lain investor semakin kebijakan upah murah dan pelaksanaan
mengeluhkan iklim ketenagakerjaan peraturan perundang-undangan tidak
di Indonesia yang tidak menarik bagi lunak, termasuk pengekangan terhadap
investor untuk menanamkan modalnya, di hak-hak fundamental kaum buruh,
antaranya kakunya aturan-aturan hukum justru menjadi faktor yang akan
yang mengatur masalah ketenagakerjaan. menghambat pasar bebas.128 Hal ini
Kekakuan tersebut terlihat dari aturan- disebabkan kebijaksanaan tersebut
aturan hukum yang mengatur masalah menjadi indikasi adanya social dumping
ketenagakerjaan. Kekakuan tersebut yang dapat mengakibatkan gangguan
terlihat dari aturan hukum mengenai terhadap pelaksanaan fair trade dalam
penggunaan tenaga kerja, kebijakan upah pasar bebas. Akibatnya, model ekonomi
minimum, prosedur PHK, dan besarnya pasar demikian ini mendorong otonomi
pesangon, dan lain-lain, sedangkan untuk berunding secara kolektif,129 baik
pada sisi lain produktivitas tenaga kerja kepada kaum buruh maupun kepada

125
Ibid., hlm. 20.
126
Agusmidah, Op. Cit., hlm. 253.
127
Ibid., hlm. 253.
128
Aloysius Uwiyono, “Implikasi …”, Op. Cit., hlm. 20.
129
Ibid.

146 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


para pengusaha. Dengan demikian, baik hal-hal yang lebih spesi ik, antara lain
buruh maupun pengusaha memiliki tindakan untuk memberi perlindungan
kebebasan untuk merundingkan tingkat terhadap kaum yang lemah dari tindakan
upah, syarat-syarat kerja dan kondisi kerja pihak yang kuat dalam satu lapangan
lainnya.130 Pengaruh globalisasi membawa ketenagakerjaan, meskipun era globalisasi
pengaruh terhadap peran yang dijalankan telah menawarkan berlakunya mekanisme
pemerintah dalam memberi perlindungan pasar dalam menentukan besarnya upah,
terhadap pekerja melalui aturan-aturan sistem kerja leksibel, peraturan yang
yang bersifat proteksi (perlindungan) leksibel untuk mem-PHK dan tidak ada
karena dinilai akan menghambat ekonomi pesangon yang kaku.
pasar bekerja dengan hukum pasar yang Alasan afϔirmative action harus
sebenarnya, sedangkan pada sisi lain digunakan oleh pemerintah dalam
tugas pemerintah salah satunya adalah lapangan ketenagakerjaan tidak lepas
memberikan perlindungan kepada pekerja dari kenyataan, bahwa posisi tawar
di tempat kerja. pekerja bahkan serikat pekerja masih
Dalam menjalankan ekonomi belum seimbang dikarenakan kondisi
berdasarkan mekanisme pasar harus pasar tenaga kerja yang tidak mendukung
diimbangi kontrol pemerintah agar fungsi naiknya posisi tawar pekerja terhadap
sosial tereduksi. Dalam mekanisme pasar pemberi kerja. Tuntutan mekanisme
agar fungsi sosial tetap dapat berjalan pasar terhadap sistem kerja leksibel
ada hal-hal yang tetap harus dicampuri harus ditanggapi oleh pemerintah dengan
oleh pemerintah dengan menggunakan menetapkan batasan-batasan yang jelas,
afϔirmative action131 yang terarah, sehingga kepentingan pekerja yang paling
sehingga dalam mekanisme pasar tetap utama, yaitu kesejahteraan dan jaminan
mengandung unsur fungsi sosial, antara sosial tidak terabaikan. Dalam hal ini yang
lain ada intervensi pemerintah melalui termasuk dalam lingkup kesejahteraan
perpajakan, instrumen distribusi kekayaan adalah sistem pengupahan yang dapat
dan pendapatan, sistem jaminan sosial, dan memberi jaminan hidup layak pada
sistem perburuhan. Walaupun pengertian pekerja, misalnya besaran upah pokok,
asal dari afϔirmative action sesungguhnya upah lembur, dan sebagainya, sedangkan
untuk menghapus diskriminasi, yang mencakup jaminan sosial adalah
khususnya dalam hal kesempatan yang adanya sistem proteksi dalam bentuk
sama sebagai warga masyarakat, namun asuransi kesehatan, dan pesangon, dan
kiranya dapat diperluas lagi dalam hari tua bagi pekerja.132

130
Ibid.
131
Seperangkat tindakan yang didesain untuk menghapuskan adanya dan atau berlanjutnya diskriminasi,
untuk memperbaiki efek dari diskriminasi yang timbul pada masa lalu, dan untuk menciptakan sistem
dan prosedur untuk mencegah diskriminasi pada masa mendatang. Pada dasarnya, af irmative action
merupakan tindakan untuk menghapus adanya diskriminasi khususnya terhadap kaum minoritas.
Lihat Agusmidah, Op. Cit., hlm. 255.
132
Ibid., hlm. 256-257.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 147


Kecenderungan global menghendaki hubungan kerja, sehingga peraturan
agar dalam pembentukan dan penerapan perundang-undangan ketenagakerjaan
Hukum Ketenagakerjaan, pemerintah masih dibutuhkan untuk mengatur
bertindak selaku regulator dan fasilitator hubungan kerja dewasa ini. Pemerintah
dan tidak terlalu mendominasi di selaku regulator dituntut untuk bijaksana
lapangan, sedangkan hubungan kerja melahirkan sebagai kebijakan hukum
di Indonesia terikat oleh aturan-aturan yang akan diterapkan, mengingat
yang dibuat oleh pemerintah berdasarkan perkembangan lingkungan internasional
sistem hukum Indonesia yang bersifat menghendaki agar hubungan kerja
korporatis dan sebagai konsekuensi dari diserahkan pada mekanisme pasar yang
keberadaan Hukum Ketenagakerjaan berarti didominasi oleh pemerintah
yang dikategorikan berada di lapangan harus diminimalisir dan hubungan kerja
Hukum Publik. Dalam usaha regulasi dilakukan melalui sistem kontraktual.135
Hukum Ketenagakerjaan dewasa ini, Pada saat pemerintah melahirkan
pemerintah menghadapi kesulitan dalam suatu peraturan perundangan ketenaga-
menciptakan Hukum Ketenagakerjaan kerjaan yang dianggap condong pada
yang dapat diterima semua stakeholder pihak tertentu, maka penolakan dan
yang terlibat terutama pekerja dan kerusuhan sosial akan muncul, hal ini
pengusaha, sebagaimana dikemukakan tentunya harus dihindari karena kon lik
oleh Aloysius Uwiyono diistilahkan Hukum sosial merupakan hal yang tidak baik bagi
Ketenagakerjaan berada di persimpangan kelangsungan suatu negara. Sesuai dengan
jalan.133 Untuk itu diperlukan sebuah semangat Indonesia baru, paradigma
pendekatan yang mampu menciptakan pembangunan di bidang ketenagakerjaan
Hukum Ketenagakerjaan yang akomodatif. perlu direformasi. Paradigma lama yang
Hukum Ketenagakerjaan yang akomodatif cenderung melihat pekerja sebagai faktor
merupakan tujuan dari diadakannya produksi dan atau bagian dari komoditi,
regulasi ketenagakerjaan secara harus diubah kepada pekerja sebagai
keseluruhan. Hukum akomodatif dipahami manusia Indonesia seutuhnya atau sebagai
sebagai hukum yang mengandung nilai subjek produksi pembangunan.136
keadilan dan kemanfaatan bagi para Perubahan paradigma ini pada
stakeholder yang terlibat dalam hubungan akhirnya akan mengarah dan menentukan
ketenagakerjaan.134 kebijakan pemerintah menjadi pro pekerja
Peran negara masih sangat dibutuhkan melalui suatu perubahan yang resolutif-
untuk memberi perlindungan terhadap kompositif, artinya dengan memandang
pekerja sebagai pihak yang rentan pekerja sebagai subjek dan secara
terhadap timbulnya ketidakadilan dalam proporsional memperhitungkan seluruh

133
Ibid., hlm. 265.
134
Ibid., hlm. 266.
135
Idem.
136
Ujang Charda S., Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Sejarah, Teori & Praktiknya di Indonesia),
Fakultas Hukum UNSUB, Subang, 2008, hlm. 5.

148 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


aspek dalam suatu kesatuan yang holistik. patuh ke luar negeri hanya karena kegagalan
Kebijakan yang lahir nantinya tidak lagi kita membangun ketenagakerjaan dan
make up dari kebijakan lama yang tambal memberantas kemiskinan rakyat.137
sulam, tetapi secara mendasar berubah Di samping ketiga hal tersebut, dalam
sesuai dengan kerangka hak pekerja atau penegakan hukum ketenagakerjaan harus
kebutuhan dasar manusia. Kebijakan atau juga meliputi instrumen berpihak kepada
politik ketenagakerjaan reformatif ini kepentingan pekerja, dan pelaksanaan
mendasarkan pada pandangan-pandangan peradilan pekerja yang adil.138 Guna
uraian sebelumnya, sehingga terjadi mencapai orientasi tersebut, diperlukan
pergeseran paradigma dari pro pengusaha suatu tindakan yang menyeluruh dan
menjadi pro pekerja. Misalnya dalam sistematis, sehingga upaya mengangkat
komposisi pemilikan sudah ada saham harkat dan martabat pekerja menjadi
pekerja, kemudian untuk mendukung realitas. Adapun upaya yang dimaksud
organisasi pekerja perlu tolerasi waktu tidak hanya sekedar kemauan politik
rapat yang tidak mengurangi jatah gaji belaka, tetapi juga implementasi politik
dan mungkin tetap memberikan gaji dengan derajat intervensi yang signi ikan,
penuh bagi pengurus utama serikat sehingga orientasi baru dapat menjadi
pekerja basis, hapuskan pekerja anak, dan dasar pada tataran kebijakan dan secara
pemberdayaan pekerja petani. operasional turut mendukungnya.
Agar kebijakan baru ini tidak seperti Kebijakan yang paling krusial dalam
singan ompong, hanya bagus dalam hal ini ialah tentang kepemilikan melalui
materinya namun tidak operasional dalam distribusi aset atau kepemimpinan saham,
implementasinya, sehingga nasibnya sebenarnya kebijakan yang senada ini
sama dengan kebijakan sebelumnya yang sudah diterapkan oleh kalangan pers,
tidak terlalu berpihak terhadap pekerja di walapun terbatas dan belum konkrit,
masa lalu. Oleh karena itu, implementasi yang mana sebagian saham dimiliki oleh
kebijakan reformatif ini titik tekannya karyawan (pekerja pers) secara otomatis
atau minimum programnya berisikan hal- lebih kurang 20%. Hal senada dapat
hal sebagai berikut: diberlakukan terhadap sektor lainnya
1) Bukan sekedar instrumen tapi akses secara proporsional, sedangkan bagi upaya
2) Mendorong kuantitatif mendidik yang sudah berlangsung, diharapkan
kualitatif. menyesuaikan dengan kebijakan yang
3) Membangun sistem (undang-undang ada melalui mekanisme demokratis,
dan kebijakan). rasional dan agamis. Selama proses ini,
Berdasarkan ketiga hal tersebut, kita dorongan dan iklim yang mendukung
akan mampu lepas dari situasi yang carut bagi terciptanya suatu usaha yang tidak
marutnya ketenagakerjaan yang sampai- eksplotatif, bernilai sesuai dengan agama
sampai harus mengerahkan TKI murah dan dan nilai bangsa.

137
Ibid., hlm. 27.
138
Eggi Sudjana, Bayarlah …Op. Cit., hlm. 84-87.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 149


Terciptanya suatu kondisi yang mana itulah pekerja harus menunjukan
badan usaha adalah milik bersama dengan perhatian dan dukungan yang layak dari
sharing proporsional, maka persoalan masyarakat politik. Hanya kekuatan
eksploitasi akan terjawab dengan pekerja sendirilah yang memungkinkan
sendirinya ada apa yang dimaksud dengan terealisasinya paradigma baru itu,
kemakmuran dan keadilan, mau tidak mau sedangkan implementasi dari kebijakan
harus direalisasikan dengan cara ini, di dengan paradigma baru ini membutuhkan
lain itu hampir mustahil. Oleh karenanya, pra kondisi, terutama di kalangan
strategi untuk mengedepankan advokasi pekerja itu sendiri untuk meneguhkan
kebijakan tampaknya tepat, namun juga perjuangannya, yang mana nilai-nilai baru
harus diingat strategi semacam itu juga itu diterapkan sebatas kemampuan dan
telah banyak dilakukan oleh organisasi- diperjuangkan secara bertahap sesuai
organisasi pekerja lainnya, dan sampai dengan kekuatan yang dimiliki. Capailah
sekarang belum menunjukkan hasil yang kemenangan sedikit demi sedikit,
optimal. Hal itu akibat lebih dekatnya sehingga mencapai tujuan perjuangan
pengusaha ke pusat kekuasaan ketimbang pekerja yang juga merupakan cita-cita
pekerja. Langkah konkrit adalah tertinggi masyarakat Indonesia.139
membangun kekuatan sendiri, pekerja Guna mengaplikasikan nilai-
harus kuat dan memang mampu secara nilai tersebut dibutuhkan suatu
aktual menunjukkan kekuatannya untuk budaya rekognisi yang berkembang di
melakukan perubahan dan kebutuhan akan masyarakat, baik aparat pemerintah
situasi dan kebijakan yang menguntungkan maupun rakyat. Budaya rekognisi,
dirinya. Suatu dunia ketenagakerjaan yaitu budaya menghargai pihak lain,
dengan paradigma baru yang berpijak baik status sosialnya lebih tinggi, lebih
kepada pekerja. Tahapan untuk mencapai khusus lagi terhadap orang lain yang
perubahan yang diinginkan adalah status sosialnya lebih rendah, dalam hal
pentingnya gerakan pekerja membangun eksistensi hak-hak asasi, harkat, martabat
serikat pekerja yang kuat dan pro dan harga diri. Budaya ini muncul bila
pekerja, bukan serikat yang sektarian dalam setiap tindakannya, anggota
dan primordial. Kekuatan pekerja, belum masyarakat selalu berpedoman pada hati
pernah ada dalam sejarah Indonesia, nuraninya (conscience-nya) ilter dalam
proses inilah yang harus kita tempuh. kepribadian untuk dapat membedakan
Setelah konsolidasi organisasi sebagai yang baik dan yang buruk.140 Strategi
suatu kekuatan pekerja terselesaikan, pembangunan dengan budaya rekognisi
barulah kampanye mengenai paradigma bukan sekedar bermakna sebagai
baru yang diinginkan. pembuat sebuah rencana, melainkan
Di dalam proses itulah, kekuatan juga mencakup dimensi “proses belajar
dan posisi tawar antara kelompok bersama”. Proses perencanaan merupakan
kepentingan bertarung, di saat seperti kegiatan transaksi pembuat keputusan

139
Idem.

150 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


dengan masyarakat, lebih bermakna yang benar-benar sesuai antara harapan
sebagai social learning. Komunikasi yang dengan kenyataan, antara aturan-aturan
efektif jelas merupakan hal yang penting (bunyi Pasal) dalam undang-undang
dalam dialektika di atas. Distorsi-distorsi dengan peraturan di bawahnya (peraturan
komunikasi menipiskan kemungkinan pelaksana), antara law in book dan law in
menyatunya beragam persepsi dalam action.
paradigma pembangunan yang kelak
disepakati. Pembinaan tersebut juga DAFTAR PUSTAKA
menyulitkan akomodasi kepentingan-
kepentingan yang tidak adil dan tidak Abdul Jalil, Teologi Buruh, LKIS Yogyakarta,
proporsional. Tiadanya budaya rekognisi Yogyakarta, 2008.
akan memunculkan kecenderungan
menjadikan konsumen miskin sebagai Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan
objek yang harus dikorbankan dalam Tinjauan Politik Hukum, Sofmedia,
pembangunan metropolitan atau Medan, 2011.
megapolitan.
Aloysius Uwiyono, “Implikasi Undang-
C. PENUTUP Undang No. 13 Tahun 2003 Terhadap
Kebijakan dasar Hukum Iklim Investasi”, Jurnal Hukum
Ketenagakerjaan adalah melindungi Bisnis, Volume 22 No. 5, Yayasan
pihak yang lemah, dalam hal ini pekerja Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta,
dari kesewenang-wenangan pengusaha 2003.
yang dapat timbul dalam hubungan kerja
dengan tujuan memberikan perlindungan Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi:
hukum dan mewujudkan keadilan sosial. Telaah Filsafat Politik, Kanisius,
Kebijakan ini merupakan merupakan arah Yogyakarta, 2001.
politik hukum guna terciptanya sistem
hukum nasional yang adil, konsekuen, Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban
dan tidak diskriminatif, terjaminnya yang Adil: Problematika Filsafat
konsistensi seluruh peraturan perundang- Hukum, Grasindo, Jakarta, 1999.
undangan pada tingkat pusat dan
daerah, serta tidak bertentangan dengan Bustanul Ari in & Didik J. Rachbini,
peraturan perundang-undangan yang Ekonomi Publik dan Kebijakan Publik,
lebih tinggi. Politik hukum yang lebih Gramedia, Jakarta, 2001.
mementingkan kebijakan pemberlakuan
dengan mengabaikan kebijakan dasar Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi
menjadi salah satu faktor utama timbulnya tentang Sistem Pertanggungjawaban
inkonsisten. Sesungguhnya politik hukum Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo,
itu berguna untuk menemukan hukum Bandung, 2004.

140
Idem.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 151


Eggi Sudjana, Nasib & Perjuangan Buruh di Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori
Indonesia, Renaisan, Jakarta, 2005. dan Praktek (Buku Kesatu), Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1996.
H.F. Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan
Indonesia (dari Ola, Orba Sampai Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi
Reformasi) Telaah Sosiologis Yuridis & Judicial Review, UII Press, Yogyakarta,
dan Yuridis Pragmatis Kritis Jati Diri 2005.
Hukum Tata Negara Indonesia), Raja
Gra indo Persada, Jakarta, 2005. R. Wiyono, Garis Besar Pembahasan dan
Komentar UUD 1945, Alumni, Bandung,
Ismail Sunny, Hak Asasi Manusia, Yarsif 1976.
Watampone, Jakarta, 2004.
Rusli Muhammad, “Rekonstruksi Lembaga
John Rowls, A Theoru of Justice, Cambridge Pengadilan Menuju Indonesia Baru”,
– Massachusetts, Harvard University Rekonstruksi Indonesia, UNISIA (Jurnal
Press, 1971. Ilmu-ilmu Sosial) No. 53/XXVII/
III/2004, UII, Yogyakarta, 2004.
Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Perkembangan Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-
Ketenagakerjaan di Indonesia, Kantor ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu
ILO, Jakarta, 2011. Hukum, Alumni, Bandung, 1977.

M. Abdul Kholik, “Momentum Reformasi Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum


sebagai Landasan Membangun Hukum Kolonial ke Hukum Nasional : Dinamika
Responsif”, Jurna Hukum & Keadilan Sosial Politik dalam Perkembangan
Vol. 1 No. 1, UII, Yogyakarta, 1998. Hukum di Indonesia, Raja Gra indo
Persada, Jakarta, 1994.
Marsen Sinaga, Pengadilan Perburuhan
di Indonesia (Tinjauan Hukum Kritis Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam
atas Undang-Undang PPHI), Semarak Lintas Sejarah, Kanisius, 1982.
Cemerlang Nusa (SCN), Yogyakarta,
2006. Tom Campbell, Justice, Atlantic Highlanda,
Humanities Press International, 1988
Moch. Hatta dalam Sri Bintang Pamungkas,
Pokok-pokok Pikiran tentang Demokrasi Ujang Charda S., Kapita Selekta Hukum
Ekonomi dan Pembangunan, Yayasan Ketenagakerjaan (Suatu Paparan
Daulat Rakyat, Jakarta, 1996. Aktual, Kreatif & Inovatif), Fakultas
Hukum UNSUB, Subang, 2008.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep
Hukum dalam Pembangunan, Alumni, _______, Mengenal Hukum Ketenagakerjaan
Bandung, 2002. Indonesia (Sejarah, Teori & Praktiknya

152 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014


di Indonesia), Fakultas Hukum UNSUB,
Subang, 2008.

_______, “Reaktualisasi Supremasi Hukum


Ketenagakerjaan Pasca Reformasi”,
Jurnal Wawasan Hukum Vol. 21 Nomor
2, STHB, Bandung, 2009.

_______, ”Reorientasi Reformasi Model


Hukum Ketenagakerjaan dalam
Kebijakan Pemerintah”, Jurnal Ilmu
Hukum Syiar Hukum, Vol. XIV No. 1,
Fakultas Hukum UNISBA, Bandung,
Maret 2012.

_______, Mengenal Hukum Ketenagakerjaan


Indonesia (Sejarah, Teori & Praktiknya
di Indonesia), Fakultas Hukum
Universitas Subang, Subang, 2015.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September 2014 153

Anda mungkin juga menyukai