Anda di halaman 1dari 24

ESintesis dan karakterisasi kompleks

diaquodiisonikotinamidatembaga(ii) sulfat.nhidrat (n = 0 atau 1) dan


diaquodiasamisonikotinattembaga(ii) sulfat

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Disusun oleh :
Elis Harnanti
NIM : M0301004

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Tembaga(II)
Tembaga (Cu) merupakan unsur transisi yang banyak digunakan dalam
pembentukan kompleks, bernomor atom 29 dan masa atom 63,54 g mol -1. Logam
tembaga berwarna coklat kemerahan, mempunyai titik leleh 1083oC dan titik didih
mencapai 2566oC (Considine and Considine, 1984: 289). Pada umumnya tembaga
mempunyai bilangan oksidasi +1, +2 dan +3. Dalam pembentukan kompleks, tembaga
banyak dijumpai dalam bentuk tembaga(II) (Lee, 1991: 827).
Tembaga mempunyai konfigurasi 3d9 dengan satu elektron tidak berpasangan
menjadikan Cu(II) mengalami distorsi Jahn Teller. Jahn Teller terjadi karena adanya
distribusi elektron yang tidak simetris terutama elektron yang tidak berpasangan
menyebabkan tolakkan yang tidak seimbang pada keadaan splitting. Koordinat 6
oktahedral yang terdistorsi akan mengalami perpanjangan salah satu jarak ikatan dari 4
poros. Sedangkan bila berbentuk planar, maka 4 ikatan pendek Cu-L dan 2 ikatan
panjang pada posisi trans.

2. Ligan
Ligan adalah anion atau molekul netral yang merupakan donor elektron. Ligan
yang memiliki satu pasang elektron bebas yang terkoordinasi disebut ligan monodentat,
contohnya seperti pada ligan saccharin (Szafran, Pie and Singh, 1991: 334). Ligan yang
memiliki dua pasang elektron bebas yang terkoordinasi disebut ligan bidentat, contohnya
ligan N-(2-diethylmethylidene)-1-propanamine (Spinu and Kriza, 2000: 180), sedangkan
ligan yang memiliki lebih dari dua pasang elektron bebas yang terkoordinasi disebut ligan
polidentat, contohnya ligan 2-hydroxy naphthaldehyde (Sonmez, 2003: 399).

a. Isonikotinamida
6 3, Hal 3) mempunyai nama lain pyridine-
Isonikotinamida (C6H6N2O) (Gambar
4-carboxamide. Berat molekulnya sebesar 122,12 g mol -1, titik didihnya 146°C –
150°C. Isonikotinamida berupa kristal yang berwarna putih tidak berbau dan
mempunyai tiga atom yang mengandung pasangan elektron bebas yaitu O, N primer
dan N piridin. Isonikotinamida dapat digunakan sebagai antibakteri dan antilipemik
yang bertujuan untuk menurunkan terjadinya asteroskleorosis dan mencegah
penyempitan pembuluh arteri.

b. Asam Isonikotinat
Asam isonikotinat (C6H5NO2) (Gambar 3, Hal 3) mempunyai nama lain yaitu
pyridine-4-carboxylic acid, 4-pyridinecarboxylic acid dan tolfenamic acid. Asam
isonikotinat mempunyai struktur lingkar enam yang terdiri dari lima atom karbon dan
satu nitrogen. Asam isonikotinat berupa padatan kristal putih yang tidak berbau
dengan berat molekul 123,11 g mol-1, titik leburnya 310°C - 315C dan titik didihnya
260° C. Senyawa ini larut dalam metanol dan etanol panas. Asam isonikotinat
mempunyai tiga atom yang mengandung pasangan elektron bebas yaitu dua O dan N
piridin.

3. Kompleks Tembaga(II)
Senyawa kompleks terbentuk antara atom pusat dengan suatu ligan. Atom pusat
pada umumnya merupakan ion-ion logam transisi yang memiliki orbital d yang terisi
sebagian dan dapat berfungsi sebagai penerima pasangan elektron bebas, misalnya Cu2+
(Cotton and Wilkinson, 1988: 625).
Tembaga(II) dengan ligan yang mengandung atom donor elektron seperti N, S dan
O dapat membentuk kompleks dengan berbagai kemungkinan geometri. Pada umumnya
tembaga(II) membentuk kompleks dengan bilangan koordinasi empat, lima atau enam
dengan geometri square planar, square pyramid atau oktahedral terdistorsi (Cotton and
Wilkinson, 1988: 542).

Kompleks [Cu(1-myct)4]2+ (1-mctyt = 1-methylcytosine), yang strukturnya


ditunjukkan oleh Gambar 4, memiliki bilangan koordinasi empat dan bergeometri square
planar. Atom N dari keempat ligan 1-myct terkoordinasi pada atom pusat Cu dan
menempati sudut-sudut square planar (Selvi, et.al., 2002: 142).

Gambar 4. Struktur kompleks [Cu(1-myct)4]2+ dengan geometri square planar


(Selvi, et.al., 2002: 142)

Gambar 5 menunjukkan kompleks [{L(-OH))Cu2}(-bpeta)2{Cu2(-OH)L}]


(ClO4)4.CH3OH.1.5H2O dengan L = 2,6-bis[N-2-pyridylethyl) formimidoyl]-phenolato,
yang memiliki bilangan koordinasi lima dan bergeometri square pyramida. Atom pusat
Cu terkoordinasi dengan tiga atom N ( dua dari L dan satu dari bpeta) dan dua atom O
(satu dari L dan satu dari jembatan hydroxo) (Visinescu, Pascu and Andruh, 2002: 203).
Gambar 5. Struktur kompleks [{L(-OH))Cu2}(-bpeta)2{Cu2(-OH)L}]
(ClO4)4.CH3OH.1.5H2O dengan geometri square pyramid (Visinescu,
et.al., 2002: 204)
Kompleks [Cu(L)(btc-)2] dengan btc- = 1,2,4,5-benzenetetracarboxylicacid dan L =
3,10-bis(2-hidroxyethyl)-1,3,5,8,10,12-hexaazacyclotetradecane, yang memiliki bilangan
koordinasi enam dan bergeometri oktahedral. Seperti ditunjukkan oleh Gambar 6. Atom
pusat Cu terkoordinasi dengan empat atom N ligan dan dua atom O dari btc- (Cho, Lough
and Kim, 2003: 306).

Gambar 6. Struktur kompleks [Cu(L)(btc-)2] dengan geometri oktahedral


(Cho, et.al., 2003: 308)

4. Teori Pembentukan Kompleks


a. Teori Ikatan Valensi
Teori ini membahas orbital atom logam dan ligan yang digunakan untuk berikatan
(Lee, 1991: 202). Menurut teori ikatan valensi, ikatan dalam kompleks terjadi karena
adanya tumpang tindih antara orbital ligan yang mempunyai pasangan elektron bebas
dengan orbital ion logam yang masih kosong. Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan
kovalen koordinasi (Syarifuddin, 1994: 153).

Tembaga(II) merupakan logam transisi yang berperan sebagai atom pusat dalam
suatu kompleks, sehingga tembaga(II) harus menyediakan orbital kosong untuk ditempati
pasangan elektron bebas dari ligan, yang jumlahnya sesuai dengan banyaknya ligan yang
terkoordinasi pada tembaga(II). Ilustrasi konfigurasi elektron Cu ([Ar] 3d 10 4s1) dan Cu2+
([Ar] 3d9 4s0) ditunjukkan oleh Gambar 7.

Cu Cu2+

E
4p 4p

4s 4s

3d 3d
Gambar 7. Ilustrasi konfigurasi elektron Cu dan Cu2+ (Huheey, 1993: 391)

Kompleks [Cu(1-myct)4]2+ (1-mctyt = 1-methylcytosine) yang bergeometri square


planar dapat terbentuk karena tembaga(II) menyediakan empat orbital kosong sehingga
dapat ditempati oleh pasangan elektron bebas dari 1-myct. Orbital tersebut adalah satu
2+ 2+
orbital Cu
3d, satu orbital 4s dan Cu tereksitasi
dua orbital ]2+
[Cu(1-myct)hibridisasi
4p yang kemudian mengalami 4 dsp 2
(Huheey, 1993: 392) seperti diilustrasikan oleh Gambar 8.

p
4p 4p

E
dsp2

4s 4s

3d
3d 3d
1 orbital d, 1 orbital s dan 2 orbital
p dari Cu2+ mengalami hibridisasi
membentuk orbital hibrid dsp2
Gambar 8. Ilustrasi Pembentukan Hibridisasi pada Kompleks [Cu(1-myct)4]2+
(Huheey, 1993: 390)
Kompleks [{L(-OH))Cu2}(-bpeta)2{Cu2(-OH)L}](ClO4)4.CH3OH. 1.5H2O (Hal.
8) yang bergeometri square pyramid dapat terbentuk karena ada lima orbital kosong yang
disediakan oleh tembaga(II) untuk ditempati pasangan elektron bebas dari L, -bpeta
maupun jembatan OH-. Orbital tersebut adalah satu orbital 4s, tiga orbital 4p dan satu
orbital 3d, yang membentuk hibridisasi dsp3 seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9.

Cu2+ Cu2+ tereksitasi [[{L(-OH))Cu2}(-bpeta)2{Cu2(-


OH)L}](ClO4)4.CH3OH. 1.5H2O

4d 4d
E 4d

4p 4p

dsp3

4s 4s

3d 3d

1 orbital d, 1 orbital s dan 3 orbital p


dari Cu2+ menjadi hibrid dsp3
Gambar 9. Ilustrasi Pembentukan Hibridisasi pada Kompleks [{L(-OH) Cu2}(-
bpeta)2{Cu2(-OH)L}](ClO4)4.CH3OH. 1.5H2O
(Huheey, 1993: 390)

Pauling meramalkan bentuk geometri dari berbagai senyawa atau ion kompleks
berdasarkan ikatan hibrida yang terbentuk. Orbital hibrida untuk beberapa konfigurasi
geometri ditunjukkan oleh Tabel 1 (Sharpe, 1992: 463).

Tabel 1. Bentuk Geometri dan Ikatan Hibrida Senyawa Kompleks


Bilangan Ikatan Hibrida Bentuk Geometri Contoh
Koordinasi Kompleks
2 Sp Linier Ag[(NH3)4]2+
3 sp2 Trigonal [HgI3]-
4 sp3 tetrahedral Ni(CO)4
2
dsp square planar [Ni(CN)4]2-
5 dsp3 trigonal bipiramid [CuCl5]3-
dsp3 square pyramid [Ni(CN)5]3-
6 d2sp3, sp3d2 oktahedral [Co(NH3)6]3+
Besarnya momen magnet pada teori ikatan valensi menunjukkan jumlah elektron yang
tidak berpasangan yang terdapat dalam kompleks, namun teori ini tidak dapat
menerangkan perbedaan nilai momen magnet pada temperatur yang bervariasi. Selain itu
teori ikatan valensi memiliki kelemahan yaitu tidak dapat menerangkan warna kompleks
yang dihasilkan (Lee, 1991: 204).

b. Teori Medan Kristal


Teori medan kristal menyatakan bahwa ikatan dalam kompleks terjadi karena
adanya gaya elektrostatik antara ion pusat dengan ligan. Logam transisi yang menjadi
ion pusat dianggap sebagai ion positif sedangkan ligan dianggap sebagai ion negatif,
sehingga ikatan yang terjadi adalah ikatan ionik murni (Syarifuddin, 1994: 158).

Orbital d pada ion pusat (dxy, dxz, dyz, dx2-y2 dan dz2) mempunyai energi yang sama
(terdegenerasi) jika ion pusat dalam keadaan bebas, tanpa pengaruh ligan. Jika disekitar
ion pusat terdapat ligan, muatan negatif ligan menyebabkan energi orbital meningkat
namun tetap terdegenerasi, saat kompleks terbentuk, orbital terpisah (split) menjadi dua
bagian. Hal ini terjadi karena adanya tolak menolak antara medan negatif dari ligan
dengan elektron pada ion pusat (Lee, 1991: 205).

b.1 Pembelahan Orbital d Kompleks Oktahedral


Orbital yang berada pada sumbu oktahedral (orbital dz2 dan dx2-y2 atau disebut
orbital eg) mengalami tolakan yang lebih besar dibanding dengan orbital yang berada
diantara sumbu oktahedral (orbital dxy, dxz dan dyz atau disebut orbital t2g). Tolakan
antara atom pusat dengan ligan akan menimbulkan medan listrik yang menyebabkan
orbital d terpisah, orbital eg pada energi yang lebih tinggi sedangkan orbital t2g pada
energi yang lebih rendah. Besarnya pemisahan orbital e g dan t2g pada kompleks
oktahedral disimbolkan dengan Δo atau 10 Dq, yang juga menunjukkan kekuatan
medan kristal (Greenwood and Earnshaw, 1984: 1084). Pemisahan orbital d pada
kompleks oktahedral ditunjukkan oleh Gambar 10.

Energi
z2 x2-y2 eg

+ 6 Dq

xy xz yz z2 x2-y2 10 Dq

orbital d dalam pengaruh


- 4 Dq
medan kristal
xy xz yz t2g

xy xz yz z2 x2-y2 pembelahan orbital d


pada kompleks oktahedral
orbital d
Gambar 10. Pembelahan orbital d pada kompleks oktahedral (Greenwood
and Earnshaw, 1984: 1085)

b.2 Pembelahan Orbital d Kompleks Square Planar


Apabila kedua ligan pada posisi trans pada kompleks oktahedral bergerak
menjauhi dari ion pusat, maka kompleks yang dihasilkan adalah kompleks oktahedral
terdistorsi secara tertragonal. Distorsi ini dinamakan distorsi Jahn Teller. Distorsi
Jahn Teller terdapat pada bentuk oktahedral dimana ion pusatnya terisi elektron secara
tidak simetris, yaitu seperti pada tembaga(II) dengan konfigurasi d 9, kedua ligan
disepanjang sumbu z yang menjauhi ion pusat menyebabkan orbital dz2, dxz dan dyz nya
terstabilkan dan energinya berkurang karena elektron-elektron yang terdapat pada
orbital tersebut memperoleh tolakan yang lebih kecil dibandingkan dengan tolakan
yang diperoleh dalam bentuk oktahedral. Berkurangnya energi orbital-orbital diatas,
disertai dengan bertambahnya energi orbital-orbital dx2-dy2 dan dxy, seperti pada
Gambar 11 (Huheey, 1993: 402). Selanjutnya apabila kedua ligan di sepanajng sumbu
z lepas maka menghasilkan struktur square planar (Gambar 12), seperti umumnya
terbentuk pada kompleks tembaga(II).
Energi
x2-y2
b1g

x2-y2
sp
2 2 2
z x -y
eg

+ 6 Dq z2 xy
b2g
xy xz yz z2 x -y 2 2
10 Dq
orbital d dalam kedaan - 4 Dq xy
terdegenerasi t2g z2
xy xz yz a1g

pembelahan orbital d
pada kompleks oktahedral
xz yz

pembelahan orbital d
pada kompleks oktahedral xz yz
yang terdistorsi secara tetragonal eg
pembelahan orbital d
pada kompleks square planar

Gambar 11. Ilustrasi pembelahan orbital d karena pengaruh distorsi Jahn Teller
(Huheey, 1993: 404)
L
L

L L
L L
Cu Cu
L L L L

L L

L
L
Cu

L L

Gambar 12. Distorsi kompleks oktahedral yang kemudian menjadi kompleks square
planar (Day dan Selbin, 1962 : 292)

c. Teori Orbital Molekul


Dalam teori medan kristal, ikatan antara logam dengan ligan adalah ikatan ionik
tanpa karakter kovalen, namun sebagai bukti langsung bahwa elektron-elektron ligan dan
ion atom pusat dapat melakukan ikatan kovalen adalah adanya nephalauxetic effect.
Telah diketahui bahwa tolakan elektron-elektron dalam kompleks lebih kecil daripada
tolakan elektron-elektron dalam ion bebas. Dari data yang diturunkan dari spektra
elektronik kompleks dapat disusun suatu seri nephalauxetic ion-ion logam dan ligan yang
menunjukkan urutan berkurangnya tolakan elektron (meningkatnya efek nephalauxetic).
Berkurangnya tolakan elektronik yang terjadi akibat pembentukan ikatan, dimungkinkan
karena bertambahnya jarak antara elektron sebagai hasil bersatunya logam dan ligan
membentuk orbital molekul yang lebih besar (Huheey, 1993: 413).

Adanya ikatan kovalen dalam kompleks dapat diterangkan dengan teori orbital
molekul. Dalam kompleks oktahedral, orbital-orbital yang mempunyai energi sama atau
hampir sama atau dapat mengadakan tumpang tindih, dapat bergabung dan membentuk
orbital molekul bonding dan antibonding. Pada ion kompleks oktahedral 2 di antara 5
orbital d, yaitu dx2-y2 dan dz2 mengarah langsung kepada ligan. Kedua orbital tersebut dan
orbital yang berisi pasangan elektron pada ligan, dapat membentuk orbital molekul
bonding dan anti bonding. Orbital-orbital dxy, dxz dan dyz berada di antara arah ligan
menuju ion pusat, tidak terlibat dalam membentuk ikatan (orbital nonbonding). Orbital
yang terlibat dalam pembentukan ikatan adalah orbital 4s, dan 3 orbital 4p, seperti yang
ditunjukkan oleh Gambar 13 (Huheey, 1993: 413).

t1u*
Px * Py* Pz *

a1g* orbital
anti bonding
4p
Px Py Pz t1u

4s eg *
a1g dx 2-y2* dz 2*
10 Dq
orbital
3d non bonding
eg t2g t2g
dx 2 -y2 dz 2 dxy dxz dyz dxy dxz dyz enam donor orbital
4p
Px Py Pz dx 2-y2 dz 2
eg
2 2 2
dx -y dz

orbital
t1u bonding
Pz Py Px

a1g
orbital atom orbital molekul orbital atom
pada ion logam kompleks pada L

Gambar 13. Orbital Molekul Kompleks Oktahedral (Huheey, 1993: 417)

Kompleks bilangan koordinasi empat dengan bentuk square planar memiliki


tingkat orbital d logam yang terpisah menjadi orbital a 1g (dz2), eg (dxz, dyz), b2g (dxy) dan b1g
(dx2-y2). Tingkat orbital p juga akan terpisah menjadi a 2u (pz) dan eu (px,py). Orbital ligan
a1g tumpang tindih dengan orbital logam a1g pada orbital d dan s menghasilkan tiga orbital
molekul a1g yang simetri, yaitu dua a1g dan satu a*1g seperti yang ditunjukkan oleh
Gambar 14 (Huheey, 1993: 418).

eu*
px* py*

a*1g

orbital anti bonding


4p eu,a2u a2u
pz py px pz

*
4s dx2-y2 b1g
a1g
a1g
d z2 empat donor orbital
3d orbital a1g , b1g , eu
eg,a1g,b1g,b2g b2g non bonding
dx -y2
2 dz2 dxy dxz dyz dxy dxz dyz eg
dx2-y2 px py

eu
px py
orbital bonding

2 2
b1g
dx - y
orbital atom orbital atom
pada ion logam pada L
a1g

orbital molekul
kompleks
Gambar 14. Orbital Molekul Kompleks Square Planar (Huheey, 1993: 419)

5. Sifat Magnetik
Suatu kompleks logam transisi dapat bersifat paramagnetik dan diamagnetik. Sifat
paramagnetik terjadi pada orbital d yang terisi elektron secara tidak berpasangan, pada
umumnya terjadi pada kompleks dengan medan ligan yang lemah. Jika ligan memiliki
medan ligan lemah, pemisahaan orbital d yang dihasilkan tidak terlalu besar sehingga
orbital d memiliki energi yang rendah. Masing–masing orbital d akan terisi oleh satu
elektron dan elektron berikutnya cenderung mengisi orbital dengan tingkat energi yang
lebih tinggi, keadaan ini disebut dengan spin tinggi. Sedangkan sifat diamagnetik terjadi
pada orbital d yang terisi elektron secara berpasangan dan pada umumnya terjadi pada
kompleks dengan medan ligan yang kuat. Apabila medan ligan memiliki medan ligan
yang kuat akan menghasilkan pemisahan orbital d yang besar, sehingga orbital d
memiliki energi tinggi dan elektron cenderung berpasangan daripada mengisi orbital
dengan tingkat energi yang lebih tinggi, keadaan ini disebut dengan spin rendah (Lee,
1991: 675).

Spin elektron yang tidak berpasangan pada orbital d terus bergerak, sehingga
menimbulkan momen magnet permanen yang searah dengan medan magnet luar dan
menghasilkan nilai kerentanan magnet (Jolly, 1991: 455). Nilai kerentanan magnet dapat
diukur dengan neraca kerentanan magnetik atau Magnetic Susceptibility Balance. Nilai
kerentanan magnetik molar (χM) untuk satu mol zat dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan (1).

χM=χg x Mr ………………………………………….…………………..(1)

Keterangan :

Mr = berat molekul (g.mol-1)

g = kerentanan massa (cgs)

Kerentanan magnetik terkoreksi diketahui dengan menggunakan persamaan (2),


sedangkan faktor koreksi diamagnetik beberapa ion dan molekul ditunjukkan oleh Tabel
2.
χA=χM - χL ………………………………………….…………...………..(2)

Keterangan :

χL = jumlah dari semua koreksi diamagnetik

A = nilai kerentanan magnetik terkoreksi

Tabel 2. Faktor Koreksi Diamagnetik Beberapa Ion dan Molekul (Porterfield, 1984: 456)
No. Kation/Anion/Atom Faktor Koreksi (10-6 cgs)
Netral/Molekul
1. Cu2+ -15,00
2. SO42- -40,10
3. H2O -13,00
4. C -6,00
5. H -2,93
6. N -4,61
7. O -4,61

Nilai momen magnetik efektif (μeff) dengan kerentanan magnetik terkoreksi (χA)
dihubungkan melalui persamaan (3) dan (4) (Szafran et.al., 1991: 53).
1/ 2
 3k 
μeff=   A .T  BM .….……………...…….…….…….……………..(3)
 N
2

Keterangan :
μeff = nilai momen magnetik efektif
N = tetapan Avogadro (6,022 x 1023 mol-1)
k = tetapan Boltzman (1,381 x 10-16 erg.s-1)
β = konversi Bohr Magneton (9,273 x 10-21 erg.gauss-1)
T = suhu (oK)
A = nilai kerentanan magnetik terkoreksi
Subtitusi nilai N,  dan k akan diperoleh pada persamaan (4).

μeff=2,828   A .T 1 / 2 BM ……………………….………………...…..……(4)
Momen magnet logam transisi adalah perpaduan antara momen spin dengan momen
orbital, tetapi momen magnet dapat juga dihitung dari momen spin saja karena pada
umumnya kontribusi momen orbital kompleks hampir dapat diabaikan. Hubungan nilai
momen magnetik spin (μs) suatu senyawa dengan banyaknya elektron yang tidak
berpasangan dinyatakan dalam persamaan (5) (Jolly, 1991: 454).

μs=  n n  2  1 / 2 BM ………………...………….……………………...…(5)

Keterangan :
μs = momen magnetik yang ditimbulkan oleh spin elektron
n = jumlah elektron yang tidak berpasangan
Persamaan (5) menunjukkan bahwa nilai momen magnetik kompleks tergantung
pada jumlah elektron yang tidak berpasangan. Nilai momen magnetik kompleks
tembaga(II) yang teramati (μobs) dengan satu elektron tidak berpasangan berkisar antara
1,7-2,2 BM, sedangkan momen magnetik yang hanya melibatkan spin elektron (μs)
adalah 1,73 BM (Day and Selbin, 1962: 305).

6. Daya Hantar Listrik


Daya hantar listrik adalah ukuran kekuatan larutan yang dapat menghantarkan listrik
(Rivai, 1995: 39). Senyawa elektrolit dapat menghantarkan arus listrik ketika dilelehkan
atau berada dalam larutan. Hantaran arus listrik dapat terjadi karena perpindahan ion
yang disebabkan adanya beda potensial elektronik. Muatan positif akan menuju
elektroda negatif sedangkan muatan negatif akan menuju elektroda positif (Lee, 1991:
40). Daya hantar listrik larutan elektrolit pada setiap temperatur tergantung pada jenis
dan konsentrasi dari ion-ion yang ada dalam larutan. Apabila suatu larutan elektrolit
diencerkan, daya hantar listriknya akan turun karena ion yang ada untuk membawa arus
listrik per cm3 larutan menjadi lebih sedikit (Bird, 1993: 197).
Daya hantar listrik yang ditimbulkan oleh satu mol zat disebut sebagai daya hantar
listrik molar (molar konductivity), yang dirumuskan oleh persamaan (6) (Atkins, 1994:
835).


ΛM= ………………………………….……………………...……..…(6)
C
Keterangan :

ΛM = daya hantar molar (S.cm2.mol-1)

κ = daya hantar listrik spesifik larutan elektrolit (S.cm-1)

C = konsentrasi larutan elektrolit (mol.cm-3)

Jika diketahui konsentrasi larutan elektrolit adalah mol.L-1, sedangkan satuan daya
hantar molarnya tetap maka persamaan (6) menjadi :

1000
ΛM= ………………………………..……………………...…......(7)
C

Keterangan :

ΛM = daya hantar molar (S.cm2.mol-1)

κ = daya hantar listrik spesifik larutan elektrolit (S.cm-1)

C = konsentrasi larutan elektrolit (mol.L-1)

Apabila daya hantar spesifik larutan adalah daya hantar yang sudah terkoreksi (κ*)
dalam satuan μS.cm-1, maka daya hantar molar larutan elektrolit dapat ditulis:

*
ΛM= ………………………………….………….……….….…...(8)
1000C

Keterangan :

ΛM = daya hantar molar (S.cm2.mol-1)

κ* = daya hantar listrik spesifik terkoreksi (μS.cm-1)

= κlarutan kompleks – κ pelarut

C = konsentrasi larutan (mol.L-1)

Dengan membandingkan konduktifitas molar suatu senyawa dengan senyawa ionik


yang diketahui konduktifitas molarnya, dapatlah diperkirakan jumlah ion (kation dan
anion) yang dihasilkan dalam larutan (Szafran et.al., 1991: 103).

Jumlah ion yang terdapat dalam kompleks Cu(II)-isonikotinamida dan Cu(II)-asam


isonikotinat dapat diketahui dengan mengukur konduktifitas larutannya, pengukuran ini
memberikan informasi jumlah ion (kation dan anion) yang terdapat dalam kompleks,
sehingga pengukuran daya hantar listrik dapat digunakan untuk merumuskan senyawa
kompleks yang terbentuk.

7. Spektroskopi Infra Merah


Setiap ikatan mempunyai frekuensi ulur dan frekuensi tekuk yang karakteristik dan
dapat menyerap sinar dari frekuensi tersebut. Vibrasi dua atom yang dihubungkan
dengan ikatan kimia dapat disamakan dengan vibrasi dua bola yang dihubungkan oleh
pegas. Penyerapan energi sinar infra merah atau infra red (IR) oleh suatu molekul dapat
terjadi bila gerakan vibrasi dan rotasi molekul menghasilkan perubahan netto momen
dwikutubnya. Apabila frekuensi sinar IR sama dengan frekuensi vibrasi alamiah dari
molekul, maka sinar IR akan diserap oleh molekul.

Vibrasi ulur terdiri dari vibrasi simetris dan anti simetris, sedangkan vibrasi tekuk
terdiri dari vibrasi goyang (rocking), gunting (scissoring), putar (twisting) dan kibas
(wagging) seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 15 (Hendayana, Kadaromah, Sumarna
dan Supriatna, 1994: 192).

R R

C C

H H H H
(a) (b)

R R
H H
C C
C C
H H H H
R R R R
(c) (d) (e) (f)

Gambar 15. Vibrasi ulur : (a) simetri, (b) asimetri dan vibrasi tekuk :
(c) scisoring, (d) rocking, (e) wagging, (f) twisting.
(Hendayana, dkk., 1994: 192)
Kerumitan struktur suatu molekul mempengaruhi banyaknya pita absorpsi yang
muncul karena makin rumit struktur makin banyak bentuk-bentuk vibrasi yang mungkin
terjadi. Meskipun spektrum infra merah molekul poliatomik sangat sulit untuk dianalisis,
tetapi absorpsi setiap gugus fungsional dalam molekul tampak pada daerah yang agak
spesifik (Hendayana, dkk., 1994: 191-194). Frekuensi vibrasi pada ikatan antara dua
atom dapat ditentukan dengan menggunakan hukum Hooke seperti yang ditunjukkan
pada persamaan (9) (Kemp, 1987: 18).
1/ 2
1  k 
   …...………………….………….....……..(9)
2  (m1.m2 ) /(m1  m2 ) 

Keterangan :

υ = frekuensi vibrasi (s-1)

k = tetapan gaya ikatan (N.m-1)

π = konstanta (3,14)

m1 dan m2 = masa atom 1 dan atom 2 (g)

Untuk menyatakan bilangan gelombang ( ) menggunakan hubungan yang


ditunjukkan oleh persamaan (10) (dimana c adalah kecepatan cahaya sebesar 2,998 x 10 10
cm s-1).


= ………………………………………………………………… (10)
c

Energi vibrasi suatu molekul sebanding dengan frekuensinya, seperti yang


ditunjukkan oleh persamaan (11)

E=h.υ …………..……………….………………….…………………...(11)

Keterangan :

E = energi vibrasi (J)

h = tetapan Plank (6,626 x 10-34 Js)

υ = frekuensi vibrasi (s-1)

Serapan gugus fungsi suatu senyawa dinyatakan dengan bilangan gelombang (  ),


hubungan antara energi dengan bilangan gelombang ditunjukkan oleh persamaan (12).

E= h.c.  ………………………………………….……………………..(12)

Serapan infra merah dari beberapa gugus fungsi adalah sebagai berikut:

1. Oksigen–Hidrogen
Gugus O-H pada asam karboksilat memperlihatkan pita yang lebar di daerah
2500–3500 cm-1 disebabkan oleh vibrasi ulur O-H berikatan hidrogen. Pita ulur O-
H ini mempunyai struktur dimer. Untuk vibrasi tekuk O-H muncul di dekat 1395-
1440 cm-1 (Sudjadi, 1985: 224).

2. Anion Karboksilat

Anion karboksilat mempunyai dua buah ikatan karbon ke oksigen yang


terkopel dengan kuatnya serta kuat ikatannya diantara C=O dengan C-O. Anion
karboksilat ini memberikan dua buah pita yaitu sebuah pita kuat uluran tak simetri
di dekat 1550-1650 cm-1 dan sebuah lainnya yang lemah, pita ulur simetri, yang
muncul di dekat 1400 cm-1(Silverstein, Bassler and Morril., 1986: 121).

3. Nitrogen-Hidrogen

Vibrasi ulur gugus N-H primer dengan cuplikan padatan memperlihatkan dua
pita serapan yang sedang, di daerah dekat 3180 cm -1 dan 3350 cm-1. Pita-pita ini
menyatakan jenis vibrasi ulur N-H simetrik dan taksimetrik. N-H sekunder
menunjukkan serapan lemah di daerah 3350-3310 cm-1. Vibrasi tekuk NH2 dalam
keadaan padat terletak di dekat 1655-1620 cm-1 (Silverstein, et.al., 1986: 126).

4. Karbon–Oksigen

Pada umumnya gugus karbonil (C=O) pada asam karboksilat memperlihatkan


serapan dimer di daerah 1706-1680 cm-1, sedangkan dua pita yang ditimbulkan oleh
uluran C-O dalam spektrum dimer karboksilat muncul di dekat 1210-1320 cm -1
(Silverstein, et.al., 1986: 120).

Gugus karbonil pada amida primer memiliki sebuah pita amida I yang kuat di
dekat 1650 cm-1 bila diperiksa dalam keadaan padat. Bila dalam bentuk larutan
encer di dekat 1690 cm-1(Silverstein, et.al., 1986: 126).

5. Karbon-Nitrogen

Pita ulur C-N amida primer terletak di daerah 1400 cm -1. Pita lebar
berkekuatan menengah di sekitar daerah 800–600 cm-1 dalam spectrum amida
primer dan sekunder dihasilkan oleh kibasan N-H (Silverstein, et.al., 1986: 127).
Pita ulur C=N cicin piridin terletak di daerah 1600-1430 cm-1 (Silverstein, et.al.,
1986: 185).

Pembentukan senyawa kompleks menghasilkan perubahan kekuatan ikatan antar


atom pada molekul. Hal ini menyebabkan senyawa kompleks memiliki serapan gugus
fungsi yang berbeda dari ligan bebasnya. Pada senyawa kompleks seng(II) dengan ligan
nikotinamida, gugus N piridin yang terkoordinasi pada atom pusat seng(II) memiliki
serapan ulur pada 1603 cm–1 sedangkan pada ligan bebas memiliki serapan ulur N piridin
pada 1592 cm–1. Gugus NH2 dan CO tidak terkoordinasi pada atom pusat seng(II) karena
-1
mengalami pergeseran kearah yang lebih besar yaitu 3368 cm menjadi 3380 cm-1 pada
gugus NH2 dan 1697 cm-1 menjadi 1701 cm-1 pada gugus CO (Sahin, Ide, Atac and
Yurdakul, 2002: 254). Pada senyawa kompleks seng(II) dengan ligan asam isonikotinat
N-oksid, gugus C=O terkoordinasi pada atom pusat seng(II) karena gugus C=O
mengalami pergeseran kearah bilangan gelombang yang lebih kecil (1705 cm-1 1698
cm-1) dari ligan bebasnya (Can, Atac and Bardak, 2004: 592).

8. Spektrum Elektronik Kompleks Tembaga (II)


Transisi elektronik yang terjadi pada senyawa kompleks tembaga(II) adalah akibat
dari pembelahan tingkat energi pada orbital 3d. Dalam keadaan ion bebas atau tanpa
adanya medan ligan, belahan elektrostatik antara elektron–elektron yang tidak
berpasangan pada konfigurasi d9 menghasilkan tingkat–tingkat energi yang dinyatakan
2
dengan term simbol D. Tingkat energi pada 2D mempunyai satu elektron yang tidak
berpasangan, sehingga hanya satu kali terjadi transisi pada keadaan dasar ke keadaan
tereksitasi (Lee, 1991: 953). Elektron yang tereksitasi ini menyerap energi, energi
tersebut berbanding terbalik dengan panjang gelombang sinar yang diserap, seperti yang
ditunjukkan oleh persamaan 13 (Greenwood and Earnshaw, 1984: 1090).

hcNo
∆o = = …………………………….…………………………..(13)

Keterangan:

∆o = energi transisi elektron orbital d (J mol-1)

c = kecepatan cahaya 2,998. 108 m s-1


 = panjang gelombang (m)

No = bilangan Avogadro (6,022 x 1023 mol-1)

h = konstanta Planck = 6,62. 10-34 Js

Keadaan transisi pada 2D untuk d9 medan oktahedral yang tersplitting ditulis


sebagai transisi 2Eg 2
T2g dan menghasilkan satu puncak serapan, seperti ditunjukkan
dalam Gambar 16 (Lee, 1991: 953).
Energi

2
T2g

4 Dq
2
D

6 Dq
2
Eg
Bertambahnya kekuatan medan ligan

Gambar 16. Diagram Orgel Medan Oktahedral Ion d9 (Lee, 1991: 956).
[Cu(H2O)6]2+ merupakan kompleks oktahedral dengan konfigurasi d9 yang
mempunyai satu spektra elektronik pada daerah 800 nm atau 12.500 cm-1. Apabila
larutan [Cu(H2O)6]2+ ditambahkan suatu ligan seperti NH3, maka H2O yang terkoordinasi
pada ion tembaga(II) akan digantikan oleh NH3 sehingga akan terbentuk kompleks
[Cu(NH3)(H2O)5]2+,…, [Cu(NH3)5(H2O)]2+, puncak serapannya (maks) akan bergeser
kearah bilangan gelombang lebih besar (pada daerah 600 nm atau 16.666,67 cm-1), seperti
ditunjukkan oleh Gambar 17 (Cotton dan Wilkinson, 1988: 369).
80 F

60 E
 D
40
ε C
20 B
A
0
10.000 15.000 20.000
frekuensi (cm-1)

Gambar 17. Spektra Absorpsi (A) [Cu(H2O)6]2+ dan Amina dalam


Ammoniumnitrat 2 M pada 25oC; (B) [Cu(NH3)(H2O)5]2+;
(C)[Cu(NH3)2(H2O)4]2+; (D) [Cu(NH3)3(H2O)3]2+;
(E) [Cu(NH3)4(H2O)2]2+ dan (F) [Cu(NH3)5(H2O)]2+
(Cotton dan Wilkinson, 1988: 370)

Apabila ke dalam suatu larutan [Cu(H2O)5]2+ ditambahkan suatu ligan yang lebih
kuat daripada H2O maka akan terbentuk berbagai kompleks tergantung kekuatan ligan
dan konsentrasi ligan.

9. Differential Thermal Analysis (DTA)


Analisis termal didefinisikan sebagai pengukuran sifat fisika dan kimia dari
material sebagai fungsi temperatur. Analisis termal ini meliputi entalpi, kapasitas panas,
masa dan koefisian ekspansi termal. Teknik yang sering digunakan dalam analisis termal
ini adalah Differential Thermal Analysis (DTA) yang mengukur perbedaan temperatur
(T) antara sampel dan materi pembanding inert sebagai fungsi temperatur, jika temperatur
keduanya dinaikkan dengan kecepatan yang sama dan konstan. Perubahan keadaan
sistem karena naiknya temperatur ini merupakan konsekuensi dari proses yang terjadi
pada sampel yaitu eksoterm dan endoterm, yang kemudian ditampilkan dalam bentuk
termogram differential.
Gambar 18 menunjukkan termogram differential yang diperoleh dari pemanasan
kalsium oksalat monohidrat beratmosfer udara. Dua kurva minimun mengindikasikan
sampel menjadi lebih dingin daripada material pembandingnya sebagai konsekuensi dari
diserapnya panas pada dua proses endotermis. Kurva minimum pertama muncul pada
suhu sekitar 200oC, pada suhu tersebut kalsium oksalat monohidrat terurai dengan
melepaskan satu molekul air. Kurva minimum kedua yang muncul pada suhu sekitar
800oC menandakan pembentukan kalsium oksida dan karbon dioksida. Kurva maksimum
tunggal pada suhu sekitar 500oC mengindikasikan bahwa reaksi untuk menghasilkan
kalsium karbonat dan karbon dioksida adalah eksotermis (Susilowati, 2001: 1).

Eksoterm
2CaC2O4 + O2 2CaCO3 + 2CO2

ΔT
0

CaC2O4.H2O CaC2O4 + H2O

CaCO3 CaO + CO2

Endoterm

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900


o
Temperatur sampel ( C)

Gambar 18. Termogram differential dari CaC2O4.H2O dengan adanya O2 pada


kenaikan 8o C min-1 (Susilowati, 2001 : 2).

B. Kerangka Pemikiran
Senyawa kompleks dapat terbentuk jika berikatan kovalen koordinasi antara orbital
kosong atom pusat dengan molekul netral atau anion yang mempunyai atom donor
elektron. Tembaga(II) merupakan atom pusat dengan konfigurasi d9 mempunyai orbital
kosong. Isonikotinamida mengandung atom donor elektron N primer pada gugus amida
(-CONH2), N tersier pada rantai siklisnya dan O pada gugus C=O amida. Sedang asam
isonikotinat mengandung atom donor elektron O pada gugus C=O dan C-O asam
karboksilat (COOH) dan N tersier pada rantai siklisnya. Atom-atom donor tersebut
dimungkinkan mampu berikatan dengan atom pusat membentuk kompleks Cu(II) baik
berupa ikatan monodentat, bidentat ataupun tridentat.
Dari deret spektrokimia, atom N primer (dalam NH 2), N piridin dan C=O
merupakan ligan yang kuat, sehingga mempunyai kemungkinan besar untuk berikatan
dengan atom pusat. Disamping dipengaruhi oleh kekuatan ligan, kemampuan atom pusat
berikatan dengan ligan juga dipengaruhi oleh keruahan (efek sterik) dan gugus pengarah.
Gugus N piridin mempunyai kemungkinan besar terkoordinasi pada atom pusat Cu(II)
karena keruahan atom N piridin kecil dan adanya elektron bebas bersama-sama pada
atom pusat. Sedang pada asam isonikotinat, gugus C=O mempunyai kemungkinan paling
besar terkoordinasi pada atom pusat Cu(II). Tiga atom donor pada isonikotinamida dan
asam isonikotinat yang pontensial untuk berikatan dengan atom pusat ditunjukkan oleh
Gambar 19.

Cu 2+
Cu2+
O Cu2+
Cu 2+

=
O
N C OH
N C NH2

Cu2+
isonikotinamida Cu 2+ asam isonikotinat
(a) (b)
Gambar 19. Atom yang mempunyai pasangan elektron bebas (a) Isonikotinamida dan
(b) Asam Isonikotinat
Adanya perbedaan kekuatan medan ligan, mengakibatkan panjang gelombang
maksimum spektra elektronik dari masing-masing senyawa kompleks yang dihasilkan
berbeda. Spektra elektronik kompleks tembaga(II) dengan konfigurasi d9 menunjukkan
satu puncak serapan.
Ion SO42- dari kompleks CuSO4.5H2O merupakan ligan yang sangat lemah, hal ini
disebabkan pasangan elektron O tertarik pada atom S yang bermuatan positif, akibatnya
O cenderung tidak mendonorkan pasangan elektron bebasnya pada ion pusat Cu(II),
apabila anion SO42- tidak masuk sebagai ligan perbandingan kation-anion pada senyawa
kompleks adalah 1:1. Harga momen magnetik kompleks tembaga(II) berkisar antara
1,70-2,20 BM. Struktur kompleks Cu(II) pada umumnya square planar, namun tidak
menutup kemungkinan terbentuk struktur lain seperti oktahedral atau tetrahedral.
C. Hipotesis
Dari uraian diatas, dapat diambil suatu hipotesis yaitu :
1. Kompleks tembaga(II)-isonikotinamida dan tembaga(II)-asam isonikotinat
dapat disintesis dari tembaga(II) dengan isonikotinamida dan tembaga(II)
dengan asam isonikotinat.
2. Kemungkinan formula kompleks yang terbentuk adalah Cu(L) x(H2O)ySO4, x =
1, 2, 3 dan 4 dengan y = 0, 1, 2, 3, 4 atau 5.
3. Karakteristik kompleks tembaga(II)-isonikotinamida dan tembaga(II)-asam
isonikotinat yang terbentuk antara lain :
a. Spektra elektronik kompleks menunjukkan satu puncak serapan.
b. Kompleks bersifat paramagnetik dengan harga momen magnet efektif
berkisar antara 1,70-2,20 BM.
c. Perbandingan kation dan anionnya adalah 1:1 dengan kedudukan SO 42-
sebagai anion.
d. Gugus-gugus yang mungkin terkoordinasi dengan atom pusat adalah
gugus N piridin pada isonikotinamida dan gugus C=O pada asam
isonikotinat.
e. Struktur yang terbentuk dimungkinkan square planar.

Anda mungkin juga menyukai