PENDAHULUAN
Pengaruh dalam Hukum Islam ialah wahyu illahi yang berwujud ayat-ayat
hukum dalam al-Qur’an, sedang sumber kedua adalah ijtihad rasul yang berwujud
hadis-hadis hukum. Koleksi nash-nash (ayat dan hadis) ini merupakan pengaruh
hukum yang ditinggalkan oleh periode rosul dan merupakan undang-undang azasi
bagi umat islam. Ia merupakan dasar bagi perundang-undangan dengan islam dan
tempat kembali bagi tiap-tiap mujtahid muslim di masa manapun.
Apabila terjadi peristiwa hukum sedangkan telah ada nash yang pasti,
maka tidak ada ruang ijtihad bagi siapapun, di manapun dan sampai kapanpun.
Sebaliknya jika tidak ada nash yang pasti atassuatu peristiwa dan masalah, maka
ruang ijtihadpun terbuka, hanya saja mujtahid harus berjalan diatas pancaran
koleksi nash-nash ini dengan cara mengkiaskan nashnya, atau dari ma’qulnya,
seperti prinsip-prinsipnya yang umum. Mujtahid tidak boleh berlawanan dengan
nash-nash yang telah ada, atau keluar dari prinsipnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Khitab Allah yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah kalam Allah,
kalam Allah sebagai sifatnya adalah al-kalam al-nafsi (kalam yang ada pada diri
Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam Allah yang seperti itulah
yang dimaksud dengan hakikat hukum syara’. Kita hanya bisa mengetahui kalam
nafsi itu melalui kalam lafdzi, yaitu kalam yang mempunyai lafadz dan suara yang
berbentuk dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ayat al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk)
kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat al-Qur’an populer dikenal
sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang
dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh
manusia hanyalah kalam lafdzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an. Maka
populer dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud dengan hukum
adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal perbuatan manusia3.
1
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, Sa’adah. Jakarta 1972 Hal. 10
2
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al- Firk al-Arabi, 1958. Hal 26
3
Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 36
Secara sederhana dimaksud dengan Ayat adalah Ayat Al-Qur’an. Menurut
istilah ahli tafsir : “Ayat adalah beberapa jumlah, atau susunan perkataan yang
mempunyai permulaan dan penghabisan yang dihitung sebagai suatu bagian dari
surat “. Adapun kumpulan ayat dalam jumlah tertentu dan nama tertentu disebut
Surat.
Dalam buku Sejarah dan Ilmu Tafsir, karangan Prof. Dr. TM. Hasbiy Ash-
Shiddiqie , Ayat-Ayat hukum dalam Al-Qur’an dikelompokkan ke dalam dua
bagian :
Sedang ayat hukum menurut persi perhitungan Abdul Wahab Khalaf yang
dikutip harun Nasution, hanya mencapai 368 ayat, atau kurang lebih 5,8% dari
total keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an[16]. Distribusi dari ayat-ayat tersebut
adalah:
a. Aspek ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji sebanyak 140
ayat.
b. Aspek kehidupan keluarga, seperti perkawinan, perceraian, mawarits dan
yang sebangsanya sebanyak 70 ayat
c. Aspek perekonomian yang berkaitan dengan masalah perdagangan, sewa
menyewa, kontrak dan hutang piutang sebanyak 70 ayat
d. Aspek kepidanaan yang berkaitan dengan norma-norma hukum tentang
pelanggaran kriminal sebanyak 30 ayat
e. Aspek qhada yang berkaitan dengan persaksian dan sumpah dalam proses
pengadilan sebanyak 13 ayat
f. Aspek politik dan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak-hak
warga negara dan hubungan pemerintah dengan warganya, sebanyak 10
ayat
g. Hubungan sosial antara umat islam dengan non islam, serta hubungan
negara islam dengan negara non islam sebanyak 25 ayat
h. Hubungan kaya miskin, yakni peraturan-peraturan tentang pendistribusian
harta terhadap orang-orang miskin, serta perhatian negara mengenai hal
ini. Ayat-ayat yang mengatur persoalan ini berjumlah 10 ayat
1) AL-Baqarah 275-276
Artinya: 275. Orang – orang yang makan harta riba tidak dapat berdiri,
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran ( tekanan )
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
mengakatakan: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Oleh karena itu siapa
yang telah kesampaian peringatan dari tuhannya ini lalu ia berhenti, maka
baginya apa yang telah lalu, sedang urusan dia kembali kepada Allah; dan
barang siapa yang kembali (lagi), maka mereka itu adalah ahli neraka, mereka
kekal didalamnya.
276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah; dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.4
4
Wahabah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir fil Aqidah wa as-Syariah wa Al-Minhaj, (Beirut: Daarul
Fikr,2009)
mempunyai sisa riba dalam jumlah besar. Begitulah lalu turun ayat: “ hai
orang – orang yang beriman! Takutlah kepada Allah dan tinggalkan sisa –
sisa riba, jika benar-benar kamu sebagai orang-orang yang berimman”
(Q.S. al-Baqarah ayat 278). Kemudian Rasulullah saw. bersabda:
“ketahuilah! Sesungguhnya tiap-tiap riba dari riba jahiliyah harus sudah
dihentikan, dan pertama kali riba yang kuhentikannya ialah riba Al-Abbas;
dan setiap (penuntutan) darah dari darah jahiliyah harus dihentikan, dan
pertama- tama darah yang kuhentikannya ialah darah Rabi’ah bin al-Harits
bin Abdul Muththalib.”5
b. Tafsir Ayat
1) Maksud “makan” pada ayat diatas, ialah: mengambil dan
membelanjakannya. Tetapi disini dipakai dengan kata “makan”, karna
maksud utama harta adalah untuk dimakan. Selain itu, adalah sekedar
sekunder. Kata “makan” ini sering pula dipakai dengan arti
mempergunakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
“Orang – orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
( tekanan ) penyakit gila”. Maksudnya, menurut ibnu katsir, tidaklah
mereka dibangkitkan dari kuburnya pada hari kiamat seperti orang –
orang gila yang kemasukan setan. Hal ini sesuai hadis nabi yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: “pemakan riba akan dibangkitkan pada
hari kiamat dalam keadaan gila, dia mencekik dirinya sendiri sampai
mati”.6
2) “Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
mengakatakan: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba;
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Awalnya, orang – orang yang suka mengambil riba mengatakan bahwa
jual beli sama dengan riba. Sekilas praktik jual – beli dan riba memang
5
Muhammad Ali As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an, (Damaskus::
Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 273
6
Mardani, Tafsir Ahkam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 323
hampir mirip karena sama- sama ada tambahan yaitu nilai lebih dari
pokoknya. Hanya saja jual beli disebut marjin dalam pertukaran barang
dengan uang. Sedangkan riba adalah kelebihan dari pokok pinjaman
uang atau nilai lebih dari pertukaran barang ribawi7. Mereka
membolehkan riba dan menolak hukum – hukum (syariat) Allah.
Pendapat mereka itu bukan qiyas (menganalogikan riba dengan jual
beli), karena orang – orang musyrik tidak mengetahui asal
disyari’atkannya jual beli oleh Allah SWT. Kalau mereka mengetahui
hukum qiyas, maka pastinya mereka akan mengatakan “sesungguhnya
riba itu sama dengan jual beli”, tetapi nyatanya mereka mengatakan
“sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”.8
7
Dwi Suwigyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010,
hlm.128
8
Ibid, Hlm. 323
9
Dwi Suwigyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010,
hlm.323
4) “Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni – penghuni neraka; mereka kekal didalamnya”. Maksudnya
barang siapa yang kembali mengambil riba setelah datang larangan
Allah, maka baginya siksa Allah (mereka menjadi penghuni neraka
yang kekal didalamnya).10
Yang menjadi titik tujuan dalam ayat “Allah memusnahkan riba dan
menumbuhkan sedekah” itu ialah: bahwa periba mencari keuntungan
harta dengan cara riba, dan pembangkang sedekah mencari keuntungan
harta dengan cara tidak mengeluarkan sedekah. Untuk itulah Allah
menjelaskan, bahwa riba menyebabkan kurangnya harta dan penyebab
tidak berkembangnya harta itu. Sedang sedekah adalah sebab
tumbuhnya harta dan bukan penyebab berkurangnya harta itu.
Keduanya itu ditinjau dari akibatnya di dunia dan akhirat kelak.12
Perkataan “kaffar” dan “atsim” dalam ayat itu kedua – duanya
termasuk sighat mubalaghah, yang artinya: banyak kekufuran dan
banyak dosa. Ini menunjukkan bahwa haramnya riba sangat keras
sekali, dan termasuk perbuatan orang – orang kafir, bukan perbuaatan
orang – orang islam.13
10
Ibid
11
Ibid Hlm.324
12
Dwi Suwigyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010,
hlm.324
13
Muhammad Ali As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an, (Damaskus::
Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 275
D. Cara Membedakan Ayat Ahkam dengan Bukan Ayat Ahkam
BAB III
PENUTUP
BIBLIOGRAFI
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta. UI Pres 1978.
Jilid II
Ash-Shiddiqie TM. Hasbiy ,Sejarah dan Ilmu Tafsir, Pustaka Ilmu, Jakarta 1990
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al- Firk al-Arabi, 1958.
Muhammad bin Ali bin Muhammad al- Syaukani, Irsyadul Fuhul, Dar al-Firk,
t,th.