Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Pengaruh dalam Hukum Islam ialah wahyu illahi yang berwujud ayat-ayat
hukum dalam al-Qur’an, sedang sumber kedua adalah ijtihad rasul yang berwujud
hadis-hadis hukum. Koleksi nash-nash (ayat dan hadis) ini merupakan pengaruh
hukum yang ditinggalkan oleh periode rosul dan merupakan undang-undang azasi
bagi umat islam. Ia merupakan dasar bagi perundang-undangan dengan islam dan
tempat kembali bagi tiap-tiap mujtahid muslim di masa manapun.

Apabila terjadi peristiwa hukum sedangkan telah ada nash yang pasti,
maka tidak ada ruang ijtihad bagi siapapun, di manapun dan sampai kapanpun.
Sebaliknya jika tidak ada nash yang pasti atassuatu peristiwa dan masalah, maka
ruang ijtihadpun terbuka, hanya saja mujtahid harus berjalan diatas pancaran
koleksi nash-nash ini dengan cara mengkiaskan nashnya, atau dari ma’qulnya,
seperti prinsip-prinsipnya yang umum. Mujtahid tidak boleh berlawanan dengan
nash-nash yang telah ada, atau keluar dari prinsipnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ayat-Ayat Ahkam

Dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu pada


yang lain”1. Seperti menetapkan haram pada Khamar, atau halal pada air susu

Menurut terminologi ushul fiqh hukum (al-hukm) berarti :

“Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf,


baik berupa iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran
untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih
antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan
sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’”

Abu Zahrah2 memberikan pengertian tentang hukum adalah Titah


(Khitab) Syari’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan,
pilihan atau wadh’i

Khitab Allah yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah kalam Allah,
kalam Allah sebagai sifatnya adalah al-kalam al-nafsi (kalam yang ada pada diri
Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam Allah yang seperti itulah
yang dimaksud dengan hakikat hukum syara’. Kita hanya bisa mengetahui kalam
nafsi itu melalui kalam lafdzi, yaitu kalam yang mempunyai lafadz dan suara yang
berbentuk dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ayat al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk)
kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat al-Qur’an populer dikenal
sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang
dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh
manusia hanyalah kalam lafdzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an. Maka
populer dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud dengan hukum
adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal perbuatan manusia3.

1
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, Sa’adah. Jakarta 1972 Hal. 10
2
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al- Firk al-Arabi, 1958. Hal 26
3
Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 36
Secara sederhana dimaksud dengan Ayat adalah Ayat Al-Qur’an. Menurut
istilah ahli tafsir : “Ayat adalah beberapa jumlah, atau susunan perkataan yang
mempunyai permulaan dan penghabisan yang dihitung sebagai suatu bagian dari
surat “. Adapun kumpulan ayat dalam jumlah tertentu dan nama tertentu disebut
Surat.

Adapun Ahkam adalah jama’ dari hukum. Dengan demikian Ayat-Ayat


Ahkam berarti Ayat-Ayat yang bertalian dengan berbagai macam hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an.

Dalam pembahasan Ayat-Ayat Ahkam, selalu menggunakan term Ayat


Al-Qur’an, dan dapat dikatakan tidak pernah menggunakan term Surat, karena
Ayat sifatnya lebih fokus. Sekalipun demikian dalam pembahasan hukum, dalam
Ayat ini dibahas pula potongan-potongan ayat, atau satuan kalimat (lafadz), atau
bahkan satuan huruf dalam setiap kalimat yang terdapat dalam sebuah Ayat.

B. Macam-Macam Ayat Ahkam

Dalam buku Sejarah dan Ilmu Tafsir, karangan Prof. Dr. TM. Hasbiy Ash-
Shiddiqie , Ayat-Ayat hukum dalam Al-Qur’an dikelompokkan ke dalam dua
bagian :

a. Hukum-hukum ibadat, yaitu : segala hukum yang disyari’atkan untuk


mengatur perhubungan hamba dengan Tuhannya. Ibadat ini terbagi kepada
:
1) Ibadah badaniyah, seperti shalat dan shaum.
2) Ibadah maliyah, ijtimaiyah, yaitu zakat dan sedekah.
3) Ibadah ruhiyah, badaniyah, yaitu haji, jihad, dan nadzar.

b. Hukum-hukum muamalat, yaitu : segala hukum yang disyari’atkan untuk


menyusun dan mengatur perhubungan manusia satu sama lainnya, serta
perikatan antara perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan
masyarakat, atau perseorangan dengan negara. Muamalat dibagi kepada:
1) Hukum-hukum ahwal syakhsyiyah, yaitu : hukum-hukum yang rapat
perhubungannya dengan pribadi manusia sendiri sejak lahir hingga
matinya, yaitu kawin, cerai, iddah, hubungan kekeluargaan,
penyusuan, nafkah, wasiat dan pusaka.
2) Hukum-hukum muamalat madaniyah, yaitu hukum-hukum jual beli,
sewa menyewa.
3) Hukum-hukum jinayah (pidana), yaitu : hukum-hukum yang
disyari’atkan untuk memelihara hidup manusia, kehormatan dan harta.
Hukum-hukum ini diterangkan secara terperinci dalam Al-Qur’an.
Perbuatan manusia yang diterangkan Al-Qur’an, ialah : pembunuhan
dengan sengaja, pembunuhan tidak disengaja, mencuri, merampok,
zina, dan qodzaf.
4) Hukum-hukum internasional, umum dan khusus. Masuk ke dalamnya
hukum-hukum yang disyari’atkan untuk jihad, aturan-aturan perang,
perhubungan antara ummat Islam dengan ummat lain, hukum-hukum
tawanan dan rampasan perang.
5) Hukum-hukum acara.
6) Hukum-hukum dustur, yaitu hukum-hukum yang diatur untuk
menggariskan hubungan antara rakyat dengan negara.
7) Hukum-hukum yang berpautan dengan kekeluargaan : kawin, cerai
dan pusaka.
8) Urusan-urusan pidana, hukum membunuh, mencuri dan sebagainya.
9) Hukum-hukum internasional, yaitu : hukum-hukum perang,
perhubungan negara dengan negara dan rampasan-rampasan perang.
10) Hukum-hukum perdata : Jual beli, riba, gadai, sewa menyewa dan
sebagainya.

Selanjutnya Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Ayat-Ayat Al-


Qur’an yang berhubungan dengan masing-masing tersebut berjumlah :

a. Yang berhubungan dengan ibadah, sebanya 140 Ayat.


b. Yang mengatur ahwal syakhsyiyah, sebanyak 70 Ayat.
c. Yang berhubungan dengan jinayah, sebanyak 30 Ayat.
d. Yang berhubungan dengan hukum-hukum perang dan damai, tugas
pemerintahan, sebanyak 35 Ayat.
e. Yang berhubungan dengan hukum-hukum acara, sebanyak 13 Ayat.
f. Yang mengatur keuangan negara dan ekonomi, sebanyak 10 Ayat.

Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an tidak mencapai 1/10 dari keseluruhan


Ayat Al-Qur’an. Sebagaian ulama menyebutkan tidak lebih dari 200 Ayat . Imam
Gozali menyebut mencapai 500 Ayat.

Sedang ayat hukum menurut persi perhitungan Abdul Wahab Khalaf yang
dikutip harun Nasution, hanya mencapai 368 ayat, atau kurang lebih 5,8% dari
total keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an[16]. Distribusi dari ayat-ayat tersebut
adalah:

a. Aspek ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji sebanyak 140
ayat.
b. Aspek kehidupan keluarga, seperti perkawinan, perceraian, mawarits dan
yang sebangsanya sebanyak 70 ayat
c. Aspek perekonomian yang berkaitan dengan masalah perdagangan, sewa
menyewa, kontrak dan hutang piutang sebanyak 70 ayat
d. Aspek kepidanaan yang berkaitan dengan norma-norma hukum tentang
pelanggaran kriminal sebanyak 30 ayat
e. Aspek qhada yang berkaitan dengan persaksian dan sumpah dalam proses
pengadilan sebanyak 13 ayat
f. Aspek politik dan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak-hak
warga negara dan hubungan pemerintah dengan warganya, sebanyak 10
ayat
g. Hubungan sosial antara umat islam dengan non islam, serta hubungan
negara islam dengan negara non islam sebanyak 25 ayat
h. Hubungan kaya miskin, yakni peraturan-peraturan tentang pendistribusian
harta terhadap orang-orang miskin, serta perhatian negara mengenai hal
ini. Ayat-ayat yang mengatur persoalan ini berjumlah 10 ayat

C. Contoh Ayat-Ayat Ahkam dibidang Ekonomi

1) AL-Baqarah 275-276

        


        
        
         
          
        
      

Artinya: 275. Orang – orang yang makan harta riba tidak dapat berdiri,
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran ( tekanan )
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
mengakatakan: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Oleh karena itu siapa
yang telah kesampaian peringatan dari tuhannya ini lalu ia berhenti, maka
baginya apa yang telah lalu, sedang urusan dia kembali kepada Allah; dan
barang siapa yang kembali (lagi), maka mereka itu adalah ahli neraka, mereka
kekal didalamnya.

276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah; dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.4

a. Asbabun Nuzul Ayat


Al-Abbas dan Khalid bin Walid adalah dua orang yang berkongsi
di zaman jahiliyah, dengan memberikan pinjaman secara riba kepada
beberapa orang suku Tsaqif. Setelah Islam datang, kedua orang ini masih

4
Wahabah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir fil Aqidah wa as-Syariah wa Al-Minhaj, (Beirut: Daarul
Fikr,2009)
mempunyai sisa riba dalam jumlah besar. Begitulah lalu turun ayat: “ hai
orang – orang yang beriman! Takutlah kepada Allah dan tinggalkan sisa –
sisa riba, jika benar-benar kamu sebagai orang-orang yang berimman”
(Q.S. al-Baqarah ayat 278). Kemudian Rasulullah saw. bersabda:
“ketahuilah! Sesungguhnya tiap-tiap riba dari riba jahiliyah harus sudah
dihentikan, dan pertama kali riba yang kuhentikannya ialah riba Al-Abbas;
dan setiap (penuntutan) darah dari darah jahiliyah harus dihentikan, dan
pertama- tama darah yang kuhentikannya ialah darah Rabi’ah bin al-Harits
bin Abdul Muththalib.”5

b. Tafsir Ayat
1) Maksud “makan” pada ayat diatas, ialah: mengambil dan
membelanjakannya. Tetapi disini dipakai dengan kata “makan”, karna
maksud utama harta adalah untuk dimakan. Selain itu, adalah sekedar
sekunder. Kata “makan” ini sering pula dipakai dengan arti
mempergunakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
“Orang – orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
( tekanan ) penyakit gila”. Maksudnya, menurut ibnu katsir, tidaklah
mereka dibangkitkan dari kuburnya pada hari kiamat seperti orang –
orang gila yang kemasukan setan. Hal ini sesuai hadis nabi yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: “pemakan riba akan dibangkitkan pada
hari kiamat dalam keadaan gila, dia mencekik dirinya sendiri sampai
mati”.6
2) “Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
mengakatakan: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba;
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Awalnya, orang – orang yang suka mengambil riba mengatakan bahwa
jual beli sama dengan riba. Sekilas praktik jual – beli dan riba memang
5
Muhammad Ali As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an, (Damaskus::
Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 273
6
Mardani, Tafsir Ahkam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 323
hampir mirip karena sama- sama ada tambahan yaitu nilai lebih dari
pokoknya. Hanya saja jual beli disebut marjin dalam pertukaran barang
dengan uang. Sedangkan riba adalah kelebihan dari pokok pinjaman
uang atau nilai lebih dari pertukaran barang ribawi7. Mereka
membolehkan riba dan menolak hukum – hukum (syariat) Allah.
Pendapat mereka itu bukan qiyas (menganalogikan riba dengan jual
beli), karena orang – orang musyrik tidak mengetahui asal
disyari’atkannya jual beli oleh Allah SWT. Kalau mereka mengetahui
hukum qiyas, maka pastinya mereka akan mengatakan “sesungguhnya
riba itu sama dengan jual beli”, tetapi nyatanya mereka mengatakan
“sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”.8

Perkataan “ sesungguhnya jual beli sama dengan riba” itu disebut


“tasybih maqlub” (persamaan terbaik), sebab “musyabbah bih-nya
nilainya lebih tinggi. Sedang yang dimaksud di sini adalah: riba itu
sama dengan jual beli, sama – sama halalnya. Tetapi mereka
berlebihan dalam keyakinannya, bahwa riba itu dijadikannya sebagai
pokok dan hukumnya halal, sehingga dipersamkannya dengan jual
beli. Disinilah letak kehalusannya.

3) “Orang – orang yang telah sampai kepadanya larangan dari


tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah”. Artinya Allah mengampuni dosa
– dosa orang yang mengambil riba sebelum turunnya ayat ini, hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah (5) ayat 95.9

7
Dwi Suwigyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010,
hlm.128
8
Ibid, Hlm. 323
9
Dwi Suwigyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010,
hlm.323
4) “Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni – penghuni neraka; mereka kekal didalamnya”. Maksudnya
barang siapa yang kembali mengambil riba setelah datang larangan
Allah, maka baginya siksa Allah (mereka menjadi penghuni neraka
yang kekal didalamnya).10

5) “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak


menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa”. Dalam ayat ini Allah mengabarkan, bahwa Dia menghapus
praktik yang dilakukan oleh orang – orang jahiliyah riba secara total,
yakni dengan cara Allah mengharamkan riba, dan Allah akan
memberikan siksa kepada orang yang mengambil riba, baik di dunia
dan di akhirat.11

Yang menjadi titik tujuan dalam ayat “Allah memusnahkan riba dan
menumbuhkan sedekah” itu ialah: bahwa periba mencari keuntungan
harta dengan cara riba, dan pembangkang sedekah mencari keuntungan
harta dengan cara tidak mengeluarkan sedekah. Untuk itulah Allah
menjelaskan, bahwa riba menyebabkan kurangnya harta dan penyebab
tidak berkembangnya harta itu. Sedang sedekah adalah sebab
tumbuhnya harta dan bukan penyebab berkurangnya harta itu.
Keduanya itu ditinjau dari akibatnya di dunia dan akhirat kelak.12
Perkataan “kaffar” dan “atsim” dalam ayat itu kedua – duanya
termasuk sighat mubalaghah, yang artinya: banyak kekufuran dan
banyak dosa. Ini menunjukkan bahwa haramnya riba sangat keras
sekali, dan termasuk perbuatan orang – orang kafir, bukan perbuaatan
orang – orang islam.13

10
Ibid
11
Ibid Hlm.324
12
Dwi Suwigyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010,
hlm.324
13
Muhammad Ali As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an, (Damaskus::
Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 275
D. Cara Membedakan Ayat Ahkam dengan Bukan Ayat Ahkam

Pembagian ayat hukum dan hadis hukum kepada beberapa kategori


menurut A.Wahab Khalaf dan Hasbi Ash-Shiddqy memberikan informasi tentang
ciri-ciri Ayat Ahkam. Artinya, untuk membedakan mana yang ayat ahkam dan
mana yang bukan. Bisa dengan menggunakan ciri-ciri tersebut. Dua hal yang
perlu digaris bawahi adalah :

Pertama, Bahwa dalam pemakaiannya dikalangan ahli Ushul Fiqh. Istilah


hukum disamping digunakan untuk menyebut teks-teks ayat-ayat hukum, juga
digunakan untuk menyebutkan sifat dari perbuatan yang menjadi objek dari
hukum itu. Dalam pembagian diatas, perbuatan yang diperintahkan seperti
melakukan shalat sifatnya wajib, perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang
dianjurkan sifatnya mandub, yang dianjurkan ditinggalkan sifatnya makruh dan
yang dibebaskan untuk memilih sifatnya mubah. Maka sifat wajib, haram,
mandub, makruh dan mubah yang merupakan sifat dari perbuatan itu dikenal
dengan hukum Syara’. Dengan demikian hukum shalat, misalnya, adalah wajib
dan meminum Khamr adalah haram. Adanya dua bentuk pemakaian tersebut tidak
perlu dipertentangkan. Sebab, pemakaian istilah hukum kepada teks ayat atau
hadis karena melihat kepada dalil dan proses pembentukannya hukum. Sedangkan
pemakainnya kepada sifat perbuatan mukallaf yang terkena hukum karena melihat
kepada hasilnya.

Kedua, seperti dekemukakan diatas, yang dimaksud dengan hukum adalah


teks ayat ahkam. Dengan demikian bukan berarti bahwa yang disebut hukum
hanya terdapat pada bunyi teks itu sendiri. Abdul wahab Khalaf menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulnya itu ada
yang secara langsung ditunjukan oleh teks al-Qur’an dan sunnah dan ada pula
yang tidak secara langsung ditunjukan oleh teks, tetapi oleh substansi ayat dan
hadits yang disimpulkan oleh para ahlinya (mujtahid) dengan kegiatan ijtihad,
seperti hukum yang ditetapkan dengan ijma’, qiyas dan dalil-dalil hukum lainnya.
Ketentuan-ketentuan seperti itu adalahketentuan-ketentuan Allah dan Rasulnya
juga karena bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah

E. Ayat – Ayat Al-Quran Tentang Hukum Ekonomi

Menurut kesimupulan Abdul Wahhab Khallaf, paling sedikit ada 10 ayat


hukum dalam al-Qur’an yang berisikan norma-norma dasar hukum ekonomi dan
keuangan.

Berbeda dengan Khallaf, yang melihat ayat-ayat ekonomi semata-mata


dari aspek hukumnya, Mahmud Syauqi al-Fanjari dalam konteks yang agak luas
memprakirakan ayat-ayat ekonomi dan keuangan dalam al-Qur’an berjumlah 21
ayat yang secara langsung terkait erat dengan soal-soal ekonomi. Berlainan
dengan Khallaf yang sama sekali tidak menunjukkan ayat-ayat mana saja yang ia
maksud dengan 10 ayat al-iqtishadiyyah wa-al-maliyyah di atas, al-Fanjari secara
eksplisit menyebutkan satu demi satu ke-21 ayat ekonomi yang dimaksudkannya,
yaitu: al-Baqarah (2): 188, 275 dan 279; An-Nisa (4): 5 dan 32; Hud (11): 61 dan
116; Al-Isra’ (17): 27; An-Nur (24): 33; Al-Jatsiyah (45): 13; Adz-Dzariyat (51):
19; An-Najm (53): 31; Al-Hadid (57): 7; Al-Hasyr (59): 7; Al-Jumu`ah (62): 10;
Al-Ma`arij (70): 24 dan 25; Al-Ma`un (107): 1, 2, dan 3.

BAB III

PENUTUP

Secara sederhana dimaksud dengan Ayat adalah Ayat Al-Qur’an. Menurut


istilah ahli tafsir : “Ayat adalah beberapa jumlah, atau susunan perkataan yang
mempunyai permulaan dan penghabisan yang dihitung sebagai suatu bagian dari
surat “. Adapun kumpulan ayat dalam jumlah tertentu dan nama tertentu disebut
Surat.

Adapun Ahkam adalah jama’ dari hukum. Dengan demikian Ayat-Ayat


Ahkam berarti Ayat-Ayat yang bertalian dengan berbagai macam hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an.
Menurut kesimupulan Abdul Wahhab Khallaf, paling sedikit ada 10 ayat
hukum dalam al-Qur’an yang berisikan norma-norma dasar hukum ekonomi dan
keuangan.

Berbeda dengan Khallaf, yang melihat ayat-ayat ekonomi semata-mata


dari aspek hukumnya, Mahmud Syauqi al-Fanjari dalam konteks yang agak luas
memprakirakan ayat-ayat ekonomi dan keuangan dalam al-Qur’an berjumlah 21
ayat yang secara langsung terkait erat dengan soal-soal ekonomi. Berlainan
dengan Khallaf yang sama sekali tidak menunjukkan ayat-ayat mana saja yang ia
maksud dengan 10 ayat al-iqtishadiyyah wa-al-maliyyah di atas, al-Fanjari secara
eksplisit menyebutkan satu demi satu ke-21 ayat ekonomi yang dimaksudkannya,
yaitu: al-Baqarah (2): 188, 275 dan 279; An-Nisa (4): 5 dan 32; Hud (11): 61 dan
116; Al-Isra’ (17): 27; An-Nur (24): 33; Al-Jatsiyah (45): 13; Adz-Dzariyat (51):
19; An-Najm (53): 31; Al-Hadid (57): 7; Al-Hasyr (59): 7; Al-Jumu`ah (62): 10;
Al-Ma`arij (70): 24 dan 25; Al-Ma`un (107): 1, 2, dan 3.

BIBLIOGRAFI

Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, Sa’adah. Jakarta 1972

Abdul Wahab Khalaf, sejarah hukum Islam. Marja, Bandung 2005

As-Shobuni, Muhammad Ali. Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal


Qur'an. Damaskus: Maktabah Al-Ghozali. 1980.

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Gema Risalah Pres. Jakarta


1989

Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta. UI Pres 1978.
Jilid II

Ash-Shiddiqie TM. Hasbiy ,Sejarah dan Ilmu Tafsir, Pustaka Ilmu, Jakarta 1990

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al- Firk al-Arabi, 1958.
Muhammad bin Ali bin Muhammad al- Syaukani, Irsyadul Fuhul, Dar al-Firk,
t,th.

Mardani. Tafsir Ahkam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014.

Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008

Suwigyo, Dwi. Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar. 2010.

Anda mungkin juga menyukai