Anda di halaman 1dari 21

Materi Fiqh Muamalah

Pengertian
Fiqih Muamalah tersusun dari dua kata (lafadz), yaitu fiqih (‫ )الفقه‬dan Muamalah (
‫)المعاملة‬. Lafadz yang pertama (‫ )الفقه‬secara etimologi memiliki makna pengeritan atau
pemahaman, sedangkan dalam terminologi kata fiqih memiliki definisi yang beragam
dari kalangan ulama’
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili (Fiqh Muamalah Perbankan syariah, Team
Counterpart Bank Muamalat Indonesia ,1999), Fiqih muamalah merupakan salah satu
dari bagian persoalan hukum Islam seperti yang lainnya yaitu tentang hukum ibadah,
hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata, hukum jihad, hukum perang, hukum
damai, hukum politik, hukum penggunaan harta, dan hukum pemerintahan. Semua
bentuk persoalan dicantumkan dalam kitab fiqih adalah pertanyaan yang dipertanyakan
masyarakat atau persoalan yang muncul ditengah-tengah masyarakat.
Secara bahasa ( etimologi ) Fiqih (‫ ) فقه‬berasal dari kata faqiha (‫ )فقه‬yang berarti
Paham: pemahaman seperti tercermin dalam firman Allah SWT, yang artinya:
“Perhatikanlah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti
agar mereka memahaminya” (QS: Al-An’am: 65) dan muamalah berasal dari kata ’amila
(‫ ) معاملة – يعامل – عامل‬yang berarti berbuat atau bertindak. Muamalah adalah hubungan
kepentingan antar sesama manusia ( Hablun minannas ). Muamalah tersebut meliputi
transaksi-transaksi kehartabendaan seperti jual beli, perkawinan, dan hal-hal yang
berhubungan dengannya, urusan persengketaan ( gugatan, peradilan, dan sebagainya )
dan pembagian warisan. Sedang menurut istilah muamalah dibagi menjadi dua macam
yaitu:
1) Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan
Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga
kepentingan manusia”. Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah
untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan. 

2) Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit yaitu : “muamalah adalah aturan Allah
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk
mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” (Idris
Ahmad) atau “muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat
dengan cara-cara yang telah ditentukan.

Sistematika Fiqh Muamalah

Beberapa kitab fiqih dari empat madzhab masing-masing dari mereka saling
berlainan dalam mengurutkan sistematika fiqih mu’amalah. Masing-masing kitab
memiliki urutan-urutan sendiri sebagaimana dalam daftar isi (fihris) kitab tersebut. Hanya
saja mereka sepakat dalam pembahsan fiqih mereka senantiasa mendahulukan
pembahasan mengenai ibadah secara keseluruhan baru kemudian disusul dengan
pembahasan mengenai fiqih mu’amalah.
Perbedaan sistematika tersebut dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut :
1) Imam Alauddin Al-Kasani
Adalah ulama’ dari golongan Hanafi, dalam kitabnya “Bada’ius Shanai” memulai
pembahasan fiqih mu’amalah dengan “Kitabul Ijarah” (bab perburuhan atau sewa
menyewa) dan diakhiri dengan “Kitabul Qardli” (hutang-piutang atau pemberian
modal). Diantara keduanya dibahas beberapa bentuk perikatan, bahkan terdapat
juga bab-bab tentang penyembelihan dan perburuhan, nadzar dan kafarah, wakaf
dan shadaqah, peradilan dan persaksian dan sebagainya.
2) Golongan Syafi’i
Dengan sistematika sebagai berikut : Jual beli, hutang-piutang, pesan memesan,
gadai menggadai, perikatan-perikatan yang berhubungan dengan kebendaan yang
lain, diakhiri dengan bab “barang temuan” serta sayembara.
3) Golongan Maliki
Memiliki sistematika setelah selesai pembahasan ibadah, mereka melanjutkan
dengan pembahasan mengenai jihad, perkawinan, jual beli, peradilan, persaksian,
pidana, wasiat dan warisan.
Ibnu Rusydi dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” setelah selesai dengan
pembahasan mengenai ibadah beliau kemudian melanjutkan dengan pembahasan
tentang jihad, sumpah, nadzar, kurban, penyembelihan, perburuan, aqiqoh,
makanan dan minuman. Sesudah itu baru membahas mengenai perkawinan dan
hal-hal yang berhubungan dengan itu.
4) Golongan Ahmad
Memiliki sistematika sebagai berikut : jual beli, pesan memesan, hutang piutang,
perikatan-perikatan yang berhubungan dengan kebendaan yang lain, wasiat,
warisan, kemudian memerdekakan budak dan diakhiri dengan
pembahasan “ummahatil aulad”.

Salah satu kitab yang pernah menjadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada
masa pemerintahan Turki Utsmani adalah  kitab “Majallatul Ahkamil Adliyah”
merupakan kitab fiqih muamalah dari madzhab Hanafi, ditulis dan disusun menurut
undang-undang dan diundangkan pada bulan Sya’ban tahun 1293 Hijriyah, terdiri dari
1851 pasal dan dibagi dalam 16 bab yaitu :

a. Kitabul Buyu’ (Bab jual beli)


b. Kitabul Ijarat (Bab sewa menyewa perburuhan)
c. Kitabul Kafalah (Bab tanggung menanggung)
d. Kitabul Hiwalah (Bab pemindahan hutang piutang)
e. Kitab Ar-Rohni (Bab gadai menggadai)
f. Kitabul Amanah (Bab penyerahan kepercayaan, titipan)
g. Kitabul Hibah (Bab pemberian)
h. Kitabul Ghosbi wa Al-Itlaf (Bab penyerobotan dan pengrusakan)
i. Kitabul Hijri wa Al-Ikroh wa Al-Syuf’ati (Bab pengampunan, paksaan, dan
hak beli paksa)
j. Kitabu Al-Syirkah (Bab serikat dagang)
k. Kitabul Wakalah (Bab perwakilan, pemberian kuasa)
l. Kitabu Al-Sulhi wa Al-Ibra’ (Bab perdamaian dan pembebasan hak)
m. Kitbu Al-Iqrar (Bab pengakuan)
n. Kitabu Al-Da’wa (Bab gugatan)
o. Kitabu Al-Bayyinat wa Al-Tahlif (Bab pembuktian dan sumpah)
p. Kitabu Al-Qadla’ (Bab peradilan)
Adapun Hukum Perdata menurut ilmu hukum sebagaimana dikutip dalam buku Asas-
asas Hukum Perdata Islam karya Abdurrahman Masduha dibagi menjadi empat bagian
yaitu :
1. Hukum tentang diri seseorang yang memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai
subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan
kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak tersebut dan selanjutnya
tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu;
2. Hukum kekeluargaan mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul karena
hubungan kekeluargaan, yaitu : perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum
kekayaan antara suami istri, hubungan  antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele;
3. Hukum kekayaan mengatur perihal hubungan-hubungan yang dinilaikan dengan uang;
4. Hukum warisan mengatur hal ihwal tentang benda atau kekayaan seseorang bilamana ia
meninggal.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) terdiri dari empat bagian yang
disebut “buku” dengan sistematika sebagai berikut :
 Buku I   
“Perihal orang, memuat hukum tentang diri seseorang dan hukum
kekeluargaan”
 Buku II
“Perihal benda, memuat hukum kebendaan dan hukum warisan”
 Buku III
“Perihal Perikatan, memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak fan
kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak
tertentu”
 Buku IV
“Perihal pembuktian dan lewat waktu, memuat perihal alat-alat pembuktian dan
akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum. “

Pembagian sistematika BW sebagaimana tersebut diatas sangat mirip dengan


pembagian mu’amalah (dalam arti luas) yang disampaikan Ibnu Abidin.
Buku ke-III BW terdiri atas bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum
memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya
bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya.
Sedang bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang
banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu, yaitu : jual
beli, tukar menukar, sewa menyewa, perburuhan, perseroan, hibah, dan sebagainya.
Bagian khusus inilah yang menjadi pembahasan fiqih mu’amalah secara terperinci
dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya masing-masing.

Hubungan Fiqh Muamalah dengan Fiqh Lainnya


Ajaran tentang Muamalah berkaitan dengan masalah yang berhubungan dengan
kemanusiawan, interaksi, dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Itulah
sebabnya bahwa bidang muamalah tidak bisa dipisahkan sama sekali dengan nilai-nilai
Ketuhanan. Dan dalam buku fiqih lain menyatakan sesuai dengan arti fiqih muamalah
dalam arti luas, maka cakupan muamalah sangat luas meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia di dunia seperti persoalan bisnis, keluarga, hukum, sangsi, kenegaraan, waris,
dan lain sebagainya. Ini adalah bahwasanya muamalah dalam kajian fiqih sangat erat
dengan fiqih-fiqh yang lainnya. Hubungan manusia dengan manusia lain dalam
masalah bisnis disebut dengan fiqih muamalah, hubungan manusia dengan manusia lain
dalam masalah hidup berumah tangga disebut dengan fiqih mawaris, hubungan manusia
dengan manusia lain dalam masalah warisan disebut dengan fiqih mawaris, hubungan
manusia dengan manusia lain dalam masalah sangsi dan hukum disebut dengan fiqih
jinayah, dan hubungan manusia dengan manusia lain dalam masalah kenegaraan dan
politik adalah fiqih siyasah. Tapi semua itu masih dalam pembahasan yang ada dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Itulah salah satunya yang membuat Fiqih Muamalah yang sangat
luas cakupannya.

Harta Dalam Fiqh Muamalah


a. Pengertian Harta
Dalam kehidupan umat manusia, harta merupakan keperluan hidup yang sangat
penting. Sebab harta adalah salah satu bentuk perhiasan kehidupan dunia. Dengan harta,
manusia dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari mulai dari yang primer, sekunder,
bahkan tersier sekalipun. Oleh karena harta pula lah akan terjadi interaksi sosial atau
hubungan horizontal (manusia).
Di dalam Islam, perhatian terhadap harta diberikan secara lebih dan dalam. Hal ini
dibuktikan dengan banyak disebutkannya harta di dalam Al Quran. Sikap Islam terhadap
harta merupakan bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Sikap Islam terhadap
dunia adalah sikap pertengahan yang seimbang. Materi atau harta dalam pandangan Islam
adalah sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat
menjelaskan semua kejadian-kejadian.
Harta dalam kitab fiqih disebut mall, menurut bahasa segala sesuatu yang
dibutuhkan dalam kehidupann, maksudnya yaitu segala sesuatu yang menyertai baik
berupa benda maupun manfaat. ‫ااو منفعة‬TT‫ان عين‬TT‫ؤا اك‬T‫مايقتفي من كل شئ س‬   artinya yaitu segala
sesuatu yang menyertai baik berupa benda atau manfaat adalah mal. Adapun mal menurut
istilah sesuatu yang diambil manfaatnya dan dipelihara secara umum, ‫ه‬TT‫ون حيازت‬TT‫ا يك‬TT‫م‬
‫ةاالءنتفاعهفىاالعادة‬TT‫واحتراوه‬ artinya sesuatu yang dikumpulkan atau di pelihara dan juga
disimpan serta diambil manfaatmya menurut kebiasaan.

b. Kedudukan Harta Dalam Islam


Islam menetapkan segala sesuatu yang ada di langit atau yang terhampar di bumi
adalah anugrah dari Allah SWT yang diperuntukan untuk manusia untuk dimanfaatkan
oleh manusia untuk kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia itu
sendiri. Sedangkan pada hakekatnya harta adalah mlik allah SwT yang diberikan kepada
manusia sebagai amanat untuk dibelanjakan dengan mengunakan aturan-aturan yang
telah di tetapkan oleh allah , sehingga manusia dalam pemanfaatan atas benda di batasi
oleh aturan-aturan allah melalui hukum-Nya. Karena allahlah yang memiliki segala
sesuatu di bumi, sedangkan manusia hanya pemanfaat dari hal tersebut. Adapun
kedudukan hsarta menurut al-quran dan as sunash:
a. Harta sebagai potensi positif
b. Harta sebagai potensi negatif
c. Pembagian Harta
Harta menurut hukum islam dibagi menjadi beberapa bagian ditinjau dari
beberapa segi masing-masing bagian mempunyai ciri-ciri khusus dan hukum-hukum
tersendiri.
Ditinjau dari segi ada tidaknya perlindungan dan kedudukan keadaan dari syara’
atau ditinjau dari segi diperbolehkannya atau tidak mengambil manfaatnya oleh syara’,
dibagi menjadi dua yaitu Al-Mutaqawwim (Benda Bernilai) dan Ghairu
Mutaqawwim (Benda tidak Bernilai).
Benda mutaqawwimmerupakan benda yang mempunyai nilai menurut syara dan
dilindunginya, oleh karena itu orang yang bukan pemiliknya dituntut mengganti dengan
benda atau serupa apabila merusakkannya. Contoh benda mutaqawwim yaitu uang, runah,
tanah yang dimiliki, dan sebagainya.
Benda ghairu mutaqawwim merupakan benda yang dapat diambil manfaatnya,
tetapi belum dikuasai (dengan perbuatan) atau disimpan oleh seseorang, yakni benda-
benda bebas (al-Mubahah) atau benda-benda yang dikuasai atau disimpan, tetapi tidak
diperbolehkan mengambil manfaatnya oleh syara’ dalam keadaan biasa bukan terpaksa.
Berdasarkan pengertian tersebut emas yang masih dalam tanah, binatang buruan
dihutan belantara, ikan dilaut, dan sebagainya meskipun halal bukan termasuk
benda mutaqawwimkarena belum dikuasai atau diambil seseorang meskipun boleh
diambil manfaatnya serta tidak ada larangan untuk memilikinya. Benda-benda tersebut
dipandang sebagai benda bebas (al-mubahah) dan tidak ada perlindungan syara
terhadapnya, oleh karena itu apabila seseorang merusaknya tidak ada tuntutan untuk
menggantinya

Akad Dalam Fiqh Muamalah


Akad adalah suatu pertemuan dan perikatan ijab dan qobul dengan cara yang
dibenarkan syara, sebagai pernyataan niat dan kehendak kedua belah pihak atau lebih
untuk suatu kegiatan muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan atau gadai
dengan tujuan untuk menetapkan keridhaan kedua belah pihak dan menimbulkan akibat
hukum pada objek akad.
Istilah akad berasal dari kata al-Ahdu (perjanjian), ar-Aabthu (mengikat),
Aqdatun (sambungan), dan Al-aqdu (penguatan). Sehingga akad artinya adalah pertalian
ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan), sesuai
dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. Akad menurut
etimologi atau bahasa adalah menggabungkan antara ujung sesuatu dan mengikatnya,
lawannya adalah al-hillu (melepaskan), juga diartikan mengokohkan sesuatu dan
memperkuatnya.

Akad merupakan kesepakatan dua kehendak untuk menimbulkan akibat-akibat


hukum, baik berupa menimbulkan kewajiban, memindahkannya, mengalihkan, maupun
menghentikannya. Semua perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih,
tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak syariat. Tidak boleh ada
kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan
kesepakatan untuk membunuh seseorang.

Rukun Akad 

Rukun adalah unsur yang mutlak harus ada dalam sesuatu hal, peristiwa atau
tindakan. Rukun menentukan sah dan tidaknya suatu perbuatan hukum tertentu. Suatu
akad akan menjadi sah jika akad tersebut memenuhi rukun-rukun akad. Menurut
Djuwaini (2010), rukun akad adalah sebagai berikut:

a. Aqid 

Aqid adalah orang yang berakad (subjek akad). Seseorang yang berakad
terkadang merupakan orang yang memiliki hak ataupun wakil dari yang memiliki hak.
Terkadang masing-masing pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang terdiri dari
beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing
pihak satu orang berbeda dengan ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada
pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang.

b. Maqud Alaih 
Maqud Alaih adalah benda-benda yang akan diakadkan (objek akad), seperti
benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah atau pemberian, gadai,
dan utang.

c. Maudhu al-Aqid 

Maudhu al-Aqid adalah tujuan atau maksud mengadakan akad. Berbeda akad
maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya
yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan
pokok akad hibah adalah memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk
dimilikinya tanpa ada pengganti.

d. Shighat al-Aqid 

Shighat al-Aqid adalah pernyataan ijab qabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama
kali di lontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad, sedangkan qabul
adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Jadi pengertian ijab qabul dalam
berakad adalah bertukarnya sesuatu dengan yang lain dimana pihak pertama
mengucapkan kata menyerahkan objek akad dan pihak kedua mengucapkan kata
menerima objek akad.

Sifat Akad
Menurut As-Siddieqy (2001), berdasarkan sifatnya, akad dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

c. Akad tanpa syarat (akad munajjaz atau munjiz) 

Akad tanpa syarat (akad munjiz) adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberi
ketentuan (batasan) dengan suatu kaidah dan tanpa menetapkan sesuatu syarat. Apabila dilakukan
demikian, syara-pun menghargai dan berwujudlah segala hukum akad semenjak waktu akad itu
diadakan. Misalnya, saya jual sepeda kepada kawan saya ini, lalu diqabulkan oleh seorang lagi,
maka berwujudlah akad, serta berakibat hukum di waktu itu juga.

d. Akad bersyarat (akad ghairu munjiz) 

Akad bersyarat (akad ghairu munjiz) adalah akad yang diucapkan seseorang dengan dikaitkan
dengan sesuatu, dalam arti apabila kaitan itu tidak ada, maka akadpun tidak terjadi. Baik
dikaitkan dengan wujudnya sesuatu, maupun dikaitkan hukumnya atau ditangguhkan
pelaksanaannya pada waktu tertentu. Misalnya, saya jual motor ini dengan syarat saya boleh
pakai sebulan lamanya, sesudah sebulan barulah saya serahkan.

Menurut Anwar (2007), berdasarkan tujuannya, akad dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Akad Tabarru 

Akad tabarru adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang tidak
mengejar keuntungan (non profit transaction). Akad tabarru dilakukan dengan tujuan tolong
menolong dalam rangka berbuat kebaikan, sehingga pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak
berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru adalah
dari Allah, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh
meminta kepada rekan transaksinya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk
dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru tersebut.

b. Akad Tijarah 

Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang mengejar
keuntungan (profit orientation). Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena
itu bersifat komersial. Hal ini didasarkan atas kaidah bisnis bahwa bisnis adalah suatu aktivitas
untuk memperoleh keuntungan.

Jual Beli dalam Fiqh Muamalah


Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang atau benda. Dan secara etimologi jual
beli adalah menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Ulama Hanafiyah membagi
definisi jual beli ke dalam dua macam yaitu definisi dalam arti umum dan definisi dalam
arti khusus. Sedangkan imam syafii memberikan definisi jual beli yaitu pada prisipnya.
Jual beli juga dinamakan shofaqoh yang artinya transaksi yang di tandai dengan berjabat
tangan

Hukum jual beli dalam islam di perbolehkan saja, asal kan menjual dan membeli
barang yang halal, jika memperjual belikan barang maksiat maka hukumnya haram dan
sangat di larang oleh agama. Di dalam jual beli barang tersebut bisa di tukar kembalikan
asalkan penjual dan pembeli melakukan perjajian (akad) 
Khiyar
Menurut istilah khiyar adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang
melakukan transaksi jual beli untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang
telah disepakati, yang disebabkan oleh hal-hal tertentu yang membuat diantara kedua
belah pihak melakukan pilihan tersebut.

Secara etimologi khiyar artinya memilih, menyisihkan, dan menyaring. Sedangkan


menurut bahasa merupakan isim mashdar dari kata al-ikhtiyar yang bermakna pilihan dan
bersih. Adapun menurut istilah berarti adanya hak bagi kedua belah pihak yang
melakukan akad untuk memilih meneruskan atau membatalkan akad.

Maksud dari definisi diatas adalah hukum asal dalam akad setelah disetujuinnya,
yakni tercegahnya masing-masing pihak (penjual dan pembeli) membatalkannya, kecuali
terdapat izin syara’ kepada masingmasing pihak membatalkannya, yaitu dengan cara
khiyar.

Secara terminology, para ulama fiqh telah mendefinisikan al-khiyar, anatara lain
menurut Sayyid Sabiq : “Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan
atau membatalkan (jual beli)”. Wahbah alZuhaily23 mendefinisikan al-khiyar dengan :
“Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk
melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi
masingmasing pihak yang melakukan transaksi”.

Arti lain dari khiyar adalah suatu hak untuk menentukan antara meneruskan akad jual
beli atau tidak diteruskan (ditarik kembali tidak jadi jual beli). Khiyar adalah meminta
yang terbaik dari dua pilihan yakni melanjutkan atau membatalkan transaksi jual-beli.

Menurut ulama fiqih, khiyar dibolehkan dalam syariat Islam di dasarkan pada suatu
kebutuhan yang mendesak dengan cara mempertimbangkan kemaslahatan bagi masing-
masing pihak yang melakukan sebuah transaksi.

Jenis Jenis Khiyar

 Khiyar Majlis
Khiyar majlis merupakan suatu hak yang dimiliki oleh penjual dan pembeli untuk
meneruskan transaksi atau membatalkan transaksi tersebut selama dari kedua belah pihak tersebut
masih dalam majlis jual beli.

Sehingga selama masih di majlis atau pembeli dan penjual belum terpisah, maka
keduanya boleh melakukan transaksi atau membatalkannya. Akan tetapi, jika keduanya telah
berpisah, maka baik penjual maupun pembeli tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli
tersebut. Dan pembeli juga tidak dapat meminta uangnya kembali meskipun telah
mengembalikan barangnya.

Pada umumnya khiyar seperti ini hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat mengikat
kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi yakni seperti transaksi jual beli dan sewa
menyewa.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang artinya: “Apabila dua orang melakukan
akad jual beli, maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum
berpisah badan/tempat…” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar).

Kemudian dari Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hakim dan Hizam bahwa
Rasulullah Saw. bersabda,

“Kedua penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama belum berpisah. Jika
keduanya berbuat benar dan menjelaskan dengan benar, keduanya mendapatkan keberkahan
dalam transaksi mereka. Jika mereka menyembunyikannya dan berkata dusta, maka Allah akan
mencabut keberkahan jual-beli mereka.”

Perbedaan pendapat para ulama tentang khiyar majlis adalah sebagai berikut:

Madzhab Syafi’i dan Hambali

Kedua madzhab ini berpendapat bahwa: masing-masing pihak yang telah melakukan
akad berhak memiliki khiyar majlis selama mereka masih dalam majlis sekalipun akad telah sah
dengan adanya ijab dan qabul. Maksudnya adalah bahwa penjual dan pembeli masih memiliki
hak untuk dapat melangsungkan transaksi atau tidak karena keduanya masih dalam satu majllis
yang sama atau belum berpisah tempat.

Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Umar yang sebelumnya sudah disebutkan di atas. Dan hadis dari Amr bin Syu’aib
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Daruquthni, dan
Ibnu Khuzaimah.

Hanafi dan Maliki

Kedua madzhab ini berpendapat bahwa: akad telah sempurna dengan ijab dan qabul,
sehingga jika akad dengan ijab qabul telah terlaksana maka tidak ada hak majlis lagi bagi
keduanya. Maksudnya adalah kedua belah pihak baik penjual dan juga pembeli tidak memiliki
peluang lagi untuk membatalkan transaksi tersebut.

Hal ini didasarkan pada Firman Allah SWT Q.S An-Nisa ayat 29. yang artinya: “…
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….” 
Kemudian Menurut mereka, hadis tentang khiyar majlis tidak dapat diterima, karena bertentangan
dengan firman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat 1 yang artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman, penuhilah akad-akad itu…”.

Kapan Khiyar Majlis Tidak Berlaku:

Khiyar majlis tidak berlaku saat kedua belah pihak penjual dan pembeli menggugurkan
setelah akad. Atau salah satu dari mereka meninggal dunia.

 Khiyar ‘Aibi

Khiyar ‘aibi merupakan suatu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli
bagi keduJa belah pihak yang telah melakukan akad apabila terdapat suatu cacat pada objek yang
diperjualbelikan dan catat tersebut tidak diketahui oleh pemiliknya ketika akad berlangsung.

Seperti contoh penjual dan pembeli melakukan transaksi membeli 3 kg semangka,


namun ada beberapa semangka yang busuk tanpa diketahui oleh penjual maupun oleh
pembelinya. Pada kasus seperti ini maka menurut para ulama fiqih telah ditetapkan hak khiyar
bagi pembeli. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

“Sesama muslim adalah bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual
barang yang memiliki aib kepada saudaranya, kecuali apabil ia menjelaskan aib tersebut kepada
sudaranya.” ( HR. Ahmad, Ibnu Majah, Daruquthni, Hakim dan Thabrani).

Untuk khiyar ‘aibi ini memiliki syarat-syarat ketentuannya agar dapat berlaku,
diantaranya adalah sebagai berikut:
Pembeli tidak mengetahui adanya cacat pada barang ketika berlangsungnya akad. Jika
sejak awal sudah mengetahui adanya cacat maka khiyar ‘aibi tidak berlaku.

Pada saat akad berlangsung, penjual tidak memberi syarat jika ada barang cacat maka
tidak dapat dikembalikan. Artinya sudah ada kesepakatan dari pembeli tentang adanya cacat yang
akan dibeli. Jika penjual telah mensyaratkan maka khiyar ‘aibi sudah tidak berlaku.

Cacat tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad.

Khiyar ‘aibi dapat terhalang dalam pengembalian barang apabila:

- Pemilik hak khiyar rela dengan cacat yang ada pada barang tersebut
- Hak khiyar digugurkan oleh pemiliknya.
- Benda yang menjadi obyek hilang atau muncul cacat baru akibat perbuatan pemilik
hak khiyar.
 Khiyar Syarat

Khiyar syarat merupakan khiyar yang disyaratkan oleh salah satu pihak (penjual dan
pembeli) setelah akad, selama masa yang sudah ditentukan meskipun sangat lama. Apabiloa
kedua belah pihak berkehendak maka keduanya dapat melakukan transaksi atau membatalkannya
selama waktu yang ditentukan tersebut, khiyar ini boleh disyaratkan oleh kedua belah pihak yang
bertransaksi secara bersamaan.

Arti lain dari khiyar syarat adalah hak pilih yang telah ditentukan bagi salah satu pihak
yang berakad atau keduanya untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama tenggang
waktu yang telah ditentukan.

Sebagaimana dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Masing-masing penjual dan pembeli, belum terjadi jual-beli di antara keduanya


sebelum mereka berpisah, kecuali jual-beli dengan khiyar.”

Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :

“Apabila dua orang bertransaksi jual-beli, setiap pihak dari keduanya boleh melakukan
khiyar selama belum berpisah secara fisik. Keduanya melakukan khiyar atau satu dari keduanya
menawarkan khiyar kepada yang lain, kemudian keduanya sepakat bertransaksi, mka jual-beli
menjadi keharusan.”

 Khiyar Ru’yah
Khiyar ru’yah merupakan suatu hak pilih bagi pembeli untuk tetap melangsungkan atau
membatalkan jual beli yang dilakukan terhadap suatu objek yang belum dilihatnya ketika akad
berlangsung.

Syarat berlakunya khiyar ru’yah adalah :

- Belum terlihat barang ketika akad berlangsung atau sebelum akad.


- Barang yang diakadkan berupa barang konkrit seperti kendaraan, rumah dan lain
sebagainya.

Akad jenis ini harus dari akad-akad yang tabiatnya dapat menerima pembatalan seperti
jual beli dan ijarah.

Khiyar Ru’yah dapat berakhir apabila:

- Pembeli telah merelakannya. Artinya saat barang tersebut ada maka pembeli setuju
dengan barang itu.
- Objek yang dijual belikan hilang.
 Khiyar Naqdi

Khiyar naqdi merupakan hak khiyar untuk memberikan kesempatan dalam pembatalan
jual beli untuk suatu transaksi dengan pertukaran yang tidak langsung. Khiyar naqdi adalah hak
untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli, apabila pembeli belum melunasi pembayaran
tersebut. Atau penjual belum menyerahkan barang, meskipun telah menerima pembayaran utuh
dari pembeli.

 Khiyar Ta’yin

Khiyar ta’yin yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda
kualitas dalam jual beli. Contoh, pembeliam keramik:ada yang berkualitas super dan sedang.
Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super dan berkualitas
sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan pakar keramik dan arsitek.

Khiyar seperti ini, menurut ulama Hanafiyah yaitu boleh, dengan alasan bahwa prosuk
sejenis yang berbeda kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia
memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang ia cari
sesuai dengan keperluannya, maka khiyar ta’yin diperbolehkan.
Ulama Hanafiyah yang membolehkan khiyar ta’yin mengemukakan tiga syarat untuk sahnya
khiyar ini, yaitu :
- Pilihan dilakukan terhadap barang sejenis yang berbeda kualitas dan sifatnya.
- Barang itu berbeda sifat dan nilainya.
- Tenggang waktu untuk khiyar ta’yin itu harus ditentukan, yaitu menurut Imam Abu
Hanifah tidak boleh lebih dari tiga hari.

Khiyar ta’yin, menurut ulama Hanafiyah, hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik yang berupa materi dan mengikat bagi kedua belah pihak, seperti jual beli.

Sewa Menyewa

Syarat-Syarat Sewa Menyewa ( Ijarah)

Berikut adalah syarat-syarat yang mesti dipenuhi ketika melakukan sewa menyewa:

1. Mengetahui manfaatnya, seperti mendiami rumah atau menjahit pakaian. Karna


keberadaan sewa menyewa (ijarah) itu seperti jual beli, sedang dalam jual beli
disyaratkan harus mengetahui barang yang dijual.
2. Manfaaat yang dimaksud hukumnya mubah. Karna itu, tidak diperbolehkan menyewa
seorang budak perempuan untuk digauli, menyewa seorang wanita untuk bernyanyi atau
untuk meratapi jenazah atau menyewa tanah untuk mendirikan gereja atau pabrik
minuman keras misalnya.
3. Mengetahui upahnya, berdasarkan keterangan di dalam hadits yang diriwayatkan Abu
Sa’id,

 ُ‫ار اَأْل ِجي ِْر َحتَّى يُبَيِّنَ لَهُ َأجْ ُره‬ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َع ِن ا ْستِْئ َج‬ َ ِ ‫نَهَى َرسُوْ ُل‬

“Rasulullah telah melarang menyewa (mempekerjakan) seorang pekerja, sehingga dijelaskan


kepadanya mengenai upahnya.”

Ketentuan hukum berkaitan dengan Sewa Menyewa ( Ijarah)

Berikut diantara beberapa ketentuan yang berkaitan dengan sewa menyewa (ijarah)

1. Diperbolehkan menyewa guru untuk mengejarkan ilmu atau kerajinan. Karna


Rasulullah ‫ﷺ‬ pun telah membebaskan sebagian tawanan perang badar dengan ketentuan
mereka harus mengajarkan menulis kepada sejumlah anak kecil di Madinah
2. Diperbolehkan menyewa seseorang dengan memberinya makanan serta pakaian. Hal itu
berdasarkan sabda Rasulullah ‫ﷺ‬ ketika membaca surat al-Qashash hingga sampai pada
ayat yang berbicara tentang kisah Nabi Musa, seraya bersabda,

ْ َ‫ج َأوْ َع ْشرًا َعلَى ِعفَّ ِة فَرْ ِج ِه َو طَ َع ِام ب‬


 ‫طنِ ِه‬ ٍ ‫آج َر نَ ْف َسهُ ثَ َمانِ َي ِح َج‬
َ ‫ِإ َّن ُموْ َسى‬

“Sesungguhnya Musa telah menyewakan dirinya selama delapan atau sepuluh tahun atas
kehormatan kemaluannya dan makanan perutnya.”

3. Sah menyewa sebuah rumah yang telah ditentukan yang kelayakannya didasarkan pada
dugaan
4. Jika seseorang menyewa suatu barang, kemudian ia dilarang memanfaatkannya dalam
jangka waktu tertentu, maka uang sewanya harus dipotong sesuai dengan waktu dimana
ia dilarang memanfaatkannya. Sedangkan jika penyewa tidak memanfaatkannya karna
kehendak dirinya sendiri, maka ia wajib membayar uang sewanya secara utuh.
5. Sewa menyewa (ijarah) dianggap  batal dengan rusaknya barang yang disewa, misalnya:
Rumah yang disewanya roboh atau binatang yang disewanya mati, dan penyewa hanya
wajib membayar uang sewa waktu yang telah lalu selam ia memanfaatkannya
6. Jika seseorang menyewa suatu barang, kemudian ia mendapati barang itu cacat yang
tidak diketahui sebelumnya dan ia rela menerimanya serta telah memanfaatkannya
selama waktu tertentu, maka ia harus membayar uang sewa.
7. Pekerja yang disewa (dipekerjakan) dalam perserikatan yang banyak, misalnya: Sejumlah
penjahit atau tukang pandai, maka mereka diwajibkan mengganti kerusakan barang yang
dirusaknya karna tindakannya dan tidak diwajibkan mengganti barang yang hilang dari
took yang mereka jaga. Karna keberadaan barang yang ada di took dianggap sebagai
barang titipan, sedangkan orang yang dititipi tidak diwajibkan mengganti kerusakan
barang yang dititipkan kepadanya, selama ia tidak bertindak ceroboh. Juga keberadaan
pekerja khusus dianggap seperti seseorang yang disewa (dipekerjakan) untuk bekerja
padanya secara khusus, mak pekerja tersebut tidak diwajibkan mengganti kerusakan
barang yang dipakainya selama ia tidak bertindak ceroboh atau melampau batas.
8. Uang sewa (upah) harus ditetapkan melalui akad dan harus diserahkan setelah manfaat
yang dimaksud terpenuhi atau setelah pekerjaan selesai, kecuali jika disyaratkan  supaya
diserahkan ketika akad, berdasarkan sabda Rasulullah ‫ﷺ‬,

َ َ‫ٰل ِك َّن ْال َع َم َل ِإنَّ َما يُ َوفَّى َأجْ ُرهُ ِإ َذ ق‬


 ُ‫ضى َع َملَه‬

“Akan tetapi pekerja hanyalah berhak diberikan upahnya ketika dia telah menyelesaikan
pekerjaannya.”

9. Pekerja yang disewa (dipekerjakan) berhak menahan barang hingga upahnya dibayar, jika
tindakan menahannya itu berpengaruh terhadap pemenuhan upahnya seperti penahanan
yang dilakukan oleh sejumlah penjahit. Jika tindakan penahanannya tidak memiliki
pengaruh seperti seseorang yang disewa untuk memikulkan suatu barang ke tempat
tertentu, maka ia tidak berhak menahannya, tetapi harus menyampaikannya ke tempat
yang dimaksud, kemudian ia meminta upahnya.

10. Jika seseorang mengobati orang sakit serta meminta bayaran, padahal ia bukan orang
yang mengetahui pengobatan, sehingga ia merusak salah satu anggota tubuh orang yang
diobatinya, maka ia harus bertanggung jawab atas keruskan tersebut, berdasarkan sabda
Rasulullah‫ﷺ‬,

َ ‫َّب َو لَ ْم يُ ْعلَ ْم ِم ْنهُ ِطبٌّ فَهُ َو‬


 ‫ضا ِم ٌن‬ َ ‫َم ْن تَطَب‬

“Barangsiapa yang melakukan pengobatan, padahal ia tidak mengetahui hal pengobatan, maka
ia  harus bertanggung jawab.”

Upah Mengupah

Dalam Islam upah disebut Ijarah, yaitu sewa menyewa. Ijarah yang di
dalamnya terdapat mu’jir atau yang memberi upah dan musta’jir atau yang menerima
upah. Sehingga konsep ijarah sama dengan konsep upah secara umum. Al-ijarah
arti asalnya adalah imbalan kerja atau upah. Sedangkan upah menurut istilah adalah
uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas jasa atau bayaran atas tenaga
yang telah dicurahkan untuk mengerjakan sesuatu.
Dalam Islam dijelaskan bahwa antara pekerja dan pengusaha dilarang
berbuat aniaya, keadilan antara mereka harus ditegakkan. Pengusaha harus
membayar pekerja dengan bagian yang seharusnya mereka terima sesuai dengan
kerjanya begitu juga pekerja dilarang memaksa pengusaha untuk membayar melebihi
kemampuannya, dalam pelaksanaan pemberian upah yang merupakan hak pekerja.
Sebagaiman Rasulullah SAW bersabda:

Dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Berikanlah


upah (sewa) kepada pekerja sebelum kering keringatnya” (HR Ibnu Majah dan at-
Thabrani). (Mardani, 2011: 193)

Konsekuensi dari adanya ketentuan ini adalah bahwa pemberian upah yang
diberikan kepada buruh harus sesuai dengan ketentuan norma yang telah
ditetapkan. (Djuwainii, 2010: 156). Menurut Quraish Shihab dalam buku Tafsir Al
Misbah mengatakan maksud yang terdapat di dalam ayat ini adalah manusia
diperintahkan untuk bekerja dan melakukan segala sesuatu yang baik, entah untuk
kehidupan pribadi maupun kepentingan masyarakat umum.

Maka Allah akan melihatnya dengan cara memberi balasan terhadap amal
tersebut. Bila di kaitkan dengan sistem pengupahan yang terjadi dalam pertanian di
Nagari Bukit Kandung, yang mana upahnya diminta duluan oleh buruh tani
sebelum buruh tani melaksanakan pekerjaanya, sementara menurut ayat di atas dan
ditambah dengan analisa ulama kontemporer Indonesia bahwa upah harus diberikan
setelah pekerjaan yang dibebankan kepada buruh tani telah selesai dikerjakan tanpa ada
kekurangan sedikit pun baik dari segi upahnya maupun dari segi hasil pekerjaan buruh
tani.

Pinjam Meminjam

Lafazh ‘Ariyah dengan di tasydid huruf ya’-nya menurut qaul ashah itu diambil
dari lafazh (‫)عار‬ “aara” yang artinya pergi ketika ia telah pergi.sedangkan hakikatnya
menurut arti syara’, itu membolehkan atau mempersialahkan mengambil manfaat
barang yang halal untuk diambil manfaatnya dari orang yang ahli bersedekah karena
Allah beserta utuhnya barang keadaan tersebut, agar kelak dekembalikan lagi kepada
orang yang bersedekah karena Alla itu.
Menurut etimologis Al ‘Ariyah berarti sesuatu yang dipinjam, pergi, dan kembali
pulang. Adapun menurut terminologis fiqh ada dua definisi yang berbeda pertama
ulama Maliki dan Hanafi mendefiniskannya dengan pemilikan manfaat sesuatu barang
tanpa ganti rugi. Kedua ulama Syafi’i dan Haambali mendefinisikan dengan kebolehan
manfaat barang orang lain tanpa ganti rugi. Kedua deffinisi ini membawa akibat hukum
yang berbeda definisi pertama membolehkan peminjam meminjamkan barang yang ia
pinjam kepada pihak ketiga sedangkan definisi kedua tidak membolehkannya. 
Ariyyah atau ‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi (lughat) dengan
beberapa macam makna, yaitu:
1.    ‘Ariyah adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara
bergiliran antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan
memakai artinya perkataan at tadaawul.
2.    ‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan
itu diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
3.    ‘Ariyah adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar
kata ‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat. 
Sedangkan pengertiannya dalam terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini
terdapat perincian beberapa madzhab :

        ·  Madzhab Maliki (Al Malikiyah)


‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi
sesuatu yang dipinjam. Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang
sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh:
meminjamkan/memberikan hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan
waktunya dengan tanpa ongkos
        ·  Madzhab Hanafi (Al Hanafiyah)
‘Ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara cuma-cuma. Sebagian
ulama mengatakan bahwa ‘Ariyah adalah “membolehkan” bukan “memberikan hak
milik”. Pendapat ini tertolak dari dua segi, yaitu:
a.    Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan
memberikan hak milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan kecuali
dengan tujuan meminjam pengertian memberikan hak milik.
b.   Bahwasannya orang yang meminjam boleh meminjamkan sesuatu yang ia pinjam
kepada orang lain jika sesuatu tersebut tidak akan berbeda penggunaannya dengan
perbedaan orang yang menggunakan baik dari segi kekuatan atau kelemahannya.
Seandainya meminjamkan itu hanya membolehkan, maka orang yang meminjam
tidak sah meminjamkan kepada orang lain.
      ·    Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah)
Perjanjian meminjamkan ialah membolehkan mengambil manfaat dari orang
yang mempunyai keahlian melakukan derma dengan barang yang halal diambil
manfaatnya dalam keadaan barangnya masih tetap utuh untuk dikembalikan kepada
orang yang melakukan kesukarelaan. Misalnya adalah Ani meminjamkan buku fiqh
(halal diambil manfaatnya) kepada Lina (orang yang berkeahlian melakukan amal
sukarela), maka sahlah ani untuk meminjamkan buku fiqh tersebut kepada Lina.
·         Madzhab Hambali (Al Hanabilah)
‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari
pemiliknya atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa
tertentu atau secara mutlak dengan tanpa imbalan ongkos.
Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah merupakan nama atas
sesuati yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi, pengertian ‘ariyah
adalah Kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan.

Anda mungkin juga menyukai