Pengertian
Fiqih Muamalah tersusun dari dua kata (lafadz), yaitu fiqih ( )الفقهdan Muamalah (
)المعاملة. Lafadz yang pertama ( )الفقهsecara etimologi memiliki makna pengeritan atau
pemahaman, sedangkan dalam terminologi kata fiqih memiliki definisi yang beragam
dari kalangan ulama’
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili (Fiqh Muamalah Perbankan syariah, Team
Counterpart Bank Muamalat Indonesia ,1999), Fiqih muamalah merupakan salah satu
dari bagian persoalan hukum Islam seperti yang lainnya yaitu tentang hukum ibadah,
hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata, hukum jihad, hukum perang, hukum
damai, hukum politik, hukum penggunaan harta, dan hukum pemerintahan. Semua
bentuk persoalan dicantumkan dalam kitab fiqih adalah pertanyaan yang dipertanyakan
masyarakat atau persoalan yang muncul ditengah-tengah masyarakat.
Secara bahasa ( etimologi ) Fiqih ( ) فقهberasal dari kata faqiha ( )فقهyang berarti
Paham: pemahaman seperti tercermin dalam firman Allah SWT, yang artinya:
“Perhatikanlah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti
agar mereka memahaminya” (QS: Al-An’am: 65) dan muamalah berasal dari kata ’amila
( ) معاملة – يعامل – عاملyang berarti berbuat atau bertindak. Muamalah adalah hubungan
kepentingan antar sesama manusia ( Hablun minannas ). Muamalah tersebut meliputi
transaksi-transaksi kehartabendaan seperti jual beli, perkawinan, dan hal-hal yang
berhubungan dengannya, urusan persengketaan ( gugatan, peradilan, dan sebagainya )
dan pembagian warisan. Sedang menurut istilah muamalah dibagi menjadi dua macam
yaitu:
1) Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan
Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga
kepentingan manusia”. Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah
untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.
2) Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit yaitu : “muamalah adalah aturan Allah
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk
mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” (Idris
Ahmad) atau “muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat
dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Beberapa kitab fiqih dari empat madzhab masing-masing dari mereka saling
berlainan dalam mengurutkan sistematika fiqih mu’amalah. Masing-masing kitab
memiliki urutan-urutan sendiri sebagaimana dalam daftar isi (fihris) kitab tersebut. Hanya
saja mereka sepakat dalam pembahsan fiqih mereka senantiasa mendahulukan
pembahasan mengenai ibadah secara keseluruhan baru kemudian disusul dengan
pembahasan mengenai fiqih mu’amalah.
Perbedaan sistematika tersebut dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut :
1) Imam Alauddin Al-Kasani
Adalah ulama’ dari golongan Hanafi, dalam kitabnya “Bada’ius Shanai” memulai
pembahasan fiqih mu’amalah dengan “Kitabul Ijarah” (bab perburuhan atau sewa
menyewa) dan diakhiri dengan “Kitabul Qardli” (hutang-piutang atau pemberian
modal). Diantara keduanya dibahas beberapa bentuk perikatan, bahkan terdapat
juga bab-bab tentang penyembelihan dan perburuhan, nadzar dan kafarah, wakaf
dan shadaqah, peradilan dan persaksian dan sebagainya.
2) Golongan Syafi’i
Dengan sistematika sebagai berikut : Jual beli, hutang-piutang, pesan memesan,
gadai menggadai, perikatan-perikatan yang berhubungan dengan kebendaan yang
lain, diakhiri dengan bab “barang temuan” serta sayembara.
3) Golongan Maliki
Memiliki sistematika setelah selesai pembahasan ibadah, mereka melanjutkan
dengan pembahasan mengenai jihad, perkawinan, jual beli, peradilan, persaksian,
pidana, wasiat dan warisan.
Ibnu Rusydi dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” setelah selesai dengan
pembahasan mengenai ibadah beliau kemudian melanjutkan dengan pembahasan
tentang jihad, sumpah, nadzar, kurban, penyembelihan, perburuan, aqiqoh,
makanan dan minuman. Sesudah itu baru membahas mengenai perkawinan dan
hal-hal yang berhubungan dengan itu.
4) Golongan Ahmad
Memiliki sistematika sebagai berikut : jual beli, pesan memesan, hutang piutang,
perikatan-perikatan yang berhubungan dengan kebendaan yang lain, wasiat,
warisan, kemudian memerdekakan budak dan diakhiri dengan
pembahasan “ummahatil aulad”.
Salah satu kitab yang pernah menjadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada
masa pemerintahan Turki Utsmani adalah kitab “Majallatul Ahkamil Adliyah”
merupakan kitab fiqih muamalah dari madzhab Hanafi, ditulis dan disusun menurut
undang-undang dan diundangkan pada bulan Sya’ban tahun 1293 Hijriyah, terdiri dari
1851 pasal dan dibagi dalam 16 bab yaitu :
Rukun Akad
Rukun adalah unsur yang mutlak harus ada dalam sesuatu hal, peristiwa atau
tindakan. Rukun menentukan sah dan tidaknya suatu perbuatan hukum tertentu. Suatu
akad akan menjadi sah jika akad tersebut memenuhi rukun-rukun akad. Menurut
Djuwaini (2010), rukun akad adalah sebagai berikut:
a. Aqid
Aqid adalah orang yang berakad (subjek akad). Seseorang yang berakad
terkadang merupakan orang yang memiliki hak ataupun wakil dari yang memiliki hak.
Terkadang masing-masing pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang terdiri dari
beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing
pihak satu orang berbeda dengan ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada
pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang.
b. Maqud Alaih
Maqud Alaih adalah benda-benda yang akan diakadkan (objek akad), seperti
benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah atau pemberian, gadai,
dan utang.
c. Maudhu al-Aqid
Maudhu al-Aqid adalah tujuan atau maksud mengadakan akad. Berbeda akad
maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya
yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan
pokok akad hibah adalah memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk
dimilikinya tanpa ada pengganti.
d. Shighat al-Aqid
Shighat al-Aqid adalah pernyataan ijab qabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama
kali di lontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad, sedangkan qabul
adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Jadi pengertian ijab qabul dalam
berakad adalah bertukarnya sesuatu dengan yang lain dimana pihak pertama
mengucapkan kata menyerahkan objek akad dan pihak kedua mengucapkan kata
menerima objek akad.
Sifat Akad
Menurut As-Siddieqy (2001), berdasarkan sifatnya, akad dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
Akad tanpa syarat (akad munjiz) adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberi
ketentuan (batasan) dengan suatu kaidah dan tanpa menetapkan sesuatu syarat. Apabila dilakukan
demikian, syara-pun menghargai dan berwujudlah segala hukum akad semenjak waktu akad itu
diadakan. Misalnya, saya jual sepeda kepada kawan saya ini, lalu diqabulkan oleh seorang lagi,
maka berwujudlah akad, serta berakibat hukum di waktu itu juga.
Akad bersyarat (akad ghairu munjiz) adalah akad yang diucapkan seseorang dengan dikaitkan
dengan sesuatu, dalam arti apabila kaitan itu tidak ada, maka akadpun tidak terjadi. Baik
dikaitkan dengan wujudnya sesuatu, maupun dikaitkan hukumnya atau ditangguhkan
pelaksanaannya pada waktu tertentu. Misalnya, saya jual motor ini dengan syarat saya boleh
pakai sebulan lamanya, sesudah sebulan barulah saya serahkan.
Menurut Anwar (2007), berdasarkan tujuannya, akad dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Akad Tabarru
Akad tabarru adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang tidak
mengejar keuntungan (non profit transaction). Akad tabarru dilakukan dengan tujuan tolong
menolong dalam rangka berbuat kebaikan, sehingga pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak
berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru adalah
dari Allah, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh
meminta kepada rekan transaksinya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk
dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru tersebut.
b. Akad Tijarah
Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang mengejar
keuntungan (profit orientation). Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena
itu bersifat komersial. Hal ini didasarkan atas kaidah bisnis bahwa bisnis adalah suatu aktivitas
untuk memperoleh keuntungan.
Hukum jual beli dalam islam di perbolehkan saja, asal kan menjual dan membeli
barang yang halal, jika memperjual belikan barang maksiat maka hukumnya haram dan
sangat di larang oleh agama. Di dalam jual beli barang tersebut bisa di tukar kembalikan
asalkan penjual dan pembeli melakukan perjajian (akad)
Khiyar
Menurut istilah khiyar adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang
melakukan transaksi jual beli untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang
telah disepakati, yang disebabkan oleh hal-hal tertentu yang membuat diantara kedua
belah pihak melakukan pilihan tersebut.
Maksud dari definisi diatas adalah hukum asal dalam akad setelah disetujuinnya,
yakni tercegahnya masing-masing pihak (penjual dan pembeli) membatalkannya, kecuali
terdapat izin syara’ kepada masingmasing pihak membatalkannya, yaitu dengan cara
khiyar.
Secara terminology, para ulama fiqh telah mendefinisikan al-khiyar, anatara lain
menurut Sayyid Sabiq : “Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan
atau membatalkan (jual beli)”. Wahbah alZuhaily23 mendefinisikan al-khiyar dengan :
“Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk
melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi
masingmasing pihak yang melakukan transaksi”.
Arti lain dari khiyar adalah suatu hak untuk menentukan antara meneruskan akad jual
beli atau tidak diteruskan (ditarik kembali tidak jadi jual beli). Khiyar adalah meminta
yang terbaik dari dua pilihan yakni melanjutkan atau membatalkan transaksi jual-beli.
Menurut ulama fiqih, khiyar dibolehkan dalam syariat Islam di dasarkan pada suatu
kebutuhan yang mendesak dengan cara mempertimbangkan kemaslahatan bagi masing-
masing pihak yang melakukan sebuah transaksi.
Khiyar Majlis
Khiyar majlis merupakan suatu hak yang dimiliki oleh penjual dan pembeli untuk
meneruskan transaksi atau membatalkan transaksi tersebut selama dari kedua belah pihak tersebut
masih dalam majlis jual beli.
Sehingga selama masih di majlis atau pembeli dan penjual belum terpisah, maka
keduanya boleh melakukan transaksi atau membatalkannya. Akan tetapi, jika keduanya telah
berpisah, maka baik penjual maupun pembeli tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli
tersebut. Dan pembeli juga tidak dapat meminta uangnya kembali meskipun telah
mengembalikan barangnya.
Pada umumnya khiyar seperti ini hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat mengikat
kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi yakni seperti transaksi jual beli dan sewa
menyewa.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang artinya: “Apabila dua orang melakukan
akad jual beli, maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum
berpisah badan/tempat…” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar).
Kemudian dari Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hakim dan Hizam bahwa
Rasulullah Saw. bersabda,
“Kedua penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama belum berpisah. Jika
keduanya berbuat benar dan menjelaskan dengan benar, keduanya mendapatkan keberkahan
dalam transaksi mereka. Jika mereka menyembunyikannya dan berkata dusta, maka Allah akan
mencabut keberkahan jual-beli mereka.”
Perbedaan pendapat para ulama tentang khiyar majlis adalah sebagai berikut:
Kedua madzhab ini berpendapat bahwa: masing-masing pihak yang telah melakukan
akad berhak memiliki khiyar majlis selama mereka masih dalam majlis sekalipun akad telah sah
dengan adanya ijab dan qabul. Maksudnya adalah bahwa penjual dan pembeli masih memiliki
hak untuk dapat melangsungkan transaksi atau tidak karena keduanya masih dalam satu majllis
yang sama atau belum berpisah tempat.
Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Umar yang sebelumnya sudah disebutkan di atas. Dan hadis dari Amr bin Syu’aib
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Daruquthni, dan
Ibnu Khuzaimah.
Kedua madzhab ini berpendapat bahwa: akad telah sempurna dengan ijab dan qabul,
sehingga jika akad dengan ijab qabul telah terlaksana maka tidak ada hak majlis lagi bagi
keduanya. Maksudnya adalah kedua belah pihak baik penjual dan juga pembeli tidak memiliki
peluang lagi untuk membatalkan transaksi tersebut.
Hal ini didasarkan pada Firman Allah SWT Q.S An-Nisa ayat 29. yang artinya: “…
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….”
Kemudian Menurut mereka, hadis tentang khiyar majlis tidak dapat diterima, karena bertentangan
dengan firman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat 1 yang artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman, penuhilah akad-akad itu…”.
Khiyar majlis tidak berlaku saat kedua belah pihak penjual dan pembeli menggugurkan
setelah akad. Atau salah satu dari mereka meninggal dunia.
Khiyar ‘Aibi
Khiyar ‘aibi merupakan suatu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli
bagi keduJa belah pihak yang telah melakukan akad apabila terdapat suatu cacat pada objek yang
diperjualbelikan dan catat tersebut tidak diketahui oleh pemiliknya ketika akad berlangsung.
“Sesama muslim adalah bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual
barang yang memiliki aib kepada saudaranya, kecuali apabil ia menjelaskan aib tersebut kepada
sudaranya.” ( HR. Ahmad, Ibnu Majah, Daruquthni, Hakim dan Thabrani).
Untuk khiyar ‘aibi ini memiliki syarat-syarat ketentuannya agar dapat berlaku,
diantaranya adalah sebagai berikut:
Pembeli tidak mengetahui adanya cacat pada barang ketika berlangsungnya akad. Jika
sejak awal sudah mengetahui adanya cacat maka khiyar ‘aibi tidak berlaku.
Pada saat akad berlangsung, penjual tidak memberi syarat jika ada barang cacat maka
tidak dapat dikembalikan. Artinya sudah ada kesepakatan dari pembeli tentang adanya cacat yang
akan dibeli. Jika penjual telah mensyaratkan maka khiyar ‘aibi sudah tidak berlaku.
- Pemilik hak khiyar rela dengan cacat yang ada pada barang tersebut
- Hak khiyar digugurkan oleh pemiliknya.
- Benda yang menjadi obyek hilang atau muncul cacat baru akibat perbuatan pemilik
hak khiyar.
Khiyar Syarat
Khiyar syarat merupakan khiyar yang disyaratkan oleh salah satu pihak (penjual dan
pembeli) setelah akad, selama masa yang sudah ditentukan meskipun sangat lama. Apabiloa
kedua belah pihak berkehendak maka keduanya dapat melakukan transaksi atau membatalkannya
selama waktu yang ditentukan tersebut, khiyar ini boleh disyaratkan oleh kedua belah pihak yang
bertransaksi secara bersamaan.
Arti lain dari khiyar syarat adalah hak pilih yang telah ditentukan bagi salah satu pihak
yang berakad atau keduanya untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama tenggang
waktu yang telah ditentukan.
Sebagaimana dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila dua orang bertransaksi jual-beli, setiap pihak dari keduanya boleh melakukan
khiyar selama belum berpisah secara fisik. Keduanya melakukan khiyar atau satu dari keduanya
menawarkan khiyar kepada yang lain, kemudian keduanya sepakat bertransaksi, mka jual-beli
menjadi keharusan.”
Khiyar Ru’yah
Khiyar ru’yah merupakan suatu hak pilih bagi pembeli untuk tetap melangsungkan atau
membatalkan jual beli yang dilakukan terhadap suatu objek yang belum dilihatnya ketika akad
berlangsung.
Akad jenis ini harus dari akad-akad yang tabiatnya dapat menerima pembatalan seperti
jual beli dan ijarah.
- Pembeli telah merelakannya. Artinya saat barang tersebut ada maka pembeli setuju
dengan barang itu.
- Objek yang dijual belikan hilang.
Khiyar Naqdi
Khiyar naqdi merupakan hak khiyar untuk memberikan kesempatan dalam pembatalan
jual beli untuk suatu transaksi dengan pertukaran yang tidak langsung. Khiyar naqdi adalah hak
untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli, apabila pembeli belum melunasi pembayaran
tersebut. Atau penjual belum menyerahkan barang, meskipun telah menerima pembayaran utuh
dari pembeli.
Khiyar Ta’yin
Khiyar ta’yin yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda
kualitas dalam jual beli. Contoh, pembeliam keramik:ada yang berkualitas super dan sedang.
Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super dan berkualitas
sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan pakar keramik dan arsitek.
Khiyar seperti ini, menurut ulama Hanafiyah yaitu boleh, dengan alasan bahwa prosuk
sejenis yang berbeda kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia
memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang ia cari
sesuai dengan keperluannya, maka khiyar ta’yin diperbolehkan.
Ulama Hanafiyah yang membolehkan khiyar ta’yin mengemukakan tiga syarat untuk sahnya
khiyar ini, yaitu :
- Pilihan dilakukan terhadap barang sejenis yang berbeda kualitas dan sifatnya.
- Barang itu berbeda sifat dan nilainya.
- Tenggang waktu untuk khiyar ta’yin itu harus ditentukan, yaitu menurut Imam Abu
Hanifah tidak boleh lebih dari tiga hari.
Khiyar ta’yin, menurut ulama Hanafiyah, hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik yang berupa materi dan mengikat bagi kedua belah pihak, seperti jual beli.
Sewa Menyewa
Berikut adalah syarat-syarat yang mesti dipenuhi ketika melakukan sewa menyewa:
ُار اَأْل ِجي ِْر َحتَّى يُبَيِّنَ لَهُ َأجْ ُره هّٰللا هّٰللا
ِ صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َع ِن ا ْستِْئ َج َ ِ نَهَى َرسُوْ ُل
Berikut diantara beberapa ketentuan yang berkaitan dengan sewa menyewa (ijarah)
“Sesungguhnya Musa telah menyewakan dirinya selama delapan atau sepuluh tahun atas
kehormatan kemaluannya dan makanan perutnya.”
3. Sah menyewa sebuah rumah yang telah ditentukan yang kelayakannya didasarkan pada
dugaan
4. Jika seseorang menyewa suatu barang, kemudian ia dilarang memanfaatkannya dalam
jangka waktu tertentu, maka uang sewanya harus dipotong sesuai dengan waktu dimana
ia dilarang memanfaatkannya. Sedangkan jika penyewa tidak memanfaatkannya karna
kehendak dirinya sendiri, maka ia wajib membayar uang sewanya secara utuh.
5. Sewa menyewa (ijarah) dianggap batal dengan rusaknya barang yang disewa, misalnya:
Rumah yang disewanya roboh atau binatang yang disewanya mati, dan penyewa hanya
wajib membayar uang sewa waktu yang telah lalu selam ia memanfaatkannya
6. Jika seseorang menyewa suatu barang, kemudian ia mendapati barang itu cacat yang
tidak diketahui sebelumnya dan ia rela menerimanya serta telah memanfaatkannya
selama waktu tertentu, maka ia harus membayar uang sewa.
7. Pekerja yang disewa (dipekerjakan) dalam perserikatan yang banyak, misalnya: Sejumlah
penjahit atau tukang pandai, maka mereka diwajibkan mengganti kerusakan barang yang
dirusaknya karna tindakannya dan tidak diwajibkan mengganti barang yang hilang dari
took yang mereka jaga. Karna keberadaan barang yang ada di took dianggap sebagai
barang titipan, sedangkan orang yang dititipi tidak diwajibkan mengganti kerusakan
barang yang dititipkan kepadanya, selama ia tidak bertindak ceroboh. Juga keberadaan
pekerja khusus dianggap seperti seseorang yang disewa (dipekerjakan) untuk bekerja
padanya secara khusus, mak pekerja tersebut tidak diwajibkan mengganti kerusakan
barang yang dipakainya selama ia tidak bertindak ceroboh atau melampau batas.
8. Uang sewa (upah) harus ditetapkan melalui akad dan harus diserahkan setelah manfaat
yang dimaksud terpenuhi atau setelah pekerjaan selesai, kecuali jika disyaratkan supaya
diserahkan ketika akad, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,
“Akan tetapi pekerja hanyalah berhak diberikan upahnya ketika dia telah menyelesaikan
pekerjaannya.”
9. Pekerja yang disewa (dipekerjakan) berhak menahan barang hingga upahnya dibayar, jika
tindakan menahannya itu berpengaruh terhadap pemenuhan upahnya seperti penahanan
yang dilakukan oleh sejumlah penjahit. Jika tindakan penahanannya tidak memiliki
pengaruh seperti seseorang yang disewa untuk memikulkan suatu barang ke tempat
tertentu, maka ia tidak berhak menahannya, tetapi harus menyampaikannya ke tempat
yang dimaksud, kemudian ia meminta upahnya.
10. Jika seseorang mengobati orang sakit serta meminta bayaran, padahal ia bukan orang
yang mengetahui pengobatan, sehingga ia merusak salah satu anggota tubuh orang yang
diobatinya, maka ia harus bertanggung jawab atas keruskan tersebut, berdasarkan sabda
Rasulullahﷺ,
“Barangsiapa yang melakukan pengobatan, padahal ia tidak mengetahui hal pengobatan, maka
ia harus bertanggung jawab.”
Upah Mengupah
Dalam Islam upah disebut Ijarah, yaitu sewa menyewa. Ijarah yang di
dalamnya terdapat mu’jir atau yang memberi upah dan musta’jir atau yang menerima
upah. Sehingga konsep ijarah sama dengan konsep upah secara umum. Al-ijarah
arti asalnya adalah imbalan kerja atau upah. Sedangkan upah menurut istilah adalah
uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas jasa atau bayaran atas tenaga
yang telah dicurahkan untuk mengerjakan sesuatu.
Dalam Islam dijelaskan bahwa antara pekerja dan pengusaha dilarang
berbuat aniaya, keadilan antara mereka harus ditegakkan. Pengusaha harus
membayar pekerja dengan bagian yang seharusnya mereka terima sesuai dengan
kerjanya begitu juga pekerja dilarang memaksa pengusaha untuk membayar melebihi
kemampuannya, dalam pelaksanaan pemberian upah yang merupakan hak pekerja.
Sebagaiman Rasulullah SAW bersabda:
Konsekuensi dari adanya ketentuan ini adalah bahwa pemberian upah yang
diberikan kepada buruh harus sesuai dengan ketentuan norma yang telah
ditetapkan. (Djuwainii, 2010: 156). Menurut Quraish Shihab dalam buku Tafsir Al
Misbah mengatakan maksud yang terdapat di dalam ayat ini adalah manusia
diperintahkan untuk bekerja dan melakukan segala sesuatu yang baik, entah untuk
kehidupan pribadi maupun kepentingan masyarakat umum.
Maka Allah akan melihatnya dengan cara memberi balasan terhadap amal
tersebut. Bila di kaitkan dengan sistem pengupahan yang terjadi dalam pertanian di
Nagari Bukit Kandung, yang mana upahnya diminta duluan oleh buruh tani
sebelum buruh tani melaksanakan pekerjaanya, sementara menurut ayat di atas dan
ditambah dengan analisa ulama kontemporer Indonesia bahwa upah harus diberikan
setelah pekerjaan yang dibebankan kepada buruh tani telah selesai dikerjakan tanpa ada
kekurangan sedikit pun baik dari segi upahnya maupun dari segi hasil pekerjaan buruh
tani.
Pinjam Meminjam
Lafazh ‘Ariyah dengan di tasydid huruf ya’-nya menurut qaul ashah itu diambil
dari lafazh ()عار “aara” yang artinya pergi ketika ia telah pergi.sedangkan hakikatnya
menurut arti syara’, itu membolehkan atau mempersialahkan mengambil manfaat
barang yang halal untuk diambil manfaatnya dari orang yang ahli bersedekah karena
Allah beserta utuhnya barang keadaan tersebut, agar kelak dekembalikan lagi kepada
orang yang bersedekah karena Alla itu.
Menurut etimologis Al ‘Ariyah berarti sesuatu yang dipinjam, pergi, dan kembali
pulang. Adapun menurut terminologis fiqh ada dua definisi yang berbeda pertama
ulama Maliki dan Hanafi mendefiniskannya dengan pemilikan manfaat sesuatu barang
tanpa ganti rugi. Kedua ulama Syafi’i dan Haambali mendefinisikan dengan kebolehan
manfaat barang orang lain tanpa ganti rugi. Kedua deffinisi ini membawa akibat hukum
yang berbeda definisi pertama membolehkan peminjam meminjamkan barang yang ia
pinjam kepada pihak ketiga sedangkan definisi kedua tidak membolehkannya.
Ariyyah atau ‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi (lughat) dengan
beberapa macam makna, yaitu:
1. ‘Ariyah adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara
bergiliran antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan
memakai artinya perkataan at tadaawul.
2. ‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan
itu diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
3. ‘Ariyah adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar
kata ‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat.
Sedangkan pengertiannya dalam terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini
terdapat perincian beberapa madzhab :