Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Berharap kepada Allah (ar roja’) merupakan suatu sikap positif yang
diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Berharap, dengan kata
dasar harap dan ditambah imbuhan ber- yang terbentuk menjadi sebuah kata
kerja. Yakni kita bekerja dengan akal dan hati kita untuk menggantungkan
harapan yang kita miliki kepada Sang Pencipta agar apa yang kita harapkan
dapat terwujud. Selain itu Ia menyakini bahwa ada Zat yang berkuasa atas apa
yang kita harapkan yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Berhasil atau tidaknya suatu
harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan, misalnya
Iskhaq mengharapkan lulus Ujian mengemudi, tetapi tidak ada usaha dari
seorang Iskhaq untuk belajar mengemudi, Bagaimana mungkin Iskhaq lulus
dalam ujian mengemudi.
Berharap kepada Allah merupakan pengakuan kelemahan seorang
hamba kepada Rabbnya. Berharap kepada Allah merupakan bukti penyerahan
diri, ketundukan, ketawadhu’an. Para pemiliknya adalah mereka yang Allah
hindarkan dari hati mereka rasa sombong akan kehebatan dan keakuan diri.
Para pemiliknya teguh, konsisten  dan tak mengenal kata putus asa dalam
berama

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Berharap Kepada Allah SWT


Harapan merupakan bagian dari fitrah manusia yang tidak mungkin
ditinggalkan oleh setiap manusia. Orang yang tidak mempunyai suatu harapan
pada hakekatnya adalah manusia yang mati, mengingat harapan merupakan
titik awal manusia untuk selalu berkembang menuju kehidupan yang lebih
baik.
Al-Raja’ atau berharap kepada Allah Swt. adalah sikap jiwa yang
sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari Allah Swt.,
setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang
diharapkannya. Oleh karena itu bila tidak mengerjakan penyebabnya, lalu
menunggu sesuatu yang diharapkan, maka hal itu disebut “tamanni” atau
hayalan.
Al-Raja’ adalah sikap mengharap dan menanti-nanti sesuatu yang
sangat dicintai oleh si penanti. Sikap ini bukan sembarang menanti tanpa
memenuhi syarat-syarat tertentu, sebab penantian tanpa memenuhi syarat ini
disebut berangan-angan (tamniyyan). Orang-orang yang menanti ampunan dan
rahmat Allah Swt. tanpa amal bukanlah Raja’ namanya, tetapi berangan-
angan.
Ketahuilah bahwa hati itu sering tergoda oleh dunia, sebagaimana
bumi yang gersang yang mengharap turunnya hujan. Jika diibaratkan, maka
hati ibarat tanah, keyakinan seseorang ibarat benihnya, kerja atau amal
seseorang adalah pengairan dan perawatannya, sementara hari akhirat adalah
hari saat panennya. Seseorang tidak akan memanen kecuali sesuai dengan
benih yang ia tanam, apakah tanaman itu padi atau semak berduri ia akan
mendapat hasilnya kelak, dan subur atau tidaknya berbagai tanaman itu
tergantung pada bagaimana ia mengairi dan merawatnya.
Dengan mengambil perumpamaan di atas, maka Raja’ seseorang atas
ampunan Allah Swt. adalah sebagaimana sikap penantian sang petani terhadap
hasil tanamannya, yang telah ia pilih tanahnya yang terbaik, lalu ia taburi
benih yang terbaik pula, kemudian diairinya dengan jumlah yang tepat, dan
dibersihkannya dari berbagai tanaman pengganggu setiap hari, sampai waktu
yang sesuai untuk dipanen. Maka penantiannya inilah yang disebut Raja’.
Islam sendiri menganjurkan manusia untuk selalu berharap, namun
dalam islam yang dimaksud berharap yaitu berharap pada kemurahan Allah
SWT, mengingat Allah SWT adalah tuhan yang maha kuasa atas segalanya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al insyirah ayat 8:

ْ‫َوإِلَى َرب َِّك فَارْ غَب‬


“Dan hanya kepada Tuhanmulah (Allah SWT) hendaknya kamu
berharap”. (Qs Al Insyirah: 8)
 
Berdasarkan firman Allah SWT diatas dapat kita tarik kesimpulan
bahwa Islam menganjurkan manusia untuk selalu berharap pada Allah
SWT. Allah memerintahkan kita agar hanya kepada Allah saja hendaknya kita
berharap. Oleh karena itu Imam Baihaqi menyebutkan dalam kitab beliau
“Syu’ab Al Iman” bahwa berharap pada Allah merupakan cabang iman ke 12.
Jadi kalau kita tidak berharap pada Allah atau sedikit harapan kita pada Allah
berarti tidak sempurna imannya. Kalau kita tidak berharap pada Allah berarti
ada dua masalah:
 
Pertama, kita akan berdosa karena berharap pada Allah merupakan
perintah Allah,seperti yang tertera pada firman Allah diatas
“ dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.(QS Al Insyirah
8).
 
Kedua, kita akan terpentok dalam hidup, sering putus asa, dam
kehilangan solusi karena tidak ada yang dianggap bisa menyelesaikan kasus
atau memberikan solusi.
Allah SWT kembali berfirman dalam surat Al baqarah ayat 218 :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan
berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 218)
 
Firman Allah diatas kembali memberitahukan pada kita bahwa islam
menganjurkan umat muslim untuk senantiasa berharap akan rahmat Allah.
 Islam berpendapat bahwa jika seseorang mempunyai suatu harapan
maka seseorang tersebut harus melakukan 3 (tiga) hal untuk mewujudkan
harapan tersebut, yakni :

1. Ikhtiar (Usaha)
Ikhtiar adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya,
baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar tujuan hidupnya
selamat sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi. Ikhtiar harus dilakukan dengan
sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi, jika usaha tersebut gagal,
hendaknya kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya mencoba lagi dengan
lebih keras dan tidak berputus asa. Agar ikhtiar atau usaha kita dapat berhasil
dan sukses, hendaknya melandasi usaha tersebut dengan niat ikhlas untuk
mendapat ridha Allah, berdoa dengan senantiasa mengikuti perintah Allah
yang diiringi dengan perbuatan baik.
2. Doa
Disamping kita melakukan usaha-usaha untuk mewujudkan harapan tersebut,
kita juga tidak boleh melupakan doa. Menurut bahasa do'a berasal dari
kata "da'a" artinya memanggil. Sedangkan menurut istilah syara' do'a berarti
"Memohon sesuatu yang bermanfaat dan memohon terbebas atau tercegah
dari sesuatu yang memudharatkan.
Pada hakekatnya segala sesuatu di dunia ini merupakan bentuk dari kekuasan
Allah SWT, jadi kita di dunia ini hanyalah seorang budak yang lemah, hina,
dan tak punya apa-apa, Oleh karenanya kita membutuhkan pertolongan dari
Allah SWT.

B. Hikmah dan Keutamaan Berharap Kepada Allah SWT


Umat Islam yang bersifat raja’ tentu dalam hidupnya akan
mendapatkan hikmah dan keutamaan sebagai berikut :
1. Optimis.
Dalam kamus besar bahasa indonesia dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan optimis adalah orang yang selalu berpengharapan (berpandangan)
baik dalam menghadapi segala hal atau persoalan. Optimis termasuk sifat
terpuji. Sifat optimis seharusnya dimiliki oleh setiap umat Islam. Seorang
muslim (muslimah) yang optimis tentu akan berprasangka baik terhadap
Allah. Ia akan selalu berusaha agar kualitas hidupnya meningkat.
Kebalikan dari sifat optimis ialah sifat pesimistis. Sifat pesimistis ini
seharusnya dijauhi, karena termasuk dalam sifat tercela. Seseorang yang
pesimis dapat di artikan berprasangka buruk kepada Allah. Ia dalam
hidupnya kemungkinan besar tidak akan memperoleh kemajuan.
Seseorang yang pesimis biasanya selalu khawatir akan memperoleh
kegagalan, kekalahan, kerugian atau bencana, sehingga ia tidak mau
berusaha untuk mencobanya. Umat Islam yang bersifat optimistis
hendaknya bertawakkal kepada Allah SWT yaitu berusaha sekuat tenaga
untuk meraih apa yang dicita-citakannya, sedangkan hasilnya diserahkan
kapada Allah SWT.
Orang yang tawakkal tentu akan memperoleh pertolongan dari Allah Swt.
Allah Swt berfirman : “Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS.Ath-Thalaq, 65: 3)
2. Dinamis.
Kata dinamis berasal dari bahasa belanda dynamisch yang berarti giat
bekerja, tidak mau tinggal diam, selalu bergerak, terus tumbuh. Seseorang
yang berjiwa dinamis, tentu selama hidupnya, tidak akan diam berpangku
tangan. Dia akan terus berusaha secara sungguh-sungguh, untuk
meningkatkan kualitas dirinya ke arah yang lebih baik dan lebih maju.
Sikap pelaku dinamis seperti itu sebenarnya sesuai dengan fitrah
(pembawaan) manusia, yang memiliki kecenderungan untuk meningkat ke
arah yang lebih baik.
Allah Swt berfirman: 
“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan),”
(QS.Al-Insyiqaq, 84:19)
Seorang muslim (muslimah) yang sudah meraih prestasi baik dalam
bidang positif, hendaknya berusaha terus meningkatkan prestasinya ke
arah yang lebih baik lagi. Hal itu sesuai dengan suruhan Allah Swt dalam
Al-Qur’an dan anjuran Rasulullah Saw dalam haditsnya.
Allah Swt berfirman. 
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS.Al-Insyirah, 94: 7-8)
Juga Rasulullah Saw bersabda yang artinya: ” barang siapa yang amal
usahanya lebih baik dari kemarin maka orang itu termasuk orang yang
beruntung, dan jika amal usahanya sama dengan kemarin, termasuk yang
merugi, dan jika amal usahanya lebih buruk dari yang kemarin, maka
orang itu termasuk yang tercela”. (H.R. Tabrani)
Kebalikan dari sifat dinamis adalah sifat statis. Sifat statis  seharusnya
dijauhi karena termasuk akhlak tercela yang dapat menghambat kemajuan
dan mendatngkan kerugian.
3. Berpikir Kritis.
Dalam kamus beraar bahasa indonesia di jelaskan, bahwa perpikir krtitis
itu artinya tajam dalam penganalisaan. Bersifat tidak lekas percaya, dan
sifat terlalu berusaha menemukan kelasalahan, kekeliruan atau
kekurangan. Orang yang ahli memberi kjritik atau memperikan
pertimbangan apakah sesuatu itu benar atau salah, tepat atau keliru, sudah
lengkap atau masih kurang disebut seorang kritikus.
Kritik itu ada dua macam yaitu, yang termasuk akhlak terpuji dan yang
tercela. Kritik yang termasuk akhlak terpuji adalah kritik yang sehat, yang
didasari dengan niat ikhlas karena Allah Swt, tidak menggunakan kata-
kata pedas yang menyakitkan hati, dan dengan maksud untuk memberi
pertolongan kepada orang yang dikritik agar menyadari kesalahannya,
kekeliruannya, dan kekurangan, disertai dengan memberikan petinjuk
tantang jalur keluar dari kesalahan, kekeliruan dan kekurangan tersebut.
Rasulullah Saw bersabda, yang artinya:  “Yang dinamakan orang Islam
adalah orang yang menyelamatkan orang-orang muslim lainnya dari
gangguan lidah dan tangannya, sedang yang dinamakan orang yang hijrah
itu adalah orang yang meninggalkan semua larangan Allah.”
(H.R.Bukhari,Abu Dawud dan Nasa’i)
Kritik yang sehat, seperti tersebut sebenarnya termasuk ke dalam tolong
menolong yang di perintahkan Allah Swt untuk dilaksenakan.
Allah Swt berfirman yang artinya : 
“Dan bertolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)kebijakan dan
takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
(QS. Al-Maa-idah, 5:2)
Kritik yang termasuk akhlak tercela adalah kritik yang merusak, yang
tidak didasari niat ikhlas karena Allah Swt, dengan menggunakan kata-
kata keji yang menyakitkan hati dan tidak disertai memberi petunjuk
tentang jalur keluar dari kesalahan, kekeliruan, dan kekurangan. Sehingga
antara mereka saling bermusuhan dan saling dengki, yang sangat dilarang
oleh Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kamu berdengki-dengkian, jangan putus memutuskan
persaudaraan, jangan benci-membenci, jangan pula belakang
membelakangi, dan jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara,
sebagaimana telah di perintahkan Allah kepadamu.” (H.R.Bukhari dan
Muslim)
4. Mengenali Diri
Dengan Mengharap Keridaan Allah Swt. Salah satu cara dalam mengharap
keridaan Allah Swt ialah berusaha mengenali diri sendiri. Hal ini sesuai
dengan pepatah yang terkenal di kalangan tasawuf: “Barang siapa yang
mengenal dirinya tentu akan mengenal Tuhannya.” Mukmin yang
mengenali dirinya di mana pun dan kapan pun, tentu akan selalu
mengadakan instropeksi apakah dirinya sudah betul-betul menghambakan
dirinya kepada Allah Swt? Kalau sudah, bersyukurlah dan tingkatkan
kualitasnya. Kalau belum, kembalilah ke jalan yang diridai Allah Swt
dengan jalan beul-betul bertakwa kepada-Nya. Mukmin yang mengenali
dirinya akan menyadari bahwa ia hidup karena Allah dan bertujuan untuk
memperoleh keridaan Allah. Mukmin yang ketika di dunianya
memperoleh kerdiaan Allah, tentu di alam kubur dan alam akhiratpun akan
memperoleh rida Allah Swt, ia akan terbebas dari siksa kubur dan azab
neraka dan akan mendapatkan nikmat kubur serta pahala surga.

C. Manfaat Berharap Kepada Allah SWT


Adapun manfaat berharap kepada Allah SWT, yaitu :
1. Mewujudkan iman.
2. Ketenangan jiwa dan rehat hati.
3. Kecukupan dari Allah segala kebutuhan orang yang bertawakal.
4. Sebab terkuat dalam mendatangkan berbagai manfaat dan menolak
berbagai mudlarat.
5. Mewariskan cinta Allah kepada sang hamba.
6. Mewariskan kekuatan hati, keberanian, keteguhan dan menantang para
musuh.
7. Mewariskan kesabaran, ketahanan, kemenangan dan kekokohan.
8. Mewariskan rezeki, rasa ridha dan memelihara dari kekuasaan syetan
9. Sebab masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berharap kepada Allah (ar roja’) merupakan suatu sikap positif yang
diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Berharap, dengan kata
dasar harap dan ditambah imbuhan ber- yang terbentuk menjadi sebuah kata
kerja.
Manfaat berserah hanya kepada Allah yaitu, mewujudkan iman,
memperoleh ketenangan jiwa dan rehat hati, kesabaran, ketahanan,
kemenangan dan kekokoha, akan selalu merasa cukup atas segala kebutuhan,
mendatangkan berbagai manfaat dan menolak berbagai mudlarat, mewariskan
cinta Allah kepada sang hamba, mewariskan kekuatan hati, keberanian,
keteguhan dan menantang para musuh, memperoleh rezeki, memelihara dari
kekuasaan syetan, dan masuk surga tanpa hisab

B. Saran
Sebagai umat islam kita harus selalu berharap kepada Allah SWT
karena dengan hanya berharap kepada Allah dapat menambag keimanan kita
dan menjadikan kita lebih ikhlas menjani kehidupan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai