Anda di halaman 1dari 70

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA BY.S DENGAN DIAGNOSA MEDIS NEONATORUM


RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (NRDS)+BBRL
DI RUANG KEPERAWATAN NEONATAL

Disusun Oleh :
Octavia Maretanse
NIM : 2018.C.10a.0979

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Asuhan Keperawatan Ini Disusun Oleh:


Nama : Octavia Maretanse
NIM : 2018.C.10a.0979
Program Studi : S1 Keperawatan
Judul : “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada By.S
dengan diagnosa medis Neonatorum Respiratory Distress
Syndrom (NRDS) di Ruang Keperawatan Neonatal.”

Telah melaksanakan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk


menempuh Praktik Praklinik Keperawatan III (PPK III) Pada Program Studi
Sarjana Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Laporan keperawatan ini telah disetujui oleh :

Pembimbing Akademik

Nia Pristina, S.Kep., Ners

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Ini Disusun Oleh:


Nama : Octavia Maretanse
NIM : 2018.C.10a.0979
Program Studi : S1 Keperawatan
Judul : “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada By.S
dengan diagnosa medis Neonatorum Respiratory Distress
Syndrom (NRDS) di Ruang Keperawatan Neonatal”.

Telah melaksanakan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk


menempuh Praktik Praklinik Keperawatan III (PPK III) Pada Program Studi
Sarjana Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Laporan keperawatan ini telah disahkan oleh :

Ketua Prodi Sarjana Keperawatan Pembimbing Praktik

Meilitha Carolina, Ners, M.Kep. Nia Pristina, S.Kep., Ners

iii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada By.V dengan diagnosa
medis Neonatorum Respiratory Distress Syndrom (NRDS) di Ruang Keperawatan
Neonatal”. Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi tugas Praktik
Praklinik Keperawatan III (PPK III).
Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes., selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep., selaku Ketua Program Studi Sarjana
Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Ika Paskaria, S.Kep., Ners selaku Koordinator Praktik Pra Klinik
Keperawatan III Program Studi Sarjana Keperawatan.
4. Ibu Nia Pristina, S.Kep., Ners selaku Pembimbing Akademik yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian
asuhan keperawatan ini.
5. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan
ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Palangka Raya, 6 April 2021

Octavia Maretanse

iv
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN
LEMBAR PERSETUJUAN..................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iv
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan......................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................6
2.1 Konsep Penyakit Neonatorum Respiratory Distress Syndrom (NRDS)....6
2.1.1 Definisi NRDS.................................................................................6
2.1.2 Etiologi.............................................................................................7
2.1.3 Klafisikasi.........................................................................................8
2.1.4 Patofisiologi (WOC).......................................................................10
2.1.5 Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)...........................................13
2.1.6 Komplikasi.....................................................................................14
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang..................................................................15
2.1.8 Penatalaksanaan Medis...................................................................16
2.2 Manajemen Asuhan Bayi Baru Lahir......................................................19
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan...........................................................29
2.3.1 Pengkajian Keperawatan................................................................29
2.3.2 Diagnosa Keperawatan...................................................................34
2.3.3 Intervensi Keperawatan..................................................................35
2.3.4 Implementasi Keperawatan............................................................44
2.3.5 Evaluasi Keperawatan....................................................................44
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN..................................................................45
3.1 Pengkajian Keperawatan..........................................................................46
3.2 Diagnosa Keperawatan............................................................................57
3.3 Intervensi.................................................................................................58
3.4 Implementasi dan Evaluasi......................................................................65
BAB 4 PENUTUP.................................................................................................73
4.1 Kesimpulan..............................................................................................73
4.2 Saran........................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................77
LAMPIRAN
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
LEAFLET
JURNAL

v
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius,
yang berhubungan dengan tingginya morbiditas, mortalitas, dan biaya perawatan.
Sindroma gagal nafas (respiratory distress sindrom, RDS) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan
penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru
atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru (Marmi & Rahardjo, 2012).
RDS merupakan penyebab distres pernapasan tersering pada bayi prematur
(50,8%), diikuti transient tachypnea of the newborn (4,3%), dan pneumonia/sepsis
(1,9%). Peningkatan insidens proporsional terhadap derajat prematuritas. Angka
kematian bayi merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat
kesehatan anak. BBLR dengan NRDS termasuk faktor utama dalam peningkatan
mortalitas, morbiditas dan diabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan
dampak jangka panjang terhadap kehidupannya di masa depan.
Menurut World Health Organization melaporkan,bayi dengan berat lahir
rendah berkontribusi 60–80% dari Angka Kematian Bayi (AKB) yang terjadi,
disebabkan karena BBLR. BBLR memiliki risiko lebih besar untuk mengalami
morbiditas dan mortalitas daripada bayi lahir yang memiliki berat badan normal.
WHO mengelompokkan BBLR menjadi 3 macam, yaitu BBLR (1500–2499
gram), BBLSR (1000- 1499 gram), BBLER (< 1000 gram). WHO juga
mengatakan bahwa sebesar (WHO, 2018). Berdasarkan data WHO dan UNICEF,
pada tahun 2013 sekitar 22 juta bayi dilahirkan di dunia, dimana 16% diantaranya
2 lahir dengan Bayi Berat Lahir Rendah. Adapun persentase BBLR di negara
berkembang adalah 16,5 % dua kali lebih besar dari pada negara maju (7%). Di
Indoneisa, Berdasarkan data yang dilaporkan Ditjen Kesehatan Masyarakat,
Kemenkes RI pada tahun 2019 yaitu penyebab kematian neonatal terbanyak
adalah kondisi berat badan lahir rendah (BBLR) 35,3% (7.150 kematian).
Penyebab kematian lainnya di antaranya asfiksia 27,0% (5.464 kematian),
kelainan bawaan 21,4% (4.340 kematian), sepsis 12,5% (2.531 kematian),

1
2

Respiratory Distress Syndrome ( RDS ) Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi


kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram, tetanus neonatorium
3,5% (703 kematian), dan lainnya (Kemenkes RI, 2020).
Di Kalimantan, BBLR dengan Neonatorum Respiratory Distress Syndrome
mencapai 7,5% per kelahiran hidup. Angka ini lebih besar dari target yang
ditetapkan secara nasional yaitu 5% per kelahiran hidup. Sedangkan jika dilihat
secara daerah Provinsi Kalimantan Tengah sendiri sebanyak 8,3% per kelahiran
hidup (Dinkes Provinsi Kalteng, 2016).
Neonatorum Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang
disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut
untuk menghasilkan surfaktan yang memadai. Respiratory Distress Syndrome
terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi
surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin
muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Terdapat 4
faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia,
perinatal, maternal diabetes, maupun seksio sesaria (Nugraha, 2014). Neonatus
dengan RDS memerlukan terapi oksigen yang awalnya dilakukan dengan ventilasi
mekanik. Namun, pemasangan ventilator mekanik dapat meningkatkan risiko
pneumotoraks, paten duktus arteriosus, perdarahan intraventrikel, dan displasia
bronkopulmonar akibat distensi berlebih struktur paru. Oleh karena itu, berbagai
teknik alternatif lain mulai dikembangkan (Suminto, 2017). Respiratory distress
syndrome (RDS) disebut juga hyaline membrane didease (HMD), merupakan
sindrom gawat nafas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi
yang lahir dengan masa gestasi kurang (Kurniawan & Wiwin, 2020). Manifestasi
dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan
selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan.Surfaktan merupakan suatu zat yang dapat
menurunkan tegangan dinding alveoli paru. Pertumbuhan surfaktan paru
mencapai maksimum pada minggu ke 35 kehamilan. Defisiensi surfaktan
menyebabkan gangguan kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya,
alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi sehingga untuk pernafasan
berikutnya dibutuhkan tekana negative intoraks yang lebih besar yang disertai
3

usaha inspirasi yang kuat. Tanda klinis sindrom gawat nafas adalah pernafasan
cepat, sianosis perioral, merintih waktu ekspirasi, retraksi substernal dan
intercostal (Pantiawati, 2012).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat laporan studi kasus
tentang Asuhan Keperawatan Pada By.Ny.M diagnosa medis Neonatorum
Respiratory Distress Syndrome (NRDS), dalam upaya ketepatan penegakan
diagnosis hingga pemberian terapi yang adekuat sehingga dapat dilakukan
pencegahan dari komplikasi yang dapat ditimbulkan. Bayi yang lahir dengan
ketidakmaturan paru atau dengan Sindrom Gawat Nafas memerlukan perawatan
yang tepat agar tidak terjadi hal-hal yang membahayakan bayi seperti yang telah
disebutkan diatas. Peran perawat sangat penting dalam aspek promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif. Perawat dan bidan adalah bagian dari pemberi pelayanan
yang ikut berperan penting dalam memberikan perawatan pada bayi dengan
Sindrom Gawat nafas atau Respiratory Distress Syndrome (NRDS).
Perkembangan bayi dengan NRDS yang dirawat di RS ini sangat tergantung pada
ketepatan tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
masalah yaitu : Bagaimana pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan pada
By.V yang komprehensif dengan diagnosa medis Neonatorum Respiratory
Distress Syndrom (NRDS) di Ruang Keperawatan Neonatal?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulis studi kasus ini adalah untuk memberikan Asuhan
Keperawatan pada By.V dengan diagnosa medis Neonatorum Respiratory Distress
Syndrom (NRDS) dengan menggunakan proses keperawatan dari pengkajian
sampai dengan evaluasi keperawatan.
4

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Mahasiswa dapat melengkapi Laporan Pendahuluan dan Asuhan
Keperawatan pada By.V dengan diagnosa medis Neonatorum Respiratory
Distress Syndrom (NRDS) di Ruang Keperawatan Neonatal.
1.3.2.2 Mahasiswa dapat mengidentifikasi pengkajian pada By.V dengan diagnosa
medis Neonatorum Respiratory Distress Syndrom (NRDS) di Ruang
Keperawatan Neonatal.
1.3.2.3 Mahasiswa dapat merumuskan diagnosa pada By.V dengan diagnosa
medis Neonatorum Respiratory Distress Syndrom (NRDS) di Ruang
Keperawatan Neonatal.
1.3.2.4 Mahasiswa dapat merencanakan tindakan keperawatan sesuai dengan
masalah pada By.V dengan diagnosa medis Neonatorum Respiratory
Distress Syndrom (NRDS) di Ruang Keperawatan Neonatal.
1.3.2.5 Mahasiswa mampu mengimplementasikan rencana tindakan keperawatan
pada By.V dengan diagnosa medis Neonatorum Respiratory Distress
Syndrom (NRDS) di Ruang Keperawatan Neonatal.
1.3.2.6 Mahasiswa mampu membuat evaluasi dari hasil tindakan keperawatan
yang dilakukan pada By.V dengan diagnosa medis Neonatorum
Respiratory Distress Syndrom (NRDS) di Ruang Keperawatan Neonatal.
1.3.2.7 Mahasiswa dapat mendokumentasikan hasil dari laporan pendahuluan dan
asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada By.V dengan diagnosa
medis Neonatorum Respiratory Distress Syndrom (NRDS) di Ruang
Keperawatan Neonatal.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dengan menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi S1
Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya.
5

1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga


Klien dan keluarga mengerti cara perawatan pada penyakit Neonatorum
Respiratory Distress Syndrom (NRDS) secara benar dan bisa melakukan
keperawatan di rumah dengan mandiri.
1.4.3 Bagi Institusi
1.4.3.1 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan, referensi dan tolak ukur tingkat kemampuan
mahasiswa dalam penguasaan terhadap ilmu keperawatan dan pendokumentasian
proses keperawatan khususnya bagi mahasiswa STIKes Eka Harap dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Neonatorum
Respiratory Distress Syndrom (NRDS) sehingga dapat diterapkan di masa yang
akan datang.
1.4.3.2 Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan dan
Meningkatkan mutu pelayanan perawatan di Rumah Sakit kepada pasien dengan
Neonatorum Respiratory Distress Syndrom (NRDS) melalui Asuhan Keperawatan
yang dilaksanakan secara komprehensif.
1.4.4 Bagi IPTEK
Dengan adanya laporan studi kasus diharapkan dapat menimbulkan ide-ide
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang keperawatan
terutama penembangan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dengan konsep
pendekatan proses keperawatanjang pelayanan perawatan yang berguna bagi
status kesembuhan klien.
6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit Neonatorum Respiratory Distress Syndrom (NRDS)


2.1.1 Definisi NRDS

Gambar 1. Bayi dengan Respiratory Distress Syndrome (NRDS)

Neonatorum Respiratory Distress Syndrome (NRDS) adalah gangguan


pernafasan yang ditemukan terutama pada bayi prematur akibat kurangnya
surfaktan sehingga mengakibatkan kolaps alveoli. Gangguan ini merupakan
penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru
atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru (Marmi & Rahardjo, 2012).
Sindrom distress pernapasan/respiratory distress syndrome (RDS)
merupakan suatu gangguan respiratori pada neonatus terutama akibat kurangnya
surfaktan yang berfungsi menurunkan tekanan permukaan alveoli dan
mempertahankan alveoli agar tidak kolaps (Suminto, 2017).
Sindroma gawat nafas (respiratory distress syndrom, RDS) merupakan
istilah yang digunakan untuk disfungsi pern afasan pada neonates yang
disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa
gestasi kurang. Gangguan ini biasanya dikenal dengan nama hyaline membran

6
7

desease (HMD) atau penyakit membran hialin karena pada penyakit ini selalu
ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli (Kurniawan & Wiwin, 2020).
Menurut World Health Organization (WHO) Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR) didefinisikan sebagai bayi yang lahir dengan berat < 2500 gram. Berat
lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam waktu 1 (satu) jam pertama setelah
lahir.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Neonatorum
Respiratory Distress Syndrome (NRDS) atau Sindrom Gangguan Napas (SGN)
dikenal juga sebagai Penyakit Membran Hialin, hampir terjadi sebagian besar
pada BKB (Bayi Kurang Bulan) terjadi karena disfungsi pernafasan pada neonatus
yang disebabkan defisiensi surfaktan yang mengakibatkan kolaps alveoli terutama
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Gangguan ini lebih sering
terjadi pada bayi prematur yang lahir sekitar 6 minggu atau lebih sebelum jadwal
kelahiran normal karena paru-parunya tidak mampu membuat surfaktan yang
cukup. Surfaktan adalah cairan yang melapisi bagian dalam paru-paru.

2.1.2 Etiologi
Menurut (Marmi & Rahardjo, 2012) penyebab RDS (Respiratory Distress
Syndrome) pada neonatus yaitu terdiri dari:
2.1.2.1 Faktor ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah,
maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas
janin seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, dan lain-lain.
2.1.2.2 Faktor plasenta
Faktor plasenta meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta
kecil, plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya.
2.1.2.3 Faktor janin
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat
melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir,gemeli,
prematur, kelainan kongenital pada neonatus dan lain-lain.
2.1.2.4 Faktor persalinan
8

Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-
lain.
Sindroma gagal nafas adalah perkembangan imatur pada sistem pernafasan
atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan pada paru-paru-paru. Sementara afiksia
neonatorum merupakan gangguan pernafasan akibat ketidakmampuan bayi
beradaptasi terhadap asfiksia. Biasanya masalah ini disebabkan karena adanya
masalah-masalah kehamilan dan pada saat persalinan.

Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) etiologi dari RDS yaitu:


2.1.2.1 Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.
2.1.2.2 Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga
agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga
pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang
menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan
mengalami sesak nafas.
2.1.2.3 Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap
dalam proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit
oleh makrofag.
2.1.2.4 Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
2.1.2.5 Adanya kelainan di dalam dan di luar paru. Kelainan dalam paru yang
menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,
penyakit membran hialin (PMH).
2.1.2.6 Bayi prematur atau kurang bulan. Diakibatkan oleh kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan
minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan, maka semakin besar
pula kemungkinan terjadi RDS.

2.1.3Klafisikasi
2.1.3.1 Sindrom aspirasi mekonium (Meconium Aspiration Syndrom, MAS)
Biasanya muncul sebagai gawat pernapasan dan sianosis segera setelah
lahir. Pada radiografi dada menunjukkan infiltrate kasar, konsolidasi yang
9

tersebar luas, dan daerah hiperaerasi. Beratnya kelainan ini dapat tidak
berkolerasi dengan beratnya penyakit klinis. Diagnosis prenatal dan
pengobatan asfiksia fetal penting dilakukan untuk mencegah sindrom
aspirasi mekonium, seperti dengan mengisap mekonium dari faring dan
trakea segera setelah lahir.
2.1.3.2 Hipertensi Pulmonar Persisten
Pada bayi baru lahir berkaitan dengan kegagalan penurunan resistensi
pembuluh darah pulmonary (yang secara normal terjadi setelah lahir). Hal
ini dapat terjadi sebagai respons terhadap hipoksia akut (missal, hipoksia
perinatal, sindrom gawat pernapasan), hipoksia kronis atau penurunan
daerah persilangan pada bantalan pembuluh darah pulmonary (missal,
herniadiafragmatika dan hipoplasia paru kongenital). Hipertensi pulmonar
persisten pada bayi baru lahir muncul sebagai hipoksemia labil yang tidak
seimbang sampai penyakit hipertensi parenkim paru yang luas. Sebagian
besar neonates ini tidak premature tetapi mengalami asfiksia perinatal.
Bayi-bayi ini biasanya mudah diberi ventilasi tetapi sulit dioksigenasi.
Secara khas, biasanya nila PO2 tidak meningkat selama tes hiperoksia.
Akan tetapi nilai peningkatan PO2 terlihat pada hiperventilasi (frekuensi
napas 100-150x/menit), yang menyebabkan turunnya nilai PO2 hingga
kira-kira 25mmHg. Selain terapi suportif, dapat digunakan induksi
alkalosis respiratorik atau alkalosis metabolic dan vasodilator pulmonar
(tolazoline hidroklorida). Pada kasus yang paling berat digunakan
oksigenasi membrane ekstrakorporeal.
2.1.3.3 Dysplasia Bronkopulmonar (Bronchopulmonary Dysplasia, BPD)
BPD Adalah penyakit paru kronis pada bayi baru lahir yang diobati
dengan oksigen dan ventilasi mekanis tekanan positif untuk gangguan paru
primer. Dysplasia bronkopulmonar biasanya memiliki perjalanan penyakit
berlarut-larut yang diperberat dengan berbagai komplikasi (infeksi paru,
gagal jantung kongestif, dan atelektasis) yang menyebabkan ekaserbasi
gejala respirasi, termasuk sianosis. Kebanyakan bayi-bayi ini mengalami
penyembuhan fungsi paru secara perlahan dalam 2 tahun pertama
kehidupan
10

Empat stadium RDS berdasarkan hasil foto thoraks :


1. Stadium I, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan
bronchogram
2. Stadium II, tampak bercak retikulogranular homogen pada kedua
lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan
meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan
aerasi paru.
3. Stadium III, alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua
lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak
terlihat, bronchogram udara lebih luas.
4. Stadium IV, seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga
jantung tak dapat dilihat.

Tabel. Klasifikasi gangguan nafas

Gejala tambahan Klasifikasi


Frekuensi nafas
gangguan nafas
>60 kali/menit Dengan Sianosis sentral dan tarikan
dinding dada atau merintih
saat ekspirasi
Atau >90 Dengan Sianosis sentral dan tarikan Gangguan
kali/menit dinding dada atau merintih nafas berat
saat ekspirasi
Atau <30 Dengan Gejala lain dari gangguan
kali/menit atau napas
tanpa
60-90 Dengan Sianosis sentral dan tarikan
kali/menit terapi dinding dada atau merintih
tanpa saat ekspirasi
Atau >90 Tanpa Sianosis sentral dan tarikan Gangguan
kali/menit dinding dada atau merintih nafas sedang
saat ekspirasi
60-90 Tanpa Sianosis sentral dan tarikan Gangguan
kali/menit dinding dada atau merintih nafas ringan
saat ekspirasi
11

60-90 Dengan Sianosis sentral dan tarikan Kelainan


kali/menit terapi dinding dada atau merintih jantung
tanpa saat ekspirasi kongenital

2.1.4Patofisiologi (WOC)
Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi dengan gangguan pernafasan
yang dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagi bayi berupa kerusakan
otak atau bahkan kematian. Akibat dari gangguan pada sistem pernafasan adalah
terjadinya kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh bayi akan beradaptasi
terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila
keadaan hipoksia semakin berat dan lama,metabolisme anaerob akan
menghasilkan asam laktat. Dengan memburukya keadaan asidosis dan penurunan
aliran darah keotak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain karena
hipoksia dan iskemia. Pada stadium awal terjadi hiperventilasi diikuti stadium
apneu primer. Pada keadaan ini bayi tampak sianosis,tetapi sirkulasi darah relative
masih baik.
Curah jantung yang meningkat dan adanya vasokontriksi perifer ringan
menimbulkan peninggkatan tekanan darah dan reflek bradikardi ringan. Depresi
pernafasan pada saat ini dapat diatasi dengaan meningkatkan implus aferen seperti
perangsangan pada kulit. Apneu normal berlangsung sekitar 1-2 menit.Apnea
primer dapat memanjang dan diikuti dengan memburuknya sistem sirkulasi.
Hipoksia miokardium dan asidosis akan memperberat bradikardi,vasokontraksi
dan hipotensi. Keadaan ini dapat terjadi sampai 5menit dan kemudian terjadi
apneu sekunder. Selama apneu sekunder denyut jantung,tekanan darah dan kadar
oksigen dalam darah terus menurun. Bayi tidakbereaksi terhadap rangsangan dan
tidak menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan
terjadikecuali pernafasan buatan dan pemberian oksigen segera dimulai (Marmi &
Rahardjo, 2012).
WOC NRDS (Neonatorum Respiratory Distress Syndrome)
12
Faktor Janin
Faktor Ibu Faktor Plasenta Tali pusat menumbung, melilit leher,
Hipoksia pada ibu, usia < 20 tahun atau lebih dari 35 Solusio plasenta, perdarahan , plasenta Faktor Persalinan
kompresi tali pusat antara janin dan jalan
thn, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah, kecil, plasenta tipis, plasenta tidak Partus lama, partus
lahir, gemeli, Prematur, imaturitas paru,
hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus menempel pada tempatnya. dengan tindakan SC dll
kelainan kongenital

Defisiensi surfaktan

↑ tegangan permukaan alveoli

Ketidakseimbangan inflasi saat inpirasi

Kurang
Kolaps paru (atelektasis) saat inpirasi MK : Defisit
Perubahan Kurang pengetahuan
Pengetahuan
kondisi terpajan ttg kondisi
NEONATORUM (Orangtua)
bayi informasi bayi
RESPIRATORY
B1 (BREATHING) B2 (BLOOD) B4 (BLADDER) B5 (BOWEL) B6 (BONE)
B3 (BRAIN)

Usaha nafas ↑ Perubahan afterload Kontrol suhu imatur


 ↓ Perfusi ke organ Imatur organ Kontrol suhu imatur Sesak nafas
vital paru-paru pencernaan
Ventilasi asidosis ↓ Penguapan berlebih
Sirkulasi terganggu Asidosis metabolik
Otak Suplai O2 ↓
CO2 ↑ Reflek menghisap, telan
Maturitas dan batuk lemah & blm
Jantung tdk adekuat memompa darah Iskemia sempurna Kurangnya cadangan Hipoperfusi jaringan
Janin tdk dpt menjaga ginjal
glikogen & lemak
rongga paru tetap
mengembang Kurang oksigen ke Ggn fungsi
jaringan GFR Intake nutrisi Kelemahan fisik
serebral Lemak subkutan tipis
menurun tidak
adekuat
Aliran darah Ventilasi Dekompensasi Penurunan kesadaran, Respon mengigil MK :
paru ↓ terganggu TD ↓ dan CO2, kelemahan otot, Oliguri pada bayi Intoleransi
dilatasi pupil, kejang, Masukan oral tdk
bradikardi Aktivitas
letargi adekuat/menyusui buruk
Dispnea, Takipneu, Suplai O2 ↓
Apnea, Retraksi Kehilangan Bayi kehilangan
dinding dada, MK : cairan panas tubuh,
Pernafsan cuping Dispnea, warna Penurunan MK : Risiko MK : Defisit teraba dingin
hidung, nafas kulit pucat, Curah Jantung Tinggi Cedera Nutrisi
pendek, nafas hipoksia, Pernafsan Dehidrasi
dalam (6-8 mL/k) cuping hidung, Tidak dapat
nafas pendek, nafas meningkatkan
dalam (6-8 mL/k), MK : Risiko
panas tubuh
MK: sianosis Ketidakseimbangan
Pola nafas Cairan
tidak efektif MK : MK :
Gangguan Termoregulasi
Pertukaran Gas Tidak Efektif
13

2.1.5Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)


Menurut (Surasmi, dkk 2013) Gejala utama Gawat napas / distress respirasi
pada neonatus yaitu :
1) Takipnea : laju napas > 60 kali per menit (normal laju napas 40 kali per
menit)
2) Sianosis sentral pada suhu kamar yang menetap atau memburuk pada 48-96
jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik
3) Retraksi : cekungan pada sternum dan kosta pada saat inspirasi
4) Grunting : suara merintih saat ekspirasi
5) Pernapasan cuping hidung
Tabel 1. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes
Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
retraksi
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap
sianosis dengan 02 walaupun diberi
O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi: < 3 = gawat napas ringan
4-5 = gawat napas sedang
> 6 = gawat napas berat

Menurut (Manuaba, 2012) tanda-tanda yang mungkin ditunjukkan oleh bayi


yang mengalami RDS di antaranya:
1) Napas cepat
2) Lubang hidung melebar ketika bernapas
3) Retraksi (Ketika bayi bernapas dengan cepat, kulit tertarik di antara tulang
rusuk atau di bawah tulang rusuk).
4) Bising saat bernapas atau mendengkur.
14

5) Bibir, bantalan kuku, dan kulit berwarna kebiruan karena kekurangan


oksigen, yang disebut dengan  sianosis
Biasanya gejala RDS akan memburuk pada hari ketiga. Saat bayi membaik,
ia memerlukan lebih sedikit oksigen dan bantuan mekanis untuk bernapas. Gejala
RDS mungkin tampak seperti kondisi kesehatan lainnya.

2.1.6Komplikasi
Menurut Sudarti & Fauziah (2013) Komplikasi RDS yaitu :
1) Ketidakseimbangan asam basa
2) Kebocoran udara (Pneumothoraks, pneumomediastinum,
pneumoperikardium, pneumoperitonium, emfisema subkutan, emfisema
interstisial pulmonal)
3) Perdarahan pulmonal
4) Penyakit paru kronis pada bayi 5%-10%
5) Apnea
6) Hipotensi sistemik
7) Anemia
8) Infeksi (pneumonia, septikemia, atau nosokomial)
9) Perubahan perkembangan bayi dan perilaku orangtua

Komplikasi yang berhubungan dengan prematuritas


1) Paten Duktus Arteriosus (PDA) yang sering dikaitkan dengan hipertensi
pulmonal. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan
komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi
surfaktannya.
2) Perdarahan intraventrikuler
perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan
frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
3) Retinopati akibat prematuritas
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan
dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.
15

4) Kerusakan neurologis

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada respiratory distress syndrome
menurut Warman (2012), antara lain:
1) Tes Kematangan Paru
a) Tes Biokimia
Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah
fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi
surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru.
b) Test Biofisika
Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok
cairan amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan
pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion
seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Bila
didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali
(cairan amnion: ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin.
Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang
tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS.
2) Analisis Gas Darah
Gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan respiratorik
bersamaan dengan hipoksia. Asidosis muncul karena atelectasis
alveolus atau over distensi jalan napas terminal.
3) Darah rutin dan hitung jenis
Leukositosis menunjukkan adanya infeksi. Neutropenia menunjukkan
infeksi bakteri. Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis
4) Glukosa Darah
Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat menyebabkan
atau memperberat takipnea.
5) Pulse Oximetry
Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen
6) Radiografi Thoraks
16

Pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau gambaran


ground-glass bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru yang
jelek. Gambaran air bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkiolus
yang terisi udara didepan alveoli yang kolap. Bayangan jantung bisa
normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh
asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus (PDA),
kemungkinan kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah
dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang adekuat.

2.1.8 Penatalaksanaan Medis


Menurut Sudarti & Fauziah. (2013) tindakan untuk mengatasi masalah
kegawatan pernafasan meliputi :
a. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
b. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
c. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
d. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
e. Mencegah hipotermia.
f. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
2.1.8.1 Penatalaksanaan secara umum perawatan
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering
dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
 Pantau selalu tanda vital
 Jaga patensi jalan nafas
 Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
 Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
 Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula darah
d. Pemberian nutrisi adekuat
17

Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai


dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas.
Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:

a. Gangguan nafas ringan


Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada
waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the
Newborn” (TTN). Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi
tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun
demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda
awal dari infeksi sistemik.
b. Gangguan nafas sedang
 Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih
sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup
 Bayi jangan diberi minum
 Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin)
untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
- Suhu aksiler <> 39˚C
- Air ketuban bercampur mekonium
- Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau
ketuban pecah dini (> 18 jam)
 Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C tangani untuk masalah
suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam:
- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada
perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar
seposis
- Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali
abnormal ulangi tahapan tersebut diatas.
 Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2
jam
 Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan
setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis.
18

 Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi


o2secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2
jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai
salah satu cara pemberian minum.
 Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila
bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari,
minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi
dapat dipulangkan.
c. Gangguan nafas berat
 Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
 Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala
sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan besar sepsis dan tangani
gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
 Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras
dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman.
 Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan
napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60
kali/menit.

2.1.8.2 Penatalaksanaan secara Medis


1) Perbaiki oksigenasi dan pertahankan volume paru optimal
a. Penggantian surfaktan melalui selang endotrakeal
b. Tekanan jalan napas positif secara kontinu melalui kanul nasal untuk
mencegah kehilangan volume selama ekspirasi
c. Pemantauan transkutan dan oksimetri nadi
d. Fisioterapi dadaTindakan kardiorespirasi tambahan
2) Pertahankan kestabilan suhu
3) Berikan asupan cairan, elektrolit, dan nutrisi yang tepat
4) Pantau nilai gas darah arteri, Hb dan Ht serta bilirubin
5) Lakukankan transfusi darah seperlunya
6) Hematokrit guna mengoptimalkan oksigenasi
19

7) Pertahankan jalur arteri untuk memantau PaO₂ dan pengambilan sampel


darah
8) Berikan obat yang diperlukan
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
 Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
 Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan
caiaran paru
 Fenobarbital
 Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
 Metilksantin (teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk
pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik.
 Terapi surfaktan: surfaktan sintetik diberikan melalui sisi pada tube
endotracheal dalam 2x suntikan bolus, contoh: Exosurf, Infasurf,
Alveofact
 Nitric Oxide inhalasi
 Narkotik/benzodiazepin untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan
pada bayi, contoh: Lorazepam dan Fentanyl
 Sodium bicarbonat untuk metabolic acidosis
 Diuretik untuk mengurangi odema, perlu pertimbangkan risk : benefit.
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam
pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen (derifat dari sumber alami
misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga
berbentuk surfaktan buatan).

2.2 Manajemen Asuhan Bayi Baru Lahir


2.2.1 Definisi Bayi Baru Lahir
Bayi baru lahir adalah bayi berusia satu jam yang lahir pada usia kehamilan
37-42 minggu dan berat badannya 2.500-4000 gram. (Sudarti & Fauziah, 2013)
Bayi baru lahir adalah bayi yang baru lahir selama satu jam pertama
kelahiran (Saifuddin, 2015).
Bayi baru lahir adalag bayu yang berusia (0-28 hari). Pada masa neonatal
terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan di dalam rahim dan terjadi
20

pematangan organ hampir pada semua sistem. (Kemenkes RI, 2020)


Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bayi baru
lahir normal adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan 37-42 minggu dan
berat lahir 2.500- 4.500, lahir langsung menangis, dan tidpp0ak ada kelainan
congenital (cacat bawaan) yang berat.

2.2.2 Etiologi
2.2.2.1 His(Kontraksi otot rahim)
2.2.2.2 Kontraksi otot dinding perut
2.2.2.3 Kontraksi diafragma pelvis atau kekuatan mengejan.
2.2.2.4 Ketegangan dan kontraksi ligamentum retundum

2.2.3 Klasifikasi Bayi Baru Lahir (Neonatus)


Bayi baru lahir atau neonatus di bagi dalam beberapa klasifikasi menurut
Marmi (2015), yaitu :
1) Neonatus menurut masa gestasinya:
a. Kurang bulan (preterm infant) : < 259 hari(37 minggu)
b. Cukup bulan (term infant) : 259-294 hari(37-42 minggu)
c. Lebih bulan (postterm infant) : > 294 hari(42 minggu atau lebih)
2) Neonatus menurut berat badan lahir:
a. Berat lahir rendah : < 2500 gram
b. Berat lahir cukup : 2500-4000 gram
c. Berat lahir lebih : > 4000 gram
3) Neonatus menurut berat lahir terhadap masa gestasi (masa gestasi dan
ukuran berat lahir yang sesuai untuk masa kehamilan) :
a. Nenonatus cukup/kurang/lebih bulan (NCB/NKB/NLB)
b. Sesuai/kecil/besar untuk masa kehamilan (SMK/KMK/BMK)

2.2.4 Manifestasi Klinis Bayi Baru Lahir


Bayi baru lahir normal mempunyai ciri-ciri berat badan lahir 2500-4000
gram, umur kehamilan aterm 37-42 minggu, bayi segera menangis, bergerak aktif,
21

kulit kemerahan, menghisap ASI dengan baik, dan tidak adacacat bawaan
(Kementerian Kesehatan RI, 2020).
Bayi baru lahir normal memiliki panjang badan 48-52 cm, lingkar dada 30-
38 cm, lingkar kepala 33-35 cm, lingkar lengan 11-12 cm, frekuensi denyut
jantung 120-160 x/menit, pernafasan ±40-60 kali/menit, kulit kemerahan dan
licin karena jaringan sub kutan cukup, rambut lanugo tidak terlihat dan rambut
ke pala tumbuh sempurna, kuku agak panjang dan lemas,nilai APGAR >7,
refleks-refleks sudah terbentuk dengan baik ( rooting, sucking, morro, grasping ),
Reflek hisap dan menelan sudah terbentuk dengan baik, Reflek morrow atau
gerak memeluk bila dikagetkan sudah baik, organ genitalia pada bayi laki-laki
testis sudah berada pada skrotum dan penis berlubang, pada bayi perempuan
vagina dan uretra berlubang serta adanya labia minora dan mayora, eliminasi baik,
mekonium sudah keluar dalam 24 jam pertama berwarna hitam kecoklatan (Dewi,
2010).

2.2.5 Asuhan Segera Bayi Baru Lahir


Asuhan segera pada bayi baru lahir adalah asuhan yang diberikan pada bayi
tersebut selama jam pertama setelah kelahiran. Bidan harus mengetahui kebutuhan
transisional bayi dalam beradaptasi dengan kehidupan diluar uteri sehingga ia
dapat membuat persiapan yang tepat untuk kedatangan bayi baru lahir. Adapun
asuhannya sebagai berikut (Fraser Diane, 2018):
1) Pencegahan kehilangan panas seperti mengeringkan bayi baru lahir,
melepaskan handuk yang basah, mendorong kontak kulit dari ibu ke bayi,
membedong bayi dengan handuk yang kering.
2) Membersihkan jalan nafas.
3) Memotong tali pusat.
4) Identifikasi dengan cara bayi diberikan identitas baik berupa gelang nama
maupun kartu identitas.
5) Pengkajian kondisi bayi seperti pada menit pertama dan kelima setelah lahir,
pengkajian tentang kondisi umum bayi dilakukan dengan menggunakan
nilai Apgar. Segera setelah melahirkan badan bayi lakukan penilaian
sepintas : Sambil secara cepat menilai pernapasannya (menangis kuat, bayi
22

bergerak aktif, warna kulit kemerahan) letakkan bayi dengan handuk diatas
perut ibu Dengan kain bersih dan kering atau lap darah/lendir dari wajah
bayi untuk mencegah jalan udaranya terhalang. Periksa ulang pernapasan
bayi (sebagian besar bayi akan menangis atau bernapas spontan dalam
waktu 30 detik setelah lahir). Dan nilai APGAR SKOR nya, jika bayi
bernafas megap-megap atau lemah maka segera lakukan tindakan
resusitasi bayi baru lahir.
PENILAIAN APGAR SKOR
Nilai
Tanda 0 1 2
Denyut Tidak ada Lambat < 100 >100
jantung(pulse)
Usaha Tidak ada Lambat, tidak Menangis dengan
nafas(respisration) teratur keras
Tonus otot(activity) Lemah Fleksi pada Gerakan aktif
ekstremitas
Kepekaan Tidak ada Merintih Menangis kuat
reflek(gremace)
Biru pucatTubuh merah Seluruhnya merah
Warna(apperence) muda, muda
ekstremitas biru
Sumber : (Saifuddin, 2015) Klasifikasi :
6. Asfiksia ringan (apgar skor 7-10)
7. Asfiksia sedang (apgar skor 4-6)
8. Asfiksia berat (apgar skor 0-3)

2.2.6 Prinsip Asuhan Bayi Baru Lahir Normal


Menurut (Hidayat, 2018) prinsip asuhan bayi baru lahir normal yaitu :
1) Cegah kehilangan panas berlebihan.
2) Bebaskan jalan nafas.
3) Rangsangan taktil.
4) Laktasi (dimulai dalam waktu 30 menit pertama).

2.2.7 Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Asuhan Pada Bayi Baru
Lahir Menurut APN (2018)
1) Persiapan kebutuhan resusitasi untuk setiap bayi dan siapkan rencana untuk
23

meminta bantuan, khususnya bila ibu tersebut memiliki riwayat eklamsia,


perdarahan, persalinan lama atau macet, persalinan dini atau infeksi.
2) Jangan mengoleskan salep apapun atau zat lain ke tali pusat. Hindari
pembungkusan tali pusat. tali pusat yang tidak tertutup akan mengering dan
puput lebih cepat dengan komplikasi yang lebih sedikit.
3) Bila memungkinkan jangan pisahkan ibu dengan bayi dan biarkan bayi
bersama ibunya paling sedikit 1 jam setelah persalinan.
4) Jangan tinggalkan ibu dan bayi seorang diri dan kapanpun.

2.2.8 Cara Kehilangan Panas Tubuh Pada Bayi Baru Lahir


Menurut Yanti (2009) proses kehilangan panas pada tubuh bayi baru lahir
sebagai berikut:
1) Evaporasi yaitu proses kehilangan panas melalui cara penguapan oleh
karena temperatur lingkungan lebih rendah dari pada temperatur tubuh (bayi
dalam keadaan basah).
2) Konduksi yaitu proses kehilangan panas tubuh melalui kontak langsung
dengan benda yang mempunyai suhu lebih rendah.
3) Konveksi yaitu proses penyesuaian suhu tubuh melalui sirkulasi udara
terhadap lingkungan.
4) Radiasi yaitu proses hilangnya panas tubuh bayi bila diletakan dekat dengan
benda yang lebih rendah suhunya dari tubuh.

2.2.9 Cara Mencegah Terjadinya Kehilangan Panas


Menurut APN (2008) untuk mencegah terjadinya kehilangan panas pada
bayi baru lahir adalah sebagai berikut:
1) Keringkan tubuh bayi tanpa membersihkan verniks.
2) Letakkan bayi agar terjadi kotak kulit ibu ke kulit bayi.
3) Selimuti ibu dan bayi dan pakaikan topi di kepala bayi.
4) Jangan segera menimbang atau memandikan bayi baru lahir

2.2.10 Pemeriksaan penunjang


24

2.2.10.1 pH tali pusat, tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status praasidosis,
tingkat rendah menunjukkan gangguan asfiksia bermakna.
2.2.10.2 Hemoglobin mencapai 15 sampai 20 g. hematokrit berkisar antara 43%
sampai 61%.
2.2.10.3 Tes Coombs langsung pada daerah tali pusat menentukan adanya
kompleks antigen-antibodi pada membran sel darah merah yang
menunjukkan kondisi hemolitik.
2.2.10.4 Bilirubin Total sebanyak 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl 1
sampai 2 hari dan 12 mg/dl pada 3 sampai 5 hari.

2.2.11 Penatalaksanaan Asuhan Bayi Baru Lahir


Semua bayi diperiksa segera setelah lahir untuk mengetahui apakah transisi
dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterine berjalan dengan lancar dan tidak ada
kelainan. Pemeriksaan medis komprehensif dilakukan dalam 24 jam pertama
kehidupan. Pemeriksaan rutin pada bayi baru lahir ha rus dilakukan, tujuannya
untuk mendeteksi kelainan atau anomali kongenital yang muncul pada setiap
kelahiran dalam 10-20 per 1000 kelahiran, pengelolaan lebih lanjut dari setiap
kelainan yang terdeteksi pada saat antenatal, mempertimbangkan masalah
potensial terkait riwayat kehamilan ibu dan kelainan yang diturunkan, dan
memberikan promosi kesehatan, terutama pencegahan terhadap sudden infant
death syndrome (SIDS) (Lissauer, 2013).
Tujuan utama perawatan bayi segera sesudah lahir adalah untuk
membersihkan jalan napas, memotong dan merawat tali pusat, mempertahankan
suhu tubuh bayi, identifikasi, dan pencegahan infeksi (Saifuddin, 2015). Asuhan
bayi baru lahir meliputi :
1) Pencegahan Infeksi (PI)
2) Penilaian awal untuk memutuskan resusitasi pada bayi
Untuk menilai apakah bayi mengalami asfiksia atau tidak dilakukan
penilaian sepintas setelah seluruh tubuh bayi lahir dengan tiga pertanyaan :
a. Apakah kehamilan cukup bulan?
b. Apakah bayi menangis atau bernapas/tidak megap-megap?
c. Apakah tonus otot bayi baik/bayi bergerak aktif?
25

Jika ada jawaban “tidak” kemungkinan bayi mengalami asfiksia sehingga


harus segera dilakukan resusitasi. Penghisapan lendir pada jalan napas bayi
tidak dilakukan secara rutin (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

3) Pemotongan dan perawatan tali pusat


Setelah penilaian sepintas dan tidak ada tanda asfiksia pada bayi, dilakukan
manajemen bayi ba ru lahir normal dengan mengeringkan bayi mulai dari muka,
kepala, dan bagian tubuh lainnya kecuali bagian tangan tanpa membersihkan
verniks, kemudian bayi diletakkan di atas dada atau perut ibu. Setelah pemberian
oksitosin pa da ibu, lakukan pemotongan tali pusat dengan satu tangan melindungi
perut bayi.
Perawatan tali pusat adalah dengan tidak membungkus tali pusat atau
mengoleskan cairan/bahan apa pun pada tali pusat (Kementerian Kesehatan RI,
2013). Perawatan rutin untuk tali pusat adalah selalu cuci tangan sebelum
memegangnya, menjaga tali pusat tetap kering dan terpapar udara, membersihkan
dengan air, menghindari dengan alkohol karena menghambat pelepasan tali pusat,
dan melipat popok di bawah umbilikus (Lissauer, 2013). Berikut langkah-langkah
klem dan perawatan tali pusat :
a. Klem tali pusat dengan 2 buah klem pada klem pertama kira-kira 2 dan
3 cm dari pangkal pusat bayi
b. Potonglah tali pusat diantara kedua klem sambil melindungi bayi dari
gunting dengan tangan kiri.
c. Pertahankan kebersihan pada saat memotong tali pusat. Potong tali pusat
dengan gunting yang perawatan alat steril atau desinfeksi tingkat tinggi.
d. Periksa tali pusat setiap 15 menit, apabila masih terjadi perdarahan
pengikatan ulang yang lebih ketat.perawatan tali pusat , jangan
membungkus punting tali pusat atau perut bayi atau mengoleskan cairan
atau bahan apapun ke punting tali pusat.

4) Menjaga kehangatan bayi


a. Pada waktu bayi baru lahir, bayi belum mampu mengatur tetap suhu
badannya, dan membutuhkan pengaturan dari luar untuk membuatnya
26

tetap hangat. Dengan cara : Pastikan bayi tersebut tetap hangat dan
terjadi kontak antara kulit bayi dengan kulit ibu
b. Ganti handuk atau kain yang basah dan bungkus bayi dengan selimut
dan memastikan bahwa kepala terlindungi dengan baik untuk mencegah
keluarnya panas tubuh
c. Pastikan bayi tetap hangat dengan memeriksa telapak bayi setiap 15
menit yaitu :
 Apabila telapak bayi terasa dingin, periksa suhu aksila bayi
 Apabila suhu bayi kurang dari 36,5°C, segera hangatkan bayi
 Anjurkan ibu untuk memeluk dan menyusui bayinya
d. Jangan segera menimbang bayi atau memandikan bayi baru lahir
(memandikan bayi setelah 6 jam).

5) Identifikasi bayi
Apabila bayi dilahirkan ditempat bersalin yang persalinannya yang mungkin
lebih dari satu persalinan maka alat pengenal harus diberikan kepada setiap bayi
baru lahir : Alat yang digunakan hendaknya kebal air, tidak mudah melukai, tidak
mudah sobek, tidak mudah lepas (gelang bayi). Pada alat identifikasi harus
tercantum :
a. Nama bayi /Nama ibu
b. Tanggal lahir dan jam
c. Nomor bayi
d. Jenis kelamin
e. Nama ibu lengkap

6) Inisiasi Menyusui Dini (IMD)


Setelah bayi lahir dan tali pusat dipotong, segera letakkan bayi tengkurap di
dada ibu, kulit bayi kontak dengan kulit ibu untuk melaksanakan proses IMD
selama 1 jam. Biarkan bayi mencari, menemukan puting, dan mulai menyusu.
Sebagian besar bayi akan berha sil melakukan IMD dalam waktu 60-90 menit,
menyusu pertama biasanya berlangsung pada menit ke 45-60 dan berlangsung
27

selama 10-20 menit dan bayi cukup menyusu dari satu payudara (Kementerian
Kesehatan RI, 2013).
Jika bayi belum menemukan puting ibu dalam waktu 1 jam, posisikan bayi
lebih dekat dengan puting ibu dan biarkan kontak kulit dengan kulit selama 30-60
menit berikutnya. Jika bayi masih belum melakukan IMD dalam waktu 2 jam,
lanjutkan asuhan perawatan neonatal esensial lainnya (menimbang,
pemberianvitamin K, salep mata, serta pemberian gelang pengenal) kemudian
dikembalikan lagi kepada ibu untuk belajar menyusu (Kementerian Kesehatan RI,
2013). Pencegahan kehilangan panas melalui tunda mandi selama 6 jam, kontak
kulit bayi dan ibu serta menyelimuti kepala dan tubuh bayi(Kementerian
Kesehatan RI, 2013). Memberikan ASI dini (dalam 1 jam pertama setelah bayi
baru lahir) akan memberikan keuntungan yaitu:
a. Merangsang produksi ASI
Rangsangan isapan bayi pada puting susu ibu akan diteruskan oleh serabut
syaraf ke hipofise anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin
(hormon ini yang memacu payudara untuk menghasilkan ASI.
b. Memperkuat reflek menghisap
 Reflek rooting (reflek mencari putting susu)
 Reflek suckling (reflek menghisap
 Reflek swallowing (reflek menelan)
c. Mempercepat hubungan batin ibu dan bayi (membina ikatan emosional
dan kehangatan ibu-bayi).
d. Memberikan kekebalan pasif yang segera kepada bayi melalui
kolostrum.

7) Pemberian salep mata/tetes mata


Pemberian salep atau tetes mata diberikan untuk pencegahan infeksi mata.
Beri bayi salep atau tetes mata antibiotika profilaksis (tetrasiklin 1%,
oxytetrasiklin 1% atau antibiotika lain). Pemberian salep atau tetes mata harus
tepat 1 jam setelah kelahiran. Upaya pencegahan infeksi mata tidak efektif jika
diberikan leb ih dari 1 jam setelah kelahiran (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
28

8) Pencegahan perdarahan melalui penyuntikan vit.K1 dosis tunggal


dipaha kiri
Semua bayi baru lahir harus diberi penyuntikan vitamin K1
(Phytomenadione) 1 mg intramuskuler di paha kiri, untuk mencegah perdarahan
BBL akibat defisiensi vitamin yang dapat dialami oleh seba gian bayi baru lahir
(Kemenkes RI, 2013). Pemberian vitamin K sebagai profilaksis melawan
hemorragic disease of the newborn dapat diberikan dalam suntikan yang
memberikan pencegahan lebih terpercaya, atau secara oral yang membutuhkan
beberapa dosis untuk mengatasi absorbsi yang bervariasi dan proteksi yang
kurang pasti pada bayi (Lissauer, 2013). Vitamin K dapat diberikan dalam waktu
6 jam setelah lahir (Lowry, 2014). Untuk mencegah terjadinya perdarahan
karena defisiensi vitamin K pada bayi baru lahir lakukan hal-hal berikut :
a. Semua bayi baru lahir normal dan cukup bulan perlu diberi vitamin K
peroral 1mg/hari.
b. Bayi resiko tinggi diberi vitamin K parenteral dengan dosis 0,5-1 mg IM
dipaha kiri.

9) Pemberian imunisasi Hepatitis B (HB 0) dosis tunggal di paha kanan


Imunisasi Hepatitis B diberikan 1-2 jam di paha kanan setelah lahir
menggunakan uniject) di suntik, dan selanjutnya di berikan ulangan sesuai
imunisasi dasar lengkap. Penyuntikan vitamin K1 yang bertujuan untuk mencegah
penularan Hepatitis B melalui jalur ibu ke bayi yang dapat menimbulkan
kerusakan hati (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

10) Pemeriksaan Bayi Baru Lahir (BBL)


Pemeriksaan BBL bertujuan untuk mengetahui sedini mungkin kelainan
pada bayi. Bayi yang lahir di fasilitas kesehatan dianjurkan tetap berada di
fasilitas tersebut selama 24 jamkarenarisikoterbesar kematian BBL terjadi p ada
24 jam pertama kehidupan.saat kunjungan tindak lanjut (KN) yaitu 1 kali pada
umur 1-3 hari, 1 kali pada umur 4-7 haridan 1 kali pada umur 8-28 hari
(Kementerian Kesehatan RI, 2010).
29

11) Pemberian ASI eksklusif


ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman
tambahan lain pada bayi berusia 0-6 bulan dan jika memungkinkan dilanjutkan
dengan pemberian ASI dan makanan pendamping sampai usia 2 tahun. Pemberian
ASI ekslusif mempunyai dasar hukum yang diatur dalam SK Menkes Nomor
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang pemberian ASI Eksklusif pada bayi 0-6 bulan.
Setiap bayi mempunyai hak untuk dipenuhi kebutuhan dasarnya seperti Inisiasi
Menyusui Dini (IMD), ASI Ekslusif, dan imunisasi serta pengamanan dan
perlindungan bayi baru lahir dari upaya penculikan dan perdagangan bayi.
12) Pemantauan lanjutan
Tujuan pemantauan bayi baru lahir yaitu untuk mengetahui aktifitas bayi
normal atau tidak dan identifikasi masalah kesehatan bayi baru lahir yang
memerlukan perhatian dan tindak lanjut dari petugas kesehatan. Dua jam pertama
sesudah lahir Hal-hal yang di nilai waktu pemantauan bayi pada jam pertama
sesudah kelahiran yaitu:
a. Kemampuan menghisap kuat atau lemah
b. Bayi tampak aktif atau lunglai
c. Bayi tampak kemerahan atau biru.
Masa transisi adalah waktu ketika bayi melakukan stabilitasi dan
penyusaian terhadap kehidupan diluar uterus. Ada 3 priode transisi, yaitu:
a. Tahap pertama /periode reaktif adalah dimulai segera setelah lahir dan
berakhir setelah 30 menit.
b. Tahap kedua/ periode interval adalah berlangsung mulai menit 30 sampai 2
jam setelah lahir (biasanya pada priode ini banyak tidur).
c. Tahap ketiga /periode reaktif kedua adalah yang berlanjut dari dua jam
sampai enam jam.

2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.3.1 Pengkajian Keperawatan
2.3.1.1 Pengumpulan Data, meliputi :
1) Identitas
a. Klien (Bayi)
30

Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, tempat/tgl lahir, tempat
tanggal lahir, jam kelahiran, diagnosa medis, ruang rawat, tanggal
pengkajian, umur bayi saat dikaji.
b. Identitas Orangtua (Ayah dan Ibu)
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, pendidikan,
pekerjaan, alamat dan agama.
2) Keluhan Utama
Pada keluhan utama yaitu menangis lemah, reflek menghisap lemah, bayi
kedinginan atau suhu tubuh rendah, Napas cepat, Lubang hidung melebar ketika
bernapas, Retraksi (Ketika bayi bernapas dengan cepat, kulit tertarik di antara
tulang rusuk atau di bawah tulang rusuk), Bising saat bernapas atau mendengkur,
Bibir, bantalan kuku, dan kulit berwarna kebiruan karena kekurangan oksigen,
yang disebut dengan  sianosis
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Hal yang perlu dikaji dalam riwayat penyakit dahulu adalah penyakit yang
pernah diderita ibu pasien khusunya :
a. Riwayat Maternal
Ibu pasien memiliki riwayat menderita penyakit seperti diabetes
mellitus, kondisi seperti perdarahan plasenta, tipe dan lamanya
persalinan, stress fetal atau intrapartus.
b. Status Infant saat lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi
lahir melalui operasi Caesar.
4) Riwayat Persalinan
a. Riwayat Obstetric
Pada pengkajian riwayat obstetri meliputi riwayat kehamilan,
persalinan, maupun abortus yang dinyatakan dengan kode GxPxAx
(Gravida, Para, Abortus), berapa kali ibu hamil, penolong persalinan,
cara persalinan, penyembuhan luka persalinan, keadaan bayi saat baru
lahir, berat badan lahir anak jika masih ingat.
 Riwayat kehamilan yang lalu/ Antenatal
31

Berapa kali dilakukan pemeriksaan ANC, Hasil Laboratorium : USG,


Darah, Urine, keluhan selama kehamilan termasuk situasi emosional
dan impresi, upaya mengatasi keluhan, tindakan dan pengobatan yang
diperoleh..
 Riwayat Persalinan lalu (Natal): Jumlah Gravida, jumlah partal, dan
jumlah abortus, umur kehamilan saat bersalin, jenis persalinan,
penolong persalinan, BB bayi, kelainan fisik, kondisi anak saat ini.
 Riwayat nifas pada persalinan lalu : Pernah mengalami demam,
keadaan lochia, kondisi perdarahan selama nifas, tingkat aktifitas
setelah melahirkan, keadaan perineal, abdominal, nyeri pada payudara,
kesulitan eliminasi, keberhasilan pemberian ASI, respon dan support
keluarga.
 Riwayat persalinan saat ini : Kapan mulai timbulnya his, pembukaan,
bloody show, kondisi ketuban, lama persalinan, dengan episiotomi atau
tidak, kondisi perineum dan jaringan sekitar vagina, dilakukan anastesi
atau tidak, panjang tali pusat, lama pengeluaran placenta, kelengkapan
placenta, jumlah perdarahan.
 Riwayat New Born : apakah bayi lahir spontan atau dengan
induksi/Tindakan khusus, kondisi bayi saat lahir (langsung menangis
atau tidak), apakah membutuhkan resusitasi, nilai APGAR skor, Jenis
kelamin Bayi, BB, panjang badan, kelainan kongnital, apakah dilakukan
bonding attatchment secara dini dengan ibunya, apakah langsung
diberikan ASI atau susu formula.

2.3.1.2 Pemeriksaan Fisik (B1-B6)


Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan neonatus RDS
adalah sebagai berikut:
1) Keadaan umum
Biasanya pasien dengan neonates respiratory distress syndrome terlihat
lemah dan pernafasan tidak teratur.
2) Tanda-tanda vital
32

Pada NRDS terjadi penurunan suhu tubuh. Suhu normal 36,5–37,5º C,


frekuensi nadi normal 120 – 160x /menit, frekuensi pernafasan sebaiknya
dihitung 1 menit penuh. Normalnya 40 – 60x /menit.
3) B1 (Breathing)
a. Inspeksi : pernafasan belum teratur >60x/menit dan sering terjadi
apnea, bentuk dada normal atau tidak, RR 40-60 x/menit,ada retraksi
otot bantu nafas, nafas grunting, pernafasan cuping hidung, dangkal,
sianosis.
b. Palpasi : tidak ada nyeri tekan, merasakan getaran vocal fremitus ada
atau tidak,teraba vocal premitus kanan dan kiri sama atau tidak.
c. Perkusi : sonor atau peka
d. Auskultasi : adanya suara tambahan, dengkuran, wheezing atau tidak,
rhonchi atau tidak, normalnya vesikuler. Pada NRDS terjadi penurunan
suara napas, crakles, episode apnea.
4) B2 (Blood)
a. Inspeksi : Pembuluh darah kulit banyak terlihat, sianosis atau tidak.
b. Palpasi : bradikardia (<100x/menit) dengan hipoksemia berat
c. Perkusi : normal redup, ukuran dan bentuk jantung normal atau tidak.
d. Auskultasi : pada saat kelahiran, adanya suara nafas tambahan murmur
sistolik, denyut jantung dalam batas normal (DBN).
5) B3 (Brain)
a. Inspeksi :Refleks dan gerakan pada tes neurologis tampak tidak resisten
gerak refleks hanya berkembang sebagian, menelan, menghisap dan
batuk sangat lemah atau tidak efektif. Otot hipotonik, tungkai abduksi,
sendi lulut dan kaki fleksi, lebih banyak tidur dari pada
terbangun,tingkat kesadaran kuantitatif composmetis yaitu kesadaran
penuh respon cukup terhadap stimulus yang diberikan, samnolen
kesadaran rendah tampak mengantuk dan tidak ada respon terhadap
rangsangan,delirium kesadaran menurun di serta disorientasi dan salah
persepsi terhadap rangsangan sensorik,sedangkan kualitatif seperti koma
yaitu tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun.
33

b. Refleks moro : timbulnya pergerakan tangan yang simetris apabila


kepala tiba-tiba digerakkan.
c. Refleks rooting : bayi menoleh ke arah benda yang menyentuh pipi.
d. Refleks graphs : refleks genggaman telapak tangan dapat dilihat dengan
meletakkan pensil atau jari di telapak tangan bayi.
e. Reflek suckling : terjadi ketika bayi yang baru lahir secara otomatis
menghisap benda yang ditempatkan di mulut mereka.
f. Reflek tonicneck : pada posisi terlentang, ekstremitas di sisi tubuh
dimana kepala menoleh mengalami ekstensi, sedangkan di sisi tubuh
lainnya fleksi.

6) B4 ( Bladder)
Kontrol suhu imatur menyebabkan penguapan berlebih sehingga terjadinya
maturitas ginjal, gfr menurun, oliguri, kehilangan cairan yang
mengakibatkan dehidrasi.
7) B5 (Bowel)
Imaturitas Reflek menghisap menyebabkan bayi menyusui tidak adekuat
dikarenakan usaha inspirasi meningkat.
a. Inspeksi : cavum oris, lidah untuk melihat ada tidaknya kelainan, ada
tidaknya penegangan abdomen, ada atau tidak anus. Pengeluaran
meconium biasanya terjadi pada waktu 12 jam.
b. Palpasi : ada nyeri atau tidak, di kuadran mana.
c. Auskultasi : imatur peristaltic.
d. Perkusi : jika dilambung,, kandung kemih berbunyi timpani. Jika pada
hati, pancreas ginjal berbunyi pekak.
8) B6 (Bone)
a. Inspeksi : tulang kartilago telinga belum tumbuh dengan sempurna,
lembut dan lunak, tulang tengkorak dan tulang rusuk lunak, gerakan
lemah dan aktif atau letargik,normal lingkar kepala 33-35 cm lebih dari
normal hidrosefalus kurag dari normal mikrosefalus,kuit tampak
tipis,jaringan lemak dibawah kulit tipis dan terdapat lanugo.
34

b. Perkusi : reflek patella.


c. Palpasi : ada nyeri tekan atau tidak, kaji kekuatan otot dengan penentuan
tingkat kekuatan otot dengan nilai kekuatan otot. Biasanya adanya
Pitting edema pada tangan dan kaki.
9) Pemeriksaan Antropometri
Panjang badan kurang dari 45 cm, berat badan kurang dari 2500 gram,
lingkar dada kurang dari 30 cm, lingkar lengan atas kurang dari 9 cm, lingkar
kepala fronto occipitalis kurang dari 12 cm, lingkar kepala submetobregmatika
kurang dari 9,5 cm. (Maryunani, 2017).

2.3.2 Diagnosa Keperawatan


2.3.2.1 Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. (SDKI
D.0003, halaman 22)
2.3.2.2 Pola nafas tidak efektif b.d imaturitas neurologis (SDKI D.0005, halaman
26)
2.3.2.3 Penurunan curah jantung b.d perubahan after load d.d pulmonary vascular
resistance (PVR). (SDKI D.0011, halaman 41)
2.3.2.4 Termoregulasi tidak efektif b.d imaturitas termoregulasi dalam tubuh
(SDKI D.0149, halaman 317)
2.3.2.5 Risiko cedera b.d hipoksia jaringan. (SDKI D.0136, halaman 294)
2.3.2.6 Risiko ketidakseimbangan cairan b.d kurang pengetahuan kebutuhan
cairan. (SDKI D.0036, halaman 87)
2.3.2.7 Defisit nutrisi b.d imaturitas reflek menghisap. (SDKI D.0019, halaman
56)
2.3.2.8 Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen. (SDKI D.0056, halaman 128)
2.3.2.9 Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi tentang perubahan
kondisi bayi. (SDKI D.0111, halaman 246)
35

2.3.3 Intervensi Keperawatan


Perencanaan keperawatan pada klien dengan Neonatorum Respiratory Distress Syndrome (NRDS) menurut Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI, 2018) meliputi :
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi
1. Gangguan pertukaran gas b.d Setelah dilakukan Intervensi 3x7 Observasi
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Jam diharapkan pertukaran gas 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya
(SDKI D.0003, halaman 22) klien meningkat, dengan kriteria napas
hasil : 2. Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
(SLKI L.01001 Hal.18) hiperventilasi, kussmaul, cheyne-strokes, biot, dan
1. Tingkat kesadaran meningkat ataksik)
(5) 3. Monitor adanya produksi sputum
2. Dispnea menurun (5) 4. Monitor adanya sumbatan jalan napas
3. Bunyi napas tambahan 5. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
menurun (5) 6. Auskultasi bunyi napas
4. Pusing menurun (5) 7. Monitor saturasi oksigen
5. Penglihatan kabur menurun 8. monitor nilai AGD
(5) 9. monitor hasil x-ray thorax
6. Gelisah menurun (5) Terapeutik
7. Napas cuping hidung 1. Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trachea, jika
menurun (5) perlu.
8. PCO2 membaik (5) 2. Pertahankan kepatenan jalan nafas
9. PO2 membaik (5) 3. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan (mis. Nasal kanul,
10. Takikardia membaik (5) masker wajah, masker rebreathing, atau non
11. Sianosis membaik (5) rebreathing)
12. Pola napas membaik (5) 4. Gunakan bag-valve mask, jika perlu.
13. Warna kulit membaik (5) Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika itu perlu
3. Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen
dirumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas
36

dan/atau tidur.
2. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan Setelah dilakukan Intervensi 3x7 Observasi :
upaya nafas nafas (SDKI D.0005, Jam diharapkan pola nafas klien 1. Monitor pola napas ( Frekuensi, kedalaman, usaha
halaman 26) membaik, dengan kriteria hasil : napas)
(SLKI L.01004 Hal.95) 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
1. Ventilasi semenit meningkat wheezing, ronkhi kering)
(5) 3. Monitor sputum ( Jumlah, warna, aroma )
2. Dispnea Menurun (5) Terapeutik :
3. Penggunaan otot bantu napas 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
menurun (5) chin-lift ( jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
4. Ortopnea menurun (5) 2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
5. Pernapasan pursed-lip 3. Berikan minum hangat
menurun (5) 4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
6. Pernapasan cuping hidup 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
menurun (5) 6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
7. Frekuensi Nafas Membaik (5) endotrakeal
8. Kedalaman Napas Membaik 7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
(5) 8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoral,
mukolitik, jika perlu
3. Penurunan curah jantung b.d Setelah dilakukan intervensi 3x7 Perawatan Jantung (SIKI I.02075 Hal.317)
perubahan after load d.d pulmonary jam diharapkan curah jantuk Observasi :
vascular resistance (PVR). (SDKI klien meningkat, dengan kriteria 1. Identifikasi tanda/gejala primer Penurunan curah
D.0011, halaman 41) hasil : jantung (meliputi dispenea, kelelahan, adema ortopnea
(SIKI L.02008 Hal.20) paroxysmal nocturnal dyspenea, peningkatan CPV).
1. Kekuatan nadi perifer 2. Identifikasi tanda /gejala sekunder penurunan curah
meningkat jantung (meliputi peningkatan berat badan,
2. Palpitasi menurun hepatomegali ditensi vena jugularis, palpitasi, ronkhi
3. Bradikardi menurun basah, oliguria, batuk, kulit pucat).
37

4. Takikardia menurun 3. Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah


5. Gambaran EKG aritmia ortostatik, jika perlu).
menurun 4. Monitor intake dan output cairan.
6. Lelah menurun 5. Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama.
7. Edema menurun 6. Monitor saturasi oksigen.
8. Distensi vena jugularis 7. Monitor keluhan nyeri dada (mis. Intensitas, lokasi,
menurun radiasi, durasi, presivitasi yang mengurangi nyeri).
9. Dispnea menurun 8. Monitor EKG 12 sadapan.
10. Oliguria menurun 9. Monitor aritmia (kelainan irama dan frekwensi)
11. Pucat/sianosis menurun 10.Monitor nilai laboratorium jantung (mis. Elektrolit,
12. Paroxysmal nocturnal enzim jantung, BNP, Ntpro-BNP).
dyspnea (PND) menurun 11.Monitor fungsi alat pacu jantung.
13. Ortopnea menurun 12.Periksa tekanan darah dan frekwensi nadisebelum dan
14. Suara jantung S3 dan S4 sesudah aktifitas.
menurun 13.Periksa tekanan darah dan frekwensi nadi sebelum
15. Murmur jantung menurun pemberian obat (mis. Betablocker, ACEinhibitor,
16. Pulmonary vascular calcium channel blocker, digoksin.
resistance (PVR) menurun Terapeutik :
17. Tekanan darah membaik 1. Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki
kebawah atau posisi nyaman
2. Berikan diet jantung yang sesuai (mis. Batasi asupan
kafein, natrium, kolestrol, dan makanan tinggi lemak)
3. Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermiten,
sesuai indikasi
4. Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi hidup
sehat
5. Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stres, jika
perlu.
6. Berikan dukungan emosional dan spiritual.
7. Berikan oksigen untuk memepertahankan saturasi
oksigen >94%
Edukasi :
1. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi.
2. Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap.
3. Anjurkan berhenti merokok.
38

4. Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan


harian.
5. Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan
output cairan.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu.
2. Rujuk ke program rehabilitasi jantung
4. Termoregulasi tidak efektif b.d Setelah dilakukan Intervensi 3x7 Observasi :
imaturitas termoregulasi dalam tubuh Jam diharapkan termoregulasi 1. Monitor suhu tubuh bayi (36,5 -37,5°C)
(SDKI D.0149, halaman 317) klien membaik, dengan kriteria 2. Monitor suhu tubuh anak tiap dua jam.
hasil : 3. Monitor tekanan darah, frekuensi pernafasan dan nadi
(SLKI L.14134 Hal.129) 4. Monitor dan catat tanda dan gejala hipotermia atau
1. Menggigil   Menurun hipertemia.
2. Kulit merah Menurun Terapeutik :
3. Akrosianosis Menurun 1. Pasang alat pemantau suhu kontinu
4. Konsumsi oksigen Menurun 2. Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat.
5. Piloereksi Menurun 3. Bedong bayi segera setelah lahir untuk mencegah
6. Vasokonstriksi perifer kehilangan panas.
Menurun 4. Masukkan bayi BBLR ke dalam plastik segera setelah
7. Kutis memorata Menurun lahir (mis. Bahan polyethylene, polyurethane).
8. Pucat Menurun 5. Gunakan topi bayi untuk mencegah kehilangan panas
9. Takikardia Menurun pada bayi baru lahir.
10. Takipnea Menurun 6. Tempatkan bayi baru lahir di bawah radiant warmer.
11. Bradikardia Menurun 7. Pertahankan kelembaban inkubator 50% atau lebih
12. Hipoksia Menurun untuk mengurangi kehilangan panas karena proses
13. Suhu Tubuh Membaik evaporasi.
14. Suhu kulit Membaik 8. Atur suhu inkubator sesuai kebutuhan.
15. Kadar glukosa darah 9. Hangatkan terlebih dahulu bahan-bahan yang akan
Membaik kontak dengan bayi (mis. Selimut, kain, bedongan,
16. Pengisisan kapiler Membaik stetoskop).
17. Ventilasi Membaik 10.Hindari meletakkan bayi di dekat jendela terbuka atau di
18. Tekanan darah Membaik area aliran pendingin ruangan atau kipas angin.
11.Gunakan matras penghangat, selimut hangat, dan
penghangat ruangan untuk menaikkan suhu tubuh, jika
39

perlu.
12.Gunakan kasur pendingin, water circulating blankets,
ice pack atau gel pad dan intravascular cooling
catheterization untuk menurunkan suhu tubuh.
13.Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien.
Edukasi :
1. Jelaskan cara pencegahan heat exhaustion dan heat
stroke.
2. Jelaskan cara pencegahan hipotermia karena terpapar
udara dingin.
3. Demonstrasikan teknik perawatan metode kanguru
(PMK) untuk bayi BBLR.
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian antipiretik jika perlu.
5. Risiko cedera b.d hipoksia jaringan. Setelah dilakukan intervensi 3x7 Manajemen Kejang (SIKI I.06193 Hal.189)
(SDKI D.0136, halaman 294) jam diharapkan tingkat cedera Observasi :
menurun, dengan kriteria hasil : 1. Monitor terjadinya kejang berulang
(SIKI L.14136 Hal.135) 2. Monitor karakteristik kejang (mis.aktivitas motorik, dan
1. Toleransi aktivitas meningkat progresi kejang)
2. Nafsu makan meningkat 3. Monitor status neurologis
3. Ketegangan otot menurun 4. Monitor tanda-tanda vital
4. Agitasi menurun Terapeutik :
5. Iritabilitas menurun 1. Baringkan pasien agar tidak terjatuh
6. Gangguan mobilitas menurun 2. Berikan alas empuk dibawah kepala, jika
7. Gangguan kognitif menurun memungkinkan.
8. Tekanan darah membaik 3. Pertahankan kepatenan jalan nafas.
9. Frekuensi nadi membaik 4. Longgarkan pakaian, terutama dibagian leher.
10. Frekuensi nafas membaik 5. Dampingi selama periode kejang
11. Denyut jantung apikal 6. Jauhkan benda-benda berbahaya terutama benda tajam.
membaik 7. Catat durasi kejang.
12. Denyut jantung radialis 8. Reorientasikan setelah periode kejang.
membaik 9. Dokumentasikan periode terjadinya kejang.
13. Pola istirahat/tidur 10. Pasang akses IV, jika perlu.
membaik 11. Berikan oksigen, jika perlu.
40

Edukasi :
1. Anjurkan keluarga menghindari memasukkan apapun ke
dalam mulut pasien saat periode kejang.
2. Anjurkan keluarga tidak menggunakan kekerasan untuk
menahan gerakan pasien.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antikonvulsan, jika perlu.
6. Risiko ketidakseimbangan cairan b.d Setelah diberikan asuhan Manajemen Hipovolemia (SIKI I.03116 Hal.184 )
kurang pengetahuan kebutuhan cairan. keperawatan selama 3x7 jam Observasi :
(SDKI D.0036, halaman 87) diharapkan status cairan 1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. Frekuensi
membaik. nadi meningkat, madi teraba lemah, TD menurun,
Kriteria hasil : SLKI (L.03028 tekanan nadi meningkat, turgor kulit menurun, membran
Hal.107) mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit
1. Kekuatan nadi meningkat (5) meningkat, haus, lemah)
2. Turgor kulit meningkat (5) 2. Monitor intake dan ouput cairan
3. Output urine meningkat (5) Terapeutik :
4. Ortopnea menurun (5) 1. Hitung kebutuhan cairan
5. Dispnea menurun (5) 2. Berikan posisi modified tredelenburg
6. Distensi vena jugularis 3. Berikan asupan cairan oral
menurun (5) Edukasi :
7. Keluhan haus menurun (5) 1. Anjurkan perbanyak asupan cairan oral.
8. Konsentrasi urine menurun 2. Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
(5) Kolaborasi :
9. Frekuensi nadi membaik (5) 1. Kolaborasi pemberian cairan isotonis (mis. NaCl, RL)
10. Kadar HB membaik (5) 2. Kolaborasi pemberian cairan hipotonis (mis. Glukosa
11. Kadar Ht membaik (5) 2,5%, NaCl 0,4%)
12. Intake cairan membaik (5) 3. Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. Albumin,
13. Status mental membaik (5) Plasmanate)
14. Suhu tubuh membaik (5) 4. Kolaborasi pemberian produk darah.
7. Defisit nutrisi b.d imaturitas reflek Setelah diberikan asuhan Observasi :
menghisap. (SDKI D.0019, halaman keperawatan selama 3x7 jam 1. Identifikasi status nutrisi
56) diharapkan status menyusui 2. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
membaik 3. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric
Kriteria hasil : SLKI (L.03029 4. Monitor berat badan
41

Hal. 119) 5. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium


1. Perlekatan bayi pada 6. Identifikasi keadaan emosional ibu saat akan dilakukan
payudara ibu meningkat (5) konseling menyusui
2. Tetesan/pancaran asi 7. Identifikasi permasalahan yang ibu alami selama proses
meningkat (5) menyusui
3. Suplai ASI adekuat Terapeutik
meningkat (5) 1. Timbang berat badan
4. Puting tidak lecet setelah 2 2. Ukur antropometrik komposisi tubuj (mis. Indeks massa
minggu melahirkan tubuh, pengukuran pinggang dan ukuran lipatan kulit)
meningkat (5) 3. Gunakan teknik mendengarkan aktif
5. Kepercayaan diri ibu 4. Berikan pujian terhadap perilaku ibu yang benar
meningkat (5) 5. Dukung Ibu meningkatkan kepercayaan diri dalam
menyusui
Tambah yg lain ttg nutrisinya 6. Libatkan sistem pendukung: suami, keluarga, tenaga
kesehatan dan masyarakat.
Edukasi
1. Ajarkan teknik menyusui yang tepat sesuai kebutuhan
ibu
2. Jelaskan manfaat menyusui bagi ibu dan bayi
3. Ajarkan 4 (empat) posisi menyusui dan perlekatan
(latch on) dengan benar
4. Ajarkan perawatan payudara antepartum dengan
mengkompres dengan kapas yang telah diberikan
minyak kelapa
5. Ajarkan perawatan payudara postpartum (mis. Memerah
ASI, pijat payudara, pijat oksitosin)
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori da jenis nutrient yang dibutuhkan
8. Intoleransi aktivitas b.d Setelah diberikan asuhan Observasi :
ketidakseimbangan antara suplai dan keperawatan selama 3x7 jam 1. Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kebutuhan oksigen. (SDKI D.0056, diharapkan toleransi aktivitas kelelahan
halaman 128) meningkat. 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
Kriteria hasil : SLKI (L.05047 3. Monitor pola dan jam tidur
42

Hal. 149) 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan


1. Frekuensi nadi meningkat aktivitas.
2. Saturasi oksigen meningkat Terapeutik
3. Keluhan lelah menurun 1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis.
4. Perasaan lemah menurun cahaya, suara, kunjungan)
5. Sianosis menurun 2. Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif.
6. Warna kulit membaik 3. Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan.
7. Tekanan darah membaik 4. Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
8. Frekuensi napas membaik berpindah atau berjalan.
9. EKG iskemia membaik Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang.
4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi :
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
asupan makanan.
9. Defisit pengetahuan b.d kurang Setelah diberikan asuhan Observasi :
terpapar informasi tentang perubahan keperawatan selama 3x7 jam 1. Identifikasi pengetahuan dan kesiapan
kondisi bayi. (SDKI D.0111, halaman diharapkan tingkat pengetahuan orangtua belajar tentang perawatan bayi.
246) dan motivasi meningkat. Terapeutik:
Kriteria hasil : SLKI (L.12111 1. Berikan panduan tentang perubahan pola tidur
Hal. 146) bayi selama tahun pertama.
1. Perilaku sesuai anjuran 2. Motivasi orangtua untuk berbicara dan
meningkat (5) membaca untuk bayi
2. Verbalisasi minat dalam 3. Sediakan materi dan media pendidikan
belajar meningkat (5) kesehatan tentang NRSD pada bayi
3. Pertanyaan tentang masalah 4. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
yang dihadapi menurun (5) kesepakatan
4. Persepsi yang keliru terhadap 5. Berikan kesempatan untuk bertanya.
masalah menurun (5) Edukasi
5. Berpikir fokus masa depan 1. Jelaskan manfaat perawatan bayi
meningkat (5) 2. Jelaskan kebutuhan nutrisi bayi
43

6. Upaya mencari sumber sesuai 3. Jelaskan tanda-tanda lapar (mis.bayi gelisah,


kebutuhan meningkat (5) membuka mulut dan menggeleng-gelengkan kepala,
7. Upaya mencari dukungan menjulur-julurkan lidah, mengisap jari atau tangan)
meningkat (5) 4. Ajarkan cara memilih makanan sesuai dengan
8. Inisiatif meningkat (5) usia bayi
5. Ajarkan cara mengatur frekuensi makanan
sesuai usia bayi
6. Anjurkan tetap memberikan ASI saat bayi sakit
44

2.3.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan,
dimana perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan
hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan (Potter & Perry 1997, dalam
Haryanto, 2017). Jadi, implemetasi keperawatan adalah kategori serangkaian
perilaku perawat yang berkoordinasi dengan pasien, keluarga, dan anggota tim
kesehatan lain untuk membantu masalah kesehatan pasien yang sesuai dengan
perencanaan dan kriteria hasil yang telah ditentukan dengan cara mengawasi dan
mencatat respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.

2.3.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai apakah
tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi
suatu masalah. (Meirisa, 2013). Pada tahap evaluasi, perawat dapat mengetahui
seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaan telah
tercapai. Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses keperwatan tetapi
tahap ini merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan.
Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan kecukupan data yang telah
dikumpulkan dan kesesuaian perilaku yang observasi. Diagnosis juga perlu
dievaluasi dalam hal keakuratan dan kelengkapannya. Evaluasi juga diperlukan
pada tahap intervensi untuk menentukan apakah tujuan intervensi tersebut dapat
dicapai secara efektif. (Nursalam, 2018).
45

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng. 2016. Angka Kejadian BBLR Dari Tahun
2010-2015 Di Kalteng. Palangka Raya: Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng.
Hartiningrum & Fitriyah, 2018. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Di Provinsi
Jawab Timur Tahun 2012-2016. Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga.
Kementerian Kesehatan RI. 2020. Sekretariat Jenderal Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2019. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Kurniawan & Wiwin. 2020. Hubungan antara Diabetes Melitus Gestasional dan
Berat Badan Lahir dengan Kejadian Respiratory Distress Syndrome (RDS)
pada Neonatus di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Samarinda:
Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.
Nugraha, Satya Adi. 2014. Low Birth Weight Infant With Respiratory Distress
Syndrome (Jurnal). Lampung: Faculty Of Medicine Universitas Lampung.
Manuaba, C. 2012. Gawat-Darurat Obstetri-Ginekologi dan Obstetri Ginekologi
Sosial Untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC.
Marmi, & Rahardjo. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita dan Anak
Prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maryanti. 2015. Asuhan Neonatus & bayi. EGC, Jakarta
Pantiawati dkk. 2012 .Asuhan Kebidanan 1.Jakarta:Nuha Medika.
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Rajashree, K. 2015. Study on the Factors Associated with Low Birth Weight
among Newborns Delivered in a Tertiary-Care Hospital, Shimoga,
Karnataka. International Journal of Medical Science and Public Health, [e-
journal] 4 (9): pp. 1287–1290.

77
46

Saifuddin.2015. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Sudarti & Fauziah. 2013. Asuhan Neonatus Resiko Tinggi dan Kegawatan.
Cetakan I. Yogyakarta: Nuha medika.
Suminto, Silvia. 2017. Peranan Surfaktan Eksogen pada Tatalaksana Respiratory
Distress Syndrome Bayi Prematur (Jurnal). Jakarta: Fakultas Kedokteran
UNIKA Atma Jaya.
Surasmi, Asrining. 2013. Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC.
Supiati., 2016. Karakteristik Ibu kaitanyya dengan Kejadian Bayi Berat Lahir
Rendah. Jurnal Kebidanan dan Kesehatan Tradisional, 1(1): 1-99.
Wijaya, R.S. 2013. Hubungan Anemia pada Ibu Hamil dengan Kejadian Bayi
Berat Lahir Rendah di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi
Periode 19 April-31 Mei 2013. Artikel Ilmiah. Universitas Jambi.
World Health Organization (WHO). 2018. Low Bitrh Weight. [online]
http://www.worldlifeexpentancy.com/cause-of-death/low-birth-weight/by-
country/.
47
48
JURNAL 1
JURNAL 2
JURNAL 3

Anda mungkin juga menyukai