Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

ALIRAN ALIRAN ETIKA RELATIVISME


KULTURAL SUBJEKTIVISME
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ahlak Tasawuf
Dosen Pengampu : UST.ARI ABI AUFA, M.Phil

KELOMPOK 1 KELAS 1E

Disusun oleh :
1. FATIYA KARIMA
2. ACH. SYAIFUDDIN ZAHRO
3. MUHAMMAD SUKRON
4. INDAH MIFTAHURROHMAN
5. M.IHSANUR ROHIM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM SUNAN GIRI BOJONEGORO
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama ALLAH SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Kami
panjatkan puja puji syukur atas Kehadiran-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayahnya Kepada kami, Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ALIRAN-
ALIRAN ETIKA RELATIVISME KULTURAL, SUBJEKTIVISME” atas dukungan moral dan
materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini maka penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada :
1. BAPAK ARI ABI AUFA M,Phil selaku pengampu mata kuliah AKHLAK TASAWUF
yang memberikan bimbingan, saran, ide dan kesempatan untuk menjabarkan sedikit
tentang Aliran-aliran Etika relativisme kultural, Subjektivisme
2. Sumber buku yang menjadi referensi
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penulis
menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makah ini, baik
dari segi tata bahasa, susunann kalimat, maupun isi.

Oleh karena itu, Dengan tangan terbuka kami selaku penulis menerima segala kritik dan
saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi serta nembah khazanah ilmu
pengetahuan yang nyata terhadap pembaca.

Penulis
ALIRAN-ALIRAN RELATIVISME KULTURAL,
SUBJEKTIVISME
Bagian 1 

Ringkasan dari topik “Relativisme Budaya”.

Topik ini dimulai dengan Ruth Benedict, Pattern of Culture (1934) dalam James


Rachels, Filsafat Moral (2004) yang menyatakan bahwa moralitas yang berbeda-beda dalam
setiap masyarakat dan merupakan kesepahaman yang pas untuk kebiasaan-kebiasaan yang
disetujui bersama.Hal ini merupakan pernyataan awal mengenai eksistensi relativisme budaya.

 Relativisme budaya artinya budaya bersifat tidak mutlak atau tidak nisbi. Budaya merupakan
hasil kesepakatan masyarakat secara bersama. Pandangan relativisme budaya ini memberikan
tantangan kepada etika yang secara umum merupakan pedoman mengenai baik buruk perilaku
manusia. Rachels (2004) menjelaskan topik relativisme budaya menjadi beberapa subtopik.
Beberapa subtopik dalam Rachels (2004) sebagai berikut: Setiap budaya memiliki kode moral
berbeda. Subtopik ini mengambarkan sejarah mengenai budaya yang berbeda mengenai
pemakaman jenazah orang tua. Simpulan dari subtopik ini bahwa budaya memiliki pedoman baik
dan buruk yang berbeda bergantung dari kesepakatan masyarakatnya. Rachels (2004)
jugamelengkapi saran pada subtopik ini melalui Raja Darius bahwa pemahaman yang baik akan
dunia juga harus meliputi penjelasan tentang perbedaan antar-budaya. Relativisme kultural
dalam Rachels (2004) disebutkan bahwa Socrates dan Plato berpendapat kebudayaan bersifat
mutlak dan universal yang kemudian direvis para sofis lain bahwa kebudayaan tidak mutlak dan
universal. Setiap kebudayaan mudah berubah sesuai perkembangannya.  Setidaknya ada 6
tuntutan kaum relativis kultural dalam Rachels (2004) yaitu: (1) Masyarakat berbeda mempunyai
kode moral yang berbeda, (2) Kode moral dari suatu masyarakat menentukan apa yang benar
dalam masyarakat itu, (3) Tidak ada standar objektif untuk menilai suatu kode masyarakat secara
lebih baik dari yang lain, (4) Kode moral masyarakat kita tidak mempunyai status istimewa
karena hanya merupakan salah satu dari antara yg banyak, (5) Tidak ada "kebenaran universal"
dalam etika, (6) Adalah kesombongan bila kita mencoba menilai perilaku orang lain.
Konsekuensi dari keyakinan relativisme cultural. William Graham Sumner dalam Rachels (2004)
meringkaskan hakikat relativisme kultural .Ia mengatakan bahwa tidak ada ukuran  yang  benar
atau  yang salah kecuali standar dari suatu masyarakat itu sendiri. Konsekuensi-konsekuensi
penerapan relativisme kultural yaitu: (1) Kita tidak dapat berkata bahwa adat kebiasaan
masyarakat lain lebih rendah derajat moralnya dari adat kebiasaan masyarakat kita, (2) Kita
dapat menilai apakah tindakan kita itu benar atau salah. Cukup dengan mengukurnya dengan
standar masyarakat kita, (3) Gagasan tentang kemajuaan moral patut di ragukan kemungkinanya ,
Antara kesan dan kenyataan tentang perbedaan juga menjaid subtopik yang perlu diperhatikan.
Subtopik ini merupakan bagian saran kepada pembaca bahwa perlu adanya perbandingan antara
kesan dan kenyataan mengenai budaya tertentu sehingga dapat dinilai urgensinya tidak hanya
menurut norma yang dianut penilai atau pembaca.

Nilai-nilai yang sama dalam semua kebudayaan Setiap kelompok kultural memiliki nilai-nilai
yang bersifat umum atau universal seperti: merawat bayi, nilai kejujuran, larangan membunuh
(Oktaviani, Fadhilah, Subagiyo, dkk, 2015). Kemudian Rachels (2004) menambahkan bahwa ada
aturan-aturan moral tertentu yang dianut secara bersama-sama oleh semua masyarakat, karena
aturan-aturan itu penting bagi kelestarian masyarakat. Praktek kebudayaan yang tidak
diinginkan    seringkati terjadi dalam isu relativisme budaya. Rachels (2004) menyatakan tidak
ada standar salah benar yang bebas dalam pengaruh budaya. Penilaian baik buruk praktek suatu
budaya dapat dilihat dari kesejahteraan orang-orang yang bersentuhan langsung dengan praktek
budaya tersebut, selama itu membawa kesejahteraan maka tidak ada hak dari orang diluar budaya
tersebut untuk mengecam kebudayaan kelompok lain.

Simpulan mengenai topik ini yaitu relativisme budaya  adalah keadaan dimana setiap budaya
memiliki kode moral yang berbeda.  Kritik utama terhadap pandangan ini yaitu simpulan
substantif moralitas dari sekadar fakta bahwa setiap orang memiliki perspektif berbeda mengenai
hal tersebut tidak dapat dibenarkan.  Ilmuwan dan professional psikologi dapat memahami
masyarakat dan klien yang juga merupakan bagian dari sebuah mayarakat yang memiliki budaya
yang bersifat relatif.

Berikut adalah kutipan mengenai pasal Kode Etik Psikologi terkait Budaya (Himpsi, 2010):

Pasal 2 Prinsip Umum

Prinsip A: Penghormatan pada Harkat Martabat Manusia

(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari dan menghormati perbedaan budaya,
individu dan peran, termasuk usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa, budaya, asal ke
Indonesiabangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), bahasa dan status
sosial-ekonomi, serta mempertimbangkan faktor-faktor tersebut pada saat bekerja dengan orang-
orang dari kelompok tersebut.

Pasal 6 Diskriminasi yang Tidak Adil terhadap Keluhan

(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isu atau cakupan kasus-
kasus khusus, misalnya terkait penanganan HIV/AIDS, kekerasan berbasis gender, orientasi
seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khu-sus), atau yang terkait dengan kekhususan ras,
suku, budaya, asli kebangsaan, agama, ba-hasa atau kelompok marginal, penting untuk
mengupayakan penambahan pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara seperti
pelatihan, pendidikan khusus, konsultasi atau supervisi terbimbing untuk memastikan kom-
petensi dalam memberikan pelayanan jasa dan/atau praktik psikologi yang dilakukan kecuali
dalam situasi darurat sesuai dengan pasal yang membahas tentang itu.

Pasal 65 Interpretasi Hasil Asesmen

Psikolog dalam menginterpretasi hasil asesmen psikologi harus mempertimbangkan berbagai


fak-tor dari instrumen yang digunakan, karakteristik peserta asesmen seperti keadaan situasional
yang bersangkutan, bahasa dan perbedaan budaya yang mungkin kesemua ini dapat
mempengaruhi ketepatan interpretasi sehingga dapat mem-pengaruhi keputusan.

Bagian 2

Ringkasan skenario terkait pembuatan video dengan tema Relativisme Budaya dengan


spesifikasi East Meets West.  Video ini memiliki konsep untuk menggambarkan perbedaan
budaya pada budaya Barat dan Timur. Budaya. Pertimbangan yang digunakan adalah ada dua
perbedaan budaya atau kultur dalam sistem social atau psyches menurut Fiske, Kitayama,
Markus & Nisbett, 1998 dalam Hogg & Vaughan, 2011 yaitu: the European American
(Western) dan the East Asian (Eastern).

Poin dalam skenario diambarkan dalam tabel berikut:

Budaya Barat Budaya Timur Pembahasan Relativisme


Budaya & Etika
Individualisme dalam video Kolektivisme dalam video ini Triandis, 1995 dalam Hogg &
ini digambarkan individu digambarkan individu-individu Vaughan, 2011 menyatakan
(diperankan Fatimah Gadi) secara bersamasama datang ke bahwa ada dua tipe masyarakat
yang berjalan sendiri saat ruang kuliah (diperankan yaitu individualistic societies
datang ke ruang kualiah. anggota kelompok yang lain). (western) dan

collectivist societies (eastern).


Budaya keberamaan dengan
orang lain.
Tepat waktu atau disiplin Toleransi keterlambatan waktu Kebiasaan menghargai wkatu
digambarkan dengan (rubber time) individu  yang berbeda adalah bagian
banyaknya individu yang (diperankan Ariqa Ayni AS) dua budaya.
sudah datang tepat wkatu yang telat datang ke ruang
diruang kelas. kelas.
Tertib utuk antri digambarkan Kurang tertib untuk antri Yang Liu, 2008 dalam
ada kelompok sedangkan sebagian geng anak Widayat, 2015 mengambarkan
pemeran bule (Fatimah Gadi) local berebut presensi dan perbedaan mengantri di budaya
sabar mengantri. meninggalkan ruang kuliah. barat yang disimbolisasi dalam
warna biru dan budaya timur
yang disimbolisasi dengan
warna merah.

 
 
Tisu gulung untuk toilet dan Tisu jenis apapun ‘layak’ Pertimbangan penggunaan tisu
tisu kotak atau tisu makan digunakan di meja makan. toilet untuk makan diangap
untuk dimeja makan. kurang etis tapi nyatanya
    penggunaan tisu toilet untuk
kegitan seputar makan masih
sering terjadi di Indonesia.

 Kebudayaan asalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia
dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dan didapatkan dari
hasil belajar ( Koentjaraningrat, 2009:144). Dari pengertian tersebut kebudayaan
mempunyai 3 wujud yaitu knowledge Culturalseperti adat istiadat,Cultural
behaviorseperti sistem sosial , dan Cultural artefac seperti kesenian, dan benda-
benda yang dapat diraba, dilihat dan di foto ( Koentjaraningrat,2009:153).
Kebudayaan bersifat material dan non material. Material hal-hal yang dapat kita lihat
dan kita sentuh seperti bangunan, mesin, tata rambut dan sebagainya sedangkan yang
bersifat non material adalah cara berpikir ( kepercayaan, nilai, dan lainnya ) dan cara
bertindak ( bahasa, bentuk interaksi, gerak isyarat) ( James M Henslin, 2006 :38).
Perbedaan kebudayaan menghasilkan sebuah sikap yang disebut etnosentrisme
dimana kebudayaan sendiri dianggapnya lebih baik dari pada kebudayaan lain.
Sehingga muncul masyarakat yang beradab dan primitif. Ketika sekap ini tumbuh
subur maka terjadinya konflik tidak dapat dihindarkan lagi. Disini relativisme perlu
diterapkan.

Relativisme berasal dari kata latin yaitu relativus yang berarti relatif, relativisme
berpendapat bahwa perbedaan kebudayaan bukanlah perbedaan dalam hakikat
melainkan kebudayaan karena faktor-faktor diluarnya (id.wikipedia.com). Relativisme
budaya adalah melihat bagaimana unsur satu kebudayaan cocok satu sama lain tanpa
menilai apakah unsur tersebut lebih tinggi atau lebih rendah ( James M Henslin,
2006:40). Berarti Perbedaan kebudayaan tidak perlu dipermasalahkan. Relativisme
budaya berarti tidak memberikan penilian terhadap budaya masyarakat lain, dan tidak
berperilaku atas penilaian tadi. Kita tidak boleh membandingkan baik buruknya
kebudayaan satu masyarakat dengan kebudayaan kita sendiri. Karena terbentuknya
sebuah kebudayaan juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan disekitarnya. Misalnya
isu yang sekarang sedang terjadi yaitu pendirian pabrik semen di Rembang.
Mengubah masyarakat sesuai dengan keinginan tidaklah mudah. Ketika pabrik itu
didirikan maka akan terjadi perubahan kebudayaan dari masyarakat agraris menjadi
masyarakat industri karena lingkungan yang berubah. Tidak semua masyarakat dapat
menyesuaikan diri sebagai masyarakat industri. Karena ketika ada pabrik/perusahaan
pasti ada perbedaan kelas yang sangat signifikan disana antara borjuis dan proletar.
Walaupun masyarakat tanpa kelas merupakan utopia namun dalam masyarakat agraris
perbedaan kelas tidak begitu terlihat. Taraf hidup masyarakat antara satu dan yang lain
hampir sama. Suatu masyarakat tentunya mempunyai local genius yang tetap harus
dipertahankan. Dan suatu perubahan tidak dapat dipaksakan oleh suatu kelompok
yang berkepentingan.

Relativisme dapat mengimbangi kecenderungan kita untuk menggunakan kebudayaan


kita sebagai standar kita dalam menilai kebudayaan lain dengan ini kita dapat
mencoba memahami kebudayaan dari sudut pandangnya sendiri ( James M Henslin,
2006:42). Begitu pula mengenai moralitas perbedaan moral ini mengenai benar dan
tidak benar. Moralitas yang terdapat di masyarakat adalah benar tergantung dari sudut
mana kita melihat kebenaran tersebut. Ketika relativisme budaya ini maka sikap
toleran akan terjalin dan apa yang diinginkan akan sejalan dengan perubahan. Dalam
lingkup sederhana kita dapat mempraktekan relativisme budaya dalamkehidupan
bermasyarakat. Untuk sebuah perubahan terlebih dahulu kita pahami apa yang
sahabat-sahabat lain inginkan. Mewujudkannya dengan sikap toleransi antara satu dan
yang lainnya. Dan satukan dalam sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegera
yang beratapkan Indonesia.

Subyektivisme adalah doktrin bahwa "aktivitas mental kita sendiri adalah satu-satunya fakta
pengalaman kita yang tidak perlu dipertanyakan", [1] alih-alih dibagikan secara komunal, dan
bahwa tidak ada kebenaran eksternal atau objektif.
Keberhasilan posisi ini secara historis dikaitkan dengan Descartes dan keraguan
metodisnya . [1] Subjektivisme memberi prioritas pada pengalaman subyektif sebagai dasar dari
semua ukuran dan hukum. [2] Dalam bentuk-bentuk ekstrem seperti Solipsisme , ia mungkin
berpendapat bahwa sifat dan keberadaan setiap objek semata-mata bergantung pada kesadaran
subyektif seseorang terhadapnya. Seseorang dapat mempertimbangkan empirisme
yang berkualitas dari George Berkeley dalam konteks ini, mengingat ketergantungannya pada
Tuhan sebagai penggerak utama persepsi manusia. Jadi, subjektivisme.
Isi
 
subjektivisme metafisik
Subjektivisme adalah label yang digunakan untuk menunjukkan prinsip filosofis bahwa
"aktivitas mental kita sendiri adalah satu-satunya fakta yang tidak perlu dipertanyakan dari
pengalaman kita." [1] Keberhasilan posisi ini secara historis dikaitkan
dengan Descartes dan keraguan metodisnya . [1] Subjektivisme secara historis telah dikutuk oleh
para teolog Kristen, yang menentangnya otoritas obyektif gereja, dogma Kristen, dan kebenaran
Alkitab yang diungkapkan. [1] [3] Para teolog Kristen, dan khususnya Karl Barth , juga
mengutuk antroposentrisme sebagai bentuk subjektivisme. [1] [4]
Subyektivisme metafisik adalah teori bahwa realitas adalah apa yang kita anggap nyata, dan
bahwa tidak ada realitas sejati yang mendasari yang ada secara independen dari persepsi. Orang
juga dapat berpendapat bahwa itu adalah kesadaran daripada persepsi yang merupakan realitas
( idealisme subyektif ). Ini berbeda dengan objektivisme metafisik dan realisme filosofis , yang
menyatakan bahwa ada realitas 'objektif' yang mendasarinya yang dirasakan dengan cara yang
berbeda.
Sudut pandang ini tidak boleh disamakan dengan pendirian bahwa "semua adalah ilusi" atau
bahwa "tidak ada yang namanya kenyataan." Subyektivisme metafisik berpendapat bahwa
kenyataan itu cukup nyata. Mereka memahami, bagaimanapun, bahwa sifat realitas yang terkait
dengan kesadaran tertentu tergantung pada kesadaran itu. Ini memiliki dasar filosofis dalam
tulisan Descartes (lihat cogito ergo sum ), dan membentuk landasan filosofi Søren Kierkegaard .
versi modern
Baru-baru ini, versi subjektivisme metafisik yang lebih sederhana telah dieksplorasi. Sebagai
contoh, saya mungkin berpendapat bahwa itu adalah fakta bahwa cokelat enak, meskipun saya
menyadari bahwa itu tidak enak untuk semua orang. Ini menyiratkan bahwa ada fakta
yang subjektif . (Secara analog, orang mungkin berpendapat bahwa itu adalah fakta bahwa itu
adalah musim dingin di belahan bumi utara, meskipun ini tidak selalu terjadi, menyiratkan bahwa
beberapa fakta bersifat sementara .) Giovanni Merlo telah mengembangkan versi spesifik
subjektivisme metafisik, di mana fakta subjektif selalu menyangkut sifat mental . [5] Teori Caspar
Hare tentang presentisme egosentris adalah contoh lain yang berkaitan erat.
Subjektivisme dan panpsikisme
Salah satu kemungkinan perluasan pemikiran subyektivis adalah bahwa pengalaman sadar
tersedia untuk semua substrat yang dapat dilihat secara objektif. Setelah melihat gambar yang
dihasilkan oleh kamera di sisi goyang gunung berapi yang meletus, orang mungkin mengira
bahwa gerakan relatif mereka mengikuti dari kesadaran subjektif di dalam gunung
berapi. Properti ini juga dapat dikaitkan dengan kamera atau berbagai komponennya.
Namun, dengan cara ini, subjektivisme berubah menjadi doktrin terkait, panpsikisme , keyakinan
bahwa setiap entitas objektif (atau peristiwa) memiliki aspek ke dalam atau subyektif.
subjektivisme etis
Artikel utama: subjektivisme etis
Subyektivisme etis adalah keyakinan meta-etis bahwa kalimat etis mereduksi menjadi pernyataan
faktual tentang sikap dan / atau konvensi orang individu, atau bahwa setiap kalimat etis
menyiratkan sikap yang dipegang oleh seseorang. Dengan demikian, ini adalah
bentuk relativisme moral di mana kebenaran klaim moral relatif terhadap sikap individu [6] (yang
bertentangan dengan, misalnya, komunitas). Pertimbangkan kasusnya seperti ini - bagi seseorang
yang membayangkan bagaimana rasanya menjadi kucing, menangkap dan memakan tikus adalah
hal yang sangat alami dan sehat secara moral. Bagi seseorang yang membayangkan mereka
adalah seekor tikus, diburu oleh kucing secara moral sangat menjijikkan. Meskipun ini adalah
metafora yang longgar, ini berfungsi untuk mengilustrasikan pandangan bahwa setiap subjek
individu memiliki pemahaman mereka sendiri tentang benar dan salah.
Subyektivis etis mungkin mengusulkan, misalnya, bahwa apa artinya sesuatu yang benar secara
moral hanya untuk disetujui. (Ini dapat mengarah pada keyakinan bahwa hal-hal yang berbeda
adalah benar sesuai dengan pandangan moral masing-masing.) Salah satu implikasi dari
kepercayaan ini adalah bahwa, tidak seperti skeptis moral atau non-cognitivist , subjektivis
berpikir bahwa kalimat etis, sementara subjektif, tetap jenis hal yang bisa benar atau salah
tergantung situasi.
Dalam kemungkinan
Secara garis besar, ada dua pandangan tentang probabilitas Bayesian yang menginterpretasikan
konsep probabilitas dengan cara yang berbeda. Dalam probabilitas , pendirian subjektivis adalah
keyakinan bahwa probabilitas hanyalah derajat kepercayaan oleh agen rasional dalam proposisi
tertentu, dan yang tidak memiliki realitas objektif dalam dan tentang diri mereka
sendiri. Menurut pandangan subyektivis, probabilitas mengukur "kepercayaan pribadi". [7] Untuk
subyektivis semacam ini, frasa yang berkaitan dengan probabilitas hanya menyatakan sejauh
mana aktor subyektif itu meyakini pernyataan mereka benar atau salah. Sebagai akibatnya,
seorang subyektivis tidak memiliki masalah dengan orang yang berbeda memberikan
probabilitas yang berbeda untuk proposisi yang tidak pasti, dan semuanya benar.
Banyak metode pembelajaran mesin modern didasarkan pada prinsip-prinsip Bayesian
objektivis. [8] Menurut pandangan objektivis, aturan statistik Bayesian dapat dibenarkan oleh
persyaratan rasionalitas dan konsistensi dan ditafsirkan sebagai perpanjangan
logika. [9] [10] Dalam upaya menjustifikasi probabilitas subyektif, Bruno de Finetti menciptakan
gagasan koherensi filosofis . Menurut teorinya, pernyataan probabilitas sama dengan taruhan,
dan taruhan hanya koheren jika taruhan itu tidak membuat pemain taruhan kalah jika lawan
mereka memilih dengan bijak. Untuk menjelaskan maknanya, de Finetti
menciptakan eksperimen pikiran untuk menggambarkan perlunya prinsip-prinsip koherensi
dalam membuat pernyataan probabilistik. Dalam skenarionya, ketika seseorang menyatakan
derajat kepercayaan mereka pada sesuatu, seseorang menempatkan taruhan kecil untuk atau
melawan keyakinan itu dan menentukan peluangnya, dengan pemahaman bahwa pihak lain yang
bertaruh kemudian dapat memutuskan sisi taruhan yang mana yang akan dipertaruhkan.
mengambil. Jadi, jika Bob menentukan peluang 3 banding 1 terhadap proposisi A, lawannya Joe
kemudian dapat memilih apakah akan meminta Bob mengambil risiko $ 1 untuk memenangkan $
3 jika proposisi A terbukti benar, atau meminta Bob mengambil risiko $ 3 untuk memenangkan $
1 jika proposisi A tidak benar. Dalam hal ini, adalah mungkin bagi Joe untuk menang atas
Bob. Menurut de Finetti, maka, kasus ini tidak koheren. [10]

Daftar Pustaka
Koentjaraningrat.2009.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta:Rineka Cipta

Henslin,M James.2006.Sosiologi dengan Pendekatan Membumi.Jakarta:Erlangga

Id.wikipedia.com ( Diakses asa 30 November 2014 pukul 21.00 WIB ) Hogg, &
Vaughan. (2011). Social psychology  (6th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Oktaviani, Fadhilah, Subagiyo, dkk (2015). Relativisme Budaya & Tantangannya terhadap


Etika. Mata Kuliah Agama Islam II (Kode Etik Psikologi). Fakultas Psikologi Universitas
Airlangga, Tidak diterbitkan.

Rachels, J. (2004). Filsafat Moral (Terjemahan) Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi). (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Himpsi,


2010 [on-line].Diakses pada 9 September 2015 dari http://himpsi.or.id/index.php/kode-etik-
psikologi-indonesia

Widayat. (2015). Perbedaan Budaya Timur dan Barat.Mata Kuliah Psikologi Ulayat Fakultas
Psikologi Universitas Airlangga. Diajarkan pada 25 September 2015.

1. ^ a b c d e f Richardson, Alan and Bowden, John (1983) Kamus baru teologi


Kristen hal.552-3
2. ^ William Hay (2011) Entri blog tentang subjektivisme
3. ^ Dallmayr, Fred Reinhard (1989) Margin dari wacana politik hal.188
4. ^ Michael Kunzler (2001) Liturgi Gereja hal.3
5. ^ Merlo, Giovanni (2016). "Subyektivisme dan Mental". Dialectica . 70 (3): 311–
342. doi : 10.1111 / 1746-8361.12153 .
6. ^ "subjektivisme moral adalah spesies relativisme moral yang merelatifkan nilai moral
pada subjek individu". Ensiklopedia Filsafat Internet
7. ^ Cox, RT 2001. Aljabar Kemungkinan Inferensi , The Johns Hopkins University
Press. ISBN 978-0801869822
8. ^ Bishop, CM 2007. Pengenalan Pola dan Pembelajaran Mesin . Peloncat. ISBN 978-
0387310732
9. ^ Jaynes, ET 1976. "Metode Bayesian: Latar Belakang Umum", Entropi Maksimum dan
Metode Bayesian dalam Statistik Terapan , oleh JH Justice (ed.). Cambridge: Cambridge
Univ. Tekan. doi : 10.1017 / CBO9780511569678.003
10. ^ a b de Finetti, B. 1974. Teori Probabilitas (2 jilid.), J. Wiley & Sons, Inc., New
York). ISBN 978-0471201427

Anda mungkin juga menyukai