1. Love 2. Altruism
3. Contentment 4. Gratefulness
5. Optimism 6. Patience
7. Husnudzan 8. No Envy/Jealousy
9. Fraternity 10. Trust and Truth
11. Istiqamah 12. Courage
13. Prudence 14. Justice (Just an Fair)
15. Respect 16. Cleanliness
17. Modesty 18. Broad Mindedness
19. Being Joyful 20. Self-Control
1
Pada tahun 1950-an, “Bally” adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil
Presiden pertama Republik Indonesia berminat pada sepatu “Bally” tersebut. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan
yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman itu.
Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah
tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir
hayatnya, sepatu “Bally” idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.
Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu “Bally” itu hingga Bung Hatta wafat masih
tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang wakil presiden. Padahal, jika ingin memanfaatkan
posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh sepatu “Bally”. Misalnya, dengan meminta
tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.
Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang
lain. Bung Hatta memilih jalannya sendiri, yang lebih sulit dan lama dan ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan
orang lain daripada kepentingannya sendiri.
Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari
meminta hadiah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus
berdisiplin dengan tidak berhutang atau bergantung pada orang lain.
Seandainya bangsa Indonesia dapat meneladani karakter m u l i a proklamator kemerdekaan ini, seandainya para
pemimpin dan kita semua mampu meneladani beliau, tidak mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini
menjadi bangsa terbelakang, melarat, dan nista karena tradisi berhutang dan meminta sedekah dari pihak asing.
Selain itu, mungkin dapat disimak dari penuturan Meutia, putri Bung Hatta mengenai kisah sebuah mesin
jahit. Sewaktu ayahnya masih menjadi orang nomor dua di republik ini, ternyata untuk membeli sebuah mesin jahit
pun tidak bisa dilakukan begitu saja. Menurut beliau, ibunya _Rahmi Hatta_ harus menabung sedikit demi sedikit
dengan cara menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta. Namun rencana membeli terpaksa
ditunda, karena tiba-tiba saja pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dari
Rp.100,- menjadi Rp.1,-. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah dikumpulkan Ibu Rahmi menurun dan makin tidak
cukup untuk membeli mesin jahit.
Ketika Bung Hatta pulang dari kantor, Nyonya Rahmi Hatta, istri Bung Hatta, mengeluh; "Aduh, Ayah ?!
Mengapa tidak bilang terlebih dahulu, bahwa akan diadakan pemotongan uang? Ya, uang tabungan kita tidak ada
gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi.”
Keluhan wanita mungkin mempunyai alasan tersendiri. Tetapi seorang pejabat negara seperti Bung Hatta menjawab
dengan tenang; "Yuke, seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu mengenai sanering itu, nanti
pasti hal itu akan kau sampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan
memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik!”, ujar Bung Hatta kepada istrinya menjelaskan;
“Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara
adalah tetap rahasia. Sunggguhpun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada
siapapun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh bangsa. Kita coba menabung lagi, ya?"
Di tengah-tengah masyarakat yang sedang dilanda berbagai penyakit sosial, seperti kemiskinan,
keterbelakangan, kekerasan, korupsi, egoisme, konsumerisme dan sederet penyakit sosial lainnya, mungkin prinsip
yang dipegang Bung Hatta ini patut menjadi teladan agar dapat mengurangi berbagai penyakit sosial yang ada.
Seorang individu, baik sebagai warga biasa ataupun sebagai seorang pejabat negara hendaknya memiliki
kearifan dan lebih mendahulukan kepentingan bersama. Kita yakin bahwa kita dapat keluar dari keterpurukan yang
kita alami selama ini. Tindakan koruptif dan perilaku negatif lainnya, tumbuh subur karena kita hanya berpikir tentang
diri kita sendiri, kita terjebak pada egoisme sempit.
Kesadaran inilah yang perlu kita tumbuhkan pada setiap diri kita masing-masing, khususnya sebagai orangtua
dan juga pendidik. Kita harus memulai mentransfer nilai-nilai mulia ini kepada anak-anak kita sejak dini. Dari kisah
Bung Hatta kita dapat mengambil pelajaran, sesungguhnya kemuliaan hidup tidak harus dicapai dengan cara memiliki
banyak harta kekayaan. Terlebih jika kekayaan tersebut diraih dengan tindakan yang merugikan orang lain. Kemuliaan
hidup hanya dapat diraih dengan tidak medahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan orang lain, jujur dan
selalu berbagi dengan orang lain.
2
Karakter ke-3: CONTENTMENT (Qana’ah)
Tidak dapat dipungkiri saat ini kita hidup dalam era digital yang membuat banyak hal menjadi mudah dan
sarat kemewahan. Kecanggihan teknologi tidak hanya memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya, tetapi
juga telah mengajarkan manusia banyak hal termasuk kecintaannya yang semakin bertambah kepada kehidupan
dunia. Manusia modern saat ini banyak menghabiskan waktunya dengan mengejar dunia, memperbanyak harta
tanpa batas.
Tidak dapat dipungkiri saat ini kita hidup dalam era digital yang membuat banyak hal menjadi mudah dan
sarat kemewahan. Kecanggihan teknologi tidak hanya memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya, tetapi
juga telah mengajarkan manusia banyak hal termasuk kecintaannya yang semakin bertambah kepada kehidupan
dunia. Manusia modern saat ini banyak menghabiskan waktunya dengan mengejar dunia, memperbanyak harta tanpa
batas.
Bila kita perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak berkecukupan bahkan mewah, namun hatinya penuh
diliputi serba kekurangan, keserakahan dan jauh dari bahagia. Nabi SAW bersabda dalam salah satu hadisnya
Rasulullah memanggil orang-orang yang memiliki ketergantungan hati yang berlebihan terhadap dunia seperti itu
dengan sebutan orang yang celaka: "Celaka budak dinar dan budak dirham serta budak khumaishah: jika diberi, ia
senang, jika tidak diberi, ia marah, celaka dan jatuh terjungkir."(Shahih Bukhari, kitab Jihad). Kemudahan yang
didapatkan manusia saat ini, seharusnya tidak membuat mereka terlena dan jatuh dalam kehinaan lantaran hanya
memikirkan urusan harta dan kesenangan dunia semata. Kemudahan yang mereka dapatkan seharusnya membuat
mereka lebih bersyukur. Islam mengajarkan manusia satu nilai yang relevan dan mampu memberikan solusi ketika
manusia dihadapkan pada situasi seperti sekarang ini. Nilai yang dimaksud adalah qana'ah (contenment).
Qana'ah (Contentment) adalah sikap merasa cukup, berlapang dada, dan ridha atas karunia dan rezeki yang diberikan
Allah SWT; jauh dari sifat tidak puas dan selalu merasa kurang serta bebas dari keserakahan.
Seseorang yang memiliki sikap qana'ah akan senantiasa menerima nikmat dan karunia yang telah diberikan
Allah dan mampu memaknainya dengan penuh kerelaan dan rasa syukur. Mereka yang qana'ah, memiliki pendirian
bahwa apa yang diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah. Sikap yang demikian itu mendatangkan
rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak. Apa pun yang dimilikinya tak pernah
melalaikannya dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah
sikap qana'ah-nya dan mempertebal rasa syukurnya. Rasulullah Saw. sendiri adalah seorang yang cukup kaya, tetapi
beliau mampu memilih untuk menjalani hidup dengan sangat sederhana. Sebagian besar hartanya dibelanjakan untuk
membantu sesama yang membutuhkan
Tetapi hendaknya kita tidak salah dalam memahami makna dan arti qana`ah. Rela dan ridha atas pemberian
Allah tidak berarti merasa cukup lalu lesu untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, menerima nasib begitu saja, tidak
melakukan ikhtiar, lemah dan tidak bersemangat dalam mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi, mati keinginan
untuk mencapai kemajuan moril dan materil. Justru orang yang qana'ah itu selalu giat bekerja dan berusaha, namun
apabila hasilnya tidak sesuai dengan harapan, ia akan tetap ridha menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada
Allah SWT.
Sikap qana'ah harus senantiasa dipupuk dalam diri kita dan penting untuk disampaikan kepada anak-anak
kita. Anak-anak perlu belajar bagaimana menerima segala pemberian Allah dengan penuh kerelaan dan lapang dada.
Anak-anak perlu belajar mengendalikan diri dari sikap tamak, tidak merasa cukup dengan yang sedikit, tidak puas
dengan yang banyak, senantiasa dalam keadaan tidak puas dan selalu berkeluh kesah. Anak-anak perlu belajar bahwa
salah satu ciri manusia yang qanaah adalah mereka yang berdoa kepada Allah ketika membutuhkan sesuatu lalu
berikhtiar, bahwa meminta bantuan dan menggantungkan diri hanya kepada Allah merupakan bentuk pemuliaan diri.
Bahkan anak-anak pun perlu belajar bahwa sikap qana`ah, -baik bagi orang kaya ataupun miskin, dalam
kondisi senang maupun susah, bahagia dan sedih-, membuat manusia dapat menikmati hidup dengan kepuasan hati,
ketentraman batin yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan. (RED)
3
Memang, keinginan untuk berterima kasih adalah merupakan fitrah Allah atas manusia. Ketika seseorang
mendapatkan anugerah atau pemberian dari orang lain pasti untuk ukuran orang normal ingin mengucapkan terima
kasih bahkan tidak menutup kemungkinan dari lubuk hatinya yang paling dalam terbersit keinginan untuk membalas
pemberian tersebut lebih dari sekedar ucapan terima kasih.
Mengucapkan terima kasih adalah salah satu cara kita untuk mendapatkan lebih banyak. Jika kita berterima kasih
kepada Allah atau bersyukur, Allah akan menambah nikmat kita. Jika kita berterima kasih kepada orang yang sudah
mau berbagi, mereka akan senang untuk berbagi kembali dengan kita.
Dalam konsep law of attraction , berterima kasih adalah cara kita untuk membuka penerimaan kita terhadap
apa yang kita tarik. Terima kasih akan mempererat silaturahim yang menurut hadits akan melapangkan rezeki kita.
Berterima kasih akan membuat hati lebih enjoy dan lebih ceria yang akan memberikan motivasi tambahan dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Tetapi disadari atau tidak, mungkin sebagian besar dari kita salah satu fitrahnya sudah mulai meredup. Kita
sangat bersemangat untuk meminta, tetapi setelah hajat kita terpenuhi, terkadang kita lupa untuk berterima kasih.
Tuhan hanya terkenang manakala kita mengalami kegagalan, dengan mengatakan “ini sudah takdirNya”!.
Sehingga gambaran Tuhan bagi manusia menjadi sangat buruk karena hanya berperan menentukan hal yang
buruk. Sementara ketika kita mengalami kesuksesan dalam hidup, kita lupa terhadap peranan Tuhan, kita katakan
“bahwa ini semua karena kerja keras kita”.
Demikian juga rasa terima kasih kita terhadap sesama manusa. berterima kasih kepada manusia adalah salah satu
bentuk berterima kasih kepada Allah (bersyukur). Sbagaimana dikatakan dalam sebuah hadits: “Yang paling pandai
bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling pandai bersyukur kepada manusia.” (HR. Ath-Thabrani)
Sudahkan kita berterima kasih hari ini? Berterima kasih kepada kedua orang tua kita .Berterima kasih kepada
istri kita yang telah menyiapkan sarapan untuk kita. Berterima kasih kepada suami kita yang sudah memberikan
nafkah kepada kita. Berterima kasih kepada anak kita yang sudah memberikan keceriaan untuk kita. Berterima kasih
kepada guru dari anak-anak kita yang sudah mengajarkan banyak hal kepada anak-anak kita. Berterima kasih kepada
sopir yang sudah mengantarkan kita. Terima kasih kepada pembantu yang sudah menyelesaikan urusan rumah kita.
Terima kasih kepada rekan, bawahan, serta atasan yang membuat kerja kita lancar. Dan banyak orang yang bisa kita
berikan ucpan terima kasih kita.
Kita percaya, semakin banyak kita berterima kasih, akan semakin banyak kita menerima. Tanamkanlah
kepada anak-anak kita agar selalu menerima apa yang sudah diraihnya dengan penuh terima kasih(syukur).
4
Aspek penting untuk menumbuhkan sikap optimis, adalah bahwa kita memiliki kehendak bebas, artinya, kita
memiliki kendali atas keputusan kita dan terhadap situasinya. Setiap kali kita dihadapkan dengan situasi yang buruk,
kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa kita dapat mengubah situasi menjadi lebih baik. Sebagai Muslim, kita
memiliki ayat Al-Qur'an yang mengatakan bahwa Allah tidak akan mengubah situasi sebuah umat sebelum umat itu
mengajukan upaya terbaik mereka untuk mengubahnya sendiri.
Fokus kepada masa depan menjadi aspek penting dalam menumbuhkan sikap optimis. Seorang individu yang optimis
akan belajar dari kegagalan masa lalu, dan mengubahnya menjadi lebih baik. Rasa optimis harus menjadi pendorong
utama ke arah kemajuan. Perasaan ini akan melahirkan semangat ingin maju dan ingin sukses, menggerakkan diri
untuk berusaha, menimbulkan daya tahan dan istiqamah dalam menjalani kehidupan yang lebih baik.
Aspek penting lainnya dalam membudayakan sikap optimisme adalah penetapan tujuan. Sering kali, kita
melihat tugas di depan adalah terlalu besar, terlalu rumit, dan terlalu menantang. Untuk alasan ini kita mulai
kehilangan harapan, kehilangan keyakinan bahwa kita dapat berhasil dalam mengerjakan tugas ini, dan kita mulai
menjadi pesimis. Di sinilah menetapkan tujuan menjadi sangat penting. Dengan menetapkan tujuan yang spesifik dan
fokus pada satu tujuan tertentu akan memudahkan kita untuk menyelesaikannya. Tindakan penetapan tujuan akan
meningkatkan harapan kita mengenai kemungkinan untuk bisa menyelesaikan tugas, sehingga meningkatkan
optimisme kita. Orang yang berhasil dalam kehidupan, selalu memulai usahanya dengan rasa optimis pada diri sendiri,
semangat berdikari dan berserah diri kepada Allah Ta'ala. Seburuk apapun situasinya, ia masih menyimpan harapan
akan karunia Allah yang begitu besar.
Ia yakin bahwa usahanya yang baik tidak akan disia-siakan oleh Allah Taala. Seperti dalam salah satu firmanNya:
“.....Sesungguhnya Allah tidak menghilangkan pahala orang-orang yang berusaha memperbaiki amalannya”. (Surah
At-Taubah Ayat 120)
Sebagai kesimpulan, menumbuhkan rasa optimis sangat penting agar kita dapat maju dan mencapai masa
depan yang lebih baik. Beberapa cara yang kita bisa lakukan untuk mempupuk rasa optimis, diantaranya dengan
menumbuhkan keyakinan bahwa tindakan kita dapat mengubah situasi menjadi lebih baik, fokus pada masa depan,
dan akhirnya menetapkan tujuan yang spesifik dan dapat dicapai untuk mengurangi tugas yang mungkin tampak
mustahil menjadi tugas-tugas yang lebih kecil yang jauh lebih mudah dilakukan. Dengan cara ini, kita dapat
menumbuhkan sikap optimis, meningkatkan harapan kita di masa depan, dan mencapai kemajuan. (kml/mrn)
8
dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya, hendaklah ia menyambungkan persaudaraan” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Maka jika di keluarga, tempat kerja atau lingkungan dimana kita berada , ada beberapa orang yang sudah
tidak saling menegur, sudah saling menjauhi, apalagi kalau di belakang saling memfitnah, maka tugas kita adalah
mendamaikan mereka yang berselisih. Hal ini perlu dilakukan agar kita tidak dijauhkan dari rahmat Allah Swt.
Ukhuwah atau persaudaraan tidak cukup hanya sampai pada jargon semata. Persaudaraan harus betul-betul dipupuk
dengan keikhlasan dalam diri kita masing-masing lalu diwujudkan secara nyata dalam keseharian. Seorang mukmin
tidak boleh dan tidak layak jika hanya mementingkan diri sendiri (egois) dan abai terhadap nasib dan kesulitan
saudaranya. Rasulullah menegaskan mengenai hal ini “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sehingga kalian
mencintai saudaranya sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri.”
Saudara adalah sahabat kita, tempat kita berbagi suka maupun duka. Ibarat satu tubuh, jika salah satu
anggota tubuh kita ada yang sakit maka anggota tubuh yang lain akan merasakan sakitnya. Ibarat satu bangunan yang
saling menguatkan satu sama lain. Dalam bait puisinya Gibran mengungkapkan:
Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenal pula musim pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu hingga kau senantiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh
waktu?
Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
Karena dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.
Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria berbagi kebahagiaan.
Karena dalam titik-titik kecil embun pagi, hati manusia menemukan fajar jati dan gairah segar kehidupan.
Begitulah gambaran persaudaraan yang seharusnya kita wujudkan. Persaudaraan adalah indikator keimanan
seseorang. (Maran Sutarya)
10
Karakter ke-12: COURAGE
Aristoteles mengatakan, “Kemampuan menaklukkan rasa takut merupakan awal dari kebijaksanaan.”
Artinya, orang yang mempunyai keberanian akan mampu bertindak bijaksana tanpa dibayangi ketakutan-ketakutan
yang sebenarnya merupakan halusinasi belaka. Orang-orang yang mempunyai keberanian akan sanggup
menghidupkan mimpi-mimpi dan mengubah kehidupan pribadi sekaligus orang-orang di sekitarnya.
Keberanian Nabi Muhammad Saw menghadapi berbagai intimidasi dan kesulitan demi sebuah tatanan dunia baru,
keberanian Siddharta meninggalkan gemerlapnya istana dan hidup dengan apa yang didapatnya untuk mencari
kebenaran sejati hingga keberanian Wright bersaudara dalam penerbangan untuk mewujudkan sesuatu yang
dianggap mustahil pada zamannya.
Bagaimana tokoh-tokoh di atas dapat memiliki keberanian yang begitu besar? Marilyn King mengatakan
bahwa keberanian kita secara garis besar dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu visi ( vision), tindakan nyata (action), dan
kegairahan dan cinta (passion). Ketiga hal tersebut mampu mengatasi rasa khawatir, ketakutan, dan memudahkan kita
meraih impian-impian.
Jika ketiga faktor tersebut dapat kita jalankan dengan konsisten dan dengan tujuan yang jelas, kita akan
mampu melakukan suatu perubahan yang berarti dalam hidup kita. Adanya perubahan menjadikan diri kita berani
membuat kemajuan yang lebih besar. Anthony J. D'Angelo menegaskan, “Don't fear change, embrace it. – Jangan
pernah takut pada perubahan, tetapi peluklah ia erat.” Hidup tanpa keberanian adalah hidup yang sia-sia. Hidup dan
keberanian tak terpisahkan. Hidup adalah sebuah pilihan, maka beranilah memilih. Keberanian adalah inti dari
keimanan.
Dalam terminologi Islam, keberanian disebut dengan syaja'ah. Menurut Raid Abdul Hadi dalam buku Mamarat al-Haq,
setidak-tidaknya ada tujuh faktor yang membuat seorang mukmin bersikap syaja'ah.
Pertama, rasa takut hanya kepada Allah Swt. Jika seseorang hanya takut kepada Allah, ia tidak akan takut
kepada siapa pun, selama yang dilakukannya adalah kebenaran.
Kedua, lebih mencintai akhirat daripada dunia. Bagi seorang muslim yang berjiwa syaja'ah dunia bukanlah
tujuan akhir. Dunia adalah jembatan menuju akhirat.
Ketiga, tidak takut mati. Bagi kebanyakan orang, kematian menjadi sesuatu yang menakutkan. Namun tidak
demikian bagi seorang muslim yang sentiasa bersikap syaja'ah dalam melakukan segala tindakan. Baginya kematian
adalah sebuah kepastian.
Keempat, tidak ragu-ragu dalam bertindak, apabila seseorang ragu-ragu dengan kebenaran yang dia
perjuangkan, tentu dia tidak akan sanggup menghadapi segala risiko. Tetapi, jika ia yakin dengan kebenaran yang
diperjuangkannya maka muncullah keberanian. Rasulullah Saw mengajarkan: "Tinggalkanlah apa-apa yang
meragukanmu,menuju apa-apa yang tidak meragukanmu." (HR Termizi dan Nasa'i)
Kelima, tidak mengutamakan kekuatan material. Seorang muslim memang meyakini bahwa kekuatan harta
benda itu diperlukan dalam setiap perjuangan menegakkan kebenaran, namun material bukanlah segala-galanya.
Sebaliknya Allah Swt juga yang akan menentukan segalanya. Jumlah yang banyak tidak menjamin sebuah
kemenangan, sebagaimana jumlah yang sedikit tidak selalu berarti kekalahan.
Keenam, tawakal (berserah diri) dan yakin akan pertolongan Allah. Orang-orang yang memperjuangkan
kebenaran tidak pernah merasa takut akan hasil yang tidak memuaskan sebab ia selalu bertawakal kepada Allah
setelah berusaha dengan maksimal.
Ketujuh, pendidikan merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan sikap syaja'ah seorang muslim,
pendidikan dapat dimulai dari keluarga, sekolah, masjid maupun dari lingkungan. Semoga sikap syaja'ah ini bukan
sekadar kenangan yang tercatat dalam sejarah semata, tetapi menjadi bagian dari sifat kita sebagai seorang muslim
sejati. (mrn)
11
Tidak semua orang memaknai kehidupan dengan bijaksana, justru yang acapkali terjadi adalah memaknai hidup
dengan cara yang tidak bijaksana dan tidak sehat. Kita sering menjumpai ketika seseorang berhadapan dengan
kesulitan hidup, mereka lebih memilih untuk menyakiti diri sebagai cara potong kompas atau menggerutu dan
komplain kepada Tuhan . Tentu masih terngiang dalam ingatan kita, bagaimana seorang siswa bangga setelah
membunuh siswa lainnya dalam sebuah tawuran di Jakarta, atau rangkaian pembunuhan massal yang terjadi di
Amerika, kejadian ini menunjukkan keadan psikologis seseorang yang tidak matang dan jauh dari sikap bijaksana.
Berbagai alasan yang menjadi penyebab, mulai dari masalah keluarga, perasaan terasing serta kehilangan kasih sayang
dan cinta. Padahal kasih sayang dan cinta adalah merupakan kebutuhan dasar manusia dan merupakan inti dari semua
kebijaksanaan. “Manusia hidup, lalu menderita, kemudian mati. Satu-satunya hal yang tetap bertahan adalah cinta.”
(100 cerita bijak NATO)
Sangat tragis jika seseorang harus berkubang dalam kesedihan dengan memeluk bantal kemarahan. Akan
semakin banyak energi yang dihabiskan untuk marah, berkeluh kesah, menyendiri dalam kerendahan diri.Kita tahu
bahwa semua yang hidup, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan semua mengalami persoalan hidup, namun yang
membedakan adalah cara menghadapi persoalan tersebut. Makna kebijaksanaan membedakan seseorang dari yang
lainnya. Orang bijaksana akan menari dan merayakan kesulitan sebagai waktu pertumbuhan. Tarian kebahagiaan tidak
saja pada masa senang tapi di masa-masa sulit; tarian dan sukacita perayaan layak untuk dilakukan sebagai tanda
adanya kekuatan Tuhan sebagai sumber kebahagiaan.
Betapa pentingnya memaknai segala sesuatu dengan kebijaksanaan, tapi lebih penting lagi adalah bagaimana
kebijaksanaan tersebut terlebih dahulu menjadi bagian dari hidup kita. Kebijaksanaan datang dari perenungan dan
tinggal di dalam firmanNya. Berdirilah diatas kebijaksanaanNya bukan kebijaksanaan manusia atau kebijaksanaan
dunia.
Sebagaimana telah disinggung di awal, selain kebijaksanaan, prudence juga dapat dimaknai sebagai sikap
teliti dan hemat. Dalam tindakan praksis, teliti dan hemat adalah merupakan bagian dari kebijaksanaan. Keduanya
merupakan sebuah nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Mengenai ketelitian Allah berfirman: “ Wahai
orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk
menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini -
dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya) - sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah
lakukan.”(Al-Hujrat:6)
Demikian juga dengan sikap hemat Alah berfirman: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat
akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
sesuatu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya. (Al-Isra:26).
Kondisi alam yang tidak bersahabat, terjadinya pencemaran udara, efek rumah kaca, pemanasan global dan isu-isu lain
tentang lingkungan - membawa dampak pada kehidupan sekarang ini. Setiap individu dituntut untuk menggunakan
energi dengan hemat dan energi yang ramah lingkungan. Dalam salah satu hadits rasulullah bersabda:"Allah akan
memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakannya dengan pertengahan, dan
dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari dia miskin dan membutuhkannya." (HR. Muslim dan Ahmad).
Hemat adalah pola hidup pertengahan. Rasulullah pernah berdialog dengan Jabir, "Mengapa engkau berlebih-
lebihan?" Jabir menjawab, "Apakah di dalam wudhu tidak boleh berlebih-lebihan, wahai Rasulullah?" Rasulullah
12
menjawab, "Ya janganlah engkau berlebih-lebihan ketika wudhu meskipun engkau berada pada air sungai yang
mengalir."
Sebagai pendidik, tentu kita memiliki tanggun jawab yang besar untuk menanamkan kesadaran pada anak
didik untuk melakukan gerakan hemat energi secara konkrit. Kita dapat memulai dari pembiasaan menghemat air
wudhu, menghemat penggunaan listrik, penggunaan kertas dan lain-lain. Dengan demikian kita berharap dapat
memberikan kontribusi bagi generasi berikutnya – kehidupan yang lebih baik.
13
sekiranya yang mencuri itu yang berpangkat tinggi, lalu mereka dibiarkan saja.Tetapi jika yang mencuri itu mereka
yang lemah, lalu dengan segera dijatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah yang aku di dalam kekuasaan-Nya,
kalaulah Fatimah binti Muhammad (anak nabi Saw yang sangat dikasihi) mencuri, niscaya aku sendiri yang akan
memotong tangannya.”
Inilah sebagian kecil contoh berkenaan dengan keadilan Islam yang tidak pandang bulu, meskipun terhadap
diri sendiri ataupun keluarga sendiri, kita tetap mesti bersikap adil, sekalipun terhadap orang yang kita benci. “Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa“. (Al-Maidah: 8)
Sikap adil harus menjadi kesadaran bersama (collective consciousness), berfungsi sebagai pedoman hidup.
Model pembinaannya harus dilakukan secara komprehensif dan multi-approaches, mulai dari model pengembangan
moral dari dimensi kognitif, afektif, dan juga behavioristik.
Untuk mewujudkan kesadaran diri tersebut, komponen pertama yang harus berkesadaran adalah komponen
keluarga, selanjutnya amanat besar itu dijalankan oleh komponen pendidik yang didukung secara sinergis oleh
lingkungan dan masyarakat. Sebagaimana ajaran Ki Hajar Dewantara, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun karsa, Tut wuri handayani,” artinya, di depan seorang pendidik harus memberikan teladan atau contoh, i
tengah atau diantara murid seorang guru harus menciptakan prakarsa atau ide dan dari belakang seorang guru harus
memberikan dorongan atau arahan.
Salah satu keunggulan metode suri tauladan (modelling) adalah untuk menumbuhkan benih-benih kesadaran
yang notabene sudah dimiliki oleh setiap insan pada fitrahnya. Karena pada dasarnya setiap manusia dilahirkan
dengan membawa fitrah insaniyah-nya masing-masing, yakni potensi dan bakat yang dianugerahkan langsung oleh
Tuhan sejak masih dalam kandungan ibu. Maka tugas orangtua, guru, dan masyarakat di sekitarnya adalah agar fitrah
insaniyah tersebut aktif kembali dan tereksplorasi dengan baik dan optimal. (red)
14
bisa hidup rukun dan damai. Keberagaman itu merupakan potensi yang dapat menjadikan negara ini menjadi bangsa
besar. Itu sebabnya falsafah atau semboyan bangsa ini adalah “Bhinnaka Tunggal Ika”. Meskipun berbeda-beda, tetap
memiliki tujuan yang sama dan saling memperkuat antara satu dengan yang lainnya.
Sementara itu, Islam secara etimologi diartikan sebagai “kedamaian”, “selamat” dan “penyerahan diri”.
Artinya di dalam Islam tidak ada ajaran kekerasan. Islam sangat menganjurkan untuk berbuat baik kepada semua
manusia, tidak memandang agama, ras dan juga suku. Agama Islam diturunkan sebagai rahmat untuk semua alam.
Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia adalah masyarakat yang sangat santun dan sangat toleran terhadap
keberagaman ini. Jarang sekali terjadi konflik horisontal yang dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan budaya.
Meskipun dalam banyak hal ada perbedaan, semuanya dapat menerima dan saling menghormati, saling menghargai
satu dengan yang lainya. Bahkan tidak jarang dapat saling membantu dalam pembangunan bangsa ini. Semangat inilah
yang perlu kita pupuk, sehingga konflik yang belakangan sering terjadi dapat segera diatasi.
Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang sangat memperhatikan hubungan antara manusia dengan manusia
yang lain. Karena itu, dalam Islam sikap saling menghormati sangat dianjurkan untuk membina ukhuwah
(persaudaraan).
Di antara sikap saling menghormati, Islam memprioritaskan agar kita menghormati kedua orangtua. Kita dianjurkan
menghormati orang tua dengan cara berterima kasih kepadanya, memelihara tutur kata saat berbicara dengan
keduanya, mendoakan keduanya, memuliakan teman-temannya, dan membangun silaturahim terhadap orang-orang
yang pernah bersamanya.
Pada level berikutnya, kita juga dianjurkan menghormati guru, teman, dan juga tetangga. Sehingga demikian
pentingnya sikap saling menghormati ini, Islam sekali lagi menegaskan, bahwa ketika kita mendapatkan
penghormatan dari orang lain, kita harus membalasnya dengan penghormatan yang lebih baik.
”Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu
dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu.” (An-Nisa:86)
Dengan saling menghormati, membawa kita pada prilaku dan moral yang lebih tinggi. “Respect for ourselves guides
our morals; respect for others guides our manners” (Laurence Sterne) (red)
15
hari sungai-sungai di kota besar khususnya, dapat menghasilkan berton-ton sampah. Fenomena ini menunjukkan
betapa kesadaran masyarakat akan kebersihan sangat memprihatinkan.
Akibatnya, kondisi bumi mulai tidak nyaman lagi untuk disinggahi. Berbagai bencana menghampiri kita, banjir, longsor,
dan pemanasan global. Daniel Murdiyasro, peneliti senior pada Centre for International Forestry Research (Cifor)
menjelaskan bencana di Indonesia mencapai 2.800 kali per dekade mulai 1990-an. Frekuensi tersebut jauh meningkat
jika dibandingkan pada 1940-an yang hanya terjadi 100 kali per dekade.
Dalam keadaan darurat seperti ini, setiap gagasan yang memerhatikan lingkungan mendesak dipraksiskan. Sebagai
seorang muslim, harus memahami bahwa sesungguhnya teologi Islam jika dijalankan dengan konsisten akan mampu
merespons persoalan lingkungan dan permasalahan global. Karenanya, usaha mewujudkan teologi yang berkesadaran
bumi menjadi keharusan.
Potensi tersebut menjadikan agama sebagai satu-satunya ruang yang sangat strategis untuk mewujudkan
kesadaran bumi di tengah perubahan iklim yang kian kritis ini. Sebuah kesadaran yang memandang bumi bukan
sebagai objek an sich, tetapi sebagai partner untuk menjaga kelestarian hidup sebagai sesama makhluk-Nya. Isu
lingkungan akan menjadi tantangan serius bagi kehidupan manusia di masa yang akan datang. Sebagai keyakinan yang
terus hadir dalam setiap zaman, agama harus memberikan ruang kesadaran untuk menghargai bumi.
Sebagai konsekuensi fungsi agama untuk manusia, agama selalu dikreasikan untuk menopang segala upaya
demi keberlangsungan hidup umat manusia. Perubahan iklim yang kini mengancam kehidupan merupakan akibat
manusia, karenanya mesti menjadi perhatian khusus teologi. Agama yang baik adalah agama yang menjaga dan
melestarikan, bukan menghancurkan dan memusnahkan kemanusiaan. (Hans Kung)
Sebaliknya, sebagaimana dijelaskan Stephen Sulaiman Schwartz bahwa jika agama tidak memberikan kontribusi bagi
kehidupan manusia, despotik, dan tak acuh terhadap kehidupan, tidak menutup kemungkinan akan lenyap ditelan
sejarah manusia. Corak teologi yang hanya mengurus Tuhan an sich dan melupakan persoalan bumi tidak akan
bertahan lama. Masa depan agama akan ditentukan sejauh mana ia bermanfaat untuk kehidupan manusia di bumi.
Penempatan manusia sebagai khalifah fil alardhi di dalam Islam sesungguhnya bukan berarti bumi berada
dalam kuasa manusia secara mutlak untuk bebas dieksploitasi.Tetapi, sebagai wakil Tuhan di bumi, manusia harus
menjaga kelestarian alam. Keterciptaan manusia dari tanah memerankan bumi laiknya “ibu” yang melahirkan Adam
hingga beranak-pinak. Sebagai “ibu”, ia harus dirawat dan dikasihi, bukan dieksploitasi tanpa moral dan etika. Itulah
tugas sejati kekhilafahan manusia atas bumi. Bumi dan seisinya bukan dzat mati dan tanpa spiritualitas. Tuhan
berkalikali menjelaskan bahwa bumi dan seisinya senantiasa memuji-Nya, siang dan malam. ( sabbaha lillaahi maa
fissamaawaati wal-ardhi).
Dengan demikian, agama tidak melulu harus melangit dan melupakan urusan bumi yang mengancam
keberlangsungan umat manusia. Barangsiapa menyayangi makhluk yang ada di bumi niscaya makhluk langit akan
menyayanginya-man yarhamu man filardhi yarhamu man fissama. Berbagai ayat dan hadis demikian jelas
menegaskan pentingnya kebersihan. Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang yang
memperhatikan kebersihan. Menjaga kebersihan adalah sebuah ibadah yang tak kalah penting dengan ibadah-ibadah
yang lainnya. Bahkan rasulullah saw mengajarkan bahwa dengan hanya sekedar menyingkirkan duri dari jalanan, Allah
akan sangat berterima kasih terhadap orang tersebut dengan mengampuni dosa-dosanya. Jika orang yang tidak
bersyukur, digategorikan sebagai kufur nikmat, mungkin bisa juga orang yang tidak peduli dengan kebersihan
lingkungannya dikategorikan sebagai kufur ekologis. Na’udzubillah.
16
Modesty (Karakter Ke-17)
Rendah hati, sopan, dan sederhana merupakan nilai mendasar yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Ketiga
sifat ini sangat relevan untuk dikemukakan, terlebih pada momentum sekarang ini-dimana sikap rendah hati, sopan
dan sederhana sudah tidak mendapatkan tempat pada sebagian besar individu dalam masyarakat kita. Gejala ini
bukan hanya terjadi di kalangan masyarakat bawah melainkan para elite pun dengan tanpa malu menunjukkan sikap
arogansi, ketidak sopanan dalam bertutur dan bersikap keadaban publik telah diabaikan, serta kemewahan yang
didapat dari keserakahan dengan menghalalkan segala cara. Sikap seperti inilah yang juga mendorong maraknya
tindakan korupsi di negeri ini. Penghargaan terhadap seseorang tidak dipandang dari kapasitas intelektual dan moral,
tetapi sebanyak apa ia memiliki harta dan kekayaan.
Jika pola hidup seperti ini yang menjadi acuan, maka kita harus segera berpikir ulang tentang apa yang terjadi saat ini.
Pola hidup seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan niali kebangsaan kita. Mungkin tidak ada
salahnya jika kita merenungkan satu pepatah lama “ Hiduplah seperti padi-semakin berisi ia semakin menunduk”.
Dalam konsep Islam sikap ini disebut dengan tawadhu atau tadharru yang berarti rendah hati. Kerendahan
hati merupakan salah satu indikator dari tingginya kecerdasan spiritual seseorang. Seorang yang tidak bisa
menunjukkan sikap atau karakter rendah hati, berarti belum mencapai kedamaian dengan dirinya.
“Adapun hamba-hamba Tuhan (Allah) yang Maha Pengasih itua dalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan
rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka
mengucapkan,
Salam.”(al-Furqan: 63)
Pribadi yang rendah hati biasanya justru memandang bahwa orang lain sebagai ciptaan Tuhan memiliki
keunikan dan keistimewaan, sehingga dia senantiasa membuat orang lain merasa penting. Karena sesungguhnya
setiap pribadi adalah istimewa. Setiap orang adalah spesial, unik, dan berhak untuk dihargai.
Orang yang rendah hati akan membahagiakan hati sesama. Jika ia seorang bapak atau seorang ibu, ia akan
membahagiakan keluarganya dengan tulus. Jika ia seorang guru, ia akan selalu mencintai dan merindukan anak
didiknya . Jika ia seorang pemimpin, tentu akan menginspirasi hati rakyatnya.
Salah satu ciri kerendahan hati adalah mau mendengar pendapat, saran dan menerima kritik dari orang lain.
Sering dikatakan bahwa Tuhan memberi kita dua buah telinga dan satu mulut, yang dimaksudkan agar kita lebih
banyak mendengar daripada berbicara. Kadang-kadang hanya dengan mendengarkan saja kita dapat menguatkan
orang lain yang sedang dilanda kesedihan atau kesulitan. Dengan hanya mendengar, kita dapat memecahkan sebagian
besar masalah yang kita hadapi. Mendengar juga berarti mau membuka diri dan menerima, suatu sifat yang
menggambarkan kerelaan untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain maupun diri kita sendiri.
Ciri lain orang yang rendah hati adalah senantiasa berani mengakui kesalahan dan meminta maaf jika
melakukan kesalahan atau menyinggung perasaan orang lain. “Harta tidak akan berkurang karena sedekah, dan
Allah tidak akan menambahkan kepada para hamba-Nya yang pemaaf kecuali kemuliaan, dan tidak seorang pun
merendahkan hatinya kecuali Allah akan memuliakannya”. (HR Muslim)
Orang yang rendah hati adalah orang yang sangat peduli dengan perasaan orang lain. Rendah hati pada
hakekatnya bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari
setiap bentuk keangkuhan. Jika ia diberikan nikmat oleh Allah Swt ia tidak gelap mata dan terlena dengan
17
kekayaannya. Ia sadar semua pemberianNya harus disyukuri dan digunakan semaksimal mungkin untuk kebaikan. Jika
ia seorang yang diberi ilmu ia tidak sombong dengan ilmunya. Jika ia orang yang berpangkat, maka kepangkatan dan
jabatannya tidak lantas membuatnya merendahkan orang lain.
Semua yang melekat pada diri manusia tidak ada yang sempurna, tidak ada yang kekal dan tidak ada yang tidak
berkurang. Orang yang kuat suatu saat akan lemah. Orang kaya kemungkinan akan jatuh miskin. Orang sehat tidak ada
jaminan kalau ia akan sehat selamanya.
Pada hakekatnya semua yang melekat pada diri manusia, suatu saat akan berubah dan lambat laun akan
binasa. Maka dari itu seorang mukmin sejati tidak mungkin menyombongkan diri dihadapan orang lain. Ia menyadari
sepenuhnya bahwa hanya Allah lah yang berhak menyombongkan diri. Orang yang sombong pada hakekatnya ia telah
memposisikan dirinya melawan kemaha Agungan dan keMaha sempurnan Allah.
Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai
pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, seta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa
syukur dan ikhlas di dalam mengemban hidup ini.
Rendah hati bukan berarti merendahkan diri dan menutup diri melainkan secara aktif mendengarkan,
berbagi, dan berempati sehingga terjalin hubungan harmonis antar sesama.
18
Berwawasan erat kaitannya dengan banyaknya kuantitas pengetahuan yang seseorang miliki. Tentang hal ini
mungkin kita dapat belajar dari beberapa tokoh inspiratif seperti Leon Trotsky, ia disindir dan dikritik karena ia
membawa buku berpeti-peti ke tempat pembuangan yang pertama di Alma Ata. Kita juga barangkali belum lupa
dengan peti-peti buku yang mengiringi Bung Hatta ke tempat pembuangannya. Demikian juga dengan Tan Malaka
dalam pelariannya yang tidak lepas dari buku. Menurutnya, bagi seseroang yang ingin menyebarkan dan
menyumbangkan pemikirannya, baik dengan pena maupun dengan lisan, perlulah referensi yang cukup. Ia
mengilustrasikan seperti seorang tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti semen, batu tembok
dan lain-lain tidak ada. Buku-buku tersebut tentulah besar faedahnya sebagai sumber pengetahuan.
Dalam alam pikiran, kita mesti mendoktirn sekuat mungkin tentang komitmen kita kepada ilmu
pengetahuan. Yang sebenarnya agama sendiri telah menegaskan mengenai hal ini, bahwa ummat Islam atau manusia
diperintahkan pertama kali untuk membaca sebagaimana dalam surat al Alaq yang turun pertama (bulan ramadhan)
kepada nabi Muhammad pada waktu itu, ratusan tahun lalu (terhitung semenjak 22 Desember 609 M. Jadi kita
bayangkan tuhan memberikan buku (kitab) kepada manusia. Pasti, kewajiban membacanya adalah melekat di
dalamnya. Begitu juga kitab-kitab agama lainnya--pada prinsipnya mereka tidak menolak berkembangnya
pengetahuan melalui buku-buku bacaan. Karena itu, kebaranian menempatkan tradisi membaca sebagai bagian dari
manifestasi keimanan adalah sebuah keniscayaan bagi kebangkitan ummat manusia yang akan menjadi rahmat bagi
seru sekalian alam.
Dengan membacalah seseorang akan memiliki wawasan dan pandangan yang luas. Ia memiliki keterbukaan,
demokratis, siap menerima perbedaan, siap mengkritik dan dikritik serta siap dalam menerima hal-hal yang baru.
Akan tetapi rasanya timpang bila kita memiliki wawasan yang luas, namun dalam aplikasi keseharian kita
sangat rendah. Hal seperti itulah barangkali yang biasa kita sebut NATO (No Action Talk Only). Memiliki wawasan yang
luas harus ditopang dengan tindakan inisiatif yang dapat melahirkan ide-ide hebat dari diri kita. Karena Ide biasa
muncul ketika kita diam, dan Ide Hebat muncul ketika kita bergerak-alharokatu barokah –bergerak itu akan membawa
pada keberkahan.
Maka tidak ada salahnya apabila mulai sekarang juga, detik ini, dimulai pada diri kita, bergeraklah karena
dengan bergerak ide-ide hebat akan muncul dan Berinisiatiflah untuk senantiasa mengarahkan diri pada suatu hal
yang lebih baik dari sebelumnya.
19
Bisakah engkau menunjukan kepdaku di mana letaknya samudera yang luas. Sekian lama aku mencarinya tapi selama
itu pula aku tidak menemukannya?".
Ikan tua itu balik bertanya, "Hai ikan muda, kenapa engkau mencari-cari samudera, bukankah sekarang engkau sedang
berada di tengah-tengah samudera?". "Mana mungkin, ini hanyalah air. Aku berada di dalam air. Sejak dilahirkan aku
hidup di dalam air seperti ini!". Dengan penuh kecewa, ikan muda tersebut pergi kembali untuk mencari-cari
samudera.
Ikan muda tersebut hakikatnya cerminan diri kita, dan samudera yang luas adalah cerminan kebahagiaan.
Siang-malam kita mencari kebahagiaan, tapi sepanjang siang dan malam itu pula kita gagal mendapatkannya. Padahal,
kebahagiaan itu tidak perlu kita cari jauh-jauh. Kebahagiaan itu ada di dekat kita. Bahkan, kita berada di dalamnya.
Yang jadi masalah kita tidak sadar dan tidak tahu apa yang namanya kebahagiaan tersebut; di mana letaknya dan
bagaimana cara mendapatkannya. Seringkali kita menganggap bahwa kebahagiaan berasal dari hal-hal di luar diri kita;
harta, pangkat, jabatan, pengaruh, pencapaian prestasi akademik, atau terpenuhinya segala keinginan. Padahal bukan
itu sumber kebahagiaan yang utama, Sumber kebahagiaan ada pada diri, ada pada relung-relung hati yang terdalam,
dan pada cara pandang kita terhadap dunia.
Dalam persepsi umum, kesuksesan menyebabkan kebahagiaan mutlak. Padahal menurut Dr Paul Pearsall,
dalam penelitiannya menemukan orang yang justru menderita setelah memperoleh sukses. Dr Pearsall membedakan
antara sukses yang beracun, toxic success, dan sukses yang manis, sweet success.
Dengan demikian kebahagiaan bukan ditentukan oleh sukses atau tidaknya seseorang, melainkan bagaimana kita
menyikapi dan merespon sesuatu yang terjadi terhadap diri kita baik berupa musibah ataupun anugerah. Sebagai
contoh ketika kita dihadapkan pada satu kondisi yang sulit, katakanlah ketika kita terjebak macet. Macet adalah
realitas objektif yang sulit sekali untuk dihindari, tetapi kita masih punya pilihan secara subjektif untuk menyikapi
terhadap kemacetan tersebut. Pilihannya adalah kita bisa memilih untuk stress dan menggerutu sehingga kita sangat
menderita, atau kita menyikapi dengan tenang sehingga kita tetap bahagia. Jika kita memilih untuk menderita, dua
kerugian yang kita dapatkan “macet” dan “menderita”. Tetapi, jika kita memilih untuk tetap bahagia kerugiannya
hanya satu “macet”.
Imam Ali Zainal Abidin, suatu ketika jatuh sakit. Dalam sakitnya beliau mengatakan “Aku tidak tahu mana
yang harus aku syukuri, ketika aku sehat ataukah ketika aku sakit? Ketika beliau ditanya wahai imam, apa maksud
engkau mengatakan seperti itu? Lalu beliau menjelaskan; Ketika kita sehat sudah tentu itu kenikmatan yang harus
disyukuri, dan ketika kita sakit Allah akan mengampuni dosa-dosa kita jika kita menghadapinya dengan kesabaran.
Baginya, sehat maupun sakit merupakan kebaikan sehingga keduanya patut disyukuri. Musibah dan
anugerah, keduanya dapat membahagiakan. Kemampuan seperti inilah barangkali yang harus selalu kita tanamkan
terhadap peserta didik. Kemampuan merespon sescara positif terhadap suatu keadaan adalah merupakan salah satu
bagian dari kecerdasa spiritual (SQ) yang harus dikembangkan pada setiap individu sehingga dengan kecerdasan ini
dapat melengkapi kesuksesan seseorang dengan kebahagiaan.
20
diibaratkan seperti Khimar (keledai). Hanya saja sebagai sebuah fitrah, marah harus dapat dikendalikan dengan baik.
Marah yang berlebihan adalah racun bagi tubuh dan jiwa.
Dari Berbagai riset klinis telah membuktikan indikasi, bahwa dalam jangka panjang kemarahan dapat merusak
kesehatan bahkan hingga menyebabkan kematian. Orang yang biasa marah sepanjang hidupnya akan mati 10 tahun
lebih muda ketimbang seseorang yang dapat mengendalikan amarah. Saat seseorang marah, kadar serotonin dalam
otak akan menurun. Akibatnya, perilaku agresif dan aktivitas sistem syaraf simpatik seperti pernafasan dan denyut
jantung, menjadi meningkat. Konsentrasi menurun dan keinginan untuk melakukan hal-hal yang buruk. Kata Rumi,
dengan marah seseorang telah menciptakan tabir antara hati dan matanya, sehingga tidak mampu memperlihatkan
kebajikan.
Dale Carnegie, seorang penulis populer, saat menawarkan kiat untuk menghilangkan rasa cemas menulis,
“Anda tidak cukup suci untuk mencintai musuh-musuh Anda. Akan tetapi, demi kesehatan dan kebahagiaan Anda,
lupakan mereka dan maafkan mereka.”
Setidaknya ada ada dua peristiwa besar yang dicontohkan Rasulullah dalam hal pengendalian diri sekaligus cerminan
sikap kasih sayangnya. Yaitu peristiwa Thaif dan ‘fathul Makkah.’ Rasulullah dan beberapa orang Islam hijrah ke Thaif
setelah mengalami masa-masa sulit yaitu hijrah ke Ethiopia (tahun 5 dari kenabian) akibat siksaan dan hinaan kafir
Quraisy; pemboikotan terhadap dua keluarga besar Nabi yaitu Bani Hasyim dan Bani Muthalib oleh kafir Quraisy; juga
ketika beliau mengalami tahun kesedihan (‘aamul hazn) pada tahun ke-10 dari kenabian, karena meninggalnya dua
orang yang berperan besar dalam dakwah beliau yaitu Siti Khadijah, dan Abu Thalib.
Ketika di Thaif Rasulullah menemui pemuka kabilah Tsaqif, namun mereka menolak dan bahkan melakukan
kekerasan fisik terhadap Nabi. Dalam suatu riwayat, ketika itu malaikat membisikkan kepada Nabi Muhammad,
apakah perlu mengangkat bebatuan bukit di Thaif untuk ditimpakan kepada pelaku kekerasan tersebut.
Rasulullah menjawab ‘tidak perlu’, sebab menurut beliau mereka menolak dakwahnya karena ketidaktahuan
mereka tentang ajaran Islam. Bahkan beliau mendoakan agar penduduk Thaif tersebut diberi ampunan dan menjadi
pejuang-pejuang Islam. Di kemudian hari banyak orang Thaif yang masuk Islam dan menjadi tokoh-pejuang Islam.
Dalam peristiwa fathul Makkah (penaklukan kota Makkah) Rasulullah kembali menunukkan dirinya sebagai
uswah-hasanah dalam pengendalian diri. Meskipun beliau bisa saja membalas perlakuan kasar, hinaan dan
pemboikotan yang pernah dilakukan kafir Quraisy ketika beliau berdakwah pada periode Makkah. Beliau tidak
melakukannya karena kemampuan mengendalikan diri, sebaliknya memberi maaf kepada seluruh penduduk Makkah.
Kaum kafir Quraisy Makkah yang ketika itu menunggu keputusan dengan penuh was-was, dan sudah mengira akan
ada pembalasan, menjadi terperangah campur terpesona ketika Rasulullah memberikan pengampunan.
Keterpesonaan atas sikap Rasulullah yang berpangkal dari pengendalian diri inilah yang menyebabkan kafir
Quraisy berbondong-bondong masuk Islam, tentu berkat pertolongan Allah sebagaimana dilansir dalam Qs. An-Nashr.
Dari kedua contoh peristiwa tersebut, pengendalian diri harus dilakukan dalam dua keadaan. Yaitu ketika
seseorang dihadapkan kepada banyak tantangan dan kesulitan. Peristiwa Thaif memberikan tuntunan itu. Juga ketika
seseorang berada dalam keadaan lapang, unggul dan dominan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah dalam
peristiwa fathul Makkah.
Kemampuan menahan marah merupakan salah satu tanda ketakwaan. Seperti yang terdapat di dalam Al-
Quran surah Ali Imran ayat 134. “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang
21
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Kemampuan untuk menahan marah di saat ada peluang, kesempatan, dan situasi yang memungkinkan kita
mengumbarnya, merupakan bentuk kebajikan yang tinggi. Orang yang mampu menahan marah, oleh Nabi Saw
disebut sebagai orang yang kuat. Beliau bersabda: “Orang yang kuat bukanlah orang yang jago gulat, tetapi (orang
yang kuat itu adalah) orang yang mampu menahan diri-nya ketika marah” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
22