Anda di halaman 1dari 22

Pendidikan Karakter Lazuardi 20

1. Love 2. Altruism
3. Contentment 4. Gratefulness
5. Optimism 6. Patience
7. Husnudzan 8. No Envy/Jealousy
9. Fraternity 10. Trust and Truth
11. Istiqamah 12. Courage
13. Prudence 14. Justice (Just an Fair)
15. Respect 16. Cleanliness
17. Modesty 18. Broad Mindedness
19. Being Joyful 20. Self-Control

Karakter ke-1: Love (Cinta)


Salah satu nilai yang ditanamkan pada siswa Lazuardi, dalam proses pembentukkan karakter adalah
“Cinta”. Cinta kepada Allah adalah merupakan landasan kecintaan manusia terhadap makhluk-Nya. Menurut Al-
Ghazali, bohonglah orang yang mengaku mencintai Allah Swt, tetapi ia tidak mencintai Rasul-Nya; bohonglah orang
yang mengaku mencintai Rasul-Nya tetapi, ia tidak mencintai kaum fakir miskin; dan bohonglah orang yang
mengaku mencintai surga, tetapi ia tidak mau menaati Allah Swt. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda;
“Tidaklah beriman kalian sehingga kalian mencintai saudaramu seperti kalian mencintai dirimu sendiri”.
Dalam hadits Qudsi, dikatakan bahwa ada seorang hamba yang sangat shaleh secara ritual, ia selalu
melaksanakan shalat tepat waktu bukan hanya yang fardu tetapi yang sunah pun ia selalu lakukan dengan rajin, ia
selalu melaksanakan puasa baik yang wajib maupun yang sunah. Tetapi Allah Swt tidak menerima shalat dan
puasanya. Karena merasa tidak puas dengan keputusan Allah Swt, lalu ia pun mengajukan keberatan dengan
menanyakan beberapa hal; “Wahai Tuhanku mengapa engkau menolak semua amalku padahal aku selalu
menyembah-Mu”. Lalu Allah Swt menjawab; “Aku menolak semua ibadahmu karena beberapa hal; kamu tidak pernah
memberiku makan saat Aku merasa lapar, kamu tidak pernah memberiku minum saat Aku haus, dan kamu tidak
pernah memberiku pakaian saat Aku kedinginan”. Lalu hamba tadi kembali bertanya; “Bukankah engkau Tuhan?
Mana mungkin engkau membutuhkan makan, minum dan pakaian”. Lalu Allah Swt menjawab; “Di saat ada hambaku
yang kelaparan dankamu tidak memberinya makanan, maka saat itulah Aku merasa lapar. Ketika ada hambaku yang
kehausan dan kamu tidak memberinya minum maka saat itulah Aku merasa kehausan dan saat hambaku
memerlukan pakaian dan kamu tidak memberinya pakaian, maka saat itulah Aku merasa kedinginan”.
Rasulullah Saw telah banyak memberikan tuntunan bagaimana kita harus mencintai lingkungan. Misalnya,
pesan beliau dalam perang badar. Beliau mengatakan; “Janganlah kalian merusak tanaman, janganlah membunuh
orang tua, janganlah membunuh orang yang sudah tidak berdaya, perlakukan tawanan dengan baik, berilah mereka
makan dengan makanan yang kalian makan”. Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat menganjurkan untuk
menebarkan cinta kasih terhadap makhluk-Nya. Dan kita harus pahami bahwa kecintaan kita terhadap makhluk adalah
merupakan bukti nyata kecintaan kita kepada Allah Swt. Karena Allah Swt-lah yang menginginkan kita untuk saling
mencintai sesama makhluk-Nya.
Salah satu bentuk aplikasi dari nilai “Cinta” ini, kami selalu berupaya memotivasi siswa dengan berbagai
program yang terkait dengan kepedulian atau kecintaan terhadap sesama. Program Charity Money yang selama ini
telah berjalan, penggalangan dana bencana yang dikumpulkan secara spontan, program lingkungan dengan
melakukan penanaman pohon disekitar sekolah atau pun kegiatan sosial lainnya adalah merupakan usaha sekolah
untuk menumbuhkan sikap cinta kasih dalam diri setiap siswa. Dengan demikian kita harapkan seluruh siswa mampu
memahami dan mempraktikkan nilai-nilai “Cinta” dalam kehidupan sehari-hari./(RED)

Karakter ke-2: ALTRUISME


Altruisme berarti sikap mendahulukan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi atau golongan.
Ini merupakan sikap yang amat mulia dalam pandangan Islam, bahkan dalam pandangan semua agama. Salah satu
sosok yang dapat menjadi teladan berkaitan dengan nilai Altruisme adalah Bung Hatta.

1
Pada tahun 1950-an, “Bally” adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil
Presiden pertama Republik Indonesia berminat pada sepatu “Bally” tersebut. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan
yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman itu.
Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah
tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir
hayatnya, sepatu “Bally” idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.
Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu “Bally” itu hingga Bung Hatta wafat masih
tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang wakil presiden. Padahal, jika ingin memanfaatkan
posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh sepatu “Bally”. Misalnya, dengan meminta
tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.
Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang
lain. Bung Hatta memilih jalannya sendiri, yang lebih sulit dan lama dan ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan
orang lain daripada kepentingannya sendiri.
Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari
meminta hadiah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus
berdisiplin dengan tidak berhutang atau bergantung pada orang lain.
Seandainya bangsa Indonesia dapat meneladani karakter m u l i a proklamator kemerdekaan ini, seandainya para
pemimpin dan kita semua mampu meneladani beliau, tidak mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini
menjadi bangsa terbelakang, melarat, dan nista karena tradisi berhutang dan meminta sedekah dari pihak asing.
Selain itu, mungkin dapat disimak dari penuturan Meutia, putri Bung Hatta mengenai kisah sebuah mesin
jahit. Sewaktu ayahnya masih menjadi orang nomor dua di republik ini, ternyata untuk membeli sebuah mesin jahit
pun tidak bisa dilakukan begitu saja. Menurut beliau, ibunya _Rahmi Hatta_ harus menabung sedikit demi sedikit
dengan cara menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta. Namun rencana membeli terpaksa
ditunda, karena tiba-tiba saja pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dari
Rp.100,- menjadi Rp.1,-. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah dikumpulkan Ibu Rahmi menurun dan makin tidak
cukup untuk membeli mesin jahit.
Ketika Bung Hatta pulang dari kantor, Nyonya Rahmi Hatta, istri Bung Hatta, mengeluh; "Aduh, Ayah ?!
Mengapa tidak bilang terlebih dahulu, bahwa akan diadakan pemotongan uang? Ya, uang tabungan kita tidak ada
gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi.”
Keluhan wanita mungkin mempunyai alasan tersendiri. Tetapi seorang pejabat negara seperti Bung Hatta menjawab
dengan tenang; "Yuke, seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu mengenai sanering itu, nanti
pasti hal itu akan kau sampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan
memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik!”, ujar Bung Hatta kepada istrinya menjelaskan;
“Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara
adalah tetap rahasia. Sunggguhpun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada
siapapun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh bangsa. Kita coba menabung lagi, ya?"
Di tengah-tengah masyarakat yang sedang dilanda berbagai penyakit sosial, seperti kemiskinan,
keterbelakangan, kekerasan, korupsi, egoisme, konsumerisme dan sederet penyakit sosial lainnya, mungkin prinsip
yang dipegang Bung Hatta ini patut menjadi teladan agar dapat mengurangi berbagai penyakit sosial yang ada.
Seorang individu, baik sebagai warga biasa ataupun sebagai seorang pejabat negara hendaknya memiliki
kearifan dan lebih mendahulukan kepentingan bersama. Kita yakin bahwa kita dapat keluar dari keterpurukan yang
kita alami selama ini. Tindakan koruptif dan perilaku negatif lainnya, tumbuh subur karena kita hanya berpikir tentang
diri kita sendiri, kita terjebak pada egoisme sempit.
Kesadaran inilah yang perlu kita tumbuhkan pada setiap diri kita masing-masing, khususnya sebagai orangtua
dan juga pendidik. Kita harus memulai mentransfer nilai-nilai mulia ini kepada anak-anak kita sejak dini. Dari kisah
Bung Hatta kita dapat mengambil pelajaran, sesungguhnya kemuliaan hidup tidak harus dicapai dengan cara memiliki
banyak harta kekayaan. Terlebih jika kekayaan tersebut diraih dengan tindakan yang merugikan orang lain. Kemuliaan
hidup hanya dapat diraih dengan tidak medahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan orang lain, jujur dan
selalu berbagi dengan orang lain.

2
Karakter ke-3: CONTENTMENT (Qana’ah)
Tidak dapat dipungkiri saat ini kita hidup dalam era digital yang membuat banyak hal menjadi mudah dan
sarat kemewahan. Kecanggihan teknologi tidak hanya memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya, tetapi
juga telah mengajarkan manusia banyak hal termasuk kecintaannya yang semakin bertambah kepada kehidupan
dunia. Manusia modern saat ini banyak menghabiskan waktunya dengan mengejar dunia, memperbanyak harta
tanpa batas.
Tidak dapat dipungkiri saat ini kita hidup dalam era digital yang membuat banyak hal menjadi mudah dan
sarat kemewahan. Kecanggihan teknologi tidak hanya memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya, tetapi
juga telah mengajarkan manusia banyak hal termasuk kecintaannya yang semakin bertambah kepada kehidupan
dunia. Manusia modern saat ini banyak menghabiskan waktunya dengan mengejar dunia, memperbanyak harta tanpa
batas.
Bila kita perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak berkecukupan bahkan mewah, namun hatinya penuh
diliputi serba kekurangan, keserakahan dan jauh dari bahagia. Nabi SAW bersabda dalam salah satu hadisnya
Rasulullah memanggil orang-orang yang memiliki ketergantungan hati yang berlebihan terhadap dunia seperti itu
dengan sebutan orang yang celaka: "Celaka budak dinar dan budak dirham serta budak khumaishah: jika diberi, ia
senang, jika tidak diberi, ia marah, celaka dan jatuh terjungkir."(Shahih Bukhari, kitab Jihad). Kemudahan yang
didapatkan manusia saat ini, seharusnya tidak membuat mereka terlena dan jatuh dalam kehinaan lantaran hanya
memikirkan urusan harta dan kesenangan dunia semata. Kemudahan yang mereka dapatkan seharusnya membuat
mereka lebih bersyukur. Islam mengajarkan manusia satu nilai yang relevan dan mampu memberikan solusi ketika
manusia dihadapkan pada situasi seperti sekarang ini. Nilai yang dimaksud adalah qana'ah (contenment).
Qana'ah (Contentment) adalah sikap merasa cukup, berlapang dada, dan ridha atas karunia dan rezeki yang diberikan
Allah SWT; jauh dari sifat tidak puas dan selalu merasa kurang serta bebas dari keserakahan.
Seseorang yang memiliki sikap qana'ah akan senantiasa menerima nikmat dan karunia yang telah diberikan
Allah dan mampu memaknainya dengan penuh kerelaan dan rasa syukur. Mereka yang qana'ah, memiliki pendirian
bahwa apa yang diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah. Sikap yang demikian itu mendatangkan
rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak. Apa pun yang dimilikinya tak pernah
melalaikannya dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah
sikap qana'ah-nya dan mempertebal rasa syukurnya. Rasulullah Saw. sendiri adalah seorang yang cukup kaya, tetapi
beliau mampu memilih untuk menjalani hidup dengan sangat sederhana. Sebagian besar hartanya dibelanjakan untuk
membantu sesama yang membutuhkan
Tetapi hendaknya kita tidak salah dalam memahami makna dan arti qana`ah. Rela dan ridha atas pemberian
Allah tidak berarti merasa cukup lalu lesu untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, menerima nasib begitu saja, tidak
melakukan ikhtiar, lemah dan tidak bersemangat dalam mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi, mati keinginan
untuk mencapai kemajuan moril dan materil. Justru orang yang qana'ah itu selalu giat bekerja dan berusaha, namun
apabila hasilnya tidak sesuai dengan harapan, ia akan tetap ridha menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada
Allah SWT.
Sikap qana'ah harus senantiasa dipupuk dalam diri kita dan penting untuk disampaikan kepada anak-anak
kita. Anak-anak perlu belajar bagaimana menerima segala pemberian Allah dengan penuh kerelaan dan lapang dada.
Anak-anak perlu belajar mengendalikan diri dari sikap tamak, tidak merasa cukup dengan yang sedikit, tidak puas
dengan yang banyak, senantiasa dalam keadaan tidak puas dan selalu berkeluh kesah. Anak-anak perlu belajar bahwa
salah satu ciri manusia yang qanaah adalah mereka yang berdoa kepada Allah ketika membutuhkan sesuatu lalu
berikhtiar, bahwa meminta bantuan dan menggantungkan diri hanya kepada Allah merupakan bentuk pemuliaan diri.
Bahkan anak-anak pun perlu belajar bahwa sikap qana`ah, -baik bagi orang kaya ataupun miskin, dalam
kondisi senang maupun susah, bahagia dan sedih-, membuat manusia dapat menikmati hidup dengan kepuasan hati,
ketentraman batin yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan. (RED)

Karakter ke-4: GRATEFULNESS


Mungkin kita sering menyaksikan beberapa reality show seperti “Jika Aku Menjadi” atau “Bedah Rumah”.
Coba kita perhatikan keluarga yang dibantu dalam acara tersebut, pasti yang terlihat adalah ekspresi rasa berterima
kasih atau syukur yang sangat dalam. Tak jarang diiringi tangis harus dan sujud syukur.

3
Memang, keinginan untuk berterima kasih adalah merupakan fitrah Allah atas manusia. Ketika seseorang
mendapatkan anugerah atau pemberian dari orang lain pasti untuk ukuran orang normal ingin mengucapkan terima
kasih bahkan tidak menutup kemungkinan dari lubuk hatinya yang paling dalam terbersit keinginan untuk membalas
pemberian tersebut lebih dari sekedar ucapan terima kasih.
Mengucapkan terima kasih adalah salah satu cara kita untuk mendapatkan lebih banyak. Jika kita berterima kasih
kepada Allah atau bersyukur, Allah akan menambah nikmat kita. Jika kita berterima kasih kepada orang yang sudah
mau berbagi, mereka akan senang untuk berbagi kembali dengan kita.
Dalam konsep law of attraction , berterima kasih adalah cara kita untuk membuka penerimaan kita terhadap
apa yang kita tarik. Terima kasih akan mempererat silaturahim yang menurut hadits akan melapangkan rezeki kita.
Berterima kasih akan membuat hati lebih enjoy dan lebih ceria yang akan memberikan motivasi tambahan dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Tetapi disadari atau tidak, mungkin sebagian besar dari kita salah satu fitrahnya sudah mulai meredup. Kita
sangat bersemangat untuk meminta, tetapi setelah hajat kita terpenuhi, terkadang kita lupa untuk berterima kasih.
Tuhan hanya terkenang manakala kita mengalami kegagalan, dengan mengatakan “ini sudah takdirNya”!.
Sehingga gambaran Tuhan bagi manusia menjadi sangat buruk karena hanya berperan menentukan hal yang
buruk. Sementara ketika kita mengalami kesuksesan dalam hidup, kita lupa terhadap peranan Tuhan, kita katakan
“bahwa ini semua karena kerja keras kita”.
Demikian juga rasa terima kasih kita terhadap sesama manusa. berterima kasih kepada manusia adalah salah satu
bentuk berterima kasih kepada Allah (bersyukur). Sbagaimana dikatakan dalam sebuah hadits: “Yang paling pandai
bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling pandai bersyukur kepada manusia.” (HR. Ath-Thabrani)
Sudahkan kita berterima kasih hari ini? Berterima kasih kepada kedua orang tua kita .Berterima kasih kepada
istri kita yang telah menyiapkan sarapan untuk kita. Berterima kasih kepada suami kita yang sudah memberikan
nafkah kepada kita. Berterima kasih kepada anak kita yang sudah memberikan keceriaan untuk kita. Berterima kasih
kepada guru dari anak-anak kita yang sudah mengajarkan banyak hal kepada anak-anak kita. Berterima kasih kepada
sopir yang sudah mengantarkan kita. Terima kasih kepada pembantu yang sudah menyelesaikan urusan rumah kita.
Terima kasih kepada rekan, bawahan, serta atasan yang membuat kerja kita lancar. Dan banyak orang yang bisa kita
berikan ucpan terima kasih kita.
Kita percaya, semakin banyak kita berterima kasih, akan semakin banyak kita menerima. Tanamkanlah
kepada anak-anak kita agar selalu menerima apa yang sudah diraihnya dengan penuh terima kasih(syukur).

Karakter ke-5: Optimism (Harapan Baik)


Problema hidup akan senantiasa datang dan pergi. Setiap kita pasti sudah mengalami masa-masa sulit dalam
mengarungi kehidupan. Tantangan dan kesulitan merupakan salah satu bagian yang dapat membantu manusia
menuju kesempurnaan.
Ibarat pohon yang tumbuh di tengah padang pasir ia akan memiliki tingkat survival yang tinggi karena selalu
dihadapkan pada kesulitan dan rintangan hidup. Demikian juga manusia yang sering ditempa berbagai kesulitan
cenderung ia akan lebih siap dalam menghadapi berbagai cobaan. Berbagai masalah yang datang bukan untuk
dihindari tetapi ia datang untuk dihadapi. Dengan satu keyakinan bahwa bersama kesulitan akan datang kemudahan ,
inna ma'al 'usri yusron. Yang diperlukan adalah cara bersikap kita terhadap situasi-situasi yang sulit tersebut.
Optimisme sering didefinisikan sebagai harapan atau keyakinan tentang masa depan dan kesuksesan dari
suatu hal. Sederhananya, optimisme adalah tingkat harapan yang dimiliki individu. Tanpa harapan, seorang individu
tidak akan memiliki motivasi untuk mengerahkan usaha untuk mencapai keinginannya. Mengapa siswa belajar?
Karena ia berharap bahwa dengan belajar, ia akan memahami pelajaran dengan lebih baik. Mengapa orang pergi ke
dokter? Karena mereka berharap bahwa dengan pergi ke dokter, mereka akan sembuh atau menjadi lebih sehat.
Mengapa ada orang pergi ke dokter jika tidak ada harapan untuk menjadi lebih sehat? Harapan merupakan prasyarat
dan pendorong bagi setiap individu untuk berusaha ke arah kemajuan. Rasa optimis akan lahir dalam diri manusia
yang mengenali dirinya serta menyadari karunia Allah kepadanya. Tentu, tinggi rendahnya harapan juga merupakan
aspek yang penting dalam optimisme. Oleh karena itu, pandangan optimis terhadap kehidupan merupakan karakter
penting yang harus dipupuk dalam setiap individu.

4
Aspek penting untuk menumbuhkan sikap optimis, adalah bahwa kita memiliki kehendak bebas, artinya, kita
memiliki kendali atas keputusan kita dan terhadap situasinya. Setiap kali kita dihadapkan dengan situasi yang buruk,
kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa kita dapat mengubah situasi menjadi lebih baik. Sebagai Muslim, kita
memiliki ayat Al-Qur'an yang mengatakan bahwa Allah tidak akan mengubah situasi sebuah umat sebelum umat itu
mengajukan upaya terbaik mereka untuk mengubahnya sendiri.
Fokus kepada masa depan menjadi aspek penting dalam menumbuhkan sikap optimis. Seorang individu yang optimis
akan belajar dari kegagalan masa lalu, dan mengubahnya menjadi lebih baik. Rasa optimis harus menjadi pendorong
utama ke arah kemajuan. Perasaan ini akan melahirkan semangat ingin maju dan ingin sukses, menggerakkan diri
untuk berusaha, menimbulkan daya tahan dan istiqamah dalam menjalani kehidupan yang lebih baik.
Aspek penting lainnya dalam membudayakan sikap optimisme adalah penetapan tujuan. Sering kali, kita
melihat tugas di depan adalah terlalu besar, terlalu rumit, dan terlalu menantang. Untuk alasan ini kita mulai
kehilangan harapan, kehilangan keyakinan bahwa kita dapat berhasil dalam mengerjakan tugas ini, dan kita mulai
menjadi pesimis. Di sinilah menetapkan tujuan menjadi sangat penting. Dengan menetapkan tujuan yang spesifik dan
fokus pada satu tujuan tertentu akan memudahkan kita untuk menyelesaikannya. Tindakan penetapan tujuan akan
meningkatkan harapan kita mengenai kemungkinan untuk bisa menyelesaikan tugas, sehingga meningkatkan
optimisme kita. Orang yang berhasil dalam kehidupan, selalu memulai usahanya dengan rasa optimis pada diri sendiri,
semangat berdikari dan berserah diri kepada Allah Ta'ala. Seburuk apapun situasinya, ia masih menyimpan harapan
akan karunia Allah yang begitu besar.
Ia yakin bahwa usahanya yang baik tidak akan disia-siakan oleh Allah Taala. Seperti dalam salah satu firmanNya:
“.....Sesungguhnya Allah tidak menghilangkan pahala orang-orang yang berusaha memperbaiki amalannya”. (Surah
At-Taubah Ayat 120)
Sebagai kesimpulan, menumbuhkan rasa optimis sangat penting agar kita dapat maju dan mencapai masa
depan yang lebih baik. Beberapa cara yang kita bisa lakukan untuk mempupuk rasa optimis, diantaranya dengan
menumbuhkan keyakinan bahwa tindakan kita dapat mengubah situasi menjadi lebih baik, fokus pada masa depan,
dan akhirnya menetapkan tujuan yang spesifik dan dapat dicapai untuk mengurangi tugas yang mungkin tampak
mustahil menjadi tugas-tugas yang lebih kecil yang jauh lebih mudah dilakukan. Dengan cara ini, kita dapat
menumbuhkan sikap optimis, meningkatkan harapan kita di masa depan, dan mencapai kemajuan. (kml/mrn)

Karakter ke-6: PATIENCE (Sabar)


Dalam sebuah diskusi, seorang teman pernah menyatakan, “Jika kekayaan dan kemiskinan adalah
merupakan ujian, andai boleh memilih maka saya akan memilih untuk diuji dengan kekayaan. Dan jika kesenangan
dan kesusahan merupakan ujian, andai boleh memilih maka saya akan memilih untuk diuji dengan kesenangan”.
Pernyataan teman ini mungkin ada benarnya, tetapi sesungguhnya yang harus kita perhatikan bukanlah bentuk dan
jenis ujiannya, lebih penting dari itu adalah bagaimana kita dapat menjalani dan lulus dalam ujian tersebut.
Bagaimana kita mampu memaknai setiap perjalanan hidup yang kita alami, dalam setiap keadaan, kaya, miskin,
senang maupun susah.
Setiap keadaan yang berwarna yang kita alami justeru akan membuat ”hidup lebih hidup”, jika kita mampu
memaknainya. Sebagaimana sebuah ungkapan yang menarik “Even a happy life cannot be without a measure of
darkness, and the word happy would lose its meaning if it were not balanced by sadness. It is far better to take things
as they come along with patience and equanimity”. (Carl Jung)
Bagi seorang mukmin, kekayaan dan kemiskinan tidak terlalu berpengaruh terhadap keimanannya. Sebagaimana
diilustrasikan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu hadisnya.
Dari Suhaib r.a., bahwa Rasulullah Salallahu Allaihi Wassalam bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya
orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat
kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui)
bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia
mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim)
Sabar sesungguhnya adalah kemampuan menahan diri untuk tidak teragitasi (terguncang) ketika menghadapi
hal-hal yang tidak diinginkan. Kesabaran memberikan banyak hasil, diantaranya adalah pendidikan dan pembinaan
jiwa. Kalau manusia sabar menghadapi musibah dan kemalangan untuk beberapa lama, jika ia tabah menghadapi
kesulitan yang ditimbulkan oleh ibadah dan pahitnya meninggalkan kenikmatan-kenikmatan jasadi. Apabila dia
5
melakukan semua ini demi mendekatkan diri kepada Tuhan Maha Pemberi rezeki, secara berangsur-angsur jiwanya
akan menjadi terbiasa dengan hal-hal ini dan akan dipenuhi dengan ketaatan sehingga mampu menyingkirkan
kedurhakaan. Berbagai kesulitan yang dihadapinya menjadi mudah dan berkembanglah di dalam jiwanya suatu
potensi nurani yang kukuh.
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang mukmin. Dengan kesabaran, seseorang akan terjaga dari
kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Seorang yang
kaya jika memiliki kesabaran ia akan bijak dalam menggunakan kekayaannya, seorang pejabat jika bersabar ia akan
mampu menahan dirinya untuk tidak melakukan tindakan korupsi, seorang miskin jika ia bersabar ia tidak akan putus
asa dalam hidupnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi
seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.”
Sabar merupakan kunci pembuka pintu kebahagiaan dan sarana utama untuk melepaskan diri dari bahaya besar.
Bahkan sabar membuat manusia menganggap ringan musibah yang dihadapinya dan dapat memudahkan berbagai
kesulitan. Sabar memperkuat tekad dan kehendak hati. Sabar juga dapat membentuk kebebasan jiwa. Sebaliknya,
sedih, cemas akan membuat orang selalu gelisah dan labil, melemahkan ketetapan hati dan memperlemah akal.
Sabar juga sebagai penyebab untuk bisa meraih berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini
sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta'ala, dalam QS. Al Baqarah : 153, "Hai orang-orang yang beriman,
mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
Kita diperintahkan oleh Allah swt untuk meminta pertolongan hanya kepadaNya, yakni dengan bekal sabar dan shalat
dalam menangani semua urusan kita. Begitu pula, kesabaran menjadi salah satu bekal bagi hamba untuk meraih
kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta'ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat
kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra'd [13] : 24).
Sabar untuk tidak berbuat maksiat/dosa akan melahirkan ketaqwaan diri. Sabar dalam ketaatan akan menciptakan
keakraban dengan Allah SWT. Sedangkan, sabar dalam menerima musibah akan menjadikan manusia ridha dan puas
menerima takdir Allah SWT.

Karakter ke-7: HUSNUZHAN


Ia berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku
belum pernah kecewa dalam berdoa, kepada Engkau ya Tuhanku.” (Qs. Maryam:4).
Ayat di atas menceritakan tentang Nabi Zakariya AS yang berdo'a hingga puluhan tahun untuk mengharapkan
keturunan. Setelah kurang lebih 40 tahun hingga berakhirnya kekuasaan firaun, barulah doanya dikabulkan oleh Allah
SWT. Dalam penantian do'anya Nabi Zakariya mengatakan “walam akun bidu'aika rabbi syaqiyya…”, sekalipun harus
menunggu bertahun-tahun, sekalipun ijabahMu tak kunjung tiba, aku tidak pernah kecewa dalam berdoa, kepada
Engkau ya Tuhanku.
Sikap yang dijalankan oleh Nabi Zakariya adalah merupakan sikap husnudzan (berbaik sangka) terhadap Alllah SWT,
yakni tetap memiliki keyakinan bahwa Allah SWT akan mengabulkan dan memberikan yang terbaik bagi hambanya.
Dan Allah membuktikan dalam hadits Qudsi: “Anaa 'inda zhanni 'abdi bih, wa Ana ma'aka idza da'awtani, "Aku
mengikuti persangkaan hamba-Ku tentang Aku. Dan aku bersamamu jika memohon kepada-Ku.”
Mengambil hikmah dari narasi diatas kita bisa memetik pelajaran berharga berbagai karakter yang berkaitan
dengan huznudzan. Seperti karakter Cinta, ketika kita mencintai, pada saat yang sama menuntut kita untuk berbaik
sangka terhadap sesuatu yang kita cintai tersebut. Mustahil, kita mengatakan cinta, sementara kita berburuk sangka
terhadapnya. Begitu juga, bagaimana mungkin kita berburuk sangka terhadap sesuatu yang kita cintai. Kesabaran juga
mendasari sikap kita untuk berbaik sangka. Kesabaran yang kita lakukan adalah salah satu buah dari sikap huznudzan.
Kita mampu bersabar terhadap suatu kejadian dalam hidup kita, karena kita memiliki prasangka baik terhadap apa
yang terjadi. Takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT yang terjadi dalam kehidupan kita adalah hikmah (suatu
kebaikan). Karena secara filosofi, tidak ada keburukan yang datang dari Allah SWT. Keburukan adalah sebuah entitas
yang dibuat oleh persepsi kita, hanya karena tidak sesuai dengan keinginan kita. Huznudzan meluruskan persepsi dan
prasangka kita. Tidak mungkin seseorang memiliki kemuliaan akhlak husnuzhan, jika tidak yakin dengan segala sesuatu
yang sudah diputuskan Allah SWT. Seseorang yang beriman sadar benar bahwa dari setiap peristiwa maka Allah telah
mentransformasikan mutiara hikmah untuk manusia. Artinya, kejadian yang menimpa kita, pasti ada kadar atau nilai
berharga yang sudah dipersiapkan untuk kita. Karena itulah, kata Imam Ali karramallahu wajhah , ''Jika kita
menemukannya, segeralah diambil; fain wajadaha akhadzaha.'' Pertanyaannya, bagaimana bisa mengambil barang
6
berharga itu, sementara kita sulit untuk mendeteksinya. Di sinilah peranan amalan hati, yaitu huznudzan. Jika kita
mempersangkakan bahwa ada banyak kebaikan yang telah Allah sediakan untuk kita dari takdir-Nya itu, akan benarlah
persangkaan kita.
Husnudzan kepada sesama manusia adalah sikap yang selalu berpikir dan berprasangka baik kepada sesama
manusia. Sikap ini ditunjukkan dengan rasa senang, berpikir positif, dan sikap hormat kepada orang lain tanpa ada rasa
curiga, dengki, dan perasaan tidak senang tanpa alasan yang jelas. Hubungan baik antara manusia yang satu dengan
yang lain, dan khususnya antara muslim yang satu dengan muslim lainnya merupakan sesuatu yang harus diupayakan
dengan sebaik-baiknya.
Hal ini karena Allah SWT telah menggariskan bahwa mukmin itu bersaudara (QS 49: 10). Oleh sebab itulah
segala bentuk sikap dan sifat yang akan memperkokoh dan memantapkan persaudaraan harus ditumbuhkan dan
dipelihara, sedangkan segala bentuk sikap dan sifat yang dapat merusak persaudaraan (ukhuwah) harus dihilangkan.
Dan agar hubungan persaudaraan itu tetap terjalin dengan baik, salah satu sifat positif yang harus dipenuhi adalah
huznudzan (berbaik sangka). Oleh karena itu, apabila kita mendapatkan informasi negatif tentang sesuatu yang terkait
dengan pribadi seseorang apalagi seorang mukmin, maka kita harus melakukan tabayyun (pengecekan) terlebih
dahulu sebelum mempercayai apalagi meresponnya secara negatif, Allah SWT berfirman yang artinya : “Hai orang-
orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu." (QS 49:6).
Jika hal ini dapat kita terapkan dalam keseharian kita, maka insya Allah hubungan persahabatan dan
persaudaraan akan menjadi lebih baik. Keharmonisan hubungan akan semakin terasa karena tidak ada kendala-
kendala psikologis yang menghambat hubungan itu. Seseorang yang selalu berbaik sangka akan terhindar dari
penyesalan dalam hubungan dengan sesama. Karena buruk sangka akan membuat seseorang menimpakan keburukan
kepada orang lain tanpa bukti yang benar, sebagaimana difirman Allah dalam Al-Qur'an (49: 6) di atas.
Selanjutnya seseorang yang berbaik sangka akan selalu berbahagia atas segala kemajuan yang dicapai orang
lain, meskipun kita sendiri belum bisa mencapainya. Hal tersebut memiliki arti yang sangat penting, karena dengan
demikian jiwa kita menjadi tenang dan terhindar dari iri hati yang bisa berkembang pada dosa-dosa baru sebagai
kelanjutannya. Keberuntungan orang yang husnuzhan, tak hanya didapatkan di dunia ini, tapi juga di akhirat kelak.
Rasul menyebut orang yang huznudzan sebagai pemegang kunci surga.
Dalam sebuah majlis di hadapan para sahabatnya, Rasul mengatakan bahwa sebentar lagi akan masuk
seorang yang kelak akan memegang kunci surga. Semua sahabat terpana. Sampai seorang Umar bin Khattab “iri”
dengan penyematan istilah tersebut. Tidak lama kemudian masuklah orang yang dimaksud. Orang ini penampilannya
biasa-biasa saja. Tidak ada ciri khusus. Karena penasaran, Umar meminta izin untuk menginap di rumah orang
tersebut. Tiga hari Umar RA menginap di rumah orang ini. Namun, dia tidak menemukan amalan khusus orang
tersebut. Ketika Umar bertanya, apa rahasianya. Orang itu menjawab, “Ibadah dan amalanku sebenarnya biasa saja,
wahai Umar. Hanya selama hidupku, aku diajari oleh ibuku untuk tidak punya perasaan buruk sangka terhadap apa
pun dan siapa pun”.

Karakter ke-8: NO ENVY


Sikap dengki/iri hati adalah sikap senang/puas ketika melihat orang lain susah dan susah ketika melihat orang
lain senang atau bisa kita singkat SMS. Dalam bahasa sarkasme, orang pendengki adalah orang yang senang melihat
orang lain dilanda bencana, dan itu disebut syamatah. Ia tidak rela melihat orang lain bahagia, sebaliknya ia bersuka
cita melihat orang lain bergelimang lara. Dengki/iri hati adalah suatu kadaan psikis seseorang yang menginginkan
hilangnya suatu karunia atau kesempurnaan yang ia anggap dimiliki oleh orang lain, meski ia memiliki atau tidak
karunia tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengki/iri hati adalah karakter dari kekerdilan jiwa dan kerendahan
diri yang terwujud dalam bentuk keinginan akan musnahnya atau hilangnya kelebihan atau keberuntungan orang lain.
Allah Ta'ala menggambarkan sikap dengki ini dalam firmanNya, yang artinya: “Bila kamu memperoleh kebaikan, maka
hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran:
120)
Rasa dengki dan iri tumbuh manakala orang lain menerima nikmat. Biasanya jika seseorang mendapatkan
nikmat, maka akan ada dua sikap pada manusia. Pertama, ia benci terhadap nikmat yang diterima kawannya dan
senang bila nikmat itu hilang daripadanya. Sikap inilah yang disebut hasud, dengki dan iri hati. Kedua, ia tidak
7
menginginkan nikmat itu hilang dari kawannya, tapi ia berusaha keras bagaimana mendapatkan nikmat semacam itu.
Sikap kedua ini dinamakan ghibthah (keinginan). Yang pertama itulah yang dilarang sedang yang kedua diperbolehkan.
Kedengkian akan mengakibatkan perselisihan dan permusuhan diantara sesama manusia. Bahkan tidak
menutup kemungkinan hingga sampai pada tindakan kekerasan. Karena kedengkian, Iblis tidak mau bersujud kepada
Adam dan karena kedengkian pula saudara Yusuf a.s menghianati Nabi Yusuf (Al-Maidah:27 dan Yusuf : 8-9).
Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan tujuan penciptaan manusia sendiri yaitu agar manusia dapat
saling mengenal dan saling membantu satu sama lain. Tidak heran jika dengki ini merupakan tindakan yang dianggap
sebagai sebuah dosa besar sehingga dapat merusak amal-amal baik seseorang, sebagaimana dijelaskan Nabi
Muhammad Saw dalam salah satu haditsnya. Dari Abu Hurairah ia berkata: Telah bersabda Rasullah SAW :
“Hendaklah engkau menjauhkan diri dari sifat hasud, sebab sifat hasud memakan kebaikan sebagaimana api
membakar kayu bakar.” (HR Abu Daud)
Selain merugikan orang lain sikap dengki juga akan sangat merugikan bagi si pendengki sendiri. Ia akan selalu
dihantui oleh perasan kesal, marah yang menyebabkan hilangnya ketenangan dalam dirinya. Maka demi kesehatan
jiwa kita, hendaknya kita mampu menghindarkan diri dari sikap dengki. Bagaimana agar kita dapat terhindar dari
sikap dengki? Pertama, jika ada suatu masalah dengan seseorang, hendaklah kita melakukan tabayun atau klarifikasi
terlebih dahulu.(Al-Hujarat: 6). Dalam sebuah hadits beliau mengatakan: “Dugalah perilaku seseorang dengan hal
paling baik sampai kau yakin keburukannya benar-benar terbukti di matamu. Jangan pernah menilai-buruk ucapan
seseorang sampai kamu tahu alasan kenapa dia mengucapkannya”. Kedua, hal yang dapat menghindarkan kita dari
sikap dengki adalah saling berbuat baik diantara kita, misalnya dengan saling memberi hadiah. Hal ini dapat
menghilangkan sikap dengki Tadzhabul Gillu ‘an quluubikum. Rasululah SAW mengajarkan, bahwa kita boleh
dengki/iri/hasud hanya dalam dua hal, yakni berkaitan dengan sodaqah dan ilmu sebagaimana hadits berikut ini;
Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda;
ِ ‫الَ حَ سَ دَ إِالَّ فِى ْاث َن َتي‬
‫ َفه َْو َي ْقضِ ى ِبهَا َويُعَ لِّ ُمهَا‬، ‫ َورَ ُج ٌل آ َتاهُ هَّللا ُ ْالح ِْك َم َة‬، ‫ْن رَ ُج ٌل آ َتاهُ هَّللا ُ مَاالً َفسُلِّ َط عَ لَى َهلَ َك ِت ِه فِى ْالحَ ِّق‬
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia
infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur'an dan As Sunnah), ia menunaikan dan
mengajarkannya.”

Karakter ke-9: FRATERNITY / PERSAUDARAAN


Abdullah bin Abi Auf menceritakan: Suatu ketika para sahabat sedang berkumpul bersama Rasulullah Saw.
Tiba-tiba Rasulullah berkata: “Janganlah duduk bersamaku hari ini orang yang memutuskan persaudaraan.” Lalu
segera seorang pemuda berdiri meninggalkan majelis Rasulullah. Rupanya sudah lama ia bertengkar dengan bibinya.
Ia lalu meminta maaf kepada bibinya dan bibinya pun memaafkannya. Setelah itu, barulah ia kembali kepada majelis
Nabi. Nabi Saw berkata: “Sesungguhnya rahmat Allah tidak akan turun kepada suatu kaum yang di situ ada orang yang
memutuskan persaudaraan.” (Al-Targhib 3:345)
Menurut Said Agil Siraj, persaudaraan itu terbagi pada tiga pertama, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama
muslim), kedua, ukhuwah wathoniyah (persaudaraan sesama warga bangsa), dan ketiga adalah ukhuwah basyariyah
(persaudaraaan sesama umat manusia).
Dalam Islam persaudaraan tidak dibatasi oleh agama, suku dan ras. Setiap kita adalah saudara. (Lihat Al
Hujurat:13). Jika kita melihat fenomena saat ini, nampaknya tali persaudaraan sudah mulai pudar, sesama anak
bangsa saling bertengkar. Konflik sektarian dengan latar belakang ekonomi, fanatisme agama, dan politik sudah
menggerus nilai budaya bangsa ini yang pernah dikenang dengan keramah tamahan masyarakatnya. Hal ini
merupakan tantangan besar bagi kita sebagai anak bangsa sekaligus sebagai seorang muslim. Jika kita memiliki
kesadaran yang tinggi terhadap keislaman kita, tentunya kekerasan atau hal-hal yang dapat menyulut konflik
sebetulnya tidak perlu terjadi. Karena Islam sendiri sudah jelas menegaskan bahwa kita diwajibkan untuk
menyambung tali persaudaraan.
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah mengatakan: “Maukah kalian aku tunjuki amal yang lebih besar
pahalanya dari shalat dan puasa?”, tanya Rasulullah Saw kepada sahabat-sahabatnya. “Tentu saja,” jawab mereka.
Rasulullah menjawab, “Engkau damaikan orang-orang yang bertengkar.” Menyambungkan persaudaraan yang
terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang berpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam
dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka adalah amal shaleh yang besar pahalanya. “Barang siapa yang ingin

8
dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya, hendaklah ia menyambungkan persaudaraan” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Maka jika di keluarga, tempat kerja atau lingkungan dimana kita berada , ada beberapa orang yang sudah
tidak saling menegur, sudah saling menjauhi, apalagi kalau di belakang saling memfitnah, maka tugas kita adalah
mendamaikan mereka yang berselisih. Hal ini perlu dilakukan agar kita tidak dijauhkan dari rahmat Allah Swt.
Ukhuwah atau persaudaraan tidak cukup hanya sampai pada jargon semata. Persaudaraan harus betul-betul dipupuk
dengan keikhlasan dalam diri kita masing-masing lalu diwujudkan secara nyata dalam keseharian. Seorang mukmin
tidak boleh dan tidak layak jika hanya mementingkan diri sendiri (egois) dan abai terhadap nasib dan kesulitan
saudaranya. Rasulullah menegaskan mengenai hal ini “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sehingga kalian
mencintai saudaranya sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri.”
Saudara adalah sahabat kita, tempat kita berbagi suka maupun duka. Ibarat satu tubuh, jika salah satu
anggota tubuh kita ada yang sakit maka anggota tubuh yang lain akan merasakan sakitnya. Ibarat satu bangunan yang
saling menguatkan satu sama lain. Dalam bait puisinya Gibran mengungkapkan:
Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenal pula musim pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu hingga kau senantiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh
waktu?
Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
Karena dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.
Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria berbagi kebahagiaan.
Karena dalam titik-titik kecil embun pagi, hati manusia menemukan fajar jati dan gairah segar kehidupan.

Begitulah gambaran persaudaraan yang seharusnya kita wujudkan. Persaudaraan adalah indikator keimanan
seseorang. (Maran Sutarya)

Karakter ke-10: TRUST and TRUTH


Kepercayaan (trust) dan kebenaran/kejujuran (truth) ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan
antara keduanya. Orang yang ingin mendapatkan kepercayaan tentu ia harus mampu berkata dan menjalani hidup
dengan benar, sejalan antara kata dan perbuatan. Demikian halnya dengan orang yang selalu berkata benar niscaya
ia akan mendapatkan kepercayaan dari orang lain.
Lazimnya, berbicara tentang sebuah aset orang akan merujuk pada aset-aset yang 'teraba' ( tangible): uang, rumah,
kendaraan dan sebagainya. Namun orang kerap abai pada aset-aset 'tak teraba' ( intangible) yang justru sepanjang
sejarah peradaban umat manusia telah membuktikan dirinya sebagai begitu pentingnya. Salah satunya adalah 'trust'
(kepercayaan).
Rasulullah Saw merupakan salah satu figur yang memiliki trust dan truth yang sangat tinggi. Bagaimana tidak,
kepercayaan tersebut bahkan diberikan oleh musuh-musuhnya yang mengakui kejujuran beliau, sehinga beliau
mendapatkan predikat Al-Amin yang artinya terpercaya.
Mengapa Rasulullah dipercaya dan dicintai? Itu bukan hanya karena Allah Swt membuka hati mereka untuk
percaya, tetapi karena akhlak Rasulullah yang menarik kepercayan dan kecintaan mereka. Dan akhlak itu adalah
Sunnah. Sekiranya kita mencontoh akhlak beliau ini, pasti kitapun akan dipercaya oleh banyak manusia.
Rasulullah tidak memiliki latar belakang sebagai orang yang kaya, sejak kecil ia telah menjadi yatim piatu. Tetapi
mengapa begitu besar kepercayaan orang-orang saat itu? Tidak lain karena kemuliaan akhlaknya. Dengan modal
inilah Rasulullah mampu menarik hati seorang wanita mulia yang kemudian menjadi isterinya yaitu Khadijah Al-Kubra.
Saat itulah dimulainya kesuksesan beliau saat dipercaya memimpin kafilah perdagagan ke Syam atau Syiria.
Kepercayaan adalah modal utama dalam hidup. Seseorang yang dipercaya akan selalu mendapatkan kemudahan
hidup karena pada saat mendapatkan masalah, orang lain akan berbondong-bondong datang membantu. Akan tetapi,
jika kepercayaan itu sudah tidak ada lagi, maka jangankan membantu, untuk dekat pun orang akan merasa takut.
Takut tertipu, takut mendapat masalah, takut dirugikan, bahkan takut akan keselamatan dirinya. Itulah gambaran
pentingnya sebuah kepercayaan.
Betapa pentingnya sebuah kepercayaan. Suatu hubungan yang kokoh dan harmonis dibangun dan dilandasi
oleh sikap saling percaya. Kepercayaan merupakan kunci suatu relasi dan kemitraan, baik dalam bisnis, karier,
9
persahabatan, keluarga bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan
kepadamu sedang kamu mengetahui. (Al-Anfaal : 27). “Laa iimaana liman laa amaanata lah, wa la diina liman laa 'ah
dalah .” Artinya: tidak sempurna iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak sempurna agama seseorang yang
tidak menunaikan janji.” (H.R Ahmad)
Kepercayaan tidak dapat diperjualbelikan melainkan dibangun dan dipelihara dengan baik. Jangan sekali-kali
kita merusak kepercayan, karena sekali kita tidak dipercaya maka kepercayaan tersebut akan sulit untuk kembali
bahkan hilang untuk selamanya. “Trust is like a vase.. once it's broken, though you can fix it the vase will never be
same again.”“Kepercayaan itu seperti vas bunga .. sekali rusak, meskipun Anda dapat memperbaikinya vas tidak akan
pernah sama lagi." Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk menanamkan nilai trust dan truth pada siswa-siswa kita?
Kepercayaan dapat dibangun mulai dalam skala kecil yaitu dimulai dari rumah dan sekolah. Dengan
mensinergikan program sekolah dan di rumah insya Allah siswa-siswa kita akan menjadi pribadi yang memiliki trust
dan truth yang tinggi. (Maran Sutarya)

Karakter ke-11: ISTIQOMAH


Konon sebelumnya Iblis merupakan hamba yang sangat taat terhadap perintah Allah Swt. Bahkan ia telah
beribadah kepada Allah Swt selama ribuan tahun. Akan tetapi ketaatannya tersebut tidak dapat membawanya kepada
ketaatan yang sejati. Karena kesombongan dan arogansinya hamba yang begitu taat berbalik menjadi makhluk yang
membangkang terhadap Allah Swt. Sikap yang ditunjukan Iblis tersebut adalah sikap inkonsistensi dalam ketaatan. Dia
tidak mampu beristiqamah dalam menjalankan suatu kebaikan. Ibadah ribuan tahun tidak menyelamatkannya dari
kehinaan.
The Islamic lesson of istiqamah is the way to perfect and complete every matter, and good results only come about
through it, for whoever is not perseverant in his efforts, they shall surely be wasted. (The Ḥanafī scholar Abu'l-Qāsim al-
Qushayrī d. 465H).
Dari peristiwa di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwasannya begitu penting menjalani hidup ini
dengan istiqamah dalam kebaikan. Istiqomah yang berasal dari kata “qaama” yang berarti berdiri tegak lurus adalah
sikap kita untuk menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dan tidak berpaling. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan
semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Khalifah Abu
Bakr Ash Shiddiq r.a mengatakan bahwa istiqamah adalah “kemurnian tauhid.” Amir al Mukminiin Ali bin Abi Thalib
k.w mengatakan bahwa istiqamah adalah “melaksanakan kewajiban-kewajiban.” Sementara, Imam an-Nawawi
menyatakan bahwa istiqamah adalah “tetap dalam ketaatan dan di atas jalan yang lurus dalam beribadah kepada
Allah.”
Dalam firmanNya Allah Swt mengatakan: “Maka tetaplah (istiqomahlah) kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 112)
Ketika ada seorang sahabat yang bertanya, ”Ya Rasulullah, ajarilah aku tentang Islam yang aku tidak akan
menanyakan ini lagi kepadamu?” Maka Rasulullah Saw pun menjawab, “Ber-Islamlah, berbuat baiklah lalu
istiqamah.” (HR. Muslim, Hadits: 38)
Seseorang yang mampu menjalankan sikap istqamah ia akan memetik hasilnya berupa kebahagiaan hidup.
Kendati dalam prosesnya mungkin banyak sekali hambatan yang harus dilalui, namun jika terus berusaha keras untuk
mencapainya maka hambatan adalah merupakan sarana atau mediator menuju kesuksesan berikutnya yang lebih
tinggi. Albert Einstein mengatakan: “Aku berhasil bukan semata karena kepandaianku melainkan dengan tantangan
yang begitu panjang” It's not that I'm so smart, it's just that I stay with problems longer.”
Seseorang yang mampu berisiqamah ia akan merasakan manisnya iman dan merasakan kehadiran Allah Swt
sebagai sebaik-baik pelindung dalam setiap langkahnya. Sebagaimana diilustrasikan dalam salah satu ayatnya Allah
Swt berfirman; “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah
pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa
takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan
Allah kepadamu.” (QS. Fushilat: 30) (red).

10
Karakter ke-12: COURAGE
Aristoteles mengatakan, “Kemampuan menaklukkan rasa takut merupakan awal dari kebijaksanaan.”
Artinya, orang yang mempunyai keberanian akan mampu bertindak bijaksana tanpa dibayangi ketakutan-ketakutan
yang sebenarnya merupakan halusinasi belaka. Orang-orang yang mempunyai keberanian akan sanggup
menghidupkan mimpi-mimpi dan mengubah kehidupan pribadi sekaligus orang-orang di sekitarnya.
Keberanian Nabi Muhammad Saw menghadapi berbagai intimidasi dan kesulitan demi sebuah tatanan dunia baru,
keberanian Siddharta meninggalkan gemerlapnya istana dan hidup dengan apa yang didapatnya untuk mencari
kebenaran sejati hingga keberanian Wright bersaudara dalam penerbangan untuk mewujudkan sesuatu yang
dianggap mustahil pada zamannya.
Bagaimana tokoh-tokoh di atas dapat memiliki keberanian yang begitu besar? Marilyn King mengatakan
bahwa keberanian kita secara garis besar dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu visi ( vision), tindakan nyata (action), dan
kegairahan dan cinta (passion). Ketiga hal tersebut mampu mengatasi rasa khawatir, ketakutan, dan memudahkan kita
meraih impian-impian.
Jika ketiga faktor tersebut dapat kita jalankan dengan konsisten dan dengan tujuan yang jelas, kita akan
mampu melakukan suatu perubahan yang berarti dalam hidup kita. Adanya perubahan menjadikan diri kita berani
membuat kemajuan yang lebih besar. Anthony J. D'Angelo menegaskan, “Don't fear change, embrace it. – Jangan
pernah takut pada perubahan, tetapi peluklah ia erat.” Hidup tanpa keberanian adalah hidup yang sia-sia. Hidup dan
keberanian tak terpisahkan. Hidup adalah sebuah pilihan, maka beranilah memilih. Keberanian adalah inti dari
keimanan.
Dalam terminologi Islam, keberanian disebut dengan syaja'ah. Menurut Raid Abdul Hadi dalam buku Mamarat al-Haq,
setidak-tidaknya ada tujuh faktor yang membuat seorang mukmin bersikap syaja'ah.
Pertama, rasa takut hanya kepada Allah Swt. Jika seseorang hanya takut kepada Allah, ia tidak akan takut
kepada siapa pun, selama yang dilakukannya adalah kebenaran.
Kedua, lebih mencintai akhirat daripada dunia. Bagi seorang muslim yang berjiwa syaja'ah dunia bukanlah
tujuan akhir. Dunia adalah jembatan menuju akhirat.
Ketiga, tidak takut mati. Bagi kebanyakan orang, kematian menjadi sesuatu yang menakutkan. Namun tidak
demikian bagi seorang muslim yang sentiasa bersikap syaja'ah dalam melakukan segala tindakan. Baginya kematian
adalah sebuah kepastian.
Keempat, tidak ragu-ragu dalam bertindak, apabila seseorang ragu-ragu dengan kebenaran yang dia
perjuangkan, tentu dia tidak akan sanggup menghadapi segala risiko. Tetapi, jika ia yakin dengan kebenaran yang
diperjuangkannya maka muncullah keberanian. Rasulullah Saw mengajarkan: "Tinggalkanlah apa-apa yang
meragukanmu,menuju apa-apa yang tidak meragukanmu." (HR Termizi dan Nasa'i)
Kelima, tidak mengutamakan kekuatan material. Seorang muslim memang meyakini bahwa kekuatan harta
benda itu diperlukan dalam setiap perjuangan menegakkan kebenaran, namun material bukanlah segala-galanya.
Sebaliknya Allah Swt juga yang akan menentukan segalanya. Jumlah yang banyak tidak menjamin sebuah
kemenangan, sebagaimana jumlah yang sedikit tidak selalu berarti kekalahan.
Keenam, tawakal (berserah diri) dan yakin akan pertolongan Allah. Orang-orang yang memperjuangkan
kebenaran tidak pernah merasa takut akan hasil yang tidak memuaskan sebab ia selalu bertawakal kepada Allah
setelah berusaha dengan maksimal.
Ketujuh, pendidikan merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan sikap syaja'ah seorang muslim,
pendidikan dapat dimulai dari keluarga, sekolah, masjid maupun dari lingkungan. Semoga sikap syaja'ah ini bukan
sekadar kenangan yang tercatat dalam sejarah semata, tetapi menjadi bagian dari sifat kita sebagai seorang muslim
sejati. (mrn)

Prudence (Karakter Ke-13)


Prudence berarti bijaksana, teliti dan hemat. Kematangan dan sikap bijaksana, kita sadari menjadi sangat
krusial di tengah semakin banyaknya persoalan yang silih berganti dan tuntutan peran yang semakin kompleks. Rasa
galau dan kecewa selalu membayangi hari-hari kita.

11
Tidak semua orang memaknai kehidupan dengan bijaksana, justru yang acapkali terjadi adalah  memaknai hidup
dengan cara yang tidak bijaksana dan tidak sehat. Kita sering menjumpai ketika seseorang berhadapan dengan
kesulitan hidup, mereka lebih memilih untuk menyakiti diri sebagai cara potong kompas atau menggerutu dan
komplain kepada Tuhan . Tentu masih terngiang dalam ingatan kita, bagaimana seorang siswa bangga setelah
membunuh siswa lainnya dalam sebuah tawuran di Jakarta, atau rangkaian pembunuhan massal yang terjadi di
Amerika, kejadian ini menunjukkan keadan psikologis seseorang yang tidak matang dan jauh dari sikap bijaksana.
Berbagai alasan yang menjadi penyebab, mulai dari masalah keluarga, perasaan terasing serta kehilangan kasih sayang
dan cinta. Padahal kasih sayang dan cinta adalah merupakan kebutuhan dasar manusia dan merupakan inti dari semua
kebijaksanaan. “Manusia hidup, lalu menderita, kemudian mati. Satu-satunya hal yang tetap bertahan adalah cinta.”
(100 cerita bijak NATO)
Sangat tragis jika seseorang harus berkubang dalam kesedihan dengan memeluk bantal kemarahan. Akan
semakin banyak energi yang dihabiskan untuk marah, berkeluh kesah, menyendiri dalam kerendahan diri.Kita tahu
bahwa semua yang hidup, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan semua mengalami persoalan hidup, namun yang
membedakan adalah cara menghadapi persoalan tersebut. Makna kebijaksanaan membedakan seseorang dari yang
lainnya. Orang bijaksana akan menari dan merayakan kesulitan sebagai waktu pertumbuhan. Tarian kebahagiaan tidak
saja pada masa senang tapi di masa-masa sulit;  tarian dan sukacita perayaan layak untuk dilakukan sebagai tanda
adanya kekuatan Tuhan sebagai sumber kebahagiaan.
Betapa pentingnya memaknai segala sesuatu dengan kebijaksanaan, tapi lebih penting lagi adalah bagaimana
kebijaksanaan tersebut terlebih dahulu menjadi bagian dari hidup kita. Kebijaksanaan datang dari perenungan dan
tinggal di dalam firmanNya. Berdirilah diatas kebijaksanaanNya bukan kebijaksanaan manusia atau kebijaksanaan
dunia.
Sebagaimana telah disinggung di awal, selain kebijaksanaan, prudence juga dapat dimaknai sebagai sikap
teliti dan hemat. Dalam tindakan praksis, teliti dan hemat adalah merupakan bagian dari kebijaksanaan. Keduanya
merupakan sebuah nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Mengenai ketelitian Allah berfirman: “ Wahai
orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk
menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini -
dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya) - sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah
lakukan.”(Al-Hujrat:6)
Demikian juga dengan sikap hemat Alah berfirman: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat
akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
sesuatu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya. (Al-Isra:26).
Kondisi alam yang tidak bersahabat, terjadinya pencemaran udara, efek rumah kaca, pemanasan global dan isu-isu lain
tentang lingkungan - membawa dampak pada kehidupan sekarang ini. Setiap individu dituntut untuk menggunakan
energi dengan hemat dan energi yang ramah lingkungan. Dalam salah satu hadits rasulullah bersabda:"Allah akan
memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakannya dengan pertengahan, dan
dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari dia miskin dan membutuhkannya." (HR. Muslim dan Ahmad).
Hemat adalah pola hidup pertengahan. Rasulullah pernah berdialog dengan Jabir, "Mengapa engkau berlebih-
lebihan?" Jabir menjawab, "Apakah di dalam wudhu tidak boleh berlebih-lebihan, wahai Rasulullah?" Rasulullah

12
menjawab, "Ya janganlah engkau berlebih-lebihan ketika wudhu meskipun engkau berada pada air sungai yang
mengalir."
Sebagai pendidik, tentu kita memiliki tanggun jawab yang besar untuk menanamkan kesadaran pada anak
didik untuk melakukan gerakan hemat energi secara konkrit. Kita dapat memulai dari pembiasaan menghemat air
wudhu, menghemat penggunaan listrik, penggunaan kertas dan lain-lain. Dengan demikian kita berharap dapat
memberikan kontribusi bagi generasi berikutnya – kehidupan yang lebih baik.

Justice (Karakter Ke-14)


Sikap adil adalah proporsional dalam menempatkan sesuatu, atau kemampuan menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Menurut Plato, suatu perbuatan dapat dikatakan adil secara moral apabila telah mampu memberikan
perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Sementara menurut Ibnu Taymiyyah (661-728 H) keadilan
adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa
diminta; tidak berat sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban, mengerti
mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan yang telah ditetapkan.
Semua kita tentu sangat mendambakan sebuah tatanan yang dipenuhi dengan keadilan. Walaupun justru
ketidakadilan yang sering kita dapatkan. Mungkin kita belum lupa dengan satu kejadian ketika seorang pencuri sandal,
pencuri semangka dan pencuri kakau yang dijatuhi hukuman tanpa ada remisi ataupun grasi. Sementara pelaku
korupsi masih dapat melenggang dengan tenang. Fenomena ini menunjukkan bahwa keadilan belum berpihak bagi
sebagian orang, terutama yang lemah secara sosial. Orang yang tak punya, jangan mimpi mendapat keadilan di negeri
ini. Keadilan masih bisa dibeli, sehingga cenderung condong kepada mereka yang berduit.
Padahal, keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek
kehidupan, baik individual, keluarga, maupun kehidupan sosial kemasyarakatan. Keadilan tidak hanya menjadi idaman
setiap manusia, bahkan lebih dari itu, kitab suci umat Islam menjadikan keadilan sebagai tujuan risalah samawi.
“Sesungguhnya telah Kami utus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan Al-Mizan supaya manusia dapat menegakkan keadilan.” (Al-Qur'an 57:25).
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berbuat adil dan berbuat ihsan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat
mengambil pelajaran.” (Al-Qur'an 16:90).
Setiap muslim memiliki kewajiban untuk menegakkan dan menjunjung tinggi keadilan. Keadilan Islam adalah
keadilan yang didasarkan atas kebenaran. Sebelum menuntut orang lain untuk berlaku adil, mulailah dari diri kita
sendiri untuk bersikap adil, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain bahkan terhadap musuh yang kita benci
sekalipun. Dalam skala individu sikap adil adalah bagaimana seseorang mampu bertanggung jawab atas penguasaan
dirinya; kapan harus makan, tidur, shalat atau kapan harus belajar. Ukuran keadilan bagi individu adalah bagaimana
orang beragama memproduk diri (memberikan kontribusi) di tengah kondisi sosial. Dalam situasi bertetangga,
berteman dan bermasyarakat, terlebih khusus dengan orang yang serba kekurangan tidak lantas menjadi egois dan
seenaknya sendiri.
Pernah terjadi dimasa Nabi Muhammad SAW seorang yang terhormat dan mempunyai kedudukan yang
tinggi telah melakukan pencurian, maka datanglah beberapa orang menemui Nabi SAW supaya orang tadi dibebaskan
dari hukuman, maka Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya telah binasa orang-orang yang sebelum kamu yaitu

13
sekiranya yang mencuri itu yang berpangkat tinggi, lalu mereka dibiarkan saja.Tetapi jika yang mencuri itu mereka
yang lemah, lalu dengan segera dijatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah yang aku di dalam kekuasaan-Nya,
kalaulah Fatimah binti Muhammad (anak nabi Saw yang sangat dikasihi) mencuri, niscaya aku sendiri yang akan
memotong tangannya.”
Inilah sebagian kecil contoh berkenaan dengan keadilan Islam yang tidak pandang bulu, meskipun terhadap
diri sendiri ataupun keluarga sendiri, kita tetap mesti bersikap adil, sekalipun terhadap orang yang kita benci. “Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa“. (Al-Maidah: 8)
Sikap adil harus menjadi kesadaran bersama (collective consciousness), berfungsi sebagai pedoman hidup.
Model pembinaannya harus dilakukan secara komprehensif dan multi-approaches, mulai dari model pengembangan
moral dari dimensi kognitif, afektif, dan juga behavioristik.
Untuk mewujudkan kesadaran diri tersebut, komponen pertama yang harus berkesadaran adalah komponen
keluarga, selanjutnya amanat besar itu dijalankan oleh komponen pendidik yang didukung secara sinergis oleh
lingkungan dan masyarakat. Sebagaimana ajaran Ki Hajar Dewantara, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun karsa, Tut wuri handayani,” artinya, di depan seorang pendidik harus memberikan teladan atau contoh, i
tengah atau diantara murid seorang guru harus menciptakan prakarsa atau ide dan dari belakang seorang guru harus
memberikan dorongan atau arahan.
Salah satu keunggulan metode suri tauladan (modelling) adalah untuk menumbuhkan benih-benih kesadaran
yang notabene sudah dimiliki oleh setiap insan pada fitrahnya. Karena pada dasarnya setiap manusia dilahirkan
dengan membawa fitrah insaniyah-nya masing-masing, yakni potensi dan bakat yang dianugerahkan langsung oleh
Tuhan sejak masih dalam kandungan ibu. Maka tugas orangtua, guru, dan masyarakat di sekitarnya adalah agar fitrah
insaniyah tersebut aktif kembali dan tereksplorasi dengan baik dan optimal. (red)

Respect (Karakter ke-15)


Sikap saling menghormati sudah tentu menjadi keharusan bagi setiap individu yang mendambakan sebuah
kehidupan yang damai. Dalam skala individu, sikap saling menghormati dapat ditunjukan seseorang ketika berinteraksi
dengan yang lainnya. Dalam salah satu haditsnya Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam. bersabda: “Seorang
pengendara hendaknya mengucapkan salam kepada pejalan kaki dan pejalan kaki mengucapkan salam kepada orang
yang duduk dan jamaah yang beranggota lebih sedikit mengucapkan salam kepada jamaah yang beranggota lebih
banyak.” (Hadits Sahih Riwayat Muslim No. 4019). Bahkan rasulullah tidak pernah membedakan terhadap anak kecil
sekalipun. Dalam hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik ra.: Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam. pernah melewati
anak-anak lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka (Hadits Sahih Riwayat Muslim No. 4031).
Sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah, adalah merupakan manifestasi dari sikap menghormati terhadap
sesama tanpa membedakan status sosial atau latar belakang apapun, karena sesungguhnya kemuliaan seseorang
dihadapan Tuhanya hanya berdasarkan ketakwaan dan amal shalehnya. Rasulullah sangat dikenal dengan sikap
egaliternya.
Dalam skala yang lebih luas, sikap saling menghormati harus diwujudkan terhadap sesama manusia tanpa
diskrimanasi. Indonesia ditakdirkan sebagai negara yang memiliki berbagai keberagaman. Pluralitas agama, etnis,
bahasa dan budaya bukan hal asing lagi bagi bangsa ini. Meskipun hidup dalam kondisi yang beragam, masing-masing

14
bisa hidup rukun dan damai. Keberagaman itu merupakan potensi yang dapat menjadikan negara ini menjadi bangsa
besar. Itu sebabnya falsafah atau semboyan bangsa ini adalah “Bhinnaka Tunggal Ika”. Meskipun berbeda-beda, tetap
memiliki tujuan yang sama dan saling memperkuat antara satu dengan yang lainnya.
Sementara itu, Islam secara etimologi diartikan sebagai “kedamaian”, “selamat” dan “penyerahan diri”.
Artinya di dalam Islam tidak ada ajaran kekerasan. Islam sangat menganjurkan untuk berbuat baik kepada semua
manusia, tidak memandang agama, ras dan juga suku. Agama Islam diturunkan sebagai rahmat untuk semua alam.
Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia adalah masyarakat yang sangat santun dan sangat toleran terhadap
keberagaman ini. Jarang sekali terjadi konflik horisontal yang dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan budaya.
Meskipun dalam banyak hal ada perbedaan, semuanya dapat menerima dan saling menghormati, saling menghargai
satu dengan yang lainya. Bahkan tidak jarang dapat saling membantu dalam pembangunan bangsa ini. Semangat inilah
yang perlu kita pupuk, sehingga konflik yang belakangan sering terjadi dapat segera diatasi.
Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang sangat memperhatikan hubungan antara manusia dengan manusia
yang lain. Karena itu, dalam Islam sikap saling menghormati sangat dianjurkan untuk membina ukhuwah
(persaudaraan).
Di antara sikap saling menghormati, Islam memprioritaskan agar kita menghormati kedua orangtua. Kita dianjurkan
menghormati orang tua dengan cara berterima kasih kepadanya, memelihara tutur kata saat berbicara dengan
keduanya, mendoakan keduanya, memuliakan teman-temannya, dan membangun silaturahim terhadap orang-orang
yang pernah bersamanya.
Pada level berikutnya, kita juga dianjurkan menghormati guru, teman, dan juga tetangga. Sehingga demikian
pentingnya sikap saling menghormati ini, Islam sekali lagi menegaskan, bahwa ketika kita mendapatkan
penghormatan dari orang lain, kita harus membalasnya dengan penghormatan yang lebih baik.
”Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu
dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu.” (An-Nisa:86)
Dengan saling menghormati, membawa kita pada prilaku dan moral yang lebih tinggi. “Respect for ourselves guides
our morals; respect for others guides our manners” (Laurence Sterne) (red)

Cleanliness (Karakter Ke-16)


Cak Nur pernah mengatakan bahwa Muslim di Indonesia ini mayoritas - tetapi Islamnya sangat minoritas. Apa
yang diungkapkan Cak Nur sebenarnya ingin melakukan satu otokritik bahwa secara kuantitatif penganut Islam
(muslim) di Indonesia adalah mayoritas, akan tetapi secara kualitatif nilai-nilai Islam justeru banyak diterapkan oleh
orang-orang barat yang notabene mereka adalah Non Muslim.
Ia pernah menceritakan beberapa contoh kecil nilai-nilai Islam yang dipraktikkan oleh orang-orang barat. Misalnya
dalam kedisiplinan- budaya antri yang sudah melekat bagi mereka, memenuhi hak dan kewajiban, dan perhatian
terhadap kebersihan- mereka tidak berani membuang sampai di sembarang tempat. Kebersihan sudah merupakan
suatu budaya, bahkan jika ada yang melanggar pun –membuang sampah sembarangan misalnya, mereka bisa terkena
denda.
Hal ini kontras dengan kondisi di tengah-tengah masyarakat kita. Nyaris setiap antrian selalu memakan
korban. Antrian kendaraan, tiket nonton bola hingga antrian pembagian zakat. Dalam hal kebersihan hampir setiap

15
hari sungai-sungai di kota besar khususnya, dapat menghasilkan berton-ton sampah. Fenomena ini menunjukkan
betapa kesadaran masyarakat akan kebersihan sangat memprihatinkan.
Akibatnya, kondisi bumi mulai tidak nyaman lagi untuk disinggahi. Berbagai bencana menghampiri kita, banjir, longsor,
dan pemanasan global. Daniel Murdiyasro, peneliti senior pada Centre for International Forestry Research (Cifor)
menjelaskan bencana di Indonesia mencapai 2.800 kali per dekade mulai 1990-an. Frekuensi tersebut jauh meningkat
jika dibandingkan pada 1940-an yang hanya terjadi 100 kali per dekade.
Dalam keadaan darurat seperti ini, setiap gagasan yang memerhatikan lingkungan mendesak dipraksiskan. Sebagai
seorang muslim, harus memahami bahwa sesungguhnya teologi Islam jika dijalankan dengan konsisten akan mampu
merespons persoalan lingkungan dan permasalahan global. Karenanya, usaha mewujudkan teologi yang berkesadaran
bumi menjadi keharusan.
Potensi tersebut menjadikan agama sebagai satu-satunya ruang yang sangat strategis untuk mewujudkan
kesadaran bumi di tengah perubahan iklim yang kian kritis ini. Sebuah kesadaran yang memandang bumi bukan
sebagai objek an sich, tetapi sebagai partner untuk menjaga kelestarian hidup sebagai sesama makhluk-Nya. Isu
lingkungan akan menjadi tantangan serius bagi kehidupan manusia di masa yang akan datang. Sebagai keyakinan yang
terus hadir dalam setiap zaman, agama harus memberikan ruang kesadaran untuk menghargai bumi.
Sebagai konsekuensi fungsi agama untuk manusia, agama selalu dikreasikan untuk menopang segala upaya
demi keberlangsungan hidup umat manusia. Perubahan iklim yang kini mengancam kehidupan merupakan akibat
manusia, karenanya mesti menjadi perhatian khusus teologi. Agama yang baik adalah agama yang menjaga dan
melestarikan, bukan menghancurkan dan memusnahkan kemanusiaan. (Hans Kung)
Sebaliknya, sebagaimana dijelaskan Stephen Sulaiman Schwartz bahwa jika agama tidak memberikan kontribusi bagi
kehidupan manusia, despotik, dan tak acuh terhadap kehidupan, tidak menutup kemungkinan akan lenyap ditelan
sejarah manusia. Corak teologi yang hanya mengurus Tuhan an sich dan melupakan persoalan bumi tidak akan
bertahan lama. Masa depan agama akan ditentukan sejauh mana ia bermanfaat untuk kehidupan manusia di bumi.
Penempatan manusia sebagai khalifah fil alardhi di dalam Islam sesungguhnya bukan berarti bumi berada
dalam kuasa manusia secara mutlak untuk bebas dieksploitasi.Tetapi, sebagai wakil Tuhan di bumi, manusia harus
menjaga kelestarian alam. Keterciptaan manusia dari tanah memerankan bumi laiknya “ibu” yang melahirkan Adam
hingga beranak-pinak. Sebagai “ibu”, ia harus dirawat dan dikasihi, bukan dieksploitasi tanpa moral dan etika. Itulah
tugas sejati kekhilafahan manusia atas bumi. Bumi dan seisinya bukan dzat mati dan tanpa spiritualitas. Tuhan
berkalikali menjelaskan bahwa bumi dan seisinya senantiasa memuji-Nya, siang dan malam. ( sabbaha lillaahi maa
fissamaawaati wal-ardhi).
Dengan demikian, agama tidak melulu harus melangit dan melupakan urusan bumi yang mengancam
keberlangsungan umat manusia. Barangsiapa menyayangi makhluk yang ada di bumi niscaya makhluk langit akan
menyayanginya-man yarhamu man filardhi yarhamu man fissama. Berbagai ayat dan hadis demikian jelas
menegaskan pentingnya kebersihan. Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang yang
memperhatikan kebersihan. Menjaga kebersihan adalah sebuah ibadah yang tak kalah penting dengan ibadah-ibadah
yang lainnya. Bahkan rasulullah saw mengajarkan bahwa dengan hanya sekedar menyingkirkan duri dari jalanan, Allah
akan sangat berterima kasih terhadap orang tersebut dengan mengampuni dosa-dosanya. Jika orang yang tidak
bersyukur, digategorikan sebagai kufur nikmat, mungkin bisa juga orang yang tidak peduli dengan kebersihan
lingkungannya dikategorikan sebagai kufur ekologis. Na’udzubillah.

16
Modesty (Karakter Ke-17)
Rendah hati, sopan, dan sederhana merupakan nilai mendasar yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Ketiga
sifat ini sangat relevan untuk dikemukakan, terlebih pada momentum sekarang ini-dimana sikap rendah hati, sopan
dan sederhana sudah tidak mendapatkan tempat pada sebagian besar individu dalam masyarakat kita. Gejala ini
bukan hanya terjadi di kalangan masyarakat bawah melainkan para elite pun dengan tanpa malu menunjukkan sikap
arogansi, ketidak sopanan dalam bertutur dan bersikap keadaban publik telah diabaikan, serta kemewahan yang
didapat dari keserakahan dengan menghalalkan segala cara. Sikap seperti inilah yang juga mendorong maraknya
tindakan korupsi di negeri ini. Penghargaan terhadap seseorang tidak dipandang dari kapasitas intelektual dan moral,
tetapi sebanyak apa ia memiliki harta dan kekayaan.
Jika pola hidup seperti ini yang menjadi acuan, maka kita harus segera berpikir ulang tentang apa yang terjadi saat ini.
Pola hidup seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan niali kebangsaan kita. Mungkin tidak ada
salahnya jika kita merenungkan satu pepatah lama “ Hiduplah seperti padi-semakin berisi ia semakin menunduk”.
Dalam konsep Islam sikap ini disebut dengan tawadhu atau tadharru yang berarti rendah hati. Kerendahan
hati merupakan salah satu indikator dari tingginya kecerdasan spiritual seseorang. Seorang yang tidak bisa
menunjukkan sikap atau karakter rendah hati, berarti belum mencapai kedamaian dengan dirinya.
“Adapun hamba-hamba Tuhan (Allah) yang Maha Pengasih itua dalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan
rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka
mengucapkan,
Salam.”(al-Furqan: 63)
Pribadi yang rendah hati biasanya justru memandang bahwa orang lain sebagai ciptaan Tuhan memiliki
keunikan dan keistimewaan, sehingga dia senantiasa membuat orang lain merasa penting. Karena sesungguhnya
setiap pribadi adalah istimewa. Setiap orang adalah spesial, unik, dan berhak untuk dihargai.
Orang yang rendah hati akan membahagiakan hati sesama. Jika ia seorang bapak atau seorang ibu, ia akan
membahagiakan keluarganya dengan tulus. Jika ia seorang guru, ia akan selalu mencintai dan merindukan anak
didiknya . Jika ia seorang pemimpin, tentu akan menginspirasi hati rakyatnya.
Salah satu ciri kerendahan hati adalah mau mendengar pendapat, saran dan menerima kritik dari orang lain.
Sering dikatakan bahwa Tuhan memberi kita dua buah telinga dan satu mulut, yang dimaksudkan agar kita lebih
banyak mendengar daripada berbicara. Kadang-kadang hanya dengan mendengarkan saja kita dapat menguatkan
orang lain yang sedang dilanda kesedihan atau kesulitan. Dengan hanya mendengar, kita dapat memecahkan sebagian
besar masalah yang kita hadapi. Mendengar juga berarti mau membuka diri dan menerima, suatu sifat yang
menggambarkan kerelaan untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain maupun diri kita sendiri.
Ciri lain orang yang rendah hati adalah senantiasa berani mengakui kesalahan dan meminta maaf jika
melakukan kesalahan atau menyinggung perasaan orang lain. “Harta tidak akan berkurang karena sedekah, dan
Allah tidak akan menambahkan kepada para hamba-Nya yang pemaaf kecuali kemuliaan, dan tidak seorang pun
merendahkan hatinya kecuali Allah akan memuliakannya”. (HR Muslim)
Orang yang rendah hati adalah orang yang sangat peduli dengan perasaan orang lain. Rendah hati pada
hakekatnya bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari
setiap bentuk keangkuhan. Jika ia diberikan nikmat oleh Allah Swt ia tidak gelap mata dan terlena dengan

17
kekayaannya. Ia sadar semua pemberianNya harus disyukuri dan digunakan semaksimal mungkin untuk kebaikan. Jika
ia seorang yang diberi ilmu ia tidak sombong dengan ilmunya. Jika ia orang yang berpangkat, maka kepangkatan dan
jabatannya tidak lantas membuatnya merendahkan orang lain.
Semua yang melekat pada diri manusia tidak ada yang sempurna, tidak ada yang kekal dan tidak ada yang tidak
berkurang. Orang yang kuat suatu saat akan lemah. Orang kaya kemungkinan akan jatuh miskin. Orang sehat tidak ada
jaminan kalau ia akan sehat selamanya.
Pada hakekatnya semua yang melekat pada diri manusia, suatu saat akan berubah dan lambat laun akan
binasa. Maka dari itu seorang mukmin sejati tidak mungkin menyombongkan diri dihadapan orang lain. Ia menyadari
sepenuhnya bahwa hanya Allah lah yang berhak menyombongkan diri. Orang yang sombong pada hakekatnya ia telah
memposisikan dirinya melawan kemaha Agungan dan keMaha sempurnan Allah.
Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai
pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, seta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa
syukur dan ikhlas di dalam mengemban hidup ini.
Rendah hati bukan berarti merendahkan diri dan menutup diri melainkan secara aktif mendengarkan,
berbagi, dan berempati sehingga terjalin hubungan harmonis antar sesama.

Broad Minded (Karakter Ke-18)


Think Globally, Act Locally dalam koteks tertentu ada benarnya juga, bahkan bisa jadi itu merupakan sebuah
keniscayaan. Langkah besar pasti dimulai dari langkah-langkah kecil. Kemenangan besar, begitu juga-senantiasa
dibangun atas pundi-pundi kemenangan kecil. Perubahan yang dibawa dengan nuansa proses yang humanis,
berlanjut, dan memberikan manfaat mampu mendorong terbentuknya puzzle besar dalam peradaban manusia di
muka bumi.
Jika kita belum mampu bertindak pada tingkat global, paling tidak kita tetap mampu berpikir dalam konteks
global. Untuk dapat berpikir secara global tentu kita harus memiliki wawasan yang luas-dimana ilmu pengetahuan
sebagai pintunya.
Kegiatan keilmuan dalam lintasan sejarah Islam telah dimulai pada masa rasulullah Saw. Beliau telah
menjadikan mengajar baca-tulis bagi 10 orang penduduk Madinah sebagai syarat pembebasan bagi setiap tawanan
perang Badar. Pada masa itu nabi Muhammad senantiasa menanamkan kesadaran pada sahabat dan pengikutnya  
akan urgensi ilmu dan selalu mendorong umat untuk senantiasa mencari ilmu. Hal ini dapat kita buktikan dengan
adanya banyak hadis yang menjelaskan tentang urgensi dan keutamaan (hikmah) ilmu dan orang yang memiliki
pengetahuan.
A-Ma’mun, salah satu khalifah Daulat Bani Abbasiyah, mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad pada tahun 815
M, di dalamnya terdapat ruang-ruang kajian, perpustakaan dan observatorium (laboratorium).
Institusi pendidikan Islam yang mulai menggunakan sistem pendidikan ‘modern’ baru muncul dengan berdirinya
Perguruan al-Azhar oleh Daulat Bani Fatimiyyah di Kairo pada tahun 972 M. Pada al-Azhar, selain dilengkapi dengan
perpustakaan dan laboratorium, mulai diberlakukan sebuah kurikulum pengajaran.
Fakta-fakta sejarah tersebut, menunjukkan bahwa sudah menjadi keharusan bagi seorang muslim untuk memeiliki
wawasan yang luas jika tidak ingin tergerus oleh zaman yang semakin terus berkembang. Era globalisasi pada saat ini
menuntut kita pada pemikiran-pemikiran yang berwawasan luas.

18
Berwawasan erat kaitannya dengan banyaknya kuantitas pengetahuan yang seseorang miliki. Tentang hal ini
mungkin kita dapat belajar dari beberapa tokoh inspiratif seperti Leon Trotsky, ia disindir dan dikritik karena ia
membawa buku berpeti-peti ke tempat pembuangan yang pertama di Alma Ata. Kita juga barangkali belum lupa
dengan peti-peti buku yang mengiringi Bung Hatta ke tempat pembuangannya. Demikian juga dengan Tan Malaka
dalam pelariannya yang tidak lepas dari buku. Menurutnya, bagi seseroang yang ingin menyebarkan dan
menyumbangkan pemikirannya, baik dengan pena maupun dengan lisan, perlulah referensi yang cukup. Ia
mengilustrasikan seperti seorang tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti semen, batu tembok
dan lain-lain tidak ada. Buku-buku tersebut tentulah besar faedahnya sebagai sumber pengetahuan.
Dalam alam pikiran, kita mesti mendoktirn sekuat mungkin tentang komitmen kita kepada ilmu
pengetahuan. Yang sebenarnya agama sendiri telah menegaskan mengenai hal ini, bahwa ummat Islam atau manusia
diperintahkan pertama kali untuk membaca sebagaimana dalam surat al Alaq yang turun pertama (bulan ramadhan)
kepada nabi Muhammad pada waktu itu, ratusan tahun lalu (terhitung semenjak 22 Desember 609 M. Jadi kita
bayangkan tuhan memberikan buku (kitab) kepada manusia. Pasti, kewajiban membacanya adalah melekat di
dalamnya. Begitu juga kitab-kitab agama lainnya--pada prinsipnya mereka tidak menolak berkembangnya
pengetahuan melalui buku-buku bacaan. Karena itu, kebaranian menempatkan tradisi membaca sebagai bagian dari
manifestasi keimanan adalah sebuah keniscayaan bagi kebangkitan ummat manusia yang akan menjadi rahmat bagi
seru sekalian alam.
Dengan membacalah seseorang akan memiliki wawasan dan pandangan yang luas. Ia memiliki keterbukaan,
demokratis, siap menerima perbedaan, siap mengkritik dan dikritik serta siap dalam menerima hal-hal yang baru.
Akan tetapi rasanya timpang bila kita memiliki wawasan yang luas, namun dalam aplikasi keseharian kita
sangat rendah. Hal seperti itulah barangkali yang biasa kita sebut NATO (No Action Talk Only). Memiliki wawasan yang
luas harus ditopang dengan tindakan inisiatif yang dapat melahirkan ide-ide hebat dari diri kita. Karena Ide biasa
muncul ketika kita diam, dan Ide Hebat muncul ketika kita bergerak-alharokatu barokah –bergerak itu akan membawa
pada keberkahan.
Maka tidak ada salahnya apabila mulai sekarang juga, detik ini, dimulai pada diri kita, bergeraklah karena
dengan bergerak ide-ide hebat akan muncul dan Berinisiatiflah untuk senantiasa mengarahkan diri pada suatu hal
yang lebih baik dari sebelumnya.

Being Joyful (Karakter Ke-19)


Inti agama adalah mengenal Allah (ma’rifatul-lah). Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang
baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan tali kasih sayang (silaturrahim). Dan silaturrahim adalah
‘memasukkan rasa bahagia di hati saudara (sesama) kita (idkhalus-surur fi qalbil-ikhwan)’”.
Tentu akan kesulitan jika kita ingin membahagiakan orang lain, sementara kita sendiri berada dalam penderitaan.
Maka tidak ada pilihan– jika kita ingin membahagiakan orang lain, kita sendiri harus menjadi seorang yang bahagia.
Menurut beberapa penelitian orang yang dibesarkan tanpa cinta dan kasih sayang ia sulit untuk bisa mencintai dan
menyayangi orang lain, bahkan mereka kesulitan juga untuk menerima kasih sayang dari orang lain. Lalu tips apa yang
membuat kita bahagia? Bahagia adalah pilihan- bahagia datang dari dalam diri kita sendiri (come from inside our self).
Ada sebuah kisah menarik. Suatu hari di tengah samudera, seekor ikan muda menghampiri seekor ikan yang
lebih tua dan bertanya, "Wahai temanku, usiamu lebih tua dari aku, karena itu aku hendak minta tolong kepadamu.

19
Bisakah engkau menunjukan kepdaku di mana letaknya samudera yang luas. Sekian lama aku mencarinya tapi selama
itu pula aku tidak menemukannya?".
Ikan tua itu balik bertanya, "Hai ikan muda, kenapa engkau mencari-cari samudera, bukankah sekarang engkau sedang
berada di tengah-tengah samudera?". "Mana mungkin, ini hanyalah air. Aku berada di dalam air. Sejak dilahirkan aku
hidup di dalam air seperti ini!". Dengan penuh kecewa, ikan muda tersebut pergi kembali untuk mencari-cari
samudera.
Ikan muda tersebut hakikatnya cerminan diri kita, dan samudera yang luas adalah cerminan kebahagiaan.
Siang-malam kita mencari kebahagiaan, tapi sepanjang siang dan malam itu pula kita gagal mendapatkannya. Padahal,
kebahagiaan itu tidak perlu kita cari jauh-jauh. Kebahagiaan itu ada di dekat kita. Bahkan, kita berada di dalamnya.
Yang jadi masalah kita tidak sadar dan tidak tahu apa yang namanya kebahagiaan tersebut; di mana letaknya dan
bagaimana cara mendapatkannya. Seringkali kita menganggap bahwa kebahagiaan berasal dari hal-hal di luar diri kita;
harta, pangkat, jabatan, pengaruh, pencapaian prestasi akademik, atau terpenuhinya segala keinginan. Padahal bukan
itu sumber kebahagiaan yang utama, Sumber kebahagiaan ada pada diri, ada pada relung-relung hati yang terdalam,
dan pada cara pandang kita terhadap dunia.
Dalam persepsi umum, kesuksesan menyebabkan kebahagiaan mutlak. Padahal menurut Dr Paul Pearsall,
dalam penelitiannya menemukan orang yang justru menderita setelah memperoleh sukses. Dr Pearsall membedakan
antara sukses yang beracun, toxic success, dan sukses yang manis, sweet success.
Dengan demikian kebahagiaan bukan ditentukan oleh sukses atau tidaknya seseorang, melainkan bagaimana kita
menyikapi dan merespon sesuatu yang terjadi terhadap diri kita baik berupa musibah ataupun anugerah. Sebagai
contoh ketika kita dihadapkan pada satu kondisi yang sulit, katakanlah ketika kita terjebak macet. Macet adalah
realitas objektif yang sulit sekali untuk dihindari, tetapi kita masih punya pilihan secara subjektif untuk menyikapi
terhadap kemacetan tersebut. Pilihannya adalah kita bisa memilih untuk stress dan menggerutu sehingga kita sangat
menderita, atau kita menyikapi dengan tenang sehingga kita tetap bahagia. Jika kita memilih untuk menderita, dua
kerugian yang kita dapatkan “macet” dan “menderita”. Tetapi, jika kita memilih untuk tetap bahagia kerugiannya
hanya satu “macet”.
Imam Ali Zainal Abidin, suatu ketika jatuh sakit. Dalam sakitnya beliau mengatakan “Aku tidak tahu mana
yang harus aku syukuri, ketika aku sehat ataukah ketika aku sakit? Ketika beliau ditanya wahai imam, apa maksud
engkau mengatakan seperti itu? Lalu beliau menjelaskan; Ketika kita sehat sudah tentu itu kenikmatan yang harus
disyukuri, dan ketika kita sakit Allah akan mengampuni dosa-dosa kita jika kita menghadapinya dengan kesabaran.
Baginya, sehat maupun sakit merupakan kebaikan sehingga keduanya patut disyukuri. Musibah dan
anugerah, keduanya dapat membahagiakan. Kemampuan seperti inilah barangkali yang harus selalu kita tanamkan
terhadap peserta didik. Kemampuan merespon sescara positif terhadap suatu keadaan adalah merupakan salah satu
bagian dari kecerdasa spiritual (SQ) yang harus dikembangkan pada setiap individu sehingga dengan kecerdasan ini
dapat melengkapi kesuksesan seseorang dengan kebahagiaan.

Self-Control (Karakter Ke-20)


Realita  hidup sehari-hari, terutama di kota-kota besar, seringkali memaksa seseorang sulit untuk tidak
marah. Beban kerja menumpuk, deadline yang memburu, hingga jalanan macet, membuat banyak orang akrab
dengan amarah. Marah adalah fitrah. Bahkan Imam Syafii pernah mengatakan bahwa yang tidak memiliki rasa marah

20
diibaratkan seperti Khimar (keledai). Hanya saja sebagai sebuah fitrah, marah harus dapat dikendalikan dengan baik.
Marah yang berlebihan adalah racun bagi tubuh dan jiwa.
Dari Berbagai riset klinis telah membuktikan indikasi, bahwa dalam jangka panjang kemarahan dapat merusak
kesehatan bahkan hingga menyebabkan kematian. Orang yang biasa marah sepanjang hidupnya akan mati 10 tahun
lebih muda ketimbang seseorang yang dapat mengendalikan amarah. Saat seseorang marah, kadar serotonin dalam
otak akan menurun. Akibatnya, perilaku agresif dan aktivitas sistem syaraf simpatik seperti pernafasan dan denyut
jantung, menjadi meningkat. Konsentrasi menurun dan keinginan untuk melakukan hal-hal yang buruk. Kata Rumi,
dengan marah seseorang telah menciptakan tabir antara hati dan matanya, sehingga tidak mampu memperlihatkan
kebajikan.
Dale Carnegie, seorang penulis populer, saat menawarkan kiat untuk menghilangkan rasa cemas menulis,
“Anda tidak cukup suci untuk mencintai musuh-musuh Anda. Akan tetapi, demi kesehatan dan kebahagiaan Anda,
lupakan mereka dan maafkan mereka.”
Setidaknya ada ada dua peristiwa besar yang dicontohkan Rasulullah dalam hal pengendalian diri sekaligus cerminan
sikap kasih sayangnya.  Yaitu peristiwa Thaif dan ‘fathul Makkah.’  Rasulullah dan beberapa orang Islam hijrah ke Thaif 
setelah mengalami masa-masa  sulit yaitu hijrah ke  Ethiopia (tahun 5 dari kenabian) akibat siksaan dan hinaan kafir
Quraisy; pemboikotan  terhadap dua keluarga besar Nabi yaitu Bani Hasyim dan Bani Muthalib oleh kafir Quraisy; juga
ketika beliau mengalami tahun kesedihan (‘aamul hazn)  pada tahun ke-10 dari kenabian, karena meninggalnya dua
orang yang berperan besar dalam dakwah beliau yaitu Siti Khadijah, dan Abu Thalib.
Ketika di Thaif  Rasulullah menemui pemuka kabilah Tsaqif, namun mereka menolak dan bahkan melakukan
kekerasan fisik terhadap Nabi. Dalam suatu riwayat, ketika itu malaikat membisikkan kepada Nabi Muhammad,
apakah perlu mengangkat bebatuan bukit di Thaif untuk ditimpakan kepada pelaku kekerasan tersebut.
Rasulullah   menjawab ‘tidak perlu’, sebab menurut beliau mereka menolak dakwahnya karena ketidaktahuan
mereka tentang ajaran Islam. Bahkan beliau mendoakan agar penduduk Thaif tersebut diberi ampunan dan menjadi
pejuang-pejuang Islam.  Di kemudian hari banyak orang Thaif yang masuk Islam dan menjadi tokoh-pejuang Islam.
Dalam peristiwa fathul Makkah (penaklukan kota Makkah) Rasulullah kembali menunukkan dirinya sebagai
uswah-hasanah dalam  pengendalian diri. Meskipun beliau bisa saja membalas  perlakuan  kasar, hinaan dan
pemboikotan yang pernah dilakukan kafir Quraisy  ketika beliau berdakwah pada periode Makkah.  Beliau tidak
melakukannya karena kemampuan mengendalikan diri, sebaliknya memberi maaf  kepada seluruh penduduk Makkah. 
Kaum kafir Quraisy Makkah yang ketika itu menunggu keputusan dengan penuh was-was, dan sudah mengira  akan
ada pembalasan, menjadi terperangah campur terpesona ketika  Rasulullah  memberikan pengampunan.
Keterpesonaan atas sikap Rasulullah yang berpangkal dari pengendalian diri inilah  yang menyebabkan kafir
Quraisy berbondong-bondong masuk Islam, tentu berkat pertolongan Allah sebagaimana dilansir dalam Qs. An-Nashr.
Dari kedua contoh peristiwa tersebut, pengendalian diri harus dilakukan dalam dua keadaan. Yaitu ketika
seseorang dihadapkan kepada banyak tantangan dan kesulitan. Peristiwa Thaif memberikan tuntunan itu.  Juga ketika
seseorang berada dalam keadaan lapang, unggul dan dominan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah dalam
peristiwa   fathul Makkah.
Kemampuan menahan marah merupakan salah satu tanda ketakwaan. Seperti yang terdapat di dalam Al-
Quran surah Ali Imran ayat 134. “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang

21
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Kemampuan untuk menahan marah di saat ada peluang, kesempatan, dan situasi yang memungkinkan kita
mengumbarnya, merupakan bentuk kebajikan yang tinggi. Orang yang mampu menahan marah, oleh Nabi Saw
disebut sebagai orang yang kuat. Beliau bersabda: “Orang yang kuat bukanlah orang yang jago gulat, tetapi (orang
yang kuat itu adalah) orang yang mampu menahan diri-nya ketika marah” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).

22

Anda mungkin juga menyukai