PROPOSAL SKRIPSI
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta
senantiasa memberikan kesehatan jasmani dan rohani. Sehingga sampai
saat ini penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi dengan lancar
dan tentunya tepat waktu dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Stres Kerja Pada Pekerja Di PT PLN (Persero) UP3 Tanjung
Karang Bandar Lampung Tahun 2020”.
1. Dr. Ir. Arif Kusuma Among Praja, MBA. Selaku Rektor Universitas
Esa Unggul Jakarta
2. Dr. Aprilita Rina Yanti Eff, M. Biomed, Apt selaku Dekan Fakultas
Ilmu – ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul
3. Ibu Putri Handayani, S.KM, M.KKK selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat
4. Ibu Cut Alia Keumala Muda, SKM., M.K.K.K. selaku Dosen
pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk mengarahkan saya dalam penyusunan Proposal Penelitian ini
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Proposal Penelitian ini
terdapat kekurangan, mengingat penulis dalam taraf belajar sehingga
masih terdapat keterbatasan ilmu dan pengalaman.
Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi kesempurnaan Proposal Penelitian ini, Demikian
Proposal Penelitian ini penulis buat, semoga bermanfaat bagi penulis
khusunya bagi para pembaca umumnya.
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN......................................................................ii
KATA PENGANTAR...............................................................................iii
DAFTAR ISI...............................................................................................v
DAFTARGAMBAR..................................................................................vi
DAFTAR TABEL.....................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
1.1. Latar Belakang………………………………………………..1
1.2. Perumusan Masalah…………………………………………..7
1.3. Pertanyaan Penelitian…………………………………………8
1.4.Tujuan…………………………………………………………...…9
1.5.ManfaatPenelitian…………………………………………….…...9
1.6.Ruang Lingkup……………………………………….………….10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi,
proses berfikir, dan kondisi seseorang. Hasilnya stres yang terlalu besar
dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan
yang akhirnya mengganggu pelaksanaan tugas tugasnya dan berarti
mengganggu prestasi kerjanya (Handoko ,2008). Stres kerja adalah rasa
tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaanya sebagai
akibat dari adanya ketedikseimbangan antara karakteristik individu dengan
tuntutan pekerjaan dan lingkungannya yang berdampak pada perilaku serta
kondisi fisik dan psikologis karyawan tersebut (Cahyono, 2019).
Ada berbagai faktor yang menyebabkan stres kerja, yaitu dari faktor
individu (masalah keluarga, ekonomi, dan kepribadian), faktor organisasi
(tuntutan tugas, tuntutan peran, dan tuntutan hubungan interpersonal),
serta faktor lingkungan (ketidak pastian ekonomi, ketidakpastian politik,
dan perubahan teknologi). Salah satu sumber stres adalah karakteristik
pekerjaan yang biasanya ditunjukan dengan konflik peran, ambiguitas
peran, dan beban kerja berlebihan (Hardiningtyas, 2017). Tingginya
tuntutan pekerjaan, kompleknya alur kerja, dan semakin tingginya tujuan
organisasi menuntut setiap karyawan harus bekerja dengan cepat, fokus
dan maksimal. Tekanan kerja menjadi sisi yang terus dihadapi oleh para
pekerja karyawan, dimana tekanan kerja yang tinggi akan dapat
mengakibatkan mereka mengalami stres disamping memunculkan konflik
diantara mereka. Hal ini menjadi masalah serius saat ini yang dihadapi
organisasi dalam menghadapi persaingan global (Suryani, 2019).
Menurut data WHO tahun 2017, di banyak negara sebesar 8% penyakit
yang ditimbulkan akibat kerja adalah depresi. Hasil penelitian Labour
Force Survey pada tahun 2014 menemukan adanya 440.000 kasus stres
akibat kerja di Inggris dengan angka kejadian sebanyak 1.380 kasus per
100.000 pekerja yang mengalami stres akibat kerja. Sebesar 35% stres
akibat kerja berakibat fatal dan diperkirakan hari kerja yang hilang sebesar
43%. Berdasarkan survei statisitik kesehatan Australia Barat dinyatakan
bahwa pekerja laki-laki kehilangan kira-kira 50,8 hari kerja dan pekerja
.wanita kehilangan kira-kira 58,5 hari kerja. Kesehatan jiwa merupakan
salah satu pendukung untuk meningkatkan sumber daya manusia sehingga
merupakan salah satu hal yang dapat meningkatkan produktivitas tenaga
kerja ditempat kerja. Kesehatan jiwa menjadi salah satu permasalahan
kesehatan yang signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Terdapat
sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta
orang terkena skizofernia, serta 47,5 juta terkena dimensia (WHO, 2017).
Data Kemenkes (2019). menunjukkan bahwa 7 dari 1000 Rumah
Tangga terdapat anggota keluarga dengan Skizofrenia/Psikosis. Lebih dari
19 juta penduduk usia diatas 15 tahun terkena gangguan mental emosional,
lebih dari 12 juta orang berusia diatas 15 tahun diperkirakan telah
mengalami depresi. Sedangkan, WHO (2010) menyebutkan angka bunuh
diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8% per 100.000 jiwa.
Masalah Kesehatan Jiwa di Indonesia meningkat berdasarkan hasil
Riskesdas tahun 2018 di Lampung sendiri Gangguan Mental Emosional
(gejala depresi) pada umur > 15 tahun sebesar 3,2 % (Dinkes, 2018).
PT PLN (UP3) Perseo Tanjung Karang merupakan perusahaan listrik
milik negara yang focus lingkup pekerjaan nya adalah unit di bawah induk
atau pusat-pusat sebagai pembagian wilayah pelayanan PLN kedalam
ruang lingkup yang lebih kecil , agar pelayanan PLN bisa lebih terfokus
dan langsung menyentuh pada masyarakat, contohnya adalah Unit
Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Pekerja di PT PLN (Perseo) UP 3
memiliki tiga devisi yaitu devisi perencanaan, transaksi energi listrik dan
jaringan. Devisi perencanaan bertugas bertanggung jawab atas kordinasi
penyusunan program anggaran yang akan di lakukan dan melakukan
pengadministrasian anggaran. Devisi jaringan kegiatan nya meliputi
pelayanan pelanggan. Sedangkan devisi transaksi listrik memiliki beban
kerja yang berat dikarenakan mereka bertugas mengkordinasikan
pengoprasian peralatan, pengukuran proteksi dan pemeliharaan untuk
meningkatkan keandalan penyaluran tenaga listrik yang efektif dan efisien
2
kepada masyarakat. Setiap devisi bertugas membuat laporan rutin dan
berkala sesuai dengan bidang tugasnya, Mengelola, memonitor dan
mengevaluasi pelaksanaan keamanan, keselamatan kerja dan kesehatan
lingkungan kerja, melaksanakan kegiatan rumah tangga kantor,
melaksanakan administrasi perkantoran sesuai ketentuan.
Menurut penelitian (Firda, 2017) pada perawat instalasi ruang rawat
inap di RS Kanker Dharmais dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara shift kerja perawat dengan stress kerja. Shift kerja
merupakan suatu cara mengorganisir waktu kerja harian pada orang lain
atau tim yang berbeda-beda sacara berturut-turut untuk waktu kerja yang
biasanya 8 jam, dan meliputi waktu keseluruhan 24 jam (Agustin, 2012).
Menurut penelitian (Wulandari, 2020) pada guru SD,SMP,SMA
sekolah Galatia kecamatan Medan satria Bekasi dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan stress kerja pada
guru SD,SMP,SMA sekolah Galatia kecamatan Medan satria Bekasi.
Menurut Nurwantarai (1998) Umur diartikan sebagai lamanya keberadaan
seseorang yang diukur dalam satuan waktu dipandang dari segi
kronologik, individual normal memperlihatkan derajat perkembangan
anatomis, dan fisiologik sama.
Menurut penelitian (Tiur, 2013) pada perawat IGD di RSPAD Gatot
Soebroto dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara jam kerja dengan stress kerja pada perawat IGD di RSPAD Gatot
Soebroto. jam kerja merupakan bagian dari empat faktor organisasi yang
merupakan sumber potensial dari stres para karyawannya ditempat kerja.
jam kerja dalam sehari yaitu 8 jam kerja, > 8 jam kerja/hari maka akan
menimbulkan reaksi negative dan penurunan kualitas. Semakin lama
pekerja maka membuat pekerja lebih tertekan dan lebih lama terpapar
dengan bahaya yang ada di lingkungan kerja (Burton, 2017)
Dikarenakan selama terjadi pandemi Covid-19 banyak pegawai yang
di rumahkan, sehingga yang bekerja hanya 50 % dari total pegawai yang
bekerja secara WFO (work from office) untuk melayani keluhan pelanggan
mulai dari perbaikan gardu listrik, kabel, dan jaringan. Pegawai memiliki
3
target penyelesaian tugas setiap harinya, seperti menangani keluhan-
keluhan dari masyarakat seperti gangguan pada listrik rumah tangga,
memperbaiki gangguan listrik umum seperti pada gardu listrik, melakukan
pemasangan listrik dan permintaan penambaham daya sementara itu
jumlah pegawai yang sedikit membuat setiap pegawai bekerja dengan jam
kerja yang lebih banyak untuk menyelesaikan target keluhan masyarakat
sehingga mereka sering pulang larut malam dan bahkan sampai menginap
dikantor sehingga kadang ada pegawai yang sampai jatuh sakit. Hal ini
membuat jumlah karyawan yang bekerja semakin sedikit dan memicu
terjadinya stres kerja. Dampak yang ditimbulkan dari stres kerja yaitu
menurunnya produktivitas kerja, kebosanan, keletihan, frustasi, kehilangan
kesabaran dan meningkatnya keterlambatan kerja. Apabila stres tidak
dikelola dengan baik, maka pegawai akan kehilangan konsentrasi sehingga
dapat melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaan yang dimana
terdapat banyak sumber bahaya terutama di bagian pemeliharaan alat
sehingga dapat membahayakan keselamatan pegawai dan menimbulkan
kecelakaan kerja.
Berdasarkan hasil pengamatan awal yang dilakukan penulis terhadap
20 (dua puluh ) pekerja di PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang Lampung
dengan survey menggunakan kuesioner DASS 21 melalui google form,
terdapat 11 orang 55% mengalami stress sangat berat, pekerja mengalami
stress berat 4 orang 20%, pekerja yang mengalami stress sedang 3 orang
15%, pekerja mengalami stress ringan 1 orang 5% dan pekerja yang tidak
mengalami stress terdapat 1 orang 5%.
Tingginya angka stress kerja pada pegawai di PLN (Persero) UP3
Tanjung Karang dikarenakan berdasarkan hasil wawancara pada tim HSE
perusahaan menyebutkan bahwa kerja di PLN (Persero) UP3 Tanjung
Karang Lampung memiliki tekanan yang cukup besar apalagi saat
pandemic sebagian karyawan harus WFH dan sudah pernah mengusulkan
untuk penambahan karyawan untuk mengantisipasi karyawan yang tidak
masuk kerja dengan berbagai alasan seperti cuti, sakit, izin urusan
keluarga, izin urusan perkuliahan dll. Saat ada karyawan yang tidak
4
masuk, maka karyawan lain harus pulang larut malam dan bahkan sampai
menginap di kantor kerena banyak tugas yang harus diselesaikan terlebih
dahulu dan hal ini berdampak pada kesehatan fisik dan mental pegawai
sehingga memicu terjadinya stres kerja.
Menurut Nursan, (2019). Dampak pekerja yang mengalami stres kerja
di tempat kerja dapat memunculkan perubahan-perubahan antara lain:
bekerja melewati batas kemampuan, keterlambatan masuk kerja yang
sering, ketidakhadiran pekerjaan, kesulitan membuat keputusan, kelalaian
menyelesaikan pekerjaan, kesulitan berhubungan dengan orang lain,
kerisauan tentang kesalahan yang dibuat, menunjukan gejala fisik seperti
pada alat pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang
pernafasan.
Dampak akibat stres kerja yang dialami oleh pekerja di PT. PLN
Persero UP 3 Tanjung Karang Lampung adalah pekerja merasa cemas,
sulit berkonstrasi, ada keinginan untuk tidak masuk kerja. Hal tersebut
berdampak pada perusahaan sehingga membuat terhambatnya kegiatan
produksi.
Berdasarkan permasalahan yang di rasakan oleh pekerja di PT.
PLN Persero UP3 Tanjung Karang Lampung perlu di lakukannya upaya
pencegahan dan pengendalian stres kerja untuk menghindari dampak
negatif yang dapat ditimbulkan dari stres kerja. Maka dari itu penulis
merasa perlu untuk mengangkat penelitian dengan judul “Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan Stres kerja Pada Pekerja PT PLN
Persero UP3 Tanjung Karang Lampung Tahun 2020”
1.2. Perumusan Masalah
Pekerja di PT PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang mempunyai
pekerjaan yang berpotensi mengalami tingkat stres kerja. Hal itu salah
satunya dikarenakan adanya tuntutan tugas yang besar. Dampak dari stres
ini menyebabkan timbulnya kecemasan, agresif, angkuh, kebosanan,
keletihan, frustasi, kehilangan kesabaran, gugup, merasa kesepian serta
menurunkan produktivitas kerja. Berdasarkan hasil pengamatan awal yang
5
dilakukan penulis terhadap terhadap 20 (dua puluh ) pekerja di PLN
(Persero) UP3 Tanjung Karang dengan survey menggunakan kuesioner
DASS 21, terdapat (11 orang) pekerja 55% mengalami stress sangat berat
kerja, dan stress berat (4 orang) pekerja 20% pekerja yang mengalami
stress sedang (3 orang) 15% , (1 orang) pekerja 5% pekerja yang
mengalami stress ringan dan (1 orang) pekerja 5% yang tidak mengalami
stres kerja dan tidak merasakan gejala – gejala yang disebutkan diatas.
Faktor-faktor risiko yang beragam di tempat kerja berpotensi
menimbulkan stres kerja pada pegawai tersebut. Oleh karena itu, penulis
ingin Faktor-Faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada pekerja di
PT PLN (Perseo) UP3 Tanjung Karang Lampung Tahun 2020.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada
pekerja di PT PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang Lampung tahun
2020?
2. Bagaimana gambaran stres kerja pada Pekerja di PT PLN (Persero)
UP3 Tanjung Karang Lampung tahun 2020?
3. Bagaimana gambaran umur pada Pekerja di PT PLN (Persero) UP3
Tanjung Karang Lampung tahun 2020?
4. Bagaimana gambaran shift kerja pada Pekerja di PT PLN (Persero)
UP3 Tanjung Karang Lampung tahun 2020?
5. Bagaimana gambaran jam kerja pada pekerja di PT PLN(Persero) UP3
Tanjung Karang Lampung tahun 2020?
6. Apakah ada hubungan antara umur dengan stres kerja pada Pekerja di
PT PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang Lampung tahun 2020?
7. Apakah ada hubungan antara shift kerja dengan stres kerja pada
pekerja PT PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang Lampung tahun 2020?
8. Apakah ada hubungan antara jam kerja dengan stres kerja pada pekerja
PT PLN( Persero) UP3 Tanjung Karang Lampung tahun 2020?
6
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada
Pekerja di PT PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang Lampung
Tahun 2020.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada
pekerja di PT PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang Lampung tahun
2020.
2. Mengetahui gambaran stres kerja pada Pekerja di PT PLN (Persero)
UP3 Tanjung Karang Lampung tahun 2020.
3. Mengetahui gambaran umur pada Pekerja di PT PLN (Persero) UP3
Tanjung Karang Lampung tahun 2020.
4. Mengetahui gambaran shift kerja pada Pekerja di PT PLN (Persero)
UP3 Tanjung Karang Lampung tahun 2020.
5. Mengetahui gambaran jam kerja pada pekerja di PT PLN(Persero)
UP3 Tanjung Karang Lampung tahun 2020.
6. Mengetahui hubungan antara umur dengan stres kerja pada Pekerja di
PT PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang Lampung tahun 2020.
7. Mengetahui hubungan antara shift kerja dengan stres kerja pada
pekerja PT PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang Lampung tahun 2020.
8. Mengetahui hubungan antara jam kerja dengan stres kerja pada pekerja
PT PLN( Persero) UP3 Tanjung Karang tahun 2020.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan
mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat
berdasarkan pemahaman teori dan konsep yang sudah dipelajari . peneliti
mendapatkan nilai belajar tentang stres kerja dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pada pekerja PT PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang
Lampung
7
1.5.2. Bagi Institusi Pendidikan
1. Penelitian ini dapat digunakan untuk lingkungan civitas akademika
untuk peningkatan ilmu pengetahuan dan sebagai refrensi bagi
akademisi khususnya mahasiswa K3
2. Hasil penelitian dapat dijadikan referensi peneliti lainnya yang akan
melakukan penelitian mengenai stres kerja.
1.5.3. Bagi PT PLN (Persero) UP 3 Tanjung Karang
1. Hasil penelitian ini menjadi informasi tambahan mengenai stres kerja
pada pekerja serta faktor – faktor yang berhubungan dengannya.
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi agar dapat
dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian stres kerja pada
pekerja PT PLN (Persero) UP 3 Tanjung Karang Tahun 2020
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi stres kerja pada pekerja di PT. PLN Persero UP3
Tanjung Karang Lampung , karena masih banyak terdapat permasalahan
mengenai stres kerja yang dirasakan oleh pekerja yang menyatakan bahwa
masih terdapat 20 orang pekerja yang terdapat 11 orang (55%) mengalami
stres sangat berat, pekerja mengalami stress berat 4 orang 20%, pekerja
yang mengalami stress sedang 3 orang 15%, pekerja mengalami stress
ringan 1 orang 5% dan pekerja yang tidak mengalami stress terdapat 1
orang 5% . Penelitian ini dilakukan pada pekerja yang terdiri dari 50
pekerja di PT. PLN Persero UP3 Tanjung Karang Lampung . Penelitian ini
akan dilakukan pada bulan September – Oktober 2020 pada Pekerja . Jenis
penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan design cross
sectional.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Definisi Stres Kerja
Stres kerja (work stres) adalah reaksi fisik dan psikologis
terhadap peristiwa yang dipersepsi oleh karyawan atau pekerja sebagai
suatu yang mengancam dirinya dalam konteks pekerjaan sebagai sesuatu
yang mengancam dirinya dalam konteks pekerjaan atau jabatan. Stress
kerja negatife atau work distress dapat memberi dampak negatif dalam
pekerjaan. Dampak negatife itu berupa tidak masuk kerja, keluar dari
pekerjaan, dan penurunan kinerja jabatan (Hanurawan,2017)
Menurut Cahyono, (2019). Stres kerja adalah rasa tertekan yang
dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaannya sebagai akibat dari
adanya ketidakseimbangan antara karakteristik individu dengan tuntutan
pekerjaan dan lingkungan nya yang berdampak pada prilaku serta kondisi
fisik dan psikologis karyawan tersebut
Menurut Suryani, (2019), Menyebutkan bahwa stres merupakan
sebuah kondisi dinamis dimana seorang individu dihadapkan dengan
kesempatan, keterbatasan, atau tuntutan sesuai dengan harapan dan hasil
yang ingin dicapai dalam kondisi penting dan tidak menentu. Individu
tersebut akan mengalami stress apabila rangsangan tersebut melebihi
kapasitas yang dimilikinya yang menyebabkan individu tersebut stres.
2.1.2. Tahap-Tahapan Stres
Menurut (Suryani, 2019), menyebutkan bahwa stres merupakan
sebuah kondisi dinamis dimana seorang individu dihadapkan dengan
kesempatan, keterbatasan, atau tuntutan sesuai dengan harapan dan hasil
yang ingin dicapai dalam kondisi penting dan tidak menentu. Individu
tersebut akan mengalami stres apabila rangsangan tersebut melebihi
kapasitas yang dimilikinya yang menyebabkan individu tersebut stres.
fungsi kehidupannya sehari-hari baik dirumah, tempat kerja, atau pada
pergaulan lingkungan sosialnya (Rochman, 2010).
9
Menurut Hawari (1999) dalam Rochman, (2010), membagi
tahapan-tahapan stres dengan kategori sebagai berikut :
a. Stres Tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya
disertai dengan semangat bekerja keras, berlebihan (over
acting),penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya, merasa mampu
menyelesaian pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa disadari
cadangan energi dihabiskan (all out) disertai rasa gugup yang
berlebihan, merasa senang dengan pekerjaanya dan semakin
bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan energi semakin
menipis.
b. Stres Tahap II
Pada tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan”
sebagaimana diuraikan pada tahap I, diatas mulai menghilang dan
timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi
tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk
beristirahat. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh
seseorang yang berada pada stres tahap II ini biasanya merasa letih
sewaktu bangun pagi, merasa mudah lelah sesudah makan siang,
sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman (bowie
discomfort), detakan jantung lebih keras dari biasanya, lekas merasa
capai menjelang sore hari, otot-otot punggung dan tengkuk terasa
tegang serta tidak bisa santai.
10
air besar tidak teratur (diare), ketegangan otot-otot semakin terasa, perasaan
ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat, gangguan
pola tidur atau misalnya terbangun tengah malam dan sukar tidur kembali
atau bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur kemabli, dan koordinasi tubuh
terganggu. Pada tahapan ini, orang sudah harus berkonsultasi pada dokter
untuk memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi
dan tubuh memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah
suplai energi yang mengalami defisit.
d. Stres Tahap IV
Gejala stres tahap IV ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut : untuk
bertahan sepanjang hai terasa sulit, aktivitas pekerjaan yang semula
menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa
sulit, yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan
untuk merspons secara memadai, ketidakmampuan untuk melaksanakan
kegiatan rutin sehari-hari, gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi
menegangkan, daya konsentrasi dan daya ingat menurn, seringkali menolak
ajakan karena tidak ada semangat dan kegairahan menurun, serta timbul
perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa
penyebabnya
e. Stres Tahap V
Stres tahap V ditandai dengan hal-hal berikut: kelelahan fisik dan mental
yang semakin mandalam, ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan
sehari-hari yang ringan, gangguan sistem pencernaan semakin berat, timbul
perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat, mudah
bingung dan panik.
f. Stres Tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks seseorang mengalami serangan
panic dan perasaan takut mati. Gambaran stres tahap ini adalah debaran
jantung teramat keras, susah bernafas, skujur badan terasa gemetar, dingin
dan keringat bercucuran, serta ketiadaan tenaga untuk hal-hal ringan dan
pingsan atau kolaps.
11
2.1.3. Metode Pengukuran Stres
Menurut Mengukur stres adalah bagian penting dari psikologi
kesehatan dalam rangka untuk memahami sumber stres dan efek stres bagi
kesehatan. para peneliti telah menggunakan berbagai pendekatan untuk
mengukur stres. Menurut (Feist, 2019), Metode pengukuran stres
kerjaterdiri dari:
1) Physiological Measure
Tindakan fisiologis merupakan salah satu metode pengukuran stres
untuk melihat perubahan akibat stres, seperti perubahan tekanan darah,
denyut jantung, respon galvanik kulit, dan laju respirasi semua
perubahan dengan aktivasi divisi simpatik dari sistem saraf otonom.
Keuntungan langkah-langkah pengukuran fisiologis dari stres adalah
bahwa mereka sangat handal dan mudah diukur. Kerugiannya adalah
bahwa mekanik dan perangkat keras listrik pengaturan klinis yang sering
digunakan mungkin menghasilkan stres. Dengan demikian, pendekatan
ini untuk mengukur stres berguna tapi bukan yang paling banyak
digunakan. Laporan diri jauh lebih umum digunakan
2) Biochemical Measure
Pengukuran ini dilakukan dengan menilai perubahan respon
biokimia. Perubahan biokimia yang paling banyak dilakukan adalah
pengukuran hormon stres seperti pelepasan hormon epinefrin dan
nonepinefrin yang diproduksi di medula adrenal dalam hubungannya
dengan pengalaman stres. Pengukuran dari dua hormon tersebut, dapat
dilakukan dengan aliran darah atau urin. Tingkat hormon ini beredar di
penurunan darah
dalam beberapa menit setelah pengalaman stres, sehingga pengukuran
harus cepat untuk menangkap perubahan. Kadar hormon bertahan lebih
lama dalam urin, tetapi faktor selain stres berkontribusi ketingkat
hormon ini.
12
3) Self-report Measure
Cara ini dikenal dengan sebagai “life event scale”. Pengukuran
stres ini menggunakan kusioner untuk mengukur gejala stres. Live event
scale digunakan untuk mengukur baik peristiwa kehidupan atau kerpotan
sehari-hari. Responden memeriksa peristiwa yang mereka alami selama
periode terakhir, biasanya sebelum 6 sampai 24 bulan. Responden
menjawab, tidak pernah, hampir tidak pernah, kadang-kadang, cukup
sering, atau sangat sering untuk item yang bertanya tentang situasi stres
mereka selama sebulan terakhir. Kemudian menambahkan masing-
masing nilai titik item dan total skor menghasilkan nilai stres untuk
setiap orang.
Berdasarkan ketiga metode pengukuran stres diatas, maka
dipilihlah pengukuran self-report measure atau teknik live event stress.
Metode pengukuran ini menggunakan kuisioner Depression Anxiety
Stress Scale (DASS) 21 yang diperkenalkan oleh lovibond (1995).
Kuisioner DASS dirancang untuk menilai keparahan gejala inti dari
depresi, kecemasan, dan ketegangan (atau stres) selama satu minggu
belakangan ini bersama pertimbangan memberikan ukuran spektrum luas
dari tekanan psikologis, menunjukan tingkat keparahan dan frekuensi
gejala. DASS bukanlah tindakan diagnostik dan jika digunakan dalam
pengaturan klinis, tidak akan menggantikan dengan baik. DASS-21
terdiri dari 21 item, masing-masing dari tiga domain (depresi,
kecemasan, dan stres) memiliki jumlah pertanyaan yang sama yaitu 7
butir. Skala depresi menilai disforia, keputusasaan, devaluasi hidup,
penghinaan diri sendiri, kurang keterlibatan, anhedonia, dan inersia
(Pelling & Burton, 2017).
Skala kecemasan meliputi keadaan physicological tinggi seperti
kewaspadaan dan gairan, pikiran ketakutan atau kecemasan, menilai
rangsangan oonom, efek otot rangka, kegelisahaan situasional, dan
pengalaman subjektif dari efek cemas. Stres berkaitan erat dengan
ketegangan dan di DASS ini dinilai sebagai respons untuk stressor.
13
Skala stres menilai sulit rileks, rangsangan saraf, mudah marah/gelisah,
mudah tersinggung atau terlalu aktif atau tidak sabar (Pelling & Burton,
2017).
14
2.1.4. Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja
1. Faktor pekerjaan
A. Lingkungan fisik
a. Suhu
1.Faktor Pekerjaan
1)Lingkungan Fisik
a. Suhu
Suhu atau temperatur didefinisikan sebagai suatu
besaran yang menyatakan derajat panas atau dingin
suatu ruangan (Alifatah, 2009) Menurut (Peraturan
Mentri Kesehatan Republik Indonesia No 70. 2016).
Menyatakan bahwa maximal suhu ruang kerja pada
lingkungan kerja industri selama 8 jam perhari adalah
sebesar 31 C.
Suhu panas dapat menyebabkan pekerja mudah
merasa lelah. Efek suhu ditempat kerja baik di dalam
maupun di luar ruangan harus memperhatikan status
kesehatan pekerja, kelembapan, kecepatan aliran udara,
jenis pakaian yang digunakan dan lama pemaparan. Karena
jika keadaan ini terjadi berlarut-larut dapat menyebabkan
pekerja tidak mampu bekerja dengan baik karena
menurunya gairah bekerja atau bila terpaksa bekerja maka
dapat mengakibatkan stres (Munandar, 2008).
Bekerja pada suhu tinggi menyebabkan ketegangan
pada tubuh. Panas dapat menurunkan kinerja dan kecepatan
kerja, mengurangi konsentrasi, serta perhatian dan penilaian
terhadap sesuatu yang dapat menimbulkan resiko bagi
orang lain. Temperatur yang sangat tinggi bisa berbahaya,
bila tubuh kehilangan kemampuannya untuk
mengendalikan suhu intinya, heat stroke merupakan salah
satu risiko dimana orang tersebut berhenti berkeringat,
menjadi bingung dan jika kondisinya terus berlanjut maka
15
peredaran darah akan terganggu (Saleh, 2018).
Suhu udara diukur dengan thermometer dan disebut
suhu kering, sedangkan suhu basah dan kelembapan dapat
diukur bersama-sama dengan sling psychrometer atau
psychometer. Kondisi temperatur lingkungan kerja yang
ekstrim meliputi panas dan dingin yang berada diluar batas
kemampuan manusia untuk beradaptasi. Namun secara
umum dapat ditentukan batas kemampuan dan batas
toleransi yang diperkenankan untuk manusia beradaptasi,
dengan temperature lingkungan pada kondisi ekstrim
dengan mentukan rentang toleransi terhadap temperature
lingkungan kerja (Yenita, 2017).
Menurut penelitian Wandani, (2017), menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara kondisi suhu tempat kerja
dengan stres kerja karyawan PT Tofico, suhu tidak normal
lebih besar (39,1%) mengalami stres kerja dibandingkan
suhu yang normal.
b.Kebisingan
Menurut Irzal, (2016), suara bising atau kebisingan
adalah getaran suara yang berasal dari berbagai sumber
bunyi yang diterima oleh telinga pada waktu yang sama
sehingga telinga pada suatu waktu tertentu dapat menerima
sejumlah gelombang (lebih dari satu gelombang) dengan
frekuensi yang berbeda-beda. Kebisingan juga dapat
didefinisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki
olehpendengaran manusia. Kebisingan adalah suara yang
mempunyai multi frekuensi dan multi amplitudo dan
biasanya terjadi pada frekuensi tinggi. Bising menyebabkan
gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian
(Ramdan, 2013).
Kebisingan dapat mempengaruhi kesehatan
manusia. Pengaruhnya berupa peningkatan sensitivitas
16
tubuh seperti peningkatan sistem kardiovaskular dalam
bentuk kenaikan tekanan darah dan peningkatan denyut
jantung. Apabila kondisi tersebut tetap berlangsung dalam
waktu yang lama, akan muncul reaksi psikologi berupa
penurunan konsentrasi dan kelelahan (Chandra, 2005).
Kelelahan mampu membuat pekerja menjadi kurang efesien
dan kebisingan juga dapat menyebabkan ketegangan otot
dan peningkatan sekresi hormon stres (Saleh, 2018).
Menurut Sudaryo, (2018). Setiap pekerjaan
membutuhkan konsentrasi, maka suara bising hendaknya
dihindarkan agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan
dengan efesien sehingga produktivitas kerja meningkat.
Ada tiga aspek yang menentukan kualitas suatu bunyi, yang
bisa menentukan tingkat gangguan terhadap manusia,
yaitu:
1. Lamanya kebisingan
2. Intensitas kebisingan
3. Frekuensi kebisingan
Menurut Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wandani, (2017), terdapat hubungan antara kondisi
kebisingan tempat kerja dengan stres kerja pada karyawan
PT Tifico, karena pekerja yang mengalami stres kerja
akibat kebisingan tidak normal lebih besar (37%)
dibandingkan dengan pekerja yang tidak mengalami stres
kerja (10,9%).
Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan
Menurut Peraturan Mentri Kesehatan Republik
Indonesia No 70, (2016), tentang standar dan persyaratan
lingkungan kerja, level kebisingan berdasarkan durasi
pajanan bising yang mewakili kondisi dimana pekerja
terpajan bising berulang menimbulkan gangguan
pendengaran dan tidak memahami pembicaraan normal.
17
pekerja yang terpajan bising di tempat kerja tanpa
menggunakan alat pelindung telinga selama 8 jam kerja per
hari, maka NAB pajanan bising yang boleh diterima oleh
pekerja tersebut adalah 85 dBA.
2.2 Tabel Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan
18
dalam fasilitas fisik kantor. Pelaksanaan pekerjaan yang
sukses memerlukan penerangan yang baik. Penerangan
yang baik membantu karyawan melihat dengan cepat,
mudah, dan senang (Sudaryo, 2018).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Lady, 2017),
dimana terdapat hubungan antara pencahayaan dengan stres
kerja dengan nilai koefisien relasi 0,478 yang artinya
korelasi cukup dan berpola positif artinya semakin buruk
keadaan pencahayaan maka akan semakin meningkatkan
stres kerja yang dialami dan sebaliknya. Hasil penelitian
lain yang dilakukan oleh Ningsih & Fitri (2016),
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pencahayaan
dengan stres kerja. pencahayaan < 2000 lux mempunyai
risiko 13 kali mengalami stres kerja daripada pekerja yang
bekerja pada pencahayaan ≥ 2000 lux
2) Konflik Peran
Konflik peran adalah kondisi seseorang menjalani
pekerjaan yang tidak jelas atau pekerjaan yang saling
bertentangan atau diharapkan dapat melakukan pekerjaan
lebih dari kemampuan (Handoko, 2008).
Konflik peran harus dikelola dengan baik karena
jika diabaikan dapat meningkatkan ketidakpastian dan
menyebabkan terjadinya stres saat bekerja. Semakin
kompleks konflik peran yang terjadi akan semakin
meningkatkan stres kerja karyawan yang berarti ada
interaksi positif antara konflik peran dan stres kerja (Yasa,
2017). Selain itu, saat konflik peran naik biasanya kepuasan
kerja karyawan cenderung menurun.
Menurut Sucipto, (2014). Konflik peran timbul jika
sesorang tenaga kerja mengalami adanya salah satu:
19
lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki.
Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut
pandangannya bukan merupakan bagian dari
pekerjaannya.
b) Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan,
rekan bawahannya, atau orang lain yang dinilai
penting bagi dirinya.
c) Pertentangan dengan nilai dan keyakinan pribadinya
sewaktu melakukan tugas pekerjaannya sehingga
dapat memicu terjadinya stres.
Hal ini didukung oleh penelitian Karima, (2014),
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara konflik peran dengan
stres kerja dengan nilai probabilitas sebesar 0,007, artinya semakin
meningkat konflik peran maka akan semakin meningkat stres kerja
yang dilami. Penelitian lain yang dilakukan oleh (Dwiyanti, 2014),
menunjukkan bahwa konflik peran ganda dihubungkan dengan
stres kerja sebesar 0,422. Angka tersebut mengandung arti bahwa
dalam penelitian ini konflik peran ganda memberikan sumbangan
efektif sebesar 42,2 % terhadap stres kerja.
3) Ketaksaan Peran
Menurut Sucipto, (2014). Ketaksaan peran adalah
jika seorang pekerja tidak memiliki cukup informasi untuk
dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau
merealisasikan harapan-harapan yang berkaitan dengan
peran tertentu. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan
ketaksaan peran meliputi: a) ketidakjelasan dari saran-saran
(tujuan –tujuan) kerja, b) kesamaran tentang tanggung
jawab, c) ketidak jelasan tentang prosedur kerja, d)
kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain, e)
kurang adanya balikan atau ketidakpastian
tentang produktifitas kerja.Pernyataan tersebut juga sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Karima, (2014).
20
Menyatakan bahwa terdapat hubungan antara ketaksaan
peran dengan stres kerja pada pekerja dengan nilai
probabilitas sebesar 0,043 yang artinya semakin bertambah
ketaksaan peran maka akan semakin meningkat stress kerja
yang dialami. Penelitian lain yang dilakukan oleh Lady
(2017), menunjukan adanya hubungan antara ketaksaan
peran dengan stres kerja dengan nilai korelasi sebesar 0,778
yang artinya semakin meningkat ketaksaan peran maka
akan semakin meningkat stres kerja yang dialami dan
sebaliknya. Nilai p value yang dihasilkan yaitu 0,000
(Pvalue < 0,05).
4) Beban Kerja Mental
Menurut Tarwaka (2015) beban kerja (work load) dapat
diartikan sebagai suatu perbedaan antara kapasitas atau
kemampuan pekerjaan dengan deman atau tuntutan
pekerjaan yang harus dihadapi. Pekerjaan manusia terdiri
dari dua sifat yaitu bersifat mental dan fisik, maka masing
masing memiliki tingkat pembebanan yang berbeda-beda.
Tingkat pembebanan yang terlalu tinggi memungkinkan
pemakaian energi yang berlebih untuk beban kerja fisik dan
terjadi “overstress” untuk kerja mental, sebaliknya
intensitas pembebanan yang terlalu rendah memungkinkan
rasa bosan pada kerja fisik dan kejenuhan atau
“understress” pada kerja mental. Sehingga diperlukan
upaya untuk tingkat intensitas pembebanan yang optimum
di antara kedua batas yang ekstrim tadi dan tentunya
berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya.
Ada 3 faktor utama yang menentukan beban kerja mental:
1. Faktor tuntutan tugas (task demands)
2. Usaha atau tenaga (effort)
3. Performans
Selain faktor tersebut masih ada faktor lain yang
21
mempengaruhi beban kerja mental seseorang dalam
pekerjaan yang dilakukan, seperti jenis pekerjaan, situasi
pekerjaan, waktu respons, waktu penyelesaian yang
tersedia. Selain itu juga ada faktor individu yang
mempengaruhi, seperti: tingkat motivasi, keahlian,
kelelahan, kejenuhan, serta toleransi performansi yang
diijinkan.
Menurut Ramdan, (2013), beban kerja merupakan
volume pekerjaan yang dibebankan kepada tenaga kerja,
baik fisik maupun mental dan tanggung jawab. Beban kerja
berlebihan (role overload) terjadi ketika seseorang merasa
kurang dalam keahliannya atau sumber daya (waktu) untuk
menyelesaikan pekerjaan tertentu, misalnya seorang
karyawan yang tidak bisa menyelesaikan proyek tepat pada
waktunya menyebabkan sesorang mengalami stres kerja
(Hardiningtyas, 2017)
Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam
beban kerja belebih/terlalu sedikit “Kuantitatif”, yang
timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu
banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk
diselesaikan dalam waktu tertentu dan beban kerja
berlebih/terlalu sedikit “kualitatif” yaitu jika orang merasa
tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak
menggunakan keterampilan dan/atau potensi dari tenaga
kerja. Disamping itu beban kerja berlebih kuantitatif dan
kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja
selama jumlah jam yang sangat banyak, yang merupakan
sumber tambahan dari stres (Sucipto, 2014).
Unsur yang menimbulkan beban kerja berlebih
kuantitatif ialan desakan waktu, yaitu setiap tugas
diharapkan dapat
22
diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat pada
saat-saat tertentu, dalam hal tertentu waktu akhir (dead line)
justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan
prestasi kerja yang tinggi. Namun, bila desakan waktu
menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau
menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang maka
ini merupakan cerminan adanya beban kerja berlebihan
kuantitatif. Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat
mempengaruhi kesajhteraan psikologis seseorang. Pada
pekerjaan yang sederhana, dimana banyak terjadi
pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton
(Sucipto, 2014).
Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Panengah, (2012), Menyatakan bahwa
beban kerja memiliki hubungan sebesar 0,613 atau 61%
dengan stres kerja yang berarti semakin tinggi beban kerja,
maka akan semakin tingginya stres kerja dan sebaliknya.
Berdasarkan penelitian lain yang dilakukan oleh (Juwita,
2019), Menunjukan p value 0,014 maka terdapat adanya
hubungan antara beban kerja dengan kejadian stres kerja
pada pekerja. pekerja yang berada pada beban kerja berat
mempuyai peluang untuk stres kerja tinggi 4 kali
dibandingkan dengan pekerja yang berada pada beban kerja
ringan.
Cara mengukur beban kerja adalah dengan
menggunakan metode National Aeromatics and Space
Administration Task Load Index (NASA-TLX). NASA
TLX umumnya terdiri dari 2 bagian utama yaitu rating dan
pembobotan. NASA Task Load Index (NASA-TLX) adalah
alat yang banyak digunakan dengan penilaian
multidimensional dan subjektif. Metode ini sering
digunakan untuk menilai aktivitas sistem, efektivitas tim
23
dan pengukuran performa lainnya. Rating NASA TLX
terdiri enam subskala subjektif yaitu kebutuhan fisik (KF),
Kebutuhan mental (KM), Kebutuhan waktu (KW),
Performasi (P), Usaha (U), dan Tingkat Frustasi (TF)
(Sugiono, 2018)
Setelah menyelesaikan pengisian dari ke enam
faktor pada skala rating, maka langkah berikutnya adalah
memberikan bobot pada masing-masing faktor dengan cara
memilih pasangan dari perbandingan berpasangan yang
terdiri dari 15 pasang. Kemudian dihitung jumlah tally
keterpilihan pada masing-masing enam faktor yang ada di
NASA TLX. Jumlah tally merupakan bobot dari masing-
masing faktor. Langkah berikutnya adalah melakukan
perhitungan terhadap skor NASA TLX yang kemudian
dilanjutkan dengan menentukan kategori jenis beban mental
yang dialami. (Sugiono, 2018).
Menurut Sugiono, (2018), Secara detail langkah dan
penjelasan menghitung skor NASA TLX adalah sebagai
berikut :
1. Menghitung skor beban mental
Skor beban mental = Rating x bobot faktor Skor beban
mental merupakan hasil perkalian antara nilai pada rating
scale (0 s/d 100) dikalikan dengan faktor bobot (tally
perbandingan tiap indikator)
2. Mengukur weighted workload (WWL) dengan cara
WWL = Σ Skor beban mental Setelah mengukur skor beban
mental, dilanjutkan dengan mengukur WWL hasil dari
penjumlahan semua skor beban mental untuk semua 6
faktor
3. Mengukur rata-rata WWL atau skor NAS TLX
Rata-rata WWL = WWL/15 Rata-rata WWL atau bisa kita
sebut skor NASA TLX didapatkan dari pembagian skor
24
beban mental secara keseluruhan dibagi 15 (jumlah
perbandingan faktor berpasangan)
4. Interpretasi skor dibagi menjadi:
a. Nilai 0-9 = Beban kerja mental rendah
b. Nilai 10-29 = Beban kerja mental sedang
c. Nilai 30-49 = Beban kerja mental agak tinggi
d. Nilai 50-79 = Beban kerja mental tinggi
e. Nilai 80-100 = Beban kerja mental sangat tinggi.
Pengukuran denyut nadi atau denyut jantung merupakan
salah satu metode untuk mengukur tingkat beban kerja fisik
secara obyektif, memperkirakan kondisi fisik atau derajat
kesegaran jasmani dan tingkat kelelahan seseorang.
Pengukuran dengan menggunakan metode ini banyak
digunakan karena mudah diamati dan diukur serta dapat
digunakan untuk mengukur pengeluaran energi (energy
expenditure) secara tidak langsung (Purbasari, 2019).
Penggunaaan nadi kerja untuk menilai berat
ringannya beban kerja mempunya beberapa keuntungan.
Selain mudah, cepat, dan murah juga tidak diperlukan alat
yang mahal serta hasilnya cukup reliabel. Disamping itu
tidak mengganggu proses kerja dan tidak menyakiti orang
yang diperiksa. Kepekaan denyut nadi terhadap perubahan
pembebanan yang diterima tubuh cukup tinggi. Denyut nadi
akan segera berubah seirama dengan perubahan pembebana
n, baik yang berasal dari pembebanan mekanik, fisika,
maupun kimiawi (Annisa, 2017).
Cardiovascular Strain merupakan suatu estimasi
untuk menentukan klasifikasi beban kerja bedasarkan
peningkatan denyut nadi kerja yang dibandingkan dengan
denyut nadi maksimum. Klasifikasi beban kerja dapat
didasarkan peningkatan denyut nadi kerja yang
dibandingkan dengan denyut nadi maksimum karena beban
25
kardiovaskular (cardiovascular load = % CVL) (Annisa,
2017). Salah satu metode yang digunakan dalam penilaian
berat ringannya beban kerja fisik dengan pendekatan
pengukuran tidak langsung yaitu kecepatan denyut nadi
atau denyut jantung dan presentase beban kardiovaskular
(Cardiovascular Load = % CVL)
Tabel 2.3 Klasifikasi beban kerja fisik berdasarkan %CVL
5) Shift Kerja
Shift kerja merupakan suatu cara mengorganisir
waktu kerja harian pada orang lain atau tim yang berbeda-
beda sacara berturut-turut untuk waktu kerja yang biasanya
8 jam, dan meliputi waktu keseluruhan 24 jam (Agustin,
2012). Shift/kerja merupakan sumber utama dan stres
bagi para pekerja. Para pekerja shift malam lebih sering
mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut dari pada
para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift
terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan
gangguan-gangguan perut.
Beban kerjaberlebihan dan beban kerja terlalu sedikit
merupakan pembangkit stress (Sucipto, 2014). Kerja shift
berdampak pada psikososial, dampak tersebut
26
menunjukan masalah yang lebih besar jika dibandingkan
dengan dampak fisiologis. Dampak psikososial yang
biasanya terjadi adalah mulai munculnya gangguan dalam
kehidupan pada keluarga, tidak adanya waktu luang,
minimnya kesempatan untuk saling berkomunikasi dengan
teman maupun orang terdekat, dan mengganggu aktivitas
dan sosialisasi dalam satu kelompok masyarakat
(Sugiono,2018).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hariyono,
(2010), Menyatakan bahwa ada hubungan antara shift kerja
dengan stres kerja pada karyawan dengan nilai rasio
prevalensi (RP) = 2, 065. Hasil penelitian lain yang
dilakukan oleh Febrianing (2017), menyatakan bahwa ada
hubungan antara shift kerja dengan stres pada pekerja
dengan P value sebesar 0,003
7) Jam Kerja
Menurut Sugiono, (2018). Jam kerja adalah lamanya
waktu yang digunakan orang untuk bekerja. Lamanya jam
kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
hasil kerja dan pendapatan. Berdasarkan Keputusan
27
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 102 Tahun
(2004), ketentuan jam kerja telah diatur dalam 2 sistem
yaitu: 1) 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1
minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau 2) 8 jam
kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk
5 hari kerja dalam 1 minggu.
Jam kerja merupakan bagian dari empat faktor
organisasi yang merupakan sumber potensial dari stres para
karyawannya ditempat kerja. jam kerja dalam sehari yaitu 8
jam kerja, > 8 jam kerja/hari maka akan menimbulkan
reaksi negative dan penurunan kualitas. Semakin lama
pekerja maka membuat pekerja lebih tertekan dan lebih
lama terpapar dengan bahaya yang ada di lingkungan kerja
(Burton, 2017) Penambahan jam kerja diluar standar dapat
meningkatkan usaha adaptasi pekerja, yang kemudian dapat
meningkatkan eksresi katokholamin yaitu hormon adrenalin
dan non-adrenalin. Jumlah jam kerja yang banyak
merupakan sumber dari stres (Munandar, 2008)
Memperpanjang waktu kerja lebih dari 8 jam hanya
akan menurunkan efisiensi kerja, meningkatkan kelelahan,
kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Dari sudut pandang
fisiologi, kerja lembur sangat merugikan kesehatan. Dalam
putaran 24 jam sehari terdapat 3 siklus keseimbangan tubuh
yaitu 8 jam kerja, 8 jam interaksi sosial, dan 8 jam
istirahat Apabila kerja lembur dilakukan di luar 8 jam kerja
tersebut tentu siklus keseimbangan akan terganggu. Secara
fisiologis, kerja lebih dari 8 jam/hari akan sangat
melelahkan (Tarwaka, 2004). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Lukas dkk (2014), Menyatakan bahwa ada
hubungan antara jam kerja dengan stres kerja dengan nilai
P value 0,07
2. Faktor Individual
28
1) Umur
Seseorang yang berusia 30-40 tahun lebih rendah
rentan terkena stress karena beban kerja yang berlebih
seperti shift kerja yang tidak teratur (Sunaryo, 2014). Fase
dewasa dibagi menjadi 3 yaitu dewasa awal (20-40),
dewasa tengah (41-65), dewasa akhir (> 65), (Ciccarelli &
Meyer, 2006).
Pekerja yang memiliki umur yang lebih muda
memiliki penglihatan dan pendengaran yang lebih tajam,
gerakan yang lebih lincah dan daya tahan tubuh yang lebih
kuat. Namun, untuk beberapa jenis pekerjaan faktor umur
yang lebih tua biasanya memiliki pengalaman dan
pemahaman bekerja yang lebih banyak, sehingga pada jenis
pekerjaan tertentu umur dapat menjadi kendala dan dapat
memicu terjadinya stres (Munandar, 2008).
Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian
Ningsih & Fitri (2016), Menyatakan bahwa ada hubungan
antara usia dengan stres kerja. pekerja dengan usia ≥ 35
tahun mempunyai risiko 2 kali mengalami stres kerja
daripada pekerja dengan umur < 35 tahun. Menurut
penelitian lain yang dilakukan oleh Yanti dkk (2013),
menyatakan bahawa ada hubungan antara usia dengan stres
kerja, pengaruh usia > 35 tahun terhadap terjadinya stres
kerja yaitu sebesar 64% mengalami stres kerja dengan
derajat kemaknaan p value 0,000 dan OR = 24,88.
2) Status Pernikahan
Menurut Evayanti (2003), Menyatakan bahwa
pekerja yang berstatus menikah, bila mempunyai masalah
dirumah kecenderungan untuk mendapatkan stres ditempat
kerja akan lebih besar. Sebaliknya bila rumah tangga
dirasakan aman, nyaman dan menyenangkan maka
masalah-masalah kerja dapat dihadapi dengan lebih baik
29
karena keadaan keluarga bisa menjadi penghambat,
mempercepat atau menjadi penangkal proses terjadinya
stres. Menurut mundar (2008), bahwa isi-isu tentang
keluarga dan konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan
di dalam pekerjaan semuanya dapat merupakan tekanan
bagi pekerja sehingga akan menyebabkan seseorang
menjadi stres dalam pekerjaanya.
Menurut penelitian yang dilakukan Suci (2017),
Menyatakan bahwa ada hubungan antara status perkawinan
dengan stres kerja dengan nilai contingency coeffcien
sebesar 0,378. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh
Gitalia (2009) berdasarkan uji statistik didapatkan bahwa P
value = 0,031 hal ini menunjukan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara status perkawinan dengan stres kerja
3) Masa Kerja
Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya
tenaga kerja bekerja di suatu tempat atau wilayah. Masa
kerja dihitung sejak terjadinya kerja antara pihak
perusahaan dengan buruh/pekerja. Masa kerja dapat
mempengaruhi tenaga kerja baik positif maupun negatif,
masa kerja akan memberikan pengaruh positif kepada
pekerja bila dengan semakin lamanya seseorang bekerja
maka pekerja tersebut semakin banyak pengalaman dalam
melakukan tugasnya. Sebaliknya akan memberikan pengaru
hnegatif jika semakin lamanya seseorang bekerja maka aka
n menimbulkan kebosanan dan kelelahan kerja yang
berujung pada kerusakan organ tubuh (Zuniawati, 2019).
Masa jabatan yang berhubungan dengan stres kerja
berkaitan dengan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang
telah bekerja ≥ 5 tahun biasanya memiliki tingkat
kejenuhan yang lebih tinggi dari pada pekerja yang baru
bekerja. Sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan
30
tersebut dapat menyebabkan stres dalam bekerja
(Munandar, 2008).
Menurut penelitian Manubung dkk (2018),
Menyatakan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan
stres kerja dengan p value sebesar 0,021. Hasil penelitian
lain yang dilakukan oleh Haris dkk (2013), Menyatakan
bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan stres kerja
dengan p value 0,024
4) Tipe Kepribadian
Menurut Minner dalam Nursan, (2019), Sesorang
dengan kepribadian tipe A cenderung mengalami stres
disbanding dengan kepribadian tipe B. beberapa ciri
kepribadian tipe A ini adalah sering merasa diburu-buru
dalam menjalankan pekerjaanya, tidak sabaran, konsentrasi
pada lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama,
cenderung tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya),
cenderung berokompetisi dengan orang lain meskipun
dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan
begitu bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami
dilema ketika mengambil pegawai dengan kepribadian tipe
B. sebab disatu sisi akan memperoleh hasil yang bagus dan
pekerjaan mereka, namun disi lain perusahaan akan
mendapatkan pegawai yang mendapat risiko serangan/sakit
jantung.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lady,
(2017), Menytakan bahwa ada hubungan antara tipe
kepribadian dengan stress kerja dengan nilai koefisien
korelasi yaitu 0,846 yang artinya korelasi sangat kuat dan
berpola positif artinya semakin bertambah kepribadian tipe
A maka akan semakin meningkatkan stres kerja yang
dialami dan sebaliknya. Nilai p value yang dihasilkan yaitu
0,000 (p value < 0,05).
31
3) Faktor diluar pekerjaan
a. Tuntutan diluar Pekerjaan/Organisasi
Kategori pembangkit stres ptensial ini mencakup
segala unsur kehidupan seseorang yang dapat berinteraksi
dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kejadian dalam
satu organisasi, dan dapat memebri tekanan pada individu,
isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan
keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi
yang bertentangan, konflik antar tuntutan keluarga dan
tuntutan perusahaan,semuanya dapat merupakan tekanan
pada individu dalam pekerjaanya, sebagaimana halnya stres
dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negative pada
kehidupan keluarga dan pribadi (Sucipto, 2014).
Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Satrio Budi (2017) Menyatakan bahawa ada
hubungan yang siginifikan antara tuntutan dari luar
organisasi/pekerjaan dengan stres kerja dengan P value
sebesar 0,032.
4) Faktor Pendukung
a. Dukungan Sosial
Dukungan sosial disini bisa berupa dukungan dari
pekerjaan maupun lingkungan kerja. banyak kasus
menunjukan bahwa, para karyawan yang mengalami stres
kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan sosial
(khsusnya moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua,
anak, teman, dan semacamnya. Begitu juga ketika
seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan
sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan) akan
cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan
oleh tidak adanya dukungan sosial yang menyebabkan
ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya
(Nursan, 2019).
32
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lady,
(2017), menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan
sosial dengan stres kerja dengan nilai koefisien korelasi
pada yaitu 0,544 yang artinya korelasi kuat dan berpola
negatif artinya semakin tinggi dukungan sosial maka akan
semakin rendah stres kerja yang dialami dan sebaliknya.
Nilai p value yang dihasilkan yaitu 0,016 (p value < 0,05).
1.
2.
2.1.
2.1.1.
2.1.2.
2.1.3.
2.1.4.
2.1.5.Gejala Stres Kerja
Menurut Suryani, (2019), Gejala stres dapat
digolongkan ke dalam 3 (tiga) kategori umum yaitu:
1. Fisiologikal
Gejala ini berhubungan atau adanya sangkut paut
langsung terhadap fisiologis manajer meskipun hubungan
antara gejala stress dengan fakta diagnotis fisiologikal
tidaklah jelas
2. Psikologikal
Gejala stres ini diawali dengan gejala psikologikal
yang dapat menimbulkan perubahan metabolisme tubuh.
Tubuh akan memberikan reaksi atas stres yang dihadapi
seperti sesak nafas, tekanan darah meningkat, detak jantung
menguat dan lainnya. Rasa tidak puas dengan pekerjaan
merupakan efek yang paling jelas akan adanya stres.
3. Perilaku
Perubahan perilaku merupakan gejala pada tahapan
ini. Karyawan yang memiliki stres akan diberikan gejala
33
seperti gelisah, sering lupa, mengkonsumsi alkohol, tidak
dapat tidur nyenyak dan lainnya.
Sedangkan menurut Cahyono, (2019), gejala stres
dapat berupa tanda-tanda sebagai berikut:
a. Gejala fisik, dapat berupa munculnya sakit kepala,
gangguan tidur, kelelahan atau energ terkuras, peningkatan
tekanan darah, ketegangan otot (terutama leher dan bahu),
dan penurunan nafsu makan.
b. Gejala emosional, berupa kecemasan, depresi, perubahan
suasana hati, mudah marah, gugup, self esteem yang
rendah, agresi, frustasi
c. Gejala intelektual, berupa kurang atau sulit berkonsetrasi,
mudah lupa, bingung, mental block, kurang perhatiaan,
keterpakuan pada satu ide, melamun yang berlebihan,
produktivitas menurun, dan tidak mampu mengambil
keputusan
d. Gejala interpersonal, berupa pengasingan diri dari rekan
kerja, mendiamkan orang lain, menyalahkan orang lain,
kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, dan sikap
defensive yang berlebihan.
Terkadang seseorang tidak menyadari bahwa
dirinya mengalami stress kerja atau bahkan
menyembunyikannya, misalnya bekerja terus-menerus
tanpa lelah, tidak mempunyai rasa emosi, meningkatnya
konsumsi rokok, alkohol, kafein, dan tidak bisa santai.
Kondisi yang tidak disadari ini sangat berbahaya, karena
bisa menyebabkan penyakit fisik yang tidak disadari juga
(Hardiningtyas, 2017).
2.1.6.Dampak Stres
Menurut Kadek dkk (2020). Menyebutkan tingkat
stres yang tinggi dihadapi dapat berdampak pada fisik
34
seseorang seperti dapat menimbulkan tekanan darah
tidaknormal, penyakit jantung,
sakit kepala, stroke dan penyakit lainnya. Selain itu juga
dapat berdampak pada psikis seperti timbulnya rasa
ketidakpuasan,ketegangan, kecemasan, dan penundaan
pekerjaan. Efek ini lebih besar ketika seseorang memeliki
peran ganda dan ketidak jelasan tuntutan pekerjaan yang
saling bertentangan. Dampak lainnya yaitu mempengaruhi
perilaku seseorang yang berciri dengan munculnya
perubahan dalam perilaku pekerjaan, tidak fokus bekerja,
tidak semangat, merokok atau minum alkohol, kebiasaan
makan yang berbeda, gelisah dan gangguan tidur.
Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan
maupun merugikan bagi perusahaan. Namun pada taraf
tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan
diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Reaksi
terhadap stres dapat merupakan reaksi bersifat psikis
maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang
stres akan menunjukan perubahan perilaku. Perubahan
perilaku terjadi pada manusia sebagai mengatasi stres.
Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres
(flight) atau freeze (berdiam diri) (Nursan, 2019).
Menurut Gibson dkk (1985) dalam Cahyono,
(2019), mengidentifikasi 5 jenis konsekuensi dampak stres
yang potensial dengan kategori sebagai berikut:
1. Dampak Subjektif: kecemasan, agresi, acuh, kebosanan,
depresi, keletihan, frustasi, kehilangan kesabaran, rendah
diri, gugup, masa kesepian
2. Dampak perilaku: kecenderungan mengalami
kecelakaan, alkoholik, penyalahgunaan obat-obatan, emosi
yang tiba-tiba meledak, makan berlebihan, merokok
35
berlebihan, perilaku yang mengikuti kata hati, ketawa
gugup.
3. Dampak kognitif: ketidakmampuan mengambil
keputusan yang jelas, konsentrasi yang beruk, rentang
perhatian yang pendek, sangat peka terhadap kritik,
rintangan mental
4. Dampak fisiologis: meningkatnya kadar gula, meningkat
nya denyut jantung dan tekanan darah, kekeringan di mulut,
berkeringat, membesarnya pupil mata serta tubuh panas
dingin
5. Dampak organisasi: kebsenan, pergantian karyawan,
rendahnya produktivitas, keterasingan dari rekan sekerja,
ketidakpuasan kerja, menurunnya ikatan, dan kesetiaan
terhadap organisasi
2.1.7.Manajemen Stres Kerja
Menurut (Hardiningtyas, 2017), Manajemen stres
merupakan bagian penting untuk keseharian di organisasi.
Agar performa tim berjalan dengan baik, ada banyak
interaksi di dalamnya yang memungkinkan terjadinya
konflik dan stres. Stres yang berlebihan dapat
membahayakan kesehatan, kebahagian, kinerja, hubungan
di dalam tim, dan pengembangan diri. Pada level yang
paling sederhana, manajemen stres meliputi:
a. Mengetahui gejala-gejala terjadinya stres kerja baik di
level individu maupun organisasi.
b. Mengidentifikasi penyebab stres kerja baik dilevel
individu maupun organisasi
c. Melakukan penangangan terhadap penyebab stres
sehingga menurunkan gejala, misalnya dengan
restrukturisasi pekerjaan, meningkatkan komunikasi
organisasi, program kesehatan ditempat kerja, kegiatan
36
gathering, dukungan terhadap karyawan yang berkeluarga
(on-site children care facilities), dan lain-lain.
37
c. Penyuluhan jabatan: kelemahan dan kekuatan, kesesuaian
dengan pekerjaan untuk mengembangkan karir.
38
2.2 Kerangka Teori
Faktor Pekerjaan
1. Lingkungan Fisik (Suhu ,
Kebisingan, pencahayaan)
2.Konflik Peran
3.Ketaksaan Peran
4.Beban Kerja Mental
5.Hubungan Dalam Pekerjaan
6. Shift Kerja
7.Jam Kerja
Stres Kerja
Faktor Individual
1. Umur
2. Status Pernikahan
Faktor Pendukung
1.Dukungan Sosial
Gambar 2.1Kerangka Teori
Sumber :Modifikasi Tama & Hardiningtyas (2017), Munandar
(2008), Sucipto(2014 )
39
2.3 Hasil-Hasil Penelitian Terkait
40
kerja pada PTX.
2. Ligriani Hubungan antara 1.Suhu a. Metode a. Terdapat
Lukas, Lery Suhu lingkungan Lingkungan 2. Kuantitatif hubungan yang
F South, dan kerja dan Jam Jam Kerj b. Desain signifikan
Ribka kerja dengan Studi Cross antara Suhu
Wowor Sress Kerja di sectional Lingkungan
(Universit as PTAdhi Karya dengan stres
Sam (Persero) TBK kerja dengan p
Ratualangi ) Unit Manado velue sebesar
Proyek (0,000) pada
Universitas Sam pekerja di PT
Ratualangi Adhi Karya
(Persero) TBK
Unit Manado
Proyek
Universitas
Sam
Ratualangi.
b. Terdapat
hubungan yang
signifikan
antara Jam
Kerja dengan
stress kerja
dengan p velue
sebesar (0,037)
pada pekerja di
PT Adhi Karya
(Persero) TBK
Unit Manado
Proyek
Universitas
SamRatualangi.
3. Yudha Faktor yang 1. Massa kerja a. Metode a. Terdapat
Fandy Berhubungan 2. Beban kerja Kuantitatif hubungan yang
Prabowo Dengan 3. Jenis kelamin b. Desain signifikan
(Universitas Kejadian Stres 4. Umur Studi Cross antara Masa
Negri Kerja Pada 5. Pendidikan sectional Kerja dengan
Semarang) Bagian Produksi 6. Penghasilan stres kerja nilai
Industri Mebel atau upah P = 0,019 pada
PT.Chia Jiann pekerja bagian
Indonesia produksi PT.
Furniture di Chia Jiann
Wedelan Jepara Indonesia
Tahun 2009 Furniture di
Wedelan Jepara
Tahun 2009. b.
Terdapat
hubungan yang
signifikan
antara Beban
Kerja dengan
41
stres kerja nilai
P= 0,014dengan
stres kerja di
PT. Chia Jiann
Indonesia
Furniture di
Wedelan Jepara
Tahun 2009 b.
Tidak terdapat
hubungan
antara jenis
kelamin
(P=0,526),
umur
(P=0,705),
pendidikan
(P=0,471), upah
atau
penghasilan
(P=0,171)
dengan stres
kerja di PT
Chia Jiann
Indonesia
Furniture di
Wedelan Jepara
Tahun 2009.
42
P = 0,005
pada pekerja
bagian
produksi PT
Chanindo
Pratama
Piyungan
Yogyakarta
tahun 2013
b. terdapat
hubungan
yang
signifikan
antara
dukungan
sosial
terhadap
stres kerja
dengan nilai
P = 0,048
pada pekerja
bagian
produksi PT
Chanindo
Pratama
Piyungan
Yogyakarta
tahun 2013
c. Terdapat
hubungan
yang
signifikan
antara beban
kerja
terhadap
43
stres kerja
dengan nilai
P = 0,020
pada pekerja
bagian
produksi PT
Chanindo
Pratama
Piyungan
Yogyakarta
tahun 2013
d. Terdapat
hubungan
yang
signifikan
antara Jam
kerja
terhadap
stres kerja
dengan nilai
P = 0,025
pada pekerja
bagian
produksi PT
Chanindo
Pratama
Piyungan
Yogyakarta
tahun 2013
e. Terdapat
hubungan
yang
signifikan
antara
rutinitas
44
kerja
monoton
terhadap
stres kerja
dengan nilai
P = 0,023
pada pekerja
bagian
produksi PT
Chanindo
Pratama
Piyungan
Yogyakarta
tahun 2013
45
Produksi IV
PT. Semen
Tonasa
46
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1.1. Kerangka Konsep
Variable Independen
Umur Variable Dependen
Sift kerja Stres Kerja
Jam kerja
47
1.2. Definisi Operasional
48
kerja untuk
mengerjakan
sesuatu oleh
instansi
pemerintah
maupun
swasta dan
biasanya
dibagi atas
kerja pagi,
sore dan
malam
4. Jam Saat melalui Form Kuesioner 0 = Jam Ordinal
Kerja responden Online/Google kerja tidak
melakukan Form normal > 8
pekerjaan Jam kerja .
dimulai dari 1 = Jam
saat datang kerja normal
sampai < 8 Jam
pulang . jam kerja
normal 7-8
jam /shift
jam Panjang
diatas 8
jam /shift .
sesaui
DEPKES
1. Ada hubungan antara umur dengan stres kerja pada pegawai PT PLN
(Persero) UP3 Tanjung Karang
2. Ada hubungan antara Shift Kerja dengan stres kerja pada Pegawai PT
PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang
3. Ada hubungan antara Jam kerja dengan stres kerja pada pegawai PT
PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang.
49
Penelitian ini dilakukan di PT PLN(Persero) UP3 Tanjung Karang
yang beralamat di Jl Dipenogoro, Bandar Lampung. Penelitian dilakukan
mulai dari bulan maret hingga juni 2021.
Populasi adalah wilayah generelasi yang terdiri atas objek atau subjek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Notoadmodjo,
2010). Populasi penelitian ini adalah pegawai PT PLN (Persero) UP3
Tanjung Karang berjumlah 100 orang .
Besar sampel yang digunakan sesuai dengan rumus besar sampel yang
sesuai rancangan penelitian rumus sampel uji dua proporsi, yaitu :
50
Keterangan :
N : Besar Sampel
Z1-α/ : Derajat Kemaknaan (95%)= 1,96
Z1-β : Kekuatan Uji pada 1-β= 80% = 0,84
P : Rata-Rata Proporsi pada Populasi
P1 : Proporsi stres kerja pada kelompok berisiko
P2 : Proporsi stres kerja pada kelompok tidak berisiko
Variabel P1 P2 N Sumber
Umur 0,45 0,2 33 Dewi, 2013
Masa kerja 0,62 0,3 32 Sormin, 2016
Jenis kelamin 0,83 0,76 12 Wulandari, 2020
51
Teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan Simple
Pengumpulan data melalui data primer dan data sekunder yang diuraikan
sebagai berikut :
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pekerja PT PLN
(Persero) UP3 Tanjung Karang dengan menggunakan alat ukur berupa
kuesioner. Pengisian kuesioner dilakukan melalui google formulir.
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelusuran dokumen, catatan
dan laporan perusahaan seperti profil perusahaan PT PLN ( Persero) UP3
Tanjung Karang, dokumen biodata pegawai.
1. Stres kerja
52
Variabel dependen penelitian pada penelitian ini stress kerja yaitu
suatu keadaan yang timbul dalam interaksi antara manusia dengan
pekerjaanya yang ditandai dengan munculnya gejala fisiologis,
psikologis dan perilaku. Pengukuran variabel stres kerja dilakukan
dengan skala likert, menggunakan kuesioner DASS 21 ketentuannya
apabila menjawab pertanyaan negatif dengan skor nilai sebagai berikut
:
8 – 9 = stress ringan
10 – 12 = stress sedang
13 – 16 = stress berat
2. Umur
Variabel umur diukur dari responden lahir hingga waktu dilakukannya
penelitian (ulang tahun terakhir) dengan melihat data dari dokumen
pegawai. Hasil ukur pada variabel umur adalah:
3. Jenis Kelamin
53
4. Masa Kerja
Variabel masa kerja dilihat dari Jumlah waktu yang telah dilalui responden
sejak bekerja di PT PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang. Hasil ukur
variabel ini adalah
54
b. Jika PR > 1 berarti ada hubungan asosiasi positif faktor stres kerja pada
pekerja di PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang.
c. Jika PR < 1 berarti ada hubungan asosiasi negatif faktor stres kerja pada
pekerja di PT PLN (Persero) UP3 Tanjung Karang
55
LAMPIRAN
PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Selamat Pagi/Siang,
56
KUESIONER PENELITIAN
A. Pengantar
NIM : 20180301146
Terima Kasih
B. Petunjuk Pengisian
a. Pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu dan apa yang
Bapak/Ibu rasakan selama bekerja di PT PLN (Persero) UP3 bagian tempat
Bapak/Ibu bekerja , dengan cara memilih pada salah satu kategori
Identitas Responden
1.Nama Responden :
2.Jenis Kelamin :
3.Umur :
57
4.Masa Kerja :
TES DASS
Petunjuk Pengisian
Kuesioner ini terdiri dari berbagai pernyataan yang mungkin sesuai dengan
pengalaman Bapak/Ibu/Saudara dalam menghadapi situasi hidup sehari-hari.
Terdapat empat pilihan jawaban yang disediakan untuk setiap pernyataan yaitu:
0 : Tidak sesuai dengan saya sama sekali, atau tidak pernah.
1 : Sesuai dengan saya sampai tingkat tertentu, atau kadang kadang.
2 : Sesuai dengan saya sampai batas yang dapat dipertimbangkan, atau lumayan
sering.
3 : Sangat sesuai dengan saya, atau sering sekali.
No PERNYATAAN 0 1 2 3
Saya merasa bahwa diri saya menjadi marah karena
1
hal-hal sepele.
2 Saya merasa bibir saya sering kering.
Saya sama sekali tidak dapat merasakan perasaan
3
positif.
Saya mengalami kesulitan bernafas (misalnya:
seringkali terengah-engah atau tidak dapat bernafas
4
padahal tidak melakukan aktivitas fisik
sebelumnya).
Saya sepertinya tidak kuat lagi untuk melakukan
5
suatu kegiatan.
Saya cenderung bereaksi berlebihan terhadap suatu
6
situasi.
Saya merasa goyah (misalnya, kaki terasa mau
7
’copot’).
8 Saya merasa sulit untuk bersantai.
9 Saya menemukan diri saya berada dalam situasi
yang membuat saya merasa sangat cemas dan saya
58
akan merasa sangat lega jika semua ini berakhir.
Saya merasa tidak ada hal yang dapat diharapkan di
10
masa depan.
11 Saya menemukan diri saya mudah merasa kesal.
Saya merasa telah menghabiskan banyak energi
12
untuk merasa cemas.
13 Saya merasa sedih dan tertekan.
Saya menemukan diri saya menjadi tidak sabar
14 ketika mengalami penundaan (misalnya: kemacetan
lalu lintas, menunggu sesuatu).
15 Saya merasa lemas seperti mau pingsan.
No PERNYATAAN 0 1 2 3
16 Saya merasa saya kehilangan minat akan segala hal.
Saya merasa bahwa saya tidak berharga sebagai
17
seorang manusia.
18 Saya merasa bahwa saya mudah tersinggung.
Saya berkeringat secara berlebihan (misalnya:
19 tangan berkeringat), padahal temperatur tidak panas
atau tidak melakukan aktivitas fisik sebelumnya.
20 Saya merasa takut tanpa alasan yang jelas.
21 Saya merasa bahwa hidup tidak bermanfaat.
22 Saya merasa sulit untuk beristirahat.
23 Saya mengalami kesulitan dalam menelan.
Saya tidak dapat merasakan kenikmatan dari
24
berbagai hal yang saya lakukan.
Saya menyadari kegiatan jantung, walaupun saya
25 tidak sehabis melakukan aktivitas fisik (misalnya:
merasa detak jantung meningkat atau melemah).
26 Saya merasa putus asa dan sedih.
27 Saya merasa bahwa saya sangat mudah marah.
28 Saya merasa saya hampir panik.
Saya merasa sulit untuk tenang setelah sesuatu
29
membuat saya kesal.
Saya takut bahwa saya akan ‘terhambat’ oleh tugas-
30
tugas sepele yang tidak biasa saya lakukan.
31 Saya tidak merasa antusias dalam hal apapun.
Saya sulit untuk sabar dalam menghadapi gangguan
32
terhadap hal yang sedang saya lakukan.
33 Saya sedang merasa gelisah.
34 Saya merasa bahwa saya tidak berharga.
35 Saya tidak dapat memaklumi hal apapun yang
59
menghalangi saya untuk menyelesaikan hal yang
sedang saya lakukan.
36 Saya merasa sangat ketakutan.
37 Saya melihat tidak ada harapan untuk masa depan.
38 Saya merasa bahwa hidup tidak berarti.
39 Saya menemukan diri saya mudah gelisah.
Saya merasa khawatir dengan situasi dimana saya
40 mungkin menjadi panik dan mempermalukan diri
sendiri.
41 Saya merasa gemetar (misalnya: pada tangan).
Saya merasa sulit untuk meningkatkan inisiatif
42
dalam melakukan sesuatu.
Harap diperiksa kembali, jangan sampai ada yang terlewatkan. Terima kasih.
60