Anda di halaman 1dari 30

HUBUNGAN SELF EFFICACY DENGAN BURNOUT

PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM


GUNUNGSITOLI

OLEH :

SANTI GITASARI LOMBU


3.2 PSIK
170204068

PROGRAM STUDI NERS

FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

MEDAN

2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberi segala rahmat sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang
berjudul :” Hubungan Self Efficacy Dengan Burnout Pada Perawat di Rumah
Sakit Umum Gunungsitoli ”
Dalam penulisan ini, kelompok telah banyak mendapat bantuan, motivasi,
dukungan dan bimbingan yang berharga dari berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak/Ibu :
1. Parlindungan Purba, SH, MM, sebagai Ketua Yayasan Sari Mutiara
Medan.
2. Dr. Ivan Elisabeth Purba, M.Kes., sebagai Rektor Universitas Sari Mutiara
Indonesia.
3. Taruli Rohana Sinaga, SP, MKM, sebagai Dekan Fakultas Farmasi dan
Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia.
4. Ns. Rinco Siregar, MNS, sebagai Ketua Program Studi S-I Keperawatan
Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia
Medan
5. Dosen dan seluruh staff pegawai Pendidikan S-I Keperawatan Fakultas
Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia.
6. Teristimewa kepada Kedua Orang Tua yang sangat dicintai dan semua
keluarga yang banyak memberikan doa, dukungan, motivasi.
7. Teman-teman mahasiswa/i S-I Keperawatan Fakultas Farmasi dan Ilmu
Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia yang telah mendukung dan
berpartisipasi
Dengan rendah hati, penyusun sangat mengharapkan masukan, kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata
penyusun ucapkan terima kasih.
Medan, Januari 2020
(penulis)
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Burnout...................................................................................9
2.2 Konsep Self Efficacy...........................................................................15
2.3 Kerangka Konsep.................................................................................20
2.4 Hipotesis Penelitian..............................................................................21

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ................................................................................22
3.2 Populasi dan Sampel ...........................................................................22
3.3 Tempat Dan Lokasi Penelitian ............................................................22
3.4 Waktu Penelitian .................................................................................23
3.5 Defenisi Operasional ..........................................................................23
3.6 Metode Pengumpulan Data .................................................................25
3.7 Etika Penelitian ...................................................................................25
3.8 Teknik Pengolahan Data......................................................................26
3.9 Analisa Data ........................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan keperawatan mempunyai posisi yang sangat strategis dalam
menentukan mutu karena jumlah perawat terbanyak dari profesi lain dan
paling lama kontak dengan klien, sehingga keperawatan adalah ujung tombak
pelayanan kesehatan dan sering digunakan sebagai indikator pelayanan
kesehatan yang bermutu, serta berperan dalam menentukan tingkat kepuasan
klien (Priyanto dalam Afidah, 2011). Dengan pekerjaan perawat yang lebih
kompleks dalam pelayanannya membuat tuntutan pekerjaan perawat harus
bekerja dengan lebih ekstra dalam memberikan pelayanan kepada pasien yang
membutuhkan pelayanan kesehatan. Sehingga, apabila tidak mampu
memenuhi tuntutan-tuntutan sebagai seorang perawat akan sulit melepaskan
diri dari tekanan yang dihadapi. Hal ini mudah membuat perawat stres
dikarenakan pekerjaan yang memberikan tekanan terus-menurus. Perawat
memiliki tanggung jawab yang tinggi karena memiliki pekerjaan yang
bersifat human service atau memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
dituntut untuk memiliki keterampilan yang baik dalam bidang kesehatan
(Perry & Potter, 2005). Tanggung jawab dan tuntutan pekerjaan yang banyak
dapat berpotensi menjadi stresor bagi perawat. Stresor yang terjadi secara
terus menerus dan tidak mampu diadaptasi oleh individu akan menimbulkan
beberapa gejala yang disebut dengan burnout syndrome. Burnout syndrome
merupakan suatu kumpulan gejala fisik, psikologis dan mental yang bersifat
destruktif akibat dari kelelahan kerja yang bersifat monoton dan menekan.
Burnout merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan kondisi
penurunan energi mental atau fisik setelah periode stress berkepanjangan,
berkaitan dengan pekerjaan atau cacat fisik (Perry & Potter, 2005). Maslach
(2001) mendefinisikan burnout sebagai sindrom psikologis yang melibatkan
respon berkepanjangan terhadap stressor interpersonal yang kronis dalam
pekerjaannya.
Data yang tercatat di World Health Organization (WHO) tahun 2009
melaporkan bahwa jumlah perawat dan bidan ada sekitar 7,8 juta perawat di
198 negara. Data Kemenkes, 2015 jumlah perawat di seluruh rumah sakit
berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia yaitu 147.264 orang dengan jumlah
tenaga kesehatan terbanyak sedangkan jumlah perawat yang bekerja di
Puskesmas berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015 berjumlah
73.311 orang. Penelitian yang dilakukan di Eropa pada tahun 2011
menunjukkan bahwa sekitar 30% dari perawat yang disurvei melaporkan
jenuh atau lelah untuk bekerja. Selain itu sebuah penelitian di Inggris
menemukan bahwa sekitar 42% dari perawat dilaporkan mengalami burnout,
sedangkan di Yunani sekitar 44% dari perawat melaporkan perasaan
ketidakpuasan di tempat kerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.
Perawat yang bekerja pada rumah sakit besar di Brasil Selatan menunjukkan
bahwa prevalensi perawat mengalami burnout sebanyak 35,7%. Penelitian di
Arab menunjukkan hasil 45,6% staf perawat mengalami emotional
exhaustion, 42% mengalami depersonalization, dan 28,5% mengalami
lowpersonal accomplish-ment (Triwijayanti, 2016). Hasil survei Persatuan
Perawat Nasional Indonesia (PPNI) tahun 2006 menunjukkan bahwa sekitar
50,9% perawat mengalami stress, sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat
karena beban kerja terlalu tinggi dan menyita waktu, gaji rendah tanpa
insentif yang memadai (Rachmawati, 2008 dalam Mariyanti, 2011). Tidak
berbeda jauh, hasil data yang dihimpun PPNI pada Mei 2009 di Makassar
juga menunjukkan 51% perawat mengalami stres kerja, pusing, lelah, kurang
istirahat karena beban kerja yang terlalu tinggi. Angka ini hanya
menunjukkan sebagian kecil dari keseluruhan jumlah perawat yang
mengalami stres kerja di beberapa wilayah di Indonesia. Bayangkan, apabila
survei tersebut dilakukan di seluruh wilayah Indonesia maka jumlahnya tentu
sangat besar. Hal ini tentu saja akan mengganggu kualitas pelayanan yang
diberikan oleh rumah sakit, khususnya oleh perawat itu sendiri (Harnida,
2015).
Dimensi burnout terdiri dari 3 hal yaitu kelelahan emosi, perubahan
kepribadian dan pencapaian pribadi yang rendah. Burnout sudah menjadi
perhatian global dan berhubungan dengan stres yang berhubungan dengan
pekerjaan, berpotensi negatif terhadap kesehatan fisik dan psikologis individu
serta berdampak pada efektifitas suatu organisasi.(Huber, 2006). Burnout
yang terjadi karena stress kerja yang berkepanjangan merupakan suatu
keadaan yang tidak dapat dihindari oleh perawat dalam menjalankan tugasnya
(Dora, 2014).
Perawat dituntut untuk memiliki disposisi perilaku tertentu agar dapat
menyelesaikannya. Salah satu disposisi perilaku tersebut ialah efikasi diri
(Self efficacy). Self efficacy diartikan sebagai suatu keyakinan tentang
kemampuan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan berhasil. Self
efficacy mengacu pada keyakinan individu mengenai kemampuannya
memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif dan tindakan yang diperlukan
agar berhasil melaksanakan tugas dalam konteks tertentu. Self efficacy yang
tinggi akan mengembangkan kepribadian yang kuat pada seseorang,
mengurangi stres dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi yang mengancam.
Self efficacy juga membantu menentukan berapa banyak upaya yang akan
dikeluarkan orang untuk suatu kegiatan, berapa lama mereka akan bertahan
ketika menghadap hambatan, dan seberapa tangguh mereka dalam
menghadapi situasi yang buruk. (Pajeres, 2002).
Self efficacy adalah suatu keyakinan individu bahwa dirinya mampu untuk
melakukan sesuatu dalam situasi tertentu dengan berhasil. Individu yang
memiliki self efficacy tinggi , pada saat menghadapi situasi yang menekan
akan berusaha lebih keras dan bertahan lama serta akan lebih aktif dalam
berusaha daripada orang yang mempunyai self eficacy rendah, dan akan lebih
berani menetapkan target atau tujuan yang akan dicapai. Orang yang memiliki
self efficacy tinggi akan berusaha melakukan tugas atau tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan dan berusaha beradaptasi dengan
berbagai rintangan-rintangan dalam pekerjaan mereka termasuk burnout yang
dialaminya. Begitu juga seorang perawat yang memiliki self efficacy tinggi
akan mampu mengatasi burnout yang dialaminya karena adanya tuntutan –
tuntutan dalam pekerjaan mereka. Seorang perawat yang memiliki self
efficacy tinggi akan memiliki tingkat burnout yang rendah (Sulistyowati,
2007).
Ketidakpuasan hasil kerja dengan peningkatan beban kerja menyebabkan
kejadian burnout pada perawat. Burnout merupakan suatu keadaan dimana
terjadi 3 aspek yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan
prestasi diri. Burnout atau kejenuhan kerja menjadi suatu masalah yang
menyebabkan individu untuk tidak realistis dalam mencapai tujuan dan
pada akhirnya kehabisan energi dan perasaan tentang dirinya dan orang-
orang sekitarnya, akibatnya terjadi penurunan kepuasan kerja,
memburuknya kinerja dan produktivitas yang rendah. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Aiken dkk tahun 1993 berjudul Hospital nurse
staffing and patient mortality, nurse burnout, and job dissatisfaction,
dengan sampel sebanyak 10.184 perawat. Hasilnya menunjukkan bahwa 43%
perawat yang diteliti memiliki nilai burnout yang relatif tinggi dan
ketidakpuasan dengan pekerjaan mereka sehingga berniat untuk berhenti dari
pekerjaan mereka dalam 12 bulan ke depan. Hanya 11 % dari total sampel
perawat yang tidak mengalami burnoutdan puas terhadap hasil kerja serta
tidak akan berhenti dari pekerjaannya. Hasil survei yang dilakukan
Persatuan Perawat Nasional tahun 2009 di Makassar mendapat hasil
51% perawat sering mengalami stress kerja, pusing, lelah, kurang
istirahat karena beban kerja yang terlalu tinggi dan menyita waktu. Perawat
juga mendapatkan gaji yang rendah tanpa insentif yang memadai.Salah
satu indikator dari burnoutadalah exhaustion (kelelahan yang berlebihan).
Dampak dari kelelahan adalah mudah letih, jenuh, mudah tersinggung,
sedih, bahkan sampai tertekan. Dampak kelelahan ini sesuai yang terjadi di
Amerika Serikat seperti yang dikutip Tribun News Internasional akibat
kelelahan, perawat tidak sengaja menjatuhkan bayi, sehingga
menyebabkan bayi mengalami keretakan pada tulang tengkorak,
beruntungnya hasil tes menyatakan bahwa indikasi keretakan dapat sembuh
total. Pihak rumah sakit tidak memberikan sanksi dan pemecatan karena
kemungkinan indikasi kelelahan yang dialami oleh perawat diakibatkan oleh
tuntutan pekerjaan. Berdasarkan latar belakang penelitian diatas maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai ”Hubungan Self Efficacy
Dengan Burnout Pada Perawat di RSU Gunungsitoli”.
1. 2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara self efficacy dengan burnout pada perawat di
RSU Gunungsitoli.

1. 3 Tujuan Penelitian
1.3 1. Tujuan Umum
1. Mengetahui adaya hubungan self efficacy dengan burnout pada
perawat
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi self efficacy pada perawat di Rumah Sakit Umum
Gunungstoli, Nias.
2. Mengidentifikasi kejadian burnout pada perawat di Rumah Sakit
Umum Gunungsitoli, Nias.

1. 4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Perawat
Dari penelitian yang diperoleh diharapkan perawat dapat menambah
pengetahuan mengenai hubungan self efficacy dengan burnout pada
perawat
1.4.2 Bagi Rumah Sakit
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi
pihak birokrasi Rumah Sakit untuk mengetahui efikasi diri para
karyawannya dalam pekerjaannya merawat pasien dan sebagai bahan
pertimbangan bagi instansi terkait serta bagi segenap pihak yang
membutuhkan informasi sesuai dari tema penelitian ini.
1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian juga dapat digunakan sebagi literatur dalam pelaksanaan
penelitian yang relevan di masa yang akan datang dengan jenis bidang
yang sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Burnout
2.1.1 Defenisi Burnout
Istilah burnout sebenarnya diperkenalkan oleh Bradley pada tahun
1969, namun tokoh yang dianggap sebagai penemu dan penggagas
istilah burnout adalah Herbert Freudenberger yang menulis artikel
tentang fenomena burnout pada tahun 1974. Pada masa itu,
Freudenberger yang bekerja sebagai psikiater disalah satu klinik
kecanduan obat di New York melihat bahwa banyak tenaga
sukarelawan yang semula bersemangat melayani pasien kemudian
mengalami penurunan motivasi dan komitmen kerja yang disertai
dengan gejala keletihan fisik dan mental secara keseluruhan yang
disebabkan oleh upaya yang berlebihan untuk mencapai tujuan kerja
yang tidak realistis dan merupakan akibat akhir dari stres kerja (Dessler,
1992).
Istilah burnout sebenarnya diperkenalkan oleh Bradley pada tahun
1969, namun tokoh yang dianggap sebagai penemu dan penggagas
istilah burnout adalah Herbert Freudenberger yang menulis artikel
tentang fenomena burnout pada tahun 1974. Pada masa itu,
Freudenberger yang bekerja sebagai psikiater disalah satu klinik
kecanduan obat di New York melihat bahwa banyak tenaga
sukarelawan yang semula bersemangat melayani pasien kemudian
mengalami penurunan motivasi dan komitmen kerja yang disertai
dengan gejala keletihan fisik dan mental secara keseluruhan yang
disebabkan oleh upaya yang berlebihan untuk mencapai tujuan kerja
yang tidak realistis dan merupakan akibat akhir dari stres kerja (Dessler,
1992).
Riggio (1990) menjelaskan bahwa jika individu menghadapi
konflik personal yang tak terpecahkan akan mengalami kebingungan
atas tugas dan tanggung jawab, pekerjaan yang berlebihan namun
kurang penghargaan yang sesuai, atau terjadinya hukuman yang tidak
sesuai dapat menjadi penyebabnya seseorang mengalami burnout,
sebuah proses yang dapat menurunkan komitmen mereka atas pekerjaan
yang dilakukan sehingga membuat mereka mengundurkan diri dari
tugasnya. Proses pengunduran ini ditunjukkan dengan reaksi
meningkatnya keterlambatan dan ketidakhadiran, serta penurunan dan
kualitas kerja (Kusumastuti, 2005).
Kejenuhan kerja (Burnout) adalah suatu kondisi fisik, emosi dan
mental yang sangat drop yang diakibatkan oleh situasi kerja yang sangat
menuntut dalam jangka panjang (Muslihudin, 2009). National Safety
Council (NSC) tahun 2004 mengatakan bahwa kejenuhan kerja
merupakan akibat stres kerja dan beban kerja yang paling umum, gejala
khusus pada kejenuhan kerja ini antara lain kebosanan, depresi,
pesimisme, kurang konsentrasi, kualitas kerja buruk, ketidakpuasan,
keabsenan, dan kesakitan atau penyakit (Dale, 2011).
Burnout merupakan respon yang berkepanjangan terkait faktor
penyebab stres yang terus-menerus terjadi di tempat kerja di mana
hasilnya merupakan perpaduan antara pekerja dan pekerjaannya
(Papalia, 2007). King (Retno, Machmuroch, Priyatama, 2014) juga
menerangkan bahwa burnout adalah keadaan stres psikologi yang
sangat berat pada seseorang yang mengalami kelelahan emosional dan
sedikit motivasi untuk bekerja. Ivancevich (dalam Retno, Machmuroch
& Priyatama, 2014) menambahkan bahwa burnout adalah suatu proses
psikologis pembawaan stres kerja yang tidak hilang, menghasilkan
kelelahan emosi, perubahan kepribadian, dan perasaan penurunan
pencapaian pribadi. Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat
disimpulkan bahwa burnout merupakan suatu kondisi psikis negatif
individu yang tampak dalam perilakunya, ditandai dengan tingkat
kelelahan yang ekstrim, kejenuhan dan penurunan pencapaian prestasi
diri, khususnya pada pekerjaan pelayanan kemanusiaan (human
services), akibat ketidakpuasan terhadap hasil yang diperoleh serta
adanya tekanan-tekanan yang diterima secara eksternal ataupun internal
yang bersifat psikologis.
2.1.2 Faktor Terjadinya Burnout
Faktor yang mempengaruhi terjadinya burnout adalah faktor
lingkungan kerja dan faktor individu (Pines dan Aronson dalam Retno,
Machmuroch, Priyatama, 2014). Menurut Baron dan Greenberg
(Nugroho & Marselius, 2012) terdapat dua faktor penyebab yang
menimbulkan terjadinya burnout, yaitu:
a. Faktor eksternal meliputi lingkungan kerja psikologis yang kurang
baik, kurangnya kesempatan untuk promosi, imbalan yang diberikan
tidak mencukupi, kurangnya dukungan sosial dari atasan, tuntutan
pekerjaan, pekerjaan yang monoton.
b. Faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan
karakteristik kepribadian.

Sumber atau penyebab burnout, sebagaimana dikemukakan oleh


Cherniss, Maslach, dan Sullivan (dalam Ema, 2004), terdiri dari empat
faktor, yaitu:
a. Faktor keterlibatan dengan penerima pelayanan. Dalam pekerjaan
pelayanan sosial (human services atau helping profession), para
pekerjanya memiliki keterlibatan langsung dengan objek kerja atau
kliennya.
b. Faktor lingkungan kerja. Faktor ini berkaitan dengan beban kerja
yang berlebihan, konflik peran, ambiguitas peran, dukungan sosial
dari rekan kerja yang tidak memadai, dukungan sosial dari atasan
tidak memadai, kontrol yang rendah terhadap pekerjaan, peraturan-
peraturan yang kaku, kurangnya stimulasi dalam pekerjaan.
c. Faktor individu. Faktor ini meliputi faktor demografik (jenis
kelamin, latar belakang etnis, usia, status perkawinan, latar belakang
pendidikan), dan karakeristik kepribadian (konsep diri rendah,
kebutuhan diri yang terlalu besar, kemampuan yang rendah dalam
mengendalikan emosi, locus of control eksternal, introvert).
d. Faktor sosial budaya. Faktor ini meliputi keseluruhan nilai yang
dianut masyarakat umum berkaitan dengan profesi pelayan sosial.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan faktor penyebab burnout tidak
semata karena stres tetapi juga disebabkan oleh adanya karakteristik
individu, lingkungan kerja dan keterlibatan emosional dengan penerima
layanan. Akan tetapi, berdasarkan definisi burnout umumnya
disebabkan oleh stress intens berkepanjangan. Mc Ghee (dalam
Sulistiyowati, 2007) menyebutkan, burnout sebagai suatu keadaan
dimana individu mengalami kelelahan fisik, mental dan emosional
bersumber karena stres yang dialami dalam jangka waktu yang cukup
lama dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang cukup
tinggi. Disebutkan juga oleh Baron dan Greenberg bahwa burnout
adalah suatu sindrom kelelahan emosional, fisik dan mental yang
ditunjang oleh perasaan rendahnya harga diri (self esteem) dan efikasi
diri (self efficacy), yang disebabkan penderitaan stres yang intens dan
berkepanjangan.
Efikasi diri dapat mempengaruhi reaksi individu terhadap stres
melalui persepsi kemampuannya dalam mengontrol situasi, serta
mengatur pikiran dan kondisi perasaan negatif. Persepsi terhadap
kemampuan mengontrol tersebut didasarkan pada keyakinan individu
terhadap kemampuan menguasai performansi tertentu. Maka individu
dengan efikasi diri yang tinggi mampu mengelola stres dengan
mengarahkan mereka pada usaha penyelesaian masalah. Sebaliknya,
individu yang tidak memiliki keyakinan akan mencoba untuk
menghindari berurusan dengan masalah. Dengan demikian jika individu
memberikan reaksi yang positif dan memanajemen stres dengan baik
maka burnout dapat terhindari.

2.1.3 Dimensi-dimensi Burnout


Menurut Maslach dan Jackson (Sarafino, 2011) Terdapat tiga
komponen yang sering digunakan untuk menjelaskan terjadinya
burnout, yaitu :
a. Kelelahan Emosional. Kelelahan emosional ditandai dengan
terkurasnya sumber-sumber emosional, misalnya perasaan
seseorang merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara
psikologis yang maksimal. Kelelahan emosional ditandai dengan
perasaan terkurasnya energi yang dimiliki, berkurangnya sumber-
sumber emosional di dalam diri seperti rasa kasih, empati,
perhatian, tidak berdaya, tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan
merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaan yang pada
akhirnya memunculkan perasaan tidak mampu lagi memberikan
pelayanan kepada orang lain.
b. Depersonalisasi. Depersonalisasi, menurut Maslach merupakan
sikap, perasaan, maupun pandangan negatif terhadap penerima
pelayanan. Reaksi negatif ini muncul dalam tingkah laku seperti
memandang rendah dan meremehkan klien, bersikap sinis terhadap
klien, kasar dan tidak manusiawi dalam berhubungan dengan klien,
serta mengabaikan kebutuhan dan tuntutan klien. Sindrom ini
merupakan akibat lebih lanjut dari adanya upaya penarikan diri dari
keterlibatan secara emosional dengan orang lain. Sikap lainnya
yang muncul adalah kehilangan idealisme, mengurangi kontak
dengan sekitarnya, berhubungan seperlunya saja, berpendapat
negatif dan bersikap sinis terhadap sekitarnya. Secara konkret
seseorang yang sedang depersonalisasi cenderung meremehkan,
memperolok, tidak peduli dengan orang lain yang dilayani, dan
bersikap kasar.
c. Penurunan Pencapaian Prestasi Diri. Adapun penurunan hasrat
pencapaian prestasi diri ditandai dengan adanya kecenderungan
memberi evaluasi negatif terhadap diri sendiri, terutama berkaitan
dengan pekerjaan. Pekerja merasa dirinya tidak kompeten, tidak
efektif dan tidak adekuat, kurang puas dengan apa yang telah
dicapai dalam pekerjaan, bahkan perasaan kegagalan dalam bekerja.
Menurut Maslach, evaluasi negatif terhadap pencapaian kerja ini
berkembang dari adanya tingakan depersonalisasi terhadap
penerima pelayanan. Pandangan maupun sikap negatif terhadap
klien lama-kelamaan menimbulkan perasaan bersalah pada diri
pemberi pelayanan.

2.1.4 Gejala-Gejala Kejenuhan (Burnout)


George menjelaskan tentang gejala- gejala burnout yaitu:
a. Kelelahan fisik yang ditunjukkan dengan adanya kekurangan energi,
merasa kelelahan dalam kurun waktu yang panjang dan
menunjukkan keluhan fisik seperti sakit kepala, mual, susah tidur,
dan mengalami perubahan kelelahan makan yang diekspresikan
dengan kurang bergairah dalam bekerja, lebih banyak melakukan
kesalahan, merasa sakit padahal tidak terdapat kelainan fisik.
b. Kelelahan mental yang ditunjukkan oleh adanya sikap sinis terhadap
orang lain, bersikap negatif terhadap orang lain, cenderung
merugikan diri sendiri, pekerjaan dan organisasi, dan kehidupan
pada umumnya diekspresikan dengan mudah curiga terhadap orang
lain, menunjukkan sikap sinis terhadap orang lain, menunjukan
sikap agresif baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan,
menunjukkan sikap masa bodoh terhadap orang lain dan dengan
sengaja menyakiti diri sendiri.
c. Kelelahan emosional yang ditunjukkan oleh gejala-gejala seperti
depresi, perasaan tidak berdaya, dan merasa terperangkap dalam
pekerjaan yang diekspresikan dengan sering merasa cemas dalam
bekerja, mudah putus asa, merasa tersiksa dalam melaksanakan
pekerjaan, mengalami kebosanan atau kejenuhan dalam bekerja.
d. Penghargaan diri yang rendah ditandai oleh adanya penyimpulan
bahwa dirinya tidak mampu menunaikan tugas dengan baik dimasa
lalu dan beranggapan sama untuk masa depannya yang
diekspresikan dengan merasa tidak pernah melakukan sesuatu
(George, 2005).
Berdasarkan penjelasan di atas, burnout memiliki banyak gejala mulai
dari gejala fisik, emosi, mental, dan pengharaan diri yang rendah.
2.1.5 Akibat Burnout
Beberapa akibat burnout bagi individu dan organisasi (Jewell & Siegall,
1998) antara lain:
a) Individu Menurut Jackson akibat burnout bagi individu adalah
memburuknya kualitas hubungan rumah tangga, masalah kesehatan dan
hubungan yang buruk dengan rekan sekerja.
b) Organisasi Akibat burnout bagi organisasi menurut Jackson adalah
pemberi pelayanan yang berkualitas rendah bagi pelanggan (klien,
pasien), merendahnya keterlibatan kerja pada bidangnya dan
meningkatnya orang yang pindah kerja.
Stres di tempat kerja merupakan keadaan yang tidak bisa dihindari.
Kenyataan menunjukkan ada individu yang dapat bertahan dan
mengatasi situasi yang menekan tersebut, namun ada juga yang tidak
dapat bertahan. Menurut Schaufeli dan Buunk (dalam Lailani, 2012)
ada beberapa variabel individu yang mempengaruhi stres yang dialami
individu, salah satunya adalah variabel efikasi diri.

2.2 Konsep Self Efficacy


2.2.1 Pengertian Self Efficacy
Baron dan Byrne (Ghufron, 2011) mendefinisikan efikasi diri
sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi
dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi
hambatan. Bandura (1997) berpendapat bahwa efikasi diri adalah 4
kemampuan umum yang terdiri atas aspek-aspek kognitif, sosial,
emosional dan perilaku. Individu harus mampu mengolah aspek-aspek
itu untuk mencapai tujuan tertentu. Bandura (Alwisol, 2009)
menyebutkan keyakinan atau harapan diri ini sebagai efikasi diri, dan
harapan hasilnya disebut ekspektasi hasil. Efikasi diri atau efikasi
ekspektasi (self efficacy – efficacy expectation) adalah “Persepsi diri
sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi
tertentu.” Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri
memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Ekspetasi
hasil (outcome expectation): perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah
laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu. Menurut
Bandura (Friedman, 2008), efikasi diri menentukan apakah kita akan
menunjukkan perilaku tertentu, sekuat apa kita dapat bertahan saat
menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan atau
kegagalan dalam suatu tugas tertentu mempengaruhi perilaku kita di
masa depan. Efikasi diri yang positif adalah keyakinan untuk mampu
melakukan perilaku yang dimaksud. Tanpa efikasi diri (keyakinan
tertentu yang sangat situasional), orang bahkan enggan mencoba
melakukan suatu perilaku. Definisi lain self efficacy adalah sebagai
keyakinan seseorang tentang kemampuannya untuk mengorganisasikan
dan melaksanakan tindakan apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai
kinerja yang diinginkan (Pajares & Urdan, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa efikasi
diri merupakan pemahaman atau penilaian akan potensi yang dimiliki
individu secara subjektif dan terkontrol apakah individu tersebut dapat
melakukan hal yang baik dan tepat sesuai yang diharapkan.

2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Self Efficacy


Beberapa faktor yang mempengaruhi self efficacy menurut
Bandura (2006)
1. Pengalaman keberhasilan (enactive mastery experiences)
Keberhasilan yang sering didapatkan seseorang akan meningkatkan
self efficacy yang dimiliki seseorang, sedangkan kegagalan akan
menurunkan self efficacy. Keberhasilan yang didapatkan karena
dukungan dari faktor-faktor lain di luar dirinya, biasanya tidakakan
memberikan pengaruh terhadap peningkatan self efficacy, tetapi jika
keberhasilan tersebut didapatkan dengan melalui hambatan yang besar
dan merupakan hasil perjuangan sendiri, maka hal itu akan membawa
pengaruh terhadap self efficacy.
2. Pengalaman orang lain (vicarious experiences) Pengalaman
keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan individu
dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan self
efficacy seseorang dalam mengerjakan tugas yang sama. Self efficacy
tersebut didapat melalui sosial model yang biasanya terjadi pada diri
seseorang yang kurang pengetahuan tentang kemampuan dirinya
sehingga mendorong seseorang untuk melakukan modeling. Namun self
efficacy yang didapat tidak akan terlalu berpengaruh bila model yang
diamati tidak memiliki kemiripan atau berbeda dengan model.
3. Persuasi verbal (Verbal Persuation) Informasi tentang kemampuan
yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh
biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup
mampu melakukan suatu tugas. Persuasi verbal adalah campuran antara
keyakinan dalam diri dan kata-kata dorongan atau pujian dari atasan
ataupun orang lain bahwa seseorang memiliki kemampuan atau
keterampilan.
4. Keadaan fisiologis dan emosional (physiological and emotional
states) Kecemasan dan stres yang dirasakan seseorang dalam
melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada
umumnya seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam
kondisi yang tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan
adanya keluhan atau gangguan somatik lainnya. Self efficacy biasanya
ditandai oleh rendahnya tingkat stres dan kecemasan sebaiknya self
efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stres dan kecemasan yang
tinggi pula.

2.2.3 Manfaat Self Efficacy


1. Pilihan perilaku.
Dengan adanya self efficacy yang dimiliki, individu akan menetapkan
tindakan apa yang akan dilakukan dalam menghadapi suatu tugas untuk
mencapai tujuan yang diinginkannya.
2. Pilihan karir.
Self efficacy merupakan mediator yang cukup berpengaruh terhadap
pemilihan karir seseorang. Bila seseorang merasa mampu melaksanakan
tugas-tugas dalam karir tertentu maka biasanya akan memilih karir
tersebut.
3. Kuantitas usaha dan dan keinginan untuk bertahan pada suatu tugas
Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi biasanya akan berusaha
keras untuk menghadapi kesulitan dan bertahan dalam mengerjakan
suatu tugas bila mereka telah mempunyai keterampilan prasyarat.
Sedangkan individu yang mempunyai self efficacy yang rendah akan
terganggu oleh keraguan terhadap kemampuan diri dan mudah
menyerah bila menghadapi kesulitan dalam mengerjakan tugas.
Penelitian yang dilakukan oleh Prestiana & Purbandini (2012)
mendukung hal ini bahwa perawat yang mempunyai self efficacy yang
tinggi maka semakin rendah bornout yang dialami perawat.
4. Kualitas usaha
Penggunaan strategi dalam memproses suatu pekerjaan secara lebih
mendalam dan keterlibatan kognitif memiliki hubungan yang erat
dengan self efficacy yang tinggi. Suatu penelitian dari Pintrich dan De
Groot menemukan bahwa perawat yang memiliki self efficacy tinggi
cenderung akan memperlihatkan penggunaan kognitif dan strategi
menyelesaikan masalah yang lebih bervariasi.
Perawat dengan self efficacy tinggi cenderung menggunakan
strategi problem fucosing coping sedangkan perawat dengan self
efficacy rendah akan cenderung menggunakan strategi emotion focused
coping. Perawat yang memiliki self efficacy tinggi akan berusaha
mencari jalan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya
untukmemperbaiki situasi kerja di rumah sakit. Sedangkan perawat
yang memiliki self efficacy rendah cenderung menggunakan emotion
fucosing coping dalam menghadapi burnout yang dialaminya sehingga
mereka cenderung hanya mengatasi emosi yang timbul pada saat
menghadapi masalah di rumah sakit.

2.2.4 Dimensi Efikasi Diri


Bandura menyatakan bahwa ada 3 (tiga) dimensi self efficacy. Dimensi-
dimensi tersebut yaitu:
a. Level (tingkatan kesulitan).
Kemampuan seseorang untuk menyelesaikantugas yang tingkatan
kesulitannya berbeda. Individu dengan efikasi diri tinggi akan
mempunyai keyakinan yang tinggi tentang kemampuan dalam
melakukan suatu tugas yaitu menjalankan peran keperawatan yang
tingkatannya berbeda, sebaliknya individu yang memiliki efikasi diri.
rendah akan memiliki keyakinan yang rendah pula tentang menjalankan
peran keperawatan.
Efikasi diri dapat ditunjukkan dengan tingkatan yang dibebankan
pada indivdu, yang nantinya terdapat tantangan dengan tingkat yang
berbeda dalam rangka menuju keberhasilan. Seseorang individu akan
mencoba tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan akan
menghindari tingkah laku yang dirasa diluar batas kemampuan yang
dirasakannya. Kemampuan dapat dilihat dalam bentuk tingkat
kecerdasan, usaha, ketepatan, produktivitas dan cara mengatasi
tantangan. Hasil dari perbandingan antara tantangan yang timbul ketika
individu mencapai performansi dengan kemampuan yang dimiliki oleh
individu akan bermacam-macam tergantung dengan aktivitas yang
dilakukan.
b. Generality (keluasaan).
Hal yang berkaitan dengan cakupan luas bidang tingkah laku dimana
individu merasa yakin terhadap kemampuannya. Individu mampu
menilai keyakinan dirinya dalam menyelesaikan tugas yaitu
mengendalikan dorongan seksual dibanyak bidang atau dalam bidang
tertentu saja. Mampu atau tidaknya individu mengerjakan bidang-
bidang dan konteks tertentu mengungkapkan gambaran secara umum
tentang efikasi diri individu tersebut. Generalisasi bisa bervariasi dalam
beberapa bentuk dimensi yang berbeda, termasuk tingkat kesamaan
aktivitas dan modalitas dimana kemampuan diekspresikan yang
mencangkup tingkah laku, kognitif dan afeksi.
c. Strength (ketahanan).
Hal yang berkaitan dengan kekuatan pada keyakinan individu atas
kemampuannya. Individu mempunyai keyakinan yang kuat dan
ketekunan dalam usaha yang akan dicapai meskipun terdapat kesulitan
dan rintangan. Dengan efikasi diri, kekuatan untuk usaha yang lebih
besar mampu didapat. Semakin kuat perasaan efikasi diri dan semakin
besar ketekunan, semakin tinggi kemungkinan kegiatan yang dipilih
dan untuk dilakukan menjadi berhasil.

2.2.5 Strategi Untuk Meningkatkan Self Efficacy


1.Mengajarkan perawat suatu strategi khusus sehingga dapat
meningkatkan kemampuannya untuk fokus pada tugas- tugasnya.
2.Memandu perawat dalam menetapkan tujuan, khususnya dalam
membuat tujuan jangka pendek setelah mereka membuat tujuan jangka
panjang.
3.Memberikan reward untuk performa perawat
4.Mengkombinasi strategi training dengan menekankan pada tujuan dan
memberi feedback pada perawat tentang hasil pembelajarannya.
5.Memberikan support atau dukungan pada perawat. Dukungan yang
positif dapat berasal dari kepala ruang seperti pernyataan “kamu dapat
melakukan ini”
6.Meyakinkan bahwa perawat tidak terlalu aroused dan cemas karena
hal itu justru akan menurunkan self efficacy perawat.
7.Menyediakan perawat model yang bersifat positif seperti dewasa dan
teman sejawat. Modelling efektif untuk meningkatkan self efficacy
khususnya ketika perawat mengobservasi keberhasilan asuhan
keperawatan yang telah dilakukan oleh rekannya dan sebenarnya ia pun
bisa melakukannya

2.3 Kerangka Konsep


Berdasarkan latar belakang dan studi pendahuluan maka kerangka konsep
penelitian ini sebagai berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen

Self Efficacy Burnout Perawat

2.4 Hipotesa Penelitian


Ha : Ada hubungan antara self efficacy dengan burnout pada perawat di
Rumah Sakit Umum Gunungsitoli.
Ho : Tidak ada hubungan antara self efficacy dengan burnout pada perawat di
Rumah Sakit Umum Gunungsitoli.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian survey analitik, yaitu dengan
menganalisis korelasi antara self efficacy dengan tingkat burnout yang
dialami perawat di rumah sakit. Rancangan pendekatan yang digunakan yaitu
cross sectional, dimana pengukuran faktor risiko dan efek dilakukan dalam
satu waktu.

3.2 Populasi dan Sampel


3.2.1 Populasi
Menurut Sugiyono (2003) populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan Azwar (2010)
mendefinisikan populasi sebagai kelompok subjek yang akan dikenai
generalisasi hasil penelitian. Sebagai suatu populasi, kelompok subjek
ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik bersama yang
membedakannya dari kelompok subjek yang lain. Ciri yang dimaksud
tidak terbatas hanya sebagai ciri lokasi akan tetapi dapat terdiri dari
karakteristik-karakteristik individu. Jadi, yang dimaksud dengan
populasi adalah keseluruhan objek atau subjek yang akan diteliti.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pada bangsal kelas
I dan II Rumah Sakit Umum Gunungsitoli. Jumlah sampel yang diteliti
dihitung dengan menggunakan Rumus Slovin dan dengan nilai α=5%
atau 0,05. Rumus penghitungan besar sampel adalah sebagai berikut
n=N 1 + N × α2 = 74,13 = 75

3.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Karena ia
merupakan bagian dari populasi, tentulah ia harus memiliki ciri-ciri
yang dimiliki oleh populasinya (Azwar, 2010).
Dengan rumus tersebut dapat diketahui bahwa jumlah minimum sampel
yang dapat mewakili 91 orang populasi yaitu sebesar 75 responden.
Dalam pelaksanaannya, sampel yang berhasil dikumpulkan sebanyak 76
responden. Dari 76 responden tersebut, semuanya diikutsertakan dalam
proses analisis. Accidental sampling merupakan teknik pengambilan
sampel yang dilakukan terhadap responden yang secara kebetulan
ditemui pada objek penelitian ketika observasi sedang berlangsung
(Hadi, 2004). Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan skala
melalui kepala perawat masing-masing ruangan.

3.3 Tempat dan Lokasi Penelitian


Tempat penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Gunungsitoli

3.4 Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan januari-juli tahun 2020

3.5 Defenisi Operasional


Variabel Defenisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Hasil
Ukur
Variabel Self efficacy Kuesioner Pada item Ordinal
Independent : merupakan yang bersifat
keyakinan atau favorable,
Self Efficacy kepercayaan jawaban
individu SS mendapat
terhadap skor 4, S
kemampuan yang mendapat
dimiliki dalam skor 3, TS
melaksanakan mendapat
tugas-tugas skor 2, dan
yang dihadapi, STS
sehingga mampu mendapat
mengatasi skor 1. Hal
rintangan dan ini berlaku
mencapai sebaliknya
tujuan yang pada item
diharapkan. yang bersifat
Tinggi rendahnya unfavorable,
self efficacy jawaban SS
diukur mendapat
dengan skala self skor 1, S
efficacy yang mendapat
dibuat skor 2, TS
berdasarkan mendapat
aspek-aspek self skor 3, dan
efficacy. Semakin STS
tinggi skor total mendapat
yang diperoleh skor 4
maka semakin
tinggi pula self
efficacy, dan
sebaliknya.
Variabel Burnout adalah Maslach 22-43= Ordinal
Dependent : suatu keadaan Burnout rendah, 44-65
dimana individu Inventory- = sedang, dan
Burnout mengalami General 66-88 =
kondisi kelelahan Survey tinggi.
emosional yang (MBI-GS).
terjadi secara
berkepanjangan
dan menyebabkan
perubahan sikap
dan perilaku
negatif. Adapun
tiga aspek dari
burnout yaitu
kejenuhan emosi,
depersonalisasi
dan pencapaian
personal. Burnout
diungkapkan
dengan
menggunakan
alat ukur berupa
skala yang
diadaptasi dari
skala
Maslach Burnout
Inventory yang
disusun
berdasarkan tiga
dimensi yang
meliputi
Emotional
Exhaustion
(Kejenuhan
Emosi),
Depersonalization
(Depersonalisasi),
dan Personal
Accomplishment
(Pencapaian
Personal).

3.6 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode skala. Metode
skala merupakan alat yang disusun dan digunakan oleh peneliti untuk
mengubah respon pada suatu variabel yang bersifat kualitatif menjadi data
kuantitatif. (Mahmud dalam Sudaryono, 2017, h. 185)
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua skala, yaitu skala burnout
dan self efficacy. Item favourable merupakan item yang berisi pernyataan
yang bersifat memihak dan mendukung bahwa adanya item atau poin yang
diukur. Item unfavourable merupakan item yang berisi tidak memihak atau
mendukung dan tidak menggambarkan ciri item atau poin yang diukur.
Skala dibuat dalam bentuk skala Likert dengan empat kategori jawaban,
yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai) dan STS (Sangat
Tidak Sesuai). Pada item yang bersifat favorable, jawaban SS mendapat skor
4, S mendapat skor 3, TS mendapat skor 2, dan STS mendapat skor 1. Hal
ini berlaku sebaliknya pada item yang bersifat unfavorable, jawaban SS
mendapat skor 1, S mendapat skor 2, TS mendapat skor 3, dan STS
mendapat skor 4.

1. Alat Ukur Penelitian


a. Skala Burnout
Skala burnout dalam penelitian ini menggunakan modifikasi skala
burnout yang didasarkan pada skala Maslach Burnout Inventory (MBI)
dari Maslach dan Jackson (1981), dengan tiga dimensi, yaitu:
1) Kelelahan emosional(Emotional Exhaustion)
2) Penurunan pencapaian prestasi (Reduced Personal
Accomplishment)
3) Depersonalisasi (Depersonalization)
Konsistensi reliabilitas dalam penelitian Maslach dan Jackson (1981)
dilakukan perdimensi. Pada dimensi Emotional Exhaustion memiliki
reliabilitas 0,86. Sementara Personal Accomplishment memiliki
reliabilitas 0,74 dan Depersonalization memiliki reliabilitas 0,72. Dengan
kata lain konsistensi reliabilitas internal ketiga dimensi dikatakan baik
untuk digunakan sebagai alat ukur burnout pada perawat. Skala ini terdiri
dari 22 aitem dan peneliti juga menambahkan 15 aitem menjadi 37 aitem.

2. Skala Self Efficacy


Skala yang mengungkapkan tentang self efficacy adalah berdasarkan tiga
aspek menurut Bandura (dalam Zimmerman, 2000, h.83) ) yaitu
level/magnitude, strenght/kekuatan, dan generality/keadaan umum.

3.7 Etika Penelitian


Selama penelitian, responden dilindungi daengan memperhatikan aspek-aspek
self determination, privacy and anonmymity, benefience maleficience, justice
(Polit & Beck, 2013). Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan dengan menekankan masalah etika sebagai berikut :
1. Tekad Individu (Self determination)
Prinsip self determination dijelaskan bahwa responden diberi kebebasan
oleh peneliti untuk menentukan keputusan sendiri, apakah bersedia ikut
dalam penelitian atau tidak tanpa paksaan (sukarela). Setelah responden
bersedia, maka langkah selanjutnya peneliti menjeaskan maksud dan
tujuan serta manfaat penellitian, kemudian peneliti menanyakan kesediaan
responden, setelah setuju respon di minta untuk menandatangani lembar
persetujuan menjadi subjek penelitian atau informed consent yang
disediakan.
2. Kerahasiaan (Privacy and anonmymity)
Prinsip etik privacy anonmymity yaitu prinsip menjaga kerahasiaan
informasi responden dengan tidak mencantumkan nama, tetapi hanya
menuliskan kode inisial dan hanya digunakan untuk kepentingan peneliti.
3. Kebaikan (Benefience)
Benefience merupakan prinsip etik yang mementingkan keuntungan, baik
bagi peneliti maupun responden sendiri. Peneliti ini menjelaskan kepada
responden tentang manfaat peneliti.
4. Tidak Merugikan (Non Malefience)
Peneliti ini menggunakan prosedur yang tidak menimbulkan bahaya bagi
responden dan terbebas dari rasa tidak nyaman, dalam hal ini peneliti
meyakinkan responden bahwa ini tidak merugikan respondendan peneliti.
5. Persetujuan (Informend Consent)
Informend Consent merupakan persetujuan atau izin yang di berikan oleh
responden untuk memperbolehkan dilakukannya suatu tindakan atau
perlakuan.

3.8 Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Setelah data di kumpulkan, langkah selanjutnya adalah mengolahan data.


Menurut Notoatmojo (2015)
a. Editing
Dilakukan pengecekan data yang di kumpulkan. Proses editing ini peneliti
pemeriksa kelengkapan jawaban responden pada lembaran observasi untuk
melihat nilai karakteristik responden.
b. Coding
Pada tahap ini di lakukan dengan memberikan kode untuk lembaran observasi
setiap jawaban.
c. Entri
Setelah data terkumpul dan lengkap kemudian data di masukkan ke computer
dan di lakukan pengkodean pada berat badan lahir rendah dengan kejadian
stunting. Kemudian di simpan untuk di olah keanalisa data.
d. Tabulating
Hasil semua jawaban rsponden di masukan ke dalam tabel distribusi frekuensi
untuk mempermudah pengolahan data dan analisa data serta pengambilan
keputusan.

3.9 Analisa Data


Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu :
A. Analisa Univariat
Analisis univariat atau analisis deskriptif adalah analisis yang menggambarkan
suatu data yang akan dibuat baik sendiri maupun kelompok dengan menghitung
distribusi frekuensi dan proporsinya untuk mengetahui karakteristik responden.

B. Analisa Univariat
Pada penelitian ini, data yang peneliti peroleh akan diolah menggunakan metode
statistika karena data yang diperoleh berupa angka-angka dan metode statistik
dapat memberikan hasil yang objektif. Dalam penelitian ini metode yang peneliti
gunakan adalah Korelasi Product Moment. Korelasi Product Moment dipakai
mencari ada tidaknya hubungan antara employee engagement sebagai variabel
bebas dan burnout sebagai variabel tergantung. Selanjutnya untuk perhitungan uji
hipotesis peneliti menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for Windows.
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku


KedokteranEGC

Sulistyowati. (2007). Hubungan Antara Burnout Dengan Self Efficacy Pada


Perawat Di RuangRawat Inap Rsud Prof.Dr Margono Soekarjo Purwokerto.
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume
2, No.3, November 2007 Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/106864- ID-hubungan-antara-
burnout-dengan-self-effi.pdf

Tawale, E. N, (2011), Hubungan antara Motivasi Kerja dengan Kecenderungan


mengalami Burnout pada Perawat di RSUD Serui-Papua. INSAN. Vol. 13
No.02 Diakses dari http://journal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN4300-
44e7f60242fullabstract.pdf

Aprilia, D. (2010). Hubungan Tingkat Stres Kerja Perawat dengan Adaptasi


Stres. Pada Perawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Dr. M. Djamil.
Padang. Skripsi. Universitas Andalas, Padang.

Surya P.A. (2017). Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Burnout Pada Perawat
Di Ruang Rawat Inap Anak Rsup Sanglah. Jurnal Medika. Vol. 6, No. 4

Fakhsianoor, F., & Dewi, S. (2014). Hubungan antara Stres Kerja dengan
Burnout pada Peawat di Ruang ICU, ICCU dan PICU RSUD Ulin
Banjarmasin. An Nadaa Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(1), 10-13.

Prestina, N.D. (2012). Hubungan Antara Efikasi Diri (Self Efficacy) Dan Stres
Kerja Dengan Kejenuhan Kerja (Burnout) Pada Perawat Igd Dan Icu Rsud
Kota Bekasi. Jurnal Soul, Vol.5, No.12

Marwati, Indah. (2018). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Burnout


Pada Perawat Di Ruang Instalasi Rawat Inap Rsud Raden Mattaherdan Abdul
Manap Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi, Vol. 2, No.2

Anda mungkin juga menyukai