Anda di halaman 1dari 169

PERPAJAKAN 1

PERTEMUAN 1
DASAR-DASAR PERPAJAKAN

DISUSUN OLEH :

1. Dhiya Septi Wulan Suri


2. Indriani Novita Sari
3. Togi Marito Simanjuntak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 1


PERPAJAKAN 1

Dasar-Dasar Perpajakan

A. Definisi dan Unsur Pajak

1. Definisi dan Unsur Pajak

a. Definisi pajak

Menurut UU No. 16 Th 2009, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara


yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

2. Unsur Pajak

Pajak memiliki unsur-unsur :

1) Iuran dari rakyat kepada negara.


2) Berdasarkan UU.
3) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara secara langsung dapat
ditunjuk.
4) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yaitu pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.

B. Fungsi Pajak

1. Fungsi Anggaran (Budgeter): Keperluan penerimaan negara


2. Fungsi Mengatur: Mengatur Perekonomian dan Sosial

C. Syarat Pemungutan dan Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak

1. Prinsip Pemungutan Pajak

a. Pemungutan pajak harus adil;

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 2


PERPAJAKAN 1

b. Berdasarkan Undang-undang;
c. Tidak mengganggu perekonomian;
d. Pemungutan pajak harus efisien;
e. Pemungutan pajak harus sederhana.

2. Teori yang mendukung Pemungutan Pajak

a. Teori Asuransi, Pemerintah berperan melindungi masyarakat


b. Teori Kepentingan, Masyarakat berkepentingan terhadap pemerintah.
c. Teori Daya Pikul, Pemungutan pajak berdasarkan kemampuan masyarakat.
(Besar penghasilan Kebutuhan Materiil)
d. Teori Bakti, Masyarakat berbakti kepada negara melalui pembayaran pajak
pada negara
e. Teori Asas Daya Beli, Menarik daya beli masyarakat ke negara. Kemudian
negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemelihataan
kesejahteraan masyarakat.

D. Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil

1. Hukum Pajak Materiil, norma-norma yang menerangkan keadaan


perbuatan.

a. Terkait dengan Objek Pajak: keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang


dikenai pajak.
b. Subyek Pajak : Siapa yang dikenai pajak.
c. Tarif Pajak : Berapa besarnya pajak yang dikenakan.
d. Timbul dan hapusnya hutang pajak.
e. Hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.

2. Hukum Pajak Formil, bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan.

a. Tata cara penetapan hutang pajak


b. Pengawasan oleh fiscus terhadap Wajib Pajak.
c. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 3


PERPAJAKAN 1

E. Pengelompokan Pajak

1. Menurut golongannya

a. Pajak langsung, pajak yang harus dipikul sendiri oleh WP dan tidak dapat
dibebankan kepada pihak lain. Contoh: PPh
b. Pajak tidak langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan pada pihak
lain. Contoh: PPN

2. Menurut sifatnya

a. Pajak subjektif, pajak yang berdasarkan pada subjeknya, dalam arti


memperhatikan keadaan diri WP. Contoh: PPh
b. Pajak objektif, pajak yang berdasarkan objeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri WP. Contoh: PPN; PPN-Bm

3. Menurut lembaga pemungutnya

a. Pajak pusat, pajak yang dipungut oleh Pem-Pus dan digunakan untuk
membiayai belanja negara. Contoh: PPh, PPN-Bm, PPN, PBB, dan Bea Materai
b. Pajak daerah, pajak yang dipungut oleh Pemda dan digunakan belanja daerah.
Pajak daerah terdiri dari:

1) Pajak provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor.
2) Pajak Kab/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan.

F. Tata Cara Pemungutan Pajak

1. Stelsel Pajak

a. Stelsel Nyata (Real Stelsel), pengenaan pajak didasarkan pada objek


(penghasilan yang nyata), sehingga pemugutan pajak baru dapat dilakukan
pada akhir tahun pajak, setelah penghasilan riilnya diketahui.
b. Stelsel Anggapan (Fictive Stelsel), pengenaan pajak didasarkan pada suatu
anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misal penghasilan tahun ini
dianggap sama dengan penghasilan tahun lalu.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 4


PERPAJAKAN 1

c. Stelsel Campuran, Kombinasi antara Stelsel Nyata dan Stelsel Anggapan, pada
awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian
pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya. WP
dapat menambah maupun meminta kembali pajaknya tergantung lebih-
kurangnya penyesuaian tersebut.

2. Azas Pemungutan Pajak

a. Asas Domisili, Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan WP yang


bertempat tinggal di wilayahnya.
b. Asas Sumber, Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan penghasilan
WP yang bersumber di wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal WP.
c. Asas Kebangsaan, Pengenaan pajak berhubungan dengan kebangsaan suatu
negara.

3. Sistem Pemungutan Pajak

a. Official Assesment System


b. Self Assesment System
c. Withholding System

G. Timbul dan Hapusnya Utang Pajak

1. Timbulnya Hutang Pajak

a. Ajaran Formil: Timbulnya hutang pajak dikarenakan adanya penetapan oleh


fiscus.
b. Ajaran Materil: Timbul karena berlakunya undang-undang.

2. Hapusnya Hutang Pajak

a. Pembayaran;
b. Kompensasi;
c. Daluwarsa;
d. Pembebasan dan penghapusan.

H. Hambatan Pemungutan Pajak

Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 5


PERPAJAKAN 1

1. Perlawanan pasif

Masyarakat enggan membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:

a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.


b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan dan dilaksanakan dengan baik.

2. Perlawanan aktif

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.

I. Tarif Pajak

1. Tarif Sebanding;
2. Tarif Tetap;
3. Tarif Progressif;
4. Tarif Degressif.

Takut akan TUHAN adalah permulaan


pengetahuan, tetapi orang bodoh
menghina hikmat dan didikan.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 6


PERPAJAKAN 1

PERTEMUAN 2
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Disusun oleh:

1. Dhiya Septi Wulan Suri


2. Indriani Novita Sari
3. Togi Marito Simanjuntak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 1


PERPAJAKAN 1

BAB 1 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

A. Pendaftaran dan atau Pelaporan Usaha

(PMK 182/PMK.03/2015 jo. PER-20/PJ/2013 Jo. PER-38/PJ/2013)


1. Wajib Pajak harus mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau
Formulir Permohonan Pengukuhan PKP secara lengkap dan jelas.

2. Wajib Pajak menyerahkan Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau


Formulir Pengukuhan PKP yang telah diisi secara lengkap dan jelas serta
ditandatangani Wajib Pajak.

3. Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha wajib
pajak. Penyampaian secara tertulis dilakukan ;
 secara langsung
 melalui pos; atau
 melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir
4. Dalam hal permohonan dinyatakan diterima secara lengkap, maka KPP atau KP2KP
memberikan Bukti Penerimaan Surat kepada Wajib Pajak.

5. Permohonan pendaftaran NPWP yang telah diberikan Bukti Penerimaan Surat oleh
KPP atau KP2KP, maka pihak KPP atau KP2KP akan menerbitkan Kartu NPWP dan
Surat Keterangan Terdaftar Paling Lama 1 (satu) hari kerja.

B. Pembukuan dan Pencatatan

1. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan

1. Wajib Pajak (WP) Badan;

2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam
satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 2


PERPAJAKAN 1

2. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan

1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari
Rp4.800.000.000,00 , dapat menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat
memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;

2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.

3. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan

1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan


keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab,


satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam
bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas.

4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,


kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

4. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pencatatan

Pencatatan harus menggambarkan antara lain :


a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang
diterima dan/atau diperoleh;

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 3


PERPAJAKAN 1

b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan


pajaknya bersifat final.

c. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha,
pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis
usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.

d. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang pribadi


harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.

5. Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan adalah untuk


mempermudah:

1. Pengisian SPT;

2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;

3. Penghitungan PPN dan PPnBM;

Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil


kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

C. Pembayaran Pajak

Pada saat melakukan pembayaran kita akan diberikan bukti pembayaran atau
penyetoran pajak (Surat Setoran Pajak) yang telah di lakukan dengan menggunakan
formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

SPP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat
kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.

1. Tempat Pembayaran dan Penyetoran Pajak

1. Bank ditunjuk oleh Menteri Keuangan


2. Kantor Pos

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 4


PERPAJAKAN 1

2. Jangka Waktu Pembayaran atau Penyetoran Pajak

Jangka waktu pembayaran atau penyetoran pajak diatur sebagai berikut:

a. Pembayaran Masa

Batas Pembayaran

No. Jenis Pajak (Paling Lambat...) Batas pelaporan

(Pasal 2 PMK Undang-Undang di


242/PMK.03/2014) bidang Perpajakan

1. PPh pasal 4 (2) setor sendiri Tgl 15 bulan berikutnya Tgl 20 bulan
berikutnya

2. PPh pasal 4 (2) pemotongan Tgl 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan


berikutnya

3. PPh paal 15 setor sendiri Tgl 15 bulan berikutnya Tgl 20 bulan


berikutnya

4. PPh pasal 15 pemotongan Tgl 10 bulang Tgl 20 bulan


berikutnya berikutnya

5. PPh pasal 21 Tgl 10 bulang Tgl 20 bulan


berikutnya berikutnya

6. PPh pasal 23/26 Tgl 10 bulang Tgl 20 bulan


berikutnya berikutnya

7. PPh pasal 25 Tgl 15 bulan berikutnya Tgl 20 bulan


berikutnya

8. PPh pasal 22 impor setor sendiri Saat penyelesaian


dokumen PIB
(dilunasi bersamaan dg bea masuk,
PPN, PPnBM)

9. PPh pasal 22 impor yang 1 hari kerja berikutnya Hari kerja terakhir
pemungutan oleh BC minggu berikutnya

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 5


PERPAJAKAN 1

10. PPh pasal 22 pemungutan oleh Hari yang sama dg 14 hari setelah masa
bendaharawan pembayaran atas pajak berakhir
penyerahan barang

11. PPh pasal 22 migas Tgl 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan


berikutnya

12. PPh pasal 22 pemungutan oleh WP Tgl 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan
badan tertentu berikutnya

13. PPN & PPnBM Akhir bulan berkutnya Akhir bulan


setelah masa pajak berikutnya setelah
berakhir & sebelum SPT masa pajak berakhir
masa PPN disampaikan

14. PPN atas kegiatan membangun Tgl 15 bulan berikutnya Akhir bulan
sendiri setelah masa pajak berikutnya setelah
berakhir masa pajak berakhir

15. PPN atas pemamfaatan BKP tidak Tgl 15 bulan berikutnya Akhir bulan
berwujud dan/atau JKP dari Luar setelah terutangnya berikutnya setelah
Daerah Pabean pajak masa pajak berakhir

16. PPN & PPnBM Pemungutan Tgl 7 bulan berikutnya Akhir bulan
Bendaharawan berikutnya setelah
masa pajak berakhir

17. PPN dan/atau PPnBM pemungutan Harus disetor pada hari


oleh Pejabat Penandatanganan yang sama dengan
Surat Perintah Membaya sebagai pelaksanaan
Pemungut PPN pembayaran kepada
PKP Rekanan
Pemerintah melalui
KPPN

18. PPN & PPnBM Pemungutan selain Tgl 15 bulan berikutnya Akhir bulan
bendaharawan setelah Masa Pajak berikutnya setelah

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 6


PERPAJAKAN 1

berakhir masa pajak berakhir

19. PPh 25 WP kriteria tertentu yang Harus dibayar paling 20 hari setelah
dapat melaporkan beberapa Masa lama pada akhir Masa berakhirnya Masa
Pajak dalam satu SPT Masa (Pasal 3 Pajak Terakhir Pajak terakhir
ayat (3B) UU KUP)

20. Pembayaran masa selain PPh 25 Harus dibayar paling 20 hari setelah
WP kriteria tertentu yang dapat lama sesuai dengan berakhirnya Masa
melaporkan beberapa Masa Pajak batas waktu untuk Pajak terakhir
dalam satu SPT Masa. (Pasal 3 ayat masing-masing jenis
(3B) UU KUP) pajak

b. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan dan surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yanh harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
c. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT PPh harus dibayar
lunas sebelum SPT PPh disampaikan.

D. Pelaporan Pajak

Selain berguna sebagai sarana untuk melaporkan penghitungan jumlah pajak terutang,
SPT juga berfungsi untuk melaporkan pembayaran/pelunasan pajak dan melaporkan harta
serta kewajiban. Pelaporan pajak semestinya disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) tempat wajib pajak
terdaftar.
1. Pelaporan Pajak Menggunakan e-Filing

Perkembangan teknologi juga merambah ke dunia perpajakan. Guna mempermudah


masyarakat dalam menuntaskan kewajiban perpajakan mereka, kini SPT sudah bisa
disampaikan melalui aplikasi e-Filing.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 7


PERPAJAKAN 1

2. Keterlambatan Pelaporan Pajak

Terhadap pelaporan pajak yang telat disampaikan, wajib pajak akan dikenakan sanksi
berupa denda. Berikut ini daftar denda yang dibebankan kepada wajib pajak yang telambat
melakukan pelaporan pajak:
- Terlambat pelaporan pajak untuk SPT Masa PPN, dikenakan denda sebesar
Rp500.000.

- Terlambat pelaporan pajak untuk SPT Masa lainnya dikenakan denda sebesar
Rp100.000.

- Terlambat pelaporan pajak untuk SPT tahunan PPh orang pribadi dikenakan denda
sebesar Rp100.000.

- Terlambat pelaporan pajak SPT tahunan PPh badan dikenakan denda sebesar
Rp1.000.000.

E. Pemeriksaan Pajak

Berdasarkan ruang lingkupnya jenis-jenis pemeriksaan sebagaimana disebutkan di atas


dapat dibedakan menjadi pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan
Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang
menjadi 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat
panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil
Pemeriksaan. Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak
tanggal Surat perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
1. Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah:

- Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu


yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor;

- Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang


menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelolah secara elektronik,
yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan
bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 8


PERPAJAKAN 1

Lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau


mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

- Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan;

- Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil


Pemeriksaan;

- Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya
untuk jenis Pemeriksaan Kantor;

- Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.

2. Hak-hak Wajib Pajak dalam pemeriksaan antara lain:

- Meminta Surat Perintah Pemeriksaan

- Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa

- Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan

- Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT

- Hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.

F. Ketetapan Pajak

1. Definisi

Berdasarkan UU no. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan pasal 1 ayat
15

“Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.”

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 9


PERPAJAKAN 1

Surat Ketetapan Pajak


Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan
Kurang Bayar (SKPKB)
(SKPKBT)

Surat
Ketetapan
Pajak

Surat Ketetapan Pajak Nihil Surat Ketetapan Pajak Lebih


(SKPN) Bayar (SKPLB)

1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah
yang masih harus dibayar. SKPKB diterbitkan hanya terhadap kasus–kasus
tertentu, dengan perkataan lain hanya terhadap WP tertentu yang nyata–nyata
atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau
kewajiban material. Ketentuan SKPKB diatur dalam Pasal 13 UU KUP.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang ditetapkan (dalam
surat ketetapan pajak yang sudah di terbitkan sebelumnya). Sesuai dengan Pasal
15 UU KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka
waktu 5 tahun setelah saat terutang pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun
pajak atau tahun pajak, apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan
penambahan jumlah pajak terhutang, setelah dilakukan tindakan pemeriksaan
dalam rangka penerbitan SKPKBT. SKPKBT baru diterbitkan apabila telah pernah
diterbitkan ketetapan pajak. Penerbitan SKPKBT dilakukan dengan syarat adanya
data baru yang menyebabkan penambahan pajak yang terhutang dalam surat
ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu setelah SKPLB diterbitkan sebagai
akibat telah lewat waku 12 bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU
KUP, SKPKBT diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru dan atau data

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 10


PERPAJAKAN 1

yang semula belum terungkap, dalam hal masih ditemukan lagi data yang semula
belum terungkap pada saat diterbitkannya SKPKBT, dan atau data baru yang
diketahui kemudian oleh fiskus SKPKBT masih dapat diterbitkan lagi.
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari
pada pajak yang terhutang atau tidak seharusnya terhutang. Sesuai dengan Pasal
17 UU KUP, SKPLB ini terbit dalam hal setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
Pemeriksaan, jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terhutang atau telah dilakukan pembayaran pajak
yang tidak seharusnya terhutang. SKPLB diterbitkan sehubungan dengan hasil
pemeriksaan baik atas SPT LB yang diajukan restitusi, SPT LB yang tidak diajukan
restitusi, SPT Nihil, maupun SPT KB.
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau
pajak tidak terutang atau tidak ada kredit pajak. SKPN diterbitkan sehubungan
dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT Nihil, SPT Kurang Bayar, maupun SPT
Lebih Bayar.

2. Kapan SKP diterbitkan?

Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada wajib kepada wajib pajak
tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena
ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak.

3. Fungsi Surat Ketetapan Pajak

a. Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata


atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan
atau kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
b. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
c. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
d. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 11


PERPAJAKAN 1

e. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.

4. Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar

 Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat


mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.
 Permohonan pengurangan atua pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar
harus memenuhi ketentuan.
 Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia untuk suatu surat ketetapan
pajak..
 Menyebutkan jumlah pajak yang menurut penghitungan WP seharusnya
terutang.
 Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan
pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar paling lama
12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut
telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan maka
permohonan dianggap diterima.

G. Penagihan Pajak

1. Definisi

Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau
sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. STP mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan surat ketetapan pajak lainnya sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU
KUP, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
2. Fungsi STP

1. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak,

2. Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda.

3. Sarana untuk menagih pajak.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 12


PERPAJAKAN 1

3. Penyebab Dikeluarkannya STP

 Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;


 Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak
sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
 Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
 Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN tetapu tidak melaporkan
kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP;
 Pengusaha yang tidak dikukuhkan sbg. PKP tetapi membuat faktur pajak atau
pengusaha telah dikukuhkan sbg. PKP tetapi tidak membuar faktur pajak atau
membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya
faktur pajak.

4. Sanksi Administrasi terkait STP

1. Sanksi administrasi berupa denda Rp 50.000 ,- jika Wajib Pajak tidak atau
terlambat penyampaian SPT Masa dan Rp 100.000,- jika tidak atau terlambat
menyampaikan SPT Tahunan.
2. Sanksi administrasi berupa denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak dalam hal
Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak
melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP atau Pengusaha
yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha
te1ah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat
faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur
pajak.
3. Sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri
SPTnya, dimana hasil pembetulan tersebut menyatakan kurang bayar.
4. Sanksi administrasi berupa bunga apabila Wajib Pajak terlambat/ tidak membayar
pajak yang sudah jatuh tempo pembayarannya.
5.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 13


PERPAJAKAN 1

H. Upaya Administrasi

1. Keberatan

a. Ruang Lingkup Keberatan

1. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal


Pajak atas suatu:
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),

3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),

4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB),

5. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN),

6. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan


peraturan perundang-undangan perpajakan.

Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat
ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau
isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.
Dalam hal terdapat alasan keberatan selain mengenai materi atau isi dari surat
ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak, alasan tersebut tidak
dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan.
b. Syarat Pengajuan Keberatan

a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;

b. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;

c. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1
(satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;

d. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 14


PERPAJAKAN 1

pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum Surat Keberatan


disampaikan;

e. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:


o surat ketetapan pajak dikirim; atau
o pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga;

kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak;
f. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat
Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut
harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
g. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 Undang-Undang KUP.

c. Alur Penyelesaian Keberatan

a. Dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak berwenang


untuk:
o meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy
dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang
disengketakan melalui penyampaian surat permintaan peminjaman
buku, catatan, data dan informasi;
o meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan
materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan
keterangan;
o meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang
disengketakan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan
Wajib Pajak melalui penyampaian surat permintaan data dan
keterangan kepada pihak ketiga;
o meninjau tempat Wajib Pajak, termasuk tempat lain yang diperlukan;

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 15


PERPAJAKAN 1

o melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan


dengan memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan;
o Surat panggilan dikirimkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
tanggal pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan.
o Pembahasan dan klarifikasi dituangkan dalam berita acara pembahasan
dan klarifikasi sengketa perpajakan.
o melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan
untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat
dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.

b. Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan paling lama


15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman
dan/atau surat permintaan keterangan dikirim.
c. Apabila sampai dengan jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal
surat permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim
berakhir, Wajib Pajak tidak meminjamkan sebagian atau seluruh buku,
catatan, data dan informasi dan/atau tidak memberikan keterangan yang
diminta, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan:
o surat permintaan peminjaman yang kedua; dan/atau
o surat permintaan keterangan yang kedua.
d. Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan yang kedua
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat peminjaman dan/atau
permintaan yang kedua dikirim.

d. Jangka Waktu Penyelesaian Keberatan

a. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang
diajukan.
o Jangka waktu tersebut dihitung sejak tanggal Surat Keberatan diterima sampai
dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 16


PERPAJAKAN 1

b. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari
Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak
dipertimbangkan, jangka waktu 12 (dua belas) bulan tertangguh, terhitung sejak
tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak
sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal
Pajak.
c. Apabila jangka waktu di atas telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi keputusan atas keberatan, keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak
dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan
Keberatan sesuai dengan pengajuan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut berakhir.

e. Pecabutan Pengajuan Keberatan

a. Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan


kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal
b. Pencabutan pengajuan keberatan dilakukan melalui penyampaian
permohonan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
o permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan
dapat mencantumkan alasan pencabutan;
o surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal
surat permohonan tersebut ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak,
surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus;
o surat permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal Pajak dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
yang merupakan atasan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
c. Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan jawaban atas permohonan
pencabutan pengajuan keberatan berupa surat persetujuan atau surat
penolakan.
d. Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan
kepada Direktur Jenderal Pajak ini tidak dapat mengajukan permohonan
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 17


PERPAJAKAN 1

e. Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan, Wajib Pajak dianggap
tidak mengajukan keberatan.
f. Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan, pajak yang
masih harus dibayar dalam SKPKB atau SKPKBT yang tidak disetujui dalam
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi
menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan SKP.

f. Ketentuan Tambahan

Wajib Pajak yang mengajukan keberatan tidak dapat mengajukan permohonan:


1. pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sanksi administrasi berupa
bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan;
2. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; atau
3. pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi yang
dilaksanakan tanpa:
o penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau surat
pemberitahuan hasil Verifikasi; atau
o pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil
Verifikasi dengan Wajib Pajak.

2. Pasal 36 Ayat 1

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak
atau bukan karena kesalahannya;

b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 18


PERPAJAKAN 1

d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau

2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

I. Upaya Hukum ( Banding, Gugatan, dan Peninjauan Kembali)

1. Banding

1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan


peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan.

2. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang
jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan
dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.

3. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

2. Gugatan

i. Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan


Pajak.

ii. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan


Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
Jangka waktu ini tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. Perpanjangan jangka
waktunya adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan
diluar kekuasaan penggugat.

iii. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain Gugatan
adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat.
Jangka waktu ini tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. Perpanjangan jangka
waktunya adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan
diluar kekuasaan penggugat.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 19


PERPAJAKAN 1

iv. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1


(satu) Surat Gugatan Gugatan.

v. Gugatan disertai dengan alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal


diterima, pelaksanaan penagihan, atau Keputusan yang digugat dan dilampiri
salinan dokumen yang digugat.

3. Peninjauan Kembali

a. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada


Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.

b. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan


pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.

c. Hukum Acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum
acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam UU No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam
UU Pengadilan Pajak.

Hai pemalas, pergilah kepada semut,


perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak

Amsal 6:6

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 20


PERPAJAKAN I

PERTEMUAN 3
Pemotongan dan Pemungutan PPh

Disusun oleh:

1. Dhiya Septi Wulan Suri


2. Indriani Novita Sari
3. Togi Marito Simanjuntak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 1


PERPAJAKAN I

Pemotongan dan Pemungutan PPh

A. Definisi

Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang terutang atas penghasilan, antara
lain penghasilan dari gaji, penghasilan dari laba usaha, penghasilan berupa hadiah, dan
penghasilan berupa bunga. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterimanya
dalam 1 (satu) tahun pajak.

PPh yang terutang dalam 1 (satu) tahun pajak harus dilunasi pembayarannya oleh
Wajib Pajak dan Undang-Undang Pajak Penghasilan telah mengatur cara pelunasan PPh
yang terutang oleh Wajib Pajak, yaitu dengan cara membayar sendiri dan melalui
pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak lain.

Pemotongan pajak adalah kegiatan memotong sebesar pajak yang terutang dari
keseluruhan pembayaran yang dilakukan. Pemotongan ini dilakukan oleh pihak-pihak
yang melakukan pembayaran atau gaji terhadap penerima gaji atau pegawainya. Pihak
pembayar penghasilan atau gaji memiliki tanggung jawab penuh atas pemotongan,
penyetoran, hingga pelaporan pajak yang dilakukan pada pegawainya.

Pemungutan pajak adalah kegiatan memungut sejumlah pajak yang terutang atas
suatu transaksi. Pemungutan pajak akan menambah besarnya jumlah pembayaran atas
perolehan barang. Meski begitu, ada juga beberapa kasus dimana pemungutan diakukan
oleh pihak pembayar dengan mekanisme yang sama dengan pemotongan pajak.

PPh yang dipotong dan/atau dipungut melalui pihak lain lebih dikenal dengan istilah
PPh Potput. Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang PPh, PPh Potput terdiri atas PPh
Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal
26. Objek PPh Potput terdiri atas berbagai macam penghasilan, antara lain penghasilan
dari pekerjaan, pemberian jasa, sewa bangunan, dan dividen.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 2


PERPAJAKAN I

B. Jenis-jenis Pemotongan dan Pemungutan PPh

1. Dari Sisi Jenis Pajak

 Pemotongan digunakan untuk PPH pasal 21, pasal 23, pasal 26 dan PPh Final
pasal 4 ayat 2.
 Pemungutan digunakan untuk PPh pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

2. Dari Sisi Subjek Pajak

 Pemotongan dilakukan oleh subjek yang tidak spesifik dan biasanya hanya
disebut dengan pemberi kerja atau penyelenggara kegiatan. Dalam hal ini bisa
diartikan sebagai pihak perusahaan atau organisasi yang melakukan pembayaran.

 Pemungutan dilakukan oleh pihak yang diberikan kewenangan secara jelas.

3. Dari Sisi Objek Pajak

 Pemotongan umumnya dikenakan atas penghasilan atau pendapatan yang


memang akan menjadi hak dari wajib pajak (gaji, dividen, bunga);
 Pemungutan dikenakan atas penghasilan yang belum tentu akan jadi penghasilan
bagi semua penerima uang. Hal ini dikarenakan objeknya bisa penjualan
maupun pembelian ( misalnya impor atau pengenaan pungutan atas pembelian
bahan bakar minyak).

4. Dari Sisi Pengisian SSP

 Pemotong, dalam pengisian SPP pada kolom NPWP diisi dengan NPWP milik
pemotong.
 Pemungut, dalam pengisian SPP kolom NPWP diisi dengan NPWP yang
dipungut pajaknya.

C. Pemotong dan Bukan Pemotong PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 merupakan cara pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui
pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Pemotongan
PPh Pasal 21 antara lain dilakukan oleh :

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 3


PERPAJAKAN I

 Pemberi kerja, termasuk cabang, perwakilan atau unit yang melakukan sebagian atau
seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran penghasilan,
 Bendahra pemerintah
 Dana pensiun yang membayarkan uang pensiun, dan
 Penyelenggara kegiatan.

Bukan pemotong PPh Pasal 21 meliputi :

 Kantor perwakilan Negara Asing.


 Organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 huruf
C UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan. Dalam hal organisasi internasional
tidak memenuhi ketentuan tersebut, organisasi internasional dimaksud merupakan
pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak.
 Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang semata-mata memperkejakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan
rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas,

Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal dibedakan menurut penerima penghasilannya


antara lain pegawai, pensiunan, peserta kegiatan dan bukan pegawai.

D. Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 21

Berikut jenis penghasilan yang terkena pemotongan PPh Pasal 21 :

 Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik penghasilan teratur
maupun tidak teratur.
 Penghasilan yang diperoleh pensiunan secara teratur seperti uang pensiun.
 Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua yang
dibayarkan sekaligus dalam jangka waktu lewat dari 2 tahun sejak pegawai berhenti
bekerja,
 Penghasilan pekerja lepas (freelance) seperti upah harian, upah mingguan, upah
satuan, upah borongan atau upah bulanan.
 Imbalan yang diberikan pada bukan pegawai seperti honorarium, komisi, fee, atau
imbalan sejenisnya yang diberikan karena jasayang dilakukan.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 4


PERPAJAKAN I

 Imbalan peserta kegiatan seperti uang saku, uang representasi, hadiah atau imbalan
dalam bentuk apapun.
 Imbalan atau honorarium uang sifatnya tidak teratur yang diperoleh anggota dewan
komisaris atau dewan pengawas yang bukan atau tidak merangkap pegawai tetap di
perusahaan yang sama.
 Penghasilan seperti jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau jenis imbalan lain
yang sifatnya tidak teratur yang diperoleh mantan pegawai.
 Penghasilan yang merupakan penarikan dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan menteri keuangan oleh peserta program pensiun yang masih berstatus
pegawai.

E. Penghasilan yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21

Yang tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang dipotong PPh 21
antara lain :

 Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal dengan mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaan tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik,
 Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat 1 huruf c UU Pajak Penghasilan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia
dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.

F. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang
merupakan :

1. Pegawai,
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 5


PERPAJAKAN I

3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan


pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain :
 Peserta perlombaan dalam segala bidang,
 Peserta rapat, konferensi dll,
 Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu,
 Peserta pendidikan, pelatihan atau magang,
 Peserta kegiatan lainnya.

G. Komponen Penting dalam Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap

Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan
neto dikurangi PTKP. Sedangkan penghasilan neto dihitung seluruh penghasilan
dikurangi penghasilan bruto dikurangi dengan :

a. Biaya jabatan;
b. Iuran terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang
pendiriannya disahkan oleh Menkeu

Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut :

PPh Pasal 21 = (Penghasilan netto-PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh

= (Penghasilan bruto - biaya jabatan – iuran pensiun dan iuran


THT/JHT yang dibayar sendiri - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh

Kekuatan itu tidak datang dari


kepastian fisik

Tetapi datang dari kemauan


yang gigih - dsunnyzen

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 6


PERPAJAKAN I

PERTEMUAN 4
Menghitung PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap

Disusun oleh:

1. Dhiya Septi Wulan Suri


2. Indriani Novita Sari
3. Togi Marito Simanjuntak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 1


PERPAJAKAN I

Menghitung PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap

A. PPh Pasal 21 Pegawai Tetap

Perhitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Perhitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk setiap masa pajak, yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21,
selain masa pajak Desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti
bekerja;
2. Perhitungan kembali sebagai dasar pengisisan Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan
pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk masa pajak Desember atau masa
pegawai tetap berhenti bekerja :
 Bulan di mana pegawai tetap berhenti bekerja
 Bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun kalender.

Perhitungan masa atau bulanan selain Masa Pajak Desember atau masa Pajak di
mana pegawai tetap berhenti bekerja

1. Perhitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur

Bagi pegawai tetap

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 2


PERPAJAKAN I

a. Terlebih dahulu menghitung bruto yang diterima selama sebulan meliputi


seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya.
b. Untuk perusahaan yang masuk program BPJS, JKK, JK, dan JPK dibayar oleh
pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai ketentuan sama
diberlakukan juga bagi premi asuransi yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk
pegawai kepada perusahaann asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21
premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh
pemberi kerja kepada pegawai.
c. Lalu menghitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan
mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan mempergunakan faktor perkalian
sebagai berikut :
 Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4
 Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26

Selanjutnya dihitung penghasilan neto selama setahun yaitu jumlah penghasilan


neto sebulan dikalikan 12.

Apabila seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai


Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja
setelah januari maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan
penghasilan neto setahun dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang
bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bula desember.

d. Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal
17 UU PPh yakni sebesar Penghasilan neto setahun dikurangi PTKP.
e. Lalu menghitung PPh Pasal 21 sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke
kas negara yaitu sebesar :
 Jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi dengan 12; atau
 Jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi banyaknya bulan yang menjadi faktor
pengali dalam hal Wajib Pajak mulai bekerja setelah bulan Januari.
f. PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21
sebulan dibagi 4, sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung
berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dibagi 26.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 3


PERPAJAKAN I

g. Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaikan
gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima) bulan, maka
penghitungan PPh Pasal 21 atas rape; tersebut adalah :
A. Rapel dibagi dengan banyak bulan perolehan rapel tersebut
B. Hasil pembagian ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya
kenaikan gaji yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21
C. PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung
kembali atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan
D. PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud
adalah selisih antara jumlah pajak yang dihitung berdasarkan huruf c
dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana disebut pada huruf
b.

2. Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur bagi pegawai tetap

Adapun cara menghitung PPh Pasal 21 sebagai berikut :

a. Dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah


dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi dan sebagainya.
b. Dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem,
jasa produksi dan sebagainya.
c. Selisih antara PPh Pasal 21 menurut perhitungan a dan b adalah PPh Pasal 21 atas
penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi dan sebagainya.

Dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal
tahun, namun baru mulai bekerja setelah bulan Januari maka PPh Pasal 21 atas
penghasilan tidak teratur tersebut dihitung dengan cara sebagaimana di atas dengan
memperhatikan ketentuan mengenai perhitungan PPh Pasal 21 bulanan atas
penghasilan tidak teratur.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 4


PERPAJAKAN I

Dalam menghitung PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap perlu diperhatikan


rumus penghitungannya, yaitu sebagai berikut: Penghasilan Bruto setahun
Rp xxxxxx

Pengurang Penghasilan Bruto ( Rp xxxxxx )

Penghasilan Neto setahun Rp xxxxxx

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ( Rp xxxxxx )

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp xxxxxx

PPh Pasal 21 yang dipotong: PKP x tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
= PPh Pasal 21 setahun

PPh Pasal 21 setahun : 12 bulan = PPh Pasal 21 sebulan

pengurang penghasilan bruto bagi Pegawai Tetap terdiri dari:

a) biaya jabatan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-


tingginya Rp500.000,00 sebulan atau Rp6.000.000,00 setahun;
b) iuran dana pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua kepada dana
pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan.

besarnya PTKP per tahun adalah:

a) Rp24.300.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;


b) Rp2.025.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
c) Rp2.025.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 5


PERPAJAKAN I

Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh :

B. PPh Pasal 21 Pegawai Tetap yang Berhenti Bekerja

Perhitungan PPh Pasal 21 terutang pada bulan Desember atau bulan tertentu untuk
pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebagai berikut :

1. Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari pemotong pajak dalam tahun kelender yang bersangkutan baik penghasilan
yang teratur maupun tidak teratur.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 6


PERPAJAKAN I

a. Pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun
namun mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan
Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan dengan jumlah seluruh
penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun
tidak teratur, selama pegawai tetap yang bersangkutan bekerja pada pemotong
pajak.
b. Sedangkan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak seubjektifnya baru
dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, PPh Pasal
21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau
diperoleh baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, yang disetahunkan.
2. PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan Desember atau bulan
tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerj sebelum bulan Desember
adalah sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan
teratur dan tidak teratur yang tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak
dalam tahun kalender yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam angka 1
dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang
bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.
3. Dalam PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan sebelumnya
tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan
teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotongan pajak dalam tahun
kalender yang bersangkutan.

Contoh :

Dimas, karyawan senior di PT. Harapan Jaya dengan status menikah dan memiliki lima
putra. Selama tahun 2016 menerima gaji per bulan sebesar Rp 7.500.000,- dan
menerima tunjangan kinerja sebesar Rp 5.000.000. Perusahaan membayar iuran JKK,
JKM sebesar 0,5% dan 0,3% dari gaji. Dimas membayar sendiri iuran pensiun sebesar
Rp.100.000 per bulan ke Dana Pensiun yang disahkan oleh Menteri Keuangan. Di akhir
bulan September 2016, Dimas berhenti bekerja. Hitunglah PPh Pasal 21 yang dipotong
atas penghasilan Dimas Tahun 2016.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 7


PERPAJAKAN I

Gaji 7,500,000

Tunjangan Kinerja 5,000,000

Premi JKK dibayar perusahaan 37,500

Premi JKM dibayar perusahaan 22,500

Penghasilan Bruto 12,560,000

Pengurang Penghasilan Bruto Biaya Jabatan 500,000

Iuran pensiun yang dibayar sendiri 100,000

Jumlah Pengurang Penghasilan Bruto 600,000

Penghasilan Neto Sebulan 11,960,000

Penghasilan Neto Disetahunkan 143,520,000

PTKP (K/3) 72,000,000

Penghasilan Kena Pajak 71,520,000

PPh terutang setahun

5% x Rp50.000.000 2,500,000

15%x Rp21.520.000 3,228,000

5,728,000

PPh Pasal 21 sebulan 477,333

Berhenti bekerja (dihitung ulang) Gaji 7,500,000

Tunjangan Kinerja 5,000,000

Premi JKK dibayar perusahaan 37,500

Premi JKM dibayar perusahaan 22,500

Penghasilan Bruto 12,560,000

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 8


PERPAJAKAN I

Pengurang Penghasilan Bruto

Biaya Jabatan 500,000

Iuran pensiun yang dibayar sendiri 100,000

Jumlah Pengurang Penghasilan Bruto 600,000

Penghasilan Neto Sebulan 11,960,000

Penghasilan Neto Setahun (x9) 107,640,000

PTKP (K/3) 72,000,000

Penghasilan Kena Pajak 35,640,000

PPh terutang setahun

5% x Rp35.640.000 1,782,000

1,782,000

PPh 21 yang sudah dipotong 4,296,000

PPh 21 yang lebih dipotong (2,514,000)

Jadikannlah cibiran mereka sebagai


semangat mu.

Buktikan bahwa kamu lebih dari mereka

Patahkan cibirannya dengan prestasi mu

^^dsunnyzen ^^

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 9


PERPAJAKAN I

PERTEMUAN 5

PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tidak Tetap, Bukan


Pegawai, Peserta Kegiatan, dan PPh Pasal 21 final

Disusun oleh:

1. Dhiya Septi Wulan Suri


2. Indriani Novita Sari
3. Togi Marito Simanjuntak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 1


PERPAJAKAN I

Pertemuan 5

A. PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap

Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima
penghasilan apabila:

1. Pegawai yang bersangkutan bekerja berdasarkan jumlah hari bekerja;

2. Bekerja berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan; atau

3. Penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Upah tidak dikenakan potongan apabila tidak melebihi Rp 450.000 /hari, untuk
upah yg diterima harian, mingguan, upah satuan, upah borongan.

Jika jumlah kumulatif upahnya melebihi Rp.4.500.000 maka menggunakan PTKP


sehari Rp54.000.000 : 360 = Rp 150.000

Contoh Mekanisme Perhitungan Pajak Pegawai Tidak Tetap :

1. Upah Harian
Nurcahyo dengan status belum menikah pada bulan Januari 2017 bekerja sebagai
buruh harian PT CMS. la bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar
Rp450.000,00

Jawab :

No. Keterangan Jumlah


1. Upah Sehari 450.000
2. PTKP Sehari 450.000
3. PKP Sehari 0

Pada hari ke 11 jumlah kumulatif upah yang diterima menjadi Rp 4.950.000,- berapa
PPh 21 yang dipotong pada hari ke 11? Berapa upah yang diterima Nurcahyo?
Jawab :

No. Keterangan Jumlah

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 2


PERPAJAKAN I

1. Upah 11 hari 4.950.000


2. PTKP 11 hari = 11 x Rp 54 jt: 360 1.650.000
3. PKP 11 hari 3.300.000
4. PPh 21 terutang hari ke 11 : 5% x 3.300.000 165.000
5. PPh 21 yang dipotong hari ke 10 0
6. Upah yang diterima pada hari ke 11 : 285.000
450.000 - 165.000

Berapa PPh 21 yang dipotong pada hari ke 12? Berapa upah yang diterima
Nurcahyo?
Jawab :

No. Keterangan Jumlah


1. Upah hari ke 12 450.000
2. PTKP sehari = Rp 54 jt: 360 150.000
3. PKP hari ke 12 300.000
4. PPh 21 terutang hari ke 12 : 5% x 300.000 15.000
5. Upah yang diterima pada hari ke 12 : 435.000
450.000 - 15.000

1. Nanang H dengan status belum menikah pada bulan Maret 2017 bekerja sebagai
buruh harian PT CMS. la menerima upah harian sebesar Rp650.000,-
Jawab :

No. Keterangan Jumlah


1. Upah Sehari 650.000
2. PTKP Sehari 450.000
3. PKP Sehari 200.000
4. PPh 21 Sehari = 5% x 200.000 10.000

Pada hari ke 7 jumlah kumulatif upah yang diterima menjadi Rp 4.550.000,- berapa
PPh 21 yang dipotong pada hari ke 7 bulan Maret 2017?
Jawab :

No. Keterangan Jumlah


1. Upah 7 hari 4.550.000
2. PTKP 7 hari = 11 x Rp 54 jt: 360 1.050.000
3. PKP 7 hari 3.500.000
4. PPh 21 terutang hari ke 7 : 5% x 3.500.000 175.000

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 3


PERPAJAKAN I

5. PPh 21 yang dipotong hari ke 6 60.000


6. PPh 21 yang harus dipotong pada hari ke 7 115.000
7. Upah yang diterima pada hari ke 7 : 535.000
650.000 -115.000

Berapa PPh 21 yang dipotong pada hari ke 8 bulan Maret 2017?


Jawab :

No. Keterangan Jumlah


1. Upah hari ke 8 650.000
2. PTKP sehari = Rp 54 jt: 360 150.000
3. PKP hari ke 8 500.000
4. PPh 21 terutang hari ke 12 : 5% x 500.000 25.000
5. Upah yang diterima pada hari ke 12 : 625.000
650.000 - 25.000

2. Upah Satuan
Rizal F (belum menikah) bekerja sebagai perakit TV pada perusahaan elektronik,
menerima upah sebesar Rp 125.000,00 per unit satuan, pembayaran perminggu.
Dalam seminggu (6 hari) Rizal dapat merakit sebanyak 24 TV, dengan upah Rp.
3.000.000,- Berapa besarnya PPh yang dibayar dalam 1 Minggu?

Jawab :

No. Keterangan Jumlah


1. Upah per hari : 3.000.000/6 hari 500.000
2. PTKP sehari 450.000
3. PKP per hari 50.000
4. PPh 21 terutang hari ke 12 : 15.000
5% x (6 hari x 50.000)

3. Upah Borongan
Mawan mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar
Rp950.000,00, pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari. Brp PPh Pasl 21 yang harus
dipotong?
Jawab :

No. Keterangan Jumlah


1. Upah per hari : 950.000/2 hari 475.000

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 4


PERPAJAKAN I

2. PTKP sehari 450.000


3. PKP per hari 25.000
4. PPh 21 terutang hari ke 12 : 5% x (2 hari x 2.500
25.000)

4. Upah harian yang dibayar bulanan


Bagus (menikah belum punya anak) bekerja pada perusahaan elektronik, dengan
dasar upah harian yang dibayar bulanan. Januari 2018 bekerja selama 20 hari
menerima upah sebesar Rp 250.000,- perhari
Jawab :

No. Keterangan Jumlah


1. Upah Januari : 20 x 250.000 5.000.000
2. Upah Satuan : 12 x 5.000.000 60.000.000
3. PTKP Setahun (WP Sendiri dan Status 58.500.000
Kawin) (54.000.000 + 4.500.000)
4. PKP 1.500.000
5. PPh terutang setahun 75.000
5% x 1.500.000
6. PPh Pasal 21 Bulan Januari 6.250
75.000/12 bulan

B. PPh Pasal 21 Bukan Pegawai

Bagi yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif pajak 20% lebih besar, misalnya :
Tarif yang memiliki NPWP : 5%
Bilamana ia tidak memiliki NPWP : 120% x 5% = 6%

1. Penghasilan berkesinambungan

PPh 21 terutang = Dasar Pengenaan Pajak(DPP) x Tarif Pajak


= ((50% x Penghasilan Bruto) - PTKP per bulan) x Tarif Pajak
Contoh Soal :

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 5


PERPAJAKAN I

ER adalah petugas dinas luar asuransi PT. TL. Suaminya bekerja pada PT K dan
memiliki NPWP, dan telah menyampaikan FC NPWP, surat nikah dan KK ke
pemotong pajak. ER tidak mempunyai penghasilan lain, dan telah membuat
surat pernyataan. Penghasilan ER selama 2017 adalah sebagai berikut:

Hitung PPh Pasal 21 terutang tiap bulannya.

Jawab : (dalam ribuan)

Bulan P. DPP : PTKP PKP PKP Tarif PPh


Bruto 50% Kumulat if Pasa l terutang
dari P. 17
Bruto
Jan 45.000 22.500 4.500 18.000 18.000 5% 900
Feb 45.000 22.500 4.500 18.000 36.000 5% 900
Mar 48.000 24.000 4.500 14.000 50.000 5% 700
5.500 55.500 15% 825
Apr 52.000 26.000 4.500 21.500 77.000 15% 3.225
Mei 55.000 27.500 4.500 23.000 100.000 15% 3.450
Juni 58.000 29.000 4.500 24.500 124.500 15% 3.675
Juli 58.000 29.000 4.500 24.500 149.000 15% 3.675
Agt 62.000 31.000 4.500 26.500 175.500 15% 3.975
Sept 65.000 32.500 4.500 28.000 203.500 15% 4.200
Okt 66.000 33.000 4.500 28.500 232.000 15% 4.275
Nov 68.000 34.000 4.500 18.000 250.000 15% 2.700

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 6


PERPAJAKAN I

11.500 261.500 25% 2.875


Des 70.000 35.000 4.500 30.500 292.000 25% 7.625
Total 692.000 346.000 43.000
Note : Bilamana ia tidak memiliki NPWP, maka tarif pasal 17 nya dikalikan dengan
120%.

2. Penghasilan tidak berkesinambungan

(50% x Penghasilan Bruto) x Tarif pajak

Contoh Soal :

a. Nashrun Berlianto melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT Cahaya Kurnia


dengan fee sebesar Rp. 5.000.000,- Hitung PPh Pasal 21 nya.

Jawab : 5% x 50% x Rp. 5.000.000 = Rp. 125.000

Dalam hal Nashrun Berlianto tidak memiliki NPWP, maka besarnya PPh Pasal 21
yang terutang menjadi sebesar : 5% x 120% x 50% x Rp. 5.000.000 = Rp.
150.000

b. Toga Marolop Simanjuntak adalah seorang pengacara, dalam menangani


kasusnya ia mendapatkan fee sebesar Rp. 450.000.000 dari PT Manja Manja.
Hitung besarnya PPh Pasal 21.

Jawab :

DPP = 50% x Rp. 450.000.000 = Rp. 225.000.000

Besarnya PPh :

5% x Rp. 50.000.000 = Rp. 2.500.000


15% x Rp. 175.000.000 = Rp. 26.250.000
= Rp. 28.750.000
Dalam Hal Toga Marolop Simanjuntak tidak memiliki NPWP, maka besarnya
PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar :
5% x 120% x Rp. 50.000.000 = Rp. 3.000.000
15% x 120% x Rp. 175.000.000 = Rp. 31.500.000
= Rp. 34.500.000

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 7


PERPAJAKAN I

C. PPh Pasal 21 Peserta Kegiatan

Mekanisme penghitungan = Penghasilan Bruto dikali tarif pasal 17

Contoh :

A Ginting adalah atlet bulu tangkis professional Indonesia yang bertempat


tinggal di Jakarta. la menjuarai turnamen Indonesia Grand Prix Gold dan
memperoleh hadiah sebesar Rp200.000.000,00

PPh pasal 21 nya :

5% x Rp. 50.000.000 = Rp. 2.500.000


15% x Rp. 150.000.000 = Rp. 22.500.000
= Rp. 25.000.000

D. PPh Pasal 21 yang Bersifat Final

Ketentuannya :

1. Untuk Honorarium kepada PNS yang menjadi beban APBN atau APBD, PNS
Gol II dikenai tarif 0%, Gol III dikenai tarif 5%, dan Gol IV dikenai tarif 15%.

2. Untuk Pesangon dari Pemberi Kerja, 0-50jt dikenai tarif 0%, 50-100jt dikenai
tarif 5%, 100-500jt dikenai tarif 15%, dan diatas 500jt dikenai tarif 25%.

Mekanisme penghitungannya : Penghasilan Bruto dikalikan tarif pasal 17.

Contoh Soal :

Budi adalah PNS golongan III/d, pada bulan Maret 2016 menerima honorarium sebagai
narasumber sebuah seminar yang sumber dananya berasal dari APBN sebesar
Rp.5.000.000,- Hitung PPh Pasal 21 Final yang terutang.

Jawab : 5% x Rp. 5.000.000 = Rp.250.000

Balas dendam terbaik adalah

menjadikan dirimu lebih baik.

- Ali bin Abi Thalib -

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 8


PERPAJAKAN I

PERTEMUAN 6

PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26

Disusun oleh:

1. Dhiya Septi Wulan Suri


2. Indriani Novita Sari
3. Togi Marito Simanjuntak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 1


PERPAJAKAN I

Pertemuan 6

A. Pengertian PPH Pasal 23

Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari bunga, dividen, royalty, hadiah,
sewa, dan penyerahan jasa selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

B. Pemotong PPh Pasal 23

Pihak-pihak yang membayarkan penghasilan

1. Badan Pemerintah
2. Subjek Pajak badan dalam negeri
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk Usaha Tetap
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
6. Orang Pribadi sebagai WP dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari
Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh pasal 23.

C. Objek dan Tarif PPh Pasal 23

1. Tarif 15%

a. Dividen;

b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena


jaminan pengembalian utang;

c. Royalti;

d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong


PPh pasal 21.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 2


PERPAJAKAN I

2. Tarif 2%

a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
tanah dan/atau bangunan; dan

b. Imbalan sehubungan dengan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa
Konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.

*Dalam hal WP yang memperoleh penghasilan tidak memiliki NPWP, besarnya tarif
pemotongan lebih tinggi 100% dari yang memiliki NPWP.

Mekanisme Penghitungan : Tarif PPh pasal 23 x Jumlah Bruto

Contoh Soal :

1) PT. Solusindo membayarkan dividen kepada CV Perkasa sebesar Rp.


200.000.000,-
Jawab :
PPh Pasal 23 yang dipotong PT. Solusindo
= 15% x Rp. 200.000.000
= Rp. 30.000.000
2) PT Karya Utama membayar bunga atas pinjaman kepada PT Indo Jaya sebesar
Rp. 80.000.000
Jawab :
PPh Pasal 23 yang dipotong PT Karya Utama
= 15% x Rp. 80.000.000
= Rp. 12.000.000
3) CV Selera Makan membayar royalti kepada Ny. Sulastri atas pemakaian merek
Ayam Goreng “Bu Lastri” sebesar Rp. 30.000.000,- Jawab :
PPh Pasal 23 yang dipotong CV Selera Makan
= 15% x Rp. 30.000.000
= Rp. 4.500.000
Bila Ny. Sulastri tidak memiliki NPWP, maka
= 200% x 15% x Rp. 30.000.000
= 30% x Rp. 30.000.000
= Rp. 9.000.000

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 3


PERPAJAKAN I

4) CV Perdana mendapat hadiah sebuahmobil senilai Rp. 200.000.000,-


sebagai distributor terbaik dari PT Artha Raya. Jawab :
PPh Pasal 23 yang dipotong PT Artha Raya
=15% x Rp. 200.000.000
=Rp. 30.000.000
5) PT Sejahtera Raya menyewa sebuah traktor milik Susanto dengan nilai sewa
sebesar Rp. 10.000.000,- Jawab :
PPh Pasal 23 yang dipotong PT Sejahtera Raya
=2% x Rp. 10.000.000,-
=Rp. 200.000
Bila Susanto belum memiliki NPWP, maka PPh pasal 23 nya
=4% x Rp. 10.000.000
=Rp. 400.000
6) PT Pilar Utama yang baru berdiri meminta jasa dari CV Konsultindo untuk
membuat sistem akuntansi perusahaan dengan imbalan sebesar Rp. 11.000.000,-
(termasuk PPN Rp. 1.000.000). Jawab :
PPh Pasal 23 yang dipotong PT Pilar Utama
=2% x (11.000.000 - 1.000.000)
=2% x Rp. 10.000.000
=Rp. 200.000

D. Pengertian PPh Pasal 26

PPh yang dikenakan kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT, atas penghasilan dari
modal dan dari usaha jasa apapun yang diperolehnya dari sumber di Indonesia.

1. Pemotong PPh Pasal 26 WP Dalam Negeri, seperti :

a. Badan Pemerintah;
b. Subjek Pajak Dalam Negeri;
c. Penyelenggara Kegiatan;
d. BUT;
e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya; atau
f. OP yang ditunjuk.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 4


PERPAJAKAN I

2. Objek dan Tarif PPh Pasal 26


a. Atas penghasilan yang berupa :
1) Dividen;
2) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
3) Royalti,
4) Sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
5) Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
6) Hadiah dan penghargaan;
7) Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
8) Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
9) Keuntungan karena pembebasan uang. PPh Pasal 26-nya = Penghasilan
Bruto x 20%
b. Atas penghasilan yang berupa :
1) Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
2) Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri;
Dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
PPh pasal 26 nya = (Penghasilan bruto x Perkiraan Penghasilan neto) x
20%

Besarnya Perkiraan :

1) 50% atas Premi dibayar tertanggung kepada perusahaan


asuransi Luar Negeri;
2) 10% atas Premi dibayar oleh perusahaan asuransi di Indonesia kepada
perusahaan asuransi Luar Negeri;
3) 5% atas Premi dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada
perusahaan asuransi Luar Negeri.
c. Atas penghasilan yang berupa penjualan atau pengalihan saham.
PPh Pasal 26 nya = (Penghasilan Bruto x Perkiraan Penghasilan Neto) x 20%

*Perkiraan Penghasilan Neto-nya adalah 25% dari harga jual

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 5


PERPAJAKAN I

d. Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia
dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut tidak ditanamkan
kembali di Indonesia.
PPh Pasal 26 nya = (PKP - PPh Terutang) x 20%
Contoh Soal :
Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike bertempat
tinggal kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri, dan mempunyai seorang anak.
Dalam bulan April 2017, Mike memperoleh gaji US$ 5.000 sebulan. Kurs yang
berlaku adalah Rp. 13.500 per US$ 1. Hitung PPh Pasal 26.
Jawab :
Perhitungan PPh Pasal 26 :
Penghasilan bruto sebulan = 5.000 x 13.500 = Rp. 67.500.000,- Penerapan Tarif
= 20% x Rp. 67.500.000 = Rp. 13.500.000,-

Balas dendam terbaik adalah menjadikan

dirimu lebih baik.

- Ali bin Abi Thalib -

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 6


PERPAJAKAN I

PERTEMUAN 7
Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 4 ayat 2 dan PPh Pasal 22

Disusun oleh:

1. Dhiya Septi Wulan Suri


2. Indriani Novita Sari
3. Togi Marito Simanjuntak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 1


PERPAJAKAN I

Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 4 ayat 2

A. Definisi

PPh Pasal 4 ayat 2 atau biasa disebut juga dengan PPh Final adalah pajak yang
dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi atas beberapa
jenis penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongannya bersifat final.

Pasal 4 ayat 2 UU PPh menyatakan bahwa :

“Atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya,


penghasilan transaksi saham dan sekuritas lainnya dibursa efek, penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tentu
lainnya, pengenaan pajaknya diaur dengan Peraturan Pemerintah.”

B. Pemotong PPh Pasal 4 ayat 2

PPh Pasal 4 ayat 2 disini bersifat final, artinya atas pajak ini tidak dapat
dikreditkan atau dikurangkan dari total pajak penghasilan terutang pada akhir
tahun pajak.

Ketika pajak final dikenakan atas transaksi antara perusahaan individu, dimana
perusahaan bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, maka PPh Pasal 4
ayat 2 ditanggung oleh perusahaan sebagai pihak yang menerima hasil.

Jika transaksi terjadi diantara 2 perusahaan maka pembayaran (perusahaan


yang satu) harus mengumpulkan dan menyelesaikan pajak. Bukan si penerima.
Sementara, penghasilan (perusahaan yang lain) bebas dari kewajiban PPh Pasal 4
ayat 2.

Pengenaan PPh yang bersifat final atas penghasilan yang diterima ataupun
diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu sesuai dengan jenis objek
pajaknya, baik itu dipotong oleh pihak lain atau disetor sendiri, bukanlah
pembayaran di muka atas PPh terutang, melainkan sudah langsung melunasi PPh
terutang untuk penghasilan tersebut.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 2


PERPAJAKAN I

Penghasilan yang telah dikenakan PPh final tidak akan dihitung PPh nya seperti
tahunan untuk dikenakan tarif umum bersamaan dengan penghasilan lainnya.

Terkait dengan omset atas transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 tidak
dimasukkan ke dalam omset usaha, namun dimasukkan ke dalam penghasilan
yang sudah dipotong PPh Finalnya.

Pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan.


Wajib pajak badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat 2 dan wajib pajak
pribadi tidak. Namun, apabila yang memberi penghasilan adalah orang pribadi
dan wajib pajak menerima penghasilan beruba objek PPh Pasal 4 ayat 2 maka
wajib pajak itu harus menyetor sendiri PPh tersebut.

Pihak-pihak yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 4 ayat 2 adalah :

 Koperasi
 Penyelenggara kegiatan
 Otoritas bursa
 Bendaharawan

C. Objek dan Tarif PPh Pasal 4 ayat (2)


a) Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan, serta diskonto Seritifikat
Bank Indonesia
i. Atas bunga dari deposito dalam mata uang dollar AS yang dananya
bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada
bank. Tarifnya :
1. 10% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 1 bulan.
2. 7.5% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 3 bulan.
3. 2.5% dari jumlah bruto dengan jangka waktu 6 bulan.
4. 0% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu lebih dari 6
bulan.
ii. Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber
dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank.
Tarifnya :
1. 7.% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 1 bulan.
2. 5% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 3 bulan.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 3


PERPAJAKAN I

3. 0% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu lebih dari 6
bulan.
iii. Atas bunga dari tabungan dan diskonto SBI, serta bunga dari deposito selain
dari deposito sebagaimana dimaksud i dan ii. Tarifnya :
1. 20% dari jumlah bruto terhadap WP Dalam Negeri dan BUT.
2. 205 dari jumlah bruto, atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku pada WP Luar Negeri
b) Penghasilan berupa bunga dan diskonto obligasi.
i. Atas bunga obligasi dengan kupon sebesar :
1. 15% bagi WP Dalam Negeri dan BUT.
2. 20% atau dengan tarif sesuai ketentuan Penghindar Pajak Berganda
yang berlaku , pada WP Luar Negeri.
Dari jumlah bruto bunga sesuai dengan kepemilikan obligasi.
ii. Atas dikonsto obligasi dengan kupon sebesar :
1. 15% bagi WP Dalam Negeri dan BUT.
2. 20% atau dengan tarif sesuai dengan ketentuan Penghindaran Pajak
Berganda yang berlaku, pada WP Luar Negeri
Dari selisih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan
obligasi.
iii. Atas diskonto obligasi tanpa bunga sebesar :
1. 15% bagi WP Dalam Negeri dan BUT,
2. 20% atau dengan tarif sesuai ketentuan Penghindaran Pajak Berganda
yang berlaku, pada WP Luar Negeri.
Dari selisih harga jual atau nominal di atas harga perolehan obligasi.
iv. Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh
WP reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar :
1. 5% untuk tahun 2014 s.d 2020
2. 10% untuk tahun 2021 dst.
c) Penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bengunan PPh Final = 10% x
penghasilan bruto
d) Penghasilan dari pengalihan hak atas dan/atau bangunan
i. 2.5% untuk selain rumah sederhana atau rumah susun sederhana

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 4


PERPAJAKAN I

ii. 1% untuk rumah sederhana atau rumah susun sederhana


iii. 0% untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
pemerintah, BUMN yang mendapatkan penugasan khusus dari pemerintah,
atau BUMD yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah.
e) Usaha jasa kontruksi
i. 2% untuk pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil.
ii. 4% untuk pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha.
iii. 3% untuk pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain
penyedia jasa sebagaimana dimaksud i dan ii.
iv. 4% untuk perencanaan kontruksi atau pengawasan kontruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha.
v. 6% untuk perencanaan kontruksi atau pengawasan kontruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
f) Hadiah undian  25% dari jumlah bruto hadiah undian
g) Penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa  2.5% dari margin awal.

Contoh soal :
1) Ahmad menempatkan dananya dalam tabungan mudharabah di Bank Amal
Syariah sebesar Rp 100.000.000,00. Nisbah/bagi hasil yang disepakati adalah
70% untuk bank dan 30% untuk nasabah. Pada bulan September 2013, Bank
Amal Syariah memperoleh keuntungan sebesar Rp 100.000.000.000,00 dari
total dana nasabah yang dikelola Rp 2,5 triliun. Pada tanggal 8 Oktober 2013
Bank Amal Syariah membayarakan bagi hasil sebesar Rp 1.200.000,00 kepada
Ahmad. Bagaimana perlakuan PPh atas pembayaran bagi hasil tersebut?
Jawab :
PPh Pasal 4 ayat 2 = 20% x 1.200.000 = Rp 240.000

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 5


PERPAJAKAN I

2) Pada tanggal 1 juli 2013, PT Mekar Sejahter menerbitkan obligasi dengan kupon
(interest bearing debt securities) sebagai berikut:
 Nilai nominal Rp 10.000.000,00 per lembar
 Jangka waktu obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 30 Juni 2018)
 Bungan tetap (fixed rate) sebesar 18% per tahun. Jatuh tempo buna setiap
tanggal 30 Juni dan 31 Desember.
Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). PT Bank Koes &
Dian merupakan kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran. PT
Batavia Sentosa pada saat penerbitan perdana membeli 20 lembar obligasi
dengan harga dibawah nilai nominal (at dicount) yaitu sebesar
Rp9.000.000/lembar. Bagaimana kewajiban pemotongan dan pemungutan
PPh pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31 Desember 2013?
Jawab :
Bunga obligasi = (6/12 x 18%x 10.000.000) x 20 lembar = Rp 18.000.000
PPh Pasal 4 (2) = 15% x 18.000.000 = Rp 2.700.000

D. Pengertian PPh Pasal 22

Menurut UU PPh Nomor 36/2008, PPh Pasal 22 adalah bentuk pemotongan


atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan
berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang.

E. Pemungutan PPh Pasal 22

a. Bank Devisa dan DJBC, pada aktivitas perdagangan internasioanl seperti Impor
dan Ekspor barang;
b. Bendahara Pemerintah dan KPA pada Pempus, Pemda, Instansi dan Lembaga
Pemerintah atas pembelian barang;
c. Bendahara Pengeluaran pada pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau PPSPM yang diberikan delegasi oleh
KPA, pada pembayaran ats pembeliaan barang kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran Langsung (LS);

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 6


PERPAJAKAN I

e. Badan Usaha Tertentu seperti BUMN dan Badan Usaha Tertentu yang dimiliki
secara langsung seperti oleh BUMN;
f. Badan Usaha yang bergerak di bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomatif, dan industri farmasi atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor di dalam negeri;
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di
dalam negeri;
h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas,
atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas;
i. Badan usaha industri atau ekportir yang melakukan pembelian bahan-bahan
berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, pertenakan, dan perikanan
yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industrinya
atau ekspornya;
j. Badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral, logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang pribadi
pemegang izin usaha pertambangan; atau
k. Badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan batangan di dalam
negeri.

F. Objek dan Tarif PPh Pasal 22

*Nilai impor  nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea
Masuk yaitu Cost, Insurance, and Freight (CIF), ditambah Bea
Masuk dan Pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan
ketentuan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
*API  Angka Pengenal Impor
*diatur pada PMK Nomor 34/PMK.010/2017

Tarif PPh Pasal 22 atas Impor

No Barang Tarif

1. Barang pada Lampiran I, Barang 10% dari nilai impor, baik


Kiriman dalam jumlah tertentu dengan API atau tidak

2. Barang pada Lampiran II 7.5% dari nilai impor, baik


dengan API atau tidak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 7


PERPAJAKAN I

3. Barang berupa kedelai, gandum, 0,5% x nilai impor dengan


dan tepung terigu sebagaimana menggunakan API
tercantum dalam Lampiran III

4. Barang selain barang 2.5% x nilai impor dengan


sebagaimana dimaksud pada no. menggunakan API
1, 2, dan 3.

5. Barang sebagaimana dimaksud 7.5% x nilai impor bagi yang


pada no. 3 dan 4. tidak menggunakan API

6. Barang tidak dikuasai 7.5% x Harga Jual Lelang

Tarif PPh Pasal 22 atas Ekspor

No. Barang Tarif

1. Ekspor komoditas tambang 1.5% dari nilai ekspor


batubara, mineral logam, dan sebagaimana tercantum dalam
mineral bukan logam, sesuai Pemberitahuan Pabean Ekspor.
uraian barang dan pos tartf/
Harmonized System (HS)
sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV, oleh eksportir,
kecuali yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang terikat dalam
perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan dan
Kontrak Karya.

Tarif PPh Pasal 22 atas Pembelian Barang oleh Bendahara Pemerintah, KPA,
Bendahara Pengeluaran, Badan Usaha Tertentu.

No. Barang Tarif

1. Atas pembelian barang 1,5% x harga pembelian tidak


sebagaimana dimaksud dalam termasuk Pajak Pertambahan
Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, Nilai.
huruf d, dan pembelian barang
dan/atau bahan-bahan untuk
keperluan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf e

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 8


PERPAJAKAN I

Tarif PPh Pasal 22 atas Penjualan BBM

No. Barang Tarif

1. Penjualan kepada stasiun 0,25% x penjualan, tidak


pengisian bahan bakar umum termasuk PPN
yang menjual bahan bakar minyak
yang dibeli dari Pertamina atau
anak perusahaan Pertamina

2. Penjualan kepada stasiun 0,3% x penjualan, tidak


pengisian bahan bakar umum termasuk PPN.
yang menjual bahan bakar minyak
yang dibeli selain dari Pertamina
atau anak perusahaan Pertamina

3. Penjualan kepada pihak selain 0,3% x penjualan, tidak


sebagaimana dimaksud pada termasuk PPN.
angka 1 dan 2.

Tarif PPh Pasal 22 atas Gas dan Pelumas

No. Barang Tarif

1. Bahan Bakar Gas 0,3% x penjualan, tidak


termasuk PPN

2. Pelumas 0,3% x penjualan, tidak


termasuk PPN.

Tarif PPh Pasal 22 atas Hasil Produksi ke Distributor Dalam Negeri

No. Barang Tarif

1. Penjualan semua jenis semen 0,25% x Dasar Pengenaan Pajak


PPN

2. Penjualan kertas 0,1% x Dasar Pengenaan Pajak


PPN

3. Penjualan baja 0,3% x Dasar Pengenaan Pajak


PPN

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 9


PERPAJAKAN I

4. Penjualan semua jenis kendaraan 0,45% x Dasar Pengenaan Pajak


bermotor beroda dua atau lebih, PPN
tidak termasuk alat berat

5. Penjualan semua jenis obat 0,3% x Dasar Pengenaan Pajak


PPN

Tarif PPh Pasal 22 atas... (Lain-lain)

No. Barang Tarif

1. Atas penjualan kendaraan 0,45% x Dasar Pengenaan Pajak


bermotor di dalam negeri oleh PPN
Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), Agen Pemegang Merek
(APM), dan importir umum
kendaraan bermotor, tidak
termasuk alat berat.

2. Atas pembelian bahan-bahan 0,25% x Harga Pembelian, tidak


berupa hasil kehutanan, termasuk PPN
perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan yang
belum melalui proses industri
manufaktur oleh badan usaha
industri atau eksportir.

3. Atas pembelian batubara, mineral 1.5% x Harga Pembelian, tidak


logam, dan mineral bukan logam, termasuk PPN
dari badan atau orang pribadi
pemegang izin usaha
pertambangan oleh industii atau
badan usaha.

4. Penjualan emas batangan 0,45% x Harga Jual Emas


Batangan

Don’t be sad. Don’t be mad and Don’t give up.

Kunci kesuksesan dan kebahagian ada pada


dirimu bukan pada orang lain.

- dsunnyzen

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 10


PERPAJAKAN I

PERTEMUAN 9
PPN

Disusun oleh:

1. Dhiya Septi Wulan Suri


2. Indriani Novita Sari
3. Togi Marito Simanjuntak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 1


PERPAJAKAN I

PPN
A. Sejarah

PPN merupakan pengganti dari Pajak Penjualan dikarenakan Pajak Penjualan dirasa
sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai
sasaran kebutuhan pembangunan, Antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara,
mendorong ekspor dan pemerataan pembebanan pajak.

Berikut perjalanan pemungutan pajak pertambahan nilai di Indonesia :

1. Pajak Pembangunan I

Pemerintah secara resmi mengadakan pemungutan Pajak Pembangunan I (PPb l)


pada 1 Juli 1947 yang dikenakan atas usaha rumah makan, penginapan, dan
penyerahan jasa di rumah makan. Sebelumnya pajak ini berstatus pajak pusat,
namun sejak tahun 1957 berubah menjadi pajak daerah.

2. Pajak Peredaran Tahun 1950

Yang berdasarkan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di Indonesia
yang dipungut secara berjenjang pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi
dan berlaku sejak 1 Oktober 1951.

Pajak ini dikenakan tariff 2,5%. UU yang mengatur pajak peredaran adalah UU
Darurat No. 19/1951 tentang Pajak Peredaran, namun pajak ini tidak berlaku lama
karena telah digantikan dengan pajak penjualan.

3. Pajak Penjualan

Pajak Penjualan diatur di dalam UU No. 35/1953 tentang Penetapan UU Darurat


No.19/1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan (Lembaran Negara No.94/1951).
UU inilah yang menjadi dasar hokum pemungutan pajak penjualan yang dikenal
dengan Pajak Penjualan 1951.

4. PPN

Pajak Penjualan akhirnya direformasikan dengan timbulnya UU No.8/1953 tentang


Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang disahkan

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 2


PERPAJAKAN I

pada 1 April 1985. Hingga saat ini sudah 3x perubahan UU PPN di Indonesia.
Berikut perubahan UU PPN kedua dan ketiga di Indonesia:

a. Perubahan Kedua:

Perubahan kedua ini disebut sebagai UU No.18/2000 tentang Perubahan Kedua


atas UU No.8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.

b. Perubahan Ketiga :

Perubahan ketiga adalah UU No.42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai


Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dengan tujuan untuk
semakin meningkatkan kepastian hokum dan keadilan, menciptakan system
perpajakan yang lebih sederhana serta mengamankan penerimaan negara agar
pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri.

1. Daerah Pabean  wilayah RI meliputi darat, perairan dan


udara serta tempat-tempat tertentu di ZEE dan landasan
kontinen yang di dalamnya berlaku UU yang mengatur
mengenai kepabeanan.
2. Ekspor BKP berwujud  setiap kegiatan mengeluarkan BKP
berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
3. Ekspor JKP  kegiatan penyerahan JKP ke luar Daerah
Pabean.
4. Pajak Masukan  PPN yang seharusnya sudah dbayar oleh
PKP karena perolehan BKP dan atau perolehan JKP dan atau
pemnafaatan BKP tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean
dan atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan atau
impor BKP.
5. Pajak Pengeluaran  PPN terutang yang wajib dipungut oleh
PKP yang melakukan penyerahan BKP,JKP, ekspor BKP
Berwujud, ekspor BKP tidak berwujud dan atau ekspor JKP.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 3


PERPAJAKAN I

B. Karakteristrik

1. Merupakan pajak atas konsumsi dibebakan kepada konsumen yang


membeli BKP dan tidak untuk dijual kembali.

2. Merupakan pajak tidak langsung  dibebakan kepada konsumen akhir BKP


yang ada (berbeda Antara penyetor dan pembyarannya).

3. Merupakan pajak objektif  dikenakan dengan tariff yang sama tanpa


melihat subjek tetapi sesuai dengan BKP dan JKP yang terjadi.

4. Penggunaan tarif tunggal

5. PPN adalah pajak atas konsumsi BKP/JKP di dalam negeri  impor,

6. Berisfat multi Stage Levy  dikenakan atau dipungut pada setiap tahap jalur
produksi dan distribusi tidak bersifat pemungutan double karena
mekanismenya yang menganut pengkreditan Pajak Keluaran dan Pajak
Masukan.

7. Indirect Subtraction Method  sebagai PKP dapat mengkreditkan pajak


masukan atas BKP dan JKP yang berbeda.

C. Mekanisme PPN

UU PPN 1984 menganut metode kredit pajak serta metode faktur pajak. Dalam metode
ini PPN dikenakan atas penyerahan BPK atau JKP oleh PKP. PPN dipungut secara
bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Untuk melakukan pengkreditan
pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode faktur pajak).

Mekanisme pengenaan PPN digambarkan sebagai berikut :

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 4


PERPAJAKAN I

1. Saat membeli/memperoleh BKP/JKP, PPN akan dipungut oleh PKP Penjual.


Disisi pembeli PPN yang dipungut merupakan pembayaran pajak dimuka
(Pajak Masukan) dan pihak pembeli berhak mendapatkan bukti faktur
pemungutan faktur pajak.

2. Saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut


PPN. Bagi penjual PPN merupakan Pajak Pengeluaran, sebagai bukti PKP
berhak membuat faktur pajak.

3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan
satu takwim), jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak
Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara.

4. Apabila dalam suatu masa pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada
jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusikan atau dikompensasikan
ke masa pajak berikutnya.

5. Pelaporan perhitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan


menggunakan SPT Masa PPN.

Contoh : transaksi perusahan sepanjang bulan Maret :

1. Membeli bahan baku seharga 100.000.000 (dipungut PPN sebesar 10.000.000)


2. Menjual produknya seharga 200.000.000 (memungut PPN sebesar 20.000.000)
Perhitungan PPN :
Jumlah pajak keluaran 20.000.000
Jumlah pajak masukan (10.000.000)
PPN kurang bayar 10.000.000

Jumlah PPN kurang bayar sebesar 10.000.000 harus disetorkan ke kas negara.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 5


PERPAJAKAN I

D. Dasar Hukum PPN

UU yang mengatur PPN dan PPnBM adalah UU No.8/1983 tentang PPN dan PPnBM
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.42/2009; UU ini
disebut dengan UU PPN 1984.

E. Objek

PPN dikenakan atas :

1. Penyerahan BKP di dalam Daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.


Syaratnya adalah :

 Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP.


 Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak Berwujud.
 Penyerahan yang dilakukan di dalam Daerah Pabean.
 Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya

2. Impor BKP.

3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan dengan syarat :

 Jasa yang dilakukan merupakan JKP.


 Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.
 Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 6


PERPAJAKAN I

4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.

5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

6. Ekspor BKP berwujud oleh PKP

7. Ekspor BKP Tidak berwujud oleh PKP

8. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain.

9. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjual belikan oleh PKP, kecuali atas aktivas yang Pajak Masuknya tidak
dapat dikreditkan.

PKP sebagai subjek PPN merupakan pihak atau pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP atau JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 kemudian
menyetorkan PPN dan melaporkan perhitungan pajak. Pihak yang dapat disebut PKP
adalah pengusaha yang memiliki penghasilan bruto lebih dari Rp. 4,8 miliar.

Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabla


sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah perederan bruto dan atau
penerimaan brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan yakni Rp. 4,8 miliar.
Pengusaha wajib melaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat
jumlah perederan bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas pengusaha kecil.

PKP dapat memohon pencabutan pengukuhan PKP apabila jumlah peredaran atau
penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi batas yang telah ditetapkan
kepada KPP tempat pengusaha dikukuhkan PKP paling lambat satu bulan sejak
berakhirnya tahun buku

Berikut komponen :

 BKP ( Barang Kena Pajak)

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 7


PERPAJAKAN I

Merupakan barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud, yang
dikenai pajak berdasarkan UU 1984.

Yang dimaksud dengan BKP tidak berwujud adalah :

a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta.

b. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan industry, komersial atau ilmiah.

c. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang industrial, komersial, teknikal,


atau ilmiah.

d. Pemberian bantuan atau pelengkap sehubungan denga penggunaan atau hak


menggunakan berdasarkan huruf a,b dan c, berupa :

1. Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau suara atau keduanya yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optic atau teknologi
serupa.
2. Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau suara atau untuk
siaran televise atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat
optic, atau teknologi serupa.
3. Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spectrum radio
komunikasi.

e. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup atau pita video untuk
siaran televise atau pita suara untuk siaran radio.

f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan


atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lain
sebagaimana disebut diatas.

 Pengecualian BKP

Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan PP didasarkan atas
kelompok barang sebagai berikut :

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 8


PERPAJAKAN I

a. Hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.

b. Kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung
dan sejenisnya baik dikonsumsi ditempat atau di bawak pulang termasuk yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.

d. Uang, emas batangan dan surat-surat berharga (saham, obligasi, dan lainnya)

 JKP

Setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hokum
yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

 Pengecualian JKP
Jenis yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan PP didasarkan atas kelompok
jasa sebagai berikut :
a. Jasa pelayanan kesehatan medis;
b. Jasa di bidang pelayanan social;
c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. Jasa keuangan;
e. Jasa asuransi;
f. Jasa di bidang keagamaan;
g. Jasa pendidikan;
h. Jasa kesenian dan hiburan;

i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang
bertujuan komersial.

j. Jasa angkutan umum darat atau udara baik dalam negeri maupun luar negeri
yang tidak dapat dipisahkan
k. Jasa tenaga kerja ;
1. Jasa tenaga kerja
2. Jasa penyediaan tenaga kerja
3. Jasa penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 9


PERPAJAKAN I

l. Jasa perhotelan ;
1. Jasa penyewa kamar;
2. Jasa penyewa ruangan.
m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dakam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum.
n. Jasa penyediaan tempat parkir.
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam baik diselenggarakan oleh
pihak pemerintah/swasta.
p. Jasa pengiriman uang menggunakan wesel pos.
q. Jasa boga/catering.
 Penyerahan BKP
Merupakan setiap kegiatan penyerahan BKP. Yang termasuk kedalam penyerah BKP
adalah :

i. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian.

ii. Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan atau perjanjian sewa guna
usaha (leasing).
iii. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang.
iv. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas BKP.
v. BKP (persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan tidak untuk diperjual
belikan), yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.
vi. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya, dan atau penyerahan BKP
serta cabang.
vii. Penyerahan BKP secara konsinyasi.
viii. Penyerahan BKP oleh PKP dalm rangka perjanjian pembiayaan yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung
dari PKP ke pada pihak yang membutuhkan BKP.

Sedangkan penyerahan barang yang tidak termasuk dalam kategori penyerahan BKP
adalah :

 Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab UU Hukum


Dagang.
 Penyerahan BKP untuk jaminan hutang.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 10


PERPAJAKAN I

 Penyerahan BKP antarcabang/pusat ke cabang dalam hal PKP melakuakn


pemusatan tempat pajak terutang.
 Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambil alihan usaha dengan syarat pihak yang melakuakn
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah PKP.
 BKP merupakan aktiva tetap yang menurut tujuan semual untuk tidak diperjual
belikan, yang masih tersisa saat pembubaran perusahaan dan yang Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan.

No matter what they


say, No matter what
they do. Wo Going
To RESONATE

-NCT 2020 (sf)


(sg)

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 11


PERPAJAKAN I

PERTEMUAN 10
PPN Bagian 2

Disusun oleh:

1. Dhiya Septi Wulan Suri


2. Indriani Novita Sari
3. Togi Marito Simanjuntak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 1


PERPAJAKAN I

PPN bagian 2
A. Subjek PPN

Yang disebut subjek PPN ialah orang pribadi dan badan, yang berdasarkan peraturan
per UU, melakukan kegiatan penyerahan dan menerima BKP/JKP. Yang diatur di dalam
UU No. 42/2009 Pasal 4 Ayat 1 huruf b dan e serta Pasal 16C.

Jika diklasifikasikan subjek PPN terbagi menjadi 2 yakni;

 PKP, dimana PPN dipungut oleh PKP dalam;


 Melakukan penyerahan BKP/JKP
 Melakukan ekspor BKP/BKPTB/JKP
 Non-PKP, dimana PPN akan tetap terutang meski yang melakukan kegiatan
bukanlah berstatus PKP, dalam hal :
1. Mengimpor BKP;
2. Memanfaatkan BKPBT dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
3. Dan atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
4. Melakukan kegiatan membangun sendiri

B. Pengusaha Kecil

Merupakan pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan


BKP/JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari;

a. Sebelum 1 Januari 2014 = 600.000.000

b. Setelah 1 Januari 2014 = 4.800.000.000

Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila
sampai suatu bulan dalm tahun buku, jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan
brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan yang paling lama dilaporkan akhir bulan
berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya
melebihi batas pengusaha kecil.

Beberapa hal perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil;

i. Dilarang membuat faktur pajak.


ii. Tidak wajib memasukkan SPT Masa PPN;

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 2


PERPAJAKAN I

iii. Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan;


iv. Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pengusaha kecil yang memperoleh
peredaran bruto di atas batas yang telah ditentukan.

C. Kewajiban PKP

PKP berkewajiban antara lain untuk :

1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP;

2. Memungut PPN dan PPnBM yang terutang;

3. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayarkan dalam hal Pajak Keluaran
lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta
menyetorkan PPnBM;

4. Melaporkan perhitungan pajak.

D. Saat Terutang PPN

Pajak terutang pada saat :

1. Penyerahan BKP atau JKP.


2. Impor BKP.
3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
4. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean.
5. Ekspor BKP berwujud.
6. Eskpor BKP tidak berwujud.
7. Ekspor JKP.
8. Pembayaran yang diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan JKP
atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP Tidak
Berwujud atau JKP dari Luar Daerah Pabean.Tempat Terutang PPN

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 3


PERPAJAKAN I

E. Tempat Terutang PPN

1. Untuk penyerahan BKP/JKP :

a. Tempat tinggal,

b. Tempat kedudukan,

c. Tempat kegiatan usaha, dan

d. Tempat lain.

2. Dalam hal impor terutangnya pajak terjadi di tempat BKP dimasukkan dan
dipungut melalui DJBC.

3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan atau
JKP dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean terutang pajak di
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan atau tempat kegiatan usaha.

4. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya oleh bukan PKP, di tempat
bangunan tersebut didirikan.

F. Cara Menghitung PPN

PPN =DPP x Tarif Pajak

Contoh :

1. PKK A menjual tunai BKP kepada PKP B dengan harga jual 25.000.000, PPN
yang terutang;

25.000.000 x 10% = 2.500.000

PPN sebesar 2.500.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh PKP
A. sedangkan PKP B, PPN tersebut merupakan merupakan Pajak Masukan.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 4


PERPAJAKAN I

2. Seseorang mengimpor BKP dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
15.000.000, PPN yang dipungut melalui DJPBC = 10% x 15.000.000 =
1.500.000

G. Tarif PPN

Tariff yang berlaku untuk saat ini adalah 10%. Sedangkan tarif PPN sebesar
0% diterapkan atas :

a. Ekspor BKP Berwujud atau tidak berwujud.

b. Ekspor JKP.

Pengenaan tariff 0% tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian,
Pajak Masuknya yang telah dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan
kegiatan tersebut dapat dikreditkan.

Pemerintah diberikan wewenang dalam mengubah tariff pajak PPN menjadi paling
rendah 5% dan paling tinggi 15% dengan tetap memakai prinfsip tarif tunggal yang
dilakukan untuk pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan
kebutuhan dana untuk pembangunan yang dikemukakan oleh pemerintah kepada DPR
dalam rangka pembahasan dan penyusunan RAPBN

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 5


PERPAJAKAN I

H. DPP

Yang menjadi DPP adalah :

1. Harga jual  nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN
berdasarkan UU PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam
faktur pajak.

2. Penggantian  nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau
ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut
berdasarkan UU PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam
faktur pajak atau nilai berupa uang yang dibayarkan atau seharusnya dibayar
oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP/BKP tidak berwujud karena
pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.

3. Nilai Impor  nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk
di tambah dengan pemungutan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Per-
UU yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak
termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut menurut UU PPN 1984.

4. Nilai Ekspor  nilai berupa uang termasuk biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengekspor.

5. Nilai Lain  diatur di dalam PMK NO. 567/KMK.04/2000

Untuk kegiatan Membangun sendiri DPP nya adalah 20% dari jumlah biaya yang
dikeluarkan dan atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak termasuk
harga perolehan tanah .

Ayo jadi Neo Generation.

Tak ada yang tidak bisa!!

 Dsunnyzen 

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 6


PERPAJAKAN 1

PERTEMUAN 11
FAKTUR PAJAK DAN PENGKREDITAN PM

DISUSUN OLEH :

1. Dhiya Septi Wulan Suri


2. Indriani Novita Sari
3. Togi Marito Simanjuntak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 1


PERPAJAKAN 1

BAB 1 FAKTUR PAJAK DAN PENGKREDITAN PM

A. Faktur Pajak

1. Pengertian dan Fungsi Faktur Pajak

a. Pengertian

Faktur Pajak dalam administrasi PPN di Indonesia didefinisikan sebagai bukti pungutan
pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP (Pasal 1
angka 23 UU PPN 1984). Pemungut PPN adalah penjual atau yang menyerahkan BKP/JKP.
Penerbitan Faktur Pajak menandakan Pemungutan Pajak sebagai konsekuensi mekanisme
indirect substraction method yang dianut Indonesia.

b. Fungsi Faktur Pajak

a) Sudut pandang PKP yang menjual/menyerahkan BKP/JKP. Faktur Pajak merupakan


bukti bahwa pungutan pajak

b) Sudut pandang pembeli/penerima BKP/JKP:

1. Bukti pembayaran PPN

2. Bukti beban pajak, dalam hal PPN yang tercantum belum dibayar

3. Sebagai sarana pengkreditan PM

2. Saat Pembuatan Faktur Pajak

a) Penyerahan/Ekspor BKP termasuk penyerahan 16D (PKP penjual atau yang


menyerahkan BKP/JKP)

b) Penyerahan/Ekspor JKP

3. Bentuk dan Isi Faktur Pajak

Bentuk Faktur Pajak ada dua yaitu:

a. Elektronik, berupa file yang digunakan saat objek PPN berupa penyerahan
BKP/JKP dan penyerahan terkait pasal 16D.
Di Indonesia, untuk menerbitkan FP berbentuk elektronik harus melalui
persetujuan ortoritas pajak dengan melalui kanal penerbitan berupa:
1) Aplikasi dekstop e-Faktur Pajak

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 2


PERPAJAKAN 1

2) Web base atau aplikasi online yang disediakan otoritas pajak


3) Host to Host (langsung dari sistem PKP ke DJP atau melalui ASP)
b. Kertas, beruba cetakan faktur diatas kertas yang digunakan disemua transaksi atau
peristiwa hukum yang diwajibkan menerbitkan Faktur Pajak seperti Penyerahan
BKP/JKP dan Ekspor BKPB/BKPTB/JKP.

Untuk penyerahan BKP/JKP defaultnya harus diterbitkan secara elektronik.


Namun, bisa menggunakan FP kertas berupa struk swalayan (FP Pedagang Eceran)

MARI KITA TELUSURI JENIS-JENIS FAKTUR PAJAK

a. Faktur Pajak sesuai Pasal 13 ayat 5 UU PPN


FP ini memuat keterangan atas penyerahan BKP/JKP yang paling sedikit berisi:
1. Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP/JKP
2. Nama,alamat,NPWP yang membeli BKP/JKP
3. Jenis BKP/JKP, jumlah harga jual/penggantian, dan potongan harga
4. PPN yang dipungut
5. PPnBm yang dipungut
6. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan FP
7. Nama dan tanda tangan yang berhal menandatangani FP
b. Faktur Pajak Gabungan
FP Gabungan menggabungkan beberapa transaksi pada 1 bulan kalander
yang sama atas pembeli yang sama dalam satu FP.
c. Faktur Pajak Pedagang Eceran
Hanya dapat diterbitkan oleh WP yang kategori Pedagang Eceran.
Perbedaan antara FP-Pedagang eceran dan FP standar adalah di dalam FP-
Pedagang eceran hanya memuat 5 konten FP dari 7 yang diatur pada aturan
yang berlaku dengan tidak mencantumkan nama,NPWP, dan alamat pembeli
dan juga tandatangan penerbit FP. Nomor seri FP-Pedagang eceran diatur
sendiri oleh PKP PE sedangkan FP standar nomor seri diajukan permintaan
Nomor Seri Faktur Pajak oleh PKP ke otoritas pajak.
d. Dokumen Tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan FP
1. Surat Perintah Penyerahan Barang

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 3


PERPAJAKAN 1

2. Bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan


telekomunikasi
3. Tiket,tagihan, Surat Muatan Udaea atau delivery bill yang di buat
untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri
4. Nota penjualan jasa yang dibuat/dikeluakan untuk penyerahan jasa
kepelabuhan
5. Bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan listrik
6. Bukti tagihan atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh perusahaan air
minum
7. Bukti tagihan atas penyerahan JKP oleh perantara efek
8. Bukti tagihan atas penyerahan JKP oleh perbankan
9. Dokumen yang digunakan untuk pemesanan pita cukai hasil tembakau
10. Pemberitahuan ekspor barang yang dilampiri nota pelayanan ekspor,
invoice dan bill of lading
11. Pemberitahuan Ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud dan dilampiri dengan
invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
pemberitahuan Ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud, untuk ekspor
JKP/BKP Tidak Berwujud
12. PIB
13. SSP
e. Faktur Pajak Khusus (VAT Refund for Tourist)

Turis asing yang membawa Barang Bawaan, dapat meminta kembali PPN
yang dia bayar atas pembeliaan BKP di Indonesia dengan syarat nilai PPN yang
diminta paling sedikit RP500.000 dan pembelian barang bawaan dilakukan 1
bulan sebelum keberangkatan ke luar daerah pabean.

4. Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

Kode faktur terdiri dari tiga digit dimana dua digit pertama adalah kode
transaksi dan 1 digit berikutnya adalah kode status sedangkan nomor seri faktur
pajak terdiri dari 13 digit dimana 3 digit pertama dan digit ke-6 hingga digit
terakhir adalah nomor urut FP secara nasional dan digit ke 4 dan ke 5 adalah
kode tahun penerbitan Nomor Seri Faktur Pajak. Untuk kode status, berupa

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 4


PERPAJAKAN 1

angka 0 yang bermakna Faktur Pajak Normal atau Faktur yang pertama kali
dibuta, dan angka 1 jika Faktur Pajak tersebut merupakan Faktur Pajak Pengganti
atau telah ada penggantian informasi pada Faktur Pajak.

5. Saat Pembuatan Faktur Pajak

Prinsip dasarnya adalah saat terjadi penyerahan atau ekspor, namun dilakukan
juga saat pembayaran terlebih dahulu dterima sebelum penyerahan barang. Jadi
terdapat beberapa kategori saat pembuatan FP, yaitu:

a. Pada saat penyerahan BKP/JKP


b. Pada saat penerimaan pembayaran jika terjadi sebelum penerimaan
pembayaran
c. Pada saat penerimaan pembayaran termin
d. Pada saat lain yang diatur MenKeu

Untuk FP-Gabungan dibuat pada akhir bulan dilakukan penyerahan.

B. Pengkreditan Pajak Masukan

1. Prinsip Pengkreditan

Dasar Pengenaan Pajak


 Nilai jual barang tersebut
PPN yang dikenakan adalah sebesar 10% dikali Dasar Pengenaan Pajak
(DPP).Dalam administrasi PPN di Indonesia, ada beberapa Dasar Pengenaan
Pajak sebagaimana diringkas pada gambar berikut:

Berikut beberapa pengertian Dasar Pengenaan Pajak:

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 5


PERPAJAKAN 1

a. Harga Jual dan Penggantian


Kata kuncinya adalah “Harga Jual” berhubungan dengan BKP dan “Harga
Penggantian” berkaitandengan JKP atau BPKTB. Seluruh biaya yang dikeluarkan
oleh pembeli seperti biaya pengangkutan, biaya asuransi,biaya bantuan teknik,
biaya pemeliharaan, biaya pengiriman, biaya garansi, biaya pendidikan. Perlu
dicatat, bahwa harga jual tidak ada unsur PPN dan PPnBM.
Harga Jual/Penggantian = Nilai BKP/JKP berupa uang + semua biaya – potongan
harga
b. Nilai Impor
Diartikan sebagai nilai yang dijadikan dasar perhitungan bea masuk ditambah
dengan pungutan-pungutan yang ada di dalamnya, sesuai aturan yang berlaku
khususnya aturan kepabean dan cukai untuk BKP tanpa PPN.
Nilai Impor = CIF + Bea Masuk
c. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor merupakan nilai berupa uang (termasuk biaya) yang diminta atau
yang
seharunya diminta oleh eksportir
d. Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak
Nilai Lain sebagai DPP digunakan jika nilai seperti Nilai Jual tidak diketahui.
Namun, untuk
menggunakan suatu nilai menjadi DPP, harus diatur dalam aturan.
Ketentuan Umum Pengkreditan Pajak Masukan
a. Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang
sama
b. Pajak Masukan tidak perlu dipilah-pilah berdasarkan objek pajaknya
c. Pengkreditan Pajak Masukan tidak dapat dibagi per tahun berdasarkan
masa manfaat
d. Pajak Masukan atas barang modal sebelum berproduksi
e. Berhubungan dengan kegiatan usaha

Syarat-Syarat Pengkreditan Pajak Masukan


a. Memenuhi persyaratan formal dan materiil
b. Belum dibebankan sebagai biaya atau dilakukan pemeriksaan
c. Pengkreditan PM tidak pada Masa Pajak yang sama

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 6


PERPAJAKAN 1

2. Pajak Masukan Tidak Dapat Dikreditkan

a. Pajak Masukan yang didapat sebelum PKP dikukuhkan atas penyerahan


BKP/JKP,Impor BKP, atau atas pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP
b. Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP/JKP yang tidak
berhubunganlangsung dengan kegiatan usaha yang terutang PPN
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station
wagon,kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya
tidakmemenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
atau ayat (9) atautidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok
Wajib Pajak pembeli Barang KenaPajak atau penerima Jasa Kena Pajak. Secara
ringkas adalah PM yang Faktur Pajaknyatidak lengkap
e. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajakdari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan terkaitdokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak.
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
ditagihdengan penerbitan ketetapan pajak
g. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
tidakdilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,
yang ditemukanpada waktu dilakukan pemeriksaan
h. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak
sebelumPengusaha Kena Pajak berproduksi.
i. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang atas
penyerahannya tidak terutang, atau dibebaskan PPN tidak dapat dikreditkan.

3. Pengkreditan dalam Hal Terdapat Penyerahan yang Terutang dan Tidak Terutang
PPN

Apabila dalam suatu Masa Pajak PKP selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan
Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui
dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan
yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan. Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang
terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak
Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian
kepada PKP.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 7


PERPAJAKAN 1

Pedoman Pengkreditan PM ini tidak dapat dimanfaatkan oleh PKP yang


telah ditetapkan untuk menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan
dengan menggunakan Norma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) UU
PPN (PKP dengan jumlah peredaran bruto tidak melebihi jumlah tertentu) dan
PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu (dalam hal ini Pedagang Kendaraan
Bermotor Bekas Secara Eceran).

4. Pajak Masukan Atas PKP yang Menggunakan DPP Nilai Lain

Untuk beberapa usaha yang menggunakan DPP Nilai Lain sebagai dasar
pengenaan PPN, maka atas Pajak Masukan yang digunakan untuk penyerahan
BKP/JKP terkait tidak dapat dikreditkan antara lain:

a. Jasa pengiriman paket;

b. Jasa biro perjalanan wisata;

c. Penyerahan emas perhiasan; dan

d. Penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang dalam


tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight
charges) yang dilakukan oleh Pengusaha pengurusan transportasi

Variasi Kasus:

a. Pengkreditan PM atas Pemakaian Sendiri


Secara sederhana, saat terjadi pemakaian sendiri untuk tujuan konsumsi atau
untuk tujuan produksi jasa/barang yang tidak terutang PPN.memajaki
pemakaian sendiri atas kegiatan produktif yang menghasilkan BKP/JKP yang
terutang PPN adalah pekerjaan yang sia-sia dan menambahi beban administrasi

Contoh: (Pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang tidak terutang PPN)

PT I memiliki klinik perusahaan untuk kepentingan karyawan. Untuk


operasional klinik, PTI menggunakan komputer dari persediaan yang ada.
Misalkan komputernya sama denganyang digunakan untuk bagian manajemen,
maka atas pemakaian sendiri PT I membuat Faktur Pajak dengan nilai PPN Rp
10.000.000. Ingat klausul “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan
BKP/JKP yang atas penyerahannya tidak terutang, tidak dipungut atau

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 8


PERPAJAKAN 1

dibebaskan PPN dapat dikreditkan”? karena komputer digunakan di klinik, maka


PM atas komputer tersebut tidak dapat dikreditkan. Diperoleh hasil perhitungan
sebagai berikut:

PK :Rp 10.000.000

PM : Rp 0

PPN : Rp 10.000.000

b. Pengkreditan PM atas Pemberian Cuma-Cuma


Pajak Masukan atas barang yang diberikan cuma-cuma dapat dikreditkan

Contoh:

PT J merupakan pedagang besar garmen melakukan pemberian cuma-cuma


berupa Selimut, Air Mineral, dan Beras. Pajak Masukan yang berkaitan dengan
Selimut dapat dikreditkan, sedangkan Pajak Masukan atas pembelian air mineral
tidak dapat dikreditkan (karena tidak sesuai dengan kegiatan usahanya dan tidak
masuk definisi pemberian cuma-cuma).

c. Pengkreditan Sebelum Produksi


Walaupun kewajiban pengusaha menjadi PKP terjadi saat omzet atas
penyerahan BKP/JKPnya di atas Rp4,8 miliar, terkadang ada pengusaha
mengukuhkan diri menjadi PKP sebelum terjadi penyerahan. Untuk PKP yang
belum ada Pajak Keluaran di Masa Pajak tertentu, maka Pajak Masukannya dapat
dikreditkan.Karena PKP belum memiliki PK namun memiliki PM, maka PKP dapat
melakukan restitusi atas PM yang dimiliki.

d. Gagal Produksi
Jika PKP memutuskan mengkreditkan PM atas barang modal sebelum
berproduksi, terdapat konsekuensi, yaitu, jika PKP gagal berproduksi dalam jangka
waktu 3 tahun sejak PM dikreditkan, maka PM tersebut harus dibayarkan kembali.
Kapan PKP harus mengembalikan PM tersebut? Paling lama akhir bulan berikutnya
saat gagal produksi. Jika PKP tidak membayarkan kembali PM tersebut, maka akan
ditagih dengan menggunakan STP beserta sanksi administrasi sebesar 2% perbulan
sejak tanggal penerbitan SKPLB hingga penerbitan STP.

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 9


PERPAJAKAN 1

5. PKP dengan Omzet Tertentu

PKP (badan atau orang pribadi) yang mempunyai peredaran usaha dalam satu
tahun buku tidak melebihi Rp 1,8 miliar. Besarnya pajak masukan yang dapat
dikreditkan adalah:

• Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) sebesar 60% dari PK dan dapat
disimpulkan PPN terutang adalah 4% dari peredaran usaha setiap bulannya untuk
penyerahan JKP.
• Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) sebesar 70% dari PK dan dan
dapat disimpulkan PPN terutang adalah 3% untuk penyerahan BKP.

6. PKP dengan Kegiatan Usaha Tertentu

PKP (badan atau orang pribadi) yang melakukan kegiatan usaha tertentu, yaitu:

1. PKP yang mempunyai kegiatan usaha yang semata-mata melakukan penyerahan


kendaraan bermotor bekas, dengan persentase 90% dari pajak keluaran atau PPN
terutangnya 1% dari peredaran usaha.
2. PKP yang mempunyai kegiatan usaha yang semata-mata melakukan secara eceran
penyerahan emas perhiasan secara eceran, dengan persentase 80% dari pajak
keluaran atau PPN terutangnya 2% dari peredaran usaha setiap bulannya.
Penghitungan yang dianggap pajak masukan tersebut dengan menggunakan
persentase seperti norma di dalam menentukan penghasilan netto untuk penghitungan
pajak wajib pajak orang pribadi di SPT Tahunan.

C. Pengenalan Fasilitas Tidak Dipungut dan Dibebaskan

1. Fasilitas PPN Dalam Bentuk Tidak Dikenakan Pungutan PPN

Fasilitas PPN dalam bentuk tidak dikenakan pungutan PPN diberikan pada barang
dan jasa yang penggunaannya menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal ini
dimungkinkan, meski sejatinya barang dan jasa yang beredar di masyarakat
merupakan BKP/JKP dan untuk itu ada pungutan PPN.

Pasalnya, ada beberapa jenis barang dan jasa yang keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh khalayak umum. Oleh karena itu, kegiatan penyerahan dan
perolehan barang dan jasa yang dimaksud tidak dikenakan pungutan PPN.

2. Fasilitas PPN Berupa Pembebasan PPN

Fasilitas PPN berupa pembebasan PPN merupakan pembebasan kewajiban


memungut PPN kepada orang pribadi atau badah usaha yang melakukan kegiatan
penyerahan:

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 10


PERPAJAKAN 1

1. BKP bersifat strategis, yang merupakan barang masuk kategori BKP namun
memiliki nilai strategis berdasarkan pertimbangan pemerintah. Sehingga atas
BKP strategis ini diberikan fasilitas PPN dibebaskan.
2. BKP tertentu, yang meliputi yang diperlukan untuk kepentingan umum atau
untuk kepentingan nasional yang dikelola oleh unit-unit pemerintah.
3. JKP tertentu, yang terdiri atas jasa yang diserahkan kontraktor untuk
pemborong bangunan, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan
serta jasa yang diterima oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional
Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional.
4. Penyerahan BKP/JKP kepada perwakilan negara asing dan badan
internasional serta pejabatnya dengan asas timbal balik
5. Jasa kebandarudaraan tertentu, yang meliputi pelayanan jasa penerbangan;
pelayanan jasa pendaratan, penempatan, dan penyimpanan pesawat udara,
pelayanan jasa konter, pelayanan jasa garbarata (aviobridge), pelayanan
jasa bongkar muat penumpang, kargo, pos

3. Fasilitas PPN Dalam Bentuk Tidak Dipungut PPN

Pemberian fasilitas PPN dalam bentuk tidak dipungut PPN diberikan kepada
transaksi-transaksi sebagai berikut:

1. Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam daerah pabean.


2. Penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu.
3. Impor BKP tertentu.
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean.
5. Pemanfaatan JKP tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
6.
Fasilitas PPN dalam bentuk tidak dipungut PPN diberikan kepada transaksi-transaksi
seperti yang disebutkan di atas, yang dilakukan di/ke kawasan bebas dan kawasan
berikat. Selain itu, transaksi tidak dipungut PPN apabila yang melakukan kegiatan
merupakan PKP yang menjalankan pengolahan pada kawasan berikat.

D. Perhitungan PPN Terutang pada suatu Masa Pajak

a. Dibandingkan antara PM dengan PK-nya


b. Jika PM>PK, maka lebih bayar (dapat dikompensasikan di bulan berikutnya < 3
bulan atau direstitusi
c. Jika PM<PK, maka kurang bayar (terutang PPN)
(Dhian Adhetiya Safitra, 2020)
(Indonesia)

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 11


PERPAJAKAN 1

Teruntuk kamu semoga semangat terus, walaupun ada banyak hal


yang bisa bikin kamu down, Tuhan selalu ada dan ga bakal biarin
kamu sedih sendirian. Manusia memang selalu mengecewakan,
tapi dari Tuhan selalu ada pengharapan

DAFTAR PUSTAKA

Dhian Adhetiya Safitra, A. P. (2020). PERPAJAKAN II PPN dan KUP. Banten: Unit
Penerbitan Politeknik Keuangan Negara STAN.

Indonesia, D. J. (t.thn.). djp. Diambil kembali dari https://www.pajak.go.id/.

Online Pajak (2018), Definisi dan Jenis-Jenis Fasilitas PPN, Online Pajak.

https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/fasilitas-ppn

Nusahati (2013), PKP Omset Tertentu, Nusahati

https://nusahati.com/2013/12/sekilas-tentang-pkp-omset-tertentu/

ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020 12


BAB I
SUBJEK PPh BADAN

PENGANTAR
Modul Pajak Penghasilan Badan, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari modul Pajak
Penghasilan Orang Pribadi. Pembaca modul ini diharapkan telah mempelajari modul PPh Orang
Pribadi untuk mempermudah pemahaman PPh secara umum
Agar kita Iebih mudah dan urut dalam memahami PPh Badan, terlebih dahulu kita akan
membahas siapa saja badan-badan yang dikenakan PPh dan penghasilan apa saja yang dikenakan
ataupun tidak dikenakan PPh. Setelah itu kita akan belajar bagaimana menghitung PPh Badan.

SUBJEK PAJAK
Subjek PPh Badan bukan hanya perusahaan. Yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan
orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN,
BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis,
lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan bentuk badan Iainnya.
Subjek Pajak Badan dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri
Subjek Pajak Badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak
lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
2. Subjek Pajak Badan Luar Negeri.
Subjek Pajak Badan Luar Negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia baik
melalui BUT maupun tidak melalui BUT. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat
menjalankan usaha melalui BUT ataupun pada saat menerima dan memperoleh penghasilan.
Sedangkan berakhirnya adalah pada saat tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia dengan
melalui BUT atau tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.

A. Subjek Pajak BUT


Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia (Pasal 2 ayat (5) UU PPh No 36 Tahun 2008). Walaupun BUT adalah Wajib Pajak Luar
Negeri tetapi pengenaan pajaknya disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan
modifikasi dalam metode penentuan laba serta penambahan tarif PPh Pasal 26 ayat (4).

Contoh :
Misalnya BundesGesselshaft Gmbh Jerman mempunyai kantor cabang di Indonesia berarti
BundesGesselshaft Gmbh merupakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

1
Pajak Penghasilan Badan

Indonesia tetapi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia.
BundesGesselshaft Gmbh dikenakan PPh di Indonesia melalui BUT tersebut.
BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak Iebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Contoh :
Misalnya Mr. Xie tinggal di Hongkong tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa
kantor cabang maka Mr. Xie dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usaha di
Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia.

B. Pengecualian Subjek Pajak Badan


1) Beberapa Badan yang dikecualikan sebagai Subjek PPh adalah :
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut
serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada angka
(1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pengecualian subjek pajak diatur dalam Pasal 3 dan penjelasan pasal 2 ayat 1 UU PPh jo. PMK No
215/PMK.03/2008 jo PMK 15/PMK.03/2010.

C. Hubungan Istimewa antara Subjek Pajak


Pasal 18 ayat (4) UU PPh telah mendefinisikan Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa satu
sama lain. Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena:
1. kepemilikan atau penyertaan modal;
2. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau kesamping satu derajat
Hubungan istimewa tersebut secara lengkap berbentuk sebagai berikut :
1. Hubungan Modal
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal Iangsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan
penyertaan paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih,
demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa
penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun
tidak langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan
saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.

2
Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT
A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C
sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B, dan PT C
dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima
persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan
badan.
2. Hubungan Penguasaan
Hubungan istimewa karena pengusaan timbul jika Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya,
atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun
tidak langsung. Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan
melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendati pun tidak terdapat hubungan
kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah
penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada
dalam penguasaan yang sama tersebut.
3. Hubungan Keluarga
Hubungan istimewa dapat timbul diantara orang pribadi-orang pribadi pemegang saham
perusahaan yang memiliki hubungan keluarga baik sedarah ataupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat (Pasal 18 ayat (4) UU PPh). Yang dimaksud
dengan orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik sedarah dalam garis keturunan
lurus dan atau ke samping satu derajat yaitu :
 Hubungan sedarah
ayah, ibu, dan anak (garis keturunan lurus satu derajat), saudara kandung atau saudara
tiri (garis keturunan ke samping satu derajat).
 Keluarga semenda
Mertua dan anak tiri (garis keturunan lurus satu derajat), ipar (garis keturunan ke
samping satu derajat).
Status hubungan istimewa diatas akan berpengaruh pada 4 hal yaitu :
1. Keuntungan atas jual beli aktiva tetap diantara subjek pajak yang memiliki hubungan istimewa
dihitung dengan cara mengurangkan harga pasar wajar aktiva tersebut dengan nilai bukunya.
Harga Pasar disini adalah nilai yang seharusnya diterima dalam transaksi normal (arm-length
transaction) (Pasal 10 ayat (1)) UU PPh; Ketentuan ini bertujuan untuk menghin dari jual beli
secara tidak wajar.
2. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa (Pasal 18 ayat (3)) UU PPh;
3. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja
sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa (Pasal 18 ayat (3a) UU PPh);
4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham (orang pribadi atau
badan) atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan tidak boleh menjadi biaya (Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh).

3
Pajak Penghasilan Badan

D. Kasus Subjek Pajak Badan


Contoh Kasus :
Won Han Construction Ltd. adalah perusahaan yang berdomisili di suatu negara asing. Pada bulan
Juni 2007 memenangkan tender membangun gedung di Jakarta. Untuk melaksanakan proyek tersebut
Won Han Construction Ltd. memiliki tiga pilihan bentuk usaha yaitu :
1. Membuka Won Han Construction Ltd. cabang Jakarta;
2. Membentuk PT Won Han Construction Indonesia yang berstatus Penanaman Modal Asing
(PMA);
3. Tidak membentuk badan apapun di Indonesia. Semua persiapan pekerjaan konstruksi dilakukan
di negara domisilinya. Begitu datang ke Indonesia langsung melaksanakan proyek seefisien
mungkin. Begitu selesai dan dibayar langsung balik lagi ke negara domisilinya.

Kasus :
Bentuk usaha seperti apa yang dipilih dan apa konsekuensi pajaknya?
Pembahasan :
 Bentuk usaha no.3 yaitu tidak membuat badan apapun di Indonesia adalah bentuk paling
ideal karena resiko pajaknya paling kecil. Tetapi UU PPh pasal 2 ayat (5) huruf i menyatakan
bahwa bentuk usaha tetap jasa konstruksi langsung muncul pada hari pertama proyek
dilaksanakan. Apabila proyek konstruksi adalah 1 tahun berarti Won Han Construction Ltd
langsung menjadi subjek pajak luar negeri dengan BUT pada hari pertama. Jadi, pengenaan
pajak sama dengan WP DN.
 Bentuk usaha cabang berdasarkan pasal 2 ayat (5) huruf b adalah bentuk usaha tetap
sehingga konsekuensi pajaknya sama seperti pilihan no. 3
 Pilihan no.2, yaitu menjadi PMA berarti langsung menjadi subjek pajak dalam negeri,
karena PMA berdomisili / berkedudukan di Indonesia.

4
BAB II
OBJEK PPh BADAN

PENGANTAR
Pada prinsipnya Objek PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak. Objek PPh bagi Wajib Pajak Badan dapat dibedakan
menjadi dua yaitu :
1. Penghasilan Badan Dalam Negeri
Objek Pajak Badan dalam negeri adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh
Badan tersebut dengan prinsip WWI (World Wide Income), yang diterima baik dari dalam
maupun luar negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
PenghasiIan.
2. Penghasilan Badan Luar Negeri (BUT maupun WP LN bukan BUT). Penghasilan WP Badan
Luar Negeri ada 2 macam yaitu :
a. Penghasilan WP Badan Luar Negeri BUT
Dalam pasal 5 UU PPh diatur tentang Objek Pajak BUT yaitu :
1) penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai;
2) penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dilakukan atau dijalankan
oleh BUT di Indonesia;
3) penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU PPh, yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
b. Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT
Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT adalah penghasilan-penghasilan yang
diterima atau diperoleh Badan Luar Negeri yang bukan berasal dari usaha atau kegiatan
di Indonesia tetapi berupa penghasilan modal (passive income). Contohnya adalah
penghasilan dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah, maupun capital gain.

A. KLASIFIKASI OBJEK PAJAK BADAN


Objek Pajak Badan diatur dalam Pasal 4 UU PPh. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh diatur
penghasilan-penghasilan yang menjadi objek pajak. Dalam Pasal 4 ayat (2) ditentukan bahwa
jenis-jenis penghasilan tertentu pajaknya ditetapkan secara final. Selain itu dalam Pasal 4 ayat
(3) ditetapkan jenis-jenis penghasilan tertentu yang bukan merupakan objek pajak. Dari semua
jenis penghasilan di Indonesia dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu :
A. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang dipotong PPh tidak bersifat Final (Pasal 4
ayat (1));
B. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak (Pasal 4 ayat (3)).
C. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh Final (Pasal 4 ayat (2));

Penjelasan mengenai penggolongan penghasilan:

5
Pajak Penghasilan Badan

A. Pasal 4 ayat (1) UU PPh pada dasarnya menyatakan bahwa objek pajak badan adalah
tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis tersebut dapat
dikelompokkan manjadi 3 macam yaitu :
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan
a. laba usaha;
b. premi asuransi (yang diterima perusahaan asuransi);
c. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
d. hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan (yang diterima badan);
2. Penghasilan dari modal (investasi)
a. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
c. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
d. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
e. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

3. Penghasilan lain-lain
a. hadiah dari undian;
b. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
c. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
d. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
e. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
f. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
g. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
h. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
i. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
j. surplus Bank Indonesia.

B. Klasifikasi Penghasilan Bukan Objek Pajak (Pasal 4 ayat (3))


Jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (3) jo.
PMK.-245/PMK.03/2008 dapat dikelompokkan menjadi beberapa kriterita/alasan yaitu :
1. Alasan Pengalihan Titik Pemajakan

6
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan titik
pemajakan adalah:
a. 1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah
dan para penerima zakat yang berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan atau badan pendidikan
atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah;
Penghasilan-penghasilan diatas bukan merupakan objek pajak karena titik pemajakan
atas penghasilan tersebut bukan pada pihak yang menerima tetapi pada pihak yang
memberikan penghasilan. Pihak yang menyerahkan penghasilan dikenakan pajak dengan
cara tidak dapat membiayakan pengeluaran tersebut. Dengan demikian pajak atas
sumbangan, bantuan dan penggantian dalam bentuk natura dikenakan bukan pada pihak
yang menerima sumbangan, bantuan atau natura tetapi pada pihak yang memberikan
penghasilan tersebut.
2. Alasan Pengalihan Saat Pemajakan
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan saat pemajakan
adalah iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai.
Pajak atas pembayaran pensiun dialihkan saat pengenaannya, yaitu pada saat menerima
pensiun sedangkan pada saat membayar iuran pensiun dibebaskan dari pengenaan pajak
(bagi dana pensiun yang menerima bukan penghasilan dan bagi peserta yang iuran
pensiunnya dibayar perusahaan bukan penghasilan).
3. Alasan Insentif Investasi
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan insentif investasi adalah:
a. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha
Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal, dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan; PMK-234/PMK.03/2009.
c. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima)
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
d. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan; dan

7
Pajak Penghasilan Badan

2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.


e. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
Selanjutnya PP yang dimaksud adalah PP No. 130 Tahun 2000 tanggal 15
Desember 2000 yang mengatur bahwa yang dapat dibebaskan dari PPh adalah
utang debitur kecil, yaitu utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari 350 juta,
termasuk :
- Kukesra (Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera);
- KUT (Kredit Usaha Tani);
- KPRSS (Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana);
- KUK (Kredit Usaha Kecil);
- Kredit lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan BI dalam rangka
mengembangkan usaha kecil dan koperasi (yang merupakan jumlah
kumulatif dari satu atau beberapa bank kreditur).
Pembebasan utang terhadap Wajib Pajak Badan yang melakukan restrukturisasi
perusahaan dengan melaksanakan program Pemerintah mengikuti ketentuan yang
ditetapkan BPPN diatur dalam KEP-237/PJ./2001 tanggal 28 Maret 2001 jo. KEP-
563/Pj./2001 tanggal 8 Agustus 2001 yang menetapkan bahwa Wajib Pajak tersebut
dapat memilih pengakuan penghasilan :
- sekaligus dalam tahun diperolehnya pembebasan utang;
- dialokasikan dalam jangka waktu 5 tahun dalam jumlah yang sama besar
(20% per tahun);
- Wajib Pajak memberitahukan ke KPP dengan formulir yang sudah
disediakan, selambat-Iambatnya pada saat SPT Tahunan PPh disampaikan ke
KPP, tidak memberitahukan berarti diakui sekaligus;
- Sedangkan pengakuan penghapusan piutang dapat diakui oleh kreditur
secara sekaligus pada tahun penghapusan piutang.
4. Alasan Penegasan Standar Akuntansi
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan penegasan standar akuntasi
adalah :
a. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
b. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi;

C. Objek Pajak Yang Dikenakan PPh Final


Dibawah ini adalah Daftar Objek Pajak Badan yang dikenakan pajak bersifat final
NO OBJEK PAJAK TARIF DASAR HUKUM
1. Penghasilan transaksi penjualan saham di 0,1% x Ph Bruto PP No. 41/1994 jo.
bursa efek: (0,1% x PPh Bruto) + PP No. 14/1997 jo.
- untuk semua transaksi semua saham (0,5% x nilai saham KMK-
- untuk transaksi penjualan saham pada saat IPO) 282/KMK.04/1997 jo
sendiri SE-06/Pj.04/1997

2. Penghasilan berupa hadiah undian 25% X Ph Bruto PP No. 132/2000


3. Penghasilan bunga deposito, termasuk 20% x Ph Bruto
PP No. 131/2000
simpanan pada bank DN yang memiliki
cabang di LN

8
4. Penghasilan bunga tabungan, jasa, giro, 20% x Ph Bruto
dan diskonto
5. Penghasilan dari sewa tanah dan/atau 10 % x Ph Bruto
PP No. 5/2002
bangunan
6. Penghasilan perusahaan ventura dari 0,1 % x Ph bruto
transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan
pasangan usaha (syarat :merupakan PP No.4/1995
pengusaha kecil dan sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia)
7. Penghasilan yang diterima WP 1,2 % X Ph bruto KMK-
perusahaan pelayaran DN 416/KMK.04/1996 jo.
SE-29/PJ.04/1996
8. Penghasilan yang diterima WP 2,64 % x Ph bruto
KMK-417/KMK.04/
perusahaan pelayaran LN dan/atau
1996
penerbangan LN
9. Penghasilan yang diterima/diperoleh PP No. 139/2000
berupa bunga atau diskonto obligasi yang KMK-
dijual di bursa efek : 15 % x Ph Bruto 558/KMK.04/2000
- Diterima WP DN 20 % x Ph Bruto PP No. 6/2002
- Diterima WP LN PMK-
256/PMK.03/2008
10. Penghasilan berupa selisih lebih karena 10% x selisih dari nilai KMK-
revaluasi aktiva tetap appraisal dan NSBF 486/KMK.03/2002

11. Pungutan PPh atas penyerahan premium,


solar, premix kepada :
- SPBU Pertamina 0,25 % x penjualan
- SPBU Swasta 0,30 % x penjualan
12. Pungutan PPh oleh Pertamina dan Badan 0,30 % x penjualan
Usaha selain Pertamina atas penyerahan
minyak tanah, gas LPG, dan pelumas
13. Penghasilan dari penjualan harta di
Indonesia yang diterima WP LN selain
BUT di Indonesia
14. Dan premi asuransi yang dibayarkan 20 % x perkiraan Ph
kepada perusahaan asuransi di LN bruto atau sesuai tarif Pasal 26 UU PPh
Tax Treaty
15. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi 20 % x perkiraan Ph
pajak dari suatu BUT di Indonesia (kecuali bruto atau sesuai tarif
penghasilan tersebut ditanamkan kembali Tax Treaty Pasal 26 UU PPh
di Indonesia)
16. Penghasilan yang diterima /diperoleh WP 20 % x perkiraan Ph
LN atas penghasilan yang bersumber dari bruto atau sesuai tarif
Indonesia berupa : Tax Treaty
- dividen
- bunga, termasuk premium,
diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan
Pasal 26 UU PPh
pengembalian utang
- royalti, sewa, dan penghasilan
lain sehubungan dengan
penggunaan harta
- hadiah dan penghargaan
- banyaknya

9
Pajak Penghasilan Badan

CARA MENGHITUNG PPh TERUTANG


Penghitungan PPh terutang dapat dilihat dalam Pasal 16 UU PPh. Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan dengan biaya
yang berkaitan dengan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek
Pajak. Pengurangan tersebut akan menghasilkan penghasilan neto. Untuk mencari PPh yang
terutang, penghasilan neto yang merupakan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dikalikan tarif pasal 17
UU PPh.

TARIF PAJAK
Sebelum Tahun 2009 (Berdasarkan UU PPh No 17 Tahun 2000)
Wajib Pajak Badan dikenakan pajak penghasilan dengan tarif sesuai pasal 17 UU PPh sebagai berikut :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp 50.000.000,00 10 % (sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000 15 % (lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00 30 % (tiga puluh persen)

Contoh :
Penghasilan Kena Pajak Rp 70.000.000,00
PPh terutang
- 10% x 50.000.000 Rp. 5.000.000,00
- 15% x 20.000.000 Rp. 3.000.000,00
Jumlah PPh terutang Rp 8.000.000,00

Per 1 Januari Tahun 2009 (Berdasarkan UU PPh No 36 Tahun 2008)


Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan
persen) Pasal 17.
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)
dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) Pasal
31E.
Contoh :
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta
rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50%
(lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT
Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00
Contoh:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah)
dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00:Rp30.000.000.000,00)xRp3.000.000.000,00= Rp480.000.000,00
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:

10
Rp 3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
- (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
- 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00(+)
- Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp 772.800.000,00

Contoh Kasus Objek Penghasilan Badan:


KASUS 1
PT Indo Wood adalah sebuah perusahaan plywood. Dengan terjadinya krisis ekonomi maka omzet
plywood menurun drastis karena selama ini tidak mengekspor dan hanya menjual produknya dalam
negeri. PT IndoWood mengalami kerugian untuk tahun pajak 2005 dan 2006. Karena PT IndoWood
banyak mendapat kredit dari bank maka dengan adanya krisis, kredit tersebut macet dan PT
IndoWood masuk program BPPN. BPPN merestrukturisasi hutang PT IndoWood dengan skema
pembebasan sebagian hutang dan penjadwalan kembali pembayaran hutang. Mulai tahun 2007 PT
IndoWood melakukan ekspor plywood. Untuk memperkuat permodalan, maka PT Indo Wood
berniat menjual sahamnya di bursa efek. Agar nilai saham meningkat pada saat penawaran saham
perdana, aktiva tetap PT IndoWood di-revaluasi dan kemudian PT IndoWood dimerger dengan PT
Woodindo, suatu perusahaan yang masih satu group. Untuk menambah modal kerja dan karena ingin
berkonsentrasi ke usaha inti, PT IndoWood telah menjual investasi-investasi saham di bursa efek
segera setelah saham-saham tersebut memberikan dividen.
Pertanyaan:
Selain pendapatan penjualan plywood, penghasilan-penghasilan apa saja yang menjadi objek pajak PT
IndoWood dalam kasus diatas?
Pembahasan:
Pendapatan PT Indowood yang menjadi objek pajak sebagai berikut :

Objek Pajak Final ( Pasal 4 ayat (1) ) Objek Pajak Final ( Pasal 4 ayat (2) )
1. pendapatan berupa pembebasan hutang sebesar 1. selisih lebih revaluasi aktiva tetap sebesar
jumlah hutang yang dibebaskan selisih, antara nilai pasar dan nilai buku
2. selisih lebih antara harga pasar dengan nilai aktiva yang direvaluasi. Selisih lebih
sisa buku pada ssat penggabungan (merger) revaluasi ini dikenakan PPh Final 10 % dari
3. keuntungan selisih kurs karena PT Indowwod nilai selisih lebih revaluasi.
sudah bertransaksi ekspor 2. hasil penjualan saham dibursaefek (tidak
4. pendapatan dividen saham. Diasumsikan PT memandang untung atau rugi), dikenakan
Indowood berinvestasi saham untuk PPh Final sebesar 0,1 % dari nilai penjualan.
memanfaatkan dana menganggur saja sehingga
kepemilikan kurang dari 25 %

Contoh Kasus Bukan Objek PPh Badan


KASUS 2
PT Indo Garment telah mengubah divisi distribusinya menjadi perusahaan tersendiri karena ada
pemodal baru, PT Investor, yang mau bergabung. Kepemilikan modal di perusahaan tersebut 76%
oleh PT Indo Garment dan 24% oleh PT Investor. Kedua pihak sepakat menyetorkan modal berupa
uang tunai maupun Aktiva Tetap senilai @ 1 miliar. PT baru tersebut diberi nama PT Distributindo.
PT Indo Garment juga menghibahkan 2 buah mobil box bekas dengan nilai pasar 100 juta. RUPS PT
Distributindo memutuskan untuk tahun 2007 membagikan dividen senilai Rp 100 juta (Rp 24 juta
untuk PT Investor dan Rp 76 juta untuk PT Indo Garment). Selain itu RUPS juga memutuskan untuk
membeli garment dari PT Indo Garment dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar agar laba
PT Indo Garment menurun sehingga jumlah pajak PT Indo Garment lebih kecil.

11
Pajak Penghasilan Badan

Pertanyaan:
1. Berdasarkan kasus diatas, identifikasikan penghasilan-penghasilan PT Indo Garment yang
menjadi objek Pajak, selain hasil penjualan garmen !
2. Identifikasi juga penghasilan PT Distributindo dan PT Investor yang menjadi objek pajak
Pembahasan :

Objek Pajak Tidak Final ( Pasal 4 ayat (1) Bukan Objek Pajak Tidak ( Pasal 4
ayat (3)
PT Indo Garment :
Selisih antara harga pasar garmen dengan harga jual garmen ke Penghasilan dividen dari PT
PT Distributindo merupakan objek pajak. Seharusnya (anak Distributindo sebesar Rp. 76 jt
perusahaan) sesuai dengan harga wajar dan tidak melakukan karena kepemilikan saham lebih
transfer pricing. Transfer pricing pada saat PT Distributindo dari 25 %
masih merupakan divisi distribusi PT Indogarment tidak
menimbulkan efek pajak, tetapi bila transfer pricing terjadi antar
perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka ada
konsekuensi pajaknya
PT Distributindo
Pendapatan dari hibah 2 mobil box dengan nilai pasar Rp. 100 jt Penyetoran modal sebesar Rp. 1 M
PT Investor
Penghasilan dividen dari PT Distributindo sebesar Rp. 24 jt
karena kepemilikan saham kurang dari 25 %

PPh Final Berdasarkan PP 46 Tahun 2013


Di pertengahan tahun 2013, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun
2013 (PP 46 2013), selanjutnya terbit pula peraturan pelaksananya PMK-107/PMK.011/2013, SE-
42/PJ/2013. Peraturan ini mengatur pengenaan tarif pajak 1% sebagai berikut:

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto
tertentu dikenai PPh bersifat Final. WP dimaksud memiliki kriteria sebagai berikut:
a. WP Orang Pribadi atau Badan, tidak termasuk BUT; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk dari jasa sehubungan dengan pekerjaa
bebas (bagi WP Orang Pribadi), dengan peredaran bruto tidak melebih 4.800.000.000,-
dalam 1 (satu) tahun pajak.

Peredaran bruto yang tidak melebihi 4.800.000.000 pada huruf b diatas ditentukan berdasarkan
peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran
bruto dari:
a. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (WP OP)
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri
c. Usaha yang atas penghsilannya telah dikenai PPh Final
d. Penghasilan yang dikecualikan sebagai Objek Pajak

12
Tidak termasuk WP Badan (dalam pengenaan PP 46) adalah:
a. WP badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. WP Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial
memperoleh peredaran bruto melebihi 4,8 milyar

PPh terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.
Pengenaan PPh berdasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam setahun dari tahun Pajak
sebelumnya.
Contoh:
PT.Jon Bersaudara, diketahui melalui SPT PPh Badan tahun 2012 memiliki peredaran Bruto
sebesar 3.500.000.000. dan pada bulan Juli, Agustus 2013 peredaran bruto sebesar 200.000.000
dan 300.000.000. maka sejak masa Juli 2013 (mulai berlaku ketentuan PP 46) PT.Jon Bersaudara
dikenai PPh Final 1% sebagai berikut:
Masa Juli 2013 : 1% x 200.000.000 = 2.000.000
Masa Agustus 2013 : 1% x 300.000.000 = 3.000.000

13
Pajak Penghasilan Badan

BAB III
REKONSILIASI FISKAL

PENGANTAR
Dari pembahasan pada modul PPh Orang Pribadi, kita dapat memahami bahwa PPh terutang
dapat dihitung dengan 2 cara yaitu menggunakan norma serta dengan pembukuan. Penghitungan
dengan norma relatif sederhana tetapi hanya usaha berskala kecil milik Orang Pribadi saja yang
diperbolehkan menggunakannya. Pengetahuan tentang perpajakan serta kebutuhan akan tenaga
perpajakan lebih banyak dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan yang harus menggunakan
pembukuan dalam penghitungan pajak.
Dalam menghitung PPh terutang, Orang Pribadi yang mengadakan pembukuan atau
perusahaan tetap mendasarkan diri dari laporan keuangan yang dibuat oleh Orang
Pribadi/perusahaan secara komersial. Dari laporan keuangan komersial tersebut selanjutnya
dilakukan Rekonsiliasi Fiskal yaitu suatu mekanisme penyesuaian pelaporan penghasilan WP secara
komersial menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akhirnya dihasilkan
laba/rugi fiskal.
A. Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi Fiskal dilakukan baik untuk pos-pos pendapatan maupun pos-pos biaya. Secara
ringkas dilakukan rekonsiliasi fiskal dalam hal :
a. WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Apabila WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final maka penghasilan tersebut
harus direkonsiliasi (dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun)
karena atas penghasilan tersebut telah dikenakan PPh Final sehingga kewajiban
pembayaran pajaknya sudah selesai. Selanjutnya PPh Final yang sudah dibayar/dipotong
atas penghasilan tersebut tidak boleh lagi menjadi kredit pajak.
Contoh : Perusahaan mendapatkan bunga dan Jasa giro dari bank. Penghasilan tersebut
harus dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun (direkonsiliasi)
karena sudah dipotong PPh final oleh bank.
b. WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (Pasal 4 ayat (3))
Apabila WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak maka penghasilan
tersebut harus juga direkonsiliasi karena WP tidak perlu membayar PPh atas penghasilan
tersebut.
Contoh : PT Senior memperoleh dividen dari PT Junior yang merupakan anak
perusahaan sebesar Rp 100 juta. Penyertaan PT Senior pada PT Junior sebesar 45 %.
Penerimaan dividen tersebut tidak perlu diperhitungkan sebagai penghasilan dalam
menghitung PPh terutang perusahaan tersebut pada akhir tahun karena bukan
merupakan obyek pajak.
c. WP mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan / Non
Deductible Expense (Pasal 9)
Apabila WP mengeluarkan biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan maka
biaya tersebut tidak bisa diperhitungkan dalam menghitung PPh terhutang pada akhir

14
tahun (direkonsiliasi). Perlakuan yang berbeda atas biaya jenis ini menimbulkan adanya
Beda Tetap yaitu perbedaan yang benar-benar riil serta bersifat pasti dan tetap karena
antara SAK dan UU PPh terjadi pengaturan yang berbeda. Atas beda tetap ini Wajib
Pajak harus mengoreksi perbedaan yang timbul.
Contoh beda tetap :
- Penggantian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan menurut PSAK adalah
biaya sedangkan menurut pajak bukan biaya
- Kerugian usaha di luar negeri menurut PSAK boleh dikurangkan sedangkan
menurut pajak tidak boleh
- Sanksi administrasi perpajakan menurut PSAK boleh menjadi biaya sedangkan
menurut pajak tidak boleh.
d. WP mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang tetapi metode pengakuan biaya
tersebut diatur tersendiri oleh ketentuan fiskal.
Apabila WP mengeluarkan biaya yang metode pengakuannya diatur tersendiri oleh
ketentuan pajak maka besarnya biaya yang boleh menjadi pengurang juga harus
disesuaikan dengan ketentuan pajak.
Contoh :
Truk seharga 100 juta secara akuntansi dapat saja disusutkan selama 5 tahun. Tetapi menurut
pajak truk tersebut harus disusutkan selama 8 tahun. Akibatnya akan terjadi selisih biaya
penyusutan setiap tahunnya.
Selisih yang timbul akibat perbedaan metode pengakuan biaya antara SAK dan PPh disebut
beda waktu. Pada prinsipnya jumlah pembebanan antara laporan komersial dan fiskal akan
menemui jumlah kumulatif yang sama. Jadi yang membedakan hanyalah alokasi pada periode
berjalan.
e. WP mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk mendapatkan
pendapatan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan objek pajak
serta pendapatan yang yang dikenakan PPh Non Final (Joint Cost)
Apabila WP mengeluarkan biaya yang semata-mata digunakan untuk mendapatkan
penghasilan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan objek pajak,
maka biaya tersebut harus direkonsiliasi seluruhnya. Adalah hal yang logis bila suatu
penghasilan direkonsiliasi maka biaya yang benar-benar terkait untuk mendapatkan
penghasilan tersebut juga ikut direkonsiliasi. Tetapi jika biaya tersebut digunakan untuk
mendapatkan semua jenis penghasilan, misalnya biaya penyusutan gedung, maka biaya
yang boleh menjadi pengurang penghasilan harus dihitung secara proporsional.
Contoh :
Dana Pensiun XYZ memiliki penghasilan sebagai berikut :
· penghasilan yang bukan obyek pajak (Pasal 4 ayat (3h) Rp. 100.000.000,00
· penghasilan bruto lainnya (Objek Pajak) Rp. 300.000.000,00
Jumlah penghasilan bruto Rp. 400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00, maka biaya yang boleh dikurangkan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar ¾ x Rp
200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.

B. Contoh format Rekonsiliasi fiskal sebagai berikut :


Akun Komersial Rekonsiliasi Fiskal

15
Pajak Penghasilan Badan

Peredaran usaha (tidak final) Rp. 1.000.000.000,- - Rp. 1.000.000.000,-


Biaya usaha (deductible
Rp. 800.000.000,- - Rp. 800.000.000,-
expense)
Biaya piknik (non deductible) Rp. 50.000.000,- Rp. 50.000.000,- Rp. 0,-
Laba operasi Rp. 150.000.000,- Rp. 50.000.000,- Rp. 200.000.000,-
Penghasilan bunga, jasa giro
Rp. 10.000.000,- Rp. 10.000.000,- Rp. 0,-
(final)
Laba bersih Rp. 160.000.000,- Rp. 40.000.000,- Rp. 200.000.000,-

C. Kompensasi Kerugian
Jika Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan mengalami kerugian
dalam tahun-tahun sebelumnya maka kerugian fiskalnya dapat dikompensasi selama 5 (lima)
tahun sejak dialaminya kerugian (Pasal 6 ayat (2) UU PPh).
Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan diisi oleh Wajib Pajak yang
menyelenggarakan pembukuan. Kompensasi yang boleh diisikan adalah jumlah kerugian fiskal
yang telah terjadi untuk tahun pajak 5 (lima) tahun.
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperbolehkan secara fiskal terdapat kerugian fiskal
maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama
5 (lima) tahun berturut-turut di mulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatkannya
kerugian tersebut.
Contoh :
PT ABC dalam tahun 2008 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.1.200.000.000,00. Periode 5 tahun
berikutnya rugi laba fiskal PT ABC sebagai berikut :
Tahun 2009, laba fiskal = Rp. 200.000.000,00
Tahun 2010, rugi fiskal = (Rp. 300.000.000,00)
Tahun 2011, laba fiskal = NIHIL
Tahun 2012, laba fiskal = Rp. 100.000.000,00
Tahun 2013, laba fiskal = Rp. 800.000.000,00
Kompensasi kerugian sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2009 = Rp. 200.000.000,00 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2010 = Rp. 300.000.000,00
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2011 = NIHIL
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2012 = Rp. 100.000.000,00 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2013 = Rp. 800.000.000,00 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 100.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 sebesar Rp. 100 juta tersebut sudah tidak bisa lagi dikompensasikan
karena jangka waktu kompensasi selama lima tahun sudah kadaluwarsa.

Contoh Kasus Rekonsiliasi Fiskal I


KASUS 1
Dana Pensiun XYZ adalah dana pensiun yang didirikan oleh PT BUMN untuk mengelola
iuran pensiun para karyawannya. Hasil iuran pensiun yang terkumpul setiap bulannya
diinvestasikan dalam bentuk deposito. Karena suku bunga deposito yang cenderung menurun maka
manager investasi Dana Pensiun XYZ ingin berinvestasi di saham-saham serta obligasi di bursa efek
yang memberikan hasil yang lebih besar. Penghasilan dari investasi saham di bursa ada 2 macam

16
yaitu laba jual beli saham (capital gain) dan penghasilan berupa dividen sedangkan penghasilan
investasi di obligasi berupa bunga / diskonto obligasi.
Mulai tahun 2008 direksi PT BUMN mengusulkan agar iuran pensiun yang terkumpul
diinvestasikan dalam bentuk penyertaan modal dengan prosentase kepemilikan sebesar 20% serta
pinjaman kepada PT PUTRA BUMN, anak perusahaan PT BUMN, karena PT PUTRA BUMN
sedang membutuhkan dana untuk pengembangan usahanya.
Perincian penghasilan dan biaya tahun 2008 sebagai berikut :
Penghasilan :
- Bunga deposito Rp. 1.000.000.000
- Bunga obligasi di bursa Rp. 1.500.000.000
- Dividen saham di bursa Rp. 200.000.000
- Capital gain jual beli saham di bursa Rp. 2.000.000.000
- Bunga pinjaman ke PT Putra BUMN Rp. 500.000.000
- Dividen dari PT Putra BUMN Rp. 100.000.000
Jumlah Total Penghasilan Rp. 5.300.000.000
Biaya :
- Biaya transaksi saham di bursa saham efek Rp. 150.000.000
Biaya transaksi obligasi di bursa saham efek Rp. 200.000.000
- Biaya operasional kantor (joint cost) Rp. 2.000.000.000
Pertanyaan:
Manajer investasi Dana Pensiun XYZ bertanya kepada anda penghasilan apa saja yang menjadi
objek pajak Dana Pensiun tersebut dan biaya-biaya apa saja yang dapat menjadi pengurang
penghasilan. Lebih jauh lagi ia bertanya bagaimana cara menghitung pajak dana pensiun.

Fiskal
Bukan objek pajak
Objek pajak tidak Objek pajak final
Penghasilan Komersial (pasal 4 ayat (3) UU
final (pasal 4 ayat (pasal 4 ayat (2) UU
PPh)
(1) UU PPh) PPh)

Bunga deposito diterima


Rp.1.000.000.000 Rp. 1.000.000.000
Dana Pensiun
Bunga obligasi di bursa
Rp.1.500.000.000 Rp. 1.500.000.000
diterima Dana Pensiun
Dividen saham di bursa
Rp. 200.000.000 Rp. 200.000.000
diterima Dana Pensiun
Capital gain jual beli saham
Rp.2.000.000.000 Rp. 2.000.000.000
di bursa
Bunga pinjaman dari PT
Rp. 500.000.000 Rp. 500.000.000
Putra BUMN
Dividen dari PT Putra
Rp. 100.000.000 Rp. 100.000.000
BUMN
Jumlah Pemasukan Rp.5.300.000.000 Rp. 600.000.000 Rp. 2.000.000.000 Rp. 2.700.000.000
Biaya :
Non Deductible Expense:
Biaya transaksi saham di Rp. 150.000.000 Rp. 150.000.000
bursa saham efek
Biaya transaksi obligasi di Rp. 200.000.000 Rp. 200.000.000
bursa saham efek
Non Deductible
Expense :
1. biaya transaksi saham di
bursa saham efek Rp. 150.000.000 Rp. 150.000.000

2. biaya transaksi obligasi di


Rp. 200.000.000 Rp. 200.000.000
bursa saham efek
Deductible Expense :

17
Pajak Penghasilan Badan

1. bagian dari join cost


secara proporsional
menurut perbandingan
penghasilan objek pajak
Rp.2.000.000.000 Rp. 226.415.000 Rp. 754.716.981 Rp. 1.018.867.925
tidak final dengan total
penghasilan
600.000 x Rp. 2M
5.300.000
Laba secara komersial Rp.2.950.000.000 Rp. 373.585.000 Rp. 1.095. 283.019 Rp. 1.679.132.075

Penjelasan:
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf g UU PPh, iuran yang diterima Dana Pensiun bukan
merupakan objek pajak. Sedangkan berdasarkan pasal 4 ayat (3) huruf h UU PPh jo KMK-
651/KMK.04/1994 jo SE-16/PJ.4/1995 jo. PMK 252/MK.03/2008 hasil investasi Dana Pensiun
dalam bentuk bunga deposito, bunga obligasi dan pasar modal serta dividen saham, bukan objek
pajak. Penghasilan berupa capital gain / biaya berupa capital loss direkonsiliasi karena transaksi
di bursa dikenakan PPh final 0,1%.
Penghasilan bunga dividen dan bunga dari PT PUTRA BUMN tidak terdapat dalam daftar
penghasilan yang bukan objek pajak dan tidak pula tercantum dalam daftar penghasilan yang
dikenakan dari PPh final sehingga merupakan objek pajak.
Biaya yang terkait Iangsung dengan penghasilan bukan objek pajak dan penghasilan final
tidak boleh menjadi pengurang. Yang diperbolehkan adalah biaya yang terkait langsung dengan
penghasilan yang termasuk objek pajak. Jika terdapat biaya yang digunakan secara bersama-
sama untuk mendapatkan semua jenis penghasilan diatas maka biaya yang diakui sebagai
pengurang penghasilan dihitung secara proporsional.

18
BAB IV
BIAYA FISKAL

PENGANTAR
Kita sudah pernah belajar bahwa untuk mendapatkan laba fiskal kita harus melakukan
rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal ini dilakukan atas semua pendapatan dan biaya perusahaan.
Rekonsiliasi atas pendapatan dilakukan terhadap pendapatan-pendapatan yang bukan merupakan
objek pajak (Pasal 4 ayat (3)) serta penghasilan-penghasilan yang telah dikenakan PPh Final pasal 4
ayat (2).
Sedangkan biaya yang tidak diakui secara fiskal adalah :
a. biaya-biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
b. biaya yang dikeluarkan untuk 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang
bukan Objek Pajak yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh.
c. biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
bersifat final yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan aturan pelaksanaannya.
d. biaya yang biasa diterapkan di luar praktik akuntansi yang sehat (kondisi tidak wajar)
e. biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya (antara lain tidak menggunakan bukti,
daftar nominatif, dan tanpa dokumen)
f. Pajak Masukan yang memenuhi kriteria :
a) Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP termasuk Faktur Pajak cacat, kecuali dapat dibuktikan
bahwa atas Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar oleh PKP.
b) Faktur Pajak yang dibuat atas perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan pasal 9 ayat (1)
UU PPh.
g. Biaya untuk 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang dikenakan pajak
berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Norma Penghitungan Khusus
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 15 UU PPh dan aturan pelaksanaannya.
Apabila terdapat biaya-biaya yang digunakan secara bersama-sama baik untuk mendapatkan
penghasilan yang merupakan objek pajak, penghasilan yang dikenakan PPh Final maupun
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (Joint Cost), maka besarnya biaya yang dapat
dikurangkan dihitung berdasarkan proporsi jumlah pendapatan yang merupakan objek pajak dengan
jumlah pendapatan yang dikenakan PPh final dan penghasilan yang bukan objek pajak (penjelasan
Pasal 6 UU PPh)

PENGGOLONGAN BIAYA FISKAL


Biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan untuk menjalankan usaha/kegiatannya tidak
seluruhnya diakui oleh pajak sebagai pengurang. Pada prinsipnya biaya tersebut dibedakan menjadi 3
(tiga) yaitu :
1. BIAYA YANG MERUPAKAN PENGURANG PENGHASILAN TANPA SYARAT APAPUN
YAITU:
a. Beban atau biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 tahun (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh).
Contohnya : biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
termasuk upah gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk

19
Pajak Penghasilan Badan

uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi,
biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. Kerugian dan selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh)
2. BIAYA YANG MERUPAKAN PENGURANG PENGHASILAN DENGAN SYARAT-SYARAT
TERTENTU YAITU :
a. Beban penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyi manfaat
lebih dari 1 tahun (pasal 6 ayat (2)).
Syarat : Harta berwujud yang penyusutannya dapat dibiayakan atau harta tidak berwujud
yang dapat amortisasinya dapat dibiayakan adalah harta yang dimiliki dan digunakan
(syarat kumulatif) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (pasal 11
ayat (1) dan Pasal 11 A ayat (1));
b. Iuran kepada dana pensiun (Pasal 6 ayat (1) huruf c UU PPh).
Syarat : Dana Pensiun yang menerima iuran pensiun tersebut pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan;
c. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta (Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh).
Syarat : Harta yang dijual atau dialihkan dimiliki dan digunakan (syarat kumulatif) dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
d. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan (Pasal 6 ayat (1) huruf f UU PPh).
Syarat : Penelitian tersebut dilakukan di Indonesia;
e. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan (Pasal 6 ayat (1) huruf g UU PPh);
Syarat : Berkaitan dengan kepentingan perusahaan;
f. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh)
Syarat : memenuhi 4 syarat kumulatif sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) jo PMK-
57/PMK.03/2010yaitu :
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang
tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU
PPh
g. Sumbangan dalam rangka penanganan bencana nasional
h. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
i. Biaya pembangunan infrastruktur sosial
j. Sumbangan fasilitas pendidikan
k. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
Syarat untuk point g, h, i, j, k berdasarkan PP 93 tahun 2010
1. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun Pajak Sebelumnya
2. Pemberian subangan dan/atau tidak menyebabkan kerugian pada tahun pajak Sumbangan
dan/atau biaya diberikan.
3. Didikung oleh bbukti yang sah; dan

20
4. Lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Pajak Penghasilan.

Khusus untuk biaya pembangunan infrastuktur soisla atau CSR (Corporate Social Responsibility) ada
syarat tambahan yaitu:
1. Besarnya biaya yang dapat dikurangkan untuk 1 (satu) tahun tidak melebihi 5% (lima persen) dari
penghasilan neto Fiskal tahun pajak sebelumnya,
2. Diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.

3. BIAYA-BIAYA YANG TIDAK DAPAT DIJADIKAN PENGURANG (PASAL 9 UU PPH)


Jenis-jenis biaya yang tidak bisa dikurangkan berdasarkan Pasal 9 UU PPh dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kriteria/alasan yaitu :
a. Alasan Pengalihan titik pemajakan
Titik pemajakan atas pengeluaran-pengeluaran dibawah ini bukan pada pihak yang
menerima tetapi pada pihak yang melakukan pengeluaran. Pihak yang melakukan
pengeluaran dikenakan pajak dengan cara tidak dapat membiayakan pengeluaran
tersebut. Pengalihan titik pemajakan dilakukan karena Iebih mudah mengenakan pajak
kepada WP Badan yang mengeluarkan biaya daripada mengenakan pajak kepada pihak
yang menerima penghasilan. Biaya-biaya yang masuk kategori non deductable karena
alasan pengalihan titik pemajakan adalah:
a. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu atau anggota. (Pasal 9 ayat (1) huruf b); dan
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya. (Pasal 9 ayat (1) huruf i)
Pengeluaran semacam ini dapat juga berbentuk pengeluaran dalam jumlah yang
melebihi kewajaran untuk kepentingan pihak yang memiliki hubungan istimewa
dan keluarganya yang Iebih merupakan dividen terselubung.
Contoh : Pengeluaran untuk biaya sekolah anak direksi/pemegang saham, biaya
perbaikan rumah direksi/pemegang saham, biaya perawatan mobil pribadi
direksi/pemegang saham dan lain-lain. WP Badan yang melakukan pengeluaran
kepada pemegang saham atau pihak yang memiliki hubungan istimewa atau orang
yang menjadi tanggungannya dikenakan pajak dengan cara tidak dapat
membiayakan pengeluaran tersebut.
c. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk
agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah ((pasal 9 ayat (1) huruf g).
Contoh : Induk Perusahaan menghibahkan sebagian assetnya untuk anak
perusahaan. Induk perusahaan dikenakan pajak dengan cara harta yang dihibahkan
tersebut tidak boleh menjadi pengurang penghasilan.
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai secara bersama-sama di tempat usaha atau pekerjaan, serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu
dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan. (pasal 9 ayat (1) huruf e).

21
Pajak Penghasilan Badan

Contoh : Pemberian pakaian seragam yang tidak berhubungan dengan keselamatan


kerja pegawai, pemberian parcel untuk pegawai dan biaya catering yang hanya
diberikan kepada direksi tidak dapat dijadikan biaya menurut pajak. Perusahaan
yang memberikan natura/fasilitas dikenakan pajak dengan cara tidak boleh
membebankan natura/fasilitas sebagai pengurang.
b. Alasan Pengalihan saat pemajakan
Saat pemajakan atas biaya-biaya berupa premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak
orang pribadi tidak bisa dijadikan biaya, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan
premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (pasal 9
ayat (1) huruf d)
Contoh :
Pegawai mengikuti program Jamsostek, dimana sebagian dibayar oleh perusahaan dan
sebagian lagi dibayar sendiri oleh pegawai. Pembayaran iuran Jamsostek yang dibayar
sendiri oleh pegawai tidak boleh menjadi biaya perusahaan (dikenakan pajak saat diawal
karena pada saat menerima klaim tidak dikenakan pajak)
c. Alasan Insentive Investasi dan Prinsip Realisasi
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak bisa dijadikan biaya kecuali
cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan (Pasal 9 ayat (1) huruf c).
Ketentuan ini merupakan insentive investasi bagi usaha bank dan sewa guna usaha
dengan hak opsi, untuk usaha asuransi, dan usaha pertambangan. Alasan lain adalah
prinsip realisasi yang dianut pajak dalam pembebanan piutang tidak tertagih dimana
piutang tak tertagih tersebut harus benar-benar tidak tertagih dengan memenuhi 4 syarat
sebagaimana tercantum dalam UU PPh No 36 Tahun 2008.
d. Alasan Membina Kepatuhan Wajib Pajak
Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak
bisa dijadikan biaya untuk membina kepatuhan Wajib Pajak . (pasal 9 ayat (1) huruf k)
Contoh : Sanksi berupa denda STP, bunga penagihan, bunga terlambat bayar dan sanksi
perpajakan lain tidak boleh menjadi biaya perusahaan agar WP berusaha menghindari
sanksi adininistrasi.
e. Menghindari Perhitungan Berganda (Multiple Counting)
Pajak Penghasilan; Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini
adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan (pasal 9 ayat
(1) huruf h)
Contoh : Pembayaran angsuran PPh pasal 25 serta pembayaran PPh pasal 29 akhir tahun
tidak boleh mengurangi penghasilan. Apabila PPh dijadikan pengurang maka
perhitungan pajaknya menjadi berulang sampai ke titik nihil.
f. Penegasan Standar Akuntansi
Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham (pasal 9 ayat (1) huruf j)
Contoh : Gaji bagi anggota firma dan CV bukanlah biaya karena firma dan CV bukan
merupakan entitas harta yang terpisah dari pemiliknya. Pembayaran gaji tersebut juga
bukan merupakan dividen karena bukan merupakan pembagian laba Firma atau CV. Jadi
anggota Firma atau CV membayar pajak melalui Firma atau CV tersebut. Apabila

22
penghasilan anggota firma atau CV semata-mata berasal dari gaji yang dibayar oleh Firma
atau CV, maka ia tidak lagi berkewajiban membayar PPh atas nama pribadinya.

4. PERLAKUAN KHUSUS BIAYA-BIAYA FISKAL


Terdapat beberapa biaya yang harus memenuhi syarat-syarat khusus agar dapat dibebankan sebagai
biaya secara fiskal. Biaya-biaya tersebut dibahas secara mendetail dibawah ini.
1. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
Pembentukan cadangan yang diperbolehkan adalah yang berdasarkan PMK 81/PMK.03/2009.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya yaitu :
A. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan
perusahaan anjak piutang, yang meliputi :
5. cadangan piutang tak tertagih untuk:
a) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
b) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
c) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
d) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah;
6. cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, yaitu cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha selain bank
umum dan bank perkreditan rakyat yang menyalurkan kredit kepada masyarakat, yang
meliputi :
a. Koperasi simpan pinjam; dan
b. PT Permodalan Nasional Madani (Persero);
7. cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu cadangan
piutang tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan menyediakan barang modal
untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara angsuran dengan hak opsi (Finance Lease);
8. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen yaitu cadangan
piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran;
9. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan piutang tak
tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas
piutang tersebut;
B. cadangan untuk usaha asuransi, yang meliputi :
1. cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan
asuransi kerugian;
2. cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa;
C. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu cadangan penjaminan untuk
lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam
memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya;
D. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan biaya untuk kegiatan
yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat
kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai
peruntukannya;
E. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, yaitu cadangan biaya
penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas

23
Pajak Penghasilan Badan

hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang
bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu; dan
F. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha pengolahan limbah industri, yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi
perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan
hasil pengolahan limbah industri.

Besarnya cadangan untuk masing-masing item dapat Anda lihat di PMK 81/PMK.03/2009 jo PMK-
219/PMK.011/2012

2. Penyediaan Makanan Dan minuman Oleh Pemberi Kerja Bagi Sebagian Pegawai Di Tempat Kerja
Tetap Deductible
Berdasarkan SE-14/PJ.31/2003 Tanggal 5 Agustus 2003 ketentuan ―penyediaan makanan dan
minuman bagi para pegawai perusahaan di tempat kerja‖ tidak mutlak harus seluruh pegawai
perusahaan termasuk dewan direksi dan dewan komisaris. Apabila terdapat sejumlah pegawai yang
tidak dapat memanfaatkan atau tidak memperoleh fasilitas in-natura tersebut di tempat kerja karena
sifat pekerjaannya tidak memungkinkan (seperti para pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi,
dan dinas luar lainnya), maka hal tersebut tidak membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip
tersebut di atas.
3. Perlakuan Zakat Atas Penghasilan Dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
Berdasarkan KEP-163/PJ./2003 tanggal 10 Juni 2003 Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat
atas penghasilan, wajib melampirkan lembar ke-1 Surat Setoran Zakat atau fotokopinya yang telah
dilegalisir oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat penerima setoran zakat yang
bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat
atas penghasilan tersebut.
Surat Setoran Zakat yang dapat diakui sebagal bukti sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama Iengkap Wajib Pajak;
b. Alamat jelas Wajib Pajak;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. Jenis Penghasilan yang dibayar zakatnya;
e. Sumber/jenis penghasilan dan bulan/tahÿÿ pÿÿolehÿÿnya;
f. Besarnya penghasilan;
g. Besarnya zakat atas penghasilan.
4. Pembayaran Pajak Dan Retribusi Daerah (PDRD) Menjadi Biaya Tahun Pajak Yang Bersangkutan
Berdasarkan SE-02/PJ.42/2002 tanggal 18 Februari 2002, semua pengeluaran untuk PDRD harus
langsung dibiayakan di tahun berjalan kecuali sanksi Bunga, Denda atau Kenaikan yang harus
dikapitalisasi.
5. Kenikmatan Dan Fasilitas Yang Diberikan Untuk Pegawai Sudah Dapat Dibiayakan 50%
Berdasarkan KEP-220/PJ./2002 tanggal 18 April 2002 tentang Perlakuan PPh atas Biaya Pemakaian
Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan jo SE-09/PJ.42/2002 tanggal 17 Mei 2002 diatur hal-hal
sbb :
a. Pembelian HP bagi pegawai untuk keperluan pekerjaan sebesar 50%nya dicatat sebagai
pembelian aktiva tetap kelompok I dan dijadikan biaya melalui penyusutan;
b. Biaya pulsa dan servis HP 50%-nya dapat menjadi biaya perusahaan;
c. Pembelian maupun perbaikan besar (capital expenditure) atas bus atau minibus yang dimiliki &
digunakan untuk antar jemput pegawai dicatat seluruhnya sebagai pembelian aktiva tetap
golongan II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan;

24
d. Biaya servis rutin atas bus atau minibus yang dimiliki & digunakan untuk antar jemput pegawai
dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya;
e. Pembelian maupun perbaikan besar (capital expenditure) atas sedan atau sejenis yang dimiliki
& digunakan pegawai tertentu karena jabatannya dicatat 50 %-nya sebagai pembelian aktiva
tetap golongan II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan;
f. Biaya servis rutin atas sedan atau sejenis yang dimiliki & digunakan pegawai tertentu karena
jabatannya dicatat 50%-nya sebagai biaya;
g. Kenikmatan bagi pegawai berupa HP & antar jemput diatas bukan penghasilan pegawai;
h. Termasuk kategori ponsel adalah pager;
i. Termasuk kategori sedan adalah minibus ( Kijang dan sejenisnya);
j. Termasuk kategori biaya pemeliharaan adalah biaya bahan bakar.
6. Pembelian Software Umum Langsung Menjadi Biaya Sedangkan Pembelian Software Khusus Harus
Melalui Amortisasi
Berdasarkan KEP-316/PJ./2002 tanggal 17 Juni 2002 tentang Perlakuan PPh atas biaya perolehan dan
upgrade software diatur hal-hal sebagai berikut
a. Perlakuan PPh atas software umum
- Software umum adalah software yang digunakan oleh users umum;
- Biaya perolehan dan upgrade software umum merupakan revenue expenditure dan diakui pada
saat pengeluaran;
- Bila software umum dibeli bersama dengan hardware maka biaya perolehannya dikapitalisasi
bersama nilai hardware dan masuk aktiva berwujud kelompok 1;
b. Perlakuan PPh atas software khusus
- Software khusus adalah program yang dirancang untuk keperluan otomatisasi kegiatan
tertentu;
- Biaya perolehan software khusus dikapitalisasi sebagai intangible asset kelompok 1 dan
diamortisasi selama 4 tahun;
Bila software khusus di-upgrade maka pengeluarannya ditambahkan pada NSBF software yang
bersangkutan dan diamortisasi dengan masa manfaat baru/penuh mulai bulan yang bersangkutan.
7. Pembayaran PBB Langsung Menjadi Biaya Sedangkan Pembayaran BPHTB Harus Melalui Amortisasi
Berdasarkan SE-01/PJ.42/2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang perlakuan PPh untuk PBB dan
BPHTB maka :
c. Biaya PBB harus langsung dibiayakan pada tahun berjalan;
d. Biaya BPHTB untuk pembelian tanah dicatat sebagai aktiva tidak berwujud dan diamortisasi
sesuai pasal 11 A sesuai masa hak atas tanah;
e. Biaya BPHTB untuk pembelian bangunan dikapitalisasi ke nilai bangunan dan didepresiasi sesuai
pasal 11;

Kasus :
PT Aneka adalah perusahaan milik keluarga Tn. Hernowo. Kantornya menempati sebagian
ruangan rumahnya. PT Aneka adalah supplier alat-alat bagi kantor-kantor seperti ATK, meja,
kursi, filling cabinet, AC,Komputer dll. Karena perusahaan keluarga maka dana untuk keperluan
keluarga Tn. Hernowo juga diambil dari kas perusahaan, misalnya untuk keperluan berobat Tn.
Hernowo biaya sekolah anak-anak Tn Hernowo, pembayaran cicilan rumah dll. Bila Tn.
Hernowo sedang membutuhkan dana untuk keperluan proyek, ia sering menggunakan uang
tabungan pendidikan anaknya & tabungan pribadi juga tabungan hajinya. Setelah proyek selesai,
tabungan tersebut diisi lagi ditambah sejumlah ―komisi‖. Tn. Hernowo merasa bahwa manajemen
keuangannya seperti diatas sudah cukup baik selama ini, terbukti ia tidak perlu berhutang ke bank
untuk melaksanakan proyek-proyeknya dan membayar gaji keponakannya yang membantu
administrasi setiap bulannya.

25
Pajak Penghasilan Badan

Pertanyaan :
Akhir bulan lalu PT Aneka diperiksa oleh Kantor Pajak dan terkena SKPKB yang cukup besar
karena dianggap pembukuannya selama ini salah. Kira-kira dimana kesalahannya ? Tn Hernowo
merasa yakin sudah dipotong pajak terutama saat menjual barang ke kantor-kantor pemerintah. Ia
meminta anda menjelaskan kesalahannya !

Pembahasan :
Kesalahan utama pembukuan PT Aneka adalah tidak memisahkan biaya-biaya perusahaan dengan
biaya untuk keperluan pribadi pemegang saham sehingga banyak biaya-biaya perusahaan yang
tidak diakui secara fiskal. Selain itu banyak biaya-biaya yang seharusnya dibebankan melalui
pembebanan penyusutan ternyata dibebankan sekaligus pada tahun berjalan.

26
BAB V
PENILAIAN HARTA PERUSAHAAN

PENGANTAR
Pada waktu kita belajar tentang penghasilan yang menjadi obyek pajak disebutkan bahwa salah
satu obyek pajak adalah keuntungan atas pengalihan harta yaitu selisih harga pasar wajar harta
tersebut dengan nilai bukunya. Tetapi kadang-kadang harga pasar wajar suatu harta susah ditentukan
karena jual beli dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Akibatnya timbul
masalah dalam penentuan berapa laba atau rugi pengalihan harta.
Disamping itu timbul juga masalah pada harga berapa seharusnya pembeli mencatat harga
perolehan harta tersebut. Bagi pembeli masalah penilaian harta menentukan biaya penyusutan atas
harta tersebut. Agar tidak terjadi perdebatan antara petugas pajak dengan Wajib Pajak tentang
masalah ini maka Fiskus menetapkan ketentuan tentang penilaian harta.
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai tata cara penilaian harta milik Wajib Pajak seperti
aktiva tetap dan persediaan. Selain itu diuraikan juga cara menghitung penghasilan sehubungan
dengan penggunaan harta dalam perusahaan, cara menghitung keuntungan atau kerugian apabila
terjadi penjualan atau pengalihan harta, dan cara penghitungan penghasilan dan penjualan barang
dagangan. (pasal 10 UU PPh)

PENILAIAN HARTA
Penilaian harta ditentukan oleh harga perolehan suatu aktiva. Dibawah ini dijelaskan penilaian harta-
harta menurut ketentuan pajak :
1. Persediaan Barang Dagangan
Untuk menilai persediaan barang dagangan metode yang diperkenankan adalah FIFO dan
rata-rata dengan mendasarkan diri pada historical cost (harga perolehan) persediaan tersebut.
Metode yang lain seperti LIFO tidak diperkenankan. (Berdasarkan pasal 10 ayat (6))
2. Aktiva Tetap (Bangunan, Mesin dan Kendaraan)
Yang termasuk harga perolehan aktiva tetap adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan
dalam rangka memperoleh harta tersebut seperti bea masuk, biaya angkut, dan biaya
pemasangan. ( Berdasarkan pasal 10 ayat (1)).
Contoh :
Mesin diimpor dengan harga (Nilai Impor) Rp. 100 juta. Biaya pengangkutan dari pelabuhan ke
pabrik, biaya pemasangan, pengetesan dan lain-lain sampai mesin tersebut siap digunakan sebesar
Rp. 20 juta. Maka sebesar Rp. 20 juta tersebut dikapitalisasikan ke harga mesin sehingga nilai
perolehan mesin menjadi Rp. 120 juta.
3. Tanah
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah termasuk pengurusan hak-hak atas tanah
dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya dikapitalisasikan dalam harga tanah.
(Berdasarkan pasal 10 Ayat (1) dan (2)).
Contoh :

27
Pajak Penghasilan Badan

Tanah dibeli seharga Rp. 1 miliar. Untuk pengurusan status dan pengurusan hak-hak tersebut dari
instansi yang berwenang untuk pertama kalinya dikeluarkan biaya sebesar Rp. 200 juta. Maka
sebesar Rp. 200 juta dikapitalisasikan ke harga perolehan tanah sehingga harga tanah tercatat
sebesar Rp. 1.200 juta.
4. Biaya Pra Operasi
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi. (Berdasarkan pasal 11 ayat
(6)).
Contoh :
Biaya studi kelayakan, biaya produksi percobaan, biaya untuk mendapatkan izin usaha dari instansi
berwenang dan biaya pendirian perusahaan dicatat sebagai Biaya Pra Operasi dan dikapitalisasikan.
Pembebanan biaya tersebut dilakukan dengan cara amortisasi
Biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon,
dan biaya kantor Iainnya tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun
pengeluaran.

TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN PENILAIAN HARTA


Beberapa transaksi akan mempengaruhi harga perolehan suatu aktiva, diantaranya :
1. Jual Beli
Suatu transaksi jual beli mungkin dipengaruhi oleh hubungan istimewa dan mungkin juga
tidak. Dalam hal jual beli dipengaruhi hubungan istimewa (kepemilikan maupun hubungan.
darah) maka penentuan harga bagi penjual dan pembeli adalah :
- bagi pembeli : harga perolehan harta adalah harga yang seharusnya dibayar
- bagi penjual : harga penjualan harta adalah harga yang seharusnya diterima
Sedangkan bila tidak dipengaruhi hubungan istimewa, maka harga jual beli :
- bagi pembeli : harga perolehan harta adalah harga yang sesungguhnya dibayar
- bagi penjual : harga penjualan harta adalah harga yang sesungguhnya diterima
Contoh :
Tuan A adalah pemegang saham utama PT X. Tuan A memasok bahan baku produksi PT X. PT X
membeli bahan baku dari Tuan A seharga Rp. 1.500.000,- per unit padahal harga bahan baku yang
sama di pasar bebas hanya sebesar Rp. 1.000.000,- Karena transaksi tersebut adalah transaksi yang
dipengaruhi hubungan istimewa maka PT X harus mencatat nilai perolehan bahan baku sebesar
Rp.1.000.000,-, bukan Rp. 1.500.000,-
Adanya hubungan istimewa menyebabkan harga perolehan menjadi Iebih besar/Iebih kecil dari
harga pasar wajar. OIeh karena itu perlu dikoreksi untuk mendekatkan pada kondisi riil pasar.
2. Tukar Menukar
Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta lain, nilai perolehan
atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar. (Berdasarkan pasal 10 ayat (2) UU PPh )
Contoh
Tuan A ingin menukarkan mesin yang dimilikinya dengan mobil yang dimiliki Tuan B. Harga pasar
mesin tersebut adalah Rp 5.000.000 dengan NiIai Sisa Buku Fiskal (NSBF) sebesar Rp 1.000.000.
Mobil Tuan B sendiri memiliki harga pasar Rp 6.000.000 dengan NSBF sebesar Rp 3.000.000. Berapa
keuntungan yang didapat dan transaksi tersebut?
Jawaban

28
Selisih Iebih harga pasar dan NSBF adalah keuntungan yang dikenakan pajak. Keuntungan Tuan A
sebesar selisih Harga Pasar mobil yang diterima (Rp.6.000.000,00)dengan NSBF mesin yang
diserahkan (Rp.1.000.000)= 5.000.000 dan keuntungan Tuan B adalah sebesar selisih Harga Pasar
mesin yang diterima (Rp. 5.000.000,-) dengan NSBF mobil yang diserahkan (Rp. 3.000.000) =
2.000.000,-
3. Penarikan Harta
Apabila suatu harta dijual maka penerimaan dibukukan sebagai penghasilan pada tahun
terjadinya penjualan dan Nilai Sisa Buku Fiskal (NSBF) dari harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. Keuntungan atau kerugian karena pengalihan
harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila suatu harta terbakar, maka penggantian asuransinya ( kalau ada) dibukukan sebagai
penghasilan pada tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta
tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh
Sebuah mesin semi konduktor milik PT Electron terbakar karena terjadi konslet pada tanggal 10
Januari 2009. Mesin tersebut dibeli tahun 2006 seharga Rp. 1 miliar. Nilai Sisa Buku Fiskal ( NSBF )
pada saat terjadi kebakaran sebesar Rp. 625 juta. Penggantian asuransi yang didapat sebesar Rp. 500
juta.
NSBF sebesar Rp. 625 juta dibebankan sebagai kerugian tahun 2006 sedangkan penggantian asuransi
sebesar Rp. 500 juta dicatat sebagai penghasilan.
Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti
di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian
dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.

4. Pengalihan harta untuk Setoran Modal.


Pada prinsipnya pengalihan harta dalam bentuk apapun (jual beli, setoran modal, tukar
menukar, dan lain- lain), penilaian hartanya didasarkan pada harga pasar.
Contoh
Tuan A ingin menambah modalnya di PT X dengan menyerahkan sebuah gudang. Nilai sisa buku
Fiskal gudang sebelum penyerahan adalah Rp. 500 juta sedangkan harga pasarnya Rp. 1 miliar.
Maka PT X mencatat setoran modal berupa gudang dari Tuan A sebesar Rp. 1 miliar sedangkan
Tuan A harus mengakui keuntungan pengalihan harta sebesar harga pasar gudang ( Rp. 1 miliar)
dikurangi NSBF-nya ( Rp. 500 juta) = Rp. 500 juta.

5. Pengalihan harta dalam rangka likuidasi, merger, konsolidasi, pemekaran atau pengambilalihan
PMK 43/PMK.03/2008.
(1) Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku.
(2) Merger meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha.
(3) Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang
modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang
lebih kecil.
(4) Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang
modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru.
(5) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku
adalah:

29
Pajak Penghasilan Badan

a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana
(Initial Public Offering); atau
b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran
melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering).
(6) Pemekaran usaha adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas
saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha
baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut
yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.

6. Hibah, Sumbangan dan Warisan


Pengalihan harta dengan alasan hibah, sumbangan atau warisan yang memenuhi pasal 4 ayat 3
huruf a dan b ( yang menyerahkan adalah orang pribadi dan yang menerima adalah anggota
keluarga sedarah lurus satu derajat atau badan sosial ) dicatat sebesar nilai buku harta yang
dihibahkan oleh penerima. Sedangkan pemberi hibah dan sumbangan tidak boleh mencatat
kerugian atas penyerahan harta tersebut.
Contoh
Tuan A berniat menghibahkan 2 buah gedung masing-masing kepada PT X dan kepada sebuah
badan sosial yang ditetapkan Menteri Keuangan. Atas penyerahan gedung ke badan sosial, Tuan A
mencatat hibah tersebut sebesar nilai sisa buku fiskal (NSBF) dan tidak mengakui laba/rugi. Tetapi
atas hibah gedung kepada PT X, Tuan A harus mencatat hibah tersebut sebesar harga pasar dan
harus laba/rugi.

7. Revaluasi aktiva tetap


Revaluasi adalah penilaian kembali harta yang tercatat sebesar Nilai Buku Fiskal menjadi
sebesar harga pasar. Nilai harta setelah dilakukan revaluasi adalah sebesar nilai yang disetujui
oleh Ditjen Pajak. Untuk dapat disetujui oleh Ditjen Pajak, atas selisih antara nilai buku
sebelum revaluasi dan nilai buku setelah revaluasi WP dikenakan PPh Final sebesar 10 %.
Setelah revaluasi disetujui, WP dapat menyusutkan harta dengan dasar penyusutan yang baru
(sebesar nilai harta yang disetujui Ditjen PaJak). Berdasarkan PMK 79/PMK.03/2008.
Contoh
NSBF suatu mesin sebelum revaluasi adalah Rp. 100 juta. Harga pasar wajar tersebut adalah Rp. 500
juta. Dengan persetujuan Ditjen Pajak, NSBF mesin tersebut dapat diubah menjadi sebesar harga
pasarnya ( Rp. 500 juta). Setelah itu WP dapat menyusutkan mesin dengan dasar penyusutan yang
baru

30
BAB VI
PENYUSUTAN DAN AMORTISASI

PENGANTAR
Setelah kita belajar tentang nilai perolehan harta perusahaan, sekarang kita belajar tentang
penyusutan atas harta tersebut. Biaya penyusutan suatu harta sangat dipengaruhi oleh nilai harta
tersebut pada saat perolehannya. Hal lain yang berpengaruh adalah umur ekonomis, metode
penyusutan serta nilai sisa harta tersebut setelah berakhirnya umur ekonomis.
Dalam akuntansi komersial pengusaha bebas menentukan metode penyusutan, umur ekonomis
serta nilai sisa suatu harta. Tetapi hal tersebut akan menimbulkan biaya penyusutan serta beban pajak
yang tidak seragam diantara wajib pajak. Selain itu dalam audit pajak juga akan timbul perdebatan
antara wajib pajak dan pemeriksa tentang masalah diatas. Agar tidak terjadi perdebatan antara
pemeriksa pajak dengan Wajib Pajak maka pemerintah menganggap perlu adanya keseragaman
metode penyusutan atas suatu harta. Bab ini akan membahas masalah metode penyusutan atas suatu
harta menurut ketentuan pajak.

PENYUSUTAN
Hal-hal yang menentukan besarnya biaya penyusutan adalah nilai perolehan, umur ekonomis,
metode penyusutan serta nilai sisa harta. Biaya penyusutan per tahun dihitung dengan rumus:

Biaya Penyusutan per tahun = Nilai perolehan Harta - Nilai Sisa


Umur Ekonomis

Pembahasan tentang nilai perolehan telah dijelaskan pada Bab V. Disini akan difokuskan pada
umur ekonomis, metode penyusutan, nilai sisa serta tarif penyusutan.
A. Umur Ekonomis
Menurut ketentuan pajak, umur ekonomisImasa manfaat suatu aktiva ditentukan berdasarkan
kelompok-kelompok aktiva sebagai berikut :

Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat


I. Bukan bangunan
Kelompok 1 4 tahun
Kelompok 2 8 tahun
Kelompok 3 16 tahun
Kelompok 4 20 tahun
II. Bangunan
Permanen 20 tahun
Tidak Permanen 10 tahun
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak, Menteri Keuangan telah
menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang harus
diikuti oleh Wajib Pajak. Daftar Harta tersebut selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

31
Pajak Penghasilan Badan

(Peraturan Menteri Keuangan 96/PMK.03/2009 tentang Jenis-Jenis Harta Yang Termasuk


Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan).
Contoh :
Apapun jenis usaha Wajib Pajak, harta berupa komputer, printer dan scanner ditentukan termasuk
golongan 1 sehingga dianggap berumur 4 tahun. Padahal bisa saja secara akuntansi komputer
tersebut dianggap berumur hanya 2 tahun.

B. Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang dibolehkan secara fiskal adalah:
a. Metode garis lurus yaitu penyusutan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa
manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut.
Contoh :
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20
(dua puluh) tahun, maka penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (Rp
100.000.000,00 : 20).
b. Metode saldo menurun yaitu penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun dengan
cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku. Jika Wajib Pajak memilih
menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus
disusutkan sekaligus.
Contoh :
Sepeda motor 15 buah yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2004 dengan harga
perolehan sebesar Rp 150.000.000,00. Masa manfaat dari sepeda motor berdasarkan PMK
96/PMK.03/2009 adalah 4 (empat) tahun. Tarif penyusutan untuk golongan I dengan metode
saldo menurun ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah
sebagai berikut :

Nilai Sisa Buku


Tahun Tarif Penyusutan Akm. Penyusutan
Fiskal
Harga Perolehan Rp. 150.000.000
2004 50 % Rp 75.000.000 Rp. 75.000.000 Rp. 75.000.000
2005 50 % Rp. 125.000.000 Rp. 112.500.000 Rp. 37.5000.000
2006 50 % Rp. 18.750.000 Rp. 131.250.000 Rp. 18.750.000
2007 - Rp. 18.750.000 Rp. 150.000.000 -
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat azas.

C. Nilai Sisa
Menurut ketentuan pajak, nilai sisa suatu aktiva setelah berakhirnya umur ekonomis adalah
nihil. Jadi, pajak tidak mengenal nilai sisa/nilai residu sehingga semua nilai perolehan harta
harus habis disusutkan.
D. Tarif Penyusutan
Tarif penyusutan ditentukan berdasarkan metode serta umur ekonomis harta. Bila suatu harta
ditentukan masuk kelompok I maka umur ekonomisnya dianggap 4 tahun. Bila metode
penyusutan yang dipilih atas harta tersebut adalah metode garis lurus maka tarif
penyusutannya adalah 100% umur ekonomis atau sama dengan 100% : 4 = 25%. Bila metode
penyusutan yang dipilih adalah metode saldo menurun maka tarif penyusutannya adalah 2 kali

32
tarif metode garis lurus. Jadi, bila suatu harta masuk kelompok I (umur 4 tahun) dan metode
yang dipilih adalah saldo menurun maka tarif penyusutannya adalah 2 x 100% : 4 = 50% atau 2
x 25% = 50%.
Dibawah ini tercantum daftar selengkapnya dari tarif penyusutan. Perhatikan bahwa tarif
penyusutan ditentukan berdasarkan kelompok harta dan tarif untuk metode saldo menurun
adalah 2 kali tarif garis lurus.

Kelompok Harta Tarif Penyusutan


Masa Manfaat
Berwujud Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan bangunan
Kelompok 1 4 tahun 2,5 % 50 %
Kelompok 2 8 tahun 12,5 % 25 %
Kelompok 3 16 tahun 6,25 % 12,5 %
Kelompok 4 20 tahun 5% 10 %
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak permanen 10 tahun 10 %

Bangunan tidak permanen didefinisikan sebagai bangunan yang bersifat sementara dan
terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang
masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat
dari kayu untuk karyawan.
Harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus.
Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo
menurun. Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau
sejenis dapat disusutkan dalam satu kelompok.
E. Saat Dimulainya Penyusutan
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran. Dengan persetujuan Direktur
Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta
tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada
bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
Contoh 1 :
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp 100.000.000,00.
Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2008 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret
2009. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret
tahun pajak 2009.
Contoh 2 :
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2008 dengan harga perolehan sebesar
Rp100.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Metode
penyusutannya adalah saldo menurun sehinggga tarif penyusutannya 50% (lima puluh persen).
Penghitungan penyusutannya adalah sebagal berikut:

Tahun Tarif Penyusutan Akm. Penyusutan Nilai Sisa Buku


Harga Perolehan Rp. 100.000.000
2012 6/12 X 50% Rp. 25.000.000 Rp. 25.000.000 Rp. 75.000.000

33
Pajak Penghasilan Badan

2013 50% Rp. 37.500.000 Rp. 62.500.000 Rp. 37.250.000


2014 50% Rp. 18.750.000 Rp. 81.250.000 Rp. 18.750.000
2015 50% Rp. 9.375.000 Rp. 90.625.000 Rp. 9.375.000
2016 Rp. 9.375.000 Rp. 100.000.000 0

Contoh 3.
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2008. Perkebunan tersebut
mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2009. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak,
penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2009.

F. Penyusutan Atas Tanah


Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak
guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan
(dikapitalisasikan dalam harga tanah). Contohnya harga perolehan tanah serta pengurusan hak-
hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya.
Biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama
jangka waktu hak-hak tersebut.
Contoh :
Biaya perpanjangan Hak Guna Bangunan selama 4 tahun adalah sebesar Rp. 40 juta. Maka biaya
perpanjangan tersebut diamortisasikan selama 4 tahun.
Apabila tanah tersebut dipergunakan untuk memperoleh penghasilan dan nilai tanah tersebut
berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, maka tanah tersebut harus
disusutkan.
Contoh :
Tanah yang dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu
bata harus disusutkan untuk mencerminkan nilai tanah yang sebenarnya. Penyusutan dilakukan
dengan memperkirakan masa manfaat tanah sampai berakhirnya masa penggunaan tanah untuk
bahan baku genteng, keramik atau batu bata.
Adapun peraturan baru tentang penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu yang diatur dalam PMK-249/PMK.03/2008
jo PMK-126/PMK.011/2012 dimana WP yang bergerak dalam bidang usaha tertentu dapat melakukan
penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dalam bagian-bagian yang sama
besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
Bidang usaha tertentu yang dimaksud meliputi :
a.b bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, dan hasil
yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih
dari 1 (satu) tahun;
a.c bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya dapat
berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun;
a.d bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi
berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sakurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
Harta berwujud yang dimaksud berupa aktiva tetap yang dimiliki dan digunakan serta merupakan
komoditas pokok dalam bidang usaha tertentu, yaitu :
a. bidang usaha kehutanan, meliputi tanaman kehutanan kayu
b. bidang usaha industri perkebunan tanaman keras, meliputi tanaman keras

34
c. bidang usaha peternakan meliputi ternak, termasuk ternak sapi pejantan
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dimulai pada bulan produksi
komersial, dimana bulan penjualan mulai dilakukan

AMORTISASI
Sebagaimana halnya dengan aktiva tetap berwujud, aktiva tidak berwujud juga disusutkan
(diamortisasikan) dengan memperhatikan 5 hal yaitu nilai perolehan, masa manfaat, nilai sisa, metode
penyusutan (amortisasi) serta tarif amortisasi. Ketentuan pajak atas amortisasi aktiva tidak berwujud
hampir sama dengan ketentuan penyusutan aktiva tetap. Perbedaan hanya terletak pada tidak
dikenalnya pengelompokan aktiva berupa bangunan permanen dan tidak permanen. Ketentuan
amortisasi tentang pengelompokan jenis aktiva, penentuan masa manfaat, metode amortisasi, tarif
serta nilai sisa sama dengan ketentuan penyusutan.
Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:

Kelompok Harta Tak Tarif amortisasi berdasarkan metode


Masa Manfaat
Berwujud Garis lurus Saldo menurun
Kelompok 1 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 tahun 12,5 % 25 %
Kelompok 3 16 tahun 6,25 % 12,5 %
Kelompok 4 20 tahun 5% 10 %

Perhatikan daftar amortisasi diatas. Daftar tersebut sama persis dengan daftar penyusutan baik
dalam penentuan kelompok aktiva tidak berwujud, masa manfaat, metode amortisasi maupun tarif
amortisasi. Karena aktiva tidak berwujud tidak mengenal kelompok bangunan maka ketentuan
penyusutan bangunan tidak dicantumkan.
Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa
manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak
berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa
manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima)
tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat
4 (empat) tahun.
A. Amortisasi Hak Penambangan Migas
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak bidang penambangan migas
dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
Metode satuan produksi adalah perbandingan antara realisasi penambangan migas pada
tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan migas di lokasi tersebut
yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya Iebih kecil dari yang diperkirakan,
sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka
atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
Contoh :
Pengeluaran untuk memperoleh Hak Penambangan Migas dengan potensi 10 juta barel,
adalah sebesar Rp 50 miliar. Pengeluaran tersebut diamortisasi sesuai dengan persentase satuan
produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata

35
Pajak Penghasilan Badan

jumlah produksi mencapai 3 juta barel yang berarti 30% dari potensi yang tersedia, maka besarnya
amortisasi yang diperkenankan pada tahun tersebut adalah 30% dari pengeluaran atau Rp 15 miliar.
B. Amortisasi Perolehan Hak Selain Penambangan Migas
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak
pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi
berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah setinggi-tingginya 20 % (dua puluh
persen) setahun.
Contoh
Pengeluaran untuk memperoleh HPH dengan potensi 10 juta ton kayu, adalah sebesar Rp 50
miliar. Pengeluaran tersebut diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang
direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata jumlah
produksi mencapal 3 juta ton yang berarti 30% dari potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah
produksi pada tahun tersebut mencapai 30 % dan jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi
yang diperkenankan pada tahun tersebut adalah 20 % dari pengeluaran atau Rp 10 miliar.
C. Pengalihan Harta Tak Berwujud
Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak
tersebut dibebankan sebagal kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian
merupakan penghasilan pada tahun tenjadinya pengalihan tersebut.
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya perolehan hak penambangan migas sebesar Rp 500 miliar. Taksiran
jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah 200 juta barel. Setelah produksi minyak
mencapai 100 juta barel ( 50 %), PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan
harga Rp 300 miliar. Penghitungan laba rugi dan penjualan hak tersebut sebagai berikut:
Harga perolehan Rp 500M
Amortisasi yang telah dilakukan 100.000.000 X 50 % RP 250M
200.000.000
Nilai buku harta Rp 250M
Harga jual harta Rp 300M
Laba pengalihan harta Rp 50M
Apabila pengalihan harta diatas memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b
(sumbangan atau hibah yang bukan obyek pajak), maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak
boleh dibebankan sebagai kerugian pihak yang mengalihkan.
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk
bidang usaha tertentu dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produk
komersial, bulan dimana penjualan mulai dilakukan
Bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam PMK-248/PMK.03/2008 meliputi :
a. bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, dan hasil
yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih
dari 1 (satu) tahun;
b. bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya
dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun;
c. bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi
berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sakurang-kurangnya 1 (satu) tahun.

36
BAB VII
BENTUK USAHA TETAP
(BUT)

PENGANTAR
Bayangkan Anda adalah pengusaha yang ingin berekspansi ke luar negeri. Anda memiliki 2
pilihan untuk membuka usaha di luar negeri yaitu, dengan cara mendirikan perusahaan baru di sana
atau cukup berbentuk cabang saja. Apabila anda mendirikan perusahaan baru, maka anda harus
datang ke notaris dan Departemen Kehakiman di luar negeri dan selanjutnya perusahaan Anda akan
berstatus WP Dalam Negeri di negara tersebut. Tetapi bila anda lebih suka usaha Anda disana
berbentuk cabang, maka cabang perusahaan anda di luar negeri berstatus sebagai Bentuk Usaha Tetap
(Permanent Establishment) di negara tersebut. Perlakuan yang sama juga diterapkan kepada
pengusaha dari luar negeri yang ingin membuka usaha di Indonesia.
Bagaimana halnya jika usaha anda di luar negeri hanya bersifat sementara? Misalnya anda
mendapat proyek pembangunan gedung dengan jangka waktu hanya 6 bulan, anda tentu tidak ingin
repot dengan membuka cabang. Yang ingin anda lakukan hanyalah menyelesaikan proyek tersebut
IaIu pulang ke Indonesia. Bagaimanakah pengenaan pajak atas proyek tersebut? Apakah pajaknya
harus dipotong di luar negeri oleh pemilik proyek atau cukup dibayar di dalam negeri? Untuk
mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas, anda sebaiknya membaca pembahasan
tentang Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment) di bawah ini.

DEFINISI BUT
BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
(Pasal 2 ayat (5) UU PPh). Walaupun BUT adalah Wajib Pajak Luar Negeri tetapi pengenaan pajaknya
disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan modifikasi dalam metode penentuan
laba serta penambahan tarif PPh pasal 26 ayat (4).
Suatu badan asing dapat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dengan
Bentuk Usaha Tetap yang dapat berupa (Pasal 2 ayat (5)):
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan (Representative Office);
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk
eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
Contoh:
Misalnya F, Ltd Hongkong mempunyal kantor perwakilan (Representative Office) di Indonesia
berarti F, Ltd merupakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tetapi

37
Pajak Penghasilan Badan

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia. F, Ltd dikenakan PPh di
Indonesia melalui BUT tersebut.
BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak Iebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Orang asing dapat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indoÿÿsia dengan Bentuk
Usaha Tetap yang dapat berupa (Pasal 2 ayat (5)):
a. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan
Iebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
b. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
c. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Contoh :
Misalnya Mr. A berdomisili di Singapura tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa kantor
cabang maka Mr. A dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usaha di Indonesia
tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia.
Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat
kedudukan di Indonesia. Tapi jika orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker, atau perantara yang mempunyai
kedudukan bebas (bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri) maka
tidak dapat dianggap mempunyai BUT di Indonesia.
Khusus untuk perusahaan asuransi asing, BUT atas asuransi asing sudah dianggap ada apabila
perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung
risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di
Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
Contoh :
Perusahaan asuransi Z, Ltd tidak memiliki cabang di Indonesia tapi menerima pembayaran premi
asuransi kapal tanker inilik perusahaan Indonesia. Premi tersebut diperoleh dari sebuah agen asuransi
di Indonesia. Walaupun perusahaan asuransi serta obyek asuransi (kapal tanker) berada di luar
Indonesia tetapi karena pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di
Indonesia maka Z, Ltd dianggap memiliki BUT di Indonesia.

TIME TEST BUT


Dari penjelasan tentang definisi BUT diatas kelihatan bahwa UU PPh Indonesia sangat mudah
mengenakan pajak terhadap perusahaan asing di Indonesia. Contohnya definisi BUT yang
menyatakan bahwa proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan dianggap sebagai BUT tanpa
memandang batas waktu. Jadi walaupun proyek tersebut hanya berlangsung 1K maka kontraktor
proyek tersebut sudah dianggap BUT dan harus melaksanakan semua kewajiban pajak sebagaimana
halnya suatu WP Badan Dalam Negeri. Padahal kontraktor asing tersebut juga sudah dipajaki di
negaranya masing-masing. Akibatnya timbul pengenaan pajak berganda.
Agar tidak terjadi pengenaan pajak berganda, terutama untuk WP Luar Negeri yang jangka
waktu usahanya berlangsung sebentar maka digunakan metode batas waktu (time test) untuk
menentukan apakah suatu WP LN berhak dipajaki di Indonesia atau hanya membayar pajak di
negaranya masing-masing. Contohnya pemberian jasa dalam bentuk apapun (selain jasa konstruksi)
oleh perusahaan asing, tidak akan dikenakan pajak di Indonesia sepanjang dilakukan kurang dari 60
(enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Jangka waktu 60 hari disini adalah time

38
test untuk menentukan apakah suatu usaha jasa WP LN selain jasa konstruksi bisa dianggap BUT atau
belum. Bagi jasa konstruksi asing UU PPh Indonesia tidak memberikan time test.
Apakah time test seperti diatas berlaku untuk semua WP LN dan semua negara? Sepanjang
suatu negara belum mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) dengan
Indonesia, time test diatas berlaku. Sedangkan bagi negara yang sudah memiliki Tax Treaty dengan
Indonesia time test-nya diatur dalam Tax Treaty masing-masing.
Contoh:
Tax Treaty antara Indonesia dengan Thailand menyatakan bahwa Time Test untuk penentuan BUT jasa
konstruksi maupun jasa lainnya adalah 183 hari. Jadi jika WP LN dari Thailand memberikan jasa di
Indonesia kurang dari 183 hari, maka tidak dikenakan pajak di Indonesia. Demikian pula sebaliknya.

OBJEK PAJAK BUT


Apabila suatu usaha WP LN sudah melebihi time test dan menjadi BUT maka BUT tersebut
harus melaksanakan kewajiban sebagaimana WP Badan Dalam Negeri seperti membayar PPh Pasal
25/29, memotong PPh Pasal 21/23, memungut PPN dan lain-lain. Khusus untuk penghitungan PPh
pasal 25/29, penghasilan BUT meliputi penghasilan dari usaha atau kegiatan di Indonesia ditambah
dengan:
a. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa
(active income) di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh
BUT di Indonesia;
b. Penghasilan dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah, maupun capital gain (passive income) yang
diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Ketentuan yang mengharuskan ditambahkannya penghasilan Kantor Pusat BUT dari usaha
sejenis serta penghasilan passive income diterapkan untuk menghindari penghindaran pajak oleh
Kantor Pusat BUT. Seringkali terjadi Kantor Pusat BUT bertransaksi langsung dengan customer di
Indonesia tanpa melalui BUT-nya di Indonesia agar penghasilan BUT tetap kecil.
Laba setelah Pajak dari BUT dikenakan PPh sebesar 20%, kecuali laba setelah pajak tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia. (Pasal 26 ayat (4)). Tarif PPh sebesar 20% atas laba setelah pajak
BUT (Branch Profit Tax) dikenakan terhadap BUT dari negara yang belum memiliki Tax Treaty
dengan Indonesia. Apabila sudah ada Tax Treaty, biasanya tarif Branch Profit Tax menjadi lebih kecil.
Contohnya Branch Profit Tax atas BUT dari Taiwan adalah 5%.

BIAYA-BIAYA BUT
Pada prinsipnya biaya yang dapat dikurangkan adalah biaya yang dapat pula dikurangkan pada
badan yang menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri sebagaimana Pasal 6 ayat (1) UU PPh.
Selain itu sebagai konsekuensi dari ketentuan ditambahkannya penghasilan Kantor Pusat BUT
dari usaha sejenis di Indonesia ke dalam penghasilan BUT, maka dalam menentukan besarnya laba
suatu BUT biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT dapat
menjadi pengurang laba BUT. Tetapi biaya administrasi Kantor Pusat yang dapat dibebankan ke BUT
tidak boleh melebihi perbandingan antara peredaran usaha BUT di Indonesia dengan peredaran usaha
di seluruh dunia (KEP-62/PJ./1995 tanggal 24 Juli 1995).
Perlakuan perpajakan BUT dipersamakan dengan mekanisme perpajakan Wajib Pajak Dalam
Negeri sehingga biaya yang tidak dapat dikurangkan juga mengacu pada pasal 9 UU PPh beserta
ketentuan lainnya. Selain itu terdapat pembayaran kepada Kantor Pusat yang tidak dapat
dikurangkan dalam menghitung laba BUT yaitu:
1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
3) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;

39
Pajak Penghasilan Badan

Pada dasarnya BUT merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran
oleh BUT kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan
perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaran BUT
kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan BUT. Namun apabila kantor pusat dan BUT-nya bergerak dalam bidang usaha
perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya.
Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran yang sejenis yang
diterima oleh BUT dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang
diterima oleh BUT dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha perbankan.

HUBUNGAN ISTIMEWA BUT


Pada Bab I telah disinggung masalah hubungan istimewa. Hubungan istimewa menurut pajak
terjadi jika Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain. Hubungan istimewa dapat juga teriadi karena
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan
kepemilikan.
Dari definisi diatas maka hubungan antara BUT dengan Kantor Pusatnya adalah hubungan
istimewa karena suatu BUT 100% dimiliki oleh Kantor Pusatnya. Transaksi yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa sangat mungkin tidak mencerminkan harga pasar
yang wajar (transfer pricing). Oleh karena itu dalam Tax Treaty biasanya disebutkan bahwa dalam
penentuan laba, suatu BUT dianggap sebagai perusahaan lain yang terpisah dari Kantor Pusatnya dan
melakukan transaksi yang sepenuhnya bebas dan berdiri sendiri.
Untuk menghindari transaksi-transaksi yang tidak mencerminkan harga pasar wajar maka telah
diatur beberapa ketentuan sebagai berikut :
A. Perjanjian Antar Negara
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perJanjian dengan Wajib Pajak dan
bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama suatu periode tertentu
dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut
berakhir ( Pasal 18 ayat 3 a).Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA)
adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual
wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
(related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya
praktek penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara
Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak dapat mencakup beberapa hal antara lain harga
jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti, dan lain-lain tergantung pada kesepakatan.
Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan
pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi harga jual dan keuntungan produk yang dijual
Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral yaitu
merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral yaitu
kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang
menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
B. Pengakuan Dividen
Dengan semakin berkembangnya globalisasi ekonomi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak
dalam negeri menanam modal di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran
pajak, maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang sudah go
publik di LN, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.
Penentuan saat perolehan dividen ini diatur khusus karena bisa saja WP melaporkan bahwa ia

40
tidak pernah memperoleh dividen dari penanaman modalnya di LN dan fiskus akan kesulitan
mengecek hal tersebut mengingat perusahaan di LN belum go publik.
Ketentuan besarnya penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan
usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, sebagal berikut:
- paling rendah 50 % (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
- secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan
paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40 % dan 20% pada X Ltd. yang
berkedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun
2012 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp 100.000.000,00. Dalam hal demikian,
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
C. Kewenangan Menentukan Besarnya Penghasilan
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib
Pajak lainnyasesual dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa (Pasal 18 ayat 3).
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran
pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan
istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dan semestinya ataupun
pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan
keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.
Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai
beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi iaba berdasar fungsi atau peran serta
dan Wajib Pajak yang mempunyal hubungan istimewa dan indikasi serta data Iainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan
menyatakan penyertaan modal tersebut sebagal utang, maka Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut
dapat dilakukan misalnya melalul indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang
yang lazim tenjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau
berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap
sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi
pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang
dikenakan pajak.

41
Pajak Penghasilan Badan

BAB VIII
BUNGA PINJAMAN

PENGANTAR
Pernahkah Anda menjumpai neraca suatu perusahaan yang menunjukkan bahwa pada saat
yang sama perusahaan tersebut memiliki Deposito di sisi aktiva serta Hutang Bank di sisi pasiva?
Pernah, atau bahkan mungkin seringkali kita menjumpai komposisi neraca seperti itu. Menurut
pendapat anda wajarkah kondisi tersebut? Mungkin anda berpendapat wajar-wajar saja suatu
perusahaan pada saat yang sama memiliki Deposito serta Hutang Bank sekaligus. Tetapi tidak
demikian halnya dengan pihak Pajak!
Pajak mempermasalahkan komposisi Deposito serta Hutang Bank sekaligus karena
mengasumsikan bahwa Deposito tersebut pasti berasal dari Hutang Bank. Dari penanaman dana
Deposito, Wajib Pajak memperoleh pendapatan bunga yang dikenakan PPh Final sedangkan atas
Hutang Bank, wajib pajak mengeluarkan biaya bunga bank yang akan menjadi pengurang
penghasilan (Deductible Expense). Dengan asumsi Deposito berasal dari Hutang Bank maka tidak
semua biaya bunga bank boleh menjadi biaya karena ada sebagian biaya bunga bank yang
digunakan untuk menghasilkan pendapatan bunga deposito yang telah dikenakan PPh Final.
OIeh karena itu harus dilakukan Rekonsiliasi Fiskal atas biaya bunga bank.
Seberapa besarkah biaya bunga bank yang harus direkonsiliasi? Seluruhnya atau sebagian?
Lalu bagaimana jika jumlah hutang bank maupun jumlah deposito berfluktuasi sepanjang tahun?
Agar lebih jelas, bab ini akan mengupas perlakuan PPh atas Bunga Pinjaman Bank.

PERLAKUAN FISKAL
Bunga pinjaman adalah bunga yang menjadi beban sehubungan dengan pinjaman uang
sepanjang pinjaman tersebut digunakan untuk usaha. Tetapi tidak semua biaya bunga boleh
dibebankan sebagai biaya. Biaya bunga yang tidak dapat menjadi biaya (Non Deductible Expense)
adalah :
a. bunga pinjaman sehubungan dengan penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final
dan/atau penghasilan yang tidak termasuk objek pajak
b. bunga pinjaman yang harus dikapitalisasi atau merupakan unsur harga pokok, seperti :
- bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham yang sudah beredar
- bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli tanah bagi perusahaan real estate
- bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk pembangunan selama masa konstruksi
Atas penghasilan berupa bunga deposito, tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dipotong PPh final (PP No. 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010).

42
Hal ini berimplikasi bahwa atas penghasilan tersebut tidak digabungkan dalam penghitungan
PPh terutang akhir tahun.
Selanjutnya diatur bahwa atas biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final maka atas biaya tersebut tidak
dapat dikurangkan dari penghasilan Wajib Pajak untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. (PP
No. 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010). Dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan
dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan Iainnya, langsung atau tidak Iangsung berasal
dari pinjaman atau dana yang berasal dan pihak ketiga yang dibebani biaya bunga.
Apabila hal tersebut terjadi, Wajib Pajak dapat memperkecil Penghasilan Kena Pajak secara
tidak wajar karena bunga yang terutang atau dibayar atas pinjaman tersebut dikurangkan sebagai
biaya. Sedangkan bunga yang diterima atau diperoleh yang berasal dari penempatan dana dalam
bentuk deposito berjangka atau tabungan Iainnya tidak ditambahkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak karena telah dikenakan PPh yang bersifat final yaitu 20%.
Sehubungan dengan hal tersebut diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.
SE-46/PJ.4/1995 tanggal 5 Oktober 1995 yang memberikan penegasan sebagai berikut:
1. Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya sama dengan atau Iebih kecil dari jumlah
rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka
biaya bunga yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat
dibebankan sebagai biaya.
2. Apabila jumlah rata-rata pinjaman Iebih besar dari jumlah rata-rata dana yang ditempatkan
dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka biaya bunga atas pinjaman yang boleh
dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman
yang melebihi rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan
Iainnya. (selisih rata-rata pinjaman dengan rata-rata deposito)
Walaupun begitu tidak semua biaya bunga yang telah dibebankan oleh perusahaan pasti
dikoreksi secara fiskal. Ada beberapa pengecualian sehingga biaya bunga pinjaman dapat
dibebankan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak :
a. dana pinjaman tersebut disimpan atau ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas
jasanya dikenakan PPh yang bersifat final.
b. ada keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan danan dalam jumlah tertentu pada
suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut semata-mata untuk memenuhi
keharusan tersebu. Misalnya cadangan biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam
bentuk deposito atau tabungan di Bank Pemerintah.
c. dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya berasal dari
tambahan modal dan sisalaba tersebut kena pajak.
Seringkali perusahaan juga memperoleh pinjaman dalam bentuk valuta asing. Dengan
berjalannya waktu pastilah akan timbul rugi/laba selisih kurs atau jumlah pinjaman yang dimiliki
oleh Wajib Pajak. Apakah kerugian yang ditimbulkan akibat pembebanan bunga pinjaman dalam
bantuk valas dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dijelaskan dalam SE-

43
Pajak Penghasilan Badan

46/PJ.4/1995 tersebut hanya mengatur mengenai pembebanan biaya bunga pinjaman. Sehingga
dalam hal Wajib pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bungan deposito atau
tabungan lainnya, kerugian akibat selisih kurs bukanlah unsur yang perlu dikoreksi.
Kasus
Pada tahun 2012 PT X mendapatkan pinjaman dari Bank Mandiri dengan batas maksimum
sebesar Rp 200.000.000,00 dan tingkat bunga pinjaman adalah 20%. Dari jumlah tersebut telah
diambil pada bulan Februari sebesar Rp 125.000.000,00 , pada bulan Juni diambil lagi sebesar Rp
25.000.000,00 dan sisanya (Rp 50.000.000,00) diambil pada bulan Agustus 2012.
Disamping itu PT X mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito dengan
perincian sebagai berikut :
- bulan Februari s.d. Maret sebesar Rp 25.000.000,00
- bulan April s.d. Agustus sebesar Rp 46.000.000,00
- bulan September s.d. Desember sebesar Rp 50.000.000,00
Dengan demikian berapa bunga pinjaman yang dapat dibebankan sebagai biaya? Pertama,
cari rata-rata pinjaman dan rata-rata deposito yang dimiliki PT X.
Rata-Rata Pinjaman
Pinjaman Jangka Waktu Jumlah
Bulan Januari 0 1 bulan 0,00
Bulan Februari s.d Mei 125.000.000,00 4 bulan 500.000.000,00
Bulan Juni s.d Juli 150.000.000,00 2 bulan 300.000.000,00
Bulan Agustus s.d Desember 200.000.000,00 5 bulan 1.000.000.000,00
JUMLAH 1.800.000.000,00
Sehingga rata-rata pinjaman per bulan Rp 1.800.000.000 :12 = Rp 150.000.000,00

Rata-Rata deposito
Deposito Jangka Waktu Jumlah
Bulan Januari 0 1 bulan 0,00
Bulan Februari s.d Maret 25.000.000,00 2 bulan 50.000.000,00
Bulan April s.d Agustus 46.000.000,00 5 bulan 230.000.000,00
Bulan September s.d Desember 50.000.000,00 4 bulan 200.000.000,00
JUMLAH 480.000.000,00
Sehingga rata-rata deposito per bulan Rp 480.000.000 :12 = Rp 40.000.000,00
Bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya = 20% x (150.000.000 - 40.000.000 )
= Rp. 22.000.000,00

44
BAB IX
SEWA GUNA USAHA
(LEASING)

PENGANTAR
Dewasa ini banyak perusahaan yang membiayai pengadaan barang modalnya dengan bantuan
perusahaan leasing. Perusahaan tersebut meminta perusahaan leasing membelikan barang modal dan
kemudian membayarnya secara mengangsur kepada perusahaan leasing. Pada akhir masa leasing,
barang modal bukan lagi milik perusahaan leasing (lessor) tetapi akan menjadi milik pengguna leasing
(lessee). Leasing seperti ini lazim disebut sebagai Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease).
Hak opsi disini maksudnya adalah opsi/pilihan bagi pengguna leasing (lessee) untuk memiliki barang
setelah selesainya periode leasing ataupun memperpanjang jangka waktu perjanjian Sewa Guna
Usaha. Bagi perusahaan yang tidak berniat untuk meiniliki barang modal biasanya merasa cukup
dengan menyewa untuk jangka waktu tertentu. Transaksi sewa menyewa seperti ini sering disebut
Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease).
Periode leasing dapat meliputi jangka waktu beberapa tahun. Masa pertama kali kontrak leasing
ditandatangani disebut periode leasing pertama. Baik Finance Lease maupun Operating Lease dapat
diperbaharui kontraknya pada akhir masa leasing sehingga timbul leasing periode kedua, leasing
periode ketiga dan seterusnya.
Pada dasarnya kegiatan SGU dengan hak opsi (Finance Lease) adalah kegiatan jasa pembiayaan
berupa penyediakan kredit bagi penggguna leasing (lessee). Penghasilan bagi perusahaan leasing
(lessor) adalah bunga yang diterima bersama dengan angsuran pelunasan hutang leasing oleh
pengguna leasing (lessee). Sedangkan kegiatan SGU tanpa hak opsi (Operating lease) pada dasarnya
adalah jasa penyewaan barang. Penghasilan bagi perusahaan penyewa adalah pendapatan sewa.
Perbedaan jenis kegiatan ini menimbulkan perbedaan perlakuan perpajakan yang sangat mendasar.
Bab ini akan membahas perlakuan perpajakan atas transaksi leasing, baik Finance Lease maupun
Operating Lease.

SEWA GUNA USAHA TANPA HAK OPSI (OPERATING LEASE)


Suatu Sewa Guna Usaha digolongkan sebagai Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating
Lease) apabila memenuhi semua kriteria berikut :
a. Jumlah pembayaran Sewa Guna Usaha selama masa Sewa Guna Usaha pertama tidak dapat
menutupi harga perolehan barang modal yang di-Sewa Guna Usaha-kan ditambah keuntungan
yang diperhitungkan oleh lessor;
b. Perjanjian Sewa Guna Usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee
Kedua syarat diatas mengisyaratkan bahwa ketentuan Pajak menggolongkan suatu SGU sebagai
Operating Lease jika lessor benar-benar tidak berniat menjual barang dan hanya ingin menyewakan
saja. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah seluruh angsuran yang diterima lebih kecil dari harga pokok
barang plus laba serta tidak termuatnya opsi pemilikan barang pada akhir periode leasing. Jadi
Operating Lease adalah transaksi sewa menyewa biasa. Karena hanya transaksi sewa menyewa biasa,

45
Pajak Penghasilan Badan

maka kepemilikan barang masih berada di tangan pihak yang menyewakan ( lessor ) sehingga yang
berhak menyusutkan barang adalah Lessor.
Perlakuan perpajakan bagi yang menyewakan (Lessor):
a. Seluruh pembayaran sewa yang diterima/diperoleh oleh lessor, merupakan objek PPh pasal 23
b. Lessor berhak menyusutkan barang modal yang di-SGU-kan karena kepemilikan barang ada
ditangan lessor.
c. Lessor memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jasa sewa yang diberikan.
Sedangkan perlakuan perpajakan bagi penyewa (Lessee):
a. Jumlah biaya sewa yang dibayar/terutang pada tahun tersebut boleh menjadi pengurang
penghasilan (Deductible Expense).
b. Lessee tidak boleh menyusutkan barang modal karena barang masih milik lessor
c. Lessee memotong PPh Pasal. 23 setiap kali membayar sewa kepada lessor dengan tarif 6% jika
barang modal yang disewakan selain tanah dan bangunan, 3 % jika yang disewakan adalah
kendaraan serta 10% jika barang modalnya berupa tanah dan bangunan
Contoh Kasus:
Lessor PT. XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II dengan harga pokok Rp.200.000.000,- kepada PT. ABC
(lessee). Jangka waktu leasing 24 bulan dan nilai sisa barang setelah periode leasing adalah nihil. Dalam
kontrak SGU tidak tercantum klausula pilihan bagi lesse untuk membeli mesin tersebut dengan harga
murah pada akhir periode SGU.. Pembayaran per bulan Rp. 8.000.000,-.
Perlakuan Pajaknya sebagai berikut:
Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT XYZ sebesar Rp. 8.000.000 X 24 bulan = Rp.
192.000.000,-. Jumlah tersebut lebih kecil dan harga pokok mesin sebesar Rp. 200.000.000,-. Selain itu
tidak ada klausula pilihan bagi penyewa untuk memiliki mesin tersebut pada akhir periode leasing. Oleh
karena itu SGU ini tergolong SGU tanpa hak opsi (Operating Lease) atau sewa menyewa biasa.

Lessor : PT XYZ Lesse : PT ABC


Menerima pendapatan sewa setiap bln= Rp. 8.000.000 Membayar sewa = Rp. 8.000.000
Memungut PPN 10% = Rp. 800.000 Membayar PPN = Rp. 800.000
Dipotong PPh 23 6% = (Rp. 480.000) Memotong PPh 23 6% =(Rp. 480.000)
Diterima lessee Rp. 8.320.000 Dibayar ke Lessor = Rp. 8.320.000
Menyusutkan mesin sebesar per thn Rp. 50.000.000

SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI (FINANCE LEASE)


Menurut ketentuan pajak kegiatan SGU akan digolongkan sebagai SGU dengan hak opsi
(Finance Lease) (PMK-255/PMK.03/2008 jo PMK 208/PMK.03/2009) apabila memenuhi kriteria
berikut :
a. Jumlah pembayaran SGU selama masa SGU pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal,
harus menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
b. Masa Sewa Guna Usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan
I, 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan Bangunan;
Dalam hal Lessor dan Lessee membuat perjanjian Sewa Guna Usaha dengan opsi (Finance
Lease) namun masanya tidak memenuhi ketentuan tersebut di atas, maka perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai yang diberikan terhadap perjanjian tersebut sama dengan perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai terhadap perjanjian Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease).

46
c. Perjanjian Sewa Guna Usaha memuat ketentuan mengenal opsi bagi lessee (KMK No.
1169/KMK.01/1991 Tanggal 7 November 1991 serta SE-10/PJ.42/1994 tanggal 22 Maret 1994.)
Ketiga syarat diatas harus dipenuhi seluruhnya agar suatu SGU dapat digolongkan sebagai SGU
dengan hak opsi (Capital Lease). Ketiga syarat diatas menunjukkan bahwa ketentuan Pajak
menggolongkan suatu SGU sebagai Finance Lease jika lessor sebenarnya berniat menjual barang. Hal
itu ditunjukkan dengan jumlah seluruh angsuran yang diterima pada periode leasing pertama lebih
besar dari harga pokok barang plus laba dan harus adanya opsi pada akhir periode leasing.
Selain itu terdapat batas minimal jangka waktu leasing yang lamanya tergantung golongan
barang. Persyaratan jangka waktu minimal ini semakin menguatkan karakter Finance Lease bahwa
Finance Lease lebih bertujuan kepada pengalihan kepemilikan barang.
Pada dasarnya kegiatan SGU dengan hak opsi ( Finance Lease ) adalah kegiatan jasa pembiayaan
(berupa penyediakan kredit bagi penggguna leasing (lesse) oleh lessor) maka penghasilan bagi
perusahaan leasing (lessor) adalah bunga yang diterima pada saat angsuran pelunasan hutang leasing.
Karena pada dasarnya Finance Lease adalah transaksi pembiayaan maka pajak menganggap bahwa
sebelum selesainya periode leasing, barang bukan milik lesse maupun lessor sehingga baik lesse
maupun lessor sama-sama tidak boleh menyusutkan barang.
Perlakuan Perpajakan bagi Lessor
1. Penghasilan. lessor yang menjadi objek PPh adakah seluruh pembayaran SGU — angsuran
pokok. (bunga + administration fee). Dalam hal SGU Sindikasi yaitu SGU yang dibiayai oleh
bebarapa perusahaan leasing, imbalan jasa bagi masing-masing anggota dihitung secara
proporsional sesuai perjanjian antar anggota yang bersangkutan. Penghasilan tersebut tidak
dipotong PPh 23 oleh lessee. Pengenaan pajaknya dilakukan dengan penghitungan akhir tahun
dalam SPT Tahunan
2. Lessor tidak boleh menyusutkan barang modal yang di SGU- kan.
Sejak berlakunya KMK No. 1169/KMK.01/1991 Pajak menganut aliran bahwa tidak ada yang
memiliki barang leasing sampai berakhirnya periode leasing dan diketahui dengan pasti siapa
pemilik barang terssebut. Bila Lessee menggunakan hak opsinya, maka barang tersebut menjadi
milik lessee sedangkan bila tidak maka barang tersebut menjadi milik lessor. Akibatnya selama
periode leasing barang modal tersebut tidak boleh disusutkan baik oleh lessor maupun oleh
lesse.
3. Lessor dapat membentuk Cadangan Piutang Ragu-Ragu sebesar 2,5% dari rata-rata saldo awal
dan akhir piutang SGU.
Karena Financial Lease adalah transaksi pembiayaan maka pajak memperbolehkan lessor untuk
membuat cadangan piutang ragu-ragu dan besarnya 2,5% dari rata-rata saldo awal dan akhir
piutang SGU. Pencadangan tersebut dilakukan dengan mendebet biaya penyisihan piutang
serta mengkredit akun Akumulasi Cadangan Penghapusan Piutang. Biaya Penyisihan Piutang
tersebut dapat mengurangi penghasilan (Deductible Expenses)
4. Kerugian piutang SGU yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada akun Akumulasi
Cadangan Penghapusan Piutang tahun yang bersangkutan. Apabila besarnya kerugian piutang
yang nyata-nyata tidak tertagih lebih besar dari penyisihan yang dibuat maka selisihnya dapat
menjadi biaya (Deductible Expense). Sebaliknya jika besarnya kerugian piutang yang nyata--
nyata tidak tertagih lebih kecil dari penyisihan yang dibuat maka selisihnya harus diakui
sebagai penghasilan.
5. Besarnya Angsuran PPh Ps. 25 bagi lessor dihitung berdasarkan laporan triwulan yang
disetahunkan. Perusahaan Leasing, sebagaimana usaha pembiayaan lainnya (Bank, Asuransi,

47
Pajak Penghasilan Badan

dll) diwajibkan membuat laporan keuangan triwulanan yang harus disampaikan ke lembaga
pemerintah terkait (BI dan Depkeu). Besarnya PPh 25 harus dihitung ulang setiap 3 bulan
berdasarkan laba rugi triwulan bersangkutan yang disetahunkan.
6. Jasa pembiayaan SGU dengan hak opsi tidak terutang PPN. Tetapi penyerahan barang dari
lessor ke lesse terutang PPN.
Perlakuan Perpajakan bagi Lessee
1. Lesse tidak boleh menyusutkan barang modal yang diterima
Dengan alasan yang sama seperti alasan mengapa lessor tidak boleh menyusutkan barang
leasing, lessee-pun tidak boleh menyusutkan barang leasing.
2. Seluruh pembayaran leasing (angsuran plus bunga dan biaya administrasi) boleh menjadi
pengurang (Deductible Expense).
3. Lesse tidak boleh memotong PPh 23 atas pembayaran angsuran leasing kepada lessor.
Contoh Kasus:
Lessor PT. XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II (masa manfaat 8 tahun) dengan harga
pokok Rp.200.000.000,- kepada PT. ABC (lessee). Jangka waktu leasing 36 bulan dan nilai sisa barang
setelah periode leasing adalah nihil. Dalam kontrak SGU tercantum klausula pilihan bagi lesse untuk
membeli mesin tersebut dengan harga murah pada akhir periode SGU. Pembayaran per bulan Rp.
8.000.000,-. terdiri dari pelunasan pokok hutang leasing sebesar Rp. 5.555.555,- dan bunga Rp.
2.444.445,-
Pembahasan
Perlakuan Pajaknya sebagai berikut:
Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT XYZ sebesar Rp. 8.000.000,- X 36 bulan =
Rp.288.000.000,-. Jumlah tersebut dapat menutupi harga pokok mesin sebesar Rp. 200.000.000,-. dan
nilai sisa barang setelah periode leasing. Selain itu terdapat klausula pilihan bagi penyewa untuk
memiliki mesin tersebut. Jangka waktu leasing adalah 3 tahun (36 bulan) sedangkan barang termasuk
golongan II. Hal ini memenuhi syarat Finance Lease karena untuk barang golongan II jangka waktu
leasing minimal 3 tahun. Oleh karena ke-3 syarat terpenuhi maka SGU ini tergolong SGU dengan hak
opsi (Finance Lease).
Lessor PT. XYZ Lessee PT. ABC
Mencatat Piutang Leasing sebesar = Rp. 288.000.000,-
Menerima pendapatan bunga/bulan = Rp. 2.444.445,-
Menerima pelunasan pokok/bulan = Rp. 5.555.555,-
Jumlah yang diterima = Rp. 8.000.000,- *Membayar biaya leasing Rp.8 jt
Tidak menyusutkan mesin *Tidak menyusutkan mesin
Mendebet Biaya Penyisihan Piutang Leasing 2,5% dari *Tidak memungut PPh 23
saldo piutang leasing. (Deductible Expense)

48
BAB X
SELISIH KURS VALUTA ASING

PENGANTAR
Anda mungkin pernah mendengar tentang Kurs Menteri Keuangan yang biasanya diumumkan
seminggu sekali. Mengapa Menteri Keuangan harus menentukan kurs tersendiri, yang nilainya sering
berbeda dengan kurs Bank Indonesia ? Apa gunanya Kurs Menteri Keuangan ? Apakah untuk
menghitung laba / rugi selisih kurs menurut pajak harus menggunakan kurs Menteri Keuangan? Bab
ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dari wajib pajak tentang selisih
kurs dan kurs Menteri Keuangan.

MACAM-MACAM KURS
Terdapat berbagai jenis kurs valuta asing yang sering digunakan. Kurs-kurs valuta asing
meliputi :
1. Kurs Menteri Keuangan
Kurs Menteri Keuangan adalah kurs yang ditetapkan oleh Menteni Keuangan. Mulal 1 Oktober
1997 kurs Menteri Keuangan ditetapkan tiap minggu.
2. Kurs Realisasi
Kurs realisasi yaitu kurs yang sebenarnya terjadi pada waktu perusahaan merupiahkan valas
atau pada waktu perusahaan membeli valas.
3. Kurs Bank Indonesia (kurs BI)
Kurs BI digunakan untuk mencatat hutang piutang serta transaksi dalam valuta asing. Kurs BI
terdiri dan kurs beli Bank dan kurs jual Bank. Kurs BI yang digunakan sebagai dasar
pembukuan yaitu kurs tengahnya yang merupakan rata-rata antara kurs jual dan kurs beli BI.

PENGGUNAAN KURS
A. Kurs Menteri Keuangan RI.
Pajak-pajak yang terutang dalam valuta asing harus terlebih dahulu dinilai ke dalam mata uang
rupiah. Untuk kepentingan tersebut, perlu ditetapkan keputusan tentang nilai kurs sebagai
dasar pelunasan. OIeh karena itu, Kurs Menteri Keuangan digunakan untuk :
a. Perhitungan pelunasan Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN-Import, PPh pasal 22
sesuai dengan tanggal PIB.
b. Perhitungan PPN dan PPn BM sesuai tanggal Faktur Pajak, apablia pembayaran, Harga
Jual atau Nilai Penggantian dilakukan dengan mata uang asing (pasal 14 PP No.1/2012)
c. Perhitungan PPh pasal 21 atau PPh pasal 26 apabila penghasilan diterima dalam mata
uang asing.
d. Perhitungan Pajak Ekspor.
e. Perhitungan Pajak-Pajak Final yang dibayarkan dalam valuta asing.
Contoh :
Pada tanggal 30 Juni 2013 PT. X (PKP) menjual barang secara kredit kepada PT. Y (PKP) seharga $
10.000 belum termasuk PPN. Faktur Pajak Standar dibuat tanggal 31 Juli 2012 dan dilunasi tanggal

49
Pajak Penghasilan Badan

13 Agustus 2012. Kurs Menteri Keuangan, periode 25 Juni s.d. 30 Juni 2013 Rp. 10.000, periode 29
Juli s.d 4 Agustus Rp. 10.100 dan Periode 11 Agustus s.d. 16 Agustus 2013 Rp. 10.200. Kurs manakah
yang digunakan untuk menghitung PPn terutang dan berapakah jumlah PP terutang ?
Jawab :
Faktur Pajak dibuat pada tanggal 31 Juli 2013. Saat itu kurs Menteri Keuangan adalah Rp.10.100
maka PPN dihitung sebesar 10% x $ 10.000 x 10.100 = Rp.10.100.000,-
B. Kurs Tengah Bank Indonesia
Kurs Tengah BI digunakan oleh perusahaan yang pembukuannya dengan rupiah untuk
membukukan transaksi — transaksi yang nilainya dalam valuta asing. Perbedaan selisih kurs BI
yang terjadi pada saat membukukan hutang piutang valas dengan kurs BI pada saat realisasi
menimbulkan laba atau rugi selisih kurs.
Contoh 1:
Sama seperti contoh 2, pada tanggal 30 Juni 2008 PT. X (PKP) menjual barang secara kredit
kepada PT. Y (PKP) seharga $ 10.000 belum termasuk PPN. Penjualan tersebut dilunasi tanggal 13
Agustus 2008. Kurs Tengah BI 30 Juni 2008 Rp. 10.200 dan kurs realisasi tanggal 13 Agustus 2008
Rp. 10.300. Pertanyaannya, berapakah laba rugi selisih kurs, kurs manakah yang digunakan dan
bagaimana jurnalnya ?
Jawab
Penjualan PT X = $10.000 x Rp. 10.200( kurs BI 30 Juni) Rp. 102.000.000,-
Jumlah yang dibayar PT. Y Rp. 103.000.000,-
Selisih kurs = $10.000 x (Rp. 10.300 - Rp. 10.200) Rp. 1.000.000,-

Tanggal Jurnal PT X Jurnal PT Y


30/06 Piutang dagang 102.000.000 Pembelian 102.000.000
Penjualan 102.000.000 Utang Dagang 102.000.000
13/08 Kas/Bank 103.000.000 Utang Dagang 102.000.000
Piutang Dagang 102.000.000 Rugi selisih kurs 1.000.000
Laba selisih kurs 1.000.000 Kas/Bank 103.000.000

Contoh 2 :
Pada tanggal 30 April 2008 PT. A mendepositokan uangnya $10.000,- dengan kurs jual BI Rp.
12.457,- atau dikeluarkan uang Rp 124.570.000,- dalam jangka waktu 6 bulan, jatuh tempo 31
Oktober 2008, pada saat pencairan kurs beli bank misalnya Rp. 13.200,- perhitungan keuntungan
selisih kurs
Rupiah yang dikeluarkan ( $10.000 x Rp. 12.457) = Rp.124.570.000,-
Rupiah diterima ( $10.000 x Rp. 13.200) = Rp.132.000.000,-
Keuntungan selisih kurs $10.000 x (Rp. 13.200 - Rp. 12.457) = Rp.7.430.000,-

SELISIH KURS AKHIR TAHUN


PSAK mensyaratkan hutang piutang dalam valuta asing pada akhir tahun harus dinyatakan
dalam kurs per tanggal 31 Desember. Pajak memberikan pilihan bagi wajib pajak baik untuk
menyesuaikan nilai hutang piutang valas pada akhir tahun (berdasarkan kurs BI) maupun tidak,
asalkan dilaksanakan secara taat asas/ konsisten. Apabila WP tidak menyesuaikan nilai hutang
piutang valas sesuai kurs pada akhir tahun berarti WP menggunakan sistem kurs tetap.
Contoh 3 :

50
Pada tanggal 15 November 2008 PT. KLM mendapat pinjaman USD 1.000.000,- dalam jangka waktu 2
tahun atau jatuh tempo 14 November 2010.
kurs tengah BI 15-11-2008Rp. 12.000,00
31-12-2008Rp 11.000,00
31-12-2009Rp 13.000,00
14-11-2010Rp 12.000,00
Jawab
a. Pembukuan berdasarkan Kurs Tetap.
Pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya pembayaran utang valas, tiap-tiap akhir
tahun (31 Desember) tidak mengakui adanya selisih kurs.
15-11-2008 Pembukuan utang valas Rp. 12.000.000.000,00
14-11-2010 Pembayaran Rp. 12.000.000.000,00
Tidak ada Rugi selisih kurs
b. Pembukuan berdasarkan Kurs Tengah BI.
Pada tiap-tiap akhir tahun dapat mengakui rugi selisih kurs.
15-11-2008 Pembukuan utang valas Rp.12.000.000.000,00
31-12-2008 Utang valas menjadi Rp. 11.000.000.000,00 -
Laba selisih kurs Rp. 1.000.000.000,00
31-12-2008 Utang valas Rp. 11.000.000.000,00
31-12-2009 Utang valas menjadi Rp. 13.000.000.000,00 -
Rugi selisih kurs Rp. 2.000.000.000,00
31-12-2010 Utang Valas Rp. 13.000.000.000,00
14-11-2010 Utang Valas Rp. 12.000.000.000,00
14-11-2010 Laba selisih kurs Rp. 1.000.000.000,00

Perhatikan bahwa sebenarnya pembukuan berdasarkan kurs tetap maupun kurs tengah BI pada
akhirnya menghasilan jumlah laba atau rugi selisih kurs yang sama. Laba dan rugi selisih kurs yang
terjadi akibat mengunakan kurs tengah BI pada contoh diatas bila dijumlahkan adalah nihil. Hasil
nihil tersebut sama dengan hasil bila menggunakan kurs tetap. Tetapi mengingat PSAK
mengharuskan penyesuaian kurs valas pada akhir tahun maka disarankan WP menggunakan sistem
kurs tengah BI agar pembukuan komersial dan pembukuan fiskal tidak jauh berbeda.

51
Pajak Penghasilan Badan

BAB XI
REVALUASI AKTIVA TETAP

PENGANTAR
Terdapat kesamaan antara PSAK dan Pajak dalam hal pencatatan aktiva tetap. Keduanya
menganut prinsip Historical Cost, yaitu mencatat aktiva sebesar harga perolehan. Aktiva yang dibeli
seharga 10 juta akan tetap tercatat seharga 10 juta walaupun harga pasarnya sudah 10 milyar. Paragraf
66 PSAK 16 dan Pasal 19 ayat (1) UU PPh mengijinkan aktiva tetap diganti nilainya menjadi sesuai
dengan harga pasar ( direvaluasi) jika sudah membayar PPh Final atas revaluasi sebesar 10 % dari
selisih antara harga pasar dengan nilai buku aktiva. Jadi jika ingin merubah nilai aktiva di neraca dari
10 juta menjadi 10 milyar harus membayar PPh sebesar 10 % x (10 milyar - 10 juta) = Rp. 999 juta.
Ternyata ada banyak perusahaan yang rela membayar PPh sebesar itu hanya untuk merubah angka
aktiva tetap neraca!
Kenapa perusahaan melakukan revaluasi ? Apa untung ruginya revaluasi ? Apakah hanya
sekedar berubahnya angka di neraca sesuai harga pasar ? Jika memang perusahaan ingin melakukan
revaluasi, bagaimana caranya ? Silakan anda mengikuti pembahasan dibawah ini.

ALASAN REVALUASI
Ketentuan revaluasi diatur khusus akibat terjadi devaluasi serta depresiasi rupiah yang
menyebabkan distorsi nilai aktiva serta nilai transaksi yang dicatat dalam laporan keuangan. Dalam
perkembangannya, Wajib Pajak memiliki alasan lain dalam melakukan revaluasi yaitu :
1. Meningkatkan nilai perusahaan (mark-up) sehingga memudahkan perusahaan dalam proses
pencarian dana, baik melalui pinjaman bank maupun penjualan saham (go publik)
2. Meningkatkan biaya penyusutan aktiva tetap dimasa datang sehingga deductible expense
dimasa datang semakin besar dan beban pajak semakin kecil.
3. Meningkatkan keakuratan perhitungan penghasilan maupun biaya sehingga menceriminkan
kemampuan perusahaan yang sebenarnya dalam menghasilkan laba.
4. Agar neraca perusahaan menunjukkan posisi kekayaan perusahaan yang sebenarnya.

SUBJEK DAN OBJEK REVALUASI


Ketentuan PPh atas Revaluasi aktiva tetap diatur dalam PMK-79/PMK.03/2008. Wajib Pajak
yang berhak melakukan revaluasi (subyek revaluasi) adalah WP Badan dalam negeri yang
menggunakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat. Contohnya
PT, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan dalam bentuk
apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan, atau organisasi yang sejenis,
lembaga, dana pensiun, dan bentuk usaha lainnya.
WP orang pribadi dalam negeri, walaupun menggunakan pembukuan, tidak berhak melakukan
revaluasi karena tidak terjadi pemisahan harta antara harta pribadi dan harta perusahaan. BUT serta
WP Luar Negeni juga tidak termasuk WP yang dapat melakukan revaluasi karena relatif tidak
terkena dampak depresiasi rupiah.
WP Badan dalam negeri diijinkan melakukan revaluasi jika telah memenuhi semua kewajiban
pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum dilakukan revaluasi. Contohnya melaporkan
SPT Masa PPh dan PPN, dan membayar semua tunggakan pajak (STP dan SKPKB maupun SPPT
PBB).

52
Aktiva Tetap yang dapat direvaluasi adalah semua aktiva tetap berwujud (tanah, kelompok
bangunan dan non bangunan ) yang tidak dimaksudkan untuk dijual. yang dipakai untuk menagih,
mendapatkan dan memeliharan penghasilan yang merupakan obyek PPh. Aktiva lancar ( piutang,
persediaan) maupun aktiva tidak berwujud (goodwill, patent) tidak dapat direvaluasi. Demikian juga
dengan aktiva leasing Finance Lease. Lessor maupun lesse boleh melakukan revaluasi setelah periode
leasing berakhir saat lesse menggunakan hak opsi atau saat lessor mengambil kembali aktiva leasing.
Revaluasi dapat dilakukan untuk seluruh aktiva ataupun hanya untuk aktiva-aktiva tertentu yang
dianggap menguntungkan jika direvaluasi. Dengan demikian manfaat revaluasi menjadi lebih besar
serta biaya jasa penilai (Appraisal) menjadi berkurang.

CARA MELAKUKAN REVALUASI


Untuk mendapatkan persetujuan atas revaluasi, Wajib Pajak harus menyampaikan
pemberitahuan revaluasi ke KPP tempat WP terdaftar (dengan formulir khusus) dengan melampirkan
a. Laporan Penilaian Aktiva Tetap dari Penilai (Appraisal) yang diakui pemerintah
b. Laporan Keuangan untuk tahun baku terakhir sebelum revaluasi
c. Penghitungan selisih lebih revaluasi dan besarnya PPh terutang yang dirinci dalam Daftar
Penilaian kembali Aktiva Tetap dengan formulir khusus
d. SSP atas pembayaran PPh terutang dibayar setelah revaluasi disetujui
e. Fotocopy izin usaha appraisal yang dilegalisir penerbit.
Dalam jangka waktu 1 bulan setelah tanggal pelaporan Wajib Pajak diterima lengkap, Kakanwil
DJP yang membawahi KPP domisili WP yang bersangkutan wajib menerbitkan pengesahan atau
penolakan perhitungan revaluasi.(KMK-486/KMK.03/2002). Oleh karenanya, hal-hal yang perlu
dilakukan wajib pajak adalah
a. Meminta appraisal yang diakui pemerintah untuk menilai kembali aktiva-aktiva tetap yang
ingin direvaluasi dalam bentuk Laporan Penilaian.
b. Meminta Akuntan Publik untuk mengaudit laporan keuangan wajib pajak, terutama neraca
sebelum dan sesudah revaluasi. Dan laporan audit tersebut dihitung juga selisih penilaian
kembali.
c. Menginventarisir semua hutang pajak yang belum dibayar. Bila perlu mengkonfirmasikan hal
tersebut ke KPP
d. Membayar semua hutang pajak serta PPh Final atas revaluasi.
Wajib Pajak harus cermat dalam menjalankan Iangkah-langkah diatas karena WP harus
mengeluarkan uang untuk membayar PPh.

PERHITUNGAN PPh FINAL REVALUASI


Selisih lebih revaluasi dihitung dengan mengurangkan nilai pasar aktiva (hasil penilaian)
dengan Nilai Sisa Buku Fiskal aktiva tersebut. PPh yang harus dibayar adalah 10 % x selisih lebih
Revaluasi dan bersifat final. Apabila ada kompensasi kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya yang
masih dapat dikompensasikan, maka selisih revaluasi terlebih dahulu wajib dikompensasikan dengan
urutan sebagaimana urutan kompensasi sesuai pasal 6 ayat (2) UU PPh.
Selisih lebih penilaian aktiva setelah kompensasi kerugian dibukukan ke perkiraan ―Selisih
Penilaian Kembali Aktiva‖ dalam perkiraan modal. Bila PPh terutang atas revaluasi sampai dengan 2
Triliun, PPh Final 10 % dapat dibayar dengan mengangsur maksimal 12 bulan, tidak harus prorata.
Harus prorata tiap tahun jika :
a. > 2 triliun s/d 4 triliun, masa angsuran 2 tahun
b. > 4 triliun s/d 6 triliun, masa angsuran 3 tahun
c. > 6 triliun s/d 8 triliun, masa angsuran 4 tahun
d. > 8 triliun, masa angsuran 5 tahun

53
Pajak Penghasilan Badan

PERLAKUAN AKTIVA TETAP SETELAH DIREVALUASI


Aktiva tetap setelah direvaluasi akan memiliki nilai buku sesuai dengan harga pasar. Harga
pasar tersebut merupakan dasar penyusutan yang baru dan mulai berlaku pada tahun pajak
dilakukannya revaluasi. Penyusutan atas aktiva tetap yang telah ndirevaluasi dimulai pada bulan
dilakukannya revaluasi. Masa manfaat aktiva menjadi kembali mulai nol tahun atau seolah-olah
belum pernah disusutkan. Tambahan masa manfaat menurut penilai akan menentukan kelompok dan
tarif penyusutan yang baru. Aktiva yang telah direvaluasi tersebut tidak boleh dialihkan sebelum
berakhirnya masa manfaat yang baru (nilai sisa buku fiskal menjadi nihil), kecuali dalam hal (Pasal8
ayat (2) UU PPh jo. PMK-79/PMK.03/2008) :
a. pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau
kebijakan pemerintah atau keputusan pengadilan
b. pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka memenuhi persyaratan penggabungan,
peleburan atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan
c. penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang
tidak dapat diperbaiki lagi
apabila terjadi pengalihan (di luar yang dikecualikan), maka akan dikenakan sanksi tambahan 20%
tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun sebelumnya dan terutang pada saat
pengalihan dilakukan. Aturan ini diterapkan mengingat aktiva yang sudah direvaluasi sangat
berpotensial menyebabkan kerugian jika dijual (karena nilai bukunya sudah disamakan dengan harga
pasar). Kerugian karena pengalihan aktiva tetap adalah deductible expense yang akan mengurangi
PPh terutang pihak penjual.
Contoh Kasus
Pada tanggal 1 Januari tahun 2008 PT X melakukan penilaian kembali beberapa aktiva perusahaannya.
Posisi aktiva perusahaan pada tanggal tersebut adalah sebagai berikut
Aktiva Tetap Nilai Buku FiskalNilai Pasar Selisih Lebih
Tanah 2.000 juta 2.500 juta 500 juta
Bangunan 200 juta 450 juta 250 juta
Mesin 1.000 iuta 8.000 juta 7.000 iuta
3.200 juta 10.950 juta 7.750 juta
Untuk tahun 2008 PT memperoleh laba sebesar Rp. 200 juta. Tahun-tahun sebelumnya PT X mencatatkan
kerugian sebagal berikut :
2002 rugi 3.000 juta 2005 rugi 200 juta
2003 rugi 250 juta 2006 rugi 100 juta
2004 rugi 2.000 juta
Pertanyaan:
Berapakah PPh Final atas revaluasi aktiva tetap yang harus dibayar ?
Jawaban:
Terlebih dahulu PT X mengkompensasikan laba tahun 2008 sebesar 200 juta dengan rugi tahun 2003
sebesar 300 juta sehingga sisa rugi tahun 2003 adalah Rp. 2.800 juta.
Kemudian selisih revaluasi di kompensasikan dengan urutan sebagai berikut :
Selisih Lebih Kompensasi Kerugian Sisa Selisih Iebih
Rp. 7.750juta Tahun 2002 Rp.2800 juta Rp. 4.950juta
Rp. 4.950 juta Tahun 2003 Rp. 250 juta Rp. 4.700 juta
Rp. 4.700 juta Tahun 2004 Rp. 2.000 juta Rp. 2.700 juta
Rp. 2.700 juta Tahun 2005 Rp. 200 juta Rp. 2.500 juta
Rp. 2.500 juta Tahun 2006 Rp. 100 juta Rp. 2.400 juta
PPh Revaluasi aktiva tetap = 10% x 2.400 juta
= Rp 240 juta (Final)
Apabila Revaluasi tersebut dilakukan dalam rangka pengabungan usaha (merger atau konsolidasi)
maka PPh Final sebesar Rp. 300 juta dapat diangsur sampai 5 tahun minimal 20 % per tahun

54
BAB XII
RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN

PENGANTAR
Pada bab Revaluasi Aktiva Tetap telah dibahas salah satu cara untuk meningkatkan nilai
perusahaan yaitu dengan meningkatkan nilai buku aktiva tetap. Langkah revaluasi biasanya akan
dilanjutkan dengan Restrukturisasi perusahaan melalui penggabungan usaha (merger atau
konsolidasi) atau pemekaran usaha. Apabila perusahaan peserta merger atau konsolidasi terlebih
dahulu direvaluasi maka perusahaan baru hasil merger atau konsolidasi akan memiliki nilai aset yang
jauh lebih besar dibandingkan jika tidak direvaluasi terlebih dahulu.
Kombinasi 2 langkah tersebut didukung sepenuhnya oleh pajak dengan berbagai fasilitas
perpajakan. Fasilitas perpajakan tersebut hanya diberikan bagi perusahaan yang melakukan merger
atau konsolidasi yang terlebih dahulu melakukan revaluasi. Apakah fasilitas-fasilitas perpajakan
tersebut? Bagi anda yang berminat merestrukturisasi perusahaan sebaiknya mengikuti pembahasan
dibawah ini terlebih dahulu.

RESTRUKTURISASI MENURUT AKUNTANSI


Dikenal 3 macam bentuk restrukturisasi perusahaan yaitu
1. Penggabungan Usaha (Merger: A + B = A)
Merupakan penggabungan usaha dimana satu perusahaan tetap berdirinya dan melikuidasi
badan usaha lain yang ikut menggabungkan diri
Contoh Bank Duta dimerger dengan Bank Danamon kemudian Bank Duta dilikuidasi
2. Peleburan Usaha (Konsolidasi: A + B = C)
Merupakan penggabungan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi
badan-badan usaha yang bergabung
Contoh PT Bank Exim, PT Bapindo, dli melakukan konsolidasi membentuk badan baru yaitu
PT Bank Mandiri
3. Pemekaran Usaha (A = A + B)
Pemisahan satu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan
badan usaha baru tanpa melakukan likuidasi badan usaha lama.
Contoh Divisi Distribusi PT Kalbe Farma menjadi perusahaan sendiri yaitu PT Enseval.
Pada dasarnya merger, konsolidasi atau pemekaran usaha adalah pengalihan harta dari satu
perusahaan ke perusahaan lain. Tetapi harta yang dialihkan bukan hanya 1 atau 2 buah melainkan
seluruh harta dan hutang perusahaan (aktiva bersih).
Nilai perolehan harta yang dialihkan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran
usaha harus dicatat berdasarkan Harga Pasar. Selisih antara Harga Pasar dengan nilai sisa buku harta
yang dialihkan merupakan penghasilan (capital gain ). Tetapi apabila nilai perolehan harta yang
dialihkan dicatat berdasarkan Nilai Buku maka selisih antara Harga Pasar dengan nilai sisa buku harta
yang dialihkan besarnya nihil. Oleh karena itu akuntansi mengenal 2 macam metode pencatatan nilai
perolehan harta dalam rangka restrukturisasi yaitu
a. Metode Pembelian ( Purchase method)
Yaitu metode penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dimana nilai perolehan harta
dicatat berdasarkan Harga Pasar.
b. Metode Penyatuan kepemilikan (Pooling of Interest)
Yaitu metode penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dimana nilai perolehan harta
dicatat berdasarkan Nilai Buku.

55
Pajak Penghasilan Badan

RESTRUKTURISASI MENURUT PAJAK


Pada bab Penilaian Harta Perusahaan dibahas bahwa nilai perolehan harta yang dialihkan
dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan
usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan Harga Pasar, kecuali
ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan (pasal 10 ayat 3 UU PPh). Pengecualian tersebut dituangkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa penggabungan usaha dengan nilai buku
(metode Pooling of Interest) dapat digunakan untuk kepentingan pajak dalam hal
a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial
Public Offering); atau
b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan
penawaran umum perdana (Initial Public Offering).
Peraturan Menteri Keuangan yang dimaksud diatas adalah PMK-43/PMK.03/2008
Untuk dapat menggunakan nilai buku dalam kedua hal diatas, Wajib Pajak harus mengikuti
prosedur yang telah ditentukan. Apabila WP tidak dapat memenuhi prosedur, maka pengalihan harta
untuk 2 (dua) tujuan diatas harus tetap menggunakan nilai pasar.
Pengalihan harta selain untuk kedua tujuan diatas tetap harus menggunakan nilai pasar
(metode purchase). Contohnya pengalihan harta dalam rangka likuidasi atau pengambil-alihan usaha
(akuisisi) harus menggunakan nilai pasar serta mengakui capital gain.
Khusus untuk WP yang melakukan pengalihan harta dalam rangka pemekaran usaha dalam
rangka ―Go Public‖, dalam jangka waktu 1 tahun setelah pemekaran sudah harus menyerahkan
pernyataan pendaftaran efektif dari Bapepam dan dalam waktu 3 tahun sudah harus melakukan
penjualan saham perdana (Initial Public Offering). Apabila jangka waktu tersebut dilampaui maka
pengalihan harta harus menggunakan nilal pasar.
Dalam rangka IPO, Wajib Pajak yang telah menerima pengalihan harta dengan nilai buku
dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha tanpa melakukan revaluasi aktiva tetap, dapat
menerima pengalihan rugi fiskal dari Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dan melakukan
kompensasi rugi fiskal, setelah terlebih dahulu mendapat izin Menteri Keuangan dan melakukan
revaluasi atas seluruh aktiva tetap dengan harga pasar saat penggabungan/peleburan.

FASILITAS PAJAK RESTRUKTURISASI MENGGUNAKAN NILAI BUKU


Diperbolehkannya penggunaan nilai buku (metode pooling of interest) merupakan fasilitas
perpajakan dari pemerintah karena dengan metode ini tidak akan ada capital gain (dalam bentuk
negative goodwill ) sehingga Wajib Pajak tidak dikenakan tambahan pajak.
Selain itu masih terdapat fasilitas perpajakan lain yang dapat dinikmati bila penggabungan atau
pemekaran usaha memenuhi syarat yaitu
a. Pemekaran usaha dengan pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham
menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan
mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan
tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama (PMK-43/PMK.03/2008)
b. Atas permohonan WP, Dirjen Pajak dapat memberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 50 % atas pengalihan tanah dan atau bangunan dalam
rangka merger (KEP-221/PJ.2002).
c. WP yang mengalihkan harta berupa tanah dan/atau bangunan dibebaskan dan PPh atas
pengalihan tanah dan/atau bangunan berdasarkan PP 48 tahun 1994 Jo PP 27 tahun 1996 Jo PP 79
tahun 1999 jo PP 71 Tahun 2009 (SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999)
d. Hak-hak WP yang mengalihkan harta akan dilimpahkan ke WP yang menerima pengalihan harta.
Contohnya permohonan restitusi, fasilitas-fasilitas pajak serta kredit pajak-kredit pajak WP yang
mengalihkan harta menjadi hak WP yang menerima pengalihan harta. Namun untuk pengalihan

56
fasilitas pajak, WP yang menerima pengalihan harus mengajukan permohonan pengalihan fasilitas
ke DitJen Pajak.

PROSEDUR RESTRUKTURISASI MENGGUNAKAN NILAI BUKU


Untuk dapat melakukan restrukturisasi menggunakan nilai buku, WP harus memenuhi
serangkaian prosedur dibawah ini. Mengingat kegagalan memenuhi prosedur ini akan mengakibatkan
pengalihan harta harus dinilai dengan Harga Pasar dan keuntungan yang diperoeh dikenakan PPh,
maka sebaiknya prosedur dibawah ini anda pahami.
a. Mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP tempat
pemohon terdaftar, selambat-Iambatnya 6 bulan sesudah proses penggabungan, peleburan atau
pemekaran usaha dilakukan.
- dalam hal penggabungan atau peleburan usaha, permohonan diajukan oleh Wajib Pajak
yang menerima pengalihan harta.
- dalam hal pemekaran usaha, permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan
pengalihan harta.
b. Melunasi seluruh utang pajak dan tiap badan usaha yang terkait, termasuk cabang/perwakilan
yang terdaftar di KPP-KPP lokasi
c. Laporan Keuangan Wajib Pajak, khususnya untuk tahun pajak dilakukannya pengalihan harta,
harus diaudit oleh Akuntan Publik.
d. Apabila permohonan Wajib Pajak sudah Iengkap, Kakanwil DJP menerbitkan surat keputusan
persetujuan atau penolakan selambat-lambatnya 1 bulan sejak diterimanya permohonan secara
lengkap. Jika batas waktu 1 bulan telah lewat maka permohonan Wajib Pajak dianggap
diterima dan kepadanya diterbitkan surat keputusan persetujuan.
Setelah permohonan penggabungan atau pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku disetujui,
maka berlaku ketentuan-ketentuan dibawah ini :
- Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku dimana pengalihan
harta tadi dilakukan secara prorata (penghitungan bulanan) berdasarkan masa manfaat yang
tersisa sebagaimana yang tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang melakukan
pengalihan harta.
- Apabila penggabungan, peleburan, pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan :
a. PPh pasal 25 Wajib Pajak yang baru, tidak boleh lebih kecil dan jumlah PPh pasal 25
dan pihak-pihak yang mengalihkan.
b. Pembayaran, pemungutan, dan pemotongan PPh yang telah dilakukan sebelumnya,
dapat dipindahkan bukukan menjadi pembayaran, pemungutan/pemotongan PPh dan
Wajib Pajak yang menerima pengalihan.
- Dalam hal penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan,
maka :
a. kewajiban formal penyampaian SPT Masa/Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang
melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha,
berakhir sampai dengan Masa Pajak/Bagian Tahun Pajak dilakukannya penggabungan
atau peleburan usaha.
b. kewajiban formal penyampajan SPT Masa/Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang
menerima pengalihan harta dalam rangka peleburan dan pemekaran usaha, dimulai
sejak Wajib Pajak terdaftar di KPP setelah pendirian badan usaha baru.

57
Pajak Penghasilan Badan

BAB XIII
KREDIT PAJAK WP BADAN

PENGHASILAN NETO DAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG DIBAYAR/DIPOTONG/


TERUTANG DI LUAR NEGERI
Dimungkinkan warga negara Indonesia mempunyal usaha dan penghasilan dari luar negeri
(Investasi, bunga, istri bekeria di luar negeri dan sebagainya). Penghasilan dari luar negeri tersebut
dilaporkan dengan cara :
1. Melaporkan rincian penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri dan penghitungan
kredit pajak luar negeri dari Wajib Pajak sendiri, istri dan anak/anak angkat yang belum dewasa
dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali penghasilan
a. Istri yang telah hidup berpisah
b. Istri yang mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
2. Mengajukan permohonan kredit pajak luar negeri.
(Pasal 24, 4 UU PPh jo. Kep.Men.Keu.No.640/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 jo
KMK-164/KMK.03/2002) Permohonan kredit pajak luar negeri harus dilampiri dengan
a. Laporan Keuangan dan penghasilan yang berasal dan hasil usaha negeri diluar Negeri,
b. Fotokopi surat pemberitahuan pajak yang disampaikan di luar negeri,
c. Fotokopi dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Penghasilan yang telah dipotong Pajak Penghasilan di luar negeri tersebut dapat dikreditkan
(dikurangkan dari PPh terutang) melalui mekanisme pengkreditan PPh Pasal 24 yaitu dengan cara
memilih antara penghasilan yang telah dipotong di luar negeri dengan kredit pajak yang dihitung dari
penghasilan neto. Yang diperbolehkan dikreditkan adalah yang paling kecil antara PPh yang telah
dipotong di luar negeri dengan perhitungan dari penghasilan neto luar negeri dibandingkan dengan
total penghasilan tersebut (Lihat contoh soal).
Jika ada kompensasi kerugian yang masih dapat dikurangkan maka perhitungan penghasilan
neto adalah setelah kompensasi kerugian tersebut. Dalam hal penghasilan dalam negeri lebih kecil
dan penghasilan luar negeri maka maksimal kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan adalah
sebesar pajak atas Penghasilan Kena Pajak.
Contoh :
Penghasilan Dalam Negeri menyatakan Rugi Rp. 400 juta sedangkan penghasilan luar negeri
menyatakan untung Rp. 500 juta. Pajak yang telah dibayar diluar negeri sebesar Rp. 150 juta.
Penghitungan PPh 24 yang dapat dikreditkan
Jawab
Penghitungan PPh terutang
Penghasilan Dalam Negeri Rugi (Rp. 400 juta)
Penghasilan Luar Negeri untung Rp. 500 juta
Penghasilan Kena Pajak Rp. 100 juta

58
PPh Terutang 10 % x Rp. 50 juta Rp. 5 juta
15 % X Rp. 50 juta = Rp. 7,5 juta
Jumlah = Rp. 12,5 juta
Kredit Pajak PPh 24 yang dapat dikreditkan
Rumus umum PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan
= penghasilan LN X PPh Terutang
pengh. kena pajak

= Rp. 500.000.000 x Rp. 12.500.000


Rp. 100.000.000

= Rp. 62.500.000
Tetapi karena Penghasilan Luar Negeri Iebih besar dari penghasilan dalam negeri, maka maksimal
PPh 24 yang dapat dikreditkan adalah sebesar PPh atas Penghasilan Kena Pajak yaitu Rp. 12.500.000,-
(Bandingkan dengan PPh yang sebenarnya dipotong sebesar Rp.150.000.000)

59
Pajak Penghasilan Badan

BAB XIV
ANGSURAN PPH PASAL 25
BAGI WP TERTENTU

PENGANTAR
Sistem perpajakan kita menganut asas convenience to pay yang berarti bahwa Wajib
Pajak diharapkan membayar pada saat yang paling menguntungkan dirinya. Prinsip ini
mengandung arti bahwa pembayaran pajak dapatlah mencapai win-win solution baik bagi negara
maupun bagi Wajib Pajak. Dengan adanya pembayaran pajak dimuka maka Wajib Pajak lebih
ringan bebannya dalam membayar beban pajak yang terutang pada akhir tahun dan sebaliknya
bagi pemerintah akan ada cash inflow untuk pembiayaan negara.
Pelunasan pajak dalam Tahun Pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang
nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap PPh yang. terutang untuk
Tahun Pajak yang bersangkutan. Untuk pelunasan pajak yang bersifat final tidak dapat
dikreditkan dengan PPh terutang.

ANGSURAN PPh PASAL 25


Pada prinsipnya besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada SPT
Tahunan PPh tahun yang lalu. Perhitungan masih mempertimbangkan prinsip penghitungan
angsuran PPh 25 sebagaimana diulas dalam Modul PPh Orang Pribadi dengan menggunakan
lapisan tarif pasal 17 UU PPh tahun 2000. Namun demikian dengan pertimbangan lainnya
ditetapkan bahwa angsuran Wajib Pajak Tertentu ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam
KMK No. 522/ KMK. 04/2000 jo. KMK-394/KMK.03/2001 jo. KMK-84/KMK.03/2002 jo. PMK-
255/PMK.03/2008 jo PMK 208/PMK.03/2009. Berikut ini beberapa mekanisme penghitungan
angsuran PPh 25 :
1. Wajib Pajak Baru
Wajib Pajak baru adalah badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha
atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
Besarnya angsuran PPh pasal 25-nya ditetapkan sebesar PPh yang dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas penghasilan netto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua
belas). Penghasilan netto tersebut diperoleh dari
a. dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan maka penghasilan netonya
dihitung berdasarkan pembukuannya.
b. dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan dan tidak menyelenggarakan
pembukuan, maka penghasilan nettonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan.

60
2. Wajib Pajak Bank dan SGU dengan Hak Opsi.
Besarnya angsuran PPh pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas aba rugi
fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh pasal
24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun yang laIu, dibagi 12 (dua belas).
Dalam hal Wajib Pajak Bank dan SGU dengan hak opsi tersebut merupakan Wajib Pajak
baru, maka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah PPh
yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba/rugi fiskal triwulan
pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
3. Wajib Pajak BUMN dan BUMD, kecuali Wajib Pajak Bank dan SGU dengan hak opsi
besarnya angsuran PPh pasal 25 adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan
tarif umum atas laba/rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP)
tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) dikurangi pemotongan dan pemungutan PPh 22, 23, serta 24 yang dibayar atau
terutang di luar negeri tahun pajak yang laIu, dibagi 12 (dua belas). Dalam hal RKAP belum
disahkan, maka angsuran PPh pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan
adalah sama dengan angsuran PPh pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.

PENGHITUNGAN ANGSURAN
Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-537/PJ./2000, ada beberapa hal
tertentu yang mempengaruhi penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan. Hal-hal tertentu itu antara lain
A. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian
Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan, Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai
dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A UU No. 7 Tahun 1983 stdd UU No. 17 Tahun
2000 sttdd UU No 36 Tahun 2008.
1. Apabila jumlah sisa kerugian habis dikompensasikan dengan penghasilan neto Tahun Pajak
yang bersangkutan atau Tahun Pajak yang bersangkutan merupakan Tahun Pajak terakhir
untuk dapat melakukan kompensasi kerugian, maka angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal
25 Tahun Pajak berikutnya dihitung atas dasar penghasilan neto Tahun Pajak yang
bersangkutan.
a. Kerugian habis dikompensasi dengan Penghasilan Neto
Contoh 1 :
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2012
Penghasilan Neto Rp. 100.000.000,00
Kompensasi atas kerugian tahun 2011 Rp. 20.000.000,00
Penghasilan Neto setelah kompensasi Rp 88.000.000,00
b. Sisa Kerugian tidak bisa dikompensasi untuk tahun berikutnya
Contoh 2 :
Penghasilan Neto Rp. 100.000.000,00
Sisa kerugian tahun 2003 Rp. 150.000.000,00
dikompensasi Rp. 100.000.000,00
Penghasilan Neto setelah kompensasi NIHIL

61
Pajak Penghasilan Badan

Catatan
Masih terdapat sisa kerugian Tahun Pajak 2003 setelah dikompensasi sebesar Rp
50.000.000,00, maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasi dengan
penghasilan Neto Tahun Pajak 2009 karena telah lewat waktu 5 (lima) tahun.
Apabila Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21,22,23, dan 24 tahun pajak 2008 Rp
3.250.000,00, maka perhitungan PPh Pasal 25 tahun Pajak 2009 untuk contoh 1 dan 2
adalah sebagai berikut :
Penghasilan Neto Tahun Pajak 2012 Rp 100.000.000,00
Kompensasi kerugian tahun sebelumnya Rp. 0,00
Penghasilan Kena Pajak Rp. 100.000.000,00
PPh Terutang (asumsi tarif tanpa fasilitas (tarif 25%)
= 25% x 100.000.000 Rp. 25.000.000

Pajak Penghasilan Pasal 21,22,23, dan 24 Rp 3.250.000,00 -


Pajak Penghasilan Kurang (Lebih) Bayar Rp 21.750.000
Angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak 2013:
1/12 x Rp 25.000.000 = Rp. 2.083.000,00
2. Apabila jumlah sisa kerugian tidak habis dikompensasi dengan penghasilan neto
Tahun Pajak yang bersangkutan dan Tahun Pajak yang bersangkutan tidak
merupakan Tahun Pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi, sehingga
masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto
Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak yang
bersangkutan dikurangi dengan sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan
dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya.
3. Apabila penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan Iebih kecil dan sisa
kerugian yang masih dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak
berikutnya, maka angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak
benikutya adalah NIHIL.
Contoh:
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2010
Penghasilan Neto Rp. 100.000.000,00
Kerugian thn ’06 Rp. 250.000.000,00 dikompensasi Rp. 100.000.000,00
Penghasilan Neto seteiah kompensasi NIHIL
Catatan :
Misal terdapat sisa kerugian Tahun Pajak 2006 yang belum dikompensasi sebesar Rp
200.000.000 Maka atas sisa kerugian tersebut dapat dikompensasi dengan penghasilan
neto Tahun Pajak 2011. Penghitungan PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2011 adalah sebagai
berikut :
Penghasilan Neto Tahun Pajak 2010 Rp 100.000.000,00
Sisa kerugian Tahun Pajak 2006 yang
masih dapat dikompensasi Rp 100.000.000,00
Penghasilan Neto setelah kompensasi Rp 0,00
Penghasilan Kena Pajak Rp. 0,00
PPh Terutang Rp. 0,00
PPh yang harus dibayar sendiri Rp 0,00
Angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2009
1/12 x Rp. 0,00 NIHIL

62
B. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.
Yang termasuk penghasilan tidak teratur adalah keuntungan selisih kurs dan utang/piutang
dalam mata uang asing (pokok utang piutangnya saja dan digabung antara keuntungan
selisih kurs dan kerugian selisih kurs) serta keuntungan dan pengalihan harta (capital gain)
sepanjang bukan merupakan penghasilan dan kegiatan usaha pokok, serta penghasilan
Iainnya yang bersifat insidentil.
C. SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan.
Apabila SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang IaIu disampaikan Wajib
Pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan, maka besarnya PPh Pasal 25 untuk
bulan-bulan mulal batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan sebelum
disampaikannya SPT Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak Penghasilan
bulan terakhir tahun pajak yang IaIu dan bersifat sementara.
D. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
Dalam kondisi ini besarnya PPh Pasal 25 adalah sama dengan besarnya PPh Pasal 25 yang
dihitung berdasarkan SPT Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak pada saat
mengajukan permohonan ijin perpanjangan.
Besanya PPh pasal 25 mulai bulan batas waktu penyampalan SPT Tahunan PPh sampai
dengan bulan disampaikannya SPT Tahunan yang bersangkutan adalah sama besarnya
dengan PPh pasal 25 menurut perhitungan sementara yang disampaikan WP pada saat
penyampaian SPT Tahunan Sementara.
Setelah WP menyampaikan SPT Tahunan, besarnya angsuran dihitung sebagai berikut :
a. Berdasarkan perhitungan menurut SPT yang disampaikan dikurangi dengan PPh
Pemotongan Pemungutan dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
b. Dalam hal WP berhak atas kompensasi kerugian atau penghasilan tidak teratur, PPh
25 dihitung menurut contoh-contoh diatas.
c. Apabila perhitungan menurut SPT Tahunan tersebut menghasilkan angsuran PPh
pasal 25 yang lebih besar, maka kekurangannya disetor lagi dengan ditambah bunga 2
% sebulan terhitung mulai dan bulan batas terakhir penyampaian SPT Tahunan
sampai bulan disampaikannya SPT Tahunan tersebut.
Contoh
SPT Tahunan Sementara PPh tahun 2011 disampaikan pada tanggal 19 Februari 2012,
dengan menyampaikan perhitungan sebagai berikut :
Penghasilan Kena Pajak Rp 400.000.000
PPh Terutang (tanpa fasilitas) Rp 100.000.000
PPh Pasal 22,23,24 Rp 42.500.000
PPh yang dibayar sendiri Rp 57.500.000

63
Pajak Penghasilan Badan

WP diberikan izin perpanjangan penyampalan SPT Tahunan 2011 sampai tanggal 30 Juni 212,
dan diketahui angsuran PPh Pasal 25 bulan Desember 2011 adalah Rp. 4.000.000. Pada tanggal
5 Juni 2012, WP menyampaikan SPTTahunan dengan perhitungan sebagai berikut :
Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000
PPh Terutang (Tarif Pasal 17) Rp 125.000.000
PPh Pasal 22,23,24 Rp 42.500.000
PPh yang dibayar sendiri Rp 82.500.000
Maka Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 tahun 2012 adalah sebagai berikut
a. Bulan Januari dan Februari 2009 besarnya adalah Rp. 4.000.000.
b. Bulan Maret s.d. April 2009 besar angsuran masing-masing adalah (1/12 x Rp
57.500.000= Rp. 4.791.667)
c. Besar angsuran PPh Pasal 25 bulan Maret s.d. Desember 2012 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan yang disampaikan tanggal 5 Juni 2010, yaitu (1/12 X Rp.
82.500.000 = Rp. 6.875.000)
d. Atas kekurangan setor angsuran bulan Maret s.d. April 2012 yang masing-masing
sebesar Rp. 2.083.333 harus disetor lagi dan terutang 2%
E. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran berialan Iebih besar dan angsuran bulanan sebelum pembetulan.
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan
pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT
Tahunan.
Apabila wajib pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh-nya maka berlaku
ketentuan sebagai berikut :
a. PPh pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan dan berlaku surut mulai
batas waktu penyampaian SPTTahunan tersebut
b. Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu
penyampaian SPT harus disetor dan terutng bunga 2 % per bulan dihitung sejak jatuh
tempo penyetoran PPh pasal 25 masing-masing bulan sampai dengan tanggal
penyetoran (akan ditagih dengan STP)
c. Apabila terjadi kelebihan setor, kelebihan angsuran mulai batas waktu penyempaian
SPT tersebut dapat diperhitungkan sebagai angsuran bulan berikutnya, dengan cara
pemindahbukuan
F. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Yang dimaksud dengan perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak adalah
penurunan atau peningkatan usaha.
Contoh :
PT ANDI yang bergerak di bidang produksi benang pada tahun 2009 membayar angsuran
bulanan sebesar Rp. 18.000.000,-. Dalam bulan Juli 2009 pabrik milik PT ANDI terbakar
sehingga Ditjen Pajak mengeluarkan keputusan bahwa mulal Juli 2009 angsuran PPh-nya
disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp. 18.000.000,-.
Sebaliknya bila PT ANDI mengalami peningkatan usaha misalnya ada peningkatan
penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya melebihi 150 % dibanding tahun

64
sebelumnya, maka angsuran PPh pasal 25-nya juga harus disesuaikan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Apabila setelah 3 ( tiga ) bulan atau Iebih dalam satu tahun pajak WP dapat
menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun tersebut kurang dan 75%
PPh yang menjadi dasar perhitungan PPh pasal 25, WP dapat mengajukan
permohonan pengurangan angsuran PPh pasal 25 kepada Kepala KPP setempat
2. Permohonan diajukan secara tertulis
3. Menyampaikan perhitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan
penghasilan yang diterima/diperoleh dan besarnya PPh pasal 25 untuk bulan-bulan
yang tersisa dan tahun pajak yang bersangkutan
4. Kepala KPP yang bersangkutan akan memberikan keputusan dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak permohonan diterima secara Iengkap. Apabila dalam jangka waktu
satu bulan belum diberikan keputusan berarti permohonan dikabulkan.
5. Apabila dalam suatu tahun pajak WP mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan
PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut Iebih dari 150 dari PPh yang
menjadi dasar perhitungan PPh pasal 25, maka PPh pasal 25 untuk bulan-bulan yang
tersisa dalam tahun pajak yang bersangkutan dihitung kembali berdasarkan perkiraan
PPh yang terutang di tahun tersebut
G. Wajib Pajak termasuk dalam Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah WP Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir atau eceran barang-barang yang dijual
Iangsung ke konsumen akhir melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa
lokasi tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung sebesar 0,75% dari jumlah peredaran per bulan
dan masing-masing tempat usaha Wajib Pajak (KMK No. 84/KMK.03/2002 jo. KEP-
171/PJ./2002 jo PMK 255/PMK.03/2008 jo PMK 208/PMK.03/2009).
H. Apabila Ada Surat Ketetapan Pajak Untuk Tahun Pajak Tahun Sebelumnya
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang
IaIu, maka angsuran PPh dihitung berdasarkan Surat Ketetapan Tersebut, dimana
perubahan angsuran berlaku mufai bulan berikutnya setelah diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak. Contoh
Berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2008 yang disampaikan bulan Maret 2009,
perhitungan angsuran PPh yang harus dibayar adalah Rp. 1.480.000,-. Dalam bulan Juli
2009 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menghasilkan besaran angsuran PPh pasal 25
setiap bulan menjadi sebesar Rp. 2.500.000,-.
Berdasarkan perhitungan tersebut, besarnya angsuran PPh pasal 25 mulai bulan Agustus
2007 adalah Rp. 2.500.000. Penetapan besarnya angsuran PPh berdasarkan surat ketetapan
pajak tersebut bisa sama, Iebih besar atau Iebih kecil dan angsuran sebelumnya berdasarkan
SPT Tahunan.

65
Pajak Penghasilan Badan

BAB XV
SURAT PEMBERITAHUAN

PENGANTAR
Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Badan pada prinsipnya ada dua yaitu SPT masa dan SPT
Tahunan, dimana SPT masa (PPh 25) hanyalah berbentuk SSP yang dipersamakan sebagai SPT. Yang
wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan bentuk umum (formulir
1771) adalah Wajib Pajak Badan yang meliputi PT, CV, perseroan Iainnya, BUMN, koperasi, yayasan,
dll. Selain itu ada pihak-pihak tertentu yang diwajibkan pula untuk mengisi SPT Tahunan PPh Wajib
Pajak Badan adalah :
a. Orang pribadi yang berstatus sebagai BUT
b. Wajib Pajak Badan yang memperoleh atau menerima penghasilan semata-mata dan penghasilan
yang telah dikenakan pajak yang bersifat final.
c. Wajib Pajak Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
d. Wajib Pajak Badan Iainnya.
Mulai Tahun Pajak 2000 diperkenalkan bentuk SPT baru yaitu SPT Tahunan Wajib Pajak
Badan (formulir 1771-$), yaitu SPT yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak Badan dalam rangka
Penanaman Modal Asing, Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil, Bentuk Usaha Tetap, dan Wajib Pajak
yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri, yang diizinkan untuk menyelenggarakan
pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.

BENTUK DAN ISI SPT TAHUNAN PPh WP Badan


PT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (formulir 1771) dan SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajk
Badan yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar
Amerika Serikat (formulir 1771/$) terdiri dan Induk SPT dan lampiran-lampiran yang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisah.

Kode Formulir
No. Nama Formulir Keterangan
1771 1771-$
1. 1771 1771/$ SPT Tahunan PPh bagi WP Badan Induk SPT

2. 1771-I 1771-I/$ Penghitungan Penghasilan Neto Fiskal Lampiran I

3. 1771-II 1771-II/$ Perincian Harga Produksi, biaya usaha Lampiran II


lainnya dan biaya dari luar usaha
4. 1771-III 1771-III/$ Kredit Pajak DN Lampiran III

5. 1771-IV 1771-IV/$ PPh Final dan penghasilan bukan objek Lampiran IV


pajak
6. 1771-V 1771-V/$ Daftar pemegang saham/pemilik modal dan Lampiran V

66
jumlah deviden yang dibagikan, Daftar
Susunan Pengurus dan Komisaris
7. 1771-VI 1771-VI/$ Daftar penyerahan modal pada perusahaan Lampiran VI
Afiliasi, Daftar Pinjaman dari/kepada
Pemegang Saham dan/atau Perusahaan
Afiliasi

KELENGKAPAN SPT TAHUNAN PPh


a. Sesuai dengan pasal 3 ayat (6) UU KUP, SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (formulir) 1771)
yang disampaikan kepada KPP/Kapenpa dinyatakan lengkap apabila telah dilampiri dengan :
1) Seluruh lampiran yang telah dibakukan (yaitu formulir 1771-I s.d. 1771-VI) harus diisi
walaupun nihil.
2) Neraca dan Laporan Rugi Laba tahun pajak yang bersangkutan.
3) Penghitungan angsuran PPh pasal 25 tahun pajak berikutnya untuk Wajib Pajak tertentu
4) SSP lembar ke-3 tahun pajak yang bersangkutan apabila SPT menunjukkan kurang bayar.
5) Surat kuasa khusus dalam hal SPT ditandatangani oleh bukan pengurus atau bukan
direksi.
6) Daftar penghitungan penyusutan/amortisasi.
7) Penghitungan Objek PPh pasal 26 ayat (4) bagi Wajib Pajak BUT yang penghasilannya
telah dikenakan PPh yang bersifat final.
8) lampiran lainnya yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
b. Wajib Pajak dapat menyampaikan lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak

CONTOH KASUS
PT. INTl LOGGING dengan NPWP : 01.937.654.2. 031.000, JI. S. Parman Kav. 26 Jakarta Barat,
bergerak di bidang perkayuan. WP memiliki kerugian fiskal yang masih dapat kompensasi sebesar Rp.
159 juta. Data-data pembukuan tahun 2011 adalah sbb :
Penjualan bersih Rp. 23.200.000.000,00
Harga Pokok Penjualan Rp 17.900.000.000,00

Biaya Operasi:
Gaji dan upah Rp. 1.256.400.000,00
PPh 21 dibayar perusahaan 56.600.000,00
Biaya penyusutan 1.285.000.000,00
Biaya rekreasi/piknik pegawai 22.600.000,00
Biaya HP 24.000.000,00
Biaya Astek/Jamsostek 60.600.000,00
Biaya penyisihan piutang ragu-ragu 98.600.000,00
Biaya perjalanan dinas 301.000.000,00
Biaya bunga bank 180.000.000,00
Biaya bunga leasing 20.000.000,00
Biaya royalti 125.000.000,00
Biaya pemeliharaan inventaris 230.400.000,00
Biaya representasi 132.500.000,00
Biaya PPN 9.500.000,00
Biaya makan minum dan seragam 400.000.000,00
Biaya alat tulis kantor 163.800.000,00
Biaya Listrik, Telpon, Air 36.000.000,00
Biaya perawatan forklift dan dump-truck 10.000.000,00

67
Pajak Penghasilan Badan

Biaya Fiskal LN 21.000.000,00


Biaya Profesional fee 59.700.000,00
Biaya lain-lain 25.800.000,00
Penghasilan I Beban lain:
Bunga deposito Rp. 10.000.000,00
Laba penjualan gudang 100.000.000,00
Pendapatan Sewa Forklift & dump-truck 150.000.000,00
Laba Selisih kurs 99.200.000,00
Rugi Penjualan wisma (80.000.000,00)
Laba anak Perusahaan 200.000.000,00
Keterangan lain:
a. PT INTl LOGGING memiliki kebijakan untuk menanggung PPh 21 semua karyawannya
berapapun jumlahnya dalam bentuk PPh 21 ditanggung perusahaan, bukan berbentuk
tunjangan PPh (gross-up).
b. Biaya penyusutan untuk fiskal dan komersial dihitung dengan cara yang sama oleh WP
yaitu sebesar Rp.1.285.000.000,00 ( metode garis lurus ). Demikian juga dengan
penentuan masa manfaat dan nilai sisa. Tetapi WP belum menyesuaikan penghitungan
biaya penyusutan HP dinas sebesar Rp. 4.000.000,- per tahun dan biaya penyusutan
mobil sedan dinas sebesar Rp. 50.000.000,- per tahun dengan KEP-220/PJ./2002.
c. Dalam biaya penyusutan termasuk juga biaya penyusutan atas aktiva finance lease sebesar
Rp. 150.000.000,- dan biaya penyusutan wisma sampai saat wisma tersebut dijual sebesar
Rp. 10.000.000,-
d. Biaya HP adalah pengeluaran untuk pembayaran pulsa HP para direksi.
e. Biaya Astek /Jamsostek adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk
pembayaran premi asuransi kecelakaan kerja karyawan.
f. Dalam perjalanan dinas, para Direksi sesekali membawa keluarga mereka, ternyata
setelah diperinci terdapat sejumlah Rp. 55.000.000,00 yang merupakan pengeluaran
untuk keperluan keluarga direksi. Disamping itu terdapat juga biaya pemberian tiket
pesawat terbang untuk para pejabat sejumlah Rp. 64.000.000,00
g. Biaya bunga bank sebesar Rp. 180.000.000,- terjadi karena hutang PT.INTI LOGGING
kepada Bank Buana Indonesia sebesar rata-rata setahun Rp. l.000.000.000,- dengan
tingkat bunga pinjaman rata-rata 18 % p.a.
h. Perusahaan menyewa alat-alat berat dan United Tractor secara Finance Lease dengan
pembayaran SGU tiap bulan Januari dan Juli sebesar Rp.100.000.000,- dengan perincian
bunga tetap Rp. 10.000.000 dan cicilan pokok leasing Rp. 90.000.000. Selama tahun 2004
perusahaan telah membayar cicilan leasing 2 kali yang terdiri dan pembayaran bunga Rp.
20.000.000 dan pembayaran pokok Rp. 180.000.000,-
I. Perusahaan membayar biaya royalti teknologi pemotretan udara ke Blitz Gmbh Germany
sebesar Rp. 125.000.000,-. Jumlah tersebut termasuk Rp. 25 juta yang merupakan PPh
pasal 26 yang ditanggung oleh PT Inti Logging
j. Dalam biaya Perbaikan/reparasi terdapat biaya perbaikan mobil sedan perusahaan yang
digunakan oleh Direktur Utama PT. INTl LOGGING sejumlah Rp. 18.000.000,00 dan
biaya perawatan wisma perusahaan di Puncak sebesar Rp. 10.000.000,-
k. Biaya jamuan untuk relasi yang lengkap dengan perincian ( daftar nominatif) dan
bukti-buktinya ada hanya sejumlah Rp. 101.000.000,00
I. Biaya PPN adalah PPN Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan karena faktur pajak
yang diterima dan penjual cacat.

68
m. Perusahaan menanggung makan minum dan seragam seluruh pegawainya dengan
menyediakan kantin di kantor dan di lokasi HPH serta membelikan seragam. Total biaya
makan minum Rp.360 juta sedangkan biaya seragam sebesar Rp.40 juta.
n. Biaya perawatan forklift dan dump-truck adalah biaya perawatan forklift dan dump-
truck yang disewakan.
o. Biaya Fiskal Luar Negeri adalah pembayaran Fiskal Luar Negeri atas nama perusahaan
untuk kepergian para direktur ke Amerika dan Singapura dalam rangka dinas.
p. Biaya Profesional fee adalah biaya jasa audit dan appraisal. Dari total biaya tersebut
sebesar Rp. 19.700.000,- adalah biaya audit anak perusahaan yaitu PT NUSANTARA
PLYWOOD
q. Perincian biaya lain-lain adalah :
· Bantuan bea siswa dalam rangka GN-OTA sebesar Rp. 12.500.000,00
· Sumbangan Amal Bhakti Muslim Pancasila Rp. 3.300.000,00
· Iuran keanggotaan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Rp. 10.000.000
r. Penghasilan bunga deposito adalah bunga deposito Bank Mandiri sebesar Rp.10.000.000,-
dan telah dipotong pajak sebesar 20% yaitu Rp. 2.000.000,-. Rata-rata besarnya deposito
PT. INTI LOGGING di bank tersebut selama setahun adalah Rp.100.000.000,-
s. Perusahaan menjual gudang dengan nilai sisa buku sebesar Rp.900.000.000,- seharga
Rp.1.000.000.000,- Atas penjualan gudang ini perusahaan telah membayar PPh atas
pengalihan tanah sebesar 5% yaitu Rp. 50.000.000,-
t. Perusahaan juga menyewakan forklift serta dump-trucknya kepada perusahaan sesama
pemegang HPH yaitu PT HUTRINDO di lokasi usaha. Atas jasa sewa ini perusahaan telah
dipotong pajak sebesar 6% yaitu Rp. 9.000.000,-
u. Pada akhir tahun 2010 perusahaan menjual wisma perusahaan di Puncak dengan harga
Rp. 400.000.000.- karena kesulitan likuiditas. Nilai buku wisma tersebut pada saat dijual
adalah Rp. 480.000.000. Perusahaan telah membayar PPh atas pengalihan tanah sebesar
5% yaitu Rp. 20.000.000,-. Sebelum dijual wisma tersebut beberapa kali disewakan
dengan penghasilan sewa setahun Rp. 50.000.000 dan telah dipotong PPh oleh penyewa
Rp. 5.000.000,-
v. PT Inti Logging memiliki anak perusahaan yang bergerak dibidang kayu lapis yaitu PT
NUSANTARA PLYWOOD (kepemilikan 40%). Selama tahun 2008 PT NUSANTARA
PLYWOOD mengumumkan laba setelah pajak sebesar Rp. 500 juta tapi tidak membagi
deviden. PT Inti Logging mengakuinya dengan mencatat kenaikan nilai investasi dan
laba dari anak perusahaan sebesar Rp. 200 juta.
w. Perusahaan mengimpor alat-alat berat (truk, traktor dll) dan telah dipotong pajak PPh 22
oleh Ditjen Bea Cukai sebesar Rp. 46.000.000,-
x. Selama tahun 2010 perusahaan telah membayar PPh pasal 25 Rp. 209.000.000

Diminta
1. Buatlah rekonsiliasi fiskal yang diperlukan guna menghitung Penghasilan Kena Pajak dan Pajak
Penghasilan terutang tahun 2008 dan PT. INTI LOGGING.
2. Masukkan hasil rekonsiliasi fiskal tersebut ke dalam SPT tahunan PPh Badan.
3. Hitung angsuran PPh 25 tahun 2009

69
Pajak Penghasilan Badan

PT Inti Logging
Rekonsiliasi Fiskal
Dalam Ribuan
LK Lk
No. Uraian Koreksi
Komersial Fiskal
Positif Negatif
1 Penjualan 23.200.000 - - 23.200.000
2 Harga pokok penjualan 17.900.000 - - 17.900.000
3 Laba bruto 5.300.000 5.300.000
4 Biaya operasi
5 Gaji dan upah 1.256.400 - 1.256.400
6 PPh 21 dibayar Perusahaan 56.600 56.600 -
7 Biaya penyusutan 1.285.000 187.000 1.098.000
8 Biaya rekreasi/piknik peawai 22.600 22.600 -
9 Biaya HP 24.000 12.000 12.000
10 Biaya Askes/Jamsostek 60.600 - 60.600
11 Biaya penyisihan piutang ragu- 98.600 98.600 -
ragu
12 Biaya perjalanan dinas 301.100 119.000 182.100
13 Biaya bunga Bank 180.000 18.000 162.000
14 Biaya bunga Leasing 20.000 - 20.000
15 Biaya angsuran Leasing - 180.000 180.000
16 Biaya royalty 125.000 25.000 100.000
17 Biaya pemeliharaan inventaris 230.400 19.000 211.400
18 Biaya representasi 132.500 31.500 101.000
19 Biaya PPN 9.500 - 9.500
20 Biaya makan dan minum 400.000 - 400.000
21 Biaya alat tulis kantor 163.800 - 163.800
22 Biaya listrik, air dan telepon 36.000 - 36.000
23 Biaya forklif dan dump truck 10.000 - 10.000
24 Biaya Profesional fee 59.700 19.700 40.000
25 Biaya lain-lain 25.800 3.300 22.500
26 Jumlah biaya operasi 4.497.600 633.300 180.000 3.903.300
27 Laba operasi 802.400 1.396.700
28 Penghasilan/beban lain-lain
29 Bunga deposito 10.000 10.000 -
30 Laba penjualan gudang 100.000 100.000
31 Pendapatan forklift dan truck 150.000 150.000
32 Laba kurs 99.200 99.200
33 Rugi penjualan wisma (80.000) (80.000) -
34 Pendapatan sewa wisma 50.000 50.000 -
35 Laba anak perusahaan 200.000 200.000 -
36 Jumlah penghasilan/beban lain 529.200 349.200

70
37 Laba bersih 1.331.600 1.745.900
38 Kompensasi kerugian 159.000 159.000
39 Penghasilan kena pajak 1.586.900
40 PPh terutang 355.684
41 Kredit pajak dipotong pihak
lain
42 PPh pasal 22 46.000
43 PPh pasal 23 3.000
45 Kredit pajak yg dibayar sendiri
46 Pasal 25 209.000
47 PPh kurang bayar 97.684

Soal Latihan:

Soal 1
PT. SR adalah Wajib Pajak yang mempunyai usaha sebagai pabrikan sepatu, pada tahun pajak
2011 mempunyai data-data sebagai berikut :
1. Peredaran bruto Rp 53.000.000.000
Harga pokok (Rp 49.500.000.000)
Rp 3.500.000.000
Biaya Operasional (Rp 2.300.000.000)
Penghasilan neto fiskal Rp 1.200.000.000
2. Kompensasi kerugian (tahun 2009 dan 2010) Rp 700.000.000
3. Pajak yang telah dipotong/dipungut pihak lain
a. PPh pasal 22 Rp 42.000.000
b. PPh pasal 23 Rp 67.500.000
c. PPh pasal 4(2) Rp 12.000.000
4. Pajak yang telah dibayar sendiri
a. PPh pasal 25 Rp 19.000.000
b. STP PPh pasal 25 (pokok) Rp 2.400.000
c. Pajak Pengalihan atas Tanah dan Bangunan Rp 3.000.000

Pertanyaan :
1. Hitung PPh Kurang/lebih dibayar untuk tahun pajak 2011 dan Hitung PPh pasal 25
untuk tahun pajak berikutnya !
2. Hitung PPh kurang/lebih dibayar untuk tahun pajak 2011 dan hitung PPh pasal 25 untuk
tahun pajak berikutnya apabila kompensasi kerugian untuk tahun pajak 2009 dan 2010
menjadi Rp1.500.000.000 .

Soal 2
PT. YMA adalah Wajib Pajak yang masuk dalam kategori sebagai pengusaha mikro, kecil dan
menengah. Pada tahun pajak 2011 mempunyai data-data sebagai berikut :

71
Pajak Penghasilan Badan

Peredaran usaha (fiskal) Rp 8.000.000.000


Harga Pokok Penjualan (fiskal) Rp 4.700.000.000
Biaya-biaya (fiskal) Rp 2.000.000.000

Pajak-pajak

1. PPh pasal 21 yang telah dipotong dan disetor oleh Wajib Pajak Rp 19.400.000
2. PPh pasal 22 atas impor yang dipotong oleh Bea cukai Rp 31.200.000
3. PPh pasal 25 yang telah dibayar oleh Wajib Pajak Rp 120.000.000

Pertanyaan :
1. Berapa PPh yang kurang/lebih dibayar
2. Berapa PPh pasal 25 untuk tahun pajak

72
LAMPIRAN I

PERATURAN MENTERI KEUANGAN 96/PMK.03/2009


JENIS-JENIS HARTA YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK HARTA BERWUJUD BUKAN
BANGUNAN UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN

JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 1


Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Semua jenis usaha a. Mebel dan peralatan dari kayu atau rotan termasuk meja, bangku,
kursi, lemari dan sejenisnya yang bukan bagian dari bangunan.
b. Mesin kantor seperti mesin tik, mesin hitung, duplikator, mesin fotokopi,
mesin akunting/pembukuan, komputer, printer, scanner dan sejenisnya.
c. Perlengkapan lainnya seperti amplifier, tape/cassette, video recorder, televisi
dan sejenisnya.
d. Sepeda motor, sepeda dan becak.
e. Alat perlengkapan khusus (tools) bagi industri/jasa yang bersangkutan.
f. Dies, jigs, dan mould.
g. Alat-alat komunikasi seperti pesawat telepon, faksimile, telepon seluler dan
sejenisnya.

2 Pertanian, perkebunan, Alat yang digerakkan bukan dengan mesin seperti cangkul, peternakan, perikanan, garu
kehutanan, dan lain-lain.
3 Industri makanan dan Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan seperti, huller, pemecah kulit, penyosoh,
minuman pengering, pallet, dan sejenisnya.
4 Transportasi dan Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai angkutan umum.
Pergudangan
5 Industri semi konduktor Falsh memory tester, writer machine, biporar test system, elimination (PE8-1), pose
checker.
6 Jasa Persewaan Peralatan Anchor, Anchor Chains, Polyester Rope, Steel Buoys, Steel Wire Ropes, Mooring
Tambat Air Dalam Accessoris.
7 Jasa telekomunikasi selular Base Station Controller

JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 2


Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Semua jenis usaha a. Mebel dan peralatan dari logam termasuk meja, bangku, kursi, lemari dan sejenisnya
yang bukan merupakan bagian dari bangunan. Alat pengatur udara seperti AC, kipas
angin dan sejenisnya.
b. Mobil, bus, truk, speed boat dan sejenisnya.
c. Container dan sejenisnya.

2 Pertanian, a. Mesin pertanian/perkebunan seperti traktor dan mesin bajak, penggaruk, penanaman,
perkebunan, penebar benih dan sejenisnya.
kehutanan, b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang
perikanan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan.

3 Industri makanan a. Mesin yang mengolah produk asal binatang, unggas dan perikanan, misalnya pabrik
dan minuman susu, pengalengan ikan .
b. Mesin yang mengolah produk nabati, misalnya mesin minyak kelapa, margarin,
penggilingan kopi, kembang gula, mesin pengolah biji-bijian seperti penggilingan
beras, gandum, tapioka.
c. Mesin yang menghasilkan/memproduksi minuman dan bahan-bahan minuman segala
jenis.
d. Mesin yang menghasilkan/memproduksi bahan-bahan makanan dan makanan segala

73
Pajak Penghasilan Badan

jenis.

4 Industri mesin Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin ringan (misalnya mesin jahit, pompa air).
5 Perkayuan, a. Mesin dan peralatan penebangan kayu.
kehutanan b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang
kehutanan.

6 Konstruksi Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat, dump truck, crane buldozer dan sejenisnya.
7 Transportasi dan a. Truk kerja untuk pengangkutan dan bongkar muat, truk peron, truck ngangkang, dan
Pergudangan sejenisnya;
b. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang
tertentu (misalnya gandum, batu - batuan, biji tambang dan sebagainya) termasuk
kapal pendingin, kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai
berat sampai dengan 100 DWT;
c. Kapal yang dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal-kapal suar, kapal
pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya yang mempunyai
berat sampai dengan 100 DWT;
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat sampai dengan 250
DWT;
e. Kapal balon.

8 Telekomunikasi a. Perangkat pesawat telepon;


b. Pesawat telegraf termasuk pesawat pengiriman dan penerimaan radio telegraf dan
radio telepon.

9 Industri semi Auto frame loader, automatic logic handler, baking oven, ball shear tester, bipolar test handler
konduktor (automatic), cleaning machine, coating machine, curing oven, cutting press, dambar cut
machine, dicer, die bonder, die shear test, dynamic burn-in system oven, dynamic test handler,
eliminator (PGE-01), full automatic handler, full automatic mark, hand maker, individual
mark, inserter remover machine, laser marker (FUM A-01), logic test system, marker (mark),
memory test system, molding, mounter, MPS automatic, MPS manual, O/S tester manual, pass
oven, pose checker, re-form machine, SMD stocker, taping machine, tiebar cut press,
trimming/forming machine, wire bonder, wire pull tester.
10 Jasa Persewaan Spoolling Machines, Metocean Data Collector
Peralatan Tambat
Air Dalam
11 Jasa Telekomunikasi Mobile Switching Center, Home Location Register, Visitor Location Register. Authentication
Seluler Centre, Equipment Identity Register, Intelligent Network Service Control Point, intelligent
Network Service Managemen Point, Radio Base Station, Transceiver Unit, Terminal SDH/Mini
Link, Antena

JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 3


Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Pertambangan Mesin-mesin yang dipakai dalam bidang pertambangan, termasuk mesin-mesin yang mengolah
selain minyak dan produk pelikan.
gas
2 Permintalan, a. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk tekstil (misalnya kain katun,
pertenunan dan sutra, serat-serat buatan, wol dan bulu hewan lainnya, lena rami, permadani, kain-
pencelupan kain bulu, tule).
b. Mesin untuk yang preparation, bleaching, dyeing, printing, finishing, texturing,
packaging dan sejenisnya.

3 Perkayuan a. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk kayu, barang-barang dari jerami,


rumput dan bahan anyaman lainnya.
b. Mesin dan peralatan penggergajian kayu.

4 Industri kimia a. Mesin peralatan yang mengolah/menghasilkan produk industri kimia dan industri

74
yang ada hubungannya dengan industri kimia (misalnya bahan kimia anorganis,
persenyawaan organis dan anorganis dan logam mulia, elemen radio aktif, isotop,
bahan kimia organis, produk farmasi, pupuk, obat celup, obat pewarna, cat, pernis,
minyak eteris dan resinoida-resinonida wangi-wangian, obat kecantikan dan obat rias,
sabun, detergent dan bahan organis pembersih lainnya, zat albumina, perekat, bahan
peledak, produk pirotehnik, korek api, alloy piroforis, barang fotografi dan
sinematografi.
b. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk industri lainnya (misalnya damar tiruan,
bahan plastik, ester dan eter dari selulosa, karet sintetis, karet tiruan, kulit samak,
jangat dan kulit mentah).

5 Industri mesin Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin menengah dan berat (misalnya mesin mobil,
mesin kapal).
6 Transportasi dan a. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang-
Pergudangan barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya)
termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkapan ikan dan sejenisnya,
yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT.
b. Kapal dibuat khusus untuk mengela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam
kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas
100 DWT sampai dengan 1.000 DWT.
c. Dok terapung.
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat di atas 250 DWT.
e. Pesawat terbang dan helikopter-helikopter segala jenis.

7 Telekomunikasi Perangkat radio navigasi, radar dan kendali jarak jauh.

JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 4


Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Konstruksi Mesin berat untuk konstruksi
2 Transportasi dan a. Lokomotif uap dan tender atas rel.
Pergudangan b. Lokomotif listrik atas rel, dijalankan dengan batere atau dengan tenaga listrik dari
sumber luar.
c. Lokomotif atas rel lainnya.
d. Kereta, gerbong penumpang dan barang, termasuk kontainer khusus dibuat dan
diperlengkapi untuk ditarik dengan satu alat atau beberapa alat pengangkutan.
e. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang-
barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya) termasuk
kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang
mempunyai berat di atas 1.000 DWT.
f. Kapal dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam
kebakaran, kapal keruk, keran-keran terapung dan sebagainya, yang mempunyai berat di
atas 1.000 DWT.
g. Dok-dok terapung.

75

Anda mungkin juga menyukai