PERTEMUAN 1
DASAR-DASAR PERPAJAKAN
DISUSUN OLEH :
Dasar-Dasar Perpajakan
a. Definisi pajak
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
2. Unsur Pajak
B. Fungsi Pajak
b. Berdasarkan Undang-undang;
c. Tidak mengganggu perekonomian;
d. Pemungutan pajak harus efisien;
e. Pemungutan pajak harus sederhana.
2. Hukum Pajak Formil, bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan.
E. Pengelompokan Pajak
1. Menurut golongannya
a. Pajak langsung, pajak yang harus dipikul sendiri oleh WP dan tidak dapat
dibebankan kepada pihak lain. Contoh: PPh
b. Pajak tidak langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan pada pihak
lain. Contoh: PPN
2. Menurut sifatnya
a. Pajak pusat, pajak yang dipungut oleh Pem-Pus dan digunakan untuk
membiayai belanja negara. Contoh: PPh, PPN-Bm, PPN, PBB, dan Bea Materai
b. Pajak daerah, pajak yang dipungut oleh Pemda dan digunakan belanja daerah.
Pajak daerah terdiri dari:
1) Pajak provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor.
2) Pajak Kab/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan.
1. Stelsel Pajak
c. Stelsel Campuran, Kombinasi antara Stelsel Nyata dan Stelsel Anggapan, pada
awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian
pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya. WP
dapat menambah maupun meminta kembali pajaknya tergantung lebih-
kurangnya penyesuaian tersebut.
a. Pembayaran;
b. Kompensasi;
c. Daluwarsa;
d. Pembebasan dan penghapusan.
1. Perlawanan pasif
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
I. Tarif Pajak
1. Tarif Sebanding;
2. Tarif Tetap;
3. Tarif Progressif;
4. Tarif Degressif.
PERTEMUAN 2
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Disusun oleh:
3. Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha wajib
pajak. Penyampaian secara tertulis dilakukan ;
secara langsung
melalui pos; atau
melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir
4. Dalam hal permohonan dinyatakan diterima secara lengkap, maka KPP atau KP2KP
memberikan Bukti Penerimaan Surat kepada Wajib Pajak.
5. Permohonan pendaftaran NPWP yang telah diberikan Bukti Penerimaan Surat oleh
KPP atau KP2KP, maka pihak KPP atau KP2KP akan menerbitkan Kartu NPWP dan
Surat Keterangan Terdaftar Paling Lama 1 (satu) hari kerja.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam
satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari
Rp4.800.000.000,00 , dapat menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat
memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas.
4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
c. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha,
pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis
usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
1. Pengisian SPT;
C. Pembayaran Pajak
Pada saat melakukan pembayaran kita akan diberikan bukti pembayaran atau
penyetoran pajak (Surat Setoran Pajak) yang telah di lakukan dengan menggunakan
formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
SPP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat
kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.
a. Pembayaran Masa
Batas Pembayaran
1. PPh pasal 4 (2) setor sendiri Tgl 15 bulan berikutnya Tgl 20 bulan
berikutnya
9. PPh pasal 22 impor yang 1 hari kerja berikutnya Hari kerja terakhir
pemungutan oleh BC minggu berikutnya
10. PPh pasal 22 pemungutan oleh Hari yang sama dg 14 hari setelah masa
bendaharawan pembayaran atas pajak berakhir
penyerahan barang
12. PPh pasal 22 pemungutan oleh WP Tgl 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan
badan tertentu berikutnya
14. PPN atas kegiatan membangun Tgl 15 bulan berikutnya Akhir bulan
sendiri setelah masa pajak berikutnya setelah
berakhir masa pajak berakhir
15. PPN atas pemamfaatan BKP tidak Tgl 15 bulan berikutnya Akhir bulan
berwujud dan/atau JKP dari Luar setelah terutangnya berikutnya setelah
Daerah Pabean pajak masa pajak berakhir
16. PPN & PPnBM Pemungutan Tgl 7 bulan berikutnya Akhir bulan
Bendaharawan berikutnya setelah
masa pajak berakhir
18. PPN & PPnBM Pemungutan selain Tgl 15 bulan berikutnya Akhir bulan
bendaharawan setelah Masa Pajak berikutnya setelah
19. PPh 25 WP kriteria tertentu yang Harus dibayar paling 20 hari setelah
dapat melaporkan beberapa Masa lama pada akhir Masa berakhirnya Masa
Pajak dalam satu SPT Masa (Pasal 3 Pajak Terakhir Pajak terakhir
ayat (3B) UU KUP)
20. Pembayaran masa selain PPh 25 Harus dibayar paling 20 hari setelah
WP kriteria tertentu yang dapat lama sesuai dengan berakhirnya Masa
melaporkan beberapa Masa Pajak batas waktu untuk Pajak terakhir
dalam satu SPT Masa. (Pasal 3 ayat masing-masing jenis
(3B) UU KUP) pajak
b. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan dan surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yanh harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
c. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT PPh harus dibayar
lunas sebelum SPT PPh disampaikan.
D. Pelaporan Pajak
Selain berguna sebagai sarana untuk melaporkan penghitungan jumlah pajak terutang,
SPT juga berfungsi untuk melaporkan pembayaran/pelunasan pajak dan melaporkan harta
serta kewajiban. Pelaporan pajak semestinya disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) tempat wajib pajak
terdaftar.
1. Pelaporan Pajak Menggunakan e-Filing
Terhadap pelaporan pajak yang telat disampaikan, wajib pajak akan dikenakan sanksi
berupa denda. Berikut ini daftar denda yang dibebankan kepada wajib pajak yang telambat
melakukan pelaporan pajak:
- Terlambat pelaporan pajak untuk SPT Masa PPN, dikenakan denda sebesar
Rp500.000.
- Terlambat pelaporan pajak untuk SPT Masa lainnya dikenakan denda sebesar
Rp100.000.
- Terlambat pelaporan pajak untuk SPT tahunan PPh orang pribadi dikenakan denda
sebesar Rp100.000.
- Terlambat pelaporan pajak SPT tahunan PPh badan dikenakan denda sebesar
Rp1.000.000.
E. Pemeriksaan Pajak
- Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan;
- Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya
untuk jenis Pemeriksaan Kantor;
- Hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.
F. Ketetapan Pajak
1. Definisi
Berdasarkan UU no. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan pasal 1 ayat
15
“Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.”
Surat
Ketetapan
Pajak
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah
yang masih harus dibayar. SKPKB diterbitkan hanya terhadap kasus–kasus
tertentu, dengan perkataan lain hanya terhadap WP tertentu yang nyata–nyata
atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau
kewajiban material. Ketentuan SKPKB diatur dalam Pasal 13 UU KUP.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang ditetapkan (dalam
surat ketetapan pajak yang sudah di terbitkan sebelumnya). Sesuai dengan Pasal
15 UU KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka
waktu 5 tahun setelah saat terutang pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun
pajak atau tahun pajak, apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan
penambahan jumlah pajak terhutang, setelah dilakukan tindakan pemeriksaan
dalam rangka penerbitan SKPKBT. SKPKBT baru diterbitkan apabila telah pernah
diterbitkan ketetapan pajak. Penerbitan SKPKBT dilakukan dengan syarat adanya
data baru yang menyebabkan penambahan pajak yang terhutang dalam surat
ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu setelah SKPLB diterbitkan sebagai
akibat telah lewat waku 12 bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU
KUP, SKPKBT diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru dan atau data
yang semula belum terungkap, dalam hal masih ditemukan lagi data yang semula
belum terungkap pada saat diterbitkannya SKPKBT, dan atau data baru yang
diketahui kemudian oleh fiskus SKPKBT masih dapat diterbitkan lagi.
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari
pada pajak yang terhutang atau tidak seharusnya terhutang. Sesuai dengan Pasal
17 UU KUP, SKPLB ini terbit dalam hal setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
Pemeriksaan, jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terhutang atau telah dilakukan pembayaran pajak
yang tidak seharusnya terhutang. SKPLB diterbitkan sehubungan dengan hasil
pemeriksaan baik atas SPT LB yang diajukan restitusi, SPT LB yang tidak diajukan
restitusi, SPT Nihil, maupun SPT KB.
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau
pajak tidak terutang atau tidak ada kredit pajak. SKPN diterbitkan sehubungan
dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT Nihil, SPT Kurang Bayar, maupun SPT
Lebih Bayar.
Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada wajib kepada wajib pajak
tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena
ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak.
G. Penagihan Pajak
1. Definisi
Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau
sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. STP mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan surat ketetapan pajak lainnya sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU
KUP, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
2. Fungsi STP
1. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak,
1. Sanksi administrasi berupa denda Rp 50.000 ,- jika Wajib Pajak tidak atau
terlambat penyampaian SPT Masa dan Rp 100.000,- jika tidak atau terlambat
menyampaikan SPT Tahunan.
2. Sanksi administrasi berupa denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak dalam hal
Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak
melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP atau Pengusaha
yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha
te1ah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat
faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur
pajak.
3. Sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri
SPTnya, dimana hasil pembetulan tersebut menyatakan kurang bayar.
4. Sanksi administrasi berupa bunga apabila Wajib Pajak terlambat/ tidak membayar
pajak yang sudah jatuh tempo pembayarannya.
5.
H. Upaya Administrasi
1. Keberatan
Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat
ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau
isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.
Dalam hal terdapat alasan keberatan selain mengenai materi atau isi dari surat
ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak, alasan tersebut tidak
dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan.
b. Syarat Pengajuan Keberatan
b. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
c. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1
(satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
d. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil
kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak;
f. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat
Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut
harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
g. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 Undang-Undang KUP.
a. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang
diajukan.
o Jangka waktu tersebut dihitung sejak tanggal Surat Keberatan diterima sampai
dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.
b. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari
Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak
dipertimbangkan, jangka waktu 12 (dua belas) bulan tertangguh, terhitung sejak
tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak
sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal
Pajak.
c. Apabila jangka waktu di atas telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi keputusan atas keberatan, keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak
dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan
Keberatan sesuai dengan pengajuan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut berakhir.
e. Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan, Wajib Pajak dianggap
tidak mengajukan keberatan.
f. Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan, pajak yang
masih harus dibayar dalam SKPKB atau SKPKBT yang tidak disetujui dalam
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi
menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan SKP.
f. Ketentuan Tambahan
2. Pasal 36 Ayat 1
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak
atau bukan karena kesalahannya;
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
1. Banding
2. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang
jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan
dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
2. Gugatan
iii. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain Gugatan
adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat.
Jangka waktu ini tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. Perpanjangan jangka
waktunya adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan
diluar kekuasaan penggugat.
3. Peninjauan Kembali
c. Hukum Acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum
acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam UU No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam
UU Pengadilan Pajak.
Amsal 6:6
PERTEMUAN 3
Pemotongan dan Pemungutan PPh
Disusun oleh:
A. Definisi
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang terutang atas penghasilan, antara
lain penghasilan dari gaji, penghasilan dari laba usaha, penghasilan berupa hadiah, dan
penghasilan berupa bunga. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterimanya
dalam 1 (satu) tahun pajak.
PPh yang terutang dalam 1 (satu) tahun pajak harus dilunasi pembayarannya oleh
Wajib Pajak dan Undang-Undang Pajak Penghasilan telah mengatur cara pelunasan PPh
yang terutang oleh Wajib Pajak, yaitu dengan cara membayar sendiri dan melalui
pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak lain.
Pemotongan pajak adalah kegiatan memotong sebesar pajak yang terutang dari
keseluruhan pembayaran yang dilakukan. Pemotongan ini dilakukan oleh pihak-pihak
yang melakukan pembayaran atau gaji terhadap penerima gaji atau pegawainya. Pihak
pembayar penghasilan atau gaji memiliki tanggung jawab penuh atas pemotongan,
penyetoran, hingga pelaporan pajak yang dilakukan pada pegawainya.
Pemungutan pajak adalah kegiatan memungut sejumlah pajak yang terutang atas
suatu transaksi. Pemungutan pajak akan menambah besarnya jumlah pembayaran atas
perolehan barang. Meski begitu, ada juga beberapa kasus dimana pemungutan diakukan
oleh pihak pembayar dengan mekanisme yang sama dengan pemotongan pajak.
PPh yang dipotong dan/atau dipungut melalui pihak lain lebih dikenal dengan istilah
PPh Potput. Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang PPh, PPh Potput terdiri atas PPh
Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal
26. Objek PPh Potput terdiri atas berbagai macam penghasilan, antara lain penghasilan
dari pekerjaan, pemberian jasa, sewa bangunan, dan dividen.
Pemotongan digunakan untuk PPH pasal 21, pasal 23, pasal 26 dan PPh Final
pasal 4 ayat 2.
Pemungutan digunakan untuk PPh pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pemotongan dilakukan oleh subjek yang tidak spesifik dan biasanya hanya
disebut dengan pemberi kerja atau penyelenggara kegiatan. Dalam hal ini bisa
diartikan sebagai pihak perusahaan atau organisasi yang melakukan pembayaran.
Pemotong, dalam pengisian SPP pada kolom NPWP diisi dengan NPWP milik
pemotong.
Pemungut, dalam pengisian SPP kolom NPWP diisi dengan NPWP yang
dipungut pajaknya.
PPh Pasal 21 merupakan cara pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui
pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Pemotongan
PPh Pasal 21 antara lain dilakukan oleh :
Pemberi kerja, termasuk cabang, perwakilan atau unit yang melakukan sebagian atau
seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran penghasilan,
Bendahra pemerintah
Dana pensiun yang membayarkan uang pensiun, dan
Penyelenggara kegiatan.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik penghasilan teratur
maupun tidak teratur.
Penghasilan yang diperoleh pensiunan secara teratur seperti uang pensiun.
Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua yang
dibayarkan sekaligus dalam jangka waktu lewat dari 2 tahun sejak pegawai berhenti
bekerja,
Penghasilan pekerja lepas (freelance) seperti upah harian, upah mingguan, upah
satuan, upah borongan atau upah bulanan.
Imbalan yang diberikan pada bukan pegawai seperti honorarium, komisi, fee, atau
imbalan sejenisnya yang diberikan karena jasayang dilakukan.
Imbalan peserta kegiatan seperti uang saku, uang representasi, hadiah atau imbalan
dalam bentuk apapun.
Imbalan atau honorarium uang sifatnya tidak teratur yang diperoleh anggota dewan
komisaris atau dewan pengawas yang bukan atau tidak merangkap pegawai tetap di
perusahaan yang sama.
Penghasilan seperti jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau jenis imbalan lain
yang sifatnya tidak teratur yang diperoleh mantan pegawai.
Penghasilan yang merupakan penarikan dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan menteri keuangan oleh peserta program pensiun yang masih berstatus
pegawai.
Yang tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang dipotong PPh 21
antara lain :
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal dengan mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaan tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik,
Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat 1 huruf c UU Pajak Penghasilan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia
dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang
merupakan :
1. Pegawai,
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan
neto dikurangi PTKP. Sedangkan penghasilan neto dihitung seluruh penghasilan
dikurangi penghasilan bruto dikurangi dengan :
a. Biaya jabatan;
b. Iuran terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang
pendiriannya disahkan oleh Menkeu
PERTEMUAN 4
Menghitung PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap
Disusun oleh:
Perhitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Perhitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk setiap masa pajak, yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21,
selain masa pajak Desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti
bekerja;
2. Perhitungan kembali sebagai dasar pengisisan Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan
pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk masa pajak Desember atau masa
pegawai tetap berhenti bekerja :
Bulan di mana pegawai tetap berhenti bekerja
Bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun kalender.
Perhitungan masa atau bulanan selain Masa Pajak Desember atau masa Pajak di
mana pegawai tetap berhenti bekerja
d. Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal
17 UU PPh yakni sebesar Penghasilan neto setahun dikurangi PTKP.
e. Lalu menghitung PPh Pasal 21 sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke
kas negara yaitu sebesar :
Jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi dengan 12; atau
Jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi banyaknya bulan yang menjadi faktor
pengali dalam hal Wajib Pajak mulai bekerja setelah bulan Januari.
f. PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21
sebulan dibagi 4, sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung
berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dibagi 26.
g. Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaikan
gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima) bulan, maka
penghitungan PPh Pasal 21 atas rape; tersebut adalah :
A. Rapel dibagi dengan banyak bulan perolehan rapel tersebut
B. Hasil pembagian ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya
kenaikan gaji yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21
C. PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung
kembali atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan
D. PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud
adalah selisih antara jumlah pajak yang dihitung berdasarkan huruf c
dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana disebut pada huruf
b.
2. Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur bagi pegawai tetap
Dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal
tahun, namun baru mulai bekerja setelah bulan Januari maka PPh Pasal 21 atas
penghasilan tidak teratur tersebut dihitung dengan cara sebagaimana di atas dengan
memperhatikan ketentuan mengenai perhitungan PPh Pasal 21 bulanan atas
penghasilan tidak teratur.
PPh Pasal 21 yang dipotong: PKP x tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
= PPh Pasal 21 setahun
Perhitungan PPh Pasal 21 terutang pada bulan Desember atau bulan tertentu untuk
pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebagai berikut :
1. Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari pemotong pajak dalam tahun kelender yang bersangkutan baik penghasilan
yang teratur maupun tidak teratur.
a. Pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun
namun mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan
Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan dengan jumlah seluruh
penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun
tidak teratur, selama pegawai tetap yang bersangkutan bekerja pada pemotong
pajak.
b. Sedangkan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak seubjektifnya baru
dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, PPh Pasal
21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau
diperoleh baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, yang disetahunkan.
2. PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan Desember atau bulan
tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerj sebelum bulan Desember
adalah sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan
teratur dan tidak teratur yang tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak
dalam tahun kalender yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam angka 1
dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang
bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.
3. Dalam PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan sebelumnya
tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan
teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotongan pajak dalam tahun
kalender yang bersangkutan.
Contoh :
Dimas, karyawan senior di PT. Harapan Jaya dengan status menikah dan memiliki lima
putra. Selama tahun 2016 menerima gaji per bulan sebesar Rp 7.500.000,- dan
menerima tunjangan kinerja sebesar Rp 5.000.000. Perusahaan membayar iuran JKK,
JKM sebesar 0,5% dan 0,3% dari gaji. Dimas membayar sendiri iuran pensiun sebesar
Rp.100.000 per bulan ke Dana Pensiun yang disahkan oleh Menteri Keuangan. Di akhir
bulan September 2016, Dimas berhenti bekerja. Hitunglah PPh Pasal 21 yang dipotong
atas penghasilan Dimas Tahun 2016.
Gaji 7,500,000
5% x Rp50.000.000 2,500,000
5,728,000
5% x Rp35.640.000 1,782,000
1,782,000
^^dsunnyzen ^^
PERTEMUAN 5
Disusun oleh:
Pertemuan 5
Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima
penghasilan apabila:
Upah tidak dikenakan potongan apabila tidak melebihi Rp 450.000 /hari, untuk
upah yg diterima harian, mingguan, upah satuan, upah borongan.
1. Upah Harian
Nurcahyo dengan status belum menikah pada bulan Januari 2017 bekerja sebagai
buruh harian PT CMS. la bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar
Rp450.000,00
Jawab :
Pada hari ke 11 jumlah kumulatif upah yang diterima menjadi Rp 4.950.000,- berapa
PPh 21 yang dipotong pada hari ke 11? Berapa upah yang diterima Nurcahyo?
Jawab :
Berapa PPh 21 yang dipotong pada hari ke 12? Berapa upah yang diterima
Nurcahyo?
Jawab :
1. Nanang H dengan status belum menikah pada bulan Maret 2017 bekerja sebagai
buruh harian PT CMS. la menerima upah harian sebesar Rp650.000,-
Jawab :
Pada hari ke 7 jumlah kumulatif upah yang diterima menjadi Rp 4.550.000,- berapa
PPh 21 yang dipotong pada hari ke 7 bulan Maret 2017?
Jawab :
2. Upah Satuan
Rizal F (belum menikah) bekerja sebagai perakit TV pada perusahaan elektronik,
menerima upah sebesar Rp 125.000,00 per unit satuan, pembayaran perminggu.
Dalam seminggu (6 hari) Rizal dapat merakit sebanyak 24 TV, dengan upah Rp.
3.000.000,- Berapa besarnya PPh yang dibayar dalam 1 Minggu?
Jawab :
3. Upah Borongan
Mawan mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar
Rp950.000,00, pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari. Brp PPh Pasl 21 yang harus
dipotong?
Jawab :
Bagi yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif pajak 20% lebih besar, misalnya :
Tarif yang memiliki NPWP : 5%
Bilamana ia tidak memiliki NPWP : 120% x 5% = 6%
1. Penghasilan berkesinambungan
ER adalah petugas dinas luar asuransi PT. TL. Suaminya bekerja pada PT K dan
memiliki NPWP, dan telah menyampaikan FC NPWP, surat nikah dan KK ke
pemotong pajak. ER tidak mempunyai penghasilan lain, dan telah membuat
surat pernyataan. Penghasilan ER selama 2017 adalah sebagai berikut:
Contoh Soal :
Dalam hal Nashrun Berlianto tidak memiliki NPWP, maka besarnya PPh Pasal 21
yang terutang menjadi sebesar : 5% x 120% x 50% x Rp. 5.000.000 = Rp.
150.000
Jawab :
Besarnya PPh :
Contoh :
Ketentuannya :
1. Untuk Honorarium kepada PNS yang menjadi beban APBN atau APBD, PNS
Gol II dikenai tarif 0%, Gol III dikenai tarif 5%, dan Gol IV dikenai tarif 15%.
2. Untuk Pesangon dari Pemberi Kerja, 0-50jt dikenai tarif 0%, 50-100jt dikenai
tarif 5%, 100-500jt dikenai tarif 15%, dan diatas 500jt dikenai tarif 25%.
Contoh Soal :
Budi adalah PNS golongan III/d, pada bulan Maret 2016 menerima honorarium sebagai
narasumber sebuah seminar yang sumber dananya berasal dari APBN sebesar
Rp.5.000.000,- Hitung PPh Pasal 21 Final yang terutang.
PERTEMUAN 6
Disusun oleh:
Pertemuan 6
Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari bunga, dividen, royalty, hadiah,
sewa, dan penyerahan jasa selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
1. Badan Pemerintah
2. Subjek Pajak badan dalam negeri
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk Usaha Tetap
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
6. Orang Pribadi sebagai WP dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari
Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh pasal 23.
1. Tarif 15%
a. Dividen;
c. Royalti;
2. Tarif 2%
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
tanah dan/atau bangunan; dan
b. Imbalan sehubungan dengan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa
Konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.
*Dalam hal WP yang memperoleh penghasilan tidak memiliki NPWP, besarnya tarif
pemotongan lebih tinggi 100% dari yang memiliki NPWP.
Contoh Soal :
PPh yang dikenakan kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT, atas penghasilan dari
modal dan dari usaha jasa apapun yang diperolehnya dari sumber di Indonesia.
a. Badan Pemerintah;
b. Subjek Pajak Dalam Negeri;
c. Penyelenggara Kegiatan;
d. BUT;
e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya; atau
f. OP yang ditunjuk.
Besarnya Perkiraan :
d. Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia
dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut tidak ditanamkan
kembali di Indonesia.
PPh Pasal 26 nya = (PKP - PPh Terutang) x 20%
Contoh Soal :
Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike bertempat
tinggal kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri, dan mempunyai seorang anak.
Dalam bulan April 2017, Mike memperoleh gaji US$ 5.000 sebulan. Kurs yang
berlaku adalah Rp. 13.500 per US$ 1. Hitung PPh Pasal 26.
Jawab :
Perhitungan PPh Pasal 26 :
Penghasilan bruto sebulan = 5.000 x 13.500 = Rp. 67.500.000,- Penerapan Tarif
= 20% x Rp. 67.500.000 = Rp. 13.500.000,-
PERTEMUAN 7
Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 4 ayat 2 dan PPh Pasal 22
Disusun oleh:
A. Definisi
PPh Pasal 4 ayat 2 atau biasa disebut juga dengan PPh Final adalah pajak yang
dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi atas beberapa
jenis penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongannya bersifat final.
PPh Pasal 4 ayat 2 disini bersifat final, artinya atas pajak ini tidak dapat
dikreditkan atau dikurangkan dari total pajak penghasilan terutang pada akhir
tahun pajak.
Ketika pajak final dikenakan atas transaksi antara perusahaan individu, dimana
perusahaan bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, maka PPh Pasal 4
ayat 2 ditanggung oleh perusahaan sebagai pihak yang menerima hasil.
Pengenaan PPh yang bersifat final atas penghasilan yang diterima ataupun
diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu sesuai dengan jenis objek
pajaknya, baik itu dipotong oleh pihak lain atau disetor sendiri, bukanlah
pembayaran di muka atas PPh terutang, melainkan sudah langsung melunasi PPh
terutang untuk penghasilan tersebut.
Penghasilan yang telah dikenakan PPh final tidak akan dihitung PPh nya seperti
tahunan untuk dikenakan tarif umum bersamaan dengan penghasilan lainnya.
Terkait dengan omset atas transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 tidak
dimasukkan ke dalam omset usaha, namun dimasukkan ke dalam penghasilan
yang sudah dipotong PPh Finalnya.
Koperasi
Penyelenggara kegiatan
Otoritas bursa
Bendaharawan
3. 0% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu lebih dari 6
bulan.
iii. Atas bunga dari tabungan dan diskonto SBI, serta bunga dari deposito selain
dari deposito sebagaimana dimaksud i dan ii. Tarifnya :
1. 20% dari jumlah bruto terhadap WP Dalam Negeri dan BUT.
2. 205 dari jumlah bruto, atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku pada WP Luar Negeri
b) Penghasilan berupa bunga dan diskonto obligasi.
i. Atas bunga obligasi dengan kupon sebesar :
1. 15% bagi WP Dalam Negeri dan BUT.
2. 20% atau dengan tarif sesuai ketentuan Penghindar Pajak Berganda
yang berlaku , pada WP Luar Negeri.
Dari jumlah bruto bunga sesuai dengan kepemilikan obligasi.
ii. Atas dikonsto obligasi dengan kupon sebesar :
1. 15% bagi WP Dalam Negeri dan BUT.
2. 20% atau dengan tarif sesuai dengan ketentuan Penghindaran Pajak
Berganda yang berlaku, pada WP Luar Negeri
Dari selisih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan
obligasi.
iii. Atas diskonto obligasi tanpa bunga sebesar :
1. 15% bagi WP Dalam Negeri dan BUT,
2. 20% atau dengan tarif sesuai ketentuan Penghindaran Pajak Berganda
yang berlaku, pada WP Luar Negeri.
Dari selisih harga jual atau nominal di atas harga perolehan obligasi.
iv. Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh
WP reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar :
1. 5% untuk tahun 2014 s.d 2020
2. 10% untuk tahun 2021 dst.
c) Penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bengunan PPh Final = 10% x
penghasilan bruto
d) Penghasilan dari pengalihan hak atas dan/atau bangunan
i. 2.5% untuk selain rumah sederhana atau rumah susun sederhana
Contoh soal :
1) Ahmad menempatkan dananya dalam tabungan mudharabah di Bank Amal
Syariah sebesar Rp 100.000.000,00. Nisbah/bagi hasil yang disepakati adalah
70% untuk bank dan 30% untuk nasabah. Pada bulan September 2013, Bank
Amal Syariah memperoleh keuntungan sebesar Rp 100.000.000.000,00 dari
total dana nasabah yang dikelola Rp 2,5 triliun. Pada tanggal 8 Oktober 2013
Bank Amal Syariah membayarakan bagi hasil sebesar Rp 1.200.000,00 kepada
Ahmad. Bagaimana perlakuan PPh atas pembayaran bagi hasil tersebut?
Jawab :
PPh Pasal 4 ayat 2 = 20% x 1.200.000 = Rp 240.000
2) Pada tanggal 1 juli 2013, PT Mekar Sejahter menerbitkan obligasi dengan kupon
(interest bearing debt securities) sebagai berikut:
Nilai nominal Rp 10.000.000,00 per lembar
Jangka waktu obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 30 Juni 2018)
Bungan tetap (fixed rate) sebesar 18% per tahun. Jatuh tempo buna setiap
tanggal 30 Juni dan 31 Desember.
Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). PT Bank Koes &
Dian merupakan kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran. PT
Batavia Sentosa pada saat penerbitan perdana membeli 20 lembar obligasi
dengan harga dibawah nilai nominal (at dicount) yaitu sebesar
Rp9.000.000/lembar. Bagaimana kewajiban pemotongan dan pemungutan
PPh pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31 Desember 2013?
Jawab :
Bunga obligasi = (6/12 x 18%x 10.000.000) x 20 lembar = Rp 18.000.000
PPh Pasal 4 (2) = 15% x 18.000.000 = Rp 2.700.000
a. Bank Devisa dan DJBC, pada aktivitas perdagangan internasioanl seperti Impor
dan Ekspor barang;
b. Bendahara Pemerintah dan KPA pada Pempus, Pemda, Instansi dan Lembaga
Pemerintah atas pembelian barang;
c. Bendahara Pengeluaran pada pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau PPSPM yang diberikan delegasi oleh
KPA, pada pembayaran ats pembeliaan barang kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran Langsung (LS);
e. Badan Usaha Tertentu seperti BUMN dan Badan Usaha Tertentu yang dimiliki
secara langsung seperti oleh BUMN;
f. Badan Usaha yang bergerak di bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomatif, dan industri farmasi atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor di dalam negeri;
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di
dalam negeri;
h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas,
atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas;
i. Badan usaha industri atau ekportir yang melakukan pembelian bahan-bahan
berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, pertenakan, dan perikanan
yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industrinya
atau ekspornya;
j. Badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral, logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang pribadi
pemegang izin usaha pertambangan; atau
k. Badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan batangan di dalam
negeri.
*Nilai impor nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea
Masuk yaitu Cost, Insurance, and Freight (CIF), ditambah Bea
Masuk dan Pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan
ketentuan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
*API Angka Pengenal Impor
*diatur pada PMK Nomor 34/PMK.010/2017
No Barang Tarif
Tarif PPh Pasal 22 atas Pembelian Barang oleh Bendahara Pemerintah, KPA,
Bendahara Pengeluaran, Badan Usaha Tertentu.
- dsunnyzen
PERTEMUAN 9
PPN
Disusun oleh:
PPN
A. Sejarah
PPN merupakan pengganti dari Pajak Penjualan dikarenakan Pajak Penjualan dirasa
sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai
sasaran kebutuhan pembangunan, Antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara,
mendorong ekspor dan pemerataan pembebanan pajak.
1. Pajak Pembangunan I
Yang berdasarkan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di Indonesia
yang dipungut secara berjenjang pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi
dan berlaku sejak 1 Oktober 1951.
Pajak ini dikenakan tariff 2,5%. UU yang mengatur pajak peredaran adalah UU
Darurat No. 19/1951 tentang Pajak Peredaran, namun pajak ini tidak berlaku lama
karena telah digantikan dengan pajak penjualan.
3. Pajak Penjualan
4. PPN
pada 1 April 1985. Hingga saat ini sudah 3x perubahan UU PPN di Indonesia.
Berikut perubahan UU PPN kedua dan ketiga di Indonesia:
a. Perubahan Kedua:
b. Perubahan Ketiga :
B. Karakteristrik
6. Berisfat multi Stage Levy dikenakan atau dipungut pada setiap tahap jalur
produksi dan distribusi tidak bersifat pemungutan double karena
mekanismenya yang menganut pengkreditan Pajak Keluaran dan Pajak
Masukan.
C. Mekanisme PPN
UU PPN 1984 menganut metode kredit pajak serta metode faktur pajak. Dalam metode
ini PPN dikenakan atas penyerahan BPK atau JKP oleh PKP. PPN dipungut secara
bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Untuk melakukan pengkreditan
pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode faktur pajak).
3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan
satu takwim), jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak
Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara.
4. Apabila dalam suatu masa pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada
jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusikan atau dikompensasikan
ke masa pajak berikutnya.
Jumlah PPN kurang bayar sebesar 10.000.000 harus disetorkan ke kas negara.
UU yang mengatur PPN dan PPnBM adalah UU No.8/1983 tentang PPN dan PPnBM
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.42/2009; UU ini
disebut dengan UU PPN 1984.
E. Objek
2. Impor BKP.
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
8. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain.
9. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjual belikan oleh PKP, kecuali atas aktivas yang Pajak Masuknya tidak
dapat dikreditkan.
PKP sebagai subjek PPN merupakan pihak atau pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP atau JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 kemudian
menyetorkan PPN dan melaporkan perhitungan pajak. Pihak yang dapat disebut PKP
adalah pengusaha yang memiliki penghasilan bruto lebih dari Rp. 4,8 miliar.
PKP dapat memohon pencabutan pengukuhan PKP apabila jumlah peredaran atau
penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi batas yang telah ditetapkan
kepada KPP tempat pengusaha dikukuhkan PKP paling lambat satu bulan sejak
berakhirnya tahun buku
Berikut komponen :
Merupakan barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud, yang
dikenai pajak berdasarkan UU 1984.
1. Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau suara atau keduanya yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optic atau teknologi
serupa.
2. Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau suara atau untuk
siaran televise atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat
optic, atau teknologi serupa.
3. Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spectrum radio
komunikasi.
e. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup atau pita video untuk
siaran televise atau pita suara untuk siaran radio.
Pengecualian BKP
Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan PP didasarkan atas
kelompok barang sebagai berikut :
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung
dan sejenisnya baik dikonsumsi ditempat atau di bawak pulang termasuk yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
d. Uang, emas batangan dan surat-surat berharga (saham, obligasi, dan lainnya)
JKP
Setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hokum
yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
Pengecualian JKP
Jenis yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan PP didasarkan atas kelompok
jasa sebagai berikut :
a. Jasa pelayanan kesehatan medis;
b. Jasa di bidang pelayanan social;
c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. Jasa keuangan;
e. Jasa asuransi;
f. Jasa di bidang keagamaan;
g. Jasa pendidikan;
h. Jasa kesenian dan hiburan;
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang
bertujuan komersial.
j. Jasa angkutan umum darat atau udara baik dalam negeri maupun luar negeri
yang tidak dapat dipisahkan
k. Jasa tenaga kerja ;
1. Jasa tenaga kerja
2. Jasa penyediaan tenaga kerja
3. Jasa penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja
l. Jasa perhotelan ;
1. Jasa penyewa kamar;
2. Jasa penyewa ruangan.
m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dakam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum.
n. Jasa penyediaan tempat parkir.
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam baik diselenggarakan oleh
pihak pemerintah/swasta.
p. Jasa pengiriman uang menggunakan wesel pos.
q. Jasa boga/catering.
Penyerahan BKP
Merupakan setiap kegiatan penyerahan BKP. Yang termasuk kedalam penyerah BKP
adalah :
ii. Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan atau perjanjian sewa guna
usaha (leasing).
iii. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang.
iv. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas BKP.
v. BKP (persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan tidak untuk diperjual
belikan), yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.
vi. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya, dan atau penyerahan BKP
serta cabang.
vii. Penyerahan BKP secara konsinyasi.
viii. Penyerahan BKP oleh PKP dalm rangka perjanjian pembiayaan yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung
dari PKP ke pada pihak yang membutuhkan BKP.
Sedangkan penyerahan barang yang tidak termasuk dalam kategori penyerahan BKP
adalah :
PERTEMUAN 10
PPN Bagian 2
Disusun oleh:
PPN bagian 2
A. Subjek PPN
Yang disebut subjek PPN ialah orang pribadi dan badan, yang berdasarkan peraturan
per UU, melakukan kegiatan penyerahan dan menerima BKP/JKP. Yang diatur di dalam
UU No. 42/2009 Pasal 4 Ayat 1 huruf b dan e serta Pasal 16C.
B. Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila
sampai suatu bulan dalm tahun buku, jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan
brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan yang paling lama dilaporkan akhir bulan
berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya
melebihi batas pengusaha kecil.
C. Kewajiban PKP
3. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayarkan dalam hal Pajak Keluaran
lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta
menyetorkan PPnBM;
a. Tempat tinggal,
b. Tempat kedudukan,
d. Tempat lain.
2. Dalam hal impor terutangnya pajak terjadi di tempat BKP dimasukkan dan
dipungut melalui DJBC.
3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan atau
JKP dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean terutang pajak di
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan atau tempat kegiatan usaha.
4. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya oleh bukan PKP, di tempat
bangunan tersebut didirikan.
Contoh :
1. PKK A menjual tunai BKP kepada PKP B dengan harga jual 25.000.000, PPN
yang terutang;
PPN sebesar 2.500.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh PKP
A. sedangkan PKP B, PPN tersebut merupakan merupakan Pajak Masukan.
2. Seseorang mengimpor BKP dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
15.000.000, PPN yang dipungut melalui DJPBC = 10% x 15.000.000 =
1.500.000
G. Tarif PPN
Tariff yang berlaku untuk saat ini adalah 10%. Sedangkan tarif PPN sebesar
0% diterapkan atas :
b. Ekspor JKP.
Pengenaan tariff 0% tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian,
Pajak Masuknya yang telah dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan
kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Pemerintah diberikan wewenang dalam mengubah tariff pajak PPN menjadi paling
rendah 5% dan paling tinggi 15% dengan tetap memakai prinfsip tarif tunggal yang
dilakukan untuk pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan
kebutuhan dana untuk pembangunan yang dikemukakan oleh pemerintah kepada DPR
dalam rangka pembahasan dan penyusunan RAPBN
H. DPP
1. Harga jual nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN
berdasarkan UU PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam
faktur pajak.
2. Penggantian nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau
ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut
berdasarkan UU PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam
faktur pajak atau nilai berupa uang yang dibayarkan atau seharusnya dibayar
oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP/BKP tidak berwujud karena
pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
3. Nilai Impor nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk
di tambah dengan pemungutan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Per-
UU yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak
termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut menurut UU PPN 1984.
4. Nilai Ekspor nilai berupa uang termasuk biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengekspor.
Untuk kegiatan Membangun sendiri DPP nya adalah 20% dari jumlah biaya yang
dikeluarkan dan atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak termasuk
harga perolehan tanah .
Dsunnyzen
PERTEMUAN 11
FAKTUR PAJAK DAN PENGKREDITAN PM
DISUSUN OLEH :
A. Faktur Pajak
a. Pengertian
Faktur Pajak dalam administrasi PPN di Indonesia didefinisikan sebagai bukti pungutan
pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP (Pasal 1
angka 23 UU PPN 1984). Pemungut PPN adalah penjual atau yang menyerahkan BKP/JKP.
Penerbitan Faktur Pajak menandakan Pemungutan Pajak sebagai konsekuensi mekanisme
indirect substraction method yang dianut Indonesia.
2. Bukti beban pajak, dalam hal PPN yang tercantum belum dibayar
b) Penyerahan/Ekspor JKP
a. Elektronik, berupa file yang digunakan saat objek PPN berupa penyerahan
BKP/JKP dan penyerahan terkait pasal 16D.
Di Indonesia, untuk menerbitkan FP berbentuk elektronik harus melalui
persetujuan ortoritas pajak dengan melalui kanal penerbitan berupa:
1) Aplikasi dekstop e-Faktur Pajak
Turis asing yang membawa Barang Bawaan, dapat meminta kembali PPN
yang dia bayar atas pembeliaan BKP di Indonesia dengan syarat nilai PPN yang
diminta paling sedikit RP500.000 dan pembelian barang bawaan dilakukan 1
bulan sebelum keberangkatan ke luar daerah pabean.
Kode faktur terdiri dari tiga digit dimana dua digit pertama adalah kode
transaksi dan 1 digit berikutnya adalah kode status sedangkan nomor seri faktur
pajak terdiri dari 13 digit dimana 3 digit pertama dan digit ke-6 hingga digit
terakhir adalah nomor urut FP secara nasional dan digit ke 4 dan ke 5 adalah
kode tahun penerbitan Nomor Seri Faktur Pajak. Untuk kode status, berupa
angka 0 yang bermakna Faktur Pajak Normal atau Faktur yang pertama kali
dibuta, dan angka 1 jika Faktur Pajak tersebut merupakan Faktur Pajak Pengganti
atau telah ada penggantian informasi pada Faktur Pajak.
Prinsip dasarnya adalah saat terjadi penyerahan atau ekspor, namun dilakukan
juga saat pembayaran terlebih dahulu dterima sebelum penyerahan barang. Jadi
terdapat beberapa kategori saat pembuatan FP, yaitu:
1. Prinsip Pengkreditan
3. Pengkreditan dalam Hal Terdapat Penyerahan yang Terutang dan Tidak Terutang
PPN
Apabila dalam suatu Masa Pajak PKP selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan
Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui
dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan
yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan. Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang
terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak
Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian
kepada PKP.
Untuk beberapa usaha yang menggunakan DPP Nilai Lain sebagai dasar
pengenaan PPN, maka atas Pajak Masukan yang digunakan untuk penyerahan
BKP/JKP terkait tidak dapat dikreditkan antara lain:
Variasi Kasus:
Contoh: (Pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang tidak terutang PPN)
PK :Rp 10.000.000
PM : Rp 0
PPN : Rp 10.000.000
Contoh:
d. Gagal Produksi
Jika PKP memutuskan mengkreditkan PM atas barang modal sebelum
berproduksi, terdapat konsekuensi, yaitu, jika PKP gagal berproduksi dalam jangka
waktu 3 tahun sejak PM dikreditkan, maka PM tersebut harus dibayarkan kembali.
Kapan PKP harus mengembalikan PM tersebut? Paling lama akhir bulan berikutnya
saat gagal produksi. Jika PKP tidak membayarkan kembali PM tersebut, maka akan
ditagih dengan menggunakan STP beserta sanksi administrasi sebesar 2% perbulan
sejak tanggal penerbitan SKPLB hingga penerbitan STP.
PKP (badan atau orang pribadi) yang mempunyai peredaran usaha dalam satu
tahun buku tidak melebihi Rp 1,8 miliar. Besarnya pajak masukan yang dapat
dikreditkan adalah:
• Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) sebesar 60% dari PK dan dapat
disimpulkan PPN terutang adalah 4% dari peredaran usaha setiap bulannya untuk
penyerahan JKP.
• Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) sebesar 70% dari PK dan dan
dapat disimpulkan PPN terutang adalah 3% untuk penyerahan BKP.
PKP (badan atau orang pribadi) yang melakukan kegiatan usaha tertentu, yaitu:
Fasilitas PPN dalam bentuk tidak dikenakan pungutan PPN diberikan pada barang
dan jasa yang penggunaannya menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal ini
dimungkinkan, meski sejatinya barang dan jasa yang beredar di masyarakat
merupakan BKP/JKP dan untuk itu ada pungutan PPN.
Pasalnya, ada beberapa jenis barang dan jasa yang keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh khalayak umum. Oleh karena itu, kegiatan penyerahan dan
perolehan barang dan jasa yang dimaksud tidak dikenakan pungutan PPN.
1. BKP bersifat strategis, yang merupakan barang masuk kategori BKP namun
memiliki nilai strategis berdasarkan pertimbangan pemerintah. Sehingga atas
BKP strategis ini diberikan fasilitas PPN dibebaskan.
2. BKP tertentu, yang meliputi yang diperlukan untuk kepentingan umum atau
untuk kepentingan nasional yang dikelola oleh unit-unit pemerintah.
3. JKP tertentu, yang terdiri atas jasa yang diserahkan kontraktor untuk
pemborong bangunan, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan
serta jasa yang diterima oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional
Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional.
4. Penyerahan BKP/JKP kepada perwakilan negara asing dan badan
internasional serta pejabatnya dengan asas timbal balik
5. Jasa kebandarudaraan tertentu, yang meliputi pelayanan jasa penerbangan;
pelayanan jasa pendaratan, penempatan, dan penyimpanan pesawat udara,
pelayanan jasa konter, pelayanan jasa garbarata (aviobridge), pelayanan
jasa bongkar muat penumpang, kargo, pos
Pemberian fasilitas PPN dalam bentuk tidak dipungut PPN diberikan kepada
transaksi-transaksi sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
Dhian Adhetiya Safitra, A. P. (2020). PERPAJAKAN II PPN dan KUP. Banten: Unit
Penerbitan Politeknik Keuangan Negara STAN.
Online Pajak (2018), Definisi dan Jenis-Jenis Fasilitas PPN, Online Pajak.
https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/fasilitas-ppn
https://nusahati.com/2013/12/sekilas-tentang-pkp-omset-tertentu/
PENGANTAR
Modul Pajak Penghasilan Badan, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari modul Pajak
Penghasilan Orang Pribadi. Pembaca modul ini diharapkan telah mempelajari modul PPh Orang
Pribadi untuk mempermudah pemahaman PPh secara umum
Agar kita Iebih mudah dan urut dalam memahami PPh Badan, terlebih dahulu kita akan
membahas siapa saja badan-badan yang dikenakan PPh dan penghasilan apa saja yang dikenakan
ataupun tidak dikenakan PPh. Setelah itu kita akan belajar bagaimana menghitung PPh Badan.
SUBJEK PAJAK
Subjek PPh Badan bukan hanya perusahaan. Yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan
orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN,
BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis,
lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan bentuk badan Iainnya.
Subjek Pajak Badan dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri
Subjek Pajak Badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak
lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
2. Subjek Pajak Badan Luar Negeri.
Subjek Pajak Badan Luar Negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia baik
melalui BUT maupun tidak melalui BUT. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat
menjalankan usaha melalui BUT ataupun pada saat menerima dan memperoleh penghasilan.
Sedangkan berakhirnya adalah pada saat tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia dengan
melalui BUT atau tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.
Contoh :
Misalnya BundesGesselshaft Gmbh Jerman mempunyai kantor cabang di Indonesia berarti
BundesGesselshaft Gmbh merupakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
1
Pajak Penghasilan Badan
Indonesia tetapi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia.
BundesGesselshaft Gmbh dikenakan PPh di Indonesia melalui BUT tersebut.
BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak Iebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Contoh :
Misalnya Mr. Xie tinggal di Hongkong tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa
kantor cabang maka Mr. Xie dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usaha di
Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia.
2
Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT
A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C
sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B, dan PT C
dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima
persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan
badan.
2. Hubungan Penguasaan
Hubungan istimewa karena pengusaan timbul jika Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya,
atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun
tidak langsung. Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan
melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendati pun tidak terdapat hubungan
kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah
penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada
dalam penguasaan yang sama tersebut.
3. Hubungan Keluarga
Hubungan istimewa dapat timbul diantara orang pribadi-orang pribadi pemegang saham
perusahaan yang memiliki hubungan keluarga baik sedarah ataupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat (Pasal 18 ayat (4) UU PPh). Yang dimaksud
dengan orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik sedarah dalam garis keturunan
lurus dan atau ke samping satu derajat yaitu :
Hubungan sedarah
ayah, ibu, dan anak (garis keturunan lurus satu derajat), saudara kandung atau saudara
tiri (garis keturunan ke samping satu derajat).
Keluarga semenda
Mertua dan anak tiri (garis keturunan lurus satu derajat), ipar (garis keturunan ke
samping satu derajat).
Status hubungan istimewa diatas akan berpengaruh pada 4 hal yaitu :
1. Keuntungan atas jual beli aktiva tetap diantara subjek pajak yang memiliki hubungan istimewa
dihitung dengan cara mengurangkan harga pasar wajar aktiva tersebut dengan nilai bukunya.
Harga Pasar disini adalah nilai yang seharusnya diterima dalam transaksi normal (arm-length
transaction) (Pasal 10 ayat (1)) UU PPh; Ketentuan ini bertujuan untuk menghin dari jual beli
secara tidak wajar.
2. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa (Pasal 18 ayat (3)) UU PPh;
3. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja
sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa (Pasal 18 ayat (3a) UU PPh);
4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham (orang pribadi atau
badan) atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan tidak boleh menjadi biaya (Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh).
3
Pajak Penghasilan Badan
Kasus :
Bentuk usaha seperti apa yang dipilih dan apa konsekuensi pajaknya?
Pembahasan :
Bentuk usaha no.3 yaitu tidak membuat badan apapun di Indonesia adalah bentuk paling
ideal karena resiko pajaknya paling kecil. Tetapi UU PPh pasal 2 ayat (5) huruf i menyatakan
bahwa bentuk usaha tetap jasa konstruksi langsung muncul pada hari pertama proyek
dilaksanakan. Apabila proyek konstruksi adalah 1 tahun berarti Won Han Construction Ltd
langsung menjadi subjek pajak luar negeri dengan BUT pada hari pertama. Jadi, pengenaan
pajak sama dengan WP DN.
Bentuk usaha cabang berdasarkan pasal 2 ayat (5) huruf b adalah bentuk usaha tetap
sehingga konsekuensi pajaknya sama seperti pilihan no. 3
Pilihan no.2, yaitu menjadi PMA berarti langsung menjadi subjek pajak dalam negeri,
karena PMA berdomisili / berkedudukan di Indonesia.
4
BAB II
OBJEK PPh BADAN
PENGANTAR
Pada prinsipnya Objek PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak. Objek PPh bagi Wajib Pajak Badan dapat dibedakan
menjadi dua yaitu :
1. Penghasilan Badan Dalam Negeri
Objek Pajak Badan dalam negeri adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh
Badan tersebut dengan prinsip WWI (World Wide Income), yang diterima baik dari dalam
maupun luar negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
PenghasiIan.
2. Penghasilan Badan Luar Negeri (BUT maupun WP LN bukan BUT). Penghasilan WP Badan
Luar Negeri ada 2 macam yaitu :
a. Penghasilan WP Badan Luar Negeri BUT
Dalam pasal 5 UU PPh diatur tentang Objek Pajak BUT yaitu :
1) penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai;
2) penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dilakukan atau dijalankan
oleh BUT di Indonesia;
3) penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU PPh, yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
b. Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT
Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT adalah penghasilan-penghasilan yang
diterima atau diperoleh Badan Luar Negeri yang bukan berasal dari usaha atau kegiatan
di Indonesia tetapi berupa penghasilan modal (passive income). Contohnya adalah
penghasilan dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah, maupun capital gain.
5
Pajak Penghasilan Badan
A. Pasal 4 ayat (1) UU PPh pada dasarnya menyatakan bahwa objek pajak badan adalah
tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis tersebut dapat
dikelompokkan manjadi 3 macam yaitu :
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan
a. laba usaha;
b. premi asuransi (yang diterima perusahaan asuransi);
c. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
d. hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan (yang diterima badan);
2. Penghasilan dari modal (investasi)
a. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
c. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
d. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
e. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
3. Penghasilan lain-lain
a. hadiah dari undian;
b. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
c. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
d. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
e. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
f. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
g. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
h. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
i. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
j. surplus Bank Indonesia.
6
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan titik
pemajakan adalah:
a. 1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah
dan para penerima zakat yang berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan atau badan pendidikan
atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah;
Penghasilan-penghasilan diatas bukan merupakan objek pajak karena titik pemajakan
atas penghasilan tersebut bukan pada pihak yang menerima tetapi pada pihak yang
memberikan penghasilan. Pihak yang menyerahkan penghasilan dikenakan pajak dengan
cara tidak dapat membiayakan pengeluaran tersebut. Dengan demikian pajak atas
sumbangan, bantuan dan penggantian dalam bentuk natura dikenakan bukan pada pihak
yang menerima sumbangan, bantuan atau natura tetapi pada pihak yang memberikan
penghasilan tersebut.
2. Alasan Pengalihan Saat Pemajakan
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan saat pemajakan
adalah iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai.
Pajak atas pembayaran pensiun dialihkan saat pengenaannya, yaitu pada saat menerima
pensiun sedangkan pada saat membayar iuran pensiun dibebaskan dari pengenaan pajak
(bagi dana pensiun yang menerima bukan penghasilan dan bagi peserta yang iuran
pensiunnya dibayar perusahaan bukan penghasilan).
3. Alasan Insentif Investasi
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan insentif investasi adalah:
a. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha
Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal, dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan; PMK-234/PMK.03/2009.
c. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima)
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
d. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan; dan
7
Pajak Penghasilan Badan
8
4. Penghasilan bunga tabungan, jasa, giro, 20% x Ph Bruto
dan diskonto
5. Penghasilan dari sewa tanah dan/atau 10 % x Ph Bruto
PP No. 5/2002
bangunan
6. Penghasilan perusahaan ventura dari 0,1 % x Ph bruto
transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan
pasangan usaha (syarat :merupakan PP No.4/1995
pengusaha kecil dan sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia)
7. Penghasilan yang diterima WP 1,2 % X Ph bruto KMK-
perusahaan pelayaran DN 416/KMK.04/1996 jo.
SE-29/PJ.04/1996
8. Penghasilan yang diterima WP 2,64 % x Ph bruto
KMK-417/KMK.04/
perusahaan pelayaran LN dan/atau
1996
penerbangan LN
9. Penghasilan yang diterima/diperoleh PP No. 139/2000
berupa bunga atau diskonto obligasi yang KMK-
dijual di bursa efek : 15 % x Ph Bruto 558/KMK.04/2000
- Diterima WP DN 20 % x Ph Bruto PP No. 6/2002
- Diterima WP LN PMK-
256/PMK.03/2008
10. Penghasilan berupa selisih lebih karena 10% x selisih dari nilai KMK-
revaluasi aktiva tetap appraisal dan NSBF 486/KMK.03/2002
9
Pajak Penghasilan Badan
TARIF PAJAK
Sebelum Tahun 2009 (Berdasarkan UU PPh No 17 Tahun 2000)
Wajib Pajak Badan dikenakan pajak penghasilan dengan tarif sesuai pasal 17 UU PPh sebagai berikut :
Contoh :
Penghasilan Kena Pajak Rp 70.000.000,00
PPh terutang
- 10% x 50.000.000 Rp. 5.000.000,00
- 15% x 20.000.000 Rp. 3.000.000,00
Jumlah PPh terutang Rp 8.000.000,00
10
Rp 3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
- (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
- 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00(+)
- Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp 772.800.000,00
Objek Pajak Final ( Pasal 4 ayat (1) ) Objek Pajak Final ( Pasal 4 ayat (2) )
1. pendapatan berupa pembebasan hutang sebesar 1. selisih lebih revaluasi aktiva tetap sebesar
jumlah hutang yang dibebaskan selisih, antara nilai pasar dan nilai buku
2. selisih lebih antara harga pasar dengan nilai aktiva yang direvaluasi. Selisih lebih
sisa buku pada ssat penggabungan (merger) revaluasi ini dikenakan PPh Final 10 % dari
3. keuntungan selisih kurs karena PT Indowwod nilai selisih lebih revaluasi.
sudah bertransaksi ekspor 2. hasil penjualan saham dibursaefek (tidak
4. pendapatan dividen saham. Diasumsikan PT memandang untung atau rugi), dikenakan
Indowood berinvestasi saham untuk PPh Final sebesar 0,1 % dari nilai penjualan.
memanfaatkan dana menganggur saja sehingga
kepemilikan kurang dari 25 %
11
Pajak Penghasilan Badan
Pertanyaan:
1. Berdasarkan kasus diatas, identifikasikan penghasilan-penghasilan PT Indo Garment yang
menjadi objek Pajak, selain hasil penjualan garmen !
2. Identifikasi juga penghasilan PT Distributindo dan PT Investor yang menjadi objek pajak
Pembahasan :
Objek Pajak Tidak Final ( Pasal 4 ayat (1) Bukan Objek Pajak Tidak ( Pasal 4
ayat (3)
PT Indo Garment :
Selisih antara harga pasar garmen dengan harga jual garmen ke Penghasilan dividen dari PT
PT Distributindo merupakan objek pajak. Seharusnya (anak Distributindo sebesar Rp. 76 jt
perusahaan) sesuai dengan harga wajar dan tidak melakukan karena kepemilikan saham lebih
transfer pricing. Transfer pricing pada saat PT Distributindo dari 25 %
masih merupakan divisi distribusi PT Indogarment tidak
menimbulkan efek pajak, tetapi bila transfer pricing terjadi antar
perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka ada
konsekuensi pajaknya
PT Distributindo
Pendapatan dari hibah 2 mobil box dengan nilai pasar Rp. 100 jt Penyetoran modal sebesar Rp. 1 M
PT Investor
Penghasilan dividen dari PT Distributindo sebesar Rp. 24 jt
karena kepemilikan saham kurang dari 25 %
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto
tertentu dikenai PPh bersifat Final. WP dimaksud memiliki kriteria sebagai berikut:
a. WP Orang Pribadi atau Badan, tidak termasuk BUT; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk dari jasa sehubungan dengan pekerjaa
bebas (bagi WP Orang Pribadi), dengan peredaran bruto tidak melebih 4.800.000.000,-
dalam 1 (satu) tahun pajak.
Peredaran bruto yang tidak melebihi 4.800.000.000 pada huruf b diatas ditentukan berdasarkan
peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran
bruto dari:
a. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (WP OP)
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri
c. Usaha yang atas penghsilannya telah dikenai PPh Final
d. Penghasilan yang dikecualikan sebagai Objek Pajak
12
Tidak termasuk WP Badan (dalam pengenaan PP 46) adalah:
a. WP badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. WP Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial
memperoleh peredaran bruto melebihi 4,8 milyar
PPh terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.
Pengenaan PPh berdasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam setahun dari tahun Pajak
sebelumnya.
Contoh:
PT.Jon Bersaudara, diketahui melalui SPT PPh Badan tahun 2012 memiliki peredaran Bruto
sebesar 3.500.000.000. dan pada bulan Juli, Agustus 2013 peredaran bruto sebesar 200.000.000
dan 300.000.000. maka sejak masa Juli 2013 (mulai berlaku ketentuan PP 46) PT.Jon Bersaudara
dikenai PPh Final 1% sebagai berikut:
Masa Juli 2013 : 1% x 200.000.000 = 2.000.000
Masa Agustus 2013 : 1% x 300.000.000 = 3.000.000
13
Pajak Penghasilan Badan
BAB III
REKONSILIASI FISKAL
PENGANTAR
Dari pembahasan pada modul PPh Orang Pribadi, kita dapat memahami bahwa PPh terutang
dapat dihitung dengan 2 cara yaitu menggunakan norma serta dengan pembukuan. Penghitungan
dengan norma relatif sederhana tetapi hanya usaha berskala kecil milik Orang Pribadi saja yang
diperbolehkan menggunakannya. Pengetahuan tentang perpajakan serta kebutuhan akan tenaga
perpajakan lebih banyak dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan yang harus menggunakan
pembukuan dalam penghitungan pajak.
Dalam menghitung PPh terutang, Orang Pribadi yang mengadakan pembukuan atau
perusahaan tetap mendasarkan diri dari laporan keuangan yang dibuat oleh Orang
Pribadi/perusahaan secara komersial. Dari laporan keuangan komersial tersebut selanjutnya
dilakukan Rekonsiliasi Fiskal yaitu suatu mekanisme penyesuaian pelaporan penghasilan WP secara
komersial menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akhirnya dihasilkan
laba/rugi fiskal.
A. Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi Fiskal dilakukan baik untuk pos-pos pendapatan maupun pos-pos biaya. Secara
ringkas dilakukan rekonsiliasi fiskal dalam hal :
a. WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Apabila WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final maka penghasilan tersebut
harus direkonsiliasi (dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun)
karena atas penghasilan tersebut telah dikenakan PPh Final sehingga kewajiban
pembayaran pajaknya sudah selesai. Selanjutnya PPh Final yang sudah dibayar/dipotong
atas penghasilan tersebut tidak boleh lagi menjadi kredit pajak.
Contoh : Perusahaan mendapatkan bunga dan Jasa giro dari bank. Penghasilan tersebut
harus dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun (direkonsiliasi)
karena sudah dipotong PPh final oleh bank.
b. WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (Pasal 4 ayat (3))
Apabila WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak maka penghasilan
tersebut harus juga direkonsiliasi karena WP tidak perlu membayar PPh atas penghasilan
tersebut.
Contoh : PT Senior memperoleh dividen dari PT Junior yang merupakan anak
perusahaan sebesar Rp 100 juta. Penyertaan PT Senior pada PT Junior sebesar 45 %.
Penerimaan dividen tersebut tidak perlu diperhitungkan sebagai penghasilan dalam
menghitung PPh terutang perusahaan tersebut pada akhir tahun karena bukan
merupakan obyek pajak.
c. WP mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan / Non
Deductible Expense (Pasal 9)
Apabila WP mengeluarkan biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan maka
biaya tersebut tidak bisa diperhitungkan dalam menghitung PPh terhutang pada akhir
14
tahun (direkonsiliasi). Perlakuan yang berbeda atas biaya jenis ini menimbulkan adanya
Beda Tetap yaitu perbedaan yang benar-benar riil serta bersifat pasti dan tetap karena
antara SAK dan UU PPh terjadi pengaturan yang berbeda. Atas beda tetap ini Wajib
Pajak harus mengoreksi perbedaan yang timbul.
Contoh beda tetap :
- Penggantian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan menurut PSAK adalah
biaya sedangkan menurut pajak bukan biaya
- Kerugian usaha di luar negeri menurut PSAK boleh dikurangkan sedangkan
menurut pajak tidak boleh
- Sanksi administrasi perpajakan menurut PSAK boleh menjadi biaya sedangkan
menurut pajak tidak boleh.
d. WP mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang tetapi metode pengakuan biaya
tersebut diatur tersendiri oleh ketentuan fiskal.
Apabila WP mengeluarkan biaya yang metode pengakuannya diatur tersendiri oleh
ketentuan pajak maka besarnya biaya yang boleh menjadi pengurang juga harus
disesuaikan dengan ketentuan pajak.
Contoh :
Truk seharga 100 juta secara akuntansi dapat saja disusutkan selama 5 tahun. Tetapi menurut
pajak truk tersebut harus disusutkan selama 8 tahun. Akibatnya akan terjadi selisih biaya
penyusutan setiap tahunnya.
Selisih yang timbul akibat perbedaan metode pengakuan biaya antara SAK dan PPh disebut
beda waktu. Pada prinsipnya jumlah pembebanan antara laporan komersial dan fiskal akan
menemui jumlah kumulatif yang sama. Jadi yang membedakan hanyalah alokasi pada periode
berjalan.
e. WP mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk mendapatkan
pendapatan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan objek pajak
serta pendapatan yang yang dikenakan PPh Non Final (Joint Cost)
Apabila WP mengeluarkan biaya yang semata-mata digunakan untuk mendapatkan
penghasilan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan objek pajak,
maka biaya tersebut harus direkonsiliasi seluruhnya. Adalah hal yang logis bila suatu
penghasilan direkonsiliasi maka biaya yang benar-benar terkait untuk mendapatkan
penghasilan tersebut juga ikut direkonsiliasi. Tetapi jika biaya tersebut digunakan untuk
mendapatkan semua jenis penghasilan, misalnya biaya penyusutan gedung, maka biaya
yang boleh menjadi pengurang penghasilan harus dihitung secara proporsional.
Contoh :
Dana Pensiun XYZ memiliki penghasilan sebagai berikut :
· penghasilan yang bukan obyek pajak (Pasal 4 ayat (3h) Rp. 100.000.000,00
· penghasilan bruto lainnya (Objek Pajak) Rp. 300.000.000,00
Jumlah penghasilan bruto Rp. 400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00, maka biaya yang boleh dikurangkan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar ¾ x Rp
200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
15
Pajak Penghasilan Badan
C. Kompensasi Kerugian
Jika Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan mengalami kerugian
dalam tahun-tahun sebelumnya maka kerugian fiskalnya dapat dikompensasi selama 5 (lima)
tahun sejak dialaminya kerugian (Pasal 6 ayat (2) UU PPh).
Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan diisi oleh Wajib Pajak yang
menyelenggarakan pembukuan. Kompensasi yang boleh diisikan adalah jumlah kerugian fiskal
yang telah terjadi untuk tahun pajak 5 (lima) tahun.
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperbolehkan secara fiskal terdapat kerugian fiskal
maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama
5 (lima) tahun berturut-turut di mulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatkannya
kerugian tersebut.
Contoh :
PT ABC dalam tahun 2008 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.1.200.000.000,00. Periode 5 tahun
berikutnya rugi laba fiskal PT ABC sebagai berikut :
Tahun 2009, laba fiskal = Rp. 200.000.000,00
Tahun 2010, rugi fiskal = (Rp. 300.000.000,00)
Tahun 2011, laba fiskal = NIHIL
Tahun 2012, laba fiskal = Rp. 100.000.000,00
Tahun 2013, laba fiskal = Rp. 800.000.000,00
Kompensasi kerugian sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2009 = Rp. 200.000.000,00 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2010 = Rp. 300.000.000,00
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2011 = NIHIL
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2012 = Rp. 100.000.000,00 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2013 = Rp. 800.000.000,00 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 100.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 sebesar Rp. 100 juta tersebut sudah tidak bisa lagi dikompensasikan
karena jangka waktu kompensasi selama lima tahun sudah kadaluwarsa.
16
yaitu laba jual beli saham (capital gain) dan penghasilan berupa dividen sedangkan penghasilan
investasi di obligasi berupa bunga / diskonto obligasi.
Mulai tahun 2008 direksi PT BUMN mengusulkan agar iuran pensiun yang terkumpul
diinvestasikan dalam bentuk penyertaan modal dengan prosentase kepemilikan sebesar 20% serta
pinjaman kepada PT PUTRA BUMN, anak perusahaan PT BUMN, karena PT PUTRA BUMN
sedang membutuhkan dana untuk pengembangan usahanya.
Perincian penghasilan dan biaya tahun 2008 sebagai berikut :
Penghasilan :
- Bunga deposito Rp. 1.000.000.000
- Bunga obligasi di bursa Rp. 1.500.000.000
- Dividen saham di bursa Rp. 200.000.000
- Capital gain jual beli saham di bursa Rp. 2.000.000.000
- Bunga pinjaman ke PT Putra BUMN Rp. 500.000.000
- Dividen dari PT Putra BUMN Rp. 100.000.000
Jumlah Total Penghasilan Rp. 5.300.000.000
Biaya :
- Biaya transaksi saham di bursa saham efek Rp. 150.000.000
Biaya transaksi obligasi di bursa saham efek Rp. 200.000.000
- Biaya operasional kantor (joint cost) Rp. 2.000.000.000
Pertanyaan:
Manajer investasi Dana Pensiun XYZ bertanya kepada anda penghasilan apa saja yang menjadi
objek pajak Dana Pensiun tersebut dan biaya-biaya apa saja yang dapat menjadi pengurang
penghasilan. Lebih jauh lagi ia bertanya bagaimana cara menghitung pajak dana pensiun.
Fiskal
Bukan objek pajak
Objek pajak tidak Objek pajak final
Penghasilan Komersial (pasal 4 ayat (3) UU
final (pasal 4 ayat (pasal 4 ayat (2) UU
PPh)
(1) UU PPh) PPh)
17
Pajak Penghasilan Badan
Penjelasan:
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf g UU PPh, iuran yang diterima Dana Pensiun bukan
merupakan objek pajak. Sedangkan berdasarkan pasal 4 ayat (3) huruf h UU PPh jo KMK-
651/KMK.04/1994 jo SE-16/PJ.4/1995 jo. PMK 252/MK.03/2008 hasil investasi Dana Pensiun
dalam bentuk bunga deposito, bunga obligasi dan pasar modal serta dividen saham, bukan objek
pajak. Penghasilan berupa capital gain / biaya berupa capital loss direkonsiliasi karena transaksi
di bursa dikenakan PPh final 0,1%.
Penghasilan bunga dividen dan bunga dari PT PUTRA BUMN tidak terdapat dalam daftar
penghasilan yang bukan objek pajak dan tidak pula tercantum dalam daftar penghasilan yang
dikenakan dari PPh final sehingga merupakan objek pajak.
Biaya yang terkait Iangsung dengan penghasilan bukan objek pajak dan penghasilan final
tidak boleh menjadi pengurang. Yang diperbolehkan adalah biaya yang terkait langsung dengan
penghasilan yang termasuk objek pajak. Jika terdapat biaya yang digunakan secara bersama-
sama untuk mendapatkan semua jenis penghasilan diatas maka biaya yang diakui sebagai
pengurang penghasilan dihitung secara proporsional.
18
BAB IV
BIAYA FISKAL
PENGANTAR
Kita sudah pernah belajar bahwa untuk mendapatkan laba fiskal kita harus melakukan
rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal ini dilakukan atas semua pendapatan dan biaya perusahaan.
Rekonsiliasi atas pendapatan dilakukan terhadap pendapatan-pendapatan yang bukan merupakan
objek pajak (Pasal 4 ayat (3)) serta penghasilan-penghasilan yang telah dikenakan PPh Final pasal 4
ayat (2).
Sedangkan biaya yang tidak diakui secara fiskal adalah :
a. biaya-biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
b. biaya yang dikeluarkan untuk 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang
bukan Objek Pajak yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh.
c. biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
bersifat final yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan aturan pelaksanaannya.
d. biaya yang biasa diterapkan di luar praktik akuntansi yang sehat (kondisi tidak wajar)
e. biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya (antara lain tidak menggunakan bukti,
daftar nominatif, dan tanpa dokumen)
f. Pajak Masukan yang memenuhi kriteria :
a) Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP termasuk Faktur Pajak cacat, kecuali dapat dibuktikan
bahwa atas Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar oleh PKP.
b) Faktur Pajak yang dibuat atas perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan pasal 9 ayat (1)
UU PPh.
g. Biaya untuk 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang dikenakan pajak
berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Norma Penghitungan Khusus
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 15 UU PPh dan aturan pelaksanaannya.
Apabila terdapat biaya-biaya yang digunakan secara bersama-sama baik untuk mendapatkan
penghasilan yang merupakan objek pajak, penghasilan yang dikenakan PPh Final maupun
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (Joint Cost), maka besarnya biaya yang dapat
dikurangkan dihitung berdasarkan proporsi jumlah pendapatan yang merupakan objek pajak dengan
jumlah pendapatan yang dikenakan PPh final dan penghasilan yang bukan objek pajak (penjelasan
Pasal 6 UU PPh)
19
Pajak Penghasilan Badan
uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi,
biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. Kerugian dan selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh)
2. BIAYA YANG MERUPAKAN PENGURANG PENGHASILAN DENGAN SYARAT-SYARAT
TERTENTU YAITU :
a. Beban penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyi manfaat
lebih dari 1 tahun (pasal 6 ayat (2)).
Syarat : Harta berwujud yang penyusutannya dapat dibiayakan atau harta tidak berwujud
yang dapat amortisasinya dapat dibiayakan adalah harta yang dimiliki dan digunakan
(syarat kumulatif) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (pasal 11
ayat (1) dan Pasal 11 A ayat (1));
b. Iuran kepada dana pensiun (Pasal 6 ayat (1) huruf c UU PPh).
Syarat : Dana Pensiun yang menerima iuran pensiun tersebut pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan;
c. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta (Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh).
Syarat : Harta yang dijual atau dialihkan dimiliki dan digunakan (syarat kumulatif) dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
d. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan (Pasal 6 ayat (1) huruf f UU PPh).
Syarat : Penelitian tersebut dilakukan di Indonesia;
e. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan (Pasal 6 ayat (1) huruf g UU PPh);
Syarat : Berkaitan dengan kepentingan perusahaan;
f. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh)
Syarat : memenuhi 4 syarat kumulatif sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) jo PMK-
57/PMK.03/2010yaitu :
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang
tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU
PPh
g. Sumbangan dalam rangka penanganan bencana nasional
h. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
i. Biaya pembangunan infrastruktur sosial
j. Sumbangan fasilitas pendidikan
k. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
Syarat untuk point g, h, i, j, k berdasarkan PP 93 tahun 2010
1. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun Pajak Sebelumnya
2. Pemberian subangan dan/atau tidak menyebabkan kerugian pada tahun pajak Sumbangan
dan/atau biaya diberikan.
3. Didikung oleh bbukti yang sah; dan
20
4. Lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Pajak Penghasilan.
Khusus untuk biaya pembangunan infrastuktur soisla atau CSR (Corporate Social Responsibility) ada
syarat tambahan yaitu:
1. Besarnya biaya yang dapat dikurangkan untuk 1 (satu) tahun tidak melebihi 5% (lima persen) dari
penghasilan neto Fiskal tahun pajak sebelumnya,
2. Diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.
21
Pajak Penghasilan Badan
22
penghasilan anggota firma atau CV semata-mata berasal dari gaji yang dibayar oleh Firma
atau CV, maka ia tidak lagi berkewajiban membayar PPh atas nama pribadinya.
23
Pajak Penghasilan Badan
hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang
bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu; dan
F. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha pengolahan limbah industri, yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi
perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan
hasil pengolahan limbah industri.
Besarnya cadangan untuk masing-masing item dapat Anda lihat di PMK 81/PMK.03/2009 jo PMK-
219/PMK.011/2012
2. Penyediaan Makanan Dan minuman Oleh Pemberi Kerja Bagi Sebagian Pegawai Di Tempat Kerja
Tetap Deductible
Berdasarkan SE-14/PJ.31/2003 Tanggal 5 Agustus 2003 ketentuan ―penyediaan makanan dan
minuman bagi para pegawai perusahaan di tempat kerja‖ tidak mutlak harus seluruh pegawai
perusahaan termasuk dewan direksi dan dewan komisaris. Apabila terdapat sejumlah pegawai yang
tidak dapat memanfaatkan atau tidak memperoleh fasilitas in-natura tersebut di tempat kerja karena
sifat pekerjaannya tidak memungkinkan (seperti para pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi,
dan dinas luar lainnya), maka hal tersebut tidak membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip
tersebut di atas.
3. Perlakuan Zakat Atas Penghasilan Dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
Berdasarkan KEP-163/PJ./2003 tanggal 10 Juni 2003 Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat
atas penghasilan, wajib melampirkan lembar ke-1 Surat Setoran Zakat atau fotokopinya yang telah
dilegalisir oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat penerima setoran zakat yang
bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat
atas penghasilan tersebut.
Surat Setoran Zakat yang dapat diakui sebagal bukti sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama Iengkap Wajib Pajak;
b. Alamat jelas Wajib Pajak;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. Jenis Penghasilan yang dibayar zakatnya;
e. Sumber/jenis penghasilan dan bulan/tahÿÿ pÿÿolehÿÿnya;
f. Besarnya penghasilan;
g. Besarnya zakat atas penghasilan.
4. Pembayaran Pajak Dan Retribusi Daerah (PDRD) Menjadi Biaya Tahun Pajak Yang Bersangkutan
Berdasarkan SE-02/PJ.42/2002 tanggal 18 Februari 2002, semua pengeluaran untuk PDRD harus
langsung dibiayakan di tahun berjalan kecuali sanksi Bunga, Denda atau Kenaikan yang harus
dikapitalisasi.
5. Kenikmatan Dan Fasilitas Yang Diberikan Untuk Pegawai Sudah Dapat Dibiayakan 50%
Berdasarkan KEP-220/PJ./2002 tanggal 18 April 2002 tentang Perlakuan PPh atas Biaya Pemakaian
Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan jo SE-09/PJ.42/2002 tanggal 17 Mei 2002 diatur hal-hal
sbb :
a. Pembelian HP bagi pegawai untuk keperluan pekerjaan sebesar 50%nya dicatat sebagai
pembelian aktiva tetap kelompok I dan dijadikan biaya melalui penyusutan;
b. Biaya pulsa dan servis HP 50%-nya dapat menjadi biaya perusahaan;
c. Pembelian maupun perbaikan besar (capital expenditure) atas bus atau minibus yang dimiliki &
digunakan untuk antar jemput pegawai dicatat seluruhnya sebagai pembelian aktiva tetap
golongan II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan;
24
d. Biaya servis rutin atas bus atau minibus yang dimiliki & digunakan untuk antar jemput pegawai
dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya;
e. Pembelian maupun perbaikan besar (capital expenditure) atas sedan atau sejenis yang dimiliki
& digunakan pegawai tertentu karena jabatannya dicatat 50 %-nya sebagai pembelian aktiva
tetap golongan II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan;
f. Biaya servis rutin atas sedan atau sejenis yang dimiliki & digunakan pegawai tertentu karena
jabatannya dicatat 50%-nya sebagai biaya;
g. Kenikmatan bagi pegawai berupa HP & antar jemput diatas bukan penghasilan pegawai;
h. Termasuk kategori ponsel adalah pager;
i. Termasuk kategori sedan adalah minibus ( Kijang dan sejenisnya);
j. Termasuk kategori biaya pemeliharaan adalah biaya bahan bakar.
6. Pembelian Software Umum Langsung Menjadi Biaya Sedangkan Pembelian Software Khusus Harus
Melalui Amortisasi
Berdasarkan KEP-316/PJ./2002 tanggal 17 Juni 2002 tentang Perlakuan PPh atas biaya perolehan dan
upgrade software diatur hal-hal sebagai berikut
a. Perlakuan PPh atas software umum
- Software umum adalah software yang digunakan oleh users umum;
- Biaya perolehan dan upgrade software umum merupakan revenue expenditure dan diakui pada
saat pengeluaran;
- Bila software umum dibeli bersama dengan hardware maka biaya perolehannya dikapitalisasi
bersama nilai hardware dan masuk aktiva berwujud kelompok 1;
b. Perlakuan PPh atas software khusus
- Software khusus adalah program yang dirancang untuk keperluan otomatisasi kegiatan
tertentu;
- Biaya perolehan software khusus dikapitalisasi sebagai intangible asset kelompok 1 dan
diamortisasi selama 4 tahun;
Bila software khusus di-upgrade maka pengeluarannya ditambahkan pada NSBF software yang
bersangkutan dan diamortisasi dengan masa manfaat baru/penuh mulai bulan yang bersangkutan.
7. Pembayaran PBB Langsung Menjadi Biaya Sedangkan Pembayaran BPHTB Harus Melalui Amortisasi
Berdasarkan SE-01/PJ.42/2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang perlakuan PPh untuk PBB dan
BPHTB maka :
c. Biaya PBB harus langsung dibiayakan pada tahun berjalan;
d. Biaya BPHTB untuk pembelian tanah dicatat sebagai aktiva tidak berwujud dan diamortisasi
sesuai pasal 11 A sesuai masa hak atas tanah;
e. Biaya BPHTB untuk pembelian bangunan dikapitalisasi ke nilai bangunan dan didepresiasi sesuai
pasal 11;
Kasus :
PT Aneka adalah perusahaan milik keluarga Tn. Hernowo. Kantornya menempati sebagian
ruangan rumahnya. PT Aneka adalah supplier alat-alat bagi kantor-kantor seperti ATK, meja,
kursi, filling cabinet, AC,Komputer dll. Karena perusahaan keluarga maka dana untuk keperluan
keluarga Tn. Hernowo juga diambil dari kas perusahaan, misalnya untuk keperluan berobat Tn.
Hernowo biaya sekolah anak-anak Tn Hernowo, pembayaran cicilan rumah dll. Bila Tn.
Hernowo sedang membutuhkan dana untuk keperluan proyek, ia sering menggunakan uang
tabungan pendidikan anaknya & tabungan pribadi juga tabungan hajinya. Setelah proyek selesai,
tabungan tersebut diisi lagi ditambah sejumlah ―komisi‖. Tn. Hernowo merasa bahwa manajemen
keuangannya seperti diatas sudah cukup baik selama ini, terbukti ia tidak perlu berhutang ke bank
untuk melaksanakan proyek-proyeknya dan membayar gaji keponakannya yang membantu
administrasi setiap bulannya.
25
Pajak Penghasilan Badan
Pertanyaan :
Akhir bulan lalu PT Aneka diperiksa oleh Kantor Pajak dan terkena SKPKB yang cukup besar
karena dianggap pembukuannya selama ini salah. Kira-kira dimana kesalahannya ? Tn Hernowo
merasa yakin sudah dipotong pajak terutama saat menjual barang ke kantor-kantor pemerintah. Ia
meminta anda menjelaskan kesalahannya !
Pembahasan :
Kesalahan utama pembukuan PT Aneka adalah tidak memisahkan biaya-biaya perusahaan dengan
biaya untuk keperluan pribadi pemegang saham sehingga banyak biaya-biaya perusahaan yang
tidak diakui secara fiskal. Selain itu banyak biaya-biaya yang seharusnya dibebankan melalui
pembebanan penyusutan ternyata dibebankan sekaligus pada tahun berjalan.
26
BAB V
PENILAIAN HARTA PERUSAHAAN
PENGANTAR
Pada waktu kita belajar tentang penghasilan yang menjadi obyek pajak disebutkan bahwa salah
satu obyek pajak adalah keuntungan atas pengalihan harta yaitu selisih harga pasar wajar harta
tersebut dengan nilai bukunya. Tetapi kadang-kadang harga pasar wajar suatu harta susah ditentukan
karena jual beli dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Akibatnya timbul
masalah dalam penentuan berapa laba atau rugi pengalihan harta.
Disamping itu timbul juga masalah pada harga berapa seharusnya pembeli mencatat harga
perolehan harta tersebut. Bagi pembeli masalah penilaian harta menentukan biaya penyusutan atas
harta tersebut. Agar tidak terjadi perdebatan antara petugas pajak dengan Wajib Pajak tentang
masalah ini maka Fiskus menetapkan ketentuan tentang penilaian harta.
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai tata cara penilaian harta milik Wajib Pajak seperti
aktiva tetap dan persediaan. Selain itu diuraikan juga cara menghitung penghasilan sehubungan
dengan penggunaan harta dalam perusahaan, cara menghitung keuntungan atau kerugian apabila
terjadi penjualan atau pengalihan harta, dan cara penghitungan penghasilan dan penjualan barang
dagangan. (pasal 10 UU PPh)
PENILAIAN HARTA
Penilaian harta ditentukan oleh harga perolehan suatu aktiva. Dibawah ini dijelaskan penilaian harta-
harta menurut ketentuan pajak :
1. Persediaan Barang Dagangan
Untuk menilai persediaan barang dagangan metode yang diperkenankan adalah FIFO dan
rata-rata dengan mendasarkan diri pada historical cost (harga perolehan) persediaan tersebut.
Metode yang lain seperti LIFO tidak diperkenankan. (Berdasarkan pasal 10 ayat (6))
2. Aktiva Tetap (Bangunan, Mesin dan Kendaraan)
Yang termasuk harga perolehan aktiva tetap adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan
dalam rangka memperoleh harta tersebut seperti bea masuk, biaya angkut, dan biaya
pemasangan. ( Berdasarkan pasal 10 ayat (1)).
Contoh :
Mesin diimpor dengan harga (Nilai Impor) Rp. 100 juta. Biaya pengangkutan dari pelabuhan ke
pabrik, biaya pemasangan, pengetesan dan lain-lain sampai mesin tersebut siap digunakan sebesar
Rp. 20 juta. Maka sebesar Rp. 20 juta tersebut dikapitalisasikan ke harga mesin sehingga nilai
perolehan mesin menjadi Rp. 120 juta.
3. Tanah
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah termasuk pengurusan hak-hak atas tanah
dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya dikapitalisasikan dalam harga tanah.
(Berdasarkan pasal 10 Ayat (1) dan (2)).
Contoh :
27
Pajak Penghasilan Badan
Tanah dibeli seharga Rp. 1 miliar. Untuk pengurusan status dan pengurusan hak-hak tersebut dari
instansi yang berwenang untuk pertama kalinya dikeluarkan biaya sebesar Rp. 200 juta. Maka
sebesar Rp. 200 juta dikapitalisasikan ke harga perolehan tanah sehingga harga tanah tercatat
sebesar Rp. 1.200 juta.
4. Biaya Pra Operasi
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi. (Berdasarkan pasal 11 ayat
(6)).
Contoh :
Biaya studi kelayakan, biaya produksi percobaan, biaya untuk mendapatkan izin usaha dari instansi
berwenang dan biaya pendirian perusahaan dicatat sebagai Biaya Pra Operasi dan dikapitalisasikan.
Pembebanan biaya tersebut dilakukan dengan cara amortisasi
Biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon,
dan biaya kantor Iainnya tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun
pengeluaran.
28
Selisih Iebih harga pasar dan NSBF adalah keuntungan yang dikenakan pajak. Keuntungan Tuan A
sebesar selisih Harga Pasar mobil yang diterima (Rp.6.000.000,00)dengan NSBF mesin yang
diserahkan (Rp.1.000.000)= 5.000.000 dan keuntungan Tuan B adalah sebesar selisih Harga Pasar
mesin yang diterima (Rp. 5.000.000,-) dengan NSBF mobil yang diserahkan (Rp. 3.000.000) =
2.000.000,-
3. Penarikan Harta
Apabila suatu harta dijual maka penerimaan dibukukan sebagai penghasilan pada tahun
terjadinya penjualan dan Nilai Sisa Buku Fiskal (NSBF) dari harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. Keuntungan atau kerugian karena pengalihan
harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila suatu harta terbakar, maka penggantian asuransinya ( kalau ada) dibukukan sebagai
penghasilan pada tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta
tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh
Sebuah mesin semi konduktor milik PT Electron terbakar karena terjadi konslet pada tanggal 10
Januari 2009. Mesin tersebut dibeli tahun 2006 seharga Rp. 1 miliar. Nilai Sisa Buku Fiskal ( NSBF )
pada saat terjadi kebakaran sebesar Rp. 625 juta. Penggantian asuransi yang didapat sebesar Rp. 500
juta.
NSBF sebesar Rp. 625 juta dibebankan sebagai kerugian tahun 2006 sedangkan penggantian asuransi
sebesar Rp. 500 juta dicatat sebagai penghasilan.
Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti
di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian
dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
5. Pengalihan harta dalam rangka likuidasi, merger, konsolidasi, pemekaran atau pengambilalihan
PMK 43/PMK.03/2008.
(1) Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku.
(2) Merger meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha.
(3) Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang
modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang
lebih kecil.
(4) Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang
modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru.
(5) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku
adalah:
29
Pajak Penghasilan Badan
a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana
(Initial Public Offering); atau
b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran
melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering).
(6) Pemekaran usaha adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas
saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha
baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut
yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.
30
BAB VI
PENYUSUTAN DAN AMORTISASI
PENGANTAR
Setelah kita belajar tentang nilai perolehan harta perusahaan, sekarang kita belajar tentang
penyusutan atas harta tersebut. Biaya penyusutan suatu harta sangat dipengaruhi oleh nilai harta
tersebut pada saat perolehannya. Hal lain yang berpengaruh adalah umur ekonomis, metode
penyusutan serta nilai sisa harta tersebut setelah berakhirnya umur ekonomis.
Dalam akuntansi komersial pengusaha bebas menentukan metode penyusutan, umur ekonomis
serta nilai sisa suatu harta. Tetapi hal tersebut akan menimbulkan biaya penyusutan serta beban pajak
yang tidak seragam diantara wajib pajak. Selain itu dalam audit pajak juga akan timbul perdebatan
antara wajib pajak dan pemeriksa tentang masalah diatas. Agar tidak terjadi perdebatan antara
pemeriksa pajak dengan Wajib Pajak maka pemerintah menganggap perlu adanya keseragaman
metode penyusutan atas suatu harta. Bab ini akan membahas masalah metode penyusutan atas suatu
harta menurut ketentuan pajak.
PENYUSUTAN
Hal-hal yang menentukan besarnya biaya penyusutan adalah nilai perolehan, umur ekonomis,
metode penyusutan serta nilai sisa harta. Biaya penyusutan per tahun dihitung dengan rumus:
Pembahasan tentang nilai perolehan telah dijelaskan pada Bab V. Disini akan difokuskan pada
umur ekonomis, metode penyusutan, nilai sisa serta tarif penyusutan.
A. Umur Ekonomis
Menurut ketentuan pajak, umur ekonomisImasa manfaat suatu aktiva ditentukan berdasarkan
kelompok-kelompok aktiva sebagai berikut :
31
Pajak Penghasilan Badan
B. Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang dibolehkan secara fiskal adalah:
a. Metode garis lurus yaitu penyusutan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa
manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut.
Contoh :
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20
(dua puluh) tahun, maka penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (Rp
100.000.000,00 : 20).
b. Metode saldo menurun yaitu penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun dengan
cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku. Jika Wajib Pajak memilih
menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus
disusutkan sekaligus.
Contoh :
Sepeda motor 15 buah yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2004 dengan harga
perolehan sebesar Rp 150.000.000,00. Masa manfaat dari sepeda motor berdasarkan PMK
96/PMK.03/2009 adalah 4 (empat) tahun. Tarif penyusutan untuk golongan I dengan metode
saldo menurun ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah
sebagai berikut :
C. Nilai Sisa
Menurut ketentuan pajak, nilai sisa suatu aktiva setelah berakhirnya umur ekonomis adalah
nihil. Jadi, pajak tidak mengenal nilai sisa/nilai residu sehingga semua nilai perolehan harta
harus habis disusutkan.
D. Tarif Penyusutan
Tarif penyusutan ditentukan berdasarkan metode serta umur ekonomis harta. Bila suatu harta
ditentukan masuk kelompok I maka umur ekonomisnya dianggap 4 tahun. Bila metode
penyusutan yang dipilih atas harta tersebut adalah metode garis lurus maka tarif
penyusutannya adalah 100% umur ekonomis atau sama dengan 100% : 4 = 25%. Bila metode
penyusutan yang dipilih adalah metode saldo menurun maka tarif penyusutannya adalah 2 kali
32
tarif metode garis lurus. Jadi, bila suatu harta masuk kelompok I (umur 4 tahun) dan metode
yang dipilih adalah saldo menurun maka tarif penyusutannya adalah 2 x 100% : 4 = 50% atau 2
x 25% = 50%.
Dibawah ini tercantum daftar selengkapnya dari tarif penyusutan. Perhatikan bahwa tarif
penyusutan ditentukan berdasarkan kelompok harta dan tarif untuk metode saldo menurun
adalah 2 kali tarif garis lurus.
Bangunan tidak permanen didefinisikan sebagai bangunan yang bersifat sementara dan
terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang
masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat
dari kayu untuk karyawan.
Harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus.
Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo
menurun. Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau
sejenis dapat disusutkan dalam satu kelompok.
E. Saat Dimulainya Penyusutan
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran. Dengan persetujuan Direktur
Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta
tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada
bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
Contoh 1 :
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp 100.000.000,00.
Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2008 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret
2009. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret
tahun pajak 2009.
Contoh 2 :
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2008 dengan harga perolehan sebesar
Rp100.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Metode
penyusutannya adalah saldo menurun sehinggga tarif penyusutannya 50% (lima puluh persen).
Penghitungan penyusutannya adalah sebagal berikut:
33
Pajak Penghasilan Badan
Contoh 3.
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2008. Perkebunan tersebut
mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2009. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak,
penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2009.
34
c. bidang usaha peternakan meliputi ternak, termasuk ternak sapi pejantan
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dimulai pada bulan produksi
komersial, dimana bulan penjualan mulai dilakukan
AMORTISASI
Sebagaimana halnya dengan aktiva tetap berwujud, aktiva tidak berwujud juga disusutkan
(diamortisasikan) dengan memperhatikan 5 hal yaitu nilai perolehan, masa manfaat, nilai sisa, metode
penyusutan (amortisasi) serta tarif amortisasi. Ketentuan pajak atas amortisasi aktiva tidak berwujud
hampir sama dengan ketentuan penyusutan aktiva tetap. Perbedaan hanya terletak pada tidak
dikenalnya pengelompokan aktiva berupa bangunan permanen dan tidak permanen. Ketentuan
amortisasi tentang pengelompokan jenis aktiva, penentuan masa manfaat, metode amortisasi, tarif
serta nilai sisa sama dengan ketentuan penyusutan.
Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
Perhatikan daftar amortisasi diatas. Daftar tersebut sama persis dengan daftar penyusutan baik
dalam penentuan kelompok aktiva tidak berwujud, masa manfaat, metode amortisasi maupun tarif
amortisasi. Karena aktiva tidak berwujud tidak mengenal kelompok bangunan maka ketentuan
penyusutan bangunan tidak dicantumkan.
Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa
manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak
berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa
manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima)
tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat
4 (empat) tahun.
A. Amortisasi Hak Penambangan Migas
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak bidang penambangan migas
dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
Metode satuan produksi adalah perbandingan antara realisasi penambangan migas pada
tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan migas di lokasi tersebut
yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya Iebih kecil dari yang diperkirakan,
sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka
atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
Contoh :
Pengeluaran untuk memperoleh Hak Penambangan Migas dengan potensi 10 juta barel,
adalah sebesar Rp 50 miliar. Pengeluaran tersebut diamortisasi sesuai dengan persentase satuan
produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata
35
Pajak Penghasilan Badan
jumlah produksi mencapai 3 juta barel yang berarti 30% dari potensi yang tersedia, maka besarnya
amortisasi yang diperkenankan pada tahun tersebut adalah 30% dari pengeluaran atau Rp 15 miliar.
B. Amortisasi Perolehan Hak Selain Penambangan Migas
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak
pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi
berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah setinggi-tingginya 20 % (dua puluh
persen) setahun.
Contoh
Pengeluaran untuk memperoleh HPH dengan potensi 10 juta ton kayu, adalah sebesar Rp 50
miliar. Pengeluaran tersebut diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang
direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata jumlah
produksi mencapal 3 juta ton yang berarti 30% dari potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah
produksi pada tahun tersebut mencapai 30 % dan jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi
yang diperkenankan pada tahun tersebut adalah 20 % dari pengeluaran atau Rp 10 miliar.
C. Pengalihan Harta Tak Berwujud
Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak
tersebut dibebankan sebagal kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian
merupakan penghasilan pada tahun tenjadinya pengalihan tersebut.
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya perolehan hak penambangan migas sebesar Rp 500 miliar. Taksiran
jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah 200 juta barel. Setelah produksi minyak
mencapai 100 juta barel ( 50 %), PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan
harga Rp 300 miliar. Penghitungan laba rugi dan penjualan hak tersebut sebagai berikut:
Harga perolehan Rp 500M
Amortisasi yang telah dilakukan 100.000.000 X 50 % RP 250M
200.000.000
Nilai buku harta Rp 250M
Harga jual harta Rp 300M
Laba pengalihan harta Rp 50M
Apabila pengalihan harta diatas memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b
(sumbangan atau hibah yang bukan obyek pajak), maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak
boleh dibebankan sebagai kerugian pihak yang mengalihkan.
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk
bidang usaha tertentu dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produk
komersial, bulan dimana penjualan mulai dilakukan
Bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam PMK-248/PMK.03/2008 meliputi :
a. bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, dan hasil
yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih
dari 1 (satu) tahun;
b. bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya
dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun;
c. bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi
berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sakurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
36
BAB VII
BENTUK USAHA TETAP
(BUT)
PENGANTAR
Bayangkan Anda adalah pengusaha yang ingin berekspansi ke luar negeri. Anda memiliki 2
pilihan untuk membuka usaha di luar negeri yaitu, dengan cara mendirikan perusahaan baru di sana
atau cukup berbentuk cabang saja. Apabila anda mendirikan perusahaan baru, maka anda harus
datang ke notaris dan Departemen Kehakiman di luar negeri dan selanjutnya perusahaan Anda akan
berstatus WP Dalam Negeri di negara tersebut. Tetapi bila anda lebih suka usaha Anda disana
berbentuk cabang, maka cabang perusahaan anda di luar negeri berstatus sebagai Bentuk Usaha Tetap
(Permanent Establishment) di negara tersebut. Perlakuan yang sama juga diterapkan kepada
pengusaha dari luar negeri yang ingin membuka usaha di Indonesia.
Bagaimana halnya jika usaha anda di luar negeri hanya bersifat sementara? Misalnya anda
mendapat proyek pembangunan gedung dengan jangka waktu hanya 6 bulan, anda tentu tidak ingin
repot dengan membuka cabang. Yang ingin anda lakukan hanyalah menyelesaikan proyek tersebut
IaIu pulang ke Indonesia. Bagaimanakah pengenaan pajak atas proyek tersebut? Apakah pajaknya
harus dipotong di luar negeri oleh pemilik proyek atau cukup dibayar di dalam negeri? Untuk
mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas, anda sebaiknya membaca pembahasan
tentang Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment) di bawah ini.
DEFINISI BUT
BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
(Pasal 2 ayat (5) UU PPh). Walaupun BUT adalah Wajib Pajak Luar Negeri tetapi pengenaan pajaknya
disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan modifikasi dalam metode penentuan
laba serta penambahan tarif PPh pasal 26 ayat (4).
Suatu badan asing dapat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dengan
Bentuk Usaha Tetap yang dapat berupa (Pasal 2 ayat (5)):
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan (Representative Office);
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk
eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
Contoh:
Misalnya F, Ltd Hongkong mempunyal kantor perwakilan (Representative Office) di Indonesia
berarti F, Ltd merupakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tetapi
37
Pajak Penghasilan Badan
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia. F, Ltd dikenakan PPh di
Indonesia melalui BUT tersebut.
BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak Iebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Orang asing dapat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indoÿÿsia dengan Bentuk
Usaha Tetap yang dapat berupa (Pasal 2 ayat (5)):
a. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan
Iebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
b. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
c. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Contoh :
Misalnya Mr. A berdomisili di Singapura tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa kantor
cabang maka Mr. A dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usaha di Indonesia
tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia.
Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat
kedudukan di Indonesia. Tapi jika orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker, atau perantara yang mempunyai
kedudukan bebas (bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri) maka
tidak dapat dianggap mempunyai BUT di Indonesia.
Khusus untuk perusahaan asuransi asing, BUT atas asuransi asing sudah dianggap ada apabila
perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung
risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di
Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
Contoh :
Perusahaan asuransi Z, Ltd tidak memiliki cabang di Indonesia tapi menerima pembayaran premi
asuransi kapal tanker inilik perusahaan Indonesia. Premi tersebut diperoleh dari sebuah agen asuransi
di Indonesia. Walaupun perusahaan asuransi serta obyek asuransi (kapal tanker) berada di luar
Indonesia tetapi karena pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di
Indonesia maka Z, Ltd dianggap memiliki BUT di Indonesia.
38
test untuk menentukan apakah suatu usaha jasa WP LN selain jasa konstruksi bisa dianggap BUT atau
belum. Bagi jasa konstruksi asing UU PPh Indonesia tidak memberikan time test.
Apakah time test seperti diatas berlaku untuk semua WP LN dan semua negara? Sepanjang
suatu negara belum mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) dengan
Indonesia, time test diatas berlaku. Sedangkan bagi negara yang sudah memiliki Tax Treaty dengan
Indonesia time test-nya diatur dalam Tax Treaty masing-masing.
Contoh:
Tax Treaty antara Indonesia dengan Thailand menyatakan bahwa Time Test untuk penentuan BUT jasa
konstruksi maupun jasa lainnya adalah 183 hari. Jadi jika WP LN dari Thailand memberikan jasa di
Indonesia kurang dari 183 hari, maka tidak dikenakan pajak di Indonesia. Demikian pula sebaliknya.
BIAYA-BIAYA BUT
Pada prinsipnya biaya yang dapat dikurangkan adalah biaya yang dapat pula dikurangkan pada
badan yang menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri sebagaimana Pasal 6 ayat (1) UU PPh.
Selain itu sebagai konsekuensi dari ketentuan ditambahkannya penghasilan Kantor Pusat BUT
dari usaha sejenis di Indonesia ke dalam penghasilan BUT, maka dalam menentukan besarnya laba
suatu BUT biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT dapat
menjadi pengurang laba BUT. Tetapi biaya administrasi Kantor Pusat yang dapat dibebankan ke BUT
tidak boleh melebihi perbandingan antara peredaran usaha BUT di Indonesia dengan peredaran usaha
di seluruh dunia (KEP-62/PJ./1995 tanggal 24 Juli 1995).
Perlakuan perpajakan BUT dipersamakan dengan mekanisme perpajakan Wajib Pajak Dalam
Negeri sehingga biaya yang tidak dapat dikurangkan juga mengacu pada pasal 9 UU PPh beserta
ketentuan lainnya. Selain itu terdapat pembayaran kepada Kantor Pusat yang tidak dapat
dikurangkan dalam menghitung laba BUT yaitu:
1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
3) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;
39
Pajak Penghasilan Badan
Pada dasarnya BUT merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran
oleh BUT kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan
perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaran BUT
kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan BUT. Namun apabila kantor pusat dan BUT-nya bergerak dalam bidang usaha
perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya.
Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran yang sejenis yang
diterima oleh BUT dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang
diterima oleh BUT dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha perbankan.
40
tidak pernah memperoleh dividen dari penanaman modalnya di LN dan fiskus akan kesulitan
mengecek hal tersebut mengingat perusahaan di LN belum go publik.
Ketentuan besarnya penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan
usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, sebagal berikut:
- paling rendah 50 % (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
- secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan
paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40 % dan 20% pada X Ltd. yang
berkedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun
2012 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp 100.000.000,00. Dalam hal demikian,
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
C. Kewenangan Menentukan Besarnya Penghasilan
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib
Pajak lainnyasesual dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa (Pasal 18 ayat 3).
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran
pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan
istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dan semestinya ataupun
pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan
keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.
Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai
beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi iaba berdasar fungsi atau peran serta
dan Wajib Pajak yang mempunyal hubungan istimewa dan indikasi serta data Iainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan
menyatakan penyertaan modal tersebut sebagal utang, maka Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut
dapat dilakukan misalnya melalul indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang
yang lazim tenjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau
berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap
sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi
pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang
dikenakan pajak.
41
Pajak Penghasilan Badan
BAB VIII
BUNGA PINJAMAN
PENGANTAR
Pernahkah Anda menjumpai neraca suatu perusahaan yang menunjukkan bahwa pada saat
yang sama perusahaan tersebut memiliki Deposito di sisi aktiva serta Hutang Bank di sisi pasiva?
Pernah, atau bahkan mungkin seringkali kita menjumpai komposisi neraca seperti itu. Menurut
pendapat anda wajarkah kondisi tersebut? Mungkin anda berpendapat wajar-wajar saja suatu
perusahaan pada saat yang sama memiliki Deposito serta Hutang Bank sekaligus. Tetapi tidak
demikian halnya dengan pihak Pajak!
Pajak mempermasalahkan komposisi Deposito serta Hutang Bank sekaligus karena
mengasumsikan bahwa Deposito tersebut pasti berasal dari Hutang Bank. Dari penanaman dana
Deposito, Wajib Pajak memperoleh pendapatan bunga yang dikenakan PPh Final sedangkan atas
Hutang Bank, wajib pajak mengeluarkan biaya bunga bank yang akan menjadi pengurang
penghasilan (Deductible Expense). Dengan asumsi Deposito berasal dari Hutang Bank maka tidak
semua biaya bunga bank boleh menjadi biaya karena ada sebagian biaya bunga bank yang
digunakan untuk menghasilkan pendapatan bunga deposito yang telah dikenakan PPh Final.
OIeh karena itu harus dilakukan Rekonsiliasi Fiskal atas biaya bunga bank.
Seberapa besarkah biaya bunga bank yang harus direkonsiliasi? Seluruhnya atau sebagian?
Lalu bagaimana jika jumlah hutang bank maupun jumlah deposito berfluktuasi sepanjang tahun?
Agar lebih jelas, bab ini akan mengupas perlakuan PPh atas Bunga Pinjaman Bank.
PERLAKUAN FISKAL
Bunga pinjaman adalah bunga yang menjadi beban sehubungan dengan pinjaman uang
sepanjang pinjaman tersebut digunakan untuk usaha. Tetapi tidak semua biaya bunga boleh
dibebankan sebagai biaya. Biaya bunga yang tidak dapat menjadi biaya (Non Deductible Expense)
adalah :
a. bunga pinjaman sehubungan dengan penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final
dan/atau penghasilan yang tidak termasuk objek pajak
b. bunga pinjaman yang harus dikapitalisasi atau merupakan unsur harga pokok, seperti :
- bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham yang sudah beredar
- bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli tanah bagi perusahaan real estate
- bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk pembangunan selama masa konstruksi
Atas penghasilan berupa bunga deposito, tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dipotong PPh final (PP No. 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010).
42
Hal ini berimplikasi bahwa atas penghasilan tersebut tidak digabungkan dalam penghitungan
PPh terutang akhir tahun.
Selanjutnya diatur bahwa atas biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final maka atas biaya tersebut tidak
dapat dikurangkan dari penghasilan Wajib Pajak untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. (PP
No. 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010). Dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan
dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan Iainnya, langsung atau tidak Iangsung berasal
dari pinjaman atau dana yang berasal dan pihak ketiga yang dibebani biaya bunga.
Apabila hal tersebut terjadi, Wajib Pajak dapat memperkecil Penghasilan Kena Pajak secara
tidak wajar karena bunga yang terutang atau dibayar atas pinjaman tersebut dikurangkan sebagai
biaya. Sedangkan bunga yang diterima atau diperoleh yang berasal dari penempatan dana dalam
bentuk deposito berjangka atau tabungan Iainnya tidak ditambahkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak karena telah dikenakan PPh yang bersifat final yaitu 20%.
Sehubungan dengan hal tersebut diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.
SE-46/PJ.4/1995 tanggal 5 Oktober 1995 yang memberikan penegasan sebagai berikut:
1. Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya sama dengan atau Iebih kecil dari jumlah
rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka
biaya bunga yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat
dibebankan sebagai biaya.
2. Apabila jumlah rata-rata pinjaman Iebih besar dari jumlah rata-rata dana yang ditempatkan
dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka biaya bunga atas pinjaman yang boleh
dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman
yang melebihi rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan
Iainnya. (selisih rata-rata pinjaman dengan rata-rata deposito)
Walaupun begitu tidak semua biaya bunga yang telah dibebankan oleh perusahaan pasti
dikoreksi secara fiskal. Ada beberapa pengecualian sehingga biaya bunga pinjaman dapat
dibebankan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak :
a. dana pinjaman tersebut disimpan atau ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas
jasanya dikenakan PPh yang bersifat final.
b. ada keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan danan dalam jumlah tertentu pada
suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut semata-mata untuk memenuhi
keharusan tersebu. Misalnya cadangan biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam
bentuk deposito atau tabungan di Bank Pemerintah.
c. dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya berasal dari
tambahan modal dan sisalaba tersebut kena pajak.
Seringkali perusahaan juga memperoleh pinjaman dalam bentuk valuta asing. Dengan
berjalannya waktu pastilah akan timbul rugi/laba selisih kurs atau jumlah pinjaman yang dimiliki
oleh Wajib Pajak. Apakah kerugian yang ditimbulkan akibat pembebanan bunga pinjaman dalam
bantuk valas dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dijelaskan dalam SE-
43
Pajak Penghasilan Badan
46/PJ.4/1995 tersebut hanya mengatur mengenai pembebanan biaya bunga pinjaman. Sehingga
dalam hal Wajib pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bungan deposito atau
tabungan lainnya, kerugian akibat selisih kurs bukanlah unsur yang perlu dikoreksi.
Kasus
Pada tahun 2012 PT X mendapatkan pinjaman dari Bank Mandiri dengan batas maksimum
sebesar Rp 200.000.000,00 dan tingkat bunga pinjaman adalah 20%. Dari jumlah tersebut telah
diambil pada bulan Februari sebesar Rp 125.000.000,00 , pada bulan Juni diambil lagi sebesar Rp
25.000.000,00 dan sisanya (Rp 50.000.000,00) diambil pada bulan Agustus 2012.
Disamping itu PT X mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito dengan
perincian sebagai berikut :
- bulan Februari s.d. Maret sebesar Rp 25.000.000,00
- bulan April s.d. Agustus sebesar Rp 46.000.000,00
- bulan September s.d. Desember sebesar Rp 50.000.000,00
Dengan demikian berapa bunga pinjaman yang dapat dibebankan sebagai biaya? Pertama,
cari rata-rata pinjaman dan rata-rata deposito yang dimiliki PT X.
Rata-Rata Pinjaman
Pinjaman Jangka Waktu Jumlah
Bulan Januari 0 1 bulan 0,00
Bulan Februari s.d Mei 125.000.000,00 4 bulan 500.000.000,00
Bulan Juni s.d Juli 150.000.000,00 2 bulan 300.000.000,00
Bulan Agustus s.d Desember 200.000.000,00 5 bulan 1.000.000.000,00
JUMLAH 1.800.000.000,00
Sehingga rata-rata pinjaman per bulan Rp 1.800.000.000 :12 = Rp 150.000.000,00
Rata-Rata deposito
Deposito Jangka Waktu Jumlah
Bulan Januari 0 1 bulan 0,00
Bulan Februari s.d Maret 25.000.000,00 2 bulan 50.000.000,00
Bulan April s.d Agustus 46.000.000,00 5 bulan 230.000.000,00
Bulan September s.d Desember 50.000.000,00 4 bulan 200.000.000,00
JUMLAH 480.000.000,00
Sehingga rata-rata deposito per bulan Rp 480.000.000 :12 = Rp 40.000.000,00
Bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya = 20% x (150.000.000 - 40.000.000 )
= Rp. 22.000.000,00
44
BAB IX
SEWA GUNA USAHA
(LEASING)
PENGANTAR
Dewasa ini banyak perusahaan yang membiayai pengadaan barang modalnya dengan bantuan
perusahaan leasing. Perusahaan tersebut meminta perusahaan leasing membelikan barang modal dan
kemudian membayarnya secara mengangsur kepada perusahaan leasing. Pada akhir masa leasing,
barang modal bukan lagi milik perusahaan leasing (lessor) tetapi akan menjadi milik pengguna leasing
(lessee). Leasing seperti ini lazim disebut sebagai Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease).
Hak opsi disini maksudnya adalah opsi/pilihan bagi pengguna leasing (lessee) untuk memiliki barang
setelah selesainya periode leasing ataupun memperpanjang jangka waktu perjanjian Sewa Guna
Usaha. Bagi perusahaan yang tidak berniat untuk meiniliki barang modal biasanya merasa cukup
dengan menyewa untuk jangka waktu tertentu. Transaksi sewa menyewa seperti ini sering disebut
Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease).
Periode leasing dapat meliputi jangka waktu beberapa tahun. Masa pertama kali kontrak leasing
ditandatangani disebut periode leasing pertama. Baik Finance Lease maupun Operating Lease dapat
diperbaharui kontraknya pada akhir masa leasing sehingga timbul leasing periode kedua, leasing
periode ketiga dan seterusnya.
Pada dasarnya kegiatan SGU dengan hak opsi (Finance Lease) adalah kegiatan jasa pembiayaan
berupa penyediakan kredit bagi penggguna leasing (lessee). Penghasilan bagi perusahaan leasing
(lessor) adalah bunga yang diterima bersama dengan angsuran pelunasan hutang leasing oleh
pengguna leasing (lessee). Sedangkan kegiatan SGU tanpa hak opsi (Operating lease) pada dasarnya
adalah jasa penyewaan barang. Penghasilan bagi perusahaan penyewa adalah pendapatan sewa.
Perbedaan jenis kegiatan ini menimbulkan perbedaan perlakuan perpajakan yang sangat mendasar.
Bab ini akan membahas perlakuan perpajakan atas transaksi leasing, baik Finance Lease maupun
Operating Lease.
45
Pajak Penghasilan Badan
maka kepemilikan barang masih berada di tangan pihak yang menyewakan ( lessor ) sehingga yang
berhak menyusutkan barang adalah Lessor.
Perlakuan perpajakan bagi yang menyewakan (Lessor):
a. Seluruh pembayaran sewa yang diterima/diperoleh oleh lessor, merupakan objek PPh pasal 23
b. Lessor berhak menyusutkan barang modal yang di-SGU-kan karena kepemilikan barang ada
ditangan lessor.
c. Lessor memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jasa sewa yang diberikan.
Sedangkan perlakuan perpajakan bagi penyewa (Lessee):
a. Jumlah biaya sewa yang dibayar/terutang pada tahun tersebut boleh menjadi pengurang
penghasilan (Deductible Expense).
b. Lessee tidak boleh menyusutkan barang modal karena barang masih milik lessor
c. Lessee memotong PPh Pasal. 23 setiap kali membayar sewa kepada lessor dengan tarif 6% jika
barang modal yang disewakan selain tanah dan bangunan, 3 % jika yang disewakan adalah
kendaraan serta 10% jika barang modalnya berupa tanah dan bangunan
Contoh Kasus:
Lessor PT. XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II dengan harga pokok Rp.200.000.000,- kepada PT. ABC
(lessee). Jangka waktu leasing 24 bulan dan nilai sisa barang setelah periode leasing adalah nihil. Dalam
kontrak SGU tidak tercantum klausula pilihan bagi lesse untuk membeli mesin tersebut dengan harga
murah pada akhir periode SGU.. Pembayaran per bulan Rp. 8.000.000,-.
Perlakuan Pajaknya sebagai berikut:
Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT XYZ sebesar Rp. 8.000.000 X 24 bulan = Rp.
192.000.000,-. Jumlah tersebut lebih kecil dan harga pokok mesin sebesar Rp. 200.000.000,-. Selain itu
tidak ada klausula pilihan bagi penyewa untuk memiliki mesin tersebut pada akhir periode leasing. Oleh
karena itu SGU ini tergolong SGU tanpa hak opsi (Operating Lease) atau sewa menyewa biasa.
46
c. Perjanjian Sewa Guna Usaha memuat ketentuan mengenal opsi bagi lessee (KMK No.
1169/KMK.01/1991 Tanggal 7 November 1991 serta SE-10/PJ.42/1994 tanggal 22 Maret 1994.)
Ketiga syarat diatas harus dipenuhi seluruhnya agar suatu SGU dapat digolongkan sebagai SGU
dengan hak opsi (Capital Lease). Ketiga syarat diatas menunjukkan bahwa ketentuan Pajak
menggolongkan suatu SGU sebagai Finance Lease jika lessor sebenarnya berniat menjual barang. Hal
itu ditunjukkan dengan jumlah seluruh angsuran yang diterima pada periode leasing pertama lebih
besar dari harga pokok barang plus laba dan harus adanya opsi pada akhir periode leasing.
Selain itu terdapat batas minimal jangka waktu leasing yang lamanya tergantung golongan
barang. Persyaratan jangka waktu minimal ini semakin menguatkan karakter Finance Lease bahwa
Finance Lease lebih bertujuan kepada pengalihan kepemilikan barang.
Pada dasarnya kegiatan SGU dengan hak opsi ( Finance Lease ) adalah kegiatan jasa pembiayaan
(berupa penyediakan kredit bagi penggguna leasing (lesse) oleh lessor) maka penghasilan bagi
perusahaan leasing (lessor) adalah bunga yang diterima pada saat angsuran pelunasan hutang leasing.
Karena pada dasarnya Finance Lease adalah transaksi pembiayaan maka pajak menganggap bahwa
sebelum selesainya periode leasing, barang bukan milik lesse maupun lessor sehingga baik lesse
maupun lessor sama-sama tidak boleh menyusutkan barang.
Perlakuan Perpajakan bagi Lessor
1. Penghasilan. lessor yang menjadi objek PPh adakah seluruh pembayaran SGU — angsuran
pokok. (bunga + administration fee). Dalam hal SGU Sindikasi yaitu SGU yang dibiayai oleh
bebarapa perusahaan leasing, imbalan jasa bagi masing-masing anggota dihitung secara
proporsional sesuai perjanjian antar anggota yang bersangkutan. Penghasilan tersebut tidak
dipotong PPh 23 oleh lessee. Pengenaan pajaknya dilakukan dengan penghitungan akhir tahun
dalam SPT Tahunan
2. Lessor tidak boleh menyusutkan barang modal yang di SGU- kan.
Sejak berlakunya KMK No. 1169/KMK.01/1991 Pajak menganut aliran bahwa tidak ada yang
memiliki barang leasing sampai berakhirnya periode leasing dan diketahui dengan pasti siapa
pemilik barang terssebut. Bila Lessee menggunakan hak opsinya, maka barang tersebut menjadi
milik lessee sedangkan bila tidak maka barang tersebut menjadi milik lessor. Akibatnya selama
periode leasing barang modal tersebut tidak boleh disusutkan baik oleh lessor maupun oleh
lesse.
3. Lessor dapat membentuk Cadangan Piutang Ragu-Ragu sebesar 2,5% dari rata-rata saldo awal
dan akhir piutang SGU.
Karena Financial Lease adalah transaksi pembiayaan maka pajak memperbolehkan lessor untuk
membuat cadangan piutang ragu-ragu dan besarnya 2,5% dari rata-rata saldo awal dan akhir
piutang SGU. Pencadangan tersebut dilakukan dengan mendebet biaya penyisihan piutang
serta mengkredit akun Akumulasi Cadangan Penghapusan Piutang. Biaya Penyisihan Piutang
tersebut dapat mengurangi penghasilan (Deductible Expenses)
4. Kerugian piutang SGU yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada akun Akumulasi
Cadangan Penghapusan Piutang tahun yang bersangkutan. Apabila besarnya kerugian piutang
yang nyata-nyata tidak tertagih lebih besar dari penyisihan yang dibuat maka selisihnya dapat
menjadi biaya (Deductible Expense). Sebaliknya jika besarnya kerugian piutang yang nyata--
nyata tidak tertagih lebih kecil dari penyisihan yang dibuat maka selisihnya harus diakui
sebagai penghasilan.
5. Besarnya Angsuran PPh Ps. 25 bagi lessor dihitung berdasarkan laporan triwulan yang
disetahunkan. Perusahaan Leasing, sebagaimana usaha pembiayaan lainnya (Bank, Asuransi,
47
Pajak Penghasilan Badan
dll) diwajibkan membuat laporan keuangan triwulanan yang harus disampaikan ke lembaga
pemerintah terkait (BI dan Depkeu). Besarnya PPh 25 harus dihitung ulang setiap 3 bulan
berdasarkan laba rugi triwulan bersangkutan yang disetahunkan.
6. Jasa pembiayaan SGU dengan hak opsi tidak terutang PPN. Tetapi penyerahan barang dari
lessor ke lesse terutang PPN.
Perlakuan Perpajakan bagi Lessee
1. Lesse tidak boleh menyusutkan barang modal yang diterima
Dengan alasan yang sama seperti alasan mengapa lessor tidak boleh menyusutkan barang
leasing, lessee-pun tidak boleh menyusutkan barang leasing.
2. Seluruh pembayaran leasing (angsuran plus bunga dan biaya administrasi) boleh menjadi
pengurang (Deductible Expense).
3. Lesse tidak boleh memotong PPh 23 atas pembayaran angsuran leasing kepada lessor.
Contoh Kasus:
Lessor PT. XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II (masa manfaat 8 tahun) dengan harga
pokok Rp.200.000.000,- kepada PT. ABC (lessee). Jangka waktu leasing 36 bulan dan nilai sisa barang
setelah periode leasing adalah nihil. Dalam kontrak SGU tercantum klausula pilihan bagi lesse untuk
membeli mesin tersebut dengan harga murah pada akhir periode SGU. Pembayaran per bulan Rp.
8.000.000,-. terdiri dari pelunasan pokok hutang leasing sebesar Rp. 5.555.555,- dan bunga Rp.
2.444.445,-
Pembahasan
Perlakuan Pajaknya sebagai berikut:
Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT XYZ sebesar Rp. 8.000.000,- X 36 bulan =
Rp.288.000.000,-. Jumlah tersebut dapat menutupi harga pokok mesin sebesar Rp. 200.000.000,-. dan
nilai sisa barang setelah periode leasing. Selain itu terdapat klausula pilihan bagi penyewa untuk
memiliki mesin tersebut. Jangka waktu leasing adalah 3 tahun (36 bulan) sedangkan barang termasuk
golongan II. Hal ini memenuhi syarat Finance Lease karena untuk barang golongan II jangka waktu
leasing minimal 3 tahun. Oleh karena ke-3 syarat terpenuhi maka SGU ini tergolong SGU dengan hak
opsi (Finance Lease).
Lessor PT. XYZ Lessee PT. ABC
Mencatat Piutang Leasing sebesar = Rp. 288.000.000,-
Menerima pendapatan bunga/bulan = Rp. 2.444.445,-
Menerima pelunasan pokok/bulan = Rp. 5.555.555,-
Jumlah yang diterima = Rp. 8.000.000,- *Membayar biaya leasing Rp.8 jt
Tidak menyusutkan mesin *Tidak menyusutkan mesin
Mendebet Biaya Penyisihan Piutang Leasing 2,5% dari *Tidak memungut PPh 23
saldo piutang leasing. (Deductible Expense)
48
BAB X
SELISIH KURS VALUTA ASING
PENGANTAR
Anda mungkin pernah mendengar tentang Kurs Menteri Keuangan yang biasanya diumumkan
seminggu sekali. Mengapa Menteri Keuangan harus menentukan kurs tersendiri, yang nilainya sering
berbeda dengan kurs Bank Indonesia ? Apa gunanya Kurs Menteri Keuangan ? Apakah untuk
menghitung laba / rugi selisih kurs menurut pajak harus menggunakan kurs Menteri Keuangan? Bab
ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dari wajib pajak tentang selisih
kurs dan kurs Menteri Keuangan.
MACAM-MACAM KURS
Terdapat berbagai jenis kurs valuta asing yang sering digunakan. Kurs-kurs valuta asing
meliputi :
1. Kurs Menteri Keuangan
Kurs Menteri Keuangan adalah kurs yang ditetapkan oleh Menteni Keuangan. Mulal 1 Oktober
1997 kurs Menteri Keuangan ditetapkan tiap minggu.
2. Kurs Realisasi
Kurs realisasi yaitu kurs yang sebenarnya terjadi pada waktu perusahaan merupiahkan valas
atau pada waktu perusahaan membeli valas.
3. Kurs Bank Indonesia (kurs BI)
Kurs BI digunakan untuk mencatat hutang piutang serta transaksi dalam valuta asing. Kurs BI
terdiri dan kurs beli Bank dan kurs jual Bank. Kurs BI yang digunakan sebagai dasar
pembukuan yaitu kurs tengahnya yang merupakan rata-rata antara kurs jual dan kurs beli BI.
PENGGUNAAN KURS
A. Kurs Menteri Keuangan RI.
Pajak-pajak yang terutang dalam valuta asing harus terlebih dahulu dinilai ke dalam mata uang
rupiah. Untuk kepentingan tersebut, perlu ditetapkan keputusan tentang nilai kurs sebagai
dasar pelunasan. OIeh karena itu, Kurs Menteri Keuangan digunakan untuk :
a. Perhitungan pelunasan Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN-Import, PPh pasal 22
sesuai dengan tanggal PIB.
b. Perhitungan PPN dan PPn BM sesuai tanggal Faktur Pajak, apablia pembayaran, Harga
Jual atau Nilai Penggantian dilakukan dengan mata uang asing (pasal 14 PP No.1/2012)
c. Perhitungan PPh pasal 21 atau PPh pasal 26 apabila penghasilan diterima dalam mata
uang asing.
d. Perhitungan Pajak Ekspor.
e. Perhitungan Pajak-Pajak Final yang dibayarkan dalam valuta asing.
Contoh :
Pada tanggal 30 Juni 2013 PT. X (PKP) menjual barang secara kredit kepada PT. Y (PKP) seharga $
10.000 belum termasuk PPN. Faktur Pajak Standar dibuat tanggal 31 Juli 2012 dan dilunasi tanggal
49
Pajak Penghasilan Badan
13 Agustus 2012. Kurs Menteri Keuangan, periode 25 Juni s.d. 30 Juni 2013 Rp. 10.000, periode 29
Juli s.d 4 Agustus Rp. 10.100 dan Periode 11 Agustus s.d. 16 Agustus 2013 Rp. 10.200. Kurs manakah
yang digunakan untuk menghitung PPn terutang dan berapakah jumlah PP terutang ?
Jawab :
Faktur Pajak dibuat pada tanggal 31 Juli 2013. Saat itu kurs Menteri Keuangan adalah Rp.10.100
maka PPN dihitung sebesar 10% x $ 10.000 x 10.100 = Rp.10.100.000,-
B. Kurs Tengah Bank Indonesia
Kurs Tengah BI digunakan oleh perusahaan yang pembukuannya dengan rupiah untuk
membukukan transaksi — transaksi yang nilainya dalam valuta asing. Perbedaan selisih kurs BI
yang terjadi pada saat membukukan hutang piutang valas dengan kurs BI pada saat realisasi
menimbulkan laba atau rugi selisih kurs.
Contoh 1:
Sama seperti contoh 2, pada tanggal 30 Juni 2008 PT. X (PKP) menjual barang secara kredit
kepada PT. Y (PKP) seharga $ 10.000 belum termasuk PPN. Penjualan tersebut dilunasi tanggal 13
Agustus 2008. Kurs Tengah BI 30 Juni 2008 Rp. 10.200 dan kurs realisasi tanggal 13 Agustus 2008
Rp. 10.300. Pertanyaannya, berapakah laba rugi selisih kurs, kurs manakah yang digunakan dan
bagaimana jurnalnya ?
Jawab
Penjualan PT X = $10.000 x Rp. 10.200( kurs BI 30 Juni) Rp. 102.000.000,-
Jumlah yang dibayar PT. Y Rp. 103.000.000,-
Selisih kurs = $10.000 x (Rp. 10.300 - Rp. 10.200) Rp. 1.000.000,-
Contoh 2 :
Pada tanggal 30 April 2008 PT. A mendepositokan uangnya $10.000,- dengan kurs jual BI Rp.
12.457,- atau dikeluarkan uang Rp 124.570.000,- dalam jangka waktu 6 bulan, jatuh tempo 31
Oktober 2008, pada saat pencairan kurs beli bank misalnya Rp. 13.200,- perhitungan keuntungan
selisih kurs
Rupiah yang dikeluarkan ( $10.000 x Rp. 12.457) = Rp.124.570.000,-
Rupiah diterima ( $10.000 x Rp. 13.200) = Rp.132.000.000,-
Keuntungan selisih kurs $10.000 x (Rp. 13.200 - Rp. 12.457) = Rp.7.430.000,-
50
Pada tanggal 15 November 2008 PT. KLM mendapat pinjaman USD 1.000.000,- dalam jangka waktu 2
tahun atau jatuh tempo 14 November 2010.
kurs tengah BI 15-11-2008Rp. 12.000,00
31-12-2008Rp 11.000,00
31-12-2009Rp 13.000,00
14-11-2010Rp 12.000,00
Jawab
a. Pembukuan berdasarkan Kurs Tetap.
Pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya pembayaran utang valas, tiap-tiap akhir
tahun (31 Desember) tidak mengakui adanya selisih kurs.
15-11-2008 Pembukuan utang valas Rp. 12.000.000.000,00
14-11-2010 Pembayaran Rp. 12.000.000.000,00
Tidak ada Rugi selisih kurs
b. Pembukuan berdasarkan Kurs Tengah BI.
Pada tiap-tiap akhir tahun dapat mengakui rugi selisih kurs.
15-11-2008 Pembukuan utang valas Rp.12.000.000.000,00
31-12-2008 Utang valas menjadi Rp. 11.000.000.000,00 -
Laba selisih kurs Rp. 1.000.000.000,00
31-12-2008 Utang valas Rp. 11.000.000.000,00
31-12-2009 Utang valas menjadi Rp. 13.000.000.000,00 -
Rugi selisih kurs Rp. 2.000.000.000,00
31-12-2010 Utang Valas Rp. 13.000.000.000,00
14-11-2010 Utang Valas Rp. 12.000.000.000,00
14-11-2010 Laba selisih kurs Rp. 1.000.000.000,00
Perhatikan bahwa sebenarnya pembukuan berdasarkan kurs tetap maupun kurs tengah BI pada
akhirnya menghasilan jumlah laba atau rugi selisih kurs yang sama. Laba dan rugi selisih kurs yang
terjadi akibat mengunakan kurs tengah BI pada contoh diatas bila dijumlahkan adalah nihil. Hasil
nihil tersebut sama dengan hasil bila menggunakan kurs tetap. Tetapi mengingat PSAK
mengharuskan penyesuaian kurs valas pada akhir tahun maka disarankan WP menggunakan sistem
kurs tengah BI agar pembukuan komersial dan pembukuan fiskal tidak jauh berbeda.
51
Pajak Penghasilan Badan
BAB XI
REVALUASI AKTIVA TETAP
PENGANTAR
Terdapat kesamaan antara PSAK dan Pajak dalam hal pencatatan aktiva tetap. Keduanya
menganut prinsip Historical Cost, yaitu mencatat aktiva sebesar harga perolehan. Aktiva yang dibeli
seharga 10 juta akan tetap tercatat seharga 10 juta walaupun harga pasarnya sudah 10 milyar. Paragraf
66 PSAK 16 dan Pasal 19 ayat (1) UU PPh mengijinkan aktiva tetap diganti nilainya menjadi sesuai
dengan harga pasar ( direvaluasi) jika sudah membayar PPh Final atas revaluasi sebesar 10 % dari
selisih antara harga pasar dengan nilai buku aktiva. Jadi jika ingin merubah nilai aktiva di neraca dari
10 juta menjadi 10 milyar harus membayar PPh sebesar 10 % x (10 milyar - 10 juta) = Rp. 999 juta.
Ternyata ada banyak perusahaan yang rela membayar PPh sebesar itu hanya untuk merubah angka
aktiva tetap neraca!
Kenapa perusahaan melakukan revaluasi ? Apa untung ruginya revaluasi ? Apakah hanya
sekedar berubahnya angka di neraca sesuai harga pasar ? Jika memang perusahaan ingin melakukan
revaluasi, bagaimana caranya ? Silakan anda mengikuti pembahasan dibawah ini.
ALASAN REVALUASI
Ketentuan revaluasi diatur khusus akibat terjadi devaluasi serta depresiasi rupiah yang
menyebabkan distorsi nilai aktiva serta nilai transaksi yang dicatat dalam laporan keuangan. Dalam
perkembangannya, Wajib Pajak memiliki alasan lain dalam melakukan revaluasi yaitu :
1. Meningkatkan nilai perusahaan (mark-up) sehingga memudahkan perusahaan dalam proses
pencarian dana, baik melalui pinjaman bank maupun penjualan saham (go publik)
2. Meningkatkan biaya penyusutan aktiva tetap dimasa datang sehingga deductible expense
dimasa datang semakin besar dan beban pajak semakin kecil.
3. Meningkatkan keakuratan perhitungan penghasilan maupun biaya sehingga menceriminkan
kemampuan perusahaan yang sebenarnya dalam menghasilkan laba.
4. Agar neraca perusahaan menunjukkan posisi kekayaan perusahaan yang sebenarnya.
52
Aktiva Tetap yang dapat direvaluasi adalah semua aktiva tetap berwujud (tanah, kelompok
bangunan dan non bangunan ) yang tidak dimaksudkan untuk dijual. yang dipakai untuk menagih,
mendapatkan dan memeliharan penghasilan yang merupakan obyek PPh. Aktiva lancar ( piutang,
persediaan) maupun aktiva tidak berwujud (goodwill, patent) tidak dapat direvaluasi. Demikian juga
dengan aktiva leasing Finance Lease. Lessor maupun lesse boleh melakukan revaluasi setelah periode
leasing berakhir saat lesse menggunakan hak opsi atau saat lessor mengambil kembali aktiva leasing.
Revaluasi dapat dilakukan untuk seluruh aktiva ataupun hanya untuk aktiva-aktiva tertentu yang
dianggap menguntungkan jika direvaluasi. Dengan demikian manfaat revaluasi menjadi lebih besar
serta biaya jasa penilai (Appraisal) menjadi berkurang.
53
Pajak Penghasilan Badan
54
BAB XII
RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN
PENGANTAR
Pada bab Revaluasi Aktiva Tetap telah dibahas salah satu cara untuk meningkatkan nilai
perusahaan yaitu dengan meningkatkan nilai buku aktiva tetap. Langkah revaluasi biasanya akan
dilanjutkan dengan Restrukturisasi perusahaan melalui penggabungan usaha (merger atau
konsolidasi) atau pemekaran usaha. Apabila perusahaan peserta merger atau konsolidasi terlebih
dahulu direvaluasi maka perusahaan baru hasil merger atau konsolidasi akan memiliki nilai aset yang
jauh lebih besar dibandingkan jika tidak direvaluasi terlebih dahulu.
Kombinasi 2 langkah tersebut didukung sepenuhnya oleh pajak dengan berbagai fasilitas
perpajakan. Fasilitas perpajakan tersebut hanya diberikan bagi perusahaan yang melakukan merger
atau konsolidasi yang terlebih dahulu melakukan revaluasi. Apakah fasilitas-fasilitas perpajakan
tersebut? Bagi anda yang berminat merestrukturisasi perusahaan sebaiknya mengikuti pembahasan
dibawah ini terlebih dahulu.
55
Pajak Penghasilan Badan
56
fasilitas pajak, WP yang menerima pengalihan harus mengajukan permohonan pengalihan fasilitas
ke DitJen Pajak.
57
Pajak Penghasilan Badan
BAB XIII
KREDIT PAJAK WP BADAN
58
PPh Terutang 10 % x Rp. 50 juta Rp. 5 juta
15 % X Rp. 50 juta = Rp. 7,5 juta
Jumlah = Rp. 12,5 juta
Kredit Pajak PPh 24 yang dapat dikreditkan
Rumus umum PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan
= penghasilan LN X PPh Terutang
pengh. kena pajak
= Rp. 62.500.000
Tetapi karena Penghasilan Luar Negeri Iebih besar dari penghasilan dalam negeri, maka maksimal
PPh 24 yang dapat dikreditkan adalah sebesar PPh atas Penghasilan Kena Pajak yaitu Rp. 12.500.000,-
(Bandingkan dengan PPh yang sebenarnya dipotong sebesar Rp.150.000.000)
59
Pajak Penghasilan Badan
BAB XIV
ANGSURAN PPH PASAL 25
BAGI WP TERTENTU
PENGANTAR
Sistem perpajakan kita menganut asas convenience to pay yang berarti bahwa Wajib
Pajak diharapkan membayar pada saat yang paling menguntungkan dirinya. Prinsip ini
mengandung arti bahwa pembayaran pajak dapatlah mencapai win-win solution baik bagi negara
maupun bagi Wajib Pajak. Dengan adanya pembayaran pajak dimuka maka Wajib Pajak lebih
ringan bebannya dalam membayar beban pajak yang terutang pada akhir tahun dan sebaliknya
bagi pemerintah akan ada cash inflow untuk pembiayaan negara.
Pelunasan pajak dalam Tahun Pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang
nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap PPh yang. terutang untuk
Tahun Pajak yang bersangkutan. Untuk pelunasan pajak yang bersifat final tidak dapat
dikreditkan dengan PPh terutang.
60
2. Wajib Pajak Bank dan SGU dengan Hak Opsi.
Besarnya angsuran PPh pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas aba rugi
fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh pasal
24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun yang laIu, dibagi 12 (dua belas).
Dalam hal Wajib Pajak Bank dan SGU dengan hak opsi tersebut merupakan Wajib Pajak
baru, maka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah PPh
yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba/rugi fiskal triwulan
pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
3. Wajib Pajak BUMN dan BUMD, kecuali Wajib Pajak Bank dan SGU dengan hak opsi
besarnya angsuran PPh pasal 25 adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan
tarif umum atas laba/rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP)
tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) dikurangi pemotongan dan pemungutan PPh 22, 23, serta 24 yang dibayar atau
terutang di luar negeri tahun pajak yang laIu, dibagi 12 (dua belas). Dalam hal RKAP belum
disahkan, maka angsuran PPh pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan
adalah sama dengan angsuran PPh pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
PENGHITUNGAN ANGSURAN
Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-537/PJ./2000, ada beberapa hal
tertentu yang mempengaruhi penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan. Hal-hal tertentu itu antara lain
A. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian
Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan, Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai
dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A UU No. 7 Tahun 1983 stdd UU No. 17 Tahun
2000 sttdd UU No 36 Tahun 2008.
1. Apabila jumlah sisa kerugian habis dikompensasikan dengan penghasilan neto Tahun Pajak
yang bersangkutan atau Tahun Pajak yang bersangkutan merupakan Tahun Pajak terakhir
untuk dapat melakukan kompensasi kerugian, maka angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal
25 Tahun Pajak berikutnya dihitung atas dasar penghasilan neto Tahun Pajak yang
bersangkutan.
a. Kerugian habis dikompensasi dengan Penghasilan Neto
Contoh 1 :
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2012
Penghasilan Neto Rp. 100.000.000,00
Kompensasi atas kerugian tahun 2011 Rp. 20.000.000,00
Penghasilan Neto setelah kompensasi Rp 88.000.000,00
b. Sisa Kerugian tidak bisa dikompensasi untuk tahun berikutnya
Contoh 2 :
Penghasilan Neto Rp. 100.000.000,00
Sisa kerugian tahun 2003 Rp. 150.000.000,00
dikompensasi Rp. 100.000.000,00
Penghasilan Neto setelah kompensasi NIHIL
61
Pajak Penghasilan Badan
Catatan
Masih terdapat sisa kerugian Tahun Pajak 2003 setelah dikompensasi sebesar Rp
50.000.000,00, maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasi dengan
penghasilan Neto Tahun Pajak 2009 karena telah lewat waktu 5 (lima) tahun.
Apabila Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21,22,23, dan 24 tahun pajak 2008 Rp
3.250.000,00, maka perhitungan PPh Pasal 25 tahun Pajak 2009 untuk contoh 1 dan 2
adalah sebagai berikut :
Penghasilan Neto Tahun Pajak 2012 Rp 100.000.000,00
Kompensasi kerugian tahun sebelumnya Rp. 0,00
Penghasilan Kena Pajak Rp. 100.000.000,00
PPh Terutang (asumsi tarif tanpa fasilitas (tarif 25%)
= 25% x 100.000.000 Rp. 25.000.000
62
B. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.
Yang termasuk penghasilan tidak teratur adalah keuntungan selisih kurs dan utang/piutang
dalam mata uang asing (pokok utang piutangnya saja dan digabung antara keuntungan
selisih kurs dan kerugian selisih kurs) serta keuntungan dan pengalihan harta (capital gain)
sepanjang bukan merupakan penghasilan dan kegiatan usaha pokok, serta penghasilan
Iainnya yang bersifat insidentil.
C. SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan.
Apabila SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang IaIu disampaikan Wajib
Pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan, maka besarnya PPh Pasal 25 untuk
bulan-bulan mulal batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan sebelum
disampaikannya SPT Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak Penghasilan
bulan terakhir tahun pajak yang IaIu dan bersifat sementara.
D. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
Dalam kondisi ini besarnya PPh Pasal 25 adalah sama dengan besarnya PPh Pasal 25 yang
dihitung berdasarkan SPT Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak pada saat
mengajukan permohonan ijin perpanjangan.
Besanya PPh pasal 25 mulai bulan batas waktu penyampalan SPT Tahunan PPh sampai
dengan bulan disampaikannya SPT Tahunan yang bersangkutan adalah sama besarnya
dengan PPh pasal 25 menurut perhitungan sementara yang disampaikan WP pada saat
penyampaian SPT Tahunan Sementara.
Setelah WP menyampaikan SPT Tahunan, besarnya angsuran dihitung sebagai berikut :
a. Berdasarkan perhitungan menurut SPT yang disampaikan dikurangi dengan PPh
Pemotongan Pemungutan dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
b. Dalam hal WP berhak atas kompensasi kerugian atau penghasilan tidak teratur, PPh
25 dihitung menurut contoh-contoh diatas.
c. Apabila perhitungan menurut SPT Tahunan tersebut menghasilkan angsuran PPh
pasal 25 yang lebih besar, maka kekurangannya disetor lagi dengan ditambah bunga 2
% sebulan terhitung mulai dan bulan batas terakhir penyampaian SPT Tahunan
sampai bulan disampaikannya SPT Tahunan tersebut.
Contoh
SPT Tahunan Sementara PPh tahun 2011 disampaikan pada tanggal 19 Februari 2012,
dengan menyampaikan perhitungan sebagai berikut :
Penghasilan Kena Pajak Rp 400.000.000
PPh Terutang (tanpa fasilitas) Rp 100.000.000
PPh Pasal 22,23,24 Rp 42.500.000
PPh yang dibayar sendiri Rp 57.500.000
63
Pajak Penghasilan Badan
WP diberikan izin perpanjangan penyampalan SPT Tahunan 2011 sampai tanggal 30 Juni 212,
dan diketahui angsuran PPh Pasal 25 bulan Desember 2011 adalah Rp. 4.000.000. Pada tanggal
5 Juni 2012, WP menyampaikan SPTTahunan dengan perhitungan sebagai berikut :
Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000
PPh Terutang (Tarif Pasal 17) Rp 125.000.000
PPh Pasal 22,23,24 Rp 42.500.000
PPh yang dibayar sendiri Rp 82.500.000
Maka Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 tahun 2012 adalah sebagai berikut
a. Bulan Januari dan Februari 2009 besarnya adalah Rp. 4.000.000.
b. Bulan Maret s.d. April 2009 besar angsuran masing-masing adalah (1/12 x Rp
57.500.000= Rp. 4.791.667)
c. Besar angsuran PPh Pasal 25 bulan Maret s.d. Desember 2012 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan yang disampaikan tanggal 5 Juni 2010, yaitu (1/12 X Rp.
82.500.000 = Rp. 6.875.000)
d. Atas kekurangan setor angsuran bulan Maret s.d. April 2012 yang masing-masing
sebesar Rp. 2.083.333 harus disetor lagi dan terutang 2%
E. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran berialan Iebih besar dan angsuran bulanan sebelum pembetulan.
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan
pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT
Tahunan.
Apabila wajib pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh-nya maka berlaku
ketentuan sebagai berikut :
a. PPh pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan dan berlaku surut mulai
batas waktu penyampaian SPTTahunan tersebut
b. Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu
penyampaian SPT harus disetor dan terutng bunga 2 % per bulan dihitung sejak jatuh
tempo penyetoran PPh pasal 25 masing-masing bulan sampai dengan tanggal
penyetoran (akan ditagih dengan STP)
c. Apabila terjadi kelebihan setor, kelebihan angsuran mulai batas waktu penyempaian
SPT tersebut dapat diperhitungkan sebagai angsuran bulan berikutnya, dengan cara
pemindahbukuan
F. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Yang dimaksud dengan perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak adalah
penurunan atau peningkatan usaha.
Contoh :
PT ANDI yang bergerak di bidang produksi benang pada tahun 2009 membayar angsuran
bulanan sebesar Rp. 18.000.000,-. Dalam bulan Juli 2009 pabrik milik PT ANDI terbakar
sehingga Ditjen Pajak mengeluarkan keputusan bahwa mulal Juli 2009 angsuran PPh-nya
disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp. 18.000.000,-.
Sebaliknya bila PT ANDI mengalami peningkatan usaha misalnya ada peningkatan
penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya melebihi 150 % dibanding tahun
64
sebelumnya, maka angsuran PPh pasal 25-nya juga harus disesuaikan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Apabila setelah 3 ( tiga ) bulan atau Iebih dalam satu tahun pajak WP dapat
menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun tersebut kurang dan 75%
PPh yang menjadi dasar perhitungan PPh pasal 25, WP dapat mengajukan
permohonan pengurangan angsuran PPh pasal 25 kepada Kepala KPP setempat
2. Permohonan diajukan secara tertulis
3. Menyampaikan perhitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan
penghasilan yang diterima/diperoleh dan besarnya PPh pasal 25 untuk bulan-bulan
yang tersisa dan tahun pajak yang bersangkutan
4. Kepala KPP yang bersangkutan akan memberikan keputusan dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak permohonan diterima secara Iengkap. Apabila dalam jangka waktu
satu bulan belum diberikan keputusan berarti permohonan dikabulkan.
5. Apabila dalam suatu tahun pajak WP mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan
PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut Iebih dari 150 dari PPh yang
menjadi dasar perhitungan PPh pasal 25, maka PPh pasal 25 untuk bulan-bulan yang
tersisa dalam tahun pajak yang bersangkutan dihitung kembali berdasarkan perkiraan
PPh yang terutang di tahun tersebut
G. Wajib Pajak termasuk dalam Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah WP Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir atau eceran barang-barang yang dijual
Iangsung ke konsumen akhir melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa
lokasi tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung sebesar 0,75% dari jumlah peredaran per bulan
dan masing-masing tempat usaha Wajib Pajak (KMK No. 84/KMK.03/2002 jo. KEP-
171/PJ./2002 jo PMK 255/PMK.03/2008 jo PMK 208/PMK.03/2009).
H. Apabila Ada Surat Ketetapan Pajak Untuk Tahun Pajak Tahun Sebelumnya
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang
IaIu, maka angsuran PPh dihitung berdasarkan Surat Ketetapan Tersebut, dimana
perubahan angsuran berlaku mufai bulan berikutnya setelah diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak. Contoh
Berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2008 yang disampaikan bulan Maret 2009,
perhitungan angsuran PPh yang harus dibayar adalah Rp. 1.480.000,-. Dalam bulan Juli
2009 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menghasilkan besaran angsuran PPh pasal 25
setiap bulan menjadi sebesar Rp. 2.500.000,-.
Berdasarkan perhitungan tersebut, besarnya angsuran PPh pasal 25 mulai bulan Agustus
2007 adalah Rp. 2.500.000. Penetapan besarnya angsuran PPh berdasarkan surat ketetapan
pajak tersebut bisa sama, Iebih besar atau Iebih kecil dan angsuran sebelumnya berdasarkan
SPT Tahunan.
65
Pajak Penghasilan Badan
BAB XV
SURAT PEMBERITAHUAN
PENGANTAR
Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Badan pada prinsipnya ada dua yaitu SPT masa dan SPT
Tahunan, dimana SPT masa (PPh 25) hanyalah berbentuk SSP yang dipersamakan sebagai SPT. Yang
wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan bentuk umum (formulir
1771) adalah Wajib Pajak Badan yang meliputi PT, CV, perseroan Iainnya, BUMN, koperasi, yayasan,
dll. Selain itu ada pihak-pihak tertentu yang diwajibkan pula untuk mengisi SPT Tahunan PPh Wajib
Pajak Badan adalah :
a. Orang pribadi yang berstatus sebagai BUT
b. Wajib Pajak Badan yang memperoleh atau menerima penghasilan semata-mata dan penghasilan
yang telah dikenakan pajak yang bersifat final.
c. Wajib Pajak Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
d. Wajib Pajak Badan Iainnya.
Mulai Tahun Pajak 2000 diperkenalkan bentuk SPT baru yaitu SPT Tahunan Wajib Pajak
Badan (formulir 1771-$), yaitu SPT yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak Badan dalam rangka
Penanaman Modal Asing, Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil, Bentuk Usaha Tetap, dan Wajib Pajak
yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri, yang diizinkan untuk menyelenggarakan
pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.
Kode Formulir
No. Nama Formulir Keterangan
1771 1771-$
1. 1771 1771/$ SPT Tahunan PPh bagi WP Badan Induk SPT
66
jumlah deviden yang dibagikan, Daftar
Susunan Pengurus dan Komisaris
7. 1771-VI 1771-VI/$ Daftar penyerahan modal pada perusahaan Lampiran VI
Afiliasi, Daftar Pinjaman dari/kepada
Pemegang Saham dan/atau Perusahaan
Afiliasi
CONTOH KASUS
PT. INTl LOGGING dengan NPWP : 01.937.654.2. 031.000, JI. S. Parman Kav. 26 Jakarta Barat,
bergerak di bidang perkayuan. WP memiliki kerugian fiskal yang masih dapat kompensasi sebesar Rp.
159 juta. Data-data pembukuan tahun 2011 adalah sbb :
Penjualan bersih Rp. 23.200.000.000,00
Harga Pokok Penjualan Rp 17.900.000.000,00
Biaya Operasi:
Gaji dan upah Rp. 1.256.400.000,00
PPh 21 dibayar perusahaan 56.600.000,00
Biaya penyusutan 1.285.000.000,00
Biaya rekreasi/piknik pegawai 22.600.000,00
Biaya HP 24.000.000,00
Biaya Astek/Jamsostek 60.600.000,00
Biaya penyisihan piutang ragu-ragu 98.600.000,00
Biaya perjalanan dinas 301.000.000,00
Biaya bunga bank 180.000.000,00
Biaya bunga leasing 20.000.000,00
Biaya royalti 125.000.000,00
Biaya pemeliharaan inventaris 230.400.000,00
Biaya representasi 132.500.000,00
Biaya PPN 9.500.000,00
Biaya makan minum dan seragam 400.000.000,00
Biaya alat tulis kantor 163.800.000,00
Biaya Listrik, Telpon, Air 36.000.000,00
Biaya perawatan forklift dan dump-truck 10.000.000,00
67
Pajak Penghasilan Badan
68
m. Perusahaan menanggung makan minum dan seragam seluruh pegawainya dengan
menyediakan kantin di kantor dan di lokasi HPH serta membelikan seragam. Total biaya
makan minum Rp.360 juta sedangkan biaya seragam sebesar Rp.40 juta.
n. Biaya perawatan forklift dan dump-truck adalah biaya perawatan forklift dan dump-
truck yang disewakan.
o. Biaya Fiskal Luar Negeri adalah pembayaran Fiskal Luar Negeri atas nama perusahaan
untuk kepergian para direktur ke Amerika dan Singapura dalam rangka dinas.
p. Biaya Profesional fee adalah biaya jasa audit dan appraisal. Dari total biaya tersebut
sebesar Rp. 19.700.000,- adalah biaya audit anak perusahaan yaitu PT NUSANTARA
PLYWOOD
q. Perincian biaya lain-lain adalah :
· Bantuan bea siswa dalam rangka GN-OTA sebesar Rp. 12.500.000,00
· Sumbangan Amal Bhakti Muslim Pancasila Rp. 3.300.000,00
· Iuran keanggotaan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Rp. 10.000.000
r. Penghasilan bunga deposito adalah bunga deposito Bank Mandiri sebesar Rp.10.000.000,-
dan telah dipotong pajak sebesar 20% yaitu Rp. 2.000.000,-. Rata-rata besarnya deposito
PT. INTI LOGGING di bank tersebut selama setahun adalah Rp.100.000.000,-
s. Perusahaan menjual gudang dengan nilai sisa buku sebesar Rp.900.000.000,- seharga
Rp.1.000.000.000,- Atas penjualan gudang ini perusahaan telah membayar PPh atas
pengalihan tanah sebesar 5% yaitu Rp. 50.000.000,-
t. Perusahaan juga menyewakan forklift serta dump-trucknya kepada perusahaan sesama
pemegang HPH yaitu PT HUTRINDO di lokasi usaha. Atas jasa sewa ini perusahaan telah
dipotong pajak sebesar 6% yaitu Rp. 9.000.000,-
u. Pada akhir tahun 2010 perusahaan menjual wisma perusahaan di Puncak dengan harga
Rp. 400.000.000.- karena kesulitan likuiditas. Nilai buku wisma tersebut pada saat dijual
adalah Rp. 480.000.000. Perusahaan telah membayar PPh atas pengalihan tanah sebesar
5% yaitu Rp. 20.000.000,-. Sebelum dijual wisma tersebut beberapa kali disewakan
dengan penghasilan sewa setahun Rp. 50.000.000 dan telah dipotong PPh oleh penyewa
Rp. 5.000.000,-
v. PT Inti Logging memiliki anak perusahaan yang bergerak dibidang kayu lapis yaitu PT
NUSANTARA PLYWOOD (kepemilikan 40%). Selama tahun 2008 PT NUSANTARA
PLYWOOD mengumumkan laba setelah pajak sebesar Rp. 500 juta tapi tidak membagi
deviden. PT Inti Logging mengakuinya dengan mencatat kenaikan nilai investasi dan
laba dari anak perusahaan sebesar Rp. 200 juta.
w. Perusahaan mengimpor alat-alat berat (truk, traktor dll) dan telah dipotong pajak PPh 22
oleh Ditjen Bea Cukai sebesar Rp. 46.000.000,-
x. Selama tahun 2010 perusahaan telah membayar PPh pasal 25 Rp. 209.000.000
Diminta
1. Buatlah rekonsiliasi fiskal yang diperlukan guna menghitung Penghasilan Kena Pajak dan Pajak
Penghasilan terutang tahun 2008 dan PT. INTI LOGGING.
2. Masukkan hasil rekonsiliasi fiskal tersebut ke dalam SPT tahunan PPh Badan.
3. Hitung angsuran PPh 25 tahun 2009
69
Pajak Penghasilan Badan
PT Inti Logging
Rekonsiliasi Fiskal
Dalam Ribuan
LK Lk
No. Uraian Koreksi
Komersial Fiskal
Positif Negatif
1 Penjualan 23.200.000 - - 23.200.000
2 Harga pokok penjualan 17.900.000 - - 17.900.000
3 Laba bruto 5.300.000 5.300.000
4 Biaya operasi
5 Gaji dan upah 1.256.400 - 1.256.400
6 PPh 21 dibayar Perusahaan 56.600 56.600 -
7 Biaya penyusutan 1.285.000 187.000 1.098.000
8 Biaya rekreasi/piknik peawai 22.600 22.600 -
9 Biaya HP 24.000 12.000 12.000
10 Biaya Askes/Jamsostek 60.600 - 60.600
11 Biaya penyisihan piutang ragu- 98.600 98.600 -
ragu
12 Biaya perjalanan dinas 301.100 119.000 182.100
13 Biaya bunga Bank 180.000 18.000 162.000
14 Biaya bunga Leasing 20.000 - 20.000
15 Biaya angsuran Leasing - 180.000 180.000
16 Biaya royalty 125.000 25.000 100.000
17 Biaya pemeliharaan inventaris 230.400 19.000 211.400
18 Biaya representasi 132.500 31.500 101.000
19 Biaya PPN 9.500 - 9.500
20 Biaya makan dan minum 400.000 - 400.000
21 Biaya alat tulis kantor 163.800 - 163.800
22 Biaya listrik, air dan telepon 36.000 - 36.000
23 Biaya forklif dan dump truck 10.000 - 10.000
24 Biaya Profesional fee 59.700 19.700 40.000
25 Biaya lain-lain 25.800 3.300 22.500
26 Jumlah biaya operasi 4.497.600 633.300 180.000 3.903.300
27 Laba operasi 802.400 1.396.700
28 Penghasilan/beban lain-lain
29 Bunga deposito 10.000 10.000 -
30 Laba penjualan gudang 100.000 100.000
31 Pendapatan forklift dan truck 150.000 150.000
32 Laba kurs 99.200 99.200
33 Rugi penjualan wisma (80.000) (80.000) -
34 Pendapatan sewa wisma 50.000 50.000 -
35 Laba anak perusahaan 200.000 200.000 -
36 Jumlah penghasilan/beban lain 529.200 349.200
70
37 Laba bersih 1.331.600 1.745.900
38 Kompensasi kerugian 159.000 159.000
39 Penghasilan kena pajak 1.586.900
40 PPh terutang 355.684
41 Kredit pajak dipotong pihak
lain
42 PPh pasal 22 46.000
43 PPh pasal 23 3.000
45 Kredit pajak yg dibayar sendiri
46 Pasal 25 209.000
47 PPh kurang bayar 97.684
Soal Latihan:
Soal 1
PT. SR adalah Wajib Pajak yang mempunyai usaha sebagai pabrikan sepatu, pada tahun pajak
2011 mempunyai data-data sebagai berikut :
1. Peredaran bruto Rp 53.000.000.000
Harga pokok (Rp 49.500.000.000)
Rp 3.500.000.000
Biaya Operasional (Rp 2.300.000.000)
Penghasilan neto fiskal Rp 1.200.000.000
2. Kompensasi kerugian (tahun 2009 dan 2010) Rp 700.000.000
3. Pajak yang telah dipotong/dipungut pihak lain
a. PPh pasal 22 Rp 42.000.000
b. PPh pasal 23 Rp 67.500.000
c. PPh pasal 4(2) Rp 12.000.000
4. Pajak yang telah dibayar sendiri
a. PPh pasal 25 Rp 19.000.000
b. STP PPh pasal 25 (pokok) Rp 2.400.000
c. Pajak Pengalihan atas Tanah dan Bangunan Rp 3.000.000
Pertanyaan :
1. Hitung PPh Kurang/lebih dibayar untuk tahun pajak 2011 dan Hitung PPh pasal 25
untuk tahun pajak berikutnya !
2. Hitung PPh kurang/lebih dibayar untuk tahun pajak 2011 dan hitung PPh pasal 25 untuk
tahun pajak berikutnya apabila kompensasi kerugian untuk tahun pajak 2009 dan 2010
menjadi Rp1.500.000.000 .
Soal 2
PT. YMA adalah Wajib Pajak yang masuk dalam kategori sebagai pengusaha mikro, kecil dan
menengah. Pada tahun pajak 2011 mempunyai data-data sebagai berikut :
71
Pajak Penghasilan Badan
Pajak-pajak
1. PPh pasal 21 yang telah dipotong dan disetor oleh Wajib Pajak Rp 19.400.000
2. PPh pasal 22 atas impor yang dipotong oleh Bea cukai Rp 31.200.000
3. PPh pasal 25 yang telah dibayar oleh Wajib Pajak Rp 120.000.000
Pertanyaan :
1. Berapa PPh yang kurang/lebih dibayar
2. Berapa PPh pasal 25 untuk tahun pajak
72
LAMPIRAN I
2 Pertanian, perkebunan, Alat yang digerakkan bukan dengan mesin seperti cangkul, peternakan, perikanan, garu
kehutanan, dan lain-lain.
3 Industri makanan dan Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan seperti, huller, pemecah kulit, penyosoh,
minuman pengering, pallet, dan sejenisnya.
4 Transportasi dan Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai angkutan umum.
Pergudangan
5 Industri semi konduktor Falsh memory tester, writer machine, biporar test system, elimination (PE8-1), pose
checker.
6 Jasa Persewaan Peralatan Anchor, Anchor Chains, Polyester Rope, Steel Buoys, Steel Wire Ropes, Mooring
Tambat Air Dalam Accessoris.
7 Jasa telekomunikasi selular Base Station Controller
2 Pertanian, a. Mesin pertanian/perkebunan seperti traktor dan mesin bajak, penggaruk, penanaman,
perkebunan, penebar benih dan sejenisnya.
kehutanan, b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang
perikanan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan.
3 Industri makanan a. Mesin yang mengolah produk asal binatang, unggas dan perikanan, misalnya pabrik
dan minuman susu, pengalengan ikan .
b. Mesin yang mengolah produk nabati, misalnya mesin minyak kelapa, margarin,
penggilingan kopi, kembang gula, mesin pengolah biji-bijian seperti penggilingan
beras, gandum, tapioka.
c. Mesin yang menghasilkan/memproduksi minuman dan bahan-bahan minuman segala
jenis.
d. Mesin yang menghasilkan/memproduksi bahan-bahan makanan dan makanan segala
73
Pajak Penghasilan Badan
jenis.
4 Industri mesin Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin ringan (misalnya mesin jahit, pompa air).
5 Perkayuan, a. Mesin dan peralatan penebangan kayu.
kehutanan b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang
kehutanan.
6 Konstruksi Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat, dump truck, crane buldozer dan sejenisnya.
7 Transportasi dan a. Truk kerja untuk pengangkutan dan bongkar muat, truk peron, truck ngangkang, dan
Pergudangan sejenisnya;
b. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang
tertentu (misalnya gandum, batu - batuan, biji tambang dan sebagainya) termasuk
kapal pendingin, kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai
berat sampai dengan 100 DWT;
c. Kapal yang dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal-kapal suar, kapal
pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya yang mempunyai
berat sampai dengan 100 DWT;
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat sampai dengan 250
DWT;
e. Kapal balon.
9 Industri semi Auto frame loader, automatic logic handler, baking oven, ball shear tester, bipolar test handler
konduktor (automatic), cleaning machine, coating machine, curing oven, cutting press, dambar cut
machine, dicer, die bonder, die shear test, dynamic burn-in system oven, dynamic test handler,
eliminator (PGE-01), full automatic handler, full automatic mark, hand maker, individual
mark, inserter remover machine, laser marker (FUM A-01), logic test system, marker (mark),
memory test system, molding, mounter, MPS automatic, MPS manual, O/S tester manual, pass
oven, pose checker, re-form machine, SMD stocker, taping machine, tiebar cut press,
trimming/forming machine, wire bonder, wire pull tester.
10 Jasa Persewaan Spoolling Machines, Metocean Data Collector
Peralatan Tambat
Air Dalam
11 Jasa Telekomunikasi Mobile Switching Center, Home Location Register, Visitor Location Register. Authentication
Seluler Centre, Equipment Identity Register, Intelligent Network Service Control Point, intelligent
Network Service Managemen Point, Radio Base Station, Transceiver Unit, Terminal SDH/Mini
Link, Antena
4 Industri kimia a. Mesin peralatan yang mengolah/menghasilkan produk industri kimia dan industri
74
yang ada hubungannya dengan industri kimia (misalnya bahan kimia anorganis,
persenyawaan organis dan anorganis dan logam mulia, elemen radio aktif, isotop,
bahan kimia organis, produk farmasi, pupuk, obat celup, obat pewarna, cat, pernis,
minyak eteris dan resinoida-resinonida wangi-wangian, obat kecantikan dan obat rias,
sabun, detergent dan bahan organis pembersih lainnya, zat albumina, perekat, bahan
peledak, produk pirotehnik, korek api, alloy piroforis, barang fotografi dan
sinematografi.
b. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk industri lainnya (misalnya damar tiruan,
bahan plastik, ester dan eter dari selulosa, karet sintetis, karet tiruan, kulit samak,
jangat dan kulit mentah).
5 Industri mesin Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin menengah dan berat (misalnya mesin mobil,
mesin kapal).
6 Transportasi dan a. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang-
Pergudangan barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya)
termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkapan ikan dan sejenisnya,
yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT.
b. Kapal dibuat khusus untuk mengela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam
kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas
100 DWT sampai dengan 1.000 DWT.
c. Dok terapung.
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat di atas 250 DWT.
e. Pesawat terbang dan helikopter-helikopter segala jenis.
75