Anda di halaman 1dari 31

EFEKTIVITAS DAN EKSISTENSI PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

DALAM PERSIDANGAN ONLINE YANG BERKEADILAN DI MASA


PANDEMI COVID-19

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

Nova Ramadhani (190574201008)

Putri Rahmayanti (190574201014)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji dan syukur diucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya tulis ilmiah yang berjudul “Efektivitas
dan Eksistensi Penyelesaian Perkara Pidana dalam Persidangan Online yang
Berkeadilan Di Masa Pandemi Covid-19” dapat terselesaikan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini
dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di
akhirat.

Kami mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat dan
sehat-Nya sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan karya tulis
ilmiah ini. Tersusunnya karya tulis ilmiah ini pun tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak khususnya Panitia Penilai Karya Tulis Ilmiah Hukum. Kemudian
penulis mengucapkan terimakasih kepada teman anggota satu tim penulis yang
sudah bersedia membantu dalam menyusun serta membuat karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kata
sempurna dan terdapat kekurangan baik dalam materi maupun teknik
penulisannya. Kritik dan saran menuju perbaikan sangat diharapkan demi
kesempurnaan dalam penyusunan serta pembuatan karya tulis ilmiah ini. Semoga
karya tulis ilmiah ini dapat membawa pemahaman dan pengetahuan bagi pembaca
dan semua orang tentang efektivitas dan eksistensi penyelesaian perkara pidana
dalam persidangan online yang berkeadilan di masa pandemi covid-19.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Tanjungpinang, 8 November 2021

Penulis

ii
ABSTRAK

Pandemi Covid-19 telah menyebar luas dan menginfeksi banyak orang diseluruh
hampir belahan dunia sehingga merubah tatanan hidup dalam masyarakat dari
segala aspek kehidupan yang kemudian menciptakan tatanan baru (new normal)
termasuk tatanan baru bagi peradilan pidana di Indonesia. Persidangan secara
elektronik menjadi terobosan ditengah upaya untuk mencegah penyebaran Covid-
19. Persidangan secara elektronik merupakan proses persidangan yang
dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, audio visual
dan sarana elektronik lainnya. Persidangan secara elektronik ini belum diatur di
KUHAP yang hanya berdasar pada peraturan MA. Secara yuridis formal
pengaturan terkait dengan persidangan perkara pidana dimasa pandemi
melandaskan diri pada PERMA RI No. 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan
Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Selain manfaat, ada
kendala substantif dan teknis dalam melaksanakan persidangan secara elektronik.
Kendala substantif persidangan secara elektronik tidak bersifat mandatory, relatif
tertutup, dan sulitnya pembuktian. Sedangkan kendala teknis keterbatasan sarana-
prasarana dan SDM IT, rendahnya pengetahuan aparat penegak hukum atas IT.
Untuk mengatasi kendala substantif maka perlu mengatur persidangan secara
elektronik dengan baik dalam KUHAP atau Undang-Undang tersendiri.
Sedangkan untuk mengatasi kendala teknis, perlu ada pelatihan IT untuk aparat
penegak hukum. Selain itu juga perlu menyediakan SDM IT, sarana prasarana,
dan jaringan internet.

Kata Kunci : Pandemi Covid-19, Peradilan Pidana, Persidangan Elektronik

iii
ABSTRACT

The Covid-19 pandemic has spread widely and infected many people in almost all
parts of the world, thus changing the order of life in society from all aspects of life
which then creates a new order (new normal) including a new order for criminal
justice in Indonesia. Electronic hearings are a breakthrough in the midst of efforts
to prevent the spread of Covid-19. An electronic trial is a trial process carried out
with the support of information and communication technology, audio-visual and
other electronic means. This electronic trial has not been regulated in the Criminal
Procedure Code which is only based on the Supreme Court's regulations. Legally,
the formal arrangements related to the trial of criminal cases during the pandemic
are based on PERMA RI No. 4 of 2020 concerning Administration and Trial of
Criminal Cases in Courts Electronically. In addition to the benefits, there are
substantive and technical obstacles in conducting the trial electronically.
Substantive obstacles in electronic trial are not mandatory, relatively closed, and
difficult to prove. Meanwhile, the technical constraints are limited IT facilities and
human resources, the low knowledge of law enforcement officers on IT. To
overcome substantive obstacles, it is necessary to properly regulate the electronic
trial in the Criminal Procedure Code or a separate law. Meanwhile, to overcome
technical obstacles, IT training is needed for law enforcement officers. In
addition, it is also necessary to provide IT human resources, infrastructure, and
internet networks.

Keywords: Covid-19 Pandemic, Criminal Justice, Electronic Court

iv
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

ABSTRAK ............................................................................................................. iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1

1.2 Uraian Singkat atau Rumusan Masalah .............................................................. 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................ 5

1.4 Tinjauan Pustaka .................................................................................................... 6

1.5 Metode Penelitian .................................................................................................. 7

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 9

2.1 Sistem Peradilan Pidana Secara Elektronik di Masa Pandemi Covid-19 ....... 9

2.2 Efektivitas Persidangan Online dalam Menyelesaikan Perkara Pidana di


Masa Pandemi Covid-19 ..................................................................................... 13

2.3 Eksistensi Pembuktian Pada Perkara Pidana dalam Persidangan Online


Sistem Peradilan Indonesia ................................................................................. 16

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 22

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 22

3.2 Saran ...................................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persidangan merupakan salah satu proses dalam sistem peradilan pidana


yang dilakukan untuk menemukan kebenaran atas sebuah perkara pidana. Proses
persidangan dilakukan dengan cara mempertemukan para pihak1 dalam satu
ruangan di gedung pengadilan.2 Akan tetapi, seiring perkembangan zaman hukum
membuat proses persidangan dapat dilakukan dengan menempatkan para pihak di
tempat yang berbeda. Hal tersebut dikenal dengan persidangan elektronik (e-
court), dimana para pihak berada di ruang sidang yang berbeda tetapi terhubung
satu sama lain dengan teknologi informasi (teleconference).3

Di tahun 2020, berbagai negara di dunia terdampak penyebaran Coronavirus


Disease 2019 (Covid-19) yang hingga saat ini belum juga mereda. Pandemi
Covid-19 telah mempengaruhi proses penegakan hukum baik pada tahap pra
ajudikasi maupun ajudikasi. Dalam hal ini, proses ajudikasi (persidangan) menjadi
terhambat karena virus tersebut dapat menular dari satu orang ke orang lainnya.
Sehingga apabila persidangan dilakukan secara langsung di ruang sidang
pengadilan dikhawatirkan akan memperluas penyebaran virus.

Pemerintah telah menerapkan kebijakan tatanan kehidupan hidup (new


normal), tak terkecuali pada layanan hukum lembaga peradilan. Dengan keadaan
yang seperti sekarang ini Mahkamah Agung yang terpaksa harus menerapkan

1
Dalam satu ruang persidangan akan dihadiri para pihak, yaitu Jaksa Penuntut Umum (JPU),
Terdakwa, Penasihat Hukum (PH), Saksi/ Ahli, Hakim/ Majelis Hakim, Panitera, dan pihak
lain yang memiliki kepentingan.
2
Lihat Pasal 230 ayat (1) KUHAP.
3
Panji Purnama, “Penerapan E-Court Sebagai Salah Satu Cara Mewujudkan Integrated Judiciary
pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2021,
hlm. 95-120.

1
kebijakan untuk melaksanakan tugas kedinasan dari rumah (work from home)
yang diterapkan pada hakim dan aparatur pengadilan, sehingga karena keadaan
terdesak tersebut pengadilan yang biasanya dilaksanakan secara konvensional
beralih dilaksanakan secara daring yaitu dilaksanakan melalui jarak jauh melalui
teleconference.

Salah satu kebijakan akibat pandemi Covid-19 adalah diberlakukannya


pembatasan sosial (social distancing), bahkan kebijakan pembatasan wilayah
(lockdown), sehingga pelaksanaan kegiatan pengadilan tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Dengan adanya kebijakan yang demikian maka
Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 1 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pelaksana Tugas selama masa pencegahan penyebaran Corona Virus
Disease (Covid-19) kemudian diubah dengan SEMA No. 2 Tahun 2020 dan
diubah lagi dengan SEMA No. 3 Tahun 2020. Peraturan tersebut mengatur hakim
dan aparatur peradilan dapat menjalankan tugas kedinasan dengan bekerja di
rumah atau tempat tinggalnya (work from home/WFH). WFH tersebut termasuk
pelaksanaan agenda persidangan pemeriksaan perkara yang dilakukan secara.

Upaya melaksanakan persidangan online dimasa pandemi Covid-19


dianggap sebagai langkah progresif dalam memecahkan permasalahan stagnasi
perkara akibat penyebaran Covid-19. Hal ini perlu dilakukan, karena apabila
persidangan tetap dilaksanakan dengan pola langsung sebagaimana biasa, maka
beresiko terdampak virus Covid-19, sedang bila persidangan ditunda, maka
mengakibatkan kerugian bagi para terdakwa, karena nasib dan status yang belum
jelas dari para hakim.4

Lahirnya e-court tidak terlepas dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3


Tahun 2018 yang kemudian disusul dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Di
Pengadilan Secara Elektronik. Peraturan Mahkamah Agung tersebut merupakan
inovasi sekaligus komitmen bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam

4
RR. Dewi Anggraeni, “Wabah Pandemi Covid-19, Urgensi Pelaksanaan Sidang Secara
Elektronik”, ADALAH: Buletin Hukum dan Keadilan, Volume 4, Nomor 1, 2020, hlm. 7.

2
mewujudkan reformasi di dunia peradilan Indonesia (Justice reform) yang
mensinergikan peran teknologi informasi (IT) dengan hukum acara (IT for
Judiciary).5 Selain itu, pembentukan peraturan Mahkamah Agung tersebut
bertujuan untuk optimalisasi peradilan dalam menangani perkara tindak pidana,
baik di lingkungan Mahkamah Agung maupun peradilan yang berada di
bawahnya.

Tabel Perbandingan Antara Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1


Tahun 2019 dengan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2018

Peraturan Mahkamah Agung RI Peraturan Mahkamah Agung RI


No
Nomor 3 Tahun 2018 Nomor 1 Tahun 2019
Ruang lingkup pelayanan mencakup
Ruang lingkup pelayanan hanya
pendaftaran (e-filling), pembayaran
mencakup pendaftaran (e-filling),
(e-payment),
01 pembayaran (e-payment), dan
pemanggilan/pemberitahuan (e-
pemanggilan/pemberitahuan (e-
summons), dan persidangan (e-
summons) secara elektronik
litigation) secara elektronik
Berlaku hanya untuk pengguna Berlaku bagi pengguna terdaftar dan
02
terdaftar pengguna lainnya
Berlaku untuk semua tingkatan
Berlaku hanya untuk tingkat
03 peradilan, tingkat pertama, banding,
pertama
kasasi, dan peninjauan kembali
Parameter hukum acara lebih detail,
Parameter hukum acara secara
04 seperti ukuran sah dan patut,
umum
pembacaan putusan, dan lain-lain
Sumber: Persentasi Sekretaris Mahkamah Agung RI, Tanggal 13
Agustus 2019

5
Ditjenmiltun Mahkamah Agung RI, “Era Baru Beracara di Pengadilan”, E-Court,
https://www.pt-bengkulu.go.id/berita/e-court-era-baruberacara-di-pengadilan (di akses pada
tanggal 18 Oktober 2020).

3
Persidangan perkara pidana yang dilakukan secara online ini tidak diatur
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sehingga akan menimbulkan disharmonisasi hukum dan pada praktiknya terkesan
tergesa-gesa atau dipaksakan dan mengurangi bahkan mengesamping ketentuan
hukum acara tersebut. Disisi lain ada pihak yang belum bisa menggunakan
teknologi informasi dan ketersediaan jaringan internet di daerah tertentu. Meski
sudah ada nota kesepahaman terkait penggunaan video conference perkara pidana,
terutama untuk pemeriksaaan saksi, namun ketersediaan perangkat elektronik di
masing-masing instansi, posisi terdakwa, dan keberadaan pihak terkait (saksi)
belum merata dan memadai.6

Pelaksanaan persidangan online ini berpotensi dapat mengganggu prinsip


fair trial (peradilan jujur dan adil), jika infrastruktur untuk mendukung peradilan
online yang kurang memadai dan juga potensial mengurangi keabsahan dalam
proses pembuktian. Selain itu antara hakim, jaksa, terdakwa, penasihat hukum dan
saksi tidak dalam satu ruangan yang sama. Potensi untuk terjadinya tekanan yang
dilakukan dari berbagai pihak dari proses persidangan ataupun pembuktian akan
memungkinkan terjadi.

Pada pasal 154 KUHAP meskipun tidak secara eksplisit disebutkan bahwa
Terdakwa wajib hadir dalam persidangan. Namun dari ketujuh ayat pada Pasal
154 KUHAP menegaskan bahwa Terdakwa sepatutnya hadir dan tidak
diperbolehkan untuk diwakili dalam persidangan berdasarkan surat panggilan oleh
Jaksa Penuntut Umum.7 KUHAP tidak memperbolehkan proses peradilan in
absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat hal ini dapat di
lihat pada Pasal 154 ayat (4) KUHAP.8 Asas kehadiran terdakwa ini biasa dikenal
dalam tindak pidana khusus seperti pada tindak pidana korupsi dan tindak pidana

6
Hamidah Abdurrachman, “Legalitas Persidangan Online Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia”, Univeritas Bung Hatta, https://hukum.bunghatta.ac.id, diakses tanggal 15 Juli
2020.
7
Pasal 152 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
8
Aristo M.A. Pangaribuan, Arsa Mufti, dan Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2017, hlm. 245.

4
ekonomi. Asas kehadiran terdakwa ini memiliki sebutan lain yakni ius singular,
ius speciale, atau bizonder strafrecht.9 Selain itu asas kehadiran terdakwa ini
berhubungan dengan asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan.10

Di dalam Perma Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara


Elektronik mengatur mengenai administrasi perkara secara elektronik,
persidangan terhadap terdakwa, saksi, dan ahli, dan pemeriksaan barang bukti.
Jika dalam pelaksaan persidangan online ini mengalami kendala teknis maka
dalam hal agenda pembuktian pemeriksaan saksi dan/ atau ahli maupun
keterangan terdakwa dan alat bukti lainnya tidak dapat dilakukan secara
maksimal. Belum lagi penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan
terdakwa dan tidak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan/dusta
sehingga mempengaruhi prinsip pengungkapan kebenaran materiil dalam hukum
pidana.

1.2 Uraian Singkat atau Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka Penulis menguraikan


rumusan masalah yang terdiri dari:

1. Bagaimana sistem peradilan pidana secara elektronik di masa Pandemi


Covid-19?
2. Bagaimana efektivitas persidangan online dalam menyelesaikan perkara
pidana di masa Pandemi Covid-19?
3. Bagaimana eksistensi pembuktian pada perkara pidana dalam persidangan
online sistem peradilan Indonesia?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan:


1. Mengetahui tentang sistem dan tata cara dari persidangan elektronik (e-
court) di masa Pandemi Covid-19

9
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi,dan Putusan Pengadilan, Bandung: PT. Citra. Aditya Bakti, 2012, hlm. 16.
10
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm 25.

5
2. Mengetahui bagaimana efektivitas persidangan online dalam menyelesaikan
perkara pidana di masa Pandemi Covid-19
3. Mengetahui eksistensi dalam pembuktian pada perkara pidana dalam
persidangan online sistem peradilan Indonesia

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis


dan praktis sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan dapat membangun sumbangsih positif dalam


perkembangan sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya terhadap
persidangan elektronik (e-court) sebagai akibat dari adanya Pandemi Covid-
19.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan
secara luas dalam hukum pidana dimana yang terjadi di dalam sistem
peradilan pidana yang menerapkan persidangan elektronik (e-court) di masa
Pandemi Covid-19
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk
penyempurnaan dalam pelaksanaan persidangan online (e-court) dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia

1.4 Tinjauan Pustaka

Hani Adhani dalam artikel Mewujudkan E - Court, menjelaskan bahwa


secara garis besar E-court merupakan bagian dari upaya pengadilan untuk
memberikan akses kemudahan kepada masyarakat dan para pencari keadilan
(justice seeker), selain tentunya menjadikan pengadilan semakin transparan,
efektif dan efisien. Perma 1/2019 memperkenalkan istilah sistem informasi
pengadilan, yaitu seluruh sistem informasi yang disediakan oleh Mahkamah
Agung untuk memberi pelayanan terhadap pencari keadilan yang meliputi
administrasi, pelayanan perkara, dan persidangan secara elektronik.

Dengan demikian, dikeluarkanya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Perubahan Keempat Atas Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 serta Peraturan Mahkamah Agung

6
Nomor 4 Tahum 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di
Pengadilan Secara Elektronik merupakan pelengkap atas Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2019 Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan
Secara Elektronik yang telah ada sebelumnya oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia dalam mewujudkan reformasi di dunia peradilan Indonesia (Justice
reform) yang mensinergikan peran teknologi informasi dengan hukum acara
sebagai solusi di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum


yang timbul.11 Metode yang digunakan dalam karya ilmiah ini yaitu metode
penelitian hukum normatif, yaitu penelitian kepustakaan yang menggunakan 3
(tiga) bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Penelitian ini menitikberatkan pada studi kepustakaan yang dalam
pengkajiannya mengacu dan mendasarkan pada norma-norma, kaidah-kaidah
hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori atau doktrin
hukum, yurisprudensi, dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang relevan dengan
topik penelitian. Metode penelitian hukum normatif penulisan yang didasarkan
pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan
perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam
penulisan karya ilmiah ini. Adapun aturan yang digunakan yaitu SEMA No. 3
Tahun 2020, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 TAhun 2018, Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020, dan Pasal 154 KUHAP. Tipe penelitian
hukum normatif dinyatakan dengan merujuk kepada aturan tingkah laku lahiriah
seperti Undang-Undang, peraturan serta literatur yang berisi tentang konsep
secara teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang akan
dibahas.12

11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, Cetakan ke-8, 2013, hlm. 83.
12
Rosalia Dika Agustanti, “Penegakan Hukum Pelaku Perbuatan Cabul Dalam Putusan Bebas
Terhadap Perempuan”, Jurnal Yuridis, Volume 7, Nomor 1, 2020, hlm.30.

7
Pendekatan yang digunakan penulis yaitu Pendekatan Undang-Undang
(statute approach), pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua Undang-
Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani,13 serta Pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekatan ini
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di
dalam ilmu hukum. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
tersebut merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi
hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.14

Sumber bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini
meliputi peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan,
sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan seperti buku teks, karya tulis
ilmiah (skripsi dan tesis), jurnal hukum, doktrin-doktrin serta bahan lain yang
menunjang penelitian.

13
Ibid., hlm. 133.
14
Peter Mahmud Marzuki, op,cit, hlm. 134.

8
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Peradilan Pidana Secara Elektronik di Masa Pandemi Covid-19

Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum


pidana dan ahli dalam “criminal justice science” di amerika serikat hal ini di latar
belakangi dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak
hukum dan institusi penegak hukum. Mardjono reskodiputro menulis bahwa
proses peradilan pidana merupakan suatu rangkaian kesatuan (continum) yang
menggambarkan peristiwa yang maju secara teratur, mulai dari penyelidikan,
pengangkapan, penahanan, penuntutan, diperiksa oleh pengadilan, diputus oleh
hakim, dipidana dan akhirnya kembali ke masyarakat.15

Gambar 1. Persidangan Elektornik (e-court) oleh Pengadilan Negeri Kabupaten


Seragen, Jawa Tengah

15
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 134.

9
Seiring dengan berkembangnya teknologi saat ini dunia telah memasuki era
globalisasi dan Revolusi Industri 4.0 di mana proses komputerisasi dan digitalisasi
terjadi dan telah mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia, tak
terkecuali sistem hukum. Penggunaan sarana teleconference di dalam persidangan
di Indonesia atau dikenal dengan persidangan secara elektronik (e-court)
sebenarnya bukan merupakan hal yang mutlak baru. Dimana persidangan secara
elektronik (e-court) adalah serangkaian proses memeriksa dan mengadili perkara
oleh pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan
komunikasi. Apabila mengacu pada cara berpikir formal legalistik, teleconference
memang tampak tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 160 ayat (1) huruf a dan
Pasal 167 KUHAP yang menghendaki kehadiran saksi secara fisik di ruang
sidang. Namun, Majelis Hakim pada saat itu juga menimbang ketentuan Pasal 5
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti, dan
memahami dan mengejar kebenaran materiil dalam hukum pidana, aspek formal
hendaknya bisa ditinggalkan secara selektif.16

Perkembangan selanjutnya terkait persidangan virtual dapat ditemukan pada


ketentuan di luar KUHAP, beberapa ketentuan lex specialis ini nantinya turut
berkontribusi dalam melahirkan dasar hukum terkait persidangan secara virtual,
seperti dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
(UU SPPA) yang menyebutkan bahwa apabila anak korban dan/atau anak saksi
tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan,
Hakim dapat memerintahkan anak korban dan/atau anak saksi didengar
keterangannya melalui perekaman elektronik atau pemeriksaan langsung jarak
jauh dengan alat komunikasi audiovisual. Selanjutnya, Pasal 9 Ayat (3) Undang-
Undang No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang No. 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menerangkan bahwa

16
Dewi Rahmaningsih Nugroho, S.Suteki, “Membangun Budaya Hukum Persidangan Virtual
(Studi Perkembangan Sidang Tindak Pidana via Telekonferensi),” Jurnal Pembangunan
Hukum Indonesia, Volume 2, Nomor 3, 2020, hlm. 295-296.

10
saksi/korban dapat didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana
elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

Perkembangan selanjutnya lahir dari PERMA No. 1 Tahun 2019


Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, PERMA
ini dapat disimak sebagai upaya mengembangkan sistem e-court bagi institusi
pengadilan di bawah Mahkamah Agung untuk tetap memberikan pelayanan
hukum meskipun para pencari keadilan tidak hadir di pengadilan secara langsung.
Pemanfaatan e-court ini pada akhirnya bermuara pada pentingnya penerapan
virtual courts yang diadakan secara online tanpa perlu menghadirkan para pihak di
ruang persidangan.17

Lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2019 Administrasi Perkara dan


Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik tentu belum dapat digunakan sebagai
solusi yang paling tepat untuk menghadapi masalah yang saat ini sedang
berkembang karena peraturan tersebut masih terbatas bagi jenis perkara perdata,
perdata agama, tata usaha militer, dan tata usaha Negara.

Demi mengatasi hal tersebut dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah


Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Perubahan Keempat
Atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang
Berada Di Bawahnya serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahum 2020
Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara
Elektronik merupakan inovasi sekaligus komitmen oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia dalam mewujudkan reformasi di dunia peradilan Indonesia
(Justice reform) yang mensinergikan peran teknologi informasi dengan hukum
acara di kala pandemi Covid-19. Hal ini ditanggapi pula di lingkungan kejaksaan,
yang mana kejaksaan mengeluarkan Surat Jaksa Agung Republik Indonesia

17
Anggita Doramia Lumbanraja, “Perkembangan Regulasi Dan Pelaksanaan Persidangan Online
Di Indonesia Dan Amerika Serikat Selama Pandemi Covid- 19,” Jurnal Crepido, Volume 02,
Nomor 01, 2020, hlm. 47.

11
Nomor: B009/A/SUJA/03/2020 tanggal 27 Maret 2020 perihal optimalisasi
pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan ditengah upaya pencegahan
penyebaran Covid-19.

Mengacu pada pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020


Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara
Elektronik disebutkan bahwa: (2) dalam keadaan tertentu, baik sejak awal
persidangan perkara maupun pada saat persidangan perkara yang sedang
berlangsung, hakim/majelis hakim karena jabatannya atau atas permintaan dari
penuntut umum dan/atau terdakwa atau penasihat hukum dapat menetapkan
persidangan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maupun secara elektronik
dengan cara sebagai berikut:18

a. Hakim/Majelis Hakim, Panitera/Panitera Pengganti, dan Penuntut bersidang


di ruang sidang pengadilan, sementara Terdakwa mengikuti sidang dari
rutan tempat terdakwa ditahan dengan didampingi/tanpa didampingi
penasihat hukum;
b. Hakim/Majelis Haki, Panitera/Panitera Pengganti bersidang di ruang sidang
pengadilan, sementara Penuntut mengikuti sidang di kantor penuntut, dan
terdakwa didampingi/tanpa didampingi penasihat hukum mengikuti sidang
dari Rutan/Lapas tempat terdakwa ditahan;
c. Dalam hal tempat terdakwa ditahan tidak memiliki fasilitas khusus untuk
mengikuti sedang secara elektronik, terdakwa didampingi/tanpa didampingi
Penasihat Hukum mengikuti sidang dari kantor penuntut; atau
d. Terdakwa yang tidak ditahan dapat mengikuti sidang di ruang sidang
pengadilan atau dari kantor penuntut dengan didampingi/tanpa didampingi
penasihat hukum atau tempat lain di dalam atau di luar daerah hukum
pengadilan yang mengadili dan disetujui oleh hakim/majelis hakim dengan
penetapan.

18
Pasal 2, “Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahum 2020 Tentang Administrasi Dan
Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik”, Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2020, Nomor 1128.

12
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020
Tentang Perubahan Keempat Atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2020 mengatur tentang Persidangan Pengadilan selama pandemi Covid-19.
Meskipun Mahkamah Agung menerapkan E-litigatasi untuk menggantikan
persidangan secara konvensional yang menghadirkan para pihak di ruang
pengadilan, namun tidak semua persidangan dapat dilakukan dengan E-litigatasi.
Persidangan perkara pidana di Pengadilan Negeri, pidana militer di Pengadilan
Militer dan jinayat di Pengadilan Agama tetap dilaksanakan secara khusus apabila
dalam perkara tersebut Terdakwa sedang ditahan, sementara masa penahanannya
tidak dimungkinkan untuk diperpanjang lagi selama masa pandemi ini. Namun
dalam perkara di mana Terdakwanya secara hukum masa penahanannya masih
dimungkinkan untuk diperpanjang, maka persidangannya ditunda sampai
berakhirnya masa pandemi. Khusus mengenai perkara-perkara yang dibatasi
jangka waktu pemeriksaannya oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
Hakim diberi kewenangan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2020 untuk dapat menunda sidang pemeriksaannya meskipun telah melampaui
tenggang waktu pemeriksaan yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan.
Hakim mengeluarkan perintah kepada Panitera Pengganti agar mencatat dalam
Berita Acara Sidang adanya keadaan luar biasa yakni Kejadian Pandemi COVID-
19 ini.19

2.2 Efektivitas Persidangan Online dalam Menyelesaikan Perkara Pidana

di Masa Pandemi Covid-19

Penerapan persidangan online belum sepenuhnya semenjak diundangkannya


Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Skala
Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 dan pasca
diterbitkannya Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pada tanggal 31
Maret 2020.

19
Anggita Doramia Lumbanraja, Op. Cit., hlm. 50.

13
Pada keadaan pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, diselenggarakannya
sidang tindak pidana yang dilaksanakan secara daring melalui teleconference ini,
merupakan suatu inovasi dan terobosan yang tepat, namun harus terus
disempurnakan oleh Mahkamah Agung. Salus Populi Suprema Lex Esto yang
artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (Cicero) adigium tersebut
merupakan adigium yang sangat tepat jika dikaitkan sebagai dasar dalam
mengambil suatu kebijakan di tengah wabah Covid-19, sebab suatu hukum yang
ditetapkan dan diberlakukan harus dapat benar-benar memayungi hukum
masyarakat pencari keadilan.

Gambar 2. Dilema yang Terjadi dalam Persidangan Elektronik (e-court) dalam


Menyelesaikan Perkara Pidana

Terdapat beberapa kendala baik dari internal maupun eksternal. Dimana


kendala internal terdapat di dalam badan peradilan adalah sumber daya manusia,
sarana prasarana, pembiayaan dan penyediaan jaringan internet yang memadai
turut andil dalam hal ini. Dari faktor eksternal yakni dari masyarakat, secara
mental masyarakat di Indonesia masih belum siap dan mampu menghadapi proses
digitalisasi. Penggunaan smartphone, dan aplikasi media sosial memang sudah
massif digunakan di berbagai kalangan masyarakat. Namun masyarakat belum
seluruhnya mengetahui dan siap menggunakan aplikasi-aplikasi yang

14
berhubungan dengan aspek penting dalam kehidupannya, salah satunya aplikasi e-
litigation untuk memberikan pelayanan hukum bagi para pencari keadilan.20

Hadirnya berbagai ketentuan terkait persidangan virtual tersebut, dengan


demikian telah memunculkan perdebatan baik pada level teoritis maupun pada
asas praktis. Pada level teoritis terdapat beberapa kelemahan yuridis prosedural
berbentuk disharmoni antara peraturan mengenai sidang teleconferece dengan
KUHAP, beberapa problem tersebut dapat diinventarisir sebagai berikut:21

1) Lokasi sidang, Persidangan secara teleconference telah merubah domain


persidangan, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 230 ayat (1) dan (2)
KUHAP menerangkan bahwa sidang pengadilan dilangsungkan di gedung
pengadilan dalam ruang sidang, Hakim, Penuntut Umum, Penasihat Hukum
dan Panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-masing.
Ketentuan mengenai ruang sidang diperinci lagi secara fisik dalam
ketentuan Pasal 230 ayat (3) KUHAP;
2) Kehadiran saksi, berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 160 ayat (1)
KUHAP pemanggilan saksi memiliki prosedurnya sendiri, yakni dipanggil
ke ruang sidang secara berurutan;
3) Kehadiran terdakwa, ketentuan yang mengatur kehadiran terdakwa dalam
Pasal 154 dan 196 KUHAP yang secara umum berarti kewajiban untuk
hadir secara fisik hadir. Hal ini juga dapat dijumpai pada Pasal 12 UU
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Pengadilan memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali
undang-undang menentukan lain;
4) Keterbukaan sidang untuk umum, berdasarkan Pasal 195 KUHAP, semua
putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Hal ini juga dipertegas melalui
Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan
semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali

20
Ibid., hlm. 52.
21
Dewi Rahmaningsih Nugroho dan S.Suteki, Op.Cit., hlm. 298-299.

15
undang-undang menentukan lain dan putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.

Dengan demikian, persidangan secara virtual telah membawa perubahan


besar terkait penyelenggaraan persidangan secara empiris.

2.3 Eksistensi Pembuktian Pada Perkara Pidana dalam Persidangan

Online Sistem Peradilan Indonesia

Dalam konteks hukum acara pidana, pembuktian merupakan inti


persidangan perkara pidana karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah
kebenaran materiil, yang menjadi tujuan pembuktian adalah benar bahwa suatu
tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara/ketentuan-
ketentuan pembuktian sebagaimana diatur dalam undang-undang. Pembukian
yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan sesuai dengan
prosedur/cara-cara yang berlaku dalam hukum pembuktian.22

Dalam perkara pidana terdapat 5 (lima) alat bukti yang sah berdasarkan
Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa dan petunjuk. Kemudian ada
tambahan alat bukti baru yang diakui berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu alat bukti elektronik
(electronic evidence).

Terkait dengan pemeriksaan saksi dan/atau ahli dalam proses pembuktian


perkara pidana dipersidangan online maka diatur sebagaimana hal berikut:23

1) Jika dalam keadaan tertentu, maka Hakim/Majelis Hakim dapat penetapkan


pemeriksaan saksi dan/ atau ahli yang berada di:

22
Hanafi, Reza Aditya Pamuji, “Urgensi Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Berdasarkan Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia”, Jurnal Al’Adl, Volume 10 Nomor 1, 2019, hlm. 84.
23
Pasal 11 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020
Tentang Adminstrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.

16
a. Kantor penuntut dalam daerah hukumnya;
b. Pengadilan tempat Saksi dan/atau Ahli berada apabila yang bersangkutan
berada di dalam dan di luar daerah hukum pengadilan yang
menyidangkan perkara;
c. Kedutaan/konsulat jenderal Republik Indonesia atas
persetujuan/rekomendasi Menteri Luar Negeri, dalam hal saksi/ahli
berada di luar negeri; atau
d. Tempat lain yang ditentukan oleh Hakim/Majelis Hakim.
2. Pemeriksaan saksi yang identitasnya menurut hakim/majelis hakim wajib
dirahasiakan, maka fitur video dalam tampilan aplikasi pelaksanaan sidang
tersebut harus dinonaktifkan dan suaranya harus disamarkan. Atau
mendengarkan keterangan saksi tersebut tanpa dihadiri oleh terdakwa.24

Terkait dengan pemeriksaan terdakwa sebagaimana diatur dalam Perma


tersebut diatur mengenai hal-hal berikut, yaitu:25

1. Pemeriksaan terdakwa dilakukan diruang sidang sesuai dengan ketentuan


Hukum Acara.26
2. Dalam pemeriksaan terdakwa pada sidang yang dilakukan secara elektronik,
maka dilakukan hal berikut:27
a. Terdakwa yang berada dalam tahanan didengar keterangannya dari
tempat ia ditahan dengan didampingi/tidak didampingi oleh penasihat
hukum;
b. Terdakwa yang berada dalam tahanan, tetapi tempat terdakwa ditahan
tidak memiliki fasilitas untuk sidang elektronik, didengar keterangannya
dari kantor penuntut; atau

24
Pasal 12 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Adminstrasi dan
Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.
25
Pasal 13 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Adminstrasi dan
Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.
26
Pasal 13 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Adminstrasi dan
Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.
27
Pasal 13 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Adminstrasi dan
Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.

17
c. Apabila terdakwa tidak ditahan, didengar keterangannya di pengadilan,
kantor penuntut, atau tempat lain yang ditentukan oleh Hakim/Majelis
Hakim melalui penetapan.
3. Apabila terdakwa tidak ditahan, ketua/kepala pengadilan tempat terdakwa
didengar keterangannya menyediakan fasilitas persidangan secara elektronik
serta menunjuk 1 orang Hakim dan 1 orang Panitera/Panitera Pengganti
tanpa menggunakan atribut persidangan untuk mengawasi jalannya
pemeriksaan Terdakwa.28

Berdasarkan ketentuan dalam Perma tersebut diatas, maka berkaitan dengan


keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa pada sidang yang
dilakukan secara online pada dasarnya tetap mengikuti ketentuan dalam hukum
acara pidana dan memiliki nilai atau kekuatan pembuktian yang sama dengan
sidang yang dilakukan secara offline walaupun tidak diatur secara khusus oleh
KUHAP.

Apabila mengacu pada cara berfikir formal-legalistik, maka teleconference


memang tampak tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 160 ayat (1) huruf a dan
Pasal 167 KUHAP yang menghendaki kehadiran saksi secara fisik di ruang
sidang. Namun, Majelis Hakim pada saat itu juga menimbang ketentuan Pasal 5
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti, dan
memahami dan mengejar kebenaran materiil dalam hukum pidana aspek formal
hendaknya bisa ditinggalkan secara selektif.29

Akan tetapi yang menjadi catatan dan perlu diperhatikan adalah sidang
secara online ini sering menimbulkan kendala teknis, seperti sistem jaringan
internet yang tidak stabil, suara dan/atau gambar yang tidak jelas, dan sebagainya.
Hal ini tentu membuat proses pembuktian menjadi tidak maksimal dan berpotensi
mengganggu prinsip fair trial yaitu peradilan yang jujur dan adil. Dengan kata
lain diperlukannya strategi-strategi dalam pembenahan persidangan online baik

28
Dewi Rahmaningsih Nugroho dan S.Suteki, Op.Cit., hlm. 296.
29
Anggita Doramia Lumbanraja, Op.Cit., hlm. 53.

18
dengan melakukan kajian dari segi anggaran dalam rangka menunjang penguatan
aset dan fasilitas terhadap penyelenggaraan Persidangan Pidana Daring dan juga
melakukan evaluasi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pelaksanaan BIMTEK
khusus di bidang IT30 mendukung diterbitkannya aturan terbaru mengenai
Standarisasi persidangan online agar proses persidangan online berjalan tanpa
kendala berarti mulai dari tahap pembacaan dakwaan, pemeriksaan saksi-saksi,
pemeriksaan terdakwa, pembacaan tuntutan, sampai pembacaan putusan. Sebab,
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengakomodasi
pemeriksaan persidangan melalui daring.31

Berbagai macam problem terkait dengan pelaksanaan sidang pidana online


dapat berakibat pada turunnya kualitas persidangan. Turunnya kualitas
persidangan berkaitan erat dengan transparansi dan akuntabilitas persidangan,
karena pihak- pihak yang harusnya bisa saling kroscek atas pada saat pembuktian
terhambat oleh kendala teknis. Hal ini tentu juga beresiko pada turunnya kadar
kualitas pembuktian.

Kualitas pembuktian tentu sangat penting untuk dijaga agar apa yang
dihasilkan dari proses pembuktian menjadi valid dan memenuhi sifat kebenaran
materiil sebagaimana yang menjadi tujuan dari penegakkan hukum pidana. Jika
tidak bisa dipastikan kualitas pembuktiannya maka akan sangat berbahaya, karena
bisa jadi hakim akan salah dalam mengambil putusan yang merugikan terdakwa
maupun keadilan masyarakat pada umumnya.

Untuk dapat mengukur terkait dengan kualitas pembuktian khususnya dalam


pemeriksaan perkara pidana secara elekronik maka dapat ditinjau dari parameter-
paramter pembuktian. Parameter pembuktian terdiri dari: pertama, pelaksanaan
prinsip/teori pembuktian (bewijstheorie); kedua, alat-alat bukti (bewijdmiddelen);

30
Anggi Astari Amelia Putri, Dahlan Ali, “Keabsahan Pembuktian Perkara Pidana Dalam Sidang
yang Dilaksanakan Via Daring (Video Conference) Dalam Masa Pandemi Covid-19”, Syiah
Kuala Law Journal : Volume 4, Nomor 3, 2020, hlm. 263.
31
Dian Cahyaningrum, “Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19”, Jurnal
Hukum, Volume XII, No.14/II/Puslit, 2020, hlm. 264.

19
ketiga, penyampaian alat-alat bukti (Bewijsvoering); keempat, beban pembuktian
(bewijslast); dan kelima; kekuatan pembuktian (bewijskracht).32

Terdapat 2 (dua) poin terkait dengan sistem pembuktian berdasarkan Pasal


183 KUHAP, pertama, digunakannya alat-alat bukti secara limitatif dalam proses
pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP; Kedua, digunakannya
keyakinana hakim (conviction) dalam proses pembuktian. Dua point tersebut
harus dijalankan secara kumulatif, artinya adanya suatu putusan harus didasarkan
pada alat-alat bukti yang sudah ditentukan secara limitative dalam undang-undang
dan dengan alat bukti tersebut hakim mendapatkan keyakinan.

Proses untuk mendapatkan keyakinan hakim menjadi bagian penting dan


krusial dalam proses pembuktian. Bahkan, penuntut umum dalam menghadirkan
alat bukti maupun penasehat hukum dalam menghadirkan bukti tandingan
(counter proof) pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keyakinan hakim atas
dalil-dalil yang disampaikan. Keyakinan hakim sendiri dapat dicapai jika seorang
hakim mendapatkan informasi yang cukup terkatit dengan perkara yang ada
dihadapannya.

Hakekat keyakinana hakim dalam pemeriksaan pidana tidak bisa dilepaskan


dari dasar moralitas hakim dalam mencapai keadilan. Artinya bahwa keadilan itu
letaknya tidak saja pada bukti-bukti yang secara fisik dapat dihadirkan, melainkan
juga pada aspek sensitivitas moral hakim dalam menerima, memeriksa, dan
memutus suatu perkara pidana. Hal inilah kiranya yang menjadikan hakim sebagai
sosok yang mulia dan tempat mengadukan segala macam ketidakadilan.

Selain itu sisi penting dari keyakinan hakim adalah sebagai sarana kontrol
atas segala macam fakta-fakta dipersidangan. Dalam persidangan pidana hakim
tidak cukup hanya disuguhi alat alat bukti beserta penjelasan-penejalasannya,
lebih dari itu hakim harus mencermati betul-betul tentang alat-alat bukti tersebut
dan menghubungkan dengan seluruh fakta-fakta yang ada dalam persidangan.

32
Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta: Erlangga, 2012, hlm. 15.

20
Dalam pelaksanaan sidang secara biasa (langsung) hakim dapat memperoleh
informasi baik yang secara jelas dikemukakan sebagai alat bukti maupun
mencermati dan memperhatikan seluruh fakta-fakta dalam persidangan. Selain itu
dalam persidangan pidana hakim juga akan bersifat aktif dalam melakukan proses
pembuktian. Situasi tidak memungkinkannya persidangan langsung (dimuka
pengadilan) menjadi dilema tersendiri. Terlebih dengan berbagai kendala/problem
yang berpotensi mengganggu jalannya persidangan. Terganggunya proses
persidangan tentu juga akan berpengaruh dalam menghadirkan keyakinan hakim
itu sendiri.

Berkaitan dengan keyakinan hakim maka dalam teori sistem pembuktian


keyakinan hakim tidak boleh berdiri sendiri melainkan harus bersumber pada alat-
alat bukti atau minimal dua alat bukti yang sah menurut KUHAP, sekalipun
hakim diberikan kewenangan subjektif untuk menilai apakah seseorang itu
bersalah atau tidak. Apabila hakim mendasarkan putusannya hanya kepada
keyakinannya semata, maka disitulah ketidakpastian hukum dan kesewenang-
wenangan terjadi.33

Sistem Conviction In Time ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya


terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan sepenuhnya tergantung pada
penilaian keyakinan hakim semata-mata. Sehingga bersalah tidaknya terdakwa
sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim.34

Ada beberapa konsekuensi jika secara subyektif hakim tidak secara penuh
memiliki keyakinan atas suatu perkara. Pertama, hakim akan memutus hanya
berdasarkan pemeriksaan alat bukti, yang dengan demikian berarti mereduksi
implementasi pada penerapan sistem pembuktian negative (negative wettelijk
bewijs theory). Kedua, hakim akan mengambil putusan yang paling meringankan
bagi terdakwa berdasarkan prinsip indubio prorero.

33
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 2015, hlm. 2
34
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 241.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Proses peradilan pidana merupakan suatu rangkaian kesatuan (continum)


yang menggambarkan peristiwa yang maju secara teratur, mulai dari penyelidikan,
pengangkapan, penahanan, penuntutan, diperiksa oleh pengadilan, diputus oleh
hakim, dipidana dan akhirnya kembali ke masyarakat. Persidangan secara
elektronik menjadi alternatif solusi untuk mencegah Covid-19 di MA dan badan
peradilan di bawahnya. Dengan adaya SEMA No. 1 Tahun 2020, hakim dan
aparatur peradilan dapat menjalankan tugas kedinasan dengan WFH termasuk
dalam pelaksanaan persidangan yang dapat dilakukan secara elektronik baik untuk
perkara perdata maupun pidana. Namun ada kendala substantif dan teknis dalam
melakukan persidangan.

Persidangan yang dilaksanakan secara daring ini merupakan bukti nyata dari
pertanggungjawaban MA terhadap publik mengenai pemberian pelayanan yang
cepat, sederhana, dan akurat tanpa menunda atau menghambat masyarakat dalam
memperoleh dan mengakses keadilan. Karena, bagi Mahkamah Agung “Justice
Delayed, Justice Denied” yang memiliki makna bahwa jika suatu keadilan
tertunda maka sama seperti tidak adanya keadilan.

Kualitas pembuktian pada persidangan pidana elektronik akan bisa dijaga


dengan baik jika pelaksanaan persidangan elektronik tetap menjunjung tinggi
prinsip doe process of law. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa
persidangan pidana secara elektronik harus dapat menjamin dan memastikan
adanya persidangan yang transparan dan akuntabel dengan meminimisir seluruh
resiko serta problem krusial khususnya pada proses pembuktian.

22
3.2 Saran

1. Dengan terjadinya Covid-19 ini, penyelenggaraan persidangan secara daring


merupakan inovasi dan kebijakan yang tepat dikarenakan keselamatan
rakyat jauh lebih penting dan utama di atas semuanya.
2. Untuk pembentuk undang-undang agar segera mengamandemen Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai persidangan online guna
memperjelas dan tidak terjadi tumpeng tindih aturan hukum.
3. Diharapkan persidangan online dapat diterapkan dalam hal apapun tidak
terkecuali pada masa pandemi Covid-19, karena persidangan online sangat
efektif dan efisien sehingga mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana
dan biaya ringan dan tidak berdampak pada objektivitas Hakim dalam
menjatuhkan putusan.
4. Untuk lembaga penegak hukum agar memperbaiki sarana prasarana guna
menunjang persidangan online.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Pangaribuan, Aristo M.A, Arsa Mufti, dan Ichsan Zikry. Pengantar Hukum Acara
Pidana di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo. 2017.

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Khusus


Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi,dan Putusan Pengadilan. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti. 2012.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Edisi Revisi. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group. Cetakan ke-8. 2013.

Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita. 2015.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Hiariej, Eddy O.S. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga. 2012.

Artikel Jurnal

Purnama, Panji. “Penerapan E-Court Sebagai Salah Satu Cara Mewujudkan


Integrated Judiciary pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia”. Tesis
Magister Universitas Indonesia. Jakarta. 2021.

Anggraeni, RR. Dewi. “Wabah Pandemi Covid-19, Urgensi Pelaksanaan Sidang


Secara Elektronik”. ADALAH: Buletin Hukum dan Keadilan. Volume 4,
Nomor 1, 2020.

Agustanti, Rosalia Dika. “Penegakan Hukum Pelaku Perbuatan Cabul Dalam


Putusan Bebas Terhadap Perempuan”. Jurnal Yuridis. Volume 7, Nomor 1.
2020.

24
Nugroho, Dewi Rahmaningsih, S.Suteki. “Membangun Budaya Hukum
Persidangan Virtual (Studi Perkembangan Sidang Tindak Pidana via
Telekonferensi)”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia.Volume 2,
Nomor 3. 2020.

Lumbanraja, Anggita Doramia. “Perkembangan Regulasi Dan Pelaksanaan


Persidangan Online Di Indonesia Dan Amerika Serikat Selama Pandemi
Covid- 19”. Jurnal Crepido. Volume 02, Nomor 01. 2020.

Hanafi, Reza Aditya Pamuji. “Urgensi Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti
Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”. Jurnal Al’Adl. Volume
10 Nomor 1. 2019.

Putri, Anggi Astari Amelia, Dahlan Ali. “Keabsahan Pembuktian Perkara Pidana
Dalam Sidang yang Dilaksanakan Via Daring (Video Conference) Dalam
Masa Pandemi Covid-19”. Syiah Kuala Law Journal. Volume 4, Nomor 3.
2020.

Cahyaningrum, Dian. “Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-


19.” Jurnal Hukum. Volume XII, No.14/II/Puslit. 2020.

Internet

Ditjenmiltun Mahkamah Agung RI. “Era Baru Beracara di Pengadilan”.


https://www.pt-bengkulu.go.id/berita/e-court-era-baruberacara-di-
pengadilan, di akses pada tanggal 18 Oktober 2020.

Hamidah Abdurrachman. “Legalitas Persidangan Online Dalam Sistem Peradilan


Pidana Indonesia”. Univeritas Bung Hatta. https://hukum.bunghatta.ac.id,
diakses tanggal 15 Juli 2020.

25
Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Adminstrasi dan


Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.

26

Anda mungkin juga menyukai