Anda di halaman 1dari 17

CHAPTER 6

COURAGE AND MORAL LEADERSHIP

Dosen: Jefri Lukito, S.E, M.M


Kelas: SDM403/F

Kelompok 6:
Vania Putri – 201850443
Claresta – 201850450
Yongki Kwan – 201850472
Christine Setiawanie – 201850485

JURUSAN AKUNTANSI
TRISAKTI SCHOOL OF MANAGEMENT
JAKARTA
2021
6.1 Moral Leadership Today
Banyak perusahaan di Amerika yang dulunya dihormati, namun sekarang malah
identik dengan keserakahan, penipuan, kecongkakan, atau lack of moral conscience
(kurangnya moral hati nurani). Meskipun saat ini kasus pelanggaran etika di organisasi sudah
mulai jarang terdengar, namun masih banyak pemimpin di luar sana yang meskipun
menduduki posisi tinggi di perusahaan, tetapi memiliki perilaku yang tidak etis atau tidak
bermoral. Contohnya saja Brian Dunn dari Best Buy dan Mark Hurd dari Hewlett-Packard
yang akhirnya mengundurkan diri secara tidak terhormat karena memiliki hubungan yang
tidak pantas dengan karyawan wanita yang bekerja di perusahaan tersebut. Selain itu, ada
juga CEO Yahoo bernama Scott Thompson yang mengundurkan diri meskipun baru
menjabat selama 4 bulan karena ketahuan memalsukan identitas dirinya dengan
menyatakan bahwa dirinya memiliki gelar ilmu komputer, meskipun dalam kenyataannya
Scott tidak memiliki gelar tersebut. Kemudian, contoh lainnya datang dari sebuah organisasi
nirlaba, Wyckoff Heights Medical Center yang terletak di salah satu lingkungan termiskin di
Brooklyn, Amerika Serikat. Sebuah investigasi terkait organisasi ini mengungkapkan bahwa
ternyata banyak terjadi kecurangan yang akhirnya menguntungkan para manajer, anggota
dewan dan politisi lokal. Hal ini membuat organisasi Wyckoff Heights Medical Center
terancam ditutup. Hal ini berdampak pada keterbatasan pilihan perawatan atau pusat
pelayanan kesehatan bagi orang miskin.

6.1.1 The Ethical Climate in Business


Para pemimpin sering kali menghadapi banyak tekanan yang menantang diri mereka
untuk tetap bersikap benar dalam keadaan sulit sekalipun. Tantangan yang paling sulit bagi
para pemimpin untuk dilawan ialah kelemahan pribadi (personal weakness) dan keinginan
pribadi (self-interest). Hal ini lebih sulit ketimbang dengan korupsi. Tekanan untuk
memotong biaya, meningkatkan keuntungan, memenuhi permintaan vendor atau mitra
bisnis, dan terlihat sukses dapat berkontribusi pada etika penyimpangan. Contohnya, ketika
terjadi krisis, banyak manajer perusahaan yang memberikan ataupun memaparkan data
yang tidak benar atau tidak sesuai dengan yang seharusnya untuk mempertahankan bisnis
mereka atau untuk mendapatkan izin tertentu seperti peminjaman uang, dan sebagainya.
Hal ini hanya akan membuat keadaan yang ada semakin buruk.
Tantangan lainnya yaitu adanya tekanan untuk selalu menyenangkan para pemegang
saham yang akhirnya dapat menyebabkan beberapa manajer berperilaku tidak etis kepada
pelanggan, karyawan dan masyarakat luas. Manajer memiliki tekanan yang besar dalam
memenuhi tujuannya untuk menghasilkan keuntungan (laba) jangka pendek. Sehingga,
beberapa dari mereka menggunakan tipu muslihat akuntansi atau teknik lain untuk
menunjukkan pengembalian (return) yang memenuhi ekspektasi pasar daripada
menunjukkan keadaan yang sebenarnya yang mencerminkan kinerja perusahaan tersebut.
Semua pemimpin ingin dilihat bahwa organisasi yang mereka pimpin itu sukses, sehingga
terkadang mereka melakukan hal yang salah agar dilihat baik oleh orang lain. Yang menjadi
pertanyaannya adalah, apakah para pemimpin berani dan memiliki ketahanan untuk tetap
melakukan hal yang benar meskipun ada banyak sekali tekanan baik itu dari dalam maupun
dari luar? Richard Tedlow pernah berkata bahwa “Life is lived on a slippery slope” dan “It
takes a person of character to know what lines you don’t cross.”

6.1.2 Leaders Set the Ethical Tone


Para pemimpin bertanggung jawab untuk menjadi contoh bagi anggotanya, karena
hal itu dapat menjadi standar untuk seluruh organisasi. Dalam sebuah studi terhadap
perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune 100, 40 persen perusahaan
ditemukan telah terlibat dalam aktivitas yang mungkin dilakukan dianggap tidak etis. Ketika
ditelusuri, hal ini terjadi karena adanya kegagalan para pemimpin perusahaan (top
executive) dalam menegakkan dan menjalankan standar etika yang tinggi. Pemimpin
memikul tanggung jawab yang luar biasa dalam mengatur etika yang ada di perusahaan dan
bertindak sebagai teladan positif bagi anggotanya. Sehingga, apabila pemimpin bertindak
dengan prinsip yang tidak baik (egois, serakah, dsb.), maka anggotanya akan berperilaku
seperti hal tersebut dan menganggap itu tidak apa-apa.
Exhibit 6.1 menunjukkan perbandingan kepemimpinan yang etis dan tidak etis.
Perilaku yang tercantum di kolom 1 berkontribusi pada iklim organisasi yang dipercaya, adil,
dan melakukan hal yang benar. Kolom 2 mencantumkan perilaku yang berlawanan, yang
berkontribusi pada iklim yang matang untuk pelanggaran etika dan hukum. Pemimpin etis
tidak disibukkan dengan kepentingannya sendiri. Mereka tetap fokus pada karyawan,
pelanggan, dan kebaikan bersama daripada mengambil setiap kesempatan hanya untuk
memuaskan kepentingan pribadi, menjadi serakah, ataupun bersikap egois. Pemimpin yang
tidak etis biasanya lebih memperhatikan keuntungan untuk diri mereka sendiri bukan untuk
perusahaan atau masyarakat luas.
Kemudian, di Exhibit 6.1 juga menunjukkan bahwa pemimpin etis jujur dengan
karyawan, mitra, pelanggan, vendor, dan pemegang saham. Mereka berjuang untuk
keadilan dan bertindak hati-hati karena menghormati kesepakatan atau komitmen yang
telah mereka buat dengan orang lain. Sebaliknya, pemimpin yang tidak etis sering
melakukan penipuan. Dalam survei USA Today beberapa tahun lalu, 82 persen CEO
mengatakan bahwa mereka berbohong tentang skor golf mereka. Tentu, ini hal yang kecil
(sederhana), tetapi sedikit demi sedikit, ketidakjujuran dapat menjadi gaya hidup seseorang
dan mempengaruhi gaya berbisnisnya. Selanjutnya, pemimpin etis cenderung berbagi pujian
dengan anggotanya atas kesuksesan yang dicapai dan menerima kesalahan ketika ada yang
salah, sedangkan pemimpin yang tidak etis sering mengambil pujian atas pencapaian
anggotanya dan menurunkan martabat orang lain dengan memperlakukannya secara tidak
sopan dan tidak hormat. Pemimpin etis membantu anggotanya dalam mengembangkan
potensi mereka dan memiliki peran dalam pengambilan keputusan, sedangkan pemimpin
tidak etis sering melihat anggotanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Terakhir, hal mendasar yang perlu dilakukan oleh seorang pemimpin dalam
menciptakan suatu organisasi yang etis ialah berani menentang tindakan yang mereka
yakini itu salah atau tidak baik untuk dilakukan. Jadi, jika seorang pemimpin mengetahui
seseorang diperlakukan dengan tidak adil oleh rekannya dan tidak melakukan apa-apa,
pemimpin tersebut memberikan contoh kepada orang lain untuk berperilaku tidak adil juga.
Sehingga, anggota lain dengan standar etika yang lemah merasa bebas untuk bertindak
sesuai pilihan mereka.
Selain itu, para pemimpin juga harus melawan kecenderungan orang "untuk melihat
apa yang ingin kita lihat, bukan melihat apa yang tidak ingin kita lihat, dan berharap masalah
akan hilang dengan sendirinya", kecenderungan tersebut membuat para pemimpin
mengambil keputusan "yang kemudian dilihat oleh orang lain sebagai pelanggaran etika
yang tidak dapat dimaafkan (tidak pantas untuk dibela)". Banyak pemimpin yang berbuat
demikian untuk melindungi organisasinya. Hal ini dapat menimbulkan resiko yang besar
karena pemimpin telah membiarkan tindakan yang tidak etis atau illegal terus berlangsung
di organisasi ataupun perusahaan yang dikelolanya. Berbagai kondisi ataupun alasan
seringkali membuat pemimpin sulit untuk membela apa yang benar, tetapi ini merupakan
sebuah tantangan dan cara untuk membangun lingkungan yang penuh dengan integritas.

6.2 ACTING LIKE A MORAL LEADER


Di organisasi lain, kebanyakan pemimpin mungkin lebih mengutamakan pencapaian
tujuan ekonomi daripada melakukan hal yang benar. Rata-rata, perusahaan yang mengalami
masalah etika biasanya memiliki pemimpin yang menjadikan pendapatan kuartalan dan
harga saham sebagai tujuan utama dalam bisnis mereka dan menjadi ukuran terpenting dari
kesuksesan organisasi yang mereka pimpin (atau bisa juga individu). Ketika para pemimpin
lupa bahwa bisnis juga terkait dengan nilai-nilai yang lain seperti sosial, budaya, etika
dsbnya, bukan hanya tentang kinerja ekonomi saja, organisasi dan masyarakat sekitar akan
merasa dirugikan.
Kepemimpinan moral tidak berarti mengabaikan untung dan rugi, harga saham,
biaya produksi, dan hal-hal yang terukur lainnya, namun tetap memperhatikan nilai-nilai
etika dan mengakui pentingnya makna kemanusiaan, kualitas, dan tujuan yang lebih tinggi.
Henry Ford pernah berkomentar mengenai etika buruk yang terjadi di dunia bisnis hingga
saat ini, katanya, "Sudah lama orang percaya bahwa satu-satunya tujuan industri adalah
untuk mendapatkan keuntungan. Mereka salah. Tujuannya adalah untuk melayani
kesejahteraan umum."
Terlepas dari kenyataan bahwa perusahaan identik dengan keserakahan, persaingan,
dan dorongan untuk mencapai tujuan dan keuntungan, pemimpin dapat mengambi
tindakan yang berdasarkan kepada nilai-nilai moral dan mendorong orang lain untuk
berkembang dan menggunakan nilai moral serta mematuhi standar etika perilaku yang ada
di tempat kerja. Pemimpin harus menunjukkan komitmennya dalam menjunjung tinggi etika
dengan menjadi contoh melalui perkataan maupun perbuatan, karena seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa karyawan (anggota) belajar mengenai nilai-nilai yang penting
dengan memperhatikan pemimpinnya.

Exhibit 6.2 menunjukkan beberapa cara khusus yang dapat digunakan oleh
pemimpin dalam menciptakan lingkungan yang memungkinkan dan mendorong orang untuk
berperilaku etis. Penting bagi pemimpin untuk menciptakan sistem dan kebijakan yang
mendukung perilaku etis di organisasi atau perusahaannya, seperti membuat kebijakan
open-door untuk mendorong setiap anggotanya agar mampu mengatakan hal apapun tanpa
rasa takut, kemudian menetapkan kode etik yang jelas, menghargai perilaku etis, dan tidak
menunjukkan toleransi terhadap pelanggaran. Banyak perusahaan yang telah
mempekerjakan high-level chief compliance officers untuk menjaga ketertiban manajer dan
karyawan perusahaan. Sebagian besar perusahaan juga telah menetapkan kode etik untuk
memandu perilaku karyawan atau daftar nilai- nilai yang diharapkan dihormati oleh
karyawan.
Selain itu juga, yang terpenting ialah para pemimpin mampu mengartikulasikan dan
menjunjung tinggi standar etika, dan berperilaku sesuai dengan moral meskipun tidak ada
yang melihat. Jika para pemimpin melanggar aturan atau berperilaku tidak bermoral ketika
mereka pikir bahwa tidak ada yang melihat dan tidak mungkin tertangkap, pada akhirnya
pemimpin beserta anggotanya akan dirugikan. Ada banyak perusahaan yang lebih sukses
tidak hanya dari segi ekonomi saja, karena menjunjung tinggi perilaku etis dibandingkan
dengan perusahaan yang tidak melakukan hal tersebut.
6.3 BECOMING A MORAL LEADER
Kepemimpinan tidak hanya seperangkat praktik benar salah tanpa asosiasi. Semua
praktik kepemimpinan dapat digunakan untuk kebaikan atau kejahatan dan memiliki
dimensi moral. Pemimpin memilih apakah akan bertindak dari keegoisan dan keserakahan
untuk merendahkan orang lain atau berperilaku dengan cara yang membantu memotivasi
orang lain untuk mengembangkan potensi mereka sebagai karyawan dan sebagai manusia.
Kepemimpinan moral (moral leadership) adalah tentang membedakan mana yang benar dan
salah, melakukan yang benar, mencari perilaku yang adil, jujur, baik, dan benar dalam
mencapai tujuan dan sasaran. Kepemimpinan yang tidak bermoral (Immoral Leadership)
mengambil alih dari orang lain untuk meningkatkan diri.
Pemimpin biasanya mengetahui mana yang benar, pertanyaannya adalah bagaimana
mereka memilih untuk menindaklanjutinya dan apa kekuatan internal serta kebijakan
eksternal dan proses yang ada untuk memungkinkan mereka melakukan tindak lanjut agar
hal yang dilakukan benar. Salah satu karakteristik internal yang mempengaruhi kemampuan
seorang pemimpin dalam membuat pilihan moral adalah tingkat perkembangan moral
individu. Exhibit 6.4 menggambarkan ilustrasi satu model perkembangan moral pribadi.
Tiga tahap model perkembangan moral pribadi (Three Levels of Personal Moral

Development)
Preconventional Level
Individu bersikap egosentris, peduli dengan menerima penghargaan eksternal
dan menghindari hukuman. Mereka mematuhi otoritas dan mengikuti aturan untuk
menghindari konsekuensi pribadi yang merugikan atau memuaskan kepentingan
pribadi langsung. Orientasi dasar terhadap dunia adalah mengambil apa yang bisa
didapat. Seseorang dengan orientasi dalam posisi kepemimpinan ini akan cenderung
menjadi diktator terhadap orang lain dan menggunakan posisi tersebut untuk
kemajuan pribadi.
Conventional Level
Orang belajar menyesuaikan diri dengan harapan berperilaku baik
sebagaimana yang didefinisikan oleh rekan kerja, keluarga, teman, dan masyarakat.
Orang- orang pada level ini mengikuti aturan, norma, dan nilai-nilai dalam budaya
perusahaan. Jika aturannya adalah untuk tidak mencuri, menipu, membuat janji
palsu, atau melanggar undang-undang peraturan, seseorang pada level ini akan
berusaha untuk mematuhinya. Orang-orang di tingkat konvensional menganut
norma-norma sistem sosial yang lebih besar.
Postconventional Level
Kadang-kadang disebut sebagai tingkat berprinsip (Principled Level), para
pemimpin dibimbing oleh seperangkat prinsip terinternalisasi yang secara universal
diakui sebagai adil dan benar. Nilai-nilai yang diinternalisasi ini menjadi lebih penting
daripada harapan orang lain dalam organisasi atau komunitas.
Kebanyakan orang dewasa beroperasi pada level kedua dalam perkembangan moral,
dan beberapa belum melampaui level pertama. Hanya 20 persen orang dewasa Amerika
yang mencapai tingkat perkembangan moral ketiga, postconventional. Seorang pemimpin di
tingkat ini adalah visioner, memberdayakan, dan berkomitmen untuk membantu orang lain
dan menjalankan tujuan yang lebih tinggi. Para pemimpin ini secara imparsial dapat
menerapkan standar universal untuk menyelesaikan konflik moral dan menyeimbangkan
kepentingan pribadi dengan kepedulian terhadap orang lain dan untuk kebaikan bersama.
Penelitian secara konsisten menemukan hubungan langsung antara tingkat perkembangan
moral yang lebih tinggi dan perilaku yang lebih etis di tempat kerja, termasuk mengurangi
kecurangan, kecenderungan untuk menolong orang lain, dan pelaporan tindakan tidak etis
atau ilegal, yang dikenal sebagai whistleblowing.

6.4 SERVANT LEADERSHIP


Banyak pemikiran tentang kepemimpinan saat ini menyiratkan bahwa
kepemimpinan moral melibatkan pengikut berkembang menjadi pemimpin, dengan
demikian mengembangkan potensi mereka daripada menggunakan posisi kepemimpinan
untuk mengontrol atau membatasi orang. Pernyataan akhir dari pendekatan kepemimpinan
ini disebut Servant Leadership, yang paling baik dipahami dengan membandingkannya
dengan pendekatan lain. Exhibit 6.5 mengilustrasikan rangkaian pemikiran dan praktik
kepemimpinan.

Organisasi tradisional didasarkan pada gagasan bahwa pemimpin bertanggung jawab


atas bawahan dan keberhasilan organisasi bergantung pada kendali pemimpin atas
pengikut. Pada tahap pertama, bawahan bersifat pasif - tidak diharapkan untuk berpikir
sendiri tetapi hanya melakukan apa yang diperintahkan. Tahap kedua dalam rangkaian
kesatuan melibatkan bawahan secara lebih aktif dalam pekerjaan mereka sendiri. Tahap
ketiga adalah stewardship, yang mewakili perubahan signifikan dalam pola pikir dengan
memindahkan tanggung jawab dan otoritas dari pemimpin ke pengikut. Servant
Leadership mewakili tahap stewardship, di mana para pemimpin menyerahkan kendali dan
membuat pilihan untuk membantu karyawan. Sepanjang kontinum, fokus kepemimpinan
bergeser dari pemimpin ke pengikut.

6.4.1 Authoritarian Management


Pemahaman tradisional tentang kepemimpinan adalah bahwa pemimpin adalah
manajer yang baik yang mengarahkan dan mengendalikan orang-orangnya. Pengikut adalah
bawahan yang patuh yang mengikuti perintah. Pemimpin otokratis membuat keputusan dan
mengumumkannya kepada bawahan. Kekuasaan, tujuan, dan hak istimewa berada bersama
mereka yang berada di puncak organisasi. Pada tahap ini, para pemimpin menetapkan
strategi dan tujuan serta metode dan penghargaan untuk mencapainya. Stabilitas dan
efisiensi organisasi adalah yang terpenting, dan pengikut secara rutin dan dikendalikan
bersama dengan mesin dan bahan mentah. Bawahan tidak diberi suara dalam menciptakan
makna dan tujuan untuk pekerjaan mereka dan tidak ada kebijaksanaan tentang bagaimana
mereka melakukan pekerjaan mereka. Pola pikir kepemimpinan ini menekankan kontrol
top-down yang ketat, standardisasi dan spesialisasi karyawan, dan manajemen dengan
pengukuran dan analisis impersonal.

6.4.2 Participative Management


Sejak tahun 1980 an, banyak perusahaan yang telah mengusahakan agar para
karyawannya turut berperan aktif. Seorang pemimpin bisa meningkatkan partisipasi
karyawan melalui employee suggestion program, participation group, dan quality circle.
Walaupun sudah banyak program, kadang program tersebut tidak memberikan otoritas
apapun ke karyawan.

6.4.3 Stewardship
Stewardship adalah suatu kepercayaan dimana seorang pemimpin sangat
bertanggung jawab kepada orang lain begitu pula untuk perusahaan, tanpa mencoba untuk
mengontrol orang lain, mendefinisikan arti dan tujuan untuk orang lain, atau menjaga orang
lain. Ada 4 prinsip yang berkaitan dengan stewardship:
Adopt a partnership mindset
Sebagai mitra, pemimpin dan pengikut, kita harus jujur satu sama lain,
bertanggung jawab bersama untuk menentukan visi dan tujuan, dan saling
bertanggung jawab untuk hasil yang bermanfaat.

Give decision-making power and the authority to act to those closest to the work
and the customer
Di sini artinya, kita harus mengintegrasikan, mengatur, dan melakukan
pekerjaan, jadi setiap orang yang menjadi pemimpin, juga harus melakukan
pekerjaan inti dari perusahaan.
Tie rewards to contributions rather than formal positions
Jadi dengan adanya stewardship, setiap orang bisa mendapatkan kompensasi
yang sesuai dengan apa yang telah mereka kontribusikan, bukan hanya sekedar
jabatan formal.
Expect core work teams to build the organization
Jadi disini kita harus mengandalkan kerjasama dari tim karyawan untuk
mendefinisikan tujuan yang ada, mengontrol, dan mengatur diri mereka sendiri
untuk merespon perubahan lingkungan dan marketplace. Jadi seorang stewardship
leader menuntun perusahaannya tanpa bersikap mendominasi dan pemimpin
tersebut memfasilitasi pengikutnya tanpa mengontrol mereka.

6.4.4 The Servant Leader


Servant leadership adalah seorang pemimpin yang melayani kebutuhan orang
melebihi kepentingan dirinya sendiri, membantu orang lain bertumbuh dan berkembang,
dan menyediakan kesempatan untuk yang lain agar bisa mendapatkan keuntungkan secara
material dan emosional. Ada 4 persepsi dasar menurut Robert Greenleaf:
Put service before self-interest
Dalam pandangan ini, perusahaan ada untuk menyediakan pekerjaan yang
berarti bagi seseorang, seperti orang itu ada untuk melakukan pekerjaan bagi
perusahaan.
Listen First to affirm others
Seorang servant leader harus bisa mendengarkan secara otentik.
Inspire trust by being trustworthy
Servant leader membuat sebuah kepercayaan dengan mengerjakan apa yang
mereka katakan ingin lakukan, jujur ke yang lain, dan berfokus kepada kesejateraan
yang lain.

Nourish others and help them become whole


Servant leader peduli tentang pengikut dan percaya kepada potensi unik
dari masing-masing orang yang akan berdampak secara positif ke dunia. Prioritas
dari seorang servant leader adalah memberikan pelayanan ke karyawan, pelanggan,
pemegang saham, dan ke publik.

6.5 LEADING WITH COURAGE


Seorang pemimpin terkadan harus meraih ke dalam diri mereka untuk mencari
keberani dan kekuatan karakter untuk melayani yang lain, menahan godaan, berlaku dengan
baik dan lain-lain.

6.5.1 What is courage?


Courage adalah kekuatan mental dan moral untuk terlibat, menahan, dan mengatasi
bahaya, kesulitan, dan ketakutan.
Courage means accepting responsibility
Pemimpin membuat sesuatu hal yang berbeda dalam dunia ketika mereka
mau untuk melangkah dan mengambil tanggung jawab pribadi. Disaat yang lain
hanya membiarkan kehidupan berjalan dengan semestinya, tapi seorang pemimpin
akan membuat suatu hal tersebut terjadi.
Courage often means nonconformity
Suatu kepemimpinan yang berani artinya berani melawan arus, melawan
tradisi, mengurangi batasan, dan memulai perubahan. Seorang pemimpin akan
mengambil resiko yang besar.
Courage means pushing beyond the comfort zone
Mengambil suatu kesempatanartinya seorang pemimpin harus berani untuk
mendorong diri mereka melewati batas zona nyaman mereka. Ketika seseorang bisa
melewati batas zona nyaman mereka, mereka telah mengatasi suatu dinding
ketakutan dalam diri mereka.
Courage means asking of what you want and saying what you think
Seorang pemimpin harus berani untuk berbicara dan mengeluarkan apa yang
mereka mau dan mereka ingin sampaikan.
Courage means fighting for what you believe
Keberani artinya adalah kita berjuang untuk mendapatkan nilai hasil yang
bermanfaat. Pemimpin bisa mengambil resiko, tetapi mereka melakukan itu untuk
suatu tujuan yang tinggi.

6.5.2 How Does Courage Apply to Moral Leadership?


Sebagian besar orang-orang di dalam perusahaan memiliki keyakinan untuk tidak lagi
bertindak konvensional, untuk melangkah lebih maju, memegang tanggung jawab, dan
bertindak sesuai dengan apa yang mereka percaya itu benar. Maka dari itu, untuk
menyesuaikan dan mengendalikannya kita perlu memiliki keberanian moral individu.
Acting Like a Moral Leader Requires Personal Courage
Untuk mempelajari kepemimpinan moral, seorang pemimpin harus terlebih
dahulu memahami tentang diri mereka sendiri termasuk didalamnya kekuatan dan
kelemahan mereka, kepada siapa mereka mengabdi, dan memiliki sifat yang tidak
hanya terikat pada adat yang telah ada (fleksibel). Kepemimpinan moral juga berarti
bahwa Anda akan membangun hubungan dimana diperlukan kemampuan untuk
mendengarkan, mampu memahami pengalaman individu terhadap individu lainnya,
dan membuat diri Anda menjadi lebih mudah mendapat kritikan.
Opposing Unethical Conduct Requires Courage
Whistleblowing merupakan tindakan dimana karyawan melakukan
pengungkapan atas praktik ilegal, tidak bermoral, dan tidak etis yang terjadi dalam
perusahaan. Karyawan yang melakukan tindakan whistleblowing mempunyai risiko
yang tinggi atas hilangnya pekerjaan mereka, dikucilkan oleh rekan kerja, ataupun
bisa dipindahkan ke posisi yang tidak diinginkan.

6.5.3 Finding Personal Courage


Seorang pemimpin mampu untuk menemukan keberanian atas diri mereka sendiri
untuk menghadapi ketakutan dan kebingungan yang terdapat risiko-risiko terlibat
didalamnya. Ada beberapa cara diantaranya dengan berkomitmen untuk tujuan yang
mereka yakini, menjalin hubungan dengan orang lain, memanfaatkan kemarahan, dan
mengembangkan kemampuan mereka.
Believe in a Higher Purpose
Keberanian biasanya datang ketika kita sedang berjuang untuk apa yang kita
percaya. Pemimpin yang memiliki komitmen emosional yang kuat terhadap
visi/tujuan yang luas mampu menemukan kekuatan untuk menghadapi ketakutan.

Draw Strength from Others


Peduli kepada orang lain dan memiliki dukungan dari orang lain merupakan
sumber potensial kekuatan untuk bertahan dalam hidup yang penuh kesulitan.
Orang yang merasa kesepian akan mengambil risiko yang kecil karena mereka
merasa akan kehilangan/rugi. Menariknya, media sosial membuat orang-orang
lebih mudah mengenal dengan satu sama lain untuk akhirnya saling mendukung
walaupun juga terdapat bukti yang menunjukkan bahwa media sosial sebenarnya
malah mengurangi ikatan personal yang dalam antar individu. Sehingga orang
kesulitan untuk mengekspresikan keberaniannya.

Harness Frustation and Anger


Pernahkah Anda merasa ketika sedang marah maka Anda cenderung akan
melupakan rasa ketakutan atau kegagalan, malu, ataupun rasa takut bahwa orang
lain tidak akan menyukai Anda? Rasa marah, dalam kadar yang masih bisa terkontrol,
merupakan emosi sehat yang mampu membawa energi untuk bergerak/bangkit
maju ke depan. Tantangannya adalah untuk memanfaatkan kemarahan dan
menggunakannya pada saat yang tepat.

Take Small Steps


Dalam kasus yang paling banyak dijumpai pada perusahaan-perusahaan,
proses menemukan keberanian merupakan tindakan yang memang sengaja
dilakukan bukan lebih kepada respon yang tiba-tiba muncul. Keberanian bisa
diartikan sebagai kemampuan untuk membuat keputusan yang kemudian
dikembangkan melalui pikiran dan praktik secara sadar. Pemimpin yang berani tidak
bersifat gegabah dan nekat, tapi lebih ke mereka yang sudah bisa mengembangkan
kemampuan dan sumber yang mereka butuhkan nanti ketika mereka perlu untuk
mengambil langkah yang sulit. Mereka juga mampu sebagai contoh bagi pengikutnya
untuk menjadi berani bertindak sesuai tingkah laku dan menolong orang lain berlatih
menjadi berani juga. Pemimpin yang baik akan tahu bahwa ketika muncul
isu/masalah etika yang sulit merupakan bagian penting dari pekerjaan mereka untuk
menyelesaikannya.

STUDY CASE
The Boy, the Girl, the Ferryboat Captain, and the Hermits
Ada sebuah pulau, dan di pulau ini hiduplah seorang gadis. Tak jauh dari sana ada pulau lain,
dan di pulau ini hiduplah seorang anak laki-laki. Laki-laki dan perempuan itu sangat
mencintai satu sama lain.
Anak laki-laki itu harus meninggalkan pulau dan melakukan perjalanan panjang, dan dia
akan pergi untuk waktu yang sangat lama. Gadis itu merasa bahwa dia harus melihat anak
laki-laki itu sekali lagi sebelum dia pergi.
Hanya ada satu cara untuk pergi dari pulau tempat gadis itu tinggal ke pulau anak laki-laki
itu, dan itu adalah dengan menggunakan kapal feri yang dijalankan oleh kapten kapal feri.
Maka gadis itu turun ke dermaga dan meminta kapten kapal feri untuk membawanya ke
pulau tempat tinggal bocah itu. Itu
Kapten kapal feri setuju dan menanyakan ongkosnya. Gadis itu memberi tahu kapten kapal
feri bahwa dia tidak punya uang. Kapten kapal feri memberitahunya bahwa uang tidak
perlu: "Aku akan membawamu ke pulau lain jika kamu mau tinggal bersamaku malam ini."
Gadis itu tidak tahu harus berbuat apa, jadi dia pergi ke perbukitan di pulau itu sampai dia
tiba di sebuah gubuk tempat seorang pertapa tinggal. Kami akan memanggilnya pertapa
pertama. Dia menceritakan keseluruhan cerita kepada pertapa dan meminta nasihatnya.
Sang pertapa mendengarkan ceritanya dengan saksama, dan kemudian berkata kepadanya,
“Saya tidak dapat memberi tahu Anda apa yang harus dilakukan. Anda harus
mempertimbangkan alternatif dan pengorbanan yang terlibat dan mengambil keputusan di
dalam hati Anda sendiri. "
Maka gadis itu kembali ke dermaga dan menerima tawaran kapten kapal feri. Keesokan
harinya, ketika gadis itu tiba di pulau lain, anak lelaki itu menunggu di dermaga untuk
menyambutnya. Mereka berpelukan, dan kemudian anak lelaki itu bertanya bagaimana dia
bisa sampai ke pulau itu, karena dia tahu dia tidak punya uang. Gadis itu menjelaskan
tawaran kapten kapal feri dan apa yang dia lakukan. Anak laki-laki itu mendorongnya
menjauh dan berkata, "Kita selesai. Itu akhirnya. Pergi dariku. Aku tidak pernah ingin
melihatmu lagi, ”dan dia meninggalkannya.
Gadis itu sedih dan bingung. Dia naik ke perbukitan pulau anak laki-laki itu ke sebuah gubuk
tempat tinggal pertapa kedua. Dia menceritakan keseluruhan cerita kepada pertapa kedua
dan bertanya kepadanya apa yang harus dia lakukan. Pertapa itu mengatakan kepadanya
bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan, bahwa dia dipersilakan untuk tinggal di gubuknya,
mengambil makanannya, dan beristirahat di tempat tidurnya sementara dia pergi ke kota
dan memohon cukup uang untuk membayar gadis itu. ongkos kembali ke pulau sendiri.
Ketika pertapa kedua kembali dengan membawa uang untuknya, gadis itu bertanya
kepadanya bagaimana dia bisa membayarnya kembali. Sang pertapa menjawab, “Kamu
tidak berhutang apa-apa padaku. Kami berhutang ini satu sama lain. Saya sangat senang
bisa membantu. " Maka gadis itu kembali ke dermaga dan kembali ke pulau sendiri.
PERTANYAAN
1. Sebutkan secara berurutan karakter-karakter dalam cerita ini yang Anda sukai, dari
yang paling banyak hingga yang paling tidak. Nilai apa yang mengatur pilihan Anda?
Jawab :
 Petapa Kedua: dia mendahulukan kesejahteraan orang lain diatas dirinya sendiri.
 Petapa Pertama: dia tidak mencoba mengendalikan gadis itu atau menasihatinya
untuk mempertimbangkan konsekuensi atas perilakunya.
 Anak Perempuan: bertindak atas “cinta”
 Anak laki-laki: menghakimi dan menghukum
 Kapten Kapal: bersikap egois
2. Beri nilai karakter pada tingkat perkembangan moral mereka. Jelaskan !
Jawab :
Level 3 (postconventional):
 Petapa kedua: karena dia menerapkan apa yang benar dan apa yang salah
 Petapa pertama: karena dia bersikap independen terlepas dari harapan orang lain
 Anak Perempuan: karena dia tidak mematuhi aturan/hukum masyarakat untuk
menanggapi prinsip cinta yang lebih tinggi
Level 2 (conventional):
 Anak laki-laki: karena dia mengikuti aturan, norma, dan nilai sistem sosial
Level 1 (preconventional):
 Kapten Kapal Feri: karena dia bertindak atas kepentingannya sendiri

3. Evaluasi tingkat keberanian setiap karakter. Diskusikan!


Jawab :

 Pertapa kedua: menunjukkan keberanian paling besar karena ia menerima


tanggung jawab dan mencari cara untuk mendapatkan uang untuk gadis itu.

 Anak Perempuan: menunjukkan banyak keberanian karena dia melanggar batasan


dan tradisi serta mengambil risiko karena perasaaan cinta.

 Pertapa Pertama: menunjukkan keberanian karena dia mengatakan apa yang dia
pikirkan

 Anak Laki-laki: tidak menunjukkan keberanian karena dia dibimbing oleh norma
norma sosial

 Kapten Kapal Feri: tidak menunjukkan keberanian karena dia dibimbing oleh
keserakahan.

Anda mungkin juga menyukai